RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-VI/2008

Transkripsi

1 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I) J A K A R T A RABU, 4 JUNI 2008

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-VI/2008 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar PEMOHON Pollycarpus Budihari Priyanto ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Rabu, 4 Juni 2008, Pukul WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Maruarar Siahaan, S.H. (Ketua) 2) Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. (Anggota) 3) Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD, S.H. (Anggota) Sunardi, S.H. Panitera Pengganti 1

3 Pihak yang Hadir: Kuasa Hukum Pemohon : - Idrus Mony, S.H. - Mohammad Tohir, S.H. Lembaga Reformasi Hukum Republik Indonesia : - Jahrudin 2

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Baik Saudara-Saudara sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 16/PUU-VI/2008 dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 1X Sebelum kita memasuki substansinya Saudara Pemohon bisa dijelaskan dulu siapa saja yang hadir bisa dibuatkan dalam berita acara, kami persilakan 2. KUASA HUKUM PEMOHON : MOHAMMAD TOHIR, S.H. Assalamu alaikum wr. wb, Yang hadir pada pagi ini adalah kami kuasanya yaitu Mohammad Tohir, S.H. Kemudian Idrus Mony, S.H. serta ada pengurus dari Lembaga Reformasi Hukum Indonesia yang bernama Pak Jahrudin, terima kasih. 3. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Baiklah jadi kuasanya yang hadir bukan in person ya? Itu yang di belakang ya? Baik, pada hari ini kita akan melihat dulu kelayakan permohonan, oleh karena itu kita berikan kesempatan kepada Saudara untuk menguraikan permohonan terlebih dahulu dan karena mungkin panjang bisa diurakan pokok-pokoknya saja, silakan. 4. KUASA HUKUM PEMOHON : IDRUS MONY, S.H. Perihal permohonan pengujian judicial review Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8) Tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dengan Hormat, Kami yang bertandatangan dibawah ini : Idrus Mony, SH, Mohammad Tohir,SH. Advokat dan konsultan hukum dari Lembaga Reformasi Hukum Indonesia (LRHI) yang beralamat di Jl. Prof. Dr. Satrio No. 8 Jakarta Selatan 3

5 5. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Kalau bisa lalui saja itu, langsung kedudukan hukum. 6. KUASA HUKUM PEMOHON : IDRUS MONY, S.H. Permohonan pengujian uji materiil disampaikan dengan dasardasar dan alasan-alasan sebagai berikut : Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon : 1. Bahwa Pemohon sebagai Perorangan Warga Negara Indonesia berdasarkan Kartu Tanda Penduduk Nomor : ; yang terlampir sebagai (Bukti P-1) 2. Bahwa Pemohon sebagai Perorangan WNI berhak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, sebagaimana yang dijamin dan dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; terlampir sebagai (Bukti P-2) 3. Bahwa berdasarkan hal tersebut pada butir 2 di atas, maka secara hukum jelas Pemohon memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) dan memiliki kepentingan untuk menyampaikan permohonan hak uji materiil (Judicial Review) Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945 sebagaimana hak dan kewenangan dimaksud ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No.: 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi R.I; terlampir sebagai (Bukti P-3) 4. Bahwa Pemohon saat ini menjadi Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Cipinang Jakarta, berdasarkan putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007; terlampir sebagai (Bukti P-4) 5. Bahwa Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007, sebagaimana disebutkan pada butir 4 di atas mengakibatkan Pemohon menanggung rugi atas hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya; 6. Bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undangundang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yakni Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah 4

6 Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh Undang-undang ; terlampir sebagai (Bukti P-5) 7. Bahwa yang menjadi dasar-dasar pertimbangan terhadap putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007 adalah diterimanya permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut umum berdasarkan pertimbangan putusan a quo tentang penafsiran Pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana Pasal 23 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman 8. Bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana berbunyi : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung ; terlampir sebagai (Bukti P-6) 9. Bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang secara jelas, tegas dan limitatif mengatur tentang acara Peninjauan Kembali tidak menjadi pertimbangan hukum secara benar, tepat dan serius dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia, sedang disisi lain Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dijadikan pertimbangan hukum dan pembenaran oleh Majelis Hakim PK untuk menerima PK yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum 10.Bahwa penafsiran Mahkamah Agung menurut pendapat kami, tidak berdasarkan realitas hukum yang berlaku di Indonesia (Ius Constitutum) sebagai dasar kepastian, kecuali ada kekosongan hukum sementara saat terjadi persidangan perkara Pemohon, Bahwa Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana masih berlaku, maka seharusnya Mahkamah Agung menggunakan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana sebagai dasar di dalam penilaian menerima atau menolak pengajuan PK; 11.Bahwa sebagai bahan pertimbangan oleh Mahkamah tentang permohonan uji materiil ini, bahwa pernah terjadi dan merupakan Yurisprudensi yakni pada Putusan Mahkamah Agung Nomor : 84 PK/Pid./2006 dalam perkara pidana H. Mulyar bin Samsi yang putusannya berbunyi Menyatakan tidak dapat diterima permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri di Muara Teweh, sebagai pertimbangan tidak diterimanya permohonan PK tersebut adalah pertimbangan Majelis yang menggunakan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik 5

7 Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana; terlampir sebagai (Bukti P-7) 12. Bahwa isi pertimbangan Majelis Hakim PK dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 84 PK/Pid./2006 perkara pidana H. Mulyar bin Samsi sebagaimana dalam butir 11 di atas adalah Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitatif bahwa yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauan kembali; Bahwa Due proses of law tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum; 13.Bahwa putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007 yang menggunakan pertimbangan penafsiran ekstensif Pasal 23 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menurut pemohon tidak benar dan tidak tepat serta mengabaikan azas legalitas dan kepastian hukum, langkah yang arif seharusnya oleh pihak yang bersangkutan/ berkepentingan dilakukan pengujian terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana agar kejaksaan dapat mengajukan PK, Pengajuan PK dan Putusan a quo jelas-jelas mengabaikan peran Mahkamah Konstitusi padahal Mahkamah Konstitusi sudah ada dan terbentuk; 14.Bahwa terhadap putusan a quo, Pemohon sangat dirugikan sebagai Warga Negara Indonesia yang harus di lindungi Hak-hak konstitusionalnya berupa Hak Azasi Manusia sebagaimana Undangundang Dasar 1945 Amandemen Pasal 28D ayat (1) 15.Bahwa kerugian hak dan kepentingan konstitusional Pemohon dengan adanya Pasal 23 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, selain yang telah disebutkan diatas, juga antara lain berupa: a.terhalangnya dan/atau terganggunya perekonomian Pemohon, sebagai akibat pemidanaan yang saat ini di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta; b.malu yang tak terhingga diderita pribadi Pemohon, istri dan anak-anak Pemohon serta keluarga besar Pemohon, baik malu terhadap tetangga, kerabat, relasi, teman sejawat dan penderitaan bathin yang terlalu panjang jika disebutkan satu persatu; c.menderita tekanan psikologis; 6

8 d.menyebabkan beberapa usaha bisnis yang telah dirintis dengan susah payah oleh pemohon menjadi hancur berantakan; e.merasa terhina dan tercemar nama baik Pemohon. Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan ini; POKOK PERMOHONAN. 19. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam kedudukan Hukum dan kewenangan Mahkamah sebagaimana yang diuraikan diatas adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok permohonan ini; 20. Bahwa permohonan pengujian ini berkaitan dengan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yakni pasal 23 ayat (1) yang berbunyi : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh Undangundang 21. Bahwa bunyi Pasal 23 (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman yakni pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, mengenai kalimat pihak-pihak yang bersangkutan dalam bunyi Pasal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang menyesatkan, dan secara terang-terangan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D Ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 22. Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum, sebagaimana negara-negara demokratis lainnya, sudah sepatutnya memberikan jaminan dan perlindungan kepastian Hukum dalam rangka melakukan proses Hukum (Due process of law) terhadap warga negaranya; 23. Bahwa sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang RI No.10 Tahun 2004 Tentang pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan dalam Bab II asas peraturan perundang-undangan Pasal 5F yang berbunyi : Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik mengenai kejelasan rumusan, sementara Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak dapat memberikan kepastian Hukum; (Bukti P-8) 7

9 24. Bahwa penggunaan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1980 Pasal 10 Ayat (1) menentukan Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan Hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh Terpidana atau pihak yang berkepentingan yang menjadi salah satu pertimbangan dalam Putusan peninjauan kembali No.109/PK/Pid/2007 adalah tidak benar, karena PERMA tersebut TELAH DICABUT berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 1982 Tentang Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1980 yang disempurnakan, dimana didalam pertimbangannya disebutkan Bahwa peninjauan kembali untuk perkara pidana yang semula juga diatur dalam PERMA No.1 Tahun 1980, telah memperoleh pengaturannya dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana sehingga oleh karena itu perlu dicabut dari Peraturan Mahkamah Agung yang dimaksud, maka sungguh sangat awam sekali, apabila Mahkamah Agung masih menggunakan Peraturan Mahkamah Agung yang telah dicabut dan mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1982;(bukti P-9) 25. Bahwa oleh karena hal-hal di atas, maka dengan segala kerendahan hati kami ingin menyampaikan bahwa Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan Kehakiman a quo mengandung cacat konstitusional; 26. Bahwa oleh karena untuk menghindarkan penafsiran-penafsiran yang menyesatkan, sementara kewenangan peninjauan kembali telah diatur secara jelas dan limitatif dalam Pasal 263 Ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, maka Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak memiliki kekuatan Hukum; 27. Bahwa menurut DR. Leden Marpaung, SH di dalam bukunya perumusan memori kasasi dan peninjauan kembali perkara pidana menyebutkan bahwa pengajuan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum selama ini belum lumrah, sebagian para pakar telah mengungkapkan keberatan atau ketidaksetujuan, pendapat-pendapat para pakar tersebut ada yang bernada meremehkan Mahkamah Agung;(Bukti P-10) 28. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, terbukti Pasal 23 Ayat (1) Undang- Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.8) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya; 8

10 PERMOHONAN Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemohon dengan ini memohon kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan Pemohon yang amarnya sebagai berikut: 1. Menerima dan Mengabulkan seluruh permohonan Pemohon; 2. Menyatakan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya; Jika Majelis Hakim Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); Demikian Permohonan ini kami sampaikan, atas kearifan dan kebijaksanaanya kami ucapkan terima kasih. Hormat Kami, LEMBAGA REFORMASI HUKUM INDONESIA Kuasa Hukum Pemohon IDRUS MONY, SH. MOHAMMAD TOHIR, S.H. 7. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Baiklah sebagai pemeriksaan pendahuluan tentu kita baru melihat ini kelayakan dan oleh karena itu tentunya Majelis juga bisa meminta penjelasan kepada Saudara sebagai kuasa hukum klarifikasi dan mungkin nanti kalau dianggap penting beberapa saran dari para hakim barangkali bisa diserap. Tetapi pertanyaan saya yang pertama, pernyataan Saudara mengajukan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang tampaknya itu satu generik, artinya Saudara hanya membaca dari sudut hukum acara pidana tetapi Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tentu melihatnya bukan hanya dari sana. Oleh karena itu kalau bisa Saudara jelaskan kembali apakah memang itu yang bertentangan dengan Konstitusi ataukah barangkali putusan itu yang menyebabkan bertentangan dengan Konstitusi dan kalau demikian uraian mengenai kewenangan barangkali nanti akan lebih komprehenship lagi Saudara ajukan, karena pada halaman 7 Saudara 9

11 mengatakan pertimbangan, kemudian PERMA yang digunakan lagi padahal sudah diatur. Saudara ingin mengatakan sebenarnya bahwa KUHAP itu yang harus dipakai. Tapi Saudara menguji Undang-Undang Nomor 4, itu kan tidak hanya KUHAP segala-galanya yang ada pada kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu saya beri kesempatan dulu kepada Bapak-Bapak hakim kalau ada yang ingin dikemukakan, silakan. 8. HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. H. MOH. MAHFUD MD, S.H. Ya, hampir senada dengan Ketua Majelis tadi, nampaknya perlu lebih difokuskan ya dimana letak pertentangan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 itu dengan Undang-Undang Dasar 1945 dengan bagian-bagian mana? Kalau Saudara sebut dengan ada kepastian hukum, dengan jaminan perlindungan itu sebenarnya uraiannya belum fokus. Yang Saudara kemukakan disitukan pertentangan antara Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun Kalau bertentangan antar undang-undang itu sebenarnya bukan ranah pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, yang menjadi kewenangan di sini kalau undang-undang dengan Undang-Undang Dasar Meskipun saya paham, tetapi saya kira difokuskan pertentangan keatasnya bahwa itu menjadi contoh. Misalnya juga Saudara menyebut pertentangan antara dua Perma. Nah, itu kan sebenarnya bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi itu urusan Mahkamah Agung sendiri dan itu menjadi kasus tersendiri di luar persoalan pengujian undang-undang. Dan sudah begitu secara substansif saya sudah menangkap maksudnya, penajaman pertentangan ke atas itu soal pertentangan ke samping antar bawah dan sebagainya itu saya kira nanti bisa mungkin kalau perlu tidak ada yang seperti itu, meskipun kalau mau Saudara cantumkan juga kalau Saudara yakin itu bisa memperkuat argumen tidak apa-apa. Tapi sebenarnya yang pokok di sini itu ke atas bukan ke samping, terima kasih. 9. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Silakan Pak. 10. HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M. Saudara Pemohon, kalau saya melihat uraian Saudara ini adalah lebih banyak menitik beratkan kerugian daripada Pemohon ini adalah akibat daripada proses daripada pemeriksaan di Mahkamah Agung itu kan kira-kira. Jadi dengan kata lain Mahkamah Agung itu tidak menjalankan ketentuan hukum acara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 itu dan juga tidak memperhatikan yurisprudensi yang sudah di ini kan, kira-kira itu kan? Nah, sekarang yang Anda di sini kan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang 10

12 Dasar 1945, jadi yang Pasal 23 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman itu diturunkan menjadi didalam KUHAP itu kan? Itu kan sama, ini kan lebih atas turun kepada ini. Tapi yang Saudara harus tunjukkan sebenarnya dalam uraian ini bagaimana Saudara mengkonstruksi bahwa Pasal 23 itu yang rumusannya mengatakan bahwa sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti itu masih boleh di-pk, itu yang Saudara tekan? Sehingga ketentuan yang dalam Pasal 263 KUHAP itu kalau dia bertentangan itu maka akan menjadi, urutannya menjadi ini juga. Nah, dimana Anda harus menjelaskan bahwa rumusan yang ada didalam Undang-Undang Dasar 1945 itu, bahwa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi (...) Kedua kalau Saudara dapat juga melakukan satu komparasi di dalam memperbaiki, memberikan komparasi dengan Undang-Undang Dasar negara lain, umpamanya saya kasih contoh Undang-Undang Dasar Amerika. Undang-Undang Dasar Amerika itu ada Pasal yang menyangkut mengenai due process of law khusus mengenai itu. Jadi untuk memperbaiki, ini masalah due process of law ini sebetulnya intinya just proses of law. Tapi kalau melihat ini permohonan Saudara yang ada sekarang ini sebetulnya yang Anda uraikan ini adalah sesuatu uraian mengenai bahwa kerugian Saudara itu akibat proses yang ada di Mahkamah Agung yang tidak sesuai dengan ketentuan. Ini sebetulnya Mahkamah Konstitusi di tempat lain ada kalau umpamanya ada kewenangan seperti ini ada yang namanya constitutional complaint, itu bisa kalau di tempat lain tapi Mahkamah Konstitusi Indonesia ini tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Jadi kalau dinegara lain itu ada, jadi sampai keputusan Mahkamah Agung kalau dia anggap bahwa putusan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dia minta ke Mahkamah Konstitusi, tapi ini tidak ada. Nah, sekarang Saudara harus membuat satu argumen bertitik tolak dari Pasal 23 itu tadi, kamu uraikan kalimat yang mengatakan bahwasanya keputusan yang sudah pasti, bagaimana? Dengan masalah kepastian hukum dan kerugian yang dialami oleh Pemohon, itu saja. 11. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Ya, saya kira Saudara sudah catat barangkali tadi semuanya tetapi intinya barangkali mungkin karena belum meyakinkan bahwa ini masuk kompentensi Mahkamah Konstitusi ya, tadi Saudara menguji atau katakanlah tampaknya begitu menguji Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 ini kepada Pasal 263 KUHAP kesannya seperti itu ya? Apalagi kalau menyangkut tadi putusan, bisakah Saudara beri respon bahwa hakim menginginkan ada suatu rumusan yang memungkinkan atau menggambarkan bahwa ini masuk kewenangan Mahkamah Konstitusi, saya beri kesempatan. 11

13 12. KUASA HUKUM PEMOHON : MOHAMMAD TOHIR, S.H. Terima kasih atas masukan-masukan yang sangat berharga dari yang mulia. Sebenarnya sederhana saja buat kami bahwasanya di dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 ini itu terkait Pasal 23 ayat (1) yang boleh dikatakan bunyinya terkait dengan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali. Kami sebenarnya merasa dirugikan dengan kalimat pihak-pihak yang bersangkutan Pak, karena kalimat ini sangat tidak jelas sekali rumusannya seperti itu. Sebenarnya undang-undang ini merupakan undang-undang yang dulu pada sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 itu pernah juga menyebutkan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan, ini pernah dijadikan sebagai dasar untuk menghukum dan mempidana Mochtar Pakpahan dalam perkara Nomor 55. Akan tetapi karena undang-undang ini sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 maka kami menguji undang-undang ini, adapun kaitannya dengan KUHAP kami melihat kok itu, kenapa KUHAP memberikan suatu batasan yang limitatif yaitu terpidana maupun ahli warisnya, sementara di dalam Pasal 4 Tahun 2004 ini itu hanya pihak-pihak yang bersangkutan, ini bisa memberikan satu dasar atau dijadikan sebagai satu sumber hukum yang bisa menjadi penafsiran yang bisa menyesatkan bisa kita lihat Pak, ada yurisprudensi yang ternyata di situ mengatakan bahwasanya setuju untuk dilakukan PK. Sementara ada juga yang dinyatakan sudah tidak bisa dilakukan PK, ini memang ada pertentangan antara undang-undang ini. Apakah pasal-pasal terkait dengan kekuasaan kehakiman ini kalau boleh di katakan mungkin di sini dalam perbaikan misalkan diberikan kesempatan perbaikan oleh bapak-bapak Yang Mulia apakah kami akan masukkan semua saja begitu Pak untuk kami uji, seperti itu Pak. 13. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Saya pikir begini Saudara, tadi argumen Saudara masih tetap juga sama dengan apa yang Saudara kemukakan. Tetapi keinginan kita karena Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman bukan saja hanya mengatur soal pidana. Tetapi kalau dia berbicara pihak-pihak tetapi berdasarkan ketentuan undang-undang bunyinya begitu, itu masingmasing tunduk kepada undang-undang yang mengatur bidang perkara perdata atau pidana. Karena dia bukan menyangkut acara kan, menyangkut pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Kalau Saudara mengatakan itu dihapus, bagaimana di dalam perkara perdata kan itu pihak-pihak. Jadi oleh karena itu Saudara uraikanlah bagaimana cara menyangkutkan bahwa memang yang Saudara mohonkan itu bisa fokus 12

14 dia dengan kasus yang menjadi pendukung yang terjadi pada Pemohon. Kalau Saudara bicara mengenai itu bagaimana pengaturannya untuk bidang lain? Karena dia tidak hanya menyangkut soal hukum acara pidana, tapi kesan kita hanya melihat dari sisi-sisi itu saja, artinya sudah mengerti Saudara? 14. KUASA HUKUM PEMOHON : MOHAMMAD TOHIR, S.H. Mengerti Pak. 15. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Mengerti ya. Jadi jangan lihat dari satu sisi, karena saya katakan dia generic. Kalau sudah Hukum Acara Perdata lain lagi Hukum Acara Pidana. Bahwa ada nanti soal tafsiran didasarkan kepada itu menyebabkan ketersampingkan Pasal 263 KUHAP menjadi soal lain kan? Itu berarti mungkin yang disebutkan Pak Nata tadi, apakah itu bukan merupakan suatu constitutional complaint, bisa Saudara tangkap, apa ada yang ingin Saudara tambahkan? 16. KUASA HUKUM PEMOHON : IDRUS MONY, S.H. Terima kasih sebelumnya atas masukan yang diberikan kepada kami sebagai Pemohon untuk menyampaikan beberapa hal terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 23 ayat (1). Kami memahami betul apa yang tadi disampaikan oleh Majelis yang terhormat, tetapi karena ini terkait dengan persoalan apakah ini termasuk dalam ranah Mahkamah Konstitusi atau bukan maka di sini perlu saya jelaskan bahwa yang kami uji itu pertama Undang-Undang Nomor 23 ayat (1), pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut kami bahwa ya Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menurut kami perlu untuk karena ini berlaku juga pada, kalau bicara pada ranah pidana, maka KUHAP secara limitatif sebetulnya sudah diatur dalam Pasal 263 ayat (1). Persoalannya, dasar Hakim Mahkamah Agung secara ekstensif mengakomodir dari pasal ini akhirnya timbul suatu persoalan baru, artinya dengan sendirinya kami selaku Pemohon dihukum atas penafsiran tersebut. Padahal kalau kita lihat Pasal 28D itu kan berbunyi bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, yang kami persoalkan di situ Pak, terima kasih. 17. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Jadi begini, yang Saudara inginkan sudah kami tangkap. Tapi 13

15 apakah Saudara ingin menghapus Pasal 23 itu karena itu merupakan payung di atas, tidak hanya untuk KUHAP. Jadi persoalan ini sekarang apakah Saudara keberatan undang-undang itu kah yang menjadi soal atau bagaimana implementasinya oleh hakim? Kemudian rumuskanlah supaya secara meyakinkan bahwa ini masuk di dalam ranah atau domain kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena kalau saudara bertahan begitu, dengan mudah bisa dibaca hasilnya, saya rasa ditampung saja dulu renungkan saja nanti. Renungkan dan itu pun namanya juga panel dalam pemeriksaan pendahuluan hanya berwenang memberikan, meminta klarifikasi, penjelasan, kemudian apakah Saudara perbaiki atau tidak itu adalah hak dari pada Pemohon. Ada lagi yang ingin Saudara kemukakan? 18. KUASA HUKUM PEMOHON : MOHAMMAD TOHIR, S.H. Yang Mulia, selain Pasal 23 ayat (1) tadi, apakah kemudian pasalpasal yang lain misalkan kami diizinkan untuk perbaikan apakah juga akan kita masukkan itu yang mulia, agar kita mendapatkan kejelasan, kepastian hukum tentang kewenangan PK ini, begitu Pak. 19. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Saya tidak bisa menjawab apa yang Saudara inginkan sekarang ini kan kalau menyangkut pertanyaan ini. Tetapi intinya sekarang Saudara keberatan jaksa melakukan peninjauan kembali bertentangan dengan Pasal 263, itu materinya kan? 20. KUASA HUKUM PEMOHON : MOHAMMAD TOHIR, S.H. Betul 21. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Bahwa pertimbangan Mahkamah Agung menggunakan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 itu, apakah itu yang menjadi Saudara punya masalah? Ataukah Pasal 23 itu yang inkonstitusional, ini yang kita ingin Saudara rumuskan lebih fokus ya? Bahwa Saudara mau menambah yang lain, tergantung selera kan? Tapi kita melihat kewenangan MK bagaimana untuk bisa sampai ke sana. Apakah ingin Saudara meyakinkan bahwa ini meskipun tidak tertulis kita ingin MK merebut ini, kan begitu. Karena prinsip apa kan bisa. Oleh karena itu banyaklah membaca. Kalau Saudara bisa yakinkan, mungkin saya berani mengatakan. Tapi Saudara harus yakinkan juga, jadi bacaannya jangan terbatas pada KUHAP. Baik, kalau tidak ada lagi, nanti untuk pengesahan alat-alat bukti setelah perbaikan Saudara saja dan untuk itu kita beri waktu empat 14

16 belas hari maksimal, kalau Saudara lebih awal tentu akan lebih bagus. Kalau kita dengar lagi apa perbaikan Saudara nanti kita akan bisa menilai. Cukup ya? 22. KUASA HUKUM PEMOHON : MOHAMMAD TOHIR, S.H. Cukup Pak. 23. KETUA : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Dengan ini pemeriksaan kita anggap selesai dan sidang kita nyatakan di tutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB 15