4. HASIL DAN PEMBAHASAN. ulangan pada kultivasi Gelidium latifolium dari perlakuan yang berbeda memiliki
|
|
- Doddy Gunawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Bobot Basah Gelidium latifolium Penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot basah rata-rata setiap ulangan pada kultivasi Gelidium latifolium dari perlakuan yang berbeda memiliki hasil beragam. Pertambahan bobot basah paling tinggi ditunjukkan oleh kultivasi P2 yaitu injeksi sebanyak cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, sedangkan yang paling rendah adalah kultivasi P4 yaitu injeksi sebanyak cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi (Lampiran 1). Pertambahan bobot basah rata-rata memengaruhi bobot basah pada akhir periode kultivasi. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Bobot basah rata-rata dan simpangan baku pada akhir kultivasi Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi. P3 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi. 34
2 35 Bobot basah rata-rata di akhir kultivasi yang dari paling tinggi adalah pada P2 sebesar 4,16±0,14 gram, P1 sebesar 4,03±0,12 gram, P3 sebesar 3,66±0,23 gram, K sebesar 3,54±0,06 gram, dan P4 sebesar 3,26±0,23 gram (Lampiran 2). Makroalga memerlukan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis. Fotosintesis yang berlangsung tidak hanya dibantu dengan sinar matahari, tetapi juga zat hara sebagai makanan. Zat hara didapatkan dari nutrien terlarut yang diberikan, yaitu TSP, ZA, dan urea. Penyerapan zat hara dilakukan oleh seluruh bagian tubuh dibantu oleh sirkulasi yang baik yaitu gerakan air. Sistem sirkulasi perlakuan K, P1, dan P2 menjadikan pertumbuhan Gelidium latifolium lebih baik daripada P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indriani dan Sumiarsih (1991) bahwa gerakan air berfungsi untuk memudahkan penyerapan zat hara, membersihkan kotoran yang ada, dan melangsungkan pertukaran dan dalam air. Injeksi ditambah aerasi lebih efektif meningkatkan pertambahan bobot basah Gelidium latifolium yang dikultivasi. Besar kecepatan yang diinjeksikan seragam sebesar 200 cc/menit didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Barat (2011) dengan menggunakan kecepatan 500 cc/menit. Kecepatan yang digunakan pada penelitian ini diturunkan dari kecepatan penelitian sebelumnya, hal ini bertujuan untuk tetap menjaga derajat keasaman dari media air laut, karena volume air yang digunakan lebih sedikit. Aerasi menimbulkan gelembung-gelembung udara di dalam air dan menyebabkan pergerakan serta sistem sirkulasi di dalamnya. Penggunaan batu aerasi membantu memecah gelembung udara agar difusi di dalam air berlangsung lebih cepat dan terserap sempurna oleh makroalga. Lama injeksi pun berpengaruh pada pertambahan bobot, perlakuan yang diaerasi dan injeksi
3 36 sebanyak 200 cc/menit selama 15 menit (P2) hari lebih efektif daripada injeksi sebanyak 200 cc/menit selama 10 menit (P1). Namun terjadi sebaliknya pada perlakuan yang tidak diaerasi, injeksi (P3) lebih efektif daripada injeksi sebanyak 200 cc/menit selama 10 menit sebanyak 200 cc/menit selama 15 menit (P4). Perlakuan K sebagai kontrol hanya mendapatkan aerasi saja, sehingga pertambahan bobotnya lebih lambat daripada perlakuan yang ditambahkan injeksi (P1, P2 dan P3). Hal ini tidak berlaku untuk P4 karena mengalami penurunan selisih bobot basah rata-rata pada awal kultivasi. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 11. Gambar 11. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata dan simpangan baku Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
4 37 Perlakuan P4 yakni injeksi sebanyak cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan bobot basah rata-rata pada minggu ke-2 pemeliharaan, namun di minggu selanjutnya pertambahan bobot meningkat kembali. Secara keseluruhan selisih pertumbuhan bobot basah rata-rata menunjukkan peningkatan di awal pemeliharaan, setelah beberapa minggu pemeliharaan mengalami penurunan. Perlakuan P3 yaitu injeksi sebanyak cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan yang signifikan di akhir pemeliharaan yaitu setelah minggu ke-4. Hal ini berbeda dengan perlakuan P4 yang mengalami penurunan sejak minggu ke-2. Penurunan ini diakibatkan oleh pelunakan bagian thallus sehingga mengurangi bobot basah Gelidium latifolium yang dikultivasi. Bagian thallus yang melunak dipotong agar tidak memengaruhi pertumbuhan bagian yang lainnya. Selisih tertinggi terjadi pada kultivasi P2 di minggu ke-4 sebesar 0,2383±0,11gram, sedangkan selisih pertumbuhan negatif terjadi pada kultivasi P4 di minggu ke-2 sebesar -0,0933±0,37 gram dan kultivasi P3 di minggu ke-6 sebesar 0,0017±0,08 gram (Lampiran 3). 4.2 Laju Pertumbuhan Gelidium latifolium Laju pertumbuhan Gelidium latifolium untuk setiap perlakuan bervariasi baik laju pertumbuhan hariannya maupun laju pertumbuhan relatifnya, ekuivalen dengan pertambahan bobot rata-ratanya. Kultivasi berlangsung selama 42 hari dan pengukuran laju pertumbuhan dilakukan setiap satu minggu sekali. Pemeliharaan makroalga selama 42 pada penelitian ini didasarkan pada kisaran waktu yang dibutuhkan untuk kultivasi makroalga antara 6-8 minggu Indriani dan
5 38 Sumiarsih (1999) dan pemanenan dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum Mukti (1987). Besarnya nilai laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian berkisar antara 0,02-1,06%. Perbedaan laju pertumbuhan harian ini disebabkan oleh perbedaan respon makroalga terhadap perlakuan yang diberikan. Pemberian karbondioksida atau injeksi pada jumlah yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pada lingkungan hidupnya. Berikut adalah grafik laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama kultivasi 42 hari pada perlakuan yang berbeda hari tersaji pada Gambar 12. Gambar 12. Laju pertumbuhan harian dan simpangan baku Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
6 39 Laju pertumbuhan harian perlakuan P4 yaitu injeksi sebanyak cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi sangat fluktuatif, dilihat pada minggu ke-2 terjadi penurunan dari 0,54±0,15% menjadi 0,02±0,85%, namun pada minggu ke-3 mengalami kenaikan menjadi 0,12±0,58% (Lampiran 4). Bila melihat perlakuan P4, besarnya injeksi sebanyak cc menyebabkan lingkungan menjadi lebih asam sehingga nilai ph menurun. Penurunan ph juga terjadi pada P3 dengan besarnya injeksi sebanyak cc, namun tidak sebesar penurunan ph pada P4. Hal ini berbeda dengan P1 dan P2, penurunan ph dapat dinormalkan kembali oleh proses aerasi yang memicu terjadinya resirkulasi (Lampiran 10). Laju pertumbuhan harian selama kultivasi 42 hari dapat diregresikan untuk mengetahui pertumbuhan pada hari-hari selanjutnya. Berikut adalah persamaaan regresi laju pertumbuhan harian control dan perlakuan yang berbeda Gelidium latifolium. Tabel 6. Persamaan regresi linear laju pertumbuhan harian Gelidium latifoloum Kontrol x = t Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 x = t x = t x = t x = t Nilai x adalah besarnya laju pertumbuhan sedangkan t adalah lamanya waktu kultivasi. Persamaan regresi kontrol dan beberapa perlakuan menunjukan nilai yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan terjadi pada P2 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dari semua perlakuan terjadi pada P4 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Kondisi laju pertumbuhan harian pada akhir pertumbuhan setiap perlakuan
7 40 juga mengalami penurunan karena pada minggu tersebut pertumbuhan telah mengalami fase stasioner (Lampiran 4). Laju pertumbuhan harian menunjukkan persentase perbandingan antara bobot saat akhir kultivasi dan bobot saat awal penanaman per satuan waktu. Selain faktor derajat keasaman, salinitas pun memengaruhi laju pertumbuhan Gelidium latifolium. Nilai salinitas tidak hanya berpengaruh pada pertumbuhan makroalga, tapi juga memicu organisme lain untuk tumbuh baik pada lingkungan tersebut. Salah satunya adalah fungi Rhizopus sp. yang menempel pada thallus Gelidium latifolium. Fungi ini menyebabkan penurunan laju pertumbuhan harian kulivasi P4 pada minggu ke-2 dan P3 pada minggu ke-6. Organisme mikro lainnya seperti mikroalga, tumbuh pada akuarium sehingga tampak seperti warna hijau di dinding-dinding akuarim. Metode kultivasi monoline floating efektif untuk pemeliharaan Gelidium latifolium selama penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan (1998) bahwa tingkat pertumbuhan makroalga dengan metode apung adalah sekitar 2,00-3,00%, metode lepas dasar sekitar 1,66-1,75%, dan metode dasar sekitar 0,30-0,53%. Menurut Soegiarto et al. (1978) kisaran laju pertumbuhan makroalga yang baik adalah antara 2-3%. Kultivasi pada setiap perlakuan dalam penelitian belum termasuk pada kategori baik karena laju pertumbuhannya kurang dari 2% sampai akhir pemeliharaannya. Selain laju pertumbuhan harian, Gelidium latifolium juga memiliki pertumbuhan relatif. Berikut adalah diagram laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium selama 42 hari pada setiap perlakuan tersaji pada Gambar 13.
8 41 Gambar 13. Laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi. Besar laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium di akhir kultivasi pada setiap perlakuan yang berbeda dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah P2 sebesar 32,66%, P1 sebesar 29,43%, P3 sebesar 19,82%, K sebesar 16,64%, dan P4 sebesar 7,91% (Lampiran 5). Laju pertumbuhan relatif menunjukkan hubungan presentase bobot saat akhir kultivasi dan bobot saat awal penanaman. Hasil analisis secara statistik dengan selang kepercayaan 95%, menghasilkan bahwa perlakuan K yaitu kontrol memiliki nilai variasi ragam b. Perlakuan P1 yaitu injeksi dan aerasi, P2 yaitu injeksi sebanyak cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) sebanyak cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, serta P3 yaitu injeksi sebanyak cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium
9 42 latifolium, ketiganya masing-masing memiliki variasi ragam d, e, dan c. Perlakuan P4 yaitu injeksi sebanyak cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi memiliki nilai variasi ragam a (Lampiran 8). Nilai variasi ragam c sampai e merupakam jarak peringkat antara satu nilai rata-rata dengan rata-rata lainnya setelah diurutkan. Nilai variasi ragam e memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling tinggi, sedangkan nilai variasi ragam a memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling rendah. Perlakuan K sebagai kontrol berada pada peringkat b artinya perlakuan P1, P2, dan P3 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih tinggi dari perlakuan kontrol sedangkan perlakuan P4 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih rendah. Selain pengujian berdasarkan perlakuan, dilakukan juga analisis statistik berdasarkan waktu kultivasi makroalga. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh lamanya hari tidak berbeda nyata terhadap laju perlumbuhan Gelidium latifolium sehingga tidak diperlukan uji lanjut untuk melihat variasi nilai ragamnya. 4.3 Pemanfaatan Karbondioksida pada Kultivasi Gelidium latifolium Karbondioksida diinjeksikan ke dalam air laut sebagai media kultivasi makroalga dengan aliran yang sama namun lamanya berbeda. Perlakuan P1, P2, P3, dan P4 diinjeksi dengan kecepatan 200 cc/menit dengan lama menit. Berikut diagram nilai besarnya input yang diberikan pada setiap perlakuan tersaji pada Gambar 14.
10 43 Gambar 14. Input pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan : K = tidak mendapatkan injeksi P1 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi. Karbondioksida ( ) merupakan molekul gas yang bisa larut dalam air laut. Karbondioksida berikatan dengan air membentuk senyawa anorganik yaitu asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Semakin banyak yang masuk ke dalam air, jumlah asam pun meningkat. Penelitian yang dilakukan merupakan salah satu aplikasi dari pemanfaatan karbondioksida terlarut yakni memanfaatkan yang berasal dari injeksi untuk pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium. Penelitian ini didukung oleh teori Aresta (2010) bahwa pemanfaatan gas karbondioksida dapat dijadikan sebagai teknologi renewable yakni pengonversian karbon menjadi biomassa tumbuhan akuatik atau terestrial. Injeksi pada perlakuan P1 dan P3 ataupun P2 dan P4 dilakukan dengan kecepatan yang sama namun hasil kelarutanya berbeda. Hal ini
11 44 disebabkan oleh pemberian aerasi pada perlakuan P1 dan P2, sedangkan P3 dan P4 tidak dilakukan pemberian aerasi. Perbedaan perlakuan ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh jumlah gas yang diinjeksi terhadap kualitas air dan respon pertumbuhan Gelidium latifolium. Aerator memberikan masukan gelembung-gelembung udara pada air laut sehingga terjadi sirkulasi dan pergerakan air pada akuarium. Sirkulasi dan pergerakan air memengaruhi jumlah kelarutan gas dalam air laut. Diagram berikut menunjukkan bahwa yang diinjeksikan ke terlarut harian pada setiap perlakuan nilainya berfluktuasi. Gambar 15. Jumlah terlarut harian pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan: K = tidak bisa diukur menggunakan titrasi NaOH karena keadaan basa. P1 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi. Nilai terlarut harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari ke-33 yaitu 37,25 mg/l, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P1 hari ke-
12 45 42 yaitu 19,95 mg/l. Semakin lama waktu injeksi semakin tinggi nilai kelarutannya. Hal ini disebabkan oleh input yang berdifusi dengan air laut lebih banyak. Karbondiksida pada kontrol tidak dapat diukur menggunakan titrasi NaOH karena jumlah karbondioksida sangat sedikit dan terserap sempurna oleh thallus Gelidium latifolium. Selain itu, karbondioksida berubah menjadi bentuk lain yaitu ion bikarbonat ( ). Nilai kelarutan memiliki fase naik dan turun setelah 3 kali injeksi dilakukan. Faktor penggantian air laut pada akuarium yang dilakukan setelah 3 kali injeksi menyebabkan kualitas air menjadi fluktuatif. Berikut adalah persentasi perbandingan total terlarut setiap perlakuan, tersaji pada Gambar 16. Gambar 16. Jumlah total terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium Keterangan : K = tidak mendapatkan injeksi P1 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
13 46 Nilai tertinggi total terlarut dalam air laut adalah pada perlakuan P4 yaitu injeksi selama 15 menit tanpa aerasi dan paling rendah adalah pada perlakuan P1 yaitu injeksi selama 10 menit dan aerasi. Nilainya total terlarut secara berurutan setiap perlakuan dari yang tertinggi sampai terendah adalah P4 441,76 mg/l, P3 391,01 mg/l, P2 360,21 mg/l, dan P1 283,65 mg/l (Lampiran 6). Menurut Effendi (2003) salah satu faktor yang memengaruhi kelarutan adalah tekanan parsial. Tekanan parsial akan berkurang akibat adanya kegiatan fotosintesis dan pemanasan. Kemampuan fotosintesis individu makroalga yang berbeda-beda serta pemanasan pada siang hari menjadi penyebab variasi nilai pada setiap perlakuan. Pengukuran kelarutan dilakukan pada sore hari karena pada waktu tersebut cahaya mulai redup. Fotosintesis memerlukan cahaya matahari untuk mengeksitasi elektron yang terdapat pada klorofil sehingga keadaan elektron dalam klorofil menjadi tidak stabil dan mendesak molekul air terpecah menjadi dan. Ion berperan dalam pembentukan menjadi glukosa melewati reaksi terang. Oleh karena itu, pada saat cahaya mulai meredup efektivitas fotosintesis menurun sehingga dilakukan pengukuran sisa. Kelarutan yang terjadi pada P1, P2, P3, dan P4 telah melebihi batas normal perairan, oleh karena itu sisa yang tidak dapat larut dalam air mengalami difusi dan tertampung pada kantong plastik yang telah diinstalasikan pada akuarium P3 dan P4.
14 47 Karbondioksida sisa merupakan gas sisa yang terbebaskan dari air laut dan tertampung pada penampung plastik. Penampung plastik yang digunakan untuk menangkap dilengkapi dengan keran agar gas yang masuk tidak berdifusi dengan gas dari luar. Konsentrasi gas diukur menggunakan Orsat Apparatus. Pengukuran sisa ini dilakukan hanya pada P3 dan P4 yakni perlakuan injeksi tanpa aerasi. Persentasi jumlah sisa dapat diukur karena tidak terjadi pertukaran dengan gas lainnya yang berada di luar akuarium. Penampungan gas dilakukan setelah selesai injeksi yaitu pukul 10.00, kemudian pengukuran dilakukan pada sore hari bersamaan dengan pengukuran kualitas air. Jumlah sisa harian setiap pemberian injeksi berfluktuasi, namun perlakuan P4 selalu mendominasi P3. Berikut adalah nilai sisa harian yang terukur oleh Orsat Apparatus tersaji pada Gambar 17. Gambar 17. Sisa hasil pengukuran Orsat Apparatus Keterangan : K, P1, dan P2 tidak diukur karena mendapat masukan gas dari luar. P3 = injeksi 2000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
15 48 Nilai sisa harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari ke- 42 yaitu 12,27%, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P3 hari ke-13 yaitu 9,53%. Rata-rata sisa tersisa dari perlakuan P3 sebesar 10,16% dan P4 sebesar 11,73%. Volume air laut sebanyak 8 liter dan injeksi sebanyak 2x100 cc/menit memengaruhi kesetimbangan karbondioksida dalam air laut. Hal ini sesuai dengan Teori Boyd (1988) yang mengategorikan kelarutan di perairan bahwa pada temperatur C berkisar antara 0,45-0,48 mg/l. Besarnya nilai temperatur berkebalikan dengan nilai kelarutan karbondioksida. 4.4 Kualitas Air Penelitian ini melakukan pengukuran beberapa kualitas air, yaitu temperatur, salinitas, dan derajat keasaman (ph). Nilai temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 18. Gambar 18. Parameter temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium Selama 6 minggu pemeliharaan, temperatur air bervariasi antara ⁰C. Perubahan temperatur disebabkan oleh redup terangnya penyinaran matahari.
16 49 Pada hari yang sama nilai temperatur pun sama, karena penempatan posisi akuarium berada di posisi yang terpapar cahaya matahari, namun besarnya tidak fluktuatif karena temperatur ruangan terkontrol oleh AC. Menurut Luning (1990) makroalga mempunyai kisaran temperatur spesifik karena adanya enzim pada tubuhnya. Makroalga dapat tumbuh di daerah tropis pada kisaran temperatur ⁰C dan hidup optimal pada temperatur 28 ⁰C. Gelidium latifolium tidak dapat tumbuh dengan baik jika rentang temperaturnya luas. Tunas thallus mengalami pemberhentian pertumbuhan dikarenakan perubahan temperatur yang fluktuatif. Temperatur juga memengaruhi kelembaban udara di sekitar lingkungan tempat kultivasi. Kelembaban yang tinggi juga tidak begitu bagus untuk pertumbuhan Gelidium latifolium saat kultivasi. Parameter kualitas air yang diukur selanjutnya adalah salinitas. Nilai salinitas semua perlakuan besarnya sama di setiap pengukuran. Nilai salinitas air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 19. Gambar 19. Parameter salinitas air selama kultivasi Gelidium latifolium
17 50 Salinitas yang dianjurkan untuk makroalga adalah salinitas pada kisaran ppt (Zatnika dan Angkasa, 1994). Menurut Dawes (1981) kisaran salinitas yang baik untuk budidaya makroalga berkisar ppt. Soegiarto et al. (1978) pun berpendapat bahwa salinitas yang cocok untuk budidaya makroalga adalah ppt. Salinitas air pada penelitian yang dilakukan berkisar antara Nilai ini masih berada dalam kisaran salinitas yang dianjurkan. Nilai salinitas tersebut relatif tinggi disebabkan oleh tingkat penguapan air dalam akuarium yang cukup tinggi, sehingga dilakukan penambahan air tawar. Penguapan ditandai adanya butiran garam pada dinding akuarium. Menurut Aslan (1998) Gelidium yang hidup di perairan Indonesia adalah jenis yang yang menyukai salinitas tinggi yaitu 33. Parameter kualitas air yang diukur adalah derajat keasaman (ph). Derajat keasaman yang ideal untuk pertumbuhan makroalga yaitu 8-9. Apabila perairan terlalu asam ataupun terlalu basa maka akan menghambat pertumbuhan makroalga (Puslitbangkan, 1991). Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) derajat derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan makroalga yaitu antara 7-9 dengan kisaran derajat derajat keasaman optimum sebesar 7,3-8,2. Nilai derajat keasaman air laut pada setiap perlakuan bervariasi mulai dari yang terendah yaitu 6,3 sampai tertinggi 8,8. Nilai derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 20.
18 51 Gambar 20. Parameter derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium Perlakuan berpengaruh terhadap nilai ph, semakin lama injeksi semakin asam air laut. Selain itu, faktor aerasi pun memberikan pengaruh pada perubahan derajat keasaman. Aerasi bisa mengembalikan derajat keasaman air karena adanya penambahan udara dari luar akuarium terutama oksigen yang bisa menurunkan kandungan asam di dalam air. Menurut Mackereth et al. (1989), derajat keasaman sangat berkaitan erat dengan, semakin tinggi kadar maka semakin tinggi derajat keasamannya dan hal ini juga berlaku sebaliknya semakin rendah maka semakin rendah derajat keasamannya. Pada kondisi asam, jumlah dalam air tinggi disebabkan adanya reaksi dan air menghasilkan asam karbonat sedangkan pada konsidi basa bentuk berubah menjadi ion bikarbonat ataupun karbonat. Selama kultivasi kontrol memiliki ph tertinggi 8,77 dan terendah 8,30. Perlakuan P1 memiliki ph tertinggi 7,50 dan terendah 7,33. Perlakuan P2 memiliki ph tertinggi 7,30 dan terendah 7,07. Perlakuan P3 memiliki ph tertinggi 7,13 dan terendah 6,63. Perlakuan P4 memiliki ph tertinggi 6,63 dan terendah 6,20.
19 Isolasi Fungi Penghambat Pertumbuhan Faktor biologi yang memengaruhi penurunan pertumbuhan Gelidium latifolium adalah fungi. Fungi menempel pada thallus menyebabkan bagian thallus menjadi lunak dan berlendir. Berikut ini adalah gambar makroalga yang terserang oleh fungi pada saat kultivasi (Gambar 21). Rhizopus sp. Gambar 21. Makroalga yang terserang fungi Fungi pada thallus diisolasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar) berbahan dasar kentang untuk mengetahui jenis fungi yang menghambat pertumbuhan. Fungi disimpan pada media tersebut selama satu minggu di dry cabinet sampai terlihat jelas koloni dan hifanya. Berikut adalah gambar fungi hasil isolasi dari Gelidium latifolium (Gambar 22). (a) (b) Gambar 22. Rhizopus sp.; (a) Pengamatan K.Nishimura dan (b) Hasil isolasi pada media PDA Sumber: K. Nishimura 1999 Sumber: Dokumentasi pribadi
20 53 Fungi di atas adalah kapang Rhizopus sp. yang biasa digunakan dalam pembuatan kecap. Kapang tersebut memiliki kemampuan untuk hidup pada salinitas tinggi sehingga bisa hidup pada tubuh makroalga yang hidup di laut. Warna putih (Gambar 21) disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada pada thallus. Pada proses isolasi banyak ditemukan beberapa jenis fungi, tetapi yang lebih dominan adalah Rhizopus sp. Klasifikasi Rhizopus menurut Germain et al. (2006), yaitu Kingdom : Fungi Divisio : Zygomycota Class : Zygomycetes Ordo : Mucorales Familia : Mucoraceae Genus : Rhizopus Koloni Rhizopus sp. berwarna putih berangsur-angsur menjadi abu-abu serta sporangia globus atau sub globus berwarna coklat gelap sampai hitam bila telah masak. Sporangiofor tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, tumbuh berlawanan dan terletak pada posisi yang sama dengan sporangiofora, Bentuk spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder. Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp. tumbuh baik pada kisaran ph 3,4-6 dan membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air fungi lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Hal ini selaras dengan hasil pengamatan yang dilakukan, Rhizopus sp. tumbuh pada thallus makroalga perlakuan P4. Pada perlakuan P4 kualitas airnya lebih asam dibandingkan perlakuan lainnya akibat lama injeksi dan tidak ditambahkannya aerasi. Thallus yang terserang fungi mengalami pembusukan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini disebabkan oleh aktivitas fungi yang tumbuh pada
21 54 thallus. Thallus mengalami perubahan fisik terutama tekstur yang semakin lunak karena terjadi degradasi kadar selulosa (Hidayat et al., 2006). 4.6 Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium Berbagai jenis Gelidium di Indonesia dan negara lain dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik agar-agar. Kandungan agarnya berkisar antara 12-48% tergantung jenisnya, sedangkan kandungan agarnya di Indonesia (Sulawesi) mencapai 30% (Aslan, 1998). Menurut Rasyid et al. (1999) Gelidium sp. memiliki kandungan agar 26,5%. Hasil uji kadar karbohidrat yang dilakukan dalam penelitian berkisar antara 16,40-20,40%. Kadar karbohidrat yang diuji adalah jenis monosakarida yaitu glukosa dan dihasilkan dari hidrolisis pati (amilum). Penentuan kadar karbohidrat kuantitatif dilakukan melaui metode Luff Schrool dengan prinsip dasarnya adalah hidrolisis karbohidrat dalam Gelidium latifolium kering menjadi monosakarida yang dapat mereduksi menjadi (SNI ). Tahapan reaksi yang terjadi adalah : R-COH + CuO Cu + R-COOH + CuO Cu + O Cu + 2KI Cu + 2Cu + + NaI Uji kadar karbohidrat dilakukan sebelum dan sesudah kultivasi. Kadar karbohidrat sebelum kultivasi nilainya sebesar 18,23%, sedangkan setelah kultivasi bervariasi sesuai perlakuannya. Kadar karbohidrat kontrol nilainya
22 55 sebesar 19,40%, P1 sebesar 20,40%, P2 sebesar 19,40%, P3 sebesar 16,87%, dan P4 sebesar 16,40%. Besar kelima nilai kadar karbohidrat setelah kultivasi tersebut tidak terlalu berbeda dengan nilai kadar karbohidrat sebelum kultivasi. Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi Waktu Uji Perlakuan Kadar Karbohidrat Sebelum kultivasi % Sesudah kultivasi K 19.40% P % P % P % P % Kadar karbohidrat pada perlakuan P3 dan P4 merupakan kadar paling kecil dibandingkan yang lainnya. Nilai ini terjadi diperkirakan karena pada P3 dan P4 tumbuh fungi yang memfermentasi sakarida dari bagian thallus makroalga. Menurut Sudarmaji dan Markakis (1977), selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air setelah 24 jam fermentasi, kadar air akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64%. Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi adalah berkurangnya kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai fermentasi 72 jam. Kadar karbohidrat sebelum kultivasi lebih rendah dari K, P1, dan P2, setelah kultivasi dikarenakan sampel yang uji sebelum kultivasi adalah bibit yang memiliki karakteristik thallus lebih muda daripada sampel yang telah dikultivasi. Setelah dikultivasi Gelidium latifolium telah mengalami proses metabolisme dan
23 56 katabolisme sehingga biomassa thallus lebih banyak mengandung karbohidrat hasil pemanfaatan energi cahaya melalui fotosintesis menjadi biomassa. Pengaruh penambahan injeksi pada kultivasi terhadap jumlah C (karbon) organik adalah kaitannya dengan biomassa thallus yang dihasilkan. Karbondioksida merupakan sumber karbon anorganik yang dikonversi ke dalam karbon organik berupa karbohidrat. Apabila bahan baku karbon tersedia di lingkungan secara mudah makan kegiatan fotosintesis yang memanfaatkan karbon anorganik akan berjalan dengan mudah, namun harus didukung dengan ketersediaan faktor lainnya seperti cahaya, nutrien, dan parameter fisik lainnya.
pemeliharaan Gelidium latifolium berlangsung dari bulan Juni sampai Juli Rangkaian penelitian dilakukan di Laboratorium Mikroalga, Surfactant
3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2012. Waktu pemeliharaan Gelidium latifolium berlangsung dari bulan Juni sampai Juli 2012. Kegiatan
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.
3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki
Lebih terperinciHASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis
IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu
Lebih terperinci3. METODOLOGI PENELITIAN
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan, pengamatan laju pertumbuhan Kappaphycus
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar
Lebih terperinciII. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id
II. TELAAH PUSTAKA Koloni Trichoderma spp. pada medium Malt Extract Agar (MEA) berwarna putih, kuning, hijau muda, dan hijau tua. Trichoderma spp. merupakan kapang Deutromycetes yang tersusun atas banyak
Lebih terperinciSMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...
SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan
Lebih terperinciTingkat Kelangsungan Hidup
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.
Lebih terperinci3. BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Juni 2012
11 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Juni 2012 bertempat di Laboratorium Kultivasi Mikroalga di Pusat Penelitian Surfaktan
Lebih terperinciPertumbuhan Rumput Laut
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.PertumbuhanRumputLautSetelah
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan mikroorganisme prokariotik atau eukariotik yang dapat berfotosintesis dan dapat tumbuh dengan cepat serta dapat hidup dalam kondisi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. akar sejati. Tubuhnya menyerupai batang yang disebut dengan thallus dan
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makroalga Makroalga merupakan ganggang yang tidak mempunyai batang, daun, dan akar sejati. Tubuhnya menyerupai batang yang disebut dengan thallus dan hidupnya menempel pada substrat,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya
Lebih terperinci2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga
Lebih terperinciLATIHAN SOAL ULANGAN HARIAN
LATIHAN SOAL ULANGAN HARIAN Mata Pelajaran Materi Kelas/Sem Waktu Guru Sekolah : Ilmu Pengetahuan Alam : Fotosintesis : VIII/2 : 80 menit : Heri Priyanto, S.Si., M.Si : SMP N 4 Kalikajar Wonosobo 1. Perhatikan
Lebih terperinciLAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI DEA FAUZIA LESTARI SKRIPSI
LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI DEA FAUZIA LESTARI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan
4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian
2 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Pada saat penelitian berlangsung suhu dan RH di dalam Screen house cukup fluktiatif yaitu bersuhu 26-38 o C dan berrh 79 95% pada pagi hari pukul 7.
Lebih terperinciPEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )
PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah
Lebih terperinciGambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan bahan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata
Lebih terperinciBY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil
Lebih terperinciGambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang
Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP
Lebih terperinciPERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK
PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. WARNA KULIT BUAH Selama penyimpanan buah pisang cavendish mengalami perubahan warna kulit. Pada awal pengamatan, buah berwarna hijau kekuningan dominan hijau, kemudian berubah
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme
Lebih terperinciKINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN, SURABAYA
Program Magister Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN,
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan
Lebih terperinciMANAJEMEN KUALITAS AIR
MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik
digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,
Lebih terperinciARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM
ARUS ENERGI DALAM EKOSISTEM Transformasi Energi dan Materi dalam Ekosistem KONSEP ENERGI Energi : kemampuan untuk melakukan usaha Hukum Thermodinamika 1 : Energi dapat diubah bentuknya ke bentuk lain,
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij
II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang akan diterapkan yaitu pemakaian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha budidaya ikan pada dewasa ini nampak semakin giat dilaksanakan baik secara intensif maupun ekstensif. Usaha budidaya tersebut dilakukan di perairan tawar, payau,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)
9 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan padat tebar yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari parameter biologi, parameter kualitas air dan parameter ekonomi.
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang
Lebih terperinciBAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Data pengukuran kompos limbah pertanian (basah) dan sampah kota. Jerami Padi 10 3,94 60,60. Kulit Pisang 10 2,12 78,80
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Percobaan 1 : Penentuan bahan baku pupuk organik Penelitian tahap I bertujuan untuk mendapatkan komposisi bahan baku pupuk organik yang berkualitas dari sampah kota dan limbah
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal walaupun secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai
Lebih terperinciTingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Konsentrasi gas CO 2 a. Persentase input CO 2 Selain CO 2, gas buang pabrik juga mengandung CH 4, uap air, SO 3, SO 2, dan lain-lain (Lampiran 4). Gas buang karbondoksida
Lebih terperinciBab V Hasil dan Pembahasan
biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Lebih terperinciIma Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Silase Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Karakter fisik merupakan karakter yang dapat diamati secara langsung, karakter fisik yang diamati pada penelitian ini
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.
Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar
13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.
Lebih terperinciFotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman
Fotografi Cahaya Terhadap Pigmen Warna Tanaman Kasma Rusdi (G11113006) Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014 Abstrak Warna hijau pada daun merupakan salah
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan
Lebih terperinciMacam macam mikroba pada biogas
Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,
Lebih terperinciII. BAHAN DAN METODE
II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Metodologi penelitian sesuai dengan Supriyono, et al. (2010) yaitu tahap pendahuluan
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, ph, NH 3, CO 2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas
Lebih terperinciFaktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis (Fisiologi Tumbuhan) Disusun oleh J U W I L D A 06091009027 Kelompok 6 Dosen Pembimbing : Dra. Tasmania Puspita, M.Si. Dra. Rahmi Susanti, M.Si. Ermayanti,
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan
23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kadar Air Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air biji kakao serta tidak
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tebu ( Saccharum officinarum L.)
3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tebu (Saccharum officinarum L.) Saccharum officinarum L., merupakan spesies tebu yang termasuk dalam kelas monokotiledon, ordo Glumaceae, famili Graminae, dan genus Saccharum
Lebih terperinciPengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan
Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 43 54 ISSN: 2085 1227 Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Teknik Lingkungan,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pertumbuhan tanaman buncis Setelah dilakukan penyiraman dengan volume penyiraman 121 ml (setengah kapasitas lapang), 242 ml (satu kapasitas lapang), dan 363 ml
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. pembagian tugas yang jelas pada sel sel komponennya. Hal tersebut yang
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan tanaman yang mendominasi lingkungan perairan. Morfologi mikroalga berbentuk
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Coba Lapang Paremeter suhu yang diukur pada penelitian ini meliputi suhu lingkungan, kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi produktivitas
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUSUT BOBOT Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu tomat. Perubahan terjadi bersamaan dengan lamanya waktu simpan dimana semakin lama tomat disimpan
Lebih terperinci