MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 65/PUU-X/2012

Transkripsi

1

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 65/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi [Pasal 1 ayat (19), ayat (23), ayat (24), Pasal 6, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 44, Pasal 46, dan Pasal 63 huruf c] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) 2. Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Senin, 16 Juli 2012, Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Anwar Usman (Ketua) 2) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota) 3) Hamdan zoelva (Anggota) Ery Satria Pamungkas Panitera Pengganti

3 Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Muhammad Zainal Umam 2. Janses Sihaloho 3. Ridwan Darmawan 4. Riando Tambunan 5. Benny Dikti Sinaga 6. Anton Febrianto 7. Arif Suherman

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 65/PUU-X/2012, dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. Assalamualaikum wr. wb. Sidang kali ini adalah sidang Panel Pendahuluan. Untuk itu, dimohon untuk memperkenalkan diri siapasiapa yang datsng? Silakan. 2. KUASA HUKUM PEMOHON: M. ZAINAL UMAM Terima kasih, Yang Mulia. Nama saya Muhammad Zainal Umam (Kuasa Pemohon). 3. KUASA HUKUM PEMOHON: JANSES SIHALOHO Janses Sihaloho (Kuasa Pemohon). 4. KUASA HUKUM PEMOHON: RIDWAN DARMAWAN Ridwan Darmawan. KETUK PALU 3X 5. KUASA HUKUM PEMOHON: R. TAMBUNAN Riando Tambunan (Kuasa Pemohon). 6. KUASA HUKUM PEMOHON: BENNY DIKTI SINAGA Benny Dikti Sinaga (Kuasa Pemohon). 7. KUASA HUKUM PEMOHON: ANTON FEBRIANTO Anton Febrianto (Kuasa Pemohon). 8. KUASA HUKUM PEMOHON: ARIF SUHERMAN Arif Suherman (Kuasa Pemohon).

5 9. KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Silakan untuk membacakan permohonannya ya. Tidak perlu itu dibaca seluruhnya. Ya, pokok-pokoknya saja ya yang penting. Silakan. 10. KUASA HUKUM PEMOHON: JANSES SIHALOHO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Adapun permohonan kami adalah uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Pemohon di sini adalah Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu yang diwakili oleh drg. Ugan Gandar selaku Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina. Dan yang kedua, Noviandri, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu yang merupakan Ketua dan Sekjen Federasi eh, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu sebagai Pemohon I. Dan Pemohon II adalah Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Bapak Faisal Yusra. Adapun pokok-pokok permohonan kami adalah yang pertama adalah Pasal 1 angka 23, hal mana di sini dinyatakan bahwa badan pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu migas (minyak dan gas bumi). K ami berpandangan bahwa Pasal 1 angka 23 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Terus, yang selanjutnya, Pasal 1 angka Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46, dan itu, Yang Mulia, yang yang pertama. Nah, terus yang kedua, kami juga menilai bahwa Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah konstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Tahun Sejauh secara jelas menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir harus dilaksanakan dan dijamin oleh negara atau dengan tegas menyatakan bahwa BUMN diberikan hak prioritas dalam pengelolaan minyak dan gas bumi. Di Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a. badan usaha milik negara, b. badan usaha milik daerah, c. koperasi, d. badan usaha swasta. Para Pemohon menilai bahwa pelaku-pelaku usaha di sini, hak konstitusionalnya sejauh yang BUMN, dalam hal ini Pertamina diprioritaskan. Artinya, kalau umpamanya Pertamina mampu mengelola minyak dan gas bumi, baru tidak perlu dilakukan oleh badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha swasta. Karena fakta sekarang

6 pengelolaan migas di Indonesia dikuasai oleh migas asing, padahal Pertamina mampu untuk mengelola itu. Selanjutnya, kami juga menilai bahwa Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang -Undang Dasar Pasal 10 undang-undang a quo menyatakan bahwa badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu dilarang melakukan kegiatan usaha hilir. Badan usaha yang melakukan kegiatan usaha hilir tidak dapat melakukan kegiatan usaha hulu. Kami menilai, Yang Mulia bahwa pasal ini merupakan memecah bentuk usaha hulu sektor hulu, dan hilir, akan memperlemah badan usaha milik negara, dalam hal ini Pertamina. Dikarenakan undangundang ini, kami melihat bahwa sekarang Pertamina sudah dipecahpecah menjadi 21 anak perusahaan. Hal mana sebagaimana dalam gugatan kami tidak BUMN anak perusahaan Pertamina tersebut tidak sepenuhnya lagi 100% milik negara. Bahkan dari info yang berkembang di beberapa media, beberapa anak perusahaan Pertamina sendiri dalam waktu dekat akan diprivatisasi, Yang Mulia. Bahwa dalam praktik global, pemisahan sektor hulu, dan hilir, serta pembentukan anak perusahaan, justru sangat bertentangan dengan fenomena big is beautiful dalam menjalankan industri perminyakan yang notabene high capital, high technology, dan high risk. Hal ini dibuktikan beberapa perusahaan-perusahaan besar, seperti Exxon merger dengan Mobil, Total merger dengan Fina, dan sebagainya. Padahal perusahaan-perusahaan migas tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar. Artinya, kalau umpamanya Pertamina dipecah, nanti akan sangat susah untuk berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan migas dunia yang notabene memperkuat badan usaha perusahaan itu sendiri. Selanjutnya, dilanjutkan rekan. 11. KUASA HUKUM PEMOHON: RIDWAN DARMAWAN Baik. Selanjurnya bahwa Pasal 63 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Bahwa Pasal 63 huruf c undang-undang a quo menyatakan pada saat undang-undang ini berlaku, (a) dianggap dibacakan, poin (b) dianggap dibacakan, poin (c) huruf c, semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan. Bahwa Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 menyatakan, ayat (3), Bumi dan air dan kek ayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

7 Bahwa pemberlakuan kontrak-kontrak yang sedang melakukan pelanggaran terhadap konstitusi haruslah demi haruslah batal demi hukum tanpa harus habis jangka waktunya. Karena pemberlakuan kontrak-kontrak karya atau kontrak-kontrak bagi hasil antara negara dengan atau pertamina dengan perusahaan-perusahaan minyak, gas dunia itu hampir semuanya memakan waktu yang cukup lama. Sehingga jika kemudian pasal berlakunya Pasal 63 huruf c undang-undang a quo, maka akan sangat membahayakan cadangan kekayaan alam Indonesia yang vital. Sementara kekayaan itu sendiri tetap disedot dan diambil oleh pihak luar dan tanpa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika dihubungkan dengan beberapa alasan-alasan atau logika dalam permohonan kami sebelumnya. Dimana harusnya asas Pacta Sunt Servanda atau kesucian berkontrak sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1338 juncto Pasal 1320 BW dalam hal haruslah diartikan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi. Artinya, logika sederhananya, penerapan Pasal 63 huruf c undang-undang a quo adalah adanya potensi kerugian yang nyata bagi rakyat negara. Dalam hal ini, ketika tadi pemberlakuannya 30, 20 tahun kemudian, jika MK kemudian menyatakan ada proses pemberlakuan yang kontrak-kontrak itu melanggar konstitusi, maka juga pemberlakuannya itu harus dinyatakan batal demi hukum, gitu. sehingga asal asas Pacta Sunt Servanda itu harus dikecualikan ketika proses pemberlakuan kontrak-kontrak karya itu berdasarkan sebuah undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Migas ketika dinyatakan undang-undang yang menjadi dasar kontrak itu inkonstitusional, maka kami juga meminta undang-undang kontrak-kontrak itu juga harus dinyakatakan batal demi hukum. Selanjutnya. 12. KUASA HUKUM PEMOHON: R. TAMBUNAN Kami lanjut dengan petitum, Yang Mulia. Bahwa berdasarkan yang telah kami uraikan sebelumnya sebagai dalil kami dengan ini, kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan sebagai berikut. 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian ini. 2. Menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 63 huruf c Undang -Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 136 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 136 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

8 4. Menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 44, Pasal 1 angka 24, Pasal 46, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, dan Pasal 63 huruf c Undang -Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 136 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. 5. Menyatakan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 136 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian, Yang Mulia. Kami kembalikan. 13. KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dari segi format, bentuk sistematika permohonan sudah cukup bagus, walaupun masih ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk diperbaiki dan nanti Majelis Panel akan menyampaikan beberapa catatan. Yang pertama dari saya bahwa pasal yang diuji ada 9 pasal, paling tidak 9 norma dalam 9 pasal. Dimana diakui juga bahwa dari ke-9 pasal yang diuji itu ada 3 pasal yang pernah diuji dan diputus ya, walaupun diakui sendiri oleh Pemohon ada alasan yang berbeda dari alasan-alasan yang pernah diajukan dalam permohonan ke dalam putusan MK sebelumnya. Namun demikian, ya kiranya nanti supaya dielaborasi lebih lanjut, sehingga alasan-alasan yang menjadi dasar permohonan para Pemohon berbeda dengan alasan-alasan yang diajukan dalam permohonan sebelumnya. Kemudian dari amar, itu tidak perlu itu dicantumkan pasal yang menjadi batu uji di dalam Undang-Undang Dasar 1945 cukup mencantumkan UUD Yang ketiga, antara petitum 2 dan 3 itu tidak perlu dipisah sesuai dengan pasal yang dijadikan batu uji cukup disatukan saja. Jadi, dari semua pasal yang diuji. Untuk sementara dari saya, kemudian selanjutnya, Yang Mulia Pak Fadlil. 14. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Saudara Pemohon, dengan tidak bermaksud mengulang kembali apa yang sudah disampaikan oleh Yang Mulia Ketua yang menyatakan bahwa struktur permohonan ini memang sudah sesuai. Sekiranya masih ada itu adalah soal pengorganisasian argumentasi-argumentasi yang terdapat di dalamnya.

9 Yang pertama adalah bahwa posita yang di dalam permohonan ini dikelompokan menjadi 5 isu yang ditandai dengan I sampai dengan V ya kalau enggak salah ya V betul V ini sudah saya cek V. Ini diorganisasi ke dalam suatu argumen bahwa pasal itu kemudian dikategorisasi kembali di akhir simpulnya atau bahkan pada petitumnya menjadi 2 menjadi 2. Ini kemudian mengacaukan ketika menjadi 2 itu. Satu misalnya, ada kelompok Pasal 1 angka 23, kemudian loncat Pasal 44, lalu Pasal 1 angka 24 itu ya itu dikelompokan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar. Sementara Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6-nya dikelompokkan bertentangan dengan 28D, ya kan? Ini inilah yang kemudian benang merahnya menjadi agak susah. Mengapa susah karena ternyata apa yang diuraikan di dalam positanya ini terutama pasal-pasal terhadap pasal-pasal yang pernah diuji itu tidak ada emphasize-nya mengenai alasan berbeda alasan konstitusionalitas berbedanya di mana, gitu ya. Ini ada kesan masih agak enggak distinct di dalam membedakannya itu enggak enggak jelas benar apa perbedaannya? Dan kalau toh sudah ada, itu tidak bersifat konstitusional, tapi menggunakan istilah Anda, Fakta-faktanya yang berbeda. Ini soal konstitusionalitas, mengapa Anda menyuguhkan kepada Hakim soal fakta-fakta? Bahwa fakta itu kalau perlu itu berangkat dari suatu dasardasar konstitusionalitas. Sehingga fakta empiriknya itu seperti itu kan mestinya kan begitu? Lha ini hilang. Ada missing link di sini. Hubungannya di mana fakta itu dengan soal konstitusionalitas karena tidak dibangun? Oleh karena itu, silakan dibangun kembali kalau memang Anda merasa perlu untuk diperbaiki, dibangun kembali itu. Pertama adalah soal-soal yang menjadi alasan konstitusionalitas yang menurut Anda itu berbeda. Apakah perbedaannya itu sudut pandang Anda terhadap pasal yang dulu pernah dijadikan batu uji yang sama? Atau memang ada perkembangan konstitusionalitas yang baru? Sehingga pasal itu menjadi enggak relevan. Katakan saja, Putusan MK yang dulu itu, sekarang sudah enggak relevan. Oleh karena itu, Anda memandang penting untuk mengajukan re istilah Anda lagi ini, Rejudicial review. Kalau tidak ada yang baru, ngapain? Sekali lagi, perbedaannya itu terletak pada pasal yang menjadi batu uji itu. Atau perspektif Anda mengenai meskipun pasalnya yang sama, tapi manakala dilihat dari sudut pandang tertentu yang Anda punya, pasal itu menjadi tidak relevan, sehingga harus diuji ulang, kan gitu? Kemudian berikutnya, saya mau masuk kepada pasal-pasal yang menurut Anda baru, pasal-pasal baru yang belum pernah diujikan, yang menurut Anda bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Ini yang

10 tadi saya katakan Anda apa namanya menyebutkan menjadi lima kelompok argumentasi, tapi setelah sampai kesimpulan dan ujungnya beda. Satu, Pasal 33 ayat (2) eh, ayat (3) ya, di belakang itu? Ayat kalau enggak salah ayat (2), (3), tapi berikutnya Pasal 28D ayat (1). Kalau Pasal 28D, itu kan, banyak soal di situ. Di situ ada ketidakpastian hukum, ada ketidakadilan, ada soal perlindungan. Ini eksplorasinya argumentasi konstitusional di dalam hal yang terkait dengan pasal itu, enggak jelas. Yang paling banyak yang saya temukan ya, ketidakpastian. Ketidakpastian, ketidakadilan. Tapi lagi-lagi, Anda terjebak pada soal-soal yang konkret. Seperti bukan soal norma tapi seperti di peradilan umum. Katakan misalnya di sini, untuk elaborasi Pasal 1 angka 23, 44, 1 angka 24, dst. bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), ayat (3), itu Anda di sini simpulnya, terlanggarnya hak menguasai. Lalu, Anda menyebutnya ini sepertinya Anda ingin berpendapat bahwa itu dimulakan dari dipisahkannya hulu dan hilir yang dulu kita mengenal istilah bundling, unbundling itu. Ini di mana soal konstitusionalitasnya? Anda bilang, Berpotensi terjadinya korupsi pada sektor minyak dan gas bumi. Bukannya itu soal konkret? Kalau soal konstitusional, potensinya sebenarnya potensi terlanggarnya konstitusionalitas ketentuan itu. Bukan ini menyebabkan terjadinya perbuatan yang apa namanya koruptif, misalnya. Lalu, yang angka 2, Pasal 9 ayat (1), sama lagi, lagi-lagi Pasal 33 ayat (2). Lalu, Anda konstruksikan di sini bahwa Pasal 9 ayat (1) sepanjang dimaknai adanya skala prioritas, tapi rumusannya di petitum, suruh batalkan semuanya. Okelah, itu sekarang tanya kalau, kalau saya uraikan itu sangat banyak. Itu satu gambaran saja. Saya berharap, dari sampel gambaran ini, Anda bisa mengkonstruksikan kembali dan jangan lupa, konstruksinya itu harus didasarkan pada soal-soal konstitusionalitas norma. Andainya pun Anda itu menggunakan fakta, tapi jangan lupa bahwa fakta itu merupakan satu evidence saja dari suatu rancunya konstitusionalitas pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 ini, harus dari situ. Dan kalau mau dibikin lima kategorisasi pertentangannya, mengapa ini akhirnya jadi dua? Oh, ini dijadikan satu saja enggak jadi soal dengan tidak usah menyebut batu ujinya masing-masing, toh semuanya bersumber dari satu konstitusi sebagai sistem. Oke, saya kira dari saya itu saja. Kalau soal struktur, okelah, struktur... apa namanya... permohonan. Tapi soal content, kaitmengaitnya content satu sama lain dan kait-mengaitnya content itu dengan petitum menjadi kehilangan benang merahnya, gitu. Dan sekali lagi, Anda terjebak ke dalam satu kasus konkret, seperti peradilan umum ya. Oke, terima kasih atas perhatian Anda. Terima kasih, Pak Ketua.

11 15. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Ya, saya menyambung dari Pak Yang Mulia Ketua dan Hakim Fadlil mengenai isu dalam permohonan ini. Mungkin sebaiknya Saudara mengelompokkan isu-isu pokok dalam permohonan ini, sehingga lebih gampang dicerna. Karena antara satu pasal dengan pasal yang lain itu kait-mengait. Yang saya baca, inti permohoan Saudara pertama adalah keberatan atas pemisahan antara hulu dan hilir. Itu yang terbagi dalam banyak pasal yang menurut Saudara itu adalah bertentangan dengan Konstitusi, efektivitas penguasaan negara atas sumber daya alam. Coba Saudara uraikan itu secara lebih fokus ya tentang kenapa masalah pemisahan hulu dan hilir itu bertentang dengan pengusaan negara ya efektivitas penguasaan negara? Itu isu yang pertama yang dari yang saya baca dari uraian Saudara. Kemudian, yang kedua adalah keberatan terhadap BP Migas dan BPH Migas yang menurut Saudara itu menimbulkan korupsi. Apa kaitannya dengan Konstitusi, gitu? Apa ke mana anunya jadi hubungannya, gitu? Ya, korupsi persoalan lain, itu memang merugikan negara dan merugikan rakyat. Tapi, apakah dengan demikian di Pertamina tidak akan ada korupsi kalau dialihkan misalnya, kalau tidak ada BP Migas? Ya, Saudara harus uraikan secara jelas. Kenapa BP Migas ini menjadi tidak tidak konstitusional untuk mengatur hulu dan hilir ya, untuk membuat regulasi mengatur hulu dan hilir? Kenapa dia menjadi tidak konstitusional, gitu? Jadi, itu kelompok isu yang kedua. Kelompok isu yang ketiga adalah mengenai dimungkinkannya perusahaan swasta untuk ikut terlibat dalam bisnis hulu dan hilir. Yang Saudara minta adalah diprioritaskan BUMN, ya kan? Yang tadi dikaitkan dengan petitum, itu tidak sinkron. Di positanya itu adalah secara bersyarat, di petitumnya dibabat habis, gitu. Mana yang dipakai? Ya, mana yang dipakai? Atau mungkin maksud Saudara ingin kalau pasalpasal ini semua bermasalah, seluruh undang-undang ini menjadi enggak ada gunanya. Ya, arahkan saja ke situ kalau memang itu yang dikehendaki. Menguraikan pasal satu per satu secara keseluruhan, inti undang-undang ini bermasalah, gitu. Diuraikan satu per satu, fokus ke situ. Bahwa keseluruhan pasalpasal, a sampai z Saudara uraikan itu, itu dapat menghilangkan pengusaan negara. Atau mendegradasi sedemikian rupa, penguasaan negara terhadap kekayaan alam yang merupakan Pasal 33. Saudara harus bisa menguraikan secara apa secara sistematis seluruh itu, sehingga sampai pada kesimpulan itu. Jadi, sekali lagi, perlu Saudara apa karena kalau BP Migasnya inkonstitusional, kemudian hulu dan hilirnya inskonstitusional,

12 ya undang-undang ini menjadi enggak menjadi pincang kalau dipertahankan. Ndak ada gunanya Saudara menguji pasal peralihan, pincang. Kemudian, yang lain juga (suara tidak terdengar jelas) lainnya. Saudara hanya minta di Pasal 1 ayat (19) itu, Lontrak kerja sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain. Itu berarti Saudara hanya tidak setuju terhadap bentuk kontrak kerja sama lain. Kalau dilihat rumus di tulisan Saudara dan saya tetap setuju dengan kontrak bagi hasil. Ini yang Pasal 1 angka 19. Terakhir, isu yang Saudara kemukakan adalah masalah pasal peralihan. Pasal peralihan seharusnya tidak diberla seharusnya yang lama itu langsung tunduk pada undang-undang ini. Padahal undangundang ini sendiri Saudara keberatan. Di mana nyambungnya logikanya? Jadi kalau sudah pasal-pasal ini Saudara batalkan, maka tentu pasal peralihan juga menjadi tidak berarti karena pasal-pasal Saudara uji menjadi seandainya dikabulkan. Seandainya dikabulkan menjadi tidak memiliki kekuatan hukum. Jadi itu Saudara-Saudara sekalian, Saudara Pemohon. Sekali lagi saya perlu merumuskan kembali, kosentrasi kepada isu-isu pokok, khususnya langsung dikaitkan dengan bertentangan dengan konstitusi. Terima kasih. 16. KETUA: ANWAR USMAN Para Pemohon, itu masukan dari Majelis Panel cukup banyak, ya. Namun demikian, tentu saja terserah dari Para Pemohon, apakah mau diterima keseluruhannya, atau sebagaian, atau misalnya tetap dengan permohonan? Itu wewenang dari Para Pemohon. Yang pasti Mahkamah akan memberi kesempatan selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Ya tidak perlu menunggu 14 hari, kalau bisa dalam waktu dua, tiga hari. Ada hal-hal yang ingin disampaikan sebelum sidang ditutup? 17. KUASA HUKUM PEMOHON: JANSES SIHALOHO Baik, terima kasih Yang Mulia. Tentunya kami pertama-tama mengucapkan terima kasih atas masukan dan nasihatnya, tentunya sangat berguna untuk perbaikan kami. Yang artinya, kami akan memperbaiki, Yang Mulia. Nah terus yang kedua, Yang Mulia. Kami juga sepakat semua apa yang disampaikan Hakim Konstitusi Prof. Hamdan Zoelva bahwa memang isu yang digugatan kami itu adalah satu, keberadaan BP Migas dan BPH Migas, masalah prioritas BUMN, yang ketiga unbundling, dan selanjutnya masalah kontrak lainnya dan pasal peralihan, Yang Mulia.

13 Terkait dengan tadi yang disampaikan Yang Mulia juga, memang kami juga ada kekeliruan di salah satu petitum. Yang kami maksudkan adalah Pasal 9 ayat (1) itu seharusnya di petitum yang kami maksudkan adalah konstitusional bersyarat, Yang Mulia. Mungkin itu saja, Yang Mulia. Terima kasih. 18. KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dengan demikian, sidang dinyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 16 Juli 2012 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d Paiyo NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.