5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA
|
|
- Yenny Kusnadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan data dari 23 provinsi penelitian periode Rentang waktu tersebut dipilih karena hasil analisis deskriptif ini akan menjadi dasar simulasi kebijakan historis yang menggunakan rentang waktu Sedangkan data tahun 2005 digunakan sebagai data variabel lag tahun Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya masalah dalam teknis pemrograman yaitu ketidaksesuaian objek observasi (provinsi) antara current data dan lag data yang terjadi pada data panel. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengkaji pertumbuhan beberapa variabel fiskal, perekonomian, dan kemiskinan termasuk variavel-variabel dengan satuan nilai rupiah. Oleh karena itu, agar terbanding antar waktu maka analisis deskriptif ini menggunakan variabel-variabel riil yaitu hasil konversi variabel-variabel nominal dengan IHK provinsi tahun dasar Pendapatan Daerah Profil Kinerja Fiskal Daerah Profil kinerja fiskal daerah dapat ditinjau dari sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah diperoleh dari sumber daya keuangan lokal dan transfer dari pemerintah pusat. Pada umumnya, sumber daya keuangan lokal dicerminkan oleh PAD, namun sumber daya keuangan lokal pada penelitian ini dicerminkan oleh kapasitas fiskal yaitu jumlah PAD dan dana bagi hasil. Alasannya adalah dana bagi hasil bersumber dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam yang masing-masing mencerminkan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah. Selain itu, kapasitas fiskal adalah salah satu alokator pengurang dalam formula DAU dimana daerahdaerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar akan menerima DAU lebih kecil. Dengan perkataan lain, kapasitas fiskal yang lebih besar dapat menurunkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada DAU. Analisis deskriptif terhadap beberapa komponen penting pendapatan daerah selama periode yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan rendahnya komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian selama tahun yaitu rata-rata hanya 7.4% per tahun. Hal ini menyebabkan rendahnya komposisi PAD dengan rata-rata 11.6% per tahun. Demikian juga, komposisi bagi hasil pajak sangat rendah dengan rata-rata hanya 6.7% per tahun. Rendahnya PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya komposisi kapasitas fiskal dengan ratarata 22.7% per tahun. Sesuai formula alokasi DAU dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan menerima DAU lebih besar maka rata-rata komposisi kapasitas fiskal yang rendah menyebabkan tingginya komposisi DAU yaitu ratarata 60.1% per tahun. Perkembangan pendapatan daerah di provinsi pertanian mengindikasikan perlunya peningkatan kapasitas fiskal dengan melakukan upayaupaya untuk mendorong pendapatan pajak daerah dan bagi hasil pajak. Sementara itu, komposisi pajak daerah di provinsi non-pertanian rata-rata 13.9% atau hampir dua kali lipat dari komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi pertanian. Hal
2 87 ini menyebabkan komposisi PAD cukup besar dengan rata-rata 19.7% per tahun. Komposisi bagi hasil pajak juga lebih besar dibandingkan provinsi pertanian dengan rata-rata 9.9% per tahun. Komposisi PAD dan bagi hasil pajak yang besar menyebabkan komposisi kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian lebih besar yaitu rata-rata 44.8% per tahun. Sementara rata-rata komposisi DAU 41.7% per tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja pendapatan fiskal daerah-daerah di provinsi non-pertanian lebih baik dari pada provinsi pertanian. Hal ini berarti provinsi dengan struktur ekonomi didominasi sektor-sektor nonpertanian cenderung lebih mampu membiayai pembangunan daerahnya dengan dana yang diperoleh dari sumber daya lokal. Tabel 9 Rata-rata Komposisi Pendapatan Daerah per Tahun, (%) Provinsi Pajak Daerah Bagi Hasil PAD Pajak Kapasitas Fiskal DAU NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Selain komposisi pendapatan daerah, kinerja pendapatan daerah dapat juga ditinjau dari pertumbuhannya. Tabel 10 menunjukkan rata-rata pajak daerah di provinsi pertanian tahun tumbuh 15.1% per tahun. Namun, hal ini tidak sejalan dengan pertumbuhan PAD yang rendah yaitu 12.6% per tahun. Sedangkan, bagi hasil pajak hanya tumbuh rata-rata 1.0% per tahun. Rendahnya pertumbuhan PAD dan bagi hasil pajak menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal dengan rata-rata 8.4% per tahun.
3 88 Tabel 10 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, (%) Provinsi Pajak Daerah PAD Bagi Hasil Kapasitas Pajak Fiskal DAU NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Meskipun komposisi pendapatan pajak daerah di provinsi non-pertanian hampir dua kali lipat dari komposisi di provinsi pertanian tetapi pertumbuhannya hanya sedikit lebih besar dengan rata-rata 16.2% per tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan PAD di provinsi non-pertanian juga hanya sedikit lebih besar dari provinsi pertanian dengan rata-rata 13.7% per tahun. Sementara itu, meskipun pertumbuhan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian yaitu rata-rata 1.5% per tahun, tetapi pada tahun 2011 terjadi
4 89 pertumbuhan negatif bagi hasil pajak yaitu minus 15.8%, sementara di provinsi pertanian mencapai 9.3% per tahun. Berkurangnya penerimaan bagi hasil pajak di provinsi non-pertanian menyebabkan rendahnya pertumbuhan kapasitas fiskal tahun 2011 yang hanya 10.0%, sementara di provinsi pertanian mencapai 18.3%. Pertumbuhan kapasitas fiskal di provinsi non-pertanian yang cenderung berkurang menyebabkan naiknya pertumbuhan DAU bahkan mencapai 31.1% pada tahun Perkembangan pertumbuhan pendapatan fiskal di provinsi pertanian yang menunjukkan perbaikan kapasitas fiskal disebabkan oleh pertumbuhan bagi hasil pajak yang cenderung meningkat, sebaliknya di provinsi non-pertanian cenderung berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi non-pertanian perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan bagi hasil pajak terutama dari pajakpajak penghasilan. Pengeluaran Daerah Tabel 11 Rata-rata Komposisi Belanja Daerah per Tahun, (%) Provinsi Belanja Pertanian Belanja Perindustrian Belanja Perdagangan Belanja Infrastruktur P NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Meskipun pendapatan khususnya dari sumber daya lokal cukup tinggi tetapi belum tentu diikuti kinerja perekonomian yang lebih baik dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Oleh karena itu, analisis kinerja fiskal perlu dilakukan juga
5 90 pada sisi pengeluaran karena merupakan faktor penting yang dapat mendorong perekonomian daerah. Tabel 11 menunjukkan komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian rata-rata 3.2% per tahun atau lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian yang hanya 2.1% per tahun. Komposisi belanja pertanian di provinsi pertanian yang lebih besar tentu saja terjadi karena struktur ekonominya didominasi oleh sektor pertanian. Namun, komposisi belanja pertanian tergolong rendah sehingga perlu ditingkatkan untuk mempercepat laju pertumbuhan sektor pertanian mengingat sektor tersebut mampu menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sementara itu, Tabel 11 juga menunjukkan komposisi belanja perindustrian dan perdagangan sangat rendah baik di provinsi pertanian maupun provinsi non-pertanian. Hasil analisis deskriptif pada komposisi belanja sektoral mengindikasikan tingginya kapasitas fiskal di provinsi nonpertanian tidak serta merta dialokasikan lebih besar pada belanja pertanian. Padahal data empiris menunjukkan tingginya jumlah tenaga kerja dan penduduk miskin di sektor pertanian. Selama periode , sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja rata-rata 34.7% per provinsi per tahun, sementara headcount index pertanian rata-rata 19.0% per provinsi per tahun. Hal ini menjadi indikasi bahwa meskipun sektor pertanian bukan sektor andalan perekonomian provinsi non-pertanian namun pembangunan pertanian di provinsi tersebut sangat penting mengingat jumlah penduduk miskin mayoritas hidup dari sektor tersebut. Selain komposisi belanja daerah, kinerja pengeluaran fiskal daerah perlu ditinjau dari pertumbuhan belanja daerah. Tabel 12 menunjukkan pertumbuhan belanja pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi nonpertanian. Bahkan pada tahun 2011 pertumbuhan di provinsi pertanian cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu rata-rata 24.9% sementara di provinsi non-pertanian rata-rata hanya 3.4%. Sementara itu, pertumbuhan belanja perdagangan sangat tinggi terutama di provinsi pertanian yang mencapai rata-rata 179.7% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian lebih rendah dengan rata-rata 53.8% per tahun. Sebaliknya, pertumbuhan belanja perindustrian di provinsi non-pertanian mencapai 412.5% per tahun, sementara di provinsi pertanian rata-rata 22.7% per tahun. Salah satu strategi pertumbuhan pro-poor adalah pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, profil belanja infrastruktur juga penting untuk dikaji. Tabel 12 menunjukkan meskipun belanja infrastruktur di provinsi pertanian tumbuh 6.4% per tahun namun cenderung berkurang bahkan minus 3.2% pada tahun Dengan kondisi infrastruktur yang buruk pembangunan infrastruktur di provinsi pertanian hendaknya diprioritaskan. Provinsi pertanian sesungguhnya berpeluang meningkatkan belanja infrastruktur dari DAU dimana komposisinya mendominasi total pendapatan daerah. Pertumbuhan belanja infrastruktur yang rendah sementara ketergantungan pada DAU tinggi yang umumnya terjadi di provinsi pertanian menunjukkan strategi pembangunan daerah kurang tepat dalam mengalokasikan DAU terutama yang memberi dampak besar dalam menurunkan kemiskinan. Dengan perkataan lain, ada indikasi fenomena flypaper effect pada DAU untuk belanja-belanja yang tidak berdampak besar menurunkan kemiskinan khususunya untuk pembangunan pertanian dan infrastruktur. Untuk itu, perbaikan kelembagaan terutama di provinsi pertanian perlu dilakukan agar para elit politik di badan legislatif daerah lebih memprioritaskan pembangunan yang berdampak besar menurunkan kemiskinan daerah.
6 91 Tabel 12 Rata-rata Pertumbuhan Belanja Daerah per Tahun, (%) Provinsi Belanja pertanian Belanja perindustrian Belanja perdagangan P Belanja infrastruktur Belanja Total NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: Kemenkeu RI., data diolah Kemandirian Fiskal Tingginya belanja daerah yang tidak diimbangi kemampuan PAD yang cukup yang banyak terjadi di provinsi pertanian menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian fiskal. Tabel 13 menunjukkan tingkat kemandirian fiskal di provinsi pertanian selama periode rata-rata hanya 12.0% per tahun, sedangkan di provinsi non-pertanian rata-rata 20.5% per tahun. Jika mengacu pada kriteria
7 92 Balitbang Depdagri dan UGM (1991) kinerja fiskal provinsi pertanian tergolong kurang mandiri, sedangkan provinsi pertanian tergolong cukup mandiri. Secara rata-rata provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki kemandirian fiskal paling rendah yaitu 6.9% yang berarti peran PAD dalam membiayai belanja daerah di seluruh wilayah di provinsi NAD hanya 6.9%. Sementara provinsi Bali memiliki kemandirian fiskal paling tinggi yaitu 33.4%. Kondisi ini sejalan dengan fakta yang menunjukkan pengumpulan PAD di provinsi NAD paling rendah, sementara di provinsi Bali paling tinggi. Selain itu, pertumbuhan belanja daerah di provinsi NAD lebih besar dari pada rata-rata pertumbuhan belanja daerah seluruh provinsi penelitian, sementara pertumbuhan belanja daerah di provinsi Bali lebih rendah. Rendahnya tingkat kemandirian fiskal daerah di provinsi pertanian mendukung fakta tingginya ketergantungan keuangan daerah pada DAU. Tabel 13 Perkembangan Kemandirian Fiskal Daerah, (%) Provinsi Rata-rata 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: Kemenkeu RI., data diolah
8 93 PDRB dan Tenaga Kerja Profil Perekonomian Daerah Kinerja perekonomian daerah seringkali digambarkan dengan PDRB dan tenaga kerja. Tabel 14 menunjukkan share PDRB dan tenaga kerja pertanian dan industri di provinsi pertanian tahun berkurang, sebaliknya share PDRB dan tenaga kerja perdagangan meningkat. Hal ini mengindikasikan pergeseran struktur ekonomi provinsi pertanian dari sektor tradisional yaitu pertanian ke sektor modern terutama perdagangan. Hal serupa terjadi di provinsi non- pertanian kecuali share tenaga kerja industri yang meningkat meskipun share PDRB industri turun. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja industri di provinsi non-pertanian cenderung berkurang padahal sektor tersebut merupakan sektor yang mendominasi struktur ekonomi provinsi non-pertanian. Rendahnya produktivitas tenaga kerja industri selanjutnya akan berdampak menurunkan upah riil yang diterima tenaga kerja industri sehingga berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin industri. Tabel 14 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, (%) Pertanian Industri Perdagangan Tahun Tenaga Tenaga Tenaga PDRB PDRB PDRB Kerja Kerja Kerja Rata-rata Rata-rata Sumber: BPS, data diolah Rata-rata share PDRB dan serapan tenaga kerja per tahun pada Gambar 32 menunjukkan tingginya peran tenaga kerja dalam menghasilkan output PDRB pertanian dimana tambahan 2% serapan tenaga kerja pertanian akan menghasilkan 1% share PDRB pertanian. Sebaliknya peran tenaga kerja pada PDRB industri hanya sekitar 0.5% untuk menambah 1% share PDRB industri. Hal ini berarti tenaga kerja memberi peran lebih besar dalam menciptakan nilai tambah produk pertanian dibandingkan produk industri. Rendahnya peran tenaga kerja pada sektor industri dapat terjadi karena faktor kapital dimana salah satunya adalah
9 94 belanja perindustrian lebih berperan dalam meningkatkan PDRB industri. Sementara itu, peran tenaga kerja pada sektor perdagangan relatif memberi hasil yang sepadan terutama di provinsi pertanian. Dinamika ketiga sektor tersebut mengindikasikan struktur perekonomian daerah mulai beralih ke sektor jasa-jasa terutama perdagangan. Dengan perkataan lain, struktur perekonomian daerah mulai meninggalkan sektor-sektor riil namun kemampuannya dalam menyerap tenga kerja masih tinggi terutama di sektor pertanian. Tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sementara share PDRB pertanian rendah bahkan cenderung turun harus diatasi dengan mempercepat laju pertumbuhan pertanian. 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 29,0 14,3 22,0 11,2 27,6 19,1 16,3 18,0 17,1 0,0 Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Perdagangan Share PDRB Provinsi Pertanian Share PDRB Seluruh Provinsi Pertanian Share PDRB Provinsi Non-Pertanian 60,0 50,0 53,4 44,4 40,0 34,7 30,0 20,0 10,0 6,1 13,4 9,6 16,1 21,4 18,6 0,0 Sektor Pertanian Sektor Industri Sektor Perdagangan Serapan Tenaga Kerja Provinsi Pertanian Serapan Tenaga Kerja Provinsi Non-Pertanian Serapan Tenaga Kerja Seluruh Provinsi Non-Pertanian Gambar 32. Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral, (%) Perbandingan antar provinsi pada Tabel 15 menunjukkan rata-rata share PDRB pertanian di provinsi pertanian sebesar 29.0%, sementara di provinsi nonpertanian sekitar setengahnya yaitu 14.3%. Provinsi-provinsi Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung tercatat memiliki share PDRB pertanian paling besar. Sementara, perekonomian provinsi non-pertanian didominasi sektor industri dengan rata-rata share PDRB industri 27.6% per tahun. Provinsi-provinsi
10 95 dengan share PDRB industri antara lain Banten, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat. Sementara itu, share PDRB perdagangan relatif merata antar provinsi dengan ratarata per tahun di provinsi pertanian 16.3% dan di provinsi non-pertanian 18.0%. Provinsi Bali tercatat memiliki share tertinggi dengan rata-rata 29.2% per tahun. yang bersumber dari subsektor hotel dan restoran sebagai penunjang pariwisata yang merupakan sektor unggulan di provinsi tersebut. Sedangkan, Kalimantan Timur memiliki share PDRB perdagangan paling rendah yaitu 7.1% per tahun. Tabel 15 Rata-rata Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektoral per Tahun menurut Provinsi, (%) Provinsi Pertanian Industri Perdagangan PDRB TK PDRB TK PDRB TK 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS, data diolah Tabel 16 menunjukkan rata-rata pertumbuhan pertahun PDRB pertanian di provinsi pertanian selama tahun lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Sebaliknya, pertumbuhan PDRB industri di provinsi pertanian lebih tinggi dibandingkan provinsi non-pertanian. Sedangkan, PDRB perdagangan tumbuh paling tinggi dibandingkan PDRB pertanian dan PDRB indsutri namun pertumbuhannya di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-
11 96 pertanian. Namun, pertumbuhan PDRB yang tinggi tidak selalu diikuti PDRB per kapita yang tinggi. Provinsi non-pertanian memiliki rata-rata pertumbuhan PDRB pertanian 5.6% per tahun atau lebih tinggi dari provinsi pertanian dengan rata-rata 5.2% per tahun. Tetapi, PDRB pertanian per kapita provinsi non-pertanian ratarata 2.9 juta rupiah atau lebih rendah dari provinsi pertanian dengan rata-rata 3.2 juta rupiah. Sebaliknya, provinsi pertanian dengan rata-rata pertumbuhan PDRB industri lebih tinggi memiliki PDRB industri per kapita lebih rendah. Tabel 16 Rata-rata PDRB Riil 1 per kapita Sektoral (Juta Rp) dan Pertumbuhannya per tahun menurut Provinsi, Pertanian Industri Perdagangan Total Provinsi Per Per Per Per Growth Growth Growth kapita kapita kapita kapita Growth 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
12 97 Produktivitas Tenaga Kerja Meskipun sektor pertanian mendominasi PDRB di provinsi pertanian tetapi produktivitasnya lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Tabel 17 menunjukkan rata-rata produktivitas tenaga kerja pertanian yang diukur dari PDRB pertanian yang dihasilkan setiap tenaga kerja pertanian sebesar 14.2 juta rupiah per tahun di provinsi pertanian, sementara di provinsi non-pertanian sebesar 19.8 juta rupiah per tahun. Hal ini dapat terjadi karena total PDRB pertanian di provinsi pertanian lebih rendah atau jumlah tenaga kerja pertanian lebih banyak. Walaupun jumlah tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian lebih sedikit dibandingkan provinsi non-pertanian tetapi sharenya yang lebih besar mengindikasikan PDRB yang dihasilkan sektor pertanian di provinsi pertanian relatif lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian khususnya di provinsi pertanian perlu ditingkatkan dengan menambah modal dari belanja pertanian. Tabel 17 Rata-rata Produktivitas Riil 1 Tenaga Kerja Sektoral per Tahun, menurut Provinsi, (Juta Rp) Provinsi Pertanian Industri Perdagangan 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata PROVINSI NON-PERTANIAN 13 Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
13 98 Upah Riil Tenaga Kerja Rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian berdampak pada rendahnya upah riil. Tabel 18 menunjukkan rata-rata upah riil pertanian di provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Kondisi ini terkait dengan produktivitas tenaga kerja pertanian di provinsi pertanian yang lebih rendah. Bahkan, pertumbuhan upah pertanian di provinsi non-pertanian lebih besar. Upah riil pertanian merupakan yang paling rendah di antara ketiga sektor dimana upah di provinsi pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi non-pertanian. Sementara rata-rata upah riil industri dan perdagangan di provinsi pertanian relatif sama. Sedangkan, upah riil industri di provinsi non-pertanian paling tinggi. Perbandingan antar provinsi menunjukkan upah riil pertanian tertinggi terjadi di provinsi Kalimantan Timur. Upah riil industri tertinggi di provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Sedangkan upah riil perdagangan tertinggi di provinsi Kepulauan Riau. Seluruh provinsi dengan rata-rata upah riil tertinggi tersebut merupakan provinsi non-pertanian. Tabel 18 Rata-rata Upah Riil 1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) menurut Provinsi, Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Upah Growth Upah Growth Upah Growth 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS, data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
14 99 Pengeluaran per Kapita Konsep kemiskinan di Indonesia adalah konsep moneter dengan pendekatan pendapatan penduduk. Namun, data kemiskinan yang dihitung BPS menggunakan indikator pengeluaran per kapita dari hasil SUSENAS. Menurut Ravallion (1995) pengeluaran konsumsi per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun keduanya berasal dari sumber data yang sama. Oleh karena itu, pengukuran tingkat kemiskinan sektoral pada penelitian ini juga menggunakan indikator pengeluaran per kapita. Tabel 19 menunjukkan rata-rata pengeluaran per kapita sektoral sejalan dengan upah riil sektoral dimana sektor pertanian memiliki rata-rata paling kecil dan ppengeluaran per kapita provinsi pertanian lebih rendah dibandingkan provinsi non-pertanian. Besaran upah riil menunjukkan bahwa upah yang diterima hanya mampu memenuhi konsumsi 2-3 anggota rumahtangga yang dapat terjadi karena perbedaan bobot konsumsi setiap anggota rumahtangg. Hal ini juga mengindikasikan ada sumber pendapatan lain dari pekerjaan tambahan kepala rumahtangga di sektor lain atau pekerjaan anggota rumahtangga lainnya. Tabel 19 Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil 1 Sektoral per bulan (Ribu Rp) dan Pertumbuhannya per Tahun (%) Menurut Provinsi, Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Konsumsi Growth Konsumsi Growth Konsumsi Growth 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS, data diolah; Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100)
15 100 Profil Kemiskinan Sektoral Daerah Indeks Gini Tabel 20 Perkembangan Indeks Gini Provinsi, Provinsi Ratarata Perubahan per tahun 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata PROVINSI NON-PERTANIAN 4 Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS Sebagai ukuran ketimpangan pendapatan, Indeks Gini selama tahun cenderung meningkat bahkan peningkatan dan rata-rata Indeks Gini provinsi non-pertanian lebih besar dibandingkan provinsi pertanian (Tabel 20). Hal ini sesuai hipotesis Kuznets dimana perekonomian tradisional yang didominasi sektor pertanian memiliki ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, ratarata Indeks Gini provinsi non-pertanian yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan penduduk provinsi non-pertanian lebih tidak merata. Jika meningkatnya Indeks Gini dikaitkan dengan pertumbuhan PDRB perdagangan yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan PDRB pertanian dan pertumbuhan PDRB industri terutama di provinsi non-pertanian, maka kondisi ini menunjukkan adanya trade-off pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di provinsi-
16 101 provinsi dengan struktur ekonomi didominasi oleh sektor jasa. Hal ini juga sesuai dengan asumsi hipotesis Kuznets yaitu kesenjangan pendapatan akan meningkat ketika perekonomian mulai beralih dari sektor tradisional ke sektor modern. Dalam kontek pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka kenaikan Indeks Gini ini mengindikasikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati oleh penduduk kaya. Sementara itu, perbandingan antar provinsi menunjukkan ketimpangan pendapatan di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tinggi, sedangkan distribusi pendapatan di NAD dan Kalimantan Tengah paling merata. Headcount Index Sektoral Tabel 21 Perkembangan Headcount Index Sektoral, Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Total HCI HCI HCI HCI 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS, data diolah dari SUSENAS Headcount index (HCI) atau sering dinotasikan dengan P 0 adalah indikator kemiskinan yang merupakan persentase penduduk miskin. Perbandingan antar tiga sektor ekonomi pada Tabel 21 menunjukkan sektor pertanian memiliki HCI paling tinggi dibandingkan sektor industri dan sektor perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI pertanian di provinsi pertanian lebih tinggi dari pada HCI pertanian di provinsi non-pertanian dengan rata-rata 19.3% dan 19.0%. Semetnara rata-rata HCI industri di provinsi pertanian dan provinsi nonpertanian 14.7% dan 10.8%. Sementara itu, HCI perdagangan paling kecil dengan
17 102 rata-rata 9.1% di provinsi pertanian dan 8.2% di provinsi non-pertanian. HCI pertanian yang tinggi memberi kontribusi paling besar pada toal HCI yang berarti jumlah penduduk miskin paling banyak di sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga pertanian yang lebih rendah dibandingkan industri dan perdagangan. Perbandingan antar kelompok provinsi menunjukkan HCI sektoral provinsi pertanian lebih besar dibandingkan provinsi non-pertanian. namun, meskipun HCI provinsi pertanian lebih besar tetapi laju penurunannya lebih cepat dibandingkan provinsi non-pertanian terutama di sektor pertanian dan perdagangan (Gambar 12). Dengan demikian, strategi percepatan pengentasan kemiskinan harus difokuskan pada sektor pertanian. Oleh karena itu, meskipun HCI provinsi non-pertanian lebih kecil dibandingkan provinsi pertanian tetapi jumlah penduduk miskin provinsi non-pertanian yang lebih besar dapat menjadi alasan agar pemerintah daerah di wilayah provinsi non-pertanian lebih memprioritaskan percepatan penurunan kemiskinan penduduk di sektor pertanian. 25,0 20,0 19,3 19,0 15,0 10,0 14,7 10,8 9,1 8,2 15,2 12,4 5,0 0,0 HCI Pertanian HCI Industri HCI Perdagangan HCI Total 0,0-0,2-0,4-0,6-0,8-1,0-1,2-1,4-1,2-0,8-1,0-1,0-0,7-1,1-1,1-0,9 Provinsi Pertanian Provinsi Non-Pertanian Gambar 33. Rata-rata Headcount Index (%) dan Perubahannya per Tahun (persen poin),
18 103 Proporsi Penduduk Miskin Rumahtangga Pertanian Pada bagian terdahulu telah ditunjukkan bahwa rumah tangga pertanian memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi dengan headcount index yang paling besar dibandingkan headcount index industri dan headcount index perdagangan. Selain itu, proporsi penduduk miskin dapat menunjukkan perbandingan tingkat kemiskinan antar sektor. Tabel 22 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia selama periode paling banyak berada di rumahtangga pertanian bahkan proporsinya cenderung meningkat. Rata-rata proporsi penduduk miskin pertanian di provinsi pertanian naik dari 62.2% menjadi 64.5% atau ratarata 0.5 persen poin per tahun, dan di provinsi non-pertanian naik dari 48.6% menjadi 49.7% atau rata-rata 0.2 persen poin per tahun. Proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian (disingkat menjadi penduduk miskin pertanian) yang tinggi dan meningkat sementara Indeks Gini meningkat mengindikasikan dampak kebijakan-kebijakan pemerintah daerah lebih menguntungkan penduduk miskin di sektor-sektor non-pertanian. Ini berarti, strategi pengentasan kemiskinan oleh pemerintah daerah tidak memihak penduduk miskin pertanian. Tabel 22 Perkembangan Proporsi Penduduk Miskin Pertanian, (%) Provinsi Perubahan per tahun (% poin) 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS, data diolah
19 104 Hubungan Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan Tabel 23 Rata-rata Indikator Fiskal, Perekonomian, dan Kemiskinan per Tahun, Provinsi Komposisi DAU (%) Pertumbuhan PDRB Riil 1 Indeks Gini (%) Perubahan HCI (% poin) Distribusi Penduduk Miskin Pertanian (%) 1 NAD Sumut Sumbar Jambi Lampung NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Sulteng Sulsel Rata-rata Riau Sumsel Kepri Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali Kaltim Sulut Rata-rata Sumber: BPS dan Kemenkeu R.I., data diolah Catatan: 1 Konversi nominal ke riil menggunakan IHK Provinsi (2007=100) Perkembangan fiskal, perekonomian, dan kemiskinan provinsi selama tahun menunjukkan ketergantungan keuangan daerah pada DAU yang tinggi terutama di provinsi pertanian tidak diikuti laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 23 dimana provinsi pertanian dengan keuangan daerah mayoritas bersumber dari DAU yaitu rata-rata 60.1% memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 6.6% per tahun. NTT dengan komposisi DAU paling besar yaitu 70.3% memiliki pertumbuhan PDRB paling kecil yaitu 4.0%. Sebaliknya, provinsi non-pertanian dengan komposisi DAU lebih rendah yaitu rata-rat 41.7% memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan rata-rata 6.7% per tahun. Artinya, dapat dindikasikan bahwa laju pertumbuhan PDRB yang lebih cepat lebih dipengaruhi oleh peran kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, peran pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan berkurang akibat ketimpangan pendapatan meningkat. Pertumbuhan ekonomi provinsi non-pertanian sebesar
20 % per tahun yang disertai Indeks Gini 0.34 hanya mengurangi headcount index rata-rata 0.9 persen poin per tahun. Sementara, pertumbuhan provinsi pertanian rata-rata 6.6% per tahun yang disertai Indeks Gini 0.33 dapat mengurangi headcount index rata-rata 1.1 persen poin per tahun. Selain itu, penduduk miskin sebagian besar di sektor pertanian bahkan proporsinya meningkat.terciptanya pertumbuhan ekonomi daerah disertai meningkatnya ketimpangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin pretanian menjadi indikasi laju penurunan kemiskinan di sektor pertanian yang melambat disebabkan oleh kebijakan fiskal daerah yang kurang tepat karena lebih memihak sektor-sektor non-pertanian.
4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan
4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran
Lebih terperinciWORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)
WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional
Lebih terperinciInfo Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan
Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak
Lebih terperinciTABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA
No. 01/08/53/TH.XIV, 5 AGUSTUS PERTUMBUHAN EKONOMI NTT TRIWULAN II TUMBUH 5,21 PERSEN Pertumbuhan ekonomi NTT yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan II tahun
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2016 SEBESAR 101,55
Lebih terperinciVIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN
185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi
Lebih terperinciIPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014
IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013
BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan
Lebih terperinciDINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan
Lebih terperinciDINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI
DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI Hermanto dan Gatoet S. Hardono PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang yang padat penduduknya, Indonesia memerlukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
Lebih terperinciAssalamu alaikum Wr. Wb.
Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya
Lebih terperinciDeskripsi dan Analisis
1 Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1
Lebih terperinciPERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN Pertumbuhan ekonomi Kemiskinan Distribusi pendapatan konsep konsep konsep ukuran ukuran Data-data Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena
Lebih terperinciINDONESIA Percentage below / above median
National 1987 4.99 28169 35.9 Converted estimate 00421 National JAN-FEB 1989 5.00 14101 7.2 31.0 02371 5.00 498 8.4 38.0 Aceh 5.00 310 2.9 16.1 Bali 5.00 256 4.7 30.9 Bengkulu 5.00 423 5.9 30.0 DKI Jakarta
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VII, 5 Mei 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2017 SEBESAR 101,81
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/08/18/Th.VII, 7 Agustus 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN II-2017 SEBESAR
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016
No. 25/05/94/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi konsumen terkini yang dihasilkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan pembangunan diindikasikan dengan peningkatan pendapatan per kapita dengan anggapan bahwa peningkatan pendapatan
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN
No. 10/02/91 Th. VI, 6 Februari 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan Pusat Statistik melalui
Lebih terperinciINDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)
F INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) Kemampuan Siswa dalam Menyerap Mata Pelajaran, dan dapat sebagai pendekatan melihat kompetensi Pendidik dalam menyampaikan mata pelajaran 1
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/02/18 TAHUN VII, 6 Februari 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 SEBESAR
Lebih terperinciPOTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)
POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita atau Gross National
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi dimaknai sebagai suatu proses di mana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah
Lebih terperinciAKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:
AKSES PELAYANAN KESEHATAN Tujuan Mengetahui akses pelayanan kesehatan terdekat oleh rumah tangga dilihat dari : 1. Keberadaan fasilitas kesehatan 2. Moda transportasi 3. Waktu tempuh 4. Biaya transportasi
Lebih terperinciPETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:
PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015
BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS
Lebih terperinciPOTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah 2015 Palangka Raya, 16Desember 2015 DR. Ir. Sukardi, M.Si Kepala BPS
Lebih terperinciC UN MURNI Tahun
C UN MURNI Tahun 2014 1 Nilai UN Murni SMP/MTs Tahun 2014 Nasional 0,23 Prov. Sulbar 1,07 0,84 PETA SEBARAN SEKOLAH HASIL UN MURNI, MENURUT KWADRAN Kwadran 2 Kwadran 3 Kwadran 1 Kwadran 4 PETA SEBARAN
Lebih terperinciPANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan
PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/08/18/Th. VI, 5 Agustus 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN II-2016 SEBESAR
Lebih terperinciSURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL
SURVEI HARGA PROPERTI RESIDENSIAL Triwulan IV - 2016 Harga Properti Residensial pada Triwulan IV-2016 Meningkat Indeks Harga Properti Residensial pada triwulan IV-2016 tumbuh sebesar 0,37% (qtq), sedikit
Lebih terperinciTingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat: Perbandingan Antar Propinsi
Tingkat Kemakmuran dan Keadilan Masyarakat: Perbandingan Antar Propinsi Uzair Suhaimi i uzairsuhaimi.wordpress.com Judul artikel terkesan tendensius dilihat dari sisi substansi maupun metodologi. Substansinya
Lebih terperinciMekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017
Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017 - Direktur Otonomi Daerah Bappenas - Temu Triwulanan II 11 April 2017 1 11 April 11-21 April (7 hari kerja) 26 April 27-28 April 2-3 Mei 4-5 Mei 8-9 Mei Rakorbangpus
Lebih terperinciPENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011
PENGUATAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP) 2011 ARAHAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN TINGKAT NASIONAL (MUSRENBANGNAS) 28 APRIL 2010
Lebih terperinciProfilAnggotaDPRdan DPDRI 2014-2019. Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014
ProfilAnggotaDPRdan DPDRI 2014-2019 Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP UniversitasIndonesia 26 September 2014 Pokok Bahasan 1. Keterpilihan Perempuan di Legislatif Hasil Pemilu 2014 2.
Lebih terperinciMemahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik
Kuliah 1 Memahami Arti Penting Mempelajari Studi Implementasi Kebijakan Publik 1 Implementasi Sebagai bagian dari proses/siklus kebijakan (part of the stage of the policy process). Sebagai suatu studi
Lebih terperinciPEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT
Tujuan dari pemetaan dan kajian cepat pemetaan dan kajian cepat prosentase keterwakilan perempuan dan peluang keterpilihan calon perempuan dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2014 adalah: untuk memberikan
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN
BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015
No. 12/02/17/VI, 5 Februari 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan IV-2015 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan IV-2015 di
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 07/01/62/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii
1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
Lebih terperinciDAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH
DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN 2010-2014 PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH BAB.I ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN WILAYAH 2010-2014 1.1 Pendahuluan...
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18/Th. VI, 7 November 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2016 SEBESAR
Lebih terperinciBADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016
BADAN PUSAT STATISTIK 07 November 2016 Berita Resmi Statistik Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan Tengah (Produk Domestik Regional Bruto) Indeks Tendensi Konsumen 7 November 2016 BADAN PUSAT STATISTIK Pertumbuhan
Lebih terperinciKEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1
KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Lebih terperinciPEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:
PEMBIAYAAN KESEHATAN Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam
V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57
No. 28/05/17/VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan I-2016 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan I-2016
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. Kapasitas Fiskal. Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal
9 Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal 2. TINJAUAN PUSTAKA Kapasitas Fiskal Kapasitas fiskal merupakan kemampuan pemerintah daerah menghimpun pendapatan dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Jika mengacu
Lebih terperinciProfil Keaksaraan: Hasil Sensus Penduduk 2010
Profil Keaksaraan: Hasil Sensus Penduduk 2010 Razali Ritonga, MA razali@bps.go.id Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik 15 SEPTEMBER 2012 1 PENGANTAR SENSUS: Perintah
Lebih terperinciVIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian
205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian
Lebih terperinciIndonesia Economy : Challenge and Opportunity
Indonesia Economy : Challenge and Opportunity NUNUNG NURYARTONO Go-Live Round Table Discussion Adelaide 7 November Outline A Fact on Indonesia Economy Problem and Challenge Opportunity Discussion 1 Indonesia
Lebih terperinciINDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22
No. 66/11/17/VI, 7 November 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22 A. Kondisi Ekonomi Konsumen Triwulan III-2016 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT BAB 4 Kondisi Ketenagakerjaan Aceh kembali memburuk, terlihat dari TPAK yang menunjukkan penurunan cukup dalam dari 65,85 per Februari 212 menjadi
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK
Inflai BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT No. 74/11/52/Th VII, 7 November 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) TRIWULAN III-2016 A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah
Lebih terperinciKESEHATAN ANAK. Website:
KESEHATAN ANAK Jumlah Sampel dan Indikator Kesehatan Anak Status Kesehatan Anak Proporsi Berat Badan Lahir, 2010 dan 2013 *) *) Berdasarkan 52,6% sampel balita yang punya catatan Proporsi BBLR Menurut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. utama pembangunan. Salah satu target dari Millenium Development Goals
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Saat ini upaya untuk menanggulangi kemiskinan telah menjadi agenda utama pembangunan. Salah satu target dari Millenium Development Goals (MDGs) adalah mengurangi proporsi
Lebih terperinciINDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI PAPUA 2015
No. 32/06/94/Th. I, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) PROVINSI PAPUA 2015 IPM Provinsi Papua Tahun 2015 Hingga saat ini, pembangunan manusia di Provinsi Papua masih berstatus rendah yang ditunjukkan
Lebih terperinciPERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2016
PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 36/07/63/Th.XIX, 1 Juli NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN JUNI TURUN 0,18 PERSEN Pada NTP Kalimantan
Lebih terperinciBAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL
BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur
Lebih terperinciDisabilitas. Website:
Disabilitas Konsep umum Setiap orang memiliki peran tertentu = bekerja dan melaksanakan kegiatan / aktivitas rutin yang diperlukan Tujuan Pemahaman utuh pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Lebih terperinciLAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018
LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018 LUAS SERANGAN OPT UTAMA PADA TANAMAN PADI 1. LUAS SERANGAN OPT UTAMA PADA TANAMAN PADI MK 2018 2. LUAS SERANGAN OPT UTAMA PADA TANAMAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Perolehan suara PN, PA, dan PC menurut nasional pada pemilu 2004 dan 2009
11 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi data Berdasarkan bagian Latar Belakang di atas, pengelompokan parpol menurut asas dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok parpol. Ketiga kelompok parpol tersebut adalah
Lebih terperinciBAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii
1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK
Inflai BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT No. 13/02/52/Th VII, 6 Februari 2017 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) TRIWULAN IV-2016 Penjelasan Umum Badan Pusat Statistik melakukan Survei
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA
V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Dalam bagian ini diuraikan berturut-turut mengenai profil transfer fiskal dan profil kemiskinan di Indonesia. 5.1. Profil Transfer Fiskal di
Lebih terperinciLaksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 1 Pembahasan 1. Makna Ekonomi Politik 2. Makna Pemerataan 3. Makna Mutu 4. Implikasi terhadap
Lebih terperinciMENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada: SEMINAR NASIONAL FEED THE WORLD JAKARTA, 28 JANUARI 2010 Pendekatan Pengembangan Wilayah PU Pengembanga n Wilayah SDA BM CK Perkim BG AM AL Sampah
Lebih terperinciBPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT
BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 45/08/61/Th. XV, 6 Agustus 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN KALIMANTAN BARAT TRIWULAN II- 2012 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Kalimantan Barat pada II-2012 sebesar 109,62;
Lebih terperinciKINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG
KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG SEKILAS TENTANG IGI Indonesia Governance Index (IGI) adalah pengukuran kinerja tata kelola pemerintahan (governance) di Indonesia yang sangat komprehensif. Pada saat
Lebih terperinciPELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT
PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT BAMBANG WIDIANTO DEPUTI BIDANG KESRA KANTOR WAKIL PRESIDEN RI APRIL, 2010 KLASTER 1: PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERSASARAN KELUARGA/RUMAH
Lebih terperinciDATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017
DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS April 2017 2 Data Sosial Ekonomi Strategis April 2017 Ringkasan Indikator Strategis Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Perdagangan Internasional Kemiskinan & Rasio Gini Ketenagakerjaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 07/07/62/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach).
Lebih terperinciHASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014
HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat Tahun Ajaran 213/21 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 13 Juni 21 1 Ringkasan Hasil Akhir UN - SMP Tahun 213/21 Peserta UN 3.773.372 3.771.37 (99,9%) ya
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN
BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember
Lebih terperinciINDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017
Nomor : 048/08/63/Th.XX, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2017 SEBESAR 71,99 (SKALA 0-100) Kebahagiaan Kalimantan Selatan tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Iva Prasetyo Kusumaning Ayu, FE UI, 2010.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan berlangsungnya pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, maka transformasi struktural dalam perekonomian merupakan suatu proses yang tidak terhindarkan.
Lebih terperinciPERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN APRIL 2016
PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN APRIL A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 24/05/63/Th.XIX, 2 Mei NILAI TUKAR PETANI (NTP) BULAN APRIL TURUN 0,14 PERSEN Pada NTP Kalimantan
Lebih terperinciFARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL. Website:
FARMASI DAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL RUANG LINGKUP Obat dan Obat Tradisional (OT) Obat Generik (OG) Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) TUJUAN 1. Memperoleh informasi tentang jenis obat
Lebih terperinciBAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009
BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka
Lebih terperinciKEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) Disampaikan pada Kegiatan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi Jakarta, 01 Desember
Lebih terperinci