HASIL PENELITIAN. Kondisi Kualitas Air

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL PENELITIAN. Kondisi Kualitas Air"

Transkripsi

1 HASIL PENELITIAN Kondisi Kualitas Air Kualitas Air pada Tahap Eksplorasi Salinitas yang digunakan sebagai perlakuan didasarkan pada penelitian pendahuluan yang menghasilkan petunjuk batas kisaran optimal bagi pertumbuhan larva. Sejalan dengan saran D Abramo dan Brunson (1996 a ) yang menjelaskan bahwa larva dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas 9 19 ppt. Hasil rataan dan simpangan baku nilai keseluruhan parameter kualitas air percobaan sistem produksi akuatik tahap eksplorasi atau tahap awal setiap perlakuan disajikan pada Tabel 6; sedangkan rincian data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 6. Rataan dan simpangan baku parameter fisika-kimia air serta tolok ukur setiap perlakuan pada sistem produksi tahap eksplorasi Para meter Satuan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Kisaran Kelayakan Suhu o C 29,0 + 0,5 29,3 + 0,7 29,3 + 0,4 29,7 + 0, DO ppm 7,19 + 0,16 6,91 + 0,33 6,77 + 0,42 6,73 + 0,36 > 5 BOD5 ppm 1,53 + 0,71 1,59 + 1,29 1,15 + 1,15 2,10 + 0,95 - ph - 7,56+ 0,20 7,59 + 0,28 7,59 + 0,23 7,60 + 0,23 7,2 8,4 CO2 ppm 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 < 10 NH3-N ppm 0, ,002 0, ,001 0, ,005 0,094+ 0,001 0,1 NO2-N ppm 0, ,000 0, ,000 0, ,000 0, ,000 0,1 H2S ppm <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 nol Parameter kualitas air yang merupakan faktor pengendali yakni suhu, selama penelitian suhu media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturutturut adalah 29,0 0 C; 29,3 0 C; 29,3 0 C dan 29,7 0 C. Rentang nilai suhu media pemeliharaan berkisar antara C. Menurut kajian Mohanta (2000) dan Spotts (2001), udang galah dapat hidup pada suhu antara C, dengan suhu optimal C. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan suhu media pemeliharan selama penelitian mendukung pertumbuhan yang optimal. Hasil pantauan memperlihatkan kecenderungan terjadinya peningkatan suhu

2 60 dengan naiknya salinitas perlakuan. Suhu juga merupakan parameter fisik air yang sejauh ini diketahui berpengaruh langsung terhadap seluruh tingkat proses biologis organisme dan potensial mempengaruhi laju perkembangan larva. Kandungan oksigen terlarut merupakan faktor pembatas dalam mendukung optimalisasi kehidupan organisme perairan. Selama penelitian, kandungan oksigen terlarut media mulai dari nperlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah 7,19 ppm; 6,91 ppm; 6,77 ppm dan 6,73 ppm. Rentang kandungan oksigen terlarut pada media pemeliharaan berkisar antara 6,73-7,19 ppm. Khusus pada stadia larva, dari berbagai hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa kandungan oksigen terlarut di atas 5 ppm cukup memadai untuk mendukung kehidupan larva udang galah (Law et al., 2002). Batas bawah kandungan oksigen terlarut yang membahayakan bagi udang galah adalah di bawah 5 ppm. Di bawah nilai ini udang mampu hidup pada kondisi oksigen rendah, namun hanya dalam waktu yang singkat. Dengan demikian dapat dikatakan kandungan oksigen terlarut selama penelitian dipandang mampu mendukung pertumbuhan optimal, dengan kecenderungan penurunan kandungan oksigen terlarut seiring dengan naiknya salinitas perlakuan. Nilai ph berlaku sebagai indikator adanya kelarutan bahan toksik pada media pemeliharaan. Selama penelitian, nilai ph media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 7,56; 7,59; 7,59; dan 7,60. Rentang nilai ph pada media pemeliharaan berkisar antara 7,56-7,60 satuan ph. Nilai ini masih merupakan nilai ideal bagi pertumbuhan larva udang galah karena masuk dalam kisaran ph optimal bagi udang galah seperti yang disarankan oleh beberapa pakar, baik oleh Spotts (2001) yaitu antara 7,2-8,4; maupun oleh Chen dan Chen (2003) yaitu pada kisaran 7,0-8,5. Berdasarkan beberapa kajian dinyatakan bahwa kesimbangan asam-basa udang air tawar akan terganggu bila nilai ph media pemeliharaan terlampau rendah (Chen dan Lee, 1997). Selama penelitian terlihat adanya kenaikan ph seiring dengan naiknya salinitas perlakuan. BOD 5 yang sangat rendah pada penelitian ini mengisyaratkan bahwa tidak ada masalah pembusukan ataupun perombakan bahan organik. Selama penelitian, nilai BOD 5 media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah 1,53 ppm; 1,59 ppm; 1,15 ppm dan 2,10 ppm. Rentang nilai BOD 5 pada media

3 61 pemeliharaan berkisar antara 1,15-2,10 ppm dan memperlihatkan adanya kecenderungan naiknya nilai BOD 5 berkaitan dengan naiknya salinitas perlakuan yang diikuti dengan menurunnya oksigen terlarut; kecuali pada perlakuan 3. Pada perlakuan 3, nilai BOD 5 lebih rendah dibanding perlakuan 2 dan perlakuan 4. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pada nilai oksigen yang rendah, kemampuan badan air untuk melakukan perombakan atau dekomposisi bahan organik menjadi rendah. Sehingga pada kondisi seperti itu, nilai BOD 5 dipastikan meningkat. Walaupun kondisi media pemeliharaan belum tercemar, tapi rataan bahan organik ini berpotensi menjadi sumber gas-gas toksik. Kandungan karbondioksida (CO 2 ) bebas dalam air merupakan fungsi dari aktivitas biologis organisme, khususnya respirasi dan proses dekomposisi yang berada dalam perairan tersebut. Nilai CO 2 bebas yang terpantau selama penelitian pada media mulai perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4, berada pada nilai yang sama yaitu 2,0 ppm. Menurut Boyd (1998), nilai CO 2 bebas di bawah 10 ppm, masih berada pada kisaran yang tidak membahayakan bagi kehidupan organisme dalam sistem akuatik. Kandungan CO 2 bebas yang terlalu tinggi pada media pemeliharaan akan memberi efek yang memabukkan pada organisme akuatik; namun efek ini dapat dikurangi dengan adanya kelarutan oksigen dalam konsentrasi yang memadai. Senyawa ammonia yang terdapat pada suatu perairan adalah produk akhir dari proses metabolisme organisme di perairan tersebut, yang umumnya hadir baik dalam bentuk ion NH + 4 maupun dalam bentuk NH 3 -N yang lebih toksik. Toksisitas senyawa NH 3 -N ini mampu menekan pertumbuhan, meningkatkan frekuensi ganti kulit (Chen dan Kou, 1992), serta tercatat mempengaruhi kapasitas osmoregulasi pada Homarus americanus (Young-Lai et al., 1991) bahkan tidak jarang menimbulkan kematian (Wang et al. 2004). Selama penelitian, konsentrasi NH 3 -N media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 0,098 ppm; 0,097 ppm; 0,096 ppm dan 0,094 ppm; dengan kecenderungan semakin menurun dengan naiknya nilai ph media. Pada kondisi seperti ini, Tomasso (1994) dan Cavalli et al. (2000) menyatakan, bila konsentrasi ammonia pada media meningkat; maka ekskresi ammonia menurun dan akan mendorong peningkatan konsentrasi ammonia dalam darah ataupun jaringan udang. Keadaan

4 62 ini akan mengganggu keseimbangan ph darah serta stabilitas enzim, yang pada gilirannya dapat menimbulkan kematian. Meskipun demikian, rentang konsentrasi NH 3 -N pada media pemeliharaan berada pada kisaran nilai 0,094-0,098 ppm; menurut kajian D Abramo dan Brunson (1996 b ) rentang nilai ini masih berada di bawah ambang batas yang membahayakan, yaitu 0,1 ppm. Senyawa nitrit (NO - 2 ) dalam perairan terbentuk dari ammonia dan kehadirannya terakumulasi dalam sistem akuatik akibat ketidakseimbangan proses bakteri nitrifikasi, yaitu Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. Selama penelitian, konsentrasi NO - 2 dalam media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturutturut adalah 0,018 ppm; 0,012 ppm; 0,007 ppm dan 0,014 ppm. Rentang - konsentrasi NO 2 pada media pemeliharaan berkisar antara 0,007-0,018 ppm; namun demikian kisaran nilai tersebut masih berada di bawah 0,1 ppm; yaitu batas ambang yang membahayakan (Akson dan Sampaio, 2000). Konsentrasi nitrit yang tinggi dalam media pemeliharaan larva udang berpotensi memicu stres dan dosis - letal (LC jam) NO 2 bagi Macrobrachium rosenbergii adalah 8,54 ppm. (Chen dan Lin, 1992; serta Chen dan Lin, 1995) Kehadiran senyawa asam sulfida (H 2 S) dalam suatu perairan, lebih disebabkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik dalam kondisi anaerob. Dengan demikian, indikasi kehadiran H 2 S adalah akibat langsung dari menurunnya kelarutan oksigen pada media tersebut. Berdasarkan hasil kajian beberapa pakar, memperlihatkan bahwa dalam jumlah 0,013 ppm, senyawa H 2 S sudah bersifat racun bagi kehidupan larva ikan (Boyd, 1998). Selama penelitian, konsentrasi H 2 S media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 adalah sama, yaitu 0,001 ppm; nilai ini memperlihatkan bahwa media penelitian dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya. Kualitas Air pada Tahap Adaptasi dan Perkembangan Akhir Pada percobaan larva tahap lanjut atau tahap adapatasi serta perkembangan akhir, kondisi salinitas media dipertahankan stabil sesuai perlakuan sampai dengan akhir percobaan; yaitu tepat ketika semua larva telah menjadi pascalarva. Hasil pantauan rataan dan simpangan baku nilai setiap parameter kualitas air,

5 63 berada dalam rentang kisaran yang layak guna mendukung perkembangan larva udang galah (Tabel 7). Tabel 7. Rataan dan simpangan baku parameter fisika-kimia air serta tolok ukur pada sistem produksi tahap adaptasi dan tahap perkembangan akhir Para meter Satuan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Kisaran Kelayakan Suhu o C 29,1 + 0,5 29,0 + 0,5 29,0 + 0,5 29,3 + 0, DO ppm 7,00 + 0,19 7,00 + 0,21 6,95 + 0,12 6,95 + 0,35 > 5 BOD5 ppm 2,42 + 1,23 2,52 + 0,61 3,07 + 1,24 2,45 + 1,06 - ph - 7,58 + 0,10 7,58 + 0,18 7,56 + 0,16 7,55 + 0,18 7,2 8,4 CO2 ppm 5,66 + 5,03 5,99 + 5,10 5,16 + 3,90 5,33 + 4,42 < 10 NH3-N ppm 0, ,003 0, ,003 0, ,002 0, ,002 0,1 NO2-N ppm 0, ,003 0, ,003 0, ,003 0, ,002 0,1 H2S ppm <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 nil Suhu media pemeliharaan larva pada sistem produksi tahap adaptasi dan perkembangan akhir, tercatat pada perlakuan 1 sampai perlakuan 4 berturut-turut adalah 29,1 0 C; 29,0 0 C; 29,0 0 C dan 29,3 0 C. Kecenderungan suhu media naik seiring dengan naiknya salinitas perlakuan, kecuali pada perlakuan 2 dan 3; berada pada suhu yang sama. Menurut kajian Chavez Justo et al. (1991) nilai parameter suhu media terbaik mendukung pemeliharaan larva udang galah adalah 28 C; sedangkan New (1995), serta Ismael dan Moreira (1997) memberi kisaran suhu media untuk optimalisasi pemeliharaan larva udang galah adalah C. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini rentang suhu media pemeliharan berada dalam kondisi layak untuk kehidupan larva. Akan tetapi fluktuasi suhu media, potensial mempengaruhi lama waktu perkembangan larva; seperti yang dilaporkan Jackson dan Burford (2003) yang menyatakan bahwa suhu media secara substansial mempengaruhi pertumbuhan larva Penaeus semisulcatus. Dikatakan lebih lanjut, bahwa larva P. semisulcatus berkembang lebih cepat pada suhu yang relatif lebih tinggi. Pantauan nilai kandungan oksigen terlarut dalam air media pemeliharaan larva pada tahap adaptasi dan perkembangan akhir, tercatat pada rentang nilai antara 6,95-7,00 ppm, dengan kecenderungan konsentrasi oksigen semakin menurun dengan semakin naiknya salinitas media perlakuan. Data yang terpantau juga

6 64 memperlihatkan adanya pengelompokan dengan nilai oksigen yang sama yaitu perlakuan 1 dan perlakuan 2 sebesar 7,00 ppm; serta perlakuan 3 dan perlakuan 4 sebesar 6,95 ppm. Kondisi konsentrasi oksigen terlarut seperti yang terdeteksi pada media pemeliharaan di atas, berdasarkan pernyataan Law et al. (2002), kandungan oksigen terlarut selama penelitian berlangsung dipandang masih berada pada kisaran yang mampu mendukung kehidupan larva udang galah. Rataan nilai ph media pemeliharaan sistem produksi tahap adaptasi dan perkembangan akhir dari perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 7,58; 7,58; 7,56; dan 7,55 satuan ph. Nilai ph cenderung menurun dengan naiknya salinitas media; kecuali pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 yang tercatat mempunyai nilai ph sama, yaitu 7,58. Kisaran nilai ph media pemeliharaan seperti di atas, termasuk dalam kisaran yang layak untuk mendukung kehidupan larva (New, 1995; Spotts, 2001; serta Chen dan Chen, 2003). Walaupun demikian, fluktuasi perubahan ph media pemeliharaan udang galah dapat memicu produksi senyawa toksik seperti ammonia pada kondisi ph tinggi dan senyawa toksik sulfida pada ph rendah yang akan mempengaruhi siklus hidup udang galah (Law et al., 2002). Pantauan konsentrasi CO 2 bebas dalam media pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir yang tertinggi adalah pada perlakuan 2, sebesar 5,99 ppm, diikuti dengan perlakuan 1, perlakuan 4 dan perlakuan 2; berturut-turut dengan nilai sebesar 5,66 ppm; 5,33 ppm; dan 5,16 ppm. Konsentrasi CO 2 bebas seperti di atas, menurut Boyd (1998) masuk dalam kategori layak untuk mendukung kehidupan organisme air. Indikasi meningkatnya konsentrasi CO 2 bebas pada perlakuan 2, lebih merupakan dampak lanjutan dari peningkatan aktivitas metabolisme larva pada perlakuan tersebut. Nilai BOD 5 pada media pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir untuk setiap perlakuan terlihat relatif meningkat dengan meningkatnya salinitas perlakuan; kecuali pada perlakuan 4 yang menurun. Nilai BOD 5 yang tertinggi terdapat pada perlakuan 3, yaitu 3,07 ppm dan yang terendah pada perlakuan 1, yaitu 2,42 ppm. Nilai BOD 5 yang relatif kecil di atas mengindikasikan tidak tercemarnya media pemeliharaan; walaupun demikian kehadiran BOD 5 berpotensi sebagai sumber gas-gas toksik. Kelompok senyawa toksik lainnya yaitu NH 3 -N, NO - 2, dan H 2 S yang terpantau pada media

7 65 pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir, berfluktuasi dengan pola yang beragam. Untuk kandungan H 2 S dalam air, ternyata mempunyai nilai yang sama yaitu; 0,001. Hal ini berarti kegiatan dekomposisi bahan organik terjadi dalam kondisi aerob. Khusus nilai kandungan senyawa NO - 2, terlihat fluktuasi dengan pola yang beragam. Tercatat nilai NO - 2, untuk masing-masing perlakuan berurutan dari yang tertinggi 0,052 ppm pada perlakuan 3, dan yang terkecil pada perlakuan 2 dengan kandungan NO - 2 0,044 ppm. Perlakuan 1 dan perlakuan 4 - mencatat kandungan NO 2 yang sama, yaitu 0,050 ppm. Kondisi ini - memperlihatkan adanya potensi larva dapat terkena dampak toksik NO 2 pada perlakuan 3. Secara runut kandungan NH 3 -N dari yang tertinggi adalah perlakuan 1 yaitu 0,074 ppm, perlakuan 3 dan perlakuan 4 dengan nilai yang sama yaitu 0,072 ppm, serta perlakuan 2 yaitu 0,071 ppm. Berdasarkan hasil kajian D Abramo dan Brunson (1996 b ); Akson dan Sampaio (2000), kondisi di atas, yaitu konsentrasi NH 3 -N, NO - 2, dan H 2 S masih berada dalam toleransi yang layak untuk mendukung perkembangan larva udang galah. Beberapa pakar menyatakan bahwa daya toksik NH 3 -N berpengaruh terhadap sintasan (Chen dan Lei, 1990); mengganggu pertumbuhan dan ganti kulit (Chen dan Kou, 1992); serta beberapa aspek fisiologis lainnya (Chen et al., 1994) Kemampuan Regulasi dan Beban Kerja Osmotik Kemampuan regulasi osmotik larva udang galah tercermin dari nisbah osmolalitas cairan tubuh (OH) terhadap osmolalitas media (OM) atau OH/OM; sehingga nilai (1-OH/OM) merupakan beban kerja osmotik larva yang dihadapi larva dalam perkembangan menjadi pascalarva. Hasil analisis keragaman kemampuan regulasi osmotik dan beban osmotik disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9; sedangkan rincian data masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4 dan Lampiran 5. Secara menyeluruh, penampilan kemampuan regulasi osmotik mulai sistem produksi perkembangan larva tahap awal dan tahap lanjut, dapat dibedakan tiga tahap perkembangan kemampuan, yaitu:

8 66 1. Tahap eksploratif, yaitu tahap penentuan salinitas media isoosmotik bagi kehidupan larva. Pada tahap eksploratif salinitas media awal sebesar 6 ppt, ditingkatkan setiap hari sebesar 0,6; 0,8; 1,0; dan 1,2 selama 7 hari. 2. Tahap adaptasi, yaitu tahap perkembangan kemampuan regulasi osmotik pada tingkat salinitas yang tetap 3. Tahap perkembangan akhir mencapai pascalarva setelah melalui kondisi isoosmotik. Pada tahap eksploratif, perbedaan peningkatan salinitas per hari berturutturut 0,6; 0,8; 1,0; dan 1,2 ppt selama 7 hari, diharapkan mampu menciptakan salinitas media yang mendekati isoosmotik bagi perkembangan larva. Sedangkan pada tahap adaptasi, tingkat salinitas yang tercapai dipertahankan tetap, agar larva dapat berkembang dengan mantap. Tabel 8. Kemampuan regulasi osmotik (OH/OM) larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) OH/OM Analisis Statistik 1 2,31 2,31 2,31 2,31 ns 6 (eksp) 0,44 (C) 0,33 (D) 0,76 (A) 0,65 (B) 8 (adpt) 0,72 (B) 0,77 (A) 0,80 (A) 0,60 (C) 11 (perk) 0,97 (D) 1,25 (C) 1,30 (A) 1,28 (B) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Tabel 8 memperlihatkan kemampuan regulasi osmotik larva pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir. Pada tahap eksploratif, kemampuan regulasi osmotik terendah terdapat pada perlakuan 2 (0,33), dan tertinggi pada perlakuan 3 (0,76). Kemampuan kerja regulasi osmotik perlakuan 1 dan 4 berada diantara perlakuan 2 dan 3 dengan tingkat urutan kemampuan kerja regulasi osmotik dari yang terendah, yaitu perlakuan 2, 1, 4, dan 3. Peningkatan salinitas antara perlakuan 1 ke 2 dan atau perlakuan 3 ke 4, ternyata tidak efektif meningkatkan kemampuan kerja regulasi osmotik larva. Sedangkan perubahan salinitas pada perlakuan 2 menjadi 3, sangat efektif meningkatkan kemampuan kerja regulasi osmotik larva dan dapat dinyatakan bahwa larva cukup

9 67 responsif meningkatkan kemampuan regulasi osmotik dari 0,33 menjadi 0,76. Tercatat kemampuan kerja regulasi osmotik larva terendah adalah sebesar 0,33 yang terjadi pada perlakuan 2, dan tertinggi sebesar 0,76 pada perlakuan 3. Pada tahap eksploratif tersebut, upaya peningkatan salinitas untuk menciptakan media salinitas yang isoosmotik tidak tercapai, meskipun kemampuan regulasi osmotik larva pada perlakuan 3 telah mencapai 0,76 dari nilai 1. Pada tahap adaptasi, kemampuan kerja regulasi osmotik larva meningkat dari perlakuan 1 ke perlakuan 2 dan mencapai maksimal pada perlakuan 3, yaitu sebesar 0,80. Namun selanjutnya pada perlakuan 4, kemampuan kerja regulasi osmotik larva menurun menjadi 0,60 (Tabel 8). Peningkatan kemampuan kerja regulasi osmotik sejalan dengan peningkatan perkembangan stadia 7 dan stadia 8. Sebelum memasuki tahap perkembangan akhir, terdapat tahap peralihan, yaitu pada stadia 9 dan 10. Tahap adaptasi ini merupakan masa perkembangan larva stadia 7, 8, 9 dan 10. Pada tahap perkembangan akhir, kemampuan kerja regulasi osmotik larva dari setiap perlakuan meningkat. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva perlakuan 1 mendekati tingkat isoosmotik, yaitu 0,97. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva perlakuan 2, 3, dan 4 melampaui tingkat isoosmotik dan tertinggi dicapai oleh perlakuan 3 yakni 1,3. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva pada tahap adaptasi sampai dengan tahap perkembangan akhir merupakan tahap perkembangan 9 dan 10 menjelang kondisi isoosmotik mencapai pascalarva. Secara menyeluruh, dari uraian kemampuan kerja regulasi osmotik larva di atas dapat dinyatakan bahwa : 1. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva dari tidak mantap pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari, dan berakhir mantap pada tahap adaptasi atau pada kondisi salinitas statis. Selanjutnya meningkat melampaui kondisi isoosmotik menjadi hiperosmotik pada tahap perkembangan akhir

10 68 2. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva tertinggi pada tahap eksploratif dan atau tahap adaptasi terdapat pada perlakuan 3 yang mendekati kondisi isoosmotik. 3. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva terendah pada tahap eksploratif, adaptasi dan tahap perkembangan akhir terdapat pada pelakuan 2. Beban kerja osmotik larva merupakan perbedaan antara kemampuan kerja regulasi osmotik pada waktu isoosmotik dengan kemampuan kerja regulasi osmotik saat tertentu [1-(OH/OM)]. Besarnya beban kerja osmotik larva udang galah pada setiap perlakuan dikemukakan pada Tabel 9. Tabel 9. Beban kerja osmotik [1-(OH/OM)] larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) Beban kerja Osmotik Analisis Statistik 1-1,31-1,31-1,31-1,31 ns 6 (ekspl) 0,56 (B) 0,67 (A) 0,24 (D) 0,35 (C) 8 (adpts) 0,28 (B) 0,23 (C) 0,20 (C) 0,40 (A) 11 (perkb) 0,03 (D) - 0,25 (C) - 0,30 (A) - 0,28 (B) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Tabel 9 memperlihatkan bahwa beban kerja osmotik larva pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir. Pada tahap eksploratif, beban kerja osmotik larva yang terendah terdapat pada perlakuan 3, dan tertinggi pada perlakuan 2. Perubahan peningkatan salinitas pada perlakuan 1 menjadi 2; serta perlakuan 3 menjadi 4, ternyata meningkatkan beban kerja osmotik larva. Perubahan peningkatan salinitas yang menurunkan beban kerja osmotik larva, hanya terdapat pada perlakuan 2 menjadi 3. Kondisi ini memberi gambaran bahwa peningkatan salinitas 1 ppt per hari selama 7 hari setelah telur menetas menjadi larva, berada pada batas toleransi larva stadia 1 sampai dengan stadia 4, 5, dan 6. Sedangkan urutan tingkat beban kerja osmotik larva dari yang terendah ke tertinggi, berturut-turut perlakuan 3, 4, 1 dan 2. Pada tahap adaptasi, peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke perlakuan 2, dan menjadi perlakuan 3; ternyata menurunkan beban osmotik larva secara

11 69 bertahap. Tetapi peningkatan salinitas perlakuan 3 menjadi perlakuan 4, malah meningkatkan beban osmotik yang bahkan melampaui beban osmotik yang bekerja di awal tahap adaptasi. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan peningkatan salinitas yang dapat ditoleransi oleh larva stadia 7 dan 8, berada di atas perlakuan 2 dan di bawah perlakuan 4. Sedangkan stadia 9 dan 10, termasuk ke dalam tahap peralihan antara tahap adaptasi menuju tahap perkembangan akhir. Gambar 21. Beban kerja osmotik larva udang galah tiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Pada tahap perkembangan akhir, beban kerja osmotik setiap perlakuan terlihat menurun, bahkan di bawah garis isoosmotik. Beban kerja osmotik larva terendah terdapat pada perlakuan 1, yakni 0,03 dalam kondisi hipoosmotik (lihat Gambar 21). Peningkatan salinitas perlakuan 1 menjadi 2 memberikan penurunan beban osmotik terbesar, dari +0,03 menjadi -0,25. Sedangkan peningkatan salinitas perlakuan 2 menjadi 3 dan seterusnya menjadi 4; memperlihatkan besaran peningkatan beban osmotik larva relatif sama antara -0,25 sampai -0,30. Hal ini menunjukkan bahwa pada peningkatan salinitas di atas perlakuan 2 dan seterusnya, larva stadia 11 tidak memberikan respon terhadap peningkatan beban. Secara umum, kondisi beban kerja osmotik larva stadia 11 yang negatif, mengindikasikan bahwa larva bekerja mempertahankan konsentrasi hemolim agar tidak keluar ke media. Secara menyeluruh dari uraian beban osmotik larva tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa : 1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6

12 70 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt setiap hari, selama 7 hari pada tahap eksploratif ini terlihat bahwa beban kerja osmotik larva terendah terdapat pada perlakuan 3 dan tertinggi pada perlakuan 2. Urutan tingkat beban kerja osmotik larva berturut-turut perlakuan 3, 4, 1 dan 2. Peningkatan salinitas setiap hari antara 0,8 ke 1,0 cukup efektif menurunkan beban kerja osmotik larva. Beban kerja osmotik larva dari perlakuan 1 sampai 4 masih dalam tingkat pencarian keseimbangan antara kemampuan larva dengan perubahan salinitas media. 2. Pada tahap adaptasi atau pada kondisi media dengan salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; ternyata beban kerja osmotik larva menurun beraturan mulai dari perlakuan 1 ke 2 dan mencapai terendah pada perlakuan 3 namun selanjutnya meningkat pada perlakuan 4. Adapun urutan tingkat beban kerja osmotik larva berturut-turut perlakuan 3, 2, 1, dan perlakuan Pada tahap perkembangan akhir atau pada kondisi media dengan salinitas statis, beban kerja osmotik larva terendah pada perlakuan 1 pada kondisi hipoosmotik. Beban kerja osmotik larva perlakuan 2, 3 dan 4 menurun menjadi negatif (hiperosmotik) dan mencapai nilai terendah pada perlakuan 3. Perkembangan Larva Secara alami, telur udang galah mulai menetas menjadi larva pada media payau, setelah 48 jam saat telur dilepaskan dari induk. Selama jam masa pertumbuhannya, larva udang galah melewati 11 tahap perkembangan stadia sebelum mencapai bentuk sempurna sebagai pascalarva atau udang muda. Deskripsi tahapan perkembangan larva udang galah mencapai pascalarva hasil pengamatan selama penelitian dapat diikuti pada Tabel 10 dan visualisasinya pada Lampiran 6.

13 71 Lama Waktu Perkembangan Stadia Lama waktu perkembangan stadia larva dari tahap eksploratif sampai dengan tahap perkembangan akhir (stadia 1 sampai dengan stadia 11), dapat dilihat pada Tabel 11. Rincian data diperlihatkan pada Lampiran 7 dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 10. Deskripsi tahapan perkembangan larva sampai dengan pascalarva Stadia Umur Keterangan Pertumbuhan I II III IV V VI VII VIII IX X XI Pascalarva jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam > 498 jam Mata sessile dan belum bertangkai Mata sudah bertangkai Eksopoda dan endopoda mulai mengembang Dua gerigi rostrum sudah mulai tampak Panjang eksopoda dan endopoda hampir sama panjang dengan telson Tunas pada pleopoda sudah mulai terlihat Pleopoda sudah mulai bercabang dua Kaki jalan mulai lengkap, pleopoda pada cabang luar mulai berambut Pleopoda lebih berkembang dengan pertambahan ruas dan rambut Pleopoda lebih berkembang, ada rambut di antara duri pada gerigi rostrum Gerigi rostrum telah berjumlah 9 buah Rostrum telah tumbuh sempurna dengan 11 gerigi Tabel 11. Lama waktu perkembangan stadia larva udang galah setiap perlakuan Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva (jam) Stadia Nilai Delta Nilai Delta Nilai Delta Nilai Delta 1 24 (A) - 24 (A) - 24 (A) - 24 (A) (A) (A) (A) (A) (B) (B) (A) (A) (B) (A) (B) (A) (B) (C) (B) (A) (A) (A) (B) (A) (B) (A) (B) (A) (C) (B) (D) (A) (B) (B) (B) (A) (B) (B) (B) (A) (C) (A) (B) (C) 13 Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama.

14 72 Pada akhir percobaan larva tahap awal atau masuk dalam tahap eksploratif, kondisi pencapaian stadia pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 22. Keragaman tertinggi stadia larva terdapat pada perlakuan 3; yang terdiri atas stadia 4, 5, 6, 7, dan 8. Tiga perlakuan lainnya mempunyai keragaman dengan tiga kelompok stadia. Perlakuan 2 dan 4 memiliki kelompok stadia 4, 5, dan 6; sedangkan perlakuan 1 memiliki tiga kelompok keragaman stadia, yaitu stadia 5, 6, dan 7. Pada semua perlakuan terdapat stadia 6 dengan persentase yang berbeda, yakni 20% (perlakuan 1), 10% (perlakuan 2), 25% (perlakuan 3), dan 30% (perlakuan 4). Gambar 22. Kondisi keragaman stadia larva udang galah pada tahap eksploratif Tahap eksploratif merupakan masa perkembangan larva stadia 1 menjadi stadia 6. Pada tahap ini, lama waktu perkembangan larva stadia 1 dan stadia 2 tidak berbeda nyata. Perkembangan stadia 1 untuk empat perlakuan, ternyata membutuhkan waktu yang sama, yaitu 24 jam. Lama waktu perkembangan stadia 2 untuk empat perlakuan, tidak berbeda nyata dan berkisar antara 38 sampai 50 jam; dengan perlakuan 1 memberikan respon waktu perubahan stadia tercepat, sedangkan perubahan stadia terlama terjadi pada perlakuan 4. Lama waktu

15 73 perkembangan stadia mulai terlihat berbeda pada stadia 3 sampai stadia 6. Pada tahap eskploratif ini, lama waktu perkembangan stadia belum memperlihatkan suatu pola kecenderungan (trend) dan terlihat belum cukup mantap. Hal ini tercermin dari lama waktu perkembangan stadia 4 dan stadia 6. Lama waktu perkembangan stadia 4 antara perlakuan 1 dan 3 tidak berbeda; demikian juga antara perlakuan 2 dan 4. Tetapi lama waktu perkembangan stadia 4 pada perlakuan 1 dan 3, lebih cepat daripada perlakuan 2 dan 4. Pada tampilan lama waktu perkembangan stadia 6 untuk perlakuan 1, 2 dan 4 ternyata tidak berbeda dan ternyata lebih lambat dari perlakuan 3. Pada tahap adaptasi, lama waktu perkembangan stadia terlihat mantap beraturan, kecuali pada stadia 8. Lama waktu perkembangan stadia 7, 9 dan 10 antara perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda serta lebih cepat daripada perlakuan 4. Terlihat juga kecenderungan peningkatan lama waktu perkembangan stadia 8 dengan perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa larva sedang berada pada tahapan transisi yang beradaptasi menjadi mantap. Selain itu, perlakuan yang tercepat mencapai stadia 8 adalah perlakuan 3, dengan lama waktu perkembangan stadia 270 jam. Sedangkan perlakuan yang terlama mencapai stadia 8 adalah perlakuan 4, dengan lama waktu perkembangan stadia 329 jam. Dilihat dari perbedaan waktu antar stadia, perlakuan 3 membutuhkan 16 jam waktu perkembangan dari stadia 7 ke stadia 8. Sedangkan perlakuan 4 membutuhkan 54 jam waktu perkembangan dari stadia 7 ke stadia 8 atau sekitar tiga kali lebih lama dari waktu yang dibutuhkan oleh perlakuan 3. Pada tahap adaptasi pada sistem II, lama waktu perkembangan larva mulai mantap beraturan pada stadia 9 dan 10. Lama waktu perkembangan larva stadia 8 tidak mantap, hal ini mencerminkan bahwa pada stadia-8 merupakan masa transisi selama masa adaptasi untuk menjadi mantap, terutama yang terjadi pada perlakuan 1, 2 dan 3. Pada tahap ini, lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 antara perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda serta lebih cepat daripada perlakuan 4. Perbedaan waktu antar stadia terlama terdapat pada stadia 10, masing-masing perlakuan membutuhkan lama waktu perkembangan stadia 9 ke stadia 10 berkisar antara jam. Waktu perkembangan antar stadia 9 ke stadia 10 yang terlama terdapat pada perlakuan 1, yaitu 105 jam. Sedangkan

16 74 waktu perkembangan antar stadia 9 ke stadia 10 yang tercepat terdapat pada perlakuan 4, yaitu 87 jam. Besarnya lama waktu yang dibutuhkan dari stadia 9 ke stadia 10 dibanding dari stadia 8 ke stadia 9; berhubungan dengan perubahan morfologis yang terjadi yaitu mulainya pertumbuhan rambut pada gerigi rostrum. Tercatat pada stadia 10, gerigi rostrum sudah mencapai 6-8 buah; sedangkan pada stadia 9 hanya sekitar 4 buah tanpa pertumbuhan rambut. Pada tahap perkembangan akhir lama waktu perkembangan larva stadia 11 pada perlakuan 1 dan 4 tidak berbeda, dan lebih cepat daripada lama waktu perkembangan larva stadia 11 pada perlakuan 2 dan 3. Lama waktu perkembangan larva stadia 11 antar perlakuan 4, 3 dan 2 cenderung melambat; dan yang paling lambat adalah perlakuan 2 yakni 498 jam, diikuti oleh perlakuan 3 (478 jam) dan perlakuan 4 (453 jam). Perlakuan 2 pada awalnya memperlihatkan waktu perkembangan yang cepat, tetapi kemudian memperlihatkan perkembangan waktu terlama. Perlambatan pada perlakuan 2, 3 dan 4 ini berkaitan dengan kondisi hiperosmotik yang mengakibatkan beban kerja osmotik larva menjadi negatif (Tabel 9). Secara menyeluruh dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa: 1. Lama waktu perkembangan larva stadia 1 sampai 6 pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari; mengindikasikan belum mantap. Lama waktu perkembangan larva stadia 6 pada perlakuan 1, 2 dan 4 tidak berbeda dan lebih lambat daripada perlakuan 3 2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 antar perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda dan lebih cepat daripada perlakuan Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva stadia 11 perlakuan 1 menjadi lebih cepat daripada tiga perlakuan lainnya yang dalam kondisi hiperosmotik. Lama waktu perkembangan larva stadia 11 setelah melampaui kondisi isoosmotik menjadi lebih lambat dibandingkan lama waktu perkembangan stadia pada tahap adaptasi.

17 75 Keterkaitan hubungan antara lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik antar perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata. Lama waktu perkembangan stadia antar perlakuan yang berbeda nyata, secara tidak langsung mencerminkan pengaruh dari beban kerja osmotik. Meskipun beban kerja osmotik larva berpengaruh terhadap lama waktu perkembangan stadia, namun hubungan antara lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik larva, secara menyeluruh belum dapat terpola. Pada tahap eksploratif, larva stadia 6 pada berbagai beban osmotik memperlihatkan hubungan yang linier dengan persamaan: Y stadia 6 = 70,437 X + 199,2; ( R 2 = 0,609) Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar beban osmotik, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan larva udang galah untuk berubah stadia. Dilihat dari pola yang ada tampak bahwa lama waktu perkembangan larva stadia 4 dan 8 adalah sama, walaupun data pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa antar perlakuan dan/atau beban osmotik mempunyai perberbedaan yang nyata (Gambar 23.). Urutan beban kerja osmotik larva dari terendah ke tertinggi pada tahap eksplorasi ini ialah perlakuan 3, 4, 1, dan 2 yaitu 0,24; 0,35; 0,56; dan 0,67 Keterangan: Y1 = perlakuan 1 Y2 = perlakuan 2 Y3 = perlakuan 3 Y4 = perlakuan 4 Gambar 23. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban osmotik pada tahap eksploratif Hubungan lama waktu perkembangan larva stadia 4 dan 5 dengan beban kerja osmotik larva tidak berpola; sedangkan pada stadia 6, peningkatan beban osmotik dari perlakuan 1 menjadi 2; dan perlakuan 3 menjadi 4; memperlambat

18 76 perkembangan stadia larva. Akan tetapi peningkatan beban osmotik larva dari perlakuan 2 ke 3, malah mempercepat perkembangan stadia larva. Pola yang sama diperlihatkan oleh respon larva stadia 4 terhadap peningkatan beban osmotik. Peningkatan beban kerja osmotik larva antara perlakuan 4 ke 1 dan 2 atau antara 0,35 ke 0,56 sampai ke 0,67 tidak menghasilkan lama waktu perkembangan larva stadia 6 berbeda. Beban kerja osmotik larva di atas 0,35 mengakibatkan lama waktu perkembangan larva menjadi lambat dibandingkan pada perlakuan 3 yang mempunyai beban kerja osmotik larva terendah yakni 0,24. Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa pada beban kerja osmotik larva terendah (perlakuan 3 = 0,24) lebih mempercepat lama waktu perkembangan larva daripada beban kerja osmotik larva diatas 0,35. sampai dengan 0,67. Beban kerja osmotik larva antara 0,35-0,67 ternyata tidak mengakibatkan lama waktu perkembangan larva stadia 6 berbeda. Keterangan: Y1 = perlakuan 1 Y2 = perlakuan 2 Y3 = perlakuan 3 Y4 = perlakuan 4 Gambar 24. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik pada tahap adaptasi Pada tahap adaptasi, urutan beban kerja osmotik larva dari terendah ke tertinggi ialah perlakuan 3, 2, 1, dan 4 yaitu 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 (Gambar 24). Pada tahap adaptasi, stadia 8 pada berbagai beban osmotik, menunjukkan hubungan yang kuadratik pada perkembangan stadia 8; sedangkan hubungan linier pada perkembangan stadia 9 dan 10; persamaannya adalah Y stadia 8 = -1055,9 X ,35 X + 148,96; ( R 2 = 0,6683) Y stadia 9 = 181,95 X + 277,01;( R 2 = 0,8747) Y stadia 10 = 103,76 X + 398,71;( R 2 = 0,975)

19 77 Kondisi pada tahap adaptasi ini mengindikasikan bahwa lama waktu perkembangan stadia 8 pada awalnya terpengaruh oleh besarnya beban osmotik; tetapi pada tahapan tertentu peningkatan beban osmotik malah mempercepat waktu perkembangan stadia larva udang galah. Untuk persamaan kuadratik dengan angka minus, menjelaskan bahwa larva udang galah stadia 8 sudah berada pada kondisi hiperosmotik terhadap media. Sedangkan lama waktu perkembangan stadia 9 dan 10 menjelaskan bahwa semakin besar beban osmotik, semakin lambat waktu perkembangan stadia yang terjadi. Urutan tingkat beban kerja osmotik larva terendah ke tertinggi adalah dari perlakuan 3, 2, 1 dan tertinggi perlakuan 4. Sedangkan urutan beban kerja osmotik larva yaitu 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 (stadia 8). Lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 antara perlakuan 3, 2, dan 1 tidak berbeda dan ternyata lebih cepat daripada perlakuan 4 dengan beban kerja osmotik larva 0,40. Pada tahap adaptasi, lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva antara 0,20 dan 0,28 tidak berbeda nyata. Beban kerja osmotik larva di atas 0,40 menghambat lama waktu perkembangan larva. Keterangan: Y1 Y1 = = perlakuan 11 Y2 Y2 = = perlakuan 22 Y3 Y3 = = perlakuan 33 Y4 Y4 = = perlakuan 44 Gambar 25. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban osmotik pada tahap perkembangan akhir. Pada tahap perkembangan akhir, hubungan yang terjadi antara lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik larva stadia 11 memperlihatkan hubungan yang kuadratik (Gambar 25), seperti pada persamaan berikut: Y stadia 11 = -1916,8 X ,82 X + 467,87; ( R 2 = 0,6371)

20 78 Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi perkembangan larva mencapai stadia 11, maka peningkatan beban osmotik pada awal perkembangan melambat sampai dengan waktu tertentu berubah menjadi lebih cepat. Secara umum larva berada pada kondisi hiperosmotik terhadap media. Beban kerja osmotik terendah pada kondisi hipoosmotik terdapat pada perlakuan 1 yaitu 0,03. Pada kondisi lanjut perlakuan 2, 3 dan 4 bereaksi menjadi hiperosmotik, dengan beban kerja osmotik larva negatif dengan kecenderungan menurun mencapai terendah (0,30) pada perlakuan 3. Lama waktu perkembangan stadia pada perlakuan 1 dengan beban kerja 0,03; ternyata tidak berbeda nyata dengan beban kerja osmotik larva 0,28 pada perlakuan 4. Penurunan beban kerja osmotik larva antara - 0,25 ke - 0,30 berpengaruh nyata terhadap lama waktu perkembangan stadia (perlakuan 2, 3 dan 4). Pada kondisi hipoosmotik, penurunan beban kerja osmotik larva mampu mempercepat lama waktu perkembangan larva. Sebaliknya pada kondisi hiperosmotik, penurunan beban kerja osmotik larva menghambat lama waktu perkembangan larva stadia 11. Secara menyeluruh dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa: 1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari, lama waktu perkembangan larva stadia 6 dipengaruhi oleh beban kerja osmotik. Pada beban kerja osmotik larva 0,24 mempercepat lama waktu perkembangan larva. Lama waktu perkembangan larva stadia 6 pada beban kerja osmotik larva 0,35 0,67 ternyata tidak berbeda. 2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva antara 0,23 dan 0,28 tidak berbeda nyata. Lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva 0,40 (perlakuan 4) berbeda nyata dengan tiga perlakuan lainnya dengan beban kerja osmotik larva 0,20; 0,23; dan 0,28 3. Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva stadia 11 dengan beban kerja osmotik larva 0,02 (hipoosmotik) tidak berbeda nyata dengan beban kerja osmotik larva -0,25 (hiperosmotik).

21 79 Lama Waktu Keberadaan Stadia Lama waktu keberadaan stadia adalah lamanya waktu suatu kelompok stadia (stadia ke-i) tertentu terlihat, dicatat sejak satu individu larva ke i muncul sampai individu larva ke-i terakhir berubah menjadi individu larva stadia ke-i+1. Lama keberadaan stadia pada akhir percobaan sistem I, dapat dilihat pada Tabel 12; rincian data lama keberadaan stadia dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Tabel 12. Lama waktu keberadaan stadia larva udang galah setiap perlakuan Stadia Lama Waktu Keberadaan Stadia larva (jam) (A) 24 (A) 32 (A) 24 (A) 48 (B) 40 (B) 56 (B) 88 (A) 72 (B) 72 (B) 96 (A) 96 (A) 72 (C) 96 (B) 120 (A) 96 (B) 160 (A) 88 (C) 144 (A) 120 (B) 224 (B) 208 (B) 236 (A) 192 (C) 216 (B) 192 (C) 240 (A) 192 (C) 192 (B) 120 (C) 216 (A) 192 (B) 192 (A) 80 (C) 160 (B) 168 (B) 192 (A) 120 (D) 144 (C) 168 (B) 232 (A) 144 (C) 168 (B) 208 (A) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Kondisi lama keberadaan stadia pada tahap eksploratif, seperti pada Tabel 12 memperlihatkan bahwa lama waktu keberadaan stadia larva yang tersingkat terjadi pada stadia 1 untuk empat perlakuan dengan waktu sekitar jam. Sedangkan waktu keberadaan stadia larva yang terlama terjadi pada stadia 6 untuk empat perlakuan dengan waktu sekitar jam. Hasil analisis mengemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap kondisi lama waktu keberadaan pada stadia 1. Rentang waktu keberadaan stadia 2 terlama, terdapat pada perlakuan 4. Setelah larva mencapai stadia 3 sampai dengan stadia 6, nampaknya perlakuan 3 menahan kecepatan pindah stadia. Hal ini terlihat dari hasil analisis data pada Tabel 12 yang

22 80 memperlihatkan rataan lama waktu keberadaan stadia yang dibutuhkan selalu lebih besar. Pada stadia 6, ternyata perlakuan 4 mampu mempersingkat lama waktu keberadaan stadia. Tercatat lama waktu keberadaan tersingkat pada stadia 6, terdapat pada perlakuan 4 (192 jam). Pada tahap adaptasi, secara menyeluruh lama waktu keberadaan stadia larva mulai menurun dibanding stadia sebelumnya (lihat Tabel 12). Pada tahap ini, stadia 7 dan stadia 8 untuk semua perlakuan memberikan pola lama waktu keberadaan stadia yang sama; kecuali pada stadia 8 perlakuan 4 terlihat waktu keberadaan stadia menjadi lebih lama. Pada stadia 9 dan stadia 10, terlihat bahwa perlakuan 1 memperlambat waktu keberadaan stadia, dibanding tiga perlakuan lainnya. Bahkan tercatat perlakuan 2 mendorong kecepatan waktu keberadaan stadia 9 (80 jam) untuk pindah ke stadia 10 (120 jam). Lama waktu keberadaan stadia tersingkat pada stadia 10, terdapat pada perlakuan 2. Perlakuan 3, semula menahan kecepatan pindah dari stadia 7 ke stadia 8; ternyata semakin singkat pada saat mencapai stadia 10 (144 jam) Lama waktu keberadaan larva udang galah pada tahap perkembangan akhir, memperlihatkan bahwa lama waktu keberadaan larva stadia 11 tercepat terjadi pada perlakuan 2 dan terlambat pada perlakuan 1. Data Tabel 12 menjelaskan bahwa perlakuan 4 memperlambat waktu keberadaan dari stadia 10 (168 jam) menjadi stadia 11 (208 jam). Secara menyeluruh dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa: 1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari; lama waktu keberadaan stadia dipengaruhi oleh beban kerja osmotik. Setelah larva mencapai stadia 3 sampai dengan stadia 6, terlihat bahwa perlakuan 3 menahan kecepatan pindah stadia. 2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; lama waktu keberadaan stadia 7 dan stadia 8 untuk semua perlakuan memberikan pola lama waktu keberadaan stadia yang sama; kecuali pada stadia 8 perlakuan 4. Lama waktu keberadaan stadia tersingkat pada stadia 10 dan stadia 11, terjadi pada perlakuan 2.

23 81 3. Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva pada stadia 11 ternyata menjadi lambat pada perlakuan 4. Produksi Kelimpahan Larva Sintasan dan Laju Kematian Sintasan stadia larva yang dimaksud dalam hal ini adalah presentasi individu yang hidup terhadap jumlah awal rekrut. Olahan data dimaksud dengan pendekatan Rekrutmen, lost dan sintasan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir dapat dilihat pada Tabel 13. Data selengkapnya tentang sintasan larva per stadia yang diamati hari demi hari ditunjukkan pada Lampiran 11 dan analisis keragamannya pada Lampiran 12. Nilai sintasan diperoleh dengan pendekatan rumus: S = R L R x T Dt L = Jumlah larva 100 %; R = max x N max yang mati ( lost ) Pada tahap eksploratif, sintasan larva stadia 6 memperlihatkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Selain itu, terlihat bahwa dengan naiknya salinitas perlakuan 1 ke 2 ternyata mendukung sintasan; akan tetapi kenaikan salinitas perlakuan 3 ke 4, malah menekan sintasan.. Sintasan larva stadia 6 terbesar pada perlakuan 2 yaitu 89,9%; selanjutnya menurun berturut-turut pada perlakuan 3, 4, dan 1. Pada tahap adaptasi, semua perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata. Kondisi peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke perlakuan 3 ternyata mendukung sintasan; kecuali peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4 menekan sintasan. Nilai sintasan larva stadia 8 terbesar adalah pada perlakuan 3 yaitu 89,9%; selanjutnya berturut-turut pada perlakuan 2, 4, dan 1. Perbedaan yang nyata antar perlakuan juga terlihat pada tahap perkembangan akhir. Nilai sintasan terkecil terdapat pada perlakuan 2, yaitu 89,9%. Khusus pada peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4, ternyata memberikan nilai sintasan yang sama (100%).

24 82 Tabel 13. Tampilan kondisi rekrutmen, lost dan sintasan larva udang galah pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir setiap perlakuan Stadia (Tahap) 6 (eklp) 8 (adp) R L S R L S Rekrutmen, Lost dan Sintasan (%) Larva pada Perlakuan ,7 (C) ,8 (D) ,9 (A) ,9 (B) ,9 (A) ,9 (A) ,5 (B) ,3 (C) Analisis Statistik 11 (perk) R L S (A) ,9 (B) (A) (A) Keterangan: R = rekrutmen; L = lost; S = sintasan Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Produksi Kelimpahan Produksi kelimpahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah jumlah total seluruh individu hasil pemeliharaan larva sampai menjadi pascalarva atau dikenal dengan PL-1, yang terdapat di dalam satu kelompok perlakuan. Tabel 14. Produksi kelimpahan larva dan pascalarva udang galah pada akhir sistem produksi tahap potensi tumbuh PL Stadia/PL (Tahap) Produksi Kelimpahan Larva dan Pascalarva pada Perlakuan (ekor): I II III IV Analisis statistik 6 (eksp) 8 (adpt) 11 (perk) 378 (D) 378 (D) 300 (D) 498 (C) 419 (C) 370 (C) 627 (B) 468 (B) 390 (B) 708 (A) 708 (A) 570 (A) PL (D) 370 (C) 390 (B) 567 (A) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Produksi tertinggi PL-1 dicapai pada perlakuan 4, yaitu sebanyak 567 ekor. Selanjutnya produksi tertinggi berikutnya secara berturut-turut adalah perlakuan 3, 2, dan 1. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 dan analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 14.

25 83 Potensi Pertumbuhan Potensi Pertumbuhan Larva Potensi pertumbuhan larva, termasuk di dalamnya perkembangan stadia larva; sangat tergantung dari efisiensi penggunaan energi, yaitu ratio antara energi untuk tumbuh dan untuk metabolisme. Strategi penggunaan energi selama masa perkembangan larva, khususnya pada tahap awal perkembangan stadia; akan berakibat langsung pada kapasitas osmoregulasi larva; yang pada akhirnya berdampak pada konsumsi pakan dan efisiensinya akan memberi pengaruh yang sangat besar pada proses metabolisme pertumbuhan. Oleh karena itu, untuk memprediksi potensi pertumbuhan larva, perlu ditelusuri aliran energi pakan yang dikonsumsi dengan energi metabolisme yang terpakai. Tingkat konsumsi pakan harian Tingkat konsumsi pakan harian adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dalam hal ini pakan alami Artemia salina, dihitung dari jumlah individu yang diberikan dikurangi jumlah individu Artemia salina yang masih tersisa pada setiap pemberian pakan dan dikonversikan dalam bentuk energi. Tingkat konsumsi energi pakan harian pada stadia 6, 8, dan 11 dikemukakan pada Tabel 15, dari semua perlakuan tersebut berbeda nyata. Rincian data dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 15 dan 16. Data Tabel 15 memperlihatkan bahwa energi yang dikonsumsi larva pada tahap eksploratif (stadia 6), terkecil pada perlakuan 2 (4,53 kalori/larva per hari). Pada tahap ini, energi yang dikonsumsi larva pada perlakuan 1 dan 3 ternyata sama, yaitu 5,17 kalori/larva per hari; kemudian meningkat ke perlakuan 4 (5,82 kalori/larva per hari). Pada tahap adaptasi, kecepatan peningkatan jumlah konsumsi energi pakan harian stadia 8 perlakuan 3 lebih besar dibanding tiga perlakuan lainnya, yang cenderung menurun bertahap; dengan urutan dari yang terkecil ke besar adalah 2, 1, 4, dan 3. Pola yang sama ditemukan pula pada tahap perkembangan akhir, seperti terlihat pada kecepatan peningkatan jumlah konsumsi energi pakan harian stadia 11; dengan jumlah konsumsi energi pakan harian terbesar adalah pada

26 84 perlakuan 3 (19,36 kalori/larva per hari) dan terkecil pada perlakuan 2 (12,93 kalori/larva per hari). Tabel 15. Tingkat konsumsi energi pakan harian (Artemia salina) larva setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) Konsumsi Energi Pakan Harian pada Perlakuan: (kalori/larva per hari) Analisis Statistik 6 (ekspl) 5,17 (B) 4,53 (C) 5,17 (B) 5,82 (A) 8 (adapt) 7,76 (C) 6,47 (D) 10,34 (A) 9,05 (B) 11 (perkb) 15,52 (C) 12,93 (D) 19,36 (A) 18,10 (B) Keterangan: Bobot Artemia salina = 2,42μg/indv Energi Artemia salina = 541 x 10-3 Joule/indv (Lavens et al., 2000) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama Konsumsi energi pakan harian sejak tahap eksploratif sampai ke tahap perkembangan akhir pada setiap perlakuan, makin membesar dengan berkembangnya stadia. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk metabolisme pertumbuhan cenderung bertambah dengan meningkatnya perkembangan stadia. Visualisasi kondisi tersebut di atas ditunjukkan pada Gambar 26 yang memperlihatkan pola konsumsi energi harian larva yang sama antara stadia 8 dan stadia 11 atau pada tahap adaptasi dan perkembangan akhir. Gambar 26. Pola konsumsi energi pakan harian larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Tercatat dengan peningkatan salinitas perlakuan 2 menjadi 3, konsumsi energi pakan harian meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) benih ikan patin yang dipelihara dengan masa pemeliharaan 30 hari memiliki hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tahap I Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian diperoleh data sintasan (Gambar 1), sedangkan rata-rata laju pertumbuhan bobot dan panjang harian benih ikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH LENNY STANSYE SYAFEI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai ekonomis tinggi dan merupakan spesies asli Indonesia. Konsumsi ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budidaya ikan hias dapat memberikan beberapa keuntungan bagi pembudidaya antara lain budidaya ikan hias dapat dilakukan di lahan yang sempit seperti akuarium atau

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter)

HASIL DAN PEMBAHASAN Padat Tebar (ekor/liter) 9 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan padat tebar yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari parameter biologi, parameter kualitas air dan parameter ekonomi.

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Kecepatan moulting kepiting bakau Pengamatan moulting kepiting bakau ini dilakukan setiap 2 jam dan dinyatakan dalam satuan moulting/hari. Pengamatan dilakukan selama

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

Hasil Penelitian. setelah 100%. Percobaan ke-ii. 38 dan C. Hasil. Sintasan (%) ntasan (%)

Hasil Penelitian. setelah 100%. Percobaan ke-ii. 38 dan C. Hasil. Sintasan (%) ntasan (%) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian tahap pertama (uji bioassay) Untuk memperoleh suhu subletal, maka dilakukan uji bioassay yang terdiri dari 2 percobaan, masing-masingg dengan 4 perlakuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH LENNY STANSYE SYAFEI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA TUGAS PENGENALAN KOMPUTER ZURRIYATUN THOYIBAH E1A012065 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

4. KONDISI HABITAT SIMPING

4. KONDISI HABITAT SIMPING 4. KONDISI HABITAT SIMPING Kualitas habitat merupakan tempat atau keadaan dimana simping dalam melakukan proses-proses metabolisme, pertumbuhan, sampai produksi. Proses biologi tersebut ditentukan oleh

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perilaku Kanibalisme Ketersediaan dan kelimpahan pakan dapat mengurangi frekuensi terjadinya kanibalisme (Katavic et al. 1989 dalam Folkvord 1991). Menurut Hecht dan Appelbaum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR (SB )

TUGAS AKHIR (SB ) TUGAS AKHIR (SB-091358) Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) pada Juvenile Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) secara In-Situ di Kali Mas Surabaya Oleh : Robby Febryanto (1507 100 038) Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1. Kualitas Warna Perubahan warna ikan maskoki menjadi jingga-merah terdapat pada perlakuan lama pemberian pakan berkarotenoid 1, 2 dan 4 hari yaitu sebanyak 11,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan menyebabkan sumber air bersih berkurang, khususnya di daerah perkotaan. Saat ini air bersih menjadi barang yang

Lebih terperinci

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN :

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN : Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN : 2303-2960 PENENTUAN POLA PERUBAHAN SALINITAS PADA PENETASAN DAN PEMELIHARAAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) ASAL SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jumlah Konsumsi Pakan Perbedaan pemberian dosis vitamin C mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (P

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Uji Toksisitas Akut

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Uji Toksisitas Akut 51 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Hasil uji nilai kisaran (Range value test) merkuri pada ikan bandeng menunjukkan bahwa nilai konsentrasi ambang bawah sebesar 0.06

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, ph, NH 3, CO 2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2 11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam Jumlah rata rata benih ikan patin siam sebelum dan sesudah penelitian dengan tiga perlakuan yakni perlakuan A kepadatan

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI LINGKUNGAN Adaptasi : Proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi terdapat kendala yang dapat menurunkan produksi berupa kematian budidaya ikan yang disebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1 Pertumbuhan benih C. macropomum Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari pemeliharaan disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Pertumbuhan C.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN ABSTRAK (Effect of Osmotic Regulation on Larvae Development and Survival of

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh kosentrasi limbah terhadap gerakan insang Moina sp Setelah dilakukan penelitian tentang gerakan insang dan laju pertumbuhan populasi Moina sp dalam berbagai kosentrasi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Benih Ikan Lele Rata-rata tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi dicapai oleh perlakuan naungan plastik transparan sebesar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Udang Galah

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Udang Galah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Udang Galah Sebagian besar udang air tawar termasuk dalam famili Palaemonidae dan genus Macrobrachium yang merupakan genus paling banyak jenisnya. Udang galah merupakan salah satu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke dalam Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pangasianodon, Spesies Pangasianodon hypopthalmus (Saanin 1984).

TINJAUAN PUSTAKA. Pangasianodon, Spesies Pangasianodon hypopthalmus (Saanin 1984). 3 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Siam Pangasianodon hypopthalmus Ikan patin siam adalah ikan yang termasuk kedalam Kelas Pisces, Sub Kelas Teleostei, Ordo Ostariophsy, Sub Ordo Siluroidea, Famili Pangasidae,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Resirkulasi Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang sudah digunakan dengan cara memutar air secara terus-menerus melalui perantara sebuah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan ketinggian air yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari beberapa parameter uji (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh perlakuan

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN 4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN Faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses pemanfaatan pakan tidak hanya pada tahap proses pengambilan, pencernaan, pengangkutan dan metabolisme saja, bahkan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Bobot benih ikan nila hibrid dari setiap perlakuan yang dipelihara selama 28 hari meningkat setiap minggunya. Bobot akhir benih ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang sangat potensial, karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Eh dan ph Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Pada kondisi seperti ini, mikrob aerob tanah menggunakan semua oksigen yang tersisa dalam tanah.

Lebih terperinci

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi 1 Udang Galah Genjot Produksi Udang Galah Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi gaya rumah susun. Setiap 1 m² dapat diberi 30 bibit berukuran 1 cm. Hebatnya kelulusan hidup meningkat

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5

BAB IV PEMBAHASAN. -X52 sedangkan laju -X52. korosi tertinggi dimiliki oleh jaringan pipa 16 OD-Y 5 BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini, hasil pengolahan data untuk analisis jaringan pipa bawah laut yang terkena korosi internal akan dibahas lebih lanjut. Pengaruh operasional pipa terhadap laju korosi dari

Lebih terperinci

Penyebaran Limbah Percetakan Koran Di Kota Padang (Studi Kasus Percetakan X dan Y)

Penyebaran Limbah Percetakan Koran Di Kota Padang (Studi Kasus Percetakan X dan Y) Penyebaran Limbah Percetakan Koran Di Kota Padang (Studi Kasus Percetakan X dan Y) Oleh: Komala Sari (Dibawah bimbingan Prof. Dr. Hamzar Suyani, M.S dan Dr. Tesri Maideliza, MS) RINGKASAN Limbah percetakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Bakteri Penitrifikasi Sumber isolat yang digunakan dalam penelitian ini berupa sampel tanah yang berada di sekitar kandang ternak dengan jenis ternak berupa sapi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata

Lebih terperinci

IV. HASIL DA PEMBAHASA

IV. HASIL DA PEMBAHASA IV. HASIL DA PEMBAHASA 4.1 Hasil 4.1.1 Pertumbuhan 4.1.1.1 Bobot Bobot rata-rata ikan patin pada akhir pemeliharaan cenderung bertambah pada setiap perlakuan dan berkisar antara 6,52±0,53 8,41±0,40 gram

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu jenis ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Permintaan pasar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Akumulasi Logam Berat Pb Konsentrasi awal logam berat di air pada awal perlakuan yang terukur dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS) yaitu sebesar 2.36 mg/l.

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lingkungan adalah industri kecil tahu. Industri tahu merupakan salah satu industri

PENDAHULUAN. lingkungan adalah industri kecil tahu. Industri tahu merupakan salah satu industri 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu industri kecil yang banyak mendapat sorotan dari segi lingkungan adalah industri kecil tahu. Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci