PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH"

Transkripsi

1 PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH LENNY STANSYE SYAFEI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Kelangsungan Hidup, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah, adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2006 Lenny Stansye Syafei NRP

3 ABSTRAK LENNY STANSYE SYAFEI. Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Kelangsungan Hidup, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah. Dibimbing oleh RIDWAN AFFANDI, M. SRI SAENI, KARDIYO PRAPTOKARDIYO dan BAMBANG KIRANADI. Peningkatan produksi udang galah melalui budidaya perlu terus diupayakan, sehubungan kecenderungan permintaan pasar yang meningkat. Kendala pada percepatan peningkatan produksi adalah terbatasnya kualitas dan kuantitas benih. Permasalahan terdapat pada efektivitas manajemen salinitas tanpa memperhitungkan beban kerja osmotik larva di panti-panti pembenihan. Karenanya penelitian ini bertujuan untuk memahami perilaku osmotik yang potensial berperan bagi keberhasilan: kelangsungan hidup, perkembangan larva dan potensi tumbuh pascalarva udang galah. Prinsip dasar yang menjadi landasan penentuan adalah meminimalkan beban kerja osmotik melalui adaptasi dan efisiensi pemanfaatan energi. Metode percobaan adalah kausal-komparatif-kondisional dengan disain percobaan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan salinitas dan tiga ulangan. Penelitian terdiri atas tiga percobaan, yaitu pengaruh beban kerja osmotik terhadap (1) perkembangan larva, (2) laju konsumsi oksigen, dan (3) potensi tumbuh pascalarva udang galah. Pengamatan dilakukan terhadap stadia kritis hasil percobaan pendahuluan, yaitu pada stadia 6, 8 dan 11; serta pascalarva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja osmotik berpengaruh nyata terhadap lama perkembangan stadia, sintasan stadia larva dan potensi tumbuh pascalarva. Beban kerja osmotik minimum terdapat pada: (a) tahap eksploratif perlakuan 3, yaitu peningkatan salinitas 1 ppt perhari selama tujuh hari dari salinitas awal 6 ppt, (b) pada tahap adaptasi perlakuan 3, yaitu salinitas media dipertahankan stabil 13 ppt. Dampak lanjut terhadap potensi tumbuh pascalarva pada kondisi hiperosmotik lebih tinggi dari hipoosmotik. Saran, perlu dibangun suatu konsepsi sebagai landasan paket teknologi. Rekomendasi salinitas awal adalah 6 ppt, peningkatan 1 ppt perhari selama tujuh hari, upayakan stabil pada salinitas 13 ppt, selanjutnya menurunkan salinitas saaat cairan tubuh larva melewati kondisi isoosmotik.

4 ABSTRACT LENNY STANSYE SYAFEI. Effect of osmotic load on survival, larval development time, and growth potential of freshwater giant prawn post-larvae. Under the direction of RIDWAN AFFANDI, SRI SAENI, KARDIYO PRAPTOKARDIYO and BAMBANG KIRANADI The production of freshwater giant prawn through rearing should be increased continuously considering the ever-increasing market demand. Acceleration in increasing production has been constrained by limitation of seed quality and quantity. The problem has been in effectiveness of salinity management without taking into consideration larval osmotic load in a hatchery. Hence, the research aimed at understanding osmotic compartment that potentially plays an important role in survival, larval development, and the potential growth of post-larva of freshwater giant prawns. The basic principal used as determining base was minimizing osmotic load through adaptation and efficiency of energy utilization. The experimental method was causal comparative conditional; while the experimental design used was a complete randomized design with four salinity treatments and three replications. The research consisted of three experiments, covering effects of osmotic load on: (1) larval development, (2) rate of oxygen consumption, and (3) growth potential of freshwater giant prawn post-larvae. Observation was conducted on those critical stadium based on preliminary experiment; comprising those of 6 th, 8 th, 11 th and post-larva using the design of complete random type with four treatments of salinity and three replications. The result of the research reveals that osmotic load has significant influence on development time, survival of larval stadium, and post-larval growth potential. Minimum osmotic load of: (a) explorative stage occurred in the third treatment, there was 1 ppt daily salinity increase within seven days from initial salinity of 6 ppt; and (b) adaptive stage occurred at third treatment that is medium salinity was maintained stable at 13 ppt. The successive impact on post-larval growth potential at hyperosmotic was higher than it was on hypo-osmotic condition. It is suggested that a concept should be developed further such as base of particulary better technology expected. The recommended initial salinity should be 6 ppt, increase in salinity should be 1 ppt daily for the first seven days, it should be kept stable at 13 ppt, and finally should be decreased when larval body solution exceed iso-osmotic condition.

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari institut pertanian bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya

6 PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH LENNY STANSYE SYAFEI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

7 Judul Disertasi : Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Kelangsungan Hidup, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah Nama : Lenny Stansye Syafei NRP : Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ridwan Affandi Ketua Prof. Dr. Ir. Muchammad Sri Saeni, MS Anggota Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo Anggota Drs. Bambang Kiranadi, MSc. PhD Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 27 April 2006 Tanggal Lulus: 24 Agustus 2006

8 PRAKATA Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa penelitian yang terkendala oleh berbagai faktor ini mampu dirampungkan; dan hal ini hanya mungkin terjadi berkat rahmat dan karunia Tuhan YMK. Oleh karenanya, mengawali tulisan ini penulis memanjatkan Puji dan Syukur atas seluruh perkenannya. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang diwujudkan dalam bentuk suatu disertasi. Gambaran substansi tulisan meliputi: latar belakang, identifikasi masalah, kerangka pemikiran, perumusan konsepsi, tujuan dan manfaat penelitian; kerangka teoritis yang merangkum pemikiran dasar dan pendalaman suatu teori melalui penelusuran tinjauan pustaka; bahan dan metode sebagai penuntun pelaksanaan penelitian; hasil dan pembahasan; serta kesimpulan. Bilamana disertasi ini terlihat telah memenuhi kerangka umum sebagaimana layaknya suatu disertasi; dapat penulis sampaikan bahwa hal itu terwujud berkat bimbingan yang terarah dari Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Ridwan Affandi, selaku Ketua; dengan anggota: Prof. Dr. Ir. Muchammad Sri Saeni, MS; Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo serta Drs. Bambang Kiranadi, MSc. PhD. Karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus. Tetapi bilamana masih terdapat kekurangan, pertanda penulis belum mampu menyerap secara utuh bimbingan yang telah diberikan dan karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, pengolahan data serta perampungan penulisan penelitian ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2006 Lenny Stansye Syafei

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 29 September 1952 sebagai anak terakhir dari enam orang anak pasangan M. Syafei Dg Mambani (almarhum) dan Chatarina Johana Jonas (almarhumah). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB, lulus pada tahun Pada tahun 1987, penulis diterima sebagai mahasiswa program magister sain pada Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun Beasiswa pendidikan magister sain diperoleh dari Departemen Pertanian Republik Indonesia. Kesempatan untuk melanjutkan studi untuk program doktor pada perguruan tinggi dan program studi yang sama diperoleh pada tahun Penulis bekerja sebagai Tenaga Pengajar sejak tahun 1981 dan ditempatkan di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor; Jurusan Penyuluhan Perikanan. Selama menjadi Tenaga Pengajar, penulis juga ditugaskan pada institusi pendidikan tersebut sebagai Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat antara tahun Kemudian pada tahun , penulis ditugaskan sebagai Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Perikanan pada institusi pendidikan yang sama. Selama mengikuti program S3, penulis penulis diberi tanggung jawab selaku Pembantu Ketua I bidang Akademik pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Bogor, yaitu dari tahun Kemudian pada tahun , penulis ditugaskan sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kewirausahaan, Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian; sekaligus pada saat yang sama di bulan Mei 2005 sampai dengan akhir tahun 2005, penulis diberi kepercayaan bertindak sebagai Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Ad Interm, Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian. Sejak awal Januari 2006 menjadi pegawai Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai tenaga pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan dan kelangsungan hidup larva udang galah Macrobrachium rosenbergii de Man pada jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Karya ilmiah tersebut merupakan salah satu bagian dari rangkaian penelitian dalam rangka penyelesaian program S3 penulis.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iii v vii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Identifikasi Masalah... 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6 Kerangka Pemikiran... 6 Konsep Pemecahan Masalah... 6 Prinsip Dasar... 8 Faktor Penentu... 9 Perumusan Konsepsi... 9 Hipotesis... 9 TINJAUAN PUSTAKA Karateristik Media Kapasitas Regulasi Osmotik Perkembangan Stadia Pertumbuhan Pascalarva METODOLOGI Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Perkembangan Larva Tahap Awal dan Tahap Lanjut Tujuan Percobaan Metode dan Disain Rancangan Percobaan Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan Teknik Pengumpulan Data Analisis Data Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Laju Konsumsi Oksigen Larva Udang Galah Tujuan Percobaan Metode dan Disain Rancangan Percobaan Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan... 48

11 Teknik Pengumpulan Data Analisis Data Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah Tujuan Percobaan Metode dan Disain Rancangan Percobaan Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan Teknik Pengumpulan Data Analisis Data HASIL PENELITIAN Kondisi Kualitas Air Kualitas Air pada Tahap Eksplorasi Kualitas Air pada Tahap Adaptasi dan Perkembangan Akhir 62 Kemampuan Regulasi dan Beban Osmotik Perkembangan Larva Lama Waktu Perkembangan Stadia Lama Waktu Keberadaan Stadia Produksi Kelimpahan Larva Sintasan dan Laju Kematian Produksi Kelimpahan Potensi Pertumbuhan Potensi Pertumbuhan Larva Tingkat Konsumsi Pakan Harian Tingkat Konsumsi Oksigen Potensi Tumbuh Larva Potensi Pertumbuhan Pascalarva Tingkat Konsumsi Pakan Harian Tingkat Konsumsi Oksigen Potensi Tumbuh Pascalarva PEMBAHASAN Hubungan antara Lama Waktu Perkembangan Larva, Sintasan dengan Beban Kerja Osmotik Hubungan antara Potensi Pertumbuhan dengan Beban Kerja Osmotik serta Dampak Lanjut terhadap Potensi Pertumbuhan Pascalarva SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA ii

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tahap Perkembangan Larva sampai Pascalarva Udang Galah Komposisi Pakan Buatan untuk Mendukung Pertumbuhan Pascalarva Macrobrachium rosenbergii Parameter Kualitas Air dan Metoda Peneraan yang Digunakan Perkiraan Jumlah Air Laut dan Tawar Terpakai pada Percobaan Jadual Pemberian Pakan Harian Berdasarkan Stadia Larva Rataan dan Simpangan Baku Parameter Fisika-Kimia Air serta Tolok Ukur setiap Perlakuan pada Sistem Produksi Tahap Eksplorasi Rataan dan Simpangan Baku Parameter Fisika-Kimia Air serta Tolok Ukur pada Sistem Produksi Tahap Adaptasi dan Tahap Perkembangan Akhir Kemampuan Regulasi Osmotik (OH/OM) Larva Udang Galah setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Beban Kerja Osmotik [1-(OH/OM)] Larva Udang Galah setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Deskripsi Tahapan Perkembangan Larva sampai dengan Pascalarva Udang Galah selama Penelitian Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva Udang Galah setiap Perlakuan Lama Waktu Keberadaan Stadia Larva Udang Galah setiap Perlakuan Tampilan Kondisi Rekrutmen, Lost dan Sintasan Larva Udang Galah pada Tahap Eksplorasi, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Setiap Perlakuan Produksi Larva dan Pascalarva Udang Galah pada Akhir Sistem Produksi Tahap Potensi Tumbuh PL Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Artemia salina) Larva setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir... 84

13 16. Konsumsi Energi Basal per Bobot Larva Udang Galah setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Konsumsi Energi Basal Larva Udang Galah (kalori /larva per hari) setiap Perlakuan Potensi tumbuh larva udang galah (kalori /larva per hari) setiap perlakuan Tampilan Aktual Bobot Larva Udang Galah setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Daphnia sp.) Pascalarva sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva Konsumsi Energi Basal Pascalarva Udang Galah sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva Konsumsi Energi Basal Pascalarva Udang Galah (kalori /PL per hari) sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah (kalori /PL per hari) sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik Tampilan Aktual Pertambahan Bobot Pascalarva Udang Galah Setiap Perlakuan Sintasan Pascalarva Udang Galah pada Akhir Percobaan Setiap Perlakuan Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja pada Tahap Eksploratif Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja pada Tahap Adaptasi Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja pada Tahap Perkembangan Akhir Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh pada Tahap Eksploratif Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh pada Tahap Adaptasi Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh pada Tahap Perkembangan Akhir Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh PL iv

14 33. Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh PL Kompilasi Nilai Rataan Variabel Kerja untuk Potensi Tumbuh PL v

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram Alir Pendekatan Masalah Pengaruh Beban Kerja Osmotik pada Perkembangan Larva Udang Galah Diagram Alir Pendekatan Masalah Pengaruh Beban Kerja Osmotik pada Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah Siklus Hidup Udang Galah yang Berada pada Air Tawar dan Air Payau (modifikasi dari Akson dan Sampaio, 2000) Grafik Osmotik Krustase Tipikal Osmokonformer dan Osmoregulator (Sumber: Anonimous, 1997) Ilustrasi Mekanisme Kerja Pompa Natrium-Kalium Organisme Air Tawar (Sumber: Anonimous, 2003) Perubahan Aktivitas Enzim Na + /K + -ATPase selama Periode Metamorfosa Larva Macrobrachium rosenbergii Menjadi Pascalarva (Huong et al, 2004) Proses Perkembangan Telur Udang Galah sampai Fase Embrionik (Sumber: Romanova, 2000) Grafik Pertumbuhan Pascalarva Macrobrachium rosenbergii pada Berbagai Nilai ph Media (Sumber: Chen dan Chen, 2003) Tampilan Perubahan Osmolalitas Hemolymph Macrobrachium rosenbergii pada Beberapa Konsentrasi Kelarutan Oksigen Media (Cheng et al., 2003) Mekanisme Runut Kegiatan Penelitian pada Sistem Produksi dari Tahap Perkembangan Larva sampai Tahap Potensi Tumbuh Pascalarva Pola Perlakuan Perubahan Salinitas Media pada Sistem Produksi Tahap Perkembangan Larva dan Tahap Potensi Tumbuh Pascalarva Wadah Percobaan dalam Bentuk Akuarium berukuran (40x80x30)cm Bagan Penempatan Satuan Percobaan yang Dilakukan secara Acak Deskripsi Perkembangan Stadia Larva Udang Galah (Sumber: Uno dan Soo, 1969) Osmometer yang Digunakan Beserta Spesifikasinya Disain Instrumen Peneraan Respirasi Larva Udang Galah... 47

16 17. Visualisasi Instrumen Konsumsi Oksigen yang Digunakan Rincian Percobaan Pengukuran Respirasi Larva Tahapan Pengukuran Tekanan Osmotik Larva Udang Galah Visualisasi Tahapan Pengukuran Tekanan Osmotik Larva Beban Kerja Osmotik Larva Udang Galah tiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Kondisi Keragaman Stadia Larva Udang Galah pada Tahap Eksploratif Hubungan Lama Waktu Perkembangan Stadia dengan Beban Osmotik pada Tahap Eksplorasi Hubungan Lama Waktu Perkembangan Stadia dengan Beban Osmotik Pada Tahap Adaptasi Hubungan Lama Waktu Perkembangan Stadia dengan Beban Osmotik Pada Tahap Perkembangan Akhir Pola Konsumsi Energi Pakan Harian Larva Udang Galah Setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Pola Energi Basal Udang Galah Setiap Perlakuan Pada Tahap Eksploratif dan Tahap Adaptasi Kurva Pertumbuhan Pascalarva sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva 94 vi

17 DAFTAR LAMPIRAN 1. Nilai Parameter Kualitas Air setiap Perlakuan selama Penelitian... Halaman 2. Kemampuan Regulasi Osmotik (OH/OM) Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Hasil Analisis Keragaman Kemampuan Regulasi Osmotik Larva setiap Perlakuan selama Penelitian Beban Kerja Osmotik [1-(OH/OM)] Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Hasil Analisis Keragaman Beban Kerja Osmotik Larva setiap Perlakuan selama Penelitian Visualisasi Tahap Perkembangan Larva sampai Pascalarva Udang Galah Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva sampai Pasca Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Hasil Analisis Keragaman Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva sampai Pasca Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Lama Waktu Keberadaan Stadia Larva sampai Pasca Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Hasil Analisis Keragaman Lama Waktu Keberadaan Stadia Larva sampai Pasca Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Hasil Perhitungan Rekrutmen, Lost dan Sintasan Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Hasil Analisis Keragaman Perhitungan Rekrutmen, Lost dan Sintasan Larva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Hasil Pengukuran Produksi Larva dan Pascalarva Udang Galah pada Akhir Sistem I dan II Hasil Analisis Keragaman Produksi larva dan Pascalarva Udang Galah pada Akhir Sistem I dan II

18 15. Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Artemia salina) Larva (kalori/larva/hari) setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Hasil Analisis Keragaman Tingkat Konsumsi Energi Pakan harian (Artemia salina) Larva (Kalori/larva/hari) setiap Perlakuan pada Tahap Eskploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir Konsumsi Oksigen Basal per Bobot Larva Udang Galah Setiap Perlakuan pada Tahap Eksploratif, Adaptasi dan Perkembangan Akhir (kalori O 2 /mg per bobot basah larva per jam) (a s/d g) Hasil Analisis Keragaman Pengukuran Konsumsi Oksigen Larva Udang Galah Setiap Perlakuan Selama Penelitian (a s/d b) Potensi tumbuh larva udang galah setiap perlakuan (kalori /mg bobot larva per hari) Hasil Analisis Keragaman Potensi Tumbuh Larva Udang Galah Setiap Perlakuan Hasil pengukuran Bobot Stadia Larva antar Perlakuan Selama Penelitian Hasil Analisis Keragaman Bobot Stadia Larva antar Perlakuan selama Penelitian Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Daphnia sp.) Pascalarva sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva Hasil Analisis Keragaman Tingkat Konsumsi Energi Pakan Harian (Daphnia sp.) Pascalarva setiap Perlakuan selama Penelitian Konsumsi Oksigen Basal Pascalarva Udang Galah sebagai Respon dari Perlakuan Tekanan Osmotik saat Pemeliharaan Larva (mg/l per mg bobot basah PL) (a s/d g) Hasil Analisis Keragaman Pengukuran Konsumsi Energi Oksigen Pascalarva Udang Galah setiap Perlakuan selama Penelitian Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah setiap Perlakuan (kalori/mg bobot PL per hari) Hasil Analisis Keragaman Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah setiap Perlakuan viii

19 29. Hasil pengukuran Bobot (aktual) Pascalarva antar Perlakuan selama Penelitian Hasil analisis keragaman bobot (aktual) pascalarva antar perlakuan selama penelitian ix

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Udang galah, Macrobrachium rosenbergii de Man adalah jenis udang yang hidup di perairan tawar. Udang ini merupakan udang dengan ukuran terbesar dalam famili Palaemonidae, dan bernilai ekonomis penting sehingga menarik banyak kalangan untuk melakukan budidaya. Sejauh ini budidaya udang galah mulai marak dilaksanakan di kalangan pembudidaya, baik dalam skala kecil berkelompok maupun dalam skala menengah. Aplikasi teknologi budidayanya yang terjangkau, sederhana dan tepatguna sejak dari sekuensi pembenihan sampai ke pembesaran, menjadikan komoditas ini sebagai pilihan alternatif yang berdaya saing. Oleh karena itu, melalui berbagai upaya dicoba untuk dikembangkan dalam skala besar; sehingga pada beberapa tahun terakhir ini, udang galah mulai diperhitungkan sebagai komoditas unggulan yang memberi harapan bagi masa depan perikanan budidaya. Selaku komoditas unggulan penting, bagi pembangunan perekonomian Indonesia, kekuatan utama berusaha di bidang ini adalah tergolong komoditas yang ditangani rakyat banyak. Dengan demikian, upaya pengembangan budidaya udang galah akan memberikan dampak yang besar dan positif bagi perekonomian rakyat. Terlebih bila diingat bahwa budidaya udang galah dapat dilakukan dalam skala kecil bahkan mikro. Pantauan selama ini memperlihatkan permintaan pasar akan udang galah ukuran konsumsi terus meningkat secara nyata, terutama di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini terlihat dari tingginya permintaan benih pada panti pembenihan yang ada. Berbagai informasi dari kalangan pembudidaya udang galah menyatakan bahwa peningkatan produksi, baik dari hasil budidaya maupun dari hasil tangkap masih belum mampu memenuhi permintaan pasar akan udang galah ukuran konsumsi. Data kuantitatif secara rinci dari BPS tidak diperoleh, karena udang galah masih disatukan dalam kelompok udang. Gambaran peningkatan produksi udang galah bukan hanya di Indonesia, di kawasan Asia lainnya pun terjadi peningkatan produksi. Dalam dua dasawarsa terakhir, produksi komoditas udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) meningkat

21 2 secara nyata, terutama di Asia, serta di Amerika Utara dan Amerika Selatan. Tercatat selama 10 tahun terakhir ( ) produksi dunia udang galah hasil budidaya meningkat dari sekitar mt (metriks ton) menjadi sekitar mt atau meningkat sekitar lima kali (New, 2002; New, 2005). Peningkatan produksi udang galah memang harus terus diupayakan mengingat permintaan pasar terus meningkat. Upaya peningkatan melalui penangkapan udang dalam jangka panjang tidak dapat diandalkan. Terdapat kaidah umum bahwa pada batas tertentu hasil tangkapan yang terus ditingkatkan akan menurunkan potensi reproduktif udang, karena keterbatasan stok udang dewasa. Belum lagi hal tersebut ditambah adanya kerusakan lingkungan di habitat alami udang galah karena kegiatan antropogenik. Jawaban dari persoalan ini adalah peningkatan produksi melalui budidaya. Namun di pihak lain, selama ini produksi usaha pembesaran udang galah masih rendah, akibat kendala terbatasnya ketersediaan kualitas dan kuantitas benih. Upaya-upaya penyediaan benih telah dilakukan dengan penyediaan panti-panti pembenihan. Kegiatan panti pembenihan udang galah di Indonesia telah dimulai sejak awal tahun 1970-an. Selama kurun waktu itu, telah banyak penguasaan teknologi pembenihan udang galah diterapkan; dua di antaranya adalah ketersediaan induk melalui pematangan gonad serta pengadaan pakan alami. Pada teknologi perawatan larva, khususnya manajemen kualitas air dan pengaturan salinitas, masih didasarkan atas pengalaman empirikal yang bersifat eksplorasi agar sesuai dengan kondisi alami. Sebagaimana siklus hidup di alam, larva udang galah memulai tahapan hidupnya di muara sungai saat menetas dari telur dengan kondisi media berair payau. Secara bertahap, larva udang galah melewati seluruh tahapan stadianya yang berjumlah sebelas stadia pada air payau dan saat pascalarva, juvenil muda ini mulai beruaya ke arah hulu sungai untuk hidup, tumbuh dan berkembang di perairan tawar. Dengan masih adanya fluktuasi penguasaan teknologi pengelolaan pengaturan salinitas air, produksi larva masih labil. Mendasari kondisi ini, terlihat bahwa pengaturan salinitas sebagai media pemeliharaan larva yang sesuai dengan kemampuan perubahan osmotik larva masih perlu dikaji. Berbagai penelitian telah dilakukan, antara lain oleh Zacharia dan Kakati (2004) yang menunjukkan bahwa salinitas merupakan faktor

22 3 lingkungan yang mempengaruhi perkembangan larva, pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang galah. Penelitian yang dilakukan oleh Shinn-Pyng et al. (2005) serta Al-Harbi dan Uddin (2004), menunjukkan bahwa terdapat sejumlah penyebab tingginya mortalitas pada pembenihan udang galah, baik karena senyawa kimia di perairan; penyakit mikrobal; maupun karena kemampuan regulasi ionik terhadap perubahan salinitas media. Namun penelitian lebih ditujukan pada ukuran juvenil dan pada ukuran dewasa (Wilder et al., 1998 dan Huong et al., 2001). Sejauh ini meski kondisi perkembangan awal (early development) sangat menentukan bagi perkembangan/pertumbuhan selanjutnya, namun penelitian dan percobaan tentang bagaimana kondisi larva berkaitan dengan salinitas belum dilakukan, Sehubungan dengan masalah tersebut, maka dipertimbangkan perlu dilakukan pengkajian pengaruh beban kerja osmotik terhadap kelangsungan hidup, perkembangan dan pertumbuhan larva udang galah yang dipelihara pada media dengan kondisi kualitas air yang layak serta dukungan pemberian pakan yang memadai. Identifikasi Masalah Hasil kelimpahan dan potensi tumbuh pascalarva (PL) berdasarkan aplikasi dari usaha pembenihan udang galah ternyata belum mencapai target yang diharapkan. Kondisi PL yang belum mencapai target tersebut di atas, terjadi berkenaan dengan lambatnya perkembangan larva yang diikuti oleh mortalitas dan respirasi yang meningkat. Lama waktu perkembangan dan sintasan dari stadia larva tersebut menjadi penentu tingkat keberhasilan perkembangan larva menjadi PL. Sumber penyebab dari rendahnya tingkat keberhasilan perkembangan larva udang galah, yaitu pengaturan salinitas media sewaktu pemeliharaan larva tidak serasi dengan kemampuan kerja regulasi osmotik larva. Larva hasil penetasan terdiri dari induk matang gonad yang dipelihara pada media bersalinitas 5-6 ppt, segera dipindahkan pada media bersalinitas ppt sebagai media pemeliharaan larva mencapai PL. Pemindahan larva yang baru menetas dari media bersalinitas 5-6 ppt menjadi ppt tersebut merupakan perubahan

23 4 beban osmotik larva yang mendadak sehingga potensial menghambat proses metamorfosis, berakibat lanjut pada kematian. Untuk mengatasi masalah tersebut, pengaturan salinitas media pemeliharaan larva dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kerja regulasi osmotik larva, melalui penerapan prinsip adaptasi. Selain pengatur salinitas media tersebut, larva udang diberi pakan alami yang bermutu serta kualitas air yang diupayakan mantap layak bagi kelangsungan hidup larva. Diagram alir permasalahan perkembangan larva dapat dilihat pada Gambar 1 dan diagram alir permasalahan potensi tumbuh pascalarva dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan kontinyuitas sistem dengan adanya perubahan salinitas media, maka secara matematis fungsi produksi dari penerapan sistem teknologi pembenihan udang galah adalah sebagai berikut: Tahap perkembangan larva Y 1 = ƒ (X 1, X 2, X 3 ) Y 2 = ƒ (X 3.1, X 3.2 ) / X 1, X 2 Proses Biologis: Y 1.1 (respirasi) = ƒ (X 3.1 ) Keterangan: Y 1 = lama waktu perkembangan stadia survival setiap stadia Y 2 = sintasan ditentukan Y 1 X 1 = stok larva udang X 2 = pakan alami X 3.1 = salinitas X 3.2 = kualitas air (vitalistik) Pada tahap eksplorasi: Y = ƒ (X 3.1, X 3.2 ) / X 1, X 2 X 3.1 = (6,0) (10,2); (11,6); (13,0); (14,4) per mil Pada tahap adaptasi dan perkembangan akhir: Y = ƒ (X 3.1, X 3.2 ) / X 1, X 2 X 3.1 = (10,2); (11,6); (13,0); (14,4) per mil; salinitas statis Tahap potensi tumbuh pascalarva Y 1 = ƒ (X 1.1, X 1.2, X 2, X 3 ) Y 1 = ƒ (X 1.2, X 2 ) / X 1.1, X 3 kx 2 = ƒ (X 1.2 )

24 5 Keterangan: Y 1 = pertumbuhan (SGR) X 1.1 = kelimpahan stok pascalarva udang X 1.2 = bobot PL X 2 = pakan alami X 3 = kualitas air (vitalistik) X 3.1 = salinitas air kx 2 = konsumsi pakan harian Rq = koefisien respirasi Pada tahap potensi tumbuh PL Y = ƒ (X 3.1 ) / X 1, X 2. X 3.1 = (10,2); (11,6); (13,0); (14,4) permil tawar Gambar 1. Diagram alir pendekatan masalah pengaruh beban kerja osmotik pada perkembangan larva udang galah KUALITAS AIR SALINITAS PASCA LARVA - PENURUNAN BOS TEPAT? + - PENURUNAN BOS TEPAT? + REPIRASI SINTASAN - BOS TEPAT? + POTENSI TUMBUH PL PAKAN ALAMI Daphnia sp. MANAJEMEN PAKAN TK. KONSUMSI PAKAN Keterangan: BOS = Beban Kerja Osmotik PL = Pascalarva Gambar 2. Diagram alir pendekatan masalah pengaruh beban kerja osmotik pada potensi tumbuh pascalarva udang galah

25 6 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan dan pertumbuhan udang galah bertujuan untuk memahami perilaku osmotik yang potensial berperan bagi keberhasilan kelangsungan hidup, perkembangan larva dan potensi tumbuh pascalarva udang galah. Manfaat pengkajian pengaruh beban kerja osmotik udang galah ini berupa rekomendasi terhadap perbaikan paket teknologi yang dilakukan di panti pembenihan udang galah, khususnya manajemen pengaturan salinitas media. Untuk selanjutnya, konsep teknologi baru yang dihasilkan dapat dimasyarakatkan. Diharapkan penelitian ini dapat berfungsi sebagai upaya pengembangan teknologi baru dalam menerapkan dan menciptakan rekayasa kualitas lingkungan pada bidang pembenihan udang galah. Kerangka Pemikiran Konsep Pemecahan Masalah Keberhasilan perkembangan larva, tercermin dari lama waktu perkembangan dan sintasan stadia larva udang galah. Hal ini juga ditentukan oleh kelayakan kualitas air, beban osmotik larva serta energi dan materi bagi proses metamorfosis dan pertumbuhan larva. Apabila beban kerja osmotik besar, maka jumlah energi materi yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi metabolisme, respirasi dan atau pertukaran ionik osmotik menjadi mengecil. Sehubungan dengan kerangka pemecahan tersebut, maka diajukan suatu konsep pemecahan masalah yaitu meminimalkan beban keja osmotik larva agar sebagian besar energi dan materi dari pakan yang dicerna dan diabsorbsi dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan pertumbuahan stadia larva. Kelangsungan hidup yang rendah serta perkembangan dan pertumbuhan larva udang galah yang lambat merupakan masalah pengaturan salinitas media yang belum tepat. Sebagai organisme osmokonformer, maka larva udang galah akan selalu berupaya berada pada media yang isoosmotik terhadap cairan tubuh. Jawaban sementara terhadap proses fisologis ini adalah dengan kondisi

26 7 isoosmotik, maka kebutuhan energi yang digunakan dalam regulasi ionik relatif rendah. Lebih lanjut diharapkan, akan tersedia lebih banyak energi untuk perkembangan larva serta pertumbuhan pascalarva udang galah. Pada kondisi hiperosmotik atau hipoosmotik, lama waktu terjadinya tekanan dapat mengakibatkan rentannya kepekaan larva maupun juvenil terhadap perubahan lingkungan. Untuk memahami antiseden-konsekuensi serta memecahkan masalah pengaturan salinitas media sebagai penentu beban kerja osmotik larva udang galah, perlu dilakukan pendekatan masalah terhadap sistem produksi akuakultur dan kausal-komparatif-kondisional, sebagai berikut: (1) Sistem produksi akuakultur. Berdasarkan pola pengaturan salinitas media pada panti-panti pembenihan udang galah serta kesamaan penggunaan input, maka pengkajian dilakukan terhadap dua sistem produksi, yaitu: - Sistem produksi larva tahap awal dan tahap lanjut Penetasan telur dilakukan pada media 6 ppt. Pemeliharaan larva stadia 1 sampai dengan stadia 11, berada pada tiga tahapan. Tahap eksplorasi, yaitu saat dilakukan perubahan salinitas media dari 6 ppt menjadi 10,2; 11,6; 13; dan 14,4 ppt selama 7 hari. Tahap adaptasi dan perkembangan akhir, yaitu media berada dalam keadaan statis pada salinitas 10,2; 11,6; 13; dan 14,4 ppt. Pakan yang diberikan selama percobaan ini adalah pakan alami Artemia sp. - Sistem produksi pascalarva Tampilan potensi tumbuh pascalarva sebagai dampak lanjut perubahan salinitas media, dipantau melalui respon potensi tumbuh pada pola penurunan salinitas masing-masing dari salinitas 10,2; 11,6; 13; dan 14,4 ppt, menjadi 0 ppt selama 7 hari. Pakan yang diberikan pada percobaan ini adalah pakan alami Daphnia sp. (2) Kausal-komparatif-kondisional. Pendekatan kondisional pada setiap sistem produksi diupayakan layak dan memadai. Bilamana kualitas air serta pakan selama percobaan diupayakan layak dan memadai (ceteris paribus), maka output hanya ditentukan oleh pengaturan salinitas media.

27 8 Untuk pendekatan kausal-komparatif, dirancang suatu penelitian guna membandingkan output sebagai konsekuensi adanya hubungan sebabakibat (kausal). Sumber penyebab ditetapkan salinitas media pada setiap sistem produksi tersebut. Pengupayaan salinitas media bertingkat tersebut dimaksudkan sebagai faktor penentu output. Salinitas media diarahkan agar dapat menciptakan kondisi hiperosmotik, hipoosmotik dan isoosmotik terhadap tekanan osmotik cairan tubuh udang. Berdasarkan konsepsi tersebut di atas, maka pada pendekatan kausal-komparatifkondisional dievaluasi melalui dua pendekatan, yaitu: (1) kajian pengaruh beban kerja osmotik pada kelangsungan hidup dan perkembangan larva mulai dari larva awal sampai dengan larva tahap lanjut, dan (2) kajian pengaruh beban kerja osmotik pada tampilan potensi tumbuh pascalarva yang dihasilkan dari larva yang diadaptasi pada berbagai salinitas. Prinsip Dasar Prinsip dasar yang menjadi landasan penentuan dalam peramalan, penerapan serta pengendalian sistem pembenihan udang galah ini dilihat dari permasalahan yang ada dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu adaptasi dan efisiensi pemanfaatan energi pakan. Prinsip adaptasi dilakukan dengan meminimalisasi stres melalui cara penyediaan media isoosmotik yang didukung dengan kualitas air yang layak. Dari sini, diharapkan akan diperoleh kelangsungan hidup dan perkembangan larva udang yang cukup tinggi. Penggunaan prinsip efisiensi pemanfaatan energi pakan, dilakukan dengan menetapkan kesesuaian pakan/kebutuhan pakan. Peramalan yang akan terjadi dengan prinsip ini adalah membatasi kehilangan energi akibat kegiatan respirasi pada tingkat seluler. Dengan demikian maka yang terjadi adalah: jika isoosmotik d regulasi ionik / dt < energi / dt jika isoosmotik dw/dt = (PR) (T) (E) dengan demikian bila T dan E minimal, maka: dw/dt = (PR) atau sebagian PR dapat dipergunakan menunjang pertumbuhan dw/dt E dapat minimal, apabila BOS minimal atau mendekati konsisi isoosmotik Keterangan: PR = Energi Pakan; T = Energi Respirasi; E = Energi Osmotik

28 9 Faktor Penentu Kualitas larva, kualitas air, pengaturan salinitas, beban kerja osmotik, pengelolaan pakan sesuai dengan perkembangan larva, serta sintesis kerangka teori yang dikembangkan. Perumusan Konsepsi Meminimalkan beban kerja osmotik larva melalui penerapan prinsip adaptasi dan efisiensi agar sebagian besar energi dan materi dipergunakan untuk menunjang proses metamorfosis dan pertumbuhan. Hipotesis Apabila beban osmotik larva dapat diupayakan minimal, maka lama waktu perkembangan larva dapat dipercepat, sehingga sintasan setiap stadia larva meningkat dengan potensi tumbuh tidak menurun.

29 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Media Siklus hidup udang galah yang melalui media tawar dan payau, menempatkan pengaturan proses fisiologis sebagai penentu utama kelangsungan hidup dan pertumbuhannya (Gambar 3). Udang galah dalam pembahasan ini termasuk Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Ordo Decapoda, Famili Palaemonidae, Genus Macrobrachium dan species rosenbergii (de Man). Secara alami, larva udang galah mengawali kehidupannya pada media air payau. Karakteristik media payau yang optimal mendukung perkembangan stadia larva udang galah sampai dengan pascalarva, menurut beberapa kajian adalah: suhu berkisar antara o C; salinitas sekitar 6-16 ppt; ph antara 7,0-8,5; oksigen terlarut 5-8 ppm; ammonia lebih kecil dari 0,1 ppm, serta konsentrasi nitrit dalam air tidak lebih dari 0,1 ppm (Daniels et al., 2000; Correia et al., 2000; Zimmermann, 2000; serta Phatarpekar et al., 2002) Telur Menetas & 11 stadia larva Induk Betina Mengerami Telur (Bearing Egg) Kopulasi & Fertilisasi Pascalarva (Juvenil) PAYAU TAWAR Gambar 3. Siklus hidup udang galah yang berada pada air tawar dan air payau (modifikasi dari Akson dan Sampaio, 2000) Sejauh ini diketahui bahwa keberhasilan suatu spesies untuk berkembang pada suatu lingkungan perairan tertentu, sangat bergantung kepada kemampuan adaptasi dari setiap tahap perkembangan spesies tersebut. Pada tahap perkembangan larva udang galah, adaptasi sudah dimulai saat awal telur dierami pada kaki renang induknya, yaitu pada salinitas tawar. Salinitas media berubah,

30 11 pada saat memasuki perairan payau, tepatnya pada saat telur menetas. Proses adaptasi pada kondisi ini merupakan tahapan yang paling sensitif dan kompleks dalam siklus hidup larva udang galah. Tingkat kompleksitas pengaturan salinitas media semakin tinggi, bila pemeliharaan larva dilakukan pada unit pembenihan dengan manajemen pakan alami, Artemia salina. Agar Artemia salina sebagai pakan alami masih dapat bertahan hidup untuk beberapa saat, dibutuhkan kisaran salinitas dan suhu tertentu. Menurut Ritar et al. (2002), kista Artemia salina dapat ditetaskan dengan baik pada salinitas ppt dengan suhu optimum o C. Karenanya diperlukan kombinasi terbaik antara salinitas dan suhu media yang merupakan faktor abiotik penting dalam mendukung pertumbuhan larva udang galah dan memaksimalkan kemampuannya untuk hidup dan berkembang secara optimal. Menurut Spivak (2000), kondisi optimal yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan tiap spesies sangat spesifik dan juga berbeda pada setiap tahap dari siklus hidupnya. Hal ini terlihat pada stadia nauplius dari Penaeus merguensis yang memperlihatkan toleransi lebih rendah terhadap perubahan salinitas dibanding pada stadia mysis (Zacharia dan Kakati, 2004; serta Kumlu et al., 2000). Sementara hasil kajian Phatarpekar et al. (2002), memperlihatkan bahwa larva udang galah stadia-1 berkembang dengan optimum pada salinitas 7 ppt dan suhu 30 o C. Pada stadia-2 sampai stadia-4, berkembang dengan optimum pada salinitas 12 ppt dan suhu 31 o C. Kondisi salinitas sekitar 12 ppt tetap optimal sampai dengan pascalarva, dengan suhu media menurun pada nilai 30 o C. Mengikuti saran Zimmermann (2000), kombinasi antara salinitas dengan suhu untuk pemeliharaan larva udang galah dengan pakan Artemia salina, adalah: salinitas 6 ppt saat penetasan telur dan suhu media selama pemeliharaan pada kisaran o C, dengan salinitas lebih besar dari 10 ppt. Sedangkan Valenti dan Daniels (2000) menyatakan bahwa untuk pemeliharaan larva udang galah pada unit pembenihan dengan air payau buatan, diharapkan salinitas berkisar antara ppt dengan suhu di bawah 33 o C. Hal ini terkait dengan kandungan garam yang seharusnya ada dalam perbandingan memadai, sedangkan suhu di atas 33 o C dapat menekan kelangsungan hidup larva. Berdasarkan kajian yang ada, kisaran suhu

31 12 yang dapat digunakan pada pemeliharaan larva sejak penetasan telur adalah o C dengan kisaran salinitas 6 ppt sampai16 ppt. Perolehan nilai kelarutan oksigen saturasi secara teoritis dengan menggunakan formula Knudsen, didapatkan nilai kelarutan oksigen antara 7,0 ppm sampai dengan 7,5 ppm; untuk media dengan suhu minimal 28 dan maksimal 31 o C serta pada salinitas 16 ppt. Berdasarkan proses yang sama, terlihat kecenderungan terjadinya penurunan kelarutan oksigen saturasi dengan naiknya suhu dan salinitas media. Pengaruh perubahan suhu terhadap kelarutan oksigen saturasi dalam air jauh lebih besar, dibanding pengaruh perubahan salinitas. Melihat kondisi saturasi kelarutan oksigen pada suhu dan salinitas yang disarankan, maka dapat dikatakan bahwa persyaratan media dengan kandungan oksigen terlarut di atas 5 ppm akan terpenuhi. Berdasarkan hasil kajian Phatarpekar et al. (2002), kandungan oksigen terlarut pada media pemeliharaan larva udang galah disarankan berada pada kisaran nilai 6,5 ppm. Sementara Law et al. (2002) menyatakan bahwa untuk pemeliharaan larva udang galah yang optimal, maka kandungan oksigen terlarut dalam media sebaiknya lebih besar dari 5 ppm. Lebih lanjut, dikemukakan oleh Cheng et al. (2003), bahwa rendahnya kandungan oksigen terlarut dapat menyebabkan kondisi hipoksia pada Krustase, yang pada gilirannya akan mendorong mekanisme adaptasi spesifik, misalnya penurunan laju metabolisme, modifikasi keseimbangan asam-basa dari hemolim, terjadinya perubahan pada kemampuan mengikat hemosianin, osmolaritas hemolim dan perubahan konsentrasi ion dalam tubuh. Karena itu, Cheng et al. (2003) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimal berkisar antara 4,75 ppm sampai 7,75 ppm. Menyimak kajian yang ada, maka dapat dikemukakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut untuk mendukung optimalisasi perkembangan larva udang galah berkisar antara 5 ppm sampai 8 ppm. Perubahan ph yang drastis terhadap organisme yang hidup di perairan payau, akan menyebabkan terganggunya perkembangan embrio, tingkat penetasan telur dan perubahan struktur morfologi. Untuk udang galah, hal ini mulai berpengaruh pada saat penetasan telur. Walaupun rata-rata ph air laut 8,3, tetapi penetasan telur udang galah yang optimal berada pada media dengan ph 7,07 (Law et al., 2002, dan Boyd, 1998). Ketidak-sempurnaan organ tubuh larva udang

32 13 galah, akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan melakukan adaptasi terhadap lingkungan. Menurut Chen dan Chen (2003), nilai ph mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi oleh udang galah. Lebih lanjut disebutkan bahwa nilai ph media terendah yang dapat ditoleransi oleh udang galah adalah 7,4. Di pihak lain hasil kajian Cheng et al. (2003) menunjukkan bahwa terjadi penurunan ph hemolim udang galah dari 7,4 menjadi 7,34, bilamana kandungan oksigen terlarut pada media menurun dari 4,30 ppm menjadi 2,14 ppm. Dengan demikian dari berbagai kajian yang ada, dapat dikatakan bahwa nilai ph yang optimal bagi media pemeliharaan larva udang galah adalah berkisar antara 7,0-8,5. Ammonia adalah produk ekskretori utama pada hewan akuatik. Keracunan ammonia merupakan salah satu penyebab kematian pada masa pemeliharaan larva yang menggunakan manajemen terkontrol. Ammonia sebagai penyebab stres dalam perairan ini, terbagi atas dua bentuk yaitu dalam bentuk ion (NH + 4 ) dan bukan ion (NH 3 ) yang hadir bersama dalam keseimbangan yang diatur oleh ph (Chen dan Kou, 1992). NH 3 bebas berdifusi memasuki membran sel berkaitan dengan gradien tekanannya (Chen dan Lei, 1990; Chen dan Lee, 1997). Senyawa amonia yang beracun, berada dalam bentuk ammonia bukan ion. Oleh karena itu jika kadar ammonia dalam air meningkat, maka ekskresi ammonia menurun dan kadar ammonia dalam darah serta jaringan lain meningkat. Kondisi ini mengakibatkan suatu elevasi ph darah dan menimbulkan efek merugikan pada stabilitas membran dan reaksi katalisasi enzim (Tomasso, 1994), yang menyebabkan kematian. Berdasarkan fenomena ini, Cavalli et al. (2000) menyarankan uji toksisitas ammonia sebagai kriteria evaluasi kualitas larva. Ammonia dalam air antara lain dapat menekan laju pertumbuhan, konsumsi oksigen (Chen dan Lin, 1992), kapasitas osmoregulasi (Young-Lai et al., 1991) bahkan dapat menyebabkan kematian (Tomasso, 1994). Kandungan ammonia bukan ion yang berada dalam media pemeliharaan larva udang galah harus diusahakan lebih kecil dari 0,1 ppm (Boyd dan Zimmermann, 2000) Senyawa nitrit merupakan salah satu jenis polutan yang sering ditemukan pada sistem perairan budidaya. Sebagaimana diketahui, kehadiran nitrit dalam media budidaya adalah hasil antara dari proses oksidasi ammonia dengan bantuan bakteri nitrofikan, yaitu Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. Hasil kajian pakar

33 14 menyatakan bahwa kandungan nitrit yang tinggi dalam media budidaya udang dapat menjadi pemicu stress, mempengaruhi metaemosianin, menyebabkan hipoksia pada jaringan tubuh dan menganggu keseimbangan metabolisme (Chen dan Kou, 1992; serta Wang et al., 2004). Disamping itu, Chen dan Lee (1997) mengemukakan bahwa dosis letal (LC 50 pada 96 jam) senyawa nitrit untuk Macrobrachium rosenbergii sebesar 8,54 ppm. Berdasarkan beberapa kajian pakar pada Penaeus monodon dinyatakan bahwa modus aksi dari senyawa nitrit adalah dengan cara berdifusi ke dalam hemolim, sehingga mengakibatkan naiknya tekanan oksigen; yang sekaligus mengindikasikan turunnya afinitas terhadap oksigen. Lebih lanjut disebutkan, terjadi penurunan yang signifikan dari oksihemosianin (oxyhemocyanin) dan meningkatkan deoksihemosianin Penaeus monodon selama 6 jam terpapar dalam media dengan kandungan nitrit tinggi. Dalam studi ini, reactive oxygen intermediate (ROI s ) meningkat dengan meningkatnya konsentrasi nitrit (Chen dan Cheng, 1995; Cheng dan Chen, 1999; Moullac dan Haffiner, 2000). Sebagaimana diketahui, ROI s dan aktivitas mikroba mempengaruhi mekanisme kekebalan tubuh organisme perairan. Upaya proteksi terhadap mekanisme ROI s dilakukan melalui enzim antioksidan dan pemakan bangkai (scavenngers) (Winston dan di Giulio, 1991; serta Peters dan Livingstone, 1996). Untuk meminimalkan keracunan yang diakibatkan oleh keberadaan nitrit dalam media pemeliharaan larva udang galah, harus diupayakan agar mengandung nitrit tidak lebih dari 0,1 ppm (Akson dan Sampaio, 2000; serta Boyd dan Tucker,1998). Kapasitas Regulasi Osmotik Umumnya pada fase perkembangan dari larva ke pascalarva, terjadi mortalitas tinggi. Penyebab tingginya tingkat mortalitas, diduga sebagai akibat tidak dilewatinya secara optimal tahap penyesuaian di tingkat larva ke pascalarva; terutama yang berhubungan dengan kemampuan respons fisiologis. Namun demikian masalah keseimbangan osmotik terhadap perubahan media merupakan hal utama yang herus diperhatikan. Adapun perubahan kondisi media yang terjadi adalah

34 15 (1) Perubahan salinitas media mengganggu keseimbangan osmotik. Dalam upaya mempertahankan keseimbangan osmotik dan regulasi ionik ini larva udang galah membutuhkan sejumlah energi, di luar energi metabolisme dasar. Bahasan beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya hubungan yang linier antara osmolalitas hemolim dan osmolalitas media (Chen dan Lin, 1995). Karenanya pengaturan regulasi ionik yang berada sedikit di bawah titik isoosmotik dipandang menjawab permasalahan. (2) Rentang fluktuasi ph air di perairan tawar yang lebar (6 satuan ph di pagi hari dan 10 satuan ph di malam hari), jarang terjadi pada perairan payau yang memiliki sistem penyangga. Kajian Chen dan Kou (1996), menyatakan bahwa naiknya nilai ph, akan menurunkan ekskresi ammonia-n dan hal ini mengindikasikan terjadi penurunan pertukaran + aktif kation NH 4 untuk Na + pada nilai ph relatif tinggi. Karenanya perlu diketahui ion mana dalam larutan hemolim yang memegang peranan penting dalam proses ini. (3) Perubahan suhu air dan kelarutan oksigen yang terjadi pada kolam budidaya lebih berfluktuasi, dibanding media perawatan larva dalam unitunit pembenihan yang lebih terkontrol. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa konsumsi oksigen akan meningkat pada media dengan salinitas (menjadi) rendah; dan kondisi ini diduga menekan pertumbuhan udang (Chen dan Lai, 1993). Karenanya penetapan kondisi lingkungan optimal dipandang dapat mendukung pertumbuhan udang. Menyimak ruaya larva udang galah dari perairan payau ke perairan tawar, dapat dikatakan bahwa mekanisme pengaturan tekanan osmotik internal dan eksternal larva udang galah di alam, mengikuti tipikal organisme osmoregulator. Di alam, jarang ditemukan larva stadia 1 sampai dengan stadia 8 pada perairan tawar. Sebagaimana diketahui, fenomena pengaturan tekanan osmotik ini mengelompokkan organisme dengan tipikal osmokonformer yang tidak mampu mempertahankan tekanan osmotik internal dan tipikal osmoregulator yang memperlihatkan kemampuan organisme berusaha mempertahankan tekanan osmotik internalnya. Karenanya, strategi yang dilakukan oleh organisme osmoregulator adalah melakukan ruaya pada media sesuai dengan tekanan

35 16 osmotik internalnya. Strategi ini diperlihatkan dengan sangat jelas pada ruaya pertumbuhan larva udang galah. Anonimous (1997) menggambarkan tampilan osmotik osmokonformer dan osmoregulator dari krustase dalam bentuk grafik, seperti terlihat pada Gambar 4. Keterangan: A = Kelompok hyperosmoregulator B = Kelompok isoosmoregulator C = Kelompok hypoosmoregulator Gambar 4. Grafik osmotik krustase tipikal osmokonformer dan osmoregulator (Sumber: Anonimous, 1997) Sampai saat ini masalah yang belum diketahui dengan pasti/jelas adalah bagaimana pengaturan tekanan osmotik larva udang galah saat berada pada media terkontrol, seperti di panti-panti pembenihan. Upaya berupa strategi ruaya tidak dapat dilakukan, karenanya efektivitas manajemen salinitas media, menjadi faktor input yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva dan pascalarva yang kuat dan sehat. Untuk mengetahui sejauh mana proses adaptasi larva pada setiap stadia perkembangannya, diperlukan kejelasan mekanisme pengaturan kerja osmotik pada organisme yang bersangkutan. Kejelasan rangkaian kerja osmotik ini lebih jauh, dapat diuraikan sebagai berikut: konsep osmoregulasi adalah suatu regulasi ionik pada tingkat molekuler. Proses seluler ini terjadi pada lapisan jaringan kulit dan diikuti dengan kontrol terhadap proses hormonal. Regulasi aliran molekul antara lingkungan dan cairan

36 17 hemolim pada krustase dapat terjadi pada permukaan sel epitel yang terdapat pada insang, integumen, antena-gland dan saluran pencernaan. Bagi udang galah yang tergolong organisme air tawar, proses regulasi ionik di tingkat sel diatur melalui mekanisme pompa natrium-kalium. Udang galah, dalam ukuran induk maupun larva yang berada pada media payau, akan melakukan pelepasan ion natrium sebagai upaya mempertahankan konsentrasi ion pada hemolim yang hipoionik terhadap konsentrasi ion pada media. Untuk pengaturan regulasi ini diperlukan sejumlah energi sesuai dengan rentang beda konsentrasi ion pada media, seperti terlihat dari mekanisme pompa natrium-kalium yang membutuhkan sejumlah adenosin trifosfat (ATP) dan melepas adenosin difosfat (ADP) pada mekanismenya (Gambar 5). [Na + ] Tinggi [K + ] Rendah Pompa Na + /K + Luar sel Lapisan lemak Dalam sel [K + ] Tinggi [Na + ] Rendah Gambar 5. Ilustrasi mekanisme kerja pompa natrium-kalium organisme air tawar (Sumber: Anonimous, 2003) Sebagaimana dijelaskan, dalam kerja osmotik ini mengedepankan kegiatan regulasi ionik yang terjadi antar ion-ion yang terlarut dalam media dan ion yang ada dalam cairan hemolim. Menurut kajian Duerr dan Ahearn (1996) transport ion dalam regulasi media ke cairan hemolim krustase, meliputi beberapa kation, yaitu ion natrium (Na + ) dan ion kalsium (Ca 2+ ); dan beberapa anion, yaitu: ion klorida

37 18 (Cl - ) dan ion bikarbonat (HCO - 3 ). Organisme seperti pascalarva udang galah, yang melakukan ruaya pada salinitas yang lebih rendah, akan berupaya menahan kehilangan ion Na + dan Cl - dengan cara transport aktif mengambil Na + dari media melalui aktivitas Na + /K + -ATPase. Menurut Kamaruddin (1994) dan Morohashi et al. (1991), aktivitas enzim Na + /K + -ATPase ditentukan oleh ketersediaan asam lemak bebas (FFA). Selain itu, menurut Palacios et al. (2004), FFA ini meningkatkan aktivitas Na + /K + -ATPase dalam upaya menekan stres salinitas. Upaya menjaga pasokan FFA ini, berdasarkan kajian Pan et al. (1991), ketersediaannya dapat dipenuhi oleh pakan alami Artemia salina yang sekaligus berkontribusi sebagai exogenous enzim pencernaan untuk membantu sistem pencernaan larva yang pada umumnya belum sempurna. Pemberian Artemia salina yang baru ditetaskan dari kista dengan jumlah ad libitum sebagai pakan alami untuk larva pada penelitian ini, dipandang mencukupi. Kajian beberapa pakar menunjukkan bahwa pada umumnya dalam pemeliharaan larva Macrobrachium rosenbergii, disarankan menggunakan nauplii Artemia salina. sebagai pilihan pakan (Deru, 1990; Lavens et al., 2000; dan van Stappen, 2004). Mengikuti saran yang dikemukakan oleh Baros dan Valenti (2003), jumlah pemberian nauplii Artemia salina untuk larva Macrobrachium rosenbergii stadia 1 sampai dengan stadia 4 adalah 40 nauplii/larva per hari. Bila dilakukan perhitungan konversi energi, seperti yang dikemukakan oleh Lavens et al. (2000), maka nilai kalori dari 40 nauplii/larva per hari adalah sebesar 5,17 kalori/larva per hari. Sebagai pembanding, energi pakan berupa nauplii Artemia salina yang diberikan dalam penelitian ini berkisar antara 0,26-5,82 kalori/larva per hari, dipandang cukup memadai. Untuk mengetahui aktivitas enzim Na + /K + -ATPase pada larva Macrobrachium rosenbergii stadia 1 sampai dengan stadia 11 dan bahkan sampai dengan pascalarva hari ke-lima atau PL-5, Huong et al. (2004 a ) dan Huong et al. (2004 b ) melakukan penelitian tentang hal ini. Hasil yang diperoleh dari penetasan telur pada salinitas 12 ppt dan pemeliharaan larva berada pada salinitas 12 ppt, didapatkan pemahaman aktivitas Na + /K + -ATPase larva Macrobrachium rosenbergii seperti terlihat pada Gambar 6. Secara rinci Huong et al. (2004 a ) menjelaskan bahwa aktivitas Na + /K + -ATPase larva Macrobrachium rosenbergii

38 19 stadia 1 diawali sebesar 3,1 ± 0,1 μmol ADP/mg protein per jam, kemudian meningkat secara nyata pada saat larva stadia 2 sebesar 4,4 ± 0,4 μmol ADP/mg protein per jam. Antara stadia-2 dan seterusnya ke stadia-4 menunjukkan bahwa aktivitas Na + /K + -ATPase larva menurun. Saat stadia larva mencapai 6 terlihat perubahan yang sangat nyata dengan kenaikan sebesar 3,9 ± 0,1 μmol ADP/mg protein per jam. Perubahan aktivitas Na + /K + -ATPase larva secara nyata berikutnya terlihat pada stadia 10, yaitu sebesar 2,9 ± 0,1 μmol ADP/mg protein per jam. Tingginya aktivitas enzim Na + /K + -ATPase pada larva stadia awal, menurut kajian Wilder et al. (2000) disebabkan belum sempurnanya sistem osmoregulasi larva. Gambar 6. Perubahan aktivitas enzim Na + /K + -ATPase selama metamorfosa larva Macrobrachium rosenbergii menjadi pascalarva (Huong et al, 2004) Perkembangan stadia Pada tahapan awal pembenihan udang galah, keberhasilan perkembangan stadia larva serta pertumbuhan pascalarva udang galah sangat ditentukan oleh kualitas telur. Ketergantungan perolehan telur yang berkualitas terletak pada tingkat keberhasilan proses vitelogenesis. Vitelogenesis sendiri merupakan tahapan pada proses reproduksi krustase dengan hasil akhir adalah akumulasi oosit (oocyte) membentuk kuning telur dalam jumlah besar.

39 20 Pada proses internal dalam ovari akan terbentuk senyawa protein spesifik female yang berada dalam hemolim dan disebut vitellogenin. Selanjutnya, saat vitelogenin memasuki oosit, senyawa protein ini disebut vitelin atau lipovitelin yang merupakan bagian terbesar pendukung kuning telur dalam bentuk senyawa lipo-glyco-carotenoprotein. Senyawa carotenoid ini memberi bias warna jingga terang pada kuning telur secara menyeluruh. Warna ini juga yang mengindikasikan kesiapan kematangan telur atau sebagai tahap awal penentu keberhasilan perolehan telur bermutu. Proses vitelogenesis yang memberi bias warna jingga (penentu keberhasilan mutu telur) sampai fase embrionik telur udang galah dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Proses perkembangan telur udang galah sampai fase embrionik (Sumber: Romanova, 2000) Larva udang galah mulai melepaskan diri dari telur, setelah 48 jam sejak saat telur dilepaskan dari induk. Selama hari masa pertumbuhannya, larva udang galah melewati 11 tahap perkembangan sebelum mencapai bentuk sempurna sebagai udang muda atau pascalarva. Tahap perkembangan larva udang galah sampai pascalarva dapat diikuti pada Tabel 1.

40 21 Tabel 1. Tahap perkembangan larva sampai pascalarva udang galah Stadia Umur (hari) Keterangan Pertumbuhan I 1 2 Mata sesil dan belum bertangkai telson masih polos II 2 4 Mata sudah bertangkai uropoda pada telson mulai tampak III 4 7 Kaki jalan depan sudah mulai memanjang pertumbuhan eksopoda dan endopoda pada uropoda sudah mulai tampak IV 7 12 Dua gerigi rostrum sudah mulai tampak uropoda dan telson sudah berkembang menyerupai kipas V Pertumbuhan eksopoda dan endopoda pada uropoda sudah hampir sama panjang dengan telson VI Tunas pada pleopoda sudah mulai terlihat VII Pleopoda sudah mulai bercabang dua VIII Kaki jalan mulai terlihat lengkap uropoda lebih berkembang dan telson lebih menyempit pleopoda pada cabang luar mulai berambut IX Pleopoda lebih berkembang dengan pertambahan ruas dan rambut X Pleopoda lebih berkembang ada rambut di antara duri pada gerigi rostrum XI Uropoda telah berkembang penuh pleopoda berkembang sempurna gerigi rostrum telah berjumlah sembilan buah Pascalarva Rostrum telah tumbuh dengan 11 gerigi atas dan 3-5 gerigi bawah serta dua helai rambut Sumber: Hasil olahan dari data Uno dan Soo (1969) Pertumbuhan Pascalarva Sebagaimana bentuk udang galah dewasa, maka pascalarva udang galah sudah memiliki bentuk tubuh sebagai udang muda yang mempunyai eksoskeleton cukup tebal serta rigid yang merupakan ciri khas kelas krustase. Kehadiran eksoskeleton ini memberi tekanan tertentu pada optimalisasi proses pertumbuhan udang, termasuk pascalarva udang galah. Secara umum, dapat dikatakan proses tumbuh pada individu udang, diekspresikan melalui pertambahan panjang, volume dan bobot yang dinamik dengan waktu. Khusus ekspresi volume dan bobot, untuk organisme yang melakukan ganti kulit (molting) menjadi agak sulit, karena berlangsung diskontinyu. Hanya proses pertambahan panjang yang dapat berlangsung kontinyu. Beberapa hasil kajian memperlihatkan bahwa pertumbuhan udang pada kondisi hiperosmotik, seperti pada udang galah yang melakukan ruaya untuk perkembangan dan pertumbuhan dari perairan tawar ke perairan payau;

41 22 berkorelasi langsung dan dipengaruhi oleh tingkat kemampuan adaptasi terhadap salinitas media. Menurut Wang et al. (2003) kondisi salinitas media perairan yang memberi tekanan hiperosmotik sedikit di atas isoosmotik hemolim tubuh udang Macrobrachium nipponense, tercatat meningkatkan pertambahan bobot tubuh secara nyata. Kondisi isoosmotik Macrobrachium nipponense sebesar 450 mosm; sedangkan pada Macrobrachium rosenbergii, kondisi isoosmotik tercatat lebih tinggi yaitu sekitar 485 mosm. Menurut Sang dan Fotedar (2004), titik isoosmotik pada masing-masing udang bergantung pada stadia larva dan ukuran udang. Untuk mendukung pertumbuhan udang yang optimal dalam kondisi stres hiperosmotik, asam amino bebas (free amino acid) dengan total asam amino dalam ratio yang proporsional sehingga mempercepat pembentukan jaringan tubuh (Bishop dan Burton, 1993; Okuma dan Abe, 1994). Dengan demikian, dapat dikatakan sensitivitas Na + /K + -ATPase, khususnya dalam mekanisme transport aktif senyawa-senyawa garam melalui sistem osmoregulasi; berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan udang (Wang et al., 2003; Huong dan Wilder, 2001) Pengaruh faktor suhu terhadap pertumbuhan yang diperlihatkan dari beberapa hasil kajian mengindikasikan bahwa pertumbuhan udang muda pada tahap awal sangat ditentukan oleh suhu perairan media. Untuk pascalarva udang windu, tercatat kecepatan tumbuh dalam ukuran panjang, dua kali lebih cepat pada suhu 30 0 C dibanding pada suhu 22 0 C (Kumlu et al., 2000; Kumlu dan Jones, 1993; Chen, 1990; Parado-Estepa, 1998; Chavez Justo et al., 1991). Hubungan antar suhu dan pertumbuhan ini juga dipengaruhi oleh seberapa besar prosentase ganti kulit yang terjadi. Secara umum, semakin tinggi suhu; maka pertumbuhan udang akan semakin cepat. Hal ini sejalan dengan kajian titik optimal kegiatan ganti kulit yang juga terjadi pada suhu tinggi. Sehingga dapat dipastikan, pada bulan-bulan tertentu laju pertumbuhan udang jauh lebih besar dibanding pada bulan atau waktu lainnya, saat suhu media cenderung rendah. Frekuensi ganti kulit pada pascalarva udang galah ternyata juga dipengaruhi oleh ph media perairan. Hasil penelitian Chen dan Chen (2003) menunjukkan bahwa pascalarva Macrobrachium rosenbergii melakukan ganti kulit rata-rata 3,56 kali per-individu selama 56 hari pada ph 8,2; dan frekuensi ganti kulit terlihat menurun menjadi

42 23 2,82 kali per-individu dalam 56 hari pada ph 5,6. Peningkatan frekuensi ganti kulit pascalarva udang galah, diikuti dengan kecepatan tumbuh yang divisualisasikan melalui pertumbuhan bobot tubuh seperti terlihat pada Gambar 8. Bobot (g) Kisaran ph Hari Gambar 8. Grafik pertumbuhan pascalarva Macrobrachium rosenbergii pada berbagai nilai ph media (Sumber: Chen dan Chen, 2003) Kelarutan oksigen dalam air, termasuk salah satu parameter yang mempengaruhi pertumbuhan krustase di perairan tawar; akibat besarnya perbedaan konsentrasi kelarutan oksigen antara siang dan malam. Kondisi hipoksia yang berlebih ini, akan mempengaruhi proses fisiologis udang, melalui penekanan frekuensi ganti kulit dan memperlambat pertumbuhan, bahkan tidak jarang menimbulkan kematian (Allan dan Magurire, 1991). Upaya adaptasi dengan kondisi ini, dilakukan melalui reduksi kecepatan metabolisme, modifikasi keseimbangan asam-basa hemolim, osmolalitas hemolim dan konsentrasi ion-ion terlarut, seperti terlihat pada Gambar 9. (Morris dan Butler, 1996; Hill et al., 1991; Cheng et al., 2003). Hubungan pakan dan pertumbuhan pada udang, terlihat dari beberapa hasil kajian yang menunjukkan bahwa penurunan jumlah pakan akan menurunkan laju pertumbuhan. Sebagai pakan awal disarankan agar diberikan pakan alami. Khusus pada pascalarva udang galah, salah satu jenis pakan alami yang sering

43 24 dimanfaatkan adalah Daphnia sp. yang juga berperan dalam rantai makanan pada daerah pelagik perairan tropis. Daphnia sp. adalah krustase air tawar yang dikenal dengan nama umum water fleas. Daphnia sp merupakan makanan utama ikan atau udang muda, hal ini dikarenakan ukuran tubuh Daphnia sp. relatif cukup kecil sesuai dengan bukaan mulut organisme muda, yaitu berkisar antara 0,2-3,0 mm (Schuman, 1998). Selain itu, Daphnia sp. berkemampuan memanfaatkan mikroalga dan bakteri, dapat memberi kesempatan untuk mengontrol biomasa fitoplankton, komposisi spesies serta mempengaruhi suksesi musiman fitoplankton. Hal ini terjadi karena pada waktu yang sama, Daphnia sp menyumbangkan nutrien serta karbon dioksida guna mendorong pertumbuhan fitoplankton serta produksi bakteri (Schuman, 1998) Waktu Aklimatisasi Oksigen (jam) Gambar 9. Tampilan perubahan osmolalitas hemolim M. rosenbergii pada beberapa konsentrasi kelarutan oksigen media (Cheng et al., 2003) Kandungan nutrisi Daphnia sp. tergantung dari umur dan dari pakan yang dimanfaatkannya. Sebagaimana diketahui pakan Daphnia sp. adalah bakteri, fungi, mikroalga, detritus dan bahan organik terlarut. Menurut Ducazu (1998) secara umum, kandungan protein Daphnia sp. sekitar 50%, Berbeda dengan Artemia salina, kandungan lemak Daphnia sp. dewasa jauh lebih tinggi yakni 20-27%; sedangkan Daphnia sp. muda mengandung lemak sekitar 4-6%. Beberapa hasil penelitian bahkan menunjukkan bahwa kandungan protein Daphnia sp. yang pernah ditemui tercatat sekitar 70%. Walaupun Daphnia sp. termasuk spesies air

44 25 tawar, tetapi dapat juga dimanfaatkan sebagai pakan bagi organisme laut; karena mengandung asam emak esensial. Disamping itu, Daphnia sp. memiliki enzim pencernaan yang cukup banyak, seperti: proteinase, peptidase, amilase, lipase dan juga selulase; yang dapat berfungsi sebagai ekso-enzim dalam lambung larva ikan atau larva udang (Shell, 1998). Alternatif pakan buatan yang disarankan oleh Tacon (1993) guna mendukung pertumbuhan pascalarva terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi pakan buatan untuk mendukung pertumbuhan pascalarva Macrobrachium rosenbergii No Bahan Bobot (kg) Persen (%) 1 Ikan rucah 100,0 29,61 2 Tepung jagung 80,0 23,70 3 Pelet pakan ayam 50,0 14,81 4 Tepung kedelai 40,0 11,84 5 Bekatul 30,0 8,88 6 Tepung ikan 20,0 5,92 7 Pakan ternak 15,0 4,44 8 Di-Kalsium PO4 2,0 0,59 9 Vitamin & mineral 0,5 0,15 10 Oksitetrasiklin 0,2 0,06 Sumber: Tacon (1993) TOTAL 337,

45 26 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Pusat Percobaan Limnologi LIPI Cibinong selama empat bulan (Mei-Agustus 2002). Penelitian utama dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB), Lingkungan Budidaya FPIK- IPB, Limnologi FPIK-IPB, Biologi Hewan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB, Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB serta Hidrobiologi FPIK Universitas Diponegoro (Agustus Januari 2004; Juni-Agustus 2004) selama kurang lebih sembilan bulan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian Pengaruh Beban Kerja Osmotik terhadap Kelangsungan Hidup, Lama Waktu Perkembangan Larva dan Potensi Tumbuh Pascalarva ini meliputi: (1) Perkembangan larva sampai dengan pascalarva (2) Konsumsi oksigen pada perkembangan larva sampai pascalarva (3) Potensi tumbuh pascalarva Ruang lingkup penelitian didasari atas pemikiran bahwa dalam upaya pengkajian kausal-komparatif-kondisional pada setiap sistem produksi diupayakan agar tingkat salinitas media menciptakan kondisi hipertonik, hipotonik dan isotonik terhadap osmotik cairan tubuh larva udang galah. Pengaruh lanjut dan perbedaan kondisi osmotik tersebut dicerminkan dari: (1) Beban kerja osmotik, (2) Efisiensi pemanfaatan pakan; dan (3) Tingkat konsumsi oksigen. Pendekatan pengkajian di atas memberi arahan bahwa masalah kelangsungan hidup, perkembangan larva serta potensi tumbuh pascalarva udang galah dapat dievaluasi sebagai konsekuensi perbedaan beban kerja osmotik akibat pengaturan salinitas media. Keterkaitan antara antiseden dan konsekuen tersebut diperjelas ketergantungannya dengan pertukaran ion sebagai kinerja beban osmotik larva udang galah. Dengan demikian konsumsi oksigen per waktu serta

46 27 efisiensi pemanfaatan pakan merupakan bentuk konsekuensi dari beban pertukaran ion. Penelitian dilakukan untuk setiap sistem produksi pemeliharaan larva sampai pascalarva. Hasil penelitian setiap sistem, dijadikan dasar bagi perencanaan percobaan sistem selanjutnya. Hasil percobaan sistem produksi tahap potensi tumbuh pascalarva merupakan bentuk keberhasilan proses adaptasi yang dilakukan pada sistem produksi tahap perkembangan larva. Mekanisme runut kegiatan penelitian dari sistem produksi pada setiap tahap dari perkembangan larva sampai tahap potensi tumbuh pascalarva dapat dilihat pada Gambar 10. START TELUR MENETAS SALINITAS 6 ppt SALINITAS: (10,2-11, ,8) ppt PENURUNAN SALINITAS 0 ppt NSR 1. NSR 2. DO/dt 1. BVR 2. SGR d respirasi/dt d respirasi/dt S + S/dt SAL ADAPT SALINITAS: (10,2-11, ,8) ppt SALINITAS STATIS OPTIMAL Sistem Adaptasi salinitas SELESAI Gambar 10. Mekanisme runut kegiatan penelitian pada sistem produksi dari tahap perkembangan larva sampai tahap potensi tumbuh pascalarva Perlakuan pada penelitian dirancang untuk dapat membandingkan output sebagai konsekuensi adanya hubungan sebab akibat (kausal). Sumber penyebab ditetapkan adalah salinitas media. Kualitas air dan ketersediaan pakan alami diupayakan memadai (kondisional). Salinitas media dirancang pada sistem produksi tahap perkembangan larva dengan tiga tipe, yaitu: hiperosmotik, hipoosmotik dan isoosmotik. Pada penetasan telur, salinitas media dirancang 6

47 28 ppt. Selama masa pemeliharaan larva, salinitas media diupayakan berada pada kisaran salinitas dengan catatan salah satu diantara titik salinitas merupakan titik isoomotik larva stadia tahap awal. Untuk memperoleh respon adaptasi yang sama, maka dirancang kenaikan salinitas untuk media pemeliharaan larva adalah dengan delta salinitas 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt. Diharapkan dengan rancangan perubahan salintas tersebut, dalam kurun waktu 7 hari akan dicapai salinitas media pemeliharaan larva: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt. Setelah 7 hari, sistem produksi masuk ke dalam tahap adaptasi serta perkembangan akhir yang statis. Setelah itu, pemantauan dilakukan terhadap potensi tumbuh pascalarva pada salinitas media yang diturunkan dengan tingkat penurunan salinitas/waktu yang sama sehingga menjadi tawar. Penurunan salinitas dilakukan saat semua larva telah menjadi pascalarva. Gambaran pola perubahan salinitas dalam penelitian seperti uraian di atas, dapat dilihat pada Gambar 11. TAHAP PERKEMBANGAN LARVA TAHAP POTENSI TUMBUH PL EKSPLORASI ADAPTASI dan PERKEMBANGAN AKHIR Salinitas (ppt) 14,4 13,0 11,6 Stadia 1 Stadia 2 Stadia 3 PL PL PL 10,2 6,0 0 Hari ke-7 PL-7 PL-14 Salinitas Naik Salinitas Statis Salinitas Turun Tawar Gambar 11. Pola perlakuan perubahan salinitas media pada sistem produksi tahap perkembangan larva dan tahap potensi tumbuh pascalarva Tahap Eksplorasi Larva, dalam penelitian ini disebut sebagai percobaan larva tahap awal. Tahap ini dimulai hari pertama sampai dengan hari ke-7. Pada akhir tahap eksplorasi, salinitas media telah berada pada kondisi: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt.

48 29 Tahap Adaptasi dan Perkembangan Akhir Larva, dalam penelitian ini disebut sebagai percobaan larva tahap lanjut. Pada tahap ini dilakukan pemantauan perkembangan stadia larva yang berada pada salinitas statis: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt. Tahap ini dimulai dari hari ke-8 sampai dengan semua larva telah menjadi pascalarva. Tahap Potensi Tumbuh Pascalarva, dalam penelitian ini dipantau kemampuan adaptasi pascalarva sebagai dampak lanjut dari perlakuan berbagai tingkatan salinitas tahap sebelumnya. Tahap ini dimulai saat salinitas media diturunkan menjadi salitas air tawar selama 7 hari. Kemudian dilanjutkan dengan memantau potensi tumbuh pascalarva pada media air tawar selama 7 hari berikutnya. Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik terhadap Perkembangan Larva Tahap Awal dan Tahap Lanjut Tujuan Percobaan Tujuan khusus percobaan perkembangan larva tahap awal dan tahap lanjut adalah untuk menentukan salinitas optimal bagi perkembangan larva dengan mortalitas terendah. Larva ditetaskan pada media dengan salinitas 6 ppt, kemudian ditingkatkan dari 0,6 ppt/hr; 0,8 ppt/hr; 1,0 ppt/hr dan 1,2 ppt/hr, sehingga masing-masing salinitas tersebut dalam waktu 7 hari mencapai salinitas: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt. Metode dan Disain Rancangan Percobaan Metode Percobaan. Metode percobaan yang dilakukan adalah kausalkomparatif-kondisional. Sedangkan disain percobaan menggunakan disain rancangan acak lengkap dengan empat perlakukan salinitas dan tiga ulangan. Model rancangan percobaan mengacu pada model linier aditif dengan bentuk persamaan sebagai berikut: Y ij = μ + τ i + ε ij

49 30 Keterangan : i = perlakuan 1, 2, 3, dan 4 j = ulangan 1, 2, 3 Y ij = pengamatan perlakuan ke i, ulangan ke j μ = rataan umum τ i = pengaruh perlakuan ke i ε ij = pengaruh acak pada perlakuan ke i ulangan ke j Hipotesis yang ditegakkan adalah: H 0 : τ 1 =... = τ i (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H 1 : paling sedikit ada satu i dimana τ i 0 Penjelasan Perlakuan adalah: - Perlakuan 1, salinitas media statis 10,2 ppt - Perlakuan 2, salinitas media statis 11,6 ppt - Perlakuan 3, salinitas media statis 13,0 ppt - Perlakuan 4, salinitas media statis 14,4 ppt Disain Perlakuan. Disain perlakuan mengikuti sistem produksi akuatik yang dikembangkan, yaitu disain perlakuan pada sistem produksi tahap perkembangan larva atau pada percobaan pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan larva udang galah, baik pada tahap awal maupun pada tahap lanjut, adalah sebagai berikut: (a) (b) (c) Dua hari sebelum telur menetas, media dirancang berada pada salinitas 6 ppt. Induk dengan telur siap tetas telah berada pada media ini. Indikasi warna telur siap tetas: coklat keabu-abuan. Setelah seluruh telur menetas dalam waktu jam, induk dipisahkan dan larva dipindahkan ke dalam wadah percobaan dengan mengatur kenaikan salinitas media. Pengaturan kenaikan salinitas dirancang dalam kurun waktu tujuh hari. Pada akhir hari ke-7, media pemeliharaan larva telah mengikuti model rancangan linier aditif, acak lengkap; dengan empat perlakuan salinitas: 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan tiga ulangan. Selama kurang lebih 23 hari, media dipertahankan berada pada salinitas statis, sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan. Pemeliharaan larva pada media dengan salinitas statis ini berakhir pada saat semua larva telah menjadi pascalarva.

50 31 Satuan Percobaan. Pada percobaan pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan larva udang galah baik pada tahap awal maupun pada tahap lanjut, dipersiapkan empat perlakuan dengan tiga ulangan. Satuan percobaan adalah wadah akuarium ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm; dengan volume air 10 liter yang ditebari larva sejumlah ekor. Kondisi wadah percobaan dapat dilihat pada Gambar 12. Dengan demikian satuan percobaan yang dilibatkan sebanyak 4 x 3 = 12 satuan percobaan. Penempatan perlakuan dilakukan secara acak, sehingga bagan satuan percobaan dapat digambarkan seperti pada Gambar 13. Gambar 12. Wadah percobaan dalam bentuk akuarium berukuran (40x80x30) cm Y 1.1 Y 2.1 Y 1.2 Y 1.3 Y 2.2 Y 4.1 Y 3.1 Y 4.2 Y 2.3 Y 3.2 Y 4.3 Y 3.3 Gambar 13. Bagan penempatan satuan percobaan yang dilakukan secara acak Disain Waktu Evaluasi. Disain waktu evaluasi atau pengkajian yang dirancang mengikuti sistem produksi akuatik yang dikembangkan, yaitu:

51 32 (a) (b) (c) (d) Evaluasi tahap persiapan dilakukan pada H-7 terhadap kualitas stok air tawar dan stok air laut dengan parameter yang telah ditetapkan. Pada tahap ini juga dilakukan pengamatan tingkat kematangan telur siap tetas. Evaluasi terhadap kualitas air media percobaan, terutama salinitas dan osmolalitas media yang telah dibuat pada salinitas 6 ppt dilakukan pada tahap penetasan telur, tepatnya pada awal pelaksanaan percobaan. Dalam waktu jam, biasanya seluruh telur menetas, setelah itu dilakukan sampling larva dan larva-larva tersebut dipindahkan ke wadah percobaan dengan kepadatan 100 ekor larva/liter atau sekitar ekor larva setiap akuarium pada volume media 10 liter. Pada tahap ini juga dilakukan evaluasi terhadap osmolalitas cairan tubuh larva yang baru diperoleh dari hasil tetasan telur dan pengamatan stadia larva percobaan. Evaluasi tahap perkembangan larva dilakukan dalam dua tahap, yaitu evaluasi harian dan evaluasi mingguan. Evaluasi harian dilakukan terhadap perkembangan stadia larva, jumlah larva yang hidup, serta terhadap beberapa parameter kualitas air, yaitu: suhu, salinitas dan ph. Sedangkan evaluasi mingguan dilakukan terhadap kualitas air untuk seluruh parameter yang telah ditetapkan termasuk osmolalitas media dan osmolalitas cairan tubuh larva udang galah. Evaluasi tahap akhir dilakukan setelah seluruh larva mencapai pascalarva. Pada tahap ini dilakukan panen total dan dilakukan pengamatan terhadap panjang dan bobot individu pascalarva, serta jumlah total pascalarva yang hidup. Seluruh parameter kualitas air termasuk osmolalitas media dan pascalarva juga dievaluasi. Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja Variabel yang Dipantau. Variabel yang dipantau pada percobaan ini meliputi: (a) Kualitas air media, yaitu salinitas, suhu, ph, oksigen, karbondioksida, ammonia, nitrit, sulfida, dan BOD 5. Keseluruhan

52 33 (b) (c) (d) (e) parameter dipantau mingguan, kecuali salinitas, suhu dan ph dipantau harian. Kelimpahan total, yaitu jumlah larva yang hidup yang dipantau secara harian dengan metode sampling dalam satuan volume; sehingga kelimpahan total diperoleh dari ekstrapolasi data sampling terhadap volume total media percobaan dalam akuarium yang dipantau. Kelimpahan stadia: pengamatan harian perkembangan stadia larva. Tekanan osmotik cairan tubuh larva dipantau mingguan Tekanan osmotik media dipantau mingguan. Variabel Kerja. Variabel kerja dalam percobaan ini meliputi: (a) (b) (c) Lama waktu perkembangan larva diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Dt = N. t keterangan: N = Jumlah larva dengan stadia tertentu t = waktu N Laju mortalitas larva diperoleh dengan menggunakan rumus: keteranga:n Nt = Jumlah larva pada waktu tertentu N t zt No = Jumlah larva pada waktu awal = e e = Bilangan natural N 0 z = Laju kematian t = Waktu Kelangsungan hidup larva (S) diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: keterangan: R L S = x 100 ; R = Jumlah larva yang tertangkap R L = Jumlah larva yang mati T T max = Waktu maksimum R = max x N Dt Dt = Lama perkembangan stadia max N max = Jumlah maks yang tertangkap pada Tmax (d) Kemampuan regulasi osmotik (B osm ) diperoleh dengan menggunakan nisbah dari osmolalitas cairan tubuh (OH) terhadap osmolalitas media (OM) dengan ketentuan sebagai berikut: BBosm = (OH/OM) = 1; berarti isoosmotik B osm = (OH/OM) > 1; berarti hiperosmotik BBosm = (OH/OM) < 1; berarti hipoosmotik

53 34 (e) Kualitas air media diperoleh dengan membandingkan nilai yang diperoleh terhadap rentang nilai yang disarankan guna mendukung vitalistik media Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan Bahan. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi: (a) Air tawar yang bersumber dari Mata Air Gunung Salak Bogor yang diperjualbelikan oleh PAM Bogor melalui Primkopol Polwil Bogor Unit Niaga Putri Mas. Stok air ini dipanaskan dengan heater dan diberi aerasi; untuk siap digunakan. (b) Air laut yang digunakan berasal dari stok air laut yang dipakai sebagai media pembenihan pada subunit pembenihan udang galah Balai Budidaya Air Tawar di Cisolok, Sukabumi. Stok air laut ini terlebih dahulu diendapkan selama tiga hari, lalu disaring dengan bahan plankton net. Setelah air laut disaring, kemudian dipanaskan dengan heater dan diberi aerasi; untuk siap digunakan. (c) Induk udang yang digunakan berasal dari muara Sungai Citarik, Cisolok Sukabumi. Karakteristik induk udang yang digunakan adalah: bobot induk minimal 40 gram (fekunditas lebih kurang butir). Saat induk dibawa dari Cisolok Sukabumi ke Bogor, kondisi tingkat kematangan telur ditentukan dengan perubahan warna, yaitu berwarna jingga. (d) Pereaksi kimia yang digunakan, khususnya untuk penetapan kualitas air diperoleh dari Laboratorium Limnologi FPIK-IPB. Bahan-bahan desinfektan untuk wadah transportasi induk dan akuarium adalah formalin 0,5% dan garam dapur. Bahan desinfektan untuk induk siap tetas akan menggunakan malachite green 0,1 ppm. (e) Pakan alami yang digunakan selama percobaan adalah kista Artemia salina dari Blue Marine dengan hatching rate 80%. Kista Artemia salina ini ditetaskan dengan metode dekapsulasi langsung.

54 35 Alat. Peralatan yang digunakan pada percobaan ini meliputi: (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm sebanyak 24 buah. Akuarium untuk percobaan utama sebanyak 12 buah; sedangkan untuk pengamatan osmolalitas media maupun larva sebanyak 12 buah. Tandon penampung air tawar yang digunakan adalah bak-bak semen volume 2 ton yang berada di Laboratorium Fisiologi Hewan Air FPIK-IPB (indoor) Wadah penyimpanan air laut yang digunakan adalah drum plastik bervolume 200 liter sebanyak lima buah yang berada di Laboratorium Fisiologi Hewan Air FPIK-IPB. Blower yang digunakan sebagai sumber aerasi adalah blower dengan kualifikasi: model LP-60 Resum Air-Pump, kapasitas/out put 70 liter/menit; tekanan 0,04 MPa. Aerator yang digunakan sebanyak jumlah satuan percobaan; termasuk aerator untuk satu set wadah pengamatan dan tandon air laut; sehingga jumlahnya mencapai 30 set aerator. Peralatan untuk pengukuran kualitas air, baik fisika maupun parameter kimia, peralatan gelas dan botol sampel serta timbangan digital Sartorius untuk peneraan bobot larva. Peralatan untuk mengetahui perkembangan stadia berupa mikroskop binokuler, gelas objek dan penutupnya, serta pipet tetes. Peralatan untuk mengetahui bobot pascalarva dengan menggunakan timbangan analitik digital dan kaca arloji. Sebelum ditimbang, dilakukan penyedotan air pada tubuh pascalarva dengan pompa vacuum yang menggunakan cawan dilengkapi kertas saring yang ukurannya sama dengan ukuran cawan. Metode Peneraan. Metode peneraan untuk kualitas air, kelimpahan stadia, identifikasi stadia dan bobot pascalarva yang digunakan pada percobaan pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan larva udang galah baik pada tahap awal maupun pada tahap lanjut adalah sebagai berikut:

55 36 (a) Peneraan kualitas air harian, seperti suhu, salinitas dan ph; serta mingguan seperti oksigen, BOD 5, karbondioksida, ammonia, nitrit dan sulfida, dilakukan setiap pagi hari pada pukul 06.00; pada Tabel 3 diuraikan metode pengukuran yang digunakan pada setiap parameter. Tabel 3. Parameter kualitas air dan metode peneraan yang digunakan No Parameter Metode yang Digunakan Sediaan Air Tawar (Insidental) - O 2 - Suhu - ph - Alkalinitas - NH 3 -N - NO 2 - BOD 5 - Sulfida Sediaan Air Payau (Insidental) - O 2 - Suhu - ph - NH 3 -N - NO 2 - BOD 5 - Sulfida - Salinitas Media Percobaan (Harian,Mingguan) - O 2 - ph - Sulfida - NH 3 -N - NO 2 - BOD 5 - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - Termometer Air Raksa - ph meter - Volumetrik titrasi Phenol-Pthalein Method - Volumetrik titrasi Bromcrosol green Method - Volumetrik titrasi Bromcrosol green Method - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - Termometer Air Raksa - ph meter - Volumetrik titrasi Bromcrosol green Method - Volumetrik titrasi Bromcrosol green Method - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - Refraktometer - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - ph meter - Volumetrik Natrium tio sulfat Method - Volumetrik titrasi Bromcrosol green Method - Volumetrik titrasi Bromcrosol green Method - Volumetrik Natrium tio sulfat Method (b) Peneraan kelimpahan stadia dilakukan pagi hari pada wadah percobaan utama. Metode yang dilakukan adalah sampling pada tiga posisi diagonal di setiap wadah akuarium; dengan mematikan aerasi sebelumnya serta dilakukan pengadukan untuk memperoleh homogenitas sampel. Alat sampling adalah botol BOD cc. Volume sampling dan larva yang diperoleh dari identifikasi dengan menggunakan mikroskop binokuler, dicatat. Kelimpahan dihitung berdasarkan rumus:

56 37 V1 Nsti = x N i ; i = 1, 2,..., 11 dan PL V 2 Keterangan: V 1 = Volume total media percobaan V 2 = Rataan volume contoh N i = Rataan jumlah stadia ke i Gambar 14. Deskripsi perkembangan stadia larva udang galah (Sumber: Uno dan Soo, 1969) (c) Identifikasi stadia larva dilakukan pada larva hasil sampling pada peneraan kelimpahan larva. Metode yang digunakan adalah memperhatikan ornamen tubuh yang berbeda pada setiap stadia berdasarkan skets gambar sesuai dengan rujukan 11 stadia dan

57 38 bentuk pascalarva yang dideskripsikan oleh Uno dan Soo (1969) seperti terlihat pada Gambar 14. Pengamatan perbedaan morfologi setiap stadia dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler. (d) (e) (f) Peneraan bobot pascalarva dilakukan pada saat semua larva telah menjadi pascalarva (ketetapan ini diperoleh berdasarkan hasil sampling). Sampling pascalarva dilakukan dengan menggunakan pipet skala bersumbat karet pejal pada tiga lokasi diagonal untuk setiap wadah. Penyusutan air pada tubuh pascalarva dilakukan dengan pompa vacuum yang menggunakan cawan dilengkapi kertas saring seukuran cawan. Seluruh pascalarva dimasukkan ke dalam kaca arloji yang telah diketahui bobotnya. Kaca arloji dan pascalarva ditimbang kembali dengan menggunakan timbangan analitik digital. Selisih bobot akhir dan blanko adalah bobot total pascalarva. Rumus yang digunakan untuk menera bobot individu pascalarva adalah: W PL ind 3 g = i= 1 n i i ; g i = Bobot PL sampel ke-i n i = Jumlah PL sampel ke-i Peneraan jumlah total pascalarva dilakukan saat panen. Metode yang digunakan adalah metode volumetrik bertingkat; dengan peralatan kain hapa untuk menampung hasil panen, gelas piala 50 ml dan sendok. Pascalarva dalam hapa ditera dengan hitungan gelas piala (bila belum ditera, biarkan terendam agar pascalarva tidak mati). Kemudian volume satu gelas pascalarva (V 1 ), ditera terdiri atas sejumlah volume sendok (V 2 ) dan jumlah pascalarva dalam sendok dihitung (n PL ). Rumus yang digunakan untuk menera jumlah total pascalarva hasil panen adalah: V 1 N = x V 2 n PL Peneraan osmolalitas media dan cairan tubuh dilakukan dengan mengambil sampel mingguan dari wadah percobaan yang dipersiapkan sebagai pendamping. Untuk media air sebanyak 10 ml setiap wadah; dan untuk larva sejumlah 500 ekor pada stadia awal;

58 39 selanjutnya berkurang sekitar 300 ekor larva pada stadia-6 atau stadia-7 dan sekitar 200 ekor pada stadia-8; sedangkan untuk pascalarva berada pada jumlah 50 ekor untuk perolehan cairan tubuh dalam peneraan osmolalitas. Osmolalitas media dan cairan tubuh ditera dengan menggunakan osmometer dengan spesifikasi seperti terlihat pada Gambar 15. Cryoscopic Osmometer Model SOP OSMOMAT 030 Kisaran pengukuran mosm/kg H2O Volume sample 100 μl Menggunakan metode eryometrik Gambar 15. Osmometer yang digunakan beserta spesifikasinya Pelaksanaan Percobaan. Percobaan, dirancang menjadi beberapa kegiatan sebagai berikut: (a) Persiapan wadah percobaan berupa akuarium, akuarium yang telah disucihamakan (menggunakan kristal garam dapur, formalin 0,5% serta natrium hipokhlorit 15 ppm) ditata di atas meja marmer di Laboratorium Fisiologi Hewan Air FPIK IPB yang bagian bawahnya sudah diberi alas lembaran karet untuk menghidari keretakan akuarium. Pada satu meja dibagi menjadi dua bagian: wadah percobaan set utama dan wadah percobaan set pendamping. Setelah dilakukan pengacakan lokasi unit percobaan, seluruh dinding dan bagian atas akuarium ditutup plastik hitam untuk mempertahankan suhu. Persiapan media dilakukan mengikuti perlakuan percobaan, yaitu pada saat awal disiapkan media bersalinitas 6 ppt dengan cara mencampurkan air tawar dan air laut yang telah dipersiapkan sebelumnya. (b) Penetasan telur dilakukan pada wadah plastik, setiap induk dengan telur siap tetas direndam pada media Malachite Green 0,1 ppm selama 10 menit. Saat warna telur berubah coklat tua, induk

59 40 (c) (d) (e) dimasukkan ke dalam media penetasan bersalinitas 6 ppt. Bobot induk dengan telur sebelum dan sesudah menetas ditimbang untuk memperoleh bobot telur. Diperkirakan dari seekor induk dengan bobot minimal 40 gram (fekunditas ± butir telur), diperoleh larva sekitar ekor (hatching rate ± 75%). Selama masa pematangan telur hingga siap tetas, induk diberi pakan berupa irisan kentang secara ad libitum; media air tawar tempat induk ditampung diberi aerasi dan thermostat, serta untuk mempertahankan kualitas air setiap pagi dilakukan penyiponan. Penebaran larva dilakukan saat telur telah menetas seluruhnya; waktu yang dibutuhkan untuk penetasan sekitar 1-2 hari. Larva hasil tetasan dalam ukuran stadia-1, dihitung dengan menggunakan metode volumetrik bertingkat. Peralatan saring yang digunakan pada metode volumetrik ini, memakai bahan kain saringan plankton net, gelas piala 25 ml dan sendok makan. Larva dalam saringan kain plankton net ditera dengan menggunakan gelas piala (bila belum ditera, biarkan terendam agar larva tidak mati). Volume gelas piala berisi larva (V 1 ) dan volume sendok (V 2 ). Jumlah larva dalam sendok dihitung (n Larva ). Rumus yang digunakan untuk menera jumlah larva hasil tetasan adalah: V 1 N = x V 2 n L arva Pengaturan salinitas sejak awal pemeliharaan sampai dengan akhir percobaan mengikuti metode pengenceran air laut yang menggunakan rumus pengenceran V 1 N 1 = V 2 N 2.. Perkiraan volume air laut dan air tawar yang digunakan seperti terlihat pada Tabel 4. Pemberian pakan yang digunakan mengikuti pola pemberian pakan yang disarankan oleh Uno dan Soo (1969) mengikuti perkembangan stadia dan diupayakan ad libitum. Jenis pakan yang diberikan adalah Artemia salina, dengan frekuensi 5 kali dalam sehari: pukul (setelah sampling kualitas air dan perkembangan stadia),

60 41 pukul 10.00; pukul 13.00; pukul dan pukul Rincian pola pemberian pakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 4. Prakiraan jumlah air laut dan tawar yang terpakai pada percobaan Perlaku an Hari ke: 10,2 ppt (liter) 11,6 ppt (liter) 13,0 ppt (liter) 14,4 ppt (liter) Jumlah (liter) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 AT: ,58 =1179,42 2 AT:12 5,79 = 6,21 3 AT:12 5,79 = 6,21 4 AT:12 5,79 = 6,21 5 AT:12 5,79 = 6,21 6 AT:12 5,79 = 6,21 7 AT:12 5,79 = 6, AT:(12x23) 92,4 = 183, AT: 24, AT: 21 6 x 10 ltr 35 = 1,71 0,6 x 9 ltr 35 = 0,15 0,6 x9 ltr 35 = 0,15 0,6 x9 ltr 35 = 0,15 0,6 x9 ltr 35 = 0,15 0,6 x9 ltr 35 = 0,15 0,6 x9 ltr 35 = 0,15 10,2 x1 ltr 35 = 0,29 (6.86) x 3 = (1,93) x 3 = 5,79 (1,93) x 3 = 5,79 (1,93) x 3 = 5,79 (1,93) x 3 = 5,79 (1,93) x 3 = 5,79 (1,93) x 3 = 5,79 (1,40)x3x23 = 92,4 JUMLAH AIR LAUT TERPAKAI : (2 set) x 151,92 liter = 302,88 liter 10,2 10,2 10,2 7 = 1,17 6 x10 ltr 35 = 1,71 0,8 x 9 ltr 35 = 0,21 0,8 x9 ltr 35 = 0,21 0,8 x9 ltr 35 = 0,21 0,8 x9 ltr 35 = 0,21 0,8 x9 ltr 35 = 0,21 0,8 x9 ltr 35 = 0,21 11,4 x1 ltr 35 = 0,33 11,6 11,6 11,6 7 6 x10 ltr 35 = 1,71 1,0 x 9 ltr 35 = 0,26 1,0 x9 ltr 35 = 0,26 1,0 x9 ltr 35 = 0,26 1,0 x9 ltr 35 = 0,26 1,0 x9 ltr 35 = 0,26 1,0 x9 ltr 35 = 0,26 13,0 x1 ltr 35 = 0, = 1,17 6 x10 ltr 35 = 1,71 1,2 x 9 ltr 35 = 0,31 1,2 x9 ltr 35 = 0,31 1,2 x9 ltr 35 = 0,31 1,2 x9 ltr 35 = 0,31 1,2 x9 ltr 35 = 0,31 1,2 x9 ltr 35 = 0,31 14,4 x1 ltr 35 = 0,41 14,4 14,4 14,4 7 = 1,17 (1,17)x3x7 = 24,57 = 1, (1) x 3 x 7 = 21 JUMLAH AIR TAWAR TERPAKAI : (2 set) x 1445,85 liter = 2891,7 liter Catatan; - Bila salinitas stok 35 ppt - Setiap hari air diganti 10 % (1 ltr), termasuk volume siphon - Salinitas penggantian 1 ltr media tiap wadah, disesuaikan kondisi hari itu

61 42 Tabel 5. Jadwal pemberian pakan harian berdasarkan stadia larva Hari setelah Penetasan Stadia (Uno & Soo) Nauplii Artemia*) Ekor/larva perhari *) Dosis dalam percobaan ini (f) (g) Pengelolaan media yang dimaksudkan dalam hal ini adalah: pengaturan aerasi, suhu dan pembuangan feces dan sisa pakan. Pengaturan aerasi dilakukan dengan memasang klep pengatur aerasi dengan proporsi: 30% angin keluar pada stadia-1 sampai dengan stadia 3; 50% angin keluar pada stadia-6 sampai dengan stadia-9; serta 100% pada stadia-10 sampai dengan stadia-1. Suhu dipertahankan pada C dengan termostat. Untuk pembuangan sisa pakan dan atau feces, dilakukan dengan menggunakan sifon, pada bagian penampung diberi saringan bahan plankton net; bilamana ada larva ikut tersiphon dikembalikan ke dalam wadah semula. Pencegahan hama penyakit dilakukan terhadap seluruh wadah yang digunakan dengan cara: mencuci peralatan menggunakan garam dapur, lalu direndam dalam larutan formalin 0,5% selama 15 menit. Untuk induk dilakukan perendaman dengan Malachite Green 0,1 ppm selama 10 menit. Teknik Pengumpulan Data Kualitas Air. Data parameter kualitas air yang dikumpulkan dalam percobaan pengaruh beban kerja osmotik terhadap perkembangan larva udang galah baik pada tahap awal maupun pada tahap lanjut adalah sebagai berikut:

62 43 (a) (b) (c) Parameter kualitas air yang dipantau harian, seperti: suhu, ph dan salinitas, dikumpulkan secara bersamaan setiap pagi sebelum sampling untuk perkembangan stadia. Data yang diperoleh dari setiap satuan percobaan pada wadah set utama dengan ulangan masing-masing dimasukkan dalam tabulasi data. Parameter kualitas air yang dipantau mingguan, seperti oksigen terlarut, karbon dioksida, ammonia, nitrit, sulfida dan BOD 5. Pengukurannya dilakukan setiap periode minggu di pagi hari bersamaan dengan pengambilan data harian dan kemudian ditabulasikan. Hasil pantauan mingguan dan harian terhadap parameter kualitas air, dilakukan perbandingan terhadap tolok ukur nilai parameter kualitas air optimal vitalistik mendukung kehidupan larva sampai pascalarva Kelimpahan Stadia. Pengumpulan data kelimpahan stadia dicatat bersamaan dengan saat penetapan stadia larva hasil sampling. Jumlah masingmasing stadia hasil sampling harian untuk setiap unit percobaan dengan ulangan masing-masing pada wadah set utama, dihitung; kemudian dimasukkan dalam tabulasi. Tekanan Osmotik Cairan Tubuh. Pengumpulan data tekanan osmotik cairan tubuh dilakukan setiap minggu; sampling dilakukan pada setiap unit percobaan pada wadah set pendamping untuk pengamatan tekanan osmotik. Volume sampel yang diperlukan sekitar 100 μl; atau kurang lebih 500 ekor pada stadia awal; selanjutnya 300 ekor larva pada stadia-6; untuk stadia-8 dibutuhkan kurang lebih 200 ekor, sedangkan untuk pascalarva dibutuhkan kurang lebih 50 ekor untuk perolehan cairan tubuh dalam peneraan osmolalitas. Tekanan Osmotik Media. Pengumpulan data tekanan osmotik media juga dilakukan setiap minggu; sampling dilakukan pada setiap unit percobaan pada wadah set pendamping untuk pengamatan tekanan osmotik. Untuk ini diambil sampel dengan volume kurang lebih 100 μl. Pada percobaan ini diperoleh data sebanyak 12 satuan data; lalu dikompilasi dalam bentuk tabulasi.

63 44 Analisis Data Uji Perbedaan. Pengujian homogenitas nilai-nilai yang diperoleh dari setiap unit percobaan, dilakukan dengan pengolahan data awal dengan melihat nilai koefisien keragaman (KK). Sebagian data dengan nilai KK tidak melewati batas kewajaran; dilakukan transformasi. Setelah itu, dilanjutkan dengan pengolahan analisis ragam yang menguji hipotesis H 0 : β = 0; sehingga terlihat nyata atau tidak nyata pengaruhnya terhadap: (a) Kemampuan regulasi osmotik (OH/OM) dan beban osmotik (1-OH/OM) (b) Lama waktu dan keberadaan perkembangan larva (c) Kelangsungan hidup larva (d) Jumlah pascalarva (e) Bobot pascalarva Selanjutnya pada perlakuan yang berbeda nyata dilakukan analisis lanjutan untuk membandingkan nilai tengah perlakuan dengan uji perbandingan berganda Duncan. Penggunaan uji Duncan ini dengan pendekatan bahwa prosedur Duncan mempersiapkan segugus nilai pembanding yang nilainya meningkat tergantung dari jarak peringkat dua buah perlakuan yang dibandingkan. Nilai kritis Duncan dihitung dengan rumus: R p = r S α ; p; dbg y; S KTG y = r (Mattjik & Sumertajaya,2000) Uji Hubungan. Analisis uji hubungan dalam data percobaan di atas, menggunakan analisis regresi. Persamaaan matematik yang menggambarkan hubungan antara peubah bebas (independence variable) yang dalam percobaan ini adalah tekanan osmotik (X) dengan peubah tak bebas (dependence variable) yang dalam percobaan ini adalah kelangsungan hidup larva dan lama perkembangan stadia (Y) adalah: bi y = ax i e Keterangan: a = jumlah awal larva atau hari pertama ditemukan stadia ke-i b = jumlah akhir larva atau hari terakhir ditemukan stadia ke-i e = bilangan natural

64 45 Analisis Kovarian dilakukan terhadap laju mortalitas (Z). Untuk pengujian model persamaan di atas digunakan analisis ragam yang menguji hipotesis H 0 : β= 0. Hipotesis nol diterima dengan pendekatan F-hitung [ Fα (1,n-2) ] Keterandalan model persamaan diukur dengan koefisien determinasi atau R 2. Semakin besar R 2 berarti model semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y (kelangsungan hidup larva dan lama perkembangan stadia). Kisaran nilai R 2 mulai dari 0 sampai 1 dapat diperoleh dengan rumus: R 2 = 1 JKG JKT Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik terhadap Laju Konsumsi Oksigen Larva Udang Galah Tujuan Percobaan Tujuan khusus pada percobaan laju konsumsi oksigen dari larva sampai dengan pascalarva adalah mengetahui hubungan antara konsumsi oksigen pada waktu atau periode masih adanya beban osmotik. Nilai hasil pengukuran konsumsi oksigen akan dijadikan dasar perhitungan jumlah energi yang dimanfaatkan untuk keperluan metabolisme sehingga menjadi penentu bagi pertumbuhan larva udang galah. Metode dan Disain Rancangan Percobaan Metode, Disain Perlakuan dan Satuan Percobaan. Percobaan konsumsi oksigen dilakukan terhadap empat tahap perkembangan larva, yaitu pada stadia-1, stadia-6, stadia-8 dan pascalarva. Disain perlakuan untuk masing-masing percobaan serta pada masing-masing tahap perkembangan mengikuti disain rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan salinitas dan tiga ulangan. Satuan percobaan pada laju konsumsi oksigen adalah 500 ekor larva stadia-1, sebanyak 300 ekor stadia-6, sebanyak 100 ekor stadia-8 dan 10 ekor pascalarva yang masing-masing dimasukkan ke dalam botol plastik transparan volume 35 ml.

65 46 Disain Waktu Evaluasi. Disain waktu evaluasi pada percobaan pengaruh beban kerja osmotik terhadap respirasi larva sampai pascalarva adalah sebagai berikut : (a) Evaluasi pertama dilakukan pada hari pertama, yaitu saat larva berada dalam media bersalinitas 6 ppt, selama 7 hari ke depan salinitas media akan berubah sesuai rancangan perlakuan pada sistem produksi tahap eksplorasi (b) Evaluasi kedua dilakukan pada hari ke-7 yaitu pada saat larva telah berada pada media sesuai dengan rancangan perlakuan yang statis pada sistem produksi tahap adaptasi. (c) Evaluasi ketiga dilakukan pada hari pemeliharaan ke-14 atau pada kondisi stadia-8, yaitu pada saat larva telah berada pada media dengan salinitas statis. (d) Evaluasi keempat dilakukan pada hari ke-21 masa pemeliharaan larva atau saat larva mencapai stadia-11. (e) Evaluasi kelima dilakuakan pada hari ke-28 atau tahap akhir setelah semua larva menjadi pascalarva. Pada saat ini salinitas media mulai diturunkan selama 7 hari ke arah kondisi air tawar. Disain Instrumen. Disain instrumen pada percobaan pengaruh beban kerja osmotik terhadap laju konsumsi oksigen dari larva sampai pascalarva adalah sebagai berikut : Disain instrumen untuk menera konsumsi oksigen, berupa satu set peralatan meliputi empat botol yang terdiri atas botol A sebagai wadah stok air yang dijenuhkan; botol B sebagai wadah larva uji; botol C sebagai wadah media sisa hasil metabolisme yang akan ditera tingkat respirasinya dan botol D sebagai wadah penampung air buangan. Disain instrumen yang terdiri atas rangkaian botol A sampai D dapat dilihat pada Gambar 16; sedangkan visualisasi peralatan yang digunakan terlihat pada Gambar 17.

66 47 Aerator Thermometer Ø DO-Meter Kran-1 Stok Air Dijenuhkan A Kran-2 Klem Penyangga Larva B n Kran-3 Elektroda KETERANGAN: A = Wadah Stok Air B = Wadah Larva C = Wadah Air Sisa Konsumsi O2 D = Wadah Air Bekas C Penampungan Air D Gambar 16. Disain instrumen peneraan respirasi larva udang galah Gambar 17. Visualisasi instrumen konsumsi oksigen yang digunakan

67 48 Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja Variabel yang Dipantau. Variabel yang dipantau meliputi konsentrasi pemakaian O 2 dan konsentrasi CO 2 yang dihasilkan pada proses respirasi larva dalam waktu 1 jam berturut-turut, selama 48 jam (metabolisme basal dan aktif). Demikian juga suhu media sebelum dan sesudah percobaan. Variabel Kerja. Variabel kerja dalam percobaan ini adalah pengukuran laju konsumsi oksigen atau respirasi. Respirasi adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk metabolisme (basal atau aktif) pada saat RQ 1 (respiratory quotient). Untuk itu perlu dipantau setiap jam berturut-turut selama 48 jam pengamatan. Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan Bahan. Bahan yang digunakan meliputi: (a) Air tawar berasal dari Mata Air Gunung Salak Bogor yang diperjualbelikan oleh Primkopol Polwil Bogor Unit Niaga Putri Mas. (b) Air Laut berasal dari Sub Unit Pembenihan Udang Galah Cisolok (c) Larva dan pascalarva, hasil pembenihan langsung (d) Pakan alami berupa Artemia salina Alat. Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut: (a) Peralatan pengukuran respirasi larva, berupa satu set alat yang dirancang khusus, terdiri atas botol plastik yang dilengkapi aerasi, termometer dan mikrooksigen meter (b) Cryoscopic Osmometer, Model SOP OSMOMAT 030 di Laboratorium Embriologi FKH-IPB, Dramaga dan Laboratorium Hidrobiologi FPIK-UNDIP, Semarang. Metode Pengukuran. Metode pengukuran yang digunakan adalah: (a) Respirasi dengan metode selisih harga mutlak konsumsi oksigen larva tiap jam selama 48 jam (metabolisme basal dan aktif) menggunakan oxymeter digital yang dikoreksi dengan RQ 1 (b) Tekanan Osmotik dengan metode eryometrik

68 n Ø DO-Meter n Ø DO-Meter n Ø DO-Meter n Ø DO-Meter 49 Pelaksanaan Percobaan. (a) Respirasi. Sesuai dengan disain waktu evaluasi maka pelaksanaan percobaan dilakukan pada empat tahap perkembangan larva sampai dengan pascalarva, dengan cara menyiapkan empat set peralatan pengukuran respirasi yang dirancang khusus untuk empat perlakuan. Tahapan pelaksanaan seperti diuraikan berikut dan diagram pelaksanaannya dapat dilihat pada Gambar 18. Dipersiapkan Stok Media sesuai Perlakuan dan Telah Dijenuhkan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Aerator Thermometer Aerator Thermometer Aerator Thermometer Aerator Thermometer Stok Air Dijenuhkan A Kran-1 Larva B KETERANGAN: A = Wadah Stok Air B = Wadah Larva C = Wadah Air Sisa Konsumsi O2 D = Wadah Air Bekas Kran-2 C Penampungan Air Kran-3 Klem Penyangga Elektroda Stok Air Dijenuhkan A Kran-1 Larva B KETERANGAN: A = Wadah Stok Air B = Wadah Larva C = Wadah Air Sisa Konsumsi O2 D = Wadah Air Bekas Kran-2 C Penampungan Air Kran-3 Klem Penyangga Elektroda Stok Air Dijenuhkan A Kran-1 Larva B KETERANGAN: A = Wadah Stok Air B = Wadah Larva C = Wadah Air Sisa Konsumsi O2 D = Wadah Air Bekas Kran-2 C Penampungan Air Kran-3 Klem Penyangga Elektroda Stok Air Dijenuhkan A Kran-1 Larva B KETERANGAN: A = Wadah Stok Air B = Wadah Larva C = Wadah Air Sisa Konsumsi O2 D = Wadah Air Bekas Kran-2 C Penampungan Air Kran-3 Klem Penyangga Elektroda D D D D Sisa Kandungan Oksigen yang Terpakai. Diukur Tiap Jam lalu Dibuang; Pemantauan Dilakukan Selama 24 jam Gambar 18. Rincian percobaan pengukuran respirasi larva Tahap Pertama: Melakukan penimbangan bobot larva atau pascalarva sesuai perlakuan dengan sampling. Sebelum penimbangan dilakukan penyusutan air pada tubuh sampel menggunakan pompa vacuum dan cawan gooch serta kertas saring yang telah diketahui bobotnya, sebagai blanko. Setelah itu bobot sampel ditimbang dengan neraca analitik digital

69 50 Tahap Kedua: (i) Melakukan penjenuhan oksigen media pada wadah stok air (Botol A) untuk empat perlakuan. Setelah jenuh, maka suhu dan kandungan oksigen ditera dengan menggunakan DO-meter digital yang dilengkapi dengan pengukur suhu air; sekaligus dilakukan pengukuran kandungan CO 2 dengan metode volumetrik. Selama pelaksanaan percobaan, stok air pada botol A diareasi terus menerus. (ii) Kecepatan aliran air (debit air) diatur dengan kran 1, kran 2 dan kran 3; sehingga berada pada kecepatan yang sama. Setelah itu, larva dimasukkan pada wadah/botol B. Jumlah larva pada stadia-1 sebanyak 500 ekor; untuk stadia-8 sebanyak 100 ekor; dan untuk pascalarva sebanyak 10 ekor. Setelah kondisi kecepatan aliran sudah stabil, maka percobaan untuk jam pertama dimulai. Demikian seterusnya hingga 48 jam pengamatan. (iii) Tepat setelah 1 jam, kandungan oksigen dan suhu media dicatat dengan peralatan DO-meter digital yang terpasang pada wadah atau botol C; kandungan CO 2 juga diukur dengan metode volumetrik. Air sisa hasil respirasi dialirkan ke botol D untuk selanjutnya ditampung pada wadah terpisah sebagai total volume air yang terpakai selama pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap jam selama 48 jam. (b) Tekanan Osmotik; diukur pada empat tahap perkembangan hidup stadia dengan menggunakan Cryoscopic Osmometer, Model SOP OSMOMAT 030. Perlakuan persiapan untuk pengukuran tekanan osmotik ini, dilakukan dengan menggerus larva; kemudian cairan larva diperoleh dengan melakukan sentrifius. Setelah itu, dilakukan pengukuran cairan tubuh larva menggunakan osmometer. Untuk larva stadia-1, dibutuhkan minimal 500 ekor, sedangkan untuk larva stadia-6 dibutuhkan sekitar 300 ekor, untuk larva stadia-8 dibutuhkan sekitar 200 ekor dan untuk pascalarva dibutuhkan sekitar

70 51 50 ekor. Tahapan keseluruhan kegiatan pengukuran dimaksud terlihat pada Gambar 19 dan tervisualisasikan pada Gambar 20. Data Larva Stadia 3-4 (umur 7 hari) dibutuhkan sekitar 300 ekor Data Larva Digerus Centrifuge OSMOMETER Pengukuran Osmolalitas Gambar 19. Tahapan pengukuran tekanan osmotik larva udang galah Gambar 20. Visualisasi tahapan pengukuran tekanan osmotik larva Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada percobaan ini meliputi: (a) Laju konsumsi oksigen: Pengumpulan data respirasi dilakukan melalui empat tahap perkembangan stadia larva sampai pascalarva. Data yang diambil dari setiap tahapan adalah nilai kandungan O 2 yang dikonsumsi, yaitu selisih dari oksigen awal dan oksigen akhir setiap jam selama 24 jam pengamatan. Demikian juga untuk konsentrasi karbon dioksida sebagai hasil metabolisme. (b) Tekanan osmotik: Pengumpulan data dari tekanan osmotik cairan tubuh dilakukan pada empat tahap perkembangan stadia larva sampai pascalarva Analisis Data Rencana analisis data dilakukan sesuai dengan disain waktu evaluasi. Untuk setiap analisis akan dilakukan uji:

71 52 (a) (b) Uji Perbedaan; dengan pengolahan analisis ragam dilakukan satu arah; untuk menguji hipotesis H 0 : β = 0; Bilamana ternyata ada respon yang diperlihatkan dari nilai konsumsi oksigen larva atau pascalarva terhadap empat perlakuan yang dirancang; maka dilakukan analisis lanjutan untuk membandingkan nilai tengah perlakuan dengan uji perbandingan berganda Duncan. Perlakuan media yang dirancang, dipandang mampu mengaktualisasi kondisi hiperosmotik, hipoosmotik dan isoosmotik Uji Hubungan; menggunakan analisis regresi untuk menggambarkan hubungan antara X sebagai peubah bebas (independence variable) dengan Y sebagai peubah tidak bebas bebas (dependence variable); dengan rincian sebagai berikut: Y Konsumsi Oksigen ƒ [salinitas] pada 4 perlakuan yang mencerminkan kondisi hiperosmotik, hipoosmotik dan isoosmotik media. Persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antara kedua peubah itu adalah: Y 3 = ax 2 b2 Keterangan: Y 3 = Konsumsi Oksigen X 2 = Beban Osmotik Untuk pengujian model persamaan diatas digunakan analisis ragam yang menguji hipotesis H 0 : β = 0. Hipotesis nol diterima dengan pendekatan F hitung [Fα (1,n-2) ]. Keterandalan model persamaan tersebut diukur dengan koefisien determinasi atau R 2. Semakin besar R 2 berarti model semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y yang dalam percobaan ini tidak lain dari kelangsungan hidup larva dan lama perkembangan stadia. Kisaran nilai R 2 mulai dari 0 sampai 1, yang dapat diperoleh dengan rumus: R 2 = 1 JKG JKT

72 53 Percobaan Pengaruh Beban Kerja Osmotik Terhadap Potensi Tumbuh Pascalarva Udang Galah Tujuan Percobaan Tujuan khusus pada percobaan potensi tumbuh pascalarva udang galah dari hasil berbagai adaptasi salinitas adalah untuk mengetahui potensi tumbuh pascalarva udang galah sebagai konsenkuensi perkembangan larva yang dipelihara pada berbagai tingkat salinitas. Berbagai tingkat salinitas ini adalah: peningkatan salinitas media dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt. dalam waktu 7 hari. Kemudian tingkatan salinitas statis ini dipertahankan sampai semua larva menjadi pascalarva dan selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap pengaruh lanjut beban osmotik terhadap potensi tumbuh pascalarva. Metode dan Disain Rancangan Percobaan Metode, Disain Perlakuan dan Satuan Percobaan. Metode percobaan yang dilakukan adalah eksperimental terkontrol dengan perlakuan; (1) Pascalarva hasil adaptasi dari media dengan perlakuan salinitas 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt dan 14,4 ppt; yang diturunkan langsung menjadi tawar selama 7 hari (adaptasi awal); (2) Pertumbuhan pascalarva pada media yang terus menerus dipertahankan pada posisi salinitas nol (pengembangan). Disain percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan menggunakan pascalarva hasil adaptasi dari salinitas 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt dan 14,4 ppt dan tiga ulangan; keseluruhannya berada pada media air tawar. Satuan percobaan pada percobaan ini dibagi dalam dua set. Set pertama untuk pertumbuhan dan konsumsi harian pascalarva dan set kedua untuk pengukuran respirasi khusus pascalarva. Satuan percobaan untuk pertumbuhan dan konsumsi harian pascalarva adalah 40 ekor pascalarva yang ditebar ke dalam wadah akuarium ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm; dengan volume air 10 liter. Satuan percobaan untuk pengukuran respirasi khusus pascalarva adalah 3 x 30 ekor atau sejumlah 90 ekor pascalarva yang ditebar ke dalam wadah akuarium ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm; dengan volume air 10 liter.

73 54 Disain Waktu Evaluasi. Disain waktu evaluasi untuk kedua kegiatan, yaitu pertumbuhan serta respirasi dilakukan secara bersamaan sebagai berikut: (a) (b) (c) Evaluasi tahap pertama dilakukan pada hari penebaran pascalarva, yaitu terhadap kualitas media air tawar dengan parameter yang telah ditetapkan. Pada tahap ini juga dilakukan pengamatan panjang dan bobot pascalarva. Evaluasi tahap dua dilakukan pada hari ke-7, parameter yang diamati disini meliputi kelangsungan hidup, sisa pakan, bobot, panjang dan beberapa dari parameter kualitas air. Evaluasi tahap akhir, pada hari ke-14 pemeliharaan pascalarva. Pada tahap ini dilakukan panen total dan pengamatan dilakukan untuk sampling panjang dan bobot individu pascalarva muda, serta jumlah total pascalarva yang hidup. Variabel yang Dipantau dan Variabel Kerja Variabel Yang Dipantau. Variabel yang dipantau dalam percobaan ini untuk set pertumbuhan dan konsumsi harian meliputi: (a) Kualitas air media, yaitu suhu, ph, oksigen, karbondioksida, ammonia, nitrit, sulfida, dan BOD. Keseluruhan parameter dipantau mingguan, kecuali suhu dan ph dipantau harian. (b) Kelangsungan hidup, yaitu jumlah pascalarva yang hidup dipantau harian dengan metode sampling dalam satuan volume; selanjutnya dilakukan ekstrapolasi data sampling terhadap volume total media percobaan dalam akuarium yang dipantau. (c) Sisa pakan dipantau harian dengan menghitung sisa Daphnia sp. (d) Bobot pascalarva dipantau saat O 2 dan CO 2 diiukur. Variabel yang dipantau untuk set pengukuran respirasi meliputi: (a) Kualitas air media, yaitu O 2 dan CO 2 (b) Jumlah O 2 yang dimanfaatkan dan CO 2 yang dihasilkan (RQ) (c) Bobot individu diukur sebelum pengukuran respirasi

74 55 Variabel Kerja. Variabel kerja untuk Pertumbuhan dan Konsumsi Harian Pascalarva dan untuk Pengukuran Respirasi Khusus Pascalarva dapat dirinci sebagai berikut: (a) Pertumbuhan dan Konsumsi Harian Pascalarva (1) Kelangsungan hidup (2) Pertumbuhan individu dari hasil pantauan mingguan (3) Pertumbuhan biomassa = Kelangsungan hidup x Bobot dari waktu ke waktu (4) Biomassa akhir = Jumlah yang hidup x Rata-rata bobot (5) Konsumsi pakan harian per individu sesuai dengan waktu evaluasi; dengan rumus: Σ sisa pakan / Σ PL yang hidup; Konsumsi pakan total per akuarium; kemudian ditransformasikan ke energi (0,8 x pakan) (b) Respirasi Khusus Pascalarva (1) Respirasi harian individu adalah jumlah O 2 harian yang dipakai untuk pembakaran (2) Respirasi total adalah jumlah O 2 total yang dipakai untuk pembakaran energi yang dicirikan RQ 1 (3) Potensi tumbuh individu: Σ pakan yang dikonsumsi / Σ Individu (4) Potensi tumbuh biomassa: Potensi tumbuh Aktual (ΔW/ΔT) dan Potensial (αp-t), atau (αk-r). Δ Aktual/Δ Potensial = Δ W/K-R. Dengan demikian dapat disajikan potensi tumbuh dalam rumus berikut: dw/dt = αk-r Keterangan: dw : bobot K : konsumsi α : koefisientransformasi energi R : respirasi Efisiensi (E), E 1 = dw/ α K; sedangkan E 2 = dw/ α K -R Bahan, Alat, Metode dan Pelaksanaan Percobaan Bahan. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini meliputi:

75 56 (a) (b) (c) Air tawar yang digunakan berasal dari Mata Air Gunung Salak Bogor yang diperjual-belikan oleh PAM Bogor melalui Primkopol Polwil Bogor Unit Niaga Putri Mas. Pascalarva hasil adaptasi dari percobaan I dan percobaan II Pakan alami berupa Daphnia sp. Alat. Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah: (a) (b) (c) (d) (e) (f) Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran 40 cm x 80 cm x 30 cm sebanyak 12 buah; masing-masing untuk pengamatan pertumbuhan dan konsumsi harian; serta untuk pengamatan respirasi Tandon atau penampung air tawar yang digunakan adalah bak-bak semen volume 2 ton yang berada di Laboratorium Fisiologi Hewan Air FPIK-IPB. Blower yang digunakan sebagai sumber aerasi adalah blower dengan kualifikasi: model LP-60 Resum Air-Pump, kapasitas/out put 70 liter/menit; tekanan 0.04 MPa. Aerator yang digunakan sebanyak jumlah satuan percobaan; atau sekitar 12 set aerator, masing-masing untuk pengamatan pertumbuhan dan konsumsi harian; serta untuk pengamatan respirasi Peralatan gravimetri pengumpulan sisa pakan, berupa scope-net, loupe dan peralatan gelas. Peralatan penimbangan bobot sampel pascalarva, yang terdiri atas: pompa vacuum dengan cawan gooch dilengkapi kertas saring seukuran cawan; kaca arloji dan timbangan analitik digital. Metode Peneraan. Metode peneraan kualitas air, kelangsungan hidup pascalarva, respirasi, sisa pakan harian dan bobot pascalarva yang digunakan, meliputi: (a) Konsumsi oksigen dilakukan dengan mengukur konsentrasi O 2 yang terpakai dibandingkan dengan konsentrasi CO 2 yang dihasilkan. Metode yang digunakan adalah pengukuran langsung dengan digital oksimeter, serta volumetrik untuk CO 2

76 57 (b) Konsumsi pakan harian dengan penghitungan pakan alami, Daphnia sp. yang tersisa. (c) Tingkat Kelangsungan Hidup dengan metode sampling, dilanjutkan dengan penghitungan langsung. (d) Bobot pascalarva dengan metode sampling, dilanjutkan penimbangan dengan neraca analitik digital Pelaksanaan Percobaan. Pelaksanaan percobaan ini meliputi pertumbuhan dan konsumsi harian, serta konsumsi oksigen dengan urutan pelaksanaan sebagai berikut: (a) (b) Pertumbuhan dan konsumsi harian: Percobaan dilakukan dalam akuarium bervolume 10 liter air tawar dengan padat tebar PL sebanyak 40 ekor setiap akuarium. Suhu air akan dipertahankan O C; sedangkan pakan yang diberikan adalah Daphnia sp. ad libitum. Konsumsi oksigen dilakukan pada tiga tahapan sesuai waktu evaluasi, dengan cara menyiapkan wadah berserta media air tawar. Media air diberi aerasi sehingga kandungan oksigen terlarut dalam keadaan saturasi, pengukuran O 2 dilakukan saat saturasi O 2, bersamaan dengan itu dilakukan juga pengukuran CO 2. Setelah itu, dimasukkan pascalarva dengan bobot yang telah diketahui. Pengukuran konsentrasi O 2 sisa dan CO 2 yang dihasilkan dilakukan setiap jam selama 5 jam. Penimbangan bobot pascalarva dilakukan melalui penimbangan langsung dengan neraca analitik digital Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data meliputi pertumbuhan dan konsumsi harian, serta konsumsi oksigen sebagai berikut: (a) Pertumbuhan dan konsumsi harian: kelangsungan hidup pascalarva diolah dari data harian yang terkumpul; sisa pakan tiap hari, bobot yang dipantau mingguan; dan jumlah yang mati diamati harian. (b) Konsumsi oksigen: dilakukan tiga tahapan sesuai dengan waktu evaluasi. Data yang diambil dari setiap tahapan adalah nilai

77 58 kandungan O 2 yang memiliki nilai RQ 1 berdasarkan nilai rataan gerak tiap tiga jam sekali selama 24 jam pengamatan. Data ini akan dianalisis signifikansi antar perlakuan, serta perolehan gambaran hubungan yang terjadi. Analisis Data Rencana analisis dilakukan tiga kali sesuai waktu evaluasi dan pada masing-masing waktu evaluasi dilakukan uji berikut: (a) Uji Perbedaan; dengan pengolahan analisis ragam yang akan menguji hipotesis H 0 : β = 0; sehingga terlihat pengaruhnya terhadap: (1) Pertumbuhan dan konsumsi harian (2) Respirasi khusus pascalarva Jika terdapat respon dari perlakuan yang dirancang; maka dilakukan analisis lanjutan untuk membandingkan nilai tengah perlakuan dengan uji perbandingan berganda Duncan. (b) Uji Hubungan; menggunakan analisis regresi. Persamaaan matematik yang menggambarkan hubungan antara peubah bebas (independence variable) yang dalam percobaan ini adalah perlakuan hasil adaptasi terhadap berbagai salinitas (X) dengan peubah tak bebas (dependence variable) yang dalam percobaan ini adalah potensi tumbuh pascalarva (Y) adalah: Y ˆ = a + i bx i ; keterangan a penduga bagi α, dan b penduga bagi β Untuk pengujian model persamaan di atas digunakan analisis ragam yang akan menguji hipotesis H 0 : β = 0. Hipotesis nol diterima dengan pendekatan F-hitung [ Fα (1,n-2) ] Keterandalan model persamaan tersebut diukur dengan koefisien determinasi atau R 2. Semakin besar R 2 berarti model semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y yakni potensi tumbuh pascalarva. Kisaran nilai R 2 mulai dari 0 sampai 1 diperoleh dengan rumus: R 2 = 1 JKG JKT

78 HASIL PENELITIAN Kondisi Kualitas Air Kualitas Air pada Tahap Eksplorasi Salinitas yang digunakan sebagai perlakuan didasarkan pada penelitian pendahuluan yang menghasilkan petunjuk batas kisaran optimal bagi pertumbuhan larva. Sejalan dengan saran D Abramo dan Brunson (1996 a ) yang menjelaskan bahwa larva dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas 9 19 ppt. Hasil rataan dan simpangan baku nilai keseluruhan parameter kualitas air percobaan sistem produksi akuatik tahap eksplorasi atau tahap awal setiap perlakuan disajikan pada Tabel 6; sedangkan rincian data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 6. Rataan dan simpangan baku parameter fisika-kimia air serta tolok ukur setiap perlakuan pada sistem produksi tahap eksplorasi Para meter Satuan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Kisaran Kelayakan Suhu o C 29,0 + 0,5 29,3 + 0,7 29,3 + 0,4 29,7 + 0, DO ppm 7,19 + 0,16 6,91 + 0,33 6,77 + 0,42 6,73 + 0,36 > 5 BOD5 ppm 1,53 + 0,71 1,59 + 1,29 1,15 + 1,15 2,10 + 0,95 - ph - 7,56+ 0,20 7,59 + 0,28 7,59 + 0,23 7,60 + 0,23 7,2 8,4 CO2 ppm 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 2,00 + 0,00 < 10 NH3-N ppm 0, ,002 0, ,001 0, ,005 0,094+ 0,001 0,1 NO2-N ppm 0, ,000 0, ,000 0, ,000 0, ,000 0,1 H2S ppm <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 nol Parameter kualitas air yang merupakan faktor pengendali yakni suhu, selama penelitian suhu media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturutturut adalah 29,0 0 C; 29,3 0 C; 29,3 0 C dan 29,7 0 C. Rentang nilai suhu media pemeliharaan berkisar antara C. Menurut kajian Mohanta (2000) dan Spotts (2001), udang galah dapat hidup pada suhu antara C, dengan suhu optimal C. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan suhu media pemeliharan selama penelitian mendukung pertumbuhan yang optimal. Hasil pantauan memperlihatkan kecenderungan terjadinya peningkatan suhu

79 60 dengan naiknya salinitas perlakuan. Suhu juga merupakan parameter fisik air yang sejauh ini diketahui berpengaruh langsung terhadap seluruh tingkat proses biologis organisme dan potensial mempengaruhi laju perkembangan larva. Kandungan oksigen terlarut merupakan faktor pembatas dalam mendukung optimalisasi kehidupan organisme perairan. Selama penelitian, kandungan oksigen terlarut media mulai dari nperlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah 7,19 ppm; 6,91 ppm; 6,77 ppm dan 6,73 ppm. Rentang kandungan oksigen terlarut pada media pemeliharaan berkisar antara 6,73-7,19 ppm. Khusus pada stadia larva, dari berbagai hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa kandungan oksigen terlarut di atas 5 ppm cukup memadai untuk mendukung kehidupan larva udang galah (Law et al., 2002). Batas bawah kandungan oksigen terlarut yang membahayakan bagi udang galah adalah di bawah 5 ppm. Di bawah nilai ini udang mampu hidup pada kondisi oksigen rendah, namun hanya dalam waktu yang singkat. Dengan demikian dapat dikatakan kandungan oksigen terlarut selama penelitian dipandang mampu mendukung pertumbuhan optimal, dengan kecenderungan penurunan kandungan oksigen terlarut seiring dengan naiknya salinitas perlakuan. Nilai ph berlaku sebagai indikator adanya kelarutan bahan toksik pada media pemeliharaan. Selama penelitian, nilai ph media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 7,56; 7,59; 7,59; dan 7,60. Rentang nilai ph pada media pemeliharaan berkisar antara 7,56-7,60 satuan ph. Nilai ini masih merupakan nilai ideal bagi pertumbuhan larva udang galah karena masuk dalam kisaran ph optimal bagi udang galah seperti yang disarankan oleh beberapa pakar, baik oleh Spotts (2001) yaitu antara 7,2-8,4; maupun oleh Chen dan Chen (2003) yaitu pada kisaran 7,0-8,5. Berdasarkan beberapa kajian dinyatakan bahwa kesimbangan asam-basa udang air tawar akan terganggu bila nilai ph media pemeliharaan terlampau rendah (Chen dan Lee, 1997). Selama penelitian terlihat adanya kenaikan ph seiring dengan naiknya salinitas perlakuan. BOD 5 yang sangat rendah pada penelitian ini mengisyaratkan bahwa tidak ada masalah pembusukan ataupun perombakan bahan organik. Selama penelitian, nilai BOD 5 media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah 1,53 ppm; 1,59 ppm; 1,15 ppm dan 2,10 ppm. Rentang nilai BOD 5 pada media

80 61 pemeliharaan berkisar antara 1,15-2,10 ppm dan memperlihatkan adanya kecenderungan naiknya nilai BOD 5 berkaitan dengan naiknya salinitas perlakuan yang diikuti dengan menurunnya oksigen terlarut; kecuali pada perlakuan 3. Pada perlakuan 3, nilai BOD 5 lebih rendah dibanding perlakuan 2 dan perlakuan 4. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pada nilai oksigen yang rendah, kemampuan badan air untuk melakukan perombakan atau dekomposisi bahan organik menjadi rendah. Sehingga pada kondisi seperti itu, nilai BOD 5 dipastikan meningkat. Walaupun kondisi media pemeliharaan belum tercemar, tapi rataan bahan organik ini berpotensi menjadi sumber gas-gas toksik. Kandungan karbondioksida (CO 2 ) bebas dalam air merupakan fungsi dari aktivitas biologis organisme, khususnya respirasi dan proses dekomposisi yang berada dalam perairan tersebut. Nilai CO 2 bebas yang terpantau selama penelitian pada media mulai perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4, berada pada nilai yang sama yaitu 2,0 ppm. Menurut Boyd (1998), nilai CO 2 bebas di bawah 10 ppm, masih berada pada kisaran yang tidak membahayakan bagi kehidupan organisme dalam sistem akuatik. Kandungan CO 2 bebas yang terlalu tinggi pada media pemeliharaan akan memberi efek yang memabukkan pada organisme akuatik; namun efek ini dapat dikurangi dengan adanya kelarutan oksigen dalam konsentrasi yang memadai. Senyawa ammonia yang terdapat pada suatu perairan adalah produk akhir dari proses metabolisme organisme di perairan tersebut, yang umumnya hadir baik dalam bentuk ion NH + 4 maupun dalam bentuk NH 3 -N yang lebih toksik. Toksisitas senyawa NH 3 -N ini mampu menekan pertumbuhan, meningkatkan frekuensi ganti kulit (Chen dan Kou, 1992), serta tercatat mempengaruhi kapasitas osmoregulasi pada Homarus americanus (Young-Lai et al., 1991) bahkan tidak jarang menimbulkan kematian (Wang et al. 2004). Selama penelitian, konsentrasi NH 3 -N media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 0,098 ppm; 0,097 ppm; 0,096 ppm dan 0,094 ppm; dengan kecenderungan semakin menurun dengan naiknya nilai ph media. Pada kondisi seperti ini, Tomasso (1994) dan Cavalli et al. (2000) menyatakan, bila konsentrasi ammonia pada media meningkat; maka ekskresi ammonia menurun dan akan mendorong peningkatan konsentrasi ammonia dalam darah ataupun jaringan udang. Keadaan

81 62 ini akan mengganggu keseimbangan ph darah serta stabilitas enzim, yang pada gilirannya dapat menimbulkan kematian. Meskipun demikian, rentang konsentrasi NH 3 -N pada media pemeliharaan berada pada kisaran nilai 0,094-0,098 ppm; menurut kajian D Abramo dan Brunson (1996 b ) rentang nilai ini masih berada di bawah ambang batas yang membahayakan, yaitu 0,1 ppm. Senyawa nitrit (NO - 2 ) dalam perairan terbentuk dari ammonia dan kehadirannya terakumulasi dalam sistem akuatik akibat ketidakseimbangan proses bakteri nitrifikasi, yaitu Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. Selama penelitian, konsentrasi NO - 2 dalam media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturutturut adalah 0,018 ppm; 0,012 ppm; 0,007 ppm dan 0,014 ppm. Rentang - konsentrasi NO 2 pada media pemeliharaan berkisar antara 0,007-0,018 ppm; namun demikian kisaran nilai tersebut masih berada di bawah 0,1 ppm; yaitu batas ambang yang membahayakan (Akson dan Sampaio, 2000). Konsentrasi nitrit yang tinggi dalam media pemeliharaan larva udang berpotensi memicu stres dan dosis - letal (LC jam) NO 2 bagi Macrobrachium rosenbergii adalah 8,54 ppm. (Chen dan Lin, 1992; serta Chen dan Lin, 1995) Kehadiran senyawa asam sulfida (H 2 S) dalam suatu perairan, lebih disebabkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik dalam kondisi anaerob. Dengan demikian, indikasi kehadiran H 2 S adalah akibat langsung dari menurunnya kelarutan oksigen pada media tersebut. Berdasarkan hasil kajian beberapa pakar, memperlihatkan bahwa dalam jumlah 0,013 ppm, senyawa H 2 S sudah bersifat racun bagi kehidupan larva ikan (Boyd, 1998). Selama penelitian, konsentrasi H 2 S media perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 adalah sama, yaitu 0,001 ppm; nilai ini memperlihatkan bahwa media penelitian dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya. Kualitas Air pada Tahap Adaptasi dan Perkembangan Akhir Pada percobaan larva tahap lanjut atau tahap adapatasi serta perkembangan akhir, kondisi salinitas media dipertahankan stabil sesuai perlakuan sampai dengan akhir percobaan; yaitu tepat ketika semua larva telah menjadi pascalarva. Hasil pantauan rataan dan simpangan baku nilai setiap parameter kualitas air,

82 63 berada dalam rentang kisaran yang layak guna mendukung perkembangan larva udang galah (Tabel 7). Tabel 7. Rataan dan simpangan baku parameter fisika-kimia air serta tolok ukur pada sistem produksi tahap adaptasi dan tahap perkembangan akhir Para meter Satuan Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 Kisaran Kelayakan Suhu o C 29,1 + 0,5 29,0 + 0,5 29,0 + 0,5 29,3 + 0, DO ppm 7,00 + 0,19 7,00 + 0,21 6,95 + 0,12 6,95 + 0,35 > 5 BOD5 ppm 2,42 + 1,23 2,52 + 0,61 3,07 + 1,24 2,45 + 1,06 - ph - 7,58 + 0,10 7,58 + 0,18 7,56 + 0,16 7,55 + 0,18 7,2 8,4 CO2 ppm 5,66 + 5,03 5,99 + 5,10 5,16 + 3,90 5,33 + 4,42 < 10 NH3-N ppm 0, ,003 0, ,003 0, ,002 0, ,002 0,1 NO2-N ppm 0, ,003 0, ,003 0, ,003 0, ,002 0,1 H2S ppm <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 nil Suhu media pemeliharaan larva pada sistem produksi tahap adaptasi dan perkembangan akhir, tercatat pada perlakuan 1 sampai perlakuan 4 berturut-turut adalah 29,1 0 C; 29,0 0 C; 29,0 0 C dan 29,3 0 C. Kecenderungan suhu media naik seiring dengan naiknya salinitas perlakuan, kecuali pada perlakuan 2 dan 3; berada pada suhu yang sama. Menurut kajian Chavez Justo et al. (1991) nilai parameter suhu media terbaik mendukung pemeliharaan larva udang galah adalah 28 C; sedangkan New (1995), serta Ismael dan Moreira (1997) memberi kisaran suhu media untuk optimalisasi pemeliharaan larva udang galah adalah C. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini rentang suhu media pemeliharan berada dalam kondisi layak untuk kehidupan larva. Akan tetapi fluktuasi suhu media, potensial mempengaruhi lama waktu perkembangan larva; seperti yang dilaporkan Jackson dan Burford (2003) yang menyatakan bahwa suhu media secara substansial mempengaruhi pertumbuhan larva Penaeus semisulcatus. Dikatakan lebih lanjut, bahwa larva P. semisulcatus berkembang lebih cepat pada suhu yang relatif lebih tinggi. Pantauan nilai kandungan oksigen terlarut dalam air media pemeliharaan larva pada tahap adaptasi dan perkembangan akhir, tercatat pada rentang nilai antara 6,95-7,00 ppm, dengan kecenderungan konsentrasi oksigen semakin menurun dengan semakin naiknya salinitas media perlakuan. Data yang terpantau juga

83 64 memperlihatkan adanya pengelompokan dengan nilai oksigen yang sama yaitu perlakuan 1 dan perlakuan 2 sebesar 7,00 ppm; serta perlakuan 3 dan perlakuan 4 sebesar 6,95 ppm. Kondisi konsentrasi oksigen terlarut seperti yang terdeteksi pada media pemeliharaan di atas, berdasarkan pernyataan Law et al. (2002), kandungan oksigen terlarut selama penelitian berlangsung dipandang masih berada pada kisaran yang mampu mendukung kehidupan larva udang galah. Rataan nilai ph media pemeliharaan sistem produksi tahap adaptasi dan perkembangan akhir dari perlakuan 1 sampai dengan perlakuan 4 berturut-turut adalah: 7,58; 7,58; 7,56; dan 7,55 satuan ph. Nilai ph cenderung menurun dengan naiknya salinitas media; kecuali pada perlakuan 1 dan perlakuan 2 yang tercatat mempunyai nilai ph sama, yaitu 7,58. Kisaran nilai ph media pemeliharaan seperti di atas, termasuk dalam kisaran yang layak untuk mendukung kehidupan larva (New, 1995; Spotts, 2001; serta Chen dan Chen, 2003). Walaupun demikian, fluktuasi perubahan ph media pemeliharaan udang galah dapat memicu produksi senyawa toksik seperti ammonia pada kondisi ph tinggi dan senyawa toksik sulfida pada ph rendah yang akan mempengaruhi siklus hidup udang galah (Law et al., 2002). Pantauan konsentrasi CO 2 bebas dalam media pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir yang tertinggi adalah pada perlakuan 2, sebesar 5,99 ppm, diikuti dengan perlakuan 1, perlakuan 4 dan perlakuan 2; berturut-turut dengan nilai sebesar 5,66 ppm; 5,33 ppm; dan 5,16 ppm. Konsentrasi CO 2 bebas seperti di atas, menurut Boyd (1998) masuk dalam kategori layak untuk mendukung kehidupan organisme air. Indikasi meningkatnya konsentrasi CO 2 bebas pada perlakuan 2, lebih merupakan dampak lanjutan dari peningkatan aktivitas metabolisme larva pada perlakuan tersebut. Nilai BOD 5 pada media pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir untuk setiap perlakuan terlihat relatif meningkat dengan meningkatnya salinitas perlakuan; kecuali pada perlakuan 4 yang menurun. Nilai BOD 5 yang tertinggi terdapat pada perlakuan 3, yaitu 3,07 ppm dan yang terendah pada perlakuan 1, yaitu 2,42 ppm. Nilai BOD 5 yang relatif kecil di atas mengindikasikan tidak tercemarnya media pemeliharaan; walaupun demikian kehadiran BOD 5 berpotensi sebagai sumber gas-gas toksik. Kelompok senyawa toksik lainnya yaitu NH 3 -N, NO - 2, dan H 2 S yang terpantau pada media

84 65 pemeliharaan tahap adaptasi dan perkembangan akhir, berfluktuasi dengan pola yang beragam. Untuk kandungan H 2 S dalam air, ternyata mempunyai nilai yang sama yaitu; 0,001. Hal ini berarti kegiatan dekomposisi bahan organik terjadi dalam kondisi aerob. Khusus nilai kandungan senyawa NO - 2, terlihat fluktuasi dengan pola yang beragam. Tercatat nilai NO - 2, untuk masing-masing perlakuan berurutan dari yang tertinggi 0,052 ppm pada perlakuan 3, dan yang terkecil pada perlakuan 2 dengan kandungan NO - 2 0,044 ppm. Perlakuan 1 dan perlakuan 4 - mencatat kandungan NO 2 yang sama, yaitu 0,050 ppm. Kondisi ini - memperlihatkan adanya potensi larva dapat terkena dampak toksik NO 2 pada perlakuan 3. Secara runut kandungan NH 3 -N dari yang tertinggi adalah perlakuan 1 yaitu 0,074 ppm, perlakuan 3 dan perlakuan 4 dengan nilai yang sama yaitu 0,072 ppm, serta perlakuan 2 yaitu 0,071 ppm. Berdasarkan hasil kajian D Abramo dan Brunson (1996 b ); Akson dan Sampaio (2000), kondisi di atas, yaitu konsentrasi NH 3 -N, NO - 2, dan H 2 S masih berada dalam toleransi yang layak untuk mendukung perkembangan larva udang galah. Beberapa pakar menyatakan bahwa daya toksik NH 3 -N berpengaruh terhadap sintasan (Chen dan Lei, 1990); mengganggu pertumbuhan dan ganti kulit (Chen dan Kou, 1992); serta beberapa aspek fisiologis lainnya (Chen et al., 1994) Kemampuan Regulasi dan Beban Kerja Osmotik Kemampuan regulasi osmotik larva udang galah tercermin dari nisbah osmolalitas cairan tubuh (OH) terhadap osmolalitas media (OM) atau OH/OM; sehingga nilai (1-OH/OM) merupakan beban kerja osmotik larva yang dihadapi larva dalam perkembangan menjadi pascalarva. Hasil analisis keragaman kemampuan regulasi osmotik dan beban osmotik disajikan pada Tabel 8 dan Tabel 9; sedangkan rincian data masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4 dan Lampiran 5. Secara menyeluruh, penampilan kemampuan regulasi osmotik mulai sistem produksi perkembangan larva tahap awal dan tahap lanjut, dapat dibedakan tiga tahap perkembangan kemampuan, yaitu:

85 66 1. Tahap eksploratif, yaitu tahap penentuan salinitas media isoosmotik bagi kehidupan larva. Pada tahap eksploratif salinitas media awal sebesar 6 ppt, ditingkatkan setiap hari sebesar 0,6; 0,8; 1,0; dan 1,2 selama 7 hari. 2. Tahap adaptasi, yaitu tahap perkembangan kemampuan regulasi osmotik pada tingkat salinitas yang tetap 3. Tahap perkembangan akhir mencapai pascalarva setelah melalui kondisi isoosmotik. Pada tahap eksploratif, perbedaan peningkatan salinitas per hari berturutturut 0,6; 0,8; 1,0; dan 1,2 ppt selama 7 hari, diharapkan mampu menciptakan salinitas media yang mendekati isoosmotik bagi perkembangan larva. Sedangkan pada tahap adaptasi, tingkat salinitas yang tercapai dipertahankan tetap, agar larva dapat berkembang dengan mantap. Tabel 8. Kemampuan regulasi osmotik (OH/OM) larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) OH/OM Analisis Statistik 1 2,31 2,31 2,31 2,31 ns 6 (eksp) 0,44 (C) 0,33 (D) 0,76 (A) 0,65 (B) * 8 (adpt) 0,72 (B) 0,77 (A) 0,80 (A) 0,60 (C) * 11 (perk) 0,97 (D) 1,25 (C) 1,30 (A) 1,28 (B) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Tabel 8 memperlihatkan kemampuan regulasi osmotik larva pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir. Pada tahap eksploratif, kemampuan regulasi osmotik terendah terdapat pada perlakuan 2 (0,33), dan tertinggi pada perlakuan 3 (0,76). Kemampuan kerja regulasi osmotik perlakuan 1 dan 4 berada diantara perlakuan 2 dan 3 dengan tingkat urutan kemampuan kerja regulasi osmotik dari yang terendah, yaitu perlakuan 2, 1, 4, dan 3. Peningkatan salinitas antara perlakuan 1 ke 2 dan atau perlakuan 3 ke 4, ternyata tidak efektif meningkatkan kemampuan kerja regulasi osmotik larva. Sedangkan perubahan salinitas pada perlakuan 2 menjadi 3, sangat efektif meningkatkan kemampuan kerja regulasi osmotik larva dan dapat dinyatakan bahwa larva cukup

86 67 responsif meningkatkan kemampuan regulasi osmotik dari 0,33 menjadi 0,76. Tercatat kemampuan kerja regulasi osmotik larva terendah adalah sebesar 0,33 yang terjadi pada perlakuan 2, dan tertinggi sebesar 0,76 pada perlakuan 3. Pada tahap eksploratif tersebut, upaya peningkatan salinitas untuk menciptakan media salinitas yang isoosmotik tidak tercapai, meskipun kemampuan regulasi osmotik larva pada perlakuan 3 telah mencapai 0,76 dari nilai 1. Pada tahap adaptasi, kemampuan kerja regulasi osmotik larva meningkat dari perlakuan 1 ke perlakuan 2 dan mencapai maksimal pada perlakuan 3, yaitu sebesar 0,80. Namun selanjutnya pada perlakuan 4, kemampuan kerja regulasi osmotik larva menurun menjadi 0,60 (Tabel 8). Peningkatan kemampuan kerja regulasi osmotik sejalan dengan peningkatan perkembangan stadia 7 dan stadia 8. Sebelum memasuki tahap perkembangan akhir, terdapat tahap peralihan, yaitu pada stadia 9 dan 10. Tahap adaptasi ini merupakan masa perkembangan larva stadia 7, 8, 9 dan 10. Pada tahap perkembangan akhir, kemampuan kerja regulasi osmotik larva dari setiap perlakuan meningkat. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva perlakuan 1 mendekati tingkat isoosmotik, yaitu 0,97. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva perlakuan 2, 3, dan 4 melampaui tingkat isoosmotik dan tertinggi dicapai oleh perlakuan 3 yakni 1,3. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva pada tahap adaptasi sampai dengan tahap perkembangan akhir merupakan tahap perkembangan 9 dan 10 menjelang kondisi isoosmotik mencapai pascalarva. Secara menyeluruh, dari uraian kemampuan kerja regulasi osmotik larva di atas dapat dinyatakan bahwa : 1. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva dari tidak mantap pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari, dan berakhir mantap pada tahap adaptasi atau pada kondisi salinitas statis. Selanjutnya meningkat melampaui kondisi isoosmotik menjadi hiperosmotik pada tahap perkembangan akhir

87 68 2. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva tertinggi pada tahap eksploratif dan atau tahap adaptasi terdapat pada perlakuan 3 yang mendekati kondisi isoosmotik. 3. Kemampuan kerja regulasi osmotik larva terendah pada tahap eksploratif, adaptasi dan tahap perkembangan akhir terdapat pada pelakuan 2. Beban kerja osmotik larva merupakan perbedaan antara kemampuan kerja regulasi osmotik pada waktu isoosmotik dengan kemampuan kerja regulasi osmotik saat tertentu [1-(OH/OM)]. Besarnya beban kerja osmotik larva udang galah pada setiap perlakuan dikemukakan pada Tabel 9. Tabel 9. Beban kerja osmotik [1-(OH/OM)] larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) Beban kerja Osmotik Analisis Statistik 1-1,31-1,31-1,31-1,31 ns 6 (ekspl) 0,56 (B) 0,67 (A) 0,24 (D) 0,35 (C) * 8 (adpts) 0,28 (B) 0,23 (C) 0,20 (C) 0,40 (A) * 11 (perkb) 0,03 (D) - 0,25 (C) - 0,30 (A) - 0,28 (B) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Tabel 9 memperlihatkan bahwa beban kerja osmotik larva pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir. Pada tahap eksploratif, beban kerja osmotik larva yang terendah terdapat pada perlakuan 3, dan tertinggi pada perlakuan 2. Perubahan peningkatan salinitas pada perlakuan 1 menjadi 2; serta perlakuan 3 menjadi 4, ternyata meningkatkan beban kerja osmotik larva. Perubahan peningkatan salinitas yang menurunkan beban kerja osmotik larva, hanya terdapat pada perlakuan 2 menjadi 3. Kondisi ini memberi gambaran bahwa peningkatan salinitas 1 ppt per hari selama 7 hari setelah telur menetas menjadi larva, berada pada batas toleransi larva stadia 1 sampai dengan stadia 4, 5, dan 6. Sedangkan urutan tingkat beban kerja osmotik larva dari yang terendah ke tertinggi, berturut-turut perlakuan 3, 4, 1 dan 2. Pada tahap adaptasi, peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke perlakuan 2, dan menjadi perlakuan 3; ternyata menurunkan beban osmotik larva secara

88 69 bertahap. Tetapi peningkatan salinitas perlakuan 3 menjadi perlakuan 4, malah meningkatkan beban osmotik yang bahkan melampaui beban osmotik yang bekerja di awal tahap adaptasi. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan peningkatan salinitas yang dapat ditoleransi oleh larva stadia 7 dan 8, berada di atas perlakuan 2 dan di bawah perlakuan 4. Sedangkan stadia 9 dan 10, termasuk ke dalam tahap peralihan antara tahap adaptasi menuju tahap perkembangan akhir. Gambar 21. Beban kerja osmotik larva udang galah tiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Pada tahap perkembangan akhir, beban kerja osmotik setiap perlakuan terlihat menurun, bahkan di bawah garis isoosmotik. Beban kerja osmotik larva terendah terdapat pada perlakuan 1, yakni 0,03 dalam kondisi hipoosmotik (lihat Gambar 21). Peningkatan salinitas perlakuan 1 menjadi 2 memberikan penurunan beban osmotik terbesar, dari +0,03 menjadi -0,25. Sedangkan peningkatan salinitas perlakuan 2 menjadi 3 dan seterusnya menjadi 4; memperlihatkan besaran peningkatan beban osmotik larva relatif sama antara -0,25 sampai -0,30. Hal ini menunjukkan bahwa pada peningkatan salinitas di atas perlakuan 2 dan seterusnya, larva stadia 11 tidak memberikan respon terhadap peningkatan beban. Secara umum, kondisi beban kerja osmotik larva stadia 11 yang negatif, mengindikasikan bahwa larva bekerja mempertahankan konsentrasi hemolim agar tidak keluar ke media. Secara menyeluruh dari uraian beban osmotik larva tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa : 1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6

89 70 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt setiap hari, selama 7 hari pada tahap eksploratif ini terlihat bahwa beban kerja osmotik larva terendah terdapat pada perlakuan 3 dan tertinggi pada perlakuan 2. Urutan tingkat beban kerja osmotik larva berturut-turut perlakuan 3, 4, 1 dan 2. Peningkatan salinitas setiap hari antara 0,8 ke 1,0 cukup efektif menurunkan beban kerja osmotik larva. Beban kerja osmotik larva dari perlakuan 1 sampai 4 masih dalam tingkat pencarian keseimbangan antara kemampuan larva dengan perubahan salinitas media. 2. Pada tahap adaptasi atau pada kondisi media dengan salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; ternyata beban kerja osmotik larva menurun beraturan mulai dari perlakuan 1 ke 2 dan mencapai terendah pada perlakuan 3 namun selanjutnya meningkat pada perlakuan 4. Adapun urutan tingkat beban kerja osmotik larva berturut-turut perlakuan 3, 2, 1, dan perlakuan Pada tahap perkembangan akhir atau pada kondisi media dengan salinitas statis, beban kerja osmotik larva terendah pada perlakuan 1 pada kondisi hipoosmotik. Beban kerja osmotik larva perlakuan 2, 3 dan 4 menurun menjadi negatif (hiperosmotik) dan mencapai nilai terendah pada perlakuan 3. Perkembangan Larva Secara alami, telur udang galah mulai menetas menjadi larva pada media payau, setelah 48 jam saat telur dilepaskan dari induk. Selama jam masa pertumbuhannya, larva udang galah melewati 11 tahap perkembangan stadia sebelum mencapai bentuk sempurna sebagai pascalarva atau udang muda. Deskripsi tahapan perkembangan larva udang galah mencapai pascalarva hasil pengamatan selama penelitian dapat diikuti pada Tabel 10 dan visualisasinya pada Lampiran 6.

90 71 Lama Waktu Perkembangan Stadia Lama waktu perkembangan stadia larva dari tahap eksploratif sampai dengan tahap perkembangan akhir (stadia 1 sampai dengan stadia 11), dapat dilihat pada Tabel 11. Rincian data diperlihatkan pada Lampiran 7 dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 10. Deskripsi tahapan perkembangan larva sampai dengan pascalarva Stadia Umur Keterangan Pertumbuhan I II III IV V VI VII VIII IX X XI Pascalarva jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam jam > 498 jam Mata sessile dan belum bertangkai Mata sudah bertangkai Eksopoda dan endopoda mulai mengembang Dua gerigi rostrum sudah mulai tampak Panjang eksopoda dan endopoda hampir sama panjang dengan telson Tunas pada pleopoda sudah mulai terlihat Pleopoda sudah mulai bercabang dua Kaki jalan mulai lengkap, pleopoda pada cabang luar mulai berambut Pleopoda lebih berkembang dengan pertambahan ruas dan rambut Pleopoda lebih berkembang, ada rambut di antara duri pada gerigi rostrum Gerigi rostrum telah berjumlah 9 buah Rostrum telah tumbuh sempurna dengan 11 gerigi Tabel 11. Lama waktu perkembangan stadia larva udang galah setiap perlakuan Lama Waktu Perkembangan Stadia Larva (jam) Stadia Nilai Delta Nilai Delta Nilai Delta Nilai Delta 1 24 (A) - 24 (A) - 24 (A) - 24 (A) (A) (A) (A) (A) (B) (B) (A) (A) (B) (A) (B) (A) (B) (C) (B) (A) (A) (A) (B) (A) (B) (A) (B) (A) (C) (B) (D) (A) (B) (B) (B) (A) (B) (B) (B) (A) (C) (A) (B) (C) 13 Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama.

91 72 Pada akhir percobaan larva tahap awal atau masuk dalam tahap eksploratif, kondisi pencapaian stadia pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 22. Keragaman tertinggi stadia larva terdapat pada perlakuan 3; yang terdiri atas stadia 4, 5, 6, 7, dan 8. Tiga perlakuan lainnya mempunyai keragaman dengan tiga kelompok stadia. Perlakuan 2 dan 4 memiliki kelompok stadia 4, 5, dan 6; sedangkan perlakuan 1 memiliki tiga kelompok keragaman stadia, yaitu stadia 5, 6, dan 7. Pada semua perlakuan terdapat stadia 6 dengan persentase yang berbeda, yakni 20% (perlakuan 1), 10% (perlakuan 2), 25% (perlakuan 3), dan 30% (perlakuan 4). Gambar 22. Kondisi keragaman stadia larva udang galah pada tahap eksploratif Tahap eksploratif merupakan masa perkembangan larva stadia 1 menjadi stadia 6. Pada tahap ini, lama waktu perkembangan larva stadia 1 dan stadia 2 tidak berbeda nyata. Perkembangan stadia 1 untuk empat perlakuan, ternyata membutuhkan waktu yang sama, yaitu 24 jam. Lama waktu perkembangan stadia 2 untuk empat perlakuan, tidak berbeda nyata dan berkisar antara 38 sampai 50 jam; dengan perlakuan 1 memberikan respon waktu perubahan stadia tercepat, sedangkan perubahan stadia terlama terjadi pada perlakuan 4. Lama waktu

92 73 perkembangan stadia mulai terlihat berbeda pada stadia 3 sampai stadia 6. Pada tahap eskploratif ini, lama waktu perkembangan stadia belum memperlihatkan suatu pola kecenderungan (trend) dan terlihat belum cukup mantap. Hal ini tercermin dari lama waktu perkembangan stadia 4 dan stadia 6. Lama waktu perkembangan stadia 4 antara perlakuan 1 dan 3 tidak berbeda; demikian juga antara perlakuan 2 dan 4. Tetapi lama waktu perkembangan stadia 4 pada perlakuan 1 dan 3, lebih cepat daripada perlakuan 2 dan 4. Pada tampilan lama waktu perkembangan stadia 6 untuk perlakuan 1, 2 dan 4 ternyata tidak berbeda dan ternyata lebih lambat dari perlakuan 3. Pada tahap adaptasi, lama waktu perkembangan stadia terlihat mantap beraturan, kecuali pada stadia 8. Lama waktu perkembangan stadia 7, 9 dan 10 antara perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda serta lebih cepat daripada perlakuan 4. Terlihat juga kecenderungan peningkatan lama waktu perkembangan stadia 8 dengan perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa larva sedang berada pada tahapan transisi yang beradaptasi menjadi mantap. Selain itu, perlakuan yang tercepat mencapai stadia 8 adalah perlakuan 3, dengan lama waktu perkembangan stadia 270 jam. Sedangkan perlakuan yang terlama mencapai stadia 8 adalah perlakuan 4, dengan lama waktu perkembangan stadia 329 jam. Dilihat dari perbedaan waktu antar stadia, perlakuan 3 membutuhkan 16 jam waktu perkembangan dari stadia 7 ke stadia 8. Sedangkan perlakuan 4 membutuhkan 54 jam waktu perkembangan dari stadia 7 ke stadia 8 atau sekitar tiga kali lebih lama dari waktu yang dibutuhkan oleh perlakuan 3. Pada tahap adaptasi pada sistem II, lama waktu perkembangan larva mulai mantap beraturan pada stadia 9 dan 10. Lama waktu perkembangan larva stadia 8 tidak mantap, hal ini mencerminkan bahwa pada stadia-8 merupakan masa transisi selama masa adaptasi untuk menjadi mantap, terutama yang terjadi pada perlakuan 1, 2 dan 3. Pada tahap ini, lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 antara perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda serta lebih cepat daripada perlakuan 4. Perbedaan waktu antar stadia terlama terdapat pada stadia 10, masing-masing perlakuan membutuhkan lama waktu perkembangan stadia 9 ke stadia 10 berkisar antara jam. Waktu perkembangan antar stadia 9 ke stadia 10 yang terlama terdapat pada perlakuan 1, yaitu 105 jam. Sedangkan

93 74 waktu perkembangan antar stadia 9 ke stadia 10 yang tercepat terdapat pada perlakuan 4, yaitu 87 jam. Besarnya lama waktu yang dibutuhkan dari stadia 9 ke stadia 10 dibanding dari stadia 8 ke stadia 9; berhubungan dengan perubahan morfologis yang terjadi yaitu mulainya pertumbuhan rambut pada gerigi rostrum. Tercatat pada stadia 10, gerigi rostrum sudah mencapai 6-8 buah; sedangkan pada stadia 9 hanya sekitar 4 buah tanpa pertumbuhan rambut. Pada tahap perkembangan akhir lama waktu perkembangan larva stadia 11 pada perlakuan 1 dan 4 tidak berbeda, dan lebih cepat daripada lama waktu perkembangan larva stadia 11 pada perlakuan 2 dan 3. Lama waktu perkembangan larva stadia 11 antar perlakuan 4, 3 dan 2 cenderung melambat; dan yang paling lambat adalah perlakuan 2 yakni 498 jam, diikuti oleh perlakuan 3 (478 jam) dan perlakuan 4 (453 jam). Perlakuan 2 pada awalnya memperlihatkan waktu perkembangan yang cepat, tetapi kemudian memperlihatkan perkembangan waktu terlama. Perlambatan pada perlakuan 2, 3 dan 4 ini berkaitan dengan kondisi hiperosmotik yang mengakibatkan beban kerja osmotik larva menjadi negatif (Tabel 9). Secara menyeluruh dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa: 1. Lama waktu perkembangan larva stadia 1 sampai 6 pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari; mengindikasikan belum mantap. Lama waktu perkembangan larva stadia 6 pada perlakuan 1, 2 dan 4 tidak berbeda dan lebih lambat daripada perlakuan 3 2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 antar perlakuan 1, 2 dan 3 tidak berbeda dan lebih cepat daripada perlakuan Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva stadia 11 perlakuan 1 menjadi lebih cepat daripada tiga perlakuan lainnya yang dalam kondisi hiperosmotik. Lama waktu perkembangan larva stadia 11 setelah melampaui kondisi isoosmotik menjadi lebih lambat dibandingkan lama waktu perkembangan stadia pada tahap adaptasi.

94 75 Keterkaitan hubungan antara lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik antar perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata. Lama waktu perkembangan stadia antar perlakuan yang berbeda nyata, secara tidak langsung mencerminkan pengaruh dari beban kerja osmotik. Meskipun beban kerja osmotik larva berpengaruh terhadap lama waktu perkembangan stadia, namun hubungan antara lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik larva, secara menyeluruh belum dapat terpola. Pada tahap eksploratif, larva stadia 6 pada berbagai beban osmotik memperlihatkan hubungan yang linier dengan persamaan: Y stadia 6 = 70,437 X + 199,2; ( R 2 = 0,609) Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar beban osmotik, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan larva udang galah untuk berubah stadia. Dilihat dari pola yang ada tampak bahwa lama waktu perkembangan larva stadia 4 dan 8 adalah sama, walaupun data pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa antar perlakuan dan/atau beban osmotik mempunyai perberbedaan yang nyata (Gambar 23.). Urutan beban kerja osmotik larva dari terendah ke tertinggi pada tahap eksplorasi ini ialah perlakuan 3, 4, 1, dan 2 yaitu 0,24; 0,35; 0,56; dan 0,67 Keterangan: Y1 = perlakuan 1 Y2 = perlakuan 2 Y3 = perlakuan 3 Y4 = perlakuan 4 Gambar 23. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban osmotik pada tahap eksploratif Hubungan lama waktu perkembangan larva stadia 4 dan 5 dengan beban kerja osmotik larva tidak berpola; sedangkan pada stadia 6, peningkatan beban osmotik dari perlakuan 1 menjadi 2; dan perlakuan 3 menjadi 4; memperlambat

95 76 perkembangan stadia larva. Akan tetapi peningkatan beban osmotik larva dari perlakuan 2 ke 3, malah mempercepat perkembangan stadia larva. Pola yang sama diperlihatkan oleh respon larva stadia 4 terhadap peningkatan beban osmotik. Peningkatan beban kerja osmotik larva antara perlakuan 4 ke 1 dan 2 atau antara 0,35 ke 0,56 sampai ke 0,67 tidak menghasilkan lama waktu perkembangan larva stadia 6 berbeda. Beban kerja osmotik larva di atas 0,35 mengakibatkan lama waktu perkembangan larva menjadi lambat dibandingkan pada perlakuan 3 yang mempunyai beban kerja osmotik larva terendah yakni 0,24. Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa pada beban kerja osmotik larva terendah (perlakuan 3 = 0,24) lebih mempercepat lama waktu perkembangan larva daripada beban kerja osmotik larva diatas 0,35. sampai dengan 0,67. Beban kerja osmotik larva antara 0,35-0,67 ternyata tidak mengakibatkan lama waktu perkembangan larva stadia 6 berbeda. Keterangan: Y1 = perlakuan 1 Y2 = perlakuan 2 Y3 = perlakuan 3 Y4 = perlakuan 4 Gambar 24. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik pada tahap adaptasi Pada tahap adaptasi, urutan beban kerja osmotik larva dari terendah ke tertinggi ialah perlakuan 3, 2, 1, dan 4 yaitu 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 (Gambar 24). Pada tahap adaptasi, stadia 8 pada berbagai beban osmotik, menunjukkan hubungan yang kuadratik pada perkembangan stadia 8; sedangkan hubungan linier pada perkembangan stadia 9 dan 10; persamaannya adalah Y stadia 8 = -1055,9 X ,35 X + 148,96; ( R 2 = 0,6683) Y stadia 9 = 181,95 X + 277,01;( R 2 = 0,8747) Y stadia 10 = 103,76 X + 398,71;( R 2 = 0,975)

96 77 Kondisi pada tahap adaptasi ini mengindikasikan bahwa lama waktu perkembangan stadia 8 pada awalnya terpengaruh oleh besarnya beban osmotik; tetapi pada tahapan tertentu peningkatan beban osmotik malah mempercepat waktu perkembangan stadia larva udang galah. Untuk persamaan kuadratik dengan angka minus, menjelaskan bahwa larva udang galah stadia 8 sudah berada pada kondisi hiperosmotik terhadap media. Sedangkan lama waktu perkembangan stadia 9 dan 10 menjelaskan bahwa semakin besar beban osmotik, semakin lambat waktu perkembangan stadia yang terjadi. Urutan tingkat beban kerja osmotik larva terendah ke tertinggi adalah dari perlakuan 3, 2, 1 dan tertinggi perlakuan 4. Sedangkan urutan beban kerja osmotik larva yaitu 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 (stadia 8). Lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 antara perlakuan 3, 2, dan 1 tidak berbeda dan ternyata lebih cepat daripada perlakuan 4 dengan beban kerja osmotik larva 0,40. Pada tahap adaptasi, lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva antara 0,20 dan 0,28 tidak berbeda nyata. Beban kerja osmotik larva di atas 0,40 menghambat lama waktu perkembangan larva. Keterangan: Y1 Y1 = = perlakuan 11 Y2 Y2 = = perlakuan 22 Y3 Y3 = = perlakuan 33 Y4 Y4 = = perlakuan 44 Gambar 25. Hubungan lama waktu perkembangan stadia dengan beban osmotik pada tahap perkembangan akhir. Pada tahap perkembangan akhir, hubungan yang terjadi antara lama waktu perkembangan stadia dengan beban kerja osmotik larva stadia 11 memperlihatkan hubungan yang kuadratik (Gambar 25), seperti pada persamaan berikut: Y stadia 11 = -1916,8 X ,82 X + 467,87; ( R 2 = 0,6371)

97 78 Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi perkembangan larva mencapai stadia 11, maka peningkatan beban osmotik pada awal perkembangan melambat sampai dengan waktu tertentu berubah menjadi lebih cepat. Secara umum larva berada pada kondisi hiperosmotik terhadap media. Beban kerja osmotik terendah pada kondisi hipoosmotik terdapat pada perlakuan 1 yaitu 0,03. Pada kondisi lanjut perlakuan 2, 3 dan 4 bereaksi menjadi hiperosmotik, dengan beban kerja osmotik larva negatif dengan kecenderungan menurun mencapai terendah (0,30) pada perlakuan 3. Lama waktu perkembangan stadia pada perlakuan 1 dengan beban kerja 0,03; ternyata tidak berbeda nyata dengan beban kerja osmotik larva 0,28 pada perlakuan 4. Penurunan beban kerja osmotik larva antara - 0,25 ke - 0,30 berpengaruh nyata terhadap lama waktu perkembangan stadia (perlakuan 2, 3 dan 4). Pada kondisi hipoosmotik, penurunan beban kerja osmotik larva mampu mempercepat lama waktu perkembangan larva. Sebaliknya pada kondisi hiperosmotik, penurunan beban kerja osmotik larva menghambat lama waktu perkembangan larva stadia 11. Secara menyeluruh dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa: 1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari, lama waktu perkembangan larva stadia 6 dipengaruhi oleh beban kerja osmotik. Pada beban kerja osmotik larva 0,24 mempercepat lama waktu perkembangan larva. Lama waktu perkembangan larva stadia 6 pada beban kerja osmotik larva 0,35 0,67 ternyata tidak berbeda. 2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva antara 0,23 dan 0,28 tidak berbeda nyata. Lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 pada beban kerja osmotik larva 0,40 (perlakuan 4) berbeda nyata dengan tiga perlakuan lainnya dengan beban kerja osmotik larva 0,20; 0,23; dan 0,28 3. Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva stadia 11 dengan beban kerja osmotik larva 0,02 (hipoosmotik) tidak berbeda nyata dengan beban kerja osmotik larva -0,25 (hiperosmotik).

98 79 Lama Waktu Keberadaan Stadia Lama waktu keberadaan stadia adalah lamanya waktu suatu kelompok stadia (stadia ke-i) tertentu terlihat, dicatat sejak satu individu larva ke i muncul sampai individu larva ke-i terakhir berubah menjadi individu larva stadia ke-i+1. Lama keberadaan stadia pada akhir percobaan sistem I, dapat dilihat pada Tabel 12; rincian data lama keberadaan stadia dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Tabel 12. Lama waktu keberadaan stadia larva udang galah setiap perlakuan Stadia Lama Waktu Keberadaan Stadia larva (jam) (A) 24 (A) 32 (A) 24 (A) 48 (B) 40 (B) 56 (B) 88 (A) 72 (B) 72 (B) 96 (A) 96 (A) 72 (C) 96 (B) 120 (A) 96 (B) 160 (A) 88 (C) 144 (A) 120 (B) 224 (B) 208 (B) 236 (A) 192 (C) 216 (B) 192 (C) 240 (A) 192 (C) 192 (B) 120 (C) 216 (A) 192 (B) 192 (A) 80 (C) 160 (B) 168 (B) 192 (A) 120 (D) 144 (C) 168 (B) 232 (A) 144 (C) 168 (B) 208 (A) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Kondisi lama keberadaan stadia pada tahap eksploratif, seperti pada Tabel 12 memperlihatkan bahwa lama waktu keberadaan stadia larva yang tersingkat terjadi pada stadia 1 untuk empat perlakuan dengan waktu sekitar jam. Sedangkan waktu keberadaan stadia larva yang terlama terjadi pada stadia 6 untuk empat perlakuan dengan waktu sekitar jam. Hasil analisis mengemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap kondisi lama waktu keberadaan pada stadia 1. Rentang waktu keberadaan stadia 2 terlama, terdapat pada perlakuan 4. Setelah larva mencapai stadia 3 sampai dengan stadia 6, nampaknya perlakuan 3 menahan kecepatan pindah stadia. Hal ini terlihat dari hasil analisis data pada Tabel 12 yang

99 80 memperlihatkan rataan lama waktu keberadaan stadia yang dibutuhkan selalu lebih besar. Pada stadia 6, ternyata perlakuan 4 mampu mempersingkat lama waktu keberadaan stadia. Tercatat lama waktu keberadaan tersingkat pada stadia 6, terdapat pada perlakuan 4 (192 jam). Pada tahap adaptasi, secara menyeluruh lama waktu keberadaan stadia larva mulai menurun dibanding stadia sebelumnya (lihat Tabel 12). Pada tahap ini, stadia 7 dan stadia 8 untuk semua perlakuan memberikan pola lama waktu keberadaan stadia yang sama; kecuali pada stadia 8 perlakuan 4 terlihat waktu keberadaan stadia menjadi lebih lama. Pada stadia 9 dan stadia 10, terlihat bahwa perlakuan 1 memperlambat waktu keberadaan stadia, dibanding tiga perlakuan lainnya. Bahkan tercatat perlakuan 2 mendorong kecepatan waktu keberadaan stadia 9 (80 jam) untuk pindah ke stadia 10 (120 jam). Lama waktu keberadaan stadia tersingkat pada stadia 10, terdapat pada perlakuan 2. Perlakuan 3, semula menahan kecepatan pindah dari stadia 7 ke stadia 8; ternyata semakin singkat pada saat mencapai stadia 10 (144 jam) Lama waktu keberadaan larva udang galah pada tahap perkembangan akhir, memperlihatkan bahwa lama waktu keberadaan larva stadia 11 tercepat terjadi pada perlakuan 2 dan terlambat pada perlakuan 1. Data Tabel 12 menjelaskan bahwa perlakuan 4 memperlambat waktu keberadaan dari stadia 10 (168 jam) menjadi stadia 11 (208 jam). Secara menyeluruh dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa: 1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari; lama waktu keberadaan stadia dipengaruhi oleh beban kerja osmotik. Setelah larva mencapai stadia 3 sampai dengan stadia 6, terlihat bahwa perlakuan 3 menahan kecepatan pindah stadia. 2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; lama waktu keberadaan stadia 7 dan stadia 8 untuk semua perlakuan memberikan pola lama waktu keberadaan stadia yang sama; kecuali pada stadia 8 perlakuan 4. Lama waktu keberadaan stadia tersingkat pada stadia 10 dan stadia 11, terjadi pada perlakuan 2.

100 81 3. Pada tahap perkembangan akhir, lama waktu perkembangan larva pada stadia 11 ternyata menjadi lambat pada perlakuan 4. Produksi Kelimpahan Larva Sintasan dan Laju Kematian Sintasan stadia larva yang dimaksud dalam hal ini adalah presentasi individu yang hidup terhadap jumlah awal rekrut. Olahan data dimaksud dengan pendekatan Rekrutmen, lost dan sintasan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir dapat dilihat pada Tabel 13. Data selengkapnya tentang sintasan larva per stadia yang diamati hari demi hari ditunjukkan pada Lampiran 11 dan analisis keragamannya pada Lampiran 12. Nilai sintasan diperoleh dengan pendekatan rumus: S = R L R x T Dt L = Jumlah larva 100 %; R = max x N max yang mati ( lost ) Pada tahap eksploratif, sintasan larva stadia 6 memperlihatkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Selain itu, terlihat bahwa dengan naiknya salinitas perlakuan 1 ke 2 ternyata mendukung sintasan; akan tetapi kenaikan salinitas perlakuan 3 ke 4, malah menekan sintasan.. Sintasan larva stadia 6 terbesar pada perlakuan 2 yaitu 89,9%; selanjutnya menurun berturut-turut pada perlakuan 3, 4, dan 1. Pada tahap adaptasi, semua perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata. Kondisi peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke perlakuan 3 ternyata mendukung sintasan; kecuali peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4 menekan sintasan. Nilai sintasan larva stadia 8 terbesar adalah pada perlakuan 3 yaitu 89,9%; selanjutnya berturut-turut pada perlakuan 2, 4, dan 1. Perbedaan yang nyata antar perlakuan juga terlihat pada tahap perkembangan akhir. Nilai sintasan terkecil terdapat pada perlakuan 2, yaitu 89,9%. Khusus pada peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4, ternyata memberikan nilai sintasan yang sama (100%).

101 82 Tabel 13. Tampilan kondisi rekrutmen, lost dan sintasan larva udang galah pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir setiap perlakuan Stadia (Tahap) 6 (eklp) 8 (adp) R L S R L S Rekrutmen, Lost dan Sintasan (%) Larva pada Perlakuan ,7 (C) ,8 (D) ,9 (A) ,9 (B) ,9 (A) ,9 (A) ,5 (B) * ,3 (C) * Analisis Statistik 11 (perk) R L S (A) ,9 (B) (A) (A) * Keterangan: R = rekrutmen; L = lost; S = sintasan Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Produksi Kelimpahan Produksi kelimpahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah jumlah total seluruh individu hasil pemeliharaan larva sampai menjadi pascalarva atau dikenal dengan PL-1, yang terdapat di dalam satu kelompok perlakuan. Tabel 14. Produksi kelimpahan larva dan pascalarva udang galah pada akhir sistem produksi tahap potensi tumbuh PL Stadia/PL (Tahap) Produksi Kelimpahan Larva dan Pascalarva pada Perlakuan (ekor): I II III IV Analisis statistik 6 (eksp) 8 (adpt) 11 (perk) PL (D) 378 (D) 300 (D) 300 (D) 498 (C) 419 (C) 370 (C) 370 (C) 627 (B) 468 (B) 390 (B) 390 (B) 708 (A) 708 (A) 570 (A) 567 (A) * * * * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama. Produksi tertinggi PL-1 dicapai pada perlakuan 4, yaitu sebanyak 567 ekor. Selanjutnya produksi tertinggi berikutnya secara berturut-turut adalah perlakuan 3, 2, dan 1. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 dan analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 14.

102 83 Potensi Pertumbuhan Potensi Pertumbuhan Larva Potensi pertumbuhan larva, termasuk di dalamnya perkembangan stadia larva; sangat tergantung dari efisiensi penggunaan energi, yaitu ratio antara energi untuk tumbuh dan untuk metabolisme. Strategi penggunaan energi selama masa perkembangan larva, khususnya pada tahap awal perkembangan stadia; akan berakibat langsung pada kapasitas osmoregulasi larva; yang pada akhirnya berdampak pada konsumsi pakan dan efisiensinya akan memberi pengaruh yang sangat besar pada proses metabolisme pertumbuhan. Oleh karena itu, untuk memprediksi potensi pertumbuhan larva, perlu ditelusuri aliran energi pakan yang dikonsumsi dengan energi metabolisme yang terpakai. Tingkat konsumsi pakan harian Tingkat konsumsi pakan harian adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dalam hal ini pakan alami Artemia salina, dihitung dari jumlah individu yang diberikan dikurangi jumlah individu Artemia salina yang masih tersisa pada setiap pemberian pakan dan dikonversikan dalam bentuk energi. Tingkat konsumsi energi pakan harian pada stadia 6, 8, dan 11 dikemukakan pada Tabel 15, dari semua perlakuan tersebut berbeda nyata. Rincian data dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 15 dan 16. Data Tabel 15 memperlihatkan bahwa energi yang dikonsumsi larva pada tahap eksploratif (stadia 6), terkecil pada perlakuan 2 (4,53 kalori/larva per hari). Pada tahap ini, energi yang dikonsumsi larva pada perlakuan 1 dan 3 ternyata sama, yaitu 5,17 kalori/larva per hari; kemudian meningkat ke perlakuan 4 (5,82 kalori/larva per hari). Pada tahap adaptasi, kecepatan peningkatan jumlah konsumsi energi pakan harian stadia 8 perlakuan 3 lebih besar dibanding tiga perlakuan lainnya, yang cenderung menurun bertahap; dengan urutan dari yang terkecil ke besar adalah 2, 1, 4, dan 3. Pola yang sama ditemukan pula pada tahap perkembangan akhir, seperti terlihat pada kecepatan peningkatan jumlah konsumsi energi pakan harian stadia 11; dengan jumlah konsumsi energi pakan harian terbesar adalah pada

103 84 perlakuan 3 (19,36 kalori/larva per hari) dan terkecil pada perlakuan 2 (12,93 kalori/larva per hari). Tabel 15. Tingkat konsumsi energi pakan harian (Artemia salina) larva setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) Konsumsi Energi Pakan Harian pada Perlakuan: (kalori/larva per hari) Analisis Statistik 6 (ekspl) 5,17 (B) 4,53 (C) 5,17 (B) 5,82 (A) * 8 (adapt) 7,76 (C) 6,47 (D) 10,34 (A) 9,05 (B) * 11 (perkb) 15,52 (C) 12,93 (D) 19,36 (A) 18,10 (B) * Keterangan: Bobot Artemia salina = 2,42μg/indv Energi Artemia salina = 541 x 10-3 Joule/indv (Lavens et al., 2000) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama Konsumsi energi pakan harian sejak tahap eksploratif sampai ke tahap perkembangan akhir pada setiap perlakuan, makin membesar dengan berkembangnya stadia. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk metabolisme pertumbuhan cenderung bertambah dengan meningkatnya perkembangan stadia. Visualisasi kondisi tersebut di atas ditunjukkan pada Gambar 26 yang memperlihatkan pola konsumsi energi harian larva yang sama antara stadia 8 dan stadia 11 atau pada tahap adaptasi dan perkembangan akhir. Gambar 26. Pola konsumsi energi pakan harian larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Tercatat dengan peningkatan salinitas perlakuan 2 menjadi 3, konsumsi energi pakan harian meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan

104 85 salinitas pada perlakuan 3 membutuhkan energi lebih besar untuk mendukung proses metabolisme larva. Sedangkan peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 serta dari perlakuan 3 ke 4, malah menurunkan tingkat konsumsi energi pakan harian. Pola konsumsi energi pakan harian larva stadia 6 adalah mendatar, dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan salinitas pada tahap eksploratif tidak signifikan mempengaruhi jumlah pakan atau energi yang dibutuhkan Tingkat konsumsi oksigen Tingkat konsumsi oksigen adalah jumlah oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi untuk memperoleh energi. Pengukuran oksigen yang dilakukan adalah dengan sistem tertutup selama 48 jam pada beberapa stadia larva dan pascalarva yang berpengaruh nyata terhadap perubahan salinitas hasil dari penelitian pendahuluan. Hasil pengukuran oksigen larva ini yang dikonversi dalam bentuk energi/bobot per satuan waktu, dan disebut sebagai energi basal dapat dilihat pada Tabel 16 dan rinciannya serta hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 18. Tabel 16. Energi basal per bobot larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) Energi basal pada Perlakuan: (kalori /mg bobot basah larva per jam) Analisis Statistik 6 (ekspl) 0,62 (B) 0,62 (A) 0,59 (D) 0,59 (C) * 8 (adpts) 0,48 (B) 0,47 (C) 0,46 (C) 0,54 (A) * 11 (perkb) 0,23 (D) 0,25 (C) 0,37 (A) 0,28 (B) * Keterangan: Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu enunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama m Konversi O2 terhadap energi pada metabolisme, 1 ml O 2 = 20,04 Joule (Somanatth et al, 2000).1 kalori = 4,184 Joule Pada tahap eksploratif, larva udang galah stadia 6 memperlihatkan bahwa tingkat energi basal larva udang galah antar perlakuan berbeda nyata. Pola energi basal larva stadia 6, yaitu pada tahap eksploratif, terlihat berada dalam dua kelompok. Energi basal larva udang galah pada kelompok perlakuan 1 dan 2

105 86 lebih besar dibanding perlakuan 3 dan 4; serta terlihat energi terendah pada perlakuan 3 (Gambar 27). Pada tahap adaptasi, peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 dan ke 3, memperlihatkan bahwa energi basal menurun; kecuali pada perlakuan 4 peningkatan salinitas menyebabkan energi basal meningkat. Pada tahap adaptasi, energi basal terendah terjadi pada perlakuan 3 (0,46 kalori/mg bobot basah larva per jam). Hal ini, dapat dimengerti, karena pada tahap adaptasi larva sudah memiliki kelengkapan sistem pengaturan regulasi osmotik yang sudah makin sempurna dibanding tahap sebelumnya. ah Kalori / mg bobot bas larva perhari Perlakuan Stadia 6 Kalori / mg bobot basah larva per hari Stadia 8 Gambar 27. Pola energi basal udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif dan tahap adaptasi Perlakuan Pada tahap perkembangan akhir, terlihat bahwa peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 dan seterusnya ke perlakuan 3, meningkatkan energi basal per satuan waktu. Tetapi peningkatan salinitas dari perlakuan 3 ke 4, ternyata malah menurunkan energi basal per satuan waktu. Gambar 27, memperlihatkan bahwa energi basal terendah pada pemeliharaan larva terlihat pada perlakuan 3, kecuali pada tahap perkembangan akhir yang terjadi pada perlakuan 4. Energi basal tertinggi larva stadia 6 terjadi pada perlakuan 2; sedangkan pada stadia 8 terjadi pada perlakuan 4; dan pada stadia 11 terjadi pada perlakuan 3. Gambar 27 juga mengindikasikan bahwa terdapat batas respon adaptasi penggunaan energi pada perlakuan 2 dan 4. Tahap Eksploratif Tahap Adaptasi

106 87 Potensi tumbuh larva Potensi tumbuh larva dalam hal ini menggunakan pendekatan dw/dt = (PR) (T) (E), (dw=bobot atau energi; PR=pakan; T=respirasi; E = Osmotik). Untuk memudahkan perhitungan potensi tumbuh larva, maka data Tabel 16 ditampilkan dalam satuan larva per hari seperti pada Tabel 17. Secara menyeluruh tampilan potensi tumbuh larva tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir terlihat pada Tabel 18. Rincian data dan analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 19 dan 20. Sebagai pembanding, kondisi pertambahan bobot aktual disajikan pada Tabel 18; sedangkan data pertambahan bobot selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 21 dan analisis keragamanya pada Lampiran 22. Tabel 17. Energi basal larva udang galah (kalori /larva per hari) setiap perlakuan Stadia (Tahap) Energi basal pada Perlakuan: (kalori / larva per hari) Analisis Statistik 6 (ekspl) 0,063 (C) 0,056 (D) 0,082 (A) 0,072 (B) * 8 (adpts) 0,125 (B) 0,145 (A) 0,146 (A) 0,124 (B) * 11 (perkb) 0,187 (C) 0,192 (B) 0,181 (D) 0,201 (A) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama Tabel 18. Potensi tumbuh larva udang galah (kalori /larva per hari) setiap perlakuan Stadia (Tahap) Potensi Tumbuh pada Perlakuan: (kalori /larva per hari) Analisis Statistik 6 (ekspl) 5,11 (B) 4,47 (C) 5,09 (B) 5,75 (A) * 8 (adpt) 7,63 (C) 6,32 (D) 10,19 (A) 8,93 (B) * 11 (perkb) 15,33 (C) 12,74 (D) 19,18 (A) 17,90 (B) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama Pada tahap eksploratif, peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2 pada stadia 6, ternyata menekan potensi tumbuh larva; serta menekan tampilan aktual pertambahan bobot larva. Tetapi peningkatan salinitas perlakuan 2 ke 3 dan ke 4,

107 88 malah mendorong kenaikan potensi tumbuh larva. Hal ini berbeda dengan tampilan aktual pertambahan bobot larva, yang terlihat menurun pada peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4. Hasil yang diperoleh ternyata memperlihatkan bahwa peningkatan potensi tumbuh tertinggi terdapat pada perlakuan 4 (5,75 kalori /mg bobot larva per hari); akan tetapi tampilan aktual pertambahan bobot larva tertinggi terdapat pada perlakuan 3 (5,76 mg/larva). Untuk peningkatan potensi tumbuh dan tampilan aktual bobot larva terkecil, keduanya terdapat pada perlakuan 2 (4,47 kalori /mg bobot larva; dan 3,75 mg/larva). Tabel 19. Tampilan aktual bobot larva udang galah setiap perlakuan pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir Stadia (Tahap) Bobot Larva rata-rata/ekor pada Perlakuan (mg) Analisis Statistik 6 (eklp) 4,24 (C) 3,75 (D) 5,76 (A) 5,02 (B) * 8 (adp) 10,8 (C) 12,95 (B) 13,22 (A) 9,57 (D) * 11 (perk) 34,36 (A) 32,07 (B) 20,27 (D) 30,27 (C) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama Pada tahap adaptasi, potensi tumbuh larva stadia 8 antar perlakuan berbeda nyata. Peningkatan salinitas dari perlakuan 2 ke 3 ternyata mendorong potensi tumbuh dari 6,32 menjadi 10,19 kalori/mg bobot larva per hari. Tetapi peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2, serta dari perlakuan 3 ke 4, malah menurunkan potensi tumbuh. Untuk tampilan aktual pertambahan bobot larva, memperlihatkan bahwa peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke 3 mampu mendorong pertambahan bobot larva. Hanya pada peningkatan salinitas dari perlakuan 3 ke 4 yang menekan pertambahan bobot aktual larva. Potensi tumbuh tertinggi, serta tampilan aktual pertambahan bobot tertinggi pada tahap adaptasi; keduanya terdapat pada perlakuan 3, sebesar 10,19 kalori/mg bobot larva per hari dan sebesar 13,22 mg/larva. Peningkatan potensi tumbuh dan tampilan aktual pertambahan bobot terlihat naik bertahap dari tahap eksploratif ke tahap adaptasi dan tertinggi pada

108 89 tahap perkembangan akhir. Pada tahap perkembangan akhir, potensi tumbuh dan tampilan aktual pertambahan bobot larva stadia 11 antar perlakuan berbeda nyata. Peningkatan salinitas dari perlakuan 1 ke 2, serta peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4 ternyata menekan potensi tumbuh; tetapi peningkatan salinitas perlakuan 2 ke 3 ternyata mampu mendorong potensi tumbuh dari 12,74 kalori/mg bobot larva per hari menjadi 19,18 kalori/mg bobot larva per hari. Kondisi ini berbeda pada tampilan aktual pertambahan bobot larva; tekanan pertambahan bobot larva terjadi pada peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke 3. Peningkatan pertambahan bobot larva hanya terjadi pada peningkatan salinitas perlakuan 3 ke 4; yaitu dari 20,27 mg/larva menjadi 30,27 mg/larva. Secara menyeluruh, dari uraian pertumbuhan larva di atas dapat dinyatakan bahwa: 1. Pada tahap eksploratif atau pada kondisi salinitas media yang dinaikkan dari 6 ppt menjadi 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt dengan delta 0,6 ppt; 0,8 ppt; 1,0 ppt; dan 1,2 ppt selama 7 hari; tingkat konsumsi pakan harian dan metabolisme pertumbuhan dipengaruhi oleh peningkatan salinitas perlakuan. Hal ini berdampak lanjut pada energi yang tersisa sebagai potensi tumbuh, yang memperlihatkan adanya batas respon pada peningkatan salinitas perlakuan 1 dan 3. Tercatat potensi tumbuh terkecil stadia 6 terdapat pada perlakuan 2 adalah 4,47 kalori/mg bobot larva per hari 2. Pada tahap adaptasi atau pada salinitas statis 10,2 ppt; 11,6 ppt; 13,0 ppt; dan 14,4 ppt; tingkat konsumsi pakan harian dan metabolisme pertumbuhan dipengaruhi oleh peningkatan salinitas perlakuan. Energi yang tersisa sebagai potensi tumbuh pada stadia 8 terlihat meningkat dari perlakuan 2 ke 3; tetapi peningkatan salinitas menekan potensi tumbuh dari perlakuan 1 ke 2; dan dari perlakuan 3 ke 4. Tercatat potensi tumbuh terkecil stadia 8 terdapat pada perlakuan 2 yakni 6,32 kalori/mg bobot larva per hari 3. Pada tahap perkembangan akhir, pola tingkat konsumsi pakan harian dan metabolisme pertumbuhan dan potensi tumbuh, berada pada pola yang sama dengan tahap adaptasi.

109 90 Potensi Pertumbuhan Pascalarva Potensi pertumbuhan pascalarva, sangat dipengaruhi oleh kualitas PL-1 yang tersedia. Secara umum, terdapat korelasi positif antara tingkat sintasan larva pada masa perkembangan larva dengan kualitas pertumbuhan pascalarva berikutnya. Dalam dua minggu pertama dari tahap kehidupannya, pascalarva mulai mengadopsi kebiasaan makan sebagai organisme pemakan dasar. Masamasa ini merupakan periode kritis, sehingga mortalitas sering tinggi. Selain itu, keberhasilan pertumbuhan pada periode ini sangat bergantung kepada tingkat efisiensi penggunaan materi baik yang endogenous maupun materi exogenous. Umumnya pada kelas krustase, penyerapan makanan lebih diutamakan bagi peruntukkan pertumbuhan. Tingkat konsumsi pakan harian Tingkat konsumsi pakan harian adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dalam hal ini pakan alami Daphnia sp., dihitung dari jumlah individu yang diberikan dikurangi jumlah individu Daphnia sp. yang masih tersisa pada setiap pemberian pakan dan diakumulasikan dalam waktu 1 hari. Jumlah sisa individu Daphnia sp per hari, dikonversikan dalam bentuk bobot melalui pengolahan dengan pendekatan rumus hubungan panjang-bobot Daphnia sp. hasil kajian Shell (1998), sebagai berikut: Bobot kering (μg) = [2,081x10-6 ] x panjang (μm) 2,3037 Berdasarkan konversi bobot di atas, diperoleh tingkat konsumsi pakan harian pada pascalarva. Selanjutnya perolehan nilai energi Daphnia sp. dilakukan dengan mengkonversi bobot dan mengacu kepada anjuran Hirsch dan Negus (2000), yaitu joule/g basah atau sekitar 576,72 kalori/g basah. Dengan demikian tingkat konsumsi energi pakan harian pascalarva dalam bentuk Daphnia sp. dapat dilihat pada Tabel 19 dan rincian data serta hasil analisis keragamannya pada Lampiran 23 dan 24. Pakan harian dalam bentuk Daphnia sp. diberikan saat pascalarva memasuki media pemeliharaan air tawar. Pada media air tawar ini, konsumsi

110 91 energi pakan harian pascalarva hari ke-1 atau PL-1 sampai dengan PL-14 terlihat berbeda antara perlakuan 1 dengan tiga perlakuan lainnya. Hal ini terjadi karena adanya respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva. Secara menyeluruh konsumsi energi pakan harian PL-1, PL-7 dan PL-14 untuk empat perlakuan yang merupakan respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva; ternyata berbeda. Peningkatan konsumsi energi PL-1 ke PL- 7, hampir dua kali lebih besar; sedangkan pada peningkatan konsumsi energi PL-7 ke PL-14; hanya perlakuan 1 yang meningkat 100% lebih besar dibanding tiga perlakuan lainnya. Sedangkan konsumsi energi pakan pasca larva terendah, terdapat pada perlakuan 1. Tabel 20. Tingkat konsumsi energi pakan harian (Daphnia sp.) pascalarva sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva Hari ke Konsumsi Energi Pakan Pascalarva pada Perlakuan: (kalori/pascalarva per hari) Analisis Statistik 1 8,37 (B) 20,22 (A) 20,42 (A) 20,82 (A) * 7 19,41 (B) 40,41 (A) 41,54 (A) 41,29 (A) * 14 38,96 (B) 40,51 (A) 40,90 (A) 41,32 (A) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama Tingkat konsumsi oksigen Tingkat konsumsi oksigen adalah jumlah oksigen dalam proses oksidasi untuk memperoleh energi. Hasil pengukuran oksigen basal untuk mendukung pertumbuhan pascalarva udang galah yang dikonversi dalam bentuk energi per satuan waktu yang disebut energi basal dapat dilihat pada Tabel 20 dan rincian data serta analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 25c dan 26. Pascalarva udang galah hari pertama (PL-1) memperlihatkan bahwa tingkat energi basal pascalarva sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva, pada perlakuan 1 dan 2 ternyata tidak berbeda. Energi basal PL-1 pada perlakuan 3 berbeda dengan tiga perlakuan lainnya; demikian juga perlakuan 4 berbeda dengan tiga perlakuan lainnya. Pascalarva udang galah hari ketujuh (PL-7) memperlihatkan tingkat energi basal pascalarva sebagai

111 92 respon dari perlakuan tekanan osmotik, berbeda antar perlakuan. Energi lebih banyak terpakai pada perlakuan 4 (0,039 kalori /mg bobot basah PL per jam), disusul perlakuan 2, 3 dan 4. Tabel 21. Energi basal pascalarva udang galah sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan pascalarva Pasca larva Energi basal pada Perlakuan: (kalori /mg bobot basah PL per jam) Analisis Statistik PL-1 0,199 (A) 0,200 (A) 0,164 (C) 0,181 (B) * PL-7 0,014 (D) 0,038 (B) 0,015 (C) 0,039 (A) * PL-14 0,007 (C) 0,001 (D) 0,007 (B) 0,058 (A) * Keterangan: Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama Konversi O 2 terhadap energi pada metabolisme, 1 ml O 2 = 20,04 Joule (Somanatth et al, 2000). 1 calori = 4,184 Joule Potensi tumbuh pascalarva Potensi tumbuh pascalarva adalah gambaran proses katabolik dan anabolik yang terus berlangsung dan saling mempengaruhi. Hal ini juga berarti, potensi tumbuh merupakan ekspresi sesaat dari akumulasi respon akibat proses yang terjadi sebelumnya. Untuk memudahkan perhitungan potensi tumbuh pascalarva, maka data Tabel 21 ditampilkan dalam satuan pascalarva per hari seperti pada Tabel 22. Potensi tumbuh didekati dengan menggunakan pendekatan dw/dt = αk- R; yang dinyatakan dalam satuan kalori/ PL per hari dan dikemukakan pada Tabel 23. Tabel 22. Energi basal pascalarva udang galah (kalori /PL per hari) sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik Pasca larva Energi basal pada Perlakuan: (kalori /PL per hari) Analisis Statistik PL-1 0,215 (A) 0,208 (A) 0,151 (C) 0,172 (B) * PL-7 0,040 (D) 0,082 (B) 0,044 (C) 0,086 (A) * PL-14 0,034 (C) 0,008 (D) 0,036 (B) 0,208 (A) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama

112 93 Untuk respon tumbuh yang diekspresikan sebagai bobot aktual pascalarva dapat disimak pada Tabel 24. Pertumbuhan pascalarva dinyatakan dalam bobot individu pascalarva dalam satuan berat (mg). Data selengkapnya tentang potensi tumbuh dapat dilihat pada Lampiran 27 dan analisis keragaman pada Lampiran 28; sedangkan rincian data pertambahan bobot aktual dan analisis keragaman, dapat dilihat pada Lampiran 29 dan 30 Tabel 23. Potensi tumbuh pascalarva udang galah (kalori /PL per hari) sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik Pasca larva PL-1 PL-7 PL-14 Potensi Tumbuh Pascalarva pada Perlakuan: (kalori / PL per hari) ,15 (B) 19,37 (B) 38,92 (B) 20,02 (A) 40,32 (A) 40,50 (A) 20,27 (A) 41,49 (A) 40,86 (A) 20,65 (A) 41,21 (A) 41,11 (A) Analisis Statistik * * * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama Tabel 24. Tampilan aktual pertambahan bobot pascalarva udang galah setiap perlakuan Pasca larva Bobot Pascalarva rata-rata/ekor pada Perlakuan (mg): Analisis Statistik PL-1 45,00 (A) 43,35 (B) 39,29 (D) 39,51 (C) * PL-7 121,60 (A) 90,77 (C) 119,07 (B) 90,40 (D) * PL ,44 (B) 268,75 (A) 214,88 (C) 150,32 (D) * Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama Peningkatan salinitas sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva dari perlakuan 1 ke perlakuan 2, 3 dan 4 mendorong potensi tumbuh dan tampilan aktual pertambahan bobot pascalarva pada PL-1 sampai dengan PL-14. Secara umum potensi tumbuh dan tampilan aktual pertambahan bobot antar perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata. Kondisi potensi tumbuh pascalarva PL-1, PL-7 dan PL-14, memperlihatkan pola pengelompokkan yang berbeda antara perlakuan 1 terhadap tiga perlakuan lainnya yang berada dalam satu kelompok (perlakuan 2, 3, dan 4). Data yang ada memperlihatkan

113 94 bahwa potensi tumbuh PL-1, PL-7 dan PL-14 perlakuan 1 lebih kecil dari potensi tumbuh pada kelompok perlakuan 2, 3 dan 4. Tercatat potensi tumbuh terendah dari PL-1 adalah 8,15 kalori/mg bobot PL per hari; sedangkan yang terendah pada PL-7 adalah 19,37 kalori/mg bobot PL per hari, dan terendah pada PL-14 adalah 38,92 kalori/mg bobot PL per hari. bobot (ug) Pertumbuhan PL Perlakuan 1 y = x R 2 = bobot (ug) Pertumbuhan PL Perlakuan 2 y = x R 2 = hari hari bobot (ug) Pertumbuhan PL Perlakuan 3 y = x R 2 = bobot (ug) Pertumbuhan PL Perlakuan 4 y = x R 2 = hari hari Persamaan pertumbuhan pascalarva diatas adalah: Perlakuan 1 : Y = 112,79 X ,83 ( r = 0,9464 ) Perlakuan 2 : Y = 130,48 X + 86,111 ( r 2 = 0,9925 ) Perlakuan 3 : Y = 77,857 X + 271,33 ( r 2 = 0,7959 ) Perlakuan 4 : Y = 49,762 X + 86,333 ( r 2 = 0,9661 ) Gambar 28. Kurva pertumbuhan pascalarva sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva Hubungan antara perkembangan ukuran tubuh pascalarva yang dinamik dengan waktu; pada umumnya digambarkan dalam suatu persamaan pertumbuhan sebagai berikut: Y = ax + b; dengan Y bobot pascalarva, X lama waktu pemeliharaan; serta a adalah sudut arah, dan b intercept. Pada Gambar 28 diperlihatkan kurva pertumbuhan pascalarva udang galah selama 14 hari pemeliharaan sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva.

114 95 Persamaan pertumbuhan pascalarva yang diperoleh, memberi gambaran bahwa hubungan antara pertambahan bobot pascalarva sangat dinamik dengan waktu. Perlakuan 2 memperlihatkan keeratan hubungan yang terkuat (99,25%) dibanding tiga perlakuan lainnya; dengan nilai sudut arah terbesar (a = 130,48) dapat diduga kecepatan tumbuh pascalarva perlakuan 2 sebagai respon dari perlakuan tekanan osmotik pada saat pemeliharaan larva; akan lebih cepat dibanding tiga perlakuan lainnya. Hal ini didukung dengan analisis kovarian yang menyatakan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan; dengan urutan kecepatan tumbuh tercepat adalah pada perlakuan 2, 1, 3 dan 4. Tabel 25. Sintasan pascalarva udang galah pada akhir percobaan setiap perlakuan Pasca larva Sintasan Pascalarva pada Perlakuan: (ekor, %) PL-1 (tebar) PL (60%) 30 (75%) 40 (100%) 35 (87,5%) Pada tampilan aktual bobot PL, setiap perlakuan memperlihatkan pola urutan yang berbeda. Peningkatan salinitas perlakuan 1 ke 2 dan selanjutnya ke 3 sebagai respon dari regulasi osmotik saat pemeliharaan larva, ternyata menekan tampilan aktual pertambahan bobot PL-1; kecuali dampak respon regulasi osmotik saat pemeliharaan larva dari perlakuan 3 ke 4, ternyata mampu mendorong tampilan aktual pertambahan bobot PL-1. Tampilan aktual pertambahan bobot PL-7 terlihat meningkat sejalan dengan perubahan dampak respon regulasi osmotik saat pemeliharaan larva dari perlakuan 2 ke 3; sedangkan dari perlakuan 1 ke 2, serta perlakuan 3 ke 4, ternyata menekan tampilan aktual pertambahan bobot PL-7. Pada tampilan aktual pertambahan bobot PL-14, perubahan dampak respon regulasi osmotik saat pemeliharaan larva dari perlakuan 2 ke 3 dan selanjutnya ke 4, ternyata menekan tampilan aktual pertambahan bobot PL-14. Peningkatan aktual pertambahan bobot PL-14 hanya terjadi pada perlakuan 1 ke 2. Tercatat aktual pertambahan bobot yang terkecil dari PL-1 adalah pada perlakuan 3, yaitu 29,29 mg; PL-7 yang terkecil pada perlakuan 4, yaitu 90,40 mg; dan PL- 14 terkecil pada perlakuan 4 yaitu 150,32 mg.

115 96 Sintasan pada pada akhir sistem III, yaitu pada PL-14 merupakan hasil akumulasi respon akibat proses yang terjadi pada sistem I dan II. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 25. Persentase sintasan terbesar terdapat pada perlakuan 3 sebesar 40 ekor (100%), dengan urutan terbesar berikutnya adalah perlakuan 4, 2 dan 1. Secara menyeluruh, dari uraian pertumbuhan dan sintasan pascalarva diatas dapat dinyatakan bahwa: 1. Perilaku berbagai respon hasil perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva yang potensial berperan bagi keberhasilan potensi pertumbuhan pascalarva udang galah yang dikaitkan dengan pertambahan bobot aktual serta gambaran hubungan perkembangan bobot dan waktu adalah pada perlakuan 2, yaitu sebesar 40,50 kalori/mg bobot PL per hari; atau bobot aktual sebesar 268,75 mg. 2. Perilaku berbagai respon hasil perlakuan tekanan osmotik saat pemeliharaan larva yang potensial berperan bagi keberhasilan kelangsungan hidup pascalarva, terjadi pada perlakuan 3, yaitu sebesar 100%

116 PEMBAHASAN Hubungan antara Lama Waktu Perkembangan Larva, Sintasan dengan Beban Kerja Osmotik Beban kerja osmotik pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir ternyata tidak linier dengan tingkat penambahan salinitas perhari selama 7 hari dan atau tingkat salinitas yang dipertahankan mantap sampai akhir percobaan. Beban kerja osmotik larva mengalami perubahan secara dinamik sejalan dengan perkembangan stadia larva udang galah. Pada tahap eksploratif, beban kerja osmotik terendah terjadi pada perlakuan 3 (T3) dan tertinggi pada perlakuan 2 (T2), sedangkan beban kerja osmotik dari perlakuan 1 (T1) dan perlakuan 4 (T4) berada diantaranya; sehingga urutan beban kerja osmotik larva adalah 0,24; 0,35; 0,56; dan 0,67 dari T3, T4, T1 dan T2. Pada tahap adaptasi, beban kerja osmotik menurun dari T1 ke T3 dan terendah pada T3. Beban kerja osmotik larva selanjutnya meningkat pada T4. Adapun urutan beban kerja osmotik larva adalah menjadi 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 dari T3, T2, T1 dan T4. Pada tahap perkembangan akhir, beban kerja osmotik larva T1 dalam keadaan hipoosmotik. Sedangkan beban kerja osmotik larva T2, T3 dan T4 berada dalam keadaan hiperosmotik dengan urutan 0,03; -0,25; -0,28; dan -0,30. Kemampuan kerja osmotik larva menentukan besaran beban kerja osmotik dari stadia larva yang terus berkembang dan dari osmotik media yang secara gradual meningkat. Pada tahap eksploratif, T3 mendorong pencapaian stadia larva sampai stadia 6 ke atas yang memiliki kemampuan kerja osmotik lebih tinggi daripada stadia 3, 4 dan 5, sehingga beban kerja osmotik larva T3 diperoleh nilai terendah. Sementara itu, T1, T2 dan T3 masih pada stadia 3, 4, dan 5. Pada T4, larva lebih cepat mencapai batas toleransi kemampuan kerja osmotik stadia 6, sehingga perkembangan stadia terhambat pada larva stadia 4, 5, dan 6 serta tidak mencapai stadia 7 dan 8. Dari perbedaan kemampuan kerja osmotik stadia 6 ke atas dan stadia 3 dan 4 tersebut, maka urutan beban kerja osmotik larva menjadi T3, T4, T1 dan T2. Pada tahap adaptasi, kemampuan kerja osmotik larva pada T2 dan T1 meningkat. Beban kerja osmotik larva menurun dari T1 ke T2 dan terendah pada T3, selanjutnya meningkat pada T4, sementara

117 98 kemampuan kerja osmotik larva T3 dan T4 relatif tetap. Adapun urutan beban kerja osmotik menjadi 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 pada T3, T2, T1 dan T4. Pada tahap perkembangan akhir, kemampuan kerja osmotik larva dari stadia akhir yang berkembang pada T2, T3 dan T4 meningkat pesat menjadi hiperosmotik. Sementara pada T1 meskipun meningkat, namun masih berada di bawah isoosmotik. Dari uraian tersebut, kemampuan kerja osmotik larva pada T3 sejak tahap eksploratif meningkat berlanjut pada tahap adaptasi sampai tahap perkembangan akhir menjadi kelompok hiperosmotik. Pada T1 dan T2, kemampuan kerja osmotik larva pada tahap eksploratif tertekan, baru mulai meningkat pada tahap adaptasi dan selanjutnya terus meningkat sampai pada tahap perkembangan akhir. Pada tahap ini, kemampuan kerja osmotik larva T2 menjadi hiperosmotik, sedangkan T1 tetap pada hipoosmotik. Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa peningkatan salinitas perlakuan lebih kecil dari perlakuan 3 dan atau lebih besar dari perlakuan 3, ternyata menghambat perkembangan stadia 3, 4, dan 5; dengan demikian beban kerja osmotik larva tetap tinggi. Tingginya aktivitas pompa natrium sebagai cerminan kerja osmotik larva udang galah stadia awal yang cukup intens ini, menurut Huong et al. (2004) merupakan akibat belum sempurnanya pembentukan insang larva. Kajian Felder et al. (1986) dalam Huong et al, (2004) menyatakan bahwa hasil studi morfologi larva dengan mikroskop elektron, ditemukan adanya lapisan tissue yang berfungsi sebagai mediasi kegiatan transport ion yang serupa antara larva Callianassa jamaicense dan larva M. rosenbergii untuk menunjang kegiatan osmoregulasi. Kondisi perlakuan 3; tercatat memiliki beban kerja osmotik cenderung meningkat. Kondisi optimal pada salinitas 13 ppt yang diperoleh, juga didukung oleh kajian Cavalli et al. (2000) juga memberikan pernyataan bahwa larva udang galah dari stadia 1 sampai dengan stadia 11, mampu hidup dan berkembang pada salinitas ppt Pada Tahap Eksploratif, urutan beban kerja osmotik larva yaitu 0,24; 0,35; 0,56; dan 0,67 dari T3, T4, T1 dan T2 (Tabel 26). Peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,24 menjadi 0,35 ternyata menghambat lama waktu perkembangan stadia larva. Sementara larva dengan beban kerja osmotik 0,35 hingga 0,67 tidak berbeda nyata. Tercatat lama waktu perkembangan stadia larva

118 99 T3 lebih cepat dari T4, T1 dan T2, yaitu 205 jam daripada T4 dan T2 yaitu 239 jam menjadi 243 jam. Pada tahap eksploratif ini, peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,24 sampai 0,56 ternyata menekan persentase sintasan. Selanjutnya pada peningkatan beban kerja osmotik larva yang lebih besar, yaitu 0,67 pada T2 ternyata mendorong kembali peningkatan persentase sintasan. Hasil kelimpahan larva pada tahap eksploratif ini antara beban kerja osmotik 0,24 pada T3 dan 0,25 pada T4 meningkat dari 627 ekor larva menjadi 708 ekor larva stadia 6. Selanjutnya peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,35 menjadi 0,67 menurunkan hasil kelimpahan menjadi 498 ekor larva stadia 6. Peningkatan beban kerja osmotik larva ternyata menekan pertumbuhan larva dari yang terbesar pada T3, yaitu 5,76 mg menurun menjadi 3,75 mg pada T2. Kondisi di atas juga merujuk pada hasil kajian Imsland et al. (2003) yang mengatakan bahwa upaya meminimalkan aktivitas enzim Na + /K + -ATPase akan menekan kebutuhan energi, sehingga akan tersisa energi yang lebih besar bagi organisme air yang melakukan regulasi kerja osmotik internal terhadap kebutuhan perkembangan dan proses metabolisme lainnya. Dari sisi yang lain, kecepatan perkembangan stadia ini, perlu didukung dengan adanya ketersediaan energi yang memadai. Bila materi yang diperlukan tidak mencukupi untuk mendukung kecepatan perkembangan srtuktur larva, maka larva akan mati. Fenomena ini terlihat dari sintasan larva stadia 6 perlakuan 1 (10,2 ppt) dengan beban osmotik pada urutan kedua tertinggi serta kecepatan lama perkembangan stadia pada urutan kedua tercepat dibanding tiga perlakuan lainnya, tercatat memiliki sintasan terendah dengan nilai sebesar 85,7%. Menurut kajian Wilder et al. (1998), kemampuan larva M. rosenbergii mempertahankan tekanan osmotik tubuh pada larva tahap awal, belum berkembang sempurna. Lebih lanjut disebutkan bahwa kelompok Macrobrachium sp. mengembangkan kemampuan regulasi osmotik dalam pendekatan hiperosmoregulasi pada media dengan beban osmotik setara 0,6 (1-OH/OM). Disamping itu dijelaskan bahwa perubahan regulasi osmotik M. rosenbergii, paralel dengan fluktuasi konsentrasi ion natrium haemolymph. Regulasi ion Natrium, Khlorida dan Magnesium pada haemolymph M. rosenbergii, menurut Freire et al. (2003) dilakukan pada organ effector, seperti antena-gland, insang pada bagian phyllobranchiate (McNamara dan Lima, 1997)

119 100 dan integumen. Itulah sebabnya, individu larva udang galah cenderung memberikan respon berbeda, walaupun pada kondisi osmotik media dengan peningkatan salinitas perlakuan yang naik gradual, seiring dengan perkembangan struktur di setiap tahapan stadia larva. Uraian pada tahap eksploratif menyatakan bahwa pada beban kerja osmotik terendah, maka lama waktu perkembangan stadia larva dipercepat T3, sehingga sintasan meningkat, sedangkan kelimpahan tertinggi diperoleh pada T4. Pada tahap eksplorasi hubungan antara lama waktu perkembangan larva stadia 6 dengan beban kerja osmotik larva berpola linier. Peningkatan beban kerja osmotik larva, menghambat lama waktu perkembangan larva stadia 6. Tabel 26. Kompilasi nilai rataan variabel kerja pada tahap eksploratif No Parameter 3 (0,24) Beban Osmotik [1-(OH/OM)] Lama Waktu Perkembangan (jam) Lama Keberadaan (jam) Sintasan Stadia Larva (%) Kelimpahan (ekor larva) Bobot (mg) 0,24 (D) 205 (B) 236 (A) 89 (A) 627 (B) 5,76 (A) Perlakuan (beban osmotik) 4 (0,35) 0,35 (C) 239 (A) 192 (C) 88 (B) 708 (A) 5,02 (B) 1 (0,56) 0,56 (B) 238 (A) 224 (B) 86 (C) 378 (D) 4,24 (C) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama 2 (0,67) 0,67 (A) 243 (A) 208 (B) 90 (A) 498 (C) 3,75 (D) Pada Tahap Adaptasi, urutan beban kerja osmotik larva adalah 0,20; 0,23; 0,28; dan 0,40 pada T3, T2, T1, dan T4 (Tabel 27). Peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,20 menjadi 0,28 ternyata menghambat lama waktu perkembangan stadia larva T3 dan T1, yaitu 270 jam menjadi 299 jam. Kecuali lama waktu perkembangan stadia larva T2, yaitu 313 jam. Pada tahap adaptasi ini, peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,20 sampai 0,40 ternyata menekan persentase sintasan dari 90% (T3) menurun terus sampai menjadi 83% (T4). Hasil kelimpahan larva pada tahap adaptasi ini pada peningkatan beban kerja osmotik dari 0,20 menjadi 0,28, menurunkan kelimpahan dari 468 ekor larva stadia 8 menurun menjadi 378 ekor larva stadia 8. Selanjutnya pada peningkatan beban kerja osmotik 0,40 (T4), hasil kelimpahan meningkat menjadi 708 ekor larva stadia 8. Peningkatan beban kerja osmotik larva ternyata menekan pertumbuhan larva dari yang terbesar T3, yaitu 13,22 mg terus menurun menjadi

120 101 9,57 mg pada T4. Hal ini sejalan dengan pernyataan Freire et al. (2003), bahwa larva M. rosenbergii akan melakukan kerja regulasi hiperosmotik untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya pada batas toleransi salinitas media tertentu; oleh karena itu larva udang galah memperlihatkan toleransi tinggi pada salinitas perlakuan 2 (10,6 ppt) yang relatif lebih tawar dibanding berada pada salinitas perlakuan 4 (14,4 ppt). Uraian pada tahap adaptasi menyatakan bahwa beban kerja osmotik terendah yang terdapat pada T3 sebesar 0,20 ternyata mampu memperpercepat lama waktu perkembangan stadia larva 270 jam, sehingga kelimpahannya meningkat meskipun sama dengan tahap eksplorasi. Kelimpahan tertinggi terjadi pada T4. Pada tahap adaptasi hubungan antara lama waktu perkembangan larva stadia 8 dengan beban kerja osmotik larva berpola kuadratik negatif, sedangkan lama waktu perkembangan larva stadia 9 dan 10 dengan beban kerja osmotik larva berpola linier. Tabel 27. Kompilasi nilai rataan variabel kerja pada tahap adaptasi No Parameter 3 (0,20) Beban Osmotik [1-(OH/OM)] Lama Waktu Perkembangan (jam) Lama Keberadaan (jam) Sintasan Stadia Larva (%) Kelimpahan (ekor larva) Bobot (mg) 0,20 (C) 270 (D) 216 (A) 90 (A) 468 (B) 13,22 (A) Perlakuan 2 (0,23) 0,23 (C) 313 (B) 120 (C) 86 (B) 419 (C) 12,95 (B) 1 (0,28) 0,28 (B) 299 (C) 192 (B) 75 (B) 378 (D) 10,8 (C) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon larva terhadap perlakuan adalah sama 4 (0,40) 0,40 (A) 329 (A) 192 (B) 83 (C) 708 (A) 9,57 (D) Pada Tahap Perkembangan Akhir, terdapat dua kondisi beban kerja osmotik larva, yaitu hipoosmotik larva pada T1 dan beban kerja osmotik larva, yaitu hiperosmotik larva pada T2, T3, dan T4 dengan urutan -0,25; -0,28; dan - 0,30 (Tabel 28). Peningkatan beban kerja osmotik larva pada kondisi hipoosmotik untuk melihat respon lama waktu perkembangan stadia, ternyata tidak berbeda nyata dengan kondisi hiperosmotik pada T4. Pola hubungan antara peningkatan beban kerja osmotik larva dengan lama waktu perkembangan larva stadia pada kondisi hiperosmotik, adalah kuadratik negatif. Peningkatan beban kerja osmotik larva pada kondisi hiperosmotik dari T2 (-0,25) ke atas ternyata

121 102 meningkatkan prosentase sintasan; demikian juga pada kondisi hipoosmotik. Hasil kelimpahan larva pada kondisi hiperosmotik berpola kuadratik positif dengan titik puncak pada titik T4, dan ternyata kelimpahan pada kondisi hiperosmotik masih lebih baik daripada kondisi hipoosmotik. Peningkatan beban kerja osmotik larva pada tahap perkembangan akhir ternyata menekan pertumbuhan, yang terkecil pada T3, yaitu 20,27 mg. Kondisi media yang berbeda salinitas antara perlakuan 3 dan perlakuan 4, juga menggambarkan adanya perbedaan konsentrasi ion Natrium dan Khlorida pada media. Penyerapan dan regulasi ion Natrium dan Khlorida pada perkembangan kemampuan osmoregulasi larva, berhubungan erat dengan aktivasi enzim Na + /K + -ATPase. Menurut Charmantier et al. (1998), pada larva tahap awal, tingginya aktivitas enzim Na + /K + -ATPase merupakan salah satu hal terpenting untuk mendukung perkembangan stadia larva selanjutnya. Berdasarkan hal ini, perlu dikembangkan optimalisasi kemampuan osmoregulasi larva; sehingga saat memasuki perairan tawar, pertumbuhan dapat berlangsung normal (Furrie, 2004). Tabel 28. Kompilasi nilai rataan variabel kerja pada tahap perkembangan akhir No Parameter 1 (0,03) Beban Osmotik [1-(OH/OM)] Lama Waktu Perkembangan (jam) Lama Keberadaan (jam) Sintasan Stadia Larva (%) Kelimpahan (ekor larva) Bobot (mg) 0,03 (D) 438 (C) 232 (A) 100 (A) 300 (D) 34,36 (A) Perlakuan (beban osmotik) 2 (-0,25) - 0,25 (C) 498 (A) 144 (C) 90 (B) 370 (C) 32,07 (B) 4 (-0,28) - 0,28 (B) 453 (C) 208 (A) 100 (A) 570 (A) 30,27 (C) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama 3 (-0,30) -0,30 (A) 478 (B) 168 (B) 100 (A) 390 (B) 20,27 (D) Uraian pada tahap adaptasi menyatakan bahwa beban kerja osmotik terendah pada tahap hipoosmotik ternyata mampu mempercepat lama waktu perkembangan stadia, walaupun dengan hasil kelimpahan yang kurang baik. Beban kerja osmotik larva terendah pada kondisi hiperosmotik T2 ternyata memperlambat lama waktu perkembangan stadia, sehingga persentase sintasan dan hasil kelimpahan menjadi lebih rendah dibanding dengan T4. Hubungan lama waktu perkembangan stadia 11 dengan beban kerja osmotik berpola kuadratik positif. Menurut Abdu et al. (1998), penghambatan percepatan

122 103 perkembangan stadia larva M. rosenbergii, dapat juga diakibatkan terdapatnya juvenile hormone atau metil farnesoat yang berfungsi sebagai permanent molting block. Secara keseluruhan dari tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir, beban kerja osmotik terkecil pada tahap eksploratif dan adaptasi terdapat pada T3; walaupun kondisi salinitas media T3 pada tahap eksploratif berbeda dengan kondisi salinitas media T3 pada tahap adaptasi. Pada tahap eksploratif, salinitas media percobaan ditingkatkan setiap hari; sedangkan salinitas media T3 pada tahap adaptasi berada dalam kondisi statis, tanpa perubahan. Perbedaan kondisi media perlakuan T3 pada tahap eksploratif dan adaptasi, ternyata memberi hasil lama waktu perkembangan stadia larva lebih cepat dengan sintasan dan hasil kelimpahan lebih baik dibanding dengan perlakuan lainnya. Hubungan antara Potensi Pertumbuhan dengan Beban Kerja Osmotik serta Dampak Lanjut terhadap Potensi Pertumbuhan Pascalarva Potensi Pertumbuhan Larva pada tahap eksploratif dan adaptasi T3 jauh lebih baik dibanding potensi tumbuh tiga perlakuan lainnya. Gambaran potensi tumbuh pada tahap eksploratif selain T3, mengindikasikan bahwa terjadi penekanan potensi tumbuh pada T1, T2 dan T4 dengan meningkatnya beban kerja osmotik. Sebaliknya pada tahap adaptasi selain T3, peningkatan beban kerja osmotik T2, T1 dan T4 sejalan dengan meningkatnya potensi tumbuh. Walaupun demikian, kondisi hasil pertumbuhan aktual baik pada tahap eksploratif maupun pada tahap adaptasi, memperlihatkan bahwa terjadi penekanan pada hasil pertumbuhan aktual dengan naiknya beban kerja osmotik. Potensi pertumbuhan larva pada tahap perkembangan akhir memberikan dua pola, yaitu pada kondisi hipoosmotik dan hiperosmotik. Tampilan potensi tumbuh pada kondisi hipoosmotik T1, yaitu 15,33 kalori/ larva per hari lebih rendah dibanding kondisi hiperosmotik T3 dan T4, yaitu sebesar 17,90 menjadi 19,18 kalori/larva per hari. Hal ini dapat dijelaskan bahwa potensi tumbuh didasarkan dari pendekatan jumlah energi yang tersisa dari hasil ingesti yang dinamik dengan waktu (dw/dt = αk-r); setelah digunakan untuk metabolisme standar. Metabolisme R termasuk energi metabolisme, selain untuk respirasi juga untuk transfer ion. Menurut Lignot et al.

123 104 (1999), metabolisme yang dimaksud tercakup dalam faktor-faktor seperti tingkat efektivitas larva dalam melakukan regulasi osmotik, kapasitas regulasi ion-ion natrium dan khlorida serta regulasi glycemia haemolymph. Pada Tahap Eksploratif, potensi tumbuh larva sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,24 menjadi 0,35 (dari T3 ke T4), ternyata meningkat dari 5,09 menjadi 5,75 kalori/larva per hari (Tabel 29). Selanjutnya peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,35 menjadi 0,67; ternyata menekan potensi tumbuh sehingga terjadi penurunan dari 5,11 menjadi 4,47 kalori/larva per hari. Peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,24 menjadi 0,67 ternyata meningkatkan konsumsi energi basal dari T3 ke T2. Sehubungan dengan tingkat konsumsi pakan yang cukup memadai, maka dapat dikatakan bahwa potensi tumbuh meningkat. Tabel 29. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh pada tahap eksploratif No Parameter 3 (0,24) Perlakuan (beban osmotik) 4 (0,35) 1 (0,56) 2 (0,67) Potensi Tumbuh (kalori /larva per hari) Tingkat Konsumsi Pakan Harian (kalori/larva per hari) Konsumsi Energi Basal (kalori /mg bobot basah larva per jam) Bobot (mg) 5,09 (B) 5,17 (B) 0,59 (D) 5,76 (A) 5,75 (A) 5,82 (A) 0,59 (C) 5,02 (B) 5,11 (B) 5,17 (B) 0,62 (B) 4,24 (C) 4,47 (C) 4,53 (C) 0,62 (A) 3,75 (D) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pada larva tahap awal, aktivitas pompa natrium dalam upaya menekan stres beban osmotik mempunyai batas toleransi. Menurut Luvizotto-Santos at al. (2003), dibutuhkan sejumlah energi untuk mengaktifkan mekanisme regulasi osmotik dan ionik hemolim krustase sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan osmolalitas media. Lebih lanjut hasil kajian Huong et al. (2004) terhadap aktivitas enzim Na + /K + -ATPase pada larva M. rosenbergii menjelaskan bahwa selama perkembangan stadia 1 sampai stadia 6, puncak aktivitas enzim Na + /K + -ATPase terdapat pada stadia 2 (4,4 ± 0,4 μmol ADP/mg protein per jam). Aktivitas enzim ini menurun pada stadia 3 dan seterusnya stadia 4, kemudian naik lagi pada stadia 5 dan selanjutnya

124 105 pada stadia 6 (3,9 ± 0,1 μmol ADP/mg protein per jam). Kondisi ini menunjukkan bahwa walaupun secara umum aktivitas pompa natrium menurun dengan meningkatnya stadia larva M. rosenbergii; ternyata ada indikasi bahwa larva melakukan kerja regulasi osmotik tidak hanya untuk mengatasi tekanan eksternal, tetapi simultan dengan itu mengatasi tekanan internal. Gambaran rendahnya potensi tumbuh pada beban kerja osmotik di atas 0,35 menunjukkan bahwa larva stadia awal termasuk kelompok hipoosmoregulator terbatas seperti yang diulas oleh Willmer et al. (2000). Di luar kapasitas atau kemampuan kerja osmotik krustase tersebut, budget energi tidak hanya dipergunakan sebagai deposit energi untuk tumbuh (G); tetapi juga untuk menunjang aktivitas enzim Na + /K + -ATPase yang diindikasikan sebagai persentasi kehilangan pada exuviae (E), serta kehilangan energi pada aktivitas metabolisme lainnya, seperti feces (F), ekskresi (U) dan respirasi (R) (Zhu et al., 2004). Dari uraian beberapa pakar tersebut terlihat bahwa pemberian pakan saja tidak cukup sebagai dasar mendukung pertumbuhan, tetapi efektivitasnya harus memperhatikan masalah beban kerja osmotik. Hal yang sama juga ditekankan oleh Kumlu et al. (2000) dan Ponce-Palafor et al. (1997). Pada Tahap Adaptasi, potensi tumbuh larva berpola seperti keberadaan tingkat konsumsi pakan. Potensi tumbuh larva T3 ke T2 menurun dari 10,19 menjadi 6,32 kalori /mg bobot larva per hari dengan naiknya beban kerja osmotik. Selanjutnya potensi tumbuh T2 ke T4 meningkat (Tabel 30). Selain itu, ternyata tingkat konsumsi pakan dari T3 ke T2 menurun dari 34 menjadi 6,47 kalori/larva per hari dengan naiknya beban kerja osmotik larva. Secara umum, potensi tumbuh larva T1 dan T4 masih berada di bawah potensi tumbuh larva T3. Peningkatan beban kerja osmotik larva dari 0,20 ke 40 ternyata meningkatkan konsumsi energi basal dari 0,46 menjadi 0,54 kalori/mg bobot basah larva per jam. Respon larva terhadap osmolalitas media pada tahap adaptasi ini terlihat mulai berubah. Sebelumnya kemampuan kerja osmotik larva lebih mampu beradaptasi dengan kondisi media T3 kemudian T4, pada tahap adaptasi ini kemampuan kerja osmotik larva lebih mampu beradaptasi dengan media T3 kemudian T2. Pada tahap adaptasi ini, kemampuan kerja osmotik larva pada perlakuan T1 dan T2 meningkat, karena stadia larva telah mencapai stadia 7, 8, 9

125 106 dan 10; sehingga beban kerja osmotik T1 menurun dari 0,56 menjadi 0,28; dan T2 menurun dari 0,67 menjadi 0,23 (Tabel 29 dan 30). Perubahan T1 dan T2 terjadi karena kemampuan kerja osmotik meningkat sejalan dengan peningkatan stadia dari di bawah stadia 6 menjadi di atas 6. Perubahan kemampuan kerja osmotik tersebut telah dinyatakan oleh Cheng et al. (2003) yang mengemukakan bahwa kemampuan regulasi osmotik M. rosenbergii meningkat dengan meningkatnya stadia; sampai mendekati isoosmotik. Menurut Willmer et al. (2000), kemampuan kerja osmotik tersebut terjadi karena M. rosenbergii menggunakan mekanisme regulasi selluler dengan melakukan sintesa asam amino sebagai intra selluler efektor pada media air payau. Hal ini dilakukan saat aktivitas enzim Na + /K + -ATPase pada insang menurun, seperti diilustrasikan oleh Huong et al. (2004) yang menyatakan adanya penurunan aktivitas enzim Na + /K + -ATPase dengan meningkatnya stadia larva. Tabel 30. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh pada tahap adaptasi No Parameter 3 (0,20) Potensi Tumbuh (kalori /larva per hari) Tingkat Konsumsi Pakan Harian (kalori/larva per hari) Konsumsi Energi Basal (kalori /mg bobot basah larva per jam) Bobot (mg) 10,19 (A) 10,34 (A) 0,46 (C) 13,22 (A) Perlakuan (beban osmotik) 2 (0,23) 6,32 (D) 6,47 (D) 0,47 (C) 12,95 (B) 1 (0,28) 7,63 (C) 7,76 (C) 0,48 (B) 10,8 (C) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama 4 (0,40) 8,93 (B) 9,05 (B) 0,54 (A) 9,57 (D) Pada Tahap Perkembangan Akhir, potensi tumbuh larva pada kondisi hiperosmotik T2 meningkat sejalan dengan peningkatan beban kerja osmotik, yaitu dari 12,74 menjadi 19,18 kalori/mg bobot larva per hari (Tabel 31). Peningkatan potensi tumbuh ini didukung dengan tingkat konsumsi pakan harian yang memadai untuk memenuhi kebutuhan energi konsumsi energi basal. Peningkatan beban kerja osmotik larva dari kondisi hipoosmotik ke arah kondisi hiperosmotik, meningkatkan konsumsi energi basal dari 0,23 menjadi 0,37 kalori/mg bobot basah larva per jam.

126 107 Kondisi regulasi osmotik larva pada tahap perkembangan akhir ini berada pada dua kelompok, yaitu T1 dengan regulasi hipoosmotik dan T2, T4, dan T3 dengan regulasi hiperosmotik. Secara umum larva stadia 11 pada tahap perkembangan akhir ini sudah mulai menyerupai udang muda atau pascsalarva, dengan perbedaan hanya pada jumlah rostrum 7 dan 11 buah gigi rostrum. Kajian beberapa pakar menunjukkan, pascalarva M. rosenbergii cenderung melakukan regulasi hiperosmotik pada media payau (Chen et al., 2003; Funge-Smith et al., 1995; Lignot et al., 2000). Kerja osmotik yang berbeda pada kedua kondisi ini dijelaskan oleh Feire et al. (2003) serta McNamara dan Torres (1999) bahwa pada kondisi hipoosmotik T1, budget energi digunakan untuk menahan agar tidak banyak garam yang masuk ke dalam tubuh dengan menggunakan mekanisme transport aktif Na +. Menurut Luvizotto-Santos et al. (2003), krustase C. granulata menangani stres yang terjadi selama kondisi hipoosmotik dengan dukungan sumber energi yang berasal dari lemak. Demikian juga hasil kajian yang dilakukan oleh Roustaian et al. (2001) yang mengemukakan bahwa sumber energi utama untuk pertumbuhan larva M. rosenbergii berasal dari lemak. Oleh karena itu, pemberian pakan alami Artemia salina secara ad libitum dengan kandungan lemak dan asam amino yang memadai, dipandang mampu mendorong potensi tumbuh larva dalam kondisi hipoosmotik. Potensi tumbuh T1 lebih tinggi dari T2 Tabel 31. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh pada tahap perkembangan akhir No Parameter 1 (0,03) Potensi Tumbuh (kalori /larva per hari) Tingkat Konsumsi Pakan Harian (kalori/larva per hari) Konsumsi Energi Basal (kalori /mg bobot basah larva per jam) Bobot (mg) 15,33 (C) 15,52 (C) 0,23 (D) 34,36 (A) Perlakuan (beban osmotik) 2 (-0,25) 12,74 (D) 12,93 (D) 0,25 (C) 32,07 (B) 4 (-0,28) 17,90 (B) 18,10 (B) 0,28 (B) 30,27 (C) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama 3 (-0,30) 19,18 (A) 19,36 (A) 0,37 (A) 20,27 (D) Pada kondisi hiperosmotik, M. rosenbergii melakukan lebih dari satu mekanisme regulasi osmotik dalam upaya mempertahankan konsentrasi garam

127 108 dalam tubuh melalui hiperegulasi konsentrasi Mg +2 dengan cara absorpsi kembali pada renal gland, meningkatkan efisiensi proses pengambilan ion-ion tertentu, hal tersebut dilakukan simultan dengan proses mereduksi permeabilitas insang dan integumen (Freire et al., 2003). Adanya kerja osmotik yang lebih besar, mengakibatkan budget energi untuk mendukung potensi tumbuh menjadi berkurang. Hal ini terlihat dari menurunnya potensi tumbuh T2 dibanding T1, yaitu dari 15,33 menjadi 12,74 kalori /mg bobot larva per hari. Dari hasil telaah data dan analisis hubungan diperoleh suatu kerangka keterkaitan hubungan sebagai berikut: 1. Pada tahap eksploratif dan adaptasi, beban kerja osmotik terendah dapat meningkatkan potensi tumbuh. Peningkatan beban kerja osmotik pada tahap ekploratif, menekan potensi tumbuh, sedangkan pada tahap adaptasi malah meningkatkan potensi tumbuh 2. Pada tahap perkembangan akhir kondisi hiperosmotik, peningkatan beban osmotik mendorong potensi tumbuh lebih baik dari kondisi hipoosmotik T1. 3. Potensi tumbuh larva T3 pada tahap eksploratif, adaptasi dan perkembangan akhir, lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Potensi Pertumbuhan Pascalarva pada tampilan pascalarva hari ke-1, hari ke-7 dan hari ke-14 atau PL-1, PL-7 dan PL-14, memperlihatkan pola yang sama. Potensi tumbuh T1 secara menyeluruh lebih rendah dan berbeda dengan tiga perlakuan lainnya. Beban kerja osmotik sebagai dampak lanjut perlakuan saat masih dalam bentuk larva, berturut-turut adalah T1, T2, T4 dan T3; yang merupakan refeksi dari beban kerja osmotik pada tahap perkembangan akhir. Potensi Pertumbuhan PL-1 sebagai dampak lanjut dari perlakuan beban kerja hiperosmotik, ternyata tidak berbeda nyata dan lebih baik dari kondisi hipoosmotik T1, yaitu 8,15 menjadi 20,27 kalori/mg bobot larva per hari (Tabel 32). Pada tahap akhir PL-1 ini, tingkat konsumsi energi basal dari T1 dan T2 ke T3, adalah 0,164 kalori/mg bobot basah larva per jam. Sementara itu, tingkat konsumsi energi pakan harian (Daphnia sp.), sejalan dengan peningkatan beban kerja osmotik pascalarva. Menurut Chen et al. (2003), konsumsi oksigen menurun pada kondisi media mendekati titik isoosmotik. Selanjutnya, dikatakan

128 109 hal ini terjadi akibat kerja osmotik yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh udang. Tabel 32. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh PL-1 No Parameter 1 (0,03) Perlakuan 2 (-0,25) 4 (-0,28) 3 (-0,30) Potensi Tumbuh (kalori /larva per hari) Tingkat Konsumsi Pakan Harian (kalori/larva per hari) Konsumsi Energi Basal (kalori /mg bobot basah larva per jam) Bobot (mg) 8,15 (B) 8,37 (B) 0,199 (A) 45,00 (A) 20,02 (A) 20,22 (A) 0,200 (A) 43,35 (B) 20,65 (A) 20,22 (B) 0,181 (B) 39,51 (C) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama 20,27 (A) 20,42 (A) 0,164 (C) 39,29 (D) Potensi Pertumbuhan PL-7 sebagai dampak lanjut dari perlakuan beban kerja hiperosmotik, ternyata tidak berbeda dan lebih baik dari potensi tumbuh kondisi pascalarva hipoosmotik T1, yaitu yaitu 19,37 menjadi 41,49 kalori/mg bobot larva per hari (Tabel 33). Pada tahap akhir PL-7 tingkat konsumsi energi basal meningkat dari T1, yaitu 0,014 selanjutnya menurun 0,015 kalori/mg bobot basah larva per jam pada T3. Sementara itu, tingkat konsumsi pakan harian lebih tinggi pada kondisi hiperosmotik daripada kondisi hipoosmotik Tabel 33. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh PL-7 No Parameter 1 (0,03) Perlakuan 2 (-0,25) 4 (-0,28) 3 (-0,30) Potensi Tumbuh (kalori /larva per hari) Tingkat Konsumsi Pakan Harian (kalori/larva per hari) Konsumsi Energi Basal (kalori /mg bobot basah larva per jam) Bobot (mg) 19,37 (B) 19,41 (B) 0,014 (D) 121,6 (A) 40,32 (A) 40,41 (A) 0,038 (B) 90,77 (C) 41,21 (A) 41,29 (B) 0,039 (A) 90,40 (D) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama 41,49 (A) 41,54 (A) 0,015 (C) 119,07 (B) Potensi Pertumbuhan PL-14 sebagai dampak lanjut dari perlakuan beban kerja hiperosmotik, ternyata tidak berbeda dan lebih baik dari potensi tumbuh kondisi pascalarva hipoosmotik T1, yaitu 38,92 menjadi 41,86 kalori/mg bobot larva per hari (Tabel 34). Pada kondisi hiperosmotik tingkat konsumsi energi

129 110 basal berpola kuadratik positif meningkat pada puncak T4 dan kemudian lebih rendah pada T2 dan T3. Sementara itu, tingkat konsumsi pakan harian lebih tinggi pada kondisi hiperosmotik daripada kondisi hipoosmotik. Tabel 34. Kompilasi nilai rataan variabel kerja untuk potensi tumbuh PL-14 No Parameter 1 (0,03) Perlakuan 2 (-0,25) 4 (-0,28) 3 (-0,30) Potensi Tumbuh (kalori /larva per hari) Tingkat Konsumsi Pakan Harian (kalori/larva per hari) Konsumsi Energi Basal (kalori /mg bobot basah larva per jam) Bobot (mg) 38,92 (B) 38,96 (B) 0,007 (C) 215,44 (B) 40,50 (A) 40,51 (A) 0,001 (D) 286,75 (A) 41,11 (A) 41,32 (A) 0,058 (A) 150,32 (D) Huruf yang sama antar perlakuan pada waktu tertentu menunjukkan respon PL terhadap perlakuan adalah sama 41,86 (A) 40,90 (A) 0,007 (B) 214,88 (C) Hasil telaah data dan analisis hubungan memperoleh suatu kerangka keterkaitan hubungan sebagai berikut: potensi tumbuh PL-1, PL-7 dan PL-14 dari dampak lanjut kondisi hiperosmotik lebih baik dari dampak lanjut kondisi hipoosmotik.

130 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Beban osmotik berpengaruh nyata terhadap lama waktu perkembangan, sintasan stadia larva dan potensi tumbuh pascalarva udang galah dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Pada tahap eksplorasi dan adaptasi peningkatan beban kerja osmotik menghambat lama waktu perkembangan dan menurunkan sintasan stadia larva. a. Beban kerja osmotik minimal pada tahap eksploratif terjadi pada perlakuan 3, yaitu peningkatan salinitas 1 ppt perhari selama 7 hari dari salinitas awal sebesar 6 ppt b. Beban kerja osmotik minimal pada tahap adaptasi terjadi pada perlakuan 3, yaitu salinitas media dipertahankan stabil pada 13 ppt c. Pengaruh salinitas media 13 ppt berdampak lanjut untuk mempercepat lama waktu perkembangan dan meningkatkan sintasan pada perkembangan akhir stadia larva 2. Peningkatan beban kerja osmotik pada tahap eksploratif dan adaptasi semula menekan pertumbuhan. Namun selanjutnya menunjang potensi tumbuh pascalarva dari larva yang dipelihara pada kondisi hiperosmotik lebih tinggi daripada hipoosmotik. Dari simpulan tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa apabila pengaturan salinitas media pada tahap awal pemeliharaan larva (adaptasi dan eksploratif) dapat menciptakan beban kerja osmotik larva minimal, maka lama waktu perkembangan larva dipercepat, sehingga sintasan stadia pascalarva meningkat; serta berdampak lanjut positif pada tahap perkembangan akhir.

131 112 Saran Berdasarkan simpulan di atas, perlu dibangun suatu konsepsi sebagai landasan paket teknologi di bidang rekayasa kualitas lingkungan, khususnya salinitas pada bidang pembenihan udang galah. Dalam usaha pembenihan udang galah, pengaturan salinitas media harus diupayakan mampu menciptakan beban osmotik larva yang minimal sejalan dengan kemampuan kerja osmotik larva. Berhubung peningkatan beban osmotik larva mengakibatkan lama waktu perkembangan larva terhambat serta menekan sintasan stadia larva, maka disarankan: 1. Pada awal pemeliharaan larva udang galah, pengaturan salinitas media dari 6 ppt ditingkatkan setiap hari 1 ppt selama 7 hari sehingga mencapai 13 ppt untuk menciptakan beban kerja osmotik minimal 2. Salinitas media pemeliharaan larva udang galah selanjutnya, diupayakan mantap stabil pada 13 ppt sampai menjelang kondisi hiperosmotik pada stadia Sebelum memasuki kondisi hiperosmotik pada stadia 11 tersebut, salinitas media diturunkan secara bertahap sebesar 1 ppt per hari menjadi tawar sampai tercapai pascalarva. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa rekomendasi salinitas media untuk pemeliharaan larva udang galah adalah 13,0 ppt hingga harus mencapai dan selanjutnya menurunkan salinitas tersebut pada saat cairan tubuh larva melewati kondisi isoosmotik terhadap media atau pada stadia 10 menjelang stadia 11.

132 DAFTAR PUSTAKA Abdu U, Takac P, Laufer H, Sagi A Effect of Methyl Farnesoate on Late Larval Development and Metamorphosis in the Prawn Macrobrachium rosenbergii (Decapoda Palaemonidae): A Juvenoid-like Effect? Biol. Bull. 195: Akson DE, Sampaio CMS Nursery systems and management. In New MB dan Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp Oxford, England, Blackwell Science. Allan GL, Magurire GB Lethal levels of low dissolved oxygen and effects of short-term oxygen stress on subsequent growth of juvenile Penaeus monodon. Aquaculture 94: Al-Harbi AH, Uddin MN Quantitative and qualitative study of the bacterial flora of farmed freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) larvae. J. Appl. Ichthyol. 20: Anonimous Spotlight on: osmoregulation and ion transport in crab gills. Biology Department at Lafayette College. crabgillspot. html. [Juni 2002] Anonimous Na+/K+ (sodium/potassium) pump, cell biology 308. University of Illinois. Barros HP, Valenti WC Ingestion rates of Artemia nauplii for different larval stages of Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 217: Bishop JS, Burton RS Amino acid synthesis during hyperosonotic stress in Penaeus aztecus postlarvae. Comp. Biochem. Physiol. 106A: Boyd CE Water quality in ponds for aquaculture. Auburn University, Alabama. Birmingham Publishing Co. Boyd CE, Tucker CS Aquaculture water quality management. Boston, USA. Kluwer Academic Publishers. Boyd C, Zimmermann S Grow-out systems-water quality and soil management. In New MB dan Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp Oxford, England, Blackwell Science. Cavalli RO, Berghe E Van den, Lavens P, Thuy NTTT, Wille M, Sorgeloos P Ammonia toxicity as criterion for the evaluation of larval quality in the prawn Macrobrachium rosenbergii. Comp. Biochem. Physiol. Part C. 125: Chavez JV, Aida K, Hanyu I Effects of photoperiod and temperature on moulting, reproduction and growth of the freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii. Bull. Jap. Sot. Sci. Fish. 57:

133 114 Chen LC Aquaculture in Taiwan. Fishing News Books, 273 pp. Chen SM, Chen JC Effects of ph on survival, growth, molting and feeding of giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 191: Chen JC, Cheng SY Hemolymph oxygen content, oxyhemocyanin, protein levels and ammonia excretion in the shrimp Penaeus monodon exposed to ambient nitrit. J. Comp. Physiol. B 164: Chen JC, Cheng SY, Chen CT Changes of oxyhemocyanin, protein and free aminoacid levels in the hemolymph of Penaeus japonicus exposed to ambient ammonia. Comp. Biochem. Physiol. 109A, Chen JC, Kou CT Nitrogeneous excretions in Macrobrachium rosenbergii at different ph levels, Aquaculture 144: Chen JC, Kou YZ Effects of ammonia on growth and molting of Penaeus japonicus juveniles. Aquaculture 104: Chen JC, Lei SC Toxicity of ammonia and nitrite to Penaeus monodon juveniles. J. World Aquacult. Soc. 21, Chen JC, Lai JN Osmotic Concentration and Tissue Water of Penaeus chinensis Juveniles Reared at Different Salinity and Temperature Levels, Aquaculture 134: Chen JC, Lee Y Effects of nitrite on mortality, ion regulation and acid-base balance of Macrobrachium rosenbergii at different external chloride concentrations. Aquat. Toxicol 39: Chen JC, Lin CY Responses of oxygen consumtion, ammonia-n excretion and urea-n of Penaeus chinensis exposed to ambient ammonia at different salinity and ph levels, Aquaculture 136: Chen JC, Lin JN Oxygen consumption and ammonia-n excretion of Penaeus chinensis juveniles exposed to ambient ammonia at differrent salinity levels. Comp. Biochem. Physiol 102C: Cheng W, Liu CH, Cheng CH, Chen JC Osmolality and ion balance in giant river prawn Macrobrachium rosenbergii subjected to changes in salinity: role of sex. Aquaculture Research 34: Cheng SY, Chen JC Hemocyanin oxygen affinity, and the fractionation of oxyhemocyanin and deoxyhemocyanin for Penaeus monodon exposed to elevated nitrite. Aquat. Toxicol. 45: Cheng W, Liu CH, Ming KC Effects of dissolved oxygen on hemolymph parameters of freshwater giant prawn, Macrobrachium rosenbergii (de Man). Aquaculture 220: Correia ES, Suwannatous S, New MB Flow-through hatchery systems and management. In New MB and Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture:

134 115 the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp Oxford, England, Blackwell Science D Abramo LR, Brunson MW a. Biology and life history of freshwater prawns. Southern Region Aquaculture Center Publication No D Abramo LR, Brunson, MW b. Production of freshwater prawns. Southern Regional Aquaculture Center Publication No Daniels WH, Cavalli RO, Smullen RP Broodstock management. In New MB and Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp Oxford, England, Blackwell Science Deru J Studies on the development and nutrition of the caridean prawn Macrobrachium rosenbergii (de Man) (Crustacea: Decapoda). Doctoral Thesis. University College of North Wales, Menai Bridge, Gwynedd, UK, 306 pp Ducazu L Daphnia links. [Juni 2002] Duerr JM, Ahearn GA Characterization of a basolateral electroneatral Na + /H + antiporter in atlantic lobster (Homarus americanus) hepatopancreatic epithelial vesicles., J.Exp. Biol. 199: Freire CA, Cavassin F, Rodrigues EN, Torres AH, McNamara JC Adaptive patterns of osmotic and ionic regulation, and the invasion of fresh water by the palaemonid shrimps. Comp. Biochem.Physiol Part A 136 (2003) Funge-Smith SJ, Taylor AC, Whitley J, Brown JH Osmotic and ionic regulation in the giant Malaysian fresh water prawn, Macrobrachium rosenbergii (de Man), with special reference to strontium and bromine. Compr. Bio. Physiol. 110A: Furriel RPM, Masui DC, Mcnamara JC, Leone FA Modulation of gill Na +,K + -ATPase activity by ammonium ions: putative coupling of nitrogen excretion and ion uptake in the freshwater shrimp Macrobrachium olfersii. J. Exp. Zool. 301a: Hill AD, Taylor AC, Strang RHC Physiological and metabolic responses of the shore crab Carcinus maenas (L.) during environmental anoxia and subsequent recovery. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 150: Hirsch J, Negus M Fall stocking of rainbow trout in bad Medicine lake: A bioenergetics assement of impacts on s the Daphnia pulex population. Minesota Departemen of Natural Resources, Special Publication 155, [Juli 2000]. Huong DTT, Wilder MN Studies on osmoregulation in giant freshwater prawn. farming/jircas.[juni 2002] Huong DTT, Yang W-Y, Okuno A, Wilder MN Changes in free amino acids in hemolymph of giant freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii

135 116 exposed to varying salinities: relationship to osmoregulation ability. Comp. Biochem. Physiol. Part A 128: Huong DTT, Hang BTB, Bui TV, Wilder MN (a). Study on Na/K-ATPase activity and rearing of giant freshwater prawn larvae (Macrobrachium rosenbergii) under low salinity. Published of Can Tho University, Viet Nam, 12 pp. Huong DTT, Jayasankar V, Jasmani S, Saido-Sakanaka H, Wigginton AJ, Wilder MN (b). Na/K-ATPase activity during larval development in the giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii and the effects of salinity on survival rates. Short Paper. Fisheries Science:70: Imsland AK, Gunnarsson S, Foss A, Stefansson SO Gill Na +, K + -ATPase activity, plasma chloride and osmolality in juvenile turbot (Scophthalmus maximus) reared at different temperatures and salinities. Aquaculture 218: Ismael D, Morreira, G.S Effect of salinity on respiratory rate and development of early larval stages of Macrobrachium acanthurus (Wiegman, 1836) (Decapoda, Palaemonidae). Comp. Biochem. Physiol. 118 A (3): Jackson CJ, and Burford MA The effects of temperature and salinity on growth and survival of larval shrimp Penaeus semisulcatus (decapoda: penaeidea). Journal of Crustacean Biology, 23(4): Kamaruddin MS, Jones DA, le Vay L, Abidin AZ Ontogenetic change in digestive enzyme activity during larval development of Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 123: Kumlu M., Eroldogan OT, Aktas M Effects of temperature and salinity on larval growth, survival and development of Penaeus semisulcatus. Aquaculture 188: Kumlu M, Jones DA Optimum rearing conditions for Penaeus Indicus larvae, Eur. Aquacult. Soc. Spec. Publ. No. 19, 142 pp. Law AT, Wong YH, Abol-Munafi AB Effect of hydrogen ion on Macrobrachium rosenbergii (de Man) egg hatchability in brackish water. Aquaculture 214: Lavens P, Thongrod S, Sorgeloos P Larval prawn feeds and the dietary importance of Artemia. In: New MB, Valenti WC (Eds.), Freshwater Prawn Culture. Blackwell, Oxford, pp Lignot JH, Spanings-Pierrot C, Charmantier G Osmoregulatory capacity as tool in monitoring the physiological condition and the effect of stress in crustaceans. Aquaculture 191: Luvizotto-Santos R, Lee JT, Branco ZP, Bianchini A, Neryn LEM Lipids as Energy Source During Salinity Acclimation in the Euryhaline Crab

136 117 Chasmagnathus granulate Dana, 1851 (Crustacea-Grapsidae). J. Exp Zool 295A: Mattjik AA, Sumertajaya M Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan minitab Jilid I. IPB Press, Bogor. 326 hal. McNamara JC, Lima AG The route of ion and water movements across the gill epithelium of the freshwater shrimp Macrobrachium olfersii (Decapoda, Palaemonidae): evidence from ultrastructural changes induced by acclimation to saline media. Biol. Bull. 192: McNamara JC, Torres AH Ultracytochemical location of Na+/K+-atpase activity and effect of high salinity acclimation in gill and renal epithelia of the freshwater shrimp Macrobrachium olfersii (Crustacea, Decapoda). J. Exp. Zool. 284: Mohanta KN Development of giant freshwater prawn broodstock. Naga 23 (3): Morohashi M, Tsuchiya K, Mita T, Kawamura M Identification of (Na, K) ATPase inhibitor in brine shrimp, Artemia salina, as long-chain fatty acids. Comp. Biochem. Physiol. 161B: Morris S, Butler SL Hemolymph respiratory gas, acid base, and ion status of the amphibious purple shore crab Leptograpsus variegatus (Fabricius) during immersion and environmental hypoxia. J. Crustac. Biol. 16: Moullac GL, Haffiner P Environmental factors affecting immune responses in crustacea. Aquaculture 191: New MB Status of freshwater prawn farming: a review. Aquac. Res. 26, New MB Farming freshwater prawns. A manual for the culture of the giant river prawn (Macrobrachium rosenbergii). FAO Fish. Tech. Pap. 428: 212 p. New MB Freshwater prawn farming: global status, recent research and a glance at the future. Aquaculture Research 36: Okuma E, Abe H Total D-amino and other free amino acids increase in muscle of crayfish during seawater acclimation. Comp. Biochem. Physiol. 109A: Palacios E, Bonilla A, Luna D, Racotta IS Survival, Na+/K+-ATPase and lipid responses to salinity challenge in fed and starved white pacific shrimp (Litopenaeus vannamei) postlarvae. Aquaculture 234 (2004) Pan BS, Lan CC, Hung TY Changes in composition and proteolytic enzyme activities of Artemia during early development. Comp. Biochem. Physiol., 100A: Parado-Estepa FD Survival of Penaeus monodon postlarvae and juveniles at different salinity and temperature levels. Isr. J. Aquacult. 504:

137 118 Peters LD, Livingstone DR Antioxidant enzyme activities in embriologic and early larval stages of turbot. J Fish Biol. 49: Phatarpekar PV, Kenkre VD, Sreepada RA, Desai UM, Achuthankutty CT Bacterial flora associated with larval rearing of the giant freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 203: Ponce-Palafor J, Martinez-Palacios CA, Ross LG The effects of salinity and temperature on the growth and survival rates of juvenile white shrimp, Penaeus vannamei, Boone, Aquaculture 157: Ritar AJ, Thomas CW, Beech A Feeding Artemia and shellfish to phyllosoma larvae of southern rock lobster (Jasus edwardsii). Aquaculture 212: Romanova Z Macrobrachium rosenbergii de Man. Institute of biology of the southern seas, National Academy of Sciences of Ukraine 2, Nakhimov av., Sevastopol, 99011, Crimea, Ukraine. Roustaian P, Kamaruddin MS, Omar HB, Saad CR, Ahmad MH Biochemical changes in freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii during larval development. J. World Aqua. Soc. 32: Sang MH, Fotedar R Growth, survival, hemolymph osmolality and organosomatic indices of the western king prawn (Penaeus latisulcatus Kishinouye, 1896) reared at different salinities. Aquaculture 234: Schuman K Daphnia FAQ Prototype. KS@lily.com [Juni 2002] Sell AF Adaptation to oxygen deficiency: Contrasting patterns of haemoglobin synthesis in two coexisting Daphnia species. Comp. Biochem. Physiol. Part A 120: Shinn-Pyng Y, Sung TG, Chang CC, Cheng W, Kuo CM Effect of an organophosphorus insecticide, trichlorfon, on hematological parameters of Macrobrachium rosenbergii (de Man). Aquaculture 243: Somanath B, Palavesam A, Lazarus S, Ayyappan M Influence of nutrient sources on specific dynamic action of pearl spot, Etroplus suratensis (Bloch). Naga 23 (2): Spivak ED Effect of salinity on embryos of two southwestern atlantic estuarine grapsid crab species cultured in vitro. J. Crust. Biol. 20 (4), Spotts D Introducing Macrobrachium rosenbergii. [Juni 2002] Tacon AGJ Feed ingredients for crustaceans: natural foods and processed feedstufs. FAO Fisheries Circular No Rome Tomasso JR, Toxicity of nitrogenous wastes to aquaculture animals. Rev. Fish. Sci. 2:

138 119 Uno Y, Soo KC Larval development of Macrobrachium rosenbergii in the laboratory. J. Tokyo Univ. Fish 55 (2): Valenti CW, Daniels W Recirculation hatchery systems and management. In New MB and Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp Oxford, England, Blackwell Science. van Stappen G Lipovitelin from Artemia salina, biochemical analysis. Laboratory of Artemia Reference Center University of Gent, Belgium. 75 pp Wang WN, AL Wang, YJ Zhang, ZH Li, JX Wang, RY Sun Effects of nitrite on lehal and immune response of Macrobrachium nipponense. Aquaculture 232: Wang AL, Wang WN, Wang Y, Shang LX, Liu Y, Sun RY Effect of dietary vitamin C supplementation on the oxygen consumption, ammonia-n excretion and Na+/K+ ATPase of Macrobrachium nipponense exposed to ambient ammonia. Aquaculture 220: Wilder MN, Ikuta K, Atmomarsono M, Hatta T, Komuro K Changes in osmotic and ionic concentrations in the hemolymph of Macrobrachium rosenbergii exposed to varying salinities. Comp. Biochem. Physiol. - Part A, 119 (4): Willmer P, Stone G, Johnston I Environmental physiology of animals. Blackwell Science Ltd., Edinburgh. 644 pp Winston GW, di Giulio RT Prooxidant and antioxidant mechanisms in aquatic organism. Aquat. Toxicol. 24: Young-Lai WW, Charmantier-Daures M, Charmantier G Effect of ammonia on survival and osmoregulation in different life stages of the lobster Homarus americanus. Mar. Biol. 110: Zacharia S, Kakati VS, Optimal salinity and temperature for early developmental stages of Penaeus merguiensis de Man. Aquaculture 232: Zimmermann S Grow-out systems-polyculture and integrated culture. In New MB dan Valenti WC, eds. Freshwater prawn culture: the farming of Macrobrachium rosenbergii, pp Oxford, England, Blackwell Science. Zhu C, Dong S, Wang F, Huang G Effects of Na/K ratio in seawater on growth and energy budget of juvenile Litopenaeus vannamei. Aquaculture 234:

139 121 Lampiran 1. Nilai parameter kualitas air setiap perlakuan selama penelitian Sistem 1 Minggu kesatu Perlakuan Ulangan ph CO 2 DO BOD 5 NH 3 -N NO 2 - N H 2 S I II III IV 1 7,45 2,00 6,68 1,03 0,099 0,018 <0, ,44 2,00 7,09 1,22 0,098 0,018 <0, ,38 2,00 7,44 0,81 0,098 0,018 <0, ,37 2,00 6,68 0,61 0,097 0,012 <0, ,40 2,00 6,89 0,61 0,095 0,012 <0, ,40 2,00 6,48 0,81 0,095 0,012 <0, ,38 2,00 6,23 0,41 0,093 0,007 <0, ,47 2,00 7,09 0,41 0,096 0,007 <0, ,44 2,00 6,08 0,21 0,098 0,007 <0, ,44 2,00 6,68 2,03 0,092 0,014 <0, ,44 2,00 6,89 0,81 0,091 0,014 <0, ,42 2,00 7,09 1,42 0,092 0,014 <0,001 Minggu kedua Perlakuan Ulangan ph CO 2 DO BOD 5 NH 3 -N NO 2 - N H 2 S I II III IV 1 7,46 2,00 7,29 1,62 0,109 0,018 <0, ,84 2,00 7,09 2,23 0,095 0,018 <0, ,80 2,00 7,04 2,23 0,096 0,018 <0, ,85 2,00 7,84 2,23 0,096 0,012 <0, ,73 2,00 7,24 2,03 0,096 0,012 <0, ,75 2,00 6,83 3,24 0,097 0,012 <0, ,74 2,00 7,04 2,03 0,097 0,007 <0, ,76 2,00 7,09 2,23 0,097 0,007 <0, ,76 2,00 7,09 1,62 0,098 0,007 <0, ,77 2,00 6,89 2,63 0,095 0,014 <0, ,76 2,00 7,60 2,23 0,094 0,014 <0, ,76 2,00 6,44 3,44 0,093 0,014 <0,001

140 122 Lanjutan Lampiran 1 Sistem 2 Minggu ketiga Perlakuan Ulangan ph CO 2 DO BOD 5 NH 3 -N NO 2 - N H 2 S 1 7,54 2,00 7,65 1, <0,001 I 2 7,58 2,00 7,04 0,60 0,075 0,045 <0, ,56 2,00 6,84 0,40 0,070 0,060 <0, ,67 2,00 7,65 1, <0,001 II 2 7,58 2,00 7,45 2,21 0,070 0,045 <0, ,53 2,00 7,65 1,60 0,070 0,040 <0, ,45 2,00 7,04 2, <0,001 III 2 7,47 2,00 7,04 2,21 0,075 0,055 <0, ,48 2,00 6,84 2,41 0,070 0,050 <0, ,52 2,00 7,04 1, <0,001 IV 2 7,60 2,00 7,04 0,60 0,070 0,045 <0, ,55 2,00 7,25 1,60 0,075 0,055 <0,001 Minggu keempat Perlakuan Ulangan ph CO 2 DO BOD 5 NH 3 -N NO 2 - N H 2 S 1 7,54 9,99 6,84 3, <0,001 I 2 7,58 15,98 5,64 3,23 0,080 0,045 <0, ,56 11,99 7,25 4,21 0,080 0,045 <0, ,67 7,99 6,64 1, <0,001 II 2 7,58 21,97 6,84 2,22 0,070 0,045 <0, ,53 7,99 6,64 3,43 0,070 0,050 <0, ,45 9,99 6,44 5, <0,001 III 2 7,47 9,99 6,64 4,61 0,075 0,040 <0, ,48 9,99 6,04 4,24 0,075 0,045 <0, ,52 11,99 6,04 3, <0,001 IV 2 7,60 9,99 5,84 1,20 0,070 0,045 <0, ,55 11,99 6,84 2,22 0,070 0,060 <0,001

141 123 Lanjutan Lampiran 1 Minggu kelima Perlakuan Ulangan ph CO 2 DO BOD 5 NH 3 -N NO 2 - N H 2 S 1 7,48 5,99 7,04 3, <0,001 I 2 7,52 5,99 7,45 3,22 0,070 0,035 <0, ,35 5,99 6,44 3,02 0,070 0,040 <0, ,38 5,99 6,84 3, <0,001 II 2 7,35 5,99 7,45 3,22 0,070 0,045 <0, ,28 9,99 7,25 3,02 0,075 0,040 <0, ,38 7,99 7,04 3, <0,001 III 2 7,38 5,99 7,25 3,62 0,070 0,055 <0, ,34 5,99 7,25 3,22 0,075 0,060 <0, ,32 5,99 6,84 3, <0,001 IV 2 7,29 5,99 6,24 3,42 0,070 0,050 <0, ,37 5,99 7,44 3,62 0,070 0,050 <0,001

142 124 Lampiran 2. Kemampuan regulasi osmotik (OH/OM) larva udang galah setiap perlakuan selama penelitian Perlakuan Stadia Ulangan I II III IV Stadia ,31 2,31 2,31 2,31 2 2,31 2,31 2,31 2,31 3 2,31 2,31 2,31 2,31 rata-rata 2,31 2,31 2,31 2,31 Stadia ,45 0,34 0,76 0,68 2 0,43 0,30 0,78 0,68 3 0,45 0,36 0,77 0,64 rata-rata 0,44 0,33 0,77 0,67 Stadia ,73 0,77 0,80 0,63 2 0,70 0,78 0,81 0,56 3 0,72 0,76 0,79 0,62 rata-rata 0,72 0,77 0,80 0,60 Stadia ,96 1,24 1,29 1,29 2 0,97 1,27 1,32 1,27 3 0,98 1,24 1,30 1,27 rata-rata 0,97 1,25 1,30 1,28

143 125 Lampiran 3. Hasil analisis keragaman kemampuan regulasi osmotik larva setiap perlakuan selama penelitian Stadia 6 Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat TABEL SIDIK RAGAM derj bebas Kuadrat Tengah F Sig. Perlakuan 0, , ,033 0,000 Galat 0, ,000 Total 0, Stadia 6 Uji lanjut Duncan Perlakuan N Nilai alpha = 0, , , , ,7700 Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Stadia 8 Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat TABEL SIDIK RAGAM derj bebas Kuadrat Tengah F Sig. Perlakuan 0, ,022 48,208 0,000 Galat 0, ,000 Total 0, Stadia 8 Uji lanjut Duncan Perlakuan N Nilai alpha = 0, , , , ,8000 Sig. 1,000 1,000 0,127 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

144 126 Lanjutan Lampiran 3 stadia 11 Sumber Keragaman Stadia 11 Jumlah Kuadrat TABEL SIDIK RAGAM derj bebas Kuadrat Tengah F Sig. Perlakuan 0, , ,420 0,000 Galat 0, ,000 Total 0, Uji lanjut Duncan Perlakuan N Nilai alpha = 0, , , , ,3033 Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

145 Lampiran 6. Visualisasi tahap perkembangan larva sampai pascalarva udang galah 130

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP, LAMA WAKTU PERKEMBANGAN LARVA DAN POTENSI TUMBUH PASCALARVA UDANG GALAH LENNY STANSYE SYAFEI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN. Kondisi Kualitas Air

HASIL PENELITIAN. Kondisi Kualitas Air HASIL PENELITIAN Kondisi Kualitas Air Kualitas Air pada Tahap Eksplorasi Salinitas yang digunakan sebagai perlakuan didasarkan pada penelitian pendahuluan yang menghasilkan petunjuk batas kisaran optimal

Lebih terperinci

FERDINAND HUKAMA TAQWA

FERDINAND HUKAMA TAQWA PENGARUH PENAMBAHAN KALIUM PADA MASA ADAPTASI PENURUNAN SALINITAS DAN WAKTU PENGGANTIAN PAKAN ALAMI OLEH PAKAN BUATAN TERHADAP PERFORMA PASCALARVA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei ) FERDINAND HUKAMA

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN KALSIUM MEDIA PERAIRAN DALAM PROSES GANTI KULIT DAN KONSEKUENSINYA BAGI PERTUMBUHAN UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii de Man

PENDAYAGUNAAN KALSIUM MEDIA PERAIRAN DALAM PROSES GANTI KULIT DAN KONSEKUENSINYA BAGI PERTUMBUHAN UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii de Man PENDAYAGUNAAN KALSIUM MEDIA PERAIRAN DALAM PROSES GANTI KULIT DAN KONSEKUENSINYA BAGI PERTUMBUHAN UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii de Man AZAM BACHUR ZAIDY INSTITUT B O PERTANIAN G R O SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN :

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN : Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :46-56 (2013) ISSN : 2303-2960 PENENTUAN POLA PERUBAHAN SALINITAS PADA PENETASAN DAN PEMELIHARAAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) ASAL SUMATERA SELATAN

Lebih terperinci

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN

PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN PENGARUH BEBAN KERJA OSMOTIK TERHADAP PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA UDANG GALAH Macrobrachium rosenbergii DE MAN ABSTRAK (Effect of Osmotic Regulation on Larvae Development and Survival of

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Tahap I Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian diperoleh data sintasan (Gambar 1), sedangkan rata-rata laju pertumbuhan bobot dan panjang harian benih ikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp.

PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN, Pangasius sp. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (1): 25 3 (25) 25 Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH TEKNIK ADAPTASI SALINITAS TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) benih ikan patin yang dipelihara dengan masa pemeliharaan 30 hari memiliki hasil

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Larva Rajungan. Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Larva Rajungan Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Larva Tingkat perkembangan rajungan pada umumnya tidak berbeda dengan kepiting bakau. Perbedaannya hanya pada fase

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Jl. Beringin 308, Mariana-Palembang Tel./Fax. (0711) Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal-Universitas Sriwijaya

Jl. Beringin 308, Mariana-Palembang Tel./Fax. (0711) Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal-Universitas Sriwijaya PG-98 KELANGSUNGAN HIDUP, KERJA OSMOTIK DAN KONSUMSI OKSIGENPASCALARVA UDANG GALAH SELAMA PENURUNAN SALINITAS DENGAN AIR RAWAPENGENCER YANG DITAMBAHKAN KALIUM Ferdinand Hukama Taqwa 1,, Ade Dwi Sasanti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERKEMBANGAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) ASAHAN PADA SALINITAS BERBEDA ABSTRAK

KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERKEMBANGAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) ASAHAN PADA SALINITAS BERBEDA ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume V No 1 Oktober 2016 ISSN: 2302-3600 KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERKEMBANGAN LARVA UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) ASAHAN PADA SALINITAS BERBEDA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perilaku Kanibalisme Ketersediaan dan kelimpahan pakan dapat mengurangi frekuensi terjadinya kanibalisme (Katavic et al. 1989 dalam Folkvord 1991). Menurut Hecht dan Appelbaum

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan yang banyak dipelihara di daerah Jawa Barat dan di Sumatera (khususnya Sumatera Barat). Ikan nilem ini mempunyai cita

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

PENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA PADA TAMBAK INTENSIF DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA

PENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA PADA TAMBAK INTENSIF DENGAN PADAT TEBAR BERBEDA Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 153 158 (25) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 153 PENOKOLAN UDANG WINDU, Penaeus monodon Fab. DALAM HAPA

Lebih terperinci

TINGKAT KELULUSAN HIDUP LARVA UDANG GALAH BERDASARKAN SUMBER GENETIK YANG BERBEDA

TINGKAT KELULUSAN HIDUP LARVA UDANG GALAH BERDASARKAN SUMBER GENETIK YANG BERBEDA TINGKAT KELULUSAN HIDUP LARVA UDANG GALAH BERDASARKAN SUMBER GENETIK YANG BERBEDA Anny Rimalia, Yulius Kisworo, Mukhlisah Universitas Achmad Yani Banjarmasin annyrimalia.uvaya@gmail.com, yuliuskisworo@gmail.com,

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN 4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN Faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses pemanfaatan pakan tidak hanya pada tahap proses pengambilan, pencernaan, pengangkutan dan metabolisme saja, bahkan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2

METODE PENELITIAN. M 1 V 1 = M 2 V 2 Keterangan : M 1 V 1 M 2 V 2 11 METODE PENELITIAN Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai

V HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan tersebut diberikan nilai skor berdasarkan kelompok hari moulting. Nilai V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Kecepatan moulting kepiting bakau Pengamatan moulting kepiting bakau ini dilakukan setiap 2 jam dan dinyatakan dalam satuan moulting/hari. Pengamatan dilakukan selama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara,

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai ekonomis tinggi dan merupakan spesies asli Indonesia. Konsumsi ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, ph, NH 3, CO 2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas

Lebih terperinci

Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.)

Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.) Pengaruh Metode Aklimatisasi Salinitas Terhadap Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis sp.) The Effect of Salinity Acclimatization on Survival Rate of Nile Fry (Oreochromis sp.) Yuliana Asri 1,*,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang sangat potensial, karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Maya Ekaningtyas dan Ardiansyah Abstrak: Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah salah satu jenis ikan yang banyak di konsumsi oleh masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Sri Yuningsih Noor 1 dan Rano Pakaya Mahasiswa Program Studi Perikanan dan Kelautan. Abstract

Sri Yuningsih Noor 1 dan Rano Pakaya Mahasiswa Program Studi Perikanan dan Kelautan. Abstract Pengaruh Penambahan Probiotik EM-4 (Evective Mikroorganism-4) Dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Ikan Gurame (Osprhronemus gouramy) Sri Yuningsih Noor 1 dan Rano Pakaya 2 1 Staf Pengajar

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Udang Galah

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Udang Galah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Udang Galah Sebagian besar udang air tawar termasuk dalam famili Palaemonidae dan genus Macrobrachium yang merupakan genus paling banyak jenisnya. Udang galah merupakan salah satu

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jumlah Konsumsi Pakan Perbedaan pemberian dosis vitamin C mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (P

Lebih terperinci

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam periode waktu tertentu. Pertumbuhan terkait dengan faktor luar dan dalam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA TUGAS PENGENALAN KOMPUTER ZURRIYATUN THOYIBAH E1A012065 PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

OSMOREGULASI Berasal dari kata osmo dan regulasi Artinya pengaturan tekanan osmotik (tekanan untuk mempertahankan partikel zat pelarut agar tidak muda

OSMOREGULASI Berasal dari kata osmo dan regulasi Artinya pengaturan tekanan osmotik (tekanan untuk mempertahankan partikel zat pelarut agar tidak muda OSMOREGULASI Mata Kuliah Fisiologi Hewan Air Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA OSMOREGULASI Berasal dari kata osmo dan regulasi Artinya pengaturan tekanan osmotik (tekanan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan

Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan Teknik pembenihan ikan air laut Keberhasilan suatu pembenihan sangat ditentukan pada ketersedian induk yang cukup baik, jumlah, kualitas dan keseragaman.induk yang baik untuk pemijahan memiliki umur untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan nasional Indonesia menyimpan potensi perikanan yang besar untuk dikembangkan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat, maka sektor perikanan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ikan Zungaro (Zungaro zungaro) Menurut Humboldt dan Valenciennes (1821) klasifikasi zungaro adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus)

PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) PENGGUNAAN AERASI AIR MANCUR (FOINTAIN) DI KOLAM UNTUK PERTUMBUHAN IKAN NILA GIFT(Oreochromis niloticus) Rukmini Fakultas Perikanan dan Kelautan UNLAM Banjarbaru Email rukmini_bp@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR PROTEIN DAN RASIO ENERGI PROTEIN PAKAN BERBEDA TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum)

PENGARUH KADAR PROTEIN DAN RASIO ENERGI PROTEIN PAKAN BERBEDA TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) J.11. Pert. Indo. Vol. 9(2). 2000 PENGARUH KADAR PROTEIN DAN RASIO ENERGI PROTEIN PAKAN BERBEDA TERHADAP KINERJA PERTUMBUHAN BENIH IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum) Oleh : Adelina*, Ing ~oko~inta**,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD SKRIPSI RISNA HAIRANI SITOMPUL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) merupakan ikan asli perairan Indonesia. Ikan baung

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) merupakan ikan asli perairan Indonesia. Ikan baung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan baung (Mystus nemurus) merupakan ikan asli perairan Indonesia. Ikan baung hanya terdapat di perairan-perairan tertentu di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Ikan

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SINTASAN IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer Bloch)

PENGARUH PERUBAHAN SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SINTASAN IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer Bloch) PENGARUH PERUBAHAN SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SINTASAN IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcarifer Bloch) Rizka Diniantari Rayes 1 *, I Wayan Sutresna 2, Nanda Diniarti 1, Apri Imam Supii 3 1 Program Studi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Benih Ikan Lele Rata-rata tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi dicapai oleh perlakuan naungan plastik transparan sebesar

Lebih terperinci

282 Jurnal Perikanan (J. FISH. Sci) X (2) : ISSN:

282 Jurnal Perikanan (J. FISH. Sci) X (2) : ISSN: 282 Jurnal Perikanan (J. FISH. Sci) X (2) : 282-289 ISSN: 0853-6384 Short Paper Abstract PENGARUH SALINITAS TERHADAP KELULUSAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN BAWAL AIR TAWAR, Colossoma macropomum THE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budidaya ikan hias dapat memberikan beberapa keuntungan bagi pembudidaya antara lain budidaya ikan hias dapat dilakukan di lahan yang sempit seperti akuarium atau

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi terdapat kendala yang dapat menurunkan produksi berupa kematian budidaya ikan yang disebabkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

Abstract. Advisors : Dr. Dea Indriani Astuti. Degree : Science Bachelor (S.Si), Conferred July 2010

Abstract. Advisors : Dr. Dea Indriani Astuti. Degree : Science Bachelor (S.Si), Conferred July 2010 Analysis of Nitrifying Bacteria Stability in Postlarva Freshwater Prawn Culture (Macrobrachium rosenbergii de Mann) in Laboratory Scale With and Without Addition of Substrate Student : Eleanor Louana Urfa

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU 110302072 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

S. Mulyati, M. Zairin Jr., dan M. M. Raswin

S. Mulyati, M. Zairin Jr., dan M. M. Raswin Pengaruh Jurnal Akuakultur Tiroksin Indonesia, terhadap Larva 1(1): Ikan 21 25(2002) Gurami Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai 21 http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id PENGARUH UMUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang sangat potensial karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya ikan dapat dijadikan alternatif usaha yang dapat memberikan keuntungan dan memiliki prospek jangka panjang yang baik. Hal ini dikarenakan atas permintaan produk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prolarva 4.1.1 Laju Penyerapan Kuning Telur Penyerapan kuning telur pada larva lele dumbo diamati selama 72 jam, dengan rentang waktu pengamatan 12 jam. Pengamatan pada

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp.

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. YENI GUSTI HANDAYANI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berikut adalah hasil dari perlakuan ketinggian air yang dilakukan dalam penelitian yang terdiri dari beberapa parameter uji (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh perlakuan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN PATIN (Pangasius sp.) YANG DIPELIHARA DALAM SISTEM RESIRKULASI

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN PATIN (Pangasius sp.) YANG DIPELIHARA DALAM SISTEM RESIRKULASI PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN PATIN (Pangasius sp.) YANG DIPELIHARA DALAM SISTEM RESIRKULASI Oleh : AGUNG MAULANA PUTRA 100302052 NIM / 100302052 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan akuakultur dewasa ini semakin berkembang dan marak dilakukan oleh para pembudidaya ikan di Indonesia. Pencanangan peningkatan produksi perikanan budidaya oleh Menteri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Air sebagai Tempat Hidup Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila.

Lebih terperinci

Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal air tawar (Collosoma sp.) dengan laju debit air berbeda pada sistem resirkulasi

Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal air tawar (Collosoma sp.) dengan laju debit air berbeda pada sistem resirkulasi 56 Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 56 60 (2010) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id Tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bawal

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr. PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) Ediwarman SEKOLAH PASACASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij

BAHAN DAN METODE. = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah data τ i ε ij II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang akan diterapkan yaitu pemakaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan inroduksi yang telah lebih dulu dikenal masyarakat indonesia. Budidaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci