Simulasi Dan Analisis Kebijakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Simulasi Dan Analisis Kebijakan"

Transkripsi

1 Bab VI. Simulasi Dan Analisis Kebijakan Dalam bab ini akan dipaparkan skenario-skenario serta analisis terhadap perilaku model dalam skenario-skenario. Model yang disimulasi dengan skenario-skenario terpilih selain ditujukan untuk memahami permasalahan yang terjadi, juga digunakan untuk melakukan prediksi ketersediaan airtanah di masa datang akibat adanya intervensi kebijakan. VI.1 Perilaku Model Pada Skenario Dasar Model dinamis yang dibangun dan telah memenuhi uji validitas dapat menggambarkan keadaan sebenarnya (real) di wilayah studi. Model itu kemudian dianggap sebagai skenario dasar, yaitu model yang belum diberi perubahan perlakuan apapun. Analisis terhadap perilaku model pada skenario dasar tanpa adanya kebijakan atau intervensi adalah upaya untuk melihat kecenderungan perkembangan perilaku variabel-variabel di masa datang. Dengan memahami kecenderungan perilaku tersebut, dapat dipahami variabel-variabel mana yang berpengaruh terhadap isu yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu keberlanjutan ketersediaan airtanah. Analisis terhadap perilaku pada skenario dasar difokuskan terhadap variabel-variabel yang merupakan indikator yang dapat menunjang dan menjadi petunjuk mengenai berhasil tidaknya suatu upaya pemulihan airtanah. Waktu awal simulasi adalah tahun 2000, ketika kebijakan pajak airtanah terhadap industri belum diterapkan. Simulasi dilanjutkan hingga tahun 2050 dengan pertimbangan bahwa proses pemulihan airtanah membutuhkan waktu yang sangat panjang sehingga rumusan kebijakan yang akan diterapkankan pun harus dapat bersifat mengatur untuk jangka waktu yang cukup panjang. Selain itu, waktu simulasi dari saat sebelum kebijakan pajak airtanah diterapkan dipilih karena peneliti ingin melihat perilaku konsumsi airtanah khususnya industri pada saat sebelum kebijakan pajak airtanah diterapkan dibandingkan dengan kondisi 76

2 sesudah kebijakan tersebut diterapkan. Pada dasarnya pajak airtanah diterapkan untuk membatasi konsumsi airtanah industri sehingga ketersediaan airtanah dapat terjaga. Dengan mengetahui perilaku konsumsi airtanah industri sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan airtanah dapat diketahui apakah tujuan dari kebijakan pajak airtanah tercapai atau tidak. Perilaku Pertumbuhan Populasi Dari hasil simulasi tampak bahwa penduduk mengalami peningkatan sepanjang waktu simulasi dengan jenis pertumbuhan eksponensial. Terkait dengan variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, peningkatan populasi ini disebabkan karena laju peningkatan populasi masih lebih besar dari laju depopulasi. Laju peningkatan populasi ini disebabkan antara lain karena masih tingginya daya tarik wilayah tersebut dalam menarik migrasi penduduk ke dalam wilayah studi. Daya tarik tersebut antara lain ketersediaan air masih dapat memenuhi kebutuhan air domestik dan pertumbuhan industri yang masih meningkat. Peningkatan jumlah industri ini akan membuka lapangan kerja yang akan membutuhkan tenaga kerja penduduk sebagai faktor produksi. Selain itu, ketersediaan lahan yang masih besar menjadi salah satu faktor daya tarik lahan yang turut memberikan kontribusi positif terhadap laju pertumbuhan penduduk. Gambar VI.1 Perilaku jangka panjang pertumbuhan penduduk pada skenario dasar Perilaku Pertumbuhan Industri Perilaku pertumbuhan industri menunjukkan peningkatan sepanjang waktu simulasi secara eksponensial. Peningkatan industri ini salah satunya disebabkan 77

3 karena suplai airtanah sebagai faktor produksi utama masih dapat memenuhi kebutuhan air industri. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pajak airtanah terhadap industri yang diterapkan sejak tahun 2003 tidak dapat memenuhi tujuannya, karena tidak berhasil membatasi konsumsi airtanah industri. Penyebab dari ketidakberhasilan kebijakan ini adalah harga air baku airtanah yang diterapkan dalam perhitungan NPA masih terlalu rendah sehingga jumlah pajak yang dibayarkan pihak industri masih terlalu murah. Suplai airtanah yang "dianggap" masih terus tersedia bagi industri, disebabkan karena pihak industri lebih memilih menambah kedalaman sumur produksinya untuk memperoleh airtanah, jika pada kedalaman airtanah sebelumnya sudah tidak diperoleh air, dengan perhitungan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk membuat sumur bor baru termasuk biaya operasional dan pemeliharaan termasuk pajak masih lebih murah dibandingkan dengan menggunakan sumber air alternatif lainnya. Padahal, secara kuantitatif jumlah cadangan airtanah terus menurun dan bukan tidak mungkin pada akhirnya kondisi cadangan airtanah tersebut tidak dapat lagi menunjang segala aktivitas manusia. Di sini tampak bahwa pemahaman dan kesadaran pihak industri terhadap permasalahan kondisi airtanah ini masih sangat kurang. Gambar VI.2 Perilaku jangka panjang industri pada skenario dasar Perilaku Ketersediaan Airtanah Kondisi ketersediaan airtanah sepanjang waktu simulasi menunjukkan kecenderungan penurunan. Penurunan tajam terjadi pada tahun awal simulasi, yaitu sekitar tahun atau pada waktu sebelum diberlakukannya pajak airtanah terhadap industri. Pada tahun-tahun berikutnya kondisi ketersediaan 78

4 airtanah tetap menurun walapun tidak sedrastis di tahun awal simulasi. Dari perilaku ini dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan pajak airtanah mampu mengurangi laju penurunan kondisi ketersediaan airtanah, namun belum mampu membatasi konsumsi airtanah dan memperbaiki kondisi ketersediaan airtanah. Perilaku jangka panjang ketersediaan airtanah ini ditunjukan oleh Gambar VI.3 di bawah ini. Gambar VI.3 Perilaku jangka panjang ketersediaan airtanah pada skenario dasar Perilaku konsumsi airtanah oleh industri ditunjukkan pada Gambar VI.4. pada tahun awal simulasi ( ) ketersediaan airtanah masih dapat memenuhi sekitar 90% kebutuhan air industri. Namun seiring dengan penurunan kondisi cadangan airtanah, mulai pada tahun 2020 hingga akhir tahun simulasi suplai airtanah sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air industri lagi. Keadaan ini menciptakan gap kebutuhan air industri. Dalam Gambar VI.4 tampak bahwa secara keseluruhan konsumsi air industri masih mengalami peningkatan namun sudah tidak sesuai dengan kebutuhannya, hal ini ditunjukkan dengan grafik konsumsi airtanah industri berada jauh di bawah grafik kebutuhan air industrinya. 79

5 Gambar VI.4 Perilaku kebutuhan dan konsumsi air industri pada skenario dasar Keadaan ini dipengaruhi juga oleh adanya variabel efek ketersediaan airtanah terhadap industri, di mana ketika kondisi ketersediaan airtanah mencukupi akan dapat memenuhi kebutuhan air industri, dan sebaliknya ketika kondisi ketersediaan airtanah sudah tidak mencukupi, maka ia akan membatasi pengambilan airtanah. Kontribusi pajak airtanah terhadap upaya pemulihan airtanah ditunjukkan dengan kontribusi penambahan input airtanah dari pembangunan SRD terhadap input total airtanah. Gambar VI.5 menunjukkan perbandingan antara konsumsi airtanah industri, pengambilan airtanah dalam yang terdiri dari pengambilan airtanah oleh industri, pengambilan airtanah oleh PDAM, dan pengambilan airtanah ilegal oleh industri, serta kontribusi penambahan airtanah terhadap input airtanah melalui pembangunan SRD. Dengan nilai harga air baku (HAB) pada pajak airtanah sebesar Rp. 500,-/m 3 dan tanpa intervensi kebijakan lainnya sampai dengan akhir tahun simulasi, hasil simulasi jangka panjang menunjukkan bahwa kontribusi pertambahan airtanah dari SRD berkisar antara 0,06%-0,24%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan pajak airtanah dengan HAB Rp. 500,-/m 3 belum dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap upaya pemulihan airtanah. 80

6 Gambar VI.5 Perbandingan antara konsumsi airtanah industri, pengambilan airtanah dalam, dan pertambahan dari sumur resapan dalam (SRD) Perilaku Tata Guna Lahan Perilaku jangka panjang tata guna lahan menunjukkan adanya pergeseran fungsi lahan di sepanjang waktu simulasi. Pada awal tahun simulasi yaitu di sekitar tahun 2000 hingga 2010, tampak terjadi peningkatan luasan lahan kering, hal ini diakibatkan oleh adanya konversi lahan hutan dan lahan sawah menjadi lahan kering, untuk itu, tampak pula bahwa luasan lahan hutan dan lahan sawah mengalami penurunan. Setelah tahun 2010, lahan kering mengalami sedikit peningkatan kemudian menurun hingga akhir tahun simulasi. Hal ini disebabkan karena lahan kering sudah mulai terkonversi menjadi lahan terbangun seiring pula dengan peningkatan jumlah penduduk dan industri. Berbanding terbalik dengan lahan kering, lahan sawah mengalami penurunan luasan yang cukup tajam pada awal tahun simulasi, kemudian penurunan melandai sampai dengan akhir tahun simulasi. Keadaan ini cukup dipengaruhi oleh adanya variabel efek potensi lahan sawah. Efek ini muncul sebagai akibat dari semakin berkurangnya ketersediaan lahan sawah, nilai lahan sawah yang ada menjadi semakin mahal sehingga sasaran alih fungsi lahan untuk kawasan terbangun bergeser ke lahan kering Lahan hutan mengalami penurunan yang cukup landai, karena adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan etate tebangan untuk membatasi jumlah tebangan per tahun. 81

7 Sebagai konsekuensi dari pembangunan dan yang mengakibatkan adanya konversi lahan hutan, sawah dan lahan kering adalah peningkatan luasan lahan terbangun. Sepanjang tahun simulasi, luasan lahan terbangun terus mengalami peningkatan. Secara langsung, keadaan ini pun memberikan pengaruh terhadap laju input cadangan airtanah, di mana semakin besar luas lahan tebangun akan semakin meningkatkan jumlah limpasan dan di sisi lain akan mengurangi jumlah air hujan yang dapat diresapkan ke dalam lapisan tanah. Keseluruhan dinamika pergeseran fungsi lahan ini ditunjukkan oleh Gambar VI.7. Gambar VI.6 Perilaku jangka panjang perubahan lahan VI.2 Penentuan Skenario Intervensi kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya pemulihan airtanah yang ditandai dengan terjaganya stabilitas ketersediaan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah Bandung, dapat ditempuh melalui berbagai cara, antara lain : penetapan harga air baku (HAB) yang sesuai, baik secara ekonomis, teknis maupun kesanggupan dari pihak industri selaku pembayar pajak (willingness to pay), maupun intensifikasi dari kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah seperti penghematan penggunaan airtanah industri, penertiban pengambilan airtanah dari sumur-sumur tak berijin industri, dan lain-lain. 82

8 Dalam analisisnya ditentukan 4 (empat) skenario yang dicobakan/disimulasikan terhadap model skenario dasar, yaitu antara lain skenario penetapan HAB, skenario penghematan penggunaan airtanah industri, skenario penertiban pengambilan airtanah dari sumur-sumur tak berijin industri, serta gabungan dari beberapa skenario untuk memperoleh kondisi yang diharapkan. 1. Skenario penetapan Harga Air Baku (HAB) optimal dalam formula NPA sebagai besaran pajak yang perlu ditetapkan terhadap industri pengguna airtanah. Skenario ini menentukan HAB optimal untuk memperoleh kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan. Dalam skenario ini diasumsikan bahwa upaya pemulihan airtanah hanya berasal dari pembangunan sumur-sumur resapan dalam untuk menambah input cadangan airtanah yang dialokasikan dari pajak airtanah provinsi. Skenario ini juga mengabaikan batasan-batasan willingness to pay pihak industri, sehingga akan diperoleh nilai HAB optimal untuk memulihkan kondisi ketersediaan airtanah tanpa dipengaruhi oleh kondisi-kondisi di luar HAB. Selain itu, dalam skenario ini dicobakan juga penetapan HAB yang dipengaruhi oleh efek ketersediaan air, di mana jika kondisi ketersediaan airtanah baik, maka nilai HAB akan menurun, sebaliknya jika kondisi ketersediaan airtanah menurun akan meningkatkan nilai HAB. Efek ini diformulasikan sebagai berikut : (1-efek_ketersediaan airtanah)*100 Nilai ini sebagai faktor pengali terhadap nilai HAB awal sebagai efek HAB dan ditambahkan dengan nilai HAB awal. Terakhir dalam skenario penentuan HAB ini adalah dengan menetapkan nilai HAB sama dengan tarif tertinggi yang ditetapkan PDAM bagi industri, yaitu Rp. 7550,-/m 3 dan disimulasi dengan dan tanpa pengaruh efek ketersediaan airtanah. 83

9 2. Skenario penghematan penggunaan airtanah industri, adalah skenario untuk mengurangi konsumsi airtanah oleh industri. Selama ini industri menggunakan 75% kebutuhan airnya dari airtanah (Ashdak, 2007), dalam skenario ini penggunaan airtanah dikurangi sebesar 50% dari kebutuhan airnya, sedangkan sisanya sebesar 50% kebutuhan air industri harus dapat dipenuhi oleh pihak industri dari penggunaan sumber-sumber air alternatif lainnya seperti air permukaan, recycling, atau reuse air sisa produksi. Pada simulasi ke depan bahkan dapat dikembangkan untuk semakin mengurangi penggunaan airtanah untuk industri dan lebih mendayagunakan penggunaan sumber air lainnya seperti air permukaan dsb. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis terhadap willingness to pay (WTP) pihak industri, maka dalam skenario ini selain disimulasi dengan menggunakan HAB dengan kondisi awal, juga akan dicobakan dengan asumsi HAB airtanah yang mampu dibayarkan oleh pihak industri adalah sebesar Rp. 7550,-/m 3 atau sama dengan tarif tertinggi PDAM yang diberlakukan untuk industri. Penggunaan dua nilai HAB ini dalam simulasi skenario kebijakan ditujukan untuk melihat seberapa besar sensitivitas dua variabel yang diujikan tersebut (HAB dan penghematan) terhadap pencapaian tujuan akhir skenario yaitu kondisi ketersediaan airtanah. 3. Skenario penertiban pengambilan airtanah dari sumur-sumur tak berijin industri, dilakukan untuk mengurangi kehilangan air tanah akibat pengambilan airtanah ilegal. Skenario ini perlu dilakukan bersama-sama dengan skenario lainnya, sebagai salah satu upaya penegakan hukum bagi industri pengguna airtanah di samping sebagai upaya pemulihan airtanah. Sama halnya dengan skenario penghematan, dalam skenario penertiban ini akan disimulasi dengan 2 alternatif nilai HAB, yaitu nilai HAB awal dan nilai HAB dengan asumsi willingness to pay industri sebesar Rp. 7550,-/m 3. 84

10 4. Kombinasi dari beberapa skenario untuk memperoleh kondisi pemulihan airtanah terbaik. 85

11 Tabel VI.1 Nilai Parameter dalam Skenario Simulasi No Parameter 1 Nilai HAB (Rp,-/m 3 ) 2 Fraksi Konsumsi Airtanah Industri 3. P e n g a m b i l a n Airtanah ilegal 4. Efek ketersediaan airtanah thd HAB Skenario Dasar ,5 1 0, Tidak ada Tidak ada Ada Ada Ada Ada Ada VI.3 Perilaku Model Pada Skenario-Skenario VI.3.1 Perilaku Model Pada Skenario HAB Skenario penyesuaian HAB ini dibentuk dalam 3 alternatif atau sub skenario. Masing-masing alternatif akan dilihat pengaruhnya terhadap issue yang menjadi tujuan penelitian ini, yaitu upaya pemulihan airtanah. Alternatif -alternatif tersebut antara lain : Sub skenario 1.a: Penentuan HAB optimal Sub skenario 1.b: Penentuan HAB dengan pengaruh efek_ketersediaan_airtanah terhadap HAB Sub skenario 1.c: Penentuan HAB sesuai dengan tarif tertinggi PDAM yang diberlakukan terhadap industri Sub skenario pertama ditujukan untuk mengetahui nilai HAB optimal yang dibutuhkan dalam formula NPA agar diperoleh kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan, yaitu kondisi cadangan airtanah yang stabil sehingga mampu menunjang kegiatan pembangunan, yang dicirikan dengan aktivitas manusia dan industri, secara berkelanjutan. 86

12 Simulasi ini dilakukan secara trial and error hingga diperoleh output yang paling optimal. Dari hasil simulasi diketahui bahwa nilai HAB yang optimal diperoleh pada nilai HAB sebesar Rp ,-/m 3. Pada Gambar VI.7, kondisi ini ditunjukkan dengan grafik (1) yang berwarna merah. Pada kondisi ini, tampak bahwa ketika kondisi cadangan airtanah stabil, jumlah input dan output airtanah adalah sama. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan HAB optimal, kondisi ketersediaan airtanah mampu mendukung proses kegiatan pembangunan secara berkesinambungan, di mana ketika penggunaan airtanah (output) meningkat, maka input akan menstabilkan kondisi ketersediaan airtanah dengan meningkatkan jumlah input ke dalam airtanah melalui teknologi SRD, dan secara hukum alam, ketersediaan airtanah yang mencukupi akan mendorong penggunaan airtanah pula, sehingga perilaku input-output ini akan cenderung meningkat. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Iskandar, 2003, bahwa makna berkelanjutan adalah terjadinya peningkatan kapasitas pasok (capacity to supply) secara terus-menerus dan sedemikian rupa sehingga kebutuhan yang dinamis (dynamic demand) dapat selalu dipenuhi. Oleh karena itu, berkelanjutan mensyaratkan adanya suatu keseimbangan/keselarasan pertumbuhan (balanced growth) antara kapasitas pasok dan kebutuhan. Keadaan ini ditunjukkan pada Gambar VI.8. Simulasi pada sub skenario kedua menghasilkan grafik (2) berwarna hijau pada Gambar VI.8. Sub skenario kedua ini menskenariokan jika HAB dipengaruhi oleh efek_ketersediaan_airtanah. Efek ini bekerja sebagai faktor pengali terhadap HAB dan sesuai dengan kondisi ketersediaan airtanah pada saat simulasi berlangsung. Efek ini diformulasikan sebagai berikut : (1-efek_ketersediaan airtanah)*100, di mana efek_ketersediaan_airtanah ini mempunyai nilai antara 0-1. Ketika kondisi ketersediaan airtanah buruk, maka nilai efek ketersediaan airtanah ini akan kecil, sehingga akan berpengaruh meningkatkan nilai HAB, sebaliknya 87

13 ketika kondisi ketersediaan airtanah baik, maka HAB akan stabil sesuai nilai awal yang diberikan. Pada kondisi yang diberikan pada model saat simulasi, tampak HAB terus meningkat, dan ketika cadangan airtanah semakin menurun tajam maka, nilai HAB akan meningkat tajam pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap peningkatan NPA, mengingat biaya untuk pemulihan yang dibutuhkan pun semakin besar. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar VI.10. Gambar VI.7 Perilaku model pada skenario penyesuaian HAB 1) Sub skenario HAB Optimal 2) Sub skenario HAB dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah 3) Sub skenario HAB Rp. 7550,-/m 3 dan pengaruh efek ketersediaan airtanah 88

14 Gambar VI.8 Perbandingan Input-ouput airtanah pada sub skenario HAB optimal (Rp ,-/m 3 ) Pada simulasi sub skenario kedua ini, hasil pemulihan terhadap kondisi ketersediaan airtanah masih belum seoptimal kondisi yang diperoleh pada simulasi sub skenario pertama. Ketersediaan airtanah tampak membaik dibandingkan dengan kondisi pada skenario dasar, namun, masih tetap menunjukkan penurunan hingga akhir tahun simulasi. Hal ini membuktikan bahwa output airtanah masih lebih besar dibandingkan dengan inputnya. Namun demikian, pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB ini cukup baik untuk ditetapkan dalam menentukan perkembangan nilai HAB dalam NPA, karena bersifat kontrol terhadap harga yang disesuaikan dengan kondisi ketersediaan airtanah pada waktu yang diinginkan. Dalam hasil simulasi ini, untuk memperoleh kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan, penerapan HAB sebesar Rp ,-/m 3 secara logika tidak akan efektif, mengingat adanya batasan kemampuan pihak industri untuk membayar pajak airtanah. Peningkatan HAB dari Rp. 500,-/m 3 menjadi Rp ,-/m 3 tentunya akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan sektor industri, 89

15 yang pada akhirnya akan menimbulkan multiplayer effect yang dapat bersifat merugikan terhadap sektor lain. Pada Tabel VI.2 ditunjukkan perbandingan nilai pajak airtanah yang harus dibayarkan oleh PT. X yang menggunakan airtanah dalam sebanyak m 3, dengan HAB awal Rp. 500,-/m 3 dan dengan HAB optimal Rp ,-/m 3. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa PT. X harus membayar pajak airtanah sebesar Rp ,- dengan HAB Rp /m 3 dan melonjak menjadi Rp ,- pada HAB Rp ,-/m 3. Keadaan ini akan sangat mempengaruhi cost produksi industri. Untuk itu perlu dipertimbangkan nilai HAB yang dapat membatasi perilaku konsumsi airtanah industri, namun masih mampu dibayarkan oleh pihak industri. Mengingat hal tersebut, pada sub skenario ketiga, model dicoba dengan memasukkan nilai HAB sebesar Rp. 7550,-/m 3. Nilai ini adalah tarif tertinggi yang ditetapkan oleh PDAM terhadap industri dan diasumsikan sebagai batas willingness to pay pihak industri. Pada skenario ini pun disertakan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB. Hasil simulasi pada sub skenario ketiga ini menunjukkan grafik (3) memiliki bentuk yang sama dengan grafik (2) namun berada sedikit di atas grafik yang diperoleh pada simulasi sub skenario kedua tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai HAB tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemulihan ketersediaan airtanah. 90

16 Tabel VI.2 Perbandingan Jumlah Pajak Airtanah Yang Harus Dibayarkan dengan Variasi Nilai HAB pada Skenario 1 HAB Rp. 500,-/m 3 HAB Rp ,-/m 3 91

17 HAB Rp. 7550,-/m 3 Gambar VI.9 Perbandingan Input-Output Airtanah pada skenario HAB dengan Pengaruh Efek Ketersediaan Airtanah 92

18 Gambar VI.10 Perkembangan nilai HAB dan NPA pada skenario HAB dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah Gambar VI.9 di atas menunjukkan bahwa pada skenario HAB dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB, jumlah output masih lebih besar dari pada inputnya, sehingga secara keseluruhan tetap akan mengurangi jumlah ketersediaan airtanah yang ada. Menurunnya kondisi ketersediaan airtanah ini juga, sesuai dengan perilaku efek ketersediaan airtanah yang bersifat menyeimbangkan, akan mengakibatkan HAB meningkat, sehingga NPA akan meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin buruk kondisi ketersediaan airtanah, maka biaya yang dibutuhkan untuk upaya pemulihan airtanah akan semakin mahal (Gambar VI.10). VI.3.2 Perilaku Model Pada Skenario Penghematan Pada skenario penghematan ini, ditentukan bahwa fraksi penghematan yang dapat memberikan hasil yang optimal adalah sebesar 50% dari kebutuhan airtanah industri. Penentuan fraksi penghematan ini diperoleh dari hasil uji sensitivitas fraksi penghematan terhadap kondisi ketersediaan airtanah. Skenario ini diterapkan terhadap dua kondisi seperti yang tertera dalam tabel berikut ini ; 93

19 Tabel VI.3 Nilai Parameter yang digunakan dalam Skenario Penghematan No Parameter Sub Skenario 2a 2b 1. Fraksi penghematan 50% 50% 2. HAB Rp. 500,-/m3 Rp. 7550,-/m3 3. Efek ketersediaan airtanah thd HAB Tidak Ya Perilaku model pada skenario ini dapat dilihat pada Grafik di bawah ini. Gambar VI.11 Perilaku ketersediaan airtanah pada skenario penghematan airtanah industri 1) Penghematan dengan HAB initial 2) Penghematan dengan HAB Rp. 7550,-/m3 dan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB 94

20 Gambar VI.12 Perbandingan Input-output pada skenario penghematan dengan pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB Gambar VI.13 Perkembangan NPA pada skenario penghematan Hasil simulasi pada skenario ini menunjukkan kondisi ketersediaan airtanah yang sesuai dengan yang diharapkan, yaitu terjaganya kestabilan kondisi ketersediaan airtanah. Simulasi penghematan dengan HAB awal Rp. 500,-/m3 dan Rp. 7550,-/m3 tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan, namun demikian, grafik pada skenario dengan HAB Rp. 7550,-/m3 sedikit memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan HAB awal. 95

21 Dengan tercapainya kondisi ketersediaan airtanah yang stabil, yang dicirikan dengan seimbangnya jumlah input dan output airtanah, maka upaya pemulihan airtanah sudah tidak mendesak lagi. Hal ini ditunjukkan dengan grafik perkembangan NPA pada Gambar VI.13, di mana ketika kondisi kestabilan airtanah tercapai, maka nilai NPA akan menurun. VI.3.3 Perilaku Model Pada Skenario Penertiban Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi Prov. Jawa Barat, jumlah pengambilan airtanah industri tanpa ijin (ilegal) cukup besar, yaitu sekitar 30% dari jumlah kebutuhan airtanah industri. Keadaan ini jika tidak ditindaklanjuti dengan suatu kebijakan, akan terus memberikan kontribusi negatif, baik terhadap ketersediaan airtanah maupun terhadap pola perilaku industri. Atas pertimbangan tersebut, skenario penertiban ini dibangun. Di lingkup wilayah Provinsi Jawa Barat, kebijakan penertiban pengambilan airtanah ilegal ini sudah cukup lama dilaksanakan melalui program kegiatan penertiban, dengan sasaran perlehan per tahunnya mencapai 80% - 100%. Gambar VI.14 Perilaku ketersediaan airtanah pada skenario penertiban 96

22 Hasil simulasi pada skenario penertiban ini menunjukkan bahwa dengan adanya pengurangan jumlah pengambilan airtanah ilegal sebesar 80% per tahunnya dapat memberikan perbaikan, yaitu mengurangi jumlah pengambilan airtanah hingga 1,46 juta m 3 /tahun. Namun demikian peningkatan jumlah ketersediaan airtanah ini belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan, di mana jumlah output airtanah masih lebih besar daripada inputnya (Gambar VI.15). Gambar VI.15 Perbandingan input-output airtanah pada skenario penertiban Keadaan yang ditunjukkan dari simulasi pada skenario penertiban ini masih belum memenuhi kondisi yang diharapkan, oleh karena itu skenario ini perlu dijalankan bersama-sama dengan skenario yang lainnya untuk memperoleh suatu rumusan kebijakan yang optimal. VI.3.4 Perilaku Model Pada Skenario Kombinasi Setelah memperhatikan perilaku-perilaku model pada skenario-skenario yang diujikan, dapat dirumuskan suatu rangkaian kebijakan yang dapat diterapkan untuk memperoleh kondisi yang diharapkan. Dalam skenario ini, dicoba untuk menggabungkan beberapa skenario dalam kebijakan penetapan HAB, penghematan maupun penertiban. Parameter yang digunakan dalam skenario ini antara lain : 97

23 Tabel VI.3 Nilai Parameter yang digunakan dalam Skenario Kombinasi No Parameter Nilai 1. HAB Rp. 7550,-/m 3 2. Fraksi Penghematan 50% 3. Fraksi Penertiban 80% 4. Pengaruh efek ketersediaan airtanah terhadap HAB Ya Nilai pemulihan airtanah yang diterapkan melalui HAB optimal sebesar Rp ,-/m 3 tidak digunakan dalam skenario ini, dengan pertimbangan adanya batasan willingness to pay pihak industri yang diasumsikan sebesar Rp. 7550,-/m 3 atau sama dengan tarif tertinggi yang diberlakukan PDAM terhadap industri. Hasil simulasi berupa grafik dari HAB Rp. 7550,-/m 3 dan adanya pengaruh efek ketersediaan airtanah, menunjukkan adanya peningkatan kondisi ketersediaan airtanah. Kebijakan pajak airtanah yang diterapkan terhadap industri dipandang perlu diberlakukan untuk membatasi perilaku industri dalam mengkonsumsi airtanah dan untuk memenuhi prinsip "barangsiapa yang melakukan kerusakan lingkungan dia yang harus membayar dampak dari kerusakan tersebut". Salah satu hasil simulasi terbaik adalah skenario penghematan, di mana pada skenario ini kondisi ketersediaan airtanah yang diharapkan sudah tercapai. Keadaan ini menunjukkan bahwa penghematan airtanah atau pembatasan jumlah konsumsi airtanah dari kebutuhan industri sebesar 50% mampu memberikan perbaikan yang signifikan terhadap kondisi ketersediaan airtanah. 98

24 Gambar VI.16 Perilaku ketersediaan airtanah pada skenario kombinasi Sesuai dengan yang telah disampaikan sebelumnya, sama halnya dengan penerapan pajak airtanah, penerapan kebijakan penertiban juga didasari oleh pertimbangan untuk mengubah perlaku industri. Hasil simulasi dari skenario gabungan ini menunjukan kondisi yang diharapkan, yaitu ketersediaan airtanah yang stabil. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan airtanah dengan menggabungkan beberapa skenario tersebut dapat memberikan hasil yang optimal. 99

Bab V Pengembangan Model

Bab V Pengembangan Model Bab V Pengembangan Model V.1 Batasan Model Dari pemaparan permasalahan yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, dapat disarikan bahwa menurunnya kondisi ketersediaan airtanah di wilayah Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days.

This document has been created with TX Text Control Trial Version You can use this trial version for further 59 days. Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan industri, permintaan akan pemenuhan kebutuhan air bersih meningkat dengan pesat. Hingga saat ini, di Cekungan Airtanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6 ANALISIS PEMODELAN PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN PESISIR BARAT KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN 6. Analisis Input-Output 6.. Analisis Keterkaitan Keterkaitan aktivitas antar

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH BESARAN PAJAK AIRTANAH TERHADAP UPAYA PEMULIHAN AIRTANAH DENGAN PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS (STUDI KASUS : CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG)

ANALISIS PENGARUH BESARAN PAJAK AIRTANAH TERHADAP UPAYA PEMULIHAN AIRTANAH DENGAN PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS (STUDI KASUS : CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG) Nomor : 400/S2-TL/TML/2008 ANALISIS PENGARUH BESARAN PAJAK AIRTANAH TERHADAP UPAYA PEMULIHAN AIRTANAH DENGAN PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS (STUDI KASUS : CEKUNGAN AIRTANAH BANDUNG) TESIS Karya tulis sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : YUSUP SETIADI L2D 002 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 Ana Rossika (15413034) Nayaka Angger (15413085) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi

Lebih terperinci

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI SUMBER DAYA ENERGI. Nasional. Energi. Kebijakan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bab pertama studi penelitian ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup yang mencakup ruang lingkup materi dan ruang lingkup

Lebih terperinci

SUMBERDAYA PERTANIAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP.

SUMBERDAYA PERTANIAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP. SUMBERDAYA PERTANIAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP. MATERI PEMBELAJARAN 1 PENDAHULUAN 2 SUMBERDAYA ALAM 3 SUMBERDAYA MANUSIA 4 SUMBERDAYA MODAL PENDAHULUAN DEFINISI SUMBERDAYA: Kemampuan untuk memenuhi

Lebih terperinci

4.1. PENGUMPULAN DATA

4.1. PENGUMPULAN DATA Metodologi adalah acuan untuk menentukan langkah-langkah kegiatan yang perlu diambil dalam suatu analisa permasalahan. Penerapan secara sistematis perlu digunakan untuk menentukan akurat atau tidaknya

Lebih terperinci

7 MODEL PENYEDIAAN AIR BERSIH PULAU KECIL

7 MODEL PENYEDIAAN AIR BERSIH PULAU KECIL 7 MODEL PENYEDIAAN AIR BERSIH PULAU KECIL 7.1 Pendahuluan Air adalah sumberdaya alam yang penting untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Masalah kekurangan jumlah air maupun kualitas air dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang sedang mengalami proses perkembangan perekonomiannya dalam jangka panjang akan berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi pada hal yang paling mendasar.

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH

ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412-6982 e-issn : 2443-3977 Volume 15 Nomor 1 Juni 2017 ANALISA DAYA DUKUNG LAHAN UNTUK PENYEDIAAN PANGAN DI WILAYAH JAWA TIMUR BAGIAN TENGAH Bambang Hariyanto

Lebih terperinci

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng 124 Bab VI Kesimpulan Lokasi penelitian, berupa lahan pertanian dengan kondisi baru diolah, tanah memiliki struktur tanah yang remah lepas dan jenis tanah lempung berlanau dengan persentase partikel tanah

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan beberapa temuan studi dari analisis yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya yaitu dampak perubahan penggunaan lahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rasio Konsumsi Normatif Rasio konsumsi normatif adalah perbandingan antara total konsumsi dan produksi yang menunjukkan tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah. Rasio konsumsi

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA VII. DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA 7.1. Hasil Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Hasil validasi model ekonometrika struktur,

Lebih terperinci

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI A. Pendekatan Kajian Pelaksanaan studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan dan Hemat Energi diharapkan menghasilkan suatu konsep pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai sumber daya yang tersebar secara luas di bumi ini walaupun dalam jumlah yang berbeda, air terdapat dimana saja dan memegang peranan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan membahas mengenai temuan studi, kesimpulan dan rekomendasi yang merupakan sintesa dari hasil kajian indikator ekonomi dalam transportasi berkelanjutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam dan jasa lingkungan merupakan aset yang menghasilkan arus barang dan jasa, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Lebih terperinci

Gambar II.1. Illustrasi Batas-batas hidrogeologi (Anderson & Woesner, 1992, dari Distamben, 2007).

Gambar II.1. Illustrasi Batas-batas hidrogeologi (Anderson & Woesner, 1992, dari Distamben, 2007). Bab II Tinjauan Teoritis II.1 Umum Ketersediaan airtanah di alam terdapat pada lapisan batuan pembawa air yang disebut akuifer yang membentuk suatu cekungan airtanah. Berdasarkan Perda Prov. Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU

BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU Model yang telah diuji validitasnya dapat dianggap layak untuk dijadikan dasar dalam melakukan analisis dan pemilihan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Perhitungan, Analisis, dan Diskusi

Bab IV Hasil Perhitungan, Analisis, dan Diskusi Bab IV Hasil Perhitungan, Analisis, dan Diskusi Pada bab ini dijelaskan tentang hasil simulasi yang didapatkan beserta diskusi mengenai hasil simulasi tersebut. IV.1 Instrument data Penggunaan peta wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Desain Penelitian Pengoperasian waduk harus disusun sesuai karakteristik sistem daerah yang ditinjau, oleh karena itu diperlukan pemahaman terhadap karakteristik sistem

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

SISTEMATIKA PENYAJIAN : KEPALA BIRO PERENCANAAN PERAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN JAKARTA, 11 JULI 2012 SISTEMATIKA PENYAJIAN : 1. BAGAIMANA ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN? 2. APA YANG SUDAH DICAPAI? 3.

Lebih terperinci

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 119 6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Skenario pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya perikanan berwawasan lingkungan, dibangun melalui simulasi model

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

KONSERVASI AIR TANAH MENGGUNAKAN METODA SISTEM DINAMIK (Studi Kasus: Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan)

KONSERVASI AIR TANAH MENGGUNAKAN METODA SISTEM DINAMIK (Studi Kasus: Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan) KONSERVASI AIR TANAH MENGGUNAKAN METODA SISTEM DINAMIK (Studi Kasus: Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan) Anggun 1), Dr. Eng. Amiruddin, M.Si 2), Dr. H. Samsu Arif, M.Si 2) 1) Mahasiswa Program Studi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

Perkspektif ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertemuan ke 4

Perkspektif ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertemuan ke 4 Perkspektif ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam Pertemuan ke 4 Pandangan ekonom Sumberdaya menurut Adam Smith dalam Wealth of Nation (1776): seluruh faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan Berdasarkan hasil analisis kebijakan yang telah dipaparkan pada Bab VI, maka pada Bab ini dilakukan pembahasan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KESEIMBANGAN SUMBERDAYA AIR

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KESEIMBANGAN SUMBERDAYA AIR Sidang Ujian OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN BANGKALAN BERDASARKAN KESEIMBANGAN SUMBERDAYA AIR Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Indonesia Merupakan negara kepulauan dan dua pertiga bagian wilayah indonesia berupa perairan. Namun demikian, Indonesia juga tidak lepas dari masalah yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Tanggal : 3 November 2000

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Tanggal : 3 November 2000 LAMPIRAN X KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Tanggal : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIK PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR DARI PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DALAM MENENTUKAN

Lebih terperinci

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya.

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Dan Misi Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral VISI Memasuki era pembangunan lima tahun ketiga, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR 5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Definisi Air Minum menurut MDG s adalah air minum perpipaan dan air minum non perpipaan terlindung yang berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TINJAUAN UMUM Dalam suatu penelitian dibutuhkan pustaka yang dijadikan sebagai dasar penelitian agar terwujud spesifikasi yang menjadi acuan dalam analisis penelitian yang

Lebih terperinci

EFISIENSI EKONOMI dan PASAR

EFISIENSI EKONOMI dan PASAR EFISIENSI EKONOMI dan PASAR Kuliah Ekonomi Lingkungan Sesi 5 Efisiensi Ekonomi (1) Efisiensi Ekonomi keseimbangan antara nilai produk dengan nilai dari input yang digunakan untuk memproduksinya (dgn kata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air sebagai komponen ekologi mempunyai sifat khas yaitu: pertama merupakan benda yang mutlak dibutuhkan oleh kehidupan, kedua, air mempunyai mobilitas yang tinggi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika pembangunan yang berjalan pesat memberikan dampak tersendiri bagi kelestarian lingkungan hidup Indonesia, khususnya keanekaragaman hayati, luasan hutan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

CHECKLIST DOKUMEN PRASTUDI KELAYAKAN KPBU SEKTOR AIR MINUM

CHECKLIST DOKUMEN PRASTUDI KELAYAKAN KPBU SEKTOR AIR MINUM CHECKLIST DOKUMEN PRASTUDI KELAYAKAN KPBU SEKTOR AIR MINUM Checklist Dokumen Prastudi Kelayakan KPBU (Dokumen) ini bukan merupakan template yang bersifat WAJIB melainkan lebih kepada arahan mengenai hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI TAHUN 2012 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 7 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 7 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH ~ 1 ~ SALINAN BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 7 TAHUN 2014. TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG UTARA,

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR DARI PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DALAM PENGHITUNGAN PAJAK PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR DARI PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DALAM PENGHITUNGAN PAJAK PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH LAMPIRAN X KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIS PENENTUAN NILAI PEROLEHAN AIR DARI PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH DALAM PENGHITUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muka bumi yang luasnya ± 510.073 juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 148.94 juta Km 2 (29.2%) dan lautan 361.132 juta Km 2 (70.8%), sehingga dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia bukanlah negara pengekspor besar untuk minyak bumi. Cadangan dan produksi minyak bumi Indonesia tidak besar, apalagi bila dibagi dengan jumlah penduduk. Rasio

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan asset multi guna yang tidak saja menghasilkan produk seperti kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diversifikasi Siegler (1977) dalam Pakpahan (1989) menyebutkan bahwa diversifikasi berarti perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk baru yang

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

tokoh masyarakat. Estetika dan peningkatan pendapatan rumah tangga menjadi faktor pendorong RT lain untuk mereplikasi model.

tokoh masyarakat. Estetika dan peningkatan pendapatan rumah tangga menjadi faktor pendorong RT lain untuk mereplikasi model. tokoh masyarakat. Estetika dan peningkatan pendapatan rumah tangga menjadi faktor pendorong RT lain untuk mereplikasi model. Potensial Pelaku pelaku Pertambahan jumlah RT Jumlah RT Pengaruh Tokoh Masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) Artikel OPINI Harian Joglosemar 1 MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) ŀ Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting dalam pembangunan pertanian Indonesia masa depan mengingat pesatnya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting perananya dalam Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal tersebut bisa kita lihat

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang esensial bagi kebutuhan rumah tangga, pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang esensial bagi kebutuhan rumah tangga, pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang paling berharga. Air tidak saja perlu bagi manusia, tetapi hewan dan juga tumbuhan sebagai media pengangkut, sumber energi dan keperluan

Lebih terperinci

BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI

BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI 4.1 TINJAUAN UMUM Tahapan simulasi pada pengembangan solusi numerik dari model adveksidispersi dilakukan untuk tujuan mempelajari

Lebih terperinci