BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR"

Transkripsi

1 BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR Ekonomi informal mengalami pertumbuhan sangat cepat di negara-negara berkembang dan semakin menarik perhatian akademisi, peneliti, aktivis pembangunan sosial dan perencana kebijakan. Secara umum diyakini bahwa pertumbuhan yang cepat pada sektor ini dipengaruhi oleh meningkatnya pengangguran di negara berkembang. Menurut ILO (2004), terbatasnya pekerjaan sektor formal dan terbatasnya keterampilan menyebabkan pertumbuhan sektor informal. Sektor informal terdiri dari aktivitas usaha skala kecil yang sebagian besar belum mendapatkan pengakuan, tidak tercatat dan tidak teregulasi, termasuk usaha kecil, usaha rumah tangga, sektor wiraswasta seperti PKL, pembersih, penyemir sepatu, pedagang asongan, penjaja makanan, dan lain sebagainya. Mengingat luasnya jenis usaha sektor informal, kajian terhadap semua jenis usaha sektor ini tentunya banyak membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga. Untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam pada sektor ini, maka penelitian difokuskan pada jenis usaha PKL. PKL merupakan jenis usaha yang umum ditemukan pada sektor informal di kota, karena usaha ini relatif paling mudah dimasuki serta berhadapan langsung dengan kebijakan perkotaan. Aktivitas usaha PKL sangat beragam sehingga penelitian menyeluruh terhadap aktivitas PKL akan sangat kompleks, membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Dengan pertimbangan ini, penelitian ini hanya membahas tiga tipologi PKL yang umum ditemukan di kota Bogor yaitu pasar tumpah, pasar sayur malam, dan pasar kuliner. Namun demikian, karena aktivitas PKL juga berhubungan dengan sektor formal maka penelitian ini juga mengambil data pemasok dan pesaing bagi usaha PKL. Pemasok dan pesaing umumnya adalah sektor formal berupa toko, distributor atau pasar formal yang memasok kebutuhan barang dagangan PKL. Data dari pemasok digunakan untuk mengetahui pengaruh PKL terhadap rantai pasokan distribusi barang dan jasa, sedangkan data pesaing digunakan untuk

2 126 mengetahui kompetisi dengan usaha sejenis. Aktivitas PKL juga berhubungan dengan masyarakat sekitar sehingga penelitian ini juga menggunakan masyarakat sebagai responden untuk mengetahui persepsinya terhadap keberadaan PKL Distribusi Sampel dan Tipologi PKL Total responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 180 responden yang terdiri dari 120 responden untuk pelaku PKL, 9 responden pesaing, 6 responden pemasok, dan 45 responden masyarakat sekitar. Distribusi lokasi pengambilan sampel penelitian (B11) disajikan pada Tabel 44. Tabel. 44. Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel PKL No. Lokasi Responden Persen 1. Dewi Sartika 20 16,67 2. Jembatan merah 2 1,67 3. Mantarena 1 0,83 4. Merdeka 35 29,17 5. MA Salmun 6 5,00 7. Pasar Bogor 3 2,50 8. Pasar Anyar 25 20,83 9. Pajajaran 2 1, Pengadilan 1 0, Surya Kencana 24 20, Veteran 1 0,83 Total Data pada Tabel 44 menunjukkan bahwa mayoritas sampel diambil di tiga lokasi utama konsentrasi PKL sesuai dengan tipologi yang dikaji yaitu di Dewi Sartika (16,67 %), Merdeka (29,17 %) dan Pasar Anyar (20,83 %). Lokasi lain pada umumnya terdapat di sekitar ketiga lokasi utama tersebut, kecuali Jalan Pajajaran yang merupakan jalan utama di kota Bogor. Responden di Jalan Pajajaran nampak agak terpisah dilihat dari posisinya terhadap tiga lokasi konsentrasi. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa PKL bukan hanya terdapat di lokasi-lokasi khusus tetapi juga di lokasi-lokasi lainnya.

3 127 Berdasarkan tipologi PKL yang digunakan sebagai responden (B7), jumlah responden untuk tiap tipologi adalah 40 responden sehingga totalnya adalah 120 responden. Data mengenai pengelompokan tipologi ditunjukkan pada Tabel 45. Tabel 45 Tipologi Jenis Usaha PKL No. Tipologi Jenis Usaha Jumlah Persen 1. Pasar tumpah 40 33,33 2. Pasar sayur mayur malam 40 33,33 3. Usaha kuliner 40 33,33 Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana PKL tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain Karakteristik Demografis Analisis demografis dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik responden pelaku PKL. Analisis ini mencakup jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pengeluaran per bulan, dan pekerjaan. Analisis ini berguna untuk mengetahui trend demografis pelaku PKL saat ini Jenis Kelamin (A3) Hasil perhitungan analisis demografis untuk jenis kelamin responden disajikan pada Tabel 46 yang menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 91,67 % (110 responden) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 8,33 % (10 responden). Tabel 46. Jenis Kelamin Responden No. Jenis Kelamin Jumlah Persen 1. Laki-laki ,67 2. Perempuan 10 8,33

4 128 Hasil ini nampak wajar mengingat bahwa pada umumnya laki-laki adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab memberi nafkah keluarga. Perempuan yang bekerja sebagai PKL lebih bersifat membantu suami dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Dominasi responden berjenis kelamin laki-laki juga ditunjukkan pada ketiga tipologi PKL. Hasil analisis pada Tabel 47 menunjukkan bahwa responden lakilaki mendominasi setiap tipologi dibandingkan perempuan. Mayoritas responden pasar tumpah (90,00 %), pasar sayur malam (95,00 %), dan pasar kuliner (90,00 %) adalah laki-laki. Tabel 47. Jenis Kelamin Responden Menurut Tipologi No. Jenis Kelamin Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen 1. Laki-laki 36 90, , ,00 2. Perempuan 4 10,00 2 5, ,00 Total , , , Umur (A4) Analisis demografis untuk umur responden dilakukan pada kelompok umur 17 sampai lebih dari 65 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok umur produktif yang melakukan aktivitas usaha dalam mencukupi ekonomi keluarga. Hasil analisis demografis kelompok umur responden disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Kelompok Umur Responden No. Kelompok Umur (tahun) Jumlah Persen , , , ,00 5. > ,83 Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berumur antara tahun sebesar 47,50 %. Urutan selanjutnya adalah kelompok umur 20-30

5 tahun (32,50 %), tahun (15,00 %), 20 tahun (4,17 %), dan > 65 tahun (0,83 %). Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kelompok 129 usia dewasa dan dipandang sudah memiliki pertimbangan yang rasional dalam berusaha. Kecenderungan serupa ditunjukkan dalam analisis kelompok umur responden menurut tipologinya. Untuk ketiga tipologi, kelompok umur antara tahun mendominasi pasar tumpah (47,50 %), pasar sayur malam (55,00 %), dan pasar kuliner (40,00 %). Kelompok umur responden menurut tipologi disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Kelompok Umur Responden menurut tipologi No. Kelompok Tipologi Umur (tahun) Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner Jml % Jml % Jml % ,50 1 2,50 1 2, , , , , , , , , ,50 5. > ,00 0 0,00 1 2,50 Total , , ,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah) Status Perkawinan Analisis demografis untuk status perkawinan responden disajikan pada Tabel 50. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah menikah (72,50 %) dan sisanya (27,50 %) belum menikah. Tabel 50. Status Perkawinan No. Status Perkawinan Jumlah Persen 1. Belum menikah 33 27,50 2. Menikah 87 72,50 Kecenderungan serupa juga ditunjukkan oleh ketiga tipologi dimana mayoritas responden adalah sudah menikah. Hasil ini nampak konsisten dengan

6 130 hasil pada kelompok umur responden dimana mayoritas responden adalah kelompok dewasa yang berada dalam usia pernikahan (Tabel 49). Hasil analisis status perkawinan responden menurut tipologinya disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Status Perkawinan menurut Tipologi PKL No. Pasar Sayur Status Pasar Tumpah Pasar Kuliner Malam Perkawinan Jml % Jml % Jml % 1. Belum menikah 15 37, , ,00 2. Menikah 25 62, , ,00 Total , , ,00 Dari Tabel 51 nampak bahwa untuk tipologi pasar tumpah, sebanyak 62,50 % sudah menikah, untuk pasar sayur malam sebanyak 80,00 % sudah menikah, dan untuk pasar kuliner sebanyak 75,00 % sudah menikah Tingkat Pendidikan (A6) Salah satu ciri dari sektor informal adalah rendahnya tingkat pendidikan para pelakunya. Analisis demografis untuk tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 52. Tabel 52. Tingkat Pendidikan Responden No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen 1. SD/sederajat 67 55,83 2. SMP/sederajat 37 30,83 3. SMA/sederajat 13 10,83 4. Akademi/sederajat 3 2,50 5. Sarjana 0 0,00 6. Pascasarjana 0 0,00 Tabel 52 menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendidikan SD atau sederajat yaitu sebesar 55,83 %. Urutan selanjutnya adalah SMP atau sederajat (30,83 %), SMA atau sederajat (10,83 %), dan akademi atau sederajat (2,50 %). Tidak terdapat responden dengan tingkat pendidikan sarjana dan pascasarjana.

7 131 Tabel 53. Tingkat Pendidikan Responden menurut Tipologi PKL No Pendidikan Pasar Sayur Pasar tumpah Pasar Kuliner Malam Jml % Jml % Jml % 1 SD/sederajat 22 55, , ,00 2 SMP/sederajat 12 30, , ,00 3 SMA/sederajat 6 15,00 0 0, ,50 4 Akademi/sederajat 0 0,00 0 0,00 3 7,50 5 Sarjana 0 0,00 0 0,00 0 0,00 6 Pascasarjana 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Total , , ,00 Berdasarkan tipologinya, dapat dilihat bahwa ketiga tipologi menunjukkan kecenderungan yang sama dimana tingkat pendidikan dasar (SD atau sederajat) mendominasi responden. Tingkat pendidikan untuk pasar kuliner lebih beragam dimana terdapat 7,50 % responden berpendidikan akademi atau sederajat yang kemungkinan disebabkan karena usaha kuliner membutuhkan skill khusus. Tingginya persentase tingkat pendidikan SD menunjukkan bahwa mayoritas responden pelaku PKL berpendidikan rendah. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Timalsina (2011) bahwa aktivitas PKL didominasi oleh migran dari pedesaan dengan pendidikan dan skill rendah. Beberapa peneliti seperti Suharto (2003) dalam studi PKL di Bandung, Budi (2006) dalam studi PKL di Pemalang, Disperindagkop kota Bogor (2009) juga menunjukkan bahwa mayoritas PKL berpendidikan setara SD Asal Responden (A7) Analisis demografis asal responden dimaksudkan untuk mengetahui dampak migrasi tenaga kerja terhadap pertumbuhan PKL di kota Bogor. Hasil analisis asal kota responden disajikan pada Tabel 54. Tabel 54. Asal Kota Responden No. Asal Kota Jumlah Persen 1. Kota Bogor 82 68,33 2. Luar kota Bogor 38 31,67

8 132 Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden berasal dari kota Bogor (68,33 %) dan sisanya (31,67%) berasal dari luar kota Bogor. Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak warga kota Bogor yang bekerja sebagai PKL untuk mendukung aktivitas perekonomiannya. Meskipun hasil ini kurang konklusif, tetapi menunjukkan bahwa profesi PKL bukan saja didominasi oleh pekerja migran tetapi warga lokal juga turut menjalankan aktivitas ini. Tabel 55. Asal Kota Responden menurut Tipologi PKL No. Asal Kota Pasar Sayur Pasar Pasar Tumpah Malam Kuliner Jml % Jml % Jml % 1. Kota Bogor 33 82, , ,00 2. Luar kota Bogor 7 17, , ,00 Total , , ,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah) Hasil ini sejalan dengan temuan Disperindagkop (2010) dalam studi pemetaan lokasi PKL di kota Bogor dimana sebanyak 76 % PKL berasal dari kota Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam usaha PKL karena adanya kedekatan dengan akses berjualan Suku Bangsa (A8) Hasil analisis demografis suku bangsa responden menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah suku Sunda (79,17 %), diikuti oleh suku Jawa (15,83 %), Padang (3,33 %), dan suku lainnya (1,67 %). Hasil analisis suku bangsa responden disajikan pada Tabel 56. Tabel 56. Suku Bangsa Responden No Suku Bangsa Jumlah Persen 1 Jawa 19 15,83 2 Sunda 95 79,17 3 Batak 0 0,00 4 Padang 4 3,33 5 Lainnya 2 1,67

9 133 Berdasarkan tipologinya, suku bangsa responden menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu didominasi oleh suku Sunda. Hasil ini nampak konsisten dengan Tabel 43 dimana mayoritas responden berasal dari kota Bogor (Sunda). Namun perlu dipahami bahwa suku bangsa tidak selalu berkorelasi dengan asal. Contoh, responden yang berasal dari kota Bogor tetapi suku bangsa Jawa karena dia keturunan Jawa yang orang tuanya sudah lama menetap di Bogor sehingga mempunyai KTP Bogor. Hasil analisis suku bangsa menurut tipologi disajikan pada Tabel 57. Tabel 57. Suku Bangsa Responden menurut Tipologi Pasar tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner No Suku Bangsa Jml % Jml % Jml % 1 Jawa 4 10,00 1 2, ,00 2 Sunda 32 80, , ,00 3 Batak 0 0,00 0 0,00 0 0,00 4 Padang 3 7,50 0 0,00 1 2,50 5 Lainnya 1 2,50 0 0,00 1 2,50 Total , , ,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah) Status dalam Keluarga (A9) Analisis demografis responden juga dilakukan terhadap status responden dalam keluarga. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah kepala rumah tangga (69,17 %). Hasil ini konsisten dengan Tabel 50 dimana mayoritas responden sudah menikah. Bila di-crosscheck antara responden yang belum menikah (33 responden) dengan status sebagai anggota keluarga, terlihat bahwa sebanyak 4 responden yang sudah menikah ternyata masih menjadi anggota keluarga. Hal ini disebabkan karena rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga baru sehingga belum memiliki Kartu Keluarga sendiri dan masih menginduk pada orang tua. Hasil analisis status dalam keluarga disajikan pada Tabel 58 dan perbandingan menurut tipologinya disajikan pada Tabel 59.

10 134 Tabel 58. Status Responden Dalam Keluarga No. Status dalam Keluarga Jumlah Persen 1. Kepala rumah tangga 83 69,17 2. Anggota keluarga 37 30,83 Tabel 59. Status Responden Dalam Keluarga menurut Tipologi No. Status dalam Keluarga Pasar Sayur Pasar Pasar Tumpah Malam Kuliner Jml % Jml % Jml % 1. Kepala rumah tangga 24 60, , ,50 2. Anggota keluarga 16 40, , ,50 Total , , , Tanggungan dalam Keluarga (A10) Responden bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya sendiri tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hasil analisis tanggungan dalam keluarga disajikan pada Tabel 60. Tabel 60. Tanggungan dalam Keluarga No. Tanggungan Jumlah Persen 1. Punya tanggungan 71 59,17 2. Tidak punya tanggungan 49 40,83 Tabel 60 menunjukkan bahwa mayoritas responden (59,17 %) memiliki tanggungan dalam keluarga. Jika di-crosschek dengan Tabel 46 maka terlihat bahwa sebagian responden yang berstatus sebagai anggota keluarga memiliki tanggungan keluarga. Tanggungan tersebut dapat berupa orang tua atau kerabat. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 71 responden yang menyatakan memiliki tanggungan, secara rata-rata responden menyatakan memiliki tanggungan lebih dari 3 orang (62,50 %). Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan temuan Disperindagkop (2010) bahwa rata-rata PKL kota Bogor memiliki tanggungan sebanyak 4 orang. Jumlah tanggungan akan berimplikasi kepada beban ekonomi. Semakin banyak tanggungan maka semakin

11 135 besar beban ekonomi yang harus dipenuhi. Hasil analisis jumlah tanggungan keluarga responden disajikan pada Tabel 61. Tabel 61. Jumlah Tanggungan dalam Keluarga No. Tanggungan Jumlah Persen 1. 2 orang 39 54,93 2. > 2 orang 32 45,07 Total , Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga (A12) Analisis berikutnya diarahkan pada tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 96 responden yang memberikan jawaban, mayoritas tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai dalam keluarga adalah SMA atau sederajat (35,42 %). Sebanyak 23,96 % responden menyatakan dapat menyekolahkan tanggungannya sampai ke akademi atau sederajat, dan sebagian kecil (3,13 %) bahkan mampu menyekolahkan sampai tingkat sarjana. Tabel 62. Tingkat Pendidikan Tertinggi dalam Keluarga No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persen 1. SD/sederajat 13 13,54 2. SMP/sederajat 23 23,96 3. SMA/sederajat 34 35,42 4. Akademi/sederajat 23 23,96 5. Sarjana 3 3,13 6. Pascasarjana 0 0,00 Total ,00 Sumber : Data Primer 2011 (diolah) Hasil ini kontradiktif dengan temuan Suharto (2003) pada studi PKL di kota Bandung bahwa mayoritas (80 %) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan, bahkan menurut pandangan umum pekerjaan PKL sebagai sektor inferior dibandingkan sektor formal dan seringkali dikaitkan dengan faktor kemiskinan perkotaan. Faktanya, mereka mampu menyekolahkan anak pada pendidikan menengah sampai tinggi sehingga mereka tidak dapat dikatakan miskin.

12 Kondisi Kesehatan (A13) Kondisi kesehatan keluarga PKL didekati dengan pertanyaan mengenai jumlah keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir. Pertanyaan ini juga digunakan untuk mengetahui kontribusi PKL terhadap pembangunan kota Bogor dalam analisis regresi pada bagian pembahasan berikutnya. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga PKL dalam tiga bulan terakhir disajikan pada Tabel 63. Tabel 63. Kondisi Kesehatan Keluarga PKL selama 3 bulan terakhir No. Kondisi Kesehatan Jumlah Persen 1. Ya 45 37,50 2. Tidak 75 62,50 Hasil analisis menunjukkan mayoritas responden (62,50 %) menyatakan bahwa selama tiga bulan terakhir tidak ada keluarga yang sakit dan 37,50 % menyatakan ada sebagian anggota keluarga yang sakit. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kesehatan responden secara umum cukup baik. Perbandingan antar tipologi menunjukkan kecenderungan serupa dimana mayoritas responden menyatakan tidak ada keluarga yang sakit dalam tiga bulan terakhir. Untuk tipologi pasar kuliner, mayoritas responden (55,00 %) menyatakan bahwa terdapat keluarga yang sakit selama tiga bulan terakhir meski jumlahnya tidak jauh berbeda dengan yang menyatakan tidak ada keluarga yang sakit. Hasil analisis kondisi kesehatan keluarga menurut tipologi disajikan pada Tabel 64. Tabel 64. Kondisi Kesehatan Keluarga Menurut Tipologi No. Keberadaan Anggota Keluarga yang Sakit Pasar Tumpah Pasar Sayur Malam Pasar Kuliner Jml % Jml % Jml % 1. Ya 13 32, , ,00 2. Tidak 27 67, , ,00 Total , , ,00 Tidak semua responden bersedia menyebutkan rata-rata pengeluaran kesehatan per bulan (A14). Sebanyak 40 responden memberikan respon terhadap

13 137 biaya pengobatan. Asumsi kisaran biaya pengobatan adalah sakit ringan ke dokter umum atau hanya membeli obat ringan ke apotik/toko adalah kurang dari Rp ,-/bulan, sakit sedang antara Rp ,- sampai Rp ,-/bulan, dan sakit berat lebih dari Rp ,-/bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (47,50 %) mengeluarkan biaya pengobatan kurang dari Rp ,-/bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa sakit yang dialami anggota keluarga umumnya berupa sakit ringan seperti flu, pusing, demam, dan lain-lain yang hanya membutuhkan obat-obatan ringan. Hasil analisis biaya berobat disajikan pada Tabel 65. Tabel 65. Biaya Berobat Responden No. Biaya Berobat (Rp) Jumlah Persen , ,50 3. > ,00 Total ,00 Analisis lebih lanjut terhadap kondisi kesehatan keluarga responden diarahkan pada pertanyaan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir (A15). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa frekuensi sakit per bulan rata-rata adalah 1,6. kali per keluarga. Merujuk pada hasil biaya berobat, sakit tersebut adalah sakit ringan dan dapat diobati dengan obat-obatan yang umum tersedia di pasar Kondisi Ekonomi (A16) Sektor informal seringkali dikaitkan dengan kemiskinan perkotaan sehingga pertanyaan berikutnya diarahkan pada salah satu indikator kemiskinan yang digunakan di Indonesia yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT adalah kompensasi berupa transfer cash akibat dicabutnya subsidi bahan bakar minyak bagi keluarga kurang mampu, yang diberikan per tiga bulan. Meski banyak diperdebatkan BLT tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pemerintah. BLT menjadi salah satu indikator apakah suatu keluarga dikatakan kurang mampu atau tidak. Salah satu indikator penerima BLT adalah berpendapatan kurang dari Rp ,- per bulan. Hasil analisis responden sebagai penerima BLT disajikan pada Tabel 66.

14 138 Tabel 66. Responden Penerima BLT No. Mendapatkan BLT Jumlah Persen 1. Ya 7 5,83 2. Tidak ,17 Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 94,17% responden tidak menerima atau bukan penerima BLT. Hasil analisis tersebut mengejutkan dan kontradiktif dengan pandangan umum bahwa PKL berhubungan dengan kemiskinan. Suharto (2003) menemukan bahwa mayoritas (80%) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan. Dengan referensi indikator manusia dan modal sosial, PKL dapat dikategorikan tidak miskin karena memiliki pendidikan dasar mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski propensitas dalam aktivitas sosial rendah. Pendekatan dalam analisis ini digunakan dengan asumsi bahwa penerima BLT adalah keluarga miskin Karakteristik Usaha PKL sekarang bukan lagi sebagai pekerjaan sampingan tetapi sudah menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat. Untuk lebih mengetahui kondisi usaha PKL maka beberapa pertanyaan yang terkait dengan karakteristik usaha diajukan kepada responden. Pertanyaan tersebut adalah : usaha sebelum menjadi PKL (B1), motivasi menjadi PKL (B2), lama menjadi PKL (B3), pernah berusaha di tempat lain (B4), alasan pemilihan lokasi PKL (B5), jenis barang dagangan (B6), tipologi (B7), prasaranan usaha (B8), pengelompokan usaha (B9), waktu usaha (B10), lokasi nama jalan tempat usaha (B11), tempat usaha (B12), luas penggunaan tempat (B13), kondisi kebersihan lokasi usaha (B14), posisi lokasi usaha (B15), usaha serupa di tempat lain (B16), jumlah usaha di tempat lain (B17) dan registrasi usaha (B18). Untuk kepentingan pembahasan, pertanyaan tipologi (B7) dan lokasi nama jalan tempat usaha (B11) dibahas terpisah di bagian atas pada distribusi sampel dan tipologi PKL.

15 Usaha/Pekerjaan sebelum Menjadi PKL Usaha PKL menjadi alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan posisi pekerjaan di sektor formal. PKL sebagai bagian dari sektor informal muncul ke permukaan karena sektor formal tidak memberikan ruang lingkup yang cukup sehingga kegiatan ekonomi berlangsung di luar sektor yang terorganisir. Hasil analisis usaha responden sebelum menjadi PKL disajikan pada Tabel 67. Tabel 67. Usaha Sebelum menjadi PKL (B1) No. Usaha sebelum PKL Jumlah Persen 1. Tidak punya usaha 46 38,33 2. Karyawan swasta 25 20,83 3. Pedagang kios pasar 7 5,83 4. Usaha di rumah 12 10,00 5. Lainnya (kuli, asongan, sayur) 30 25,00 Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden (38,33 %) menyatakan tidak mempunyai usaha sebelum menjadi PKL. Hasil analisis ini sejalan dengan pandangan Bromley (dalam Manning dan Effendi, 1996) yang menyatakan bahwa usaha PKL merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam sektor informal di kota. Kekhususan tersebut dikarenakan usaha ini relatif paling mudah dimasuki. Hasil analisis juga menunjukkan meski masih dikategorikan PKL, banyak responden memiliki usaha lain (25,00 %) berganti usaha ke tiga tipologi yang digunakan dalam analisis penelitian ini yang mungkin lebih menguntungkan dari sisi pendapatannya. Hasil ini mengindikasikan bahwa sebenarnya PKL sudah memiliki jiwa kewirausahaan sehingga sangat paham akan usahanya, jika dirasakan kurang menguntungkan akan berganti ke usaha PKL lain. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sebanyak 20,83 % responden sebelumnya bekerja di sektor formal (karyawan swasta). Perpindahan menjadi PKL disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara masif selama krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 dan Alasan lain terkait dengan rendahnya upah bagi pekerja kelas buruh di Indonesia. Upah

16 140 minimum regional untuk kota Bogor pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp ,-. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Upah Minimum Regional dan Upah Minimum Propinsi tetapi dirasakan masih kurang mencukupi tuntutan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat. Sebanyak 10 % responden memiliki usaha di rumah sebelum menjadi PKL. Karakteristik usaha di rumah sangat berbeda dengan usaha PKL yang langsung berhubungan dengan konsumen meski dari sisi tempat usaha lebih ada jaminan. Sebanyak 5,83 % responden menyatakan bekerja sebagai pedagang kios pasar sebelum menjadi PKL. Mereka menjadi PKL disebabkan oleh: Pertama, terjadi kebakaran Pasar Anyar sehingga banyak pedagang kios pasar yang kehilangan tempat usaha. Kedua, meningkatnya biaya sewa kios pasar resmi sehingga mereka tidak mampu menutup biaya sewa untuk usahanya. Ketiga, semakin longgarnya penertiban kawasan PKL yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor Motivasi Menjadi PKL (B2) Beragam motif mendasari responden untuk menjadi PKL. Untuk mengetahui jawaban motivasi ini maka responden dapat memberikan lebih dari satu jawaban terhadap pertanyaan ini sehingga total diperoleh 123 jawaban. Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih bekerja sebagai PKL karena lebih menguntungkan (29,27 %) dibandingkan usaha lain yang dapat mereka lakukan. Tabel 68. Motivasi Menjadi PKL No. Motivasi Menjadi PKL Jumlah Persen 1. Menganggur 28 22,76 2. PHK 7 5,69 3. Usaha lebih menguntungkan 36 29,27 4. Merintis usaha lebih besar 28 22,76 5. Modal usaha ringan atau kecil 24 19,51 Total ,00 Tabel 68 juga menunjukkan bahwa sebanyak 22,76 % responden memiliki motivasi merintis usaha lebih besar. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki harapan untuk mengembangkan usaha dimana aktivitas PKL digunakan sebagai

17 141 batu loncatan. Hal ini dapat terwujud bila Pemerintah Kota lebih memperhatikan kapasitas mereka dalam berusaha. Banyak contoh PKL yang sekarang memiliki usaha lebih besar. Sebagian responden menjadi PKL karena menganggur (22,76 %) dan karena PHK (5,69 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa PKL mampu menjadi pekerjaan alternatif bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau mereka yang terkena PHK di tempat kerjanya. Survei Disperindagkop (2010) menemukan bahwa mayoritas PKL memiliki keinginan berdagang dari diri sendiri (66 %), diajak keluarga (23 %), diajak teman (10 %), dan lainnya (1 %). Dari sisi pajak dan regulasi, Schneider (2002) menemukan bahwa orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan, di antara yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi Lama Menjadi PKL (B3) Berdasarkan lama menjadi PKL, mayoritas responden telah menggeluti usaha ini lebih dari 5 tahun (47,50 %). Sebanyak 52 responden (43,33 %) menyatakan bahwa mereka telah mulai membuka usaha kaki lima antara 1-5 tahun dan sebanyak 9,17 % responden menjalankan usahanya kurang dari setahun. Hasil ini mengindikasikan bahwa kegiatan usaha kaki lima bukan lagi menjadi pekerjaan sampingan tetapi alternatif mata pencaharian utama yang dapat menjaga kelangsungan hidup keluarga PKL. Hasil analisis lama menjadi PKL disajikan pada Tabel 69. Tabel 69. Lama Menjadi PKL No. Lama Menjadi PKL Jumlah Persen 1. 1 tahun 11 9, tahun 52 43,33 3. >5 tahun 57 47,50 Sumber : Data Primer 2011 (diolah) Di satu sisi, lama menjadi PKL juga menunjukkan bahwa usaha PKL dapat memberikan pendapatan yang mencukupi bagi pelaku PKL dan di sisi lain mengindikasikan bahwa belum tersedia lapangan kerja yang lebih baik bagi pelaku PKL.

18 Keberadaan Usaha di Tempat Lain (B4) Eksplorasi lebih lanjut terhadap pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain menunjukkan bahwa mayoritas responden (55,00 %) pernah berjualan di tempat lain dan sisanya (45,00 %) belum pernah berusaha di tempat lain. Dengan kata lain mereka berpindah ke lokasi sekarang. Perpindahan ini karena penggusuran, lokasi yang lebih ramai dan menguntungkan, lebih dekat dengan tempat tinggal atau alasan-alasan lain. Hasil analisis pernah-tidaknya responden berusaha atau berjualan di tempat lain disajikan pada Tabel 70. Tabel 70. Pernah-Tidaknya Responden Berusaha atau Berjualan di Tempat Lain No. Pernah Usaha di Tempat Lain Jumlah Persen 1. Ya 66 55,00 2. Tidak 54 45, Pemilihan Lokasi (B5) Keberhasilan usaha PKL sangat tergantung pada keputusan pemilihan lokasi. Untuk mengetahui kisaran jawaban yang lebih luas, maka responden dapat menjawab lebih dari satu jawaban. Hasil analisis faktor pemilihan lokasi disajikan pada Tabel 71. Tabel 71. Alasan Pemilihan Lokasi Seluruh Sampel No. Alasan Memilih Lokasi Jumlah Persen 1. Ramai/sering dikunjungi pembeli 80 44,44 2. Pendapatan memuaskan 17 9,44 3. Biaya transportasi murah/dekat rumah 33 18,33 4. Berkumpul dengan usaha sejenis 10 5,56 5. Tidak mampu beli kios 25 13,89 6. Kios resmi penuh 3 1,67 7. Lainnya 12 6,67 Total ,00 Hasil analisis pada Tabel 71 menunjukkan bahwa mayoritas responden (44,44 %) memilih lokasi dengan pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli. Urutan berikutnya adalah biaya transportasi murah/dekat rumah (18,33 %), tidak

19 143 mampu membeli kios (13,89 %), pendapatan memuaskan (9,44 %), pertimbangan lainnya (6,67 %), berkumpul dengan usaha sejenis (5,56 %), dan kios resmi penuh (1,67 %). Pertimbangan ramai atau sering dikunjungi pembeli paling banyak menjadi alasan responden. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi pemasaran, yaitu mendekatkan komoditi pada konsumen (place utility). Dengan demikian, aktivitas kegiatan perdagangan sektor informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian seperti pada kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan, perumahan, dan lokasi-lokasi strategis lainnya. Bromley dalam Manning dan Effendi (1996) menggunakan studi pedagang sektor informal di Cali, Colombo, menyatakan bahwa para pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota, terutama berpusat di tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada pertunjukan, sehingga menarik sejumlah besar penduduk. Kecenderungan penggunaan ruang kota bagi aktivitas usaha PKL tidak lepas dari keberadaan sektor formal di suatu lokasi. McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa pada umumnya PKL cenderung berlokasi secara mengelompok pada area yang memiliki tingkat intensitas aktivitas yang tinggi, seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau lokasi-lokasi yang memiliki aktivitas hiburan, pasar, maupun ruang terbuka. Studi yang dilakukan oleh Joedo (1977) dalam Widjajanti (2000) menemukan bahwa lokasi yang diminati aktivitas perdagangan sektor informal, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama sepanjang hari. Ciri ini bisa kita jumpai di lokasilokasi perdagangan, pendidikan, dan perkantoran. 2. Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar. Kondisi ini merupakan ciri dari lokasi-lokasi wisata atau ruangruang rekreatif kota, seperti taman kota dan lapangan olah raga yang biasa ramai di hari libur. 3. Mempunyai kemudahan untuk terjadinya hubungan antara pedagang dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit.

20 Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Transportasi murah/dekat rumah juga menjadi pertimbangan responden dalam memilih lokasi usaha. Hasil penelitian Rachbini dan Hamid (1994) mengenai PKL di Jakarta dan Surabaya mengemukakan bahwa ada korelasi yang tinggi antara tingkat mobilitas tempat usaha dengan mobilitas tempat tinggal. Dengan kata lain mobilitas tempat tinggal terjadi karena mobilitas tempat usaha dan bukan sebaliknya. Massa pedagang dan jasa informal harus mengikuti dan bertempat tinggal di mana saja dan ke mana gerobak alat dagangannya akan dipangkalkan. Mereka harus dekat dengan tempat usaha. Jika tidak, mereka akan dililit oleh masalah ongkos transportasi dan kesulitan-kesulitan lain menyangkut cara membawa dan menyimpan alat-alat usahanya. Dalam teori lokasi yang mengemukakan tentang transportasi disebutkan bahwa penting untuk menentukan lokasi sehingga diperoleh biaya angkutan minimum (Djojodipuro, 1992). Hal ini berkaitan pula dengan ketersediaan sarana transportasi, baik bagi PKL bersangkutan maupun bagi pembeli/konsumen. Aktivitas perekonomian kota umumnya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan pelaku kegiatan Jenis Barang Dagangan (B6) Jenis barang dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana pedagang tersebut beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu : 1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah seperti daging, buah-buahan, dan sayuran. 2. Makanan siap saji, seperti nasi dan lauk-pauk serta minuman. 3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. 4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain sebagainya. Hasil analisis jenis barang dagangan PKL untuk tiga tipologi PKL disajikan pada Tabel 72.

21 145 Tabel 72. Jenis Barang Dagangan PKL No. Jenis Barang Dagangan Jumlah Persen 1. Sayur- mayur 51 42,50 2. Makanan/lauk-ppauk mentah 11 9,17 3. Bumbu dapur 4 3,33 4. Makanan/minuman jadi 36 30,00 5. Asesoris 1 0,83 6. Lainnya 17 14,17 Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas pedagang (42,50 %) memilih berdagang sayur-mayur, diikuti oleh makanan/minuman jadi (30,00 %), barang dagangan lainnya (14,17 %), makanan/lauk-pauk mentah (9,17 %), bumbu dapur (3,33 %), dan asesoris (0,83 %). Hasil ini konsisten dengan tipologi pedagang yang digunakan sebagai populasi penelitian yaitu pasar tumpah dengan jenis barang dagangan beragam (jenis barang dagangan lainnya), pasar sayur malam (jenis barang dagangan sayur-mayur), dan pasar kuliner (jenis barang dagangan makanan/lauk-pauk mentah dan makanan/minuman jadi) Jenis Sarana Usaha yang Digunakan (B8) Bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McGee dan Yeung (1977) di kota-kota di Asia Tenggara menunjukkan bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Hasil analisis terhadap tiga tipologi PKL (Tabel 73) menunjukkan bahwa mayoritas responden (49,17 %) menggunakan gelaran atau hamparan dalam berdagang. Gelaran atau alas tersebut berupa tikar, terpal, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangan. Pedagang PKL tipe ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static).

22 146 Tabel 73. Sarana Usaha yang Digunakan PKL No. Sarana Usaha Jumlah Persen 1. Warung tenda 23 19,17 2. Gerobak/kereta dorong 30 25,00 3. Pikulan/keranjang 6 5,00 4. Gelaran/hamparan 59 49,17 5. Kios 0 0,00 6. Sementara 1 0,83 7. Lainnya: mobil, sepeda, dan lain-lain 1 0,83 Sebanyak 25,00 % responden menggunakan gerobak atau kereta dorong. Bentuk sarana ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan sebagai aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok. Dikelompokkan permanen jika gerobak/kereta dorong tersebut tidak dipindah-pindah atau menetap dan dikatakan semi permanen jika berpindah-pindah. Warung tenda juga banyak digunakan sebagai sarana usaha (19,17 %). Gerobak/kereta dorong diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan/atau meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat dari plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air. Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL demikian dapat dikategorikan sebagai pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan makanan dan minuman. Sebagian PKL (5,00 %) menggunakan pikulan/keranjang. Bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan beragam jenis barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat. Tidak terdapat PKL yang menggunakan sarana kios (0,00 %). Bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga

23 147 menyerupai sebuah bilik semi permanen dan si pedagang juga tinggal di tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static). Sarana lain seperti mobil, sepeda, dan lain-lain juga digunakan oleh PKL (0,83 %). Bentuk sarana ini digunakan oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static) yang berpindah-pindah lokasi untuk mencari konsumen Pola Penyebaran PKL (B9) Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas PKL dapat dikelompokkan dalam 2 pola, yaitu berkelompok dengan usaha sejenis dan bercampur dengan usaha jenis lain. Hasil analisis pola penyebaran PKL disajikan pada Tabel 74. Tabel 74. Pola Penyebaran PKL No. Pengelompokan Dagangan Jumlah Persen 1. Berkelompok dengan usaha sejenis 35 29,17 2. Bercampur dengan usaha jenis lain 85 70,83 Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden bercampur dengan usaha jenis lain (70,83 %). Pada umumnya pola penyebaran memanjang atau linier concentration terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau pada jalan yang menghubungkan jalan utama. PKL tipe ini dapat ditemukan di sekitar Taman Topi, Merdeka, Pasar Bogor, Pasar Anyar dimana pola jaringan jalan menentukan aktivitas PKL. Pola kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Dari sisi pangsa pasar, hal ini sangat menguntungkan, karena mempunyai peluang yang tinggi dalam maraih konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah pakaian, sepatu, kelontong, dan sebagainya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa PKL memiliki pola berkelompok dengan usaha sejenis (29,17 %). Pola penyebaran seperti ini biasanya banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang sejenis atau pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama atau saling menunjang di suatu tempat. Dari tiga tipologi pedagang yang dianalisis, pola ini dapat ditemukan pada pasar sayur malam (Pasar Bogor, Pasar Anyar, Merdeka) dan pasar kuliner (Merdeka, depan Pusat Grosir Bogor, dan Jembatan Merah).

24 Waktu Operasi PKL (B10) McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan denganp irama ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal. Adapun perilaku kegiatan keduanya cenderung sejalan, walaupun pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak ada hubungan langsung antara keduanya. Hasil analisis waktu operasi PKL disajikan pada Tabel 75. Tabel 75. Waktu Operasi PKL No. Waktu Operasi Jumlah Persen 1. Malam-Pagi 39 32,50 2. Pagi-Malam 9 7,50 3. Pagi-Siang 51 42,50 4. Siang-Malam 21 17,50 Dalam penelitian ini, waktu operasi dibagi ke dalam 4 kelompok. Jika diamati, pengelompokan waktu operasi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas operasi PKL di kota Bogor berlangsung penuh selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas PKL beroperasi pada waktu pagi-siang (42,50 %). Waktu operasi ini sesuai dengan aktivitas masyarakat umum yang umumnya berlangsung pagi-siang sehingga dengan waktu tersebut mereka dapat memperoleh konsumen secara maksimal. Kondisi ini dapat teramati di sekitar Pasar Anyar dan Merdeka dimana pada waktu pagi-siang PKL beroperasi penuh, sedangkan menjelang sore-malam kondisinya sangat sepi. Urutan waktu operasi berikutnya adalah malam-pagi (32,50 %). PKL tipe ini umumnya adalah pasar sayur malam. Waktu operasi berikutnya adalah siangmalam (17,50 %) yang biasanya adalah PKL pasar kuliner, penjual kelontong dan penjual pakaian yang menggunakan tempat/kios kecil di tempat-tempat ramai Lama Waktu Operasi (C2) Hasil analisis data menunjukkan bahwa rata-rata PKL bekerja selama 10 jam (9,73 jam) per hari. Waktu operasi ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan jam kerja kantoran dari jam yaitu sekitar 8 jam. Pengamatan lapangan

25 149 menunjukkan bahwa lama waktu operasi ini tergantung pada setiap PKL. Mereka cenderung berhenti bekerja jika barang dagangannya sudah cukup terjual. Tabel 76. Lama Waktu Operasi No. Lama Kerja (jam) Ya Persen 1. < = 5 5 4, ,17 3. > ,67 Dari sisi jumlah hari kerja dalam seminggu (C3), hasil analisis yang disajikan pada Tabel 77 menunjukkan bahwa mayoritas responden (75.00%) bekerja penuh selama seminggu tanpa memiliki hari libur. Kondisi ini mencirikan aktivitas usaha informal dimana mereka mengatur sendiri waktu liburnya. Mereka akan libur bila ada keperluan tertentu saja. Tabel 77. Lama Hari Kerja dalam Seminggu No. Lama Kerja (Hari) Ya Persen , , , Tempat Usaha (B12) Hasil analisis pemanfaatan ruang bagi usaha PKL disajikan pada Tabel 78. Hasil analisis untuk ketiga tipologi menunjukkan bahwa mayoritas PKL menempati badan jalan (48,33 %), trotoar (37,50 %), dan lahan parkir (14,17 %). Tabel 78. Tempat Usaha No. Tempat Usaha Jumlah Persen 1. Trotoar 45 37,50 2. Lahan Parkir 17 14,17 3. Badan Jalan 58 48,33 Total ,00

26 150 Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa PKL menempati ruang publik dan ruang privat. Ruang publik merupakan ruang milik pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas, seperti taman atau hutan kota, trotoar, ruang terbuka hijau, lapangan, dan sebagainya, termasuk fasilitas atau sarana yang terdapat di dalamnya seperti halte, jembatan penyeberangan, dan sebagainya. Ruang privat atau pribadi adalah ruang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, seperti lahan pribadi pemilik pertokoan, perkantoran, dan sebagainya. Penggunaan ruang-ruang inilah yang akhirnya menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) antara Pemerintah Kota, PKL, masyarakat dan bahkan pemilik ruang privat yang lahannya dipakai untuk PKL. Bentuk penyelesaian konflik sangat kompleks. Dari sisi pelaku PKL (Tabel 79), penempatan usaha di ruang publik dan privat tersebut dipandang strategis (96,67 %). Dari sisi usaha, PKL akan memilih lokasi yang mendekati pasar atau pembeli. Mereka akan berusaha agar barang atau jasa yang dijual terlihat oleh pembeli. Tabel 79. Posisi Lokasi Usaha No. Posisi Usaha Jumlah Persen 1. Strategis ,67 2. Tidak Strategis 4 3,33 Dari aspek pemasaran, mereka akan memilih lokasi-lokasi yang strategis dan menguntungkan di pusat kota atau lokasi aktivitas masyarakat, seperti lokasi aktivitas perdagangan, pendidikan, perkantoran, dan aktivitas sosial masyarakat lainnya. Dalam teori lokasi disebutkan bahwa bagi pedagang terdapat kecenderungan untuk berorientasi kepada konsentrasi konsumen dalam menentukan lokasi tempat usaha (Djojodipuro, 1992). Sesuai pula dengan yang dikatakan dalam ilmu manajemen bahwa salah satu kriteria dalam pemilihan lokasi adalah dekat dengan pasar ( Umar H, 2005) Luas Tempat Usaha (B13) Analisis berikutnya diarahkan pada luas tempat (ruang) yang digunakan oleh PKL dalam menjalankan usaha (Tabel 80). Dari keseluruhan responden yang

27 dianalisis rata-rata pemanfaatan ruang PKL adalah 4 m 2. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil analisis Budi (2005) yang mengkaji penyebaran PKL di Tegal 151 dimana rata-rata pemanfaatan ruang oleh PKL adalah lebih dari 5 m 2. Perbedaan hasil ini terkait dengan perbedaan tipologi PKL yang dianalisis. Semakin besar luas ruang yang digunakan maka akan semakin banyak ruang publik atau privat yang terpakai. Dengan kata lain hasil ini berimplikasi strategis bagi pengaturan ruang yang dapat dipakai PKL dalam menjalankan usahanya. Tabel 80. Luas Ruang yang Digunakan PKL No. Luas Lahan (m 2 ) Jumlah Persen , ,67 3. > ,00 Total ,33 Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menempati ruang lebih dari 3 m 2 (60,00 %), menempati ruang 1 sampai 3 m 2 (46,67 %), dan sisanya kurang dari 1 m 2. Luas penggunaan ruang ini berhubungan erat dengan sarana dan prasarana PKL. Budi (2005) menemukan hubungan yang signifikan antara sarana dagang dengan luas ruang. Implikasinya adalah dalam peraturan daerah perlu diperhitungkan jenis sarana dagang dan luas tempat agar dapat dibatasi jumlah PKL yang menempati suatu lokasi Penilaian terhadap Kondisi Kebersihan (B14) Pemanfaatan ruang untuk aktivitas PKL berhubungan dengan kondisi kebersihan sekitarnya. Terdapat pandangan umum bahwa PKL menyebabkan lingkungan yang kotor dan mengurangi estetika wajah kota. Kondisi kebersihan juga berhubungan dengan rentan-tidaknya pelaku PKL terhadap penyakit. Untuk menguji pandangan ini maka dilakukan penilaian terhadap kondisi kebersihan untuk aktivitas PKL yang dilakukan oleh petugas survei dengan melakukan pengamatan kondisi sekitar usaha dan kondisi usaha PKL tanpa sepengatahuan PKL. Hasil analisis kondisi kebersihan aktivitas PKL disajikan pada Tabel 81.

28 152 Tabel 81. Kondisi Kebersihan No. Kondisi Kebersihan Jumlah Persen 1. Bersih 31 25,83 2. Kotor 89 74,17 Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas PKL dikategorikan kotor (74,17 %). Hasil ini berimplikasi penting bagi strategi penataan PKL yang membutuhkan keterlibatkan beberapa pihak secara langsung seperti Dinas Kebersihan dan Dinas Kesehatan terutama untuk memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap masalah kebersihan dan kesehatan. Dalam konteks ini, Mehrotra and Mario (2002) menemukan bahwa masalah kesehatan PKL memerlukan intervensi publik yaitu perhatian dari otoritas kota untuk memberikan bimbingan kepada PKL Keberadaan Usaha di Tempat Lain Kepemilikan usaha PKL di tempat lain perlu juga dikaji. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi lebih lanjut jiwa kewirausahaan responden pelaku PKL. Jika usahanya dipandang layak dan menguntungkan, biasanya mereka akan membangun usaha sejenis di tempat lain. Pertanyaan ini juga berimplikasi pada strategi pengelolaa PKL dimana perlu pengaturan batas maksimal usaha PKL yang dapat dimiliki seseorang. Dengan demikian maka jumlah PKL tidak melebihi ambang batas kapasitas maksimal yang dapat diterima di suatu tempat atau kota. Berdasarkan Perda No. 13 Tahun 2005, terdapat larangan bagi PKL untuk mempunyai tempat usaha di lebih dari satu tempat yang bertujuan untuk membatasi jumlah PKL. Tabel 82. Kepemilikan Usaha di Tempat Lain No. Usaha di Tempat Lain Jumlah Persen 1. Ya 14 11,67 2. Tidak ,33 Sesuai tipologinya maka hasil analisis pada Tabel 82 menujukkan bahwa mayoritas PKL di kota Bogor tidak memiliki usaha sejenis di tempat lain

29 153 (88,33%) dan sisanya (11,67 %) memiliki usaha di tempat lain. Analisis lebih lanjut terhadap 14 responden (yang memiliki lapak di tempat lain) menunjukkan bahwa secara rata-rata mereka memiliki 2 lapak. Lapak yang satu biasanya dioperasikan oleh kerabat atau orang lain yang diberi upah Registrasi PKL (B18) Salah satu karakteristik sektor informal adalah tidak teregulasi atau tidak terdaftar dalam institusi resmi. Untuk menguji tesis ini, maka diajukan beberapa pertanyaan terkait dengan apakah responden terdaftar dalam institusi pajak, pemerintah lokal, koperasi, paguyuban atau ormas/lsm. Pertanyaan tersebut mempunyai implikasi kebijakan bagi pengelolaan PKL di kota Bogor. Hasil analisis disajikan pada Tabel 83 yang menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di kantor pajak (90,83 %), namun bukan berarti mereka menghindari pajak. Richardson (1984) menyatakan bahwa motivasi utama sebagai PKL adalah untuk mata pencaharian dan pendapatan dibandingkan keuntungan. Schneider (2002) menyatakan hal sebaliknya dimana salah satu motivasi dalam menjalankan PKL adalah pajak. Kedua pendapat di atas dapat saja benar karena inti permasalahannya adalah tidak atau belum terdaftar di kantor pajak sehingga sering disebut juga sebagai hidden economy. Timalsina (2011) menyatakan bahwa karena dipandang sebagai aktivitas non profit, maka PKL (atau lebih umumnya sektor informal) tidak berkontribusi dalam ekonomi nasional dalam sisi pajak. Implikasi kebijakannya adalah jika sektor ini ingin diformalkan maka kantor pajak atau pemerintah daerah/kota perlu melakukan pendataan pelaku sektor ini. Tabel 83. Registrasi PKL Terdaftar di Tidak No. Ya % Tidak % % Total Institusi Tahu 1. Kantor pajak 1 0, , , Pemerintah Daerah 4 3, , , Koperasi 3 2, , , Paguyuban 44 36, ,67 2 1, Ormas/LSM 0 0, , ,17 120

30 154 Hasil analisis juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di pemerintahan daerah (87,50 %). Dalam penelitian ini yang dimaksud terdaftar adalah sudah diberi ijin penggunaan lokasi. Data Disperindagkop kota Bogor per 25 Nopember 2008 seperti tertera pada Tabel 84 menunjukkan jumlah PKL yang sudah terdaftar di Disperindag sangat kecil dibandingkan jumlah PKL yang ada di kota Bogor. Tabel 84. Rekapitulasi PKL yang Sudah Mendapatkan Ijin Penggunaan Lokasi PKL per 28 Nopember 2008 No. Lokasi Jumlah PKL berijin 1. Jl. Pajajaran (samping Balitnak IPB) Gg. Selot (samping SMAN 1 Bogor) Seputar Air Mancur Jl. Pengadilan (samping DTKP) Jl. Pajajaran (samping Damkar) Jl. Otista 14 Jumlah 167 Sumber : Disperindagkop (2011) Di sisi lain data yang didapatkan dari Disperindagkop hanya berisi daftar PKL tahun Belum terdapat update versi terbaru untuk data ini. Dengan metodologi yang kurang tepat dan jumlah sampel yang kurang representatif, pada tahun 2010 konsultan PT. Oxalis Subur (2010) melakukan penelitian untuk memetakan PKL dengan menggunakan GIS. Hasil penelitian tersebut ternyata semakin mengaburkan pemetaan PKL. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa diperlukan pendaftaran ulang secara detil, PKL di kota Bogor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas respoden tidak terdaftar di koperasi (88,33 %). Koperasi adalah organisasi otonom yang berada dalam lingkungan sosial ekonomi dan sistem yang memungkinkan setiap individu/kelompok orang merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan itu melalui aktivitas ekonomi yang dilaksanakan secara bersama. Kegiatan koperasi dilandasiprinsip gerakan ekonomi rakyat berdasarkan asas kekeluargaan. Yang dimaksud koperasi dalam penelitian ini adalah koperasi hasil bentukan PKL atau Pemerintah Kota sebagai wadah organisasi PKL.

LAMPIRAN KUISIONER DATA UMUM PKL DI KOTA BOGOR

LAMPIRAN KUISIONER DATA UMUM PKL DI KOTA BOGOR 80 LAMPIRAN Lampiran 1 Kuisioner untuk KUISIONER DATA UMUM DI KOTA BOGOR A. IDENTIFIKASI RESPONDEN A.1. Nama Responden : A.2. Alamat : A.3. Jenis Kelamin : 1 Laki-laki 2 Perempuan A.4. Umur Bapak/Ibu :.Tahun

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 16 48 BT dan 6 26 LS serta mempunyai ketinggian minimal rata-rata 19 meter, maksimal 35 meter dengan

Lebih terperinci

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR Oleh: SULISTIANTO L2D 306 023 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PKL muncul sebagai salah satu bentuk sektor informal perkotaan. Rachbini dan Hamid (1994) menyebutkan bahwa sektor informal secara struktural menyokong sektor formal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menegakkan prinsip-prinsip kemuliaan, persamaan hak, dan keadilan manusia di tingkat global. Oleh karena itu sebagai pemimpin, kita mempunyai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN KEBUTUHAN RUANG PKL DI KORIDOR SURYAKENCANA Dhian Krisna Kusuma Umar Mansyur Ni Made Esti Program Studi Perencanaan

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : RISA NIKEN RATNA TRI HIYASTUTI L2D 002 432 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

V. PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR

V. PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR V. PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR 5.1. Kebijakan Pengelolaan Pasar Tradisional Kota Bogor Terdapat tujuh buah pasar tradisional yang dibangun oleh Pemerintah Kota Bogor untuk menunjang perekomomian dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM UPTD PASAR BARU BOGOR

BAB V GAMBARAN UMUM UPTD PASAR BARU BOGOR BAB V GAMBARAN UMUM UPTD PASAR BARU BOGOR 5.1 Gambaran Umum UPTD Pasar Baru Bogor Penelitian ini dilakukan di UPTD Pasar Baru Bogor, merupakan salah satu dari 7 unit dari pasar yang ada di Kota Bogor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA

HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA MURTANTI JANI R, S.T., M.T. PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA RINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tergolong tinggi. Saat ini jumlah pengangguran di Indonesia terbuka ada 7,7 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. masih tergolong tinggi. Saat ini jumlah pengangguran di Indonesia terbuka ada 7,7 juta jiwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi suatu negara akan selalu berhubungan dengan jumlah penduduk dari suatu negara tersebut. Jika ekonomi suatu negara meningkat maka akan mengurangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Kota Payakumbuh yang strategis menjadikannya sebagai salah satu kota yang memainkan peran penting di Propinsi Sumatera Barat. Kota Payakumbuh merupakan gerbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang tidak bisa lepas dari sektor informal. Keberadaan sektor informal di Indonesia tidak terlepas dari proses pembangunan yang sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : OKTARINA DWIJAYANTI L2D 002 424 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR Oleh: HAPSARI NUGRAHESTI L2D 098 433 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

S - 16 KAJIAN PENATAAN PKL BERDASARKAN PREFERENSI PKL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI KAWASAN PASAR SUDIRMAN PONTIANAK

S - 16 KAJIAN PENATAAN PKL BERDASARKAN PREFERENSI PKL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI KAWASAN PASAR SUDIRMAN PONTIANAK S - 16 KAJIAN PENATAAN PKL BERDASARKAN PREFERENSI PKL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI KAWASAN PASAR SUDIRMAN PONTIANAK Neva Satyahadewi 1, Naomi Nessyana Debataraja 2 1,2 Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK PEDAGANG MAKANAN DI SEKTOR INFORMAL

BAB IV KARAKTERISTIK PEDAGANG MAKANAN DI SEKTOR INFORMAL 25 BAB IV KARAKTERISTIK PEDAGANG MAKANAN DI SEKTOR INFORMAL Umur dan Tingkat Pendidikan Responden Data primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden pedagang makanan di Jalan Babakan, umur rata-rata

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN

BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN 5.1 Karakteristik PKL Karakteristik pedagang kaki lima (PKL) dapat dilihat dari indikasi dalam hal fungsi kegiatannya, tingkat pendidikan, jenis dagangan, lamanya berprofesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penyusunan konsep simbiosis mutualistik untuk penataan PKL Samanhudi erat kaitannya dengan karakter masing-masing pelaku dan konflik kepentingan serta konflik

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG

KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG (Wilayah Studi : Jalan Pahlawan-Kusumawardhani-Menteri Soepeno) TUGAS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SERIBU LAMPU KOTA CEPU TUGAS AKHIR. Oleh: IKA PRASETYANINGRUM L2D

IDENTIFIKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SERIBU LAMPU KOTA CEPU TUGAS AKHIR. Oleh: IKA PRASETYANINGRUM L2D IDENTIFIKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SERIBU LAMPU KOTA CEPU TUGAS AKHIR Oleh: IKA PRASETYANINGRUM L2D 306 010 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DIAN HERYANI L2D 002 393 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantarjati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja. Sehingga lebih memilih bekerja di sektor informal.

BAB I PENDAHULUAN. kerja. Sehingga lebih memilih bekerja di sektor informal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Negara yang sedang berkambang dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi taraf hidup rakatnya yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Kuesioner Penelitian

LAMPIRAN 1. Kuesioner Penelitian 115 LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian 116 PROGRAM STUDI PASCASARJANA MANAJEMEN UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG Jl.Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Duwur,Semarang 50234 Kepada Bapak/Ibu/Saudara Responden Di Tempat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Diakses 17 juli Guritno Kusumo Statistik Usaha Kecil dan Menengah.

I PENDAHULUAN. Diakses 17 juli Guritno Kusumo Statistik Usaha Kecil dan Menengah. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi perlahan-lahan telah mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KONSUMEN RESTORAN MIRA SARI

KARAKTERISTIK KONSUMEN RESTORAN MIRA SARI VI KARAKTERISTIK KONSUMEN RESTORAN MIRA SARI 6.1. Karekteristik Umum Responden Konsumen yang berkunjung ke Restoran Mira Sari memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi sosial maupun ekonomi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan

BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Usaha Kecil. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil

Lebih terperinci

BAB VI. KARAKTERISTIK PEDAGANG MARTABAK KAKI LIMA DAN WARUNG TENDA PECEL LELE DI KOTA BOGOR

BAB VI. KARAKTERISTIK PEDAGANG MARTABAK KAKI LIMA DAN WARUNG TENDA PECEL LELE DI KOTA BOGOR BAB VI. KARAKTERISTIK PEDAGANG MARTABAK KAKI LIMA DAN WARUNG TENDA PECEL LELE DI KOTA BOGOR 6.1 Karakteristik Pedagang Martabak Kaki Lima di Kota Bogor Martabak merupakan salah satu jenis makanan yang

Lebih terperinci

REVIEW PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN SANGKURUN KOTA KUALA KURUN

REVIEW PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN SANGKURUN KOTA KUALA KURUN REVIEW PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN SANGKURUN KOTA KUALA KURUN Alderina 1) Fransisco HRHB 2) ABSTRAKSI Tujuan penelitian ; mengetahui karakteristik dan potensi Pedagang Kaki Lima di kawasan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Kelurahan Penjaringan memiliki lahan seluas 395.43 ha yang

Lebih terperinci

BAB II KAMPANYE KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

BAB II KAMPANYE KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG BAB II KAMPANYE KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG 2.1 Pedagang Kaki Lima 2.1.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima adalah sebagai hawkers yaitu orang-orang yang menawarkan barang-barang

Lebih terperinci

BAB VI KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH

BAB VI KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH BAB VI KONTRIBUSI PKL TERHADAP EKONOMI WILAYAH Pembahasan tentang kontribusi PKL terhadap ekonomi wilayah difokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan PKL di kota Bogor dan kajian deskriptif

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA 27 BAB IV GAMBARAN UMUM DESA 4.1 Desa Cikarawang 4.1.1 Kondisi Demografis Desa Cikarawang merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan terdiri dari 7 RW. Sebelah

Lebih terperinci

PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA. (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto. Purwodadi Kabupaten Grobogan)

PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA. (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto. Purwodadi Kabupaten Grobogan) PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto Purwodadi Kabupaten Grobogan) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR 6.1 Gambaran Lokasi Usaha Pedagang Ayam Ras Pedaging Pedagang di Pasar Baru Bogor terdiri dari pedagang tetap dan pedagang baru yang pindah dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tempat hidup setiap warga kota. Oleh karena itu, kelangsungan dan kelestarian kota

I. PENDAHULUAN. tempat hidup setiap warga kota. Oleh karena itu, kelangsungan dan kelestarian kota I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kota sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap kebutuhan transportasi yang semakin meningkat. Dari fakta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN DAN PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN MOCI KASWARI LAMPION. mengetahui, mengenal serta mengkonsumsi moci Kaswari Lampion.

VI. KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN DAN PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN MOCI KASWARI LAMPION. mengetahui, mengenal serta mengkonsumsi moci Kaswari Lampion. VI. KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN DAN PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN MOCI KASWARI LAMPION 6. Karakteristik Umum Responden Karakteristik umum responden dalam penelitian ini dilihat dari jenis kelamin, alamat,

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Deskripsi Obyek Penelitian 1. Letak Pasar Tradisional Ngaliyan Pasar Ngaliyan secara administratif terletak di kecamatan Ngaliyan yang berada di bagian barat kota

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. administratif terletak di Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur.

V. GAMBARAN UMUM. administratif terletak di Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Berdasarkan Data Potensi Desa/ Kelurahan (2007), Desa Tlekung secara administratif terletak di Kecamatan Junrejo, Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. Desa

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN KONSUMEN RESTORAN KHASPAPI

VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN KONSUMEN RESTORAN KHASPAPI VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN KONSUMEN RESTORAN KHASPAPI Pengunjung restoran yang mengkonsumsi menu makanan dan minuman di Restoran Khaspapi memiliki latar belakang sosial dan ekonomi yang berbedabeda. Latar

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR O l e h : R.B. HELLYANTO L 2D 399 247 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Daftar Isi...1. Daftar Gambar...4. Daftar tabel...7. Kata Pengantar...8. Bab I: Pendahuluan...9

DAFTAR ISI. Daftar Isi...1. Daftar Gambar...4. Daftar tabel...7. Kata Pengantar...8. Bab I: Pendahuluan...9 DAFTAR ISI Daftar Isi...1 Daftar Gambar...4 Daftar tabel...7 Kata Pengantar...8 Bab I: Pendahuluan...9 1.1. Latar Belakang... 9 1.2. Rumusan Masalah... 10 1.3. Tujuan Penelitian... 10 1.4. Batasan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk. mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk. mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori UKM Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Perkembangan Pasar Pasar tradisional mempunyai peran signifikan dalam perkotaan. Pasar tumbuh dan berkembang sebagai simpul dari pertukaran barang dan jasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tuntutan yang fundamental yang dihadapi oleh suatu. masyarakat adalah bertahan hidup (survive) atau mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tuntutan yang fundamental yang dihadapi oleh suatu. masyarakat adalah bertahan hidup (survive) atau mempertahankan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tuntutan yang fundamental yang dihadapi oleh suatu masyarakat adalah bertahan hidup (survive) atau mempertahankan kelangsungan hidupnya di dalam suatu

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN WISATA AGRO GUNUNG MAS PUNCAK BOGOR

VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN WISATA AGRO GUNUNG MAS PUNCAK BOGOR VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN WISATA AGRO GUNUNG MAS PUNCAK BOGOR 6.1 Karakteristik Pengunjung Karakteristik pengunjung dalam penelitian ini dilihat dari jenis kelamin, lokasi dan tempat tinggal, status

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI KELURAHAN GEDAWANG

BAB II DESKRIPSI KELURAHAN GEDAWANG BAB II DESKRIPSI KELURAHAN GEDAWANG. Kondisi Alam Kelurahan Gedawang merupakan kelurahan yang berada di dalam wilayah administratif Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Kondisi daratan Kelurahan Gedawang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan hidup mendasar yang setiap hari tidak dapat dihindari. oleh manusia salah satunya adalah makan. Dalam perkembangannya

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan hidup mendasar yang setiap hari tidak dapat dihindari. oleh manusia salah satunya adalah makan. Dalam perkembangannya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan hidup mendasar yang setiap hari tidak dapat dihindari oleh manusia salah satunya adalah makan. Dalam perkembangannya seiring dengan bergesernya gaya

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 6.1 Karakteristik Responden Penentuan karakteristik pengunjung TWA Gunung Pancar diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner dari 100

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 18 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Desa Gorowong Desa Gorowong merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISA DATA

BAB IV DATA DAN ANALISA DATA 87 BAB IV DATA DAN ANALISA DATA 4.1 METODE PENGUMPULAN DATA Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011

BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011 BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1. Usia Usia responden dikategorikan menjadi tiga kategori yang ditentukan berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) yaitu dewasa awal (18-40), dewasa madya (41-60)

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI. Cicurug memiliki luas sebesar hektar. Kecamatan Cicurug terletak pada

V. GAMBARAN UMUM LOKASI. Cicurug memiliki luas sebesar hektar. Kecamatan Cicurug terletak pada V. GAMBARAN UMUM LOKASI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Keadaan Umum Kecamatan Cicurug Kecamatan Cicurug berada di bagian Sukabumi Utara. Kecamatan Cicurug memiliki luas sebesar 4.637 hektar.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi dan moneter mengakibatkan terjadinya kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riil yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-besaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011) PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang strategis dalam penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar 44 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung saat ini merupakan salah satu kota metropolitan sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung memiliki jumlah penduduk 2.481.469 jiwa yang

Lebih terperinci

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU BAB IV PENGAMATAN PERILAKU 3.1 Studi Banding Pola Perilaku Pengguna Ruang Publik Berupa Ruang Terbuka Pengamatan terhadap pola perilaku di ruang publik berupa ruang terbuka yang dianggap berhasil dan mewakili

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI DAN PERMASALAHAN PETANI MISKIN

ANALISIS SITUASI DAN PERMASALAHAN PETANI MISKIN 45 ANALISIS SITUASI DAN PERMASALAHAN PETANI MISKIN Karakteristik Petani Miskin Ditinjau dari kepemilikan lahan dan usaha taninya, petani yang ada di RT 24 Kelurahan Nunukan Timur dapat dikategorikan sebagai

Lebih terperinci

POTENSI LOKASI PUSAT PERDAGANGAN SANDANG DI KOTA SOLO (Studi Kasus: Pasar Klewer, Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) TUGAS AKHIR

POTENSI LOKASI PUSAT PERDAGANGAN SANDANG DI KOTA SOLO (Studi Kasus: Pasar Klewer, Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) TUGAS AKHIR POTENSI LOKASI PUSAT PERDAGANGAN SANDANG DI KOTA SOLO (Studi Kasus: Pasar Klewer, Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) TUGAS AKHIR Oleh : AULIA LATIF L2D 002 389 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR 4.1 Gambaran Umum Desa 4.1.1 Kondisi Fisik, Sarana dan Prasarana Desa Cihideung Ilir merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lokasi relatif suatu tempat atau wilayah berkenaan dengan hubungan tempat

I. PENDAHULUAN. Lokasi relatif suatu tempat atau wilayah berkenaan dengan hubungan tempat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lokasi merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan. Lokasi dapat dibedakan antara lokasi absolut dengan lokasi relatif. Lokasi absolut suatu tempat atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia saat ini mudah dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia saat ini mudah dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia saat ini mudah dijumpai di sudut-sudut kota besar, selalu saja ada anak-anak yang mengerumuni mobil di persimpangan lampu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Profil Kelurahan Mulyaharja 4.1.1. Keadaan Umum Kelurahan Mulyaharja Kelurahan Mulyaharja terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan seiring dengan pesatnya arus urbanisasi mengakibatkan daerah perkotaan mengalami peningkatan angkatan kerja dalam jumlah yang

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK 4.1 Lama Tinggal Pada umumnya, penduduk bertempat tinggal di suatu daerah mulai dari lahir sampai dewasa. Akan tetapi ada juga penduduk yang tinggal dari lahir sampai setelah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 127 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bagian ini merupakan akhir dari seluruh tahapan studi yang telah dilakukan. Bab ini berisi temuan dan kesimpulan studi yang menjelaskan secara umum mengenai ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan yang posisinya berada di

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan yang posisinya berada di BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan yang posisinya berada di pusat Kota Bogor dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan Kota Bogor. Selain pusat pemerintahan, wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informal, yang pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning, yang tidak terserapdi sektor formal (Effendi, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. informal, yang pertumbuhannya sudah melebihi sektor formal (Manning, yang tidak terserapdi sektor formal (Effendi, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Tenggara, 32 persen orang miskin tinggal di wilayah perkotaan (Morrel, 2008).Sebagian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata banyaknya rit dan jumlah penumpang yang diamati Trayek Rata-rata Rit per 9 Jam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata banyaknya rit dan jumlah penumpang yang diamati Trayek Rata-rata Rit per 9 Jam pukul 1.-16. dan sore hari dilakukan pada pukul 16.-19.. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Mencari data awal tentang aturan mengenai angkutan perkotaan, jumlah tiap trayek, dan lintasan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah sejumlah warga di Kelurahan Ujung Menteng

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah sejumlah warga di Kelurahan Ujung Menteng V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden Responden penelitian ini adalah sejumlah warga di Kelurahan Ujung Menteng Kecamatan Cakung Kotamadya Jakarta Timur Propinsi DKI Jakarta yang berusia 15 tahun

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi. IV. KEADAAN UMUM WILAYAH Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, secara makro Kabupaten Sleman terdiri dari daerah dataran rendah yang subur pada bagian selatan,

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 12 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bumi. Menurut Bintarto dalam Budiyono (2003:3) geografi ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia, yang memiliki berbagai latar belakang dan penyebab. Bahkan, di beberapa negara menunjukkan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi BAB VI PENUTUP Pada bab terakhir ini dipaparkan beberapa hal sebagai bagian penutup, yakni mengenai temuan studi, kesimpulan, rekomendasi, kelemahan studi serta saran studi lanjutan. VI.1. Temuan Studi

Lebih terperinci

BAB IV PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGGUNA TERHADAP PENATAAN PASAR TRADISIONAL

BAB IV PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGGUNA TERHADAP PENATAAN PASAR TRADISIONAL BAB IV PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGGUNA TERHADAP PENATAAN PASAR TRADISIONAL Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai kriteria dan indikator kinerja yang diperlukan untuk dapat mendeskripsikan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/ /30621/4/chapter%20i.pdf)

BAB I PENDAHULUAN. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/ /30621/4/chapter%20i.pdf) BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan kota yang semakin pesat tidak diikuti dengan pertambahan lapangan kerja yang memadai, menjadikan masyarakat yang tidak mendapatkan tempat pada

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

Perluasan Lapangan Kerja

Perluasan Lapangan Kerja VII Perluasan Lapangan Kerja Perluasan lapangan kerja untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah dan mutu yang makin meningkat, merupakan sebuah keniscayaan untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan manusia tidak dapat hidup sendiri, oleh sebab itu manusia tersebut menyatu pada struktur masyarakat guna mencapai tujuan yang di cita-citakan.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik responden merupakan ciri yang menggambarkan identitas

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik responden merupakan ciri yang menggambarkan identitas V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik responden merupakan ciri yang menggambarkan identitas responden yang membedakan antara satu responden dengan responden yang lain.. Karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak stabil, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak stabil, hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarkat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan salah satu cara untuk mencapai keadaan tersebut.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. Konferensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng. yang menjual ternak besar yang berlokasi di Jalan Kopi, Desa Ciwareng,

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng. yang menjual ternak besar yang berlokasi di Jalan Kopi, Desa Ciwareng, 35 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng merupakan salah satu pasar hewan yang menjual ternak besar yang berlokasi di Jalan Kopi, Desa

Lebih terperinci

VII. ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN PEDAGANG DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN. 7.1 Pengaruh TMR terhadap Terciptanya Lapangan Usaha

VII. ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN PEDAGANG DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN. 7.1 Pengaruh TMR terhadap Terciptanya Lapangan Usaha VII. ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN PEDAGANG DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN 7. Pengaruh TMR terhadap Terciptanya Lapangan Usaha Keberadaan pariwisata memberikan dampak postif bagi pengelola, pengunjung, pedagang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan primer masyarakat seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan primer masyarakat seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan primer masyarakat seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidup masyarakat.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Kondisi Fisik Desa Desa Pusakajaya merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat, dengan

Lebih terperinci