BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat partisipasi (participatory), pemberdayaan (empowering), dan berkelanjutan (sustainable) (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996).

2 Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau system pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulative untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, system politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless). Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk

3 memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan. Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Menurut Prijono dan Pranarka (1996), dalam konsep pemberdayaan, manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.

4 Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan system pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.

5 Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkahlangkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996). Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor informal, khususnya kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya yang

6 mereka miliki yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan/profit usaha sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan pendapatan daerah dari sektor retribusi daerah Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) dalam Sektor Informal Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) atau yang sebelumnya disebut Pedagang Kaki Lima. Perubahan istilah Pedagang Kreatif Lapangan berdasarkan keputusan tiga kementerian yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Istilah pedagang kaki lima sebenarnya telah ada dari jaman Raffles yaitu berasal dari istilah 5 feet yang berarti jalur dipinggir jalan selebar lima kaki. Di Amerika, pedagang semacam ini disebut dengan Hawkers yang memiliki pengertian orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di tempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006). Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. PKL bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. PKL bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh

7 pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL (Rukmana, 2005) Karakteristik PKL Pedagang kreatif lapangan bermula tumbuh dan semakin berkembang dari adanya krisis moneter yang melanda secara berkepanjangan yang menimpa Indonesia pada tahun sekitar 1998 dimana salah satunya mengakibatkan terpuruknya kegiatan ekonomi. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup dengan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, menuntut masyarakat dengan modal dan ketrampilan terbatas menjadi pedagang kaki lima. Fenomena tersebut tidak disertai dengan ketersediaan wadah yang menaunginya dan seolah kurang memberi perhatian terhadap PKL. Salah satu karakteristik sektor informal adalah cenderung menggunakan sumber daya lokal dan tidak memiliki ijin resmi sehingga usaha sektor informal sangat beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, pedagang eceran, tukang warung, tukang cukur, tukang becak, tukang sepatu, tukang loak, buruh harian, serta usaha-usaha rumah tangga seperti pembuat tempe, tukang jahit, tukang tenun, dan lain-lain (Herlianto, 1986). Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik, pola penyebaran dan pola pelayanan dalam ruang perkotaan. Karakteristik dari PKL dijabarkan oleh Simanjutak (1989) sebagai berikut: 1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama yang rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.

8 2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan pendapatan yang umumnya relatif kecil. 3. Aktivitas yang tidak memiliki izin usaha Berikut ini akan dijabarkan mengenai karakteristik aktivitas PKL yang dilihat dari segi sarana fisik dan pola pelayanan, yaitu sebagai berikut. a. Sarana Fisik Berdagang PKL Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006) bahwa di kota-kota Asia Tenggara mempunyai bentuk dan sarana fisik dagangan PKL umumnya sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah-pindah atau mudah dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Jenis sarana dagangan yang digunakan PKL sesuai dengan jenis dagangan yang dijajakan. Sarana fisik PKL ini terbagi lagi menjadi jenis barang dagangan dan jenis sarana usaha. Secara detail mengenai jenis dagangan dan sarana usaha dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis Dagangan Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana PKL tersebut beraktivitas. Sebagai contoh di kawasan perdagangan, maka jenis dagangannya beraneka ragam seperti makanan atau minuman, kelontong, pakaian dan lainlain. Adapun jenis dagangan yang dijual oleh PKL secara umum dapat dibagi menjadi: a) Bahan mentah makanan dan makanan setengah jadi (Unprocessed and semiprocessed foods). Termasuk pada jenis dagangan ini adalah bahan

9 mentah makanan seperti daging, buah dan sayuran. Selain itu juga dapat berupa barang-barang setengah jadi seperti beras. b) Makanan siap saji (Prepared food). Termasuk dalam jenis dagangan ini berupa makanan atau minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa pulang. Penyebaran fisik PKL ini biasanya cenderung mengelompok dan homogen dengan kelompok mereka. c) Non makanan (Non foods). Termasuk jenis barang dagangan yang tidak berupa makanan contohnya adalah mulai dari tekstil sampai dengan obatobatan. d) Jasa pelayanan (Services). Jasa pelayanan yang diperdagangkan adalah jasa perorangan, seperti tukang membuat kunci, tukang membuat pigura, reparasi jam dan lain-lain. Pola penyebarannya pada lokasi pusat pertokoan dan pola pengelompokkannya membaur dengan jenis lainnya. 2. Sarana Usaha PKL adalah pedagang yang didalam usahanya mempergunakan sarana yang mudah dibongkar pasang/dipindahkan. Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bentuk fisik dagangan bagi PKL bukan merupakan bangunan permanen tetapi bangunan yang mudah untuk dibongkar pasang dan dipindahkan. Menurut Waworoentoe (Widjajanti, 2000), sarana fisik pedagang PKL dapat dikelompokkan sebagai berikut:

10 1. Kios Pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini dikategorikan pedagang yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan. Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan. 2. Warung semi permanen Terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan meja dan bangkubangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus air. PKL dengan bentuk sarana ini dikategorikan PKL menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman. 3. Gerobak/Kereta dorong Bentuk sarana berdagang ini ada 2 jenis, yaitu gerobak/kereta dorong yang beratap sebagai pelindungan untuk barang dagangan dari pengaruh panas, debu, hujan dan sebagaianya serta gerobak/kereta dorong yang tidak beratap. Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap dan tidak menetap. Biasanya untuk menjajakan makanan, minuman serta rokok. 4. Jongkok/Meja Bentuk sarana berdagang seperti ini dapat beratap atau tidak beratap. Sarana seperti ini dikategorikan jenis PKL yang menetap. 5. Gelaran/Alas Pedagang menjajakan barang dagangannya diatas kain, tikar dan lainnya untuk menjajakan barang dagangannya. Bentuk sarana ini dikategorikan

11 PKL yang semi menetap dan umumnya sering dijumpai pada jenis barang kelontong. 6. Pikulan/Keranjang Sarana ini digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers) atau semi menetap dengan menggunakan satu atau dua buah keranjang dengan cara dipikul. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah untuk dibawa berpindah-pindah tempat. b. Pola Pelayanan Kegiatan PKL Pola pelayanan PKL erat kaitannya dengan sarana fisik dagangan PKL yang digunakan dan jenis usahanya. Adapun menurut Hanarti (1999), pengelompokan aktivitas perdagangan sektor informal berdasarkan pola pelayanan kegiatannya dikategorikan atas fungsi pelayanan, golongan pengguna jasa, skala pelayanan dan waktu pelayanan. Untuk lebih jelas terkait dengan pengkategorian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Fungsi Pelayanan Penentuan jenis fungsi pelayanan dari suatu aktivitas pedagang sektor informal (PKL) dapat ditentukan dari dominasi kuantitatif jenis barang dan jasa yang diperdagangkannya. Suatu lokasi aktivitas PKL dapat memiliki lebih dari satu fungsi secara sekaligus. Peran dan fungsi yang dimiliki oleh aktivitas PKL dalam kehidupan perkotaan secara umum dibagi menjadi tiga fungsi yang akan diuraikan sebagai berikut:

12 a) Fungsi pelayanan perdagangan dan jasa Aktivitas pedagang kaki lima merupakan bagian dari sistem perdagangan kota khususnya dalam bidang pedagang eceran. PKL dalam hal ini berfungsi memasarkan hasil produksi suatu barang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen akhir. b) Fungsi pelayanan rekreasi Aktivitas PKL memiliki fungsi sebagai hiburan yang bersifat rekreatif yaitu hiburan sebagai selingan dari kesibukan dan rutinitas kegiatan perkotaan. Fungsi rekreatif ini didapatkan dari suasana pelayanan yang diberikan misalnya lokasi di alam terbuka dapat dipakai sebagai tempat santai, jalanjalan cuci mata, dan sebagainya. c) Fungsi pelayanan sosial ekonomi Aktivitas PKL secara umum telah dikemukakan memiliki fungsi sosial ekonomi yang sangat luas bila dikelola dengan baik. Aktivitas PKL memiliki fungsi sosial ekonomi yang dilihat berdasarkan pandangan masing-masing pelaku yang terlibat didalamnya. Berdasarkan pandangan penjaja maka aktivitasnya merupakan sumber pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Bagi para pengguna maka aktivitas PKL sangat membantu dalam penyediaan barang dan jasa yang harganya relatif lebih murah daripada di toko atau supermaket. Sedangkan bagi pemerintah kota maka aktivitas jasa sektor informal ini

13 sedikit banyak dapat membantu pemecahan masalah penyerapan tenaga kerja dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. 2. Golongan Pengguna Jasa Golongan pengguna jasa yang dilayani oleh aktivitas pedagang sektor informal pada umumnya terdiri dari golongan pendapatan menengah ke bawah. Hal ini dapat dilihat dari tarif harga aktivitas perdagangan tersebut yang relatif rendah sehingga terjangkau bagi golongan pendapatan rendah sekalipun. Sedangkan bagi golongan penduduk berpendapatan tinggi cenderung tidak pergi ke aktivitas perdagangan tersebut. Pertimbangannya adalah kualitas barang yang lebih rendah, kemungkinan adanya penipuan dalam keaslian barang, dan sebagainya sehingga mereka lebih memilih berbelanja di toko-toko atau supermaket walaupun tingkat harganya lebih tinggi. Pertimbangan lainnya adalah faktor psikologis yaitu gaya hidup masyarakat kota yang ingin menjaga `gengsi' sehingga mereka merasa lebih percaya diri apabila berbelanja di tempat-tempat yang dapat dianggap sebagai simbol status mereka. Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga berbelanja ke lokasi aktivitas pedagang sektor informal, tetapi hal ini hanya terjadi sekali waktu jadi sifatnya insidentil sehingga masih terlihat jelas adanya pembatasan bahwa pedagang sektor informal lebih diperuntukkan bagi golongan pendapatan menengah ke bawah.

14 3. Skala Pelayanan Skala pelayanan suatu aktivitas PKL dapat diketahui dari asal pengguna aktivitasnya. Besar kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya asal penggunanya. Semakin dekat asal penggunanya maka skala pelayanan semakin kecil, sebaliknya semakin jauh asal penggunanya maka skala pelayanannya semakin besar. 4. Waktu Pelayanan Pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal atau kondisi yang ada. Terdapat juga perbedaan pada setiap periode waktu pelayanan, baik dari segi jumlah PKL maupun jumlah pengguna jasanya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006). Saat-saat teramai pada suatu waktu pelayanan dipengaruhi oleh orientasi aktivitas jasa tersebut terhadap pusat-pusat kegiatan di sekitarnya. Saat-saat teramai tersebut bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat pusat-pusat perbelanjaan akan berbeda dengan saat-saat teramai di dekat kawasan rekreasi, kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sebagainya. Bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat suatu kawasan perbelanjaan seperti pasar, maka saat-saat teramai adalah pada waktu pagi hari sampai siang hari mengingat kegiatan masyarakat pergi ke pasar cenderung dilakukan pada pagi sampai siang hari. Demikian pula bagi aktivitas pedagang sektor informal

15 di suatu kawasan pusat kota maka saat-saat teramai adalah pada jam istirahat kantor dan sebagainya. (Bromley dalam Manning dan Noer Effendi, 1996). 5. Sifat Layanan Berdasarkan sifat pelayanannya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006), pedagang sektor informal dibedakan atas pedagang menetap (static), pedagang semi menetap (semi static), dan pedagang keliling (mobile). Pengertian tentang ketiga sifat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a) Pedagang menetap (static hawkers units) Pedagang menetap adalah suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap pada suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau konsumen harus dating sendiri ke tempat pedagang itu berada. b) Pedagang semi menetap (semistatic hawkers units) Merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai sifat menetap yang sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja dengan jangka waktu lama (ada batas waktu tertentu). Dalam hal ini dia akan menetap bila ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat bubaran bioskop, pada saat para pegawai mau masuk/pulang kantor, atau pada saat-saat ramainya pengunjung ke pusat kota. Apabila kemungkinan pembeli yang cukup besar tersebut tidak dijumpai, maka pedagang tersebut akan berkeliling, demikian seterusnya.

16 c) Pedagang keliling (mobile hawkers units) Pedagang keliling adalah suatu bentuk layanan pedagang yang dalam melayani konsumennya mempunyai sifat untuk selalu berusaha mendatangi atau "mengejar" konsumen dengan bergerak atau berpindah-pindah tempat. Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah pedagang yang mempunyai volume dagangan yang kecil Pengembangan Wilayah Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010). Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Miraza (2005) di dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Unusr dimaksud seperti natural resources, human resources, infrastructure, technology dan culture. Dengan memahami konsep wilayah diharapkan para perencana dalam melakukan pendekatan lebih memperhatikan komponen-komponen penyusunan wilayah tersebut yang saling berinteraksi dan mengkombinasikan potensi dari

17 masing-masing komponen sehingga tercipta suatu strategi pembangunan dan pengembangan wilayah yang baik dan terarah. Nasution (2009) pengembangan wilayah merupakan proses pemberdayaan masyarakat dengan segala potensinya dan meliputi seluruh aktivitas masyarakat di dalam suatu wilayah, baik aspek ekonomi, sosial dan budaya, maupun aspek-aspek lainnya. Sedangkan Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya. Mulyanto (2008) pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu sasaran utama dari pengembangan wilayah adalah mengurangi kesenjangan regional dan spasial (tata ruang). Kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan dalam lingkup suatu wilayah, kesenjangan antara pusat pertumbuhan dengan wilayah pengaruh cenderung bertambah besar, hal ini berarti implementasi dari segi strategi kebijakan kutub pertumbuhan dianggap gagal (Adisasmita, 2010). Peranan kutub pertumbuhan dalam pengembangan wilayah adalah sebagai penggerak

18 utama atau lokomotif pertumbuhan yang selanjutnya menyebarkan hasil pembangunan dan dampak pertumbuhan ke wilayah pengaruhnya. Dalam pengembangan wilayah sering menghadapi kenyataan bahwa dana yang tersedia adalah terbatas sedangkan usulan dari masing-masing sektor cukup banyak (Tarigan, 2006). Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan, baik dari sektor swsasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masyarakat secara cepat (Mahalli, 2005) Penelitian Sebelumnya Adapun penelitian yang telah dilakukan mengenai pemberdayaan pedagang kreatif lapangan dalam konteks pengembangan wilayah sebelumnya antara lain: 1. Tohar (2003) dalam penelitiannya Profil dan Strategi Pengembangan Sektor Informal di Kota Medan (Studi Kasus Pedagang Makanan dan Minuman), menyimpulkan bahwa pendapatan pedagang sektor informal dipengaruhi secara signifikan oleh variable modal investasi, jam kerja, tenaga kerja, dan modal kerja yang dikeluarkan. 2. Putra (2005) Analisisi Peran Pedagang Kaki Lima terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Medan Kota, menyimpulkan bahwa pedagang kaki lima yang terdapat di Kecamatan Medan Kota umumnya adalah kaum urban yang tinggal di sepanjang kota Medan dan rata-rata mampu menampung tiga orang tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima

19 di Kecamatan Medan Kota adalah modal, jam kerja, lama kerja, lokasi usaha dan tingkat pendidikan. 3. Fransiska (2006) dalam penelitiannya Pemberdayaan Sektor Informal, yang berkaitan dengan studi tentang pengelolaan kelompok pedagang kaki lima dan konstribusinya terhadap penerimaan PAD di Kota Manado, menyimpulkan bahwa Faktor-faktor pemberian pelatihan, bantuan modal usaha, cara-cara pengelolaan usaha dan tingkat pendapatan/profit usaha PKL, secara parsial memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) dari sisi retribusi daerah dan keempat faktor tersebut juga secara simultan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan PAD dari sisi retribusi daerah. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL) berperan positif dalam meningkatkan peneriman pendapatan pemerintah kota Manado untuk membiayai pembangunan kota. 4. Suharyanto (2007) dalam penelitiannya Dampak Keberadaan IPB Terhadap Ekonomi Masyarakat Sekitar Kampus dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian Kabupaten Bogor, menyimpulkan bahwa ekonomi masyarakat sekitar Kampus mempunyai keterkaitan dengan keberadaan IPB. Faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar Kampus IPB Darmaga adalah faktor pendidikan dan lokasi usaha di dalam kampus IPB. Tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap pendapatan pelaku usaha, artinya pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pelaku usaha sektor informal. Jika tingkat pendidikan pelaku usaha sektor informal meningkat 1 tahun maka

20 pendapatan akan bertambah sebesar Rp Sedangkan lokasi dalam IPB yang berarti lokasi usaha sektor informal dilakukan di dalam kampus IPB dan berkaitan langsung dengan aktivitas IPB berpeluang lebih besar untuk meraih keuntungan yang besar dari pada pelaku usaha yang usahanya atas alasan yang berasal dari faktor lain Kerangka Pemikiran Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini, digambarkan sebagai berikut: Pembangunan Kota Medan Pemko Medan Pemberdayaan Pedagang Kreatif Lapangan Faktor-faktor yang Mempengaruhi pendapatan Modal Manajemen Usaha Lokasi Usaha Jam berdagang Pemgembangan Wilayah Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

21 2.6. Hipotesis Bertitik tolak dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Modal, manajemen usaha, lokasi usaha dan jam berdagang berpengaruh positif terhadap pendapatan pedagang kreatif lapangan (PKL).

BAB II KAMPANYE KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

BAB II KAMPANYE KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG BAB II KAMPANYE KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG 2.1 Pedagang Kaki Lima 2.1.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima adalah sebagai hawkers yaitu orang-orang yang menawarkan barang-barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Di samping itu, indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Di samping itu, indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaaan tersebut menjadi modal penting dalam pembangunan bangsa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk. mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk. mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori UKM Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Kota Payakumbuh yang strategis menjadikannya sebagai salah satu kota yang memainkan peran penting di Propinsi Sumatera Barat. Kota Payakumbuh merupakan gerbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tergolong tinggi. Saat ini jumlah pengangguran di Indonesia terbuka ada 7,7 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. masih tergolong tinggi. Saat ini jumlah pengangguran di Indonesia terbuka ada 7,7 juta jiwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi suatu negara akan selalu berhubungan dengan jumlah penduduk dari suatu negara tersebut. Jika ekonomi suatu negara meningkat maka akan mengurangi

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA

HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA MURTANTI JANI R, S.T., M.T. PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA RINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mulai tahun Konsepsi Pemberdayaan

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG

KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG KAJIAN KARAKTERISTIK PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DALAM BERAKTIVITAS DAN MEMILIH LOKASI BERDAGANG DI KAWASAN PERKANTORAN KOTA SEMARANG (Wilayah Studi : Jalan Pahlawan-Kusumawardhani-Menteri Soepeno) TUGAS

Lebih terperinci

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan I. PENDAHULUAN Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR Oleh: SULISTIANTO L2D 306 023 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : OKTARINA DWIJAYANTI L2D 002 424 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : RISA NIKEN RATNA TRI HIYASTUTI L2D 002 432 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Diakses 17 juli Guritno Kusumo Statistik Usaha Kecil dan Menengah.

I PENDAHULUAN. Diakses 17 juli Guritno Kusumo Statistik Usaha Kecil dan Menengah. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi perlahan-lahan telah mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat.

BAB I PENDAHULUAN. diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. Konferensi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan

BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Usaha Kecil. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR O l e h : R.B. HELLYANTO L 2D 399 247 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi dan moneter mengakibatkan terjadinya kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riil yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-besaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 13 Tahun tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 13 Tahun tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Penulisan judul merupakan unsur penting dalam penulisan karya ilmiah. Judul berguna membantu peneliti memberikan gambaran mengenai obyek penelitian, wilayah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEDAGANG KAKI LIMA DI UPTD PASAR NGEMPLAK KABUPATEN TULUNGAGUNG

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEDAGANG KAKI LIMA DI UPTD PASAR NGEMPLAK KABUPATEN TULUNGAGUNG Karakteristik Sosial Ekonomi Pedagang Kaki Lima Di UPTD Pasar Ngemplak Kabupaten Tulungagung KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEDAGANG KAKI LIMA DI UPTD PASAR NGEMPLAK KABUPATEN TULUNGAGUNG Haryo Prastyo Widigdo

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR

BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR BAB V KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR Ekonomi informal mengalami pertumbuhan sangat cepat di negara-negara berkembang dan semakin menarik perhatian akademisi, peneliti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan pada sektor ekonomi,

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

KOTA DAN TRANSPORTASI ARIS MARTIANA SOSIOLOGI PERKOTAAN

KOTA DAN TRANSPORTASI ARIS MARTIANA SOSIOLOGI PERKOTAAN KOTA DAN TRANSPORTASI ARIS MARTIANA SOSIOLOGI PERKOTAAN PROBLEM : KEMACETAN KATEGORI PROBLEM INFRASTRUKTUR PRASARANA TRANSPORTASI DARAT Tidak imbangnya rasio pembangunan jalan dengan tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 16 48 BT dan 6 26 LS serta mempunyai ketinggian minimal rata-rata 19 meter, maksimal 35 meter dengan

Lebih terperinci

S - 16 KAJIAN PENATAAN PKL BERDASARKAN PREFERENSI PKL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI KAWASAN PASAR SUDIRMAN PONTIANAK

S - 16 KAJIAN PENATAAN PKL BERDASARKAN PREFERENSI PKL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI KAWASAN PASAR SUDIRMAN PONTIANAK S - 16 KAJIAN PENATAAN PKL BERDASARKAN PREFERENSI PKL DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI KAWASAN PASAR SUDIRMAN PONTIANAK Neva Satyahadewi 1, Naomi Nessyana Debataraja 2 1,2 Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini berisikan mengenai latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, masalah

BAB I PENDAHULUAN. ini berisikan mengenai latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini, akan dijelaskan secara singkat tentang jenis penelitian yang akan diteliti, mengapa, dan untuk apa penelitian ini dilakukan. Secara terinci bab ini berisikan mengenai

Lebih terperinci

PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI

PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN

Lebih terperinci

Kegiatan Jual Beli di Lingkungan Rumah

Kegiatan Jual Beli di Lingkungan Rumah Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia dituntut untuk bekerja. Mencari penghasilan merupakan salah satu tujuan orang tua kita bekerja. Manusia akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PKL muncul sebagai salah satu bentuk sektor informal perkotaan. Rachbini dan Hamid (1994) menyebutkan bahwa sektor informal secara struktural menyokong sektor formal.

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN

BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN BAB V KARAKTERSTIK PKL DAN KONSUMEN 5.1 Karakteristik PKL Karakteristik pedagang kaki lima (PKL) dapat dilihat dari indikasi dalam hal fungsi kegiatannya, tingkat pendidikan, jenis dagangan, lamanya berprofesi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlomba-lomba menciptakan terobosan untuk meningkatkan daya saing demi

BAB 1 PENDAHULUAN. berlomba-lomba menciptakan terobosan untuk meningkatkan daya saing demi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya populasi usia produktif di Indonesia yang tak berbanding lurus dengan ketersediaan jumlah lapangan pekerjaan, mendorong orang Indonesia berlomba-lomba menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kerja merupakan faktor yang sangat penting, karena tenaga kerja tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. kerja merupakan faktor yang sangat penting, karena tenaga kerja tersebut 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori a. Ketenagakerjaan Dalam proses produksi sebagai suatu strutur dasar aktivitas perekonomian, tenaga kerja merupakan faktor yang sangat penting, karena tenaga kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis eceran yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang menghidupi banyak orang dan memberi banyak keuntungan bagi sebagian orang. Pada saat

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Pendekatan-Pendekatan Alternatif Dalam Pembangunan

PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL. Pendekatan-Pendekatan Alternatif Dalam Pembangunan PEMBANGUNAN & PERUBAHAN SOSIAL Pendekatan-Pendekatan Alternatif Dalam Pembangunan Bila model pembangunan yang berbasis kapitalisme tidak mampu mensejahterakan masyarakat, apa alternatifnya? Community Development/Community

Lebih terperinci

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR Oleh: HAPSARI NUGRAHESTI L2D 098 433 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

kecil. Namun disisi lain sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas

kecil. Namun disisi lain sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan ruang terbuka publik pada suatu kawasan di pusat kota sangat penting artinya karena dapat meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan baik itu dari segi

Lebih terperinci

PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA. (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto. Purwodadi Kabupaten Grobogan)

PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA. (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto. Purwodadi Kabupaten Grobogan) PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto Purwodadi Kabupaten Grobogan) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia

I. PENDAHULUAN. permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia merupakan negara berkembang

Lebih terperinci

LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu )

LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu ) LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu ) LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan dinamika pembangunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, diartikan sebagai pembangunan yang tidak ada henti-hentinya dengan tingkat hidup generasi yang akan datang tidak

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Jalan Kartini, Semarang

Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Jalan Kartini, Semarang RUANG VOLUME 1 NOMOR 3, 2015, 151-160 P-ISSN 1858-3881; E-ISSN 2356-0088 HTTP://EJOURNAL2.UNDIP.AC.ID/INDEX.PHP/RUANG Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Jalan Kartini, Semarang Activity Characteristics

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dan sembilan negara

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dan sembilan negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam arti terdapat sistem perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus reformasi telah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Development is not a static concept. It is continuously changing. Atau bisa

Lebih terperinci

POTENSI LOKASI PUSAT PERDAGANGAN SANDANG DI KOTA SOLO (Studi Kasus: Pasar Klewer, Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) TUGAS AKHIR

POTENSI LOKASI PUSAT PERDAGANGAN SANDANG DI KOTA SOLO (Studi Kasus: Pasar Klewer, Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) TUGAS AKHIR POTENSI LOKASI PUSAT PERDAGANGAN SANDANG DI KOTA SOLO (Studi Kasus: Pasar Klewer, Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) TUGAS AKHIR Oleh : AULIA LATIF L2D 002 389 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup.

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor informal yang menjadi fenomena di perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan adanya keterbatasan lapangan kerja di sektor formal, Pedagang Kaki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi pengangguran dan kesempatan-kesempatan kerja. Di Indonesia meningkatnya proses modernisasi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lapangan Usaha * 2011** Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan

I. PENDAHULUAN. Lapangan Usaha * 2011** Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor yang berperan penting sebagai penggerak dalam pembangunan ekonomi nasional (Hartati, 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat

Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat (Bahan Diskusi) Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung 2011 1 Pemberdayaan masyarakat Latar Belakang konsep pembangunan pada dasarnya bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Tjokroaminoto dan Mustopadidjaya, 1986:1). Pembangunan ekonomi dapat

BAB I PENDAHULUAN. (Tjokroaminoto dan Mustopadidjaya, 1986:1). Pembangunan ekonomi dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial budaya. Pembangunan agar menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri (self sustaining process)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sejalan dengan semakin banyak negara Asia Tenggara menjadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sejalan dengan semakin banyak negara Asia Tenggara menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan semakin banyak negara Asia Tenggara menjadikan transformasi ekonomi sebagai target utama kebijakannya, problem yang timbul akibat bertambahnya penempatan

Lebih terperinci

melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya yang ada.

melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara luas pariwisata dipandang sebagai kegiatan yang mempunyai multidimensi dari rangkaian suatu proses pembangunan. Pembangunan sektor pariwisata menyangkut aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, pembangunan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara Indonesia dalam melakukan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

ASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

ASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL ASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh: Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Disampaikan pada Pembahasan RPP Penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pariwisata sebagai sebuah sektor telah mengambil peran penting dalam membangun perekonomian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pariwisata sebagai sebuah sektor telah mengambil peran penting dalam membangun perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pariwisata sebagai sebuah sektor telah mengambil peran penting dalam membangun perekonomian bangsa-bangsa di dunia. Hal ini terwujud seiring dengan meningkatnya

Lebih terperinci

Bab 5. Jual Beli. Peta Konsep. Kata Kunci. Jual Beli Penjual Pembeli. Jual Beli. Pasar. Meliputi. Memahami Kegiatan Jual Beli di Lingkungan Rumah

Bab 5. Jual Beli. Peta Konsep. Kata Kunci. Jual Beli Penjual Pembeli. Jual Beli. Pasar. Meliputi. Memahami Kegiatan Jual Beli di Lingkungan Rumah Bab 5 Jual Beli Peta Konsep Jual Beli Membahas tentang Memahami Kegiatan Jual Beli di Lingkungan Rumah Memahami Kegiatan Jual Beli di Lingkungan Sekolah Meliputi Meliputi Toko Pasar Warung Supermarket

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu unit usaha yang memiliki peran penting dalam perkembangan dan pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

Citra Lokal Pasar Rakyat pada Pasar Simpang Aur Bukittinggi

Citra Lokal Pasar Rakyat pada Pasar Simpang Aur Bukittinggi TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Citra Lokal Pasar Rakyat pada Pasar Simpang Aur Bukittinggi Gina Asharina, Agus S. Ekomadyo Program Studi Sarjana Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi seperti saat ini, usaha kecil dan menengah semakin

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi seperti saat ini, usaha kecil dan menengah semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi seperti saat ini, usaha kecil dan menengah semakin penting dan memiliki peranan sentral dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola perekonomian yang cenderung memperkuat terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang bermuara kepada

Lebih terperinci

2015 PASAR FESTIVAL ASTANA ANYAR

2015 PASAR FESTIVAL ASTANA ANYAR BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perancangan Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan,

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN RUANG BAGI PEDAGANG KAKI LIMA DI PUSAT PERBELANJAAN DAN PUSAT PERKANTORAN DI KOTA SURABAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Astri Nuraeni Kusumawardani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Astri Nuraeni Kusumawardani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi problema bagi para pedagang, di satu sisi mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih karena adanya kenaikan harga, tapi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Perdagangan Nomor 23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-lembaga

BAB I PENDAHULUAN. dan Perdagangan Nomor 23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-lembaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan masyarakat dalam sebuah pemukiman tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan berbagai fasilitas pendukung yang dibutuhkan warga setempat. Fasilitas umum yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penyusunan konsep simbiosis mutualistik untuk penataan PKL Samanhudi erat kaitannya dengan karakter masing-masing pelaku dan konflik kepentingan serta konflik

Lebih terperinci

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA Kasus Kelompok Tani Karya Agung Desa Giriwinangun, Kecamatan Rimbo Ilir, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi NOVRI HASAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan industri merupakan bagian dari pembangunan ekonomi jangka panjang untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang. Tetapi adanya perbedaan potensi sumberdaya

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam rangkaian pemasaran dan merupakan penghubung atau

PENDAHULUAN. peranan penting dalam rangkaian pemasaran dan merupakan penghubung atau PENDAHULUAN Latar Belakang Bisnis eceran merupakan bagian dari saluran distribusi yang memegang peranan penting dalam rangkaian pemasaran dan merupakan penghubung atau perantara antara konsumen dam produsen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung saat ini merupakan salah satu kota metropolitan sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung memiliki jumlah penduduk 2.481.469 jiwa yang

Lebih terperinci

STUDI POLA APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP PASAR MODERN DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

STUDI POLA APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP PASAR MODERN DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR STUDI POLA APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP PASAR MODERN DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: RONY RUDIYANTO L2D 306 022 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2 Jum'at, 3 Mei :48 wib

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2  Jum'at, 3 Mei :48 wib Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek A. Umum Pertumbuhan ekonomi DIY meningkat 5,17 persen pada tahun 2011 menjadi 5,23 persen pada tahun 2012 lalu 1. Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian terhadap perlindungan sosial bagi para pekerja di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian terhadap perlindungan sosial bagi para pekerja di negara-negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di negara maju, munculnya perhatian pada perlindungan sosial terutama bagi pekerja telah ada sejak tumbuhnya sistem ekonomi pasar pada abad ke-19. Perhatian

Lebih terperinci

STRATEGI BISNIS WARUNG SOTO AYAM CAK SUEP PADA PERUMAHAN DELTA SARI INDAH DI WARU SIDOARJO SKRIPSI

STRATEGI BISNIS WARUNG SOTO AYAM CAK SUEP PADA PERUMAHAN DELTA SARI INDAH DI WARU SIDOARJO SKRIPSI STRATEGI BISNIS WARUNG SOTO AYAM CAK SUEP PADA PERUMAHAN DELTA SARI INDAH DI WARU SIDOARJO SKRIPSI Oleh : RHIZAL FERDIANSYAH C 0642010050 YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Ruang Kota (Studi Kasus: Kawasan Pendidikan Tembalang, Kota Semarang)

Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Ruang Kota (Studi Kasus: Kawasan Pendidikan Tembalang, Kota Semarang) 2012 Biro Penerbit Planologi Undip Volume 8 (4): 412 424 Desember 2012 Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima di Ruang Kota (Studi Kasus: Kawasan Pendidikan Tembalang, Kota Semarang) Retno Widjajanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian perempuan merupakan suatu kajian yang sangat menarik perhatian. Hal ini terbukti banyak penelitian tentang kaum perempuan. Perempuan merupakan hal penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat mengurusi politik yang akhirnya ekonominya sendiri menjadi kacau.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat mengurusi politik yang akhirnya ekonominya sendiri menjadi kacau. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin masih terjadi dan pemerataan ekonomi belum sepenuhnya menyentuh sampai ke pelosok desa. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya perubahan dalam aliran-aliran baru yang menyangkut arus pendapatan dan manfaat (benefit) kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lokasi relatif suatu tempat atau wilayah berkenaan dengan hubungan tempat

I. PENDAHULUAN. Lokasi relatif suatu tempat atau wilayah berkenaan dengan hubungan tempat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lokasi merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan. Lokasi dapat dibedakan antara lokasi absolut dengan lokasi relatif. Lokasi absolut suatu tempat atau

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Perumusan arah kebijakan dan program pembangunan daerah bertujuan untuk menggambarkan keterkaitan antara bidang urusan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Skema Aerotropolis

Gambar 1.1 Skema Aerotropolis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aerotropolis adalah pengembangan dari konsep aerocity yang tergolong paling modern dalam pembangunan dan pengelolaan bandara dewasa ini. Dalam konsep aerocity, bandara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasar tradisional sejak jaman dulu memegang peran penting dalam menggerakkan ekonomi rakyat, selain itu juga berfungsi sebagai tempat bermuaranya produk-produk rakyat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan kebiasaan berbelanja sebagai bentuk mencari suatu kesenangan adalah merupakan suatu motif berbelanja yang baru. Motivasi merupakan konsep yang dinamis dan

Lebih terperinci