VI. APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 VI. APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN Model ekonometrika yang telah dibangun kemudian digunakan untuk mengevaluasi alternatif kebijakan, untuk maksud itu maka model tersebut perlu divalidasi terlebih dahulu dengan melakukan simulasi dasar pada seluruh data periode Hasil validasi tersebut akan menjelaskan apakah model yang terbangun dapat cukup memadai untuk digunakan dalam simulasi kebijakan Validasi Model Ekonometrika Dalam penelitian ini, validasi model dilakukan dengan menggunakan Theil s inequality coefficient dan nilai koefisien determinasi (R 2 ). Menurut H. Theil (1966), sebagaimana dinyatakan oleh Koutsoyiannis (1977), daya ramal model ekonometrik dapat dilihat dari besaran inequality coefficient-nya. Dengan kata lain, Theil s inequality coefficient dapat dipakai untuk menunjukkan kemampuan model dalam menjelaskan perilaku data aktual. Nilai koefisien ini dapat menjelaskan galat sistematis (Um dan Ur) dan galat non sistematis (Ud), dimana Um + Ur + Ud = 1. Nilai galat sistematis diharapkan mendekati nol, sementara nilai Ud diharapkan mendekati 1 dan diharapkan nilai Theil s Inequality nilai mendekati nol. Adapun nilai R 2 menjelaskan seberapa kuat model yang telah terbangun dapat menjelaskan perilaku peubah dalam suatu model Keragaan validasi model, dimana dari tabel, terlihat bahwa nilai Um dan Ur mendekati nol dan nilai Ud mendekati 1 (Tabel 24). Dari semua pendugaan persamaan struktural, hanya 3 persamaan (LUASR, QKBR, dan XKG) yang

2 88 mempunyai nilai Theil s Inequality yang lebih besar 0.2. Demikian juga halnya dengan nilai koefisien determinasi, dimana kisaran nilai koefisien determinasinya (R Square) berada di antara 60% 98%. Oleh karena itu, model ekonometrika yang telah terbangun ini dapat dinyatakan memadai untuk digunakan dalam simulasi untuk melalukan peramalan dan analisis kebijakan. Tabel 24. Keragaan Validasi pada Model Ekonometrika Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Variabel Theil Decomposition UD UR UU Theil s inequality R-Square LUASA LUASR LUAST QKBA QKBR QKBT QKG QKL QPP DIKG DIKL DIPP QXKB QMKB XKG XKL XPP RPKBA RPKBR RPKBT RPKG RPKL RPPP

3 Proyeksi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Tahun Proyeksi berikut merupakan pendugaan atas besarnya penawaran dan permintaan kayu bulat pada periode apabila tidak ada perubahan pada besaran peubah-peubah eksogen (business as usual) Proyeksi Penawaran Kayu Bulat Apabila situasi penawaran dan permintaan yang terjadi pada periode 1980 sampai dengan 2005 dibiarkan seperti apa adanya hingga tahun 2010 dan tidak ada perubahan atas peubah-peubah eksogen, maka volume produksi sah kayu bulat total, termasuk ramalan produksi dari Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), diproyeksikan akan mengalami penurunan dari ribu m 3 pada tahun 2006 menjadi ribu m 3 pada tahun 2010 atau menurun sebesar 2.85%. Tabel 25. Proyeksi Penawaran Kayu Bulat Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun (ribu m 3 ) Peubah TAHUN LUASA (Luas tebangan hutan alam) LUASR (Luas tebangan hutan rakyat) LUAST (Luas tebangan hutan tanaman) LUASTOT (Total luas tebangan) QKBA (Produksi kayu bulat hutan alam) QKBR (Produksi kayu bulat hutan rakyat) QKBT (Produksi kayu bulat hutan tanaman) QSL* (Total produksi kayu sah) Catatan: * termasuk ramalan jumlah produksi dari Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) per tahun berturut-turut sepanjang tahun sebesar: , , , , dan

4 90 Proyeksi penawaran kayu bulat dari produksi sah hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat Indonesia. Kecenderungan penurunan total produksi kayu bulat merupakan akibat dari penurunan produksi kayu bulat hutan rakyat sebesar 4.53% yang secara langsung disebabkan oleh penurunan luas tebangan hutan tanaman dan hutan rakyat, meskipun di sisi lain terjadi peningkatan luas tebangan hutan alam dan produksi kayu bulat hutan alam (Tabel 25). Perkiraan perubahan penawaran kayu bulat dari hutan alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat dari tahun 2006 hingga 2010, dimana penawaran kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan rakyat cenderung menurun, sedangkan penawaran dari hutan alam cenderung meningkat. Kecenderungan penurunan produksi ini ternyata tidak searah dengan perilaku luas tebangan hutan secara total, total luas tebangan menunjukkan kecenderungan yang meningkat 8.18 % (Gambar 9). Jumlah (X 1000 M3) 9000, , , , , , , , ,00 0, Hutan Alam Hutan Rakyat Hutan Tanaman Gambar 9. Penawaran Kayu Bulat dari Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun

5 Proyeksi Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Kayu Primer Total volume permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh terjadinya peningkatan permintan kayu bulat oleh industri kayu gergajian dan kayu lapis. Sementara permintaan kayu bulat oleh industri pulp dan paper cenderung menurun, sebagaimana terlihat pada Tabel 26 dan Gambar 10. Tabel 26. Proyeksi Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun Peubah DIKG (Permintaan kayu bulat oleh industri gergajian) DIKL (Permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis) DIPP (Permintaan kayu bulat oleh industri pulp & paper) TAHUN , , ,00 Jumlah (X 1000 M3) 8000, , , ,00 0, Kayu Gergajian Kayu Lapis Pulp & Paper Gambar 10. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Primer di Indonesia Tahun

6 Gap antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Dari proyeksi kebutuhan kayu bulat untuk industri pengolahan dan pasokan kayu bulat, terlihat adanya gap antara keduanya yang berfluktuasi antara tahun yang besarnya kurang lebih sekitar 6 juta m 3 (Tabel 27). Tabel 27. Proyeksi Selisih (Gap) antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun Peubah TAHUN QDKB (Total permintaan kayu bulat) QSL (Total produksi kayu sah) QXKB (Ekspor kayu bulat) QMKB (Impor kayu bulat) PENAWARAN (Penawaran kayu bulat domestik) GAP (Selisih antara penawaran dan total permintaan) Simulasi Skenario Kebijakan Sebagai Upaya Penurunan Gap Simulasi skenario kebijakan difokuskan pada dampak dari berbagai alternatif kebijakan di luar sub sektor kehutanan yang mungkin terjadi pada beberapa tahun mendatang, serta kebijakan di bidang kehutanan yang diperkirakan akan mampu memperbaiki situasi industri pengolahan kayu primer, terutama dari sisi penyeimbangan jumlah penawaran dan permintaan kayu bulat sebagai pasokan bahan baku untuk industri tersebut Kenaikan Upah sebesar 5% Secara umum kenaikan upah sebesar 5% akan berpengaruh negatif terhadap kinerja pasar kayu bulat Indonesia. Kenaikan upah ini berakibat pada penurunan luas tebangan, terutama pada hutan alam yang menurun 1.60%, sedangkan pada hutan rakyat luas penurunannya sebesar 0.55%, dan pada hutan tanaman penurunannya sebesar 0.50%. Penurunan luas tebangan ini berakibat

7 93 pada penurunan produksi kayu bulat, dimana total penurunan produksi mencapai 8.59%, yang terdiri atas penurunan pada produksi hutan alam sekitar 28.27%, hutan rakyat sekitar 1.51%, dan pada hutan tanaman sekitar 0.04% sebagaimana terlihat pada Tabel 28. Penurunan penawaran kayu bulat ini mengakibatkan kenaikan harga kayu bulat di pasar domestik sampai dengan 2.51%. Kondisi ini menjadikan permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer mengalami penurunan sampai 0.74%. Lebih lanjut, penurunan penawaran dan kenaikan harga kayu bulat tersebut berakibat pada penurunan produksi industri kayu gergajian dan kayu lapis, sedangkan industri pulp and paper cenderung tidak terpengaruh. Pada industri kayu gergajian, penurunan produksi mencapai 0.06%, sedangkan pada industri kayu lapis penurunan produksi mencapai 0.25%. Skenario kenaikan upah sebesar 5 % ini pada akhirnya mengakibatkan selisih antara penawaran dan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan (timber supply and demand gap) mengalami peningkatan sampai dengan % Penurunan Kapasitas Terpasang Industri Pengolahan Penurunan kapasitas terpasang industri pengolahan sebesar 20% akan menurunkan permintaan kayu bulat oleh industri sebesar 3.73%. Industri pengolahan pulp and paper akan menurunkan permintaan kayu bulat untuk bahan bakunya sebesar 6.63%, sedangkan industri kayu gergajian menurunkan permintaannya sebesar 3.28%, dan industri kayu lapis mengalami penurunan sebesar 0.08%. Penurunan permintaan terhadap kayu bulat ini ternyata tidak berakibat pada penurunan harga kayu bulat, hal ini diduga sebagai akibat dari

8 94 permintaan yang masih lebih besar dari pada penawaran (excess demand); sehingga masih terjadi kenaikan harga kayu bulat sebesar 0.03%. Penurunan permintaan terhadap kayu bulat juga berakibat pada penurunan luas tebangan, yang secara keseluruhan menurun sekitar 1.74%. Penurunan luas tebangan di hutan rakyat adalah yang terbesar, yaitu sebesar 2.40%, kemudian diikuti oleh hutan alam sekitar 1.94%, dan hutan tanaman sekitar 1.34%. Dari situasi ini terlihat bahwa perilaku harga kayu bulat lebih didominasi oleh perubahan yang terjadi pada sisi pasokan kayu bulat, dimana penurunan pasokan kayu bulat mendorong terjadinya kenaikan harga kayu tersebut. Skenario penurunan kapasitas industri pengolahan kayu hingga 20% akhirnya berakibat pada menurunnya gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat sekitar 14.28% Kenaikan Suku Bunga 5% Dari hasil simulasi diperoleh kenyataan bahwa kenaikan suku bunga sebesar 5% berdampak pada penurunan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer dan penawaran kayu bulat ke industri tersebut. Permintaan terhadap kayu bulat akan mengalami penurunan sebesar 1.21% dengan perincian, permintaan oleh industri kayu gergajian menurun sebesar 0.51%, industri pulp and paper sebesar 2.47%, kondisi sebaliknya untuk industri kayu lapis permintaan kayu bulat meningkat sebesar 0.13%. Dilihat dari sisi pasokan kayu bulat, secara total pasokan kayu bulat akan menurun sebesar 0.03 %. Skenario ini akan menurunkan gap antara pasokan dan permintaan kayu sebesar 4.64 %.

9 95 Tabel 28. Hasil Simulasi Kebijakan Upah, Nilai Tukar, Kapasitas Industri, dan Suku Bunga Persentase perubahan Peubah Endogen Kenaikan upah 5% Depresiasi nilai tukar10% Penurunan kapasitas 20% Kenaikan suku bunga 5% Kombinasi (1) (2) (3) (4) (1)+(3) (2)+(3) (3)+(4) (1)+(2) + (3)+(4) LUASA LUASR LUAST QKBA QKBR QKBT QKG QKL QPP DIKG DIKL DIPP QXKB QMKB XKG XKL XPP RPKBA RPKBR RPKBT RPKG RPKL RPPP LUAS TOT QSL QDKB GAP

10 96 Dari simulasi gabungan tersebut di atas nampak bahwa pilihan terbaik untuk mendekatkan jumlah penawaran dengan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer adalah dengan mengurangi kapasitas industri sebesar 20%, dan meningkatkan suku bunga sebesar 5%. Dari kebijakan ini diharapkan gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat akan berkurang sekitar 18.93% Kenaikan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan Berbagai wacana berkembang untuk meningkatkan pungutan atas produksi kayu bulat, dalam rangka meningkatkan pendapatan negara. Salah satu ide untuk itu adalah melalui penaikkan tingkat/tarif Dana Reboisasi (DR) dan Iuran Hasil Hutan (IHH). Dengan simulasi berikut, apabila pungutan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan dinaikkan 20%, maka luas tebangan pada hutan alam akan menurun sekitar 3.49%, sedangkan pada hutan tanaman, kenaikan pungutan IHH tersebut akan menurunkan luas tebangan sekitar 0.59%. Penurunan luas tebangan ini berkonsekuensi pada penurunan produksi kayu bulat sekitar 5.35, sehingga gap antara permintaan kayu bulat oleh industri dengan jumlah kayu bulat yang ditawarkan dari produksi yang legal membesar sekitar 13.68%, sebagaimana terlihat pada Tabel 29 berikut.

11 97 Tabel 29. Simulasi Peningkatan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan Tahun DR & IHH Naik (a) + Produksi naik 30% (a) + Prodva naik 30% (a) + Kap turun 30% (a) + Kenaikan upah dan suku bunga (a) + (b) + (c) + (d) + (e) (a) (b) (b) (d) (e) LUASA LUASR LUAST QKBA QKBR QKBT QKG QKL QPP DIKG DIKL DIPP QXKB QMKB XKG XKL XPP RPKBA RPKBR RPKBT RPKG RPKL RPPP LUASTOT QSL QDKB GAP

12 Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman Kebijakan yang diarahkan untuk meningkatan produktivitas hutan tanaman sebesar 30% akan meningkatkan produksi kayu hutan tanaman sebesar 6.70% sehingga secara total penawaran kayu bulat akan meningkat sebesar 2.32%. Peningkatan penawaran ini akan mendorong harga kayu bulat turun sebesar 0.67% sebagaimana terlihat pada Tabel 30. Tabel 30. Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman di Indoneisa Tahun Peubah endogen Produktivitas hutan tanaman naik 30 % (a) Persentase perubahan (a) + Upah dan suku (a)+ Upah naik; bunga naik; Suku bunga Kapasitas terpasang naik turun 30% (a)+ Upah dan suku bunga naik Kapasitas terpasang industry turun 20% LUASA LUASR LUAST QKBA QKBR QKBT QKG QKL QPP DIKG DIKL DIPP QXKB QMKB XKG XKL XPP RPKBA RPKBR RPKBT RPKG RPKL RPPP LUASTOT QSL QDKB GAP

13 99 Penurunan harga kayu bulat ini akan meningkatkan permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan sebesar 0.20%. Seiring dengan itu, permintaan kayu bulat tersebut akan meningkatkan produksi kayu olahan, dimana produksi kayu gergajian bertambah sekitar 0.02%, peningkatan produksi kayu lapis sekitar 0.07%, sedangkan produksi pulp and paper akan meningkat sebesar 0.01%. Dengan kebijakan ini, maka gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat bisa dikurangi sekitar 5.89% Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Peningkatan produktivitas hutan alam melalui penyempurnaan teknik silvikultur diharapkan akan mendorong peningkatkan produksi kayu dari hutan alam sebagaimana terlihat pada Tabel 31. Peningkatan yang terjadi diduga sebagai akibat dari adanya penurunan kelas diameter kayu yang diperbolehkan ditebang. Sistem TPTI batas minimum diameter yang boleh ditebang sebesar 50 cm sedangkan pada sistem TPTII (silvikultur intensif) batas minimum diameter adalah 40 cm. Skenario ini meningkatkan produktivitas hutan alam sebesar 41.86%; adapun produksi kayu bulat hutan rakyat naik sebesar 0.74%, dan produksi kayu dari hutan tanaman relatif tidak terpengaruh. Peningkatan produktivitas hutan alam ini, disertai dengan penurunan luas tebangan dari hutan alam sebesar 0.14%. Sebaliknya, luas tebangan dari hutan rakyat dan hutan tanaman meningkat masing-masing sebesar 0.70% dan 0.39% (Tabel 31). Peningkatan pasokan kayu bulat ini akan menekan harga kayu bulat dari hutan alam sebesar 3.68% dan kayu dari hutan rakyat sebesar 0.01%. Sementara harga kayu hutan tanaman tidak berubah. Selanjutnya, penurunan harga kayu

14 100 bulat tersebut akan meningkatkan permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer, yaitu sekitar 0.74% pada industri kayu gergajian, dan sekitar 1.85% pada kayu lapis, sedangkan pada industri pulp and paper hanya sekitar 0.64%. Tabel 31. Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Alam di Indonesia Tahun Peubah Produktivitas hutan alam naik 20% (a) Persentase Perubahan (a)+ Upah naik, Suku bunga naik (a) + Upah dan suku bunga naik, Kapasitas terpasang turun 20% (a)+ Upah dan suku bunga naik Kapasitas terpasang indstri turun 20% LUASA LUASR LUAST QKBA QKBR QKBT QKG QKL QPP DIKG DIKL DIPP QXKB QMKB XKG XKL XPP RPKBA RPKBR RPKBT RPKG RPKL RPPP LUASTOT QSL QDKB GAP

15 101 Skenario peningkatan produksi kayu dan pemanfaatan kayu dalam sistem silvikultur intensif pada hutan alam ini menjadikan gap antara penawaran dan permintaan kayu oleh industri pengolahan akan menurun sebesar 32.33%. Penurunan gap ini merupakan penurunan yang terbesar dibandingkan dengan apaapabila peningkatan produksi kayu hutan alam ini dikombinasikan dengan skenario yang lain Peningkatan Luas Tebangan Hutan Rakyat Secara umum peningkatan luas tebangan hutan rakyat sebesar 10% akan meningkatkan produksi kayu bulat hutan rakyat sebesar 9.27%, dan secara total (Tabel 32). Namun, peningkatan pasokan ini akan menurunkan harga kayu bulat, meskipun penurunan ini hanya sekitar 0.09% untuk harga kayu dari hutan alam, dan sekitar 0.18% untuk kayu dari hutan rakyat. Sementara harga kayu bulat dari hutan tanaman tidak terpengaruh. Tabel 32. Simulasi Peningkatan Luas Tebangan Hutan Rakyat di Indonesia Tahun Variabel Persentase Perubahan Variabel Persentase Perubahan LUASA 0.00 XKG 0.10 LUASR 20.0 XKL 0.00 LUAST 0.01 XPP QKBA RPKBA QKBR 9.27 RPKBR QKBT 0.00 RPKBT 0.00 QKG 0.00 RPKG 0.00 QKL 0.01 RPKL 0.00 QPP 0.00 RPPP 0.00 DIKG 0.00 LUASTOT 0.74 DIKL 0.05 QSL 0.30 DIPP 0.02 QDKB 0.03 QXKB QMKB GAP -0.77

16 102 Penurunan harga kayu bulat ini akan meningkatkan permintaan terhadap kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer sebesar 0.03%, dengan perincian permintaan oleh industri kayu lapis meningkat 0.05%, dan kenaikan permintaan oleh industri pulp and paper sebesar 0.02%. Sementara untuk industri kayu gergajian tidak mengalami perubahan. Skenario ini dapat menurunkan gap antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 0.77%. Efektifitas yang rendah dari peran hutan rakyat tersebut belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya sebagai akibat dari data produksi kayu dan luasan hutan rakyat yang tidak tercatat dengan baik Skenario Kombinasi Peningkatan Produktivitas dengan Variasi Kebijakan lain. Dampak skenario kebijakan yang diuraikan di atas terlihat bahwa penurunan gap tersebut akan lebih efektif apabila ada upaya yang lebih dalam peningkatan produksi kayu bulat dari berbagai sumber. Di samping itu juga pendekatan penurunan gap melalui perbaikan industri pengolahan kayu primer sebagai konsumen utama kayu bulat. Untuk mempercepat penurunan gap tersebut maka dikembangkan skenario yang menggabungkan dari sisi penawaran dan permintaan kayu bulat, dampak skenario tersebut disajikan pada Tabel 33. Dari sisi permintaan, penurunan kapasitas industri pengolahan mampu menurunkan kesenjangan penawaran dan permintaan kayu bulat, tapi efektifitasnya lebih rendah dibandingkan dengan skenario dari sisi penawaran. Efektifitas skenario ini akan menurun apabila dikombinasikan dengan skenario yang lain, yaitu penurunan suku bunga dan IHH/DR tetap. Hal ini tidak sesuai dengan harapan, yang diakibatkan antara lain oleh pengaruh yang tidak nyata dari

17 103 suku bunga. Di samping itu adanya pengaruh besaran magnitud dari peubah endogen yang disimulasikan dalam sistem persamaan simultan. Tabel 33. Ringkasan Kombinasi Skenario Peningkatan Produktivitas Hutan Alam 20%, Hutan Tanaman 30%, Penurunan Kapasitas Terpasang, Suku Bunga dan IHH/DR. Variable Suku bunga turun 5% Kapasitas Terpasang Turun 30% Suku bunga turun Suku bunga tetap 5% Suku bunga tetap IHH/DR tetap IHH/DR naik 10% IHH/DR naik 10% IHH/DR tetap LUASA LUASR LUAST QKBA QKBR QKBT QKG QKL QPP DIKG DIKL DIPP QXKB QMKB XKG XKL XPP RPKBA RPKBR RPKBT LUASTOT QSL QDKB GAP

18 104 Kombinasi skenario sisi penawaran dan permintaan mampu meningkatkan efektifitas penurunan kesenjangan antara penawaran dan permintaan, seperti disajikan pada Tabel 33. Terlihat bahwa kesenjangan antara penawaran dan permintaan akan menurun dengan tajam apabila skenario sisi penawaran dan permintaan digabung. Lebih jauh, efektifitas penurunan gap akan menurun apabila Iuran Hasil Hutan (IHH)/ Dana reboisasi (DR) dinaikan. Seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa kenaikan IHH/DR justru malah meningkatkan kesenjangan antara penawaran dan permintaan kayu bulat, sebagai akibat dari penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman Ringkasan Hasil Simulasi Berdasarkan hasil simulasi tersebut di atas, upaya penurunan kesenjangan antara penawaran dan permintaan kayu, dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran upaya penurunan kesenjangan dapat dilakukan melalui peningkatan produktifitas hutan alam dan hutan tanaman serta perluasan luas tebangan hutan rakyat. Sementara dari sisi permintaan, kesenjangan penawaran dan permintaan dapat dikurangi dengan penurunan kapasitas pabrik dari industri primer hasil hutan. Dari sisi penawaran, peningkatan produktivitas hutan alam sebesar 20% mampu menurunkan gap sebesar 32.33%. Efektifitas kebijakan ini akan berkurang apabila dikombinasikan dengan skenario lain seperti kenaikan upah dan tingkat suku bunga. Dimana pengaruh dari upah dan tingkat suku bunga justru menurunkan kemampuan produksi dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat. Meskipun dari sisi industri, kenaikan upah dan suku bunga juga

19 105 menurunkan produksi industri, tetapi penurunannya tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan penurunan produksi kayu bulat. Sejalan dengan dampak peningkatan produktifitas hutan alam, peningkatan produktifitas hutan tanaman juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu berdampak pada semakin kecilnya kesenjangan antara penawaran dan permintaan kayu bulat, meskipun penurunannya lebih kecil dibandingkan dengan hutan alam. Kombinasi dengan skenario lain, kenaikan upah dan tingkat suku bunga menurunkan efektifitas penurunan kesenjangan penawaran dan permintaan. Peningkatan luas tebangan hutan rakyat juga mampu menurunkan kesenjangan penawaran permintaan kayu bulat, tetapi dampaknya masih sangat kecil. Hal ini dimungkinkan oleh masih sedikitnya volume kayu yang berasal dari hutan rakyat yang tercatat dan digunakan oleh industri pengolahan kayu primer. Disamping itu sistem pencatatan atau penatausahaan kayu rakyat belum tertata dengan baik, sehingga memungkinkan lebih banyaknya produksi kayu rakyat yang tidak tercatat. Efektifitas penurunan gap akan semakin meningkat apabila kebijakan peningkatan produksi kayu bulat dilakukan secara simultan atau dengan mengkombinasikan peningkatan produksi kayu dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat dengan: 1) penurunan kapasitas industri primer pengolahan kayu, 2) suku bunga tetap, dan 3) IHH/ DR tetap.

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT Data untuk membangun model ekonomi sebagaimana diuraikan pada Bab IV dianalisis untuk mendapatkan konfirmasi mengenai kualitas model yang dibangun,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Landasan Teori Landasan teori mengenai penawaran dan permintaan barang dan jasa serta elastisitas harga dan mekanisme keseimbangan pasar secara umum berlaku sebagai landasan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER

DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER P R O S I D I N G 186 DAMPAK PENINGKATAN HARGA PUPUK UREA TERHADAP KERAGAAN PASAR TEMBAKAU BESUKI NA OOGST DI KABUPATEN JEMBER Novi Haryati, Soetriono, Anik Suwandari Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas

Lebih terperinci

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis simulasi beberapa alternatif kebijakan dengan tujuan untuk mengevaluasi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau bahan berkayu (hasil hutan atau hasil perkebunan, limbah pertanian dan lainnya) menjadi berbagai

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenaitentang dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap kinerjainerja industri tepung terigu Indonesia

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI Bagian ini akan menganalisis hasil melakukan simulasi, yaitu melakukan perubahan-perubahan pada satu atau beberapa

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

VII. ANALISIS KEBIJAKAN VII. ANALISIS KEBIJAKAN 179 Secara teoritis tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif kebijakan dengan jalan mengubah dari salah satu atau beberapa

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja. 43 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO.

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. 2005. Membangun Keunggulan Kompetitif Melalui Value Chain dalam Perusahaan Hutan Tanaman (Studi Kasus di PT. Musi Hutan Persada). Di bawah bimbingan BUNASOR SANIM

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA 233 IX. DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA Secara teoritis kinerja ekonomi rumahtangga petani dipengaruhi oleh perilaku rumahtangga dalam kegiatan produksi,

Lebih terperinci

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH JAWA TENGAH

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH JAWA TENGAH BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH JAWA TENGAH Krisis finansial global yang dipicu oleh krisis perumahan di AS (sub prime mortgage) sejak pertengahan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA VII. DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA 7.1. Hasil Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Hasil validasi model ekonometrika struktur,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Sumber daya hutan menjadi pilihan Indonesia sebagai andalan sumber keuangan negara disamping minyak dan gas bumi. Hal ini didasari atas ketersediaan kayu hasil

Lebih terperinci

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN - 6.1. Ramalan Harga Minyak Nabati di Pasar Dunia Pergerakan harga riil minyak kelapa sawit, minyak kedelai,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap

Lebih terperinci

BAB VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN. Validasi model merupakan tahap awal yang harus dilakukan melaksanakan

BAB VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN. Validasi model merupakan tahap awal yang harus dilakukan melaksanakan BAB VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN 6.1 Validasi Model Simulasi Awal. Validasi model merupakan tahap awal yang harus dilakukan melaksanakan simulasi model, validasi model dilakukan untuk melihat apakah

Lebih terperinci

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK)

VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) VI. ANALISIS NILAI TAMBAH INDUSTRI PENGGERGAJIAN KAYU (IPK) 6.1. Analisis Nilai Tambah Jenis kayu gergajian yang digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kayu pada industri penggergajian kayu di Kecamatan

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN Desember 2005 Partially funded by EC Asia Pro Eco Program Kesimpulan Sintesa Studi: Prospek Status Quo: Kehutanan di EraTransisi 80 Skenario

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Pendugaan Model Model persamaan simultan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ikan tuna Indonesia di pasar internasional terdiri dari enam persamaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 326/KPTS-II/1997 TENTANG KEWAJIBAN PEMEGANG IJIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) MENYEDIAKAN DAN MENJUAL SEBAGIAN HASIL PRODUKSINYA UNTUK KEPERLUAN MASYARAKAT MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

V. EVALUASI MODEL. BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model.

V. EVALUASI MODEL. BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model. V. EVALUASI MODEL BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model. Pembahasan dibedakan untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder yang

Lebih terperinci

Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong 1

Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang C.H. Simangunsong 1 DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN ( Impact of Forest Royalties and Reforestation Fund to the Welfare) 2, 1 2 4 Erwinsyah, Harianto, Bonar M. Sinaga & Bintang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

Simulasi Dan Analisis Kebijakan

Simulasi Dan Analisis Kebijakan Bab VI. Simulasi Dan Analisis Kebijakan Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model dalam skenario-skenario. Model yang disimulasi dengan skenario-skenario terpilih

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Umum Kehutanan Situasi industri kayu bulat dan industri pengolahan tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan Indonesia yang mulai dilakukan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data APBD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 yang diperoleh dari Dirjen Perimbangan

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP,

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP, selisih tingkat suku bunga, selisih inflasi dan selisih neraca pembayaran terhadap kurs

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI TERHADAP KESEJAHTERAAN

VII. ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI TERHADAP KESEJAHTERAAN VII. ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN FAKTOR EKONOMI TERHADAP KESEJAHTERAAN 7.1. Evaluasi Dampak Kebijabn Periode 29981999 Anaiisis perubahan kesejahteraan pada rentang waktu Tahun 1990-1999 (periode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produk Domestik Bruto (PDB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB),

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

mesin penggergajian untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan kualitas produk yang dihasilkan.

mesin penggergajian untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan kualitas produk yang dihasilkan. A. Latar Belakang Semua perusahaan diasumsikan mempunyai tujuan utama yang sama yaitu menghasilkan keuntungan disamping mempertahankan hidup (survive), memberikan manfaat yang besar kepada lingkungan masyarakat

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Perumusan Model Pasar Jagung, Pakan dan Daging Ayam Ras di Indonesia Model merupakan abstraksi atau penyederhanaan dari fenomena yang terjadi. Dengan penyederhanaan itu,

Lebih terperinci

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS 4.1. Spesifikasi Model Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses (Koutsoyiannis, 1977). Model ekonometrika adalah suatu

Lebih terperinci

Bab IV. Metode dan Model Penelitian

Bab IV. Metode dan Model Penelitian Bab IV Metode dan Model Penelitian 4.1 Spesifikasi Model Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti adalah pengaruh real exchange rate, pertumbuhan ekonomi domestik, pertumbuhan ekonomi Jepang,

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, III. KERANGKA TEORI Pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia dapat dilihat dari sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar tersebut dapat

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

Dept.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM-IPB, 2)

Dept.Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,FEM-IPB, 2) ANALISIS EKONOMI RUMAHTANGGA PEKERJA WANITA INDUSTRI KECIL KAIN TENUN IKAT DI KELURAHAN BANDAR KIDUL KOTA KEDIRI DALAM RANGKA MENGHADAPI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Kasirotur Rohmah 1), Hastuti 2), dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu tuntutan yang harus dipenuhi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas tempat tumbuh dan teknik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang meliputi eksplorasi dan pemilihan data PUP, evaluasi, koreksi dan ekstraksi data PUP dilaksanakan di Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 A. Dasar Kebijakan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penentuan daerah ini dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan

Lebih terperinci

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi produk-produknya telah mampu memasuki

Lebih terperinci

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Satria Astana, Soenarno, dan OK Karyono Ringkasan Rekomendasi 1. Kebijakan kenaikan DR dan PSDH sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER. Oleh : IMAN SANTOSO

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER. Oleh : IMAN SANTOSO ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER Oleh : IMAN SANTOSO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneter.

Lebih terperinci

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN

VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PUPUK DAN SEKTOR PERTANIAN 6.1. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Pupuk dan Sektor Pertanian Kriteria pertama yang harus dipenuhi dalam analisis ini adalah adanya kesesuaian

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA Oleh : Apul Sianturi 1) Adanya isu sentral tentang pengelolaan hutan produksi alam yang lestari merupakan bukti semakin tingginya tuntutan yang

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN Oleh: Nunung Parlinah dan Indartik Ringkasan Informasi tentang produksi dan peredaran kayu penting untuk diketahui dalam rangka memahami mekanisme

Lebih terperinci

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH

SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH I N F O S O S I A L E K O N O M I Vol. 2 No.1 (2001) pp. 45 54 SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Triyono Puspitojati RINGKASAN Sistem pemantauan produksi dan peredaran

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS. adalah perbedaan antara permintaan dan penawaran di suatu negara. Perbedaan

III. KERANGKA TEORITIS. adalah perbedaan antara permintaan dan penawaran di suatu negara. Perbedaan III. KERANGKA TEORITIS 3.1 Konsep Pemikiran Teoritis Pada pasar kopi (negara kecil), keinginan untuk memperdagangkannya adalah perbedaan antara permintaan dan penawaran di suatu negara. Perbedaan antara

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN TARIF DAN KUOTA IMPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU INDONESIA TAHUN

PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN TARIF DAN KUOTA IMPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU INDONESIA TAHUN 138 VI. PERAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN TARIF DAN KUOTA IMPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI TEPUNG TERIGU INDONESIA TAHUN 2011-2015 6.1. Hasil Validasi Model Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) atau nilai kedekatan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN

VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN 312 VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Berdasarkan teori, keputusan rumahtangga berkaitan dengan keputusan curahan kerja, produksi

Lebih terperinci

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA Eka Dewi Satriana, Ermi Tety, Ahmad Rifai Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau Email: satriana.eka@gmail.com, No. Handphone:

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghambat usaha untuk memobilisasi tabungan.

BAB I PENDAHULUAN. menghambat usaha untuk memobilisasi tabungan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam perekonomian suatu Negara, tabungan dan investasi merupakan salah satu indikator yang dapat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Pengaruh harga dunia minyak bumi dan minyak nabati pesaing terhadap satu jenis minyak nabati ditransmisikan melalui konsumsi (ket: efek subsitusi) yang selanjutnya

Lebih terperinci

DAMPAK TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO,PAJAK, INVESTASI, DAN UPAH DI KOTA BATAM

DAMPAK TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO,PAJAK, INVESTASI, DAN UPAH DI KOTA BATAM DAMPAK TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO,PAJAK, INVESTASI, DAN UPAH DI KOTA BATAM Albert Gamot Malau (Albert@ut.ac.id) Program Studi Agribisnis - Universitas Terbuka

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING

ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING VII ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING 7.1. Penentuan Model Linear Programming Produksi Tempe Dampak kenaikan harga kedelai pada pengrajin tempe skala kecil, menengah, dan besar dianalisis dengan menggunakan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.4 Tahun 2015

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.4 Tahun 2015 DAMPAK FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA : ANALISIS MODEL EKONOMETRIKA Zainuddin 1 Abstract Model systems of simultaneous equations were built to analyze the impact

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series merupakan data

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan

Lebih terperinci

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Rezky Fatma Dewi Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fak. Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Oktober 2008 INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Pada Oktober 2008, pertumbuhan tertinggi secara tahunan terjadi pada produksi kendaraan niaga, sementara secara bulanan terjadi pada produksi kendaraan non niaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar yang dihadapi oleh setiap negara di dunia dan setiap negara berusaha untuk mengatasinya. Kemiskinan adalah faktor yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam

IV. METODE PENELITIAN. Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam IV. METODE PENELITIAN 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Berdasarkan studi pustaka dan logika berpikir yang digunakan dalam menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap makroekonomi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilaksanakan di wilayah Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA EKSPOR PRODUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER INDONESIA DISERTASI BAMBANG SUKMANANTO

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA EKSPOR PRODUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER INDONESIA DISERTASI BAMBANG SUKMANANTO DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TERHADAP KINERJA EKSPOR PRODUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER INDONESIA DISERTASI BAMBANG SUKMANANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius (Depnakertrans, 2004a).

Lebih terperinci