DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D."

Transkripsi

1 DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah krisis keuangan (ekonomi) dunia yang sedang terjadi, diskusi pro dan kontra terhadap kebijakan larangan ekspor kayu bulat kembali diperdebatkan (Agro Indonesia, Oktober 2006). Tulisan di bawah ini memaparkan ringkasan hasil penelitian Penulis tentang Dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada periode terhadap sektor kehutanan Indonesia. Sejarah kebijakan larangan ekspor kayu bulat Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada Mei Larangan ekspor kayu bulat pada awalnya diberlakukan secara bertahap, kemudian pada awal tahun 1985 ekspor kayu bulat dihentikan secara total. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat ini bertujuan untuk: (a) meningkatkan perolehan devisa dari ekspor kayu olahan, (b) memperluas kesempatan kerja di bidang industri hasil hutan, (c) meningkatkan nilai tambah, dan (d) memacu perkembangan ekonomi regional. Dalam pelaksanaannya, untuk menghindari klaim internasional yang menganggap kebijakan larangan ekspor kayu bulat sebagai non-tariff barrier, pada tanggal 27 Mei 1992 pemerintah merubahnya dengan pengenaan pajak ekspor kayu bulat yang tinggi, yaitu sebesar USD 500 USD 4800 per m 3 kayu bulat, tergantung jenis kayu. Dengan pajak ekspor yang sedemikian tinggi, tetap tidak mungkin untuk mengekspor kayu bulat dari Indonesia, karena harga jual ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar internasional. Jadi dalam kenyataannya, pengenaan pajak ekspor yang tinggi merupakan larangan ekspor kayu bulat yang efektif, dengan nama yang berbeda. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997 menyebabkan krisis ekonomi multi-dimensi di Indonesia, sehingga mengharuskan pemerintah melakukan perbaikan kebijakan ekonomi, terutama untuk meningkatkan penerimaan negara. Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, lembaga keuangan internasional IMF berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk menandatangani 50 butir Nota Kesepakatan (Letter of Intent) RI-IMF pada tanggal 15 Januari Diantaranya, terdapat butir kesepakatan untuk memperbolehkan ekspor kayu bulat dengan mengenakan pajak ekspor sebesar 40 persen, dan kemudian dikurangi menjadi maksimum 10 persen sebelum akhir Desember 2000 dan nol persen pada tahun Setelah ekspor kayu bulat berlangsung, muncul keluhan dari para pengusaha industri pengolahan kayu domestik, utamanya karena semakin mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku kayu bulat. Disamping itu, para pengusaha tersebut juga mengeluhkan semakin maraknya ekspor kayu bulat illegal yang menyebabkan Cina, yang dituduh mengkonsumsi kayu bulat selundupan dari Indonesia, dapat menjual produk kayu lapis di pasar internasional dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan total biaya produksi kayu lapis di Indonesia. Sementara itu, kegiatan penebangan liar di hutan-hutan 1

2 Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi semakin menjadi-jadi, menyebabkan laju deforestasi mencapai rata-rata 2 juta ha/thn pada periode tahun Pada tanggal 8 Oktober 2001, Pemerintah Indonesia kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts- II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292/MPP/Kep/10/2001. Tujuannya disebutkan untuk mencegah dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan di Indonesia. Tujuan lainnya, yang tidak disebutkan dalam SKB tersebut namun seringkali dikemukakan oleh para pengusaha industri perkayuan dalam berbagai polemik mengenai pro dan kontra kebijakan larangan ekspor kayu bulat, adalah untuk lebih menjamin ketersediaan pasokan bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu di dalam negeri. Dalam SKB tersebut disebutkan bahwa penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih dari seluruh wilayah negara Republik Indonesia berlaku sampai batas waktu yang ditetapkan kemudian. Namun demikian, meskipun belum ada hasil analisis atau evaluasi kritis yang disampaikan kepada publik mengenai keberhasilan kebijakan tersebut dalam mengatasi penebangan liar dan penyelundupan kayu selama tujuh bulan sejak diterbitkannya SKB, pemerintah RI malah memperkuat keputusan tersebut melalui Peraturan Pemerintah No. 34, tertanggal 8 Juni 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan (seperti tertulis dalam Pasal 76: Hasil hutan berupa kayu bulat dan bahan baku serpih dilarang untuk di ekspor). Tujuan dan Metode Penelitian Studi ini bertujuan untuk mengetahui pelajaran-pelajaran penting apa saja yang dapat diambil dari pengalaman diterapkannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat secara total pada periode tahun 1985 sampai Studi difokuskan pada aspek ekonomi dari pengaruh kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap pasar produk perkayuan Indonesia, yaitu pasar kayu bulat tropis, pasar kayu lapis dan pasar kayu gergajian. Pelajaran-pelajaran yang diperoleh diharapkan dapat membantu para pembuat keputusan untuk menghindari kegagalan pasar yang semakin parah akibat penerapan kebijakan yang kurang tepat. Metode analisis yang digunakan dalam studi ini sama dengan metode yang telah digunakan oleh Manurung dan Buongiorno (1997), yaitu the classical welfare economics framework in an opened economy dan a non-spatial equilibrium timber market model. Prinsip umumnya adalah: pertama, mengembangkan model yang menggambarkan kondisi aktual keseimbangan pasar, yaitu kondisi pasar (produk perkayuan) dimana larangan ekspor kayu bulat diberlakukan, kemudian menggunakannya untuk menduga kondisi keseimbangan pasar yang baru, yaitu kondisi pasar tanpa larangan ekspor kayu bulat. Dalam model ini, specific trade flows antara dua wilayah (eksportir dan importir) tidak dapat diduga, tapi net trade balance-nya dapat diduga. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah: produksi, volume dan nilai ekspor kayu olahan (kayu gergajian dan 2

3 kayu lapis) Indonesia untuk periode tahun 1985 sampai 1997 (FAO, 2002); harga kayu bulat domestik (BPS, 2000); GDP deflator indeks untuk Indonesia dan nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap USD (World Development Indicators of the World Bank, 1999). Konsumsi kayu olahan domestik merupakan selisih dari produksi dan ekspor kayu olahan. Harga ekspor kayu olahan digunakan sebagai proksi harga domestik kayu gergajian dan kayu lapis (asumsi yang masuk akal dalam kondisi perdagangan bebas). Harga ini dihitung dari nilai ekspor kayu olahan dibagi dengan volume ekspornya. Konsumsi kayu bulat Indonesia diasumsikan sama dengan total kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia. Konsumsi kayu bulat (mixed tropical hardwood) dan/atau kayu pulp oleh industri pulp dan kertas di Indonesia tidak turut diperhitungkan. Produksi kayu bulat Indonesia sama dengan konsumsi domestik karena pada periode ekspor kayu bulat dilarang. Perlu diperhatikan bahwa efek yang ditemukan dalam studi ini bukan hanya hasil dari kebijakan larangan ekspor kayu bulat saja, namun juga dari berbagai kebijakan yang datang bersamaan dengan, dan/atau setelah diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat tersebut. Sebagai contohnya adalah kebijakan pemerintah untuk mempercepat (memaksa) pembangunan industri perkayuan dengan berintikan industri kayu lapis yang diberlakukan pada bulan April 1981, yang kemudian diikuti dengan kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya integrasi vertikal antara perusahaan pengolahan kayu dan perusahaan HPH dalam satu holding company yang sama, dan kebijakan pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi terhadap kayu gergajian, yaitu sebesar USD 250 USD 1000 per m 3, pada bulan November Menurut teori ekonomi, larangan ekspor kayu bulat akan mengurangi kompetisi untuk meperoleh kayu bulat dan menekan harga kayu bulat domestik, yang kemudian menyebabkan turunnya nilai tegakan dan pada gilirannya akan menurunkan penerimaan pemerintah dari sumber daya hutan, serta menyebabkan upaya mengkonversi hutan alam untuk pembangunan pertanian dan perkebunan semakin menarik untuk dilakukan. Selanjutnya, perbedaan yang semakin tinggi antara harga kayu bulat domestik dan internasional memberikan dorongan/insentif yang lebih besar untuk menyelundupkan kayu ke luar negeri, dan oleh karenanya tidak secara otomatis mencegah penebangan liar. Disamping itu, harga kayu bulat domestik yang lebih murah memberikan signal pasar yang mendorong pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu di dalam negeri dan menyebabkan rendahnya efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu. Pengaruhnya Terhadap Penurunan Harga Kayu Bulat Domestik Dengan larangan ekspor kayu bulat, harga kayu bulat domestik selama periode turun sebesar 18 persen. Harga kayu bulat domestik yang (lebih) murah menjadi insentif untuk membangun kapasitas industri pengolahan kayu, tetapi sebaliknya menjadi disinsentif untuk melakukan pengelolaan hutan alam secara intensif pada jangka panjang. Selanjutnya, harga kayu bulat yang murah menyebabkan rendahnya efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu di hutan maupun di pabrik pengolahan kayu, serta menyebabkan kurangnya insentif ekonomi untuk membangun hutan tanaman. Harga kayu bulat yang lebih murah ini juga tidak menggambarkan kenyataan terjadinya kelangkaan kayu bulat akibat semakin berkurangnya persediaan kayu bulat 3

4 (standing stock) di hutan. Dengan demikian, harga kayu bulat yang murah memberikan signal pasar yang salah, sehingga menyebabkan terjadinya pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu domestik yang berlebihan. Perlu kita mengerti bahwa sesungguhnya harga kayu bulat domestik yang murah selama periode juga disebabkan oleh terjadinya kelimpahan pasokan kayu bulat yang berasal dari penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh perusahaan HPH maupun oleh masyarakat lokal/pendatang yang tidak mempunyai ijin konsesi HPH atau pun ijin pemungutan hasil hutan kayu. Disamping itu, produksi kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu), yang berasal dari kegiatan konversi hutan alam, menambah kelimpahan pasokan kayu bulat sehingga turut menyebabkan murahnya harga kayu bulat domestik. Sampai seberapa besar turunnya harga kayu bulat disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor kayu bulat, dan oleh terjadinya kelimpahan pasokan kayu bulat dari penebangan liar (serta tambahan pasokan dari produksi kayu IPK) tidak dapat dijelaskan oleh model pasar produk perkayuan yang dipergunakan dalam analisis studi ini. Pengaruhnya terhadap penerimaan riil devisa Dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat, selama periode , penerimaan ekspor Indonesia dari produk perkayuan, dihitung dalam nilai riil, berkurang sebanyak 12 persen, atau secara total berkurang sebesar 6 milyar USD. Peningkatan penerimaan riil devisa dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian ternyata jauh lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan devisa akibat dihentikannya ekspor kayu bulat. Disamping itu, pemerintah Indonesia juga mengalami kerugian tambahan, yaitu hilangnya total penerimaan pajak ekspor kayu bulat (export revenue foregone) karena ekspor kayu bulat dilarang. Pengaruhnya terhadap nilai tambah Total kumulatif nilai tambah kotor (gross value-added) pada industri kayu lapis dan industri kayu gergajian berturut-turut 12 persen dan 9 persen (atau, masing-masing 3 milyar USD dan 2,6 milyar USD) lebih tinggi dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Nilai tambah kotor yang lebih tinggi dihasilkan dari harga bahan baku kayu bulat domestik yang jauh lebih murah sebagai akibat dilarangnya ekspor kayu bulat, sementara harga ekspor kayu olahan hanya turun relatif kecil. Besarnya nilai tambah yang sebenarnya diperoleh oleh perekonomian Indonesia (yaitu nilai tambah bersih, net value-added) lebih kecil daripada yang disebutkan di atas mengingat nilai tambah kotor tersebut masih harus dikurangi dengan total biaya input yang diimpor (yaitu: biaya mesin, biaya kapital, biaya bahan baku penolong, dan biaya tenaga kerja asing), yang total nilainya tidak diketahui. Pengaruhnya terhadap tenaga kerja Dengan larangan ekspor kayu bulat, jumlah tenaga kerja langsung yang diserap oleh industri kayu lapis dan industri kayu gergajian berturut-turut sebanyak dan tenaga kerja lebih tinggi. Ini berarti, kebijakan tersebut mampu menciptakan sedikit lapangan pekerjaan melalui pembangunan industri pengolahan kayu. Tetapi, pada periode yang sama, jumlah total lapangan kerja yang diciptakan oleh industri pengolahan kayu tidak mampu mengkompensasi kehilangan sekitar tenaga kerja pada sektor pembalakan kayu bulat. Disamping itu, kebijakan larangan ekspor kayu bulat ternyata 4

5 merubah komposisi angkatan kerja. Sebelumnya, industri pembalakan kayu seluruh tenaga kerjanya adalah laki-laki, namun setelah terjadinya ekspansi industri kayu lapis lebih dari setengah jumlah tenaga kerja adalah para perempuan muda. Perubahan ini juga dinilai merugikan atau mengeksploitasi perempuan karena mereka dibayar sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Temuan ini menyarankan bahwa dalam hal menciptakan kesempatan kerja, lebih baik bagi Indonesia bila menerapkan kebijakan pengembangan industri pengolahan kayu yang kurang agresif, dengan memperbolehkan ekspor kayu bulat, dan menginvestasikan perolehan penerimaan ekspor produk perkayuan yang lebih besar (yang dapat diperoleh tanpa larangan ekspor kayu bulat) dalam kegiatan ekonomi tertentu guna menciptakan kesempatan kerja yang baru. Pengaruhnya terhadap nilai tegakan Dari tahun 1985 sampai 1997, dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat, total nilai tegakan di hutan alam berkurang sebesar 33 persen atau 5,5 milyar USD lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh turunnya harga kayu bulat domestik, dan karena volume panen kayu yang lebih kecil. Nilai tegakan yang lebih rendah sebagai akibat diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat merupakan disinsentif untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan mendorong pemanenan hutan tropis secara sangat selektif (high grading), yaitu mencari dan menebang pohon-pohon berdiameter besar dan yang mempunyai nilai komersial tinggi dengan meninggalkan banyak sekali limbah kayu di hutan. Kebijakan kehutanan seperti ini menyebabkan cepat habisnya sumber daya hutan. Kurangnya penghargaan terhadap hasil hutan non-kayu yang dapat dihasilkan dari hutan tropis menambah cepat habisnya sumber daya hutan Indonesia. Lebih lanjut, nilai tegakan yang lebih rendah juga menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah dari timber royalties. Kesimpulan dan rekomendasi Berbagai temuan dalam studi ini menyarankan bahwa kebijakan larangan ekspor kayu bulat telah berhasil meningkatkan pembangunan industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia. Namun demikian, dalam hal total penerimaan ekspor, Indonesia akan lebih beruntung tanpa larangan ekspor kayu bulat. Secara total, selama periode 1985 sampai 1997, Indonesia kehilangan penerimaan ekspor sebesar USD 6 milyar dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Penerimaan yang meningkat dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan penerimaan ekspor kayu bulat. Walaupun sejumlah tenaga kerja baru langsung diciptakan pada pabrik-pabrik kayu lapis dan kayu gergajian dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat pada periode yang sama, sebanyak tenaga kerja hilang pada kegiatan operasi pembalakan kayu. Nilai tambah kotor dalam industri kayu lapis dan kayu gergajian meningkat dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat, yang dihasilkan dari harga kayu bulat domestik yang lebih murah dengan larangan ekspor kayu bulat. Nilai tegakan berkurang sebanyak USD 5,5 milyar dengan larangan ekspor kayu bulat, menyebabkan dampak negatif terhadap pemanfaatan kayu dan kegiatan konservasi jangka panjang, walaupun dalam jangka pendek kebijakan larangan ekspor kayu bulat mengurangi penebangan dari hutan-hutan Indonesia sebesar 18 persen. 5

6 Kesimpulan umum dari berbagai temuan ini adalah Indonesia akan lebih baik/beruntung dengan memperbolehkan ekspor kayu bulat walaupun hal ini menyebabkan ekspansi produksi kayu lapis dan kayu gergajian lebih lambat. Tanpa larangan ekspor kayu bulat, industri pengolahan kayu akan tetap menguntungkan secara ekonomi dan akan tetap bertumbuh, tanpa kapasitas industri pengolahan kayu yang berlebihan atau tanpa pabrik-pabrik pengolahan kayu yang tidak efisien. Penerimaan pemerintah yang lebih tinggi dari ekspor kayu bulat berarti keuntungan bersih bagi ekonomi Indonesia. Berlawanan dengan ini, kita harus mengakui hal positif yang dihasilkan dari kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Model yang digunakan dalam studi ini mendokumentasikan peningkatan nilai tambah kotor, menambah keuntungan yang dapat menstimulasi perekonomian. Berkurangnya pembalakan kayu, dari sudut pandang ekologi, adalah positif. Bila kebijakan pengenaan pajak ekspor dipercaya sebagai hal yang diinginkan untuk dilakukan, tarif pajak ekspor kayu bulat yang optimal perlu dihitung dan diberlakukan. Tarif pajak ekspor yang optimal tersebut akan menghasilkan dampak peningkatan kesejahteraan bagi perekonomian Indonesia, yaitu dengan cara menghasilkan total penerimaan tertinggi dari hasil produk perkayuan. Pelajaran-pelajaran dari diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat seharusnya memberikan peringatan bagi pemerintah Indonesia terhadap berbagai efek negatif yang dapat ditimbulkan dari berbagai kebijakan serupa. Berbagai pelajaran tersebut juga dapat membantu para pembuat keputusan untuk menghindari kegagalan pasar yang semakin parah akibat penerapan kebijakan yang kurang tepat. Pemerintah Indonesia seharusnya mempertimbangkan pengambilan langkahlangkah untuk meningkatkan harga kayu bulat domestik, yang saat ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar internasional. Harga kayu bulat domestik yang lebih tinggi akan mendorong para pemilik industri pengolahan kayu untuk menggunakan kayu bulat secara lebih efisien sedemikian sehingga limbah pada berbagai pabrik pengolahan kayu dan limbah di hutan akan berkurang. Harga kayu bulat domestik yang lebih tinggi juga akan meningkatkan penerimaan pemerintah melalui peningkatan penerimaan provisi sumber daya hutan (timber royalties) yang dibayar oleh perusahaan HPH. Selanjutnya, harga kayu bulat yang lebih tinggi akan mengurangi permintaan. Hal ini, pada gilirannya, akan mengurangi laju kerusakan hutan dan membantu pencapaian pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Akhirnya, peningkatan harga kayu bulat akan menyediakan insentif ekonomi untuk pembangunan hutan tanaman sebagai alternatif atau tambahan sumber pasokan bahan baku disamping dari eksploitasi hutan alam. Keberhasilan dalam pembangunan hutan tanaman dan pengelolaan hutan alam secara berkelanjutan akan menjamin suatu sumber bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu pada jangka panjang. Permasalahan penebangan liar dan penyelundupan kayu di/dari Indonesia tidak dapat diberantas dengan diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Pencurian kayu (over-cutting) dari hutan-hutan di luar Jawa sesungguhnya sudah terjadi sejak awal beroperasinya kegiatan pembalakan kayu perusahaan HPH. Tidak adanya 6

7 penegakan supremasi hukum secara benar dan konsisten, serta masih terus maraknya praktik KKN menyebabkan permasalahan penebangan liar dan penyelundupan kayu sangat sulit untuk dihentikan di/dari Indonesia. Penulis: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Staf Pengajar Fakultas Kehutanan dan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jakarta, 17 Oktober

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT PADA PERIODE TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT PADA PERIODE TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT PADA PERIODE 1985-1997 TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Suatu Analisis Kritis Paper for The World Bank - Jakarta Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja. 43 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi produk-produknya telah mampu memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan sejak dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran mulai dilakukan pada akhir tahun 1960-an. Eksploitasi sumber daya hutan tersebut

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenaitentang dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap kinerjainerja industri tepung terigu Indonesia

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT Data untuk membangun model ekonomi sebagaimana diuraikan pada Bab IV dianalisis untuk mendapatkan konfirmasi mengenai kualitas model yang dibangun,

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Ringkasan Eksekutif Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dan sebagian

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan yang luas, yaitu sekitar 127 juta ha. Pulau Kalimantan dan Sumatera menempati urutan kedua dan ketiga wilayah hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan

Lebih terperinci

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran *Contoh Kasus RAPP dan IKPP Ringkasan Sampai akhir Desember 27 realisasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya 33,34 persen dari total 1.37 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Salah satunya adalah kekayaan sumber daya alam berupa hutan. Sebagian dari hutan tropis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN Oleh: Nunung Parlinah dan Indartik Ringkasan Informasi tentang produksi dan peredaran kayu penting untuk diketahui dalam rangka memahami mekanisme

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas & Hirschey

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

EVALUASI KEBIJAKAN YANG MENDISTORSI PASAR KAYU (An Evaluation of Policies Distorting Timber Market )

EVALUASI KEBIJAKAN YANG MENDISTORSI PASAR KAYU (An Evaluation of Policies Distorting Timber Market ) I N F O S O S I A L E K O N O M I Vol. 3 No.1 (2003) pp. 10-18 EVALUASI KEBIJAKAN YANG MENDISTORSI PASAR KAYU (An Evaluation of Policies Distorting Timber Market ) Oleh/By Satria Astana, Subarudi, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kayu lapis merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir yang menggunakan bahan baku kayu log. Produk ini merupakan komoditi hasil pengembangan industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, seperti Indonesia serta dalam era globalisasi sekarang ini, suatu negara tidak terlepas dari kegiatan

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Sumber daya hutan menjadi pilihan Indonesia sebagai andalan sumber keuangan negara disamping minyak dan gas bumi. Hal ini didasari atas ketersediaan kayu hasil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

Herdiansyah Eka Putra B

Herdiansyah Eka Putra B ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI EKSPOR INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH KRISIS DENGAN MENGGUNAKAN METODE CHOW TEST PERIODE TAHUN 1991.1-2005.4 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

industri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu lndustri kayu lapis lndonesia di pasaran dunia mengalami

industri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu lndustri kayu lapis lndonesia di pasaran dunia mengalami I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kayu lapis merupakan salah satu produk hasil pengembangan industri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu bulatlkayu gelondongan (log). Produk ini merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri kecil dan menengah, termasuk industri mebel merupakan hal yang penting bagi Indonesia karena selain memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa, juga menciptakan lapangan

Lebih terperinci

DIBALIK RUSAKNYA HUTAN INDONESIA

DIBALIK RUSAKNYA HUTAN INDONESIA DIBALIK RUSAKNYA HUTAN INDONESIA Laju deforestasi yang sedang terjadi sekarang ini tidak kurang dari 2 juta hektar per tahun, atau dua kali lebih cepat dibandingkan dengan laju deforestasi pada tahun 1980-an

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau bahan berkayu (hasil hutan atau hasil perkebunan, limbah pertanian dan lainnya) menjadi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang penelitian Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Pembangunan industri akan terus didorong perannya karena

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemasaran barang dan jasa. Dalam merebut pangsa pasar, kemampuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemasaran barang dan jasa. Dalam merebut pangsa pasar, kemampuan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Arus globalisasi ekonomi dan proses liberalisasi perdagangan merupakan kenyataan yang saat ini semakin berkembang dari segi globalisasi produksi sampai dengan

Lebih terperinci

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA

DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA ISSN 1410-1939 DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA FOREST DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA Nursanti Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.395, 2012 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Ketentuan Umum. Bidang Ekspor. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/M-DAG/PER/3/2012 TENTANG KETENTUAN UMUM DI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat diperlukan terutama untuk negara-negara yang memiliki bentuk perekonomian terbuka.

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Satria Astana, Soenarno, dan OK Karyono Ringkasan Rekomendasi 1. Kebijakan kenaikan DR dan PSDH sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur. Industri manufaktur dipandang sebagai pendorong atau penggerak perekonomian daerah. Seperti umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Sektor Kehutanan, Tahun 2015 Direktorat Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas sehingga terkait satu sama lain. Aliran dana bebas keluar masuk dari satu negara ke negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian di dalam negeri maupun di dunia internasional. Dampak yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hutan di Indonesia adalah sumber daya alam yang merupakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 No. 06/02/62/Th. VI, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah tahun 2011 (kumulatif tw I s/d IV) sebesar 6,74 persen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan memiliki arti penting bagi negara. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mencerminkan potensi ekonomi yang besar dan strategis bagi pembangunan nasional. Kekayaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sebagai negara small open economy yang menganut sistem devisa bebas dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap serangan krisis

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan net ekspor baik dalam 219 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan 8.1.1. Berdasarkan pengujian, diperoleh hasil bahwa guncangan ekspor nonagro berpengaruh positip pada kinerja makroekonomi Indonesia, dalam

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Cadangan devisa merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk menunjukan kuat atau lemahnya fundamental perekonomian suatu negara. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental adalah metode analisis yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan. Teknis ini menitik beratkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas wilayah 750 juta hektar (ha) dengan luas daratan sekitar 187.91 juta ha. Sebesar 70 persen dari daratan tersebut merupakan kawasan hutan. Berdasarkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA Menimbang Mengingat : a. bahwa terhentinya eksport kayu

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kajian Penelitian Peranan Ekonomi Kehutanan Peranan ekonomi kehutanan antara lain dapat ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan alam dalam peningkatan devisa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor perkebunan, kehutanan dan perikanan selama krisis ekonomi

I. PENDAHULUAN. Sektor perkebunan, kehutanan dan perikanan selama krisis ekonomi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perkebunan, kehutanan dan perikanan selama krisis ekonomi terbukti sebagai sektor yang selain mampu bertahan, juga dapat terus berkembang terbukti dengan naiknya

Lebih terperinci

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Indonesia Sawntimber & Woodworking Association (ISWA) Asosiasi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tekstil merupakan industri penting sebagai penyedia kebutuhan sandang manusia. Kebutuhan sandang di dunia akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG GUBERNUR GORONTALO KEPUTUSAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 252 / 17 / VI /2015 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU KEPADA CV. SINAR ZIPOK DI KABUPATEN BOALEMO PROVINSI GORONTALO GUBERNUR

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N :

M E M U T U S K A N : MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6884 /KPTS-II/2002 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA EVALUASI TERHADAP INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU Menimbang : MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and

BAB I PENDAHULUAN. Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku laporan State of the World's Forests yang diterbitkan oleh Food and Agricultural Organization (FAO) menempatkan Indonesia di urutan kedelapan dari sepuluh negara

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA Oleh : Apul Sianturi 1) Adanya isu sentral tentang pengelolaan hutan produksi alam yang lestari merupakan bukti semakin tingginya tuntutan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam baik sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci