4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila. Kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan ikan nila yaitu ph air, temperatur, oksigen terlarut, karbondioksida, amoniak dan alkalinitas (BPPAT DKP 2001). Parameter kualitas air yang diamati meliputi ph air, suhu, DO, CO 2, NH 3 dan alkalinitas. Pengamatan kualitas air meliputi kualitas air kolam asal ikan, kualitas air laboratorium yang belum diendapkan dan kualitas air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari. Hasil pengamatan kualitas air disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Data hasil pengamatan kualitas air Parameter kualitas air Sumber air A B C Standar ph Suhu ( o C) DO (mg/l) Min 4 CO 2 (mg/l) Maks 5 NH 3 (mg/l) 0,1 0,1 0,1 < 0,1 Alkalinitas (mg/l) Sumber standar: BPPAT DKP (2001) *Keterangan: Air A = Air kolam asal ikan Air B = Air laboratorium yang belum diendapkan Air C = Air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari Pada Tabel 6 tampak bahwa, air kolam asal ikan nila memiliki ph 7, suhu 29 o C, DO 4 mg/l, CO 2 4 mg/l, NH 3 0,1 mg/l dan alkalinitas 137 mg/l. Kualitas air laboratorium yang belum diendapkan memiliki ph 6, suhu 29 o C, DO 4 mg/l, CO 2 5 mg/l, NH 3 0,1 mg/l dan alkalinitas 155 mg/l, sedangkan kualitas air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu ph 7, suhu 29 o C, DO 4 mg/l, CO 2 5 mg/l, NH 3 0,1 mg/l dan alkalinitas 166 mg/l. Dari hasil pengukuran tersebut, dapat diketahui bahwa semua parameter kualitas air yang diuji masih berada dalam taraf yang baik untuk kelangsungan hidup ikan nila.

2 Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang digunakan untuk mengukur kualitas air. Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan dan kualitas air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki kisaran suhu yang sama, yaitu 29 o C. Suhu tersebut baik untuk pertumbuhan ikan nila seperti yang dinyatakan Boyd (1982), bahwa kisaran suhu yang baik bagi ikan di daerah tropis adalah o C. Suhu sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme dan kelarutan senyawa-senyawa di dalam air. Peningkatan suhu perairan dapat mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O 2, CO 2 dan sebagainya (Wulandari 2006, diacu dalam Irawan 2007). Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu sebesar 10 o C menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat (Effendi 2003). Hal ini berbanding terbalik dengan adanya penurunan suhu yang dapat mengurangi aktifitas dan proses metabolisme ikan. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan transportasi ikan hidup sistem kering sehingga ikan dapat bertahan lebih lama di dalam lingkungan yang terbatas selama proses transportasi berlangsung. Hasil pengamatan kualitas air kolam asal ikan nila, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapakan selama 2 hari memiliki ph antara 6-7 yang berarti sesuai untuk kondisi lingkungan ikan hidup. Ikan mampu beradaptasi terhadap perubahan ph lingkungan dengan baik ketika perubahan yang terjadi tidak drastis (Nitibaskara et al. 2006). Nilai ph yang ideal untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5 sampai 8,5. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan ikan adalah oksigen. Oksigen sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup, termasuk ikan. Oksigen yang dibutuhkan oleh ikan adalah oksigen terlarut di dalam air. Kandungan oksigen terlarut air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari yaitu 4 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut cukup baik untuk kondisi lingkungan hidup ikan nila. Tanpa oksigen terlarut dalam jumlah cukup maka kehidupan ikan akan terganggu. Oksigen terlarut juga dipengaruhi oleh

3 suhu, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 1 o C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 % (Brown 1987, diacu dalam Effendi 2003). Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung pada toleransi terhadap tekanan lingkungan, suhu air, ph, konsentrasi CO 2 dan hasil metabolisme seperti amoniak. Air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari memiliki kandungan CO 2 berkisar 4-5 mg/l. Hal ini sesuai untuk kehidupan ikan nila, karena menurut Effendi (2003) perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, dengan tetap disertai kadar oksigen yang cukup. Kadar alkalinitas dan amoniak yang diperoleh dari pengamatan kualitas air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari berkisar mg/l dan 0,1 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kadar alkalinitas dan amoniak masih layak digunakan untuk kehidupan ikan nila selama proses adaptasi dan pemuasaan ikan. Hasil pengamatan kualitas air yang telah dilakukan baik untuk air kolam asal ikan, air laboratorium yang belum diendapkan dan air laboratorium yang telah diendapkan selama 2 hari menunjukkan bahwa hasil kualitas air yang diperoleh masih memenuhi syarat kondisi lingkungan hidup bagi ikan nila. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air tersebut tidak mempengaruhi kondisi kesehatan dan proses pemeliharaan, pengadaptasian ikan nila serta pada saat diberi perlakuan dalam proses pembiusan maupun pembugaran. 4.2 Penelitian Pendahuluan Penentuan jumlah es untuk pembiusan Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kecepatan waktu penurunan suhu dan kemampuan es menurunkan suhu media air yang akan digunakan untuk pembiusan ikan nila, pada perbandingan volume media air pembius dan jumlah es tertentu tanpa ikan nila serta untuk mengetahui suhu pembiusan dan fase imotil ikan nila. Hasil penelitian pendahuluan tersebut akan digunakan dalam penelitian utama.

4 Teknologi transportasi ikan hidup yang berkembang saat ini adalah transportasi sistem kering. Transportasi sistem kering ini biasanya menggunakan teknik pembiusan pada ikan atau ikan dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu sebelum dikemas dalam media tanpa air (Suryaningrum et al. 2007). Teknik pembiusan atau imotilisasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan suhu rendah. Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang paling efektif, ekonomis dan aman (Suryaningrum et al. 2007). Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius karena harganya yang relaif murah, mudah didapat dan aman karena tidak mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia. Penurunan suhu dapat dilakukan dengan merendam es batu dalam kantong plastik pada air bak pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan salah satu kunci dalam transportasi ikan hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi sangat rendah sehingga ikan atau crustacea dapat diangkut dalam waktu yang lama dengan tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Berka 1986, diacu dalam Suryaningrum et al. 2007). Jumlah es yang digunakan dalam teknik pembiusan ikan akan berpengaruh terhadap penurunan suhu. Penentuan jumlah es untuk pembiusan ditentukan dengan cara melakukan percobaan perbandingan volume air pembius sebanyak 1 liter dengan jumlah es tertentu. Penyebaran suhu pengesan di dalam akuarium dibantu dengan adanya aerasi. Hasil percobaan tersebut disajikan pada Gambar 4 dan Lampiran 3. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa perbandingan 1 liter air dengan 0,5 kg es (2:1) dan 1 liter air dengan 1 kg es (2:2) hanya dapat mencapai suhu terendah 6 o C pada menit ke-67 dan menit ke-39. Perbandingan 1 liter air dengan 1,5 kg es (2:3) dan 1 liter air dengan 2 kg es (2:4) dapat mencapai suhu terendah yaitu 3 o C pada menit ke-33 dan menit ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan suhu media air yang dapat digunakan untuk suhu pembiusan ikan nila adalah perbandingan volume air dan jumlah es sebanyak 2:3 dan 2:4. Jumlah es sebanyak 1,5 kg dan 2 kg mampu menurunkan media air sebanyak 1 liter sampai suhu 3 o C dibandingkan dengan rasio jumlah es sebanyak 0,5 kg dan 1 kg. Pada penelitian selanjutnya perbandingan air dan es 2:4 akan digunakan untuk penentuan suhu pembiusan ikan nila. Perbandingan tersebut juga digunakan untuk pembiusan ikan

5 nila dengan suhu rendah secara langsung. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan waktu selama percobaan. Perbandingan air dan es 2:1 dan 2:2 tidak dapat menyebabkan suhu air mendekati suhu pembiusan ikan nila. Perbandingan tersebut hanya mampu mencapai suhu terendah 6 o C lalu suhunya meningkat lagi karena es sudah mencair. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah es yang semakin banyak di dalam suatu media air dengan volume tertentu akan dapat menurunkan suhu lebih cepat dan mampu mencapai suhu yang paling rendah. Suhu ( o C) Gambar 4. Penentuan jumlah es pada media air pembius dan rata-rata penurunan suhu Penentuan suhu pembiusan ikan nila Pada percobaan sebelumnya diperoleh hasil terbaik penentuan jumlah es untuk pembiusan ikan nila yaitu perbandingan air dan es 2:4 yang memiliki kemampuan untuk menurunkan suhu media pembius sampai suhu 3 o C sehingga dapat digunakan untuk mengetahui respon ikan nila terhadap berbagai tingkat suhu pembiusan Waktu (menit) 1 L air : 0,5 kg es 1 L air : 1 kg es 1 L air : 1,5 kg es 1 L air : 2 kg es Penelitian selanjutnya yaitu penentuan suhu pembiusan ikan nila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu pembiusan serta mengetahui fase imotil ikan nila. Pada proses pembiusan, tingkah laku ikan diamati hingga ikan pingsan. Hasil penelitian tahap ini diketahui suhu pembiusan untuk ikan nila yang akan digunakan pada penelitian utama

6 Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, maka diperlukan 40 kg es dengan 20 liter air agar suhu air mencapai 3 o C sehingga dapat digunakan untuk membius 5 ekor ikan. Penambahan 5 ekor ikan bertujuan untuk mempermudah pengamatan. Hasil penentuan suhu pembiusan ikan nila disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 5. Tabel 7 menunjukkan bahwa ikan nila mengalami beberapa fase imotil yaitu fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh. Ikan nila mengalami fase pingsan ringan pada kisaran suhu 9-10 o C, fase pingsan berat pada kisaran suhu 7-9 o C dan roboh pada kisaran suhu 6-7 o C. Fase pingsan ringan ikan nila ditandai dengan kondisi reaktivitas terhadap rangsangan luar rendah, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif. Fase pingsan berat ikan nila ditandai dengan kondisi reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak ada, kecuali dengan tekanan kuat, gerak renang lemah dan pergerakan operkulum lambat, sedangkan pada fase roboh ikan nila ditandai dengan kondisi pergerakan operkulum dan sirip sangat lemah, gerak renang tidak ada dan respon terhadap rangsangan dari luar tidak ada. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ikan nila merupakan ikan yang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan. Menurut Setiabudi et al. (1995), perubahan-perubahan tingkah laku tersebut disebabkan adanya perubahan suhu. Terganggunya keseimbangan ikan nila tersebut diduga disebabkan karena kurangnya oksigen dalam darah. Menurut Phillips et al. (1980), diacu dalam Suryaningrum et al. (1997) laju konsumsi oksigen hewan air akan menurun dengan menurunnya suhu media. Penurunan konsumsi oksigen pada lobster akan mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah. Keadaan ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang sehingga menyebabkan bekurangnya aktivitas fisiologis dan lobster menjadi lebih tenang (Suryaningrum et al. 1997). Kekurangan oksigen lebih lanjut akan menyebabkan terganggunya sistem keseimbangan tubuh sehingga ikan menjadi pingsan dan roboh.

7 Tabel 7. Hubungan suhu dengan tingkah laku ikan nila yang dibius dengan suhu rendah Suhu ( o C) Lama waktu pencapaian suhu (menit) 26 0 Kondisi Normal (gerak operkulum cepat, respon terhadap rangsangan luar tinggi dan gerak renang aktif) 22 1 Normal 13 4 Panik (gerak tidak beraturan, respon terhadap rangsangan luar sangat cepat) 10 6 Pingsan ringan (reaktivitas terhadap rangsangan luar rendah, gerak operkulum lambat dan gerak renang aktif) 9 8 Pingsan ringan 8 9 Pingsan berat (reaktivitas terhadap rangsangan luar tidak ada, kecuali dengan tekanan kuat, gerak renang lemah dan pergerakan operkulum lambat) 7 11 Pingsan berat 6 13 Roboh (pergerakan operkulum dan sirip sangat lemah, gerak renang tidak ada dan respon terhadap rangsang luar tidak ada) Pada penelitian selanjutnya, ikan nila yang telah dibius secara langsung akan mengalami 3 macam kondisi yaitu pingsan ringan dengan kisaran suhu pembiusan 9-10 o C, pingsan berat dengan kisaran suhu pembiusan 7-9 o C dan fase roboh dengan kisaran suhu pembiusan 6-7 o C. Kemudian ikan tersebut masing-masing dikemas di dalam kotak styrofoam dengan 4 taraf waktu penyimpanan yaitu 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam. 4.3 Penelitian Utama Penelitian utama yang dilakukan meliputi pengamatan perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung dengan suhu rendah dan kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan. Suhu pembiusan yang digunakan pada penelitian utama ini merupakan hasil dari penelitian pendahuluan, yaitu 9-10 o C, 7-9 o C dan 6-7 o C Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah Ikan nila yang digunakan pada penelitian ini dipilih yang kondisinya sehat dan tidak cacat. Ikan hidup yang akan ditransportasi dipersyaratkan dalam kondisi yang sehat dan tidak cacat. Ikan yang kurang sehat atau lemah mempunyai daya

8 tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama pemingsanan dan pengangkutan lebih besar (Sufianto 2008). Pemeriksaan kondisi kesehatan ikan selalu dilakukan untuk mengurangi tingkat mortalitas yang tinggi. Pada proses pembiusan ini dilakukan juga pengamatan terhadap perilaku ikan nila selama memasuki fase-fase imotil. Hasil pengamatan perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 9-10 o C, 7-9 o C dan 6-7 o C disajikan pada Tabel 8 dan Lampiran 6. Tabel 8 menunjukkan bahwa ikan nila yang dibius secara langsung dengan suhu antara 9-10 o C dapat menyebabkan ikan mengalami fase pingsan ringan pada menit ke-20. Perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu 9-10 o C pada menit ke-0 menunjukkan kondisi dan aktivitas Tabel 8. Perubahan perilaku ikan nila selama proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah 9-10 o C, 7-9 o C dan 6-7 o C Waktu Kondisi (menit) A B C 0 Normal Panik Panik 5 Panik Pingsan ringan Pingsan berat 10 Respon terhadap Ikan berada di dasar rangsangan luar cepat akuarium Roboh 15 Operkulum dan sirip mulai melemah Pingsan berat 20 Pingsan ringan Keterangan : A = Pingsan ringan (9-10 o C) B = Pingsan berat (7-9 o C) C = Roboh (6-7 o C) yang masih normal. Pada menit ke-5 kondisi ikan mulai panik dan gerak mulai tidak beraturan. Menit ke-10 kondisi ikan ditandai dengan gerak renang aktif dan respon terhadap rangsangan luar cepat. Pada menit ke-15 operkulum dan sirip ikan mulai melemah, sedangkan pada menit ke-20 ikan sudah mengalami fase pingsan ringan yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah, gerak renang masih aktif. Hal ini menunjukkan ikan nila merupakan ikan yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi terhadap perubahan lingkungan yang baru. Pembiusan ikan nila secara langsung menggunakan suhu rendah 7-9 o C menyebabkan ikan nila mengalami fase pingsan berat pada menit ke-15. Pada menit ke-0 kondisi ikan nila mulai panik dan bergerak tidak beraturan.

9 Selanjutnya pada menit ke-5 gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar rendah dan gerak renang aktif (pingsan ringan). Pada menit ke-10 ikan berada di dasar akuarium, sedangkan pada menit ke-15 ikan memasuki fase pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak renang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 7-9 o C merupakan suhu ekstrim bagi ikan nila karena pada saat ikan nila dibius menunjukkan respon ikan mulai panik dan bergerak tidak beraturan pada menit ke-0 dan ikan sudah mengalami fase pingsan ringan pada menit ke-5. Ikan nila yang dibius secara langsung dengan suhu rendah 6-7 o C dapat menyebabkan ikan mengalami fase roboh pada menit ke-10. Ikan nila pada menit ke-0 kondisinya panik dan bergerak tidak beraturan. Pada menit ke-5 ikan mengalami fase pingsan berat yang ditandai dengan gerak operkulum lambat, respon terhadap rangsangan luar tidak ada kecuali dengan tekanan kuat dan gerak renang lemah. Pada menit ke-10 ikan nila roboh yang ditandai dengan gerak operkulum sangat lemah, respon terhadap rangsangan luar tidak ada dan gerak renang tidak ada. Ikan yang dibius pada suhu pembiusan 9-10 o C mengalami fase panik pada menit ke-5 sedangkan ikan yang dibius pada suhu pembiusan 7-9 o C dan 6-7 o C mengalami fase panik pada menit ke-0. Fase panik yang terjadi pada masingmasing perlakuan pembiusan dipengaruhi oleh suhu pembiusan yang digunakan (Lampiran 7). Hal ini sesuai dengan pernyataan Karnila dan Edison (2001), bahwa fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan. Lama pembiusan yang terjadi pada masing-masing fase pembiusan berkisar menit. Hal ini disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan berbeda-beda. Pada fase panik, respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian turun sampai mencapai respirasi terendah yang menyebabkan ikan pingsan. Menurut Suryaningrum et al. (2008), tingkat respirasi yang cukup rendah menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring. Ikan nila yang mengalami proses pembiusan secara langsung menggunakan suhu rendah sesuai dengan fase imotilnya diharapkan memiliki ketahanan hidup

10 yang tinggi selama berada di luar lingkungan hidupnya. Ikan nila yang mengalami fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat respirasi dan metabolisme yang rendah Kelulusan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penyimpanan Proses penyimpanan ikan nila dalam kemasan styrofoam dilakukan setelah ikan mengalami pembiusan pada berbagai fase imotil (fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh). Pemingsanan ikan dilakukan dengan metode pembiusan menggunakan suhu rendah secara langsung, yaitu dilakukan dengan memasukkan ikan dalam media air yang suhunya diatur pada suhu pembiusan ikan nila (fase pingsan ringan, pingsan berat dan roboh). Fase pingsan merupakan fase yang dianjurkan untuk pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif akan berhenti (Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005). Ikan yang telah dibius dikemas di dalam kotak styrofoam. Pada bagian bawah kotak styrofoam diletakkan bongkahan-bongkahan es kecil yang dibungkus plastik seberat ± 0,5 kg kemudian dilapisi dengan kertas koran. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan suhu kemasan sama seperti suhu pembiusan ikan nila. Media pengisi kemasan yang sudah didinginkan sesuai dengan suhu pembiusan diletakkan di atas kertas koran. Ikan yang telah pingsan dibungkus dengan kertas koran untuk menghindari menempelnya serbuk gergaji dan mempermudah proses pembugaran, kemudian dilapisi kembali dengan serbuk gergaji dan kemasan ditutup dengan penutup kemasan lalu direkatkan. Kemasan dibongkar setelah ikan disimpan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam kemudian ikan disadarkan (proses pembugaran) di dalam akuarium yang diaerasi secara terus menerus untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Proses pembugaran bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Ikan yang dibugarkan secara umum memiliki aktivitas yang sama, yaitu diawali dengan adanya gerakan operkulum yang sangat lambat kemudian sedikit demi sedikit normal. Kondisi ini dilanjutkan dengan gerakan anggota tubuh yang lain seperti gerakan sirip, kemudian ikan berangsur-angsur dapat berenang normal meskipun masih dalam kondisi lemah. Hasil pengamatan pada saat proses pembugaran disajikan pada Gambar 5 dan Lampiran 8.

11 Proses pembugaran ikan membutuhkan waktu menit. Durasi waktu selama 30 menit tersebut bertujuan untuk menekankan bahwa ikan benar-benar tidak dapat hidup kembali setelah proses penyimpanan. Menurut Achmadi (2005) menyatakan bahwa selama proses pembugaran maka ikan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit dianggap tidak lulus hidup. Pada proses pembugaran udang dan lobster yang hidup akan berenang, mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal kembali setelah berada dalam air selama 30 menit (Suryaningrum et al. 2004). Waktu proses pembugaran (menit) jam 3 jam 6 jam 9 jam Waktu penyimpanan Pingsan ringan Pingsan berat Roboh Gambar 5. Grafik rata-rata waktu proses pembugaran ikan nila setelah penyimpanan Hasil pengamatan kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan selama 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam diperoleh hasil bahwa selama penyimpanan 0 jam ikan nila hidup semua (5 ekor) yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, pingsan berat dan roboh. Ikan-ikan tersebut setelah proses pembugaran selama 15 menit masih dapat bertahan hidup 100 % selama 2 jam. Persentase rata-rata tingkat kelulusan hidup ikan nila setelah penyimpanan 0 jam, 3 jam, 6 jam dan 9 jam disajikan pada Tabel 9 dan Lampiran 9.

12 Tabel 9. Persentase tingkat kelulusan hidup rata-rata ikan nila setelah penyimpanan Fase pembiusan Jumlah ikan nila yang hidup (%) 0 jam 3 jam 6 jam 9 jam Pingsan ringan Pingsan berat Roboh Ikan nila yang dibius pada suhu rendah mencapai fase pingsan ringan, pingsan berat dan fase roboh dalam kemasan kotak styrofoam hanya dapat bertahan hidup selama 6 jam dengan tingkat kelulusan hidup 40 % yaitu ikan nila yang dikemas pada saat pingsan ringan (9-10 o C) (Gambar 6). Hal ini diduga karena ikan tersebut selama proses pembiusan masih dapat menyesuaikan diri dengan suhu pembiusan. Kondisi ini ditandai adanya aktivitas ikan yang masih normal pada saat menit ke-0 dan pada menit ke-5 ikan sudah mulai panik. Penyimpanan selama 3 jam pada saat ikan pingsan ringan memiliki persentase tingkat kelulusan hidup 67 % sedangkan penyimpanan selama 6 jam akan mengakibatkan ikan yang hidup hanya 40 % dan setelah proses pembugaran selama 22 menit dan 30 menit masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Waktu penyimpanan sangat mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan. Ikan yang dikemas selama 6 jam jumlah kelulusan hidupnya lebih kecil dibandingkan dengan ikan yang dikemas selama 3 jam. Rendahnya persentase tingkat kelulusan hidup pada perlakuan lama penyimpanan selama 6 jam diduga karena ikan lebih cepat sadar kembali ketika masih berada di dalam kemasan. Menurut Utomo (2001), pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen masih dapat diserap walaupun sangat sedikit. Tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan kematian beberapa ikan yang dikemas pada kondisi pingsan ringan. Hal ini diduga karena cadangan oksigen yang terdapat pada katup insang dan media pengisi kemasan tidak mencukupi kebutuhan oksigen ikan.

13 Persentase kelulusan hidup ratarata ikan nila (%) Gambar 6. Grafik persentase rata-rata kelulusan hidup ikan nila pada berbagai tingkat pembiusan Ikan yang dikemas pada saat pingsan berat hanya mampu bertahan hidup selama 3 jam dengan tingkat kelulusan hidup 33 % setelah proses pembugaran selama 14 menit dan masih dapat bertahan hidup selama 2 jam. Ikan yang dikemas pada saat kondisi roboh tidak ada yang mampu bertahan hidup selama proses penyimpanan 3 jam, 6 jam dan 9 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini maka durasi penyimpanan tidak diperpanjang sampai 12 jam, karena pada penyimpanan selama 9 jam ikan yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, pingsan berat dan roboh memiliki tingkat kelulusan hidup 0 % (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena ikan mengalami shock pada saat proses pembiusan. Ikan pada kondisi pingsan berat dibius pada suhu 7-9 o C dan ikan pada kondisi roboh dibius pada suhu 6-7 o C dimana ikan langsung mengalami perubahan suhu lingkungan yang sangat berbeda dengan suhu lingkungan hidup ikan nila (14-38 o C), hal ini karena ikan sangat sensitif dengan adanya perubahan suhu air (Subasinghe 1997). 0 Pada kondisi shock ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat mengalami kematian karena pada ikan yang stres akan terjadi peningkatan asam laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu dalam Utomo 2001) jam 3 jam 6 jam 9 jam Waktu penyimpanan Pingsan ringan Pingsan berat Roboh

14 Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam transportasi ikan hidup. Media pengisi kemasan mengalami perubahan suhu sejak dari awal hingga akhir proses penyimpanan. Hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 10. Waktu penyimpanan (jam) Tabel 10. Perubahan suhu rata-rata media pengisi kemasan Pingsan ringan ( o C) Pingsan berat ( o C) Roboh ( o C) Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Pada hasil pengamatan perubahan suhu media pengisi kemasan dapat dilihat bahwa suhu dalam kemasan mengalami perubahan, yaitu berada pada kisaran o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan ringan, suhu 9-14 o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi pingsan berat dan 7-13 o C untuk ikan nila yang dikemas dalam kondisi roboh. Peningkatan suhu media pengisi kemasan diduga akibat mencairnya es selama proses penyimpanan. Penentuan suhu media pengisi disesuaikan dengan suhu imotilisasi ikan nila. Menurut Suryaningrum dan Utomo (1999), diacu dalam Andasuryani (2003), suhu media untuk transportasi sistem kering berkisar atau sama dengan suhu imotilisasi. Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelulusan hidup ikan yang akan ditransportasi dengan sistem kering, sehingga selama transportasi suhu harus dipertahankan sebaik mungkin. Menurut Suryaningrum et al. (1994) suhu akhir media ideal untuk transportasi sistem kering sebaiknya tidak lebih dari 20 o C. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa suhu media dan penyimpanan ikut menentukan ketahanan hidup ikan di dalam media serbuk gergaji dingin. Adanya perubahan suhu yang cukup besar mulai dari awal transportasi sampai akhir transportasi juga mempengaruhi tingkat kelulusan hidup ikan tersebut. Tingginya suhu ini akan menyebabkan ikan sadar dan aktivitas tinggi. Makin tinggi aktivitas ikan, baik aktivitas fisik maupun metabolisme, berarti menuntut ketersediaan oksigen yang siap dikonsumsi. Di dalam media kering ketersediaan oksigen

15 terbatas maka ikan akan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian (Karnila dan Edison 2001). Perubahan suhu yang kecil menyebabkan ikan tetap tenang, tidak banyak bergerak, aktivitas metabolisme dan respirasinya berkurang sehingga diharapkan daya tahan hidup ikan cukup tinggi. Rendahnya metabolisme ikan maka kebutuhan energi untuk aktivitas ikan juga akan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perombakan ATP menjadi ADP dan AMP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan untuk merombak ATP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah. Hal ini menyebabkan kadar oksigen dalam darah ikan tidak turun secara drastis, sehingga ikan mampu hidup lebih lama (Karnila dan Edison 2001). Pada transportasi sistem kering, tingkat kelulusan hidup ikan selain dipengaruhi oleh suhu, juga dipengaruhi oleh tingkat kesehatan ikan yang akan ditransportasikan. Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan dengan kelulusan hidup yang tinggi. Menurut Praseno (1990), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup. Menurut Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), salah satu syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup adalah kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan. Pada penelitian ini, ikan diambil dari kolam ikan kemudian ditransportasikan dan diberok di laboratorium sehingga tingkat kesehatan ikan tidak sebaik jika langsung dikemas di kolam ikan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air Sebagai Tempat Hidup Ikan Bawal Air Tawar Hasil analisis kualitas media air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis kualitas

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Pemeliharaan Lobster Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kondisi lobster air tawar. Air yang digunakan dalam proses adaptasi,

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009)

Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus) Sumber: Kuncoro (2009) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara,

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1 TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR 1 Komariah Tampubolon 1 dan Wida Handini 2 ABSTRAK Penelitian ini mengkaji berbagai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama dilakukan persiapan media uji bahan pemingsan dan hewan yaitu hati batang pisang dan ikan bawal air tawar. Tahap ini juga dilakukan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Persiapan

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Persiapan 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2011 di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR Satria Wati Pade, I Ketut Suwetja, Feny Mentang Pascasarjana Prodi Ilmu Pangan, UNSRAT, Manado lindapade@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama.

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama. 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2011 bertempat di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

Gambar 1. Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)

Gambar 1. Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) merupakan hewan avertebrata air yang memiliki pelindung tubuh berupa rangka eksoskeleton

Lebih terperinci

TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C

TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C TRANSPORTASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) HIDUP SISTEM KERING DENGAN MENGGUNAKAN PEMBIUSAN SUHU RENDAH SECARA LANGSUNG DAN PRATISARI C34050814 DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA

PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA PEMBIUSAN IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) DENGAN SUHU RENDAH SECARA BERTAHAP DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING AURISMARDIKA NOVESA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan November Desember 2013, bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam Jumlah rata rata benih ikan patin siam sebelum dan sesudah penelitian dengan tiga perlakuan yakni perlakuan A kepadatan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING

UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING 58 UJI KETAHANAN HIDUP IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN TEKNIK IMOTILISASI SUHU RENDAH DALAM TRANSPORTASI SISTEM KERING (Survival Test of Tiger Grouper (Epinephelus fuscoguttatus) with

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan Benur udang vannamei yang digunakan dalam penelitian berasal dari Balai Benih Air Payau (BBAP) Situbondo menggunakan transportasi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Metodologi penelitian sesuai dengan Supriyono, et al. (2010) yaitu tahap pendahuluan

Lebih terperinci

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (Cyprinus Caprio-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR

STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (Cyprinus Caprio-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR STUDI TEKNIK PENANGANAN IKAN MAS (Cyprinus Caprio-L) HIDUP DALAM WADAH TANPA AIR I KETUT SUWETJA 1, FENY MENTANG 2, SATRIA WATI PADE 3 1) STAF DOSEN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNSRAT 2) STAF

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan Bulan Januari sampai Maret 2012 bertempat di Laboratorium Basah Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian berjudul Pengujian Biji Pala (Myristica sp.) sebagai Bahan Anestesi Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dilaksanakan di Laboratorium Bahan Baku dan Industri

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4 Pengamatan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Selama Proses Pemingsanan Pengamatan perubahan tingkah laku ikan selama proses pemingsanan dilakukan setiap 15 menit dengan percobaan trial and run

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Pada tahap pendahuluan dilakukan penentuan kemampuan puasa ikan, tingkat konsumsi oksigen,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mempelajari pengaruti suhu pembiusan terhadap aktivitas dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mempelajari pengaruti suhu pembiusan terhadap aktivitas dan 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Suhu Pembiusan Untuk mempelajari pengaruti suhu pembiusan terhadap aktivitas dan kelulusan hidup induk ikan jambal siam di luar habitatnya, beberapa variasi suhu

Lebih terperinci

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK

TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata) ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No 2 Februari 2015 ISSN: 2302-3600 TRANSPORTASI BASAH BENIH NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK BUNGA KAMBOJA (Plumeria acuminata)

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 1. No. 2 Juni 2017

JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 1. No. 2 Juni 2017 KELULUSAN HIDUP IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) SELAMA PENYIMPANAN DALAM MEDIA SERBUK GERGAJI MENGGUNAKAN AIR RENDAMAN HATI BATANG PISANG AMBON (MUSA PARADISIACA) DIAN PUSPITASARI PROGRAM STUDI BUDIDAYA

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan

SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus ) DENGAN METODE PENURUNAN SUHU BERTAHAP UNTUK TRANSPORTASI SISTEM KERING 1 Ruddy Suwandi 2, Afiat Wijaya 2, Tati Nurhayati 2 dan Roni Nugraha 2 ABSTRACT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam ( Pangasius hypopthalmus 2.2. Transportasi Ikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam adalah jenis ikan patin yang diintroduksi dari Thailand (Khairuman dan Amri, 2008; Slembrouck et al., 2005). Ikan patin

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR

APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR APLIKASI RAK DALAM WADAH PENYIMPANAN UNTUK TRANSPORTASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) TANPA MEDIA AIR Shelf Applications in Storage Container for Freshwater Prawn (Cherax quadricarinatus)

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan bulan Agustus sampai September 2011 bertempat di Laboratorium Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Kecepatan moulting kepiting bakau Pengamatan moulting kepiting bakau ini dilakukan setiap 2 jam dan dinyatakan dalam satuan moulting/hari. Pengamatan dilakukan selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR) Perubahan bobot ikan selama masa pemeliharaan diukur dan dicatat untuk mendapatkan data mengenai laju pertumbuhan

Lebih terperinci

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Laju Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi, 1997). Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perilaku Kanibalisme Ketersediaan dan kelimpahan pakan dapat mengurangi frekuensi terjadinya kanibalisme (Katavic et al. 1989 dalam Folkvord 1991). Menurut Hecht dan Appelbaum

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian 2.2 Prosedur Kerja Penelitian Pendahuluan Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Tahap Penelitian Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitlan ^ ^' ' Peiaksanaan penelitian berlangsung di Laboratorium Teknologi Budidaya Perairan Fakuttas Perikanan dan llmu Kelautan Universitas Riau. Penelitian

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) Rukmini Fakultas Perikanan dan Kelautan UNLAM Banjarbaru Email rukmini_bp@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 bertempat di Laboratorium Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat onset, durasi, kematian dan tahapan anestesi Acepromazine (ACP). Selanjutnya, hasil penelitian dengan menggunakan ACP yang diberikan secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

Morfologi ikan jambal siam mempunyai badan memanjang dan pipih, punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat garis lengkung mulai

Morfologi ikan jambal siam mempunyai badan memanjang dan pipih, punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat garis lengkung mulai "4 - a II. TINJAUAN PUSTAKA 2A. \kan Jamba\S\an\ {Pangasius hypophthalmusf) Ikan jambal slam {Pangasius hypophthalmus F) merupakan ikan ekonomis tinggi, karena dagingnya mempunyai citarasa yang khas dan

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Dadi Sukarsa 1. Abstrak

Dadi Sukarsa 1. Abstrak PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI MENGGUNAKAN EKSTRAK ALGA LAUT (Caulerpa sertularioides) DALAM TRANSPORTASI IKAN KERAPU (Epinephelus suillus) HIDUP TANPA MEDIA AIR Dadi Sukarsa 1 Abstrak Ekstrak Caulerpa sertularioides

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

Gambar 4. Uji Saponin

Gambar 4. Uji Saponin BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Kandungan Senyawa Saponin Pada Biji Barringtonia asiatica Biji Barringtonia asiatica memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder triterpenoid dan saponin.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

VI IDENTIFIKASI RISIKO PERUSAHAAN

VI IDENTIFIKASI RISIKO PERUSAHAAN VI IDENTIFIKASI RISIKO PERUSAHAAN 6.1 Sumber-sumber Risiko pada Usaha Pemasaran Benih Ikan Patin PT Mitra Mina Nusantara (PT MMN) dalam menjalankan kegiatan usahanya menghadapi risiko operasional. Risiko

Lebih terperinci

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR PENGGUNAAN JERAMI DAN SERBUK GERGAJI SEBAGAI MEDIA PENGISI PADA PENYIMPANAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR UMI LAILATUL AHDIYAH DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan 2.2 Tahap Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah akuarium dengan dimensi 50 x 30 x 30 cm 3 untuk wadah pemeliharaan ikan, DO-meter, termometer, ph-meter, lakban, stoples bervolume 3 L,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan ketinggian air yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari beberapa parameter uji (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh perlakuan

Lebih terperinci

TEKNIK IMOTILISASI IKAN NILA MENGGUNAKAN EKSTRAK UMBI RUMPUT TEKI MAHARDIKA TRI HANDAYANI

TEKNIK IMOTILISASI IKAN NILA MENGGUNAKAN EKSTRAK UMBI RUMPUT TEKI MAHARDIKA TRI HANDAYANI TEKNIK IMOTILISASI IKAN NILA MENGGUNAKAN EKSTRAK UMBI RUMPUT TEKI MAHARDIKA TRI HANDAYANI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Benih Ikan Lele Rata-rata tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi dicapai oleh perlakuan naungan plastik transparan sebesar

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1. Penelitian Pendahuluan 3.1.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan Kemampuan puasa benih nila BEST sebanyak 30 ekor dapat bertahan hidup dalam keadaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jumlah Konsumsi Pakan Perbedaan pemberian dosis vitamin C mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (P

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

TRANSPORTATION TEST DRY SYSTEM OF JELAWAT (Leptobarbus hoevenii) WITH USING BANANA STEM EXTRACT By:

TRANSPORTATION TEST DRY SYSTEM OF JELAWAT (Leptobarbus hoevenii) WITH USING BANANA STEM EXTRACT By: UJI TRANSPORTASI SISTEM KERING IKAN JELAWAT (Leptobarbus hoevenii) DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRAK HATI BATANG PISANG Oleh: Andika Pratama 1 ), Dewita Buchari 2 ), Sumarto 2 ) Gmail: pratamaandika134@gmail.com

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal , Mei-September 2014, ISSN

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal , Mei-September 2014, ISSN Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.2 Hal.110-116, Mei-September 2014, ISSN 1411-5549 PENGARUH PEMBERIAN SUHU 8 O C TERHADAP LAMA WAKTU PINGSAN IKAN MAS (Cyprinus carpio), IKAN PATIN (Pangasius sp.), IKAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Bobot benih ikan nila hibrid dari setiap perlakuan yang dipelihara selama 28 hari meningkat setiap minggunya. Bobot akhir benih ikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN BANDOTAN (Ageratum conyzoides) PADA TRANSPORTASI BASAH

PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN BANDOTAN (Ageratum conyzoides) PADA TRANSPORTASI BASAH e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume II No 2 Februari 2014 ISSN: 2302-3600 PENERAPAN TEKNIK IMOTILISASI BENIH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN EKSTRAK DAUN BANDOTAN (Ageratum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter) 9 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan padat tebar yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari parameter biologi, parameter kualitas air dan parameter ekonomi.

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh kosentrasi limbah terhadap gerakan insang Moina sp Setelah dilakukan penelitian tentang gerakan insang dan laju pertumbuhan populasi Moina sp dalam berbagai kosentrasi

Lebih terperinci

Pengemasan benih ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) pada sarana angkutan udara

Pengemasan benih ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) pada sarana angkutan udara Standar Nasional Indonesia Pengemasan benih ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) pada sarana angkutan udara ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1 Pertumbuhan benih C. macropomum Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari pemeliharaan disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Pertumbuhan C.

Lebih terperinci

SURVIVAL RATE Wallago lerri THE TRANSPORT SYSTEM IS COVERED WITH DIFFERENT DENSITY. Oleh

SURVIVAL RATE Wallago lerri THE TRANSPORT SYSTEM IS COVERED WITH DIFFERENT DENSITY. Oleh SURVIVAL RATE Wallago lerri THE TRANSPORT SYSTEM IS COVERED WITH DIFFERENT DENSITY Oleh Yongki Hendra 1 ) Prof. Dr. Usman M Tang, MS 2 ) Ir. Rusliadi, M.Si 2 ) Yongki_bkn10@yahoo.com ABSTRAK Wallago lerri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan nila merah adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan nila merah adalah sebagai berikut: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Ikan Nila 1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan nila merah adalah sebagai berikut: Kelas Sub-kelas Ordo Sub-ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2 11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

MORTALITAS BENIH IKAN KOI (Cyprinus carpio) PADA KETINGGIAN DASAR MEDIA GABUS AMPAS TEBU DAN LAMA WAKTU PENGANGKUTAN YANG BERBEDA ABSTRACT

MORTALITAS BENIH IKAN KOI (Cyprinus carpio) PADA KETINGGIAN DASAR MEDIA GABUS AMPAS TEBU DAN LAMA WAKTU PENGANGKUTAN YANG BERBEDA ABSTRACT JPK19.1.JUNI 2014/08/78-89 JURNAL PERIKANAN DAN KELAUTAN ISSN 0853-7607 MORTALITAS BENIH IKAN KOI (Cyprinus carpio) PADA KETINGGIAN DASAR MEDIA GABUS AMPAS TEBU DAN LAMA WAKTU PENGANGKUTAN YANG BERBEDA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

Pengemasan benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) pada sarana angkutan udara

Pengemasan benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) pada sarana angkutan udara Standar Nasional Indonesia Pengemasan benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) pada sarana angkutan udara ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA TUGAS PENGENALAN KOMPUTER ZURRIYATUN THOYIBAH E1A012065 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR

TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR TEKNIK PEMBIUSAN MENGGUNAKAN SUHU RENDAH PADA SISTEM TRANSPORTASI UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) TANPA MEDIA AIR Oleh : Wida Handini C34103009 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan

II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Tahap Penelitian 2.3 Alat dan Bahan Alat dan Bahan untuk Penentuan Kemampuan Puasa Ikan II. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2010. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Basah bagian Lingkungan. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) benih ikan patin yang dipelihara dengan masa pemeliharaan 30 hari memiliki hasil

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahap Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahap Penelitian 9 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2012. Adapun tempat penelitiannya yaitu di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan,

I. PENDAHULUAN. komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lobster air tawar (LAT) saat ini mulai marak dibudidayakan di Indonesia. Awalnya, komoditas ini diminati sebagai lobster hias. Beberapa tahun belakangan, pembudidaya mulai

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci