IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja."

Transkripsi

1 43 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta m 3 per tahun. Produksi kayu bulat dari hutan alam pernah mencapai lebih dari 20 juta m 3 sebelum tahun 1998 dan lebih dari 10 juta m 3 pada periode tahun Pada masa lalu, satu perusahaan (Hak Pengusahaan Hutan/ HPH) bisa memiliki luas wilayah kelola ratusan ribu Ha, namun pada saat ini ada perusahaan yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja. Tahun Sumber: Departemen Kehutanan, 2006a dan Departemen Kehutanan, 2007; Kementerian Kehutanan, 2011 Gambar 4. Produksi Kayu Bulat HPH Produksi kayu bulat sebagian besar berasal dari hutan produksi yang dikelola oleh perusahaan melalui sistem Hak Pengusaha Hutan (HPH) dan Hak

2 44 Pengusaha Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Selain berasal dari HPH dan HPHTI, kayu bulat juga berasal dari hasil land clearing konversi hutan, produksi perum perhutani dan hutan rakyat. Saat ini produksi kayu bulat yang bersumber dari HTI menunjukan peningkatan dibanding kayu bulat dari sumber lainnya. Kayu bulat yang berasal dari HTI umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk kebutuhan industri pengolahan pulp. Perkembangan produksi kayu bulat yang berasal dari selain HPH dapat dilihat pada Gambar 5. Juta m3 Tahun Sumber: Departemen Kehutanan, 2006a dan Departemen Kehutanan, 2007; Kementerian Kehutanan, 2011 Gambar 5. Produksi Kayu Bulat Non HPH Pada tahun 2005 produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri, izin sah lainnya, dan yang berasal dari areal konversi berjumlah juta m 3, dimana produksi dari HPH memberikan kontribusi sebesar 5.69 juta m 3, HTI sebesar juta m 3, Perum Perhutani 0.76 juta m 3, dan yang berasal dari konversi/ipk sebesar 3.61 juta m 3, serta dari Izin Sah Lainnya sebesar 1.31 juta m 3. Produksi kayu bulat yang berasal daru HTI mulai menunjukan kenaikan setelah tahun Untuk kegiatan IPK juga masih cukup besar

3 45 menghasilkan produk kayu pada tahun 2009 dan tahun Berdasarkan data FAO, produksi rata-rata kayu bulat Indonesia dalam rentang tahun 1975 sampai tahun 2009 berjumlah 34 juta m 3 (FAO, 2011). Sebagai penyedia kayu bulat untuk kebutuhan industri pengolahan berbasis kayu, kualitas hutan menjadi faktor kunci penentu penyediaan kayu bulat. Luas penutupan hutan (forest cover) Indonesia mencapai sekitar juta Ha atau sebesar 71 persen luas daratan Indonesia, dimana 60.9 juta Ha merupakan hutan alam produksi, terdiri dari hutan alam produksi primer sebesar 14.8 juta Ha (24.3 persen), hutan alam produksi sekunder 21.6 juta Ha (35.5 persen) dan hutan tanaman seluas 2.4 juta Ha (3.9 persen), dan wilayah bukan-hutan seluas 18.4 juta Ha (30.2 persen). Sampai Juni 2005, jumlah perusahaan pemilik izin HPH/IUPHHK sebanyak 281 unit, mengelola hutan 27.1 juta Ha yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 303 unit dengan luas wilayah kelola 28.1 juta Ha pada Agustus Namun dari jumlah itu, yang aktif hanya sekitar 149 unit dengan luas 14.6 juta Ha. Adapun jumlah HPH/ IUPHHK yang tidak aktif beroperasi sejumlah 154 unit dengan luas 17.3 juta ha. Produksi kayu bulat yang dihasilkan pada tahun 2006 berasal dari 16 provinsi, dimana produksi terbesar dihasilkan oleh Provinsi Kalimantan Timur, sebesar 3.9 juta m 3, dengan komposisi dari HPH sebesar 1.9 juta m 3, IPK sebesar 1.4 juta m3, HTI sebesar m3. Daerah Penghasil terbesar kayu bulat dari HTI yaitu Provinsi Riau sebesar 6.7 juta m 3. Jumlah HPH/IUPHHK dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan, dimana pada tahun 2008 jumlah HPH yang aktif beroperasi sebanyak 308 unit, mengelola areal seluas 26.1 Ha, kemudian pada tahun 2009 menurun jumlahnya

4 46 menjadi 304 unit, mencakup luas areal kelola 25.7 Ha. Jumlah HTI mengalami peningkatan menjadi 165 unit pada tahun 2008 dan 206 unit pada tahun Dari 45 perusahaan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Kayu Pulp, sebanyak 12 perusahaan berkontribusi 73 persen dari total produksi. Sementara, dari 166 perusahaan IUPHHK-Hutan Tanaman Kayu Perkakas, hanya 32 perusahaan dengan luas tanaman masing-masing sekitar Ha, berkontribusi sekitar 61 persen dari total produksi. Produksi kayu perkakas yang berasal dari hutan tanaman yang dikelola Perum Perhutani menurun sangat tajam pada periode , dari produksi sebesar 1.87 juta m 3 pada tahun 1994 menjadi 0.76 juta m 3 pada tahun Industri Pengolahan Berbasis Kayu Ekspor hasil hutan terbesar tahun 2006 adalah kayu lapis yang mencapai nilai US$ 1.5 milyar, dan kemudian disusul oleh ekspor pulp, sebesar US$ 1.1 milyar. Selain melakukan kegiatan ekspor hasil industri pengolahan kayu, Indonesia juga melakukan impor kayu bulat, dan impor terbesar mencapai sekitar US$ 542 juta. Pemerintah Indonesia sangat mendorong peningkatan pertumbuhan industri perkayuan. Data mengenai hasil industri perkayuan, menyebutkan bahwa produksi kayu gergaji (sawn timber) meningkat dari 4.8 juta m 3 pada tahun 1980 menjadi 7.1 juta m 3 pada tahun Hasil produksi kayu gergaji terbesar yaitu sejumlah 10.4 juta m 3 pada tahun 1989 dan kemudian produksi kayu gergaji menurun kembali menjadi 4.3 juta m 3 pada tahun Pada tahun 2008 produksi kayu gergaji 0.53 juta m 3, dan pada tahun 2009 produksi kayu gergaji sebesar 0.71 juta

5 47 m 3, yang berasal dari IPHHK dengan kapasitas di atas m 3 per tahun (Kementerian Kehutanan, 2010). Hampir 90 % anggota Indonesia Sawmill and Woodworking Association (ISWA) merupakan perusahaan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan tidak mempunyai HPH. Jumlah perusahaan yang terdaftar di BRIK dan berorientasi ekspor saat ini berkisar perusahaan, namun yang aktif dari tahun ke tahun menurun, dimana pada tahun 2006 hanya berjumlah 602 perusahaan. Total ekspor tahun 2006 berjumlah 2.3 juta m 3 dengan nilai US$ 1.29 milyar. Angka ini hampir sama dengana ekspor total tahun 2005 berjumlah 2.4 juta m 3 dengan nilai US$ 1,27 milyar. Negara tujuan utama ekspor woodworking adalah Jepang disusul China (Kementerian Kehutanan, 2007). Produksi kayu lapis dan vinir juga mengalami peningkatan dari 1 juta m 3 pada tahun 1980 menjadi 8.3 juta m 3 pada tahun Puncaknya mencapai produksi sebesar 9.7 juta m 3 pada tahun 1997 yang kemudian turun menjadi hanya sebesar 4.7 juta m 3 pada tahun Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat bahwa jumlah anggotanya per 6 Oktober 2006 adalah 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m 3 /tahun dimana hanya 19 unit yang berproduksi normal (1.54 juta m 3 /tahun). Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (2010), total ekspor kayu lapis tahun 2009 berjumlah 1.5 juta ton (atau setara dengan 2.4 juta m 3 ) dengan nilai US$ 1.31 milyar. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan total ekspor pada tahun 2005, yaitu sebesar 2.2 juta ton (atau setara dengan 3.4 juta m 3 ) dengan nilai US$ 1.37 milyar. Negara tujuan utama ekspor kayu lapis adalah Jepang, Amerika Serikat dan Inggris.

6 48 Produksi pulp meningkat dari sekitar 0.5 juta ton pada tahun 1989 menjadi 3.1 juta ton pada tahun 1997, dan menjadi 5.4 juta ton pada tahun 2005 (APKI, 2005). Total produksi hasil hutan lainnya yaitu woodworking, blockboard, particleboard dan chips berkisar antara 0.1 juta m 3 sampai 2.3 juta m 3 selama rentang tahun (Departemen Kehutanan, 2006b). Produksi pulp tahun 2009 mencapai 4.6 juta ton (Kementerian Kehutanan, 2010). Data selengkapnya dari perkembangan industri pulp dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Simangunsong, at al. (2007) dalam Road Map Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.4 juta Adt (airdried ton) pada tahun 2005, dan 86 persen dari kapasitas terpasang tersebut berlokasi di Sumatera. Sementara itu, 53 persen dari pabrik pulp dan kertas merupakan perusahaan swasta PMA (Private Company Foreign Investments). Tahun Sumber: Food Agriculture Organization, 2011 Gambar 6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun

7 49 Total produksi pulp Indonesia pada tahun 2005 mencapai 5.4 juta Adt dengan jumlah ekspor sebesar 2.5 Adt. Sementara, jumlah impor pulp pada tahun tersebut adalah 0.89 juta Adt. Pada tahun 2005 tersebut, Indonesia merupakan negara produsen pulp nomor 9 dan produsen kertas nomor 12 di dunia. Selama periode tahun , kapasitas terpasang industri pulp meningkat dari 5.2 juta Adt pada tahun 2000 menjadi 6.4 juta Adt pada tahun Peningkatan kapasitas terpasang juga diiringi dengan peningkatan pemanfaatan kapasitas tersebut (installed capacity utilization rate) sebesar 6.6 persen, sehingga produksi pulp meningkat tajam pada periode tersebut, sebesar 33.8 persen. Lebih lanjut, meskipun konsumsi pulp meningkat dengan laju pertumbuhan yang rendah (7.7 persen) namun karena impor juga meningkat sebesar 15.8 persen, maka ekspor pada tahun 2005 sebesar hampir dua kali lipat daripada ekspor tahun Pada periode tahun 2000 sampai tahun 2005 kapasitas terpasang industri pulp yang beroperasi di Indonesia sekitar 80 persen. Pada tahun 2005 kapasitas terpasang kemudian meningkat menjadi 84.8 persen. Pada tahun 2009 ekspor pulp dari Indonesia mencapai angkat 2.4 juta ton dengan nilai sebesar US$ 0.9 Milyar. Negara importir utama pulp Indonesia adalah China sebanyak 44 persen, diikuti Republic of Korea sebanyak 24 persen, Perancis sebanyak 7 persen, Italy sebanyak 6 persen, serta Jepang sebanyak 6 persen. Pada periode , sebanyak 73 persen dari pertumbuhan kapasitas industri pulp dunia merupakan kontribusi dari tiga negara, yaitu Brazil, Indonesia, dan China, meskipun kapasitas industri pulp dari tiga negara tersebut hanya 10 persen dari total kapasitas.

8 Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Sejak awal tahun 1970-an, Hak pengusahaan hutan (HPH) merupakan penopang utama yang digunakan untuk memproduksi kayu bulat guna pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu bulat bagi industri berbasis kayu. Sejak saat itu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, perusahaan diberikan kewenangan untuk mengelola hak selama 20 tahun dan hak ini dapat diperbaharui kembali berdasarkan konsep hak pengusahaan (utilization right) (Seve, 1999; Gautam, et.al, 2000) dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang merevisi ketentuan pemohon HPH yang selama ini banyak dikelola oleh perusahaan asing. Dengan konsep ini maka perusahaan diminta untuk mengelola areal pengelolaannya berdasarkan rencana jangka panjang (Rencana Karya Pengusahaan Hutan/RKPH) selama 20 tahun, rencana jangka menengah (Rencana Karya Lima Tahun/RKL) selama 5 tahun dan rencana jangka pendek (Rencana Tahunan/RKT). Sistem pengelolaan hutan (silvikultur pengelolaan hutan) atau dikenal dengan nama Tebang Pilih Tanam (TPTI), diperkenalkan sejak tahun 1989, dan menjadi dasar didalam pelaksanaan penebangan kayu dari hutan alam produksi. Atas dasar ini, maka perusahaan menggunakan rotasi penebangan selama 35 tahun, dengan melakukan penebangan pohon yang berdiameter setinggi dada (diameter breath height) lebih dari 50 cm. Sistem TPTI ini menggantikan sistem penebangan yang digunakan sebelumnya, Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sejak tahun 1985 dilakukan ekspansi industri pengolahan kayu, dan untuk menyediakan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu di dalam negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat. Sejak saat itu

9 51 pembangungan industri pengolahan kayu semakin meningkat. Surat Keputusan Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980 mengharuskan pemilik HPH untuk mengkaitkan diri dengan industri pengolahan kayu. Kondisi ini kemudian menciptakan perdagangan log secara internal dari pemilik HPH ke industri pengolahnya dalam satu kelompok (group) perusahaan. Kebijakan ini kemudian menyebabkan terjadinya penurunan ekspor kayu bulat secara bertahap dari tahun ke tahun hingga tahun terakhir PELITA III, sebesar 1.5 juta m3, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak diperbolehkan. Walaupun bisa bebas menjual kayu bulat ke perusahaan industri pengolah kayu, namun perusahaan HPH memprioritaskan kepada perusahaan industri kayu dalam satu perusahaan induk, dan apabila terdapat kelebihan produksi kayu bulat baru dijual ke perusahaan lainnya. Pada saat itu, walaupun tidak ada harga dunia untuk kayu bulat Indonesia, tetapi terdapat harga domistik yang belum sempurna (Timotius, 2000). Untuk menghindari klaim internasional yang mengangap kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat dari Indonesia sebagai non-tariff barrier, pemerintah kemudian mencabut kebijakan tersebut pada tanggal 27 Mei 1992 dan menggantinya dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi (prohibitive export tax) sebesar USD 500 USD per m 3 kayu bulat, dan berlaku mulai Juni 1992 (Simangunsong, 2004). Food Association Organization (FAO) dan Departemen Kehutanan melaporkan bahwa produksi hasil hutan utama Indonesia tahun 1980 adalah kayu bulat, diikuti kayu gergajian dan kayu lapis demikian pula dengan hasil hutan yang diekspor. Produksi kayu bulat menurun drastis pada tahun 1985, sementara produksi dan ekspor kayu gergajian dan kayu lapis meningkat sangat tajam pada

10 52 tahun yang sama. Ekspor kayu lapis pada saat itu bahkan melebihi ekspor kayu gergajian. Sejak tahun 1985 Departemen Kehutanan tidak melaporkan data ekspor kayu bulat (Simangunsong, 2004). Justianto (2005) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, yaitu: 1. Pengurangan Jatah Produksi Tahunan dari Hutan Alam (Soft landing); Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan pengurangan Jatah Produksi Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) pada hutan alam secara bertahap, sampai pengurangannya sekitar 50 persen dari tebangan pada tahun Kebijakan ini mempunyai implikasi terhadap penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan mengurangi pasokan kayu bagi industri pengolahan kayu. Pengurangan AAC dimaksudkan agar industri pengolahan kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan pasokan bahan baku maka tidak mengakibatkan shock landing pada industri tersebut. 2. Pelarangan ekspor kayu bulat; Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah terhadap kayu bulat dengan terlebih dulu diolah melalui industriindustri pengolahan kayu domestik seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan industri kertas. Implikasi dari kebijakan ini adalah meningkatnya pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu domestik. 3. Restrukturisasi sektor (industri) kehutanan; Restrukturisai industri kehutanan ditujukan untuk meningkatkan efesisensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi restrukturisasi sub-sistem sumberdaya seperti

11 53 sistem pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman serta sub-sistem pemanfaatan yaitu industri pengolahan hasil hutan. Dalam kaitannya dengan restrukturisai industri pengolahan kayu, penurunan kapasitas dan penutupan industri pengolahan kayu, dilakukan dalam kerangka meningkatkan dayasaing industri kehutanan tersebut. 4. Pemberian insentif untuk pembangunan hutan tanaman; Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong pembangunan hutan tanaman yang produksi kayunya diharapkan dapat mengganti produksi kayu dari hutan alam melalui pemanfaatan Dana Reboisasi (DR) untuk pembiayaan hutan tanaman. Setelah terjadi krisis ekonomi, pemerintah menurunkan pajak ekspor kayu bulat menjadi maksimum 10 persen sebelum Desember 2000 dan 0 persen pada tahun Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu bulat berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil (Simangunsong, 2004 dan Sukmananto, 2007). Sementara itu, muncul keluhan dari pengusaha industri pengolahan kayu mengenai kesulitan mendapatkan bahan baku kayu bulat untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Merespon keluhan tersebut, pemerintah kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts- II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292/MPP/Kep/10/2001, tertanggal 8 Oktober 2001 (Simangunsong, 2004). Penerapan kebijakan cukup kontroversial adalah kebijakan soft landing, kebijakan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan masing-masing sebesar 10 persen pada tahun 2004 dan 2005 (Sukmananto, 2007).

12 54 Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) atau dulu dikenal sebagai Iuran Hasil Hutan (IHH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instriktik atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Sedangkan, Dana Reboisai (DR) adalah dana yang dipungut atas hasil hutan yang dipungut dari hutan alam. Besarnya PSDH bervariasi tergantung jenis kayunya, ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Pada tahun ditetapkan berdasarkan mata uang dollar Amerika per m 3 yaitu antara US$ US$ 3 per m 3, kemudian pada tahun ditetapkan dengan mata uang rupiah yaitu Rp per m 3, kemudian pada tahun ditetapkan sebesar Rp Rp per m 3. Mulai Juni 1979 sampai sekarang besarnya PSDH ditetapkan berdasarkan persentase dari harga patokan kayu bulat dalam negeri (Sukmananto, 2007). Kebijakan Dana Reboisasi (DR) dikenakan mulai tahun 1968, dan sampai tahun 1979 merupakan Dana Jaminan Reboisasi (DJR) yang dapat diminta kembali seluruhnya oleh pemegang HPH apabila HPH yang bersangkutan telah melaksanakan kewajiban reboisasi dan rehabilitasi di areal kerjanya. Sejak tahun 1980 pelaksanaan reboisasi diambil alih oleh pemerintah dan DJR diganti dengan DR, dimana besarnya DR yang harus dibayar tergantung jenis kayunya. Untuk kayu kelompok meranti pada tahun ditetapkan sebesar US$ 4 per m 3, pada tahun sebesar US$ 15 per m 3, dan mulai 1999, berdasarkan PP 5/1999 ditetapkan tarif DR sebesar US$ untuk kelompok jenis meranti, tergantung wilayah produksinya.

13 Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Berdasarkan perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang berlaku di Indonesia, kehutanan termasuk salah satu sub-sektor yang berada di dalam lingkup sektor pertanian. Dalam sistem perhitungan PDB dan PDRB yang berlaku saat ini, yang diperhitungkan PDB sub-sektor kehutanan terfokus pada sektor hulu dan industri primer pengolahan hasil hutan. Sedangkan, kegiatan di sektor hilir dan industri pengolahan hasil hutan lanjutan tidak termasuk nilai tambah yang diperhitungkan dalam sub-sektor kehutanan. Perkembangan PDB sektor kehutanan atas dasar harga nominal dan harga riil disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto Sektor kehutanan Sumber: Kementerian Kehutanan, 2011 Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa PDB sektor kehutanan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. PDB sektor kehutanan tahun 1993 nilai nominalnya kurang dari Rp 5 Trilyun, sepuluh tahun kemudian, tahun 2003 meningkat lebih dari dua kali mendekati angka Rp 20 Trilyun. Rata-rata PDB

14 56 sektor kehutanan mengalami peningkatan 20 persen per tahun. Sianturi (2007) menyebutkan terdapat peranan HPH yang cukup besar dalam ekonomi kayu. Tabel 4. Kontribusi Sub-Sektor Kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Selama 13 tahun Terakhir No. TAHUN PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) (Miliar Rupiah) Kontribusi Sub Sektor Kehutanan terhadap PDB Kehutanan Total PDB ( persen) Sumber : Departemen Kehutanan, 2008 dan Kementerian Kehutanan, 2011 Produk Domestik Bruto Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat, namun kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB justru menurun, sebagaimana data pada Tabel 4. Sejak tahun 2002 kontribusi kehutanan terhadap PDB mengalami kenaikan karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2002 disebutkan bahwa pengelolaan kegiatan industri yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, dan veneer dialihkan dari Departemen Perindustrian ke Departemen Kehutanan. Walaupun telah menjadi kontribusi sektor kehutanan pada PDB Indonesia, angkanya masih relatif kecil dibandingkan kontribusi sektor-sektor lain terhadap PDB nasional. Rata-rata kontribusi sub-sektor kehutanan terhadap PDB kurang dari 2 persen.

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1998 rasio ekspor terhadap

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah

Lebih terperinci

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Indonesia Sawntimber & Woodworking Association (ISWA) Asosiasi

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Implikasi Kebijakan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya

Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Perkembangan Bisnis Kehutanan Indonesia dan Permasalahannya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) Indonesia Sawntimber & Woodworking Association (ISWA) Asosiasi

Lebih terperinci

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi

lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Ringkasan Rekomendasi lmplikasi Kebijakan Kenaikan DR.dan PSDH terhadap Laba Pengusaha Hutan Alam dan PNBP Sektor Kehutanan Satria Astana, Soenarno, dan OK Karyono Ringkasan Rekomendasi 1. Kebijakan kenaikan DR dan PSDH sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji

Lebih terperinci

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN

POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN POSTUR INDUSTRI DAN PERDAGANGAN PRODUK KEHUTANAN (ARAH PENGEMBANGAN SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA DI MASA MENDATANG) Dr. DAVID Dewan Pengurus APHI Disampaikan pada Seminar Kehutanan Indonesia dalam kancah

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN SISTEM DAN KEBUTUHAN BAHAN BAKU INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI KALIMANTAN SELATAN Oleh : Rachman Effendi 1) ABSTRAK Jumlah Industri Pengolahan Kayu di Kalimantan Selatan tidak sebanding dengan ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah

Lebih terperinci

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA I. PENDAHULUAN Sumberdaya yang potensinya tinggi dan sudah diakui keberadaannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan yang luas, yaitu sekitar 127 juta ha. Pulau Kalimantan dan Sumatera menempati urutan kedua dan ketiga wilayah hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia

Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia In-house Experts Working Group Revitalisasi Industri Kehutanan DEPARTEMEN KEHUTANAN 2007 Penyusun: E.G. Togu Manurung Ch. Bintang Simangunsong Doddy S.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS

Lebih terperinci

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Sektor Kehutanan, Tahun 2015 Direktorat Penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Ringkasan Eksekutif Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dan sebagian

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA Oleh : Apul Sianturi 1) Adanya isu sentral tentang pengelolaan hutan produksi alam yang lestari merupakan bukti semakin tingginya tuntutan yang

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005

Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005 Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005 DESKRIPSI PRINSIP/KRITERIA/ DETERMINAN MENURUT VERSI 1.0 PRINSIP 1. PENGUASAAN LAHAN DAN HAK PEMANFAATAN Status hukum dan hak penguasaan Unit Pengelolaan

Lebih terperinci

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV.1. Izin Usaha Industri Primer Hasil Kayu Industri Primer Hasil Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 A. Dasar Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri di Indonesia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri di Indonesia yang memiliki BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri di Indonesia yang memiliki prospek yang cerah di masa mendatang yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kayu lapis merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir yang menggunakan bahan baku kayu log. Produk ini merupakan komoditi hasil pengembangan industri

Lebih terperinci

Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia. menurunkan bahan baku IPK

Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia. menurunkan bahan baku IPK Cakupan Paparan : Outlook industri pulp dan kertas (IPK) Gambaran luasan hutan di indonesia Kebutuhan bahan baku IPK Pasal-pasal regulasi gambut yang berpotensi menurunkan bahan baku IPK Potensial loss

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.398/MENHUT-II/2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.398/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.398/MENHUT-II/2005 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. INTRADO JAYA INTIGA

Lebih terperinci

V. PRODUKSI HASIL HUTAN

V. PRODUKSI HASIL HUTAN V. PRODUKSI HASIL HUTAN V.1. Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat dapat berasal dari Hutan Alam dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Salah satunya adalah kekayaan sumber daya alam berupa hutan. Sebagian dari hutan tropis

Lebih terperinci

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN

PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN PENGHITUNGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR KEHUTANAN Disajikan Dalam Rapat Rekonsialiasi Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017 Dr. Ir. Suhaeri Pusat Data dan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM PT. MANCARAYA AGRO MANDIRI ATAS

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. MULTI SIBOLGA TIMBER

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN Oleh: Nunung Parlinah dan Indartik Ringkasan Informasi tentang produksi dan peredaran kayu penting untuk diketahui dalam rangka memahami mekanisme

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi produk-produknya telah mampu memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau bahan berkayu (hasil hutan atau hasil perkebunan, limbah pertanian dan lainnya) menjadi berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi

I. PENDAHULUAN. ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Salah satu subsektor agroindustri yang berkembang pesat di Indonesia pada saat ini adalah industri pulp dan kertas. Ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi pentingnya

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.45/MENHUT-II/2006 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.45/MENHUT-II/2006 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.45/MENHUT-II/2006 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. INHUTANI I (UNIT PANGEAN)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha.

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha. A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas 26.859.188 ha. 2. Progres penyelesaian permohonan melalui lelang IUPHK-HA sebagai penyelesaian PP

Lebih terperinci

KEBIJAKAN REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN KHUSUSNYA INDUSTRI KEHUTANAN DAN HASIL YANG DICAPAI

KEBIJAKAN REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN KHUSUSNYA INDUSTRI KEHUTANAN DAN HASIL YANG DICAPAI KEBIJAKAN REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN KHUSUSNYA INDUSTRI KEHUTANAN DAN HASIL YANG DICAPAI ARAH KEBIJAKAN REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN KHUSUSNYA INDUSTRI KEHUTANAN Mendukung kebijakan nasional triple

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

Industri Pengolahan Kayu

Industri Pengolahan Kayu Kertas Kerja No. 08 Industri Pengolahan Kayu Evolusi terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan, dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu Oktober 2004 Joint Secretariat: Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 32 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 29 TAHUN 1990 TENTANG DANA REBOISASI SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH, TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR

Lebih terperinci

this file is downloaded from

this file is downloaded from MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA th file Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 128/Kpts-II/2003 TENTANG PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PENGENAAN, PEMUNGUTAN, PEMBAYARAN DAN PENYETORAN DANA REBOISASI

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.393/MENHUT-II/2005 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.393/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.393/MENHUT-II/2005 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. WANA INTI KAHURIPAN

Lebih terperinci

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN

PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN PENGUMPULAN DATA KEHUTANAN TRIWULANAN 2014 PEDOMAN PENCACAHAN BADAN PUSAT STATISTIK ii KATA PENGANTAR Kegiatan pengumpulan Data Kehutanan Triwulanan (DKT) dilakukan untuk menyediakan data kehutanan per

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya dengan bercocok tanam. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan

Lebih terperinci

PERAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DALAM MENDORONG INOVASI PRODUK DI INDUSTRI PULP DAN KERTAS

PERAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DALAM MENDORONG INOVASI PRODUK DI INDUSTRI PULP DAN KERTAS PERAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DALAM MENDORONG INOVASI PRODUK DI INDUSTRI PULP DAN KERTAS Jakarta, 27 Mei 2015 Pendahuluan Tujuan Kebijakan Industri Nasional : 1 2 Meningkatkan produksi nasional. Meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang

Lebih terperinci

industri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu lndustri kayu lapis lndonesia di pasaran dunia mengalami

industri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu lndustri kayu lapis lndonesia di pasaran dunia mengalami I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kayu lapis merupakan salah satu produk hasil pengembangan industri hilir pengolahan kayu yang menggunakan bahan baku kayu bulatlkayu gelondongan (log). Produk ini merupakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Landasan Teori Landasan teori mengenai penawaran dan permintaan barang dan jasa serta elastisitas harga dan mekanisme keseimbangan pasar secara umum berlaku sebagai landasan

Lebih terperinci

Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional

Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional Herry Suhermanto *) I Pendahuluan Hutan merupakan elemen alam yang dapat diperbaharui (renewable). Oleh karenanya, pemerintah memandang hutan sebagai

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Oktober 2008 INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Pada Oktober 2008, pertumbuhan tertinggi secara tahunan terjadi pada produksi kendaraan niaga, sementara secara bulanan terjadi pada produksi kendaraan non niaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang penelitian Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Pembangunan industri akan terus didorong perannya karena

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PNBP SDA KEHUTANAN. Jakarta 9 Oktober 2015

PENGELOLAAN PNBP SDA KEHUTANAN. Jakarta 9 Oktober 2015 PENGELOLAAN PNBP SDA KEHUTANAN Jakarta 9 Oktober 2015 1 Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 3. Undang-Undang Nomor 33

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran mulai dilakukan pada akhir tahun 1960-an. Eksploitasi sumber daya hutan tersebut

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. KELAWIT WANALESTARI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. RIMBA KARYA RAYATAMA

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenaitentang dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap kinerjainerja industri tepung terigu Indonesia

Lebih terperinci

*47505 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 32 TAHUN 1998 (32/1998) TENTANG

*47505 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 32 TAHUN 1998 (32/1998) TENTANG Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 32/1998, PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 29 TAHUN 1990 TENTANG DANA REBOISASI SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH, TERAKHIR DENGAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 53

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENAWARAN KAYU BULAT HUTAN ALAM DI INDONESIA DIENA FEBRIANTY

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENAWARAN KAYU BULAT HUTAN ALAM DI INDONESIA DIENA FEBRIANTY ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENAWARAN KAYU BULAT HUTAN ALAM DI INDONESIA DIENA FEBRIANTY DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN Ministry of Forestry 2008 KATA PENGANTAR Penyusunan Buku Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2008 ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan data

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. KARYA WIJAYA SUKSES

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka dimana lalu lintas perekonomian internasional sangat penting dalam perekonomian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. NUSA PADMA CORPORATIAON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

Form. Surat Keputusan Pembaharuan IUI

Form. Surat Keputusan Pembaharuan IUI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.70/Menhut-II/2006 TANGGAL : 6 Nopember 2006 TENTANG : Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 300/Kpts-II/2003 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMEIRNTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1998 TENTANG PROVISI SUMBER DAYA HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hutan di Indonesia adalah sumber daya alam yang merupakan

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA Menimbang Mengingat : a. bahwa terhentinya eksport kayu

Lebih terperinci

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN Hasil Pemantauan di Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2009 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2009 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2009 TENTANG PENDAFTARAN ULANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN No. 026/08/63/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2009 terhadap triwulan I-2009 (q to q) mencapai angka 16,68 persen. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Lampiran I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.24/Menhut-II/2009 TANGGAL : 1 April 2009

Lampiran I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.24/Menhut-II/2009 TANGGAL : 1 April 2009 Lampiran I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.24/Menhut-II/2009 TANGGAL : 1 April 2009 Format Surat Permohonan Nomor :.., Lampiran : Perihal : Pendaftaran ulang IUI-PHHK Kepada Yth....*) di... Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu usaha dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi adalah peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan. Pentingnya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tekstil merupakan industri penting sebagai penyedia kebutuhan sandang manusia. Kebutuhan sandang di dunia akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017 Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017 A. Overview Sektor agribisnis perkebunan Kelapa Sawit Indonesia telah berkembang dari waktu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d

2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1247, 2015 KEMEN LH-HK. Hasil. Hutan Kayu. Penatausahaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.42/Menlhk-Setjen/2015

Lebih terperinci