NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN"

Transkripsi

1

2 NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELAN NJA NEGAR RA TAHUN ANGGARAN 2011 REPUBLIK INDONESIA

3 Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... Daftar Bagan... BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Prioritas RKP Peran Strategis Kebijakan Fiskal Dasar Hukum Penyusunan NK dan APBN Asumsi Dasar Ekonomi Makro Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Uraian Singkat Isi Masing-masing Bab... i iv viii xvi xvii I-1 I-4 I-7 I-8 I-9 I-11 I-12 BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL APBN Pendahuluan Perkembangan Ekonomi Evaluasi dan Kinerja Proyeksi Tantangan dan Sasaran Kebijakan Ekonomi Makro Tantangan Kebijakan Ekonomi Makro Sasaran Kebijakan Ekonomi Makro Kebijakan Ekonomi Makro Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Kebijakan Fiskal, Kebijakan Fiskal dan Perkiraan Realisasi APBN-P Asumsi Dasar RAPBN Tahun Kebijakan RAPBN Kebijakan Fiskal Dampak Makro APBN Proyeksi Fiskal Jangka Menengah... II-1 II-5 II-5 II-21 II-35 II-35 II-38 II-45 II-47 II-47 II-51 II-54 II-54 II-57 II-60 II-65

4 Daftar Isi Halaman BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 3.1 Umum Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun Penerimaan Dalam Negeri Hibah Tantangan dan Peluang Kebijakan Pendapatan Negara Sasaran Pendapatan Negara dan Hibah Tahun Penerimaan Dalam Negeri Penerimaan Hibah... III-1 III-2 III-3 III-41 III-42 III-42 III-43 III-56 BAB IV ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT Umum Evaluasi Perkembangan Pelaksanaan Kebijakan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, Perkembangan Kebijakan Umum Belanja Pemerintah Pusat Perkembangan Pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi Perkembangan Pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, Perkembangan Pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis, Kaitan Antara Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011 Dengan Rancangan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, RAPBN Masalah dan Tantangan Pokok Pembangunan Tema dan Prioritas Pembangunan Nasional RKP Tahun Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat RAPBN Kebijakan Umum Belanja Pemerintah Pusat RAPBN Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi RAPBN Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi RAPBN IV-1 IV-5 IV-5 IV-8 IV-20 IV-30 IV-50 IV-51 IV-53 IV-63 IV-63 IV-65 IV-110 ii

5 Daftar Isi Halaman Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis RAPBN IV-118 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL 5.1 Umum Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Perkembangan Transfer ke Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pinjaman dan Hibah Daerah Gambaran Pelaksanaan APBD Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah Kebijakan Anggaran ke Daerah Tahun Kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah... V-1 V-3 V-3 V-6 V-12 V-16 V-20 V-21 V-27 V-27 BAB VI PEMBIAYAAN DEFISIT ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL 6.1 Pendahuluan Realisasi Pembiayaan APBN Tren Pembiayaan Anggaran Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran Pembiayaan APBN Tahun Kebijakan Pembiayaan Non-Utang Kebijakan Pembiayaan Utang Risiko Fiskal Analisis Sensitivitas Risiko Utang Pemerintah Pusat Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat Desentralisasi Fiskal... VI-1 VI-2 VI-3 VI-4 VI-33 VI-34 VI-46 VI-65 VI-65 VI-76 VI-79 VI-91 iii

6 Daftar Tabel DAFTAR TABEL Tabel I.1 Asumsi Dasar Ekonomi Makro, Tabel II.1 Distribusi PDB Pengeluaran Atas Harga Berlaku, Tabel II.2 Distribusi PDB Sektoral Atas Harga Berlaku, Tabel II.3 Neraca Pembayaran Indonesia, Tabel II.4 Pertumbuhan PDB Menurut Sektor (yoy), Tabel II.5 Pertumbuhan PDB dan Volume Perdagangan Tahun Tabel II.6 Sumber-sumber Pertumbuhan PDB, Tahun Tabel II.7 Neraca Pembayaran Indonesia, Tabel II.8 Perkembangan Realisasi APBN, Tabel II.9 Realisasi APBN Tahun Tabel II.10 Asumsi Ekonomi Makro, Tabel II.11 Ringkasan APBN, Tabel II.12 Kerangka Asumsi Makro Jangka Menengah, Tabel II.13 Kerangka APBN Jangka Menengah, Tabel III.1 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah, Tabel III.2 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri, Tabel III.3 Perkembangan PPh Migas, Tabel III.4 Perkembangan PPh Nonmigas, Tabel III.5 Perkembangan PPh Nonmigas Sektoral, Tabel III.6 Perkembangan PPN dan PPnBM, Tabel III.7 Perkembangan PPN Dalam Negeri Sektoral, Tabel III.8 Perkembangan PPN Impor Sektoral, Tabel III.9 Perkembangan PBB, Tabel III.10 Perkembangan Realisasi Cukai, Tabel III.11 Perkembangan Produksi Jenis Rokok, Tabel III.12 Perkembangan Penerimaan Pajak Lainnya, Tabel III.13 Perkembangan PNBP, Halaman I-10 II-8 II-10 II-20 II-26 II-36 II-39 II-44 II-48 II-52 II-54 II-58 II-66 II-67 III-3 III-4 III-10 III-11 III-11 III-12 III-14 III-14 III-18 III-19 III-19 III-22 III-29 iv

7 Daftar Tabel Halaman Tabel III.14 Perkembangan Penerimaan SDA, Tabel III.15 Perkembangan PNBP Lainnya, Tabel III.16 Pendapatan Negara dan Hibah, Tabel III.17 Perkembangan PPh Nonmigas Sektoral, Tabel III.18 Perkembangan PPN Dalam Negeri Sektoral, Tabel III.19 Perkembangan PPN Impor Sektoral, Tabel III.20 PNBP Lainnya, Tabel IV.1 Pencapaian Kinerja Kemendiknas Tahun Tabel IV.2 Produksi Komoditas Tanaman Pangan dan Perkebunan, Tabel IV.3 Pencapaian Hasil Anggaran Sub Fungsi Transportasi, Tabel IV.4 Pencapaian Hasil Anggaran Sub Fungsi Pertanian, Tabel IV.5 Pencapaian Hasil Anggaran Sub Fungsi Pengairan, Tabel IV.6 Pencapaian Hasil Anggaran Sub Fungsi Bahan Bakar dan Energi, Tabel IV.7 Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat, Tabel IV.8 Pembayaran Bunga Utang, Tabel IV.9 Perkembangan Subsidi BBM per Jenis Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg, Tabel IV.10 Perkembangan Harga BBM, Tabel IV.11 Perkembangan Subsidi Listrik, Tabel IV.12 Perkembangan Subsidi Pangan, Tabel IV.13 Perkembangan Subsidi Pupuk, Tabel IV.14 Perkembangan Subsidi, Tabel IV.15 Sasaran Utama Pembangunan Nasional Tabel IV.16 Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga, III-29 III-37 III-43 III-46 III-47 III-48 III-53 IV-10 IV-20 IV-25 IV-26 IV-26 IV-27 IV-31 IV-35 IV-39 IV-39 IV-40 IV-42 IV-43 IV-44 IV-54 IV-109 v

8 Daftar Tabel Halaman Tabel IV. 17 Belanja Pemerintah Pusat, Menurut Fungsi Tahun Tabel IV.18 Pembayaran Bunga Utang, Tabel IV.19 Asumsi, Parameter, dan Besaran Subsidi BBM Jenis Tertentu dan LPG tabung 3 Kg, Tabel IV.20 Asumsi, Parameter, dan Besaran Subsidi Listrik, Tabel IV.21 Subsidi Pangan, Tabel IV.22 Asumsi, Parameter, dan Besaran Subsidi Pupuk, Tabel IV.23 Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat, Tabel V.1 Perkembangan Transfer ke Daerah, Tabel V.2 Perkembangan Nomenklatur Dana Penyesuaian, Tahun Tabel V.3 Jenis Pajak Daerah... Tabel V.4 Jenis Retribusi Daerah... Tabel V.5 Alokasi Hibah Kepada Daerah Dalam APBN Tahun Tabel V.6 Realisasi Pendapatan Provinsi Tahun 2007 dan Tabel V.7 Pendapatan APBD Kabupaten dan Kota Tahun 2007 dan Tabel V.8 Total Alokasi Belanja APBD Provinsi per Jenis Tahun 2007 dan Tabel V.9 Total Alokasi Belanja APBD Kabupaten dan Kota per Jenis Tahun 2007 dan Tabel V.10 Total Alokasi Belanja APBD Provinsi Per Fungsi Tahun 2007 dan Tabel V.11 Total Alokasi Belanja APBD Kabupaten dan Kota Per Fungsi Tahun 2007 dan Tabel V.12 Laju Inflasi Tahunan di 66 Kota... Tabel V.13 Perkembangan Realisasi Investasi di Indonesia, Tahun Tabel V.14 Indeks Williamson untuk PDRB, Tahun IV-111 IV-122 IV-124 IV-126 IV-127 IV-128 IV-134 V-6 V-12 V-14 V-15 V-19 V-20 V-20 V-20 V-20 V-21 V-21 V-23 V-24 V-25 vi

9 Daftar Tabel Halaman Tabel V.15 Perbandingan Pendapatan APBD dengan Indikator Kesejahteraan ( )... Tabel V.16 Daerah Pemekaran Yang Akan Mendapat DAU 2011 dengan Perhitungan Berdasarkan Data Dasar Secara Mandiri... Tabel V.17 Transfer ke Daerah, Tabel VI.1 Perkembangan Realisasi Defisit dan Pembiayaan Anggaran, Tabel VI.2 Perkembangan Pembiayaan Non-Utang, Tabel VI.3 Rekapitulasi Penerbitan SBN per Semester, Tabel VI.4 Perkembangan Penarikan Pinjaman Program, Tabel VI.5 Realisasi Pembiayaan Luar Negeri (neto), Tabel VI.6 Outstanding Utang Berdasarkan Currency... Tabel VI.7 Pembiayaan Non-Utang, 2010 dan Tabel VI.8 PMN Kepada Organisasi/LKI, Tabel VI.9 Perkembangan SCR dan CRC Indonesia... Tabel VI.10 Rasio Dana Pihak Ketiga... Tabel VI.11 Kepemilikan SBN Berdasarkan Investor SBN Domestik... Tabel VI.12 Selisih antara Asumsi Ekonomi Makro dan Realisasinya... Tabel VI.13 Tabel VI.14 Tabel VI.15 Sensitivitas Defisit RAPBN 2011 terhadap Perubahan Asumsi Ekonomi Makro... Kontribusi Bersih terhadap APBN... Stress Test Perubahan Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, Harga Minyak, dan Tingkat Bunga terhadap Risiko Fiskal BUMN... Tabel VI.16 Indikator Risiko Portofolio Utang Tahun Tabel VI.17 Perolehan Pembiayaan Proyek Pembangkit Tenaga Listrik MW Tahap I... Tabel VI.18 Kontribusi dan Penyertaan Modal Pemerintah pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional Tabel VI.19 Jumlah Peristiwa Bencana di Indonesia, Tahun Tabel VI.20 Pengaruh Pemekaran terhadap DAU Kabupaten/Kota, V-26 V-33 V-41 VI-5 VI-6 VI-21 V-27 VI-27 VI-32 VI-34 VI-43 VI-56 VI-59 VI-60 VI-66 VI-67 VI-70 VI-72 VI-77 VI-81 VI-89 VI-90 VI-93 vii

10 Daftar Grafik Grafik II.1 Grafik II.2 DAFTAR GRAFIK Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Eropa (yoy)... Pertumbuhan Negara-Negara Maju Kawasan Asia Pasifik (yoy)... Grafik II.3 Pertumbuhan Ekonomi Cina dan India (yoy)... Grafik II.4 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN-5 (yoy)... Grafik II.5 Pertumbuhan PDB (yoy), Tahun Grafik II.6 Pertumbuhan PDB Pengeluaran (yoy), Grafik II.7 Pertumbuhan PDB Sektoral (yoy), Grafik II.8 Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran, Grafik II.9 Tingkat Kemiskinan, Grafik II.10 Perkembangan Kurs dan Cadangan Devisa, Grafik II.11 Perkembangan Inflasi (yoy), Grafik II.12 Perkembangan BI Rate, SBI 3 Bulan & Deposito, PUAB O/N, Grafik II.13 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)... Grafik II.14 Kapitalisasi Pasar... Grafik II.15 Yield SUN 10 Tahun... Grafik II.16 Credit Default Swap Indonesia 10 Tahun... Grafik II.17 Perkembangan Permintaan, Penawaran, dan Harga Minyak Dunia, Grafik II.18 Lifting Minyak Indonesia, Grafik II.19 Pertumbuhan Ekonomi Kuartalan PIGS (yoy)... Grafik II.20 Pertumbuhan Ekonomi Tahunan PIGS (yoy)... Grafik II.21 Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Maju Eropa (yoy), Grafik II.22 Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Maju Asia Pasifik (yoy), Grafik II.23 Pertumbuhan PDB China dan India (yoy), Grafik II.24 Pertumbuhan PDB ASEAN-5 (yoy), Halaman II-6 II-6 II-7 II-7 II-8 II-8 II-10 II-12 II-12 II-13 II-13 II-14 II-15 II-15 II-17 II-17 II-18 II-19 II-21 II-21 II-22 II-22 II-22 II-22 viii

11 Daftar Grafik Halaman Grafik II.25 Pertumbuhan Volume Perdagangan Barang dan Jasa (yoy), Grafik II.26 Komposisi PDB Dunia, Grafik II.27 Indeks Produksi Industri, Grafik II.28 Indikator Perdagangan dan Permintaan Ekonomi Global (poin), Grafik II.29 Pertumbuhan Neraca Perdagangan (Barang dan Jasa) dan Kontribusi (yoy), Grafik II.30 Pertumbuhan PDB (yoy), Tahun Grafik II.31 Sumber-Sumber Pertumbuhan PDB (yoy), Grafik II.32 Sumber-Sumber Pertumbuhan PDB Pengeluaran (yoy), Tahun Grafik II.33 Pertumbuhan PDB Sektoral, Tahun Grafik II.34 Perkembangan Inflasi sampai dengan Juni 2010 (yoy)... Grafik II.35 Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy) berdasarkan Komponen, Grafik II.36 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Cadangan Devisa, Grafik II.37 Porsi dan Suku Bunga SBI 1, 3, dan 6 Bulan, Grafik II.38 Posisi dan Porsi Asing di SBI, Grafik II.39 Perkembangan Permintaan, Penawaran, dan Harga Minyak Dunia, Januari Juni Grafik II.40 Lifting Minyak Indonesia, Januari Mei Grafik II.41 Pertumbuhan PDB, Grafik II.42 Sumber-Sumber Investasi, Tahun Grafik II.43 Perkembangan Incremental Capital Output Ratio, Grafik II.44 Pertumbuhan PDB Menurut Sektoral (yoy), Tahun Grafik II.45 Perkembangan Pendapatan Negara... Grafik II.46 Perkembangan Belanja Negara, Grafik II.47 Perkembangan Defisit APBN II-23 II-23 II-24 II-24 II-24 II-25 II-25 II-26 II-27 II-29 II-29 II-30 II-32 II-32 II-33 II-34 II-38 II-40 II-40 II-41 II-49 II-50 II-56 ix

12 Daftar Grafik Grafik II.48 Dampak Sektor Riil, Grafik II.49 Dampak pada Rupiah, Grafik II.50 Dampak pada Valas, Grafik III.1 Tax Ratio dan Penerimaan Perpajakan, Grafik III.2 Pertumbuhan Penerimaan Perpajakan Dalam Negeri, Grafik III.3 Kontribusi Rata-Rata Penerimaan Pajak Dalam Negeri, Grafik III.4 Penerimaan PPh Migas, Grafik III.5 Penerimaan PPh Nonmigas, Grafik III.6 Perkembangan PPN dan PPnBM, Grafik III.7 Penerimaan PPN dan PPnBM, Grafik III.8 Perkembangan Penerimaan Cukai MMEA dan Produksi MMEA Dalam Negeri, Grafik III.9 Penerimaan Cukai, Grafik III.10 Penerimaan Pajak Lainnya, Grafik III.11 Pajak Perdagangan Internasional, Grafik III.12 Pajak Perdagangan Internasional, Grafik III.13 Perkembangan Rata-Rata Tarif MFN dan Kerjasama Perdagangan Internasional, Grafik III.14 Penerimaan Bea Masuk, Grafik III.15 Perkembangan Harga CPO dan Bea Keluar, Grafik III.16 Penerimaan Bea Keluar, Grafik III.17 Perkembangan PNBP SDA Migas, Grafik III.18 Penerimaan SDA Migas, Grafik III.19 Perkembangan Lifting dan ICP, Grafik III.20 Penerimaan SDA Nonmigas, Grafik III.21 Penerimaan SDA Nonmigas, Grafik III.22 Perkembangan Produksi Batubara, Grafik III.23 Kinerja Akuntansi BUMN, Halaman II-63 II-64 II-65 III-5 III-8 III-9 III-10 III-10 III-13 III-13 III-20 III-20 III-23 III-23 III-23 III-24 III-24 III-25 III-25 III-30 III-30 III-31 III-31 III-32 III-32 III-35 x

13 Daftar Grafik Halaman Grafik III.24 Kontribusi BUMN terhadap APBN dan PDB, Grafik III.25 PNBP Bagian Pemerintah atas Laba BUMN, Grafik III.26 Perkembangan PNBP Kemenkominfo, Grafik III.27 Perkembangan PNBP Kemendiknas, Grafik III.28 Perkembangan PNBP Kemenkes, Grafik III.29 Perkembangan PNBP Polri, Grafik III.30 Perkembangan PNBP BPN, Grafik III.31 Perkembangan PNBP Kemenkumham, Grafik III.32 Perkembangan Pendapatan BLU, Grafik III.33 Perkembangan Hibah, Grafik III.34 Penerimaan SDA Migas, Grafik III.35 Penerimaan SDA Nonmigas, Grafik III.36 PNBP Lainnya, Grafik III.37 PNBP Kemenkominfo, Grafik III.38 PNBP Kemendiknas, Grafik III.39 PNBP Polri, Grafik III.40 PNBP BPN, Grafik III.41 PNBP Kemenkumham, Grafik III.42 Pendapatan BLU, Grafik III.43 Penerimaan Hibah, Grafik IV.1 Perkembangan Belanja K/L, Grafik IV.2 Perkembangan Belanja Kementerian Pendiddikan Nasional, Grafik IV.3 Perkembangan Belanja Kementerian Pertahanan, Grafik IV.4 Perkembangan Belanja Kementerian Pekerjaan Umum, Grafik IV.5 Perkembangan Belanja Kepolisian Negara RI, Grafik IV.6 Perkembangan Belanja Kementerian Agama, III-35 III-36 III-38 III-38 III-39 III-39 III-40 III-40 III-41 III-41 III-49 III-50 III-53 III-53 III-54 III-54 III-55 III-55 III-56 III-56 IV-8 IV-8 IV-11 IV-12 IV-13 IV-14 xi

14 Daftar Grafik Halaman Grafik IV.7 Perkembangan Belanja Kementerian Kesehatan, Grafik IV.8 Perkembangan Belanja Kementerian Perhubungan, Grafik IV.9 Perkembangan Belanja Kementerian Keuangan, Grafik IV.10 Perkembangan Belanja Kementerian Dalam Negeri, Grafik IV.11 Perkembangan Belanja Kementerian Pertanian, Grafik IV.12 Grafik IV.13 Grafik IV.14 Grafik IV.15 Grafik IV.16 Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, Perkembangan Realisasi Anggaran Belanja Fungsi Pelayanan Umum, Perkembangan Realisasi Anggaran Belanja Fungsi Pendidikan, Perkembangan Realisasi Anggaran Belanja Fungsi Ekonomi, Perkembangan Realisasi Anggaran Belanja Fungsi Pertahanan, Grafik IV.17 Perkembangan Realisai Anggaran Belanja Fungsi Ketertiban dan Keamanan, Grafik IV.18 Belanja Pemerintah Pusat menurut Jenis, Grafik IV.19 Perkembangan Take Home Pay Terendah Aparatur Negara, Grafik IV.20 Perkembangan Belanja Barang, Grafik IV.21 Perkembangan Realisasi Belanja Modal, Grafik IV.22 Perkembangan Yield SBN Dalam Negeri, Grafik IV.23 Komposisi Pembayaran Bunga Utang, Grafik IV.24 Perkembangan Volume Konsumsi BBM, Grafik IV.25 Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP), IV-15 IV-16 IV-18 IV-19 IV-20 IV-21 IV-22 IV-24 IV-27 IV-29 IV-30 IV-31 IV-33 IV-33 IV-34 IV-36 IV-37 IV-37 IV-38 xii

15 Daftar Grafik Halaman Grafik IV.26 Belanja Bantuan Sosial Bidang Pendidikan, Grafik IV.27 Belanja Bantuan Sosial Lembaga Sosial Lainnya, Grafik IV.28 Perkembangan Anggaran Belanja K/L, Grafik IV.29 Proporsi Anggaran Belanja 10 K/L Terbesar Tahun Grafik IV.30 Alokasi Anggaran Belanja 10 K/L Terbesar Tahun Grafik IV.31 Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis Belanja, Tahun Grafik V.1 Dana ke Daerah Yang Dikelola Dalam APBD dan APBN Tahun Grafik V.2 Perkembangan Transfer ke Daerah (Dana Perimbangan, Dana Otsus dan Dana Penyesuaian), Tahun Grafik V.3 Peta Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Daerah per Provinsi di Indonesia, Tahun Grafik V.4 Peta Dana Bagi Hasil Pajak Daerah per Provinsi di Indonesia, Tahun Grafik V.5 Peta Dana Alokasi Umum per Provinsi di Indonesia, Tahun Grafik V.6 Peta Dana Alokasi Khusus per Provinsi di Indonesia, Tahun Grafik V.7 Perkembangan Dana Otsus dan Dana Penyesuaian, Tahun Grafik V.8 Perkembangan Kontribusi Pinjaman Daerah terhadap Pembiayaan Defisit APBD, Tahun Grafik V.9 Pertumbuhan Ekonomi per Provinsi, Tahun Grafik V.10 Pertumbuhan Ekonomi per Provinsi, Tahun Grafik V.11 Tingkat Pengangguran per Provinsi, Tahun Grafik V.12 Tingkat Kemiskinan per Provinsi, Tahun Grafik VI.1 Target dan Realisasi Defisit, Grafik VI.2 Tren Pembiayaan Defisit, Grafik VI.3 Penggunaan Saldo Rekening Pemerintah Tahun IV-46 IV-49 IV-65 IV-66 IV-66 IV-118 V-3 V-6 V-8 V-8 V-10 V-11 V-12 V-17 V-22 V-22 V-25 V-26 VI-3 VI-4 VI-7 xiii

16 Daftar Grafik Halaman Grafik VI.4 Penerimaan Privatisasi BUMN, Grafik VI.5 Hasil Pengelolaan Aset, Grafik VI.6 Realisasi Dana Investasi Pemerintah dan PMN, Grafik VI.7 Dana Bergulir, Grafik VI.8 Perkembangan Pembiayaan Utang, Grafik VI.9 Realisasi Pembiayaan Melalui Penerbitan SBN, Grafik VI.10 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri, Grafik VI.11 Perkembangan Penarikan Pinjaman Proyek, Grafik VI.12 Realisasi Penerusan Pinjaman, Grafik VI.13 Realisasi Penerusan Pinjaman Kepada BUMN dan Pemda, Grafik VI.14 Perkembangan Rasio Utang terhadap PDB, Grafik VI.15 Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri, Mei Grafik VI.16 Pengaruh Krisis Eropa terhadap Yield SBN Domestik... Grafik VI.17 Pengaruh Krisis Eropa terhadap Yield SBN Global... Grafik VI.18 Perkembangan Kontribusi Bersih BUMN, Grafik VI.19 Perkembangan Nilai Utang Bersih BUMN, Grafik VI.20 Perkembangan Kebutuhan Pembiayaan Bruto BUMN (Capital Expenditure), Grafik VI.21 Analisis Skenario Fiskal BUMN Agregasi... Grafik VI.22 Rasio Modal terhadap Kewajiban Moneter Bank Indonesia.. Grafik VI.23 Jumlah Simpanan Masyarakat yang Dijamin dan Posisi Modal LPS... Grafik VI.24 Kegiatan Pembiayaan Ekspor dan Posisi Permodalan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Grafik VI.25 Dana Cadangan Bencana Alam, Grafik VI.26 Perkembangan Jumlah Daerah Otonom Baru, Grafik VI.27 Pengaruh Pemekaran terhadap Alokasi DAK ke Daerah, VI-9 VI-10 VI-10 VI-14 VI-17 VI-18 VI-23 VI-24 VI-29 VI-30 VI-32 VI-55 VI-58 VI-58 VI-68 VI-68 VI-68 VI-70 VI-86 VI-87 VI-88 VI-91 VI-92 VI-93 xiv

17 Daftar Grafik Halaman Grafik VI.28 Pengaruh Pemekaran terhadap Alokasi Dana Vertikal ke Daerah, Grafik VI.29 Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah per akhir, Grafik VI.30 Penerimaan BPHTB, VI-93 VI-94 VI-95 xv

18 Daftar Boks Boks II.1 Boks II.2 Boks III.1 Boks III.2 Boks III.3 Boks VI.1 Boks VI.2 Boks VI.3 Boks VI.4 Boks VI.5 Boks VI.6 Boks VI.7 Boks VI.8 Boks VI.9 Boks VI.10 Boks VI.11 DAFTAR BOKS Ruang Fiskal (Fiscal Space)... Penganggaran Berbasis Kinerja dan KPJM... Amendemen Undang-Undang PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun Penyesuaian Tarif Cukai MMEA dan EA... Pengenaan Bea Keluar atas Ekspor Biji Kakao... Pinjaman Program Refinancing Modality... Penerbitan Sukuk Negara dengan Underlying Proyek... Perbaikan Struktur Portofolio Utang... Monitoring Pinjaman Luar Negeri... Sovereign Credit Rating dan Country Risk Classification... SBN Ritel: Prospek dan Manfaatnya... Deklarasi Paris Tentang Aid Effectiveness 2005, Accra Agenda for Action (AAA) 2008 dan Jakarta Commitment PT Pertamina (Persero)... PT PLN (Persero)... PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dalam Program Penjaminan Kredit Usaha Rakyat... Pengelolaan Kewajiban Kontijensi... Halaman II-61 II-68 III-15 III-21 III-26 VI-28 VI-48 VI-49 VI-54 VI-56 VI-59 VI-62 VI-73 VI-74 VI-75 VI-84 xvi

19 Daftar Bagan DAFTAR BAGAN Halaman Bagan III.1 Peta Kinerja BUMN di Tahun III-34 xvii

20 Pendahuluan Bab I BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2011 memiliki makna yang sangat strategis dalam pencapaian sasaran-sasaran pembangunan sesuai dengan visi, misi dan platform Presiden, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Kedua. Di samping karena RAPBN Tahun Anggaran 2011 merupakan RAPBN yang disusun sepenuhnya berdasarkan RPJMN dari KIB Kedua, juga karena untuk pertama kalinya proses dan mekanisme penyiapan, penyusunan, dan pembahasan RAPBN Tahun Anggaran 2011, dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. RAPBN Tahun Anggaran 2011 juga lebih bermakna, karena menandai pelaksanaan reformasi gelombang kedua, yang dimulai seiring dengan awal masa bakti KIB Kedua. Reformasi gelombang pertama sejak tahun 1998/1999 telah berlalu dengan selamat. Berbagai perubahan besar dan mendasar telah berhasil dilakukan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Era reformasi, telah melahirkan kehidupan berbangsa yang makin demokratis, ditandai antara lain dengan parlemen yang lebih kuat dan peradilan yang lebih mandiri. Reformasi yang menerapkan kaidah kekuasaan Presiden tidak tak terbatas telah menjadi makin nyata. Reformasi yang mampu mewujudkan mekanisme checks and balances yang seimbang dalam penyelenggaraan negara telah semakin terwujud. Hubungan pusat dan daerah yang semula sangat sentralistis, telah berubah menjadi desentralistis. Reformasi, juga telah mengubah hubungan antara negara dan rakyat. Rakyat bukan lagi sekedar obyek pembangunan, tetapi pemilik kedaulatan. Penghargaan terhadap hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan menjalankan agama, dijamin oleh negara secara lebih terbuka. Dalam kurun waktu lebih dari sepuluh tahun terakhir ini pula, bangsa Indonesia telah melakukan perubahan mendasar pada tata kelola pemerintahan. Reformasi birokrasi yang dilandasi oleh prinsip-prinsip good and clean governance untuk melahirkan aparatur pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, terus bergulir. Demikian pula, reformasi untuk memberantas tindak pidana korupsi, reformasi untuk menegakkan hukum dan keadilan, reformasi untuk meningkatkan profesionalisme TNI dan Polri, reformasi tata kelola aset dan keuangan negara, serta reformasi untuk mewujudkan program pro rakyat dan pelayanan publik yang prima, akan terus berlanjut. Reformasi gelombang pertama, utamanya dalam lima tahun terakhir, telah ikut memajukan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada ranah ekonomi, Indonesia tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi terkemuka di dunia. Jika sebelas tahun lalu, bangsa Indonesia terpuruk diterpa krisis ekonomi, tetapi kali ini Indonesia sanggup bertahan, bahkan ikut memberikan alternatif solusi bagi berbagai krisis ekonomi dunia. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 I-1

21 Bab I Pendahuluan Setelah menjalani satu era yang paling transformasional dalam sejarah modern semenjak bergulirnya reformasi, bangsa Indonesia telah berhasil membuktikan mampu bangkit dari kondisi yang terpuruk akibat krisis ekonomi dan moneter, menjadi bangsa yang dinamis dan penuh harapan. Sekalipun reformasi yang digulirkan di segala bidang telah membawa banyak perubahan besar dan mendasar, namun bangsa Indonesia tidak sekali-kali meninggalkan jati-dirinya yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, Undang- Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Kebangkitan ekonomi, dan berbagai perubahan mendasar sebagai buah reformasi di atas merupakan modal dasar yang sangat berharga dalam menghadapi masa depan Indonesia yang lebih baik, makin cerah, dan bertambah dinamis pada era reformasi gelombang kedua. Rasa optimisme bangsa Indonesia yang mampu melewati dan menyelesaikan berbagai permasalahan, kendala, dan tantangan yang dihadapi, serta mengubahnya menjadi peluang dan kesempatan untuk bertahan itu, harus terus ditanamkan dan ditumbuhkembangkan pada segenap komponen bangsa. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, suka ataupun tidak, mau tidak mau, kehidupan bangsa Indonesia dipengaruhi oleh dinamika perkembangan global. Begitu pula, dalam era globalisasi yang tengah berlangsung saat ini, perekonomian setiap negara saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik bernilai positif maupun negatif. Karena itu, penyusunan RAPBN 2011 ini juga tidak terlepas dari pengaruh kondisi perekonomian dunia terkini, dan prospeknya ke depan. Saat ini, perekonomian dunia sedang dalam proses pemulihan setelah mengalami krisis ekonomi dan keuangan yang sangat berat pada tahun Tanda-tanda ke arah perbaikan perekonomian dunia itu terlihat semakin nyata dan jauh lebih optimis. Perekonomian Amerika Serikat (AS), Jepang, China, dan India mulai menunjukkan sinyal pemulihan dan kinerja yang semakin membaik. Di tengah-tengah situasi dan kondisi ekonomi global yang mulai membaik sejalan dengan proses pemulihan ekonomi yang semakin menguat, terdapat kekhawatiran akan terjadinya krisis keuangan di Eropa. Dunia masih mencemaskan krisis utang dan keuangan Yunani, dan mewaspadai kemungkinan imbas krisis utang dan keuangan di Yunani tersebut dapat menurunkan kepercayaan pasar dan stabilitas keuangan di kawasan Eropa. Namun, berkat langkah-langkah Uni Eropa yang mengeluarkan paket penyelamatan atas krisis yang terjadi di kawasan tersebut, kinerja ekonomi di kawasan Eropa berangsur-angsur kembali membaik. Hal ini tercermin antara lain pada perbaikan kinerja ekonomi Eropa, baik sektor manufaktur maupun jasa yang sudah berada pada fase ekspansi, sejalan dengan kinerja ekspor yang telah memasuki pertumbuhan positif. Perekonomian dunia yang pada pertengahan tahun 2009 yang lalu, telah memberikan gambaran positif, dengan terjadinya pembalikan arah dari krisis global, masih terus berlanjut hingga triwulan I tahun Sejalan dengan itu, dalam World Economic Outlook, bulan Juli 2010, proyeksi pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan global tahun 2010 direvisi ke tingkat yang lebih optimis. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2009 yang sempat mengalami kontraksi hingga 0,6 persen, pada tahun 2010 diperkirakan akan kembali menguat menjadi 4,6 persen. Penguatan laju pertumbuhan ekonomi global tersebut I-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

22 Pendahuluan Bab I terutama dimotori oleh pulihnya kondisi perekonomian negara-negara berkembang. Ekonomi China, sebagai motor penggerak proses pemulihan dari krisis, diperkirakan tumbuh mencapai 10,5 persen, sementara perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh cukup kuat. Sejalan dengan perkembangan positif ekonomi global, kinerja perekonomian domestik juga terus menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Stabilitas ekonomi relatif terjaga dengan kecenderungan semakin menguat. Selama Januari-Juli tahun 2010, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menguat 16,2 persen ke level Rp9.172/USD. Selanjutnya, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga akhir tahun diperkirakan tetap stabil, sehingga secara rata-rata di sepanjang tahun 2010 akan berada pada kisaran Rp9.200/USD. Penguatan rupiah membawa dampak positif kepada pengendalian inflasi. Laju inflasi sepanjang Januari-Juli tahun 2010 masih relatif terkendali pada tingkat 6,22 persen (y-o-y) atau 4,02 persen (y-t-d). Tekanan inflasi diperkirakan akan terjadi pada semester II tahun 2010 seiring dengan kenaikan TDL, tahun ajaran baru, serta hari raya keagamaan (puasa, lebaran, natal dan tahun baru). Namun, dengan koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia yang semakin baik, laju inflasi sampai akhir tahun 2010 diharapkan masih dalam sasaran. Sejalan dengan terjaganya laju inflasi, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan juga cenderung terus menurun. Sepanjang Januari-Juli tahun 2010, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan berada pada tingkat 6,58 persen, atau jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasinya pada periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 8,29 persen. Di sisi eksternal, kinerja ekspor dan impor dalam kuartal I tahun 2010 mengalami peningkatan cukup signifikan dari periode yang sama tahun sebelumnya, masing-masing sebesar 41,8 persen dan 52,4 persen. Hal ini terutama didukung oleh penguatan kinerja sektor komoditas manufaktur, seperti industri tekstil, pakaian, alat angkut, dan kimia yang semakin membaik, sejalan dengan pulihnya kondisi ekonomi global. Sejalan dengan penguatan kinerja ekspor-impor tersebut, neraca pembayaran pada semester I tahun 2010 diperkirakan mengalami surplus sebesar USD10,9 miliar, dan cadangan devisa menguat hingga mencapai posisi USD78,8 miliar di akhir Juli Seiring dengan makin kuatnya fundamental ekonomi domestik, yang didukung oleh membaiknya faktor eksternal, pertumbuhan ekonomi dalam semester I tahun 2010 mencapai 5,9 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi semester I tahun 2009 yang sebesar 4,3 persen. Sumber-sumber pertumbuhan PDB pada semester I tahun 2010 berasal dari konsumsi rumah tangga sebesar 4,5 persen, pembentukan modal tetap bruto sebesar 7,9 persen, serta ekspor dan impor yang masing-masing tumbuh sebesar 17,2 persen dan 20,1 persen. Sementara itu, dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan ekonomi dalam semester I tahun 2010 didominasi oleh sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh sebesar 12,4 persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 9,5 persen; dan sektor kontruksi sebesar 7,1 persen. Perkembangan positif kinerja ekonomi global maupun domestik sebagaimana diuraikan diatas, perlu dijadikan momentum untuk melangkah lebih optimis lagi di tahun Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 diharapkan mampu berakselerasi pada tingkat yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 I-3

23 Bab I Pendahuluan lebih tinggi dari pencapaian selama ini. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun 2011 juga diharapkan akan lebih berkualitas, dalam arti: (a) mampu membuka lapangan kerja sehingga bisa menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan; (b) bersifat inklusif dan berdimensi pemerataan; serta (c) strukturnya ditopang secara proporsional oleh berbagai sektor pendukungnya. Kondisi politik, sosial, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan tahun 2010, dan prospeknya di tahun 2011 sebagaimana diuraikan di atas, menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah 2011, yang selanjutnya menjadi acuan dalam penyusunan RAPBN 2011, dalam rangka mendukung pencapaian sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam RPJMN Prioritas RKP 2011 Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2011 disusun untuk menjawab berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan di tahun 2010, dan tantangan serta peluang di tahun Pengalaman dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dilakukan di tengah berbagai tantangan eksternal dan konsolidasi internal serta transisi demokrasi, telah memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi dalam periode mendekati rata-rata 5,6 persen, diikuti oleh menurunnya rasio utang terhadap PDB dari 47,3 persen pada tahun 2005 menjadi 28,3 persen pada tahun Tingkat pengangguran terbuka juga menurun dari 11,2 persen pada tahun 2005 menjadi 7,9 persen di tahun Demikian pula, tingkat kemiskinan menurun dari 16,0 persen (35,1 juta orang) pada tahun 2005 menjadi 13,3 persen (atau 31,0 juta orang) pada Maret Meskipun hasilnya belum optimal, namun keberhasilan yang telah diperoleh selama ini patut untuk disyukuri, sekaligus perlu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. Untuk itu, Pemerintah akan terus berupaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Karena itu, prinsip kehatihatian dan upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, melakukan akselarasi pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan, serta upaya perluasan lapangan kerja, harus mendapatkan prioritas. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun , telah ditetapkan 3 (tiga) agenda pembangunan nasional, yang merupakan arah kebijakan pembangunan jangka menengah, yaitu: (1) Sasaran pembangunan kesejahteraan, (2) Sasaran pembangunan demokrasi, serta (3) Sasaran penegakan hukum. Ketiga agenda pembangunan tersebut merupakan pilar pokok untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD Ketiga sasaran strategis pembangunan yang telah ditetapkan dalam RPJMN tersebut, selanjutnya dijabarkan secara rinci dan bertahap ke dalam tema-tema pembangunan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun. Dalam RKP tahun 2011, sebagai tahun kedua pemerintahan dari Pemerintah KIB Kedua, terdapat 3 tantangan utama yang harus dihadapi. Pertama, menciptakan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan. Kedua, I-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

24 Pendahuluan Bab I membangun tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengeluaran Pemerintah. Ketiga, meningkatkan sinergi antara pusat dan daerah. Ketiga tantangan utama tersebut akan mewarnai pelaksanaan prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN RKP 2011 disusun dengan tujuan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang, dengan menekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi, peningkatan daya saing perekonomian, serta visi-misi, agenda, dan prioritas pembangunan. Berkaitan dengan itu, dalam RKP tahun 2011 ditetapkan tema pembangunan: Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah. Selanjutnya, dalam RKP tahun 2011 juga ditetapkan 3 (tiga) prinsip pengarusutamaan sebagai landasan operasional yang harus dipedomani oleh seluruh aparatur negara dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga prinsip tersebut adalah: (1) pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan; (2) pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik; dan (3) pengarusutamaan gender. Sejalan dengan itu, juga ditetapkan sebelas prioritas pembangunan nasional dalam RKP tahun 2011, sebagai berikut. Pertama, Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, dengan sasaran: (a) makin mantapnya tata kelola pemerintahan yang lebih baik melalui terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum yang berwibawa, dan transparan; serta (b) makin meningkatnya kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh struktur Pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai Pemerintah yang memadai, dan data kependudukan yang baik. Kedua, Pendidikan, dengan sasaran: (a) meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas menjadi 7,75 tahun; (b) menurunnya angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas menjadi 5,17 persen; serta (c) meningkatnya APM SD/SDLB/MI/ Paket A menjadi sebesar 95,3 persen, APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B menjadi 74,7 persen, APK SMA/SMK/MA/Paket C menjadi 76,0 persen, dan APK PT usia tahun menjadi 26,1 persen. Ketiga, Kesehatan dan Kependudukan, dengan sasaran: (a) meningkatnya pelaksanaan upaya kesehatan masyarakat preventif yang terpadu; (b) meningkatnya persentase ketersediaan obat dan vaksin menjadi sebesar 85 persen, persentase penduduk (termasuk seluruh penduduk miskin) yang memiliki jaminan kesehatan dari 59 persen menjadi 70,3 persen, dan persentase RS yang melayani pasien penduduk miskin peserta program Jamkesmas menjadi sebesar 80 persen; serta (c) meningkatnya jumlah puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk miskin menjadi sebesar puskesmas. Keempat, Penanggulangan Kemiskinan, dengan sasaran tingkat kemiskinan sebesar 11,5-12,5 persen dari jumlah penduduk pada tahun Kelima, Ketahanan Pangan, dengan sasaran: (a) terpeliharanya dan meningkatnya tingkat pencapaian swasembada bahan pangan pokok; (b) terbangunnya dan meningkatnya luas Nota Keuangan dan RAPBN 2011 I-5

25 Bab I Pendahuluan layanan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi; (c) menurunnya jumlah dan persentase penduduk dan daerah yang rentan terhadap rawan pangan; (d) terjaganya stabilitas harga bahan pangan dalam negeri; (e) meningkatnya kualitas pola konsumsi pangan masyarakat dengan skor pola pangan harapan (PPH) menjadi sekitar 88,1; (f) meningkatnya PDB sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan dengan pertumbuhan sekitar 3,7 persen; serta (g) tercapainya indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di atas 105 dan Nilai Tukar Nelayan menjadi 107. Keenam, Infrastruktur, dengan sasaran: (a) terlaksananya pembangunan Lintas Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua sepanjang kilometer; (b) meningkatnya keselamatan, keamanan dan kualitas pelayanan transportasi yang memadai dan merata guna mewujudkan sistem logistik nasional yang menjamin distribusi bahan pokok, bahan strategis dan nonstrategis untuk seluruh masyarakat; dan (c) terlaksananya penanganan DAS Bengawan Solo secara terpadu. Ketujuh, Iklim Investasi dan Iklim Usaha, dengan sasaran antara lain: (a) tercapainya pertumbuhan investasi dalam bentuk pembentukan modal tetap bruto (PMTB) pada tahun 2011 sebesar 10,9 persen; (b) menurunnya tingkat pengangguran terbuka hingga 7,3 persen; dan (c) terciptanya 2,2-2,5 juta kesempatan kerja baru dan 2,0 juta orang angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja. Kedelapan, Energi, dengan sasaran antara lain: (a) tercapainya komposisi bauran energi yang sehat dengan menurunnya persentase pemanfaatan energi fosil dan meningkatnya persentase energi baru terbarukan (EBT); (b) berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi dan sumberdaya manusia nasional yang mendukung industri energi dan ketenagalistrikan nasional; serta (c) tercapainya produksi gas bumi sebesar 912 (MBOPD) dan produksi gas bumi sebesar (MBOPD). Kesembilan, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, dengan sasaran antara lain: (a) berkurangnya lahan kritis melalui rehabilitasi dan reklamasi hutan, meningkatnya pengelolaan kualitas ekosistem lahan gambut, terus ditingkatkannya kualitas kebijakan konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan yang terpadu, terlaksananya evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bersifat lintas K/L, serta terselenggaranya dukungan terhadap penelitian dan pengembangan untuk penurunan gas rumah kaca dan adaptasi perubahan iklim; (b) terjaganya kelestarian SDA dan LH dan kemampuan SDA dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, meningkatnya kapasitas sumber daya manusia pengelola lingkungan, serta tersedianya data dan informasi kualitas SDA dan LH sebagai dasar perencanaan pembangunan; dan (c) terlaksananya penyelamatan dan evakuasi korban bencana yang cepat efektif dan terpadu. Kesepuluh, Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik, dengan sasaran yang meliputi: (a) terwujudnya kedaulatan wilayah nasional yang ditandai dengan kejelasan dan ketegasan batas-batas wilayah negara; (b) berfungsinya Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan; dan (c) meningkatnya kondisi perekonomian kawasan perbatasan, yang ditandai dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di 38 kabupaten/kota perbatasan yang diprioritaskan penanganannya, khususnya pada 27 kabupaten perbatasan yang tergolong daerah tertinggal. I-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

26 Pendahuluan Bab I Kesebelas, Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi, dengan sasaran: (a) meningkatnya perhatian dan kesertaan Pemerintah dalam program-program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; (b) meningkatnya penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pergelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten; dan (c) terlaksananya penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, dan revitalisasi museum dan perpustakaan di seluruh Indonesia sebelum Oktober Dengan tema dan prioritas pembangunan nasional tersebut, kebijakan alokasi anggaran belanja Pemerintah pusat pada tahun 2011 akan diarahkan terutama untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu peningkatan kesejahteraan rakyat dengan tetap melanjutkan tiga sasaran utama, yaitu: (a) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (pro growth); (b) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job); dan (c) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor). Ketiga prioritas pembangunan nasional tersebut kemudian dicerminkan di dalam arah dan postur RAPBN Peran Strategis Kebijakan Fiskal Sebagai salah satu perangkat kebijakan ekonomi makro untuk mencapai sasaran pembangunan, kebijakan fiskal mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi anggaran untuk tujuan pembangunan, fungsi distribusi pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, dan fungsi stabilisasi ekonomi makro di dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sebagai stabilisator ekonomi, APBN, sebagai instrumen kebijakan fiskal, seharusnya diupayakan dapat berfungsi secara optimal dalam meredam siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi, atau bersifat kontra-siklis (countercyclical). Ini berarti, dalam kondisi perekonomian yang lesu, pengeluaran Pemerintah yang bersifat autonomous, khususnya belanja barang dan jasa serta belanja modal, dapat memberi stimulasi kepada perekonomian untuk tumbuh lebih tinggi. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang tengah memanas akibat terlalu tingginya permintaan agregat, kebijakan fiskal dapat didayagunakan untuk berperan dalam mendinginkan roda kegiatan ekonomi, dengan menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber perekonomian melalui dampak kontraksi APBN. Dengan demikian, fungsi strategis APBN, sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam mempengaruhi perekonomian nasional, dapat diketahui dari dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sektor-sektor lainnya, seperti sektor riil, sektor moneter, dan juga sektor eksternal. Dampak APBN tahun 2011 terhadap sektor riil dapat dilihat sebagai berikut: 1. Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) dalam APBN 2011 mencapai Rp209,0 triliun atau sekitar 3,0 persen terhadap PDB. Sumber utama PMTB sektor Pemerintah dalam tahun 2011 terutama berasal dari belanja modal Pemerintah pusat, yang akan dipertahankan sejalan dengan upaya Pemerintah untuk menjaga stimulasi perekonomian secara terukur, dalam rangka mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi Nota Keuangan dan RAPBN 2011 I-7

27 Bab I Pendahuluan 2. Komponen konsumsi Pemerintah dalam APBN 2011 diperkirakan mencapai Rp610,1 triliun atau sekitar 8,7 persen terhadap PDB. 3. Transaksi keuangan Pemerintah dalam APBN tahun 2011 secara total diperkirakan berdampak ekspansif sebesar Rp148,5 triliun atau sekitar 2,1 persen terhadap PDB. Hal ini berarti lebih tinggi apabila dibandingkan dengan APBN-P 2010 sebesar Rp146,9 triliun (2,3 persen terhadap PDB). Perlu dicatat, seperti juga yang terjadi di negara-negara lain, dewasa ini kebijakan fiskal masih sangat penting, tetapi peranannya sebagai sumber pertumbuhan (source of growth) cenderung semakin berkurang bila dibandingkan dengan peran sektor swasta yang memang diharapkan akan semakin meningkat. Dewasa ini dan di masa depan, peran Pemerintah lebih difokuskan sebagai regulator. Peranan kebijakan fiskal juga diwujudkan dengan menetapkan defisit anggaran dalam tahun 2011 pada tingkat 1,7 persen terhadap PDB. Kebijakan pengendalian defisit pada tahun 2011 tersebut merupakan salah satu strategi pokok dalam melanjutkan langkah-langkah konsolidasi fiskal dalam mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan. Untuk menutup sasaran defisit dalam tahun 2011, maka akan diupayakan sumber pembiayaan terutama dari dalam negeri, dan menjaga pembiayaan luar negeri secara neto tetap negatif, agar mampu mempertahankan penurunan rasio utang terhadap PDB secara berkesinambungan. Peran lain yang juga amat penting dari kebijakan fiskal adalah peran redistribusi dan alokasi anggaran Pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, kebijakan fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau kegiatan tertentu, untuk menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan antarsektor ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan. Peran kebijakan fiskal juga menjadi penting di dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial. Di dalam peran strategis kebijakan fiskal, hal lain yang tak boleh dilupakan adalah proses politik anggaran yang terdiri dari perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban APBN. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia adalah negara yang sedang dalam transisi menuju demokratisasi. Implikasinya APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal direncanakan, ditetapkan dan dilaksanakan melalui proses yang transparan dan prosedur yang relatif panjang, dan harus melibatkan peran dan persetujuan berbagai pihak. Ini adalah konsekuensi logis dari peningkatan transparansi, demokratisasi, dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, kunci keberhasilan kebijakan fiskal akan sangat terletak pada pemahaman bersama akan pentingnya perencanaan yang baik, pelaksanaan yang efektif, dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal yang akuntabel dari seluruh aparat yang terkait dan masyarakat sebagai penerima manfaat kebijakan fiskal. 1.4 Dasar Hukum Penyusunan NK dan APBN Penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) didasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah menjadi pasal 23 I-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

28 Pendahuluan Bab I ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 Amendemen keempat yang berbunyi: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (2) Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah; (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 ini, merupakan perwujudan dari pelaksanaan amanat pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 Amendemen keempat tersebut. Penyusunan RAPBN 2011 juga mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2011, Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal tahun 2011, sebagaimana telah disepakati dalam pembicaraan pendahuluan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tanggal 1-15 Juni 2010 yang lalu. Di samping itu, proses dan mekanisme penyiapan, penyusunan, dan pembahasan RAPBN Tahun Anggaran 2011, juga dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Secara garis besar, siklus dan mekanisme APBN meliputi: (a) tahap penyusunan RAPBN oleh Pemerintah; (b) tahap pembahasan dan penetapan RAPBN dan RUU APBN menjadi APBN dan UU APBN dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (c) tahap pelaksanaan APBN; (d) tahap pemeriksaan atas pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang antara lain Badan Pemeriksa Keuangan; dan (e) tahap pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Siklus APBN 2011 akan berakhir pada saat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disahkan oleh DPR pada 6 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. 1.5 Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2011 Perhitungan berbagai besaran RAPBN 2011 didasarkan pada asumsi dasar ekonomi makro yang diperkirakan akan terjadi pada tahun tersebut. Asumsi dasar ekonomi makro sebagai basis perhitungan APBN tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat dalam Tabel I.1 berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 6,3 persen. Sasaran pertumbuhan ekonomi ini diharapkan lebih berkualitas, sejalan dengan faktor eksternal yang pulih lebih cepat, ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan global. Sumber pertumbuhan ekonomi diharapkan berasal dari permintaan domestik dan membaiknya sisi penawaran. Selain bersumber dari konsumsi sejalan dengan perbaikan kesejahteraan PNS, TNI/Polri, dan pensiunan melalui kenaikan gaji dan pensiun, serta gaji dan pensiun bulan ketigabelas, pertumbuhan ekonomi tahun 2011 juga diharapkan didorong pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi. Dari sisi produksi, sektor industri manufaktur diharapkan menjadi pendorong utama peningkatan pertumbuhan ekonomi, karena sektor industri ini dapat memberikan nilai tambah yang besar. Di luar Nota Keuangan dan RAPBN 2011 I-9

29 Bab I Pendahuluan sektor industri manufaktur, sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih menjadi andalan dalam mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. TABEL I.1 ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO, Indikator Ekonomi APBN APBN-P RAPBN 1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,5 5,8 6,3 2. Inflasi (%) 5,0 5,3 5,3 3. Nilai Tukar (Rp/USD) Suku Bunga SBI-3 bulan (%) 6,5 6,5 6,5 5. Harga Minyak (USD/barel) 65,0 80,0 80,0 6. Lifting Minyak (juta barel/hari) 0,965 0,965 0,970 Sumber: Kementerian Keuangan RI 2. Laju inflasi diharapkan dapat dikendalikan pada level sekitar 5,3 persen. Perkiraan inflasi ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa peningkatan kegiatan ekonomi diperkirakan dapat terus diimbangi oleh meningkatnya kapasitas produksi seiring dengan membaiknya investasi. Demikian pula, dengan semakin baiknya infrastruktur, maka distribusi bahan kebutuhan pokok masyarakat semakin lancar, sehingga tekanan harga dari sisi permintaan dan penawaran tetap terjaga. Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat utama bagi tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Untuk mencapai kondisi tersebut di tengah kuatnya tekanan inflasi yang bersumber dari berbagai faktor eksternal dan faktor internal, diperlukan kebijakan yang tepat demi terjaganya stabilitas ekonomi makro ekonomi, dan pengendalian inflasi ke depan. Koordinasi yang baik dan harmonisasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah akan menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel. Berbagai upaya telah dan akan terus dilakukan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk menjamin tersedianya pasokan dan lancarnya distribusi barang dan jasa. Koordinasi yang komprehensif dan terpadu antara pusat dan daerah, serta antara Pemerintah dan Bank Indonesia tersebut diharapkan dapat menjaga kestabilan harga domestik, yang pada akhirnya dapat mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. 3. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan sebesar Rp9.300/USD. Pemerintah dan Bank Indonesia akan terus berupaya menjaga volatilitas nilai tukar rupiah melalui penguatan sinergi kebijakan moneter dan fiskal, penerapan kebijakan moneter yang berhati-hati, serta pengawasan lalu lintas devisa. Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga stabilitas nilai tukar, dan mencegah volatilitas yang berlebihan serta menjaga kecukupan cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan kegiatan ekonomi. I-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

30 Pendahuluan Bab I 4. Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sebesar 6,5 persen. Relatif stabilnya BI rate sepanjang tahun 2010 diperkirakan akan berlanjut di tahun Kondisi ini antara lain didukung oleh faktor internal, berupa relatif terkendalinya laju inflasi yang ditempuh melalui kebijakan fiskal, moneter, serta sektor riil yang terus semakin membaik. 5. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional diperkirakan mencapai sebesar USD80,0 per barel. 6. Dalam tahun 2011, lifting minyak mentah Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 0,970 juta barel per hari. 1.6 Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Sejalan dengan tema pembangunan nasional dalam RKP 2011, yaitu Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah, kebijakan alokasi anggaran belanja negara dalam tahun 2011 diarahkan untuk dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi, memantapkan pengelolaan keuangan negara, serta mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Di samping itu, kebijakan alokasi anggaran juga tetap diarahkan untuk memberikan dorongan terhadap perekonomian dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal, menjaga stabilitas perekonomian, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara. Alokasi anggaran belanja Pemerintah pusat pada tahun 2011 akan difokuskan untuk memberikan dukungan terhadap: (1) pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas antara lain melalui pembangunan infrastruktur; (2) perlindungan sosial melalui perluasan akses terhadap layanan pendidikan (BOS), dan kesehatan (Jamkesmas); (3) pemberdayaan masyarakat, antara lain melalui PNPM mandiri dan Program Keluarga Harapan; (4) pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi; (5) perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan; (6) pengalokasian anggaran subsidi yang lebih tepat sasaran; serta (7) pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang secara tepat waktu. Berdasarkan arah dan strategi kebijakan fiskal tersebut di atas, maka postur APBN 2011 akan meliputi pokok-pokok besaran sebagai berikut: a. Pendapatan negara dan hibah diperkirakan sebesar Rp1.086,4 triliun (15,5 persen terhadap PDB), atau mengalami kenaikan Rp94,0 triliun (9,5 persen) dari target APBN-P tahun Kenaikan rencana pendapatan negara tersebut diharapkan akan didukung oleh kenaikan penerimaan perpajakan. b. Total belanja negara diperkirakan sebesar Rp1.202,0 triliun (17,2 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti menunjukkan peningkatan Rp75,9 triliun atau 6,7 persen dari pagu belanja negara dalam APBN-P Belanja Pemerintah pusat dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp823,6 triliun, yang berarti mengalami peningkatan Rp42,1 triliun atau 5,4 persen dari pagu APBN-P Sementara itu, anggaran transfer ke daerah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp378,4 triliun, yang berarti naik Rp33,8 triliun atau 9,8 persen dari pagu APBN-P Nota Keuangan dan RAPBN 2011 I-11

31 Bab I Pendahuluan c. Defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp115,7 triliun (1,7 persen terhadap PDB). d. Pembiayaan defisit RAPBN 2011 direncanakan berasal dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sebesar Rp118,7 triliun, dan pembiayaan luar negeri (neto) diperkirakan sebesar negatif Rp3,0 triliun. 1.7 Uraian Singkat Isi Masing-masing Bab Nota Keuangan dan RAPBN 2011 terdiri atas enam bab, yang diawali dengan Bab I Pendahuluan, yang menguraikan gambaran umum, visi, misi, agenda dan sebelas prioritas pembangunan dalam RKP 2011, peran strategis kebijakan fiskal, landasan hukum, asumsi dasar ekonomi makro RAPBN 2011, pokok-pokok kebijakan fiskal, dan uraian singkat isi masing-masing bab dalam Nota Keuangan. Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011, menguraikan tentang perkembangan ekonomi Indonesia dalam tahun , dan perkembangan dan kebijakan ekonomi makro tahun 2010 yang akan menjadi dasar prakiraan dan prospek ekonomi 2011, sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan asumsi dasar ekonomi makro RAPBN Secara ringkas bab ini menguraikan bahwa stabilitas ekonomi makro masih tetap terjaga, sehingga diharapkan dapat menjadi landasan yang kokoh bagi peningkatan kinerja ekonomi nasional di tahun mendatang. Bab III Pendapatan Negara dan Hibah. Bab ini membahas realisasi pendapatan negara tahun , perkiraan pendapatan dan hibah tahun 2010 dan targetnya dalam RAPBN Pembahasan didasarkan pada realisasi pendapatan negara tahun , sedangkan proyeksi mutakhir 2010 didasarkan pada realisasi semester satu, dan prognosis semester kedua APBN-P tahun Sementara itu, target pendapatan dalam RAPBN 2011 didasarkan pada berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi makro, realisasi pendapatan pada tahun sebelumnya, kebijakan yang telah dan akan dilakukan dalam bidang tarif, subyek dan obyek pengenaan, serta perbaikan dan efektivitas administrasi pemungutan pajak, kepabeanan, dan cukai. Selain itu, Bab III juga akan menguraikan mengenai tiga strategi yang akan ditempuh Pemerintah, berkaitan dengan: (a) reformasi di bidang administrasi pajak; (b) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan pajak; dan (c) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi pajak. Dalam Bab ini juga dijelaskan mengenai kebijakan Pemerintah dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan dan PNBP. Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 menguraikan pokok bahasan mengenai: evaluasi perkembangan pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat , masalah dan tantangan pokok pembangunan tahun 2011; alokasi anggaran belanja Pemerintah pusat berdasarkan prioritas; serta alokasi anggaran belanja Pemerintah pusat menurut UU Nomor 17 tahun Di dalam bab ini, juga diuraikan bagaimana tema Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah diterjemahkan ke dalam alokasi belanja Pemerintah pusat, berdasarkan prioritas dan menurut organisasi. Dalam konteks ini, kebijakan alokasi anggaran belanja Pemerintah pusat diupayakan untuk memberikan stimulasi terhadap perekonomian, dan mendukung pencapaian target-target agenda I-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

32 Pendahuluan Bab I pembangunan nasional melalui program-program yang lebih berpihak pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan kemiskinan. Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal, membahas mengenai perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal, yang mencakup perkembangan kebijakan desentralisasi fiskal, perkembangan transfer ke daerah, pajak daerah dan retribusi daerah, pinjaman dan hibah daerah, gambaran pelaksanaan APBD, dan implikasi desentralisasi fiskal terhadap perkembangan ekonomi daerah. Selain itu, dalam bab ini juga dibahas kebijakan anggaran transfer ke daerah tahun 2011, yang tetap diarahkan untuk mendukung kegiatan prioritas nasional, dengan tetap menjaga konsistensi dan keberlanjutan pelaksanaan desentralisasi fiskal, guna menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Bab VI Pembiayaan Defisit Anggaran, Pengelolaan Utang dan Risiko Fiskal. Di dalam bab ini diuraikan mengenai pembiayaan defisit anggaran, yang mencakup sumber pembiayaan nonutang dan utang. Pembiayaan anggaran yang bersumber dari nonutang dalam tahun 2011 direncanakan terutama berasal dari penerimaan pengembalian penerusan pinjaman, dan rekening kas umum negara (KUN) untuk pembiayaan kredit investasi Pemerintah. Sementara itu, pembiayaan yang berasal dari utang dalam tahun 2011 direncanakan bersumber terutama dari penerbitan SBN, dan pinjaman dalam negeri, sedangkan pembiayaan utang luar negeri neto dipertahankan tetap negatif. Di dalam bab ini juga disinggung isu, tantangan dan dinamika kebijakan pengelolaan utang. Selain itu, di dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011 juga dibahas mengenai risiko fiskal, yang diperlukan terutama dalam rangka menjaga kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), dan meningkatkan keterbukaan (transparency). Penjelasan risiko fiskal akan memuat beberapa aspek yang berpotensi menimbulkan risiko fiskal, seperti analisa sensitivitas defisit APBN terhadap perubahan asumsi ekonomi makro, sensitivitas risiko fiskal BUMN akibat perubahan variabel ekonomi makro; risiko utang Pemerintah pusat; kewajiban kontijensi Pemerintah pusat terhadap proyek pembangunan infrastruktur, program pensiun dan tunjangan hari tua (THT) PNS, sektor keuangan, tuntutan hukum kepada Pemerintah, dan keanggotaan pada organisasi/lembaga keuangan internasional; risiko bencana alam; serta risiko desentralisasi fiskal berupa pemekaran daerah, pinjaman daerah, dan pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 I-13

33 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL RAPBN Pendahuluan Periode awal masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II merupakan periode pemulihan perekonomian dunia pasca krisis global tahun Peran negara-negara Asia, seperti China dan India, dalam memimpin kebangkitan ekonomi dunia semakin dominan. Indonesia sebagai salah satu negara besar di Asia turut berperan serta mendorong terciptanya kondisi ekonomi kawasan yang semakin kondusif dan stabil. Goncangan ekonomi yang terjadi di Eropa tidak sampai menyurutkan laju perdagangan dan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat di kawasan tersebut. Dengan demikian, Pemerintah mempunyai modal kuat untuk mengakselerasi sektor-sektor ekonomi agar dapat bergerak lebih cepat, efektif, dan efisien. Hingga memasuki pertengahan tahun 2010, tanda-tanda membaiknya perekonomian dunia semakin terlihat dan jauh lebih optimis. Kinerja beberapa negara pilar perekonomian dunia seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, China, dan India terus menunjukkan perbaikan. Penguatan ekonomi AS antara lain ditandai dengan tingkat ekspansi ekonomi yang mampu melaju pada level 2,4 persen (y-o-y) di kuartal I tahun Kondisi senada juga terjadi di Jepang dan India, dimana aktivitas produksi dan konsumsi masyarakat cenderung meningkat. Untuk China, laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal I tahun 2010 mencapai 11,9 persen (y-o-y) dan merupakan pertumbuhan tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Indikator lainnya yang mengalami perbaikan hingga kuartal II tahun 2010 dapat terlihat jelas dari peningkatan aktivitas perdagangan global, seperti Baltic Dry Index/BDI (indikator distribusi barang antarnegara melalui angkutan laut). Sejalan dengan itu, aktivitas produksi global juga cukup baik. Hal ini terindikasi dari pergerakan Industrial Production Index (IPI) dan Purchasing Managers Index (PMI) yang juga terus meningkat. Langkah Uni Eropa yang mengeluarkan paket penyelamatan atas krisis yang terjadi di kawasan tersebut, telah memberikan dampak positif sehingga kinerja ekonominya berangsurangsur kembali membaik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator seperti menguatnya konsumsi rumah tangga, membaiknya indeks penjualan retail, dan survei keyakinan konsumen yang mencerminkan optimisme akan terjadinya pemulihan di kawasan tersebut. Dari sisi industri, perbaikan kinerja ekonomi Eropa tercermin dari PMI baik sektor manufaktur maupun jasa yang sudah berada pada fase ekspansi, sejalan dengan kinerja ekspor yang telah memasuki pertumbuhan positif. Pada kuartal I tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Eropa sudah mampu berekspansi sebesar 0,6 persen (y-o-y). Kondisi tersebut telah meningkatkan optimisme akan segera pulihnya ekonomi dunia, walaupun sempat diwarnai dengan turbulensi ekonomi di Eropa. Menurut World Economic Outlook (WEO) Juli 2010, pertumbuhan ekonomi dunia selama tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 4,6 persen (y-o-y) atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya dalam WEO April 2010 yang hanya sebesar 4,2 persen (y-o-y). Perkiraan volume perdagangan dunia tahun 2010 juga lebih tinggi 2,0 persen hingga mencapai 9,0 persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-1

34 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 (y-o-y), dengan perkiraan pertumbuhan ekspor sebesar 8,2 persen (y-o-y) dan impor 7,2 persen (y-o-y) untuk negara maju. Di sisi lain, pertumbuhan ekspor dan impor untuk emerging market diperkirakan lebih tinggi, yang masing-masing mencapai 10,5 persen dan 12,5 persen. Untuk tahun 2011, laju pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia diproyeksikan sedikit melambat, yaitu menjadi 4,3 persen dan 6,3 persen. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh kontraksi aktivitas perdagangan yang cukup dalam di tahun 2009, sehingga terjadi laju pertumbuhan yang sangat tinggi di tahun Dengan demikian, memasuki tahun 2011 aktivitas perekonomian dapat dikatakan akan kembali berjalan normal. Sejalan dengan perkembangan positif ekonomi global, kinerja perekonomian domestik juga terus menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Dari sisi ekonomi makro, stabilitas berbagai indikator ekonomi relatif terjaga dengan kecenderungan semakin menguat. Sepanjang Januari Juli 2010 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung menguat. Penguatan rupiah yang telah berlangsung sejak awal 2010 sempat tertahan di bulan Mei 2010 karena tekanan arus keluar modal portofolio asing terkait dengan krisis Eropa yang telah memicu perilaku risk aversion terhadap aset negara emerging markets termasuk Indonesia. Pada bulan Juni dan Juli, rupiah kembali menguat. Selama periode Januari Juli tahun 2010, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp9.172, menguat 16,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga akhir tahun diperkirakan relatif stabil sehingga sepanjang tahun 2010 rata-rata nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada pada kisaran Rp9.200/USD. Sementara itu, laju inflasi pada bulan Juli 2010 tercatat sebesar 1,57 persen (m-t-m) lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang berada pada level 0,97 persen. Dengan demikian, laju inflasi selama periode Januari Juli 2010 sebesar 6,22 persen (y-o-y) atau 4,02 persen (y-t-d). Tekanan inflasi diperkirakan akan meningkat pada beberapa bulan ke depan sebagai dampak kebijakan kenaikan TDL serta faktor musiman seperti hari besar keagamaan nasional (puasa, lebaran, natal, dan tahun baru). Namun dengan koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia yang semakin baik, laju inflasi sampai akhir tahun 2010 diharapkan masih dalam rentang sasaran inflasi tahun Dengan perkembangan laju inflasi tersebut, ratarata suku bunga SBI 3 bulan tahun 2010 diperkirakan sekitar 6,5 persen. Kinerja sektor riil dalam periode Januari hingga Juni 2010 juga terus menunjukkan penguatan. Kinerja ekspor-impor barang dan jasa dalam semester I tahun 2010 mengalami peningkatan cukup signifikan, masing-masing sebesar 17,2 persen dan 20,1 persen. Hal ini terutama didukung oleh penguatan kinerja sektor komoditas manufaktur yang semakin membaik, sejalan dengan pulihnya kondisi ekonomi global. Beberapa industri yang tumbuh signifikan antara lain tekstil, pakaian, alat angkut, dan kimia. Sejalan dengan penguatan kinerja ekspor impor tersebut, neraca pembayaran di semester I tahun 2010 diperkirakan mengalami surplus sebesar USD10,8 miliar dan cadangan devisa menguat hingga mencapai posisi USD78,8 miliar di akhir Juli Dari sisi konsumsi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di sepanjang Januari-Juni 2010 masih cukup kuat, yang diindikasikan dengan peningkatan konsumsi barang tahan lama (durable goods), seperti mobil, sepeda motor, dan barang elektronik. Selain itu, penjualan retail dalam periode tersebut juga cukup tinggi, khususnya dari kelompok komoditas seperti II-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

35 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II makanan dan tembakau, pakaian dan perlengkapan, serta peralatan tulis. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan perbaikan daya beli masyarakat di sepanjang semester I tahun 2010 antara lain didukung oleh realisasi kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri sebesar 5,0 persen, serta kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) Penyelenggaraan Pilkada juga memberikan sentimen positif terhadap pertumbuhan konsumsi. Dari sisi investasi, penguatan kinerja investasi di sepanjang semester I tahun 2010 terutama didukung oleh realisasi investasi bangunan dan infrastruktur, sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya konsumsi semen dan membaiknya impor barang modal dan bahan baku. Selain itu, berbagai penyempurnaan peraturan di bidang infrastruktur dan terobosan program Pemerintah di bidang infrastruktur telah ikut mendorong terbentuknya iklim investasi ke arah yang semakin kondusif. Iklim investasi yang semakin baik dan pulihnya likuiditas di pasar keuangan global diperkirakan mendorong masuknya penanaman modal asing sehingga kinerja neraca sektor swasta mengalami perbaikan, dari defisit USD7,6 miliar pada tahun 2009 menjadi surplus USD0,8 miliar pada tahun Indikasi tersebut terlihat dari neraca modal dan finansial yang hingga akhir tahun 2010 diperkirakan mengalami surplus sebesar USD12,9 miliar, lebih tinggi bila dibandingkan dengan surplus tahun 2009 sebesar USD3,5 miliar. Pada akhirnya, masuknya modal asing menjadi salah satu faktor peningkatan cadangan devisa yang diperkirakan mencapai USD83,2 miliar di tahun Dengan memperhatikan berbagai perkembangan ekonomi di atas, kinerja perekonomian pada semester I tahun 2010 mencapai 5,9 persen, dan semester II tahun 2010 diperkirakan akan mampu tumbuh sebesar 6,0 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2010 diperkirakan mencapai sekitar 5,9 persen atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2009 yang sebesar 4,5 persen. Perkembangan positif kinerja ekonomi global maupun domestik tersebut, perlu dijadikan momentum untuk melangkah lebih optimis lagi di tahun Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 diharapkan mampu berakselerasi pada tingkat yang lebih tinggi dari pencapaian selama ini. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun 2011 juga harus lebih berkualitas, dalam artian harus bisa memenuhi tiga syarat, yaitu: (a) mampu membuka lapangan kerja sehingga bisa menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan; (b) bersifat inklusif dan berdimensi pemerataan; serta (c) strukturnya harus ditopang secara proporsional oleh berbagai sektor pendukungnya baik dari pendekatan permintaan agregat maupun penawaran agregat. Dengan memperhatikan perkembangan perekonomian terkini baik global maupun domestik, Pemerintah memperkirakan kinerja perekonomian Indonesia tahun 2011 adalah sebagai berikut: (1) pertumbuhan ekonomi akan meningkat mencapai 6,3 persen; (2) tingkat inflasi akan terkendali pada tingkat 5,3 persen; (3) suku bunga SBI 3 bulan stabil pada kisaran 6,5 persen; (4) nilai tukar rupiah akan berada pada kisaran Rp9.300/USD; (5) harga minyak mentah Indonesia (ICP) rata-rata mencapai USD80,0 per barel; serta (6) lifting minyak mentah Indonesia mencapai 0,970 juta barel per hari. Program pembangunan tahun 2011 akan mengacu pada tema yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yaitu Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah. Program tersebut merupakan dasar pelaksanaan RPJMN dengan menitikberatkan pada tiga sasaran pembangunan, yakni: (1) Sasaran pembangunan kesejahteraan; (2) Sasaran pembangunan demokrasi; dan (3) Sasaran penegakan hukum. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-3

36 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Dalam rangka mendukung penciptaan akselerasi kinerja ekonomi sekaligus pencapaian sasaran pembangunan di tahun 2011, Pemerintah telah menetapkan arah kebijakan fiskal tahun 2011 yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan tetap melanjutkan tiga sasaran utama kebijakannya, yaitu (a) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (pro growth); (b) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job); dan (c) meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui programprogram jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor). Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011 sebagai instrumen utama kebijakan fiskal akan didesain sesuai dengan fungsinya baik sebagai alat stabilisasi ekonomi, dan alat alokasi dana masyarakat, maupun sebagai alat distribusi pendapatan. Selain itu, kebijakan alokasi anggaran dalam APBN akan diarahkan kepada upaya untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan ekonomi, memantapkan pengelolaan keuangan negara, serta mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sesuai dengan tema RKP tahun Dari sisi postur, RAPBN 2011 disusun dengan prinsip dasar optimalisasi sumber-sumber pendapatan negara, terutama melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan, dengan tetap memperhatikan pemberian insentif fiskal pada kegiatan dunia usaha, yang ditopang dengan kebijakan reformasi birokrasi baik dalam bidang perpajakan maupun kepabeanan. Selain itu, berbagai upaya juga akan terus dilakukan untuk meningkatkan produksi sumber daya alam, baik migas maupun nonmigas sebagai sektor pendorong penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di sisi belanja negara, arah kebijakan alokasi anggaran dalam RAPBN 2011 akan berorientasi pada pelaksanaan program-program pembangunan yang terfokus pada pembangunan peningkatan kesejahteraan masyarakat, penguatan aspek demokrasi dan penciptaan supremasi hukum, serta penguatan sinergi antara pusat dan daerah. Kebijakan alokasi belanja dalam RAPBN 2011 akan tetap didasarkan pada penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah, yang merupakan perubahan mendasar dalam proses penganggaran dalam beberapa waktu terakhir. Kebijakan belanja negara juga akan menekankan pada outcome basis, yang selanjutnya diterjemahkan lebih lanjut ke dalam hasil (output) dan program, serta kegiatan, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam rangka menyukseskan program-program pembangunan nasional. Sebagian besar porsi belanja dalam RAPBN 2011 atau sekitar 70 persennya akan dialokasikan untuk belanja Pemerintah pusat dan digunakan untuk mendukung 11 prioritas pembangunan, yaitu: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-konflik; serta (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Dalam RAPBN tahun 2011, penetapan besaran defisit anggaran mengacu pada upaya tetap terjaganya konsolidasi dan kesinambungan fiskal, serta memperhatikan kemampuan keuangan negara untuk dapat menutup defisit tersebut dari sumber-sumber pembiayaan yang tidak memberatkan di masa kini dan mendatang. Sementara itu, untuk menutup defisit tersebut, Pemerintah akan mengupayakan melalui pengadaan utang domestik dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai sumber pembiayaan utama melalui II-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

37 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II beberapa strategi, seperti: (1) Perumusan kebijakan yang sesuai dengan dinamika pasar SBN dan ekonomi makro; (2) Penerbitan SBN secara reguler dengan meminimalkan risiko keuangan yang berasal dari nilai tukar dan suku bunga; dan (3) Diversifikasi instrumen SBN. Dengan memperhatikan berbagai strategi dan kebijakan di atas, pendapatan negara dalam RAPBN 2011 diperkirakan mencapai sebesar Rp1.086,4 triliun, yang berarti mengalami kenaikan 9,5 persen dari APBN-P tahun Sedangkan belanja negara direncanakan menjadi Rp1.202,0 triliun, yang akan dialokasikan untuk belanja Pemerintah pusat sebesar Rp823,6 triliun (68,5 persen), dan untuk anggaran transfer ke daerah sebesar Rp378,4 triliun (31,5 persen). Defisit anggaran direncanakan sebesar Rp115,7 triliun atau 1,7 persen terhadap PDB. 2.2 Perkembangan Ekonomi Evaluasi dan Kinerja Perekonomian Dunia dan Regional Perkembangan ekonomi domestik tidak dapat lepas dari perkembangan kondisi ekonomi global dan regional. Keterkaitan antara hubungan perdagangan, arus modal, dan investasi yang terjadi saat ini merupakan beberapa faktor eksternal yang akan mempengaruhi kinerja ekonomi domestik. Berdasarkan hal tersebut, perkembangan kondisi ekonomi global dan regional perlu mendapat perhatian sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi pembangunan nasional. Tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian global. Gejolak krisis subprime mortgage di AS di tahun 2007 telah menular ke pasar keuangan di berbagai negara dan akhirnya membawa dampak cukup berat bagi kinerja perekonomian secara menyeluruh di negara-negara tersebut. Gejolak pada pasar subprime mortgage pada awalnya mendorong penurunan nilai aset berbagai institusi keuangan global dan kejatuhan pasar modal, dan kemudian diiringi kebangkrutan berbagai perusahaan di negara-negara maju. Tekanan-tekanan tersebut kemudian menjelma menjadi krisis ketenagakerjaan dan daya beli, sehingga berdampak pada pelemahan kinerja sektor riil dan ekonomi secara menyeluruh. Tekanan krisis pada perekonomian global terutama terlihat pada semester kedua tahun 2008 hingga semester pertama Selama periode tersebut, perekonomian di berbagai negara pada umumnya mengalami perlambatan laju pertumbuhan hingga pertumbuhan ekonomi negatif. Memburuknya kondisi tersebut terlihat dari kinerja perekonomian negara-negara maju dan kemudian meluas ke negara-negara berkembang. Berbagai kebijakan untuk keluar dari krisis telah dilakukan oleh negara-negara di dunia, baik secara bersama sama maupun individual. Dalam hal ini, Pemerintah dan otoritas moneter di masing-masing negara telah mengadopsi kebijakan fiskal dan moneter ekspansif yang antara lain berupa peningkatan defisit dan belanja Pemerintah, penurunan suku bunga, dan bantuan likuiditas. Walaupun tampaknya langkah-langkah tersebut telah memberikan hasil yang cukup baik bagi proses pemulihan ekonomi global, namun kebijakan-kebijakan yang diambil menyisakan tantangan-tantangan baru, khususnya bagi beberapa negara di kawasan Eropa. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-5

38 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Gejolak krisis subprime mortgage di AS juga memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara kawasan Eropa. Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Eropa selama empat kuartal berturut-turut berada dalam teritori negatif, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan kawasan Eropa mencapai minus 4,1 persen, menurun bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2008 sebesar 0,6 persen. Kontraksi ekonomi di kawasan Eropa pada tahun 2009 terutama diakibatkan oleh pertumbuhan negatif Jerman, Inggris, dan Perancis. Pada kuartal I tahun 2009, pertumbuhan ekonomi ketiga negara tersebut mengalami penurunan tajam, masing-masing sebesar minus 6,7 persen, minus 5,5 persen, dan minus 3,9 persen. Pada kuartal-kuartal berikutnya, terjadi perbaikan ekonomi, kendati masih dalam pertumbuhan negatif. Secara keseluruhan untuk tahun 2009, laju pertumbuhan ekonomi Jerman, Inggris dan Perancis, masing-masing mencapai sebesar minus 4,9 persen, minus 4,9 persen, dan minus 2,5 persen (lihat Grafik II.1). Tekanan perekonomian akibat krisis global yang dimulai pada tahun 2008 hingga 2009 ikut dirasakan oleh negara-negara maju kawasan Asia-Pasifik. Pada kuartal I tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Jepang dan Korea Selatan jatuh hingga mencapai angka terendah selama dua tahun terakhir, masing-masing mencapai minus 8,9 persen dan minus 4,3 persen. Sedangkan AS dan Kanada mengalami kontraksi dengan angka pertumbuhan terendah pada kuartal II tahun 2009, masing-masing mencapai minus 4,1 persen dan minus 3,8 persen (lihat Grafik II.2) GRAFIK II.1 PERTUMBUHAN EKONOMI DI KAWASAN EROPA (y-o-y, persen) Q1 '08 Q2 '08 Sumber : Bloomberg Q3 '08 Q4 '08 Q1 '09 Q2 '09 Inggris Perancis Jerman Q3 '09 Q4 ' GRAFIK II.2 PERTUMBUHAN NEGARA-NEGARA MAJU KAWASAN ASIA-PASIFIK (y-o-y, persen) Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Sumber : Bloomberg AS Kanada Australia Jepang Korea Selatan Perekonomian AS dan Kanada mulai membaik pada kuartal III tahun 2009, sedangkan perekonomian Jepang, Korea Selatan, dan Australia telah membaik semenjak kuartal II tahun Perekonomian AS dan Kanada telah tumbuh positif pada kuartal IV, sedangkan Jepang belum menunjukkan pertumbuhan yang positif. Perbaikan kondisi perekonomian negara-negara tersebut termasuk Jepang terus berlanjut hingga kuartal I tahun Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju kawasan Asia Pasifik cenderung melambat pada tahun 2008 dan Selama tahun 2009, kondisi perekonomian Korea Selatan dan Australia relatif lebih baik bila dibandingkan dengan Jepang, AS, dan Kanada. Australia masih mengalami pertumbuhan positif sebesar 1,3 persen, dan Korea Selatan tumbuh sebesar 0,2 persen. Sedangkan AS, Kanada, dan Jepang justru mengalami pertumbuhan negatif. Penurunan paling tajam dialami oleh Jepang dengan kontraksi sebesar 5,2 persen, sedangkan AS dan Kanada mengalami kontraksi masing-masing sebesar 2,4 persen dan 2,5 persen. II-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

39 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Selama masa krisis 2008/2009, ekonomi di kawasan Asia telah menunjukkan performa yang sangat baik dan dapat dipandang sebagai motor pemulihan ekonomi global. Kondisi ini terutama didasarkan pada kinerja ekonomi dua negara besar, China dan India. Walaupun tidak luput dari perlambatan laju pertumbuhan, selama tahun 2009 ekonomi kedua negara tersebut masih mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan negara lain. China yang pada kuartal I tahun 2009 mencatat pertumbuhan sebesar 6,2 persen (y-o-y), mampu bangkit dan kembali mencatat pertumbuhan 10,7 persen pada kuartal IV Secara total, laju pertumbuhan China untuk tahun 2009 mencapai 8,7 persen. Hal serupa juga ditunjukkan oleh India, yang telah mengalami pemulihan pertumbuhan ekonomi dari 5,8 persen di kuartal I tahun 2009, hingga mencapai 8,6 persen dan 6,5 persen di kuartal III dan kuartal IV. Laju pertumbuhan ekonomi India untuk tahun 2009 secara keseluruhan mencapai 5,7 persen (lihat Grafik II.3). Di antara negara-negara ASEAN-5, tren pemulihan ekonomi juga terlihat di sepanjang tahun Pada kuartal I tahun 2009, perekonomian Singapura, Malaysia, dan Thailand mengalami pertumbuhan negatif, masing-masing sebesar minus 8,9 persen, minus 6,2 persen, dan minus 7,1 persen. Sementara itu, Indonesia dan Philipina juga mengalami perlambatan pertumbuhan, namun masih mencatat pertumbuhan positif. Pada kuartal I tahun 2009, ekonomi Indonesia dan Philipina tumbuh masing-masing sebesar 4,5 persen dan 0,5 persen. Di periode berikutnya, pertumbuhan ekonomi di masing masing negara terus membaik, hingga pada kuartal terakhir 2009 mampu tumbuh positif. Secara umum, laju pertumbuhan negara-negara ASEAN-5 di tahun 2009 hanya mencapai 1,7 persen, lebih rendah dari tren pertumbuhan di tahun-tahun sebelum krisis, yaitu di atas 5 persen (lihat Grafik II.4). 12 GRAFIK II.3 PERTUMBUHAN EKONOMI CHINA DAN INDIA (y-o-y, persen) 9 7 GRAFIK II.4 PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN-5 (y-o-y, persen) Q1 '08 Q2 '08 Q3 '08 Q4 '08 Q1 '09 Q2 '09 Q3 '09 Q4 '09 2 China India -7 0 Q1 '08 Q2 '08 Q3 '08 Q4 '08 Q1 '09 Q2 '09 Q3 '09 Q4 ' Singapura Malaysia Philipina Thailand Indonesia Sumber : Bloomberg Sumber : Bloomberg Dampak krisis ekonomi global 2008/2009 mencapai puncaknya di tahun Pertumbuhan perekonomian dunia yang pada beberapa tahun sebelumnya mencapai kisaran 4-5 persen, melambat menjadi hanya 3,0 persen di tahun 2008, dan kemudian mengalami kontraksi di tahun 2009 dengan pertumbuhan minus 0,6 persen. Penurunan pertumbuhan tahun 2009 terutama didorong oleh kontraksi yang dialami oleh negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Eropa. Pada tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang biasanya mencapai sekitar 2,5 hingga 3,0 persen, melambat di tahun 2008 menjadi 0,5 persen, dan kemudian mencapai minus 3,2 persen di tahun Di lain pihak, pada tahun 2009 pertumbuhan negara-negara berkembang juga mengalami tren serupa melambat hingga 2,5 persen, namun tidak mencapai pertumbuhan negatif. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-7

40 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN Perekonomian Nasional Tekanan eksternal sebagai dampak dari terjadinya krisis global telah mempengaruhi perekonomian Indonesia pada kurun waktu tahun Dalam kurun waktu tersebut, rata-rata perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,6 persen (y-o-y). Pada tahun 2005, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,7 persen (y-o-y), yang kemudian sedikit melambat pada tahun berikutnya menjadi sebesar 5,5 persen (y-o-y). Perekonomian Indonesia kembali membaik dan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi sebesar 6,3 persen (y-o-y) pada tahun Akibat dari krisis global yang terjadi pada tahun 2008, perekonomian Indonesia melambat menjadi 6,0 persen (y-o-y). Perlambatan tersebut terus berlangsung hingga tahun 2009 dimana perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,5 persen (y-o-y) (lihat Grafik II.5) GRAFIK II.5 PERTUMBUHAN PDB TAHUN (y-o-y, persen) 5,7 5,5 Dari sisi penggunaan, yang menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 adalah konsumsi Pemerintah, diikuti oleh konsumsi rumah tangga dan investasi (lihat Grafik II.6 dan Tabel II.1). Sedangkan dari sisi produksi, sektor yang mendominasi pertumbuhan adalah sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor listrik, gas, dan air bersih. Dua sektor tersebut mengalami pertumbuhan dua digit. Konsumsi rumah tangga yang mempunyai peran sebesar 58,6 persen dalam pembentukan PDB tahun 2009 tumbuh sebesar 4,9 persen, sedikit melambat bila dibandingkan dengan tahun 2008 yang tumbuh sebesar 5,3 persen. Melemahnya daya beli masyarakat akibat imbas krisis global menjadi salah satu penyebab perlambatan ini. 6,3 6,0 4, Sumber: Badan Pusat Statistik Melemahnya konsumsi rumah tangga antara lain ditunjukkan oleh menurunnya beberapa indikator konsumsi seperti penerimaan PPN dan penjualan kendaraan bermotor. Namun, perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga mampu ditahan oleh adanya kenaikan gaji dan pemberian gaji ke-13 bagi PNS/TNI/Polri/Pensiunan, stimulus fiskal berupa insentif pajak, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), serta bantuan sosial lainnya seperti program subsidi pangan (raskin), program keluarga harapan (PKH), program peningkatan infrastruktur pedesaan (PPIP), program pelayanan kesehatan masyarakat (Yankesmas), bantuan operasional sekolah (BOS), dan program nasional pemberdayaan masyarakat GRAFIK II.6 PERTUMBUHAN PDB PENGGUNAAN (y-o-y, persen) 4,9 15, Konsumsi Rumah Tangga PMTB Impor Sumber: Badan Pusat Statistik Konsumsi Pemerintah Ek spor TABEL II.1 DISTRIBUSI PDB PENGGUNAAN ATAS DASAR HARGA BERLAKU (persen) Penggunaan Konsumsi Rumah Tangga 60,6 58,6 Konsumsi Pemerintah 8,4 9,6 PMTB (Investasi) 27,7 31,1 Ekspor 29,8 24,1 Impor 28,7 21,3 Sum ber: Badan Pusat Statistik 3,3-9,7-15 II-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

41 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II (PNPM). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga disumbangkan oleh konsumsi makanan sebesar 3,6 persen dan konsumsi bukan makanan sebesar 6,0 persen, terkait dengan pelaksanaan kampanye untuk Pemilu, seperti pencetakan kaos, spanduk, dan brosur. Pengeluaran konsumsi Pemerintah selama tahun 2009 tumbuh sebesar 15,7 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya tumbuh sebesar 10,4 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya anggaran untuk keperluan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, serta stimulus fiskal. Pertumbuhan ini didorong oleh kenaikan belanja barang yang meningkat sebesar 21,1 persen dan belanja pegawai sebesar 5,1 persen. Meskipun pertumbuhannya relatif tinggi, peranan konsumsi Pemerintah terhadap total PDB relatif kecil, yaitu hanya sebesar 9,6 persen. Selama tahun 2009, investasi mencatat pertumbuhan sebesar 3,3 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2008 yang tumbuh sebesar 11,9 persen sebagai akibat menurunnya kegiatan produksi terkait dengan melemahnya aktivitas global dan menurunnya permintaan domestik. Penurunan kinerja investasi ditunjukkan oleh perlambatan pertumbuhan beberapa indikator, seperti impor barang modal, realisasi PMA-PMDN, kredit investasi dan kredit modal kerja, serta penjualan semen. Pertumbuhan investasi didorong oleh investasi lainnya dari dalam negeri sebesar 7,4 persen dan investasi jenis bangunan sebesar 7,1 persen. Sebaliknya, kontraksi terjadi pada investasi jenis mesin serta perlengkapan luar negeri dan investasi lainnya dari luar negeri yang turun masing-masing sebesar minus 10,8 persen dan minus 11,7 persen. Peranan investasi dalam pembentukan PDB menempati urutan kedua setelah konsumsi rumah tangga, yaitu sebesar 31,1 persen. Sisi eksternal PDB selama tahun 2009 menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan. Ekspor mengalami kontraksi yang cukup dalam sebagai akibat lemahnya permintaan dunia, dan menurunnya harga minyak serta beberapa komoditas dunia. Meskipun mengalami peningkatan sejak kuartal II tahun 2009, namun peningkatan tersebut masih belum mampu menyamai kinerja ekspor tahun 2008 yang sebesar 9,5 persen, sehingga pertumbuhan ekspor selama tahun 2009 mengalami kontraksi sebesar 9,7 persen. Kontraksi tersebut disumbangkan oleh ekspor barang dan jasa yang masing-masing tumbuh minus 10,6 persen dan minus 2,1 persen. Penurunan kinerja ekspor tersebut karena adanya penurunan nilai ekspor migas dan nonmigas akibat turunnya produksi minyak dan nilai beberapa komoditas utama nonmigas, antara lain nikel, karet dan barang dari karet, kendaraan dan bagiannya, lemak dan minyak hewan, serta kayu dan barang dari kayu. Kinerja ekspor juga sejalan dengan kinerja impor, dimana selama tahun 2009 impor mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 15,0 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2008 yang sebesar 10,0 persen. Impor barang dan jasa tumbuh masing-masing minus 18,6 persen dan minus 1,5 persen. Penurunan kinerja impor karena adanya penurunan nilai beberapa komoditas antara lain pupuk, besi dan baja, alumunium, bahan kimia anorganik, gandum-ganduman, perangkat musik, serta kendaraan dan bagiannya. Peranan ekspor dan impor terhadap total PDB masing-masing mencapai 24,1 persen dan 21,3 persen. Dari sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan positif, bahkan tiga di antaranya tercatat mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun 2008, yaitu sektor pertambangan dan penggalian; sektor listrik, gas dan air bersih; serta sektor jasa. Penurunan pertumbuhan yang cukup tajam terjadi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran (lihat Grafik II.7 dan Tabel II.2). Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-9

42 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Sektor pertambangan dan penggalian tumbuh sebesar 4,4 persen, jauh melampaui pertumbuhan tahun 2008 yang hanya mencapai 0,7 persen. Peningkatan harga barang tambang nonmigas seperti batu bara, bijih tembaga, bijih emas, bauksit, dan lain-lainnya mampu memacu subsektor pertambangan nonmigas untuk tumbuh sebesar 10,6 persen. Sektor pertambangan dan penggalian memberikan peranan sebesar 10,5 persen terhadap total PDB. Sektor listrik, gas, dan air bersih tumbuh 13,8 persen pada tahun 2009 meningkat bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2008 yang sebesar 10,9 persen. M e n i n g k a t n y a pertumbuhan sektor ini 20,0 16,0 12,0 disumbangkan oleh subsektor gas kota dan subsektor listrik yang masing-masing tumbuh sebesar 41,0 persen dan 7,0 persen. Tingginya pertumbuhan subsektor gas kota karena langkah substitusi bahan bakar yang dilakukan PT PLN kepada gas sehingga diperlukan ketersediaan gas yang cukup besar. Peranan sektor ini terhadap total PDB adalah sebesar 0,8 persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi selama tahun 2009 mampu tumbuh sebesar 15,5 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun sebelumnya yang sebesar 16,6 persen. Pertumbuhan sektor ini terutama didukung oleh subsektor komunikasi yang pertumbuhannya mencapai 23,8 persen, sebagai dampak dari maraknya penggunaan telepon seluler dan internet. Sedangkan subsektor pengangkutan tumbuh sebesar 5,5 persen, yang didorong oleh pertumbuhan angkutan udara sebesar 11,7 persen, akibat meningkatnya permintaan akan jasa angkutan udara selama tahun 2009, khususnya pada musim 8,0 4,0 0,0 Pertanian GRAFIK II.7 PERTUMBUHAN PDB SEKTORAL, (y-o-y, persen) Pertambangan Sumber : Badan Pusat Statistik TABEL II.2 DISTRIBUSI PDB SEKTORAL TAHUN, ATAS DASAR HARGA BERLAKU (persen) Sektor Pertanian 14,5 15,3 Pertambangan 10,9 10,5 Industri 27,9 26,4 Listrik, Gas, & Air bersih 0,8 0,8 Konstruksi 8,5 9,9 Perdagangan 14,0 13,4 Pengangkutan & Komunikasi 6,3 6,3 Keuangan 74,0 7,2 Jasa 9,7 10,2 Sumber: Badan Pusat Statistik libur sekolah dan libur hari keagamaan. Walaupun pertumbuhannya tertinggi tetapi peranan sektor ini dalam pembentukan total PDB relatif kecil, yaitu sebesar 6,3 persen. Sektor perdagangan tahun 2009 tumbuh sebesar 1,1 persen, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2008 yang sebesar 6,9 persen. Melemahnya daya Manufaktur Listrik, Gas, Air Bersih Konstruksi Perdag, Hotel, Resto. Trans & Tel. Keuangan Jasa lainnya II-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

43 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II beli masyarakat dan masih tingginya suku bunga ikut mendorong melambatnya pertumbuhan sektor ini. Menurunnya sektor ini dipicu oleh rendahnya pertumbuhan subsektor perdagangan besar dan eceran. Sektor perdagangan memberikan peranan terbesar ketiga terhadap total PDB, yaitu sebesar 13,4 persen, yang disumbangkan oleh subsektor perdagangan besar dan eceran sebesar 10,6 persen, subsektor restoran sebesar 2,5 persen, dan subsektor hotel sebesar 0,4 persen. Sektor pertanian pada tahun 2009 tumbuh cukup tinggi, yaitu sebesar 4,1 persen, namun lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun 2008 yang mencapai 4,8 persen. Pertumbuhan sektor ini dipicu oleh pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan sebesar 4,7 persen, akibat dari meningkatnya produksi padi dan palawija, sebagai upaya Pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan dalam negeri, dan subsektor perikanan sebesar 5,2 persen. Peningkatan pertumbuhan tanaman bahan makanan ini disebabkan oleh peningkatan penggunaan benih padi varietas tinggi, penurunan tanaman padi yang kekeringan dan banjir, serta penurunan luas tanaman yang terserang hama. Sektor pertanian memberikan peranan terbesar kedua terhadap total PDB, yaitu sebesar 15,3 persen. Sektor industri pengolahan pada tahun 2009 tumbuh sebesar 2,1 persen, melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,7 persen. Melambatnya pertumbuhan sektor ini terkait belum pulihnya permintaan produkproduk domestik, terutama industri gas alam cair, industri logam dasar, besi dan baja, industri alat angkut, mesin dan peralatannya, serta industri barang dari kayu, dan hasil hutan lainnya. Perlambatan ini mampu ditahan oleh pertumbuhan yang cukup tinggi pada subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau yang mencapai sebesar 11,3 persen, dan subsektor kertas dan barang cetakan sebesar 6,3 persen, sebagai pengaruh adanya kegiatan kampanye dan pelaksanaan Pemilu legislatif dan Presiden. Sektor industri pengolahan memberikan peranan tertinggi terhadap total PDB yaitu sebesar 26,4 persen, yang berasal dari subsektor industri bukan migas sebesar 22,6 persen, dan subsektor industri migas sebesar 3,8 persen. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional , Pemerintah telah menetapkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu pro growth, pro job dan pro poor. Ketiga strategi ini merupakan pendorong percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja sehingga makin banyak keluarga Indonesia yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dan keluar dari kemiskinan. Pada dasarnya pengangguran dan kemiskinan merupakan dua masalah penting yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Setiap tahun, Pemerintah selalu memfokuskan program pembangunannya pada penanganan kedua masalah ini. Indikator-indikator sosial yang ada telah mencerminkan perbaikan dalam pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Kondisi perekonomian dunia yang terus membaik pasca krisis finansial global juga berpengaruh terhadap kinerja perekonomian domestik yang terindikasi dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh kebijakan Pemerintah yang ekspansif mampu memperluas terciptanya lapangan kerja baru. Sejak tahun 2005, rata-rata tiap satu persen pertumbuhan ekonomi, dapat menyerap tenaga kerja baru sekitar orang. Penyerapan tenaga kerja ini diperkirakan akan semakin Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-11

44 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 meningkat sejalan dengan program dan kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan investasi melalui perbaikan infrastruktur dan berbagai kebijakan lainnya. Perkembangan angkatan kerja, penduduk yang bekerja, dan pengangguran tahun dapat dilihat pada Grafik II.8. Selama kurun waktu , tercatat pertambahan angkatan kerja dari 105,86 juta orang di tahun 2005 menjadi 113,83 juta orang di tahun 2009 atau naik 7,97 juta orang. Namun, pengangguran turun dari 11,20 persen di tahun 2005 menjadi 7,87 persen di tahun Penurunan jumlah pengangguran tersebut sejalan dengan penurunan tingkat kemiskinan dari 15,97 persen di tahun 2005 menjadi 14,15 persen di tahun 2009 atau dari 35,10 juta penduduk di tahun 2005 menjadi 32,53 juta penduduk di tahun 2009 (lihat Grafik II.9). (juta orang) GRAFIK II.8 ANGKATAN KERJA, PENDUDUK YANG BEKERJA DAN PENGANGGURAN, Feb Nop Feb Agus Feb Agus Feb Agus Feb Agus Feb Angkatan Kerja Penduduk Yang Bekerja Tingkat Pengangguran (RHS) Sumber : Badan Pusat Statistik (persen) (juta orang) GRAFIK II.9 TINGKAT KEMISKINAN, Kemiskinan (Juta) Sumber: Badan Pusat Statistik Tingkat Kemiskinan (RHS) (persen) Keberhasilan penanggulangan kemiskinan tersebut merupakan keberhasilan dari berbagai program pemberdayaan masyarakat yang merupakan bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat. Program-program tersebut terus dilakukan untuk memberikan akses yang lebih luas kepada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah agar dapat menikmati hasilhasil pembangunan. Langkah ini ditempuh antara lain melalui pemberian subsidi, bantuan sosial dan PKH, PNPM Mandiri, dan dana penjaminan kredit/pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program ini dilaksanakan untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak atau belum mampu dipenuhi dari kemampuan sendiri. Stabilitas ekonomi makro yang terjaga memberikan andil pada menguatnya nilai tukar rupiah. Hal ini didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan secara konsisten dan berhati-hati. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun bergerak fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2005, rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp9.705/USD, terdepresiasi 8,57 persen bila dibandingkan dengan nilai tukar tahun sebelumnya. Pada tahun 2006 nilai tukar rupiah menguat sehingga rata-ratanya mencapai Rp9.164/USD dan relatif stabil hingga akhir tahun 2007 dengan rata-rata Rp9.140/USD. Nilai tukar rupiah mulai mengalami tekanan dengan volatilitas yang cenderung meningkat pada kuartal IV tahun Hal tersebut dipengaruhi oleh perkembangan krisis keuangan global, gejolak harga komoditas internasional, dan perlambatan ekonomi dunia. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tahun 2008 adalah sebesar Rp9.691/USD, melemah sekitar 6 persen bila dibandingkan dengan nilai tukar pada tahun sebelumnya. II-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

45 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Depresiasi nilai tukar rupiah masih berlanjut pada kuartal I tahun 2009 sebagai dampak dari meluasnya krisis keuangan global. Selanjutnya, rupiah secara gradual terus mengalami penguatan sampai akhir tahun 2009, meskipun secara rata-rata masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai tukar pada tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2009, rupiah melemah sekitar 7,4 persen dengan rata-rata sebesar Rp10.408/USD. Pergerakan rupiah dalam tahun 2009 ditopang oleh keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik dan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik. Di samping itu, imbal hasil rupiah yang tinggi dan jumlah cadangan devisa yang memadai telah memberikan sinyal positif kepada investor mengenai ketahanan perekonomian domestik terhadap tekanan dari luar sehingga rupiah semakin menguat (lihat Grafik II.10). Melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya harga minyak mentah dunia pada tahun 2005 hingga mencapai level USD60 per barel, telah mendorong Pemerintah untuk mengambil kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga dua kali, yaitu pada bulan Maret 2005 dan Oktober Hal tersebut berdampak pada tingginya inflasi pada tahun 2005 hingga mencapai 17,1 persen. Selanjutnya, laju inflasi relatif stabil dan berada pada kisaran 6,6 persen di tahun 2006 dan Stabilnya nilai tukar rupiah, lancarnya distribusi barang dan jasa, serta minimalnya dampak kebijakan administered price (hargaharga barang yang dikendalikan Pemerintah) telah berperan positif terhadap stabilnya inflasi tersebut. Tekanan inflasi kembali terjadi pada tahun 2008, sebagai dampak naiknya komoditas pangan internasional dan harga minyak dunia. Meningkatnya harga minyak dunia hingga mencapai lebih dari USD130 per barel pada awal tahun 2008, telah memaksa Pemerintah kembali menaikkan harga BBM bersubsidi rata-rata sekitar 24 persen pada bulan Mei Dampak kenaikan harga komoditas pangan internasional dan harga minyak dunia telah memberikan tekanan inflasi pada tahun 2008 hingga mencapai sebesar 11,1 persen. Seiring dengan menurunnya harga minyak dunia, pada akhir tahun 2008 Pemerintah telah menurunkan harga premium sebanyak dua kali dan solar sebanyak satu kali. Penurunan harga premium dan solar tersebut kembali dilakukan Pemerintah pada Januari Kebijakan tersebut telah memberikan dampak positif terhadap rendahnya inflasi tahun 2009 yang berada pada level 2,8 persen (lihat Grafik II.11). Berdasarkan disagregasinya, komponen inti mengalami inflasi sebesar 4,3 persen dan komponen harga bergejolak terjadi inflasi sebesar 3,9 persen, sedangkan komponen harga yang diatur Pemerintah terjadi deflasi sebesar 3,3 persen. Kebijakan Pemerintah menurunkan harga BBM telah berperan signifikan terhadap rendahnya inflasi pada tahun GRAFIK II.10 PERKEMBANGAN KURS DAN CADANGAN DEVISA miliar USD Sumber : Bank Indonesia Rp/USD 10,500 10,000 9,500 9,000 8,500 8, ,11% GRAFIK II.11 PERKEMBANGAN INFLASI, (y-o-y, persen) 6,60% 6,59% Umum Harga Bergejolak 11,06% Inti Diatur Pemerintah Sumber: Badan Pusat Statistik 2,78% Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-13

46 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Sejalan dengan penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), kebijakan moneter mengalami perubahan sejak Juli 2005, yang ditandai dengan digunakannya suku bunga Bank Indonesia (BI rate) sebagai instrumen pengendalian moneter. BI rate merupakan jangkar dari penentuan suku bunga SBI 3 bulan, yang digunakan sebagai salah satu dasar penghitungan APBN. BI rate ditetapkan sebesar 8,50 persen pada Juli 2005 dan terus meningkat hingga mencapai 12,75 persen pada akhir tahun Peningkatan BI rate tersebut ditujukan untuk mengantisipasi tekanan dan ekspektasi inflasi yang meningkat akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan BI rate pada tahun tersebut mendorong kenaikan suku bunga SBI 3 bulan dari 8,45 persen menjadi 12,83 persen. Sejalan dengan relatif stabilnya laju inflasi, pada tahun 2006 dan 2007 BI melakukan kebijakan moneter yang cenderung longgar dengan menurunkan BI rate secara bertahap yang diikuti dengan menurunnya suku bunga SBI 3 bulan. Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan pada tahun 2006 dan 2007 masing masing sebesar 11,73 persen dan 8,04 persen. Meningkatnya laju inflasi pada pertengahan tahun 2008 telah mendorong BI untuk menaikkan BI rate hingga mencapai 9,25 persen pada akhir tahun. Kondisi tersebut menyebabkan suku bunga SBI 3 bulan terus meningkat hingga mencapai rata-rata 9,34 persen. Selama tahun 2009, laju inflasi yang relatif terkendali memberikan peluang bagi penurunan BI rate hingga mencapai 6,50 persen pada bulan Agustus. Tingkat suku bunga tersebut terus dipertahankan hingga akhir tahun Rata-rata BI rate dan suku bunga SBI 3 bulan pada tahun 2009 masing-masing sebesar 7,15 persen dan 7,59 persen (lihat Grafik II.12). persen GRAFIK II.12 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA BI RATE, SBI 3 BULAN & DEPOSITO, PUAB O/N Sumber: Bank Indonesia BI Rate SBI 3 bulan Deposito PUAB O/N Semakin membaiknya kinerja perekonomian yang diiringi dengan tetap terjaganya stabilitas ekonomi makro turut mempengaruhi optimisme dan kepercayaan investor. Hal ini mendorong investor untuk meningkatkan portofolio dalam bentuk saham dan obligasi, khususnya Surat Utang Negara (SUN). Sejak awal tahun 2005 hingga akhir tahun 2007, pasar modal di Indonesia terus berkembang dengan pesat. Hal tersebut tercermin dari II-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

47 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II meningkatnya IHSG dan nilai kapitalisasi pasar saham. Selama tahun , IHSG meningkat 174,5 persen, yaitu dari 1.000,2 poin pada penutupan tahun 2004 menjadi 2.745,8 pada akhir 2007 (lihat Grafik II.13). Demikian pula, kapitalisasi pasar saham telah meningkat dari Rp679,9 triliun pada penutupan tahun 2004 menjadi Rp1.988,3 triliun pada penutupan tahun 2007 (lihat Grafik II.14). poin GRAFIK II.13 INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) 04 Jan Mar Jun Aug Oct Jan Mar Jun Aug Oct Jan Mar Jun Aug Oct Jan Mar Jun Aug Nov Jan Apr Jun Aug Nov 09 Sumber: Bloomberg , , , , ,0 0,0 GRAFIK II.14 KAPITALISASI PASAR (Miliar Rupiah) Des 2005 Des 2006 Des 2007 Des 2008 Des 2009 Pada tahun 2007, bursa saham secara global mengalami gejolak dan berfluktuasi secara tajam sebagai dampak krisis subprime mortgage menjelang akhir bulan Juli. Indeks bursa saham utama dunia termasuk bursa saham Indonesia berguguran. Setelah sempat menyentuh level tertinggi 2830,26 poin pada tanggal 9 Januari 2008, IHSG terkoreksi hingga 60,73 persen ke level terendahnya di 1.111,39 poin pada 28 Oktober Pada akhir tahun 2008, IHSG ditutup pada posisi 1.355,41 poin. Penurunan IHSG selama tahun 2008 merupakan yang ketiga terbesar setelah China dan India. Sejalan dengan penurunan IHSG, indeks LQ45 dan Jakarta Islamic Index juga terkoreksi masing-masing sebesar 55 persen dan 56 persen. Jika dilihat per sektor, penurunan terbesar terjadi pada sektor pertambangan sebesar 73 persen, disusul sektor pertanian 66 persen. Penurunan IHSG pada kedua sektor ini merupakan faktor dominan atas kejatuhan IHSG. Kondisi fundamental pasar saham domestik sebenarnya cukup kuat. Namun karena keterkaitan (interlink) pasar keuangan antar negara yang cukup kuat, tekanan di pasar global berdampak pada kejatuhan pasar modal domestik di tahun Ketika muncul goncangan finansial di pasar keuangan AS, terjadi penarikan dana-dana dari bursa domestik (sebagaimana halnya di emerging market lainnya), dan kembali mengalir ke negara-negara maju guna memenuhi kebutuhan likuiditas perusahaan di negaranya. Seiring dengan terjadinya arus modal keluar, IHSG dan aset finansial mengalami penurunan. Pelemahan ini juga terjadi pada bursa lain di kawasan regional. Indeks STI Singapura, PCOMP Philipina, dan SET Thailand masing-masing turun sebesar 49,2 persen, 48,3 persen, dan 47,6 persen. Sementara itu, indeks KLCI Malaysia sedikit lebih baik, yaitu turun 39,3 persen. Kondisi bursa yang masih bergejolak juga membuat beberapa perusahaan menunda melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO), sehingga selama tahun 2008 hanya terdapat 17 perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia, dengan dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp23,4 triliun. Jumlah perusahaan tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah perdagangan pada tahun 2007 yang mencapai 24 perusahaan namun dengan jumlah dana yang dihimpun lebih rendah, yaitu Rp17,2 triliun. Sedangkan untuk tahun 2009, nilai emisi saham pada 2009 tercatat Rp16,15 triliun, dengan jumlah emiten sebanyak 19 perusahaan, atau turun 5,26 persen dari posisi 2008 sebanyak Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-15

48 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN emiten. Emisi saham baru (IPO) 2005 disumbang oleh 13 perusahaan senilai Rp3,85 triliun, anjlok 84 persen dari IPO 2008 sebesar Rp24,0 triliun. Pada periode 2009, pergerakan IHSG kembali normal dan berangsur-angsur pulih. Selama tahun 2009, bursa saham Indonesia menunjukkan perkembangan yang membaik jika dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2009, IHSG telah naik sebesar 86,98 persen dan merupakan salah satu bursa saham dunia yang mencatatkan kenaikan indeks saham tertinggi. Kenaikan IHSG 2009 ini disebabkan oleh derasnya capital inflow asing ke pasar saham Indonesia. Dalam pasar obligasi, selama periode menunjukkan kinerja yang sangat baik. Pasar obligasi swasta telah berkembang dengan sangat pesat, yang ditunjukkan oleh meningkatnya kapitalisasi pasar dari Rp61,3 triliun pada penutupan tahun 2004, menjadi Rp84,9 triliun pada penutupan tahun Pada periode yang sama, kapitalisasi pasar obligasi negara meningkat dari Rp399,3 triliun menjadi Rp475,6 triliun. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan pasar terhadap kemampuan pengelolaan utang Pemerintah dan kesinambungan APBN. Kinerja obligasi negara juga menunjukkan perkembangan yang positif sepanjang tahun Pemerintah telah menerbitkan SUN neto sebesar Rp57,1 triliun sesuai dengan kebutuhan pembiayaan APBN dengan suku bunga yang cukup kompetitif. Penerbitan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) sebagai perluasan basis investor dilaksanakan sebanyak dua kali pada tahun Pada pertengahan tahun 2007, gejolak keuangan global juga telah memberikan tekanan yang cukup kuat pada pasar obligasi Pemerintah, namun pasar SUN tetap terjaga. Secara keseluruhan, sepanjang tahun 2007, strategi yang dijalankan Pemerintah dalam pengelolaan utang telah berjalan dengan baik dengan berkurangnya persentase surat utang dengan tingkat bunga mengambang. Instrumen ini ke depan akan menjadi alat untuk mengelola arus kas Pemerintah agar dapat lebih optimal. Gejolak krisis global tahun 2008 memberikan dampak penurunan pada pasar obligasi. Tercatat nilai kapitalisasi pasar obligasi swasta pada akhir tahun 2008 mencapai sebesar Rp72,9 triliun atau turun 13,8 persen bila dibandingkan dengan nilainya pada akhir tahun 2007 yang berjumlah Rp84,6 triliun. Dalam upaya mencegah turunnya indeks bursa domestik ke level yang lebih dalam, Pemerintah bersama dengan otoritas moneter dan bursa melakukan berbagai upaya diantaranya: (1) menghentikan perdagangan (suspend) di bursa untuk sementara waktu; (2) menetapkan batas auto-rejection untuk perdagangan saham dari simetris 10 persen menjadi batas atas sebesar 20 persen dan batas bawah sebesar 10 persen; (3) memperlonggar aturan penilaian dan pencatatan efek bersifat utang; (4) menerbitkan pedoman yang memperkenankan penggunaan alternatif penilaian efek selain harga pasar (quoted market price); dan (5) memperlonggar ketentuan pembelian kembali saham (buyback) oleh emiten. Kondisi yang sama juga dialami pasar surat utang negara (SUN). Terpuruknya lembagalembaga keuangan seperti Lehman Brothers, telah berimbas pada peningkatan yield SUN 10 tahun dari 10,05 persen (2 Januari 2008) menjadi 20,96 persen (27 Oktober 2008), atau meningkat basis poin. Sejalan dengan berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meredam gejolak pasar dan meningkatkan kembali kepercayaan investor, pada akhir tahun 2008 yield SUN mengalami penurunan hingga ke level 11,89 persen (lihat Grafik II.15). II-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

49

50 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 memasuki semester kedua tahun 2008, harga minyak dunia telah menunjukkan tren penurunan. Sementara itu, pemulihan ekonomi dunia yang utamanya didorong oleh pemulihan ekonomi dua raksasa ekonomi, yaitu China dan India, telah memberikan dampak pada naiknya permintaan minyak dunia dalam tahun Permintaan minyak dunia berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Peningkatan yang cukup signifikan terutama terjadi dalam paruh kedua tahun Permintaan minyak mentah dunia turun dari sekitar 84,6 juta barel per hari pada bulan Desember 2008 menjadi 84,3 juta barel per hari pada bulan November juta barel GRAFIK II.17 PERKEMBANGAN PERMINTAAN, PENAWARAN, DAN HARGA MINYAK DUNIA, USD per barel Rata-rata 2008 = Rata-rata 2005 = 53.4 Rata-rata 2006 =, 64.3 Rata-rata 2007 = 72.3 Rata-rata 2009 =, D-04 Jan-05 F M A M J J A S O N D Jan-06 F M A M J J A S O N D Jan-07 F M A M J J A S O N D Jan-08 F M A M J J A S O N D Jan-09 F M A M J J A S O N D Sumber:Bloomberg Permintaan Penawaran WTI ICP Peningkatan permintaan telah mendorong peningkatan harga minyak dunia (WTI), yaitu dari USD42,1 per barel pada bulan Desember 2008 menjadi USD78,3 per barel pada bulan November tahun Seiring dengan tren pergerakan harga minyak internasional, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude-oil Price/ICP) juga mengalami peningkatan. Dalam semester I tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata sebesar USD51,6 per barel, kemudian meningkat menjadi USD71,6 per barel dalam semester II tahun 2009, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai USD61,6 per barel. Realisasi lifting minyak Indonesia mengalami penurunan secara gradual sejak tahun 2005 dan mencapai titik terendah pada bulan Mei 2007 yaitu sebesar 0,802 juta barel per hari. Namun demikian, dengan berbagai langkah kebijakan di bidang perminyakan yang ditempuh pemerintah, lifting minyak kembali mengalami peningkatan. Realisasi rata-rata lifting minyak pada tahun 2009 (Desember 2008 November 2009) adalah sebesar 0,944 juta barel per hari. Masih terbatasnya volume lifting minyak disebabkan oleh berbagai kendala yang dihadapi antara lain (a) faktor penurunan produksi alamiah sebesar + 12 persen per tahun; (b) dampak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (c) masalah tata ruang dan tumpang tindih lahan kawasan hutan; dan (d) masalah perpanjangan kontrak KKKS dengan Pemerintah Indonesia yang akan berakhir dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Perkembangan harga minyak dan harga komoditi primer di pasar internasional selama tahun 2005 turut mempengaruhi kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun Meningkatnya permintaan beberapa komoditi nonmigas terutama produk primer dari II-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

51 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II (Ribu barel/hari) 1.180,0 GRAFIK II.18 LIFTING MINYAK INDONESIA, , , ,0 Rata-rata 2005 = 1.006,99 980,0 930,0 880,0 830,0 780,0 730,0 Rata-rata 2006 = 951,82 Rata-rata 2007 = 904,01 Rata-rata 2008 = 870,98 Rata-rata 2009 = 943,89 680,0 D- F A J A O D F A J A O D F A J A O D F A J A O D F A J A O D 04 Sumber:Kemen ESDM, Kemenkeu beberapa negara telah mendorong peningkatan harga di pasar dunia. Tingginya harga minyak dunia yang direspon dengan kenaikan harga BBM di dalam negeri telah menyebabkan berkurangnya konsumsi BBM domestik yang pada gilirannya telah mengurangi kebutuhan impor BBM sehingga mengurangi defisit neraca perdagangan migas. Membaiknya indikator eksternal dan internal tersebut telah mempengaruhi kinerja NPI 2005, transaksi berjalan mencatat surplus USD0,3 miliar diikuti transaksi modal dan keuangan yang surplus USD0,3 miliar, mengakibatkan keseimbangan NPI tahun 2005 mencatat surplus sebesar USD0,4 miliar, sehingga cadangan devisa mencapai USD34,7 miliar. Memasuki tahun 2006, kinerja NPI terus membaik dengan surplus sebesar USD14,5 miliar. Tingginya surplus NPI ini didukung oleh surplus neraca berjalan yang mencapai USD10,9 miliar, jauh meningkat dari surplus tahun sebelumnya sebesar USD0,3 miliar. Kinerja NPI yang membaik mendorong peningkatan cadangan devisa dan memungkinkan percepatan pelunasan pembayaran utang IMF sebesar USD7,6 miliar. Secara keseluruhan, cadangan devisa meningkat dari USD34,7 miliar pada tahun 2005 menjadi USD42,6 miliar pada tahun Pada tahun 2007, NPI mencatat surplus yang cukup besar yaitu mencapai USD12,7 miliar. Surplus NPI ini terkait dengan surplus transaksi berjalan yang mencapai USD10,5 miliar, sedikit lebih rendah dari surplus tahun 2006 (USD10,9 miliar), dan meningkatnya surplus transaksi modal dan finansial, yaitu dari USD3,0 miliar pada 2006 menjadi USD3,6 miliar pada Sebagai cerminan dari surplus NPI, cadangan devisa meningkat menjadi USD56,9 miliar pada akhir tahun Krisis keuangan global yang semakin dalam sejak September 2008 memberikan tekanan yang cukup signifikan pada kinerja NPI. Selama 2008 NPI mengalami defisit sebesar USD1,9 miliar, berbeda dari tahun 2007 yang mencatat surplus USD12,7 miliar. Namun, transaksi berjalan masih mampu mencatat surplus meskipun kecil (USD0,1 miliar), turun bila dibandingkan dengan surplus pada 2007 (USD10,5 miliar). Sementara itu, transaksi modal dan finansial mengalami defisit USD1,8 miliar, setelah pada tahun 2007 mencatat Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-19

52 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 surplus sebesar USD3,6 miliar. Sejalan dengan perkembangan di atas, jumlah cadangan devisa pada akhir periode turun menjadi USD51,6 miliar. Seiring dengan membaiknya prospek ekonomi global dan domestik, kinerja neraca pembayaran tahun 2009, baik dari sisi transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial, mengalami perbaikan dari tahun sebelumnya. Membaiknya kinerja neraca pembayaran tersebut antara lain disebabkan oleh mulai meningkatnya permintaan ekspor dan masuknya arus modal, baik berupa investasi langsung maupun portofolio. Neraca transaksi berjalan pada tahun 2009 mencatat surplus USD10,7 miliar, yang didorong oleh kenaikan surplus pada neraca perdagangan. Neraca perdagangan dalam tahun 2009 mengalami surplus USD35,1 miliar, lebih tinggi bila dibandingkan dengan surplus pada tahun 2008 sebesar USD22,9 miliar. Sementara itu, neraca jasa defisit sebesar USD14,1 miliar, neraca pendapatan defisit sebesar USD15,1 miliar dan transfer surplus sebesar USD4,9 miliar. Neraca transaksi modal dan finansial pada tahun 2009 mencatat surplus sebesar USD3,5 miliar. Surplus tersebut terutama bersumber dari tingginya surplus pada investasi langsung dan investasi portofolio, sejalan dengan meningkatnya investasi langsung di sektor industri pengolahan dan perdagangan, serta membaiknya persepsi risiko terhadap pasar domestik. Surplus pada investasi portofolio ditopang oleh adanya penerbitan obligasi global, sukuk valas, dan obligasi shibosai oleh Pemerintah. Kinerja investasi lainnya terbantu oleh adanya tambahan alokasi hak penarikan khusus atau Special Drawing Rights (SDR) sebesar USD2,8 miliar. Tambahan alokasi SDR tersebut ditujukan untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia. Berdasarkan perkembangan besaran-besaran neraca pembayaran tersebut, dalam tahun 2009 keseimbangan umum mengalami surplus USD12,5 miliar sehingga cadangan devisa mencapai USD66,1 miliar. Ringkasan neraca pembayaran Indonesia tahun dapat dicermati pada Tabel II.3. TABEL II.3 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA, (juta USD) ITEM A. TRANSAKSI BERJALAN Neraca Perdagangan Jasa-jasa Pendapatan Transfer B. NERACA MODAL DAN FINANSIAL Sektor Publik Neraca modal Neraca finansial Sektor Swasta Neraca modal Neraca finansial C. TOTAL (A + B) D. SELISIH YANG BELUM DIPERHITUNGKAN E. KESEIMBANGAN UMUM (C + D) Cadangan devisa Sumber: Bank Indonesia II-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

53 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Proyeksi Perekonomian Dunia dan Regional Di awal tahun 2010, pemulihan ekonomi di kawasan Eropa semakin nyata. Pada kuartal I tahun 2010 beberapa negara maju Eropa berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi positif, setelah di tahun 2009 mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Perekonomian Jerman dan Perancis tumbuh masing-masing sebesar 1,6 persen dan 1,2 persen, sedangkan Inggris masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi minus 0,2 persen. Namun, pertumbuhan Inggris di kuartal I tahun 2010 ini sudah jauh meningkat bila dibandingkan dengan pertumbuhannya di kuartal IV tahun 2009 yang sebesar minus 2,9 persen. Untuk keseluruhan kawasan Eropa, laju pertumbuhan ekonomi di kuartal I tahun 2010 mencapai 0,6 persen. Meskipun perekonomian Eropa sudah mulai membaik, namun masih terdapat tantangan, yaitu adanya gejolak ekonomi akibat membengkaknya defisit fiskal dan tingginya utang beberapa negara Eropa. Akibat defisit dan utang yang sangat besar, perekonomian Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol (PIGS) mengalami kontraksi. Pada kuartal I tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Portugal mencapai sebesar 1,8 persen, sedangkan Irlandia, Yunani dan Spanyol mencatatkan pertumbuhan negatif, masing-masing minus 0,7 persen, minus 2,5 persen, dan minus 1,3 persen. Sepanjang tahun 2010 pertumbuhan ekonomi PIGS diperkirakan masing-masing mencapai 0,3 persen, minus 1,5 persen, minus 2,0 persen, dan minus 0,4 persen (lihat Grafik II.19 dan Grafik II.20). 4% 2% 0% -2% -4% -6% -8% -10% GRAFIK II.19 PERTUMBUHAN EKONOMI KUARTALAN PIGS (y-o-y, persen) Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Sumber : Bloomberg Portugal Irlandia Yunani Spanyol GRAFIK II.20 PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUNAN PIGS (y-o-y, persen) Portugal Irlandia Yunani Spanyol Sumber : Bloomberg * Walaupun kawasan Eropa masih menghadapi tekanan krisis fiskal dan pertumbuhan negatif di beberapa negara, namun dampaknya diperkirakan relatif kecil bagi kinerja perekonomian negara maju utama di kawasan tersebut. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi negaranegara maju Eropa diperkirakan akan terus meningkat di tahun Perekonomian Jerman akan tumbuh sebesar 1,4 persen, Inggris 1,2 persen, dan Perancis 1,4 persen. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi Eropa secara keseluruhan di tahun 2010 diperkirakan sebesar 1,0 persen (lihat Grafik II.21). Pemulihan ekonomi juga terlihat di negara maju kawasan Asia Pasifik. Pada kuartal I tahun 2010, kinerja perekonomian Korea Selatan membaik secara signifikan dengan pertumbuhan yang mencapai 8,1 persen. Setelah mengalami pertumbuhan negatif pada kuartal sebelumnya, di kuartal I tahun 2010 perekonomian Jepang tumbuh positif sebesar 4,6 persen. Hal serupa juga dialami oleh AS yang tumbuh sebesar 2,4 persen, Kanada tumbuh 3,4 persen, dan Australia tumbuh 2,7 persen (lihat Grafik II.22). Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-21

54 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN ,0 GRAFIK II.21 PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA-NEGARA MAJU EROPA (y-o-y, persen) 6,0 GRAFIK II.22 PERTUMBUHAN NEGARA-NEGARA MAJU ASIA PASIFIK (y-o-y, persen) 3,0 4,0 2,0 1,0 2,0 0,0-1, * -2,0 Eropa Inggris -3,0-4,0 Perancis Jerman -5,0-6,0 Sumber : IMF (WEO) 0, * -2,0-4,0 Kanada Amerika Serikat Australia Je pang -6,0 Korea Selatan * = Perkiraan Sumber : IMF (WEO) Untuk tahun 2010, perekonomian AS dan Kanada diperkirakan masing-masing tumbuh sebesar 3,3 persen dan 3,6 persen. Tren pertumbuhan yang positif ini juga dialami oleh negara maju lainnya seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 3,0 persen, 2,4 persen, dan 5,7 persen. Perbaikan laju pertumbuhan ekonomi terlihat lebih jelas di negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia. Pada kuartal I tahun 2010, pertumbuhan ekonomi China dan India masing-masing mencapai 11,9 persen dan 8,6 persen. Pertumbuhan kedua negara tersebut diperkirakan akan mampu memberikan dorongan positif bagi negara-negara berkembang lain di sekitarnya. Untuk tahun 2010 ekonomi China dan India diperkirakan masing-masing mencapai 10,5 persen dan 9,4 persen (lihat Grafik II.23). Pada kuartal I tahun 2010, Singapura, Malaysia, dan Thailand mencapai pertumbuhan yang sangat tinggi, yaitu masing-masing sebesar 16,9 persen, 10,1 persen, dan 12,0 persen. Angka pertumbuhan yang sangat tinggi tersebut antara lain disebabkan oleh kejatuhan ekonomi yang sangat dalam pada kuartal yang sama tahun sebelumnya dibandingkan dengan kapasitas normalnya. Sementara itu, Indonesia dan Philipina pada kuartal I masing-masing tumbuh 5,7 persen dan 7,3 persen. Di akhir tahun 2010, diperkirakan ekonomi Singapura dan Malaysia masing-masing tumbuh 9,9 persen dan 6,7 persen, sementara Thailand tumbuh 7,0 persen dan Philipina tumbuh sebesar 6,0 persen. Secara kumulatif, pertumbuhan ASEAN-5 pada tahun 2010 diproyeksikan mencapai 6,4 persen, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 1,7 persen (lihat Grafik II.24). 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 10,4 9,2 11,6 9,8 13,0 9,4 9,6 7,3 8,7 6,7 10,5 9, * * Angka Perkiraan GRAFIK II.23 PERTUMBUHAN PDB CHINA DAN INDIA (y-o-y, persen) Cina India 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0-2,0-4,0 *Perkiraan Sumber : IMF (WEO) GRAFIK II.24 PERTUMBUHAN PDB ASEAN-5 (y-o-y, persen) 5,5 5,7 6,3 4,7 1, * ASEAN-5 Malaysia Philipina Singapura Thailand Indonesia 6,4 II-22 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

55 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Sejalan dengan proses pemulihan yang terjadi, perekonomian global diperkirakan akan kembali meningkat dan tumbuh sebesar 4,6 persen di tahun 2010 (WEO, Juli 2010). Laju pertumbuhan tersebut relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 4,2 persen (WEO, April 2010). Perubahan perkiraan laju pertumbuhan tersebut mengindikasikan optimisme yang lebih baik terhadap prospek perekonomian global di tahun Pertumbuhan tersebut disumbang oleh pertumbuhan ekonomi negara maju sebesar 2,6 persen dan negara berkembang sebesar 6,8 persen. Apabila disimak dari besarnya pertumbuhan di kedua kelompok negara, terlihat bahwa pada tahun tersebut peran negaranegara berkembang dalam perekonomian global semakin besar. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi pola hubungan ekonomi global, khususnya pola perdagangan di periode mendatang (lihat Grafik II.25). Meningkatnya pangsa ekonomi negara berkembang mengisyaratkan potensi peningkatan hubungan kerjasama antarnegara berkembang yang lebih besar (lihat Grafik II.26). Seiring dengan mulai membaiknya kondisi perekonomian global, aktivitas perdagangan antarnegara juga terus meningkat. Hubungan perdagangan tersebut merupakan salah satu karakteristik penting yang mendasari keterkaitan kondisi satu negara dengan negara lain, dan juga kondisi ekonomi global secara keseluruhan. Krisis yang pada awalnya menerpa Amerika Serikat dan beberapa negara maju, menyebabkan permintaan impor atas komoditas negara berkembang juga menurun. Hal tersebut pada gilirannya menyebabkan perlambatan kinerja pertumbuhan negara-negara berkembang. Untuk Indonesia, perbaikan kondisi ekonomi dan pertumbuhan global merupakan sinyal positif bagi perbaikan permintaan atas ekspor Indonesia yang mampu memberikan kontribusi positif bagi perekonomian domestik. 15,0 10,0 5,0 0,0-5,0-10,0-15,0 GRAFIK II.25 PERTUMBUHAN VOLUME PERDAGANGAN BARANG DAN JASA (y-o-y, persen) 7,7 Sumber: IMF (WEO) 8,8 7, ,8 Dunia Negara Maju Neg. Berkembang -11,3 9,0 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Sumber : IMF (WEO) GRAFIK II.26 KOMPOSISI PDB DUNIA 23,7% 25,8% 28,0% 31,0% 30,9% 32,7% 76,3% 74,2% 72,0% 69,0% 69,1% 67,3% Ne gara Maju Negara Berkembang Pemulihan ekonomi yang terjadi selama tahun 2009, juga tercermin pada perbaikan indikator kegiatan produksi dan perdagangan di berbagai negara. Indeks Produksi Industri beberapa negara dunia menunjukkan tren meningkat sepanjang tahun 2009 (lihat Grafik II.27), demikian pula halnya dengan Purchasing Managers Index (PMI) (lihat Grafik II.28). Perkembangan tersebut mengindikasikan adanya perbaikan permintaan pasar yang diikuti aktivitas produksi di berbagai negara sepanjang tahun Seiring dengan kondisi tersebut, Baltic Dry Index/BDI (dengan pergerakan pola musimannya) juga menunjukkan tren meningkat. Meningkatnya BDI mengindikasikan adanya perbaikan aktivitas pengapalan antarnegara serta intensitas kegiatan perdagangan antarnegara. Memasuki tahun 2010, indikator-indikator di atas tetap menunjukkan tren positif. Berdasarkan hal tersebut, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-23

56 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN poin Jul Agust Sumber : Bloomberg GRAFIK II.27 INDEKS PRODUKSI INDUSTRI Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Eropa Amerika Serikat Korea Singapura diperkirakan peningkatan permintaan global dan aktivitas perdagangan akan terus membaik di sepanjang tahun Secara umum intensitas perdagangan internasional bergerak seiring laju pertumbuhan ekonomi global. Perlambatan dan pertumbuhan ekonomi negatif di tahun 2008 dan 2009 diiringi tren pergerakan pertumbuhan volume perdagangan yang sama. Laju pertumbuhan volume perdagangan barang dan jasa melambat di tahun 2008 dan mengalami kontraksi di tahun 2009 dengan laju pertumbuhan minus 11,3 persen. Namun, seiring dengan pemulihan ekonomi tahun 2010, permintaan global juga diperkirakan membaik dan mampu mendorong aktivitas perdagangan internasional dengan laju pertumbuhan 9,0 persen (lihat Grafik II.29). Dari laju pertumbuhan volume perdagangan global tersebut, 3,8 persen disumbang oleh negara berkembang dan 5,2 persen oleh negara maju Perekonomian Nasional 15,0 10,0 5,0 0,0-5,0-10,0-15,0 Memasuki tahun 2010, perekonomian domestik menunjukkan kondisi yang semakin membaik setelah melewati fase terendah pada pertengahan tahun Dalam APBN 2010, asumsi pertumbuhan PDB diperkirakan mencapai 5,5 persen (y-o-y), lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009 yang sebesar 4,5 persen (y-o-y). Seiring dengan semakin kuatnya fundamental kondisi ekonomi domestik dan didukung oleh membaiknya faktor eksternal, perkiraan pertumbuhan PDB tahun 2010 mengalami koreksi menjadi sebesar 5,8 persen (y-o-y) dalam APBN-P Dengan melihat kondisi terkini, pertumbuhan PDB diperkirakan dapat mencapai 5,9 persen (y-o-y), meskipun harus diwaspadai ancaman imbas dari krisis yang terjadi di Eropa saat ini (lihat Grafik II.30). Pertumbuhan PDB pada kuartal I tahun 2010 mencapai 5,7 persen (y-o-y), lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama di tahun 2009 yang hanya Purchasing Manager Index (PMI) GRAFIK II.28 INDIKATOR PERDAGANGAN DAN PERMINTAAN EKONOMI GLOBAL (poin) Jl-2008 Ag Sumber : Bloomberg D J-2009 S O N F M A Me Jn Jl Ag D J-2010 S O N F M A Me Jn Chicago Inggris Singapura Baltic Dry 8,8 9,0 7,6 2,7 7,1 3,8 2,7 3,1 2,8 4,8 6,0 4,0 1,9 5,2 0, ,2 Negara Maju Negara Berkembang TOTAL -2,6 Sumber : IMF (WEO) GRAFIK II. 29 PERTUMBUHAN NERACA PERDAGANGAN (BARANG DAN JASA) DAN KONTRIBUSI (y-o-y, persen) -11, Baltic Dry Index II-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

57 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 - GRAFIK II.30 PERTUMBUHAN PDB TAHUN, (y-o-y, persen) 6,3 6,0 4,5 5.5 (APBN) 5.8 (APBN-P) * Sumber : BPS dan Kemenkeu 5.9 (Outlook) 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 - (5,0) (10,0) (15,0) (20,0) (25,0) GRAFIK II.31 SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN PDB TAHUN, (y-o-y, persen) Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Sumber : Badan Pusat Statistik Konsumsi Rumah Tangga PMTB Impor Konsumsi Pemerintah Ekspor mencapai 4,5 persen (y-o-y). Sumber-sumber pertumbuhan PDB pada kuartal I tahun 2010 berasal dari konsumsi rumah tangga (3,9 persen), pembentukan modal tetap bruto (7,8 persen), ekspor dan impor (20,0 persen dan 22,6 persen). Sedangkan konsumsi Pemerintah mengalami pertumbuhan negatif sebesar 8,8 persen (lihat Grafik II.31). Konsumsi rumah tangga dan Pemerintah dalam kuartal I tahun 2010 tumbuh lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu masing-masing dari 6,0 persen dan 19,2 persen menjadi 3,9 persen dan minus 8,8 persen. Tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan Pemerintah pada kuartal I tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan Pemilu dan stimulus fiskal pada periode tersebut. Perlambatan konsumsi rumah tangga dan penurunan konsumsi Pemerintah pada kuartal I tahun 2010 disebabkan oleh tingginya basis perhitungan pada kuartal I tahun Kinerja investasi pada kuartal I tahun 2010 mengalami peningkatan pertumbuhan, yaitu dari 3,5 persen pada kuartal I tahun 2009 menjadi 7,8 persen. Adapun komponen investasi yang mengalami peningkatan tajam antara lain investasi lainnya luar negeri (19,7 persen), alat angkutan luar negeri (24,2 persen), dan alat angkutan dalam negeri (16,2 persen). Sedangkan komponen investasi yang mengalami pertumbuhan negatif adalah investasi lainnya dalam negeri (minus 4,8 persen). Meningkatnya permintaan dunia seiring dengan pulihnya perekonomian global mendorong perbaikan pada kinerja ekspor dan impor Indonesia. Pada kuartal I tahun 2010, ekspor dan impor tumbuh positif masing-masing sebesar 20,0 persen dan 22,6 persen. Kondisi ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan kuartal I tahun 2009 yang mengalami pertumbuhan negatif, yaitu ekspor tumbuh minus 18,7 persen dan impor tumbuh minus 24,4 persen. Perbaikan ekonomi terus berlanjut sehingga mampu tumbuh sebesar 6,2 persen (y-o-y) pada kuartal II tahun 2010, tertinggi setelah krisis pada akhir tahun Tingginya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II tahun 2010 ditopang oleh konsumsi rumah tangga (5,0 persen), pembentukan modal tetap bruto (8,0 persen), ekspor dan impor (14,6 persen dan 17,7 persen). Sedangkan konsumsi Pemerintah masih mengalami pertumbuhan negatif sebesar 9,0 persen. Selama tahun 2010 PDB menurut pengeluaran diperkirakan tetap tumbuh kuat (lihat Grafik II.32). Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh sebesar 5,0 persen, yang dipengaruhi oleh semakin membaiknya kondisi ekonomi domestik dan terjaganya laju inflasi, sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. Perkiraan ini juga didukung oleh membaiknya indikator-indikator konsumsi rumah tangga seperti konsumsi listrik, penjualan mobil-motor, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-25

58 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 dan penerimaan PPN, serta kredit konsumsi. Konsumsi Pemerintah pada tahun 2010 diperkirakan tumbuh melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun sebelumnya dari 15,7 persen menjadi 2,1 persen. Perlambatan ini disebabkan oleh besarnya pengeluaran Pemerintah pada tahun 2009 untuk program stimulus fiskal dan belanja Pemilu. Investasi tahun 2010 diperkirakan tumbuh 8,0 persen meningkat bila 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 - (5,0) (10,0) (15,0) (20,0) (25,0) GRAFIK II.31 SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN PDB TAHUN (y-o-y, persen) Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Sumber : Badan Pusat Statistik (9,0) Konsumsi Rumah Tangga PMTB Impor Konsumsi Pemerintah Ekspor dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun 2009 yang hanya mencapai 3,3 persen. Peningkatan ini didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian global dan stabilnya ekonomi domestik sehingga meningkatkan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Sejalan dengan investasi, laju pertumbuhan ekspor dan impor akan meningkat cukup tajam. Ekspor dan impor tahun 2010 diperkirakan tumbuh masing-masing 12,2 persen dan 15,0 persen, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2009 yang mengalami pertumbuhan minus 9,7 persen dan minus 15,0 persen. Peningkatan ekspor dan impor ini terjadi karena meningkatnya permintaan global dan aktivitas ekonomi domestik. Dari sisi sektoral, pada kuartal I tahun 2010 sebagian sektor mengalami perlambatan atau penurunan pertumbuhan (lihat Tabel II.4). Pertumbuhan tertinggi pada kuartal I tahun 2010 dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh sebesar 11,9 persen, menurun bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 16,8 persen. Pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi didorong oleh pertumbuhan subsektor komunikasi sebesar 17,0 persen, terkait dengan makin meningkatnya jumlah pelanggan seluler dan penggunaan internet. Subsektor lain yang SEKTOR I II III IV I II III IV I II PERTANIAN 6,4 4,8 3,2 5,1 5,9 2,9 3,3 4,6 3,0 3,1 PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN -1,6-0,4 2,3 2,4 2,6 3,4 6,2 5,2 3,1 3,8 INDUSTRI PENGOLAHAN 4,3 4,2 4,3 1,8 1,5 1,5 1,3 4,2 3,7 4,3 LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 12,3 11,8 10,4 9,3 11,2 15,3 14,5 14,0 8,2 4,8 KONSTRUKSI 8,2 8,3 7,8 5,9 6,2 6,1 7,7 8,0 7,1 7,2 PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 6,7 7,7 7,6 5,5 0,6 0,0-0,2 4,2 9,4 9,6 PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 18,1 16,6 15,6 16,1 16,8 17,0 16,4 12,2 11,9 12,9 KEUANGAN 8,3 8,7 8,6 7,4 6,3 5,3 4,9 3,8 5,3 6,1 JASA - JASA 5,5 6,5 7,0 5,9 6,7 7,2 6,0 5,7 4,6 5,3 Sumber: Badan Pusat Statistik TABEL II.4 PERTUMBUHAN PDB MENURUT SEKTOR TAHUN (y-o-y, persen) 5,0 17,7 14,6 8,0 II-26 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

59 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II meningkat tajam adalah angkutan udara, yaitu sebesar 20,5 persen, yang didorong oleh meningkatnya jumlah penumpang pesawat dan penambahan rute penerbangan. Di sisi lain, subsektor angkutan rel dan angkutan laut justru mengalami kontraksi, dimana masingmasing tumbuh sebesar minus 0,1 persen dan minus 10,4 persen. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh 9,4 persen, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 0,6 persen. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh tingginya pertumbuhan subsektor perdagangan besar dan eceran sebesar 10,9 persen. Sektor yang paling dominan selama kuartal I tahun 2010 yaitu sektor industri pengolahan, yang tumbuh sebesar 3,7 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada periode yang sama tahun lalu sebesar 1,5 persen. Peningkatan pertumbuhan sektor industri ini terutama disebabkan oleh meningkatnya permintaan barang industri di kawasan Asia dan Amerika. Sumber pendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan adalah dari industri nonmigas yang meningkat signifikan sebesar 4,1 persen. Beberapa industri yang mendorong kenaikan industri nonmigas adalah industri alat angkut mesin dan industri semen. Membaiknya kinerja di subsektor industri tersebut juga tercermin dari meningkatnya penjualan kendaraan bermotor dan konsumsi semen. Sektor pertanian yang merupakan sektor dominan kedua setelah industri pengolahan, tumbuh sebesar 3,0 persen, melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada kuartal I tahun 2009 sebesar 5,9 persen. Hal ini didorong oleh melambatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan yang hanya tumbuh 1,8 persen, jauh melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada kuartal I tahun 2009 sebesar 7,6 persen. Perlambatan tersebut disebabkan oleh pergeseran panen raya padi dari kuartal I ke kuartal II akibat terjadinya kerusakan pada tanaman padi yang dikarenakan banjir di beberapa wilayah sentra produksi padi GRAFIK II.33 PERTUMBUHAN PDB SEKTORAL, (y-o-y, persen) APBN 2010-APBN-P 3,6 3,2 4, Outlook 6,6 7,4 8 12,2 6,2 5,6 Pertanian Pertambangan Industri Listrik, gas, dan air bersih Konstruksi Perdagangan Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa Sumber : BPS dan Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-27

60 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Pada kuartal II tahun 2010, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian terus meningkat sehingga masing-masing tumbuh 4,3 persen dan 3,1 persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh sebesar 12,9 persen yang didukung oleh pertumbuhan subsektor komunikasi sebesar 17,6 persen. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran tetap tumbuh kuat sebesar 9,6 persen. Hingga akhir tahun 2010, pertumbuhan ekonomi sektoral diperkirakan masih terus mengalami penguatan. Sektor-sektor dominan diperkirakan masih tumbuh kuat, yaitu sektor pertanian 3,6 persen, sektor industri pengolahan 4,1 persen, sektor bangunan 7,4 persen, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,0 persen (lihat Grafik II.33). Berdasarkan perkembangan tersebut, laju pertumbuhan PDB hingga akhir tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,9 persen (y-o-y). Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,9 persen pada tahun 2010, maka pertumbuhan lapangan kerja baru diperkirakan mencapai lebih dari 2 persen. Sementara itu, jumlah penduduk yang masuk angkatan kerja setiap tahun diperkirakan juga akan meningkat rata-rata sebesar 1,76 persen. Demikian juga, peningkatan lapangan kerja baru yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan angkatan kerja akan berdampak pada semakin menurunnya tingkat pengangguran. Penurunan tingkat pengangguran ini juga dikarenakan semakin tingginya angkatan kerja yang bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja indonesia (TKI). Tingkat kemiskinan tahun 2010 diharapkan juga terus mengalami penurunan. Tercatat jumlah penduduk miskin tahun 2010 sebesar 31,02 juta orang atau sebesar 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 1,51 juta orang bila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 yang sebesar 32,53 juta orang atau sebesar 14,15 persen dari total penduduk. Sementara itu, di daerah perdesaan penduduk miskin berkurang 0,69 juta orang, dari 20,62 juta orang menjadi 19,93 juta orang sedangkan di daerah perkotaan, penduduk miskin berkurang 0,81 juta orang, dari 11,91 juta orang menjadi 11,10 juta orang. Tekanan inflasi mulai terlihat seiring dengan membaiknya kegiatan ekonomi global dan domestik. Dari faktor luar negeri, imported inflation mulai meningkat sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia. Sementara itu, dari dalam negeri, naiknya harga beras, terganggunya distribusi dan pasokan beberapa komoditas pangan khususnya bumbubumbuan, yang antara lain sebagai akibat pengaruh perubahan cuaca serta meningkatnya ekspektasi inflasi, telah memicu kenaikan laju inflasi. Meskipun terjadi deflasi pada bulan Maret tahun 2010 sebesar 0,14 persen (m-t-m), inflasi selama periode Januari-Juli tahun 2010 cenderung meningkat. Dalam periode tersebut, inflasi bulanan tertinggi terjadi pada Juli tahun 2010 yaitu sebesar 1,57 persen (m-t-m). Dengan perkembangan tersebut, inflasi kumulatif dan inflasi tahunan sampai bulan Juli tahun 2010 masing-masing menjadi sebesar 4,02 persen (y-t-d) dan 6,22 persen (y-o-y), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing sebesar 0,66 persen (y-t-d) dan 2,71 persen (y-o-y) (lihat Grafik II.34). Bila dilihat dari komponen yang membentuk inflasi, kenaikan laju inflasi tahun 2010 secara tahunan terutama dipicu oleh meningkatnya harga bergejolak (volatile foods). Pada Juli 2010, inflasi tahunan komponen volatile foods meningkat mencapai 16,18 persen (y-o-y), tertinggi sejak bulan November tahun Kenaikan tersebut didorong oleh meningkatnya II-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

61 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II 20,0 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 GRAFIK II.34 PERKEMBANGAN INFLASI SAMPAI DENGAN JULI 2010 (y-o-y, persen) Inflasi yoy inflasi mtm (RHS) 9,5 8,5 7,5 6,5 5,5 4,5 3,5 2,5 1,5 0,5-0,5 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Sumber: Badan Pusat Statistik harga komoditas pangan seperti beras, cabe merah, cabe rawit dan lain-lain. Sementara itu, komponen inflasi inti (core inflation) juga mengalami kenaikan mencapai 4,15 persen (y-o-y), meskipun kenaikan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata historisnya. Komponen inflasi harga diatur Pemerintah (administered prices) juga mengalami peningkatan mencapai 3,74 persen (y-o-y), tertinggi sejak bulan Agustus Peningkatan inflasi komponen ini antara lain dipicu oleh pemberlakuan kebijakan kenaikan TDL dan pembayaran uang sekolah. Nilai tukar rupiah yang cenderung stabil dan minimnya kebijakan Pemerintah di bidang harga diharapkan dapat meredam tingginya laju inflasi pada semester II tahun 2010 (lihat Grafik II.35). Berdasarkan kelompok pengeluaran, sampai dengan bulan Juli tahun 2010 hampir seluruh kelompok pengeluaran memberikan kontribusi terhadap kenaikan inflasi tahunan, dengan 15,0 GRAFIK II.35 PERKEMBANGAN INFLASI TAHUNAN BERDASARKAN KOMPONEN, (y-o-y, persen) 10,0 5,0 0,0-5,0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul -10,0 Sumber:Badan Pusat Statistik Inti Diatur Pemerintah Bergejolak Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-29

62 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, dan kelompok sandang mengalami kenaikan terbesar. Naiknya harga beberapa komoditas pangan antara lain dipicu oleh terganggunya pasokan dan distribusi akibat perubahan cuaca, telah memicu kenaikan kelompok bahan makanan sebesar 14,14 persen (y-o-y) dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 8,24 persen (y-o-y). Di sisi lain, kenaikan permintaan pakaian memasuki tahun ajaran baru telah memicu kenaikan kelompok sandang sebesar 5,19 persen (y-o-y). Sementara itu, selama bulan Juli tahun 2010, kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan, dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga mengalami peningkatan cukup signifikan masing-masing sebesar 1,51 persen dan 0,86 persen (m-t-m). Kenaikan kelompok transportasi sebagai dampak meningkatnya tarif jasa perpanjangan STNK. Kebijakan Pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) serta meningkatnya permintaan akan barang dan jasa terkait dengan faktor musiman seperti hari besar keagamaan nasional (puasa, lebaran, natal, dan tahun baru) kiranya patut diwaspadai karena dapat memicu kenaikan laju inflasi pada beberapa bulan mendatang. Di sisi lain, kemungkinan penguatan nilai tukar rupiah pada periode yang sama diharapkan dapat menghambat meningkatnya laju inflasi. Di samping itu, kerja sama antara Pemerintah dan Bank Indonesia yang semakin baik diharapkan dapat menjaga tersedianya pasokan dan terjaminnya distribusi kebutuhan pokok di tengah masyarakat. Dengan memperhatikan potensi risiko laju inflasi beberapa bulan mendatang dan mempertimbangkan kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia, maka sampai akhir tahun 2010 laju inflasi diupayakan masih dalam batas rentang sasarannya. Proses pemulihan ekonomi global dan semakin membaiknya fundamental ekonomi domestik yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan ekspor dan investasi telah mendorong apresiasi rupiah pada tahun Sentimen positif penguatan rupiah juga ditopang oleh (USD miliar) 85,0 80,0 75,0 70,0 65,0 60,0 55,0 50,0 45,0 40,0 35,0 GRAFIK II.36 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN CADANGAN DEVISA, Rata-rata S.I = Rp11.082/USD Rata-rata S.II-2009 = Rp9.733/USD Rata-rata S.I = Rp9.193/USD (Rp/USD) Cadangan Devisa Sumber : Bank Indonesia Nilai Tukar Rupiah (RHS) II-30 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

63 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II meningkatnya arus modal masuk terkait dengan masih menariknya perbedaan suku bunga domestik dengan suku bunga internasional dan meningkatnya rating Indonesia satu notch di bawah investment grade. Hal tersebut tercermin dari meningkatnya cadangan devisa hingga mencapai USD78,8 miliar pada Juli Selama periode Januari Juli tahun 2010, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai sebesar Rp9.172/USD, mengalami apresiasi 16,19 persen bila dibandingkan dengan nilainya pada periode yang sama tahun 2009 sebesar Rp10.944/USD. Hingga akhir tahun 2010, nilai tukar rupiah diperkirakan relatif stabil yang didukung oleh surplus baik pada neraca transaksi berjalan (current account) maupun pada neraca transaksi modal dan finansial (capital and financial account). Dengan perkembangan tersebut, rata-rata nilai tukar rupiah pada sepanjang tahun 2010 diperkirakan sekitar Rp9.200/USD. Laju inflasi yang relatif terkendali pada bulan Januari-Juli tahun 2010 menjadi pertimbangan Bank Indonesia untuk tetap mempertahankan suku bunga BI rate pada level 6,50 persen. Dengan perkembangan tersebut, selama bulan Januari-Juli tahun 2010 rata-rata suku bunga SBI 3 bulan adalah 6,58 persen, atau lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasi ratarata suku bunga SBI 3 bulan pada periode yang sama tahun 2009 yang sebesar 8,29 persen. Dengan memperhatikan proses pemulihan perekonomian dunia secara umum yang masih terus berlanjut serta mulai meningkatnya laju inflasi pada bulan Agustus-Desember tahun 2010, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan dalam tahun 2010 diperkirakan akan dapat dipertahankan pada kisaran 6,5 persen. Sementara itu, dalam upaya meningkatkan pendalaman pasar keuangan (financial deepening) dan efektivitas operasi moneter, pada bulan Maret tahun 2010 Bank Indonesia mulai melakukan perubahan waktu jadwal lelang (profil jatuh tempo) SBI. Lelang SBI yang semula dilakukan setiap satu minggu sekali diubah menjadi sebulan sekali. Pelaksanaan kebijakan ini efektif diberlakukan pada bulan Juni tahun 2010, sehingga dalam masa transisi selama tiga bulan dari bulan Maret-Juni tahun 2010, lelang SBI secara bertahap yang masih dilaksanakan mingguan akan menjadi dwi-mingguan dan kemudian menjadi bulanan. Kebijakan Bank Indonesia untuk mengubah jadwal lelang SBI mulai berdampak terhadap pergeseran dana dari SBI bertenor 1 dan 6 bulan ke SBI 3 bulan. Sampai dengan bulan Juni 2010, dari total dana SBI sebesar Rp269,65 triliun dana yang ditempatkan pada SBI 3 bulan sebesar 59,0 persen atau Rp159 triliun dan sisanya ditempatkan pada SBI 1 dan 6 bulan (lihat Grafik II.37). Dilihat dari sisi kepemilikannya, porsi kepemilikan asing di SBI juga mengalami peningkatan. Sampai dengan bulan April tahun 2010, kepemilikan asing di SBI mencatat angka tertinggi, yaitu sebesar Rp82,9 triliun atau 24,14 persen dari total dana SBI. Namun, pada bulan Mei tahun 2010, kepemilikan asing mengalami penurunan menjadi Rp36,35 triliun atau 12,16 persen dari total dana SBI. Pada bulan Juni tahun 2010, porsi kepemilikan asing kembali mengalami peningkatan sebesar Rp5,4 triliun menjadi Rp41,81 triliun (lihat Grafik II.38). Sebagai kelanjutan dari kebijakan perpanjangan profil jatuh tempo (maturity profile) SBI, pada tanggal 15 Juni 2010 Bank Indonesia kembali mengeluarkan kebijakan berupa penguatan manajemen moneter dan pengembangan pasar keuangan. Dalam kebijakan tersebut, akan diterapkan minimum one month holding period SBI mulai tanggal 7 Juli 2010, dan penerbitan SBI berjangka waktu 9 bulan dan 12 bulan, masing-masing mulai minggu kedua bulan Agustus tahun 2010 dan minggu kedua bulan September tahun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-31

64

65 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Dengan pelonggaran aturan tersebut, cost of capital dalam penerbitan obligasi korporasi akan semakin murah, dan partisipasi pembiayaan bank melalui pasar modal akan bertambah. Sedangkan bagi masyarakat, ketentuan ini akan meningkatkan akses dalam mendiversifikasi pilihan investasi di pasar modal. Di sisi lain, dengan semakin beragamnya pilihan obligasi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memperkuat kondisi pasar finansial di Indonesia. Hal tersebut disebabkan dana yang terhimpun melalui obligasi merupakan dana jangka panjang yang relatif tidak rentan terhadap berbagai risiko. Salah satu yang mendukung tetap tingginya prospek emisi obligasi di Indonesia adalah dinaikkannya rating utang Pemerintah oleh Standard and Poors menjadi BB dengan outlook stabil pada bulan Februari tahun Dengan terus membaiknya perekonomian domestik, Indonesia berharap dapat menjadi investment grade dalam beberapa tahun ke depan, sehingga biaya bunga penerbitan surat utang negara dapat ditekan. Prospek obligasi juga masih diuntungkan oleh kondisi perbankan yang dinilai belum maksimal dalam melakukan fungsinya sebagai institusi intermediasi karena masih tingginya tingkat bunga kredit yang disalurkan, walaupun tingkat suku bunga SBI stabil di level 6,5 persen. Kondisi inilah yang membuat perusahaan dan negara lebih memilih mencari sumber pembiayaan melalui pasar surat utang. Nilai emisi obligasi negara tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp175 triliun (gross), naik 21 persen (y-o-y) dari tahun 2009 yang sebesar Rp144,54 triliun. Sementara itu, nilai emisi obligasi negara (net) tahun 2010 sebesar Rp104,37 triliun, meningkat 5 persen (y-o-y) dari tahun 2009 yang sebesar Rp99,3 triliun. Obligasi Pemerintah yang jatuh tempo tahun 2010 mencapai sekitar Rp61 triliun. Meningkatnya ekspektasi inflasi dan suku bunga, serta meningkatnya emisi obligasi Pemerintah akan memicu kenaikan yield obligasi pada tahun ini. Namun di lain pihak, seiring dengan terus membaiknya perekonomian global dan peringkat utang Indonesia, diperkirakan minat beli investor asing pada obligasi Pemerintah RI akan tetap terjaga. Sampai akhir tahun 2010, dana asing diperkirakan masih akan mengalir masuk, yang disebabkan oleh adanya selisih imbal hasil US treasury bonds dan SUN Indonesia yang masih cukup lebar. Per 7 Juli 2010, selisih nilai imbal hasil (yield spread) antara US treasury bonds 10Y dengan SUN 10Y adalah sebesar 5,28 persen. Permintaan minyak dunia yang tinggi pada tahun 2009 diperkirakan akan terus berlangsung pada tahun Sejalan dengan meningkatnya permintaan minyak dunia tersebut, harga minyak mentah dunia WTI pada tahun 2010 diperkirakan akan berada pada level Juta barrel/hari GRAFIK II.39 PERKEMBANGAN PERMINTAAN, PENAWARAN, DAN HARGA MINYAK DUNIA, JANUARI-JULI 2010 Jan-10 F M A M J J 90,0 84,0 78,0 72,0 66,0 Permintaan Penawaran WTI Brent ICP Sumber : Blommberg USD/barrel Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-33

66 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 USD79 per barel atau naik sekitar 28 persen dari rata-rata tahun 2009 yang sebesar USD61,7 per barel. Harga minyak mentah Indonesia pada tahun 2010 juga diperkirakan akan mengalami peningkatan. Sampai dengan tujuh bulan pertama tahun 2010, rata-rata harga minyak mentah Indonesia ICP sebesar USD77,4 per barel, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2009 yang sebesar USD53,5 per barel. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata harga minyak tahun 2010 diperkirakan mencapai USD80 per barel. Sementara itu, realisasi lifting minyak sampai bulan Juni 2010 (periode Desember 2009 Juni 2010) sebesar 0,961 juta barel per hari, lebih tinggi bila dibandingkan dengan lifting pada periode yang sama tahun sebelumnya yang GRAFIK II.40 LIFTING MINYAK INDONESIA JANUARI-JUNI 2010 (ribu barel/hari) Des-09 Jan-10 F M A M J Sumber : Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan sebesar 0,945 juta barel per hari. Lifting minyak dalam tahun 2010 (periode Desember November 2010) diperkirakan sebesar 0,965 juta barel per hari (lihat Grafik II.40). Berbagai perkembangan ekonomi global dan harga komoditas internasional terutama minyak pada tahun 2010 dapat mempengaruhi besaran-besaran yang terdapat dalam neraca pembayaran. Kinerja neraca pembayaran dalam tahun 2010 diperkirakan masih cukup baik, yang ditopang oleh perbaikan kinerja ekspor dan aliran modal masuk, walaupun pada saat yang sama, impor juga diperkirakan meningkat. Perbaikan kinerja ekspor terkait dengan kembalinya ekonomi dan volume perdagangan dunia ke jalur pertumbuhan positif. Sejalan dengan itu, ekspor diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 24,2 persen menjadi USD148,7 miliar. Di sisi lain, meningkatnya kegiatan ekonomi dan investasi yang cukup tinggi akan mendorong peningkatan impor bahan baku dan barang modal. Dalam tahun 2010, impor diperkirakan meningkat cukup signifikan yaitu sebesar 35,2 persen menjadi USD114,1 miliar. Dengan kondisi tersebut, neraca perdagangan diperkirakan mengalami surplus USD34,6 miliar. Sementara itu, defisit neraca jasa-jasa diperkirakan mencapai USD16,0 miliar, lebih tinggi sekitar 13,1 persen bila dibandingkan dengan defisit tahun 2009, terutama akibat meningkatnya angkutan impor (freight) dan pengeluaran jasa-jasa lainnya. Defisit neraca pendapatan diperkirakan mencapai USD17,6 miliar, lebih tinggi 16,0 persen bila dibandingkan dengan defisit pada tahun Sedangkan neraca transfer diperkirakan surplus USD5,0 miliar atau naik 2,0 persen bila dibandingkan dengan surplusnya pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya transfer dari tenaga kerja Indonesia (TKI). Dengan kondisi tersebut, transaksi berjalan pada tahun 2010 diperkirakan mengalami surplus USD6,1 miliar. Neraca modal dan finansial tahun 2010 diperkirakan mengalami surplus sebesar USD12,9 miliar, lebih tinggi bila dibandingkan dengan surplus tahun 2009 sebesar USD3,5 miliar. Kenaikan surplus neraca modal dan finansial ini ditopang oleh kenaikan surplus neraca sektor publik dan perbaikan kinerja pada sektor swasta yang berubah dari defisit menjadi surplus. Bertambahnya penarikan utang mengakibatkan neraca sektor publik tahun 2010 naik 8,5 persen dari tahun Iklim investasi yang semakin baik dan pulihnya likuiditas di pasar keuangan global diperkirakan mendorong masuknya penanaman modal asing II-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

67 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II sehingga kinerja neraca sektor swasta mengalami perbaikan dari defisit USD7,6 miliar pada tahun 2009 menjadi surplus USD0,8 miliar pada tahun Membaiknya kondisi neraca pembayaran yang tercermin pada peningkatan cadangan devisa diharapkan mampu mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi domestik. Cadangan devisa dalam tahun 2010 diperkirakan mencapai USD83,2 miliar. 2.3 Tantangan dan Sasaran Kebijakan Ekonomi Makro Tantangan Kebijakan Ekonomi Makro Perekonomian Dunia dan Regional Pemulihan ekonomi diperkirakan akan berlanjut hingga tahun Membaiknya pertumbuhan ekonomi dan daya beli yang berlangsung saat ini, serta masih berlanjutnya stimulus ekonomi akan mampu memberikan dorongan positif di sisi permintaan. Selanjutnya, aktivitas perdagangan antar negara juga akan terus meningkat, yang akan memberikan dorongan tambahan bagi pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara yang bermitra dagang. Di sisi lain, perbaikan arus likuiditas internasional serta peningkatan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha turut menciptakan iklim ekonomi yang lebih kondusif. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun sebelumnya, perekonomian negara-negara maju di kawasan Eropa pada tahun 2011 diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi. Di kawasan Eropa, perekonomian Jerman akan tumbuh sebesar 1,6 persen, Inggris 2,1 persen, dan Perancis 1,6 persen. Dengan dukungan pertumbuhan negara-negara maju tersebut, kawasan Eropa secara keseluruhan diperkirakan akan tumbuh hingga 1,3 persen. Sementara itu, di kawasan Asia seperti, Jepang dan Korea, pada tahun tersebut diproyeksikan masing masing tumbuh sebesar 1,8 persen dan 5,0 persen. Demikian pula, negara maju di benua Amerika juga masih akan tumbuh walau tidak setinggi pada tahun Amerika Serikat akan tumbuh sebesar 2,9 persen, sedangkan Kanada tumbuh sebesar 2,8 persen. Pertumbuhan tahun 2011 di negara-negara maju Asia dan Amerika tidak setinggi pertumbuhan pada tahun 2010, lebih disebabkan oleh perhitungan landasan pertumbuhan tahun 2010 terhadap periode kontraksi ekonomi tahun Laju pemulihan ekonomi global tahun 2011 masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain masih terdapat ancaman krisis baru yang dihadapi beberapa negara Eropa, seperti Portugal, Italia, Yunani (Greece), dan Spanyol (PIGS). Berbagai upaya secara individual dan dalam kerja sama antarnegara telah dilaksanakan untuk mengantisipasi potensi krisis tersebut, yang bersumber pada defisit anggaran dan peningkatan beban utang Pemerintah di negara-negara tersebut. Dengan berbagai paket kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan dalam menghadapi krisis fiskal, negara PIGS diproyeksikan akan mulai bangkit di tahun Terkecuali Yunani yang diperkirakan masih akan mengalami pertumbuhan negatif yaitu minus 1,1 persen di tahun 2011, tiga negara PIGS lainnya akan meraih pertumbuhan positif. Portugal diperkirakan tumbuh 0,7 persen, Irlandia 1,9 persen, dan Spanyol 0,9 persen. Berdasarkan perkembangan hingga saat ini serta berbagai pertimbangan lainnya, laju pertumbuhan ekonomi global tahun 2011 diproyeksikan mencapai 4,3 persen. Peningkatan pertumbuhan tersebut bersumber dari pertumbuhan negara maju sebesar 2,4 persen dan negara berkembang sebesar 6,4 persen (lihat Tabel II.5). Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-35

68 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Pola pertumbuhan ekonomi global di tahun 2011 diikuti oleh pergerakan aktivitas perdagangan. Sementara itu, pertumbuhan volume perdagangan dunia tahun 2011 diproyeksikan mencapai 6,3 persen, lebih lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun 2010 yaitu sebesar 9,0 persen. Pertumbuhan yang lebih rendah tersebut terutama disebabkan kontraksi aktivitas perdagangan yang cukup dalam di tahun 2009, sehingga terjadi laju pertumbuhan volume perdagangan global yang sangat tinggi di tahun Pemulihan ekonomi global yang diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2011 dengan ditandai oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi, turut mempengaruhi minyak dunia baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran. Suplai minyak dunia diperkirakan akan terus meningkat, yang akan mempengaruhi harga minyak dunia cenderung turun. Selain hal tersebut, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan naiknya harga minyak dunia, antara lain faktor geo politik, yaitu adanya ketegangan dan konflik di negara-negara produsen minyak dunia serta meningkatnya permintaan minyak dunia, sejalan mulai pulihnya perekonomian dunia. Sementara itu, faktor yang menyebabkan stabilnya harga minyak dunia dalam tahun 2011 antara lain cadangan minyak Amerika Serikat dan dunia yang masih berada di atas rata-rata 5 tahun, dan kapasitas cadangan produksi negara-negara OPEC yang turun namun tetap tinggi pada 6 juta barel perhari. Oleh karena itu, EIA (per Juli 2010) memperkirakan harga minyak WTI crude tahun 2011 akan mencapai USD82,5 per barel. Berdasarkan berbagai faktor fundamental tersebut, harga minyak ICP dalam tahun 2011 diperkirakan mencapai sekitar USD80 per barel Perekonomian Domestik TABEL II.5 PERT UMBUHAN PDB & VOLUME PERDAGANGAN 2010 (persen) Pertumbuhan GDP 2010* 2011** Dunia 4,6 4,3 Negara Maju 2,6 2,4 Negara Berkembang 6,8 6,4 Eropa 1,0 1,3 Inggris 1,2 2,1 Perancis 1,4 1,6 Jerman 1,4 1,6 Amerika Serikat 3,3 2,9 Japan 2,4 1,8 Korea 5,7 5,0 China 10,5 9,6 India 9,4 8,4 ASEAN-5 6,4 5,5 Pertumbuhan Volume Perdagangan 2010* 2011** Vol. Perdagangan Barang dan Jasa Dunia 9,0 6,3 Negara Maju 7,7 4,8 Neg. Berkembang 11,5 9,2 */ Angka Sementara **/ Proyeksi Sumber: IMF (WEO) Sejalan dengan perkembangan positif ekonomi global, kinerja perekonomian domestik di sepanjang 2010 juga menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan. Dari sisi ekonomi makro, stabilitas berbagai indikator ekonomi relatif terjaga dengan kecenderungan semakin menguat. Sedangkan dari sisi sektor riil, kinerja berbagai indikator sektor riil seperti konsumsi, investasi, maupun ekspor dan impor juga terus menunjukkan perbaikan dan penguatan yang cukup signifikan. Dengan memperhatikan berbagai perkembangan ekonomi dan keuangan terkini baik secara global maupun domestik, kinerja ekonomi Indonesia di tahun 2011 akan semakin baik dan diperkirakan mampu tumbuh 6,3 persen. Perkiraan ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara ASEAN-5 yang sebesar 5,5 persen. II-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

69 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Dalam rangka mempertahankan momentum penguatan ekonomi sekaligus meningkatkan performa ekonomi di tahun 2011, Indonesia perlu mewaspadai dan mengantisipasi berbagai tantangan di tahun depan. Adapun tantangan mendasar yang mungkin muncul di tahun 2011 antara lain adalah peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan serta terjaganya stabilitas ekonomi. Terkait dengan tantangan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi dan mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan, perluasan penyediaan lapangan pekerjaan menjadi sangat penting untuk mengurangi jumlah pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir sudah cukup tinggi dengan rata-rata mencapai 5,6 persen. Bahkan, di tengah kontraksi global pada tahun 2008, Indonesia masih mampu berekspansi dengan baik. Namun, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode tersebut dianggap masih belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat. Jumlah pengangguran per Februari 2010 sebesar 8,59 juta orang (7,4 persen) dan tingkat kemiskinan per Maret 2010 mencapai 31,02 juta orang (13,3 persen) perlu terus diturunkan. Untuk memenuhi harapan tersebut, pada tahun 2011 Pemerintah akan berusaha mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan mampu membuka lapangan kerja baru, serta berdimensi pemerataan. Selain itu, Pemerintah terus berupaya mendorong terciptanya aktivitas ekonomi kreatif agar mampu menciptakan lapangan kerja baru yang lebih luas. Dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi, terdapat tantangan baik yang berasal dari sisi eksternal maupun internal. Salah satu tantangan dari sisi eksternal adalah potensi gejolak moneter internasional sebagai dampak ketidakseimbangan global (global imbalances) dan kecenderungan terus meningkatnya harga minyak dunia. Hal ini pada gilirannya berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan kesinambungan fiskal. Sedangkan, dari sisi internal, tantangan yang dihadapi dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi adalah menjaga ketersediaan bahan pokok kebutuhan masyarakat melalui peningkatan produksi dan penyempurnaan sistem distribusi. Selain itu, tantangan lainnya yang berpotensi menghadang di tahun 2011 diantaranya adalah menjamin kesinambungan pelaksanaan program reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan angka partisipasi masyarakat pada pendidikan, khususnya jenjang pendidikan tinggi, meningkatkan ketahanan pangan nasional, menjamin ketersediaan dan keterjangkauan terhadap input dan sarana produksi di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta meningkatkan sinergi antara pusat dan daerah. Tantangan lainnya yang juga tak kalah pentingnya di tahun 2011 mendatang adalah meningkatkan penyediaan infrastruktur baik secara kualitas maupun kuantitas, serta meningkatkan pemanfaatan, ketahanan dan kemandirian sumber energi selain minyak bumi, seperti gas, panas bumi, batubara, dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya. Untuk pemanfaatan, ketahanan, dan kemandirian sumber energi di tahun 2011, kebijakan umum yang akan dilakukan Pemerintah menyangkut tiga hal pokok, yaitu: (1) menjamin keamanan pasokan energi melalui intensifikasi eksplorasi dan optimalisasi produksi minyak dan gas bumi, termasuk gas metana batubara; (2) mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap minyak bumi dengan menganekaragamkan atau diversifikasi energi primer, termasuk memanfaatkan EBT serta energi bersih; dan (3) meningkatkan efisiensi dan konservasi (penghematan) pemanfaatan energi, serta pemerataan penyediaan energi sesuai dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-37

70 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Dengan terdeteksinya berbagai tantangan dan permasalahan di atas, diharapkan kemampuan Pemerintah dalam merumuskan berbagai langkah dan kebijakan antisipatif dapat meningkat, sehingga akan tercipta akselerasi kinerja perekonomian nasional yang mampu memberikan daya dukung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Sasaran Kebijakan Ekonomi Makro Sasaran kebijakan ekonomi makro dalam tahun 2011 meliputi: (1) meningkatnya pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan (2) terjaganya stabilitas ekonomi yang kokoh. Dalam tahun 2011, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai sebesar 6,3 persen, yang didukung oleh meningkatnya investasi dan ekspor nonmigas, dan pulihnya sektor produksi terutama sektor industri dan pertanian. Selain itu, Pemerintah terus berusaha menjaga tingkat konsumsi masyarakat, antara lain melalui terkendalinya laju inflasi dan pemberian subsidi energi (listrik dan BBM). Stabilitas ekonomi diupayakan melalui pengendalian laju inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah. Melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas ekonomi yang terjaga, tingkat pengangguran dan kemiskinan diharapkan akan menurun Pertumbuhan Ekonomi Di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011, Pemerintah telah menetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 sebesar 6,3 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi 2010 yang sebesar 5,9 persen (lihat Grafik II.41). Sasaran tersebut mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan memperhatikan faktor eksternal yang pulih relatif lebih cepat, yang ditandai oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan global. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas GRAFIK II. 41 PERTUMBUHAN PDB, (y-o-y, persen) 6,3 6,0 6,3 5,9 diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi didorong terutama dengan menjaga konsumsi rumah tangga, meningkatkan investasi dan ekspor, serta meningkatkan kinerja industri pengolahan dan pertanian. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Penggunaan Pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2011 diupayakan melalui kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan Pemerintah, investasi (PMTB), serta perdagangan internasional (lihat Tabel II.6). Konsumsi Rumah Tangga Peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2011 dipengaruhi oleh beberapa faktor global dan domestik. Perbaikan kondisi ekonomi global secara umum diperkirakan akan berimbas pada aktivitas dunia usaha dan pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi rumah tangga. Pemerintah menetapkan sasaran pertumbuhan 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0-4, * 2011* * perkiraan Sumber: Badan Pusat Statistik II-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

71 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II konsumsi rumah tangga sebesar 5,1 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun 2010 yang sebesar 5,0 persen. Konsumsi rumah tangga merupakan porsi terbesar dalam struktur PDB Indonesia, tidak terlepas dari terjaganya laju inflasi, nilai tukar rupiah, dan rendahnya suku bunga perbankan yang berpengaruh pada peningkatan daya beli riil masyarakat. Berbagai kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat, serta bantuan sosial bagi masyarakat miskin masih terus diluncurkan oleh Pemerintah untuk mendorong Tabel II.6 SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN PDB PENGGUNAAN, TAHUN 2011 (y-o-y, persen) Penggunaan 2011 Total Konsumsi 5,3 Konsumsi Rumah Tangga 5,1 Konsumsi Pemerintah 6,4 PMTB 10,0 Ekspor 8,3 Impor 9,3 PDB 6,3 Sumber: Kementerian Keuangan peningkatan daya beli masyarakat. Perbaikan kesejahteraan PNS dan pensiunan diberikan melalui kenaikan gaji pokok dan gaji ke-13 bagi PNS/TNI/Polri/Pensiunan. Selain itu, untuk membantu masyarakat miskin, Pemerintah masih tetap akan melanjutkan kebijakannya, antara lain subsidi pangan dalam bentuk raskin, Jamkesmas, PKH, BOS, dan berbagai subsidi lainnya. Konsumsi Pemerintah Pada tahun 2011, konsumsi Pemerintah diperkirakan tumbuh sebesar 6,4 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun sebelumnya sebesar 2,1 persen. Konsumsi Pemerintah diarahkan untuk tetap mendukung anggaran pendidikan, melanjutkan reformasi birokrasi, dan menjaga kesinambungan program kesejahteraan rakyat, yaitu BOS, PNPM, Jamkesmas, raskin dan PKH. Dari sisi belanja pegawai, adanya kelanjutan kebijakan remunerasi untuk beberapa K/L yang telah dan sedang melakukan reformasi birokrasi juga berpengaruh pada konsumsi Pemerintah. Investasi Pada tahun 2011, laju investasi diperkirakan akan tumbuh sebesar 10,0 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan perkiraan realisasinya pada tahun 2010 yang sebesar 8,0 persen. Membaiknya likuiditas keuangan global akan mendorong masuknya aliran modal dari luar negeri sehingga menggerakkan kinerja investasi domestik dan daya saing perekonomian nasional. Untuk meningkatkan investasi, akan dilakukan melalui perbaikan kepastian hukum (reformasi regulasi tingkat nasional dan daerah), penyederhanaan prosedur (penerapan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik/SPIPISE pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu/PTSP di beberapa kota), perbaikan logistik nasional (pengembangan dan penetapan Sistem Logistik Nasional untuk menjamin distribusi barang dan mengurangi ekonomi biaya tinggi), perbaikan sistem informasi (beroperasinya National Single Window/NSW untuk ekspor-impor dan Custom Advanced Trade System/CATS di dry port Cikarang), dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus/KEK (pengembangan KEK di 5 lokasi melalui skema PPP sebelum tahun 2014). Kebutuhan investasi nominal pada tahun 2011 diperkirakan mencapai sebesar Rp2.243,8 triliun. Kebutuhan investasi tersebut akan bersumber dari PMA dan PMDN sebesar 26,8 persen, kredit perbankan sebesar 17,4 persen, pasar modal 16,7 persen, belanja modal Pemerintah 12,4 persen, dan sumber-sumber investasi lainnya (lihat Grafik II.42). Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-39

72 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN GRAFIK II.42 SUMBER-SUMBER INVESTASI TAHUN, 2011 (persen) GRAFIK II.43 PERKEMBANGAN INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (persen) ,8 PMA/PMDN 9,8 Capex BUMN Sumber : Kementerian Keuangan 12,4 Kebutuhan Investasi Rp2.203,9 T 17,4 Belanja Kre dit Modal Perbankan Pe merintah 8,8 Laba Ditahan 16,7 Pasar Modal 8,2 Lainnya 5 5, ,29 3,77 4,18 4, * 2011 * Sumber : Kementerian Keuangan Investasi yang cukup besar tersebut dibutuhkan untuk meningkatkan output nasional dengan cara yang lebih efisien. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) merupakan ukuran yang digunakan dalam menentukan tingkat efisiensi produksi suatu negara. Nilai ICOR yang rendah menunjukkan bahwa investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan output menjadi semakin efisien. Dalam tahun 2010 dan 2011, nilai ICOR diperkirakan masing-masing sebesar 4,32 dan 4,25, yang berarti lebih efisien bila dibandingkan dengan nilai ICOR tahun 2009 yaitu sebesar 5,32 (lihat Grafik II.43). Ekspor-Impor Laju pertumbuhan ekspor-impor pada tahun 2011 diperkirakan akan semakin membaik seiring dengan mulai pulihnya permintaan global dan meningkatnya kebutuhan domestik. Ekspor diperkirakan tumbuh sebesar 8,3 persen, melambat bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun 2010 yang sebesar 12,2 persen. Sementara itu, impor diperkirakan tumbuh 9,3 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhannya pada tahun sebelumnya yang sebesar 15,0 persen. Upaya untuk meningkatkan ekspor ditempuh melalui kebijakan perdagangan luar negeri yang diarahkan pada peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas dan diversifikasi pasar. Strategi yang akan dilakukan antara lain: (1) meningkatkan ekspor nonmigas untuk produk-produk yang mempunyai nilai tambah lebih besar, berbasis pada sumber daya alam, serta permintaan pasarnya yang besar, (2) mendorong ekspor produk kreatif dan jasa terutama yang dihasilkan oleh UKM, (3) mendorong upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor, (4) menitikberatkan upaya perluasan akses pasar, promosi, dan fasilitasi ekspor nonmigas di kawasan Afrika dan Asia, dan (5) mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan dan kerjasama perdagangan internasional yang lebih menguntungkan kepentingan nasional. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor Dalam tahun 2011 Pemerintah akan terus memperkuat daya saing ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi. Dari sisi produksi, sektor yang diharapkan menjadi pendorong utama peningkatan pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri manufaktur. Hal ini dikarenakan sektor industri manufaktur dapat memberikan nilai tambah yang besar. Di luar sektor industri manufaktur, sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih menjadi andalan dalam mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, sektor-sektor lain juga diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. II-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

73 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Melalui Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Pemerintah telah menetapkan kebijakan industri nasional dengan pengelompokan/klaster industri prioritas, yang meliputi: (1) Industri Agro; (2) Industri Alat Angkut; (3) Industri Elektronika dan Telematik; (4) Industri Berbasis Manufaktur; (5) Industri Penunjang Industri Kreatif dan Kreatif Tertentu; dan (6) Industri Kecil dan Menengah Tertentu. Strategi pembangunan sektor industri manufaktur akan diupayakan melalui langkahlangkah peningkatan daya saing dan kebijakan peningkatan iklim usaha, restrukturisasi permesinan, pengembangan kawasan industri khusus, penggunaan produk dalam negeri, pengembangan industri bahan bakar nabati, dan pengembangan standardisasi industri. Dengan strategi dan kebijakan tersebut, laju pertumbuhan sektor industri manufaktur (pengolahan) tahun 2011 diharapkan akan meningkat dan diperkirakan mencapai 4,5 persen. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2011, pembangunan sektor tersebut juga menjadi bagian dari strategi penting pembangunan ekonomi. Dengan kondisi iklim dan musim tanam yang baik serta didukung oleh program peningkatan produksi pangan, produktivitas dan diversifikasi pertanian secara luas, sektor pertanian (termasuk peternakan, perikanan, dan kehutanan) diproyeksikan mampu tumbuh sebesar 3,8 persen. Strategi pembangunan sektor pertanian juga akan diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produktivitas dan kualitas lahan pertanian, bantuan/subsidi bibit/benih dan pupuk, penanganan pasca panen, pendanaan bagi pertanian, pengembangan desa mandiri pangan dan penanganan rawan pangan, serta pembangunan irigasi. Strategi peningkatan produksi pangan tersebut akan didukung dengan penyempurnaan langkah-langkah koordinasi, monitoring, dan evaluasi cadangan pangan dan penanganan pangan strategis. Selain itu, peningkatan pertumbuhan subsektor perkebunan, perikanan, dan kehutanan akan dilakukan melalui peremajaan dan pengembangan perkebunan rakyat (termasuk sumber bahan baku energi alternatif), perikanan, kehutanan, pengembangan hutan tanaman dan hutan tanaman rakyat, serta pengembangan SDM. Sektor lain yang menjadi prioritas pengembangan adalah sektor pengangkutan dan komunikasi yang diperkirakan tumbuh sebesar 12,6 persen pada tahun Pertumbuhan sektor ini terutama didukung oleh pengembangan industri otomotif, perkapalan, kedirgantaraan, dan perkeretaapian serta berbagai prasarana terkait. Pertumbuhan ekonomi menurut sektor secara rinci dapat dilihat pada Grafik II Nilai Tukar ,8 3,6 Pertanian GRAFIK II.44 PERKIRAAN PERTUMBUHAN PDB SEKTORAL TAHUN 2011 (y-o-y, persen) Pemerintah dan Bank Indonesia terus berupaya menjaga volatilitas nilai tukar rupiah melalui penguatan sinergi kebijakan moneter dan fiskal, penerapan kebijakan moneter yang berhati- Pertambangan 4,5 Industri Sumber : Kementerian Keuangan 8,2 8,7 8,3 Listrik, gas, dan air bersih Konstruksi Perdagangan 12,6 Pengangkutan dan Komunikasi 6,4 Keuangan 5,7 Jasa-jasa Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-41

74 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 hati, serta pengawasan lalu lintas devisa. Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga stabilitas nilai tukar dan mencegah volatilitas yang berlebihan, serta menjaga kecukupan cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan kegiatan ekonomi. Di samping itu, peningkatan koordinasi kebijakan, serta peningkatan efektivitas peraturan dan monitoring lalu lintas devisa terus dilakukan untuk menopang kebijakan moneter tersebut. Di tingkat internasional dan regional, komitmen untuk mempercepat pemulihan ekonomi disertai dengan perjanjian kerja sama bidang keuangan seperti currency safety net oleh European Central Bank (ECB) semakin memperkuat upaya pemulihan ekonomi global dan regional. Berdasarkan perkembangan ekonomi domestik dan internasional tersebut, serta memperhatikan kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2011 diperkirakan mencapai rata-rata sebesar Rp9.300/USD Inflasi Peningkatan kegiatan ekonomi diperkirakan dapat terus diimbangi oleh meningkatnya kapasitas produksi seiring dengan membaiknya investasi. Dengan terjaganya tekanan harga dari sisi permintaan dan penawaran, serta semakin baiknya infrastruktur dan lancarnya distribusi bahan kebutuhan pokok masyarakat, laju inflasi diharapkan dapat dikendalikan. Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat utama bagi tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Untuk mencapai kondisi tersebut ditengah kuatnya tekanan inflasi yang bersumber dari berbagai faktor eksternal dan faktor internal, diperlukan kebijakan yang tepat demi terjaganya stabilitas makro ekonomi dan pengendalian inflasi ke depan. Pemerintah senantiasa berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam melakukan sinkronisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter dan sektoral untuk mengendalikan laju inflasi. Berbagai upaya telah dan terus dilakukan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, untuk menjamin tersedianya pasokan dan lancarnya distribusi barang dan jasa. Koordinasi yang komprehensif dan terpadu antara pusat dan daerah serta antara Pemerintah dan Bank Indonesia tersebut diharapkan dapat menjaga kestabilan harga domestik, yang pada akhirnya dapat mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Dengan berbagai kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia tersebut, yang didukung dengan koordinasi yang semakin mantap, serta memperhatikan perkembangan ekonomi domestik dan dunia, inflasi tahun 2011 diperkirakan sebesar 5,3 persen Suku Bunga SBI 3 bulan Relatif stabilnya suku bunga BI rate sepanjang tahun 2010 diperkirakan akan berlanjut di tahun Kondisi ini antara lain didukung oleh faktor internal berupa relatif terkendalinya laju inflasi yang didukung oleh kebijakan fiskal, moneter, serta sektor riil yang terus semakin membaik. Untuk mengendalikan inflasi dan menyerap kelebihan likuiditas, Bank Indonesia juga akan menggunakan instrumen lainnya di luar suku bunga BI rate, yaitu Giro Wajib Minimum perbankan nasional. Dari faktor eksternal, the Fed diperkirakan masih akan tetap mempertahankan suku bunganya yang relatif rendah. Dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal tersebut, serta mempertimbangkan berbagai kebijakan yang akan dilakukan, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan pada tahun 2011 diperkirakan sebesar 6,5 persen. II-42 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

75 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Harga Minyak Pergerakan harga minyak dunia dalam tahun 2011 diperkirakan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor fundamental, baik di sisi permintaan maupun penawaran. Suplai minyak dunia dari negara-negara OPEC maupun non-opec diperkirakan masih akan meningkat. Hal ini merupakan faktor yang akan menurunkan harga minyak dunia pada tahun Cadangan minyak Amerika Serikat dan dunia yang diperkirakan masih berada di atas ratarata 5 tahun, meskipun terdapat kecenderungan menurun, dan kapasitas cadangan produksi negara-negara OPEC yang turun namun tetap tinggi pada 6 juta barel per hari, diperkirakan merupakan faktor yang akan menstabilkan harga minyak dunia pada tahun Faktor geopolitik yaitu ketegangan dan konflik yang masih terjadi di beberapa negara produsen minyak serta peningkatan permintaan minyak dunia akibat perkiraan terus berlanjutnya pemulihan ekonomi dunia merupakan faktor yang dapat meningkatkan harga minyak dalam tahun Sementara itu, EIA (per Juli 2010) memperkirakan harga minyak WTI crude tahun 2011 sebesar USD 82,5 per barel. Berdasarkan perkiraan berbagai faktor fundamental tersebut serta perkiraan harga minyak dunia oleh beberapa lembaga internasional harga minyak mentah ICP dalam tahun 2011 diperkirakan rata-rata sebesar USD80 per barel Lifting Minyak Lifting minyak dalam tahun 2011 diperkirakan akan mencapai 0,970 juta barel per hari, sedikit lebih tinggi dari perkiraan realisasinya dalam tahun 2010 sebesar 0,965 juta barel per hari. Dalam upaya mencapai target tersebut Pemerintah mengupayakan langkah antisipasi untuk mencapai target produksi minyak diantaranya melalui ketentuan untuk tidak mematok cost recovery (biaya pengganti kegiatan eksplorasi dan produksi), pemberian keringanan pajak untuk impor peralatan migas, pengoptimalan produksi dari sumur-sumur minyak yang ditelantarkan, dan komunikasi intensif dengan para kontraktor kontrak kerja sama dalam rangka perbaikan kinerja dalam pencapaian target produksi Neraca Pembayaran Ekonomi global yang semakin pulih, baik di negara-negara berkembang maupun di negaranegara maju, berdampak positif terhadap kinerja Neraca Pembayaran Indonesia. Kondisi ini akan mendorong kenaikan ekspor, tidak hanya ekspor produk berbasis sumber daya alam tetapi juga ekspor produk manufaktur yang memiliki kandungan impor tinggi. Dalam periode yang sama, permintaan domestik diperkirakan juga terus mengalami percepatan sejalan dengan laju pemulihan ekonomi global. Akselerasi permintaan domestik dan pulihnya permintaan dunia akan produk ekspor manufaktur Indonesia yang berkandungan impor tinggi mendorong impor tumbuh lebih cepat dibandingkan ekspor. Sementara itu, transaksi jasa dan pendapatan masih diwarnai oleh defisit yang relatif tinggi sedangkan transaksi transfer berjalan akan mencatat surplus yang cukup tinggi karena pulihnya ekonomi negaranegara yang menjadi tujuan tenaga kerja Indonesia. Dengan kondisi tersebut, surplus transaksi berjalan pada tahun 2011 diperkirakan sebesar USD3,2 miliar. Prospek ekonomi global dan iklim investasi domestik yang membaik akan mendorong kenaikan arus masuk modal berjangka panjang, termasuk PMA, sehingga memperkuat struktur pembiayaan ekonomi dan mengurangi kerentanan terhadap risiko pembalikan modal. Penanaman modal langsung neto akan terus meningkat dan diperkirakan mencapai Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-43

76 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 USD8,1 miliar. Investasi portofolio diperkirakan surplus sebesar USD5,6 miliar. Di sisi lain, defisit komponen neraca modal dan finansial terjadi pada investasi lainnya yang diperkirakan mencapai USD5,6 miliar. Dengan berbagai perkiraan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2011 transaksi neraca modal dan finansial diperkirakan surplus sebesar USD8,3 miliar. Dengan perkembangan tersebut, keseimbangan umum Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2011 diperkirakan mencatat surplus USD11,4 miliar, sehingga jumlah cadangan devisa pada akhir 2011 diperkirakan meningkat menjadi USD94,6 miliar. Proyeksi neraca pembayaran tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel II.7. TABEL II.7 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA, (juta USD) ITEM 2010* 2011* A. TRANSAKSI BERJALAN Neraca Perdagangan Jasa-jasa (15.958) (18.009) 3. Pendapatan (17.561) (18.157) 4. Transfer B. NERACA MODAL DAN FINANSIAL Sektor Publik Neraca modal Neraca finansial Sektor Swasta Neraca modal Neraca finansial C. TOTAL (A + B) D. SELISIH YANG BELUM DIPERHITUNGKAN (263) - E. KESEIMBANGAN UMUM (C + D) Cadangan devisa * Proyeksi Sumber: Bank Indonesia Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran Dari 11 prioritas pembangunan nasional yang dijabarkan dalam RPJMN , terdapat penanggulangan kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kesejahteraan rakyat menuntut tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (inklusif) dan berkeadilan. Tantangan utama pembangunan tahun 2011 adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, yang mampu menciptakan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan. Oleh karenanya, pembangunan ekonomi yang pro growth, pro job, dan pro poor perlu terus dilaksanakan. Cara yang akan ditempuh antara lain memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat, serta meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan juga lembaga keuangan. II-44 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

77 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan, diperlukan penyempurnaan peraturan ketenagakerjaan, pelaksanaan negosiasi tripartit, serta penyusunan standar kompetensi, penempatan, perlindungan, dan pembiayaan tenaga kerja ke luar negeri. Di samping itu, juga perlu dilakukan program-program yang diarahkan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi pro rakyat miskin. Pertumbuhan ekonomi tahun 2011 diperkirakan mencapai sebesar 6,3 persen, yang akan memungkinkan terbukanya lapangan kerja baru, tidak saja bagi para pencari kerja, tetapi juga angkatan kerja baru. Angkatan kerja baru diperkirakan mencapai sebesar 1,8 juta pekerja. Untuk itu, sumber utama pertumbuhan diharapkan berasal dari kegiatan investasi di sektor riil yang banyak menyerap tenaga kerja. Dengan demikian, pengangguran terbuka dapat diturunkan menjadi 7,0 persen tahun Sejalan dengan makin luasnya lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat diharapkan juga akan semakin meningkat dan jumlah penduduk miskin akan semakin menurun. Dengan berbagai program dan kebijakan tersebut, tingkat kemiskinan tahun 2011 diperkirakan menurun pada kisaran 11,5 12,5 persen Kebijakan Ekonomi Makro Fiskal Kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat yang digunakan oleh Pemerintah dalam rangka mencapai sasaran pembangunan nasional. Kebijakan fiskal mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi anggaran untuk tujuan pembangunan, fungsi distribusi pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, dan juga fungsi stabilisasi ekonomi makro dalam rangka mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi perekonomian yang lesu, pengeluaran Pemerintah yang bersifat ekspansif, khususnya belanja barang dan jasa serta belanja modal, dapat memberi stimulasi kepada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya dalam kondisi ekonomi yang memanas akibat terlalu tingginya permintaan agregat, kebijakan fiskal dapat berperan melalui kebijakan untuk menyeimbangkan kondisi permintaan dan penyediaan sumber-sumber perekonomian. Sesuai dengan amanat perundang-undangan, penyusunan kebijakan fiskal (APBN) dalam tahun 2011 mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011 yang membawa tema Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata kelola dan Sinergi Pusat Daerah. Berdasarkan tema RKP tersebut, kebijakan fiskal tahun 2011 ini terutama ditujukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan secara optimal. Selain itu, pembangunan tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan negara, serta adanya konsistensi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, juga menjadi perhatian utama dalam penyusunan kebijakan fiskal di tahun Penyusunan RAPBN tahun 2011 didasarkan pada langkah-langkah optimalisasi sumbersumber pendapatan negara, antara lain melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan dengan tetap mempertimbangkan pemberian insentif pada kegiatan dunia usaha, serta ditopang dengan langkah-langkah reformasi birokrasi perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Selain itu, juga akan dilakukan langkah-langkah untuk terus meningkatkan produksi sumber daya alam, baik migas maupun nonmigas guna meningkatkan penerimaan negara Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-45

78 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 bukan pajak. Di sisi belanja negara, kebijakan alokasi anggaran akan diarahkan untuk melaksanakan program-program pembangunan, guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam RKP 2011, yaitu pembangunan kesejahteraan, perkuatan pembangunan demokrasi, dan penegakan hukum. Peranan terhadap kebijakan fiskal juga diwujudkan dengan menetapkan defisit tahun 2011 pada tingkat 1,7 persen PDB. Kebijakan pengendalian defisit pada tahun 2011 tersebut merupakan salah satu langkah pokok dalam melanjutkan langkah-langkah konsolidasi fiskal dalam mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan. Untuk menutup sasaran defisit dalam tahun 2011, akan diupayakan sumber pembiayaan dari dalam negeri yang didukung sumber pembiayaan luar negeri dengan tetap mempertahankan penurunan rasio utang terhadap PDB secara berkesinambungan (debt sustainability). Untuk mendukung adanya sinergi antara pusat dan daerah, kebijakan transfer ke daerah akan dilakukan melalui penyempurnaan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, penyempurnaan formulasi DAU yang dilakukan secara konsisten dan mengarah kepada fungsi pemerataan kemampuan keuangan daerah, serta penyempurnaan terhadap penerapan kriteria penentuan DAK. Dukungan pendanaan di daerah juga akan dilakukan oleh Pemerintah melalui kebijakan pengalihan dana dekonsentrasi secara bertahap, serta meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerah dengan tetap mempertahankan iklim usaha yang kondusif bagi perekonomian daerah Sektor Riil Perkembangan perekonomian global yang cepat dan dinamis telah mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. Fluktuasi harga komoditi utama dan krisis ekonomi global turut memberikan tekanan pada perekonomian nasional. Di tahun 2011 diperkirakan fase krusial dari krisis ekonomi global sudah terlewati, namun upaya pemulihan ekonomi global masih menyisakan tantangan yang harus dihadapi oleh Pemerintah. Upaya menggerakkan sektor riil sebagai salah satu motor penggerak perekonomian juga masih merupakan tantangan dan hambatan di tahun Kondisi perekonomian global yang masih berada dalam ketidakpastian menyebabkan dukungan kepada sektor riil merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian, Pemerintah telah dan terus akan merancang berbagai program yang diharapkan mampu mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi Beberapa poin penting dari strategi ini dilakukan melalui: (1) peningkatan daya tarik investasi; (2) penguatan daya saing ekspor; (3) revitalisasi industri manufaktur; (4) revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan; (5) peningkatan produktivitas dan kompetensi tenaga kerja; dan (6) peningkatan produktivitas dan akses UKM kepada sumber daya produktif. Selain itu, Pemerintah juga akan melanjutkan kebijakan di bidang infrastruktur melalui pembangunan infrastruktur berkelanjutan, kebijakan bidang usaha kecil dan menengah, kebijakan di bidang industri dan perdagangan, dan kebijakan di bidang energi. Kebijakan bidang usaha kecil dan menengah juga akan dilakukan dengan meningkatkan dan memajukan usaha kecil menengah melalui penambahan akses terhadap modal termasuk perluasan Kredit Usaha Rakyat (KUR), meningkatkan bantuan teknis di bidang II-46 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

79 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II pengembangan produk, pemasaran, pelaksanaan kebijakan pemihakan untuk memberikan ruang usaha bagi pengusaha kecil dan menengah, serta menjaga fungsi, keberadaan,dan efisiensi pasar tradisional. Selain itu, melalui kebijakan industri dan perdagangan, Pemerintah juga akan berusaha untuk mendorong peningkatan daya saing industri nasional, melalui: (1) pembangunan infrastruktur penunjang industri (energi dan pangan); (2) pembangunan industri manufaktur berbasis UKM; (3) peningkatan akses pembiayaan untuk industri manufaktur; (4) pemberian insentif fiskal dan non-fiskal pada industri pioner dan lokasi tertentu; (5) pembukaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK); dan (6) peningkatan kemampuan dan kapasitas SDM serta teknologi untuk menunjang industri agar mampu berkembang dengan optimal. 2.4 Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Kebijakan Fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah salah satu instrumen Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, terkait dengan perannya dalam menyelenggarakan kegiatan perekonomian. Peran tersebut dijabarkan ke dalam 3 fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan antara lain dengan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilitas perekonomian. Dalam hal perekonomian nasional, Pemerintah berkewajiban menyelenggarakannya berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sesuai dengan amanat UUD 1945 Amendemen keempat pasal 33. Sejak dilaksanakannya rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pertama tahun 2005, Pemerintah senantiasa berupaya menjalankan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro growth), mengurangi pengangguran (pro job), dan mengentaskan kemiskinan (pro poor). Tiga pilar pembangunan tersebut menjadi strategi Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan fiskal yang mampu memacu pertumbuhan sektor riil sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan. Stabilitas ekonomi makro diupayakan di antaranya melalui pengendalian tingkat inflasi, nilai tukar yang stabil, suku bunga yang relatif rendah, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Upaya untuk mencapai kesinambungan fiskal ditempuh melalui optimalisasi pendapatan negara, peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, pengelolaan defisit anggaran melalui pembiayaan yang manageable, serta penurunan rasio utang secara bertahap. Secara garis besar ringkasan APBN periode dapat dilihat pada Tabel II.8. Realisasi APBN periode sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian, baik dari dalam maupun luar negeri. Pengaruh dari dalam negeri di antaranya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi hingga tahun 2008 dan pelambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun Sedangkan dari luar negeri, faktor yang sangat berpengaruh adalah krisis energi yang disebabkan oleh melonjaknya harga minyak mentah dunia di akhir tahun 2007 hingga awal tahun Selain itu, di saat kondisi perekonomian dunia masih belum Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-47

80 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Tabel II.8 PERKEMBANGAN REALISASI APBN (triliun rupiah) KETERANGAN A. Pendapatan Negara dan Hibah 495,2 638,0 707,8 981,6 848,7 I. Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 1. Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 Tax Ratio (% thd PDB) 12,7 12,3 12,4 13,3 11,9 2. PNBP 146,9 226,9 215,1 320,6 227,1 II. Hibah 1,3 1,8 1,7 2,3 1,6 B. Belanja Negara 509,6 667,1 757,6 985,7 937,3 I. Belanja Pemerintah Pusat 359,2 440,0 504, ,8 II. Transfer ke Daerah 150,5 226,2 253,3 292,4 308,5 C. Surplus/(Defisit) Anggaran (14,4) (29,1) (49,8) (4,1) (88,6) % thd PDB (0,5) (0,9) (1,3) (0,1) (1,6) D. Pembiayaan 8,9 29,4 42,5 84,1 112,5 I. Pembiayaan Dalam Negeri 19,1 56,0 66,3 97,3 128,1 II. Pembiayaan Luar Negeri (10,3) (26,6) (23,9) (13,2) (15,5) Sumber : Kementerian Keuangan pulih sepenuhnya, di akhir tahun 2008 ekonomi dunia kembali mengalami tekanan akibat terjadinya krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan krisis keuangan global, terutama bagi negara-negara maju. Meskipun demikian, negara-negara berkembang, seperti Indonesia juga merasakan imbas krisis tersebut. Volume ekspor negara berkembang ke negara maju mengalami penurunan, begitu pula dengan aktivitas investasi mengalami kelesuan. Hal tersebut menyebabkan turunnya produktifitas yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya perusahaan yang melakukan rasionalisasi, hingga tidak sedikit yang menghentikan kegiatan usahanya. Krisis energi yang mengakibatkan melonjaknya harga minyak dunia sangat mempengaruhi perekonomian dalam negeri, sehingga Pemerintah perlu melakukan penyesuaian terhadap asumsi makro. Akibat perubahan asumsi makro tersebut, pemerintah mengajukan Rancangan Perubahan APBN relatif lebih cepat pada beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan beberapa pos belanja negara, terutama subsidi bahan bakar minyak dan subsidi listrik. Beberapa parameter yang mendorong terjadinya lonjakan anggaran belanja subsidi, antara lain: (1) kenaikan harga minyak mentah; (2) peningkatan volume konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat; dan (3) lebih rendahnya jumlah konversi minyak tanah ke LPG dari yang direncanakan. Namun peningkatan belanja tersebut dikompensasi dengan meningkatnya pendapatan negara terutama dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) migas dan PNBP sumber daya alam migas. Di samping itu, terdapat pula beberapa pos yang mendapat windfall, diantaranya penerimaan dari laba BUMN dan bea keluar CPO. Untuk mengatasi tekanan beban subsidi, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap harga jual BBM di dalam negeri pada tahun Sementara itu, dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang disebabkan krisis subprime mortgage, Pemerintah telah menempuh kebijakan countercyclical berupa pemberian stimulus fiskal pada tahun 2009, baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi belanja melalui insentif perpajakan, kebijakan untuk penguatan sektor riil dan dukungan II-48 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

81 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II infrastruktur. Program stimulus fiskal tersebut ditujukan untuk: (a) memelihara daya beli masyarakat; (b) menjaga daya tahan perusahaan/sektor usaha dalam menghadapi krisis global; serta (c) meningkatkan daya serap tenaga kerja dan mengurangi PHK melalui kebijakan pembangunan infrastruktur padat karya. Kebijakan countercyclical tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan tingkat defisit agar tidak melampaui batas defisit kumulatif 3 persen dari PDB, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam periode , defisit APBN dapat dijaga pada level kurang dari 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 2007, defisit APBN mencapai Rp49,8 triliun atau 1,3 persen terhadap PDB. Sedangkan pada tahun 2008, defisit APBN mengalami penurunan menjadi Rp4,1 triliun atau 0,1 persen terhadap PDB. Penurunan defisit anggaran dalam tahun 2008 terutama disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja Kementerian/Lembaga (K/L), serta terjadinya lonjakan penerimaan perpajakan yang realisasinya mencapai 13,3 persen terhadap PDB. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88,6 triliun atau 1,58 persen dari PDB. Di sisi kebijakan fiskal, Pemerintah berupaya untuk terus memacu peningkatan pendapatan negara yang masih belum optimal, serta berupaya memantapkan basis perpajakan yang lebih baik. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi pendapatan negara mulai dari tahun 2005 terus mengalami peningkatan. Kinerja yang cukup baik terjadi pada tahun 2008, dimana realisasi pendapatan negara dan hibah meningkat 38,6 persen atau naik Rp273,8 triliun. Sementara itu, realisasi pendapatan negara dan hibah pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 13,5 persen menjadi Rp848,7 triliun. Penurunan tersebut dipengaruhi oleh penurunan realisasi penerimaan perpajakan dan PNBP, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak dari krisis ekonomi dunia. Sumber penerimaan terbesar dari pendapatan negara dan hibah berasal dari penerimaan perpajakan. Pada tahun 2009, kontribusi penerimaan perpajakan tersebut mencapai 73,0 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontribusinya pada tahun 2008 yang hanya sebesar 67,1 persen. Namun, secara nominal penerimaan perpajakan tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5,9 persen. Penurunan penerimaan perpajakan dalam tahun 2009 terutama berasal dari penurunan penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar 48,6 persen. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan kegiatan ekspor dan impor sebesar 9,7 persen dan 15 persen akibat krisis keuangan global. Di samping itu, krisis keuangan global juga sejalan dengan penurunan harga minyak di pasar internasional, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan penerimaan PPh migas sebesar 43,1 persen. Sebaliknya, penerimaan perpajakan nonmigas tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar 4,4 persen. Peningkatan tersebut didukung oleh kebijakan reformasi administrasi perpajakan, langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang berkelanjutan. Realisasi PNBP dalam tahun 2009 mencapai Rp227,1 triliun atau mengalami penurunan 29,1 persen bila dibandingkan dengan realisasi dalam tahun Grafik II.45 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA (triliun Rp) PERPAJAKAN PNBP HIBAH Sumber:Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-49

82 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN Penurunan penerimaan tersebut terutama disebabkan oleh lebih rendahnya penerimaan SDA minyak bumi sebesar 46,7 persen, sebagai dampak dari turunnya harga minyak mentah Indonesia (ICP) di tahun 2009, meskipun lifting minyak mentah mengalami peningkatan. Dalam tahun 2008, rata-rata ICP (Desember 2007 November 2008) mencapai USD101,4 per barel, sedangkan dalam tahun 2009 rata-rata ICP hanya mencapai USD58,5 per barel Pada sisi belanja, komitmen Pemerintah untuk mengimplementasikan tiga strategi pembangunan, yaitu pertumbuhan yang tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan dilakukan secara komprehensif. Strategi pro growth ditempuh dengan meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, di antaranya melalui upaya menarik investasi dan bisnis, serta peningkatan ekspor dengan didukung langkah perbaikan iklim investasi. Strategi pro job dilakukan guna menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Sementara itu, strategi pro poor diarahkan untuk melaksanakan program-program pengentasan kemiskinan, peningkatan daya beli masyarakat, dan perlindungan sosial. Dalam upaya mendukung strategi pembangunan tersebut, pengelolaan belanja negara memegang peranan yang cukup penting dalam rangka mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Selama periode , kebijakan belanja negara utamanya diarahkan pada penajaman alokasi anggaran melalui pengalokasian belanja negara yang lebih produktif, terarah dan tepat sasaran, serta perumusan kebijakan alokasi transfer ke daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan secara nominal selama periode Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja, dilakukan kebijakan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) secara bertahap. Pada sisi lain, Pemerintah tetap menjaga anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari APBN sesuai dengan amanat UUD tahun Di samping itu, kebijakan fiskal juga diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan, baik dari utang maupun nonutang. Di sisi belanja negara, pengelolaan fiskal juga diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu dengan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemenuhan kebutuhan dasar. Pemerintah terus melanjutkan berbagai program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) melalui program-program prioritas diantaranya Askeskin/Jamkesmas, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Subsidi Pangan, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Keluarga Harapan (PKH). BOS diprioritaskan untuk program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Di sisi lain, pemberian bantuan tunai bersyarat melalui PKH dilaksanakan dengan meningkatkan akses rumah tangga miskin terhadap layanan pendidikan dan kesehatan Grafik II.46 PERKEMBANGAN BELANJA NEGARA (triliun Rp) BELANJA NEGARA BELANJA PEMERINTAH PUSAT TRANSFER KE DAERAH Sumber:Kementerian Keuangan II-50 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

83 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Program ini pada tahun 2009 mencakup sekitar RTS di 13 provinsi dengan total dana sebesar Rp1,1 triliun. Selain program-program rutin dalam pemberian bantuan dan perlindungan sosial, terdapat program BLT yang diluncurkan pada tahun 2006 dan 2008 untuk mengurangi bertambahnya beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Sasaran dari penerima BLT adalah sekitar 18,5 juta RTS. Berbagai program pemberdayaan masyarakat yang telah ditempuh tersebut diantaranya diarahkan untuk mengurangi angka kemiskinan. Pada akhir tahun 2009, program ini telah berhasil mengurangi jumlah masyarakat miskin di Indonesia hingga mencapai sekitar 14,2 persen dari total penduduk. Di tengah upaya untuk mengurangi kemiskinan tersebut, Pemerintah juga tetap berupaya memberikan stimulus fiskal, sehingga pertumbuhan ekonomi tetap positif pada level 4,5 persen dalam tahun Untuk mendukung strategi tersebut, Pemerintah menempuh kebijakan countercyclical melalui pemberian stimulus fiskal guna mengurangi dampak krisis yang berakibat pada pelambatan pertumbuhan ekonomi. Stimulus fiskal dilakukan dengan menggunakan instrumen pendapatan dan belanja negara yang antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif perpajakan dan tambahan belanja negara terutama untuk pembangunan infrastruktur. Stimulus fiskal merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) yang diharapkan akan mempengaruhi aktivitas perekonomian dalam jangka pendek. Pada tahun 2009, defisit APBN meningkat menjadi Rp88,6 triliun atau sekitar 1,6 persen terhadap PDB, yang berarti jauh lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi defisit APBN 2008 yang hanya mencapai 0,1 persen PDB. Peningkatan realisasi defisit APBN tahun 2009 tersebut disebabkan oleh kebijakan ekspansi fiskal melalui program stimulus fiskal. Untuk menutup defisit anggaran, kebijakan pembiayaan diprioritaskan pada pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri guna mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri. Kondisi ini terlihat dari proporsi pembiayaan dalam negeri terhadap total pembiayaan yang cenderung meningkat, bahkan telah melebihi proporsi pembiayaan yang bersumber dari luar negeri sejak tahun Hal ini sejalan dengan strategi pemerintah untuk secara konsisten mengembangkan pasar obligasi nasional. Dengan berkembangnya pasar Surat Berharga Negara (SBN) di dalam negeri, maka pemerintah akan lebih fleksibel dalam mencari alternatif sumber pembiayaan yang relatif murah dan berisiko lebih rendah. Dalam lima tahun terakhir, pembiayaan luar negeri neto tercatat negatif, yang berarti bahwa penarikan pinjaman luar negeri lebih rendah dibandingkan dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. Hal ini menunjukkan komitmen Pemerintah untuk mengurangi beban utang luar negeri melalui pembatasan pinjaman luar negeri Kebijakan Fiskal dan Perkiraan Realisasi APBN-P 2010 Tema RKP 2010 adalah Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat. Tema tersebut menjadi pedoman dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2010, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel II.9. Postur APBN-P 2010 tersebut disusun berdasarkan perkembangan pendapatan dan belanja negara, serta pokok-pokok kebijakan fiskal yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-51

84 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan dunia, kondisi perekonomian domestik pada tahun 2010 mulai menunjukkan adanya proses pemulihan. Dalam rangka mempercepat proses pemulihan ekonomi tersebut, Pemerintah tetap memberikan dukungan insentif perpajakan bagi dunia usaha yang diberikan dalam bentuk: (1) penurunan tarif PPh Badan dari 28 persen menjadi 25 persen; (2) pemberian fasilitas penurunan tarif PPh Badan U r a i a n sebesar 5 persen dari tarif normal bagi perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dimiliki oleh publik; dan (3)pemberian subsidi pajak dalam bentuk pajak ditanggung Pemerintah (DTP) yaitu PPN DTP, PPh DTP, dan bea masuk DTP. Khusus di bidang kepabeanan, dukungan fiskal juga diberikan dalam bentuk pemberian insentif untuk sektor perdagangan dan industri dan perbaikan fasilitas kepabeanan. Dukungan fiskal yang diberikan Pemerintah dalam bentuk insentif perpajakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan penerimaan perpajakan. Secara umum, kebijakan perpajakan pada tahun 2010 adalah melanjutkan dan mempertahankan kebijakan-kebijakan tahun sebelumnya antara lain dengan perbaikan administrasi perpajakan dan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pemerintah tetap melakukan berbagai upaya tambahan (extra effort) yang ditujukan untuk optimalisasi penerimaan perpajakan. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan sunset policy yang telah diakhiri pada Februari 2009, Pemerintah melakukan kegiatan yang menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Di bidang kepabeanan cukai, pada tahun 2010 Pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau yang diikuti dengan penyederhanaan golongan batasan produksi dan menaikkan tarif cukai Etil Alkohol (EA) dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), serta pengenaan bea keluar atas biji kakao. Dengan didukung berbagai kebijakan tersebut di atas, Pemerintah memperkirakan penerimaan perpajakan dalam APBN-P tahun 2010 mencapai Rp743,3 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan penerimaan tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp123,4 triliun atau 19,9 persen. Sumber utama peningkatan penerimaan tersebut diharapkan dari pajak penghasilan (PPh) dan cukai, yaitu masingmasing sebesar 14,7 persen dan 8,0 persen. Dengan kenaikan penerimaan perpajakan tersebut, tax ratio dalam tahun 2010 diperkirakan sebesar 11,9 persen. Pada sisi lain, kebijakan di bidang PNBP yang ditempuh dalam tahun 2010 antara lain adalah optimalisasi penerimaan SDA terutama dari migas, peningkatan kinerja BUMN, dan optimalisasi PNBP dari K/L. Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan untuk mengamankan target PNBP yang diperkirakan mencapai Rp247,2 triliun. Apabila dibandingkan dengan pencapaian di tahun 2009, perkiraan PNBP pada dalam APBN-P 2010 mengalami kenaikan sebesar Rp20,0 triliun atau 8,8 persen. Peningkatan tersebut terutama berasal dari kenaikan APBN APBN-P % thd APBN-P A. Pendapatan Negara dan Hibah , ,8 104,5 I. Penerimaan Dalam Negeri , ,3 104,5 1. Penerimaan Perpajakan , ,9 100,1 2. PenerimaanNegara Bukan Pajak , ,4 120,3 II. Hibah 1.506, ,5 125,9 B. Belanja Negara , ,4 107,5 I. Belanja Pemerintah Pusat , ,5 107,8 II. Transfer ke Daerah , ,9 106,9 C. Surplus / (Defisit Anggaran) (98.010,0) ( ,7) 136,5 D. Pembiayaan , ,7 136,5 I. Pembiayaan Dalam Negeri , ,2 124,1 II. Pembiayaan Luar Negeri (9.881,5) (155,5) 1,6 Sumber : Kementerian Keuangan Tabel II.9 RINGKASAN APBN TAHUN 2010 (triliun rupiah) II-52 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

85 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II penerimaan SDA minyak dan gas bumi sebesar 20,7 persen, yaitu dari Rp125,8 triliun menjadi Rp151,7 triliun sebagai akibat kenaikan harga ICP dari USD61,6 per barel menjadi USD80 per barel. Di sisi belanja negara, kebijakan belanja negara merupakan salah satu transmisi untuk melaksanakan program-program prioritas pembangunan, baik di pusat maupun di daerah. Pada tahun 2010, kebijakan belanja negara terutama diprioritaskan pada (1) peningkatan kesejahteraan pegawai; (2) mendukung operasional pemerintahan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik; (3) mendukung peningkatan infrastruktur; (4) perlindungan sosial bagi masyarakat miskin; dan (5) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dan antardaerah. Sesuai dengan tujuan tersebut, belanja negara dalam APBN-P 2010 diperkirakan akan mencapai Rp1.126,1 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi belanja di tahun 2009, perkiraan di tahun 2010 tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp188,8 triliun atau 18,0 persen. Peningkatan tersebut terutama ditujukan untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa, serta mempercepat pelaksanaan program prioritas pembangunan nasional sebagai bentuk komitmen Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi pengangguran, serta menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional yang lebih baik. Peningkatan pada belanja negara terutama berasal dari kenaikan belanja Pemerintah pusat yang diperkirakan mencapai Rp781,5 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasinya di 2009, belanja Pemerintah pusat mengalami kenaikan Rp152,7 triliun atau 24,3 persen. Perkiraan kenaikan tersebut dipengaruhi antara lain: (1) kebijakan Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa, yaitu dengan mempertahankan harga BBM, penyesuaian yang lebih rendah terhadap rencana kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk dan tarif daya listrik; (2) kenaikan subsidi harga beras akibat penyesuaian harga pembelian pemerintah (HPP) beras serta penambahan volume alokasi beras bersubsidi kepada rumah tangga sasaran; dan (3) penambahan anggaran belanja untuk program-program prioritas dan mendesak. Sementara itu, dalam APBN-P tahun 2010 transfer ke daerah diperkirakan mencapai sebesar Rp344,6 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi 2009, jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp36,0 triliun atau 11,7 persen. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan dana bagi hasil (DBH) ke daerah dalam rangka mendukung penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah. Langkah strategis tersebut ditempuh guna mendukung percepatan pemerataan pembangunan dan perluasan kesempatan kerja di daerah, serta mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal. Berdasarkan pendapatan dan belanja negara tersebut, defisit anggaran diperkirakan akan mencapai 2,1 persen terhadap PDB, lebih tinggi dari realisasinya dalam tahun 2009 sebesar 1,6 persen terhadap PDB. Lebih tingginya defisit tersebut terutama disebabkan oleh ekspansi fiskal Pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Guna menutup defisit APBN tersebut, Pemerintah memprioritaskan pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri. Dalam APBN-P tahun 2010, pembiayaan diperkirakan mencapai Rp133,7 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2009, APBN-P tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp21,2 triliun atau 18,8 persen. Penyesuaian pembiayaan dalam tahun 2010 dilakukan untuk mengantisipasi perubahan defisit di tahun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-53

86 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN Dalam rangka mendorong semangat kemandirian dalam pembiayaan defisit, pemerintah berupaya menurunkan rasio utang terhadap PDB hingga menjadi sekitar 27,8 persen di akhir tahun Asumsi Dasar RAPBN Tahun 2011 Proyeksi perekonomian nasional pada tahun 2011 akan sangat dipengaruhi oleh percepatan perbaikan ekonomi global dan kemampuan dalam mengelola perekonomian nasional ke depan. Proyeksi indikator perekonomian Indonesia dalam tahun 2011 sebagai basis perhitungan RAPBN 2011 dapat dilihat pada Tabel II Kebijakan RAPBN 2011 Tema yang ditetapkan dalam RKP tahun 2011 adalah Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah. Untuk mendukung perencanaan tersebut, pemerintah akan memfokuskan pada tiga langkah utama, yaitu: (a) melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera, (b) memperkuat pilar-pilar demokrasi, dan (c) memperkuat dimensi keadilan di semua bidang. TABEL II.10 ASUMSI EKONOMI MAKRO Indikator Ekonomi 2010 Perk. APBN-P Real Seiring membaiknya perekonomian dunia, berbagai masalah dan tantangan baru akan dihadapi Pemerintah. Tantangan pokok pembangunan tahun 2011 adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, serta mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan secara optimal. Tantangan lainnya yang juga dinilai penting adalah membangun tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan negara. Selain itu, untuk menjaga konsistensi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan sinergi antara pusat dan daerah. Hal ini sangat penting, dalam rangka mengelola pembangunan daerah dan menyediakan pelayanan umum yang terbaik bagi masyarakat di daerah. Arah kebijakan fiskal dalam tahun 2011 adalah untuk mendukung sasaran pembangunan 2011 dalam bentuk: (a) pembangunan kesejahteraan; (b) pembangunan demokrasi; dan (c) penegakan hukum. Ketiga sasaran pembangunan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama, melanjutkan pembangunan menuju Indonesia sejahtera, sasaran di bidang ekonomi akan ditujukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan pada kisaran 6,3 persen, pengendalian tingkat inflasi pada kisaran 5,3 persen, serta penurunan tingkat pengangguran menjadi sekitar 7,0 persen dan kemiskinan menjadi 11,5 sampai 12,5 persen. Sementara itu, sasaran di bidang pendidikan akan ditujukan untuk menurunkan angka buta aksara, meningkatkan angka partisipasi sekolah mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi, serta mengurangi disparitas partisipasi dan kualitas pelayanan pendidikan. Pada 2011 RAPBN 1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,8 5,9 6,3 2. Inflasi (%) 5,3 5,3 5,3 3. Nilai Tukar (Rp/USD) Suku Bunga SBI-3 Bulan (%) 6,5 6,5 6,5 5. Harga Minyak ICP (USD) Lifting Minyak (juta barel/hari) 0,965 0,965 0,97 0 Sumber : Kementerian Keuangan II-54 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

87 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II bidang lainnya, sasaran pembangunan akan ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan, meningkatkan produksi energi dan listrik, serta pembangunan infrastruktur jalan serta jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi; Kedua, sasaran penguatan pembangunan demokrasi akan ditujukan pada peningkatan kualitas demokrasi Indonesia; Ketiga, sasaran penegakan hukum ditujukan pada tercapainya suasana dan kepastian keadilan melalui penegakan hukum dan terjaganya ketertiban umum. Untuk mencapai sasaran pembangunan dalam tahun 2011 tersebut, peran kebijakan fiskal sangat dibutuhkan dengan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber pendapatan negara, pengalokasian belanja negara secara efisien dan efektif dalam melaksanakan program-program pembangunan, serta memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang layak dan berisiko rendah. Peran kebijakan fiskal tersebut diwujudkan dengan menetapkan defisit RAPBN 2011 pada tingkat 1,7 persen terhadap PDB. Hal tersebut didasarkan pada upaya optimalisasi sumber-sumber pendapatan negara, terutama melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan serta ditopang langkah-langkah reformasi birokrasi di bidang perpajakan. Selain kebijakan perpajakan, Pemerintah juga melakukan langkahlangkah untuk terus meningkatkan produksi sumber daya alam, baik migas maupun nonmigas, guna meningkatkan PNBP. Di samping itu, dalam rangka menutup defisit dalam tahun 2011, Pemerintah mengutamakan sumber pembiayaan dari dalam negeri dan mengurangi sumber pembiayaan luar negeri dengan tetap mempertahankan penurunan rasio utang terhadap PDB secara bertahap untuk menjaga kesinambungan fiskal. Dalam tahun 2011, pendapatan negara dan hibah diperkirakan mencapai Rp1.086,4 triliun meningkat sebesar Rp94,0 triliun atau 9,5 persen jika dibandingkan dengan perkiraan di APBN-P 2010 yang sebagian besar didukung oleh penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan dalam tahun 2011 diperkirakan akan mencapai Rp839,5 triliun (12,0 persen terhadap PDB), yang berarti mengalami kenaikan sebesar 12,9 persen dari target APBN-P Untuk mencapai target perpajakan dalam tahun 2011 tersebut, Pemerintah akan tetap melanjutkan upaya perbaikan administrasi perpajakan, melanjutkan program reformasi perpajakan jilid II dan melakukan berbagai upaya tambahan (extra effort). Dalam rangka perbaikan administrasi perpajakan, dilakukan pula pengalihan BPHTB serta PBB sektor perkotaan dan pedesaan menjadi pajak daerah sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam tahun 2011, PNBP diperkirakan akan mencapai Rp243,1 triliun, yang berarti mengalami penurunan 1,7 persen dari perkiraan realisasinya di APBN-P Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh penurunan PNBP sumber daya alam (SDA) yang berasal dari migas dan nonmigas. PNBP SDA Migas diperkirakan sebesar Rp145,3 triliun dan PNBP SDA nonmigas diperkirakan sebesar Rp12,9 triliun. Untuk mencapai target PNBP di tahun 2011, Pemerintah akan mengambil beberapa kebijakan, diantaranya: Pertama, peningkatan pengusahaan migas nasional, penyediaan pasokan migas dan penerapan efisiensi cost recovery migas berdasarkan ketentuan yang ada. Kedua, peningkatan inventarisasi kuasa pertambangan, pengawasan produksi dan penjualan mineral dan batubara secara terpadu, pembuatan patokan harga batubara sebagai acuan oleh KP dan PKP2B, penatausahaan hasil hutan berbasis teknologi informasi, pelaksanaan skema kemitraan antara perusahaan perikanan asing dengan pelaku perikanan domestik, dan peningkatan investasi pengembangan panas bumi dengan dukungan kebijakan fiskal dan nonfiskal. Ketiga, peningkatan kinerja BUMN dan penerapan pay-out ratio yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing BUMN. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-55

88 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Dalam upaya mendukung tujuan pembangunan nasional, belanja negara tahun 2011 diproyeksikan akan mencapai Rp1.202,0 triliun atau meningkat 6,7 persen dari APBN-P Peningkatan belanja negara ini utamanya dipengaruhi oleh peningkatan belanja Pemerintah pusat sebesar 5,4 persen menjadi Rp823,6 triliun, serta peningkatan transfer ke daerah 9,8 persen menjadi Rp378,4 triliun, yang utamanya bersumber dari peningkatan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Alokasi belanja Pemerintah pusat dalam tahun 2011 akan diarahkan antara lain untuk: (1) perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan; (2) pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi; (3) penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintah yang lancar sambil terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; (4) pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui pembangunan infrastruktur untuk domestic connectivity dan pengembangan KEK serta kelancaran distribusi barang, jasa dan informasi; (5) pengalokasian anggaran subsidi yang lebih tepat sasaran; (6) perlindungan sosial kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah; dan (7) pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan meningkatnya belanja pusat, transfer ke daerah juga mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut ditujukan untuk: (i) meningkatkan kapasitas fiskal daerah; (ii) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah serta antar daerah; (iii) menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai pembagian urusan pemerintahan; (iv) meningkatkan kualitas pelayanan publik; (v) mendukung kesinambungan fiskal nasional; (vi) meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (vii) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan (viii) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah. Dalam rangka membiayai defisit RAPBN 2011 sebesar 1,7 persen dari PDB, sumber pembiayaan utama diharapkan berasal dari dalam negeri, baik melalui utang maupun nonutang. Pembiayaan nonutang direncanakan bersumber dari rekening dana investasi dan hasil pengelolaan aset yang dikombinasikan dengan kebijakan dukungan investasi pemerintah, terutama untuk infrastruktur dan pembiayaan UMKM. Pembiayaan utang bersumber dari penerbitan SBN dan 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 GRAFIK II.47 PERKEMBANGAN DEFISIT APBN, (persen terhadap PDB) Sumber : Kementerian Keuangan APBN-P RAPBN pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek. Pembiayaan dalam negeri dalam tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp118,7 triliun, sedangkan pembiayaan luar negeri diperkirakan sebesar minus Rp3,0 triliun. Perkembangan defisit periode dapat dilihat pada Grafik II.47. Meskipun terbatas, Pemerintah terus mengupayakan sumber pembiayaan nonutang, terutama dari rekening dana investasi (RDI) dan hasil pengelolaan aset. Di sisi lain, Pemerintah juga akan terus mendukung pembiayaan infrastruktur dalam bentuk investasi Pemerintah dan fasilitas likuiditas perumahan, serta penjaminan infrastruktur. Selain itu Pemerintah juga akan melanjutkan pembiayaan untuk revitalisasi program kredit usaha rakyat (KUR) guna meningkatkan kapasitas penjaminan. II-56 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

89 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Strategi pengelolaan utang dalam tahun 2011 akan diarahkan melalui: (a) penerapan frontloading strategy secara terukur dalam penerbitan SBN untuk memanfaatkan momentum pasar di awal tahun; (b) penerbitan SBN secara reguler untuk meningkatkan likuiditas pasar sekunder, memberikan certainty dan predictability di pasar keuangan, serta pengembangan pasar; (c) diversifikasi instrumen SBN untuk meningkatkan basis investor dan daya serap pasar; (d) penerapan crisis management protocol dalam rangka menjaga stabilitas pasar surat berharga; serta (e) pengelolaan risiko fiskal utang untuk menurunkan tekanan (exposure) terhadap risiko suku bunga, nilai tukar, dan risiko pembiayaan kembali. Kebijakan fiskal dalam pengelolaan APBN pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai instrumen kebijakan Pemerintah dalam melakukan alokasi, distribusi, dan stabilisasi perekonomian nasional. Kebijakan keuangan negara yang tertuang dalam APBN pada dasarnya memuat rencana kerja dan anggaran Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja ekonomi. Oleh karena itu, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan yang cukup penting dalam rangka mencapai sasaransasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Dalam Tabel II.11 dapat dilihat secara menyeluruh RAPBN Kebijakan Fiskal Kebijakan Alokasi Kebijakan alokasi dalam RAPBN 2011 diarahkan untuk mendukung terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam perekonomian. Kebijakan tersebut dilakukan Pemerintah terutama melalui pengalokasian anggaran belanja negara untuk mendukung penyediaan barang dan jasa secara langsung dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelaksanaan kebijakan alokasi tersebut dilakukan Pemerintah dengan mendukung program-program pembangunan antara lain reformasi birokrasi dan tata kelola, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, peningkatan infrastruktur, tersedianya sumber energi yang memadai, konservasi lingkungan hidup dan pengelolaan bencana, serta mendorong terwujudnya inovasi teknologi. Guna mendukung program-program pembangunan tersebut, pengalokasian pengeluaran di bidang reformasi birokrasi dan tata kelola akan difokuskan terutama untuk: (a) meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN; (b) meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi; dan (c) meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui sinergi pusat dan daerah dan pengembangan data kependudukan yang akurat. Sementara itu kebijakan pengalokasian pengeluaran di bidang pendidikan akan dipusatkan pada upaya: (a) meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas; (b) menurunkan angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas; dan (c) meningkatkan angka partisipasi siswa dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Di bidang kesehatan, kebijakan pengalokasian pengeluaran akan difokuskan pada upaya untuk: (a) meningkatkan pelaksanaan upaya kesehatan masyarakat preventif yang terpadu; (b) meningkatkan jumlah kota yang memiliki rumah sakit standar kelas dunia (world class); (c) meningkatkan persentase ketersediaan obat dan vaksin; serta (d) meningkatkan persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-57

90 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Tabel II.11 RINGKASAN APBN (dalam triliun rupiah) 2010 APBN-P 2011 RAPBN A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 992, ,4 I. PENERIMAAN DALAM NEGERI 990, ,6 1. PENERIMAAN PERPAJAKAN 743,3 839,5 Tax Ratio (% thd PDB) 11,9 12,0 a. Pajak Dalam Negeri 7 20,8 816,4 b. Pajak Perdagangan Internasional 22,6 23,1 2. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK 247,2 243,1 a. Penerimaan SDA 164,7 158,2 b. Bagian Laba BUMN 29,5 26,6 c. PNBP Lainnya 43,5 43,4 d. Pendapatan BLU 9,5 14,9 II. HIBAH 1,9 3,7 B. BELANJA NEGARA , ,0 I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT 7 81,5 823,6 1. Belanja K/L 366,1 410,4 2. Belanja Non K/L 415,4 413,2 II. TRANSFER KE DAERAH 344,6 37 8,4 1. Dana Perimbangan 314,4 329,1 a. Dana Bagi Hasil 89,6 82,0 b. Dana Alokasi Umum 203,6 221,9 c. Dana Alokasi Khusus 21,1 25,2 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 30,2 49,3 C. KESEIMBANGAN PRIMER (28,1) 0,7 D. SURPLUS DEFISIT ANGGARAN (A - B) (1 33,7 ) (1 1 5,7 ) % Defisit Terhadap PDB (2,1) (1,7) E. PEMBIAYAAN (I + II) 133,7 115,7 I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 133,9 118,7 II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto) (0,2) (3,0) Sumber : Kementerian Keuangan II-58 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

91 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Sementara itu untuk bidang infrastruktur, pemerintah akan mengalokasikan pengeluaran dalam rangka: (a) mendukung ketahanan pangan nasional; (b) mengoptimalkan layanan irigasi dan rawa; dan (c) meningkatkan keterhubungan antarwilayah (domestic connectivity) Kebijakan Distribusi Kebijakan distribusi dalam RAPBN 2011 diarahkan untuk pemerataan pendapatan serta pemerataan barang dan jasa pada masyarakat, mendistribusikan kemakmuran dan mewujudkan keadilan guna mengurangi kesenjangan ekonomi dan pembangunan. Di sisi belanja negara, fungsi distribusi dalam RAPBN 2011 ditempuh antara lain melalui program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, program nasional pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Dalam tahun 2011, perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dilakukan antara lain melalui: (1) peningkatan pelayanan sosial dasar bagi masyarakat; (2) pemberian beasiswa untuk siswa miskin; dan (3) subsidi beras untuk rumah tangga sasaran. Untuk mendukung kebijakan distribusi, program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) akan lebih ditujukan untuk: (1) peningkatan keberdayaan masyarakat dan PNPM perdesaan; (2) penanggulangan kemiskinan perkotaan (PNPM perkotaan); (3) percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan; (4) pengembangan usaha agribisnis perdesaan (PUAP); (5) percepatan pembangunan daerah tertinggal; dan (6) pemberdayaan keluarga dan fakir miskin melalui peningkatan keterampilan usaha. Dalam pemberdayaan usaha mikro dan kecil, kebijakan distribusi dilakukan antara lain dengan: (1) penyediaan skema penjaminan kredit UMKM, termasuk KUR; (2) penyediaan dana bergulir untuk kegiatan produktif skala usaha mikro; (3) pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya pelaku usaha perikanan dan masyarakat pesisir; (4) pengembangan agroindustri perdesaan; (5) pengembangan kawasan trasmigrasi kota terpadu mandiri; dan (6) percepatan pembangunan daerah tertinggal. Sementara itu, kebijakan transfer ke daerah dalam tahun 2011 diarahkan untuk: (a) meningkatkan kapasitas fiskal daerah; (b) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah serta antar daerah; (c) menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai pembagian urusan pemerintahan; (d) meningkatkan kualitas pelayanan publik: (e) mendukung kesinambungan fiskal nasional; (f) meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (g) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan (h) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah Kebijakan Stabilisasi Kebijakan stabilisasi diarahkan untuk menjaga dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian sesuai peran pemerintah sebagai stabilisator perekonomian. Dari sisi makro, Pemerintah sebagai otoritas fiskal dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian dilakukan dengan menjaga laju pertumbuhan ekonomi pada level yang cukup tinggi melalui peningkatan kualitas belanja negara. Pada sisi pendapatan, Pemerintah senantiasa mengupayakan peningkatan penerimaan perpajakan untuk membiayai program-program Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-59

92 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 pembangunan. Hal ini dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan dengan tetap menjaga iklim investasi dan kesinambungan dunia usaha. Sementara itu pada sisi belanja, Pemerintah mengupayakan alokasi anggaran untuk mendukung ketahanan pangan dengan: (a) memelihara swasembada beras dan meningkatkan tingkat swasembada bahan pangan utama lainnya untuk mengurangi impor; (b) membangun dan meningkatkan luas layanan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi; (c) menurunkan jumlah penduduk dan daerah yang rawan pangan; dan (d) menjaga stabilitas harga pangan dalam negeri tetap terjangkau. Sedangkan kebijakan stabilisasi melalui subsidi diarahkan antara lain untuk: (1) menjaga stabilitas harga barang dan jasa, (2) memberikan perlindungan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, (3) menjaga daya beli konsumen, dan (4) menjaga ketersediaan barang dan jasa. Adapun pada sisi pembiayaan ditempuh dengan pengelolaan pembiayaan dalam batas yang manageable melalui upaya (a) mencari sumber pembiayaan yang berisiko rendah; (b) menggali sumber pembiayaan dari dalam negeri dan pengurangan pinjaman luar negeri secara bertahap; (c) pemanfaatan pinjaman untuk kegiatan produktif Dampak Makro APBN Pengendalian Defisit Gabungan RAPBN dan RAPBD Dalam melaksanakan fungsi stabilisasi, distribusi, dan alokasi, Pemerintah senantiasa mengarahkan kebijakan fiskal yang ekspansif dan sekaligus melakukan konsolidasi fiskal. Krisis ekonomi global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir telah berpengaruh pada aktivitas sektor swasta dalam perekonomian nasional. Hal tersebut menyebabkan Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk menjamin proses pemulihan dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi agar dapat terus berjalan, diantaranya dengan mendukung pembangunan infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi, menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan. Pada RAPBN 2011, dengan pendapatan negara dan hibah sebesar Rp1.086,4 triliun atau 15,5 persen PDB dan belanja negara sebesar Rp 1.202,0 triliun atau sebesar 17,2 persen PDB, defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp115,7 triliun atau 1,7 persen PDB. Rencana defisit anggaran tahun 2011 tersebut mengalami penurunan bila dibandingkan dengan defisit anggaran pada APBN-P Sejak tahun 2006, besaran defisit mulai agak diperlonggar dengan memberikan ruang fiskal (fiscal space) untuk melakukan ekspansi. Sedangkan pada sisi lain, upaya untuk mengadakan pengendalian defisit tetap dilakukan guna mewujudkan ketahanan fiskal yang berkesinambungan. Adapun upaya Pemerintah untuk melakukan pengendalian dan pemantauan defisit anggaran secara nasional dilakukan melalui pembatasan defisit APBD dan pinjaman daerah setiap tahun oleh Kementerian Keuangan. Sejalan dengan target defisit RAPBN 2011 sebesar 1,7 persen PDB, anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 diperkirakan akan meningkat 9,8 persen menjadi Rp378,4 triliun bila dibandingkan dengan anggarannya pada APBN-P tahun Dengan meningkatnya alokasi transfer ke daerah diharapkan sumber-sumber pendapatan daerah juga akan meningkat. Dengan adanya peningkatan pendapatan daerah dalam APBD, pada tahun 2011 pemerintah daerah juga diharapkan lebih memprioritaskan belanja daerah untuk mendorong peningkatan pembangunan, peningkatan kualitas pelayanan publik serta perbaikan tingkat II-60 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

93 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II Boks II.1 Ruang Fiskal (Fiscal Space) Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar fiscal space yang tersedia, makin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Fiscal space dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja non-discretionary/terikat seperti belanja pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan pengeluaran yang dialokasikan untuk daerah. Penciptaan ruang fiskal (fiscal space), dapat ditempuh melalui beberapa langkah diantaranya sebagai berikut: (a) meningkatkan pendapatan negara baik yang berasal dari penerimaan perpajakan maupun bukan pajak (PNBP); (b) melakukan penajaman prioritas belanja negara, dengan melakukan pemotongan belanja negara yang kurang menjadi prioritas, penurunan belanja subsidi, dan penurunan berkala pembayaran bunga utang; dan (c) meningkatkan efisiensi, dengan melakukan pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas SDM PNS, peningkatan tata kelola yang baik, dan pengurangan biaya-biaya overhead administratif. Fiscal space Indonesia dari tahun dapat dilihat pada grafik berikut. persen ,34 5,40 4,65 4,38 4,80 5,00 4, APBN-P 2011 RAPBN Government Expenditure Non-Discretionary Spending Fiscal Space Sebagaimana terlihat pada grafik di atas, fiscal space Indonesia terus mengalami peningkatan selama periode Fiscal space meningkat dari 4,34 persen dari GDP pada tahun 2005 menjadi 4,88 persen pada tahun 2011, atau rata-rata kenaikan tiap tahun sebesar 0,09 persen terhadap GDP. Peningkatan fiscal space tersebut tidak lepas dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara serta pengendalian belanja negara. Kebijakan Pendapatan Negara. Perkembangan realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode menunjukkan adanya tren kenaikan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 14,0 persen. Pertumbuhan tersebut terjadi baik pada penerimaan dalam negeri maupun hibah yang masing-masing rata-rata tumbuh sebesar 14,0 persen dan 19,2 persen. Secara lebih rinci, dalam periode , pertumbuhan penerimaan dalam negeri didukung oleh pertumbuhan penerimaan perpajakan yang rata-rata tumbuh sebesar 15,9 persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 8,8 persen. Peningkatan realisasi Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-61

94 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 pendapatan negara dan hibah tersebut tidak lepas dari perkembangan kondisi makroekonomi, dan pelaksanaan kebijakan Pemerintah selama periode baik di bidang perpajakan maupun PNBP. Secara umum, kebijakan perpajakan diarahkan untuk terus meningkatkan penerimaan tanpa membebani perkembangan dunia usaha. Dalam hal ini, tiga strategi yang diterapkan Pemerintah adalah dengan melakukan (a) reformasi di bidang administrasi; (b) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; (c) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi; dan (d) peningkatan manajemen sumber daya manusia serta peningkatan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara itu di bidang PNBP, kebijakan yang telah diambil lebih diarahkan untuk mengoptimalkan penerimaan dengan menerapkan kebijakan antara lain: (1) peningkatan produksi/lifting migas; (2) peningkatan kinerja BUMN; (3) melakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan; (4) identifikasi potensi PNBP; dan (5) peningkatan pengawasan PNBP kementerian negara/lembaga Kebijakan Belanja Negara. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ( ), anggaran belanja Pemerintah pusat mengalami peningkatan rata-rata 14,7 persen per tahun, yaitu dari Rp361,2 triliun (13,0 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi sebesar Rp823,6 triliun (11,8 persen terhadap PDB) dalam RAPBN tahun Perkembangan volume anggaran belanja Pemerintah pusat dalam kurun waktu tersebut, di samping dipengaruhi oleh perkembangan berbagai indikator ekonomi makro juga sangat dipengaruhi oleh berbagai langkah kebijakan fiskal di bidang belanja negara yang dilakukan oleh Pemerintah. Beberapa kebijakan tersebut diantaranya: (1) penghematan belanja K/L dengan penajaman prioritas kegiatan dan penundaan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang tidak prioritas; (2) penghematan anggaran belanja subsidi BBM dan subsidi listrik, melalui perbaikan parameter produksi dan berbagai parameter lainnya pada perhitungan subsidi BBM dan subsidi listrik, serta peningkatan efisiensi PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kebijakan penghematan anggaran belanja subsidi ini telah berhasil menurunkan rasio subsidi terhadap belanja Pemerintah pusat dari 33,4 persen dalam tahun 2005 menjadi sekitar 22,4 persen dari rencana anggaran belanja Pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2011; (3) penghematan anggaran transfer ke daerah, khususnya untuk kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan dana infrastruktur sarana dan prasarana; (4) perbaikan proses pengadaan barang/jasa Pemerintah, diutamakan melalui kompetisi dan persaingan sehat; (5) menaikkan alokasi pembiayaan infrastruktur, dari Rp26,1 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp139,4 triliun pada tahun Kebijakan-kebijakan di bidang belanja negara ini telah berhasil menurunkan anggaran non-discretionary spending dan meningkatkan discretionary spending dari 23,6 persen pada tahun 2005 menjadi 29,9 persen pada RAPBN tahun Perkembangan realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode menunjukkan adanya tren kenaikan dengan rata-rata sebesar 14,0 persen. Dalam periode tersebut, kenaikan penerimaan dalam negeri didukung oleh penerimaan perpajakan yang rata-rata meningkat sebesar 15,9 persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 8,8 persen. Dalam kurun waktu yang sama, anggaran belanja Pemerintah pusat mengalami peningkatan rata-rata 14,7 persen per tahun, yaitu dari Rp361,2 triliun dalam tahun 2005 menjadi sebesar Rp823,6 triliun dalam RAPBN tahun Perkembangan volume anggaran belanja negara dalam kurun waktu tersebut, di samping dipengaruhi oleh perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, juga sangat dipengaruhi oleh berbagai langkah kebijakan untuk pengendalian, penajaman, serta peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara. Kebijakan di bidang belanja negara tersebut telah berhasil menurunkan anggaran non-discretionary spending II-62 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

95 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II dan meningkatkan discretionary spending dari 23,6 persen pada tahun 2005 menjadi 29,9 persen pada RAPBN tahun kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk mencapai target-target pembangunan di daerah, total defisit konsolidasi RAPBD tahun 2011 diperkirakan akan sebesar 0,3 persen terhadap PDB. Dengan target defisit RAPBD tahun 2011 tersebut serta target defisit RAPBN 2011 sebesar 1,7 persen terhadap PDB, maka kumulatif defisit RAPBD dan RAPBN tahun 2011 diperkirakan sebesar 2,0 persen terhadap PDB Dampak Ekonomi RAPBN Tahun 2011 APBN merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal Pemerintah untuk mengarahkan perekonomian nasional. Mengingat kebijakan fiskal melalui APBN merupakan bagian integral dari perilaku perekonomian secara keseluruhan, besaran-besaran pada APBN secara langsung maupun tak langsung akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Secara umum, dampak kebijakan APBN terhadap ekonomi makro dapat diamati dari pengaruhnya terhadap tiga hal pokok yaitu: (a) sektor riil; (b) moneter; dan (c) cadangan devisa. Dalam rangka mendorong aktivitas perekonomian, kebijakan anggaran negara mempunyai peranan yang cukup penting terutama pada saat dunia usaha belum sepenuhnya pulih akibat krisis ekonomi. Instrumen kebijakan yang dilakukan Pemerintah melalui APBN, dilakukan baik dari sisi penerimaan maupun sisi belanja. Dari sisi penerimaan, Pemerintah dapat mendorong aktivitas perekonomian melalui kebijakan perpajakan. Sementara itu, dari sisi belanja, alokasi anggaran diharapkan dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Untuk mengetahui dampak besaran APBN pada sektor riil, transaksi pengeluaran APBN dikelompokkan sebagai pengeluaran konsumsi Pemerintah dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB). Dampak APBN terhadap sektor riil dapat dilihat dalam Grafik II ,0 750,0 500,0 250,0-294,2 68,2 226,0 GRAFIK II.48 DAMPAK PADA SEKTOR RIIL (trliun rupiah) 420,7 100,2 460,1 119,6 320,5 340,5 533,3 133,8 613,7 170,1 399,5 443,6 734,3 178,6 819,2 209,0 555,7 610, APBN-P 2010 RAPBN 2011 Sumber : Kementerian Keuangan Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Komponen konsumsi Pemerintah dalam RAPBN 2011 diperkirakan mencapai Rp610,1 triliun atau sekitar 8,7 persen terhadap PDB. Secara nominal, besarnya konsumsi Pemerintah menunjukkan peningkatan 9,8 persen bila dibandingkan dengan konsumsi Pemerintah dalam APBN-P Peningkatan terbesar terjadi pada komponen belanja barang sebesar Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-63

96 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN ,8 persen yang pada tahun 2011 sekitar Rp131,5 triliun (1,9 persen terhadap PDB), lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengeluarannya di tahun Sementara itu, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) Pemerintah dalam RAPBN 2011 mencapai Rp209,0 triliun atau sekitar 3,0 persen terhadap PDB, lebih tinggi 17,0 persen bila dibandingkan dengan APBN-P 2010 sebesar Rp178,6 triliun (2,9 persen terhadap PDB). Sumber utama PMTB Pemerintah dalam tahun 2010 berasal dari belanja modal Pemerintah pusat. Peningkatan belanja modal dalam tahun 2011, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi 2011 yang lebih tinggi. Transaksi keuangan Pemerintah dalam APBN juga berpengaruh terhadap sektor moneter. Transaksi dalam APBN dapat dikelompokkan berdasarkan transaksi keuangan dalam bentuk rupiah dan valuta asing. Dengan mengelompokkan transaksi keuangan Pemerintah yang menggunakan rupiah, diperkirakan akan berdampak pada ekspansi/kontraksi rupiah dalam perekonomian. Secara rinci dampak APBN terhadap rupiah dalam APBN dan RAPBN 2011 dapat dilihat dalam Grafik II ,3 386,1 637,6 491,7 730,7 575,3 956,7 916,1 811,8 816,4 (104,2) (146,0) (155,5) (144,9) (99,7) 1.100,1 953, , ,6 (146,9) (148,5) APBN-P 2010 RAPBN 2011 Sumber : Kementerian Keuangan GRAFIK II.49 DAMPAK PADA RUPIAH, (triliun rupiah) Penerimaan Rupiah Pengeluaran Rupiah Kontraksi/(Ekspansi) Pada tahun 2011, total penerimaan rupiah Pemerintah diperkirakan mencapai sekitar Rp1.020,6 triliun (14,6 persen terhadap PDB), lebih tinggi 7,1 persen bila dibandingkan dengan total penerimaan rupiah dalam APBN-P 2010 sebesar Rp953,2 triliun (15,2 persen terhadap PDB). Sumber utama penerimaan rupiah Pemerintah dalam RAPBN 2011 diperkirakan berasal dari penerimaan nonmigas. Sebagian besar penerimaan nonmigas berasal dari penerimaan perpajakan dalam bentuk rupiah. Secara keseluruhan, pengeluaran rupiah dalam RAPBN 2011 mencapai sekitar Rp1.169,4 triliun (16,7 persen terhadap PDB), terutama dialokasikan untuk belanja operasional (pegawai, barang, bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan lainnya). Komponen pengeluaran operasional mengalami penurunan bila dibandingkan dengan komponen pengeluaran operasional pada APBN-P 2010, baik secara nominal maupun proporsinya terhadap PDB. Penurunan yang signifikan terjadi pada komponen subsidi dari sebesar Rp201,3 triliun pada APBN-P 2010, turun menjadi Rp184,8 triliun pada RAPBN Hal yang sama terjadi pada komponen belanja lainnya yang turun dari Rp32,9 triliun pada APBN-P 2010, menjadi Rp26,3 triliun pada RAPBN Sementara itu, komponen belanja pegawai meningkat menjadi Rp180,6 triliun atau sekitar 2,6 persen terhadap PDB. Hal ini sejalan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan PNS, TNI, Polri, dan Pensiunan melalui II-64 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

97 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II GRAFIK II.50 DAMPAK PADA VALAS, (triliun rupiah) (10.3) (13.2) (9.4) (26.6) (23.9) APBN-P 2010 RAPBN Sumber : Kementerian Keuangan Transaksi Berjalan Transaksi Modal Pemerintah Dampak Valas pemberian gaji ke-13 dan kenaikan gaji pokok sebesar 10 persen serta pemberian remunerasi untuk K/L yang telah siap melaksanakan reformasi birokrasi. Begitu juga komponen belanja bunga utang dalam negeri mengalami peningkatan menjadi Rp80,4 triliun (1,1 persen terhadap PDB), disebabkan oleh tambahan penerbitan SBN. Transaksi keuangan Pemerintah dalam RAPBN 2011 secara total diperkirakan berdampak ekspansif, yaitu sebesar Rp148,5 triliun (2,1 persen terhadap PDB), lebih tinggi bila dibandingkan dengan dampaknya pada APBN-P 2010 sebesar Rp146,9 triliun (2,3 persen terhadap PDB). Dampak APBN terhadap transaksi valuta asing (valas) dapat dilihat pada Grafik II.50. Pada tahun 2011, penerimaan valas Pemerintah dari transaksi berjalan diperkirakan mencapai sekitar Rp68,9 triliun yang diperkirakan mengalami penurunan 5,6 persen dari APBN-P 2010, terutama dari turunnya penerimaan yang bersumber dari ekspor migas. Sementara itu, transaksi modal Pemerintah di tahun 2011 diperkirakan sebesar 9,0 triliun atau mengalami penurunan 46,0 persen bila dibandingkan dengan APBN-P Penurunan tersebut terutama disebabkan lebih rendahnya sumber pembiayaan pembangunan dari luar negeri. Dengan demikian, secara keseluruhan dampak valas pada tahun 2011 adalah positif sebesar Rp77,9 triliun (1,1 persen terhadap PDB), lebih rendah bila dibandingkan dengan dampaknya pada APBN-P 2010 yang sebesar Rp89,6 triliun (1,4 persen terhadap PDB). Dengan demikian, diperkirakan dampak APBN pada penambahan valas di tahun 2011 akan mengalami penurunan dibandingkan dari tahun sebelumnya Proyeksi Fiskal Jangka Menengah Kerangka APBN Jangka Menengah Kerangka APBN Jangka Menengah atau Medium Term Budget Framework (MTBF) merupakan kerangka penganggaran jangka menengah yang meliputi kerangka pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam jangka menengah yang disajikan secara terbuka kepada publik. MTBF menyajikan ringkasan mengenai: (a) proyeksi indikator ekonomi makro yang menjadi dasar penyusunan RAPBN; (b) prioritas APBN; (c) sasaran dan tujuan yang hendak dicapai pemerintah melalui kebijakan fiskal ke depan; dan (d) proyeksi mengenai sumbersumber pembiayaan yang tersedia dalam jangka waktu 3-5 tahun ke depan. Angka-angka Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-65

98 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 proyeksi yang termuat dalam MTBF, setiap tahun akan diperbaharui, dan disesuaikan dengan perkembangan kondisi aktual ekonomi makro dan berbagai kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah. Dengan adanya MTBF, Pemerintah diharapkan dapat menyelaraskan antara perencanaan dengan penganggaran, termasuk juga antara kebutuhan dengan kebijakan belanja negara serta alternatif pendanaannya, sehingga dalam pengalokasian anggaran diharapkan memenuhi aspek efisiensi, efektivitas dan terjaminnya kesinambungan fiskal. Penyusunan MTBF dilakukan berdasarkan proyeksi asumsi makro jangka menengah dan kebijakan jangka menengah di bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Dalam penetapan kerangka asumsi makro jangka menengah, Pemerintah senantiasa mempertimbangkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kinerja ekonomi makro nasional dalam jangka menengah, antara lain: (a) tetap terkendalinya konsolidasi fiskal guna mendukung fiscal sustainability; (b) penyerapan belanja negara yang diupayakan semakin optimal; (c) rasio utang terhadap PDB yang cenderung menurun; (d) pembangunan infrastruktur semakin berkualitas; dan (e) penerapan target inflasi (inflation targeting) yang terkendali. Sedangkan faktor eksternal diperkirakan cukup kondusif bagi perkembangan ekonomi makro nasional, yaitu: (a) perekonomian global yang diperkirakan tumbuh pada level yang moderat; (b) harga minyak mentah internasional yang diperkirakan cenderung relatif stabil; dan (c) pemulihan perekonomian global. Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, proyeksi asumsi makro jangka menengah dapat dilihat pada Tabel II.12. Di samping proyeksi asumsi makro jangka menengah, penyusunan MTBF juga dipengaruhi oleh kebijakan jangka menengah di bidang pendapatan, belanja dan pembiayaan. Kebijakan di bidang perpajakan meliputi: (a) ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan; (b) menggali dan memperbaiki basis pajak; (c) meningkatkan penyuluhan dan pelayanan kepada wajib pajak; dan (d) melanjutkan penyempurnaan kelembagaan dan reformasi perpajakan dan kepabeanan. Tabel II.12 KERANGKA ASUMSI MAKRO JANGKA MENENGAH, Uraian APBN-P 2010 RAPBN Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,8 6,3 6,4-6,9 6,7-7,4 7,0-7,7 Inflasi (%) 5,3 5,3 4,0-6,0 3,5-5,5 3,5-5,5 SBI 3 Bulan (%) 6,5 6,5 6,0-7,5 5,5-7,0 5,5-6,5 Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) Harga Minyak (US$) Produksi Minyak (MBCD) 0,965 0,970 0,990 1,000 1,010 Sumber : Kementerian Keuangan Sementara itu, kebijakan di bidang PNBP dilakukan antara lain dengan: (a) mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif; (b) mengevaluasi dan memperbaiki peraturan, sistem dan prosedur PNBP K/L; dan (c) meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan dan penyetoran PNBP ke kas negara. Pada sisi belanja, kebijakan belanja pemerintah pusat diarahkan untuk: (a) meningkatkan kesejahteraan pegawai; (b) meningkatkan kualitas pelayanan publik; (c) menjaga stabilitas II-66 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

99 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II harga komoditas strategis; (d) memberikan perlindungan kepada masyarakat; dan (e) meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur. Dalam perencanaan jangka menengah, kebijakan transfer ke daerah masih ditekankan untuk menjaga konsistensi dan kesinambungan proses konsolidasi desentralisasi fiskal sebagai upaya pemantapan penyelenggaraan otonomi daerah. Kebijakan tersebut selain diprioritaskan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance), dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance), juga untuk mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah (public service provision gap), serta meningkatkan kualitas alokasi belanja ke daerah. Arah kebijakan pembiayaan dalam jangka menengah dititikberatkan pada: (a) optimalisasi sumber-sumber pembiayaan dalam negeri; (b) penurunan stok utang secara bertahap; dan (c) pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif. Upaya penurunan stok utang luar negeri dilakukan dengan penurunan outstanding, baik secara persentase terhadap PDB maupun secara nominal, terutama dari pinjaman luar negeri. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkokoh ketahanan fiskal dalam menghadapi dinamika perekonomian global. Perkiraan besaran APBN dalam kerangka jangka menengah dapat dilihat dalam Tabel II.13. Uraian APBN-P 2010 RAPBN A. Pendapatan Negara dan Hibah 16,9 15,5 16,0-16,2 16,4-16,6 16,9-17,1 B. Belanja Negara 20,1 17,2 17,5-17,7 17,8-18,0 18,1-18,3 C. Keseimbangan Primer 0,4 0,0 0,2-0,4 0,4-0,6 0,5-0,7 D. Surplus / (Defisit) (2,1) (1,7) (1,7) - (1,5) (1,5) - (1,3) (1,3) - (1,1) E. Pembiayaan 2,1 1,7 1,5-1,7 1,3-1,5 1,1-1,3 Sumber : Kementerian Keuangan Tabel II.13 KERANGKA APBN JANGKA MENENGAH, (persen thd PDB) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) dan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) Sesuai amanat paket perundang-undangan di bidang keuangan negara (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara), pengelolaan keuangan negara sejak tahun anggaran 2005 mengalami perubahan cukup mendasar, terutama dari sisi pendekatan penganggarannya, diantaranya adalah: (a) penerapan anggaran terpadu (unified budget); (b) pendekatan penyusunan pengeluaran jangka menengah-kpjm (medium term expenditure framework); dan (c) pendekatan penyusunan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Pembaharuan sistem penganggaran ini diharapkan dapat mewujudkan pelaksanaan anggaran yang lebih efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-67

100 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Dasar pertimbangan penerapan KPJM dilandasi hal-hal sebagai berikut: (a) perlunya membangun sistem yang terintegrasi mencakup serangkaian proses perumusan kebijakan, perencanaan dan penganggaran; (b) perlunya mengembangkan sistem penganggaran yang lebih responsif sekaligus mampu mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik serta pemanfaatan sumber daya yang efisien; dan (c) perlunya membangun sistem penganggaran yang mampu mengantisipasi dampak dimasa mendatang atas kebijakan yang ditempuh saat ini. KPJM dapat memberi manfaat berupa: (a) meningkatnya predictability dan kesinambungan pembiayaan suatu program/kegiatan; (b) mendorong peningkatan kinerja K/L dalam memberikan pelayanan kepada publik; dan (c) memudahkan penyusunan perencanaan K/L pada tahun-tahun berikutnya. Penyusunan KPJM perlu mempertimbangkan sistem PBK yang merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada pencapaian suatu hasil output dan outcome tertentu atas alokasi anggaran yang disediakan kepada seluruh unit kerja pemerintah yang pendanaannya berasal dari dana publik dalam APBN. Paradigma PBK tidak hanya terfokus pada penggunaan biaya sebagai input, melainkan juga pada hasil yang ingin dicapai atas alokasi anggaran tersebut. Dengan demikian, PBK dibutuhkan untuk mengintegrasikan antara perencanaan dan penganggaran. Dalam rangka implementasi penganggaran berbasis kinerja dan KPJM yang mulai diterapkan pada tahun 2009 dan 2010, walaupun masih terbatas pada 6 (enam) K/L sebagai pilot project, namun hal tersebut diharapkan dapat semakin diperluas pada seluruh K/L di tahun Untuk mendukung implementasi hal tersebut, telah di tempuh langkahlangkah penyempurnaan yang tertuang dalam Boks II.2. Boks II.2. Penganggaran Berbasis Kinerja dan KPJM Tujuan utama diterapkannya Pengganggaran Berbasis Kinerja (PBK) adalah mendorong terwujudnya efisiensi dan efektivitas pada serangkaian proses penganggaran. Hal tersebut dilakukan dengan cara menyelaraskan antara penganggaran dengan perencanaan, serta arah kebijakan fiskal yang ditetapkan Pemerintah. Dengan demikian, dalam penyusunan besaran alokasi anggaran senantiasa didasarkan pada analisis kebutuhan dalam rangka pencapaian target yang telah ditetapkan, sehingga akan tercipta adanya kesesuaian antara besaran alokasi anggaran dengan target yang hendak dicapai. Dalam rangka mendukung implementasi PBK tersebut, langkah langkah yang telah ditempuh antara lain: 1. Penataan kembali struktur program dan kegiatan. a. Penataan program dan kegiatan K/L dengan mengacu pada tugas dan fungsi K/L dan sesuai dengan hakekat pelayanan publik yang dibebankan pada masing-masing K/L; b. Program dan kegiatan ditata secara spesifik, sehingga masing-masing hanya merupakan representasi satu unit organisasi saja. Pola proses penataan tersebut dilaksanakan dari atas ke bawah (top down) sesuai dengan prinsip penganggaran yang berorientasi pada kebijakan. Dalam hal ini pelaksanaan program dan kegiatan pada level bawah merupakan refleksi dari pelaksanaan kebijakan yang dirumuskan di level atas melalui penataan secara menurun (cascading) mulai dari tingkat K/L sampai dengan unit kerja terbawah dalam struktur organisasi K/L. Program dan kegiatan mencerminkan day to day II-68 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

101 Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Bab II operation melalui struktur organisasi yang ada. Prinsip tersebut dimaksudkan untuk menghindari over lapping dalam pelaksanaan kegiatan dan memudahkan pengukuran kinerja pada masing-masing unit organisasi; c. Program dan kegiatan penunjang diintegrasikan dalam program dan kegiatan pokok. d. Mengintegrasikan program untuk dapat menampung belanja rutin dan pembangunan secara terpadu. 2. Melakukan pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja dalam sistem penganggaran didasarkan pada hasil (outcomes-focused budgeting). Pengukuran kinerja tidak hanya dari sisi efektivitas dan efisiensi saja, tetapi mencakup kualitas output atau outcome yang dihasilkan. Pengukuran efektivitas dan efisiensi menekankan pada terwujudnya output yang optimal yang dipenuhi dengan harga yang wajar (efisien). Sementara itu, pada sisi lain cara pengukuran tersebut disertai dengan pengukuran kualitas yang menekankan terwujudnya kualitas output atau outcome yang memadai. 3. Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). KPJM adalah model penganggaran untuk menyelaraskan antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran. Model KPJM disusun sebagai instrumen perencanaan penganggaran untuk mencapai suatu target/sasaran tertentu yang telah dirumuskan sebagai indikator kinerja terukur yang akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih dari satu tahun anggaran. Dengan demikian, KPJM merupakan instrumen untuk menjamin terciptanya konsistensi perencanaan penganggaran dalam periode 3 sampai dengan 5 tahun ke depan untuk menjaga kesinambungan fiskal pada program-program prioritas. KPJM menggambarkan konsekuensi besaran pembiayaan anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai target kebijakan tertentu. Hal yang paling krusial dalam penerapan KPJM pada tataran perencanaan penganggaran adalah kejelasan definisi tentang tugas pokok dan fungsi organisasi serta program prioritas nasional yang tercantum dalam RPJM dan RKP. Hasil yang diharapkan dari program prioritas tersebut merupakan tanggung jawab organisasi dalam pencapaiannya. 4. Penyempurnaan bentuk formulir RKA-KL beserta cara pengisiannya. Berbagai penyempurnaan tersebut di atas akan diakomodasi dalam formulir RKA-KL, sehingga mencakup pendekatan anggaran terpadu, anggaran dalam kerangka jangka menengah, dan anggaran berbasis kinerja secara lebih komprehensif. Implementasi KPJM dalam sistem perencanaan penganggaran diharapkan akan mendorong upaya serius Pemerintah untuk: a. Mendisiplinkan kebijakan pengeluaran, b. Menjamin kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), c. Meningkatkan transparansi kebijakan pengeluaran, d. Meningkatkan akuntabilitas kebijakan dan prediksi kebutuhan pendanaan dalam beberapa tahun ke depan, e. Meningkatkan akurasi dan konsistensi guna mencapai target prioritas jangka menengah. Mulai tahun 2009, Pemerintah telah menetapkan 6 (enam) K/L sebagai pilot project untuk penerapan KPJM secara penuh, yaitu meliputi: (a) Kementerian Keuangan; (b) Kementerian Nota Keuangan dan RAPBN 2011 II-69

102 Bab II Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 Pendidikan Nasional; (c) Kementerian Pekerjaan Umum; (d) Kementerian Kesehatan; (e) Kementerian Pertanian; dan (f) Bappenas. Sementara itu, untuk tahun 2011 diharapkan dapat diimplementasikan pada seluruh K/L. Sementara itu, beberapa kendala yang cukup mendasar dalam penerapan PBK dan KPJM antara lain sebagai berikut: a. Perlunya upaya yang serius untuk menyelaraskan pemahaman mengenai perubahan pola pikir baik dari K/L maupun pihak-pihak terkait dari input based ke performance based dalam proses restrukturisasi program dan kegiatan; b. Konsistensi dan kesinambungan dalam pendanaan program-program prioritas hanya dimungkinkan pada level internal pemerintah sedangkan proses penetapannya masih memerlukan persetujuan DPR. II-70 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

103 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III 3.1 Umum BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH Dalam periode , realisasi pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen, didukung dengan peningkatan penerimaan dalam negeri dan hibah yang masing-masing tumbuh rata-rata 14,4 persen dan 6,3 persen. Penerimaan dalam negeri terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang memberikan kontribusi rata-rata 68,9 persen dengan pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 31,1 persen dengan pertumbuhan rata-rata 11,5 persen. Meningkatnya realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah. Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi pendapatan negara dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan. Sebagai kontributor utama bagi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diupayakan secara optimal melalui tiga kebijakan utama, yaitu: (1) reformasi di bidang administrasi; (2) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; dan (3) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi. Ketiga kebijakan tersebut secara umum berlaku baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Di bidang PNBP, kebijakan yang telah diambil Pemerintah dalam rangka optimalisasi adalah (1) meningkatkan produksi sumber daya alam (SDA); (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan di bidang PNBP; (3) meningkatkan pengawasan PNBP; dan (4) meningkatkan kinerja BUMN. Pada tahun 2010, perekonomian dunia mulai pulih dari krisis. Kondisi tersebut berimbas pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 persen, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada realisasi pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp992,4 triliun atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun Penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp990,5 triliun atau meningkat 16,9 persen, dengan perincian penerimaan perpajakan Rp743,3 triliun atau meningkat 19,9 persen dan PNBP Rp247,2 triliun atau meningkat 8,8 persen. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun dengan peningkatan sebesar 13,8 persen. Dalam tahun 2010, kebijakan pendapatan negara dan hibah tetap diarahkan untuk optimalisasi penerimaan dalam negeri. Di bidang perpajakan, selain melakukan kebijakan yang bersifat reguler seperti reformasi di bidang administrasi, peraturan perundang-undangan dan pengawasan serta penggalian potensi, Pemerintah melakukan upaya tambahan (extra effort) baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Extra effort tersebut antara lain dilakukan melalui peningkatan efisiensi pemeriksaan dan penagihan pajak, serta peningkatan pengawasan atas peredaran barang kena cukai ilegal. Di bidang PNBP, kebijakan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-1

104 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah yang dilakukan Pemerintah untuk mengamankan target PNBP tahun 2010 adalah optimalisasi penerimaan SDA terutama dari migas, peningkatan kinerja BUMN, serta optimalisasi PNBP kementerian/lembaga (K/L). Memasuki tahun 2011, kondisi perekonomian Indonesia diharapkan jauh lebih baik daripada tahun Pertumbuhan ekonomi ditargetkan akan mencapai 6,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan realisasi Indikator-indikator ekonomi makro lainnya juga diperkirakan akan cukup stabil. Berdasarkan asumsi tersebut, pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp1.086,4 triliun, dengan perincian penerimaan dalam negeri sebesar Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Penerimaan dalam negeri akan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp839,5 triliun, dan PNBP sebesar Rp243,1 triliun. Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2011, Pemerintah akan menjalankan berbagai kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP. Pokok-pokok kebijakan perpajakan secara umum adalah melanjutkan dan mempertajam kebijakan-kebijakan tahun sebelumnya. Di bidang perpajakan, kebijakan antara lain akan difokuskan pada (1) penggalian potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi; dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, dalam rangka memperbaiki sistem administrasi perpajakan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan pengalihan BPHTB serta PBB perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah. Untuk BPHTB, pengalihan dilakukan pada tahun 2011, sedangkan untuk PBB, pengalihan dimungkinkan dilakukan mulai tahun 2010 berdasarkan kesiapan masing-masing daerah. Tenggat waktu yang diberikan kepada daerah untuk mempersiapkan pengalihan PBB tersebut adalah sampai dengan tahun Di bidang PNBP, kebijakan yang dilakukan untuk mencapai target 2011 adalah (1) optimalisasi lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA; (2) penyesuaian pay-out ratio dividen dari laba BUMN; (3) penyelesaian audit keuangan BUMN secara lebih awal guna memantau perkembangan rugi/laba BUMN; (4) penarikan dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN; (5) intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP K/L, antara lain dengan melakukan review jenis dan tarif PNBP K/L; dan (6) perbaikan administrasi pelaporan keuangan K/L. 3.2 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2010 Pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dalam periode Pertumbuhan rata-rata yang terjadi dalam periode tersebut adalah 14,4 persen, yaitu dari Rp495,2 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp848,8 triliun pada tahun Kondisi perekonomian yang cukup kondusif dalam periode menjadi faktor utama yang mendorong meningkatnya pendapatan negara khususnya penerimaan dalam negeri, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 sampai dengan Dalam periode tersebut, penerimaan dalam negeri meningkat dari Rp493,9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp847,1 triliun pada tahun Hal ini berarti terjadi pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Selain faktor kestabilan ekonomi, penerapan berbagai III-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

105 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP juga menjadi salah satu faktor pendukung tingginya realisasi penerimaan dalam negeri. Sementara itu, penerimaan hibah pada periode mengalami pertumbuhan rata-rata 6,3 persen, yaitu dari Rp1,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun Terus membaiknya kondisi perekonomian pada tahun 2010 menyebabkan Pemerintah optimis dapat mencapai target pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp990,5 triliun, atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun atau 13,8 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian, dalam APBN-P tahun 2010, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai Rp992,4 triliun, atau 16,9 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun Perkembangan pendapatan negara dan hibah dalam periode dapat dilihat pada Tabel III.1. TABEL III.1 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, (triliun rupiah) Uraian Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Pendapatan Negara dan Hibah 495,2 638,0 707,8 981,6 848,8 992,4 I. Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5 1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2 II. Hibah 1,3 1,8 1,7 2,3 1,7 1,9 Sumber: Kementerian Keuangan Penerimaan Dalam Negeri Dalam periode , penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen. Beberapa indikator makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam periode tersebut adalah (1) tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009; (2) perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008, dan USD61,6 per barel pada tahun 2009; dan (3) fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun Selain itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong peningkatan penerimaan dalam negeri. Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009 yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel, penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-3

106 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun. Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri pada periode dapat dilihat pada Tabel III.2. TABEL III.2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN DALAM NEGERI, (triliun rupiah) Uraian 2005 Real Real Real Real Real APBN-P Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5 1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3 a. Pajak Dalam Negeri 331,8 396,0 470,1 622,4 601,3 720,8 i. Pajak penghasilan 175,5 208,8 238,4 327,5 317,6 362,2 1. Migas 35,1 43,2 44,0 77,0 50,0 55,4 2. Nonmigas 140,4 165,6 194,4 250,5 267,6 306,8 ii. Pajak pertambahan nilai 101,3 123,0 154,5 209,6 193,1 263,0 iii. Pajak Bumi dan Bangunan 16,2 20,9 23,7 25,4 24,3 25,3 iv. BPHTB 3,4 3,2 6,0 5,6 6,5 7,2 v. Cukai 33,3 37,8 44,7 51,3 56,7 59,3 vi. Pajak lainnya 2,1 2,3 2,7 3,0 3,1 3,8 b. Pajak Perdagangan Internasional 15,2 13,2 20,9 36,3 18,7 22,6 i. Bea masuk 14,9 12,1 16,7 22,8 18,1 17,1 ii. Bea keluar 0,3 1,1 4,2 13,6 0,6 5,5 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2 a. Penerimaan SDA 110,5 167,5 132,9 224,5 139,0 164,7 i. Migas 103,8 158,1 124,8 211,6 125,8 151,7 ii. Non Migas 6,7 9,4 8,1 12,8 13,2 13,0 b. Bagian Laba BUMN 12,8 23,0 23,2 29,1 26,0 29,5 c. PNBP Lainnya 23,6 36,5 56,9 63,3 53,8 43,5 d. Pendapatan BLU 0,0 0,0 2,1 3,7 8,4 9,5 Sumber : Kementerian Keuangan Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen dalam periode Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai. Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode , penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen, sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen. Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun 2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan III-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

107

108 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak. Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen tiga undang-undang perpajakan, yaitu: (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang; (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun Selain itu, pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai oleh publik. Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance, program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu: (1) pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat negara; (2) pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan; dan (3) pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya. Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April Sedangkan program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui III-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

109 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III (1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus; (4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan profil high rise building; (6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer; dan (7) pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak (maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan, tanpa mengesampingkan fungsi utama kepabeanan cukai sebagai regulator dalam rangka melancarkan arus barang dari transaksi perdagangan internasional (trade facilitation) dan melindungi masyarakat dari ekses negatif dari masuknya barang-barang pembatasan dan larangan serta narkotika (community protection). Dalam hal ini, Pemerintah akan terus melanjutkan program reformasi melalui pembentukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Madya, serta melakukan program intensifikasi melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi, peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang, dan optimalisasi sarana operasi seperti kapal patroli, mesin sinar X, dan mesin sinar gamma. Selanjutnya, untuk menjamin penegakan hukum (law enforcement) di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah meningkatkan fungsi pengawasan dan audit. Peningkatan pengawasan dilakukan antara lain dengan (1) mengembangkan manajemen risiko kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan cukai; (3) melaksanakan pemberantasan penggunaan pita cukai palsu; (4) melaksanakan pemberantasan peredaran rokok ilegal; dan (5) melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Sedangkan peningkatan audit dilakukan antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi sistem informasi perencanaan audit; (2) penyusunan database profil dan objek audit; (3) monitoring pelaksanaan audit; serta (4) penyempurnaan aplikasi sistem audit. Khusus di bidang kepabeanan, langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan antara lain (1) pengembangan otomasi sistem pelayanan kepabeanan dan cukai; (2) pemberian fasilitas/kemudahan dalam pelayanan kepabeanan (Pre Entry Classification, Customs Advice, dan Pre-Notification); (3) pemberian fasilitas terhadap industri substitusi impor dan industri orientasi ekspor; (4) pembentukan kantor pelayanan utama dan KPPBC Madya; (5) peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor; (6) mendukung kerjasama perdagangan internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral; (7) penerapan National Single Windows (NSW) dan portal Indonesia National Single Windows (INSW); (8) peningkatan pelayanan kepabeanan melalui jalur mitra utama (MITA) dan jalur prioritas; (9) penegakan hukum di bidang kepabeanan melalui risk management, risk assesment, profiling, dan targeting; dan (10) meningkatkan kepatuhan pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi kewajibannya. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-7

110 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Khusus di bidang cukai, sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan maupun sistem prosedur di bidang cukai dilakukan secara bertahap sehingga dapat memberikan perlindungan atas kesehatan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor daya serap tenaga kerja. Upaya yang dilakukan antara lain melalui (1) penyempurnaan ketentuan mengenai perizinan di bidang cukai; (2) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; (3) peningkatan pelayanan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan di bidang cukai; (5) peningkatan pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); (6) penerapan kode etik (reward and punishment); dan (7) peningkatan security feature pita cukai untuk menghilangkan praktek pemalsuan cukai. Selanjutnya pada tahun 2010, beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka optimalisasi penerimaan cukai antara lain (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 persen sesuai dengan jenis hasil tembakau, yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret putih mesin (SPM); (2) perubahan ketentuan mengenai perizinan; (3) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; serta (4) peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethil alkohol (MMEA) rata-rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor. Selain itu, Pemerintah juga melakukan peningkatan pengawasan, antara lain melalui: (1) peningkatan operasi pasar; (2) pemeriksaan lokasi pabrik; (3) peningkatan security features pita cukai; dan (4) peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor Pajak Dalam Negeri Dalam periode , penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan ratarata 16,0 persen, yaitu dari Rp331,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp601,3 triliun pada tahun Pertumbuhan rata-rata tertinggi terjadi pada pos penerimaan PPh nonmigas serta PPN dan PPnBM yang mencapai 17,5 persen. Sementara itu, cukai sebagai penerimaan ketiga terbesar setelah PPh serta PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14,3 persen. Kontributor utama dalam penerimaan pajak dalam negeri adalah PPh yang memberikan kontribusi rata-rata 52,4 persen. Sedangkan kontributor terbesar kedua dan ketiga adalah PPN dan PPnBM serta cukai, yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata 32,1 persen dan 9,3 persen. Pertumbuhan dan kontribusi rata-rata dari masingmasing jenis pajak dalam kategori pajak dalam negeri dapat dilihat pada Grafik III.2 dan Grafik III.3. GRAFIK III.2 PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DALAM NEGERI, ,0 87,0 persen (y-o-y) (20) (40) 53,2 45,4 35,7 28,8 25,6 22,9 18,0 21,5 17,4 1,9 PPh Migas -35,0 Sumber : Kementerian Keuangan PPh Non Migas 6,8-1,2-7,9 37,8 28,6 13,7 6,9-4,3 17,6-7,2-6,4 16,0 18,3 19,7 14,0 13,6 14,7 11,6 10,7 9,5 10,8 2,7 PPN PBB BPHTB Cukai Pajak Lainnya III-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

111 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan pajak dalam negeri ditargetkan mencapai Rp720,8 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak dalam negeri tahun 2009, target tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp119,5 triliun atau 19,9 persen. Peningkatan terjadi pada seluruh pos penerimaan dalam negeri, terutama PPN dan PPnBM yang meningkat 36,2 persen dan BPHTB yang GRAFIK III.3 KONTRIBUSI RATA-RATA PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI, PBB 4,7% BPHTB 1,0% PPh Non-Migas 42,1% PPh Migas 10,3% meningkat 10,7 persen. Membaiknya kondisi perekonomian baik secara global maupun domestik yang berimbas pada meningkatnya volume perdagangan dunia menjadi faktor utama meningkatnya penerimaan pajak dalam negeri, khususnya penerimaan PPN dan PPnBM impor. Selain itu, relatif tingginya ICP yang diperkirakan mencapai USD80 per barel pada tahun 2010 dibandingkan dengan ICP tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (Desember November) juga menjadi salah satu pemicu meningkatnya penerimaan pajak migas. Pajak Penghasilan (PPh) Pajak penghasilan (PPh) mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen dalam periode Dalam periode tersebut, nominal penerimaan PPh meningkat dari Rp175,5 triliun menjadi Rp317,6 triliun. Dilihat dari komposisinya, penerimaan PPh migas memberikan kontribusi rata-rata sebesar 19,7 persen, sedangkan PPh nonmigas 80,3 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, PPh diperkirakan mencapai Rp362,2 triliun, yang terdiri atas penerimaan PPh migas Rp55,4 triliun (15,3 persen) dan PPh nonmigas Rp306,8 triliun (84,7 persen). Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp317,6 triliun, terjadi peningkatan sebesar Rp44,6 triliun atau 14,0 persen. Penerimaan PPh migas selama tahun mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,2 persen. Dilihat dari komponen pendukungnya, penerimaan PPh minyak bumi tumbuh rata-rata 18,6 persen dan PPh gas bumi tumbuh rata-rata 5,2 persen. Perkembangan realisasi penerimaan PPh migas yang cenderung meningkat tersebut sesuai dengan perkembangan ICP yang menunjukkan adanya tren kenaikan, meskipun lifting mengalami fluktuasi. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi penerimaan PPh migas diperkirakan mencapai Rp55,4 triliun, dengan kontribusi dari PPh minyak bumi sebesar Rp22,6 triliun (40,7 persen) dan PPh gas bumi Rp32,8 triliun (59,3 persen). Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya, terjadi peningkatan sebesar Rp5,3 triliun atau 10,7 persen. Penerimaan PPh migas tahun dapat dilihat pada Grafik III.4. Penyebab utama peningkatan penerimaan PPh migas tersebut adalah lebih tingginya ICP pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai USD80 per barel dibandingkan dengan ICP pada tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (Desember November), dan lebih tingginya lifting minyak PPN 32,1% Sumber : Kementerian Keuangan Cukai 9,3% Pajak Lainnya 0,6% Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-9

112 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah bumi tahun 2010 yang diperkirakan sebesar 965 MBCD dibandingkan dengan lifting pada tahun 2009 yang mencapai 944 MBCD. Perkembangan realisasi PPh migas dapat dilihat pada Tabel III.3. Dalam periode , realisasi penerimaan PPh nonmigas mengalami pertumbuhan ratarata 17,5 persen, yaitu dari Rp140,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp267,6 triliun pada tahun Pertumbuhan tersebut terutama didukung dari penerimaan PPh pasal 25/29 badan yang tumbuh rata-rata 23,7 persen dan memberikan kontribusi rata-rata 41,0 persen dalam periode tersebut. 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 GRAFIK III.4 PENERIMAAN PPh MIGAS, triliun Rp 0,0 PPh Gas Alam Sumber : Kementerian Keuangan PPh Minyak Bumi 31,7 32,8 18,4 22, APBN-P 2010 TABEL III.3 PERKEMBANGAN PPh MIGAS, (triliun rupiah) Uraian Real. % thd Real. % thd Real. % thd Real. % thd Real. % thd APBN-P % thd Total Total Total Total Total Total PPh Minyak Bumi 9,3 26,4 14,7 34,0 16,3 37,0 29,6 38,5 18,4 36,7 22,6 40,7 PPh Gas Bumi 25,8 73,6 28,5 66,0 27,3 62,0 47,4 61,5 31,7 63,3 32,8 59,3 PPh Migas Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Total 35,1 100,0 43,2 100,0 44,0 100,0 77,0 100,0 50,0 100,0 55,4 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPh nonmigas diperkirakan mencapai Rp306,8 triliun. Hal ini berarti terjadi peningkatan 14,7 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Penerimaan PPh nonmigas tahun dapat dilihat dalam Grafik III.5. Selain faktor ekonomi, peningkatan penerimaan PPh nonmigas terutama disebabkan oleh upaya perbaikan administrasi perpajakan dan dilakukannya extra effort sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun tarif PPh pasal 25/29 badan mengalami penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010, dan juga pemberian diskon 5 persen bagi perusahaan masuk bursa yang 40 persen sahamnya dikuasai publik, PPh pasal 25/29 badan masih merupakan kontributor utama bagi penerimaan PPh nonmigas dengan kontribusi sebesar 41,0 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2009, PPh pasal 25/29 badan triliun Rp 120,3 126,7 tahun 2010 meningkat 5,3 persen. Perkembangan penerimaan PPh nonmigas per pasal dalam periode dapat dilihat padatabel III ,0 270,0 220,0 170,0 120,0 70,0 20,0-30,0 GRAFIK III.5 PENERIMAAN PPh NONMIGAS, Lainnya PPh Pasal 21 61,3 33,8 52,1 Sumber : Kementerian Keuangan 76,5 42,1 61, APBN-P 2010 PPh Final dan Fiskal PPh Pasal 25/29 Badan III-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

113 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III TABEL III.4 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS, (triliun rupiah) Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total PPh Pasal 21 9,3 26,4 31,6 19,1 39,4 20,3 51,7 20,7 52,1 19,5 61,6 20,1 PPh Pasal 22 25,8 73,6 4,0 2,4 4,0 2,0 5,0 2,0 4,4 1,6 5,4 1,8 PPh Pasal 22 Impor 13,5 9,3 13,1 7,9 16,6 8,6 25,1 10,0 19,2 7,2 23,9 7,8 PPh Pasal 23 13,0 8,9 15,4 9,3 15,7 8,1 18,1 7,2 16,0 6,0 20,0 6,5 PPh Pasal 25/29 Pribadi 1,6 1,1 1,8 1,1 1,6 0,8 3,6 1,4 3,3 1,3 4,3 1,4 PPh Pasal 25/29 Badan 51,4 35,4 65,1 39,3 80,8 41,6 106,4 42,6 120,3 45,0 126,7 41,3 PPh Pasal 26 8,9 6,1 10,5 6,4 14,6 7,5 14,9 6,0 18,4 6,9 22,9 7,5 PPh Final dan Fiskal 21,9 15,1 24,1 14,6 21,6 11,1 25,2 10,1 33,8 12,6 42,1 13,7 PPh Non Migas Lainnya -0,1-0,04 0,04 0,02 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,0 0,00 0,0 Total Sumber : Kementerian Keuangan 145,3 175,8 165,6 100,0 194,4 100,0 249,8 100,0 267,6 100,0 306,8 100,0 Selama periode , realisasi penerimaan PPh nonmigas didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor industri pengolahan, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor utama dengan rata-rata kontribusi masing-masing sebesar 28,9 persen, 25,1 persen dan 9,9 persen. Pertumbuhan rata-rata dalam kurun waktu untuk sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan adalah 17,3 persen, untuk sektor industri pengolahan 16,6 persen, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,0 persen. Perkembangan PPh nonmigas sektoral dapat dilihat dalam Tabel III.5. Uraian TABEL III.5 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, (triliun rupiah) Real % thd Total Real. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2,5 2,1 2,8 2,0 4,7 2,6 9,9 4,3 10,5 4,3 9,3 3,6 Pertambangan Migas 9,9 8,1 12,1 8,3 14,0 7,8 17,9 7,8 8,5 3,5 8,2 3,2 Pertambangan Bukan Migas 5,6 4,5 6,2 4,3 10,5 5,8 11,7 5,1 17,8 7,3 14,0 5,4 Penggalian 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,5 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1 Industri Pengolahan 33,9 27,7 34,7 24,0 41,9 23,3 56,6 24,7 62,7 25,7 77,8 30,0 Listrik, Gas, dan Air Bersih 3,0 2,4 5,7 3,9 4,7 2,6 5,3 2,3 5,4 2,2 8,3 3,2 Konstruksi 2,5 2,0 3,1 2,1 4,8 2,7 5,4 2,3 6,7 2,8 7,7 3,0 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 11,1 9,1 13,5 9,3 16,9 9,4 24,3 10,6 27,1 11,1 31,5 12,2 Pengangkutan dan Komunikasi 11,3 9,3 14,7 10,2 16,3 9,1 20,1 8,8 16,8 6,9 17,4 6,7 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 35,7 29,2 44,3 30,6 54,8 30,5 60,5 26,4 67,6 27,7 61,6 23,8 Jasa Lainnya 6,7 5,5 7,6 5,2 10,7 5,9 12,3 5,4 17,8 7,3 20,3 7,8 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,1 0,1 0,1 0,0 0,2 0,1 4,5 2,0 2,4 1,0 2,4 0,9 Total 122,4 100,0 145,0 100,0 179,7 100,0 229,1 100,0 243,6 100,0 258,9 100,0 * Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline, serta restitusi. % thd Total Real. % thd Total Real. % thd Total Real. % thd Total Perk. Real. % thd Total Tahun 2010 sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar Rp6,0 triliun atau 8,9 persen sehingga mencapai Rp61,6 triliun. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh turunnya suku bunga Bank Indonesia yang mengakibatkan net interest margin (NIM) bank mengalami penurunan. Rata-rata suku bunga untuk semester I tahun 2010 adalah 6,5 persen, atau menurun jika dibandingkan dengan rata-rata suku bunga pada semester I tahun 2009 sebesar 7,75 persen. Sementara itu, pada tahun 2010, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp77,8 triliun, meningkat sebesar Rp17,8 triliun atau 29,7 persen bila dibandingkan dengan nilainya pada tahun Kenaikan ini terutama didukung oleh pertumbuhan sektor industri Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-11

114 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar Rp4,9 triliun atau 18,5 persen dibandingkan tahun 2009 sehingga mencapai Rp31,5 triliun. PPN dan PPnBM Penerimaaan PPN dan PPnBM selama periode mengalami pertumbuhan ratarata 17,5 persen. Secara komposisi, PPN dan PPnBM dalam negeri tumbuh rata-rata 23,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan PPN dan PPnBM impor yang tumbuh ratarata 8,8 persen dalam periode tersebut. Dari sisi besarnya kontribusi, PPN dan PPnBM dalam negeri mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 61,1 persen dari total penerimaan PPN dan PPnBM, sedangkan PPN dan PPnBM impor memberikan kontribusi rata-rata 38,9 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan sebesar Rp263,0 triliun, yang terdiri dari atas PPN dan PPnBM dalam negeri Rp163,0 triliun (63,1 persen) dan PPN dan PPnBM impor Rp99,7 triliun (37,9 persen). Perkembangan PPN dan PPnBM dalam periode dapat dilihat dalam Tabel III.6. Uraian TABEL III.6 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, (triliun rupiah) % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total a. PPN 94,0 92,8 118,2 96,1 147,4 95,4 198,2 94,5 184,2 95,4 253,4 96,4 PPN DN 48,8 48,1 74,8 60,8 93,3 60,3 116,7 55,7 120,4 62,4 156,4 59,5 PPN Impor 44,9 44,3 43,1 35,0 53,9 34,9 81,1 38,7 63,4 32,9 96,7 36,8 PPN Lainnya 0,3 0,3 0,3 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1 0,3 0,1 b. PPnBM 7,3 7,2 4,8 3,9 7,1 4,6 11,5 5,5 8,9 4,6 9,5 3,6 PPnBM DN 4,9 4,8 3,1 2,5 4,7 3,0 7,5 3,6 6,1 3,2 6,6 2,5 PPnBM Impor 2,4 2,4 1,7 1,4 2,4 1,6 4,0 1,9 2,8 1,5 3,0 1,1 PPnBM Lainnya 0,0 0,0 0,002 0,002 0,021 0,01 0,012 0,01 0,015 0,01 0,01 0,004 Total (a+b) 101,3 100,0 123,0 100,0 154,5 100,0 209,6 100,0 193,1 100,0 263,0 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target pada tahun 2010 tersebut meningkat Rp69,9 triliun atau 36,2 persen. Peningkatan terutama terjadi pada PPN dan PPnBM impor dengan pertumbuhan 50,4 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara umum, peningkatan PPN dan PPnBM impor tersebut sejalan dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, yang berimbas pada meningkatnya kegiatan ekspor-impor Indonesia. Di sisi lain, penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 28,8 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang mengakibatkan melemahnya pertumbuhan PPN dan PPnBM dalam negeri ini adalah rendahnya konsumsi Pemerintah yang pada kuartal I 2010 yang mengalami penurunan sebesar 8,8 persen (y-o-y). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi konsumsi Pemerintah cukup tinggi sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan Pemilu. Perkembangan PPN dan PPnBM serta nilai impor dalam periode dapat dilihat pada Grafik III.6 dan penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2010 dapat dilihat pada Grafik III.7. III-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

115 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III triliun Rp GRAFIK III.6 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, PPN & PPnBM DN PPN & PPnBM Impor Nilai Impor Sumber: Kementerian Keuangan juta US$ triliunrp GRAFIK III.7 PENERIMAAN PPN DAN PPnBM, PPN 9,5 184,2 PPnBM 9,5 253, APBN-P Sumber: Kementerian Keuangan 2010 Secara umum, realisasi PPN secara sektoral dapat digolongkan ke dalam 12 sektor. Dalam periode , sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar, dengan rata-rata 38,8 persen. Dua kontributor utama lainnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang masingmasing memberikan kontribusi rata-rata 19,8 persen dan 6,6 persen. Dalam tahun 2010, diperkirakan sektor industri pengolahan menjadi kontributor utama dengan kontribusi sebesar 51,1 persen, disusul kemudian oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 22,7 persen, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan dengan kontribusi sebesar 5,8 persen. Sebagian besar dari realisasi PPN merupakan PPN DN. Dalam periode , PPN DN mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 62,4 persen. Tiga sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan PPN DN adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Kontribusi rata-rata dari ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 31,6 persen, 17,9 persen, dan 11,8 persen dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing 28,3 persen, 22,0 persen dan 7,5 persen. Dalam tahun 2010, sebagian besar penerimaan PPN DN diperkirakan masih berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi, dengan kontribusi masing-masing mencapai 44,2 persen, 18,4 persen dan 8,2 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, tiga sektor tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan. Sektor industri pengolahan naik Rp17,1 triliun atau 34,1 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran naik Rp4,5 triliun atau 19,1 persen, dan sektor pengangkutan dan komunikasi naik Rp2,7 triliun atau 27,8 persen. Kenaikan ini sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri. Perkembangan penerimaan PPN DN secara sektoral dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.7. Dalam periode , penerimaan PPN impor didukung oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata sebesar 50,7 persen, 23,1 persen, dan 19,1 persen. Pertumbuhan rata-rata dari ketiga sektor tersebut adalah sebesar 16,0 persen, 22,6 persen, dan negatif 48,8 persen. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-13

116 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Uraian TABEL III.7 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, (triliun rupiah) Real % thd Total Real. % thd Total Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 1,6 2,8 1,8 2,2 2,0 2,0 3,1 2,7 3,5 2,8 3,3 2,2 Pertambangan Migas 2,9 5,2 16,8 21,0 14,6 14,5 17,0 15,1 3,9 3,1 2,8 1,9 Pertambangan Bukan Migas 0,8 1,4 1,3 1,6 1,8 1,8 1,4 1,2 1,9 1,5 2,1 1,4 Penggalian 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 Industri Pengolahan 18,5 33,2 22,3 27,9 28,6 28,4 32,2 28,6 50,2 39,9 67,3 44,2 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,4 0,8 0,6 0,7 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,6 0,9 0,6 Konstruksi 4,3 7,7 6,2 7,8 12,0 11,9 11,3 10,1 12,4 9,8 12,1 7,9 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 10,6 19,0 12,8 16,0 17,9 17,8 20,3 18,0 23,5 18,7 28,0 18,4 Pengangkutan dan Komunikasi 6,1 10,9 6,6 8,2 8,1 8,1 8,8 7,8 9,7 7,7 12,4 8,2 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 7,7 13,7 8,4 10,6 10,8 10,8 9,4 8,3 10,4 8,2 12,1 7,9 Jasa Lainnya 1,3 2,4 1,6 2,0 2,3 2,2 2,6 2,3 3,0 2,4 3,8 2,5 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 1,5 2,7 1,5 1,9 1,9 1,9 5,9 5,3 6,5 5,2 7,3 4,8 Total 55,8 100,0 79,9 100,0 100,6 100,0 112,8 100,0 125,7 100,0 152,3 100,0 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi. Sumber : Kementerian Keuangan Pada tahun 2010, PPN impor diperkirakan akan tetap didukung oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan masing-masing 47,3 persen dan 54,1 persen. Dengan demikian, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp59,2 triliun dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan mencapai Rp28,2 triliun. Secara umum, peningkatan penerimaan di kedua sektor tersebut didukung oleh meningkatnya kinerja impor. Di sisi lain, sektor pertambangan migas diperkirakan akan mengalami penurunan sehingga mencapai Rp0,6 triliun pada akhir tahun Pertumbuhan negatif penerimaan sektor pertambangan migas menurut data modul penerimaan negara (MPN) disebabkan karena penerimaan tercatat hanya dalam bentuk rupiah, penerimaan ini belum termasuk penerimaan dalam bentuk mata uang asing. Apabila digabungkan dengan penerimaan mata uang asing terdapat pertumbuhan positif sebesar 69,1 persen. Perkembangan penerimaan PPN impor secara sektoral tahun dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.8. Real. % thd Total Real. % thd Total Real. % thd Total Perk. Real. % thd Total Uraian TABEL III.8 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, (triliun rupiah) Real % thd Total Real. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,4 0,5 Pertambangan Migas 11,4 25,3 9,9 23,4 11,9 22,0 19,3 23,5 0,8 1,2 0,6 0,6 Pertambangan Bukan Migas 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,3 0,5 0,7 0,5 0,7 1,9 2,0 Penggalian 0,1 0,3 0,1 0,1 0,0 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 0,0 Industri Pengolahan 22,2 49,1 20,0 47,3 26,4 48,8 37,0 45,2 40,2 63,1 59,2 62,3 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,2 0,3 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,2 0,2 0,4 0,2 0,3 Konstruksi 0,5 1,2 0,4 0,9 0,5 0,9 1,3 1,6 1,0 1,5 0,9 1,0 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8,1 17,9 9,0 21,4 12,4 23,0 20,1 24,5 18,3 28,7 28,2 29,7 Pengangkutan dan Komunikasi 1,9 4,1 2,0 4,7 1,8 3,3 2,4 3,0 1,5 2,3 1,2 1,3 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 0,4 1,0 0,4 0,9 0,4 0,8 0,7 0,9 1,0 1,6 2,2 2,3 Jasa Lainnya 0,1 0,2 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Total 45,2 100,0 42,3 100,0 54,0 100,0 82,0 100,0 63,6 100,0 95,0 100,0 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi. Sumber : Kementerian Keuangan % thd Total Real. % thd Total Real % thd Total Real. % thd Total Perk. Real. % thd Total PBB dan BPHTB Realisasi PBB dan BPHTB masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata 10,6 persen dan 17,2 persen dalam periode Rata-rata kontribusi PBB terhadap penerimaan pajak dalam negeri adalah sebesar 4,7 persen, sedangkan BPHTB sebesar 1,0 persen. III-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

117 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III BOKS III.1 AMENDEMEN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM NOMOR 42 TAHUN 2009 LATAR BELAKANG 1. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis. 2. Perkembangan transaksi bisnis yang mengikuti kemajuan teknologi serta perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa, memerlukan penyerderhanaan sistem PPN. DASAR HUKUM 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Undang-undang Nomor 62 Tahun 2009 tentang KUP. 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. UU Nomor 18 Tahun KEBIJAKAN Pemerintah melakukan amendemen atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagai bentuk penyederhanaan sistem perpajakan dan kepastian hukum. TUJUAN 1. Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, 2. Menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana. POKOK-POKOK PERUBAHAN UU PPN DAN PPnBM Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun Istilah baru dalam objek pajak Tidak diatur. Ekspor BKP Tidak Berwujud dan Ekspor JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%. 2. Penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan Dikenakan PPN terbatas pada penyerahan aktiva yang PPN terutang pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan. PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3. Penyerahan dan bukan penyerahan BKP a. Pembiayaan syariah Dikenakan PPN pada setiap transaksi penyerahan. Dikenakan PPN, penyerahannya dianggap langsung. b. Dalam rangka restrukturisasi Dikenakan PPN. Tidak dikenakan PPN, syarat semua perusahaan terdaftar sebagai PKP. c. Persediaan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan Terbatas pada aktiva yang PPN pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan. Seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-15

118 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah 4. NonBKP dan nonjkp (pasal 4a) Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009 a. Daging, telur, susu, sayursayuran, dan buah-buahan Dibebaskan dari pengenaan PPN, melalui Peraturan Pemerintah tentang BKP Strategis. Dibebaskan dari pengenaan PPN. b. Barang hasil pertambangan Dikenakan PPN, kecuali pasir dan kerikil (Psl 4A (2) huruf a). Tidak dikenakan PPN. c. Jasa keuangan PPN tidak dikenakan atas jasa perbankan. (Psl 4A (3) huruf d). PPN tidak dikenakan atas jasa keuangan (menghimpun, menempatkan, dan meminjam dana; pembiayaan; penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai; penjaminan). d. Jasa tertentu PPN dikenakan atas jasa: penyediaan parkir; telepon umum (koin); pengiriman uang dengan wesel pos; serta jasa boga/catering. Menjadi tidak dikenakan PPN. 5. Barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN 6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Sebelumnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ditetapkan langsung di dalam penjelasan Undang-Undang (Pasal 4A). PKP bertambah: 1. Eksportir JKP, 2. Eksportir BKP tidak berwujud. 7. Retur atas penyerahan JKP Tidak diatur. PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat dikurangkan. 8. a. Kriteria BKP mewah (1) Bukan kebutuhan pokok; (2) Dikonsumsi masyarakat tertentu; (3) Dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi; (4) Menunjukkan status; (5) Merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban. Kriteria nomor 5 dihapus. b. Tarif PPnBM Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 75%. Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 200%. 9. Restitusi a. Saat Pengajuan Restitusi (Pasal 9 (4a), (4b)) Seluruh PKP dapat melakukan restitusi pada setiap masa pajak (Psl 9 (4)). Hanya PKP tertentu, yaitu PKP: (1) Eksportir; (2) Dengan penyerahan kepada Pemungut PPN; (3) Mendapat fasilitas tidak dipungut PPN; (4) Belum berproduksi. Restitusi PKP lain pada akhir tahun buku. (Psl 9 (4a)) b. Pengembalian Pendahuluan Hanya diberikan kepada WP Patuh dan WP dengan Persyaratan Tertentu. 1. Mengatur pengembalian pendahuluan bagi PKP Eksportir, PKP dengan penyerahan kepada Pemungut PPN, dan PKP yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, yang berisiko rendah. 2. Sanksi bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan, bila terbit SKPKB. c. Restitusi untuk Turis Asing Tidak diatur. PPN atas barang bawaan dapat direstitusi melalui bandara tertentu, dengan syarat tertentu. 10. Deemed Pajak Masukan 11. Pengkreditan Pajak Masukan (PM) a. PM yang boleh dikreditkan oleh PKP yang belum berproduksi 1. Hanya mengatur untuk PKP yang menggunakan norma PPh. 2. Deemed PM bagi PKP kegiatan tertentu belum diatur. Seluruh PM (Pasal 9 (2a)). Berlaku bagi PKP baik orang pribadi maupun badan yang: 1. Memiliki omzet tertentu; dan 2. Melakukan kegiatan tertentu. Terbatas PM yang berasal dari perolehan dan/atau impor barang modal. Dalam hal PKP gagal berproduksi, maka PM yang telah dikreditkan dan telah direstitusi harus dibayar kembali. b. Pengkreditan PM atas BKP yang dialihkan dalam rangka restrukturisasi Tidak diatur (pada perubahan kedua UU PPN, ketentuan ini dihapus). Menghidupkan kembali rumusan Pasal 9 ayat (14) yaitu dalam hal restrukturisasi, maka PM atas BKP yang dialihkan yang belum dikreditkan dapat dikreditkan oleh PKP. III-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

119 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun Pemusatan tempat PPN WP mengajukan permohonan, pemberian ijin berdasarkan pemeriksaan. Cukup dengan pemberitahuan oleh WP, pemeriksaan dilakukan kemudian dalam hal diperlukan. 13. Faktur Pajak (FP) a. Saat Pembuatan FP Paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat pembayaran (Peraturan Dirjen Pajak). Diatur dalam Undang-Undang (Psl 13 (1a)) yaitu saat penyerahan atau pada saat pembayaran. b. Jenis FP Jenis FP yaitu Standar dan Sederhana. Hanya ada istilah Faktur Pajak. c. Sanksi atas pelanggaran syarat formal FP PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memenuhi syarat formal FP, antara lain: (1) Identitas pembeli; atau (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan (Pasal 13 ayat (5)). PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memuat: (1) Identitas pembeli; atau (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran. FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun FP tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya. d. Syarat formal & material Diatur dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5)). Diatur dalam batang tubuh yaitu Pasal 13 ayat (9). 14. a. Saat penyetoran PPN b. Saat pelaporan PPN Paling lama pada tanggal 15 setelah berakhirnya Masa Pajak. Paling lama pada tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak. Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa. 15. Fasilitas perpajakan (pasal 16b) Belum ada dasar hukum untuk pemberian fasilitas kegiatan-kegiatan tertentu. Memberikan dasar hukum atas pemberian fasilitas sebagai berikut: 1. Perwakilan negara asing dibebaskan PPN dan PPnBM; 2. Proyek Pemerintah yang dibiayai hibah LN tidak dipungut PPN dan PPnBM; 3. Impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan tidak dipungut PPN dan PPn BM; 4. Fasilitas PPN bagi kegiatan penanggulangan bencana alam nasional; 5. Pembebasan PPN bagi listrik & air; 6. Menjamin tersedianya angkutan umum di udara; 7. Bebas PPN bagi penyerahan perak sebagai bahan baku kerajinan. 16. Tanggung renteng Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan UU PPN. Diatur kembali dalam UU PPN. Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan PBB adalah naiknya nilai jual objek pajak (NJOP) dari tahun ke tahun dan perluasan objek PBB. Faktor yang mempengaruhi NJOP adalah harga pasar properti baik tanah maupun bangunan. Khusus untuk PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, kenaikan NJOP juga dipengaruhi oleh nilai produksinya. Meningkatnya penerimaan PBB terutama didukung oleh PBB pertambangan yang dalam periode mengalami peningkatan ratarata sebesar 22,3 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya penerimaan PBB pertambangan antara lain ICP yang cenderung naik dan jumlah areal pertambangan yang terus bertambah. Sementara itu, peningkatan penerimaan BPHTB terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Sebagaimana diketahui, kegiatan usaha di bidang properti sempat mengalami booming pada periode , meskipun agak melemah pada tahun 2008 dan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-17

120 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, penerimaan PBB dan BPHTB ditargetkan sebesar Rp25,3 triliun dan Rp7,2 triliun pada APBN-P tahun Perkembangan penerimaan PBB dan BPHTB dalam periode ditunjukkan dalam Tabel III.9. TABEL III.9 PERKEMBANGAN PBB, (triliun rupiah) Uraian % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total PBB Pedesaan 4,5 27,8 5,8 27,7 1,7 7,3 1,4 5,6 1,4 5,9 0,9 3,4 PBB Perkotaan 3,6 21,9 3,8 18,2 4,9 20,5 5,0 19,6 5,5 22,7 6,3 24,7 PBB Perkebunan 0,1 0,9 0,2 0,7 0,4 1,7 0,6 2,4 0,7 2,9 0,8 3,1 PBB Kehutanan 0,1 0,6 0,1 0,4 0,1 0,5 0,2 0,6 0,2 0,7 0,3 1,2 PBB Pertambangan 7,4 45,7 10,5 50,4 16,6 69,9 18,2 71,6 16,5 67,8 17,1 67,5 PBB Lainnya 0,5 3,1 0,5 2,5 0,03 0,1 0,02 0,1 0,00 0,0 0,00 0,0 Total 16,2 100,0 20,9 100,0 23,7 100,0 25,4 100,0 24,3 100,0 25,3 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Apabila dibandingkan dengan realisasi 2009, PBB dalam APBN-P tahun 2010 mengalami peningkatan 4,3 persen, sedangkan BPHTB meningkat sebesar 10,7 persen. Peningkatan penerimaan PBB tersebut terutama disebabkan oleh tingginya realisasi PBB pertambangan, khususnya pertambangan migas. Dalam tahun 2010, PBB pertambangan ditargetkan sebesar Rp17,1 triliun. Sementara itu, kenaikan penerimaan BPHTB pada tahun 2010 lebih banyak dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi di sektor properti. Hal ini sejalan dengan tren penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berpengaruh terhadap turunnya bunga kredit kepemilikan apartemen (KPA) dan kredit kepemilikan rumah (KPR). Selain itu, meningkatnya transaksi properti juga dipengaruhi oleh semakin mudahnya persyaratan pemberian kredit. Cukai Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethil alkohol (EA), cukai MMEA, denda administrasi cukai, dan cukai lainnya. Penerimaan cukai mengalami peningkatan secara signifikan dalam periode , tumbuh rata-rata sebesar 14,3 persen, yaitu dari Rp33,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp56,7 triliun pada tahun Secara lebih rinci, penerimaan cukai didominasi oleh penerimaan cukai hasil tembakau yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 97,8 persen dengan rata-rata pertumbuhan 14,1 persen. Sementara itu, kontribusi cukai EA mencapai 0,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 40,6 persen, dan cukai MMEA memberikan kontribusi sebesar 1,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan 16,7 persen. Perkembangan penerimaan cukai hasil tembakau periode menunjukkan kecenderungan meningkat yang terutama dipengaruhi oleh: (1) kebijakan di bidang tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai; (2) kebijakan lainnya di bidang cukai, contohnya kebijakan yang terkait dengan penundaan pembayaran cukai; (3) intensitas penindakan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan administrasi pembukuan di bidang cukai oleh KPPBC; (5) peningkatan pengawasan pengguna fasilitas cukai; (6) optimalisasi pelayanan cukai dengan memanfaatkan teknologi informasi (sistem aplikasi cukai sentralisasi) dalam kegiatan pelayanan perizinan nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC), III-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

121 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III penetapan tarif cukai hasil tembakau, penundaan pembayaran cukai, dan proses penyediaan sampai dengan pemesanan pita cukai; dan (7) peningkatan pelaksanaan sosialisasi ketentuan di bidang cukai dengan tujuan agar para stakeholder dapat lebih memahami ketentuan yang berlaku di bidang cukai. Perkembangan realisasi cukai tahun dapat dilihat pada Tabel III.10. TABEL III.10 PERKEMBANGAN REALISASI CUKAI, (triliun rupiah) Uraian Real. % thd Real. % thd Real. % thd Real % thd Real. % thd APBN-P % thd Total Total Total Total Total Total Cukai Hasil Tembakau 32,6 98,2 37,1 98,1 43,5 97,4 49,9 97,4 55,4 97,6 55,9 94,3 Cukai Ethil Alkohol (EA) 0,10 0,3 0,1 0,4 0,4 1,0 0,4 0,8 0,4 0,7 0,4 0,7 Cukai MMEA 0,50 1,5 0,6 1,5 0,7 1,5 0,9 1,7 0,9 1,6 3,0 5,0 Denda Administrasi Cukai 0,004 0,01 0,002 0,01 0,005 0,01 0,012 0,02 0,016 0,03 0,000 0,00 Cukai Lainnya 0,003 0,01 0,007 0,02 0,028 0,1 0,015 0,0 0,010 0,0 0,000 0,0 Total 33,3 100,0 37,8 100,0 44,7 100,0 51,3 100,0 56,7 100,0 59,3 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Berdasarkan pengklasifikasian jenis produksi hasil tembakau pada periode , penerimaan cukai hasil tembakau didominasi oleh SKM yang memberikan kontribusi ratarata sebesar 57,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 2,8 persen. Sementara itu, kontribusi SKT mencapai 35,6 persen dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 2,0 persen, dan SPM memberikan kontribusi sebesar 6,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan 1,9 persen. Perkembangan produksi jenis rokok dapat dilihat pada Tabel III.11. TABEL III.11 PERKEMBANGAN PRODUKSI JENIS ROKOK, (miliar batang) Jenis Rokok Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P a. Sigaret Kretek Mesin (SKM) 126,6 125,4 131,7 144,5 141,2 144,2 b. Sigaret Kretek Tangan (SKT) 78,2 77,9 84,3 88,2 84,7 87,2 c. Sigaret Putih Mesin (SPM) 15,3 13,5 16,0 17,0 16,5 17,0 Total (a+b+c) 220,1 216,8 231,9 249,7 242,4 248,4 Sumber : Kementerian Keuangan Dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi, total produksi hasil tembakau pada tahun 2010 diperkirakan mengalami peningkatan hingga mencapai 6 miliar batang bila dibandingkan dengan realisasinya pada tahun Kenaikan produksi jenis rokok tersebut terutama didorong oleh peningkatan produksi jenis SKM. Selanjutnya, perkembangan produksi MMEA periode , mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 3,5 persen. Penerimaan cukai MMEA didominasi dari penerimaan MMEA dalam negeri dengan rata-rata sebesar 98,3 persen dan selebihnya sebesar 1,7 persen disumbangkan oleh MMEA impor. Perkembangan penerimaan cukai MMEA dan produksi MMEA dalam negeri dapat dilihat pada Grafik III.8. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan cukai diperkirakan mencapai Rp59,3 triliun. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target penerimaan cukai dalam APBN-P tahun 2010 tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp2,5 triliun (4,5 persen). Penerimaan cukai tahun dapat dilihat pada Grafik III.9. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-19

122 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah miliar Rp GRAFIK III.8 PERKEMBANGAN PENERIMAAN CUKAI MMEA DAN PRODUKSI MMEA DALAM NEGERI, ,4 568, , ,5 927, Sumber: Kementerian Keuangan Penerimaan Cukai Produksi Juta Lt Secara lebih rinci, penerimaan cukai hasil tembakau dalam APBN-P tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp55,9 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp0,5 triliun (0,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi tahun Faktor utama yang menyebabkan kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau adalah diterapkannya kebijakan kenaikan tarif cukai yang diberlakukan mulai 1 Januari 2010 berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 persen tergantung pada jenis hasil tembakaunya (SKM, SKT, dan SPM). Selain dipicu oleh kenaikan tarif tersebut, peningkatan triliun Rp penerimaaan cukai hasil tembakau juga didukung oleh upaya pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran barang kena cukai. Sementara itu, penerimaan cukai MMEA dalam APBN-P tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp3,0 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp2,1 triliun (221,5 persen) bila dibandingkan dengan realisasi tahun Faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai MMEA adalah diterapkannya kebijakan penyesuaian tarif cukai MMEA dengan kenaikan tarif ratarata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor. Selain itu, pencapaian tersebut juga didukung oleh upaya pemberantasan MMEA ilegal yang dilakukan melalui peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor. Penyesuaian tarif cukai MMEA dan EA dapat dilihat pada Boks III.2. Selanjutnya, penerimaan cukai EA dalam APBN-P tahun 2010 ditargetkan sebesar Rp0,4 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp0,03 triliun (8,9 persen) bila dibandingkan dengan realisasi tahun Peningkatan tersebut terjadi karena kebijakan penyesuaian tarif cukai untuk konsentrat yang mengandung EA sebesar 100 persen dan penetapan tarif cukai spesifik EA sebesar Rp GRAFIK III.9 PENERIMAAN CUKAI, ,7 59, APBN-P Sumber : Kementerian Keuangan 2010 III-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

123 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III BOKS III.2 PENYESUAIAN TARIF CUKAI MMEA DAN EA Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Penjelasan Pasal 5 ayat 1 angka 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 mengatur bahwa minuman beralkohol tidak lagi termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan dan cukai dengan melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung ethil alkohol. Dalam rangka penyesuaian ketentuan tarif cukai atas MMEA dan EA, Pemerintah memberlakukan kebijakan penetapan tarif cukai atas EA, MMEA, dan konsentrat yang mengandung EA yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.011/ 2010 tentang Penetapan Tarif Cukai Ethil Alkohol, Minuman yang Mengandung Ethil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Ethil Alkohol yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April Tujuan dari kebijakan Pemerintah dalam melakukan penyesuaian tarif cukai spesifik atas MMEA dan EA yaitu: (1) untuk pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Cukai (BKC); (2) menyesuaikan beban perpajakan MMEA Indonesia dengan negara-negara yang berkarakteristik mirip yakni tujuan pariwisata dan negara yang membatasi peredaran MMEA; (3) memudahkan administrasi pemungutan dan kepastian pendapatan negara; (4) penyederhanaan penggolongan tarif cukai ke dalam satu golongan; dan (5) menyamakan tarif cukai MMEA Dalam Negeri (DN) dengan MMEA impor secara bertahap. Dasar penetapan tarif cukai atas MMEA dan EA diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang mengatur bahwa Barang Kena Cukai (BKC) dikenai cukai dengan tarif paling tinggi untuk produk DN sebesar persen x harga jual pabrik atau 80 persen x HJE, dan untuk impor sebesar persen x (nilai pabean + BM) atau 80 persen x HJE. Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar (advalorem) menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan BKC (spesifik), atau sebaliknya atau gabungan keduanya. Pokok-pokok perubahan kebijakan penyesuaian tarif cukai yaitu: 1. Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan A1 dan A2 menjadi golongan A dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar 214,3 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 340,0 persen dan sebesar 120,0 persen. 2. Penggabungan MMEA produksi dalam negeri golongan B1 dan B2 menjadi golongan B dengan penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 500,0 persen dan sebesar 200,0 persen. Sedangkan untuk MMEA impor, penyesuaian kenaikan tarif masing-masing sebesar 100,0 persen dan sebesar 33,3 persen. 3. Penyesuaian kenaikan tarif MMEA untuk golongan C sebesar 188,5 persen untuk produksi DN dan sebesar 160,0 persen untuk impor. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-21

124 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah 4. Penyesuaian kenaikan tarif cukai atas konsentrat yang mengandung etil alkohol masingmasing sebesar 100,0 persen untuk produksi DN dan sebesar 100,0 persen untuk impor. 5. Penetapan tarif cukai etil alkohol (etanol) untuk produksi dalam negeri dan impor dengan pengenaan tarif cukai spesifik sebesar Rp Jenis BKC Gol Kadar Alkohol Tarif Lama* Tarif Baru** Tarif Lama* Tarif Baru** (per liter) (per liter) (per liter) (per liter) A1 s.d. 1% Rp Rp Rp A2 >1% s.d. 5% Rp Rp MMEA B1 >5% s.d. 15% Rp Rp Rp B2 >15% s.d. 20% Rp Rp Rp Rp C >20% Rp Rp Rp Rp Konsentrat Yang Mengandung EA PERBANDINGAN TARIF CUKAI LAMA DENGAN TARIF CUKAI BARU ATAS MMEA, EA, DAN KONSENTRAT YANG MENGANDUNG EA Dari semua jenis konsentrat, kadar, dan golongan, sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan MMEA DALAM NEGERI IMPOR Rp Rp Rp Rp EA Dari semua jenis etil alkohol, kadar, dan golongan Rp Rp *PMK No. 90/PMK.04/2006 **PMK No.62/PMK.011/2010 Sumber: Kementerian Keuangan Pajak Lainnya Penerimaan pajak lainnya selama periode menunjukkan adanya pertumbuhan rata-rata sebesar 11,0 persen. Sebagian besar dari penerimaan pajak lainnya tersebut bersumber dari bea materai yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 96,2 persen terhadap total penerimaan pajak lainnya. Secara umum, meningkatnya realisasi penerimaan pajak lainnya dalam periode dipengaruhi oleh meningkatnya transaksi yang menggunakan dokumen bermeterai. Perkembangan realisasi pajak lainnya tahun dapat dilihat pada Tabel III.12. c Uraian TABEL III.12 PERKEMBANGAN PENERIMAAN PAJAK LAINNYA, (triliun rupiah) % thd % thd % thd % thd % thd % thd Real. Real. Real. Real. Real. APBN-P Total Total Total Total Total Total Bea Meterai 2,0 98,1 2,2 97,1 2,6 95,0 2,8 93,3 3,0 97,4 3,7 97,4 Pajak Tidak Langsung Lainnya 0,004 0,2 0,01 0,3 0,02 0,7 0,001 0,04 0,001 0,04 0,002 0,06 Bunga Penagihan Pajak 0,03 1,67 0,06 2,57 0,1 4,3 0,2 6,7 0,1 2,5 0,1 2,5 Total Sumber : Kementerian Keuangan 2,1 100,0 2,3 100,0 2,7 100,0 3,0 100,0 3,1 100,0 3,8 100,0 III-22 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

125

126 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah pertumbuhannya menurun sebesar 5,5 persen. Penurunan tersebut antara lain dipengaruhi oleh penerapan kebijakan harmonisasi tarif bea masuk Most Favoured Nations (MFN). Selama periode perkembangan rata-rata tarif bea masuk MFN semakin menurun, dari 9,9 persen tahun 2005 menjadi 7,5 persen pada tahun Selain itu, kebijakan penurunan tarif juga terjadi sebagai konsekuensi dari kerjasama perdagangan internasional dengan negara-negara di Asia, baik melalui kerjasama regional, regional plus one dan bilateral. Perjanjian kerjasama perdagangan regional dilakukan melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA) dengan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT), yang kemudian diperbaharui melalui skema ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA). Sebagai implementasinya, Pemerintah telah melaksanakan penurunan rata-rata tarif bea masuk hingga menjadi 0,9 persen untuk negara-negara anggota ASEAN pada tahun Selanjutnya, Pemerintah Indonesia juga telah melaksanakan perjanjian regional plus one melalui kerjasama perdagangan ASEAN-China FTA (ACFTA) dan ASEAN-Korea FTA (AKFTA) dengan penurunan tarif bea masuk pada tahun 2010 hingga mencapai rata-rata tarif sebesar 2,9 persen dan 2,6 persen. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga melakukan perjanjian kerjasama perdagangan bilateral dengan Pemerintah Jepang melalui skema persetujuan kemitraan ekonomi antara Republik Indonesia dan Jepang (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJEPA) dengan penurunan tarif bea masuk pada tahun 2010 mencapai rata-rata tarif sebesar 3,7 persen. Perkembangan rata-rata tarif bea masuk MFN dan kerjasama perdagangan internasional tahun dapat dilihat dalam Grafik III.13. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan bea masuk ditargetkan sebesar Rp17,1 triliun. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan realisasi penerimaan bea masuk pada tahun 2010 tersebut mengalami penurunan sebesar Rp1,0 triliun (5,5 persen). Penurunan tersebut merupakan dampak penerapan kebijakan harmonisasi tarif (MFN) dan konsekuensi dari kerjasama perdagangan internasional. Penerimaan bea masuk tahun dapat dilihat pada Grafik III.14. persen 12,0% 10,0% 8,0% 6,0% 4,0% 2,0% 0,0% GRAFIK III.13 PERKEMBANGAN RATA-RATA TARIF MFN DAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL, Sumber : Kementerian Keuangan MFN ASEAN CEPT ACFTA AKFTA IJEPA GRAFIK III.14 PENERIMAAN BEA MASUK, triliun Rp ,1 17, APBN-P 2010 Sumber : Kementerian Keuangan III-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

127

128 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah BOKS III.3 PENGENAAN BEA KELUAR ATAS EKSPOR BIJI KAKAO Indonesia merupakan negara eksportir biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Hampir 80 persen dari produksi biji kakao Indonesia diekspor dalam bentuk bahan mentah. Dalam periode , volume ekspor biji kakao dari Indonesia meningkat rata-rata 3,1 persen, sejalan dengan peningkatan harga internasional yang mencapai rata-rata 13,8 persen. Perkembangan volume ekspor dan harga internasional kakao dapat dilihat pada grafik di bawah. (Ribu MT) PERKEMBANGAN VOLUME EKSPOR DAN HARGA INTERNASIONAL KAKAO, Export Volume (MT) (USD/MT) Sumber : Kementerian Keuangan dan BPS Namun, industri pengolahan kakao dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir justru hanya mampu berproduksi sekitar 50 persen dari keseluruhan kapasitas produksi karena kurangnya pasokan bahan berupa biji-biji kakao mentah. Dalam upaya menjamin ketersediaan bahan baku dan daya saing industri pengolahan kakao dalam negeri, Pemerintah memberlakukan kebijakan penetapan tarif bea keluar atas ekspor biji kakao yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang berlaku efektif sejak 1 April Dasar pengenaan bea keluar atas barang ekspor diatur dalam Pasal 2A ayat (2) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan tujuan untuk: (1) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (2) melindungi kelestarian sumber daya alam; (3) mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; dan (4) menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. Kerangka pengenaan tarif bea keluar atas ekspor biji kakao serupa dengan struktur tarif bea keluar atas minyak kelapa sawit (CPO) dengan penetapan tarif bea keluar ekspor biji kakao berkisar antara 0-15 persen mengikuti perkembangan harga kakao internasional. III-26 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

129 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III TARIF BEA KELUAR ATAS EKSPOR BIJI KAKAO Harga Internasional Kakao Tarif Kakao (USD/MT) (persen) > > > Sumber: Kementerian Keuangan Perhitungan dan perkembangan dari masing-masing sumber PNBP tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dan variabel yang beragam. Perhitungan dan perkembangan SDA migas dipengaruhi oleh (1) lifting minyak mentah dan gas bumi; (2) Indonesian Crude Oil Price (ICP) yang pergerakannya mengikuti tren harga minyak dunia; (3) pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat; dan (4) besaran cost recovery yang merupakan faktor pengurang penerimaan migas yang akan dibagihasilkan antara Pemerintah dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sesuai kontrak kerja sama (KKS). Sementara itu, penerimaan SDA nonmigas dipengaruhi oleh antara lain: (1) tingkat produksi dan harga beberapa jenis komoditas mineral dan batubara; (2) luas area dan volume produksi hasil hutan; (3) tingkat produksi budidaya perikanan dan kegiatan operasi kapal penangkap ikan; serta (4) kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan PNBP. Selanjutnya, penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN merupakan penerimaan negara dalam bentuk (1) dividen dari perusahaan perseroan dan perseroan terbatas lainnya yang besarnya ditetapkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) dan (2) dividen dari perusahaan umum (Perum) yang besarnya ditetapkan dalam pengesahan laporan keuangan oleh Menteri BUMN. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan bagian negara atas laba BUMN, di antaranya: (a) tingkat laba BUMN dan perseroan terbatas lainnya yang diperoleh pada tahun anggaran sebelumnya, (b) besarnya/persentase kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN dan perseroan terbatas lainnya, dan (c) kebijakan pay-out ratio. Sementara itu, PNBP lainnya, yang sebagian besar merupakan bagian dari kelompok penerimaan kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, terdiri atas: (1) pendapatan dan penjualan sewa; (2) pendapatan jasa; (3) pendapatan bunga; (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (5) pendapatan pendidikan; (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; dan (8) pendapatan lain-lain. Pengelolaan atas sumber PNBP lainnya tersebut sebagian besar dilaksanakan oleh kementerian negara/ lembaga, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pendidikan Nasional, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perhubungan. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi PNBP lainnya dari K/L antara lain: (1) jumlah objek pengenaan PNBP; (2) tarif atas kegiatan pelayanan yang dilaksanakan dan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah; (3) kualitas pelayanan yang diberikan dan administrasi pengelolaan PNBP yang secara tidak langsung meningkatkan jumlah objek pengenaan; dan (4) upaya optimalisasi yang dapat dilakukan, melalui peningkatan pengelolaan dan akuntabilitas pelaporan keuangan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-27

130 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Selama kurun waktu , berbagai langkah, upaya, dan kebijakan yang signifikan telah dilakukan oleh Pemerintah guna meningkatkan dan mengoptimalkan PNBP. Untuk penerimaan SDA, upaya dan kebijakan terutama difokuskan pada (1) pemberian fasilitas fiskal dan nonfiskal terhadap kegiatan usaha sektor hulu migas guna meningkatkan produksi/ lifting minyak bumi dan gas bumi; (2) penyempurnaan ketentuan dalam kontrak kerja sama (production sharing contract) dengan tetap menghormati kontrak yang berlaku, khususnya yang terkait dengan cost recovery; (3) memperkuat pengawasan penerimaan dari sektor migas oleh BP migas; (4) melakukan revisi tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada sektor sumber daya mineral dan meningkatkan produksi komoditas sumber daya mineral; (5) menggali potensi-potensi penerimaan yang ada di sektor kehutanan tanpa merusak lingkungan dan mempertahankan hutan; serta (6) mengoptimalkan penerimaan dari sektor perikanan dengan mempertimbangkan peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pesisir/nelayan. Upaya optimalisasi penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN, dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan peningkatan kinerja BUMN. Beberapa kebijakan yang telah ditempuh berkaitan dengan hal tersebut antara lain: (1) peningkatan modal kerja dan penyehatan perusahaan; (2) optimalisasi dividen pay-out ratio; (3) penyelesaian audit oleh kantor akuntan publik (KAP) atas laporan keuangan BUMN diharuskan selesai lebih awal dari peraturan yang ada guna mengetahui secara awal definitif atas laba/rugi bersih BUMN; serta (4) peningkatan sinergi antar BUMN guna meningkatkan daya saing. Optimalisasi PNBP lainnya selama antara lain ditempuh melalui (1) optimalisasi PNBP pada K/L; (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan PNBP pada masing-masing K/L; (3) monitoring, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan PNBP pada K/L; dan (4) peningkatan akurasi target dan penyusunan pagu penggunaan PNBP dan K/L yang realistis serta pelaporannya. Sementara itu, kebijakan mengenai pendapatan BLU difokuskan pada upaya untuk (a) mendorong peningkatan pelayanan publik instansi Pemerintah; (b) meningkatkan pengelolaan keuangan BLU yang efisien dan efektif; dan (c) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi Pemerintah. Secara keseluruhan, selama PNBP mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 11,5 persen, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu 54,5 persen. Namun, di tahun 2009 PNBP mengalami pertumbuhan negatif 29,1 persen, yaitu dari Rp320,6 triliun di tahun 2008 menjadi Rp227,2 triliun. Dilihat dari komposisinya, penurunan realisasi PNBP tahun 2009 lebih disebabkan oleh penurunan dari penerimaan SDA migas yang dipengaruhi oleh penurunan ICP yang signifikan pada tahun 2009 bila dibandingkan dengan ICP pada tahun Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP ditargetkan sebesar Rp247,2 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target tersebut meningkat sebesar Rp20,0 triliun atau 8,8 persen. Dengan target tersebut, PNBP diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar 25,0 persen terhadap perkiraan penerimaan dalam negeri. Dilihat dari komposisinya, peningkatan terbesar terjadi pada penerimaan SDA migas, yaitu sebesar 20,7 persen bila dibandingkan dengan realisasinya pada tahun Tabel III.13 memperlihatkan perkembangan total PNBP beserta komponen penerimaannya selama periode III-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

131 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III TABEL III.13 PERKEMBANGAN PNBP, (triliun rupiah) Uraian APBN-P I. Penerimaan SDA 110,5 167,5 132,9 224,5 139,0 164,7 a. Penerimaan SDA Migas 103,8 158,1 124,8 211,6 125,8 151,7 b. Penerimaan SDA Nonmigas 6,7 9,4 8,1 12,8 13,2 13,0 II. Bagian Pemerintah atas Laba BUMN 12,8 21,5 23,2 29,1 26,0 29,5 III. PNBP Lainnya 23,6 38,0 56,9 63,3 53,8 43,5 IV. Pendapatan BLU - - 2,1 3,7 8,4 9,5 PNBP 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2 Sumber : Kementerian Keuangan Penerimaan SDA Penerimaan SDA, yang terdiri dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas) dan penerimaan SDA nonmigas merupakan sumber utama PNBP. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan SDA memberikan kontribusi rata-rata sekitar 68,4 persen terhadap total PNBP. Penerimaan SDA migas merupakan penerimaan yang bersumber dari penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas bumi. Sedangkan penerimaan SDA nonmigas diperoleh dari penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan penerimaan pertambangan panas bumi. Selama periode , penerimaan SDA memperlihatkan pertumbuhan yang fluktuatif. Di tahun 2007 dan 2009 terjadi penurunan penerimaan SDA, sebesar masing-masing 20,6 persen dan 38,1 persen. Sedangkan di tahun 2008, mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu mencapai 63,9 persen, atau naik Rp91,6 triliun bila dibandingkan dengan realisasi tahun Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan SDA ditargetkan sebesar Rp164,7 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan penerimaan SDA tersebut mengalami peningkatan Rp25,8 triliun atau 18,5 persen. Tabel III.14 memperlihatkan perkembangan penerimaan SDA beserta komponen penerimaannya selama periode APBN-P Penerimaan SDA Migas 103,8 158,1 124,8 211,6 125,8 151,7 - Minyak bumi 72,8 125,1 93,6 169,0 90,1 112,5 - Gas bumi 30,9 32,9 31,2 42,6 35,7 39,2 Penerimaan SDA Nonmigas 6,7 9,4 8,1 12,8 13,2 13,0 - Pertambangan Umum 3,2 6,8 5,9 9,5 10,4 9,7 - Kehutanan 3,2 2,4 2,1 2,3 2,3 2,9 - Perikanan 0,3 0,2 0,1 0,1 0,1 0,2 - Panas Bumi ,9 0,4 0,2 Penerimaan SDA 110,5 167,5 132,9 224,5 139,0 164,7 Sumber : Kementerian Keuangan TABEL III.14 PERKEMBANGAN PENERIMAAN SDA, (triliun rupiah) Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-29

132

133

134

135 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III sekitar 75,0 persen penerimaan dari beroperasinya kapal-kapal perikanan asing. Kebijakan penghapusan tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk menghambat illegal fishing dan untuk memperkuat industri dan armada perikanan nasional. Perusahaan asing boleh memiliki izin tangkap ikan hanya bila mendaratkan hasil tangkapan ke dalam negeri, dan mendirikan unit pengolahan di Indonesia. Faktor lainnya adalah karena meningkatnya biaya operasi penangkapan ikan yang mengakibatkan banyak pengusaha kapal mengalihkan usahanya ke sektor lain sehingga mengurangi penerimaan dari pungutan hasil perikanan (PHP). Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan perikanan ditargetkan sebesar Rp150 miliar. Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, perkiraan realisasi tersebut meningkat sebesar Rp58,0 miliar atau 63,0 persen. Peningkatan penerimaan perikanan diupayakan melalui optimalisasi pelayanan dan penertiban perizinan usaha. Selanjutnya, penerimaan pertambangan panas bumi merupakan sumber penerimaan SDA nonmigas yang mulai dicatat dalam penerimaan tahun Penerimaan pertambangan panas bumi ini bersumber dari perhitungan setoran bagian Pemerintah sebesar 34 persen dari penerimaan bersih usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi (net operating income/noi) untuk pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran pajak-pajak dan pungutan-pungutan lain. Dalam tahun 2009, realisasi penerimaan panas bumi mencapai Rp0,4 triliun, sedangkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp0,2 triliun. Target tersebut lebih rendah Rp0,2 triliun, turun 39,0 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun Dalam jangka menengah, penerimaan dari pertambangan panas bumi memiliki potensi yang cukup besar mengingat Pemerintah terus mengupayakan pemanfaatan energi alternatif, khususnya energi panas bumi Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN Menurut ketentuan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dijelaskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Seiring perkembangan waktu, pada saat ini BUMN memegang lima peranan dalam ekonomi nasional, yakni: (a) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (b) mengejar keuntungan; (c) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (d) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; dan (e) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Kelima peran ekonomi tersebut merupakan amanah dari pasal 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah BUMN terus mengalami perubahan, baik dari sisi bentuk perusahaan, maupun kelompok sektor usaha. Dari sisi bentuk perusahaan, hingga sekarang BUMN dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (a) perusahaan umum (perum); (b) perusahaan perseroan (persero); dan (c) perseroan terbatas terbuka (persero Tbk). Dari sisi kelompok sektor usaha, BUMN dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yang tersebar dalam 35 sektor usaha, yaitu kelompok: (a) jasa keuangan dan perbankan; (b) jasa lainnya; (c) bidang usaha logistik dan pariwisata; (d) agro industri, pertanian, kehutanan, kertas, percetakan, dan penerbitan; serta (e) pertambangan, telekomunikasi, energi, dan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-33

136 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah industri strategis. Selama periode , telah terjadi penambahan jumlah BUMN, yaitu dari 139 BUMN menjadi 142 BUMN. Ketiga BUMN baru tersebut adalah PT Dirgantara Indonesia (persero) yang sebelumnya dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Asset / PPA (persero), PT Askrindo (persero) yang sebelumnya mayoritas sahamnya dikuasai oleh Bank Indonesia, dan Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang sebelumnya merupakan lembaga penyiaran publik. Selain mengelola kepemilikan saham pada sejumlah BUMN, Pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN juga mengelola saham minoritas atau di bawah 51,0 persen di sejumlah perusahaan. Hingga tahun 2010, saham minoritas Pemerintah tersebar di 18 perusahaan yang di antaranya PT Indosat Tbk (14,3 persen), PT Bank Bukopin (18,2 persen), dan PT Freeport Indonesia Tbk (9,4 persen). Sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003, perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN karena saham Pemerintah bersifat minoritas. Pemetaan laba/rugi berikut kategori BUMN dan perseroan minoritas disajikan pada Bagan III.1. BAGAN III.1 PETA KINERJA BUMN DI TAHUN 2010 BUMN 141 LABA 120 RUGI 21 * * BUMN yaitu PT ISI dalam proses likuidasi Bagi Dividen Tidak Bagi Dividen 72 Kebijakan Akum Rugi 21 Sub-Total BUMN Minoritas 18 Sumber: Kementerian BUMN Bagi Dividen Tidak Bagi Dividen 7 11 Sub-Total Minoritas 18 Selama periode , kinerja BUMN terus mengalami perkembangan positif, baik dari aset, laba bersih, belanja operasional (operational expenditure/opex), dan belanja modal (capital expenditure/capex). Selama periode tersebut, total aset BUMN tumbuh rata-rata sebesar 10,6 persen, laba bersih tumbuh rata-rata sebesar 25,1 persen, opex tumbuh ratarata sebesar 288,5 persen, dan capex tumbuh rata-rata sebesar 50,4 persen. Kinerja BUMN selama periode tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan di pasar modal. Data mutakhir Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan total kapitalisasi pasar BUMN terbuka mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 24,0 persen, dan total persentase rata-rata terhadap kapitalisasi pasar sebesar 34,0 persen. Dari sisi laba bersih seluruh BUMN, pencapaian tertinggi terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar Rp88,6 triliun, lebih besar bila dibandingkan dengan laba tahun Peningkatan laba bersih tersebut menunjukkan ketahanan (resilience) kinerja BUMN di tengah belum kondusifnya kondisi perekonomian tahun 2009 sebagai dampak instabilitas variabel makro seperti harga minyak, nilai tukar, pertumbuhan kredit perbankan, serta harga komoditas pertambangan, pertanian dan perkebunan. Dari total perolehan laba bersih tersebut, sebagian III-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

137

138 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah perbankan sebesar Rp3,3 triliun (12,7 persen). Selanjutnya dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN ditargetkan sebesar Rp29,5 triliun. Selama periode , 25 21,4 PT Pertamina menjadi BUMN penyumbang dividen terbesar dengan rata-rata kontribusi tiap tahun mencapai 45,7 persen terhadap total dividen BUMN ,8 0 Selama periode tersebut, APBN-P 2010 PT Pertamina membukukan laba Sumber : Kementerian Keuangan bersih rata-rata sebesar Rp22,5 triliun per tahun. Perolehan laba tertinggi terjadi dalam tahun 2008 yaitu sebesar Rp30,2 triliun atau meningkat sebesar 23,3 persen bila dibandingkan dengan laba bersih tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut merupakan windfall profit akibat lonjakan harga minyak pada kuartal II tahun PNBP Lainnya triliun Rp GRAFIK III.25 PNBP BAGIAN PEMERINTAH ATAS LABA BUMN, Dalam struktur APBN, PNBP lainnya terdiri atas penerimaan yang bersumber dari (1) pendapatan penjualan dan sewa; (2) pendapatan jasa; (3) pendapatan bunga; (4) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (5) pendapatan pendidikan; (6) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (7) pendapatan iuran dan denda; serta (8) pendapatan lain-lain. Sumber utama PNBP lainnya berasal dari pendapatan Pemerintah yang diperoleh dari jasa pelayanan yang diberikan oleh K/L kepada masyarakat, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing K/L tersebut. Pemungutan PNBP K/L tersebut dilakukan dalam rangka pengaturan, pelayanan, dan pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan Pelayanan Publik. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagian PNBP yang dipungut oleh K/L dapat digunakan kembali oleh K/L yang bersangkutan setelah disetor ke kas negara terlebih dahulu. Penetapan penggunaan PNBP tersebut didasarkan pada keputusan Menteri Keuangan tentang izin penggunaan PNBP yang bersifat spesifik pada masing-masing K/L. Dalam kurun waktu , realisasi PNBP lainnya rata-rata tumbuh sebesar 22,9 persen. Secara nominal, peningkatan tertinggi terjadi dalam tahun 2007, yaitu meningkat sebesar Rp18,8 triliun jika dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan tersebut adalah meningkatnya pendapatan dari kegiatan hulu migas, yaitu dari Rp7,3 triliun menjadi Rp8,8 triliun, sebagai dampak dari meningkatnya harga minyak mentah dunia. Sedangkan dalam APBN-P tahun 2010, PNBP lainnya ditargetkan mencapai Rp43,5 triliun. Target tersebut lebih rendah Rp10,3 triliun atau 19,2 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, yang antara lain disebabkan oleh tingginya pendapatan penjualan dan sewa, serta adanya setoran berupa pendapatan bagian Pemerintah dari sisa surplus Bank Indonesia di tahun Perkembangan PNBP lainnya dan pendapatan BLU selama periode dapat dilihat pada Tabel III ,22 31,29 28,6 29,5 III-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

139 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III TABEL III.15 PERKEMBANGAN PNBP LAINNYA, (triliun rupiah) No Kementerian/Lembaga APBN-P 1 Kementerian Komunikasi dan Informatika* 1,8 4,0 5,1 7,7 10,1 10,3 2 Kementerian Pendidikan Nasional * 1,2 2,3 3,2 4,0 5,4 6,7 3 Kementerian Kesehatan* 0,2 0,4 3,0 2,9 3,3 4,0 4 Kepolisian Negara Republik Indonesia 1,2 1,4 1,5 1,7 1,8 2,0 5 Badan Pertanahan Nasional 0,6 1,0 1,2 1,4 1,4 1,5 6 Kementerian Hukum dan HAM 0,7 0,8 0,9 1,2 1,4 1,5 7 Peneriman Lainnya, seperti: - Rekening Dana Investasi (RDI) 8,0 7,4 7,9 8,2 1,5 3,2 - Pendapatan minyak mentah (DMO) - 7,3 8,6 9,9 6,5 7,9 - Penjualan hasil tambang 1,5 2,7 2,9 2,5 6,5 5,5 - Surplus BI - 1,5 13,7-2,6 - - Penerimaan lain-lain 8,4 9,5 9,3 23,8 13,3 0,9 Total PNBP Lainnya 23,6 38,0 56,9 63,3 53,8 43,5 * Termasuk pendapatan BLU Sumber: Berbagai Kementerian/Lembaga Dalam rangka pencapaian target PNBP 2010, khususnya yang berasal dari berbagai K/L, selain dengan penetapan, perbaikan, dan penyempurnaan peraturan pemerintah (PP) tentang jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada K/L, Pemerintah juga telah dan akan terus melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan pemungutan PNBP pada masing-masing K/L. Sesuai dengan PP Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika, jenis penerimaan PNBP pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terdiri atas: (1) pendapatan hak dan perizinan (biaya hak penyelenggaraan frekuensi); (2) pendapatan jasa penyelenggaraan pos dan telekomunikasi (biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi); (3) pendapatan jasa sewa sarana dan prasarana; (4) pendapatan dari penyelenggaraan penyiaran; dan (5) pendapatan pendidikan, pelatihan, dan penghapusan aset. Selama periode , PNBP Kemenkominfo mengalami peningkatan rata-rata sebesar 53,7 persen. Dalam tahun 2009, realisasi penerimaan PNBP Kemenkominfo mencapai Rp10,1 triliun, meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau 30,5 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 sebesar Rp7,7 triliun. Kenaikan tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya penggunaan spektrum di pita seluler oleh para operator seluler. Sementara itu dalam APBN-P tahun 2010, PNBP Kemenkominfo ditargetkan sebesar Rp10,3 triliun. Perkiraan realisasi tersebut didukung oleh beberapa kebijakan, antara lain: (1) pengenaan BHP frekuensi dengan metode lelang pada pita frekuensi yang potensial (bandwith wireless access); (2) pembenahan database baik pengguna frekuensi maupun penyelenggaraan telekomunikasi; (3) melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi dan pengguna spektrum frekuensi berkenaan dengan kewajiban pembayaranpnbp; (4) penegakan hukum secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi dan pengguna spektrum frekuensi yang tidak mematuhi ketentuan perundangan; dan (5) pembaharuan dan penambahan instrumen secara bertahap, antara lain sistem monitoring frekuensi, otomatisasi sistem manajemen/perizinan frekuensi dan alat pengujian. Perkembangan PNBP Kemenkominfo dapat dilihat pada Grafik III.26. Berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 1997 tentang Tarif dan Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, jenis penerimaan yang berlaku di Kementerian Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-37

140 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Pendidikan Nasional (Kemendiknas) terdiri atas: (1) penerimaan dari penyelenggaraan pendidikan; (2) penerimaan kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi Perguruan Tinggi Negeri (PTN); (3) penerimaan dari hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan; dan (4) penerimaan dari sumbangan hibah perorangan, lembaga Pemerintah atau non-pemerintah. Dalam tahun 2009, realisasi PNBP Kemendiknas mencapai Rp5,4 triliun. Realisasi tersebut lebih tinggi dari realisasi pada tahun 2008 yang mencapai Rp4,0 triliun. Sedangkan pertumbuhan PNBP Kemendiknas selama periode , rata-rata sebesar 45,6 persen per tahun. triliun Rp GRAFIK III.26 PERKEMBANGAN PNBP KEMENKOMINFO, Sementara itu dalam APBN-P tahun , PNBP Kemendiknas ditargetkan 4 3,8 sebesar Rp6,7 triliun. Target tersebut 3,2 3 didukung oleh beberapa kebijakan, 2,3 antara lain: (1) meningkatkan kapasitas 2 dan daya tampung perguruan tinggi; 0,9 1 (2) meningkatkan pelaksanaan 0 berbagai program kegiatan kerjasama, APBN-P 2010 baik antarinstansi maupun lembaga Sumber : Kementerian Pendidikan Nasional non-pemerintah, serta dunia industri; (3) meningkatkan kegiatan-kegiatan ilmiah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; (4) mendukung upaya untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang tertib, taat pada peraturan per Undang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Perkembangan PNBP Kemendiknas dapat dilihat pada Grafik III.27. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Kesehatan, jenis penerimaan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terdiri atas: (1) penerimaan dari pemberian izin pelayanan kesehatan oleh swasta; (2) penerimaan dari pemberian izin mendirikan rumah sakit swasta; (3) penerimaan dari jasa pendidikan tenaga kesehatan; (4) penerimaan dari jasa pemeriksaan laboratorium; (5) penerimaan dari jasa pemeriksaan air secara kimia lengkap; (6) penerimaan dari jasa balai pengobatan penyakit paru-paru (BP4); (7) penerimaan dari jasa balai kesehatan mata masyarakat (BKMM); (8) penerimaan dari uji pemeriksaan spesimen; dan (9) penerimaan dari jasa pelayanan rumah sakit. Dalam tahun 2009, realisasi PNBP Kemenkes mencapai Rp3,3 triliun, meningkat Rp0,4 triliun atau 13,8 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun Adapun pertumbuhan rata-rata selama mencapai 101,5 persen. 1,8 4,0 5,1 7,7 10,1 10, APBN-P 2010 Sumber : Kementerian Kominfo GRAFIK III.27 PERKEMBANGAN PNBP KEMENDIKNAS, triliun Rp 7 6,7 6 5,4 III-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

141 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III Sementara itu, PNBP Kemenkes GRAFIK III.28 dalam APBN-P tahun 2010, PERKEMBANGAN PNBP KEMENKES, ditargetkan sebesar Rp4,0 triliun triliun Rp 4,0 Target tersebut didukung oleh 4 beberapa kebijakan, antara lain 3,3 (a) peningkatan sumber daya 3,0 2,9 3 manusia dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas pelayanan; (b) menggali potensi PNBP melalui 2 upaya intensifikasi dan ekstensifikasi; (c) peningkatan cost recovery rumah 1 sakit untuk menuju kemandirian 0,4 0,2 komputerisasi administrasi keuangan, 0 dan (d) meningkatkan pelayanan APBN-P kesehatan yang terintegrasi sesuai standar yang berorientasi pada Sumber : Kementerian Kesehatan 2010 kepuasan pelanggan. Perkembangan PNBP Kemenkes dapat dilihat pada Grafik III.28. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, jenis penerimaan Polri terdiri atas: (1) surat izin mengemudi (SIM); (2) surat tanda nomor kendaraan (STNK); (3) tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB); (4) surat tanda coba kendaraan (STCK); (5) bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB); (6) simulator; (7) izin senjata api (Senpi); (8) kartu sidik jari; dan (9) denda pelanggaran lalu lintas. Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP Polri ditargetkan sebesar Rp2,0 triliun. Pencapaian target tersebut akan ditempuh melalui kebijakan antara lain: (1) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui pelatihan teknis Lantas dan pendidikan pelatihan fungsional Lantas; (2) meningkatkan infrastruktur pendukung pelaksanaan operasional Polri di bidang lalu lintas berupa pengadaan Alsus Polantas, kendaraan patroli roda 2/roda 4, kendaraan patwal roda 2/roda 4, kendaraan uji SIM roda 2/roda 4, mobil unit pelayanan SIM, mobil unit laka Lantas, driving simulator, komputer Samsat dan alat cetak TNKB; (3) melanjutkan pembangunan jaringan Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) meliputi wilayah Kalimantan, Maluku Utara, dan Papua; (4) meningkatkan kinerja dengan menambah membangun jaringan Automatic Traffic Management Center di wilayah Jawa; dan (5) melaksanakan Perpolisian Masyarakat (Polmas) melalui kegiatan Citra Polantas. Perkembangan PNBP Polri dapat dilihat pada Grafik III.29. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (BPN), jenis penerimaan yang berlaku di BPN terdiri triliun Rp 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 GRAFIK III.29 PERKEMBANGAN PNBP POLRI, ,2 1,4 1, APBN-P 2010 Sumber : Kepolisian Negara Republik Indonesia 1,7 1,8 2,0 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-39

142 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah atas (1) pelayanan pendaftaran tanah; (2) pelayanan pemeriksaan tanah; (3) pelayanan informasi pertanahan; (4) pelayanan konsolidasi tanah secara swadaya; (5) pelayanan survei, pengukuran, dan pemetaan; (6) pelayanan pendidikan; dan (7) pelayanan lisensi. Realisasi PNBP BPN tahun 2009 mencapai Rp1,4 triliun, sama dengan realisasi tahun Pencapaian tersebut seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi masyarakat yang berimbas pada minat dan kesadaran masyarakat terhadap kepastian hukum. Rata-rata pertumbuhan PNBP BPN periode mencapai 23,7 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP BPN ditargetkan sebesar Rp1,5 triliun. Target tersebut didukung oleh beberapa kebijakan, antara lain: (1) PNBP murni, yaitu meningkatkan penertiban pengelolaan PNBP dan penertiban pencatatan aset-aset milik negara; (2) PNBP fungsional, antara lain melalui peningkatan transparansi informasi tentang persyaratan, jangka waktu, dan biaya pelayanan, penerapan model pelayanan jemput bola, peningkatan kapasitas kemampuan petugas ukur dan pendataan yuridis termasuk melibatkan para surveyor berlisensi, dan memfokuskan pelayanan pertanahan yang dibiayai dengan sumber dana publik, seperti PRONA, UKM, sertifikasi tanah pertanian dan nelayan pada daerah tertinggal dan ekonomi lemah. Perkembangan PNBP BPN dapat dilihat pada Grafik III.30. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), jenis penerimaan Kemenkumham bersumber dari penerimaan (1) pelayanan jasa hukum; (2) balai harta peninggalan; (3) keimigrasian; (4) hak dan kekayaan intelektual; serta (5) jasa tenaga kerja narapidana. Selama periode , PNBP Kemenkumham mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18,9 persen. Dalam tahun 2009, realisasi PNBP Kemenkumham mencapai Rp1,4 triliun, meningkat sebesar Rp0,2 triliun atau 16,7 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang mencapai Rp1,2 triliun. Dalam APBN-P tahun 2010, PNBP Kemenkumham ditargetkan sebesar Rp1,5 triliun. Target tersebut didukung dengan kebijakan antara lain: (1) melakukan inventarisasi seluruh potensi PNBP pada kantor atau unit pelayanan teknis (UPT) di lingkungan Kemenkumham; dan (2) optimalisasi pembangunan sarana dan prasana untuk mendukung tugas dan fungsi Kemenkumham. Perkembangan PNBP Kemenkumham dapat dilihat pada Grafik III.31. triliun Rp 1,6 1,2 0,8 0,4 0,0 GRAFIK III.30 PERKEMBANGAN PNBP BPN, ,6 0,7 0, APBN-P 2010 Sumber : BadanPertanahan Nasional triliun Rp 1,6 1,2 0,8 0,4 0 0,7 0,8 0,9 0,9 1,2 1,4 GRAFIK III.31 PERKEMBANGAN PNBP KEMENKUMHAM, APBN-P 2010 Sumber : Kementerian Hukum dan HAM 1,4 1,5 1,5 III-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

143

144 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah 3.3 Tantangan dan Peluang Kebijakan Pendapatan Negara Proses pemulihan ekonomi yang terjadi pada tahun 2010 memberikan landasan yang cukup kuat bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia pada tahun-tahun selanjutnya, meskipun masih terdapat tantangan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi global terkait dengan terjadinya gejolak pada sektor keuangan di beberapa negara kawasan Eropa. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan meningkat dibandingkan dengan tahun Kondisi tersebut dipengaruhi oleh cukup stabilnya fundamental ekonomi makro nasional dan juga ditopang oleh pertumbuhan ekonomi dunia. Berdasarkan kondisi perekonomian nasional tersebut, pendapatan negara dan hibah diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan pencapaian tahun Penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan PNBP, menjadi pilar utama dari pendapatan negara dan hibah. Sebagai kontributor utama penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diperkirakan lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Beberapa kebijakan yang diambil untuk mencapai target tersebut adalah (1) penggalian potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan pelayanan kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi; dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Dalam tahun 2011, PNBP diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan dengan target APBN-P 2010, terutama didorong oleh penurunan penerimaan dari bagian Pemerintah atas laba BUMN. Di samping itu, ketidakpastian perkembangan harga minyak dunia yang akan berpengaruh terhadap tingkat harga juga akan memberikan pengaruh terhadap upaya pencapaian target penerimaan migas. Untuk itu, Pemerintah perlu berupaya melalui kebijakan dan perbaikan administrasi guna lebih mengoptimalkan pencapaian target PNBP tahun Upaya Pemerintah tersebut melalui (1) pengoptimalan lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA, (2) pengoptimalan penerimaan Pemerintah atas laba BUMN melalui optimalisasi pay-out ratio, penyelesaian audit keuangan BUMN secara lebih awal guna mengetahui posisi rugi/laba BUMN, dan opsi dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN, dan (3) peninjauan atas jenis dan tarif, perbaikan administrasi pelaporan keuangan, dan intensifikasi penarikan PNBP K/L. 3.4 Sasaran Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2011 Pendapatan negara dan hibah sangat penting sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam rencana kerja Pemerintah (RKP). Prospek pulihnya perekonomian menjadi salah satu faktor utama untuk mengoptimalkan sumbersumber pendapatan negara. Berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro pada tahun 2011, pendapatan negara dan hibah diperkirakan mencapai Rp1.086,4 triliun, terdiri atas penerimaan dalam negeri Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Apabila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010, target dalam tahun 2011 tersebut mengalami peningkatan sebesar 9,5 persen. Sumber utama peningkatan tersebut diharapkan berasal dari penerimaan perpajakan yang ditargetkan meningkat sejalan dengan dilakukannya berbagai extra effort. Extra effort tersebut antara lain dilakukan melalui perbaikan III-42 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

145 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III administrasi perpajakan, penggalian potensi perpajakan, peningkatan pemeriksaan pajak, serta perbaikan mekanisme keberatan dan banding. Pendapatan negara dan hibah dalam tahun dapat dilihat pada Tabel III Penerimaan Dalam Negeri Penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp1.082,6 triliun pada tahun 2011, atau meningkat 9,3 persen bila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun Sebagian besar dari target penerimaan dalam negeri tersebut merupakan kontribusi dari penerimaan perpajakan, yaitu sebesar Rp839,5 triliun (77,5 persen), dan selebihnya merupakan kontribusi dari PNBP sebesar Rp243,1 triliun (22,5 persen) Penerimaan Perpajakan Kebijakan Umum Perpajakan Tahun 2011 APBN-P % thd PDB RAPBN % thd PDB Pendapatan Negara dan Hibah 992,4 15, ,4 15,5 I. Penerimaan Dalam Negeri 990,5 15, ,6 15,5 1. Penerimaan Perpajakan 743,3 11,9 839,5 12,0 a. Pajak Dalam Negeri 720,8 11,5 816,4 11,7 i. Pajak penghasilan 362,2 5,8 414,5 5,9 Migas 55,4 0,9 54,2 0,8 Nonmigas 306,8 4,9 360,3 5,1 ii. Pajak pertambahan nilai 263,0 4,2 309,3 4,4 iii. Pajak Bumi dan Bangunan 25,3 0,4 27,7 0,4 iv. BPHTB 7,2 0,1 0,0 0,0 v. Cukai 59,3 0,9 60,7 0,9 vi. Pajak lainnya 3,8 0,1 4,2 0,1 b. Pajak Perdagangan Internasional 22,6 0,4 23,1 0,3 i. Bea masuk 17,1 0,3 18,0 0,3 ii. Bea keluar 5,5 0,1 5,1 0,1 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 247,2 4,0 243,1 3,5 a. Penerimaan SDA 164,7 2,6 158,2 2,3 i. Migas 151,7 2,4 145,3 2,1 ii. Nonmigas 13,0 0,2 12,9 0,2 b. Bagian Laba BUMN 29,5 0,5 26,6 0,4 c. PNBP Lainnya 43,5 0,7 43,4 0,6 d. Pendapatan BLU 9,5 0,2 14,9 0,2 II. Hibah 1,9 0,0 3,7 0,1 Sumber: Kementerian Keuangan TABEL III.16 PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, (triliun rupiah) Uraian 2010 Sebagaimana tahun 2010, kebijakan umum perpajakan dilakukan melalui upaya perbaikan administrasi perpajakan. Salah satu upaya perbaikan administrasi perpajakan tersebut adalah pengalihan BPHTB serta PBB sektor perdesaan dan perkotaan yang semula merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Selain itu, perbaikan administrasi perpajakan juga dilakukan dengan melanjutkan penghapusan fiskal luar negeri bagi WP 2011 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-43

146 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah orang pribadi yang mempunyai NPWP sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun Selanjutnya, Pemerintah juga akan melanjutkan program reformasi perpajakan dalam bentuk reformasi perpajakan jilid II, antara lain dilakukan melalui program Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang penyelesaiannya membutuhkan waktu dalam jangka menengah ( ). Dalam rangka menggali potensi penerimaan pajak dalam tahun 2011, beberapa program yang dilakukan oleh Pemerintah, antara lain (1) program ekstensifikasi perpajakan dalam menambah WP baru; (2) program intensifikasi penggalian potensi perpajakan berbasis profile WP; (3) penggalian potensi sektor-sektor tertentu; (4) aplikasi optimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP); dan (5) pemberian pendidikan perpajakan (tax education) dalam rangka meningkatkan kepatuhan WP (tax payer compliance). Selain kelima upaya tersebut, optimalisasi penerimaan pajak tahun 2011 juga didukung oleh upaya peningkatan kualitas pemeriksaan pajak. Dalam hal ini, beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah adalah (1) menyusun kebijakan teknis pemeriksaan atas hasil pemeriksaan WP yang tergabung dalam satu grup; (2) melakukan kajian atas perlakuan PPN untuk barang hasil tambang; (3) meningkatkan koordinasi dengan berbagai instansi terkait sehubungan dengan pencairan piutang pajak dan prioritas pencairan kepada penunggak pajak terbesar; dan (4) harmonisasi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang Kepailitan, serta Undang-undang terkait tentang hak mendahulukan negara atas piutang pajak terhadap WP yang dinyatakan pailit. Selanjutnya, Pemerintah akan menyempurnakan mekanisme atas keberatan dan banding sebagai upaya untuk mendukung optimalisasi penerimaan pajak. Hal ini antara lain dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan informasi dari putusan pengadilan pajak serta keputusan keberatan dan nonkeberatan sebagai bahan untuk penggalian potensi perpajakan. Selain itu, Pemerintah akan menyusun kembali grand strategy untuk meningkatkan pengawasan, guna menghindari dan mengurangi penyalahgunaan wewenang, serta meningkatkan fungsi litigasi agar Pemerintah dapat memenangkan sengketa dalam sidang banding dan gugatan di Pengadilan Pajak. Sejalan dengan upaya perbaikan administrasi dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan, Pemerintah juga melakukan optimalisasi penerimaan kepabeanan dan cukai melalui peningkatan pelayanan kepabeanan dan cukai. Langkah-langkah yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepabeanan dan cukai antara lain: (1) melanjutkan reformasi birokrasi, melalui pembentukan KPPBC madya dan penyempurnaan birokrasi di lingkungan internal; (2) penyempurnaan implementasi Indonesia National Single Window (INSW) di 5 kantor pabean (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, Bandara Soekarno Hatta, dan Belawan); (3) otomatisasi pelayanan; (4) implementasi kawasan pelayanan pabean terpadu; dan (5) konsistensi pelayanan kepabeanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu di empat pelabuhan utama (Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makasar dan Belawan). Khusus di bidang kepabeanan, optimalisasi penerimaan dalam tahun 2011 dilakukan antara lain melalui (1) peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor; (2) peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang; (3) peningkatan kolektibilitas piutang kepabeanan dan cukai; (4) peningkatan pengawasan di daerah perbatasan, terutama jalur rawan penyelundupan; dan (5) optimalisasi fungsi unit pengawasan melalui peningkatan patroli darat dan laut. Terkait dengan upaya peningkatan pengawasan di bidang kepabeanan, III-44 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

147 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III beberapa kebijakan yang diambil adalah dengan melakukan penataan hubungan kerja antarunit pengawasan, penerapan pola profiling secara sistematis dalam rangka risk management, melakukan pendeteksian dini terhadap pelanggaran, otomatisasi proses pengawasan secara vertikal dan horisontal, serta perbaikan bisnis proses audit dan revitalisasi fungsi audit. Khusus di bidang cukai, kebijakan pada tahun 2011 tetap diarahkan pada konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, optimalisasi penerimaan cukai juga dilakukan melalui kajian tentang ekstensifikasi barang kena cukai, pelekatan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya untuk MMEA golongan A, pemanfaatan informasi teknologi di bidang pelayanan cukai dan peningkatan pengawasan di bidang cukai, serta optimalisasi sosialisasi di bidang cukai. Sementara itu, dalam rangka mendukung sasaran pertumbuhan investasi sesuai dengan RKP 2011, di sisi kebijakan kepabeanan dan cukai, akan terus diupayakan perbaikan sistem informasi. Upaya tersebut akan dilaksanakan melalui (1) pengoperasian secara penuh INSW untuk impor (sebelum tahun 2010) dan untuk ekspor; (2) percepatan realisasi proses penyelesaian bea cukai di luar pelabuhan dengan implementasi tahap pertama Custom Advanced Trade System (CATS) di dry port Cikarang; dan (3) pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dilakukan melalui pengembangan KEK di 5 lokasi melalui skema Public-Private Partnership sebelum tahun Target Penerimaan Perpajakan Tahun 2011 Pada tahun 2011, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp839,5 triliun, atau meningkat 12,9 persen dari targetnya dalam APBN-P tahun Beberapa faktor yang berpengaruh dalam peningkatan penerimaan perpajakan adalah (1) pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, baik secara global maupun domestik; (2) perbaikan administrasi pajak, kepabeanan dan cukai yang dilakukan secara terus menerus; (3) upaya extra effort yang dilakukan dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan; dan (4) tingginya tax compliance masyarakat. PPh ditargetkan mencapai Rp414,5 triliun pada tahun 2011, atau meningkat 14,4 persen bila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun Termasuk dalam target penerimaan PPh adalah fasilitas pajak ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar Rp3,5 triliun, yang terdiri atas PPh DTP untuk panas bumi sebesar Rp1,0 triliun, PPh DTP untuk bunga obligasi internasional sebesar Rp1,5 triliun, dan PPh DTP untuk hibah dan kerjasama keuangan internasional sebesar Rp1,0 triliun. Dari keseluruhan penerimaan PPh pada tahun 2011, PPh migas ditargetkan mencapai Rp54,2 triliun, atau 13,1 persen kontribusi terhadap penerimaan PPh. Bila dibandingkan dengan targetnya pada APBN-P tahun 2010, target PPh migas tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 2,2 persen. Sasaran penerimaan PPh migas tahun 2011 didasarkan antara lain pada: (1) asumsi ICP USD80,0 per barel; (2) nilai tukar rupiah rata-rata Rp9.300 per USD, dan (3) lifting minyak sebesar 970 ribu bph. Pada tahun 2011, PPh nonmigas ditargetkan mengalami kenaikan 17,4 persen, hingga mencapai Rp360,3 triliun, dari target APBN-P tahun Secara umum, faktor utama yang berpengaruh adalah penerapan kebijakan perpajakan yang berperan dalam meningkatkan penerimaan PPh nonmigas antara lain: (1) kegiatan pasca sunset policy yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-45

148 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak; (2) perluasan basis pajak; (3) kegiatan intensifikasi melalui mapping, profiling, dan benchmarking; dan (4) upaya extra effort melalui pemeriksaan dan penagihan. Penerimaan PPh nonmigas sektoral pada tahun 2011 ditargetkan mencapai Rp 308,4 triliun. Target tersebut merupakan target bruto yang belum memperhitungkan penerimaan dalam bentuk mata uang asing serta kemungkinan restitusi yang terjadi. Bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2010, target tersebut meningkat sebesar 19,1 persen atau Rp49,5 triliun, terutama didukung oleh sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi sebesar Rp95,1 triliun (30,8 persen) dengan pertumbuhan penerimaan sebesar 22,3 persen. Selanjutnya, sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan memberikan kontribusi sebesar Rp66,8 triliun (21,7 persen) dengan pertumbuhan 8,6 persen. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor terbesar ketiga memberikan kontribusi sebesar Rp39,0 triliun (12,6 persen) atau mengalami pertumbuhan sebesar 23,6 persen. Perkiraan penerimaan PPh nonmigas sektoral dapat dilihat pada Tabel III.17. TABEL III.17 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, (triliun rupiah) Uraian Perk. Real. Pada tahun 2011, target PPN dan PPnBM adalah sebesar Rp309,3 triliun, atau meningkat 17,6 persen dari perkiraannya dalam APBN-P tahun Peningkatan ini sejalan dengan lebih tingginya asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2011 yang mencapai 6,3 persen, dari perkiraan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 sebesar 5,9 persen. Konsumsi masyarakat dan Pemerintah yang masing-masing diperkirakan tumbuh di atas 5 persen dan 6 persen diharapkan dapat mendorong peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri. Demikian juga dengan aktivitas perdagangan dunia yang diperkirakan tumbuh di atas 6 persen akan menjadi salah satu pendorong peningkatan penerimaan PPN dan PPnBM impor. Dalam target PPN dan PPnBM tersebut, di dalamnya terdapat target penerimaan perpajakan dalam bentuk pajak ditanggung Pemerintah sebesar Rp9,3 triliun. Rincian dari PPN DTP adalah (1) PPN DTP untuk bahan bakar minyak, bahan bakar nabati, dan LPG 3 kg bersubsidi sebesar Rp6,0 triliun; (2) PPN DTP untuk pajak dalam rangka impor (PDRI) terkait 2010 % thd Total y-o-y RAPBN % thd Total Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 9,3 3,6 (8,7) 12,5 4,1 34,7 Pertambangan Migas 8,2 3,2 (19,5) 8,3 2,7 0,8 Pertambangan Bukan Migas 14,0 5,4 (20,7) 17,2 5,6 22,5 Penggalian 0,3 0,1 24,7 0,4 0,1 29,8 Industri Pengolahan 77,8 30,0 29,7 95,1 30,8 22,3 Listrik, Gas, dan Air Bersih 8,3 3,2 49,3 9,1 2,9 9,7 Konstruksi 7,7 3,0 19,1 9,7 3,2 25,8 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 31,5 12,2 18,5 39,0 12,6 23,6 Pengangkutan dan Komunikasi 17,4 6,7 1,2 18,1 5,9 4,2 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 61,6 23,8 (12,2) 66,8 21,7 8,6 Jasa Lainnya 20,3 7,8 32,5 26,0 8,4 28,0 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 2,4 0,9 7,5 6,1 2,0 150,7 Total 258,9 100,0 7,0 308,4 100,0 19,1 * Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline serta restitusi Sumber : Kementerian Keuangan 2011 y-o-y III-46 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

149 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III kebutuhan eksplorasi hulu minyak, gas bumi serta panas bumi sebesar Rp2,8 triliun; dan (3) PPN DTP untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebesar Rp0,5 triliun. Penerimaan PPN dalam negeri (PPN DN) sektoral pada tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp181,5 triliun atau meningkat sebesar 19,1 persen bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun Secara lebih rinci, penerimaan PPN DN terutama disumbangkan oleh sektor industri pengolahan dengan kontribusi sebesar Rp85,2 triliun (46,9 persen) dengan pertumbuhan sebesar 26,6 persen dan sektor perdagangan, hotel, serta restoran dengan kontribusi sebesar Rp32,4 triliun (17,8 persen) dengan pertumbuhan sebesar 15,7 persen. Sedangkan sebagai kontributor ketiga terbesar, sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sebesar Rp14,3 triliun (7,9 persen) dengan pertumbuhan sebesar 15,2 persen. Perkiraan penerimaan PPN DN sektoral dapat dilihat pada Tabel III.18. TABEL III.18 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, (triliun rupiah) Uraian Perk. Real % thd Total y-o-y RAPBN % thd Total Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 3,3 2,2 9,4 3,9 2,2 18,0 Pertambangan Migas 2,8 1,9 (83,9) 1,6 0,9 (42,1) Pertambangan Bukan Migas 2,1 1,4 55,5 2,3 1,3 6,2 Penggalian 0,2 0,1 37,3 0,2 0,1 28,8 Industri Pengolahan 67,3 44,2 78,7 85,2 46,9 26,6 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,9 0,6 50,8 1,1 0,6 21,3 Konstruksi 12,1 7,9 15,4 12,1 6,7 0,0 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 28,0 18,4 43,4 32,4 17,8 15,7 Pengangkutan dan Komunikasi 12,4 8,2 43,4 14,3 7,9 15,2 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 12,1 7,9 31,0 12,5 6,9 3,1 Jasa Lainnya 3,8 2,5 58,4 4,4 2,4 18,1 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 7,3 4,8 24,1 11,4 6,3 56,1 Total 152,3 100,0 30,7 181,5 100,0 19,1 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline dan restitusi Sumber : Kementerian Keuangan 2011 y-o-y Pada tahun 2011, penerimaan PPN impor sektoral diperkirakan mencapai Rp117,7 triliun atau meningkat sebesar 23,9 persen bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun Kontributor utama adalah sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi sebesar Rp72,0 triliun (61,2 persen) dengan pertumbuhan mencapai 21,7 persen. Selanjutnya, sebagai kontributor terbesar kedua, sektor industri perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar Rp36,2 triliun (30,7 persen) dengan pertumbuhan sebesar 28,4 persen. Secara umum, peningkatan PPN impor sektoral terutama disebabkan oleh perkiraan meningkatnya transaksi perdagangan internasional seiring dengan membaiknya perekonomian dunia. Kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap penerimaan PPN impor sektoral tahun dapat dilihat dalam Tabel III.19. Penerimaan dari PBB ditargetkan mencapai Rp27,7 triliun pada tahun 2011, atau meningkat 9,3 persen dari targetnya pada APBN-P tahun Target penerimaan PBB tersebut sudah mengantisipasi kebijakan pengalihan administrasi PBB sektor perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah yang sudah siap untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sementara itu, sebagai komponen terbesar, PBB pertambangan ditargetkan mencapai Rp20,8 triliun, atau naik 21,7 persen dari targetnya pada APBN-P tahun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-47

150 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah TABEL III.19 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, (triliun rupiah) Uraian Perk. Real % thd Total y-o-y RAPBN % thd Total Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 0,4 0,5 366,4 0,6 0,6 47,2 Pertambangan Migas 0,6 0,6 (85,3) 0,3 0,3 (45,4) Pertambangan Bukan Migas 1,9 2,0 318,2 3,0 2,5 54,5 Penggalian 0,0 0,0 (70,9) 0,0 0,0 (40,3) Industri Pengolahan 59,2 62,3 62,3 72,0 61,2 21,7 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,2 0,3 4,9 0,3 0,2 10,2 Konstruksi 0,9 1,0 (0,4) 1,0 0,9 11,9 Perdagangan, Hotel dan Restoran 28,2 29,7 45,8 36,2 30,7 28,4 Pengangkutan dan Komunikasi 1,2 1,3 (9,4) 1,1 0,9 (8,5) Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan 2,2 2,3 124,7 3,1 2,6 38,0 Jasa Lainnya 0,1 0,1 (13,0) 0,1 0,1 (2,8) Kegiatan yang belum jelas batasannya 0,0 0,0 14,5 0,0 0,0 51,7 Total 95,0 100,0 49,0 117,7 100,0 23,9 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline dan restitusi Sumber : Kementerian Keuangan 2011 y-o-y Sehubungan dengan kebijakan pengalihan administrasi BPHTB dari Pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka tidak ada penerimaan BPHTB pada RAPBN tahun Target penerimaan cukai pada tahun 2011 adalah sebesar Rp60,7 triliun, terdiri atas cukai hasil tembakau sebesar Rp58,1 triliun, dan cukai MMEA dan EA sebesar Rp2,7 triliun. Bila dibandingkan dengan APBN-P tahun 2010, target cukai 2011 mengalami peningkatan 2,4 persen, didukung oleh peningkatan cukai hasil tembakau sebesar 3,9 persen. Beberapa faktor yang berpengaruh pada peningkatan penerimaan cukai adalah (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau sesuai dengan roadmap cukai hasil tembakau; (2) peningkatan tarif cukai MMEA dan EA; (3) perbaikan administrasi kepabeanan dan cukai; dan (4) extra effort untuk mengurangi peredaran barang kena cukai secara ilegal. Pada tahun 2011, pajak lainnya ditargetkan mencapai Rp4,2 triliun, atau 9,4 persen bila dibandingkan dengan targetnya pada APBN-P tahun Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya transaksi yang menggunakan benda materai. Penerimaan bea masuk pada tahun 2011 ditargetkan mencapai Rp18,0 triliun. Bila dibandingkan dengan target APBN-P tahun 2010, terjadi peningkatan sebesar 5,2 persen. Target penerimaan bea masuk pada tahun 2011 tersebut termasuk bea masuk yang ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar Rp2,0 triliun. Asumsi-asumsi yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan target bea masuk adalah (1) pertumbuhan ekonomi 6,3 persen; (2) nilai tukar rupiah yang rata-rata Rp9.300 per USD; dan (3) meningkatnya volume impor sebagai dampak dari meningkatnya volume perdagangan internasional. Kebijakan bea keluar tidak semata-mata ditujukan untuk menghimpun penerimaan negara. Namun terdapat tujuan lain seperti ketersediaan komoditi dalam negeri, stabilitas harga nasional, dan kelestarian sumber daya alam. Dalam tahun 2011, bea keluar ditargetkan mencapai Rp5,1 triliun atau 5,9 persen lebih rendah bila dibandingkan dengan target III-48 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

151

152

153 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III sebesar Rp50,0 miliar atau 33,3 persen bila dibandingkan dengan target APBN-P Sumber utama penerimaan perikanan berasal dari pungutan pengusahaan perikanan (PPP), termasuk di dalamnya pungutan perikanan asing (PPA) dan pungutan hasil perikanan (PHP). Penerimaan perikanan ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan sumber penerimaan lainnya dalam SDA nonmigas. Namun, peranan sektor perikanan tersebut juga dapat dilihat dari meningkatnya kegiatan ekonomi di sentra-sentra kegiatan nelayan di pelabuhan perikanan dan pasar ikan, kegiatan perikanan di sentra-sentra budidaya, dan kegiatan pengolahan ikan serta penerimaan daerah melalui retribusi bidang kelautan dan perikanan. Guna mengoptimalkan penerimaan perikanan, upaya yang akan ditempuh dalam tahun 2011 antara lain: (1) optimalisasi pelayanan dan penertiban perijinan usaha; (2) penanggulangan illegal fishing; (3) revisi PP Nomor 19/2006 tentang Pungutan Tarif PNBP KKP; (4) revisi Harga Patokan Ikan (HPI); (5) pengembangan usaha perikanan tangkap terpadu; (6) dorongan pengusahaan perikanan asing yang semula beroperasi dengan scheme lisensi untuk melakukan kemitraan dengan pelaku usaha perikanan domestik dan mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia sebagai pasokan bahan baku industri pengolahan hasil perikanan; (7) dorongan dibentuknya perusahaan PMA untuk meningkatkan investasi di bidang pengolahan hasil perikanan; (8) peningkatan kemampuan armada perikanan dalam negeri untuk mengganti kapal asing yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas; (9) peningkatan pelayanan; dan (10) percepatan perizinan dan administrasi penagihan. Penerimaan pertambangan panas bumi dalam RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp356,1 miliar, meningkat sebesar Rp111,7 miliar atau 45,7 persen bila dibandingkan dengan target APBN-P Penerimaan pertambangan panas bumi ini bersumber dari perhitungan setoran bagian Pemerintah sebesar 34 persen dari penerimaan bersih usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi (net operating income/noi) untuk pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran pajak-pajak dan pungutan-pungutan lain. Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN Kondisi makroekonomi yang masih rentan terhadap efek dari defisit anggaran negara-negara Organization for Economic Cooperation Development (OECD) terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat di tahun 2010, akan menjadi tantangan besar bagi Pemerintah untuk tetap dapat menjaga kinerja BUMN agar tidak mengurangi penerimaan dividen di tahun Di samping itu, sesuai Peraturan Bank Indonesia dan Bapepam-LK, BUMN Sektor Perbankan, Jasa Keuangan dan Asuransi perlu memupuk dana untuk memenuhi persyaratan kecukupan Capital Adequacy Ratio (CAR) untuk perbankan BUMN yang melakukan IPO dengan prospektus dengan menjanjikan pay-out ratio tertentu. Untuk BUMN sektor perbankan, antisipasi peningkatan non performing loan (NPL) menjadi komponen pengurang laba BUMN perbankan sehubungan dengan cadangan umum penyisihan penghapusan aset atas aset produktif. Hal lain adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tentang Peningkatan Capital Adequacy Ratio atau Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang juga mengurangi laba BUMN perbankan. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah akan melakukan penyesuaian pay-out ratio terhadap beberapa BUMN perbankan yang membutuhkan tambahan anggaran investasi untuk kegiatan investasi. Kebijakan penyesuaian pay-out ratio BUMN perbankan tersebut akan dikompensasi melalui Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-51

154 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah upaya penyaluran kredit dengan tingkat suku bunga rendah dan pengurangan dana simpanan dalam bentuk SBI. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mendorong pertumbuhan kredit di tengah pelemahan perekonomian. Rencana kebijakan Pemerintah untuk PNBP bagian Pemerintah atas laba BUMN di tahun 2011 adalah dengan menerapkan kebijakan pay-out ratio persen dengan beberapa pengecualian, yaitu (a) penetapan pay-out ratio (POR) 0-25 persen untuk BUMN sektor asuransi, khusus PT Jamsostek, PT Taspen, PT Askes, dan PT Asabri diterapkan POR nol persen, terkait dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menjelaskan bahwa BUMN asuransi menjadi organisasi nirlaba; (b) penetapan POR nol persen untuk BUMN kehutanan, terkait dengan upaya pelestarian hutan di Indonesia, dan untuk BUMN laba dengan akumulasi rugi; (c) penetapan POR 0-60 persen untuk BUMN laba tanpa akumulasi rugi; (d) rencana POR BUMN Sektor Perkebunan 0-25 persen; (e) penetapan POR BUMN Sektor Farmasi 0-20 persen; (f) rencana POR BUMN Perbankan persen untuk antisipasi Implementasi BASEL II dan PSAK 50/55 agar CAR Bank BUMN pada tahun 2014 tetap di atas 10 persen dan dapat tetap memajukan sektor riil dengan pertumbuhan ekspansi kredit persen; (g) rencana POR BUMN Pertambangan persen; dan (h) rencana POR PT Pertamina persen. Adapun rencana strategi yang akan ditempuh Pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan dari dividen BUMN dalam tahun 2011 adalah: (a) optimalisasi dividen pay-out ratio dengan mempertimbangkan antara lain kondisi keuangan dan penugasan oleh Pemerintah serta peraturan perundangan yang berlaku (misalnya: UU SJSN, Prospektus IPO); (b) audit keuangan oleh kantor akuntan publik (KAP) dapat selesai lebih awal dari jadwal agar angka definitif atas laba/rugi bersih BUMN secara dini dapat diketahui, untuk dapat ditetapkan langkah-langkah dalam mencapai target yang diharapkan; dan (c) opsi untuk mengambil dividen interim terhadap BUMN yang sudah menyelenggarakan RUPS, dengan tetap memperhatikan arus kas untuk operasi BUMN tersebut. Terkait dengan rencana peningkatan kinerja BUMN di tahun 2011, Pemerintah secara konsisten akan melakukan berbagai langkah pembenahan internal di tubuh BUMN. Langkah-langkah tersebut juga dipersiapkan dalam rangka antisipasi pemberlakuan ACFTA agar BUMN dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional. Langkah taktis yang disiapkan untuk tahun 2011 antara lain adalah: (a) peningkatan cadangan modal kerja untuk BUMN yang sehat dan perlu modal kerja dan sekaligus belanja investasi (capital expenditure) agar BUMN dapat lebih berkembang menuju ke tingkat economic of scale dan sekaligus mampu meningkatkan pendapatan serta lebih efisien; dan (b) BUMN yang sedang direstrukturisasi dan meraih laba namun masih mengalami akumulasi rugi agar lebih sehat, tidak diambil dividennya. Dengan memperhatikan kondisi dan tantangan dan asumsi dasar ekonomi makro 2011 serta rencana kebijakan yang akan ditempuh sebagaimana disebutkan sebelumnya, besaran PNBP bagian Pemerintah atas laba BUMN termasuk dividen interim tahun 2011 direncanakan sebesar Rp26,6 triliun. PNBP Lainnya Dalam tahun 2011, target PNBP lainnya direncanakan sebesar Rp43,4 triliun, sedikit mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2010 sebesar Rp43,5 triliun. Target PNBP lainnya tahun dapat dilihat dalam Grafik III.36. III-52 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

155

156 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah (4) melakukan pengkajian secara komprehensif mengenai formula dan besaran variabel dalam pengenaan BHP frekuensi; serta (5) melakukan otomatisasi/modernisasi proses perizinan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Dalam tahun 2011, PNBP Kemendiknas direncanakan mencapai Rp10,7 triliun. Penerimaan tersebut meningkat sebesar Rp4,0 triliun atau 59,8 persen apabila dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2010 sebesar Rp6,7 triliun. Peningkatan tersebut lebih disebabkan oleh meningkatnya penerimaan jasa pendidikan, terutama bersumber dari tambahan PTN eks-bhmn yang berubah menjadi satuan kerja BLU dan penerimaan dari hasil penjualan produk pendidikan. Perkembangan PNBP Kemendiknas tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III.38. triliun Rp Pokok-pokok kebijakan yang akan dilaksanakan untuk mencapai target tersebut antara lain: (a) penguatan kapasitas pendidikan tinggi melalui pengembangan mekanisme untuk mewujudkan kesehatan organisasi dan otonomi masing-masing perguruan tinggi; (b) pada masa transisi dari sentralisasi menuju masa otonomi, akan dilakukan pengembangan kapasitas guna mewujudkan perguruan tinggi yang memiliki keleluasaan dalam memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang sehat dan memiliki kapasitas untuk merespon lingkungan yang berubah; dan (c) meningkatkan akuntabilitas publik melalui penerapan sistem monitoring dan evaluasi yang ditata melalui mekanisme pelaporan kinerja perguruan tinggi. Dalam tahun 2011, target PNBP Polri direncanakan sebesar Rp2,8 triliun, meningkat Rp0,8 triliun atau 39,8 persen dari target dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp2,0 triliun. Peningkatan tersebut utamanya disebabkan oleh meningkatnya pendapatan dari pengadministrasian SIM, STNK, dan BPKB sebagai dampak bertambahnya jumlah kendaraan bermotor, serta pemberlakuan Undangundang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menambah keluasan fungsi dan peran Ditlantas Polri dalam mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas. Perkembangan PNBP Polri tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III Secara garis besar, kebijakan yang akan ditempuh untuk mencapai target tersebut adalah (a) meningkatkan kemampuan SDM Polri melalui pendidikan dan pelatihan; (b) melanjutkan pembangunan jaringan online Samsat di seluruh Polda; (c) melanjutkan upgrade jaringan Satpas termasuk SIM keliling; dan (d) melaksanakan Perpolisian Masyarakat (Polmas) melalui kegiatan Citra Polantas GRAFIK III.38 PNBP KEMENDIKNAS, ,7 APBN-P 2010 Sumber : Kementerian Pendidikan Nasional triliun Rp 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 2,0 10,7 RAPBN 2011 GRAFIK III.39 PNBP POLRI, APBN-P ,8 RAPBN 2011 Sumber : Kepolisian Negara Republik Indonesia III-54 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

157 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III PNBP BPN dalam tahun 2011 direncanakan mencapai Rp1,3 triliun, turun Rp0,2 triliun atau 13,3 persen jika dibandingkan dengan target dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,5 triliun. Penurunan tersebut disebabkan oleh dihapuskannya PNBP dari kegiatan pelayanan penetapan hak atas tanah berupa uang pemasukan kepada negara. Grafik III.40 memperlihatkan target PNBP BPN tahun 2010 dan Pencapaian target PNBP BPN tahun 2010 didukung oleh (a) peningkatan kegiatan sosialisasi dan transparansi pelayanan kepada masyarakat yang mencakup informasi tentang persyaratan, jangka waktu pelayanan, dan biaya pelayanan; (b) peningkatan kapasitas kemampuan pelayanan dengan penambahan petugas ukur dan pendataan data yuridis; serta (c) penerapan model pelayanan kantor pertanahan bergerak pelayanan rakyat sertifikasi pertanahan (LARASITA). Dalam tahun 2011, PNBP Kemenkumham direncanakan sebesar Rp1,6 triliun, naik Rp0,1 triliun atau 6,7 persen bila dibandingkan dengan target APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,5 triliun. Peningkatan tersebut utamanya disebabkan oleh meningkatnya kunjungan dan izin tinggal orang asing di Indonesia. Perkembangan PNBP Kemenkumham tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III.41. Secara garis besar, pokok-pokok kebijakan yang akan ditempuh untuk mencapai target tahun 2011 tersebut adalah: (1) peningkatan pelayanan kepada masyarakat melalui penambahan kantor imigrasi; (2) menambah jumlah tempat pemeriksaan imigrasi dengan visa kunjungan saat kedatangan (VKSK); (3) menambah jumlah negara subjek VKSK menjadi 62 negara; (4) mengembangkan otomatisasi sistem pelayanan hak kekayaan intelektual; dan (5) melakukan perjanjian kerjasama dengan bank BUMN untuk penerimaan biaya VKSK. Pendapatan BLU triliun Rp Pendapatan BLU dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp14,9 triliun. Penerimaan ini lebih tinggi Rp5,4 triliun atau 57,0 persen dari target dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp9,5 triliun. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah perguruan tinggi negeri yang menerapkan pola BLU dan telah diterapkannya pola pengelolaan BLU oleh seluruh rumah sakit Pemerintah. Perkembangan pendapatan BLU tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Grafik III.42. Dilihat dari sumber perolehannya, sebagian besar pendapatan BLU tahun 2011 berasal dari pendapatan jasa pelayanan pendidikan yang direncanakan sebesar Rp7,8 triliun, dan jasa 1,6 1,2 0,8 0,4 0,0 GRAFIK III.40 PNBP BPN, ,5 APBN-P 2010 Sumber : Badan Pertanahan Nasional triliun Rp 2,0 1,6 1,2 0,8 0,4 0,0 1,5 1,3 RAPBN 2011 GRAFIK III.41 PNBP KEMENKUMHAM, APBN-P 2010 Sumber : Kementerian Hukum dan HAM ` 1,6 RAPBN 2011 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-55

158 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah pelayanan rumah sakit yang diperkirakan mencapai Rp3,9 triliun. Sementara itu, pendapatan dari jasa penyelenggaraan telekomunikasi direncanakan mencapai Rp1,4 triliun. Secara umum, pencapaian target pendapatan BLU tahun 2011 didukung oleh kebijakan yang akan dilaksanakan oleh masing-masing BLU, di antaranya: (1) meningkatkan pelayanan publik melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia; (2) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan BLU; serta (3) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi Pemerintah Penerimaan Hibah Penerimaan hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp3,7 triliun. Target tersebut lebih tinggi Rp1,8 triliun atau 97,2 persen jika dibandingkan dengan target APBN-P 2010 sebesar Rp1,9 triliun. Peningkatan tersebut antara lain dipengaruhi oleh semakin tingginya komitmen negara donor untuk membantu Indonesia terkait masalah perubahan iklim serta semakin efektifnya sistem administrasi dan pencatatan penerimaan hibah dalam APBN. Selain itu juga, dikarenakan menampung hibah aset dari PT Pertamina dan PT PLN (Persero) yang akan digunakan untuk PMN terhadap PT Geo Dipa Energi sebesar Rpo,4 triliun. Grafik III.43 memperlihatkan perkembangan target hibah 2010 dan triliun Rp 4,2 3,6 3,0 2,4 1,8 1,2 0,6 - triliun Rp GRAFIK III.42 PENDAPATAN BLU, ,5 APBN-P 2010 Sumber : Kementerian Keuangan 1,9 14,9 RAPBN 2011 GRAFIK III.43 PENERIMAAN HIBAH, APBN-P 2010 Sumber : Kementerian Keuangan 3,7 RAPBN 2011 III-56 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

159 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV BAB IV ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT Umum Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan fiskal, besaran dan kebijakan alokasi anggaran belanja negara, termasuk kebijakan anggaran belanja pemerintah pusat, menempati posisi yang sangat strategis untuk mendukung akselerasi pembangunan yang inklusif, berkelanjutan dan berdimensi kewilayahan dalam mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan visi, misi dan platform Presiden terpilih, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Sehubungan dengan itu, hal-hal penting dan strategis yang mendasari perencanaan kebijakan dan alokasi belanja negara adalah sebagai berikut Pertama, melalui besaran dan kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat, terbuka peluang bagi Pemerintah untuk secara langsung dapat berperan aktif dalam mencapai berbagai tujuan dan sasaran-sasaran program pembangunan di segala bidang kehidupan, termasuk dalam mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi antarkegiatan, antarprogram, antarsektor dan antarfungsi pemerintahan, mendukung stabilitas ekonomi, dan menunjang distribusi pendapatan yang lebih merata. Karena itu, sebagai salah satu instrumen utama kebijakan fiskal, perencanaan alokasi dan kebijakan anggaran belanja pemerintah pusat dalam Rancangan APBN tahun 2011 akan lebih diarahkan untuk mencapai 10 (sepuluh) sasaran strategis dalam mendorong pembangunan yang inklusif dan berkeadilan selama jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan. Kesepuluh arah kebijakan dan sasaran strategis tersebut adalah: (1) ekonomi tumbuh lebih tinggi; (2) pengangguran makin menurun dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih baik; (3) kemiskinan makin menurun; (4) pendapatan perkapita makin meningkat; (5) stabilitas ekonomi makin terjaga; (6) pembiayaan dalam negeri semakin kuat dan meningkat; (7) ketahanan pangan semakin meningkat; (8) ketahanan energi meningkat; (9) daya saing ekonomi nasional makin menguat dan meningkat; (10) upaya pembangunan yang ramah lingkungan dengan pendekatan green economy makin diperkuat. Kedua, di tengah dinamika perekonomian global yang masih penuh dengan ketidakpastian seperti berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, besaran dan kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat harus dapat diupayakan agar seoptimal mungkin mampu berperan sebagai stabilisator bagi perekonomian dan atau menjadi instrumen kebijakan countercyclical yang efektif dalam meredam siklus bisnis atau gejolak ekonomi. Ini berarti, dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami kelesuan usaha dan perlambatan aktivitas bisnis akibat resesi, besaran dan kebijakan alokasi anggaran belanja negara, termasuk belanja pemerintah pusat, perlu dirancang lebih ekspansif agar mampu berperan dalam memberikan stimulasi pada pertumbuhan ekonomi serta menjaga stabilitas dan memperkuat fundamental ekonomi makro. Sebaliknya, pada saat kondisi ekonomi terlalu ekspansif (overheating), kebijakan dan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat sebagai salah satu instrumen utama kebijakan fiskal, dapat dijadikan alat kebijakan yang efektif dalam mendinginkan roda kegiatan perekonomian menuju kondisi yang lebih kondusif. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -1

160 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Dalam kerangka memperkecil dampak negatif dari krisis ekonomi dan keuangan global yang sangat berat pada tahun 2008 yang lalu itulah, Pemerintah memandang perlu melakukan langkah-langkah penyesuaian darurat di bidang fiskal, guna menyelamatkan perekonomian nasional tahun 2009 dari krisis global, antara lain dengan memperluas program stimulus ekonomi melalui APBN Kebijakan stimulus fiskal tersebut dilakukan melalui tiga cara dan sekaligus untuk tiga tujuan: (a) mempertahankan dan/atau meningkatkan daya beli masyarakat untuk dapat menjaga laju pertumbuhan konsumsi di atas 4,0 persen; (b) mencegah PHK dan meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha menghadapi krisis ekonomi dunia; dan (c) menangani dampak PHK dan mengurangi tingkat pengangguran dengan meningkatkan belanja infrastruktur padat karya. Selain ditujukan untuk meredam dampak krisis global, langkah-langkah penyesuaian darurat di bidang fiskal tersebut juga dimaksudkan untuk mempersiapkan fondasi yang lebih kuat dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, serta meletakkan dasar-dasar yang lebih kuat dan memperkokoh sendi-sendi perekonomian nasional. Hal ini dilakukan dengan meneruskan reformasi di seluruh kementerian negara/lembaga (K/L). Di bidang belanja pemerintah pusat, paket kebijakan stimulus fiskal terutama dialokasikan untuk program pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan tujuan dapat menghasilkan output dan outcome yang secara langsung memberikan nilai tambah (multiplier-effect) yang besar bagi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi, seraya tetap menjaga stabilitas harga. Melalui program stimulus fiskal yang terkoordinasi secara sinergis dengan kebijakan moneter dan sektor keuangan, maka dalam tahun 2009 telah berhasil dicapai stabilitas ekonomi seperti yang diharapkan, hal ini antara lain tercermin pada tingkat pertumbuhan ekonomi 4,5 persen, tingkat inflasi 2,8 persen, dan tingkat bunga SBI 3 bulan rata-rata 7,6 persen. Ketiga, dalam rangka memaksimalkan dampak positifnya bagi perekonomian nasional, kebijakan dan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat harus dilakukan secara efektif, efisien, dan tepat sasaran, mengingat terbatasnya sumber-sumber keuangan negara. Hal ini terutama karena setidaknya terdapat tiga permasalahan strategis sangat mendasar yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan fiskal. Pertama, ruang fiskal (fiscal space) APBN masih terbatas. Komposisi belanja negara masih didominasi oleh belanja mengikat yang bersifat wajib. Sekitar 93 % dari pendapatan dalam negeri (baik penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak) dalam tahun 2010 digunakan untuk membiayai belanja mengikat yang bersifat wajib, antara lain untuk transfer ke daerah (35%); belanja pegawai dan barang (27%); subsidi (20%), dan bunga utang (11%). Dengan demikian, dana yang tersisa untuk belanja tidak mengikat (diskresioner), antara lain belanja modal untuk infrastruktur dan bantuan sosial menjadi sangat terbatas. Kedua, mandatory spending semakin membesar. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dan langkahlangkah kebijakan bersifat mengikat dan/atau membatasi ruang fiskal APBN, yaitu antara lain kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat Amandemen Keempat UUD 1945; kewajiban pemenuhan tunjangan untuk guru (fungsional, profesi, maslahat tambahan, dan tunjangan khusus) sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No.14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen; kewajiban penyediaan dana perimbangan, yaitu untuk DAU minimal 26% dari penerimaan dalam negeri neto, DBH dengan persentase tertentu sesuai ketentuan UU No 33/2004; penyediaan dana otonomi khusus (2% dari DAU Nasional) sesuai dengan Undangundang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam dan Papua; dan alokasi anggaran IV-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

161 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV kesehatan 5% dari APBN (sesuai UU No 36/2009). Mandatory spending yang semakin besar tersebut semakin memperkecil fiscal space. Ketiga, penyerapan anggaran belanja negara masih belum optimal. Daya serap anggaran belanja K/L dalam lima tahun terakhir rata-rata hanya sekitar 90% dari pagu anggaran yang ditetapkan dalam APBN setiap tahun. Faktor yang menyebabkan penyerapan anggaran belanja K/L yang kurang optimal, di antaranya: (a) keterlambatan dalam penetapan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pengelola Kegiatan di hampir semua Satker Pusat dan Daerah; (b) perencanaan kegiatan kurang baik: tidak ada kerangka acuan kerja (TOR dan RAB); (c) dampak penerapan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yang membuat proses pengadaan barang/jasa Pemerintah menjadi suatu persoalan yang tidak sederhana; dan (d) masalah pengadaan/pembebasan lahan. Keempat, dengan ruang fiskal (fiscal space) yang masih terbatas berhadapan dengan banyaknya sasaran pembangunan yang harus dicapai, maka kualitas belanja negara, termasuk anggaran belanja pemerintah pusat harus ditingkatkan, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan. Hal ini dimaksudkan agar belanja negara, termasuk belanja pemerintah pusat dapat berfungsi sebagai instrumen fiskal yang efektif dalam memberikan pengaruh yang optimal pada perekonomian, antara lain berupa peningkatan pertumbuhan, penurunan tingkat pengangguran, dan pengentasan kemiskinan. Untuk itu, delapan langkah strategis peningkatan kualitas belanja, yaitu: pertama, mengedepankan alokasi belanja modal untuk mendukung pembiayaan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Pro Growth), menciptakan kesempatan kerja (Pro Job), mengentaskan kemiskinan (Pro Poor), dan mendukung pembangunan yang inklusif, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Pro Environment). Kedua, mengurangi pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif, dengan antara lain membatasi belanja barang (biaya perjalanan dinas, kegiatan rapat kerja, workshop, seminar, dan kegiatan yang sejenis), serta menekan biaya kegiatan pendukung pencapaian sasaran suatu program (biaya manajemen, monitoring, sosialisasi, safeguarding). Ketiga, merancang ulang (redesign) kebijakan subsidi, di antaranya dengan merubah sistem subsidi dari subsidi harga menjadi subsidi yang lebih tepat sasaran (targeted subsidy), mempertajam sasaran penerima subsidi melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan, serta menata ulang sistem penyaluran subsidi yang lebih akuntabel, predictable, dan makin tepat sasaran. Keempat, menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending, yaitu kewajiban pengeluaran yang ditetapkan ( dikunci ) dalam suatu peraturan perundang-undangan yang tidak diamanatkan dalam konstitusi dan bertentangan dengan kaidah pengelolaan keuangan negara. Kelima, mempercepat implementasi sistem penganggaran berbasis kinerja, dan kerangka pengeluaran jangka menengah, dengan antara lain melakukan restrukturisasi program dan kegiatan, serta memperjelas hubungan yang logis antara alokasi anggaran dengan output kegiatan dan outcome program. Keenam, memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi, di antaranya melalui penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, pelaksanaan kontrak kinerja, peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) dalam rangka menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif, serta pemberian remunerasi yang layak. Ketujuh, menerapkan sistem reward dan punishment dalam pengalokasian anggaran, antara lain dengan memberikan tambahan alokasi anggaran bagi kementerian negara/lembaga (K/L) dan daerah yang dapat mencapai sasaran yang ditetapkan dengan biaya yang lebih hemat, untuk pencapaian sasaran program yang lebih besar; dan sebaliknya, memotong anggaran bagi K/L dan atau daerah yang tidak mampu mencapai sasaran yang sudah ditetapkan tanpa alasan yang dapat dipertangungjawabkan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -3

162 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Kedelapan, mempercepat penyerapan anggaran belanja, di antaranya dengan revisi Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (seperti percepatan dan perbaikan tender, termasuk syarat untuk penetapan pemenang lelang); dan langkah-langkah strategis lainnya untuk meningkatkan daya serap belanja K/L. Dalam tahun 2011, kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat, sebagai kelanjutan dan pengembangan dari kebijakan tahun sebelumnya, diarahkan untuk merangsang kegiatan ekonomi nasional dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkualitas dan berkelanjutan; memantapkan pengelolaan keuangan negara yang prudent, transparan dan akuntabel; menunjang upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara (APBN); serta mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, sesuai dengan tema RKP tahun 2011, yaitu Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tatakelola dan Sinergi Pusat-Daerah. RKP 2011, sebagai acuan bagi penyusunan program-program yang akan dilakukan pemerintah dalam tahun 2011, antara lain memuat rancangan kerangka ekonomi makro, program-program kementerian negara/lembaga, lintas kementerian negara/lembaga, dan lintas wilayah, yang tercermin dalam bentuk: (1) kerangka regulasi, dan (2) kerangka investasi pemerintah serta layanan umum. Karena itu, RKP mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu: (1) menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa, karena memuat seluruh kebijakan publik; (2) menjadi pedoman bagi penyusunan APBN, karena memuat arah kebijakan pembangunan nasional satu tahun; dan (3) menciptakan kepastian kebijakan, karena merupakan komitmen pemerintah. Sejalan dengan itu, dalam RKP tahun 2011 ditetapkan sebelas prioritas pembangunan sebagai berikut : (1) melanjutkan reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) meningkatkan akses pendidikan; (3) meningkatkan akses kesehatan dan kependudukan; (4) mempercepat penanggulangan kemiskinan; (5) memperkuat ketahanan pangan; (6) meningkatkan kualitas infrastruktur; (7) meningkatkan kondisi iklim investasi dan iklim usaha; (8) memperkuat ketahanan energi; (9) meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) meningkatkan pembangunan daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca-konflik; dan (11) meningkatkan dukungan kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi. Sasaran-sasaran (outcomes) pokok yang ingin dicapai dengan berbagai prioritas RKP tahun 2011 tersebut, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian besar, yakni: (1) sasaran pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan; (2) sasaran perkuatan pembangunan demokrasi; dan (3) sasaran penegakan hukum. Dalam pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan, sasaran-sasaran pokok yang ingin dicapai dalam tahun 2011 terdiri atas: (a) sasaran bidang ekonomi, yang meliputi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen, tingkat inflasi terkendali pada kisaran 5,3 persen, dan tingkat kemiskinan menurun menjadi sekitar 11,5-12,5 persen, dan tingkat pengangguran turun menjadi 7,3 persen; (b) sasaran bidang pendidikan, yang meliputi antara lain meningkatnya rata-rata penduduk di atas 15 tahun yang bersekolah, dan menurunnya disparitas partisipasi pelayanan pendidikan antarwilayah, gender, dan sosial ekonomi; (c) sasaran bidang pangan, dengan target utama produksi padi mencapai 68,8 juta ton gabah kering giling (GKG), jagung sebesar 22 juta ton dan produksi kedelai mencapai 1,6 juta ton; (d) sasaran bidang energi, di antaranya berupa meningkatnya produksi minyak bumi menjadi 970 ribu barel per hari, dan tercapainya rasio elektrifikasi 70,4 persen; serta (e) sasaran bidang infrastruktur, antara lain berupa IV-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

163 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV pembangunan jalan lintas Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua. Selanjutnya, sasaran yang ingin dicapai di bidang perkuatan pembangunan demokrasi Indonesia di antaranya adalah meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia, yang ditunjukkan dengan besaran indeks demokrasi dalam tahun 2011 sebesar 65. Sementara itu, sasaran pokok yang ingin dicapai di bidang pembangunan penegakan hukum adalah tercapainya kepastian keadilan (rule of law) dan terjaganya ketertiban umum dengan tercapainya indeks persepsi korupsi (IPK) sebesar 3,0 pada tahun 2011, yang berarti meningkat dari 2,8 pada tahun Dalam upaya mencapai sasaran-sasaran tersebut di atas, dalam RKP 2011 ditetapkan tiga prinsip pengarusutamaan dan rencana kerja lintas bidang, sebagai landasan operasional bagi seluruh aparatur negara dalam melaksanakan seluruh program dan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing K/L. Prinsip-prinsip pengarusutamaan tersebut terdiri atas: (1) pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan; (2) pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik; dan (3) pengarusutamaan gender. Selain itu, agar menjadi sebuah rencana kerja yang menyeluruh dan tidak terfragmentasi, dalam RKP 2011 juga ditetapkan rencana kerja lintas bidang, yang meliputi: (1) penanggulangan kemiskinan; (2) perubahan iklim global; (3) pembangunan kelautan yang berdimensi kepulauan; serta (4) perlindungan anak. Dengan mempertimbangkan sasaran-sasaran pembangunan yang ingin dicapai sesuai dengan prioritas RKP 2011, serta memperhatikan langkah-langkah kebijakan fiskal yang akan diambil dan perkiraan situasi perekonomian dalam tahun 2011, maka volume anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp823,6 triliun (11,8 persen terhadap PDB). Jumlah ini, secara nominal menunjukkan peningkatan sebesar Rp42,1 triliun dari pagu alokasi anggaran belanja pemerintah pusat yang ditetapkan dalam APBN- P tahun 2010 sebesar Rp781,5 triliun. Kenaikan volume anggaran belanja pemerintah pusat tersebut terutama berkaitan dengan langkah-langkah kebijakan strategis yang akan ditempuh dalam tahun 2011, yang meliputi antara lain: (1) pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (di antaranya melalui pembangunan infrastruktrur untuk domestic connectivity dan pengembangan kawasan ekonomi khusus); (2) perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan; (3) pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi; (4) penyediaan anggaran subsidi yang lebih tepat sasaran untuk menjaga stabilitas harga dan perlindungan kesejahteraan masyarakat; dan (5) tambahan sasaran penerima program beasiswa untuk siswa miskin, PNPM, dan Program Keluarga Harapan (PKH); serta (6) pemenuhan kewajiban pembayaran utang tepat waktu. 4.2 Evaluasi Perkembangan Pelaksanaan Kebijakan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, Perkembangan Kebijakan Umum Belanja Pemerintah Pusat, Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ( ), anggaran belanja pemerintah pusat mengalami pertumbuhan rata-rata 16,7 persen per tahun, yaitu dari Rp361,2 triliun (13,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp628,8 triliun (11,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan mencapai Rp781,5 triliun dalam APBN-P tahun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -5

164 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Perkembangan volume anggaran belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat adalah perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, terutama harga minyak mentah Indonesia (ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan suku bunga rata-rata SBI 3 bulan, yang terutama mempengaruhi besaran belanja subsidi dan pembayaran utang. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi perkembangan belanja tersebut adalah perkembangan kebutuhan penyelenggaraan negara dan berbagai langkah kebijakan di bidang belanja pemerintah pusat dalam mencapai berbagai sasaran pembangunan. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam 6 tahun terakhir tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, kebijakan pembaharuan (reformasi) di bidang fiskal, termasuk perubahan sistem penganggaran yang mulai diberlakukan sejak tahun 2005, sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Reformasi sistem penganggaran tersebut merupakan bagian integral dari paket pembaharuan fiskal (fiscal reform) dan pengelolaan keuangan negara, yang diatur dalam paket undang-undang di bidang keuangan negara, yaitu: (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (2) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan (3) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Karena itu, mulai tahun 2005, anggaran belanja pemerintah pusat disusun, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan dalam kerangka pelaksanaan pembaharuan (reformasi) keuangan negara, sebagaimana diamanatkan dalam tiga undang-undang (UU) di bidang keuangan Negara tersebut. Selanjutnya, terkait dengan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat, terdapat perubahan cukup mendasar yang diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2003, antara lain berkaitan dengan tiga pilar dalam penganggaran belanja negara, yaitu meliputi: (1) penganggaran terpadu (unified budget); (2) penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting); dan (3) kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework). Untuk mewujudkan tiga pilar penganggaran belanja negara tersebut, maka pemerintah telah menetapkan strategi pengenalan, yang dilaksanakan dalam kurun waktu ; strategi pemantapan, yang dilaksanakan dalam kurun waktu , dan strategi penyempurnaan, yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada tahun Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu (unified budget) dalam pembaharuan sistem penganggaran belanja negara, menyebabkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat sejak tahun 2005, tidak lagi memisahkan anggaran belanja rutin (current expenditures) dengan anggaran belanja pembangunan (development expenditures). Sejak tahun 2005, penyusunan anggaran dilakukan secara terintegrasi antarprogram/ antarkegiatan dan jenis belanja pada kementerian negara/lembaga beserta seluruh satuan kerja yang bertanggungjawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya. Selain itu, dalam sistem penganggaran terpadu, alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran, mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja pada semua kementerian negara/lembaga pemerintah pusat harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran (output) dan/atau hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. IV-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

165 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Selanjutnya, pemberlakuan konsep kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework), mengharuskan perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja pada semua kementerian negara/lembaga dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu tahun. Kedua, langkah-langkah kebijakan pengamanan APBN dalam rangka menyehatkan APBN, dan menjaga kesinambungan fiskal sebagai dampak perkembangan harga minyak mentah Indonesia. Kebijakan yang diambil pemerintah dalam periode sebagai respon atas perkembangan tersebut antara lain adalah penyesuaian ke atas harga BBM yang dilakukan pada bulan Maret dan Oktober 2005 serta pada bulan Mei Penyesuaian tersebut berdampak pada penurunan beban subsidi BBM, dan ditujukan untuk mengendalikan APBN agar tetap sehat dan kredibel. Sebagai paket kebijakan dari kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah juga melaksanakan berbagai program kompensasi atas kenaikan harga BBM, agar dapat mengurangi beban masyarakat, serta mempertahankan momentum pertumbuhan. Selain itu, sesuai dengan perkembangan ICP di pasar internasional yang mengalami penurunan hingga mencapai US$38,45 per barel pada akhir tahun 2008, Pemerintah juga melakukan penurunan harga BBM hingga tiga kali yaitu pada awal dan pertengahan Desember 2008, serta bulan Januari Penurunan harga BBM tersebut dilakukan terutama untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas harga guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kebijakan pelonggaran defisit anggaran dalam rangka memberikan dukungan atas pelaksanaan paket stimulus fiskal sebagai respon atas melemahnya perekonomian domestik sebagai dampak dari krisis global. Kebijakan tersebut ditempuh pemerintah pada tahun 2009, dengan mengalokasikan paket stimulus fiskal, yang antara lain dilakukan melalui alokasi stimulus untuk infrastruktur dan berbagai subsidi. Keempat, penerapan kebijakan-kebijakan baru terkait implementasi anggaran, seperti pelaksanaan kebijakan reward and punishment. Sistem reward and punishment ini merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan belanja negara, yang telah diimplementasikan pada tahun Pada prinsipnya, kementerian negara/lembaga yang berhasil melakukan optimalisasi penggunaan anggaran, atau dapat mencapai sasaran/target dengan biaya yang lebih rendah pada tahun sebelumnya, akan diberikan tambahan pagu belanja pada tahun berikutnya (reward). Sementara itu, bagi K/L yang tidak bisa menyerap anggaran dan sasaran/target tidak terpenuhi dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pada sebelumnya, maka pada tahun berikutnya, anggaran K/L yang bersangkutan akan dikurangi (punishment). Kebijakan ini diharapkan dapat mendukung upaya peningkatan kualitas belanja negara, melalui perbaikan kualitas perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Selain berbagai kebijakan tersebut diatas, Pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan kualitas belanja (quality of spending), khususnya untuk memperbaiki efektivitas dan efisiensi belanja negara. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat bahwa sebagian besar anggaran belanja pemerintah pusat masih merupakan belanja mengikat atau pengeluaran-pengeluaran yang bersifat wajib (nondiscretionary expenditures), seperti pembayaran bunga utang, subsidi, belanja pegawai dan sebagian belanja barang, sehingga ruang gerak yang tersedia bagi pemerintah untuk melakukan intervensi fiskal, dalam bentuk stimulasi dari anggaran belanja negara terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja produktif maupun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -7

166 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 pengentasan kemiskinan menjadi relatif terbatas. Rasio anggaran belanja mengikat terhadap total belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu secara rata-rata mencapai 73,3 persen, dan sisanya sebesar 26,7 persen merupakan belanja tidak mengikat. Selanjutnya, sebagaimana amanat UU Nomor 17 tahun 2003, berikut diuraikan mengenai perkembangan belanja pemerintah pusat dalam tahun menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja Perkembangan Pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi, Menurut ketentuan undang-undang bidang keuangan negara, kementerian negara/lembaga (K/L) melalui satuan-satuan kerjanya merupakan business unit pengelola anggaran pemerintah. Karena itu, semua kementerian negara/lembaga selaku pengguna anggaran dan/atau pengguna barang harus menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (RKA-K/L) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Selanjutnya, masing-masing K/L tersebut juga harus melaksanakan, mempertanggungjawabkan, dan melaporkan realisasi anggaran dan kinerja yang telah dicapainya. Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap perkembangan pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat menurut organisasi selama kurun waktu , yang merupakan pelaksanaan RPJMN , dan perkiraan realisasi APBN- P tahun 2010, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan RPJMN dapat disimpulkan tiga hal penting. Pertama, realisasi anggaran belanja kementerian negara/lembaga (K/L) pada rentang waktu mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, yaitu rata-rata sekitar 23,8 persen per tahun, dari sebesar Rp120,8 triliun (4,4 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, dan diperkirakan mencapai Rp350,7 triliun (5,6 persen terhadap PDB) dalam triliun rupiah tahun 2010 (lihat Grafik IV.1). Kedua, porsi anggaran belanja K/L terhadap total belanja Pemerintah Pusat dalam periode yang sama, mengalami peningkatan dari sebesar 33,5 persen dalam tahun 2005 menjadi sekitar 46,8 persen dalam tahun Faktor utama penyebab kenaikan porsi anggaran belanja K/L terhadap total anggaran belanja pemerintah pusat dalam periode tersebut, yaitu adanya program stimulus fiskal dalam rangka meminimalisasi dampak krisis global dalam tahun 2009, dan pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun Ketiga, dalam rangka pelaksanaan tiga agenda pembangunan nasional, yaitu menciptakan Indonesia yang aman dan damai; menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; serta meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang mencerminkan platform Presiden dalam lima tahun pelaksanaan RPJMN , dan tahun pertama pelaksanaan RPJMN terdapat sepuluh K/L yang selalu memperoleh alokasi anggaran cukup besar. Hal ini sejalan dengan perubahan orientasi kebijakan fiskal dalam periode , yang lebih mengedepankan aspek stimulasi terhadap perekonomian (pro-growth, pro-job, dan pro-poor), maka sesuai dengan *) *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerian Keuangan GRAFIK IV. 1 PERKEMBANGAN BELANJA K/L, APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen IV-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

167 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, yang ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, membangun kemampuan iptek, dan memperkuat daya saing perekonomian. Sepuluh K/L tersebut adalah (1) Kementerian Pendidikan Nasional (18,5 persen dari belanja K/L); (2) Kementerian Pertahanan (13,1 persen dari belanja K/L); (3) Kementerian Pekerjaan Umum (11,0 persen dari belanja K/L); (4) Kepolisian Republik Indonesia (8,6 persen dari belanja K/L); (5) Kementerian Agama (6,4 persen dari belanja K/L); (6) Kementerian Kesehatan (6,2 persen dari belanja K/L); (7) Kementerian Perhubungan (4,3 persen dari belanja K/L); (8) Kementerian Keuangan (3,6 persen dari belanja K/L); (9) Kementerian Dalam Negeri (1,8 persen dari belanja K/L); dan (10) Kementerian Pertanian (2,6 persen dari belanja K/L). Pada Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), realisasi anggaran belanja dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 22,2 persen per tahun, yaitu dari Rp23,1 triliun (0,8 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, diperkirakan menjadi Rp62,9 triliun (1,0 persen terhadap PDB) dalam tahun Sejalan dengan itu, realisasi penyerapan anggaran belanja Kemendiknas dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 85,6 persen terhadap pagu anggaran dalam APBN-P dalam tahun 2005, diperkirakan menjadi sekitar 99,1 persen dari pagunya dalam APBN-P Realisasi anggaran belanja Kemendiknas dalam periode tersebut digunakan untuk: (1) peningkatan pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola. Hal itu dilaksanakan melalui berbagai program, antara lain: (1) program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun; (2) program pendidikan menengah; (3) program pendidikan tinggi; serta (4) program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Perkembangan anggaran untuk Kemendiknas dalam periode , disajikan dalam Grafik IV.2. triliun rupiah Pada program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, output yang dihasilkan antara lain berupa: (1) penyediaan bantuan operasional sekolah (BOS) yang mengalami peningkatan dari Rp5,1 triliun pada tahun 2005 untuk 39,6 juta siswa menjadi Rp16,5 triliun pada tahun 2010 bagi 37,3 juta siswa; (2) terlaksananya penyediaan beasiswa untuk siswa miskin SD dan SMP, dari masing-masing sebanyak 1,8 juta siswa dan 499 ribu siswa pada tahun 2008 menjadi masing-masing sebanyak 1,8 juta siswa SD dan 871 ribu siswa SMP pada tahun 2010; (3) terlaksananya rehabilitasi ruang kelas sebanyak ruang untuk SD dan ruang kelas SMP dalam kurun waktu ; (4) terlaksananya pembangunan SMP pada tahun sebanyak unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB). Selanjutnya, output yang dihasilkan dari pembiayaan program pendidikan menengah di antaranya berupa: (1) meningkatnya penyediaan beasiswa untuk siswa miskin pada jenjang pendidikan menengah, yaitu dari 729 ribu siswa selama tahun 2008, menjadi 688 ribu siswa GRAFIK IV. 2 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL, *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerian Keuangan *) APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -9

168 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 pada tahun 2010; dan (2) terlaksananya pembangunan 247 USB SMA dan 641 USB SMK, serta RKB SMA dan RKB SMK pada tahun Sementara itu, output yang diperoleh dari pembiayaan berbagai kegiatan pada program pendidikan tinggi antara lain berupa terlaksananya penyediaan beasiswa bagi 174 ribu mahasiswa miskin pada tahun 2008, dan bagi 211 mahasiswa miskin dalam tahun Selain itu, capaian yang telah diperoleh oleh Kemendiknas terkait dengan mutu dan daya saing pendidikan pada tahun , adalah: (1) sampai dengan tahun 2009 Kemendiknas telah menghubungkan titik, yaitu 942 pada zona kantor, 363 pada zona perguruan tinggi, dan pada zona sekolah; (2) terlaksananya pemberian hak cipta buku teks pelajaran sebanyak 441 judul buku untuk pendidikan dasar dan menengah; (3) meningkatnya jumlah sertifikat kompetensi kecakapan hidup yang diterbitkan pada tahun 2008 diberikan untuk orang, yang berarti melampaui target nasional sebanyak orang. Outcome yang dihasilkan dari alokasi anggaran pada berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Kemendiknas dalam periode tersebut, antara lain: (1) meningkatnya akses pemerataan pendidikan penduduk Indonesia, yang antara lain tercermin dari meningkatnya angka partisipasi murni/kasar (APM/APK) dan disparitas APM/APK antar kawasan; (2) meningkatnya mutu dan daya saing pendidikan, yang antara lain tercermin dari meningkatnya rerata nilai ujian nasional seluruh jenjang pendidikan dan proporsi guru yang memenuhi kualifikasi S1/D4; (3) meningkatnya relevansi pendidikan. Perkembangan yang lebih rinci dari pencapaian sasaran tersebut disampaikan dalam Tabel IV. I. Sasaran Realisasi I. Meningkatnya akses pendidikan 1. APK PAUD 42,34% 45,63% 48,32% 50,62% 53,70% 2. APM SD/MI/Paket A 94,30% 94,48% 94,90% 95,14% 95,20% 3. APK SMP/MTs/Paket B 85,22% 88,68% 92,52% 96,18% 98,30% 4. APK SMA/SMK/MA/Paket C 52,20% 56,22% 60,51% 64,28% 69,60% 5. APK PT/PTA termasuk UT 15,00% 16,70% 17,25% 17,75% 18,36% 6. Buta Aksara > 15 th 9,55% 8,07% 7,20% 5,95% 5,30% II. Meningkatnya pemerataan akses Pendidikan 1. Disparitas APK PAUD antara Kab/Kota 5,42% 4,37% 4,20% 3,61% 2,99% 2. Disparitas APK SD/MI/Paket A antara Kab/Kota 2,49% 2,43% 2,40% 2,28% 2,23% 3. Disparitas APK SMP/MTs/Paket B antara Kab/Kota 25,14% 23,44% 23,00% 20,18% 18,95% 4. Disparitas APK SMA/MA/SMK/Paket C antara Kab/Kota 33,13% 31,44% 31,20% 29,97% 29,18% 5. Disparitas APK antar Gender di jenjang pendidikan menengah 6,07% 5,50% 5,45% 4,45% 3,97% 6. Disparitas APK antar Gender di jenjang pendidikan tinggi 9,62% 0,17% 0,59% -2,29% -0,60% 7. Disparitas APK antar Gender buta aksara 5,59% 5,33% 5,09% 3,24% 2,62% III. Meningkatnya mutu dan daya saing pendidikan 1. Rata-rata nilai UN SMP/MTs 6,38 7,27 6,98 6,87 7,35 2. Rata-rata nilai UN SMA/SMK/MA 6,32 7,08 7,20 7,13 7,34 3. Guru yang memenuhi kualifikasi S1/D4 30,00% 35,60% 41,70% 47,04% 4. Dosen berkualifikasi S2/S3 50,00% 54,02% 71,82% 74,39% 76,47% IV. Meningkatnya relevansi pendidikan 1. Rasio jumlah siswa SMK:SMA 32:68 35:65 44:56 46:54 49:51 2. APK PT vokasi (D2/D3/D4/Politeknik) 3,31% 3,96% 3,86% 3,80% 2,92% 3. Rasio jumlah mahasiswa profesi thd jumlah lulusan S1/D4 10,00% 10,00% 78,22% 44,81% 20,00% 4. Persentase peserta pendidikan kecakapan hidup terhadap lulusan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA yang tidak melanjutkan 6,50% 12,70% 12,50% 16,40% 18,99% Sumber : Kementerian Pendidikan Nasional TABEL IV.1 PENCAPAIAN KINERJA KEMENDIKNAS, Dalam periode yang sama, realisasi anggaran belanja Kementerian Pertahanan mengalami peningkatan rata-rata 15,4 persen per tahun, yaitu dari Rp20,8 triliun (0,8 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp42,5 triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam IV-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

169 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV tahun Demikian pula, realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Pertahanan dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 94,4 persen terhadap pagu anggaran belanja Kementerian Pertahanan dalam APBN-P tahun 2005 diperkirakan menjadi sekitar 99,2 persen terhadap pagunya dalam APBN-P tahun Peningkatan alokasi anggaran belanja Kementerian Pertahanan selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan salah satu agenda pembangunan nasional dalam RPJM , yaitu mewujudkan Indonesia yang aman dan damai dengan sasaran pembangunan pertahanan negara menuju kekuatan pertahanan pada tingkat kekuatan pokok minimal (minimum essential force). Realisasi anggaran belanja Kementerian Pertahanan dalam kurun waktu sebagian besar merupakan realisasi anggaran dari program: (1) pengembangan pertahanan integratif; (2) pengembangan pertahanan matra darat; (3) pengembangan pertahanan matra laut; (4) program pengembangan pertahanan matra udara; (5) program penegakan kedaulatan dan penjagaan keutuhan wilayah NKRI; serta (6) program pengembangan industri pertahanan. Realisasi anggaran belanja Kementerian Pertahanan dalam periode tersebut, antara lain digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan-kegiatan: (1) pembangunan dan pengembangan kekuatan dan kemampuan sistem, personel, materiil dan fasilitas TNI; (2) pembentukan kemampuan pertahanan pada skala kekuatan pokok minimum (minimum essential force) mencapai kesiapan alutsista rata-rata 45 persen dari yang dimilikinya; serta (3) penambahan baru, menghidupkan kembali, atau repowering terhadap alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang secara ekonomi masih bias dipertahankan. Selain itu, realisasi anggaran belanja Kementerian Pertahanan tersebut juga digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan-kegiatan pengembangan sarana, prasarana dan fasilitas TNI, dengan output antara lain berupa terlaksananya pembangunan/renovasi asrama dan perumahan dinas/perumahan prajurit, perkantoran, serta pangkalan dan fasilitas pemeliharaan dengan kondisi mantap mencapai 40 persen. Dalam periode , telah dapat dicapai beberapa kemajuan penting di bidang pertahanan, antara lain: (1) tersusunnya rancangan postur pertahanan Indonesia berdasarkan Strategy Defense Review (SDR) dan strategi raya pertahanan periode yang disusun sebagai hasil kerjasama antara civil society dan militer; (2) meningkatnya profesionalisme anggota TNI baik dalam operasi militer untuk perang maupun selain perang; (3) meningkatnya kesejahteraan prajurit TNI terutama kecukupan perumahan, pendidikan dasar keluarga prajurit, dan jaminan kesejahteraan akhir tugas; (4) meningkatnya jumlah dan kondisi peralatan pertahanan kearah modernisasi alat utama sistem persenjataan dan kesiapan operasional;(5) meningkatnya penggunaan alutsista produksi dalam negeri dan dapat ditanganinya pemeliharaan alutsista oleh industri dalam negeri; (6) teroptimalisasinya anggaran pertahanan serta tercukupinya anggaran minimal secara simultan dengan terselesaikannya reposisi bisnis TNI; dan (7) terdayagunakannya potensi masyarakat dalam bela negara sebagai salah satu komponen utama bela negara. Ilustrasi tentang perkembangan anggaran belanja Kementerian Pertahanan dalam periode disajikan dalam Grafik IV.3. triliun rupiah GRAFIK IV. 3 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN PERTAHANAN, *) *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerian Keuangan APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -11

170 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Dari berbagai program dan kegiatan tersebut, outcome yang akan dicapai meliputi antara lain: (1) terwujudnya postur dan struktur menuju minimum essential force yang mampu melaksanakan operasi gabungan dan memiliki efek penangkal antara lain melalui pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan yang terintegrasi; (2) meningkatnya pendayagunaan industri pertahanan nasional bagi kemandirian pertahanan; (3) menurunnya angka gangguan keamanan laut dan pelanggaran hukum di laut. Selanjutnya, realisasi anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 21,0 persen per tahun, dari Rp13,3 triliun (0,5 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, dan meningkat menjadi Rp34,6 triliun (0,6 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 69,8 persen terhadap pagu anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dalam APBN-P tahun 2005, dan menjadi 96,0 persen dari pagunya APBN-P Peningkatan alokasi anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan salah satu agenda pembangunan nasional dalam RPJMN , yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan sarana dan prasarana dasar yang dibutuhkan untuk investasi guna memacu pertumbuhan ekonomi, dan memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan dasar yang dilanjutkan dalam RPJMN Realisasi anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam periode tersebut, sebagian besar digunakan untuk membiayai upaya percepatan pembangunan dan penyediaan infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi, yang dilaksanakan melalui berbagai program, yang meliputi antara lain: (1) program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan; (2) program rehabilitasi pemeliharaan jalan dan jembatan; (3) program pemberdayaan komunitas perumahan; (4) program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumber air lainnya; serta (5) program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan lainnya. Ilustrasi tentang perkembangan anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam periode di sajikan dalam Grafik IV. 4. triliun rupiah Output yang dihasilkan dari pelaksanaan berbagai program tersebut, di antaranya meliputi: (1) meningkatnya pembangunan jalan dan jembatan sepanjang 220 km dan 730 meter pada tahun 2005, menjadi km dan meter pada tahun 2010; (2) terpeliharanya jalan nasional dan jembatan sepanjang km dan meter pada tahun 2005, menjadi km dan meter pada tahun 2010; (3) terlaksananya peningkatan luas layanan jaringan irigasi seluas ha pada tahun 2005, menjadi ha hingga awal tahun 2010; (4) terlaksananya pembangunan prasarana pengendali banjir sepanjang 228 km pada tahun 2005, menjadi km hingga awal tahun 2010; (5) terlaksananya pembangunan 69 embung pada tahun 2005, menjadi 11 waduk dan 43 embung hingga awal tahun GRAFIK IV. 4 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM, *) *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerian Keuangan APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen IV-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

171 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Outcome yang dihasilkan dari alokasi anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam periode tersebut, diantaranya adalah : (1) meningkatnya fungsi dan tingkat pelayanan pengguna prasana jalan dan aksesibilitas wilayah dan kawasan terisolir sesuai perkembangan kebutuhan transportasi baik dalam hal kecepatan maupun kenyamanan; (2) dapat dipertahankannya fungsi jaringan jalan yang ada dalam rangka melancarkan distribusi sarana dan hasil produksi sehingga dapat memulihkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; (3) meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian dan industri; (4) berkurangnya tingkat risiko dan periode genangan banjir; dan (5) terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut terutama pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dan wilayah strategis. Pada Kepolisian Republik Indonesia (Polri), perkembangan realisasi anggaran belanja dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 18,9 persen per tahun, yaitu dari Rp11,6 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, menjadi Rp27,6 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi penyerapan anggaran belanja Polri dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan rata-rata 2,6 persen per tahun, yaitu dari 87,3 persen terhadap pagu anggaran belanja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam APBN-P tahun 2005, dan diperkirakan menjadi 99,4 persen dari pagunya dalam APBN-P tahun Realisasi anggaran belanja Polri dalam kurun waktu tersebut, sebagian besar digunakan untuk membiayai berbagai program Polri, yaitu di antaranya meliputi: (1) program pengembangan strategi keamanan dan ketertiban; (2) program pemberdayaan potensi keamanan; (3) program pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat; serta (4) program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Ilustrasi perkembangan anggaran belanja Kepolisian Republik Indonesia dalam periode disajikan dalam Grafik IV.5. triliun rupiah Output yang dihasilkan dari berbagai program Polri dalam periode tersebut, di antaranya adalah: (1) menurunnya angka pelanggaran hukum dan indeks kriminalitas, (2) meningkatnya penuntasan kasus kriminalitas kejahatan konvensional dan transnasional dari 76 ribu kasus pada tahun 2005 menjadi 79 ribu kasus pada tahun 2010; (3) meningkatnya angka penyelesaian kasus narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya dari 16 ribu kasus pada tahun 2005 menjadi 28 ribu kasus pada tahun 2010; (4) menurunnya kejadian tindak terorisme di wilayah hukum Indonesia. Sementara itu, outcome yang dihasilkan dari berbagai program yang dibiayai dengan alokasi anggaran belanja Polri dalam kurun waktu tersebut antara lain berupa: (1) terwujudnya personel Polri dan PNS Polri yang profesional dan bermoral; (2) terciptanya suasana aman, tertib dan kondusif dalam masyarakat; (3) meningkatnya kesadaran hukum dan peran serta masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan sosial dan gangguan keamanan; serta (4) terselenggaranya tata kelola pemerintahan dan pelayanan yang profesional di lingkungan Polri GRAFIK IV.5 PERKEMBANGAN BELANJA KEPOLISIAN NEGARA RI, *) *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerian Keuangan APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -13

172 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Realisasi anggaran belanja Kementerian Agama dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 34,4 persen per tahun, dari Rp6,5 triliun (0,2 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 diperkirakan menjadi Rp28,5 triliun (0,5 persen terhadap PDB) dalam tahun Demikian pula kinerja realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Agama dalam periode tersebut mengalami peningkatan, dari 92,6 persen terhadap pagu anggaran belanja Kementerian Agama dalam APBN-P tahun 2005, diperkirakan menjadi 94,5 persen dari pagunya dalam APBN-P Dengan perkembangan tersebut, maka porsi anggaran belanja Kementerian Agama terhadap total belanja K/L, meningkat dari 5,4 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 8,1 persen dalam tahun Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Agama selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama, penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Realisasi anggaran belanja Kementerian Agama dalam periode tersebut, sebagian besar digunakan untuk mendorong terciptanya peningkatan kualitas kehidupan beragama, yang dilaksanakan melalui berbagai program, diantaranya: (1) program peningkatan pelayanan kehidupan beragama; (2) program peningkatan pemahaman, penghayatan, pengamalan dan pengembangan nilai-nilai keagamaan; (3) program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun; (4) program pendidikan tinggi; (5) program PAUD (pendidikan anak usia dini); dan (6) program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Ilustrasi perkembangan anggaran belanja Kementerian Agama dalam periode disajikan dalam Grafik IV.6. triliun rupiah Output yang dihasilkan dari alokasi anggaran belanja Kementerian Agama dalam periode tersebut, diantaranya adalah: (1) dilaksanakannya pembangunan sarana dan prasarana peribadatan, yaitu sebanyak tempat ibadah; (2) telah disalurkannya hampir eksemplar kitab suci dan tafsir kitab suci; (3) terlaksananya pembangunan dan rehabilitasi Kantor Urusan Agama (KUA) dan Balai Nikah dan Penasihat Perkawinan (BNPP) sebanyak 607 gedung KUA dan 425 gedung BNPP; (4) terlaksananya pemberian bantuan beasiswa bagi siswa miskin MI dan MTs sebanyak orang; dan (5) terlaksananya pemberian BOS jenjang pendidikan dasar sebanyak orang. Outcome yang dihasilkan dari alokasi anggaran Kementerian Agama dalam periode tersebut, diantaranya adalah: (1) meningkatnya kerukunan baik intern maupun antarumat beragama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam suasana aman dan damai; (2) meningkatnya APK MI/MTs, dan MA, serta berkurangnya angka putus sekolah; serta (3) terlaksananya penerapan alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi masyarakat kurang beruntung (miskin, berpindah-pindah, terisolasi, terasing, minoritas dan di daerah bermasalah termasuk jalanan dan terlantar). Pada Kementerian Kesehatan, realisasi anggaran belanja dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 28,0 persen per tahun, yaitu dari Rp6,5 triliun (0,2 persen GRAFIK IV. 6 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN AGAMA, *) *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerian Keuangan APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen IV-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

173 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV terhadap PDB) dalam tahun 2005, diperkirakan menjadi Rp22,4 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun Demikian pula realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Kesehatan dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 58,4 persen terhadap pagu anggaran belanja Kementerian Kesehatan pada APBN-P tahun 2005, diperkirakan menjadi 94,2 persen dari pagunya dalam APBN-P Dengan berbagai perkembangan tersebut, maka porsi anggaran belanja Kementerian Kesehatan terhadap total belanja K/L, mengalami peningkatan dari 5,4 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 6,4 persen dalam tahun Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Kesehatan selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, sesuai dengan visi Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat, dan misi Membuat Rakyat Sehat. Realisasi anggaran belanja Kementerian Kesehatan dalam periode tersebut, sebagian besar digunakan untuk mendukung upaya percepatan pembangunan dan penyediaan infrastruktur guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang dijabarkan dalam beberapa program pembangunan kesehatan, antara lain: (1) program obat dan perbekalan kesehatan; (2) program upaya kesehatan perorangan; (3) program upaya kesehatan masyarakat; dan (4) program pencegahan dan pemberantasan penyakit. Output yang diperoleh dari berbagai program yang dilaksanakan tersebut, diantaranya adalah: (1) meningkatnya cakupan Jamkesmas melalui layanan rawat inap kelas III rumah sakit secara gratis bagi penduduk miskin, dari 36,4 juta orang pada tahun 2005 menjadi 76,4 juta orang pada tahun 2009; (2) meningkatnya jumlah puskesmas, dari puskesmas pada tahun 2005 menjadi puskesmas pada tahun 2009; (3) meningkatnya kemampuan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan rujukan, yang meliputi peningkatan daya tampung untuk triliun rupiah keperawatan maupun peningkatan fasilitas pelayanan medik seperti ruang operasi, unit gawat darurat (UGD), ruang isolasi, unit transfusi darah, dan laboratorium kesehatan serta penambahan jumlah tempat tidur rumah sakit; (4) meningkatnya penemuan kasus tubercolosis (TB) dari 58 persen menjadi 73 persen; (5) menurunnya angka annual malaria incidence (AMI) dari 18,9 per 1000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 16,6 per 1000 penduduk pada tahun 2008; (6) meningkatnya persentase balita yang mendapat imunisasi dasar; serta (7) meningkatnya cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari 70,4 persen pada tahun 2005 menjadi 74,9 persen pada tahun Ilustrasi perkembangan anggaran belanja Kementerian Kesehatan dalam periode disajikan dalam Grafik IV.7. Selanjutnya, dari alokasi anggaran Kementerian Kesehatan dalam periode tersebut Outcome yang dihasilkan, di antaranya adalah: (1) meningkatnya jumlah, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan melalui puskesmas dan jaringannya, meliputi puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan bidan di desa; (2) meningkatnya akses, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan; (3) meningkatnya kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat, terutama pada ibu hamil, bayi dan anak balita; GRAFIK IV.7 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN KESEHATAN, *) *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerin Keuangan APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -15

174 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 (4) menurunnya angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular; (5) meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, yang antara lain tercermin dari meningkatnya umur harapan hidup, dari 70,0 tahun pada tahun 2005 menjadi 70,7 tahun pada tahun 2009, dan menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Sementara itu, realisasi anggaran belanja Kementerian Perhubungan, dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 33,4 persen per tahun, yaitu dari Rp 4,0 triliun (0,14 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, dan diperkirakan menjadi Rp16,8 triliun (0,27 persen terhadap PDB) dalam tahun Sementara itu realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Perhubungan dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 66,0 persen terhadap pagu anggaran belanja Kementerian Perhubungan dalam APBN-P tahun 2005 menjadi 95,8 persen dari pagunya dalam tahun Dengan berbagai perkembangan tersebut, maka porsi anggaran belanja Kementerian Perhubungan terhadap total anggaran belanja K/L, mengalami peningkatan dari 3,3 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 4,8 persen dalam tahun Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Perhubungan selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan sektor perhubungan sebagai salah satu pelayanan publik inti (core public service) yang sangat menentukan terwujudnya kesejahteraan masyarakat (welfare society) dan keberhasilan pembangunan bangsa pada umumnya. Hal ini terutama karena transportasi merupakan salah satu tulang punggung (backbone) pembangunan infrastruktur, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kehidupan berbangsa dan bernegara pada bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan-keamanan. Karena itu, pembangunan transportasi diarahkan pada terwujudnya pelayanan perhubungan yang handal, berdaya saing dan memberikan nilai tambah. Pelayanan transportasi yang handal diindikasikan oleh penyelenggaraan transportasi yang aman (security), selamat (safety), nyaman (comfortable), tepat waktu (punctuality), terpelihara, mencukupi kebutuhan, menjangkau seluruh pelosok tanah air serta mampu mendukung pembangunan nasional. Realisasi anggaran belanja Kementerian Perhubungan yang cenderung meningkat dalam periode tersebut, sebagian besar digunakan untuk membiayai upaya percepatan pembangunan dan penyediaan infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi, yang dilaksanakan melalui berbagai program, antara lain: (1) program pembangunan di bidang transportasi laut; (2) program pembangunan di bidang transportasi udara; dan (3) program pembangunan di bidang transportasi darat dan perkeretaapian. Ilustrasi perkembangan anggaran belanja Kementerian Perhubungan dalam periode disajikan dalam Grafik IV.8. triliun rupiah Output yang dihasilkan dari alokasi anggaran Kementerian Perhubungan dalam periode tersebut diantaranya adalah : (1) peningkatan 2.365,8 km jalan dan 6.243,9 m jembatan pada lintas timur Sumatera, pantai utara jawa, lintas selatan Kalimantan, lintas barat Sulawesi, dan lintas lainnya serta non lintas; (2) pembangunan 179 km jalan dan 440 m GRAFIK IV.8 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN, *) *) Perkiraan Realisasi Sumber : Kementerian Keuangan APBN-P Realisasi % Real thd PDB persen IV-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

175 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV jembatan di kawasan perbatasan, terpencil, dan terluar atau terdepan; (3) pembangunan 73 km jalan lintas selatan Jawa dan 765 jembatan; (4) pembangunan jalan akses sepanjang 9,53 km; (5) meningkatnya panjang jalur ganda kereta api (KA), antara lain berupa terbangunnya jalur ganda kereta api lintas Yogyakarta-Kutoarjo (64 km), lintas Cikampek- Cirebon (48 km), lintas tanah abang-serpong (24 km), lintas Cirebon-Kroya (24,48 km), Tegal-Pekalongan lintas Pemalang-Surodadi-Larangan (22,7 km); (6) meningkatnya pengadaan fasilitas keselamatan, berupa pengadaan dan pemasangan marka jalan sepanjang meter pada tahun 2005, dan meter pada tahun 2010; (7) meningkatnya pembangunan dermaga penyeberangan sebanyak 47 unit (baru dan lanjutan) pada tahun 2006, menjadi 57 unit (baru dan lanjutan) pada tahun 2010; (8) pengembangan pelabuhan Belawan dan Tanjung Priok serta pembangunan dan lanjutan pelabuhan di 146 lokasi yang tersebar diseluruh Indonesia; (9) subsidi perintis angkutan penyeberangan pada 49 kapal penyeberangan perintis di 111 lintas angkutan penyeberangan perintis; (10) meningkatnya pelayanan angkutan udara perintis kepada masyarakat dari 90 rute dan 81 kota pada tahun 2005 menjadi 118 rute dan 117 kota pada tahun 2010; (11) pembangunan kapal perintis dari 112 unit pada tahun 2005 menjadi 25 unit pada tahun 2010, sehingga meningkatnya jumlah trayek perintis angkutan laut dari 48 trayek pada tahun 2005 menjadi 60 trayek tahun 2010, dan penyediaan public service obligation (PSO) melalui PT Pelni untuk 22 kapal pada tahun 2005 menjadi 23 kapal pada tahun 2010; (12) terlaksananya pembangunan dan pengembangan bandar udara strategis, antara lain Bandara Hasanuddin Makassar, Bandara Soekarno Hatta (Pengembangan terminal III), Bandara Kualanamu Medan Baru, dan Bandara Lombok Baru. Dari pelaksanaan berbagai program tersebut, outcome yang dihasilkan dari adanya pembangunan infrastruktur transportasi antara lain, adalah: (1) meningkatnya keselamatan dan keamanan transportasi jalan melalui peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai standar pelayanan minimal; (2) meningkatnya keselamatan transportasi sungai, danau dan penyeberangan melalui rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasaranan transportasi sungai, danau dan penyeberangan; serta (3) meningkatnya aksesibilitas pelayanan transportasi sungai, danau dan penyeberangan melalui pembangunan prasarana angkutan sungai, danau dan penyeberangan di daerah kepulauan dan di pulau-pulau kecil serta kawasan perbatasan. Pada Kementerian Keuangan, realisasi anggaran belanja dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 32,2 persen per tahun, yaitu dari Rp3,6 triliun (0,13 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp14,6 triliun (0,23 persen terhadap PDB) dalam tahun Sejalan dengan itu, realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Keuangan dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 74,5 persen terhadap pagu anggaran belanja Kementerian Keuangan pada APBN-P tahun 2005 diperkirakan menjadi 95,3 persen dari pagunya dalam APBN-P Dengan perkembangan tersebut, maka porsi anggaran belanja Kementerian Keuangan terhadap total belanja K/L, mengalami peningkatan dari 3,0 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 4,2 persen dalam tahun Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Keuangan selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas sistem penganggaran, dan memperkuat stabilitas sistem keuangan, sehingga mampu menjadi pengaman dan pengendali dalam aspek-aspek seperti infrastruktur, kelembagaan, dan pasar uang guna memacu pertumbuhan ekonomi. Realisasi anggaran belanja Kementerian Keuangan dalam periode tersebut, sebagian besar digunakan untuk membiayai: (1) program peningkatan efektivitas pengeluaran negara; (2) program Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -17

176 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 pengembangan kelembagaan keuangan; serta (3) program stabilisasi ekonomi dan sektor keuangan. triliun rupiah Outcome yang dihasilkan dari alokasi anggaran belanja Kementerian Keuangan dalam periode , diantaranya adalah: (1) meningkatnya ketahanan sektor keuangan; (2) meningkatnya fungsi intermediasi perbankan dan penyaluran *) dana melalui lembaga keuangan nonbank *) Perkiraan Realisasi APBN-P Realisasi % Real thd PDB (termasuk pasar modal) kepada usaha mikro Sumber : Kementerian Keuangan kecil menengah (UMKM); (3) meningkatnya peranan lembaga jasa keuangan nonbank terhadap perekonomian; (4) meningkatnya stabilitas sistem keuangan; (5) terselesaikannya penyempurnaan sistem akuntasi pemerintah (SAP); (6) tersusunnya standar akuntansi pemerintah berbasis akrual, terselesaikannya laporan keuangan Pemerintah Pusat, dan terselenggaranya sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan akuntabel; (7) terwujudnya secara bertahap mekanisme pencegahan dan pengelolaan krisis dengan didukung infrastruktur pendukung jasa-jasa keuangan; (8) meningkatnya penerimaan negara, terutama penerimaan yang bersumber dari pajak dengan mempertimbangkan perkembangan dunia usaha dan aspek keadilan; serta (9) meningkatnya penerimaan dari sumber daya alam dengan tetap menjaga kelestarian dan kesinambungan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Ilustrasi perkembangan anggaran belanja Kementerian Keuangan dalam periode disajikan dalam Grafik IV.9. Dalam periode , realisasi anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri mengalami peningkatan rata-rata 80,1 persen per tahun, yaitu dari Rp0,6 triliun (0,02 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, dan diperkirakan menjadi Rp12,1 triliun (0,19 persen terhadap PDB) pada akhir tahun Sejalan dengan itu, realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 58,0 persen terhadap pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri pada APBN-P tahun 2005 diperkirakan menjadi 90,2 persen dari pagunya dalam APBN-P Dengan berbagai perkembangan tersebut, maka porsi anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri terhadap total belanja K/L dalam kurun waktu tersebut mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 0,5 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 3,4 persen dalam tahun Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya mewujudkan tiga pilar pokok yang menjadi arah kebijakan pemerintahan dalam negeri, yaitu: menjaga dan memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, memperkuat dan menjaga stabilitas sistem politik dalam negeri dan sistem pemerintahan dalam negeri; serta meningkatkan kapasitas pembangunan daerah dan keberdayaan masyarakat. Realisasi anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri tersebut, sebagian besar digunakan untuk mendukung penyelenggaraan berbagai kebijakan pemerintahan dalam negeri, yang dilaksanakan melalui berbagai program antara lain: (1) Program Penyempurnaan dan Penguatan Kelembagaan Demokrasi; (2) Program Perbaikan Proses Politik; (3) Program Penataan Administrasi Kependudukan; (4) Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah; dan (5) Program Peningkatan Keberdayaaan Masyarakat Perdesaan GRAFIK IV.9 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN KEUANGAN, persen 0.30 IV-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

177 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Ilustrasi perkembangan anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri dalam periode disajikan dalam Grafik IV.10. triliun rupiah Outcome yang dihasilkan dari alokasi anggaran Kementerian Dalam Negeri dalam periode tersebut, di antaranya adalah: (1) meningkatnya peran dan fungsi lembagalembaga politik dan sosial kemasyarakatan, serta terbangunnya pondasi kerjasama *) konstruktif antar lembaga-lembaga tersebut; *) Perkiraan Realisasi APBN-P Realisasi % Real thd PDB (2) terfasilitasinya penyelenggaraan Sumber : Kementerian Keuangan desentralisasi dan otonomi daerah melalui penataan regulasi, penataan urusan pemerintahan, peningkatan kapasitas dan penataan kelembagaan pemda dan pemerintah desa, pembinaan dan peningkatan profesionalisme aparatur pemda, penataan daerah otonom baru dan evaluasinya, peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan daerah, serta penyelenggaraan Pilkada langsung; (3) terselenggaranya dukungan upaya pengentasan kemiskinan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di perdesaan; serta (4) terselenggaranya fungsi administrasi kependudukan melalui penyelesaian regulasi, penyerasian kebijakan, pengelolaan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, dan berbagai kegiatan stimulan lainya, serta inisiasi pengembangan dukungan sistem teknologi informasi dan komunikasi. Untuk Kementerian Pertanian, realisasi dari alokasi anggaran belanja dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 25,1 persen per tahun, yaitu dari Rp2,7 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, dan diperkirakan menjadi Rp8,2 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun Sejalan dengan itu, realisasi penyerapan anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 61,9 persen terhadap pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam APBN-P tahun 2005 diperkirakan menjadi sekitar 91,7 persen dari pagunya dalam APBN-P Dengan perkembangan tersebut, maka porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian terhadap total belanja K/L, meningkat dari 2,2 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 2,3 persen dalam tahun Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya petani dengan penciptaan lapangan kerja terutama di perdesaan dan pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui revitalisasi pertanian. Realisasi anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam periode tersebut, sebagian besar digunakan untuk mendukung upaya meningkatkan kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi, dan menjaga tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal 90,0 persen dari kebutuhan domestik untuk mengamankan kemandirian pangan. Upaya tersebut dilaksanakan melalui berbagai program, antara lain: (1) program peningkatan ketahanan pangan; (2) program pengembangan agribisnis; dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani. Ilustrasi perkembangan anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam periode disajikan dalam Grafik IV.11. Output yang dihasilkan dari berbagai program tersebut, diantaranya meliputi: (1) meningkatnya produksi komoditas pertanian, yang tercermin antara lain dari meningkatnya produksi padi dari 54,15 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 15.0 GRAFIK IV.10 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN DALAM NEGERI, persen 0.25 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -19

178 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat menjadi 64,33 juta ton GKG pada tahun 2009 ; dan (2) meningkatnya produksi komoditas perkebunan. triliun rupiah Outcome yang dihasilkan dari alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam periode tersebut, di antaranya adalah : (1) terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal persen dari kebutuhan domestik, untuk *) pengamanan kemandirian pangan; (2) *) Perkiraan Realisasi APBN-P Realisasi % Real thd PDB meningkatnya daya saing dan nilai tambah Sumber : Kementerian Keuangan produk pertanian; (3) meningkatnya produksi dan produktivitas nasional dalam rangka mendukung pertumbuhan dan peningkatan pendapatan petani, dimana Nilai Tukar Petani (NTP) meningkat menjadi sekitar 101,16 (menggunakan tahun dasar 2007=100); (4) meningkatnya nilai ekspor produk pertanian strategis, dan menurunnya ketergantungan kepada produk impor, sehingga diharapkan surplus neraca perdagangan dapat terus ditingkatkan menjadi US$13,1 miliar pada tahun Pencapaian produksi komoditas tanaman pangan dan perkebunan dapat dilihat pada Tabel IV GRAFIK IV.11 PERKEMBANGAN BELANJA KEMENTERIAN PERTANIAN, persen 0.20 TABEL IV.2 PRODUKSI KOMODITAS TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN, No Komoditas (1 ) (ribu ton) I. Komoditas Tanaman Pangan 1 Padi Jagung Kedele Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar II. Komoditas Perkebunan 1 Kelapa Sawit Karet Kelapa Kakao Kopi Jambu Mete Gula (2) Tembakau Cengkeh Keterangan: (1) Angka Target; (2) Hablur Sumber: BPS, Kementerian Pertanian Perkembangan Pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, Sesuai dengan amanat Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, anggaran belanja pemerintah pusat juga dikelompokkan menjadi 11 fungsi. Pengelompokan ini menggambarkan berbagai aspek dari penyelenggaraan IV-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

179 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebelas fungsi pemerintah tersebut, adalah: (1) fungsi pelayanan umum, (2) fungsi pertahanan, (3) fungsi ketertiban dan keamanan, (4) fungsi ekonomi, (5) fungsi lingkungan hidup, (6) fungsi perumahan dan fasilitas umum, (7) fungsi kesehatan, (8) fungsi pariwisata dan budaya, (9) fungsi agama, (10) fungsi pendidikan, dan (11) fungsi perlindungan sosial. Dalam periode , sebagian besar anggaran Tahun LKPP Audited LKPP Audited LKPP Audited LKPP Audited LKPP Audited GRAFIK IV.12 PERKEMBANGAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT MENURUT FUNGSI belanja pemerintah pusat dialokasikan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum, yaitu mencapai rata-rata sekitar 67,2 persen dari total realisasi belanja pemerintah pusat tiap tahunnya. Sementara itu, selebihnya yaitu sekitar 32,8 persen dari realisasi anggaran belanja pemerintah pusat selama periode tersebut digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi pendidikan, fungsi ekonomi, serta fungsi pertahanan, dan fungsi ketertiban dan keamanan (lihat Grafik IV.12). Selanjutnya, realisasi anggaran pada fungsi pelayanan umum dialokasikan melalui kementerian negara/lembaga dan nonkementerian negara/lembaga, yang terutama digunakan untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi pelayanan umum tersebut terdiri dari beberapa subfungsi, yaitu: (1) subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal, serta urusan luar negeri; (2) subfungsi pelayanan umum; (3) subfungsi penelitian dasar dan pengembangan iptek; (4) subfungsi pinjaman pemerintah; (5) subfungsi pembangunan daerah; dan (6) subfungsi pelayanan umum lainnya. Dalam kurun waktu , realisasi anggaran belanja pada fungsi pelayanan umum mengalami peningkatan rata-rata 15,7 persen per tahun, dari Rp255,6 triliun (9,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp528,8 triliun (8,5 persen terhadap PDB) dalam APBN- P tahun Secara umum, kenaikan tertinggi terjadi dalam tahun 2008, yaitu mencapai 69,1 persen dibanding tahun 2007, karena adanya restrukturisasi program berupa pemindahan program kepemerintahan yang baik dari fungsi pertahanan serta ketertiban dan keamanan ke dalam fungsi ini. Peningkatan realisasi anggaran pada fungsi pelayanan umum dalam kurun waktu tersebut, menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan umum kepada masyarakat. Sejalan dengan itu, realisasi penyerapan anggaran belanja pada fungsi pelayanan umum dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 92,7 persen terhadap pagunya dalam APBN-P tahun 2005, diperkirakan menjadi 95,0 persen terhadap pagunya dalam APBN-P tahun Realisasi anggaran belanja pemerintah pusat pada fungsi pelayanan umum dalam periode tersebut digunakan untuk: (1) subfungsi pelayanan umum lainnya sebesar 62,0 persen, (2) subfungsi pinjaman pemerintah sebesar 22,2 persen, (3) subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal serta urusan luar negeri sebesar 14,4 persen, (4) subfungsi pelayanan umum sebesar 0,6 persen, (5) subfungsi penelitian dasar dan pengembangan iptek sebesar 0,3 persen, dan (6) subfungsi pembangunan daerah sebesar 0,4 persen. APBN-P triliun rupiah 01 PELAYANAN UMUM 02 PERTAHANAN 03 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 04 EKONOMI 05 LINGKUNGAN HIDUP 06 PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM 07 KESEHATAN 08 PARIWISATA DAN BUDAYA 09 AGAMA 10 PENDIDIKAN 11 PERLINDUNGAN SOSIAL Sumber: Kementarian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -21

180 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Dalam periode tersebut, anggaran belanja pada subfungsi pelayanan umum lainnya mengalami penurunan yaitu dari Rp353,2 triliun (7,9 persen terhadap PDB) dalam tahun 2008, menjadi Rp309,2 triliun (4,9 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi pelayanan umum lainnya dalam periode tersebut, terutama digunakan untuk membiayai program subsidi dan transfer lainnya, serta program pembiayaan lain-lain. Sementara itu, anggaran pada subfungsi pinjaman triliun rupiah GRAFIK IV.13 PERKEMBANGAN REALISASI ANGGARAN BELANJA FUNGSI PELAYANAN UMUM, Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi LKPP Audited APBN-P pemerintah dalam kurun waktu yang sama mengalami peningkatan dari sebesar Rp74,9 triliun (2,7 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, menjadi Rp105,6 triliun (1,7 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi pinjaman pemerintah dalam periode tersebut, seluruhnya digunakan untuk pembayaran bunga utang. Selanjutnya, anggaran pada subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal serta urusan luar negeri dalam kurun waktu , mengalami peningkatan dari sebesar Rp11,5 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, dan menjadi Rp108,7 triliun (1,7 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal serta urusan luar negeri dalam periode tersebut, digunakan terutama untuk membiayai program penerapan kepemerintahan yang baik, program peningkatan sarana dan prasarana aparatur negara, program pengelolaan sumber daya manusia aparatur, program peningkatan penerimaan dan pengamanan keuangan negara, serta program peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara. Perkembangan realisasi anggaran fungsi pelayanan umum dalam tahun disajikan dalam Grafik IV.13. Pencapaian yang dihasilkan dari pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pada fungsi pelayanan umum dalam kurun waktu tersebut, antara lain meliputi: (1) terlaksananya penyaluran subsidi BBM; subsidi pangan dan penyediaan beras bersubsidi bagi masyarakat miskin; subsidi bunga kredit pemilikan rumah (KPR); subsidi pupuk dan subsidi benih dalam bentuk penyediaan pupuk dan benih unggul murah bagi petani; subsidi transportasi umum untuk penumpang kereta api kelas ekonomi dan kapal laut kelas ekonomi; (2) terlaksananya kewajiban pemerintah atas pembayaran bunga utang; (3) terselenggaranya pelayanan penyelamatan dokumen/arsip, termasuk penanganan arsip pasca bencana; (4) terlaksananya layanan masyarakat sadar arsip; (5) tersedianya diorama sejarah perjalanan bangsa; dan (6) tersedianya aplikasi pengelolaan arsip berbasis Teknologi Informasi dan Telekomunikasi (TIK). Selanjutnya, realisasi anggaran fungsi pendidikan merupakan realisasi anggaran dalam APBN yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Realisasi anggaran pendidikan tersebut terdiri dari anggaran pendidikan dalam belanja pemerintah pusat dan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah. Anggaran pendidikan melalui belanja pemerintah pusat merupakan realisasi anggaran pada fungsi pendidikan untuk seluruh kementerian negara/lembaga, yang terdiri dari beberapa subfungsi, yaitu: subfungsi pendidikan anak usia dini (PAUD), subfungsi pendidikan dasar, IV-22 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 tahun Pelayanan Umum Lainnya Pinjaman Pemerintah Lembaga Eksekutif dan Legislatif, Keuangan dan Fiskal, serta Urusan Luar Negeri Sub Fungsi Lainnya Sumber : Kementerian Keuangan

181 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV subfungsi pendidikan menengah, subfungsi pendidikan nonformal dan formal, subfungsi pendidikan tinggi, subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan, subfungsi pendidikan keagamaan, subfungsi penelitian dan pengembangan pendidikan, dan subfungsi pendidikan lainnya. Dalam kurun waktu anggaran fungsi pendidikan mengalami peningkatan dari Rp29,3 triliun (1,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 dan menjadi Rp97,2 triliun (1,6 persen terhadap PDB) dalam tahun Sejalan dengan itu, realisasi penyerapan anggaran fungsi pendidikan dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 85,8 persen terhadap pagu anggaran fungsi pendidikan dalam APBN-P dalam tahun 2005 diperkirakan menjadi 95,0 persen terhadap pagu alokasi anggaran fungsi pendidikan dalam APBN-P tahun Realisasi anggaran belanja pemerintah pusat pada fungsi pendidikan dalam periode tersebut digunakan untuk: (1) subfungsi pendidikan dasar sebesar 42,5 persen; (2) subfungsi pendidikan tinggi sebesar 24,4 persen; (3) subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan sebesar 15,6 persen; (4) subfungsi pendidikan menengah sebesar 8,7 persen; (5) subfungsi pendidikan lainnya sebesar 2,7 persen; (6) subfungsi pendidikan non formal dan informal sebesar 1,8 persen; (7) subfungsi litbang pendidikan sebesar 1,1 persen; (8) subfungsi pendidikan keagamaan sebesar 1,1 persen; (9) subfungsi pendidikan kedinasan sebesar 0,6 persen; (10) subfungsi pendidikan anak usia dini sebesar 1,0 persen; dan (11) subfungsi pembinaan kepemudaan dan olahraga sebesar 0,5 persen. Dalam periode , anggaran belanja pada subfungsi pendidikan dasar mengalami peningkatan rata-rata 27,1 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp12,3 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi sebesar Rp37,2 triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam tahun 2009, dan mencapai sebesar Rp34,7 triliun (0,6 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran belanja pada subfungsi pendidikan dasar tersebut terutama digunakan untuk membiayai program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Dalam kurun waktu yang sama, realisasi anggaran pada subfungsi pendidikan menengah mengalami peningkatan dari sebesar Rp4,0 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp7,6 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi pendidikan menengah dalam periode tersebut digunakan untuk membiayai program pendidikan menengah, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama. Sejalan dengan itu, realisasi anggaran untuk subfungsi pendidikan tinggi dalam kurun waktu yang sama mengalami peningkatan dari Rp7,1 triliun (0,3 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, menjadi Rp22,2 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun 2009, dan mencapai Rp29,7 triliun (0,5 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran belanja pada subfungsi pendidikan tinggi dalam kurun waktu tersebut terutama digunakan untuk penyediaan pelayanan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi, yang mencakup administrasi, operasi ataupun dukungan untuk pendidikan tinggi. Selanjutnya, realisasi anggaran untuk subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan dalam periode tahun mengalami peningkatan dari sebesar Rp2,6 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp15,0 triliun (0,3 persen terhadap PDB) dalam tahun 2009, dan menjadi Rp19,0 triliun (0,3 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan dalam rentang waktu tersebut digunakan antara lain untuk membiayai program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan, serta program manajemen pelayanan pendidikan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -23

182 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Pencapaian yang dihasilkan dari berbagai program dan kegiatan pada fungsi pendidikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain meliputi: (1) meningkatnya bantuan operasional sekolah (BOS) bagi 34,5 juta siswa dalam tahun 2005, menjadi 42,8 juta siswa dalam tahun 2009, dan diperkirakan mencapai 44,1 juta siswa pada 2010; (2) terlaksananya bantuan beasiswa bagi 3,7 juta siswa tidak mampu di jenjang pendidikan dasar dalam tahun 2009, diperkirakan mencapai 3,8 juta siswa dalam tahun triliun rupiah GRAFIK IV.14 PERKEMBANGAN REALISASI ANGGARAN BELANJA FUNGSI PENDIDIKAN LKPP Audited LKPP Audited LKPP Audited LKPP Audited LKPP Audited APBN-P ; (3) meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang SD/MI/SDLB/Paket A dari 111,2 persen dalam tahun 2005 menjadi 117,0 persen pada tahun 2009; (4) meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang SMP/MTs/SMPLB/Paket B dari 85,2 persen dalam tahun 2005 menjadi 98,3 persen dalam tahun 2009; (5) meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang SMA/SMK/MA/SMLB/Paket C dari 52,2 persen pada tahun 2005, menjadi 69,6 persen pada tahun 2009; (6) tercapainya peningkatan kemampuan keberaksaraan penduduk Indonesia, yang ditandai dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk umur 15 tahun ke atas dari 91,9 persen dalam tahun 2006 dan diperkirakan menjadi 94,7 persen dalam tahun 2010; (7) tercapainya akses pendidikan bermutu di daerah-daerah yang selama ini sulit dijangkau oleh layanan pendidikan. Perkembangan realisasi anggaran belanja fungsi pendidikan tahun disajikan dalam Grafik IV.14. Selanjutnya, realisasi anggaran belanja pada fungsi ekonomi merupakan realisasi anggaran yang dimanfaatkan untuk membiayai program-program sarana dan prasarana transportasi, pertanian, pengairan, dan energi, yang diharapkan mampu mendukung upaya percepatan pertumbuhan ekonomi. Realisasi anggaran pada fungsi ekonomi tersebut meliputi realisasi anggaran belanja kementerian negara/lembaga dari beberapa subfungsi, yaitu subfungsi transportasi, subfungsi pertanian, kehutanan perikanan dan kelautan; subfungsi pengairan; dan subfungsi energi dan bahan bakar. Dalam kurun waktu realisasi anggaran belanja pada fungsi ekonomi mengalami peningkatan dari Rp23,5 triliun (0,8 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp61,2 triliun (1,0 persen terhadap PDB) pada tahun Sejalan dengan itu, realisasi penyerapan anggaran pada fungsi ekonomi dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 66,4 persen terhadap pagu alokasi anggaran fungsi ekonomi pada APBN-P tahun 2005, diperkirakan menjadi 95,0 persen terhadap pagu alokasi anggaran fungsi ekonomi dalam APBN-P tahun Peningkatan porsi realisasi anggaran pada fungsi ekonomi tersebut terutama berkaitan dengan ditempuhnya upaya pemerintah untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Realisasi anggaran belanja pemerintah pusat pada fungsi ekonomi dalam periode tersebut digunakan untuk: (1) subfungsi transportasi sebesar 46,3 persen; (2) subfungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan sebesar 18,6 persen; (3) subfungsi pengairan sebesar 11,1 persen; (4) subfungsi bahan bakar dan energi sebesar 7,3 persen; (5) subfungsi perdagangan, perkembangan usaha, Koperasi Tahun Sub Fungsi Lainnya Pendidikan Dasar Pendidikan Tinggi Pendidikan Menengah Pelayanan Bantuan terhadap Pendidikan Pendidikan Lainnya Sumber : Kementerian Keuangan IV-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

183 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV dan UKM sebesar 3,9 persen; (6) subfungsi pertambangan sebesar 3,0 persen; (7) subfungsi ekonomi lainnya sebesar 2,7 persen; (8) subfungsi industri dan kontruksi sebesar 2,7 persen; (9) subfungsi tenaga kerja sebesar 2,4 persen; (10) subfungsi telekomunikasi sebesar 2,0 persen; dan (11) subfungsi litbang ekonomi sebesar 0,1 persen. Dalam tahun , realisasi anggaran pada subfungsi transportasi mengalami peningkatan dari sebesar Rp9,1 triliun (0,3 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, menjadi sebesar Rp31,1 triliun (0,5 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi transportasi dalam periode tersebut digunakan antara lain untuk melaksanakan: (1) program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan; (2) program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan; (3) program rehabilitasi prasarana dan sarana lalu lintas angkutan jalan, angkutan sungai, danau dan penyeberangan, perkeretaapian, transportasi laut dan udara; serta (4) program peningkatan/pembangunan prasarana dan sarana lalu lintas angkutan jalan, angkutan sungai, danau dan penyeberangan, perkeretaapian, serta transportasi laut dan udara. Pencapaian yang dihasilkan dari berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan anggaran belanja pada subfungsi transportasi dalam 6 tahun terakhir, antara lain disampaikan dalam Tabel IV.3 TABEL IV.3 PENCAPAIAN HASIL ANGGARAN SUBFUNGSI TRANSPORTASI, No Sasaran/Program Indikator Satuan Kondisi Awal Kondisi mantap Persen 86,6 persen 80,8 persen 82,22 persen 83 persen 89 persen jalan 1 Terpeliharanya dan meningkatnya daya dukung, kapasitas, maupun dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang pesat Jalan perbatasan dan jalan di daerah terisolasi dan pulau-pulau kecil Km Pembangunan jalan 220 km di wilayah perbatasan dan 176 km di daerah terpencil dan pulaupulau kecil Pembangunan jalan 65 km di wilayah perbatasan dan 46 km di daerah terpencil dan pulaupulau kecil Pembangunan jalan 59 km di wilayah perbatasan dan 105 km di daerah terpencil dan pulaupulau kecil Pembangunan jalan 109 km di wilayah perbatasan dan 120 km jalan di pulaupulau terpencil terluar Pembangunan jalan 110 km di wilayah perbatasan dan 69 km jalan di pulaupulau terpencil terluar Rehabilitasi jalan dan jembatan Km dan meter Rehabilitasi/pemeliha raan jalan km dan m jembatan Pemeliharaan km jalan dan m jembatan Pemeliharaan km jalan dan m jembatan Pemeliharaan km jalan dan m jembatan Pemeliharaan km jalan dan m jembatan 2 Peningkatan Meningkatnya aksesibilitas wilayah dan yang sedang dan belum pembangunan berkembang melalui dukungan panjang jalan, pelayanan prasarana jalan yang jembatan, dan sesuai dengan perkembangan jalan tol kebutuhan transportasi khususnya pada koridor-koridor utama di masing-masing pulau 3 Meningkatnya jumlah prasarana dermaga untuk meningkatkan jumlah lintas penyebrangan baru yang siap operasi maupun meningkatkan kapasitas lintas penyebrangan yang padat Sumber : Bappenas Jumlah dermaga penyebrangan yang dibangun Jumlah dermaga danau yang dibangun Km dan meter Peningkatan/pemban gunan km jalan dan m jembatan, dan 48 km jalan tol Peningkatan/pemban gunan 3.945,6 km jalan dan m jembatan Peningkatan/pemban gunan 3.312,49 km jalan dan m jembatan, dan 115 km jalan tol Peningkatan/pemban gunan km jalan dan m jembatan, serta pembebasan tanah untuk jalan tol Peningkatan/pemban gunan km jalan dan m jembatan Unit Unit Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama, realisasi anggaran pada subfungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan mengalami peningkatan dari Rp5,0 triliun (0,2 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp10,1 triliun (0,2 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi pertanian, kehutanan, dan kelautan dalam rentang waktu tersebut digunakan antara lain untuk melaksanakan program peningkatan ketahanan pangan, program peningkatan kesejahteraan petani, program pengembangan agribisnis, program pemanfaatan potensi sumber daya hutan, serta program pengembangan sumber daya perikanan. Pencapaian yang dihasilkan dari pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan alokasi anggaran subfungsi pertanian, kehutanan, perikanan, dan kelautan dalam 6 tahun terakhir, disampaikan pada Tabel IV.4. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -25

184 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Terjaganya produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, untuk pengamanan kemandirian pangan 2 Meningkatnya ketersediaan pangan yang bersumber dari ternak dan ikan dari dalam negeri Sumber : Bappenas TABEL IV.4 PENCAPAIAN HASIL ANGGARAN BELANJA SUB FUNGSI PERTANIAN, No Sasaran Indikator Satuan Perkembangan produksi beras dalam negeri Rasio swasembada (produksi/konsumsi) Juta ton beras Persen Pencapaian ,12 34,31 36,01 38,01 40,57 96,75 96,05 99,54 103,73 109,35 Daging Ribu ton 1.817, , , , ,0 Telur Ribu ton 1.051, , , , ,6 Susu Ribu ton 536,0 616,5 567,7 647,9 679,3 Perikanan Juta ton 6,9 7,5 8,2 9,0 10,1 Perikanan Tangkap Juta ton 4,7 4,8 5,0 5,2 5,3 Perikanan Budidaya Juta ton 2,2 2,7 3,2 3,9 4,8 Selanjutnya, realisasi anggaran pada subfungsi pengairan dalam periode yang sama mengalami peningkatan dari sebesar Rp3,4 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp5,5 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi pengairan dalam periode tersebut digunakan antara lain untuk membiayai program pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber air lainnya; dan program pengembangan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan jaringan pengairan lainnya. Pencapaian yang dihasilkan dari pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan alokasi anggaran pada subfungsi pengairan dalam 6 tahun terakhir, sebagaimana dalam Tabel IV.5. TABEL IV.5 PENCAPAIAN HASIL ANGGARAN BELANJA SUB FUNGSI PENGAIRAN, No Sasaran/Kegiatan Indikator Satuan Satuan Peningkatan Jaringan Irigasi Luas layanan jaringan irigasi yang ditingkatkan Hektar , , , , ,0 2 Rehabilitasi Jaringan Irigasi Luas layanan jaringan irigasi yang direhabilitasi Hektar , , , , ,0 3 O & P Jaringan Irigasi 4 Peningkatan /Rehabilitasi Jaringan Rawa 5 O & P Jaringan Rawa 6 7 Pembangunan Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT) Pembangunan waduk dan embung 8 Pembangunan Embung/Bendung 9 Rehabilitasi Embung/Bendung Sumber : Bappenas Luas layanan jaringan irigasi yang dioperasikan dan dipelihara Luas layanan jaringan rawa yang ditingkatkan/direhabilitasi Luas layanan jaringan rawa yang dioperasikan dan dipelihara Hektar , , , , ,0 Hektar , , , , ,0 Hektar , , , , ,0 Luas jaringan irigasi air tanah yang dibangun Hektar 1.435, , , , ,0 Jumlah waduk yang dibangun Buah Jumlah embung yang dibangun Buah Jumlah embung/bendung yang dibangun Buah Jumlah embung/bendung yang direhabilitasi Buah Dalam kurun waktu tahun , realisasi anggaran pada subfungsi bahan bakar dan energi mengalami peningkatan dari sebesar Rp2,1 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, menjadi sebesar Rp3,8 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam APBN-P tahun Realisasi anggaran pada subfungsi bahan bakar dan energi dalam kurun waktu tersebut IV-26 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

185 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV antara lain digunakan untuk membiayai program peningkatan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan; program peningkatan aksesibilitas pemerintah daerah, koperasi, dan masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana energi; program pengembangan usaha dan pemanfaatan migas; serta program pembinaan dan pengelolaan usaha pertambangan SDA dan batubara. Pencapaian yang dihasilkan dari pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan alokasi anggaran pada subfungsi bahan bakar dan energi dalam 6 tahun terakhir, disampaikan pada Tabel IV.6. TABEL IV.6 PENCAPAIAN HASIL BELANJA ANGGARAN SUB FUNGSI BAHAN BAKAR DAN ENERGI, No Sasaran/Program Indikator Satuan 2004/2005 Pencapaian Penambahan kapasitas pembangkit Tambahan Kapasitas (Kapasitas Kumulatif) MW (28.422) (29.562) 918 (30.418) (33.430) 2 Rasio Elektrifikasi Rasio (Jumlah KK berlistrik) Persen Ribu KK 54,8 (32.175) 63 (33.118) 64,3 (34.437) 65,1 (35.630) 65,8 (36.714) 3 Rasio Desa Berlistrik Rasio (Jumlah Desa) Persen Desa 90,0 (55.213) 91 (65.323) 91,92 (65.776) 92,29 (66.039) 93,2 (66.520) Sumber : Bappenas Perkembangan realisasi anggaran belanja fungsi ekonomi tahun dapat dilihat pada Grafik IV.15. Realisasi anggaran fungsi pertahanan merupakan realisasi anggaran dalam APBN untuk membiayai penyelenggaraan peningkatan kemampuan dan kekuatan pertahanan negara, sesuai dengan salah satu sasaran pokok dari agenda mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, yaitu memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta Bhineka triliun rupiah GRAFIK IV.15 PERKEMBANGAN REALISASI ANGGARAN BELANJA FUNGSI EKONOMI Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi LKPP Audited APBN-P Tahun Sub Fungsi Lainnya Transportasi Pertanian, Kehutanan, Perikanan, dan Kelautan Pengairan Bahan Bakar dan Energi Sumber: Kementerian Keuangan Tunggal Ika yang tercermin dari tertanganinya kegiatan-kegiatan untuk memisahkan diri dari NKRI, dan meningkatnya daya cegah dan daya tangkal negara terhadap ancaman bahaya terorisme bagi tetap tegaknya kedaulatan NKRI, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Realisasi anggaran fungsi pertahanan pada belanja pemerintah pusat digunakan oleh Kementerian Pertahanan/TNI, yang meliputi Mabes TNI, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara. Fungsi pertahanan terdiri dari beberapa subfungsi, yaitu subfungsi pertahanan negara, subfungsi dukungan pertahanan, subfungsi penelitian dan pengembangan pertahanan, subfungsi bantuan militer luar negeri dan pengembangan pertahanan, dan subfungsi pertahanan lainnya. Dalam periode , alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada fungsi pertahanan tersebut digunakan untuk: (1) subfungsi pertahanan negara sebesar 66,9 persen; (2) subfungsi dukungan pertahanan sebesar Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -27

186 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat ,1 persen; (3) subfungsi pertahanan lainnya sebesar 16,4 persen; (4) subfungsi litbang pertahanan sebesar 0,4 persen; dan (5) subfungsi bantuan militer luar negeri sebesar 0,2 persen. Terkait dengan klasifikasi fungsi pertahanan, pada tahun 2008 terjadi restrukturisasi dan realokasi program, yaitu program penerapan kepemerintahan yang baik, yang semula merupakan bagian dari fungsi pertahanan menjadi bagian fungsi pelayanan umum. Dengan struktur semula, yang masih mencakup program penerapan kepemerintahan yang baik yang utamanya untuk pembayaran gaji atau belanja pegawai pada TNI dan Kementerian Pertahanan, realisasi anggaran fungsi pertahanan dalam kurun waktu mengalami kenaikan dari Rp21,6 triliun (0,8 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, menjadi Rp42,5 triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam tahun Dengan struktur baru, realisasi anggaran fungsi pertahanan dalam kurun waktu mengalami kenaikan, yaitu dari Rp21,6 triliun (0,8 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp30,7 triliun (0,8 persen terhadap PDB) dalam tahun Selanjutnya, sejalan dengan terjadinya restrukturisasi program, terjadi penurunan realisasi anggaran fungsi pertahanan sebesar Rp21,5 triliun terhadap realisasinya dalam tahun 2007, sehingga menjadi Rp9,2 triliun (0,2 persen terhadap PDB) dalam realisasinya tahun Selanjutnya dalam tahun 2009 dan 2010 anggaran fungsi pertahanan meningkat kembali masing-masing menjadi Rp13,1 triliun (0,2 persen terhadap PDB) dan Rp21,4 triliun (0,3 persen terhadap PDB). Sejalan dengan itu, realisasi anggaran pada subfungsi pertahanan negara dalam periode mengalami kenaikan dari sebesar Rp20,8 triliun (0,7 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp9,0 triliun (0,2 persen terhadap PDB) dalam tahun Selanjutnya, pada tahun 2008, sejalan dengan terjadinya restrukturisasi program, terjadi penurunan anggaran subfungsi pertahanan negara sebesar Rp3,4 triliun dari tahun 2007 sehingga menjadi Rp5,6 triliun (0,1 persen terhadap PDB). Selanjutnya dalam tahun 2009 dan 2010 anggaran subfungsi pertahanan negara meningkat kembali masing-masing menjadi Rp8,1 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dan Rp13,9 triliun (0,2 persen terhadap PDB). Realisasi anggaran pada subfungsi pertahanan negara tersebut digunakan terutama untuk membiayai program pengembangan pertahanan matra darat, program pengembangan pertahanan matra laut, program pengembangan pertahanan matra udara, dan program pengembangan pertahanan matra integratif. Sementara itu, realisasi anggaran pada subfungsi dukungan pertahanan dalam kurun waktu mengalami peningkatan dari Rp478,6 miliar (0,02 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005, menjadi Rp7,3 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi dukungan pertahanan dalam kurun waktu tersebut digunakan untuk membiayai program pengembangan industri pertahanan dan program pengembangan sistem dan strategi pertahanan. Selanjutnya, realisasi anggaran pada subfungsi litbang pertahanan dalam kurun waktu mengalami peningkatan dari Rp29,4 miliar dalam tahun 2005, menjadi Rp159,1 miliar dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi litbang pertahanan dalam kurun waktu tersebut digunakan untuk membiayai program pengembangan ketahanan nasional dan program penelitian dan pengembangan pertahanan. Pencapaian yang dihasilkan dari berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan realisasi anggaran pada fungsi pertahanan dalam kurun waktu tersebut, antara IV-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

187

188 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 digunakan antara lain untuk membiayai program pengembangan SDM kepolisian, program pengembangan sarana dan prasarana kepolisian, program pengembangan strategi keamanan dan ketertiban, serta program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Sementara itu, realisasi anggaran pada subfungsi penanggulangan bencana dalam kurun waktu mengalami peningkatan dari Rp122,5 miliar dalam tahun 2006 menjadi Rp373,8 miliar dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi penanggulangan bencana dalam kurun waktu tersebut digunakan untuk membiayai program utama, yaitu program pencarian dan penyelamatan, dengan semakin memperhatikan pula upaya pengurangan risiko bencana. Selanjutnya, realisasi anggaran pada subfungsi pembinaan hukum dalam periode tahun mengalami peningkatan dari Rp2,7 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp5,5 triliun (0,1 persen terhadap PDB) dalam tahun Realisasi anggaran pada subfungsi pembinaan hukum dalam rentang waktu tersebut digunakan antara lain untuk membiayai program perencanaan hukum, program pembentukan hukum, program peningkatan kesadaran hukum dan HAM, program peningkatan pelayanan dan bantuan hukum, program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, program penegakan hukum dan HAM, serta program peningkatan kualitas profesi hukum. Perkembangan realisasi anggaran fungsi ketertiban dan keamanan tahun dapat dilihat pada Grafik IV.17. Pencapaian yang dihasilkan dari berbagai program dan kegiatan yang dibiayai dengan realisasi anggaran pada fungsi ketertiban dan keamanan dalam dalam kurun waktu tersebut, antara lain meliputi: (1) tertanganinya kejahatan narkoba, yang meliputi penanganan narkotika mencapai kasus, psikotropika mencapai kasus, dan bahan berbahaya mencapai kasus; (2) terungkapnya jaringan kejahatan internasional terutama narkotika, perdagangan manusia, dan pencucian uang; (3) terlindunginya keamanan lalu lintas informasi rahasia lembaga negara terutama untuk lembaga/fasilitas vital negara; serta (4) terungkapnya jaringan utama pencurian sumber daya kehutanan, serta membaiknya praktek penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya kehutanan Perkembangan Pelaksanaan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis, Sesuai dengan Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, rincian belanja Pemerintah Pusat menurut jenis, terbagi atas 8 jenis belanja, yaitu: (1) belanja pegawai; (2) belanja barang; (3) belanja modal; (4) pembayaran bunga utang; (5) subsidi; (6) belanja hibah; (7) bantuan sosial; dan (8) belanja lain-lain. triliun rupiah GRAFIK IV.17. REALISASI ANGGARAN BELANJA FUNGSI KETERTIBAN DAN KEAMANAN TAHUN LKPP LKPP LKPP LKPP Audited LKPP Audited APBN-P Tahun Sumber : Kementerian Keuangan Kepolisian Penanggulangan Bencana Pembinaan Hukum Sub Fungsi Lainnya IV-30 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

189 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Dalam kurun waktu enam tahun terakhir, sebagian besar dari realisasi anggaran belanja Pemerintah Pusat merupakan belanja operasional, yaitu belanja pegawai, belanja barang, subsidi, dan pembayaran bunga utang, rata-rata mencapai 73,5 persen dari total belanja Pemerintah Pusat. Sementara itu, sisanya sebesar rata-rata 26,5 persen merupakan realisasi belanja modal, bantuan sosial, belanja hibah, dan belanja lain-lain. Hal tersebut menunjukan bahwa realisasi belanja Pemerintah Pusat dalam kurun waktu tersebut masih didominasi oleh pengeluaran-pengeluaran yang bersifat wajib, yang membawa konsekuensi pada terbatasnya ruang gerak Pemerintah untuk melaksanakan intervensi fiskal bagi pelaksanan berbagai program dan kegiatan pembangunan. Untuk itu, dalam beberapa tahun terakhir telah ditempuh kebijakan untuk meningkatkan kualitas belanja Negara (spending quality), dengan lebih memperhatikan efisiensi, ketepatan alokasi, serta pengaruhnya terhadap perekonomian. Belanja Pemerintah Pusat, dalam periode , secara nominal menunjukkan peningkatan rata-rata 16,7 persen pertahun, yaitu dari Rp ,2 miliar (13,0 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 menjadi Rp ,6 miliar (12,5 persen terhadap PDB) dalam tahun Dilihat dari komposisinya secara per jenis, belanja yang mengalami peningkatan signifikan adalah belanja modal, dari 9,1 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat dalam tahun 2005, menjadi 12,3 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat dalam tahun Perkembangan belanja Pemerintah Pusat menurut jenis dapat dilihat pada Tabel IV.7 dan Grafik IV.18. (miliar rupiah) TABEL IV.7 PERKEMBANGAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT, ( triliun rupiah ) GRAFIK IV.18 BELANJA PEMERINTAH PUSAT MENURUT JENIS Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN APBN-P Perk. Real Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Pembayaran Bunga Utang Subsidi Belanja Hibah Bantuan Sosial Belanja Lain-lain % thd PDB Sumber : Kementerian Keuangan % Uraian LKPP % thd PDB LKPP % thd PDB LKPP % thd PDB LKPP % thd PDB LKPP % thd PDB % thd BPP APBN % thd PDB APBN-P % thd PDB Perk. Realisasi % thd PDB 1. Belanja Pegawai 54,3 1,9 7 3,3 2,2 90,4 2,3 112,8 2,5 127,7 2,3 20,3 160,4 2,7 162,7 2,6 150,4 2,4 2. Belanja Barang 29,2 1,0 47,2 1,4 54,5 1,4 56,0 1,2 80,7 1,4 12,8 107,1 1,8 112,6 1,8 103,2 1,6 3. Belanja Modal 32,9 1,2 55,0 1,6 64,3 1,6 7 2,8 1,6 7 5,9 1,4 12,1 82,2 1,4 95,0 1,5 90,7 1,4 4. Pembayaran Bunga Utang 65,2 2,3 7 9,1 2,4 7 9,8 2,0 88,4 2,0 93,8 1,7 14,9 115,6 1,9 105,7 1,7 100,8 1,6 5. Subsidi 120,8 4,3 107,4 3,2 150,2 3,8 27 5,3 6,1 138,1 2,5 22,0 157,8 2,6 201,3 3,2 195,2 3,1 6. Belanja Hibah ,2 0,1 0,2 0,0 0,2 0,0 7. Bantuan Sosial 24,9 0,9 40,7 1,2 49,8 1,3 57,7 1,3 7 3,8 1,3 11,7 64,3 1,1 7 1,2 1,1 63,1 1,0 8. Belanja lain-lain 34,0 1,2 37,4 1,1 15,6 0,4 30,3 0,7 38,9 0,7 6,2 30,7 0,5 32,9 0,5 32,2 0,5 Total BPP 361,2 13,0 440,0 13,2 504,6 12,8 693,4 15,5 628,8 11,2 100,0 725,2 12,1 781,5 12,5 735,9 11,8 Sum ber : Kem enterian Keuangan Belanja Pegawai Besaran anggaran belanja pegawai, antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perkembangan jumlah pegawai dan penerima pensiun (beserta keluarga yang ditanggung), komposisi pangkat dan jabatan pegawai, serta kebijakan pegawai yang ditempuh pemerintah. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -31

190 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Secara nominal realisasi anggaran belanja pegawai dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 24,6 persen per tahun, yaitu dari Rp54,3 triliun (15,0 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dalam tahun 2005 menjadi sebesar Rp162,7 triliun (20,8 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dalam APBN-P tahun Sementara itu, realisasi penyerapan anggaran belanja pegawai dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan, yaitu dari 88,7 persen terhadap pagu anggaran belanja pegawai dalam APBN-P tahun 2005 diperkirakan menjadi 92,5 persen terhadap pagunya dalam APBN-P tahun Kenaikan realisasi belanja pegawai yang cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam rangka memperbaiki penghasilan dan kesejahteraan pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri dan para pensiunan dalam periode tersebut, yang meliputi antara lain: (1) kebijakan kenaikan gaji pokok bagi PNS dan TNI/Polri secara berkala; (2) kebijakan pemberian gaji bulan ke- 13; (3) kenaikan tunjangan fungsional bagi pegawai yang memegang jabatan fungsional dan kenaikan tunjangan struktural bagi para pejabat struktural; (4) kenaikan uang lauk pauk bagi anggota TNI/Polri; (5) pemberian uang makan kepada PNS mulai tahun 2007; (6) kenaikan tarif uang lembur dan uang makan lembur; serta (7) penyesuaian pokok pensiun dan pemberian pensiun ke-13. Selain itu, terkait dengan pemeliharaan kesehatan bagi PNS dan pejabat, sejak tahun 2009 telah diberikan subsidi untuk penyakit katastropik, dan sejak tahun 2010 telah dilaksanakan program Jamkesmen (jaminan kesehatan menteri dan pejabat tertentu). Dalam periode tersebut, ditempuh kebijakan kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri dan kenaikan pokok pensiun sebesar rata-rata 15,0 persen dalam tahun 2006 dan 2007, sebesar rata-rata 20,0 persen dalam tahun 2008, sebesar rata-rata 15,0 persen dalam tahun 2009, dan ratarata 5,0 persen dalam tahun Di samping itu, tunjangan jabatan struktural juga dinaikkan masing-masing sebesar 50,0 persen bagi eselon III, IV dan V pada tahun 2006, serta masing-masing sebesar 23,6 persen untuk eselon I, sebesar 32,5 persen untuk eselon II, sebesar 42,5 persen untuk eselon III, sebesar 52,5 persen untuk eselon IV, dan sebesar 60,0 persen untuk eselon V tahun Selanjutnya, kenaikan tunjangan fungsional diberikan rata-rata sebesar 10,0 persen pada tahun 2006, dan 20,0 persen pada tahun Sementara itu, bagi pegawai nonpejabat, pada tahun 2006 diberikan tunjangan umum masing-masing sebesar Rp per bulan bagi pegawai golongan I, Rp per bulan bagi pegawai golongan II, Rp per bulan bagi pegawai golongan III, Rp per bulan bagi pegawai golongan IV, dan sebesar Rp per bulan bagi TNI/Polri. Selain itu, uang lauk pauk bagi TNI/Polri ditingkatkan dari Rp per orang per hari pada tahun 2005, menjadi Rp per orang per hari pada tahun 2008, dan menjadi Rp per orang per hari pada tahun Sejalan dengan itu, sejak tahun 2007 juga diberikan uang makan bagi pegawai negeri sipil yang meningkat dari sebesar Rp per orang per hari dalam tahun 2007, menjadi Rp per orang per hari kerja pada tahun 2008 dan menjadi Rp per orang per hari kerja pada tahun Dengan ditempuhnya berbagai kebijakan tersebut, penghasilan dan kesejahteraan aparatur Pemerintah dalam kurun waktu tersebut mengalami peningkatan, yaitu take home pay, PNS dengan pangkat terendah (golongan I/a tidak kawin) mengalami peningkatan dari sekitar Rp dalam tahun 2005 menjadi sekitar Rp dalam tahun Khusus bagi guru dengan pangkat terendah (golongan II/a tidak kawin) take home pay IV-32 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

191 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV mereka mengalami peningkatan dari sekitar Rp dalam tahun 2005 menjadi sekitar Rp dalam tahun 2010, sedangkan bagi anggota TNI/Polri dengan pangkat terendah (Tamtama/Bintara) take home pay-nya mengalami peningkatan dari sekitar Rp dalam tahun 2005 menjadi sekitar Rp dalam tahun Perkembangan take home pay aparatur Negara tahun dapat dilihat dalam Grafik IV.19. Belanja Barang Dalam periode , anggaran belanja barang secara nominal mengalami peningkatan rata-rata 31,0 persen per tahun, yaitu dari Rp29,2 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp112,6 triliun dalam APBN-P tahun Demikian pula, realisasi penyerapan anggaran belanja barang dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 68,9 persen terhadap pagu anggaran belanja barang pada APBN-P tahun 2005 diperkirakan menjadi 91,7 persen terhadap pagunya dalam tahun Sementara itu, perkembangan proporsi belanja barang terhadap total belanja Pemerintah Pusat meningkat dari 8,1 persen dalam tahun 2005 menjadi 14,4 persen dalam tahun Kenaikan realisasi anggaran belanja barang dalam kurun waktu tersebut, sejalan dengan: (1) meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana kerja, baik perangkat keras maupun perangkat lunak, serta pengadaan peralatan kantor guna memenuhi kebutuhan administrasi dan operasional yang semakin meningkat di berbagai instansi; (2) bertambahnya jumlah satuan kerja yang berdampak pada meningkatnya jumlah aset dan barang inventaris Pemerintah yang memerlukan pemeliharaan; serta (3) meningkatnya harga barang dan jasa yang sangat mempengaruhi biaya pemeliharaan maupun perjalanan dinas. Di samping itu, kegiatan pemilihan umum (Pemilu) juga telah meningkatkan realisasi belanja barang dalam tahun Perkembangan realisasi belanja barang tahun dapat dilihat dalam Grafik IV.20. Belanja Modal ribu rupiah Sementara itu, dalam rentang waktu yang sama, realisasi anggaran belanja modal secara nominal mengalami peningkatan rata-rata 23,6 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp32,9 triliun (9,1 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dalam tahun 2005 menjadi sebesar Rp95,0 triliun (12,2 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dalam tahun Kenaikan realisasi anggaran belanja modal yang cukup signifikan dalam rentang waktu tersebut merupakan dampak dari kebijakan pergeseran belanja barang ke belanja modal Sumber : Kementerian Keuangan triliun rupiah GRAFIK IV.19 PERKEMBANGAN TAKE HOME PAY TERENDAH APARATUR NEGARA, PNS Guru TNI/Polri GRAFIK IV.20 PERKEMBANGAN BELANJA BARANG Realisasi 2006 Realisasi 2007 Realisasi 2008 Realisasi 2009 Barang & BLU Jasa Pemeliharaan Perjalanan APBN-P 2010 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -33

192 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Melalui kebijakan pergeseran alokasi anggaran dari belanja barang ke belanja modal yang memiliki dampak langsung yang diperkirakan relatif lebih besar bagi perekonomian nasional, diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat lebih ditingkatkan. Di samping itu, meningkatnya alokasi anggaran belanja modal dalam periode tersebut, juga menunjukkan besarnya upaya Pemerintah untuk mengatasi permasalahan bottleneck infrastruktur melalui pembangunan infrastruktur di tanah air. Selain dimaksudkan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan dasar, peningkatan alokasi anggaran belanja modal kepada pembangunan infrastruktur juga dimaksudkan untuk dapat mendukung dan mendorong pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan domestic conectivity. Dalam periode , anggaran belanja modal yang cukup besar terdapat pada K/L yang terkait dengan pembangunan infrastruktur, yaitu: (1) Departemen Pekerjaan Umum; (2) Departemen Perhubungan; (3) Departemen Pertahanan; (4) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; dan (5) Departemen Pendidikan Nasional. Realisasi anggaran belanja modal pada 5 K/L tersebut dalam kurun waktu digunakan untuk melaksanakan berbagai program antara lain, yaitu: (1) program pengembangan pertahanan; (2) program peningkatan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan; (3) program peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana kereta api; (4) program pembangunan transportasi laut; (5) program pembangunan transportasi udara; (6) program pendidikan tinggi; (7) program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau dan sumber air lainnya; (8) program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya; (9) program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan; (10) program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan; (11) program pengendalian banjir dan pengaman pantai; dan (12) program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah. Outcome yang dihasilkan dari realisasi anggaran belanja modal dalam kurun waktu antara lain adalah: (1) meningkatnya keselamatan dan keamanan transportasi jalan melalui peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai standar pelayanan minimal; (2) meningkatnya keselamatan transportasi sungai, danau dan penyeberangan melalui rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasaranan transportasi sungai, danau dan penyeberangan; (3) meningkatnya aksesibilitas pelayanan transportasi sungai, danau dan penyeberangan melalui pembangunan prasarana angkutan sungai, danau dan penyeberangan di daerah kepulauan dan di pulau-pulau kecil serta kawasan perbatasan; (4) meningkatnya kapasitas pembangkit listrik dan rasio elektrifikasi; (5) terpeliharanya dan meningkatnya daya dukung, kapasitas, maupun kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerahdaerah yang perekonomiannya berkembang pesat; (6) meningkatnya aksesibilitas wilayah yang sedang dan belum berkembang melalui dukungan pelayanan prasarana jalan yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan transportasi, baik dalam hal kecepatan maupun kenyamanan, khususnya pada triliun rupiah Sumber: KementerianKeuangan GRAFIK IV.21 PERKEMBANGAN REALISASI BELANJA MODAL, Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Tanah Gedung dan Bangunan Belanja Pemeliharaan Yang dikapitalisasi Dana Bergulir Peralatan dan Mesin Jalan, Irigasi, dan Jaringan Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja Modal BLU IV-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

193 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV koridor-koridor utama di masing-masing pulau dan wilayah; (7) meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, pemukiman, pertanian dan industri dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat; (8) berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan; (9) terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut, terutama pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dan wilayah strategis; (10) optimalnya kapasitas penyediaan air baku; dan (11) optimalnya fungsi dan kapasitas tampungan air baku. Perkembangan realisasi belanja modal tahun dapat dilihat dalam Grafik IV. 21. Pembayaran Bunga Utang Pembayaran bunga utang dalam kurun waktu secara nominal menunjukkan peningkatan, namun porsinya terhadap belanja negara hingga tahun 2010 cenderung menurun. Secara nominal pembayaran bunga utang mengalami peningkatan sebesar Rp40,5 triliun, atau tumbuh rata-rata 12,8 persen per tahun, dari Rp65,2 triliun (18,1 persen terhadap Belanja Pemerintah Pusat atau 2,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, diperkirakan mencapai Rp 105,7 triliun (13,5 persen terhadap Belanja Pemerintah Pusat atau 1,7 persen terhadap PDB) di tahun 2010 (lihat Tabel IV.8). TABEL IV.8 PEMBAYARAN BUNGA UTANG, (triliun Rupiah) Uraian LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN APBN-P Pembayaran Bunga Utang (triliun rupiah) 65,2 79,1 79,8 88,4 93,8 115,6 105,7 i. Utang Dalam Negeri 42,6 54,9 54,1 59,9 63,8 77,4 71,9 ii. Utang Luar Negeri 22,6 24,2 25,7 28,5 30,0 38,2 33,8 % thd Belanja Negara Pembayaran Bunga Utang : 12,8 11,9 10,5 9,0 10,0 11,0 9,4 i. Utang Dalam Negeri 8,4 8,2 7,1 6,1 6,8 7,4 6,4 ii. Utang Luar Negeri 4,4 3,6 3,4 2,9 3,2 3,6 3,0 % thd PDB Pembayaran Bunga Utang : 2,3 2,4 2,0 1,8 1,7 1,9 1,7 i. Utang Dalam Negeri 1,5 1,6 1,4 1,2 1,1 1,3 1,1 ii. Utang Luar Negeri 0,8 0,7 0,7 0,6 0,5 0,6 0,5 Asumsi dan Parameter - Rata-rata nilai tukar (Rp/US$) 9.705, , , , , , ,0 - Rata-rata SBI 3 bulan (%) 9,1 11,7 8,0 9,3 7,6 6,5 6,5 I. Outstanding Utang Dalam Negeri (triliun rupiah) *) 652,9 662,4 693,1 732,4 783,9 836,3 836,3 - SBN domestik 652,9 662,4 693,1 732,4 783,9 836,3 836,3 II. Outstanding Utang Luar Negeri (miliar US$) *) 69,6 66,6 67,5 69,4 77,9 80,3 80,3 - Pinjaman luar negeri 68,6 63,1 62,0 62,4 66,7 65,0 65,0 - SBN internasional 1,0 3,5 5,5 7,0 11,2 15,2 15,2 Pembiayaan Utang : (triliun Rp) 12,3 9,4 30,6 67,5 83,9 94,5 107,3 i. Dalam Negeri (2,0) 17,5 43,6 46,0 52,7 59,4 66,1 - SBN domestik (neto) (2,0) 17,5 43,6 46,0 52,7 59,4 66,1 ii. Luar Negeri 14,3 (8,1) (13,0) 21,5 31,3 35,1 41,2 - Pinjaman luar negeri (neto) (10,3) (26,6) (26,6) (18,4) (15,5) (9,9) (0,2) - SBN internasional 24,5 18,5 13,6 39,9 46,8 45,0 41,4 *) Nilai outstanding akhir tahun sebelumnya Sumber : Kementerian Keuangan Dari realisasi pembayaran bunga utang selama periode tersebut, lebih dari 65,0 persen dari total pembayaran bunga utang digunakan untuk pembayaran bunga utang dalam negeri yang seluruhnya berasal dari pembayaran bunga Surat Berharga Negara (SBN) domestik. Sementara itu, sisanya merupakan pembayaran bunga utang luar negeri, yang terdiri dari bunga SBN internasional dan bunga pinjaman luar negeri. Bunga untuk SBN terdiri dari beberapa komponen, diantaranya adalah bunga atas SBN yang diterbitkan, diskon penerbitan, dan biaya penerbitan. Diskon dan biaya penerbitan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -35

194 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 SBN merupakan non-cash items sebagai kompensasi yang membebani bunga, agar hasil penerbitan SBN tetap dalam nilai nominalnya. Besaran bunga SBN dipengaruhi antara lain oleh outstanding SBN, jumlah penerbitan pada tahun berjalan, tingkat bunga SBI-3 bulan, yield pada saat penerbitan SBN, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat untuk SBN valuta asing (valas). Dalam lima tahun terakhir, perkembangan tingkat bunga SBI-3 bulan cenderung turun. Pada tahun 2005, rata-rata tingkat bunga SBI-3 bulan adalah sebesar 9,1 persen dan menurun menjadi 7,6 persen pada tahun Penurunan ini terus berlanjut pada tahun 2010, dimana rata-rata tingkat suku bunga SBI-3 bulan tersebut diperkirakan berada pada level 6,5 persen. Sementara itu, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada periode yang sama cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2005, rata-rata nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berada pada kisaran Rp per USD, dan melemah menjadi Rp per USD pada tahun Namun, pada tahun 2010 ratarata nilai tukar rupiah diperkirakan berada pada kisaran Rp per USD. Selanjutnya, perkembangan yield SBN dalam negeri pada periode diperkirakan juga semakin menurun, seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dan keamanan dalam negeri sebagaimana tergambar dalam grafik berikut ini (lihat Grafik IV.22). Bunga pinjaman luar negeri, terdiri dari bunga atas pinjaman luar negeri yang ditarik, dan fee/biaya pinjaman, seperti commitment fee, front end fee, insurance premium, dan lainlain. Besaran bunga pinjaman luar negeri, terutama dipengaruhi oleh faktor outstanding pinjaman luar negeri, besarnya penarikan pinjaman luar negeri pada tahun berjalan, tingkat bunga Libor, dan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Selama periode 2005 sampai dengan tahun 2010, pembayaran bunga utang luar negeri cenderung lebih rendah dari pembayaran bunga utang dalam negeri. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri, dan lebih memprioritaskan kemampuan pasar obligasi dalam negeri. Lebih lanjut, pembiayaan melalui sumber luar negeri hingga saat ini justru bersifat negatif (penarikan pinjaman luar negeri lebih kecil dari pembayaran kembali pokok utang luar negeri), sedangkan penerbitan SBN internasional hanya dilakukan apabila pasar SBN domestik diperkirakan tidak mampu menyerap penerbitan SBN domestik. Dalam kurun waktu , perkembangan realisasi pembayaran bunga utang dalam negeri secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp29,3 triliun atau tumbuh ratarata 14,0 persen per tahun, dari sebesar Rp42,6 triliun (11,8 persen terhadap Belanja Pemerintah Pusat atau 1,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi Rp63,8 triliun (10,2 persen terhadap Belanja Pemerintah Pusat atau 1,7 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp71,9 triliun (9,2 persen terhadap Belanja Pemerintah Pusat atau 1,7 persen terhadap PDB) pada tahun Penyebab kenaikan realisasi pembayaran bunga utang dalam negeri pada periode tersebut, adalah karena meningkatnya GRAFIK IV.22 PERGERAKAN YIELD SBN DALAM NEGERI, Sumber:Kementerian Keuangan 5 Tahun 10 Tahun IV-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

195 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV outstanding SBN domestik dari Rp662,4 triliun pada akhir tahun 2005 menjadi Rp836,3 triliun pada akhir tahun Sementara itu, perkembangan realisasi 80.0 pembayaran bunga utang luar negeri secara nominal mengalami peningkatan sebesar 20.0 Rp11,2 triliun, atau tumbuh rata-rata 10,6 - LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBN APBN-P persen per tahun, dari sebesar Rp22,6 triliun (6,3 persen terhadap Belanja Pemerintah Utang Luar Negeri Utang Dalam Negeri Pusat atau 0,8 persen terhadap PDB) pada Sumber : Kementerian Keuangan tahun 2005 menjadi Rp 30,0 triliun (4,8 persen terhadap Belanja Pemerintah Pusat atau 0,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp 33,8 triliun (4,3 persen terhadap Belanja Pemerintah Pusat atau 0,5 persen terhadap PDB) pada tahun Penyebab kenaikan realisasi pembayaran bunga utang luar negeri dalam periode tersebut, adalah karena meningkatnya outstanding SBN internasional dari semula US$ 3,5 miliar pada akhir tahun 2005 menjadi sebesar US$15,2 miliar pada akhir tahun Perkembangan bunga utang keseluruhan dapat dilihat di Grafik IV.23. Subsidi Subsidi merupakan alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Walaupun penyediaan anggaran subsidi oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini jumlahnya mengalami peningkatan yang cukup besar, namun penyediaan anggaran subsidi tersebut harus tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara. Dalam rentang waktu , realisasi anggaran belanja subsidi secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp80,5 triliun, atau tumbuh rata-rata 10,8 persen per tahun, dari sebesar Rp120,8 triliun (4,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp138,1 triliun (2,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp201,3 triliun (3,2 persen terhadap PDB) pada tahun Perubahan realisasi anggaran belanja subsidi yang cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (1) perubahan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price, ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat; dan (2) perubahan parameter yang digunakan dalam perhitungan subsidi. Proporsi subsidi energi dan proporsi subsidi non-energi terhadap total subsidi disajikan dalam Grafik IV.24. Subsidi Energi Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak jenis tertentu (Bahan Bakar Minyak ribu kiloliter 6, , , , , ,000.0 GRAFIK IV.23 KOMPOSISI PEMBAYARAN BUNGA UTANG, (triliun rupiah) GRAFIK IV.24 PERKEMBANGAN VOLUME KONSUMSI BBM, Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agts Sept Okt Nop Des Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -37

196 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 dan Bahan Bakar Nabati), Liquefied Petroleum Gas (LPG) tabung 3 kilogram, dan tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat. Realisasi anggaran belanja subsidi energi, yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi listrik, dalam rentang waktu secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp39,5 triliun, atau tumbuh rata-rata 6,6 persen per tahun, dari sebesar Rp104,4 triliun (3,8 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, dan diperkirakan mencapai Rp144,0 triliun (2,3 persen terhadap PDB) pada tahun Perubahan realisasi anggaran subsidi energi yang cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (1) perubahan parameter dalam perhitungan subsidi energi, diantaranya ICP, nilai tukar rupiah, volume BBM bersubsidi, dan penjualan tenaga listrik; serta (2) kebijakan penetapan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan tarif dasar listrik. Subsidi BBM, diberikan dengan maksud untuk mengendalikan harga jual BBM, sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat di dalam negeri, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini disebabkan harga jual BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal, antara lain harga minyak mentah di pasar dunia, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada saat ini, BBM bersubsidi hanya diberikan pada beberapa jenis BBM tertentu, yaitu minyak tanah (kerosene), minyak solar (gas oil), premium kecuali untuk industri, dan LPG tabung 3 kilogram. Dalam rentang waktu , realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp6,7 triliun, atau menurun rata-rata 1,4 persen per tahun, dari sebesar Rp95,6 triliun (3,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 dan diperkirakan mencapai Rp88,9 triliun (1,4 persen terhadap PDB) pada tahun Penurunan realisasi anggaran belanja subsidi dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan parameter volume konsumsi BBM bersubsidi. Dalam tahun 2010, volume konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan mencapai 36,5 juta kiloliter, atau turun sebesar 23,2 juta kiloliter bila dibandingkan dengan realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi dalam tahun 2005, yang mencapai 59,7 juta kiloliter. Sementara itu, perkembangan harga minyak mentah (crude oil) di pasar dunia, termasuk harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam rentang waktu yang sama cenderung mengalami fluktuasi. Dalam tahun 2010, realisasi ICP diperkirakan mencapai US$80 per barel. Jumlah ini berarti mengalami kenaikan sebesar US$26,6 per barel (49,8 persen) dibandingkan dengan realisasi ICP dalam tahun 2005 sebesar US$53,4 per barel (lihat Grafik IV.25). Dalam periode yang sama, perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga mengalami fluktuasi. Apabila realisasi rata-rata nilai tukar rupiah tahun 2005 mencapai Rp9.705 per dolar Amerika Serikat, maka pada tahun 2010 rata-rata nilai tukar rupiah diperkirakan mencapai Rp9.200 per dolar Amerika Serikat. Untuk mengendalikan anggaran subsidi BBM, Pemerintah bersama DPR-RI sepakat untuk melakukan efisiensi, dengan US$/barel GRAFIK IV.25 PERKEMBANGAN HARGA MINYAK MENTAH INDONESIA (ICP), Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Sumber : Kementerian Keuangan IV-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

197 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV menurunkan konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap. Apabila pada tahun 2005 konsumsi BBM bersubsidi mencapai 59,7 juta kiloliter, maka pada tahun 2010 konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan mengalami penurunan menjadi 36,5 juta kiloliter. (lihat Tabel IV.9). TABEL IV.9 PERKEMBANGAN SUBSIDI BBM JENIS TERTENTU DAN LPG TABUNG 3 KILOGRAM, Uraian Real. Real. Real. Real Real. APBN APBN-P Subsidi BBM Jenis Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg (triliun rupiah) 95,6 64,2 83,8 139,1 45,0 68,7 88,9 % terhadap PDB 3,5 1,9 2,1 2,8 0,8 1,1 1,4 Faktor-faktor yang mempengaruhi : - ICP Jan-Des (US$/barel) 53,40 64,26 72,31 97,02 61,58 65,00 80,00 - Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) Volume BBM (ribu kiloliter) , , , , , , ,0 > Premium , , , , , , ,1 > Kerosene (Minyak Tanah) , , , , , , ,0 > Minyak Solar , , , , , , ,9 > Minyak Diesel 781, > Minyak bakar 4.345, Volume Subsidi LPG (ribu metrik ton) ,5 506, , , ,3 - Alpha (%) 14,10 14,10 14,10 9,00 8 (jan-juni) Alpha (Rp/liter) (juli - des) Sumber : Kementerian Keuangan Dalam kurun waktu , harga minyak mentah Indonesia (ICP) mengalami perubahan yang signifikan, sehingga Pemerintah memandang perlu untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi dalam rangka menjaga kestabilan perekonomian secara menyeluruh. Berkaitan dengan hal itu, Pemerintah telah melakukan kebijakan penyesuaian harga BBM dalam negeri, yaitu rata-rata 32,0 persen pada bulan Maret 2005, dan rata-rata 61,1 persen pada bulan Oktober Penyesuaian harga BBM pada bulan Maret 2005, berkaitan dengan melonjaknya ICP sejak memasuki triwulan terakhir tahun 2004, yang bahkan mencapai hampir dua kali lipat (US$49,2 per barel) dari asumsi ICP (US$24,0 per barel) yang telah ditetapkan dalam APBN Kenaikan ICP tersebut terus berlanjut sampai memasuki triwulan terakhir 2005 yang mencapai US$58,0 per barel, sehingga harga BBM dalam negeri harus disesuaikan kembali pada bulan Oktober Pada bulan Mei 2008, rata-rata harga BBM bersubsidi dinaikkan kembalai sebesar 28,7 persen. Sementara itu, sejalan dengan penurunan ICP di pasar internasional hingga mencapai US$38,5 per barel, maka dalam rentang periode bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Januri 2009, dilakukan penurunan harga BBM bersubsidi hingga tiga kali, yaitu masing-masing 8,3 persen pada awal Desember 2008, 10,9 persen pada pertengahan bulan Desember 2008, dan bulan Januari 2009 sebesar 8,1 persen. Dalam tahun 2010, harga BBM diperkirakan tidak mengalami perubahan, lihat Tabel IV.10. Tahun 3 Jan - 28 Feb TABEL IV.10 PERKEMBANGAN HARGA BBM, (dalam rupiah) Mar Okt Jan Jan Jan Mei - 1 Des Des - 1 Jan Jan - Sep Des Des Des Mei 30 Nov Des 31 Des Jan Jenis BBM PREMIUM SOLAR MINYAK TANAH MINYAK DIESEL MINYAK BAKAR Sumber : Kemneterian ESDM Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -39

198 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Seperti halnya subsidi BBM, anggaran subsidi listrik diberikan dengan tujuan agar harga jual listrik dapat terjangkau oleh pelanggan dengan golongan tarif tertentu. Subsidi dialokasikan karena rata-rata Harga Jual Tenaga Listrik (HJTL)-nya lebih rendah dari biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik pada tegangan di golongan tarif tersebut. Anggaran subsidi listrik juga dialokasikan untuk mendukung ketersediaan listrik bagi industri, komersial dan pelayanan masyarakat. Selain itu, pemberian subsidi listrik diharapkan dapat menjamin program investasi dan rehabilitasi sarana/prasarana dalam penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, dalam rangka mengurangi beban subsidi listrik yang terus meningkat, Pemerintah dan PT PLN berupaya menurunkan BPP tenaga listrik, melalui : (1) program penghematan pemakaian listrik dengan melakukan penerapan tarif non-subsidi untuk pelanggan di atas VA dan penurunan susut jaringan (losses); dan (2) program diversifikasi energi primer di pembangkit listrik dengan melakukan optimalisasi penggunaan gas, panas bumi, batubara, biodiesel, dan penggantian High Speed Diesel (HSD) menjadi Gas ex LNG. Penggunaan Gas ex LNG dan bahan bakar pembangkit listrik di luar BBM dapat mengurangi BPP tenaga listrik. Selain perbaikan pada sisi permintaan dan penawaran (demand and supply side), Pemerintah juga mengupayakan pembenahan pada PT PLN (Persero). Untuk menjaga agar PT PLN (Persero) tidak mengalami kesulitan likuiditas dan pendanaan, maka pemerintah memberikan margin usaha. Pemberian margin usaha merupakan upaya agar kondisi keuangan PT PLN (Persero) semakin baik dan bankable, yang antara lain ditunjukkan dengan indikator Consolidated Interest Coverage Ratio (CICR) di atas 2 persen. Tingkat CICR di atas 2 persen diperlukan oleh PT PLN (Persero) agar dapat memenuhi syarat untuk melakukan penerbitan global bond di pasar internasional. Pendanaan dari obligasi (pinjaman) di pasar internasional tersebut diperlukan untuk pembangunan pembangkit listrik yang merupakan faktor penting dalam menjamin ketersediaan pasokan listrik dan pertumbuhan penjualan tenaga listrik (growth sales) untuk memenuhi peningkatan kebutuhan masyarakat. Dalam rentang waktu , realisasi anggaran subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp46,3 triliun, atau tumbuh rata-rata 44,2 persen per tahun, dari sebesar Rp8,9 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, diperkirakan mencapai Rp55,1 triliun (0,9 persen terhadap PDB) pada tahun Kenaikan realisasi belanja subsidi listrik dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (1) naiknya biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik sebagai dampak dari masih dominannya penggunaan BBM dalam sistem pembangkit listrik nasional; (2) perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat; dan (3) semakin meningkatnya penjualan tenaga listrik yang mencapai Giga Watt hour (GWh) pada perkiraan realisasi 2010, dibandingkan penjualan tenaga listrik dalam tahun 2005 sebesar GWh (lihat Tabel IV.11). TABEL IV.11 PERKEMBANGAN SUBSIDI LISTRIK, Uraian Real. Real. Real. Real. Real. APBN APBN-P Subsidi Listrik (triliun rupiah) 8,9 30,4 33,1 83,9 49,5 37,8 55,1 % terhadap PDB 0,3 0,9 0,8 1,7 0,9 0,6 0,9 Faktor-faktor yang mempengaruhi : ICP Jan-Des (US$/barel) 53,40 64,26 72,31 97,02 61,58 65,00 80,00 Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) Penjualan Tenaga Listrik (GWh) Sumber : Kementerian Keuangan IV-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

199 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Perkembangan realisasi anggaran subsidi listrik dalam periode tersebut, juga dipengaruhi oleh perubahan sistem perhitungan subsidi. Mulai tahun 2005, kebijakan subsidi listrik diberikan melalui kebijakan subsidi harga kepada konsumen yang diperluas terhadap golongan pelanggan yang tarif rata-ratanya masih lebih rendah dari BPP. Pada periode sebelumnya (tahun ), subsidi listrik diberikan melalui subsidi harga konsumen terarah untuk pelanggan golongan tarif S-1, S-2, R-1, I-1, dan B1 dengan daya terpasang kurang dari 450 VA dan pemakaian kurang dari 60 kwh. Pada tahun 2009, Pemerintah memberikan kebijakan potongan tarif listrik untuk industri, yaitu industri kelompok I-3 dengan daya sambung 20 KVA -30 KVA, dan kelompok I-4 dengan daya tersambung di atas 30 KVA. Dalam rangka mengendalikan subsidi listrik, Pemerintah bersama DPR-RI sepakat untuk menurunkan subsidi listrik secara bertahap, dengan tidak mengorbankan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam perkembangannya, BPP listrik sejak tahun 2009 mengalami kenaikan akibat naiknya beberapa harga komponen utama untuk menghasilkan tenaga listrik. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah merasa perlu untuk menyesuaikan tarif dasar listrik (TDL) rata-rata sebesar 10 persen yang telah dilaksanakan sejak awal bulan Juli tahun Namun demikian, Pemerintah tetap berpihak kepada masyarakat berpenghasilan rendah, dengan tidak memberlakukan kenaikan TDL bagi pelanggan listrik dengan daya 450 watt dan 900 watt. Subsidi Non Energi Subsidi non-energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi dan/atau menjual barang dan/atau jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah selain BBM jenis tertentu, BBN, LPG tabung 3 kg, dan tenaga listrik, sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah. Perkembangan realisasi subsidi non-energi dalam rentang waktu secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp40,9 triliun, atau tumbuh rata-rata 28,5 persen per tahun, dari sebesar Rp16,3 triliun (0,6 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp43,5 triliun pada tahun 2009 (0,8 persen terhadap PDB), dan diperkirakan mencapai Rp57,3 triliun (0,9 persen terhadap PDB) pada tahun Kenaikan realisasi anggaran subsidi non-energi yang sangat signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (1) perubahan parameter dalam perhitungan subsidi; dan (2) kebijakan penambahan jenis subsidi. Perkembangan realisasi anggaran subsidi pangan dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain: (1) jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang mempunyai hak untuk membeli raskin; (2) kuantum raskin per RTS per bulan; (3) durasi penjualan raskin; dan (4) subsidi harga raskin (selisih harga pembelian beras (HPB) oleh Bulog dengan harga jual raskin) per kilogram. Perkembangan realisasi anggaran subsidi pangan, selama kurun waktu , secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp7,6 triliun atau tumbuh rata-rata 17,0 persen per tahun, dari sebesar Rp6,4 triliun (0,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp13,0 triliun pada tahun 2009 (0,2 persen terhadap PDB), dan diperkirakan menjadi Rp13,9 triliun (0,2 persen terhadap PDB) pada tahun Kenaikan realisasi anggaran subsidi pangan dalam kurun waktu tersebut berkaitan dengan: (1) bertambahnya kuantum raskin yang disalurkan, dari sebesar 2,0 juta ton pada tahun 2005, dan diperkirakan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -41

200 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 mencapai 3,0 juta ton pada tahun 2010; dan (2) makin tingginya subsidi harga raskin, dari Rp2.494/kg/RTS pada tahun 2005 menjadi Rp4.685/kg/RTS pada tahun 2010 (lihat Tabel IV.12). TABEL IV.12 PERKEMBANGAN SUBSIDI PANGAN, Uraian Real. Real. Real. Real. Real. APBN 2010 APBN-P Subsidi Pangan (triliun rupiah) 6,4 5,3 6,6 12,1 13,0 11,4 13,9 % terhadap PDB 0,23 0,16 0,17 0,24 0,23 0,19 0,22 Asumsi dan Parameter - Kuantum (ton) > RTS (juta KK) 11,1 12,7 16,7 19,1 18,5 17,5 17,5 > Durasi (bulan) > Alokasi (kg/rts/bulan) 14,9 12,8 9, Subsidi Harga (RP/Kg) HPB (Rp/kg) Harga jual (Rp/kg) Sumber : Kementerian Keuangan & BPS Selanjutnya, dalam kurun waktu , realisasi subsidi pupuk yang disalurkan melalui BUMN produsen (PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Iskandar Muda), dan bantuan langsung pupuk (BLP) yang disalurkan melalui PT Sang Hyang Seri, dan PT Pertani dalam rangka mendukung program revitalisasi pertanian, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Perkembangan realisasi anggaran subsidi pupuk selama kurun waktu secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp15,9 triliun atau tumbuh rata-rata 48,8 persen per tahun, dari sebesar Rp2,5 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi Rp18,3 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan diperkirakan meningkat mencapai Rp18,4 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada tahun Kenaikan realisasi anggaran subsidi pupuk yang sangat signifikan dalam periode tersebut berkaitan dengan: (1) meningkatnya volume pupuk bersubsidi dari 5,7 juta ton pada tahun 2005 dan diperkirakan menjadi 9,3 juta ton pada tahun 2010; dan (2) makin besarnya subsidi harga pupuk (selisih antara harga pokok produksi (HPP) dengan harga eceran tertinggi (HET)) (lihat Tabel IV.13). Peningkatan kebutuhan pupuk bersubsidi tersebut sejalan dengan upaya untuk mendukung, menjaga, serta meningkatkan program ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk pertanian (khususnya beras). Selanjutnya, dalam rangka mengurangi anggaran subsidi pupuk, Pemerintah tetap akan melakukan penyaluran subsidi pupuk berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) pada kelompok petani di setiap wilayah. Selain itu, Pemerintah juga akan memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi pupuk dengan pemberian subsidi pupuk secara langsung kepada para petani (redesign subsidy). Selain subsidi pupuk, dalam upaya memberikan dukungan terhadap program revitalisasi pertanian, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk subsidi benih. Pemberian subsidi benih tersebut ditujukan untuk menyediakan benih padi, jagung, dan kedelai dengan harga IV-42 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

201 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV TABEL IV.13 PERKEMBANGAN SUBSIDI PUPUK, Uraian Real. Real. Real. Real. Real. APBN APBN-P Subsidi Pupuk (triliun rupiah) 2,5 3,2 6,3 15,2 18,3 14,8 18,4 % terhadap PDB 0,09 0,10 0,16 0,31 0,33 0,25 0,29 Faktor-faktor yang mempengaruhi : a.volume (ribu ton) Urea SP-36/Superphose ZA NPK Organik b.harga Pokok Produksi (ribu rupiah/ton) - Urea SP-36/Superphos ZA NPK Pupuk Organik c. Harga Eceran Tertinggi (ribu rupiah/ton) - Urea SP-36/Superphose ZA NPK Organik Sumber : Kementerian Pertanian terjangkau oleh para petani. Dalam kurun waktu , realisasi anggaran subsidi benih secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp2,2 triliun, atau tumbuh rata-rata 72,6 persen per tahun, dari sebesar Rp0,1 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp1,6 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp2,3 triliun pada tahun Kenaikan realisasi anggaran subsidi benih tersebut terutama berkaitan dengan makin besarnya volume benih bersubsidi yang disalurkan kepada petani. Selain penyediaan subsidi pangan, pupuk dan benih, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk subsidi/bantuan dalam rangka kewajiban pelayanan publik (public service obligation/pso) kepada BUMN tertentu, sehingga harga jual pelayanan yang diberikan dapat terjangkau masyarakat. Dalam kurun waktu , realisasi anggaran subsidi/ bantuan dalam rangka PSO secara nominal mengalami kenaikan sebesar Rp0,5 triliun, atau tumbuh rata-rata 8,0 persen per tahun, dari sebesar Rp0,9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp1,3 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp1,4 triliun pada tahun Kenaikan realisasi subsidi/bantuan dalam rangka PSO dalam kurun waktu tersebut, terkait dengan kebijakan Pemerintah untuk menyesuaikan tarif sarana transportasi kereta api kelas ekonomi dan kapal laut kelas ekonomi. Subsidi/bantuan dalam rangka PSO tersebut antara lain dialokasikan melalui BUMN di sektor perhubungan, yaitu PT KAI dan PT Pelni, serta di sektor telekomunikasi dan informasi, yaitu PT Posindo dan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Dalam kurun waktu yang sama, perkembangan realisasi subsidi bunga kredit program secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp2,8 triliun, atau tumbuh rata-rata 80,5 persen per tahun, dari sebesar Rp0,1 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp1,1 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp2,9 triliun pada tahun Kenaikan realisasi anggaran subsidi bunga kredit program yang sangat signifikan dalam kurun waktu tersebut, selain dipengaruhi oleh perkembangan suku bunga kredit, juga ditentukan oleh besarnya outstanding kredit program, baik yang berasal dari skema kredit eks kredit likuiditas Bank Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -43

202 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Indonesia (KLBI), kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh), maupun kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E), termasuk risk sharing KKP-E. Selain itu, peningkatan realisasi anggaran subsidi bunga kredit program juga berkaitan dengan pengembangan energi nabati (biofuel) dan kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (KPEN-RP) dan jaminan untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dalam rangka membantu usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Selain itu, dalam APBN-P 2010, Pemerintah melakukan realokasi sebagian subsidi KPRSh dan Rusunami ke pos pembiayaan melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Selain berbagai jenis subsidi tersebut, pemerintah juga mengalokasikan anggaran subsidi pajak untuk mendukung program stabilisasi harga kebutuhan pokok dan perkembangan industri nasional yang strategis. Perkembangan realisasi subsidi pajak ini sangat tergantung kepada jenis komoditi atau sektor-sektor tertentu yang diberikan fasilitas pajak dalam bentuk pajak ditanggung pemerintah (DTP). Dalam kurun waktu , perkembangan realisasi subsidi pajak DTP secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp12,2 triliun atau tumbuh dengan rata-rata 24,3 persen per tahun, dari sebesar Rp6,2 triliun (0,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 menjadi Rp8,2 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp18,4 triliun (0,3 persen terhadap PDB) pada tahun Kenaikan realisasi subsidi pajak DTP tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk menanggung pajak atas sektor-sektor yang strategis, yaitu pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi. Perkembangan realisasi subsidi dalam periode tahun dapat diikuti dalam Tabel IV.14. TABEL IV.14 PERKEMBANGAN SUBSIDI, (triliun rupiah) Uraian Real. Real. Real. Real. Real. APBN APBN-P I. Subsidi Energi 104,4 94,6 116,9 223,0 94,6 106,5 144,0 1. Subsidi BBM 95,6 64,2 83,8 139,1 45,0 68,7 88,9 2. Subsidi Listrik 8,9 30,4 33,1 83,9 49,5 37,8 55,1 II. Subsidi Non-Energi 16,3 12,8 33,3 52,3 43,5 51,3 57,3 1. Subsidi Pangan 6,4 5,3 6,6 12,1 13,0 11,4 13,9 2. Subsidi Pupuk 2,5 3,2 6,3 15,2 18,3 14,8 18,4 3. Subsidi Benih 0,1 0,1 0,5 1,0 1,6 1,6 2,3 4. PSO 0,9 1,8 1,0 1,7 1,3 1,4 1,4 5. Kredit Program 0,1 0,3 0,3 0,9 1,1 5,3 2,9 6. Subsidi Minyak Goreng - - 0,0 0, Subsidi Kedele , Subsidi Pajak 6,2 1,9 17,1 21,0 8,2 16,9 18,4 9. Subsidi Lainnya - 0,3 1, Jumlah Sumber : Kementerian Keuangan 120,8 107,4 150,2 275,3 138,1 157,8 201,3 IV-44 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

203 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Belanja Hibah Belanja hibah merupakan belanja dalam bentuk uang, barang, atau jasa dari pemerintah kepada pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, pemerintah negara lain, atau lembaga/organisasi internasional yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus. Dalam kurun waktu , pemerintah tidak mengalokasikan anggaran belanja hibah dalam APBN dan/atau APBN-P. Pemerintah mulai mengalokasikan anggaran belanja hibah sejak tahun 2009 dalam APBN-P sebesar Rp31,6 miliar, namun dari anggaran yang dialokasikan tersebut, tidak dapat terserap seluruhnya, dikarenakan proses penerbitan dokumen pencairan yang tidak terselesaikan sampai akhir tahun. Untuk tahun 2010, Pemerintah mengalokasikan anggaran belanja hibah dalam APBN-P sebesar Rp243,2 miliar. Jumlah tersebut merupakan penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri ke daerah, yang akan digunakan untuk: (1) Mass rapid transit (MRT) project sebesar Rp34,4 miliar; (2) Program Local Basic Education Capacity (L-BEC) sebesar Rp80,1 miliar; (3) Program hibah air minum sebesar Rp106,2 miliar; (4) Program hibah air limbah terpusat sebesar Rp10,0 miliar; dan (5) Water and Sanitation Program-Sub program D (WASAP-D) sebesar Rp12,6 miliar. Bantuan Sosial Bantuan sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, dan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan, termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga non-pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan, atau kepada individu, kelompok atau komunitas, yang secara ekonomi masih lemah (miskin). Dari segi durasinya, bantuan dapat bersifat sementara (misalnya untuk korban bencana), atau bersifat tetap (misalnya untuk penyandang cacat). Bantuan yang dapat berupa uang atau barang (in-cash transfers), dapat diberikan dengan syarat (conditional) atau tanpa syarat (unconditional). Dalam implementasinya, belanja bantuan sosial dialokasikan melalui kementerian negara/lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing, serta melalui bendahara umum negara (BA 999) untuk penanggulangan bencana alam. Dalam kurun waktu , realisasi anggaran bantuan sosial mengalami peningkatan rata-rata 23,4 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp24,9 triliun (6,9 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dalam tahun 2005 diperkirakan menjadi Rp71,2 triliun (9,1 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dalam APBN-P tahun Sementara itu, realisasi penyerapan anggaran belanja bantuan sosial dalam periode tersebut juga mengalami peningkatan dari 83,0 persen terhadap pagu anggaran bantuan sosial dalam APBN-P tahun 2005, menjadi 88,6 persen terhadap pagu alokasi anggaran dalam APBN-P tahun Peningkatan alokasi anggaran bantuan sosial selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya Pemerintah untuk mewujudkan agenda pembangunan nasional dalam RPJMN , yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial, peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, penanggulangan kemiskinan, serta penanggulangan bencana alam. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -45

204 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Kenaikan realisasi anggaran bantuan sosial dalam rentang waktu tersebut, sebagian besar merupakan realisasi bantuan sosial yang dialokasikan melalui K/L untuk menjaga dan melindungi masyarakat dari dampak berbagai risiko sosial. Kenaikan realisasi bantuan sosial melalui K/L tersebut, antara lain berkaitan dengan: (1) bertambahnya cakupan penerima bantuan sosial kemasyarakatan; (2) meningkatnya nilai bantuan sosial kepada masyarakat dan lembaga-lembaga; serta (3) semakin luas dan meningkatnya program-program pemberdayaan masyarakat yang berada di bawah naungan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Berbagai program yang dirancang dan dilaksanakan terkait belanja bantuan sosial adalah: (1) bidang pendidikan; (2) bidang kesehatan; (3) bidang pemberdayaan masyarakat; (4) program keluarga harapan (PKH); dan (5) penanggulangan bencana alam (pasca bencana). Bantuan sosial bidang pendidikan mencakup antara lain bantuan operasional sekolah (BOS), beasiswa untuk siswa dan mahasiswa miskin, bantuan pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah; sementara bantuan sosial bidang kesehatan meliputi antara lain pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas serta di kelas III rumah sakit Pemerintah/rumah sakit swasta yang ditunjuk Pemerintah melalui asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin) atau jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Selanjutnya, bantuan sosial bidang pemberdayaan masyarakat, meliputi antara lain PNPM perdesaan dengan kecamatan (PNPM perdesaan), penanggulangan kemiskinan perkotaan (PNPM perkotaan), program peningkatan infrastruktur perdesaan (PPIP), PNPM daerah tertinggal dan khusus, serta PNPM infrastruktur sosial ekonomi wilayah. Bantuan sosial bidang keluarga harapan (Program Keluarga Harapan/PKH) ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat miskin melalui pemberdayaan kaum ibu dan mendorong agar anaknya tetap sehat dan bersekolah. Sementara itu, bantuan sosial untuk penanganan bencana alam merupakan bantuan untuk kondisi darurat yang timbul dalam hal terjadi bencana. Tahapan yang didesain untuk bantuan jenis ini meliputi kegiatan-kegiatan tahap prabencana, saat tanggap darurat bencana, dan pascabencana. Realisasi anggaran bantuan sosial bidang pendidikan dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 29,1 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp10,6 triliun (0,4 persen terhadap PDB) dalam tahun 2005 diperkirakan menjadi Rp39,3 triliun (0,6 persen terhadap PDB) dalam APBN-P tahun Dalam tahun , realisasi bantuan ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan hingga pada tahun 2009 mencapai Rp52,9 triliun sejalan dengan kebijakan peningkatan alokasi anggaran bantuan sosial bidang pendidikan selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya pemerintah untuk meringankan beban masyarakat terhadap biaya pendidikan, agar semua siswa memperoleh layanan pendidikan dasar yang bermutu sampai tamat, dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (lihat Grafik IV.26). Miliar Rupiah 60, , , , , ,000.0 GRAFIK IV.26 BELANJA BANTUAN SOSIAL BIDANG PENDIDIKAN , , , , , , ,271.3 Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN APBN-P Perk Real Sumber : Kementerian Keuangan Tahun 37,955.4 IV-46 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

205 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Dari cara penyalurannya, realisasi anggaran bantuan sosial bidang pendidikan tersebut antara lain digunakan untuk bantuan langsung (block grant) bagi sekolah/lembaga/guru, bantuan imbal swadaya sekolah, dan bantuan beasiswa. Bantuan operasional sekolah (BOS), sebagai salah satu komponen penting dari bantuan bidang pendidikan, diberikan dengan tujuan utama untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu, dan meringankan beban siswa lain agar semua siswa dapat memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat, dalam rangka penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Dalam kurun waktu , anggaran BOS mengalami peningkatan rata-rata 32,7 persen per tahun, yaitu dari Rp4,8 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp19,8 triliun dalam tahun Kenaikan anggaran BOS yang cukup signifikan dalam rentang waktu tersebut, terutama berkaitan dengan meningkatnya cakupan penerima BOS, yaitu dari 34,5 juta siswa dalam tahun 2005 menjadi 41,9 juta siswa dalam tahun 2008, dan mencapai 44,1 juta siswa dalam tahun Selain itu, nilai bantuan yang diberikan kepada siswa dalam empat tahun terakhir juga mengalami peningkatan, yaitu dari Rp per murid per tahun untuk tingkat SD dalam tahun 2005 dan 2006 menjadi Rp per murid dalam tahun 2007 dan Untuk murid SMP/sederajat, besarnya bantuan naik dari sebesar Rp per murid per tahun dalam tahun 2005 dan 2006 menjadi Rp per murid dalam tahun 2007 dan Dalam tahun 2010, besarnya bantuan operasional sekolah dibedakan antara sekolah yang terletak di daerah perkotaan, dengan sekolah yang terdapat di daerah perdesaan. Bantuan operasional sekolah SD/sederajat untuk daerah perkotaan dalam tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp per murid per tahun, dan SMP/sederajat sebesar Rp per murid per tahun, sedangkan bantuan operasional sekolah SD/sederajat untuk daerah perdesaan dalam tahun 2010 dialokasikan sebesar Rp per murid per tahun, dan SMP/sederajat sebesar Rp per murid per tahun. Selanjutnya, anggaran bantuan sosial bidang pendidikan juga digunakan untuk pemberian bantuan beasiswa untuk siswa/mahasiswa miskin, yang dianggarkan mulai tahun 2008 dengan tujuan antara lain untuk: (i) memberikan peluang bagi kelulusan bagi siswa/ mahasiswa kurang mampu; (ii) mengurangi jumlah siswa/mahasiswa putus sekolah akibat permasalahan biaya pendidikan; dan (iii) meringankan biaya pendidikan siswa/mahasiswa kurang mampu. Program bantuan beasiswa miskin tersebut diberikan untuk siswa SD, siswa SMP, siswa MI, siswa MTs, siswa SMA, siswa SMK, siswa MA, mahasiswa perguruan tinggi, dan mahasiswa perguruan tinggi agama. Dalam kurun waktu , alokasi anggaran untuk bantuan beasiswa untuk siswa/mahasiswa miskin mengalami peningkatan rata-rata 9,7 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp2,2 triliun dalam tahun 2008, menjadi Rp2,7 triliun dalam tahun Kenaikan alokasi anggaran beasiswa untuk siswa/ mahasiswa miskin dalam kurun waktu tersebut, terutama disebabkan oleh meningkatnya cakupan penerima beasiswa untuk siswa/mahasiswa miskin, yaitu dari 1,8 juta siswa SD dan SMP pada tahun 2008 menjadi 2,5 juta siswa SD dan SMP pada tahun Kenaikan jumlah cakupan penerima juga terjadi pada kategori siswa MI dan MTs, siswa MA dan mahasiswa perguruan tinggi agama. Untuk kategori siswa MI dan MTS, pada tahun 2008 jumlah cakupan penerima sebanyak 640 ribu siswa, dan mencapai 1,180 juta siswa pada tahun Untuk kategori siswa madrasah aliyah (MA), cakupan penerima sebanyak 210,2 ribu siswa, dan mencapai 320 ribu siswa pada tahun Hal yang sama juga terjadi pada kategori mahasiswa perguruan tinggi agama, dimana pada tahun 2008, cakupan penerima program beasiswa pada kategori tersebut pada tahun 2008 sebanyak 48,9 ribu mahasiswa, dan mencapai 65 ribu mahasiswa pada tahun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -47

206 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Anggaran untuk melaksanakan program pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas serta di kelas III rumah sakit Pemerintah/rumah sakit swasta yang ditunjuk Pemerintah melalui Askeskin atau Jamkesmas dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 9,6 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp3,2 triliun dalam tahun 2005 menjadi sebesar Rp5,1 triliun dalam tahun Kenaikan realisasi anggaran pada program pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas serta di kelas III rumah sakit Pemerintah/rumah sakit swasta yang ditunjuk Pemerintah (Askeskin atau Jamkesmas) dalam kurun waktu tersebut, terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk miskin yang menerima bantuan, yaitu dari 60 juta penduduk miskin dalam tahun 2005 menjadi 76,4 juta penduduk miskin dalam tahun Pada program keluarga harapan (PKH), realisasi anggaran dalam kurun waktu mengalami peningkatan rata-rata 15,7 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp843,6 miliar dalam tahun 2007 menjadi Rp1,3 triliun dalam tahun Kenaikan realisasi anggaran pada program keluarga harapan dalam kurun waktu tersebut, selain disebabkan oleh terjadinya penurunan jumlah RTSM penerima bantuan pada tahun 2007, juga disebabkan oleh perubahan komposisi anggota keluarga RTSM yang menyebabkan besaran bantuan per RTSM secara rata-rata menurun. Hal ini menyebabkan dapat ditingkatkannya jumlah rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang menerima bantuan, yaitu dari 384 ribu RTSM dalam tahun 2007, menjadi 816 ribu RTSM dalam tahun Penambahan jumlah RTSM tersebut disertai pula dengan penambahan cakupan geografis program, yaitu dari 7 provinsi, 48 kabupaten/ kota, dan 337 kecamatan dalam tahun 2007 menjadi 20 provinsi dan 88 kabupaten/kota dalam tahun PKH yang dialokasikan mulai tahun 2007, diberikan dalam rangka mempercepat penanggulangan kemiskinan, dan pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial. PKH ini, merupakan upaya membangun sistem perlindungan sosial dengan memberikan bantuan uang tunai kepada RTSM, yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM, meningkatkan taraf pendidikan anakanak RTSM, serta meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas, dan anak di bawah enam tahun. Penerima bantuan PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga, yang terdiri dari anak usia 0 15 tahun (atau usia tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar), dan/atau ibu hamil/nifas. PKH memberikan bantuan tunai kepada RTSM, dengan mewajibkan RTSM tersebut mengikuti persyaratan yang ditetapkan program, yaitu: (1) menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan, dan menghadiri kelas minimal 85 persen hari sekolah/tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung; dan (2) melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0 6 tahun, ibu hamil, dan ibu nifas. Realisasi PNPM perdesaan dalam kurun waktu mengalami peningkatan ratarata 196,4 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp42,1 miliar dalam tahun 2005 menjadi Rp6,0 triliun dalam tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp9,6 triliun dalam tahun Kenaikan realisasi PNPM perdesaan dalam kurun waktu tersebut, selain disebabkan oleh meningkatnya jumlah alokasi bantuan kepada setiap kecamatan, yaitu dari Rp350,0 juta dalam tahun 2005 menjadi Rp1,5 miliar sampai dengan Rp3,0 miliar dalam tahun 2010, juga diakibatkan oleh meningkatnya jumlah kecamatan yang menerima bantuan, yaitu dari kecamatan dalam tahun tahun 2005 menjadi kecamatan dalam tahun 2009, dan mencapai kecamatan dalam tahun Sementara itu, realisasi anggaran PNPM perkotaan dalam kurun waktu , secara nominal meningkat sebesar Rp1,6 triliun, atau mengalami pertumbuhan rata-rata 44,4 persen per tahun. Dalam tahun 2005, realisasi PNPM perkotaan mencapai Rp240,2 miliar menjadi Rp1,5 triliun dalam tahun IV-48 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

207 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Realisasi anggaran PNPM perkotaan yang meningkat cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, selain disebabkan oleh peningkatan jumlah alokasi bantuan kepada setiap kecamatan, juga dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah kecamatan yang menerima bantuan. PNPM perkotaan tersebut dialokasikan dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok dalam memecahkan berbagai persoalan, khususnya terkait dengan upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Mekanisme PNPM dalam upaya menanggulangi kemiskinan ditempuh dengan melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat ditumbuhkembangkan, sehingga mereka bukan sebagai obyek, melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Realisasi bantuan sosial untuk lembaga sosial lainnya dalam kurun waktu yang sama mengalami peningkatan rata-rata 55,0 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp2,2 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp16,4 triliun dalam tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp20,0 triliun dalam tahun 2010 (lihat Grafik IV.27). Peningkatan alokasi bantuan sosial untuk lembaga sosial lainnya selama kurun waktu tersebut, terutama berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan agenda pembangunan nasional dalam RPJMN , yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas, pemberdayaan masyarakat, dan program keluarga harapan. Belanja Lain-lain Miliar Rupiah 25, , , , ,000.0 Selanjutnya, dalam kurun waktu , realisasi anggaran belanja lain-lain secara nominal berfluktuasi dengan trend yang semakin menurun. Dalam tahun 2005, realisasi anggaran belanja lain-lain mencapai sebesar Rp34,0 triliun (9,4 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dan turun menjadi Rp32,9 triliun (4,2 persen terhadap total belanja Pemerintah Pusat) dalam tahun Namun, realisasi penyerapan anggaran belanja lainlain pada periode tersebut mengalami trend kenaikan dari 78,3 persen terhadap pagu anggaran belanja lain-lain dalam APBN-P II tahun 2005 diperkirakan menjadi 97,9 persen terhadap pagunya dalam APBN-P tahun Realisasi anggaran belanja lain-lain tersebut, antara lain berasal dari realisasi anggaran untuk: (1) pengeluaran mendesak dan belum terprogram; (2) pengeluaran terprogram; (3) belanja penunjang; dan (4) cadangan. Realisasi belanja lain-lain dalam kurun waktu , sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang alokasi anggarannya belum ditampung dalam jenis belanja yang lain (belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, dan bantuan sosial). Dalam tahun 2005 dan 2006, realisasi anggaran belanja lain-lain sebagian besar berasal dari realisasi anggaran untuk bantuan/subsidi langsung tunai (BLT), - GRAFIK IV. 27 BELANJA BANTUAN SOSIAL LEMBAGA SOSIAL LAINNYA , , , , , , ,124.0 Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi Realisasi APBN APBN-P Perk Real Sumber : Kementerian Keuangan Tahun 20,017.4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -49

208 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 belanja untuk mendukung proses perdamaian di Aceh pasca nota kesepakatan Helsinki, dan dana rehabilitasi dan rekonstruksi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sementara itu, dalam tahun 2007, realisasi anggaran belanja lain-lain sebagian besar dipengaruhi antara lain oleh realisasi anggaran untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan biaya sarana dan prasarana konversi minyak tanah ke LPG. Dalam tahun 2008, realisasi anggaran belanja lain-lain meningkat cukup signifikan, seiring dengan bertambahnya kebutuhan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang mendesak untuk dilaksanakan dan bersifat ad hoc, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), kebutuhan dana untuk persiapan penyelenggaraan Pemilu, dan berbagai program lainnya, seperti untuk pengadaan sarana dan prasarana konversi minyak tanah ke LPG. Realisasi anggaran belanja lain-lain dalam tahun 2009 mencapai Rp53,3 triliun, yang berarti meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun 2008, terutama karena menampung program-program prioritas Pemerintah yang membutuhkan pendanaan cukup besar, seperti pendanaan untuk Pemilu, sarana dan prasarana konversi energi, BLT, serta penuntasan dan kesinambungan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias pasca berakhirnya mandat BRR NAD-Nias. 4.3 Kaitan Antara RKP Tahun 2011 Dengan Rancangan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, RAPBN tahun 2011 Sesuai dengan amanat pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 12 ayat (2) undang-undang tersebut, dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara, penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Ini berarti bahwa program-program pembangunan beserta sasaran-sasaran yang ditetapkan dalam RKP tahun tertentu, sepanjang terkait dengan intervensi anggaran akan dijabarkan dan memperoleh prioritas pendanaan di dalam RAPBN tahun bersangkutan. RKP disusun setiap tahun dengan tema pembangunan nasional yang berbeda, sesuai dengan masalah dan tantangan yang dihadapi dalam tahun bersangkutan, serta rencana tindak yang akan diambil dalam tahun berikutnya. Tema pembangunan tersebut, selanjutnya dijabarkan ke dalam prioritas-prioritas pembangunan, yang dirinci lebih lanjut ke dalam fokus prioritas, dan kegiatan prioritas pembangunan untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan sebagaimana ditetapkan dalam RKP. Selanjutnya, dalam rangka mendukung pencapaian sasaran-sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam RKP tersebut, maka setiap satuan kerja akan menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (RKA-KL) sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing K/L dalam menunjang pelaksanaan tugas pemerintahan. RKA-KL, sebagai dokumen penganggaran dalam APBN, disusun dengan menggunakan pendekatan fungsi, subfungsi, dan program. Pada subbagian ini akan diuraikan mengenai keterkaitan antara RKP dengan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN, proses penetapan tema pembangunan nasional yang dimulai dari masalah dan tantangan yang dihadapi, hingga proses penentuan prioritas dan pengalokasian anggaran sesuai dengan prioritas. IV-50 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

209 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Masalah dan Tantangan Pokok Pembangunan 2011 Dalam tahun 2011, berbagai hasil dan kemajuan pembangunan yang telah dicapai sampai dengan tahun 2009, sebagai tahun terakhir pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) , dan hasil-hasil yang akan dicapai pada tahun 2010 yang merupakan tahun pertama RPJMN , diharapkan dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang ditetapkan dalam RKP Dalam tahun 2011, terdapat 3 tantangan utama yang harus dihadapi dan dipecahkan melalui program-program dan kegiatan pembangunan yang inklusif, berkesinambungan dan ramah lingkungan. Pertama, menciptakan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan. Kedua, membangun tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengeluaran Pemerintah. Ketiga, meningkatkan sinergi antara pusat dan daerah. Ketiga tantangan utama tersebut akan mewarnai pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pembangunan lima tahun ke depan, sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN Masalah dan tantangan utama yang harus dihadapi dan dipecahkan dalam tahun 2011 berkaitan dengan berbagai bidang yang menjadi prioritas pembangunan nasional RKP 2011 adalah sebagai berikut. Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola. Tantangan pokok yang akan dihadapi ke depan adalah: (1) melanjutkan penataan kelembagaan secara bertahap pada seluruh instansi, khususnya kementerian dan lembaga di pusat, sebagai upaya mewujudkan sosok organisasi birokrasi yang mencerminkan structure follow function, proporsional, efektif, dan efisien; (2) perlu adanya kebijakan yang ketat atas usulan pembentukan daerah otonom yang baru; dan (3) masih rendahnya kinerja instansi penegak hukum di Indonesia, yang menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan instansi hukum sangat rendah. Pendidikan. Tantangan pokok yang dihadapi di bidang pendidikan ke depan adalah: (1) peningkatan akses dan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan; (2) penyusunan rancangan materi pendidikan agar mampu membangun karakter bangsa, meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama, serta mampu mengembangkan pribadi dan akhlak peserta didik; dan (3) peningkatan proporsi guru yang memenuhi kualifikasi akademik. Kesehatan dan Kependudukan. Tantangan pokok yang dihadapi bidang kesehatan dan kependudukan ke depan adalah: (1) peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan; (2) pengembangan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan layanan kesehatan serta antara pemerintah pusat dan daerah; dan (3) pengendalian kuantitas penduduk melalui angka kelahiran (Total Fertility Rate) yang merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah pertambahan penduduk. Penanggulangan Kemiskinan. Tantangan pokok yang dihadapi dalam penanggulan kemiskinan ke depan adalah: (1) peningkatan iklim usaha yang kondusif di daerah, sehingga mampu menarik investasi lokal serta meluasnya budaya usaha di masyarakat; (2) peningkatan penyelenggaraan bantuan dan jaminan sosial, dan masih terbatasnya jumlah dan kapasitas sumber daya manusia, seperti tenaga lapangan yang terdidik dan terlatih serta memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial; dan (3) peningkatan pemenuhan beberapa kebutuhan dasar (indikator kemiskinan non pendapatan) misalnya pada kecukupan pangan (kalori), layanan kesehatan, air bersih dan sanitasi masih rendah, yang masih cukup timpang antar golongan pendapatan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -51

210 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Ketahanan Pangan. Tantangan pokok yang dihadapi dalam ketahanan pangan ke depan adalah: (1) peningkatan jaminan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dari produksi dalam negeri; (2) penjagaan stabilitas harga dan distribusi bahan pangan agar terjangkau oleh masyarakat; (3) pengembangan nilai tambah dan daya saing komoditas bahan pangan; dan (4) peningkatan kesejahteraan dan kapasitas petani/nelayan. Infrastruktur. Tantangan pokok yang dihadapi di bidang infrastruktur ke depan adalah: (1) peningkatan ketersediaan air baku yang salah satunya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi; (2) peningkatan pembangunan komunikasi dan informatika; dan (3) pengembangan pembangunan infrastruktur energi dan ketenagalistrikan. Iklim Investasi dan Iklim Usaha. Tantangan pokok yang dihadapi dalam perbaikan iklim investasi dan iklim usaha ke depan adalah: (1) peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan perijinan investasi; (2) peningkatan integrasi jaringan logistik domestik; dan (3) penyempurnaan prosedur dalam penetapan upah minimum, yang hingga saat ini masih membuahkan perdebatan di antara kalangan serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Energi. Tantangan pokok yang dihadapi di bidang energi ke depan adalah: (1) peningkatan pelayanan, efisiensi, dan keandalan sistem penyediaan dan penyaluran energi di seluruh Indonesia; (2) pengembangan sumber energi alternatif yang dapat digunakan secara masal; dan (3) peningkatan penyediaan energi final, terutama listrik dan Bahan Bakar Minyak. Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Tantangan pokok yang dihadapi di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan bencana ke depan adalah: (1) penurunan tingkat pencemaran terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayatinya yang sudah melebihi baku mutu lingkungan; (2) pembangunan sistem peringatan dini, yaitu penyediaan sistem informasi yang cepat perlu ditingkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya; dan (3) peningkatan kualitas pelaksanaan tanggap darurat dan penanganan korban bencana alam dan kerusuhan sosial yang terkoordinasi, efektif, dan terpadu. Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik. Tantangan pokok yang dihadapi dalam pengembangan Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik ke depan adalah: (1) peningkatan optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan perekonomian daerah tertinggal; (2) peningkatan kualitas SDM dan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal, yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan angkatan kerja, rendahnya derajat kesehatan masyarakat, dan tingginya tingkat kemiskinan; serta (3) peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah, khususnya terhadap sentra-sentra produksi dan pemasaran karena belum didukung oleh sarana dan prasarana angkutan barang dan penumpang yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tertinggal; Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Tantangan pokok yang dihadapi dalam pengembangan Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi ke depan adalah: (1) pengayaan khazanah artistik dan intelektual bagi tumbuh-mapannya jati diri dan kemampuan adaptif kompetitif bangsa; (2) peningkatan kemampuan sisi penelitian dan pengembangan dalam menyediakan solusi-solusi teknologi; dan (3) peningkatan kemampuan sisi pengguna dalam menyerap teknologi baru yang tersedia. IV-52 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

211 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Tema dan Prioritas Pembangunan Nasional RKP Tahun 2011 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan adalah TERWUJUDNYA INDONESIA YANG SEJAHTERA, DEMOKRATIS, DAN BERKEADILAN. Untuk mewujudkan visi tersebut telah ditetapkan 3 (tiga) misi yang harus diemban yakni: Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera, Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi, dan Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang. Sebagai penjabaran dari RPJMN , dan dengan memperhatikan kemajuan yang dicapai dalam tahun 2009 dan perkiraan 2010, serta tantangan yang dihadapi tahun 2011, tema pembangunan yang ditetapkan dalam RKP Tahun 2011 adalah PERCEPATAN PERTUMBUHAN EKONOMI YANG BERKEADILAN DIDUKUNG OLEH PEMANTAPAN TATAKELOLA DAN SINERGI PUSAT DAERAH. Sejalan dengan tema tersebut, sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam tahun 2011 dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni: (1) sasaran pembangunan kesejahteraan rakyat; (2) sasaran perkuatan pembangunan demokrasi; dan (3) sasaran penegakan hukum. Rincian ketiga kelompok sasaran ini disajikan dalam Tabel IV.15. Dalam melaksanakan rencana pembangunan yang tertuang dalam RKP tahun 2011 tersebut, terdapat 3 (tiga) prinsip-prinsip pengarusutamaan, dan 4 (empat) isu-isu lintas sektor yang harus menjadi landasan operasional dan dasar pertimbangan bagi seluruh aparatur negara dalam menyusun berbagai program dan kegiatan dalam RKA-K/L Prinsip-prinsip pengarusutamaan tersebut terdiri atas: Pertama, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan, strategi dan kebijakan nasional, sektoral dan wilayah, serta dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan juga harus dilakukan dengan memperhatikan permasalahan strategis lingkungan dan sosial yang ada; Kedua, pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan oleh sebuah negara mempunyai peranan yang sangat penting bagi tercapainya sasaran pembangunan nasional, dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien; dan Ketiga, pengarusutamaan gender. Pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -53

212 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 TABEL IV.15 SASARAN UTAMA PEMBANGUNAN NASIONAL 2011 NO PEMBANGUNAN SASARAN SASARAN PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN RAKYAT 1. Ekonomi a) Pertumbuhan Ekonomi 6,3 persen b) Inflasi 5,7 persen c) Tingkat Pengangguran (terbuka) 7,3 persen d) Tingkat Kemiskinan 11,5 12,5 persen 2. Pendidikan Status Awal (2008) Target 2011 a) Meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas (tahun) 7,50 7,75 b) Menurunnya angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas (persen) 5,97 5,17 c) Meningkatnya APM SD/SDLB/MI/Paket A (persen) 95,14 95,3 d) Meningkatnya APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B (persen) 72,28 74,7 e) Meningkatnya APK SMA/SMK/MA/Paket C (persen) 64,28 76,0 f) Meningkatnya APK PT usia tahun (persen) 21,26 26,1 Menurunnya disparitas partisipasi dan kualitas pelayanan pendidikan antarwilayah, gender, dan g) sosial ekonomi, serta antarsatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. 3. Pangan a) Produksi Padi 68,8 juta ton GKG b) Produksi Jagung 22,0 juta ton c) Produksi Kedelai 1,6 juta ton d) Produksi Gula 3,9 juta ton e) Produksi Daging Sapi 439 ribu ton f) Produksi Ikan 12,3 juta ton 4. Energi a) Peningkatan kapasitas pembangkit listrik MW b) Meningkatnya rasio elektrifikasi 70,4 persen c) Meningkatnya produksi minyak bumi 970 ribu barrel per hari d) Peningkatan pemanfaatan energi panas PLTP 158 MW 5. Infrastruktur b i a) Pembangunan Jalan Lintas Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Total jalan yang dibangun 2.791,97 km IV-54 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

213 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV b) Pembangunan jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antarmoda dan antar-pulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional dan Cetak Biru Transportasi Multimoda Meningkatnya kapasitas sarana dan prasarana transportasi untuk mengurangi backlog maupun bottleneck kapasitas prasarana transportasi dan sarana transportasi antarmoda dan antarpulau yang terintegrasi sesuai dengan sistem transportasi nasional dan cetak biru transportasi multimoda; Terbangunnya sistem jaringan transportasi perkotaan dan perdesaan di wilayah terpencil, pedalaman, perbatasan dan pulau terdepan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang juga didorong melalui pelayanan perintis, Public Service Obligation (PSO), dan DAK bidang transportasi perdesaan; Meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan sarana dan prasarana transportasi; Meningkatnya keselamatan masyarakat terhadap pelayanan sarana dan prasarana transportasi. c) Penuntasan pembangunan Jaringan Serat Optik di Indonesia Bagian Timur d) Perbaikan sistem dan jaringan transportasi di 4 kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan) Terselesaikannya pembangunan link Mataram Kupang Penyelesaian detail engineering design untuk MRT Jakarta dan penilaian proyek monorail; Penyelesaian Bandung Urban Transport Master Plan ; Penyusunan Surabaya Urban Transport Master Plan. SASARAN PERKUATAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI 1. Meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia Pada tahun 2011, Indeks Demokrasi Indonesia: 65 SASARAN PEMBANGUNAN PENEGAKAN HUKUM 1. Tercapainya suasana dan kepastian keadilan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2011 sebesar melalui penegakan hukum (rule of law ) dan 3,0 yang meningkat dari 2,8 pada tahun 2009 terjaganya ketertiban umum. Sumber: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Prinsip-prinsip pengarusutamaan tersebut akan menjadi jiwa dan semangat yang mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di setiap bidang pembangunan. Dengan dijiwainya prinsipprinsip pengarustamaan tersebut, pembangunan jangka menengah akan memperkuat upaya mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Sementara itu, isu-isu lintas sektor tersebut terdiri atas: (1) Isu lintas sektor penanggulangan kemiskinan. Pertumbuhan yang pro-rakyat miskin dengan memberi perhatian khusus pada usahausaha yang melibatkan orang-orang miskin dan orang-orang dengan kondisi khusus. Peningkatan kualitas kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan afirmatif/keberpihakan serta peningkatan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -55

214 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 (2) Isu lintas sektor perubahan iklim global. Antisipasi dampak dan laju perubahan iklim diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kapasitas penanganan dampak dan laju perubahan iklim yang tepat dan akurat. (3) Isu lintas sektor pembangunan kelautan berdimensi kepulauan. Pembangunan berdimensi negara kepulauan adalah pembangunan yang berorientasi pada pengembangan potensi kepulauan secara ekonomi, ekologis dan sosial yang ditujukan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya yang ada di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat generasi sekarang dan generasi selanjutnya; serta (4) Isu lintas sektor perlindungan anak. Pembangunan perlindungan anak yang dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi seluruh anak Indonesia. Kebijakan lintas bidang ini akan menjadi sebuah rangkaian kebijakan antarbidang yang terpadu, meliputi prioritas, fokus prioritas, serta kegiatan prioritas lintas bidang untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan yang semakin kompleks. Berdasarkan sasaran yang harus dicapai dalam tahun 2011, dan memperhatikan kemajuan yang telah dicapai dalam RPJMN I Tahun , dan perkiraan pelaksanaan tahun 2010, serta berbagai masalah dan tantangan pokok yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2011, maka dalam RKP tahun 2011 ditetapkan 11 (sebelas) prioritas pembangunan nasional. Kesebelas prioritas RKP Tahun 2011 tersebut adalah sebagai berikut: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik; (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Dalam upaya mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas reformasi birokrasi dan tata kelola, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sekitar Rp1,4 triliun. Alokasi anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 17 program prioritas, antara lain: (1) program penataan administrasi kependudukan sebesar Rp1,0 triliun; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis Kejaksaan Republik Indonesia sebesar Rp80,0 miliar; (3) program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sebesar Rp75,0 miliar; (4) program pemberantasan tindak pidana korupsi sebesar Rp43,0 miliar; dan (5) program pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi sebesar Rp38,6 miliar. Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas reformasi birokrasi dan tata kelola dalam tahun 2011 tersebut adalah: (a) makin mantapnya tata kelola pemerintahan yang lebih baik melalui terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum yang berwibawa, dan transparan; serta (b) makin meningkatnya kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai pemerintah yang memadai, dan data kependudukan yang baik. IV-56 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

215 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Untuk mencapai sasaran tersebut, maka arah kebijakan pembangunan reformasi birokrasi dan tata kelola dalam tahun 2011 diarahkan antara lain pada: (1) penataan kelembagaan pemerintahan melalui proses konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian negara/lembaga yang menangani aparatur negara; dan restrukturisasi lembaga pemerintah, khususnya yang menangani bidang keberdayaan UMKM, pengelolaan energi, pemanfaatan sumber daya kelautan, restrukturisasi BUMN hingga pemanfaatan tanah dan penataan ruang bagi kepentingan rakyat; (2) pemantapan pelaksanaan desentralisasi, yang ditandai dengan mantapnya pembagian urusan pemerintahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan, keuangan, dan aparatur pemerintah daerah; serta (3) penyempurnaan manajemen kepegawaian berbasis sistem merit dalam rangka peningkatan kinerja dan profesionalisme pegawai Pendidikan Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas pendidikan, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sekitar Rp52,5 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 9 program prioritas, antara lain: (1) program pendidikan taman kanak-kanak dan pendidikan dasar, dengan alokasi anggaran sebesar Rp20,3 triliun; (2) program pendidikan tinggi sebesar Rp16,7 triliun; (3) program peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan sebesar Rp8,7 triliun; (4) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya sebesar Rp3,1 triliun; serta (5) program pendidikan menengah sebesar Rp2,4 triliun. Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas pendidikan dalam tahun 2011 tersebut adalah: (a) meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas (tahun) menjadi 7,75 tahun; (b) menurunnya angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas menjadi 5,17 persen; serta (c) meningkatnya APM SD/SDLB/MI/Paket A menjadi sebesar 95,3 persen, APM SMP/SMPLB/MTs/Paket B menjadi 74,7 persen, APK SMA/SMK/MA/Paket C menjadi 76,0 persen, dan APK PT usia 19 sampai 23 tahun menjadi 26,1 persen. Untuk mencapai berbagai sasaran tersebut, maka kebijakan pembangunan pendidikan dalam tahun 2011 akan diarahkan antara lain pada: (1) peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata; (2) peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah dan saing pendidikan tinggi; serta (3) peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan Kesehatan Untuk mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas kesehatan, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sekitar Rp11,5 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 9 program prioritas, antara lain: (1) program pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman sebesar Rp6,2 triliun; (2) program pembinaan upaya kesehatan sebesar Rp1,3 triliun; (3) program kefarmasian dan alat kesehatan sebesar Rp1,1 triliun; (4) program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan sebesar Rp1,0 triliun; dan (5) program kependudukan dan Keluarga Berencana sebesar Rp889,5 miliar. Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas kesehatan dalam tahun 2011 tersebut, adalah: (a) meningkatnya pelaksanaan upaya kesehatan masyarakat preventif yang terpadu; (b) meningkatnya persentase ketersediaan obat dan vaksin menjadi sebesar Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -57

216 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat persen, meningkatnya persentase penduduk (termasuk seluruh penduduk miskin) yang memiliki jaminan kesehatan dari 59 persen menjadi 70,3 persen, meningkatnya persentase RS yang melayani pasien penduduk miskin peserta program Jamkesmas menjadi sebesar 80 persen; serta (c) meningkatnya jumlah puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk miskin menjadi sebesar puskesmas. Untuk mencapai berbagai sasaran prioritas kesehatan tersebut maka kebijakan pembangunan kesehatan dalam tahun 2011 akan diarahkan antara lain pada: (1) pelaksanaan program kesehatan preventif terpadu, yang meliputi pemberian imunisasi dasar, penyediaan akses sumber air bersih dan akses terhadap sanitasi dasar berkualitas, serta penurunan tingkat kematian ibu, dan tingkat kematian bayi; (2) revitalisasi program KB melalui peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB; serta (3) penerapan asuransi kesehatan nasional untuk masyarakat miskin dan diperluas secara bertahap untuk seluruh penduduk (universal coverage) Penanggulangan Kemiskinan Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas penanggulangan kemiskinan, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sekitar R49,3 triliun. Alokasi anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 24 program prioritas, antara lain: (1) program koordinasi pengembangan kebijakan kesejahteraan rakyat sebesar Rp15,3 triliun; (2) program pemberdayaan masyarakat dan pemerintah desa sebesar Rp9,6 triliun; (3) program pembinaan upaya kesehatan sebesar Rp5,3 triliun; dan (4) program pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman sebesar Rp7,0 triliun. Memperhatikan pelaksanaan kebijakan dan program, serta capaian hasil, dan permasalahan yang masih dihadapi, maka sasaran tingkat kemiskinan pada tahun 2011 adalah sebesar 11,5-12,5 persen dari jumlah penduduk pada tahun Untuk mencapai sasaran tersebut, maka arah kebijakan untuk mendukung pencapaian sasaran tingkat kemiskinan tersebut dalam tahun 2011 adalah sebagai berikut: (1) mendorong pertumbuhan yang pro-rakyat miskin dengan memberi perhatian khusus pada usaha-usaha yang melibatkan orang-orang miskin dan orang-orang dengan kondisi khusus; (2) meningkatkan kualitas kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan afirmatif/keberpihakan; serta (3) meningkatkan akses usaha mikro dan kecil kepada sumber daya produktif Ketahanan Pangan Dalam upaya mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas ketahanan pangan, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sekitar Rp38,1 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 30 program prioritas, antara lain: (1) program peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu tanaman pangan dengan alokasi anggaran Rp19,0 triliun; (2) program pengelolaan sumber daya air sebesar Rp6,3 triliun; (3) program penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian sebesar Rp2,7 triliun; (4) program pencapaian swasembada daging sapi dan peningkatan penyediaan pangan hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal sebesar Rp1,6 triliun; serta (5) kredit program subsidi non energi Rp1,0 triliun. IV-58 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

217 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas ketahanan pangan dalam tahun 2011 tersebut, adalah: (a) terpeliharanya dan meningkatnya tingkat pencapaian swasembada bahan pangan pokok; (b) terbangunnya dan meningkatnya luas layanan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi; (c) menurunnya jumlah dan persentase penduduk dan daerah yang rentan terhadap rawan pangan; (d) terjaganya stabilitas harga bahan pangan dalam negeri; (e) meningkatnya kualitas pola konsumsi pangan masyarakat dengan skor pola pangan harapan (PPH) menjadi sekitar 88,1; (f) meningkatnya PDB sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan dengan pertumbuhan sekitar 3,7 persen; serta (g) tercapainya indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di atas 105, dan Nilai Tukar Nelayan menjadi 107. Untuk mencapai berbagai sasaran pada prioritas ketahanan pangan tersebut, maka arah kebijakan pembangunan ketahanan pangan pada tahun 2011 akan lebih ditekankan pada: (1) perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan perikanan, khususnya jaringan irigasi serta jalan usaha tani dan produksi di daerah sentra produksi; (2) penyediaan benih/ bibit unggul dan dukungan terhadap pengembangan industri hilir pertanian dan perikanan hasil inovasi penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas hasil pertanian; (3) pemantapan cadangan pangan Pemerintah dan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat; serta (4) jaminan ketersediaan pupuk dan pengembangan pupuk organik melalui perbaikan mekanisme subsidi pupuk Infrastruktur Alokasi anggaran yang direncanakan dalam rangka mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas infrastruktur dalam RAPBN tahun 2011 adalah sekitar R63,6 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 17 program prioritas, antara lain: (1) program penyelenggaraan jalan sebesar Rp25,5 triliun; (2) subsidi/pso dan pembiayaan bidang infrastruktur sebesar Rp20,1 triliun; (3) program pengelolaan sumber daya air sebesar Rp4,3 triliun; (4) program pengelolaan dan penyelenggaraan transportasi laut sebesar Rp3,2 triliun; serta (5) program pengelolaan dan penyelenggaraan transportasi udara sebesar Rp3,1 triliun. Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas infrastruktur dalam tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (a) terlaksananya pembangunan Lintas Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua akan diselesaikan jalan sepanjang kilometer; (b) meningkatnya keselamatan, keamanan dan kualitas pelayanan transportasi yang memadai dan merata guna mewujudkan sistem logistik nasional yang menjamin distribusi bahan pokok, bahan strategis dan nonstrategis untuk seluruh masyarakat; serta (c) terlaksananya penyelesaian pembangunan prasarana pengendalian banjir, diantaranya Kanal Banjir Timur Jakarta dan penanganan secara terpadu daerah aliran sungan Bengawan Solo. Dalam rangka mendukung tercapainya berbagai sasaran pada prioritas pembangunan infrastruktur dalam tahun 2011 tersebut, maka arah kebijakan pembangunan infrastruktur akan lebih difokuskan antara lain pada: (1) pembangunan jalan lintas strategis nasional dan terintegrasi dalam suatu sistem transportasi nasional dan regional yang mampu menghubungkan wilayah-wilayah strategis dan kawasan cepat tumbuh, serta outlet-outlet (pelabuhan dan bandara) untuk meningkatkan perekonomian nasional; (2) pengembangan sarana dan prasarana transportasi yang mendukung pengembangan daerah pariwisata dan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -59

218 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 sentra-sentra produksi pertanian dan industri; serta (3) percepatan penyelesaian pembangunan sarana dan prasarana pengendali banjir Iklim Investasi dan Iklim Usaha Untuk mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas iklim investasi dan iklim usaha, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sekitar Rp1,9 triliun. Alokasi anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 16 program prioritas, antara lain: (1) program pengelolaan dan penyelenggaraan transportasi laut sebesar Rp455,6 miliar; (2) program pengelolaan pertanahan nasional sebesar Rp397,5 miliar; (3) pengawasan, pelayanan, dan penerimaan di bidang kepabeanan dan cukai sebesar Rp272,5 miliar; (4) program sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan iklim usaha dalam rangka penciptaan lapangan kerja sebesar Rp227,5 miliar; serta (5) program pengembangan perdagangan dalam negeri Rp188,0 miliar. Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran untuk prioritas iklim investasi dan iklim usaha dalam tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (a) tercapainya pertumbuhan investasi dalam bentuk pembentukan modal tetap bruto (PMTB) pada tahun 2011 sebesar 10,9 persen; (b) menurunnya tingkat pengangguran terbuka hingga 7,3 persen; dan (c) terciptanya 2,2-2,5 juta kesempatan kerja baru, dan angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja diperkirakan 2,0 juta orang. Dalam rangka mendukung pencapaian berbagai sasaran pada prioritas iklim investasi dan iklim usaha dalam tahun 2011 tersebut, maka arah kebijakan prioritas iklim investasi dan iklim usaha akan dipusatkan untuk: (1) mensosialisasikan rancangan amandemen UU No. 13/2003 kepada serikat pekerja, asosiasi pengusaha, perusahaan, lembaga legislatif tingkat Propinsi, dan Kabupaten/Kota; (2) meningkatkan kualitas hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja dalam rangka mendorong pencapaian proses negosiasi bipartite, dengan meningkatkan teknik-teknik bernegosiasi; serta (3) memperkuat kapasitas organisasi serikat pekerja dan asosiasi pengusaha Energi Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran-sasaran pembangunan pada prioritas energi, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sekitar Rp10,9 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 9 program prioritas, antara lain: (1) program pengelolaan listrik dan pemanfaatan energi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp10,2 triliun; (2) program pengelolaan dan penyediaan minyak dan gas bumi sebesar Rp475,5 miliar; (3) program pembinaan dan pengusahaan mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah sebesar Rp91,8 miliar; (4) program penelitian pengembangan dan penerapan teknologi nuklir, isotop, dan radiasi sebesar Rp86,5 miliar; serta (5) program pengkajian dan penerapan teknologi sebesar Rp34,5 miliar. Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas energi dalam tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (a) tercapainya komposisi bauran energi yang sehat dengan menurunnya persentase pemanfaatan energi fosil dan meningkatnya persentase energi baru terbarukan (EBT); (b) berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi dan sumberdaya manusia nasional yang mendukung industri energi dan ketenagalistrikan nasional; serta (c) tercapainya produksi minyak bumi sebesar 970 (MBOPD) dan produksi gas bumi sebesar (MBOPD); IV-60 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

219 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Untuk mencapai berbagai sasaran tersebut, maka arah kebijakan pembangunan energi tahun 2011 akan lebih ditekankan antara lain pada: (1) diversifikasi energi serta peningkatan efisiensi dan konservasi energi yang diarahkan guna penganekaragaman pemanfaatan energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; (2) pengembangan dan peningkatan kerjasama pemerintah dan swasta dalam pembangunan dan pemanfaatan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan guna mendorong peran serta pemerintah daerah, swasta, koperasi dan badan usaha lainnya; dan (3) terjaminnya keamanan pasokan energi dengan meningkatkan (intensifikasi) eksplorasi dan optimalisasi produksi minyak dan gas bumi, serta eksplorasi untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi, termasuk gas metana batubara Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana Anggaran yang dialokasikan dalam upaya mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas lingkungan hidup dan pengelolaan bencana dalam RAPBN tahun 2011 adalah sekitar Rp4,7 triliun. Alokasi anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 12 program prioritas, antara lain: (1) program peningkatan fungsi dan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis pemberdayaan masyarakat sebesar Rp2,8 triliun; (2) program penanggulangan bencana sebesar Rp522,9 miliar; (3) program pengembangan dan pembinaan meteorologi, klimatologi, dan geofisika sebesar Rp402,0 miliar; (4) program pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan alokasi anggaran Rp278,0 miliar; serta (5) program konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan sebesar Rp275,0 miliar. Sasaran yang akan dicapai terkait upaya dan prioritas lingkungan hidup dan pengelolaan bencana dalam tahun 2011, antara lain adalah: (a) berkurangnya lahan kritis melalui rehabilitasi dan reklamasi hutan, peningkatan pengelolaan kualitas ekosistem lahan gambut, terus ditingkatkannya kualitas kebijakan konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan yang terpadu, evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bersifat lintas K/L, serta dukungan terhadap penelitian dan pengembangan untuk penurunan gas rumah kaca dan adaptasi perubahan iklim; (b) terjaganya kelestarian SDA dan LH dan kemampuan SDA dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, meningkatnya kapasitas sumber daya manusia pengelola lingkungan, serta tersedianya data dan informasi kualitas SDA dan LH sebagai dasar perencanaan pembangunan; dan (c) terlaksananya penyelamatan dan evakuasi korban bencana yang cepat efektif dan terpadu. Arah kebijakan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaan bencana tersebut dalam tahun 2011 antara lain adalah: (1) mengembangkan proses rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, yang disertai dengan menguatnya partisipasi aktif masyarakat, memantapkan kelembagaan dan kapasitas antisipatif serta penanggulangan bencana di setiap tingkatan pemerintahan; (2) meningkatkan akurasi jangkauan dan kecepatan penyampaian informasi dengan menambah dan membangun jaringan observasi, telekomunikasi dan sistem kalibrasi, dan pendirian Pusat Basis Data dan informasi yang terintegrasi; serta (3) membentuk tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan alat transportasi yang memadai dengan basis 2 lokasi strategis (Jakarta-Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -61

220 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik Untuk mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca-konflik, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sebesar Rp11,8 triliun. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 23 program prioritas, antara lain: (1) program peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp6,9 triliun; (2) program percepatan pembangunan daerah tertinggal sebesar Rp957,0 miliar; (3) program penyelenggaraan pos dan informatika sebesar Rp779,9 miliar; (4) program pembangunan dan pemberdayaan SDM kesehatan sebesar Rp551,2 miliar; serta (5) pembangunan kawasan transmigrasi Rp469,4 miliar. Sasaran pembangunan yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca-konflik dalam tahun 2011, meliputi: (a) terwujudnya kedaulatan wilayah nasional, yang ditandai dengan kejelasan dan ketegasan batas-batas wilayah negara; (b) berfungsinya Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan; serta (c) meningkatnya kondisi perekonomian kawasan perbatasan, yang ditandai dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di 38 kabupaten/kota perbatasan, yang diprioritaskan penanganannya, khususnya pada 27 kabupaten perbatasan yang tergolong daerah tertinggal. Untuk mencapai berbagai sasaran tersebut, maka arah kebijakan yang akan dilaksanakan untuk mendukung prioritas daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca-konflik dalam tahun 2011, antara lain adalah: (1) penyelesaian penetapan dan penegasan batas wilayah negara; (2) peningkatan pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan; serta (3) penguatan kapasitas kelembagaan dalam pengembangan kawasan perbatasan secara terintegrasi Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran-sasaran prioritas kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi, dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran sebesar Rp484,7 miliar. Alokasi anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan 8 program prioritas, antara lain: (1) peningkatan kemampuan iptek untuk penguatan sistem inovasi nasional sebesar Rp162,0 miliar; (2) program kesejarahan, kepurbakalaan, dan permuseuman sebesar Rp104,0 miliar; (3) program pengembangan nilai budaya, seni, dan perfilman sebesar Rp80,6 miliar; (4) program pengembangan sumber daya budaya dan pariwisata sebesar Rp49,8 miliar; serta (5) program pengembangan perpustakaan sebesar Rp47,0 miliar. Sasaran yang akan dicapai dengan alokasi anggaran pada prioritas kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi dalam tahun 2011 tersebut, adalah: (1) meningkatnya perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program-program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat, dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; (2) meningkatnya penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pergelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten; serta (3) terlaksananya penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi museum dan perpustakaan di seluruh Indonesia sebelum Oktober 2011; Untuk mendukung pencapaian berbagai sasaran pada prioritas pembangunan kebudayaan dan pembangunan iptek, kebijakan pada prioritas pembangunan kebudayaan dan pembangunan iptek dalam tahun 2011 akan lebih diarahkan untuk: (1) meningkatkan upaya IV-62 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

221 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV pengembangan dan perlindungan warisan budaya dan karya seni; (2) mendorong berkembangnya apresiasi masyarakat terhadap kemajemukan budaya untuk memperkaya khazanah artistik dan intelektual bagi tumbuh-mapannya jati diri bangsa; serta (3) meningkatnya kapasitas nasional untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi, serta memudahkan akses dan penggunaannya oleh masyarakat luas. 4.4 Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat RAPBN Kebijakan Umum Belanja Pemerintah Pusat RAPBN Tahun 2011 Kebijakan dan alokasi anggaran belanja negara memiliki peranan yang sangat strategis, sebagai salah satu instrumen fiskal dalam mencapai berbagai tujuan dan sasaran-sasaran pembangunan sesuai dengan visi, misi dan platform Presiden terpilih. Peranan strategis kebijakan anggaran belanja negara tersebut dilakukan melalui fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Agar diperoleh hasil yang maksimal, pengelolaan kebijakan dan alokasi anggaran belanja negara tersebut harus dilakukan secara hati-hati selaras dengan arah dan agenda pembangunan yang telah digariskan dalam rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan jangka pendek (tahunan). Rancangan anggaran belanja negara dalam RAPBN tahun 2011, sesuai dengan amanat Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, disusun sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai bagian integral dari anggaran belanja negara, maka alokasi anggaran belanja pemerintah pusat tahun 2011 disusun dengan mengacu pada pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, serta arah kebijakan dan prioritas pembangunan dalam RKP Karena itu, RKP tahun 2011, menjadi pedoman bagi penyusunan kebijakan pembangunan berikut rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga pada tahun Sejalan dengan arah kebijakan pembangunan RPJMN , dalam RKP 2011 digariskan sasaran pembangunan tahun 2011, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam: (1) sasaran pembangunan kesejahteraan, (2) sasaran perkuatan pembangunan demokrasi, dan (3) sasaran penegakan hukum. Selanjutnya, berdasarkan sasaran-sasaran strategis dan arah kebijakan yang akan dicapai pada tahun 2011, serta sejalan dengan masalah dan tantangan yang harus dihadapi dalam tahun 2011 mendatang, maka Pemerintah bersama-sama dengan DPR dalam forum pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun 2011 telah sepakat untuk menetapkan Tema Pembangunan nasional dalam RKP Tahun 2011, yaitu Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan Didukung oleh Pemantapan Tatakelola dan Sinergi Pusat Daerah. Sesuai dengan tema tersebut, telah ditetapkan 11 (sebelas) prioritas pembangunan nasional dalam RKP tahun 2011, yaitu: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca Konflik; serta (11) Kebudayaan, Kreativitas; dan Inovasi Teknologi. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -63

222 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Dengan mengacu kepada sasaran strategis, arah kebijakan, dan prioritas pembangunan dalam RKP tahun 2011, maka kebijakan belanja negara dalam tahun 2011 akan diarahkan untuk memberikan dorongan terhadap perekonomian dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal, menjaga stabilitas perekonomian, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara. Sesuai dengan arah kebijakan tersebut, maka alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2011 akan lebih difokuskan untuk memberikan dukungan terhadap: (1) pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi; (2) pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas antara lain melalui pembangunan infrastruktur; (3) perlindungan sosial melalui perluasan akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan (Jamkesmas); (4) pemberdayaan masyarakat antara lain melalui PNPM mandiri dan Program Keluarga Harapan; (5) perbaikan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan; (6) pengalokasian anggaran subsidi yang lebih tepat sasaran; serta (7) pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang secara tepat waktu. Terkait dengan layanan pendidikan, sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2011, mekanisme penyaluran dana BOS yang selama ini dialokasikan melalui anggaran Kementerian Pendidikan Nasional, mulai tahun 2011 direalokasi menjadi bagian dari anggaran transfer ke daerah mengikuti pola desentralisasi fiskal, dengan pertimbangan bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar merupakan urusan daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut di atas, maka alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mencapai Rp823,6 triliun (11,8 persen dari PDB). Jumlah ini berarti lebih tinggi sebesar Rp42,1 triliun, atau 5,4 persen bila dibandingkan dengan volume anggaran belanja pemerintah pusat dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp781,5 triliun (12,5 persen dari PDB). Peningkatan volume anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2011 tersebut terutama berkaitan dengan meningkatnya alokasi anggaran belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, dan pembayaran bunga utang. Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2011 tersebut, akan digunakan terutama untuk mendukung pendanaan bagi berbagai program pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh kementerian negara/lembaga (belanja K/L) sesuai tugas dan fungsi masing-masing K/L, maupun program-program yang bersifat lintas sektoral, dan/atau belanja non-k/l, sesuai dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan dalam RKP Tahun Selanjutnya, sesuai dengan amanat pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka anggaran belanja pemerintah pusat dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan K/L pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan berdasarkan UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku. Sementara itu, rincian anggaran belanja negara menurut fungsi terdiri atas fungsi: (1) pelayanan umum; (2) pertahanan; (3) ketertiban dan keamanan; (4) ekonomi; (5) lingkungan hidup; (6) perumahan dan fasilitas umum; (7) kesehatan; (8) pariwisata dan budaya; (9) agama; (10) pendidikan; dan (11) perlindungan sosial. Selanjutnya, rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi), terdiri atas: (1) belanja pegawai; (2) belanja barang; (3) belanja modal; (4) pembayaran bunga utang; (5) subsidi; (6) belanja hibah; (7) bantuan sosial; dan (8) belanja lain-lain. IV-64 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

223 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi, RAPBN tahun 2011 Dari alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2011 sebesar Rp823,6 triliun, alokasi anggaran untuk belanja K/L direncanakan mencapai Rp410,4 triliun (5,9 persen terhadap PDB), sedangkan alokasi belanja non-k/l (bagian anggaran bendahara umum negara) direncanakan sebesar Rp413,2 triliun (5,9 persen terhadap PDB). Dengan demikian, alokasi anggaran belanja K/L dalam Triliun (Rp) RAPBN tahun 2011 tersebut menunjukkan peningkatan sebesar Rp44,3 triliun atau 12,1 persen bila dibandingkan dengan pagunya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp366,1 triliun (5,8 persen terhadap PDB). Peningkatan alokasi anggaran belanja K/L yang cukup signifikan dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berkaitan dengan kerangka strategi upfront loading dalam pendanaan RPJMN Landasan berpikir dari strategi tersebut adalah bahwa pada awal pemulihan dari krisis ekonomi, belanja Pemerintah merupakan stimulan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sehingga pada tahun-tahun awal pelaksanaan RPJMN diperlukan daya dorong belanja yang cukup besar, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Namun demikian, peningkatan alokasi anggaran tersebut menuntut perbaikan kualitas belanja, baik dalam tahap perencanaan, penganggaran, maupun pertanggungjawabannya, agar diperoleh manfaat yang optimal berkaitan dengan pencapaian sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam RKP Berkaitan dengan itu, alokasi anggaran belanja K/L akan lebih diarahkan pada berbagai kegiatan yang secara efektif dapat memberikan dampak dan/atau kontribusi langsung bagi pencapaian sasaransasaran pembangunan. Sejalan dengan upaya tersebut, dalam rangka meningkatkan kinerja satuan kerja sebagai unit business terkecil dalam proses perencanaan dan penganggaran, sejak tahun 2009, Pemerintah telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja (PBK), dan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) kepada beberapa K/L yang dipilih sebagai pilot project. Sebagai kelanjutan dari reformasi penganggaran tersebut, pada tahun 2011, akan diterapkan PBK dan KPJM secara penuh kepada seluruh K/L. Pelaksanaan kebijakan PBK dan KPJM ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengamanatkan agar sistem perencanaan dan sistem penganggaran merupakan serangkaian kebijakan yang harus bersifat saling melengkapi (complementary policy) untuk menjamin terselenggaranya proses pembangunan nasional dan pengalokasian sumber daya pendanaan yang paling efektif. PBK merupakan pendekatan dalam sistem penganggaran yang menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran dari program/kegiatan dengan meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang terbatas. Dibandingkan dengan sistem penganggaran konvensional yang lebih berorientasi pada masukan (input based), sistem penganggaran berbasis kinerja lebih berorientasi pada keluaran dan hasil (output based). Penganggaran berbasis kinerja dapat mengukur tingkat efisiensi penggunaan sumber daya, 4.3 Sumber: Kementerian Keuangan GRAFIK IV.28 PERKEMBANGAN ANGGARAN BELANJA K/L, TAHUN APBN-P 2010 Belanja K/L % thd PDB RAPBN 2011 Persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -65

224 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 GRAFIK IV.29 PROPORSI ANGGARAN BELANJA 10 KL TERBESAR TAHUN 2011 Kemenhan, 10.6% Kemenag, 7.3% Polri, 6.6% Triliun (Rp) GRAFIK IV.30 ALOKASI ANGGARAN BELANJA 10 KL TERBESAR, TAHUN Kemenkes, 6.2% Kemendiknas, 11.8% Kemenhub, 5.0% Kementan, 3.9% Kemen PU, 13.3% Sumber: Kementerian Keuangan Kemenkeu, 3.9% Kemen ESDM, 3.6% pencapaian hasil dan keluaran, serta efisiensi proses transformasi sumber daya menjadi keluaran melalui indikator kinerja sumber daya (input), indikator kinerja keluaran (output), dan indikator kinerja hasil (outcome). Di samping itu, PBK dapat memberikan arah dalam menyusun program dan kegiatan yang akan dilaksanakan, sehingga terbentuk hubungan yang jelas antara kebijakan dan hasil yang diharapkan dari suatu program, dengan kondisi yang diinginkan untuk mencapai sasaran program berupa output dan kegiatan tahunan, serta kegiatan dan keluarannya, beserta masukan (sumber daya) yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Dengan demikian, sistem penganggaran berbasis kinerja akan menjamin tersedianya pendanaan bagi program-program Pemerintah secara berkesinambungan (sustainable) yang dialokasikan berdasarkan jenis belanja secara efektif dan efisien, baik yang bersifat komitmen maupun yang bersifat kebijakan sesuai dengan skala prioritas (Renstra/RKP) dengan target atau sasaran yang jelas dan terukur, serta terjamin akuntabilitasnya, baik dalam mencapai target dan sasaran program, maupun dalam menggunakan sumber daya, yang tercermin dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang akuntabel. Selanjutnya, untuk lebih memantapkan penerapan reformasi penganggaran tersebut, dalam RAPBN tahun 2011 telah dilakukan penuntasan restrukturisasi program dan kegiatan K/L, termasuk rumusan outcome, output, indikator kinerja dengan pendekatan struktur organisasi dan tugas fungsi masing-masing unit organisasi secara spesifik. Hasil dari restrukturisasi program tersebut telah digunakan dalam penyusunan RPJMN dan Renstra K/L tahun , serta mulai diimplementasikan dalam penyusunan RKP, Renja K/L, RKA- KL, dan DIPA tahun Restrukturisasi program tersebut dilakukan dengan mengacu pada dua prinsip, yaitu: (1) prinsip akuntabilitas kinerja kabinet (perencanaan kebijakan/ policy planning), yang merupakan keterkaitan yang jelas antara program dan kegiatan dengan upaya pencapaian sasaran pembangunan sesuai dengan platform Kabinet/ Pemerintah; (2) prinsip akuntabilitas kinerja organisasi, yang merupakan keterkaitan antara tugas dan fungsi organisasi (struktur organisasi) dengan struktur program dan kegiatan (struktur anggaran). Kedua prinsip tersebut ditujukan untuk meningkatkan keterkaitan antara ketersediaan pendanaan dengan akuntabilitas kinerja, baik di tingkat kabinet/ Pemerintah maupun di tingkat K/L. Berdasarkan kerangka acuan tersebut, maka terdapat dua jenis program yang akan dilaksanakan oleh masing-masing unit di lingkungan K/L, yaitu program teknis dan program generik. Program teknis yaitu program yang menghasilkan pelayanan kepada kelompok sasaran/masyarakat (eksternal), sedangkan program generik, adalah program yang mendukung pelayanan aparatur dan/atau administrasi pemerintah (internal) dan memiliki karakteristik sejenis pada setiap K/L. - Ke men PU Kemendiknas Kemenhan Kemenag Polri Kemenkes Kemenhub Kementan Kemenkeu Kemen ESDM Sumber: Kementerian Keuangan APBN-P 2010 RAPBN 2011 IV-66 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

225 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Selain itu, untuk meningkatkan disiplin dan kinerja K/L, pada tahun anggaran 2011, Pemerintah akan menerapkan sistem reward dan punishment atas pelaksanaan APBN tahun Pelaksanaan reward dan punishment tersebut, pada dasarnya sudah mulai diterapkan dalam APBN-P 2010 untuk pelaksanaan stimulus fiskal tahun 2009, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN Tahun Anggaran Dalam APBN-P 2010 tersebut, terdapat dua K/L yang mendapat punishment berupa pemotongan pagu anggaran, yaitu Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Untuk tahun 2011, Pemerintah akan memberikan reward berupa tambahan pagu bagi K/L yang mampu melakukan optimalisasi penggunaan anggaran dan/atau dapat mencapai sasaran/target yang ditetapkan dengan biaya yang lebih rendah dari yang direncanakan pada tahun anggaran Sebaliknya, bagi K/L yang tidak dapat menyerap anggaran, dan tidak dapat memenuhi sasaran/target yang telah ditetapkan dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka pagunya akan dikurangi. Dengan pelaksanaan reward dan punishment tersebut, diharapkan kinerja penyerapan anggaran belanja K/L dapat meningkat dan pelaksanaan APBN dapat lebih efisien. Sejalan dengan kemampuan keuangan negara dan penerapan berbagai kebijakan penganggaran tersebut, rencana alokasi anggaran dan sasaran keluaran serta hasil dari masing-masing K/L diuraikan sebagai berikut. Majelis Permusyawaratan Rakyat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp340,8 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat Rp80,5 miliar atau 30,9 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja MPR dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp260,3 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja MPR tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pelaksanaan tugas konstitusional MPR dan alat kelengkapannya, dengan alokasi anggaran sebesar Rp253,5 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya MPR, dengan alokasi anggaran sebesar Rp48,8 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur MPR, dengan alokasi anggaran sebesar Rp38,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika; serta (2) bertambahnya dukungan teknis dan administrasi persidangan MPR dan alat kelengkapannya 100 persen. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh MPR pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain: (1) meningkatnya kualitas pelayanan administrasi MPR dan alat kelengkapannya; (2) tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, baik dalam lingkup MPR maupun Sekretariat Jenderal MPR; serta (3) terlaksananya tugas konstitusional MPR dan alat kelengkapannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan Perwakilan Rakyat Alokasi anggaran untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp2,8 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat Rp399,4 miliar atau 16,8 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja DPR dalam APBN-P 2010 sebesar Rp2,4 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja DPR dalam RAPBN 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -67

226 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 DPR RI sebesar Rp1,3 triliun; (2) program penguatan kelembagaan DPR RI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp893,3 miliar; serta (3) program pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp279,3 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) meningkatnya persentase kepuasan anggota DPR terhadap kinerja Setjen mencapai 75 persen; (2) persentase hasil analisis dan surat tindak lanjut pengaduan masyarakat yang akuntabel dan tepat waktu mencapai 85 persen; serta (3) terlaksananya harmonisasi RUU dan pemantauan UU mencapai 90 persen. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh DPR pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain: (1) terlaksananya penerapan manajemen yang terintegrasi dengan data yang up to date dan akurat pada perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pelaporan; (2) terfasilitasinya dukungan penguatan kelembagaan DPR RI; serta (3) terfasilitasinya Dewan dalam penyusunan UU. Badan Pemeriksa Keuangan Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp2,8 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp459,5 miliar atau 20,0 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja BPK dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp2,3 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja BPK dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp2,7 triliun, PHLN sebesar Rp15,9 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp0,7 miliar. Alokasi anggaran pada BPK dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BPK, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,1 trilun; (2) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BPK, dengan alokasi anggaran sebesar Rp857,8 miliar; serta (3) program pemeriksaan keuangan negara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp670,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) tercapainya skor opini laporan keuangan sebesar 2,99 poin; (2) tercapainya persentase jumlah temuan krusial yang berulang sebesar 15 persen; serta (3) tercapainya tingkat kehandalan pengukuran dan evaluasi kinerja Satker sebesar 85 persen. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BPK pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain: (1) meningkatnya cakupan dan mutu pemeriksaan keuangan negara dan pemantauan kerugian negara; (2) meningkatnya efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumber daya dalam rangka terwujudnya organisasi prima; serta (3) terlaksananya sistem pengendalian mutu, serta meningkatnya efektivitas penanganan pelanggaran kode etik dan disiplin pegawai. Mahkamah Agung Alokasi anggaran untuk Mahkamah Agung dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp6,1 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat Rp835,4 miliar atau 16,0 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja Mahkamah Agung dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp5,2 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Mahkamah Agung dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Mahkamah Agung, dengan alokasi anggaran sebesar Rp4,4 triliun; (2) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Mahkamah Agung, IV-68 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

227 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,3 triliun; serta (3) program peningkatan manajemen peradilan umum, dengan alokasi anggaran sebesar Rp149,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) terlaksananya rekruitmen yang transparan, adil, akuntabel dan berdasarkan kompetensi pada 806 satker; (2) tersedianya sarana dan prasarana untuk mendukung penyelenggaraan Zitting Plaatz di 50 lokasi; serta (3) terselesaikannya administrasi perkara (yang sederhana dan tepat waktu) di tingkat Pertama dan Banding di lingkungan Peradilan Umum sebanyak perkara banding, perkara tingkat 1, dan perkara tipiring. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain: (1) meningkatnya dukungan manajemen dan tugas teknis dalam penyelenggaraan fungsi peradilan; (2) tersedianya sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan peradilan tingkat banding dan tingkat pertama; serta (3) terselesaikannya penyelesaian perkara yang sederhana, tepat waktu, transparan, dan akuntabel di lingkungan Peradilan Umum. Kejaksaan Agung Dalam RAPBN tahun 2011, Kejaksaan Agung direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp2,6 triliun. Jumlah ini secara nominal menurun sebesar Rp295,2 miliar atau 10,0 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja Kejaksaan Agung dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp2,9 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kejaksaan Agung dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kejaksaan RI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,5 triliun; (2) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kejaksaan RI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp553,4 miliar; serta (3) program penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana umum, dengan alokasi anggaran sebesar Rp363,1 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) tercapainya dukungan manajemen SDM, keuangan, informasi, dan data peraturan perundang-undangan; (2) terselesaikannya penanganan perkara pidana umum secara cepat,tepat dan akuntabel; serta (3) terselesaikannya penanganan perkara pidana khusus, pelanggaran HAM yang berat dan perkara tindak pidana korupsi secara cepat, tepat, dan akuntabel. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain: (1) meningkatnya kemampuan profesional di bidang SDM, keuangan, informasi, dan data peraturan perundang-undangan; (2) meningkatnya penyelesaian perkara pidana khusus, pelanggaran HAM yang berat dan perkara tindak pidana korupsi; serta (3) meningkatnya penyelesaian perkara pidana umum. Sekretariat Negara Sekretariat Negara dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat anggaran sebesar Rp2,2 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp246,3 miliar atau 12,9 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja Sekretariat Negara dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,9 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Sekretariat Negara dalam RAPBN tahun 2011 tersebut, bersumber dari rupiah murni sebesar Rp1,9 triliun dan pagu penggunaan PNBP/BLU sebesar Rp215,6 miliar. Alokasi anggaran pada Sekretariat Negara dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Sekretariat Negara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,5 triliun; (2) program peningkatan sarana dan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -69

228 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 prasarana aparatur Sekretariat Negara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp548,0 miliar; serta (3) program penyelenggaran pelayanan dukungan kebijakan kepada Presiden dan Wakil Presiden, dengan alokasi anggaran sebesar Rp82,1 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) meningkatnya kualitas penanganan pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada Presiden dan atau Menteri Sekretaris Negara; (2) terselenggaranya hubungan yang harmonis dan sinergis antara Menteri Sekretaris Negara/Presiden, baik dengan Lembaga-lembaga Negara, Lembaga-lembaga Daerah, Organisasi Politik, Organisasi Kemasyarakatan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); serta (3) terselenggaranya kerjasama teknik luar negeri dan program kerja sama teknik selatan-selatan yang cepat, tepat dan aman. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Sekretariat Negara pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain: (1) meningkatnya akuntabilitas kinerja dan penanganan pengaduan masyarakat; (2) meningkatnya hubungan dengan lembaga/instansi terkait; serta (3) meningkatnya pelayanan kerjasama teknik luar negeri. Kementerian Dalam Negeri Alokasi anggaran Kementerian Dalam Negeri dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp13,3 triliun. Jumlah ini turun sebesar Rp111,5 miliar atau 0,8 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp13,4 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Dalam Negeri tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp11,5 triliun, PHLN sebesar Rp1,7 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp26,1 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Dalam Negeri dalam tahun 2010 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa, dengan alokasi anggaran sebesar Rp10,0 triliun; (2) program penataan administrasi kependudukan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,1 triliun; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kementerian Dalam Negeri, dengan alokasi anggaran sebesar Rp519,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai program tersebut, antara lain: (1) terlaksananya penerapan PNPM-MP dan penguatan PNPM yang mencakup kecamatan; (2) jumlah penduduk yang menerima e-ktp berbasis NIK dengan perekaman sidik jari mencapai 24,75 juta jiwa di 75 kab/kota; serta (3) tersedianya satu Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai turunan dari revisi UU No. 32 Tahun Berdasarkan berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2011, maka outcome yang diharapkan adalah: (1) terlaksananya pelayanan percepatan penanggulangan kemiskinan, dan pengangguran di kecamatan dan desa (PNPM-Perdesaan) sesuai standar; (2) terlaksananya tertib administrasi kependudukan dengan tersedianya data dan informasi penduduk yang akurat dan terpadu; serta (3) terpenuhinya sarana dan prasarana sesuai kebutuhan dan terlaksananya pengelolaan sarana dan prasarana kementerian. Kementerian Luar Negeri Kementerian Luar Negeri dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp5,6 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp70,1 miliar atau 1,3 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Luar Negeri IV-70 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

229 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp5,6 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Luar Negeri dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp5,4 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp219,2 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Luar Negeri dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Luar Negeri, dengan alokasi anggaran sebesar Rp4,6 triliun; (2) program peningkatan peran dan diplomasi Indonesia di bidang multilateral, dengan alokasi anggaran sebesar Rp382,3 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kementerian Luar Negeri, dengan alokasi anggaran sebesar Rp371,6 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) terselenggaranya 22 kegiatan terkait pelaksanaan pertemuan resmi ASEAN dimana Indonesia menjadi ketua ASEAN pada 2011; (2) tercapainya tingkat keberhasilan rekomendasi/gagasan Pemerintah RI yang diterima dalam sidang terkait penanganan isu-isu multilateral dan pemajuan kerjasama multilateral mencapai 70 persen; serta (3) tercapainya tingkat pelayanan keprotokolan, kekonsuleran, fasilitas diplomatik dan perlindungan WNI/BHI yang memadai dan tepat waktu hingga 100 persen. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain: (1) meningkatnya peran dan kepemimpinan Indonesia dalam pembentukan Komunitas ASEAN di bidang politik dan keamanan, ekonomi, dan sosial budaya; (2) meningkatnya peran dan diplomasi Indonesia dalam penanganan isu multilateral; serta (3) meningkatnya kualitas pelayanan keprotokolan dan kekonsuleran, informasi dan diplomasi publik. Kementerian Pertahanan Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Pertahanan direncanakan memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp45,2 triliun. Jumlah ini secara nominal naik sebesar Rp2,3 triliun, atau 5,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran Kementerian Pertahanan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp42,9 triliun. Rencana alokasi anggaran tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp38,8 triliun, dan PHLN/PDN sebesar Rp6,4 triliun. Alokasi anggaran Kementerian Pertahanan dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain untuk: (1) program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra darat, dengan alokasi anggaran sebesar Rp17,9 triliun; (2) program penyelenggaraan manajemen dan operasional matra laut, dengan alokasi anggaran sebesar Rp4,6 triliun; serta (3) program modernisasi alutsista dan non alutsista serta pengembangan fasilitas dan sarpras matra udara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,6 triliun. Output yang diharapkan dari berbagai program tersebut, antara lain: (1) persentase peningkatan/penambahan alutsista, non alutsista, fasilitas serta sarpras matra udara mencapai 15 persen; (2) peningkatan/penambahan alutsista, non alutsista, fasilitas serta sarpras Matra Darat terhadap MEF mencapai 20 persen; serta (3) persentase kesiapan dan penambahan material/bekal alutsista dan non alutsista serta fasilitas dan sarana prasarana pertahanan negara matra laut mencapai 30 persen. Outcome yang diharapkan dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan pada tahun 2011 diantaranya adalah terlaksananya modernisasi dan peningkatan alutsista dan fasilitas/sarpras dalam rangka pencapaian sasaran pembinaan kekuatan serta kemampuan TNI AU, TNI AD, dan TNI AL. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -71

230 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp4,9 triliun. Jumlah ini secara nominal menurun sebesar Rp467,4 miliar atau 8,8 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp5,3 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp4,3 triliun, PHLN sebesar Rp144,5 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp457,0 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 3,4 triliun; (2) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan alokasi anggaran sebesar Rp518,2 miliar; serta (3) program peningkatan pelayanan dan pengawasan keimigrasian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp378,9 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai program dan kegiatan tersebut, meliputi antara lain: (1) meningkatnya pelayanan dokumen perjalanan, visa dan fasilitas keimigrasian yang memenuhi standar dan akurat sebesar 40 persen; (2) terlaksananya formasi pegawai yang mengikuti pendidikan dasar keimigrasian dan teknis keimigrasian hingga 100 persen; serta (3) terlaksananya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana dari unit kerja yang secara tepat waktu dan akuntabel sesuai anggaran. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain: (1) terpenuhinya standar pelayanan prima dan tercapainya target kinerja dengan administrasi yang akuntabel; (2) meningkatnya perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pelaporan secara tepat waktu dan terintegrasi, serta berdasarkan data yang akurat; serta (3) terpenuhinya sarana dan prasarana yang menunjang tupoksi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kementerian Keuangan Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Keuangan direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp16,5 triliun. Jumlah ini naik sebesar Rp1,1 triliun atau 7,1 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Keuangan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp15,4 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Keuangan dalam RAPBN tahun 2010 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp16,0 triliun, PHLN sebesar Rp432,4 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp37,0 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Keuangan dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Keuangan, dengan alokasi sebesar Rp6,2 triliun; (2) program peningkatan dan pengamanan penerimaan pajak, dengan alokasi anggaran sebesar Rp5,4 miliar; serta (3) program pengawasan, pelayanan, dan penerimaan di bidang kepabeanan dan cukai, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,9 triliun. Output yang diharapkan dari berbagai program tersebut, antara lain: (1) persentase penyelesaian proses bisnis/sop terhadap proses bisnis/sop yang harus dibuat mencapai 100 persen; (2) pencapaian target penerimaan bea dan cukai mencapai 100 persen; serta (3) dapat diselesaikannya LKPP (unaudited) secara tepat waktu. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan pada tahun IV-72 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

231 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan diantaranya adalah: (1) meningkatnya penerimaan pajak dan bea cukai yang optimal; (2) terselenggaranya pengelolaan kekayaan negara, penyelesaian pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang yang profesional, tertib, tepat guna, dan optimal serta mampu membangun citra baik bagi stakeholder; serta (3) meningkatnya pengelolaan keuangan negara secara profesional, transparan, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan. Kementerian Pertanian Kementerian Pertanian dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran Rp16,8 triliun. Jumlah ini naik sebesar Rp7,9 triliun atau 89,0 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp8,9 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp16,1 triliun, PHLN sebesar Rp620,1 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp79,7 miliar. Anggaran belanja Kementerian Pertanian dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,8 triliun; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Pertanian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,5 triliun; serta (3) program pencapaian swasembada daging sapi dan peningkatan penyediaan pangan hewani yang aman, sehat, utuh dan halal, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,2 triliun. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) terlaksananya optimasi, konservasi, rehabilitasi dan reklamasi lahan seluas Ha; (2) tersedianya jalan sepanjang km untuk JUT dan jalan produksi, serta tersedianya data bidang tanah petani yang layak disertifikasi; serta (3) meningkatnya produksi dan produktivitas ternak menjadi ekor sapi. Berdasarkan berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan adalah: (1) meningkatnya pelayanan teknis pertanian terkait penyediaan data dan sistem informasi pertanian, pembiayaan pertanian, perijinan dan investasi pertanian, serta perlindungan varietas tanaman; (2) meningkatnya ketersediaan pangan hewani (daging, telur, susu); serta (3) meningkatnya produktivitas lahan pertanian dan prasarana jalan usaha tani/jalan produksi serta pengendalian lahan untukmendorong peningkatan produksi pertanian. Kementerian Perindustrian Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi anggaran untuk Kementerian Perindustrian direncanakan sebesar Rp2,2 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp505,5 miliar atau 30,0 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Perindustrian dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,7 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Perindustrian dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp2,1 triliun, dan pagu penggunaan PNBP/BLU sebesar Rp109,7 miliar. Anggaran belanja Kementerian Perindustrian dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program revitalisasi dan penumbuhan basis industri manufaktur, dengan alokasi anggaran sebesar Rp388,0 miliar; (2) program revitalisasi dan penumbuhan industri agro, dengan alokasi anggaran sebesar Rp378,6 miliar; serta (3) program revitalisasi dan pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM), dengan alokasi anggaran sebesar Rp376,0 miliar. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -73

232 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) meningkatnya jumlah populasi industri material dasar dan permesinan sebanyak 14 unit; (2) terfasilitasinya pengembangan kawasan industri berbasis sawit yang berlokasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Riau; serta (3) meningkatnya unit usaha dan tenaga kerja di 7 propinsi. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain: (1) tumbuh dan kuatnya industri material dasar dan permesinan; serta (2) terbinanya pengembangan IKM di kawasan tengah Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Alokasi anggaran untuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mencapai Rp15,1 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sangat signifikan, yaitu mencapai Rp7,1 triliun atau 89,2 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp8,0 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp13,4 triliun, PHLN sebesar Rp18,5 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp1,7 triliun. Alokasi anggaran pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengelolaan listrik dan pemanfaatan energi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp10,4 triliun; (2) program pendidikan dan pelatihan aparatur ESDM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp830,0 miliar; (3) program penelitian dan pengembangan Kementerian ESDM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp772,4 miliar; dan (4) program pengelolaan dan penyediaan minyak dan gas bumi sebesar Rp723,4 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) terbangunnya transmisi sepanjang kms (termasuk bagian multiyears) dan gardu induk sebesar MVA (termasuk bagian multiyears); (2) tercapainya jumlah desa mandiri energi sebanyak 50 desa; serta (3) tercapainya jumlah lokasi penyelidikan status keprospekan sumber daya panas bumi sebanyak 22 lokasi. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain: (1) terpenuhinya kebutuhan tenaga listrik dan meningkatnya ratio elektrifikasi; (2) meningkatnya pemanfaatan hasil survei penelitian, penyelidikan dan pelayanan geologi; serta (3) terwujudnya penyediaan dan pengelolaan energi baru terbarukan dan konservasi energi. Kementerian Perhubungan Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Perhubungan direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp21,4 triliun. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar Rp3,8 triliun atau 21,7 persen bila dibandingkan dengan APBN-P anggaran belanja Kementerian Perhubungan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp17,6 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Perhubungan dalam tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp19,0 triliun, PHLN sebesar Rp1,8 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp530,5 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Perhubungan dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengelolaan dan penyelenggaraan transportasi laut, dengan alokasi angggaran sebesar Rp6,8 triliun; (2) progam pengelolaan dan penyelenggaraan transportasi udara, dengan alokasi anggaran Rp4,9 triliun; serta (3) program pengelolaan dan penyelenggaraan transportasi perkeretaapian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp4,2 triliun. IV-74 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

233 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain: (1) meningkatnya jumlah volume pengerukan sedimen pada alur pelayaran dan/atau kolam pelabuhan sebesar 14,5 juta m 3 ; (2) terlaksananya pengembangan dan rehabilitasi 118 bandar udara dan pembangunan 14 bandar udara baru; serta (3) terbangunnya jalur kereta api baru, termasuk jalur ganda sepanjang 85,06 km, dan meningkatnya kondisi dan keandalan jalur kereta api sepanjang 126,12 kilometer. Berdasarkan berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan pada tahun 2011, maka outcome yang diharapkan adalah: (1) meningkatnya kinerja pelayanan dan tingkat keselamatan pelayanan transportasi laut, darat, udara dan perkeretaapian; (2) meningkatnya kapasitas dan kualitas pelayanan dan operasi prasarana navigasi penerbangan; serta (3) meningkatnya kapasitas dan kualitas pelayanan dan operasi prasarana keamanan penerbangan. Kementerian Pendidikan Nasional Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) direncanakan memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp50,3 triliun. Jumlah ini turun sebesar Rp13,1 triliun atau 20,6 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Pendidikan Nasional dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp63,4 triliun. Rencana alokasi anggaran Kementerian Pendidikan Nasional dalam tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp37,1 triliun, PHLN sebesar Rp2,5 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp10,7 triliun. Rencana alokasi anggaran pada Kemendiknas dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pendidikan taman kanak-kanak dan pendidikan dasar, dengan alokasi anggaran sebesar Rp6,3 triliun. Mulai tahun 2011, direncanakan adanya kebijakan realokasi anggaran untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS), yang selama ini dialokasikan melalui anggaran Kementerian Pendidikan Nasional, kemudian dipindahkan menjadi bagian dari anggaran transfer ke daerah. Realokasi anggaran tersebut sebesar Rp16,8 triliun yang terdiri dari: (a) dana BOS sebesar Rp16,6 triliun; dan (b) dana cadangan (buffer funds) sebesar Rp0,2 triliun; (2) program pendidikan tinggi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp20,2 triliun; serta (3) program peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp11,5 triliun. Output yang diharapkan dari berbagai program tersebut, antara lain (1) meningkatnya APM SD/SDLB dan SMP/SMPLB dengan sasaran masing-masing mencapai 84,7 persen dan 60,0 persen dan meningkatnya APK perguruan tinggi usia tahun menjadi 23,05 persen; (2) tersedianya BOS untuk siswa SD/SDLB dan siswa SMP/SMPLB; serta (3) meningkatnya persentase kab/kota yang telah memiliki rasio pendidik dan peserta didik SD 1:20 sampai 1:28 menjadi 51,2 persen. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2011 tersebut di atas, maka outcome yang diharapkan adalah: (1) tercapainya keluasan dan kemerataan akses TK/TKLB, SD/SDLB, SMP/SMPLB, SMA/SMLB/SMK, dan perguruan tinggi bermutu dan berkesetaraan gender di semua kabupaten/kota; (2) tersalurkannya subsidi pendidikan bagi siswa SD/SDLB, SMP/SMPLB; serta (3) tersedianya guru dan tenaga kependidikan PAUD, SD, SMP, SMA dan SMK bermutu yang merata di kabupaten dan kota. Kementerian Kesehatan Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi anggaran Kementerian Kesehatan direncanakan mencapai Rp26,2 triliun. Jumlah ini secara nominal naik sebesar Rp2,5 triliun atau 10,3 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran belanja Kementerian Kesehatan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -75

234 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 APBN-P tahun 2010 sebesar Rp23,8 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Kesehatan dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp20,8 triliun, PHLN sebesar Rp917,1 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp4,5 triliun. Rancana alokasi anggaran belanja pada Kementerian Kesehatan dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pembinaan upaya kesehatan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp14,4 triliun; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Kesehatan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,1 triliun; serta (3) program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,3 triliun. Output yang diharapkan dari berbagai program tersebut antara lain adalah: (1) meningkatnya Rumah Sakit yang melayani pasien penduduk miskin peserta program Jamkesmas menjadi 80 persen; (2) meningkatnya jumlah puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk miskin menjadi sebanyak puskesmas; serta (3) persentase penduduk (termasuk seluruh penduduk miskin) yang memiliki jaminan kesehatan mencapai 70,3 persen. Berdasarkan berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan adalah: (1) meningkatnya pelayanan kesehatan rujukan bagi penduduk miskin di RS; (2) meningkatnya pelayanan kesehatan dasar bagi penduduk miskin di Puskesmas; serta (3) meningkatnya kualitas perencanaan dan penganggaran program pembangunan kesehatan. Kementerian Agama Kementerian Agama dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran Rp31,0 triliun. Jumlah ini secara nominal naik sebesar Rp905,6 miliar atau 3,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Agama dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp30,1 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Agama dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp29,6 triliun, PHLN sebesar Rp756,7 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp652,8 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Agama dalam RAPBN tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, diantaranya yaitu: (1) program pendidikan islam, dengan alokasi anggaran sebesar Rp25,1 triliun; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Agama, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,7 triliun; serta (3) program bimbingan masyarakat islam, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,7 triliun. Output yang diharapkan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah: (1) terlaksananya sertifikasi guru sebanyak orang; (2) meningkatnya APK MI dan MA menjadi 13,49 persen dan 7,35 persen; serta (3) terlaksananya rehabilitasi 1660 ruang kelas MI, ruang kelas MTs, dan ruang kelas MA. Outcome yang diharapkan dari berbagai output atas pelaksanaan pelbagai kebijakan, program, dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Agama pada tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun non formal yang mencakup semua jenjang pendidikan agama; (2) meningkatnya pelayanan agama Islam; serta (3) terlaksananya penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan Kementerian Agama. IV-76 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

235 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi direncanakan memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp3,4 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp301,2 miliar atau 9,6 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,1 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp2,9 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp521,2 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program peningkatan kompetensi tenaga kerja dan produktivitas, dengan alokasi anggaran sebesar Rp756,0 miliar; (2) program pembangunan kawasan transmigrasi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp683,3 miliar; serta (3) program penempatan dan perluasan kesempatan kerja, dengan alokasi anggaran sebesar Rp626,7 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya jumlah lembaga pelatihan yang terakreditasi sebanyak 65 lembaga; (2) terbangunnya rumah transmigran dan jamban keluarga (RTJK) di daerah tertinggal sebanyak unit; serta (3) tersedianya pekerjaan sementara bagi orang penganggur dan terselenggaranya program pengurangan pengangguran sementara di 360 kab/kota. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) diterapkannya tata kelola manajemen yang baik oleh lembaga pelatihan berbasis kompetensi; (2) termanfaatkannya dan terkelolanya sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui pembangunan Kawasan Transmigrasi dalam bentuk wilayah pengembangan transmigrasi (WPT) atau lokasi pengembangan transmigrasi (LPT) yang layak dalam rangka pembangunan perdesaan di daerah tertinggal; serta (3) tersedianya peluang kerja produktif di berbagai bidang usaha produktif. Kementerian Sosial Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Sosial direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp4,0 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp317,9 miliar atau 8,5 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Sosial dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,7 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Sosial dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp4,0 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp3,9 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Sosial dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program perlindungan dan jaminan sosial, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,2 triliun; (2) program rehabilitasi sosial, dengan alokasi anggaran sebesar Rp762,5 miliar; serta (3) program pemberdayaan sosial, dengan alokasi anggaran sebesar Rp757,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain meliputi: (1) tercapainya 63 persen jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) penerima manfaat yang mampu melaksanakan peranan dan fungsi sosial melalui pelaksanaan pelayanan, perlindungan dan jaminan sosial; (2) tercapainya 63 persen jumlah PMKS penerima manfaat yang mampu berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial melalui pelaksanaan pemberdayaan sosial; serta (3) tercapainya 63 persen jumlah PMKS penerima manfaat yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -77

236 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 mampu melaksanakan peranan dan fungsi sosial melalui pelaksanaan pelayanan, perlindungan dan rehabilitasi sosial. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Sosial pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya fungsi sosial PMKS penerima manfaat melalui pelaksanaan pelayanan, perlindungan dan jaminan sosial; (2) meningkatnya fungsi sosial PMKS penerima manfaat melalui pemberdayaan dan pemenuhan kebutuhan dasar; serta (3) meningkatnya fungsi sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) penerima manfaat melalui pelaksanaan pelayanan, perlindungan dan rehabilitasi sosial. Kementerian Kehutanan Alokasi anggaran Kementerian Kehutanan dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mencapai Rp5,9 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp1,9 triliun atau 47,5 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Kehutanan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp4,0 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Kehutanan dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp4,8 triliun, PHLN sebesar Rp223,1 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp885,8 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Kehutanan dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) peningkatan fungsi dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) berbasis pemberdayaan masyarakat, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,0 triliun; (2) konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,3 triliun; serta (3) dukungan manajemen dan pelaksanaaan tugas teknis lainnya Kementerian Kehutanan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp644,3 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan kritis pada DAS Prioritas seluas Ha; (2) berkurangnya hotspot (titik api) di pulau Kalimantan, pulau Sumatera, dan pulau Sulawesi sebesar 20 persen setiap tahun; serta (3) terlaksananya fasilitasi penetapan areal kerja pengelolaan hutan kemasyarakatan seluas Ha. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) berkurangnya lahan kritis pada DAS Prioritas sehingga dapat mengurangi risiko bencana alam, dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dalam usaha komoditas kehutanan; (2) meningkatnya sistem pencegahan, pemadaman, penanggulangan dampak kebakaran hutan dan lahan; serta (3) meningkatnya pengelolaan hutan melalui pemberdayaan masyarakat. Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp4,8 triliun. Jumlah ini meningkat sebesar Rp1,4 triliun atau 40,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,4 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp4,3 triliun, PHLN sebesar Rp441,3 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp30,4 miliar. Anggaran belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,1 triliun; (2) program peningkatan produksi perikanan budidaya, IV-78 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

237 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV dengan alokasi anggaran sebesar Rp874,5 miliar; serta (3) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp593,7 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan dari program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) tercapainya ton jumlah produksi perikanan tangkap dan tercapainya pendapatan nelayan pemilik sebesar Rp /bulan dan nelayan buruh sebesar Rp /bulan; (2) tercapainya volume produksi perikanan budidaya sebanyak ton; serta (3) tercapainya jumlah usaha mikro yang mandiri serta jumlah usaha mikro di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebanyak kelompok. Outcome yang diharapkan dari output atas berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya produktivitas perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan; (2) meningkatnya produksi, produktivitas, dan mutu hasil perikanan budidaya; serta (3) meningkatnya penataan dan pemanfaatan sumber daya kelautan, pesisir dan pulaupulau kecil secara berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat. Kementerian Pekerjaan Umum Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Pekerjaan Umum direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp56,5 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp20,4 triliun atau 56,6 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp36,1 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp46,1 triliun, PHLN sebesar Rp10,4 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp50,7 miliar. Anggaran belanja Kementerian Pekerjaan Umum dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program penyelenggaraan jalan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp28,6 triliun; (2) program pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman, dengan alokasi anggaran sebesar Rp13,1 triliun; serta (3) program pengelolaan sumber daya air, dengan alokasi anggaran sebesar Rp12,5 triliun. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terbangunnya flyover dan underpass sepanjang kilometer dan jembatan sepanjang meter; (2) meningkatnya lingkungan hunian untuk masyarakat yang tinggal di pulau kecil, desa tertinggal dan terpencil di desa; serta (3) terbangunnya waduk dan embung/situ sebanyak 8 waduk dalam pelaksanaan pembangunan dan 34 embung/situ selesai dibangun, dan 2 waduk selesai direhabilitasi. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan kualitas jalan dan jembatan nasional serta jalan tol; (2) meningkatnya kualitas lingkungan hunian untuk masyarakat yang tinggal di pulau kecil, desa tertinggal dan terpencil; serta (3) meningkatnya ketersediaan dan terjaganya kelestarian air. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Alokasi anggaran untuk Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp436,2 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp197,3 miliar atau 82,6 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kemenko Polhukam dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp238,8 miliar. Rencana anggaran belanja Kemenko Polhukam dalam RAPBN tahun 2011 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -79

238 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp432,3 miliar, dan PHLN sebesar Rp3,9 miliar. Alokasi anggaran pada Kemenko Polhukam dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program koordinasi keamanan dan keselamatan di laut, dengan alokasi anggaran sebesar Rp256,8 miliar; (2) program peningkatan koordinasi bidang politik, hukum dan keamanan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp96,2 miliar; serta (3) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kemenko Polhukam, dengan alokasi anggaran sebesar Rp79,8 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya persentase penyelenggaraan dukungan manajemen dan tugas teknis lainnya yang profesional, akuntabel, efisien dan efektif mencapai 85 persen; (2) meningkatnya persentase rekomendasi kebijakan politik dalam negeri yang dilaksanakan oleh kementerian teknis dan pemda mencapai 65 persen; serta (3) meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana aparatur mencapai 65 persen. Outcome yang diharapkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kemenko Polhukam pada tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya dukungan administratif dan pelaksanaan operasional Kemenko Polhukam; (2) meningkatnya efektifitas koordinasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan politik dalam negeri; serta (3) meningkatnya dukungan administrasi dan teknis Kemenko Polhukam-Bakorkamla. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp220,4 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp104,0 miliar atau 89,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kemenko Perekonomian dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp116,4 miliar. Rencana anggaran belanja Kemenko Perekonomian dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp204,9 miliar dan PHLN sebesar Rp15,5 miliar. Alokasi anggaran pada Kemenko Perekonomian dalam tahun 2011 tersebut, akan dipergunakan untuk melaksanakan berbagai program, yang meliputi: (1) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kemenko Perekonomian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp92,2 miliar; (2) program koordinasi kebijakan bidang perekonomian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp89,9 miliar; serta (3) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kemenko Perekonomian, dengan alokasi anggaran Rp38,3 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program prioritas Kemenko Perekonomian dalam RAPBN tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya rekomendasi hasil koodinasi kebijakan bidang ketahanan pangan yang terimplementasikan mencapai 60 persen; (2) tercapainya rekomendasi hasil koordinasi dan sinkronisasi kebijakan bidang percepatan penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif yang terimplementasikan sebesar 60 persen; serta (3) tercapainya rekomendasi hasil koordinasi kebijakan penataan dan pengembangan sistem logistik nasional yang ditindaklanjuti sebesar 70 persen. Outcome yang diharapkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kemenko Perekonomian pada tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya koordinasi urusan ketahanan pangan; (2) meningkatnya koodinasi dan sinkronisasi implementasi kebijakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif; serta (3) meningkatnya koordinasi pelaksanaan kebijakan penataaan dan pengembangan sistem logistik nasional. IV-80 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

239 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra) dalam RAPBN 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp132,3 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp31,1 miliar atau 30,7 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kemenko Kesra dalam APBN-P 2010 sebesar Rp101,2 miliar. Rencana anggaran belanja Kemenko Kesra dalam RAPBN 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kemenko Kesra, dengan alokasi anggaran sebesar Rp49,7 miliar; serta (2) program koordinasi pengembangan kebijakan kesejahteraan rakyat, dengan alokasi anggaran sebesar Rp113,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain adalah: (1) tersusunnya PP Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematian (bekerja sama dengan Kementerian Keuangan); (2) terlaksananya persentase Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi seluruh masyarakat (bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri) mencapai 70 persen; serta (3)tercapainya tingkat (indeks) koordinasi kebijakan dan anggaran penanggulangan kemiskinan dan peraturan perundangannya sebesar 100 persen. Berdasarkan berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) tersusunnya perangkat hukum SJSN; (2) tersedianya NIK bagi setiap peserta jaminan sosial; serta (3) meningkatnya jumlah koordinasi, sinkronisasi, kajian serta pemantauan dan evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di bidang pengarusutamaan kebijakan dan anggaran terlaksananya seluruh kegiatan pendukung pelaksanaan kegiatan-kegiatan koordinasi bidang kesejahteraan rakyat. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Alokasi anggaran untuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mencapai Rp2,1 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp384,9 miliar atau 22,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,7 triliun. Rencana anggaran belanja Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp2,0 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp20,3 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan pemasaran, dengan alokasi anggaran sebesar Rp492,1 miliar; (2) program kesejarahan, kepurbakalaan, dan permuseuman, dengan alokasi anggaran sebesar Rp413,0 miliar; serta (3) program pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata, dengan alokasi anggaran sebesar Rp316,3 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya film/ video/iklan yang lulus sensor; (2) meningkatnya jumlah pengunjung museum (dukungan Gerakan Nasional Cinta Museum) hingga mencapai orang; serta (3) terlaksananya revitalisasi 30 museum di seluruh Indonesia. Outcome yang diharapkan dari berbagai output atas kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) menguatnya jati diri dan karakter bangsa yang berbasis pada keragaman budaya; (2) meningkatnya kualitas perlindungan, penyelamatan, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -81

240 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya; serta (3) meningkatnya apresiasi terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya. Kementerian Badan Usaha Milik Negara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp140,8 miliar. Jumlah ini secara nominal turun sebesar Rp25,4 miliar atau 15,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian BUMN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp166,2 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian BUMN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian BUMN sebesar Rp74,9 miliar; serta (2) program pembinaan BUMN sebesar Rp65,9 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada kedua program tersebut, antara lain adalah: (1) terpilihnya direksi dan komisaris pada 20 BUMN; (2) tersusunnya peraturan mengenai best practice Good Corporate Governance (GCG); serta (3) tersusunnya laporan hasil pelaksanaan penetapan target, monitoring dan evaluasi kinerja BUMN melalui RUPS/ RPB. Berdasarkan output dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian BUMN pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan kemampuan pembinaan BUMN; (2) meningkatnya penerapan best practices GCG dan sistem penilaian kinerja; serta (3) meningkatnya laba BUMN. Kementerian Riset dan Teknologi Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Riset dan Teknologi direncanakan memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp440,7 miliar. Jumlah ini secara nominal menurun sebesar Rp209,8 miliar, atau 32,2 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Riset dan Teknologi dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp650,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Kementerian Riset dan Teknologi dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp432,6 miliar, PHLN sebesar Rp0,4 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp7,7 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Riset dan Teknologi dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program peningkatan kemampuan iptek untuk penguatan sistem inovasi nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp356,3 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Riset dan Teknologi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp76,9 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kementerian Riset dan Teknologi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp7,6 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) adanya pusat-pusat unggulan iptek; (2) meningkatnya jumlah karyasiswa dari S2 dan S3 menjadi 65 karya siswa; serta (3) meningkatnya jumlah pilot peningkatan inovasi dan kreativitas pemuda sebanyak 12 pilot dan pilot implementasi interoperabilitas teknologi informasi dan komunikasi sebanyak 5 pilot. Outcome yang diharapkan dari output yang akan dihasilkan atas berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Riset dan Teknologi pada tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) berkembangnya pusat-pusat unggulan iptek; (2) terbangunnya kawasan percontohan pengembangan budaya masyarakat yang kreatif dan inovatif; serta (3) meningkatnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) iptek. IV-82 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

241 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp854,3 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp432,0 miliar atau 102,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja KLH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp422,3 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja KLH dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp844,9 miliar, PHLN sebesar Rp8,0 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp1,5 miliar. Alokasi anggaran pada KLH dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dengan alokasi anggaran sebesar Rp703,3 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya KLH, dengan alokasi anggaran sebesar Rp143,0 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur KLH, dengan alokasi anggaran sebesar Rp8,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya persentase penyiapan penetapan kelas air di tingkat kabupaten/kota untuk 13 sungai-sungai prioritas dari 119 kabupaten/kota, yang terkoordinasi lintas K/L dan daerah menjadi 25 persen; (2) tercapainya persentase penyiapan pemetaan kesatuan hidrologi gambut yang terkoordinasi dengan K/L terkait mencapai 40 persen; serta (3) diterapkannya mekanisme pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang rawan kebakaran hutan dan lahan yang terkoordinasi antar K/L dan daerah di sebanyak 8 wilayah. Outcome yang diharapkan dari output atas berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2011 tersebut, antara lain adalah: (1) tersedianya perangkat kebijakan pengelolaan kualitas air, ekosistem gambut dan ekosistem danau yang terpadu dan bersifat lintas K/L, antara lain Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Pemerintah Daerah; (2) meningkatnya kualitas kebijakan konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan yang terpadu dan bersifat lintas K/L, antara lain dengan Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah; serta (3) tersedianya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dalam skala provinsi dan kabupaten/kota, dan meningkatnya kualitas data, informasi, dan sistem informasi pengelolaan lingkungan hidup. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Dalam RAPBN Tahun 2011, alokasi anggaran untuk Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian Koperasi dan UKM) direncanakan sebesar Rp828,7 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp39,4 miliar atau 5,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Koperasi dan UKM dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp789,3 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Koperasi dan UKM dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp781,0 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp47,6 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Koperasi dan UKM dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dengan alokasi anggaran sebesar Rp511,0 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Koperasi dan UKM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp305,2 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kementerian Koperasi dan UKM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp12,5 miliar. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -83

242 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Output yang diharapkan dari kegiatan pada berbagai program tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya pemberian bantuan dana bagi pelaku usaha mikro/koperasi; (2) terlaksananya bantuan sarana usaha produksi bagi UMK melalui 56 buah koperasi; serta (3) terselenggaranya pameran produk-produk dari 575 KUMKM yang berkualitas. Berdasarkan output dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) tersedianya skim-skim pembiayaan khusus yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas usaha mikro; (2) meningkatnya kapasitas produksi sentra UMK; serta (3) tersebarnya informasi produk-produk KUMKM yang berkualitas. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam RAPBN tahun 2011, direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp160,1 miliar. Jumlah ini secara nominal turun sebesar Rp23,4 miliar atau 12,8 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam APBN-P 2010 sebesar Rp183,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam RAPBN 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp66,2 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan alokasi anggaran sebesar Rp54,3 miliar; serta (3) program perlindungan anak, dengan alokasi anggaran sebesar Rp39,6 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya fasilitasi penerapan kebijakan sistem data terpilah gender masing-masing pada 4 K/L dan 8 propinsi; (2) terlaksananya fasilitasi tentang kota layak anak masing-masing pada 10 K/L dan 10 propinsi; serta (3) tercapainya persentase rencana program dan anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diselesaikan tepat waktu, dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi berdasarkan tersedianya data terkini, terintegrasi dan harmonis sebesar 100 persen. Berdasarkan output dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya penerapan sistem data gender; (2) meningkatnya pengembangan kabupaten/kota layak anak (KLA); serta (3) meningkatnya jumlah dokumen perencanaan, pengembangan dan evaluasi SDM dan penganggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diselesaikan tepat waktu, dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi berdasarkan tersedianya data terkini, terintegrasi, dan harmonis. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp153,9 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp24,1 miliar atau 18,6 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp129,8 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp146,6 miliar, IV-84 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

243 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV dan PHLN sebesar Rp7,3 miliar. Anggaran belanja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, dengan alokasi sebesar Rp85,5 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp61,1 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp7,3 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tersusunnya 8 peraturan/kebijakan di bidang Kelembagaan; (2) tersusunnya 14 Peraturan Pemerintah, 1 Peraturan Presiden, dan 2 peraturan/kebijakan di bidang SDM aparatur; serta (3) tersusunnya 1 Peraturan Presiden tentang budaya kerja bersih, melayani, dan kompeten di lingkungan aparatur negara. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) terwujudnya organisasi Pemerintah yang proporsional, efektif dan efisien, meningkatnya kualitas pelayanan publik dan terwujudnya instansi Pemerintah yang akuntabel dan berkinerja tinggi; (2) terwujudnya peningkatan kinerja manajemen internal dalam rangka pelaksanaan tugas; serta (3) terwujudnya peningkatan kualitas sarana dan prasarana internal dalam rangka pelaksanaan tugas. Badan Intelijen Negara Badan Intelijen Negara (BIN) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,0 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp47,2 miliar atau 4,8 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BIN dalam APBN- P tahun 2010 sebesar Rp985,9 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BIN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan keamanan negara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp718,3 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BIN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp312,3 miliar; serta (3) program pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur BIN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) meningkatnya kapasitas institusi intelijen negara mencapai 30 persen; (2) tercapainya persentase pemantauan intelijen lawan sebesar 75 persen; serta (3) tercapainya rasio personil daerah terhadap jumlah kabupaten/kota sebesar 30 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BIN pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain: (1) meningkatnya pelaksanaan penyelidikan, pengamanan, dan penanggulangan keamanan negara; (2) meningkatnya upaya kontra intelijen; serta (3) meningkatnya pelaksanaan penyelidikan beraspek dalam negeri. Lembaga Sandi Negara Dalam RAPBN tahun 2011, Lembaga Sandi Negara direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp500,0 miliar. Jumlah ini secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp125,1 miliar atau 20,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -85

244 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Lembaga Sandi Negara dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp625,1 miliar. Rencana alokasi anggaran yang seluruhnya berasal dari rupiah murni tersebut, akan digunakan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan persandian nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp394,9 miliar; serta (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Lembaga Sandi Negara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp105,1 miliar. Pengalokasian anggaran pada kedua program diatas diharapkan dapat menghasilkan output, antara lain berupa: (1) tercapainya tingkat kepuasan user terhadap layanan administratif dan sarana perkantoran sebesar 95 persen; (2) tercapainya 389 lulusan pendidikan sandi dan pendukungnya; serta (3) tersusunnya 122 paket dokumen kebijakan persandian. Melalui output yang dihasilkan dari kedua program yang dilaksanakan pada tahun 2011 tersebut diharapkan dapat tercapai sasaran-sasaran outcome antara lain, berupa: (1) terlaksananya pelayanan administrasi perkantoran Lembaga Sandi Negara secara akuntabel dan terpenuhinya kebutuhan aparatur persandian dan pendukungnya; serta (2) terselenggaranya persandian sesuai kebijakan nasional, terdukungnya komunikasi rahasia, kemandirian teknologi persandian. Dewan Ketahanan Nasional Alokasi anggaran untuk Dewan Ketahanan Nasional dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp37,3 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp7,2 miliar atau 23,7 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Dewan Ketahanan Nasional dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp30,2 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Dewan Ketahanan Nasional dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan kebijakan ketahanan nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp23,5 miliar; serta (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Dewan Ketahanan Nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp13,8 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tersusunnya kajian dalam bentuk saran tindak dan rencana kontijensi bidang pengembangan pembangunan nasional untuk mengatasi permasalahan keamanan internal, keamanan eksternal dan bencana berskala besar sebesar 15 persen; (2) terlaksananya penyelenggaraan perumusan kebijakan ketahanan nasional bidang keamanan eksternal sebesar 90 persen; serta (3) tercapainya pelayanan administrasi dan pelaksanaan kajian sesuai dengan kebutuhan sebesar 30 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Dewan Ketahanan Nasional pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) terlaksananya kajian tentang ekonomi, sosial, budaya, hukum dan perundang-undangan, politik nasional, perencanaan kontijensi, lingkungan strategis nasional, lingkungan strategis regional, dan lingkungan strategis internasional; (2) meningkatnya kelancaran pengelolaan dan kecukupan dukungan operasional pelaksanaan tugas Wantanas; serta (3) terlaksananya penyelenggaraan perumusan kebijakan ketahanan nasional. Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp2,2 triliun. Jumlah ini secara nominal turun sebesar Rp2,9 triliun atau 56,6 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Badan Pusat Statistik dalam IV-86 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

245 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV APBN-P tahun 2010 sebesar Rp5,2 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Badan Pusat Statistik dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp2,1 triliun, PHLN sebesar Rp15,2 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp79,1 miliar. Anggaran belanja Badan Pusat Statistik dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program penyediaan dan pelayanan informasi statistik, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,0 triliun; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Badan Pusat Statistik, dengan alokasi anggaran sebesar Rp882,5 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Badan Pusat Statistik, dengan alokasi anggaran sebesar Rp315,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya program Statistical Capacity Building-Change and Reform for Development of Statistic in Indonesia (Statcap-Cerdas), yang meliputi peningkatan kualitas data, pembinaan dan peningkatan kualitas SDM, penguatan teknologi informasi dan komunikasi, serta penguatan kelembagaan; (2) terselenggaranya pembangunan/ revitalisasi gedung BPS provinsi, kabupaten/kota; dan pengadaan kendaraan operasional untuk memenuhi kebutuhan koordinator kecamatan sebagai petugas dalam pendataan di lapangan; serta (3) terselenggaranya lanjutan Sensus Penduduk 2010 dan persiapan Survei Biaya Hidup 2012, Survei Ekonomi Nasional, Survei Angkatan Kerja Nasional, Survei Upah dan Struktur Upah, Sensus Potensi Desa, dan Statistik Kemiskinan. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya kualitas penyediaan data dan informasi statistik bagi pengguna data; (2) meningkatnya kepuasan pelanggan dan pengguna data dan informasi statistik; serta (3) meningkatnya manajemen survei dan metode sensus. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Alokasi anggaran untuk Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (Kementerian PPN/Bappenas) dalam RAPBN Tahun 2011 direncanakan sebesar Rp699,4 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp133,1 miliar atau 23,5 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian PPN/ Bappenas dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp566,3 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian PPN/Bappenas dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp449,5 miliar dan PHLN sebesar Rp249,9 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian PPN/Bappenas dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Bappenas, dengan alokasi anggaran sebesar Rp416,7 miliar; (2) program perencanaan pembangunan nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp219,0 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Bappenas, dengan alokasi anggaran sebesar Rp60,0 miliar. Output yang diharapkan dari kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya proses reformasi birokrasi Kementerian PPN/Bappenas melalui penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia hingga mencapai 80 persen; (2) tercapainya kesesuaian antara muatan rancangan RKP dengan RPJMN dan kesesuaian rancangan Renja K/L dengan target/sasaran dalam rancangan RKP hingga 100 persen; serta (3) tersedianya sarana dan prasarana aparatur Kementerian PPN/Bappenas hingga 100 persen, di antaranya termasuk 10 persen proses pembangunan gedung baru Bappenas. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -87

246 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian PPN/ Bappenas pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) terlaksananya dukungan manajemen terhadap pelaksanaan tupoksi Kementerian PPN/Bappenas; (2) terlaksananya penugasan-penugasan lainnya dari Presiden/Pemerintah dalam kaitan kebijakan pembangunan nasional; serta (3) meningkatnya sarana dan prasarana aparatur Kementerian PPN/Bappenas. Badan Pertanahan Nasional Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Pertanahan Nasional (BPN) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp3,4 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp497,4 miliar atau 16,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BPN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,0 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja BPN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp2,3 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp1,1 triliun. Alokasi anggaran pada BPN dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengelolaan pertanahan nasional, dengan alokasi anggaran Rp1,6 triliun; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BPN, dengan alokasi anggaran Rp1,4 triliun; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BPN, dengan alokasi anggaran Rp283,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya legalisasi bidang tanah sejumlah ; (2) terlaksananya inventarisasi penguasaan pemilikan dan pemanfaatan tanah (P4T) sebanyak ; serta (3) tersedianya data dan informasi pertanahan yang terintegrasi secara nasional (sistem informasi manajemen pertanahan nasional/simtanas) di 419 Kab/Kota. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BPN pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) makin optimalnya pengaturan dan penataan penguasaan dan kepemilikan tanah, serta pemanfaatan dan pengguanaan tanah; (2) meningkatnya pelaksanaan percepatan legalisasi aset pertanahan, ketertiban administrasi pertanahan dan kelengkapan informasi legalitas aset tanah; serta (3) meningkatnya akses layanan pertanahan, melalui layanan rakyat untuk sertifikasi tanah (Larasita); serta (4), meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana prasarana Badan Pertanahan Nasional dan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi. Perpustakaan Nasional Perpustakaan Nasional dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp332,5 miliar. Jumlah ini secara nominal menurun sebesar Rp111,1 miliar atau 25,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Perpustakaan Nasional dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp443,6 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Perpustakaan Nasional dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp331,6 miliar dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp0,9 miliar. Alokasi anggaran pada Perpustakaan Nasional dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan perpustakaan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp239,1 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Perpustakaan Nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp91,7 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur perpustakaan nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,7 miliar. IV-88 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

247 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya jumlah pengunjung perpustakaan hingga 4,5 juta orang; (2) terlaksananya pengembangan 33 unit perpustakaan keliling berupa mobil dan kapal; serta (3) terselenggaranya pelestarian fisik dan kandungan informasi dalam bahan pustaka serta naskah kuno. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Perpustakaan Nasional pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya minat baca dan budaya gemar membaca masyarakat; (2) meningkatnya kualitas bahan bacaan dan fasilitas pendukung yang tersedia; serta (3) meningkatnya kesadaran dan peran aktif masyarakat atas perpustakaan keliling di daerah masing-masing. Kementerian Komunikasi dan Informatika Alokasi anggaran untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp3,3 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp420,5 miliar atau 14,6 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp2,9 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp816,2 miliar, PHLN sebesar Rp69,6 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp2,4 triliun. Anggaran belanja Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program penyelenggaraan pos dan informatika, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,8 triliun; (2) program pengelolaan sumber daya dan perangkat pos dan informatika, dengan alokasi anggaran sebesar Rp784,1 miliar; serta (3) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan alokasi anggaran sebesar Rp165,2 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya prosentase desa yang dilayani akses telekomunikasi dan internet masing-masing sebesar 100 persen dan 20 persen; (2) tercapainya persentase pemanfaatan spektrum frekuensi radio sebesar 60 persen; serta (3) tercapainya peningkatan pemanfaatan media publik oleh masyarakat sebesar 25 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya e-literasi masyarakat dalam menggunakan sarana dan prasarana komunikasi dan informatika hingga mencapai 35 persen; (2) makin optimalnya pengelolaan sumber daya informatika hingga mencapai 60 persen serta (3) meningkatnya penyebaran, pemerataan, dan pemanfaatan informasi publik. Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam RAPBN tahun 2011, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp28,3 triliun. Jumlah ini meningkat sebesar Rp505,3 miliar atau 1,8 persen apabila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Polri dalam APBN- P tahun 2010 sebesar Rp27,8 triliun. Rencana alokasi anggaran Polri dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp24,0 triliun, PHLN/PDN sebesar Rp1,8 triliun, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp2,5 triliun. Alokasi anggaran Polri dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, diantaranya yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Polri, dengan alokasi anggaran sebesar Rp20,1 triliun; (2) program pemeliharaan keamanan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -89

248 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 dan ketertiban masyarakat, dengan alokasi anggaran sebesar Rp4,2 triliun; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Polri, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,7 triliun. Output yang diharapkan dari program-program tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya jumlah kriminalitas yang dapat ditindak oleh fungsi Babinkam Polri mencapai 80,0 persen; (2) meningkatnya jumlah kecukupan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung fasilitas guna memenhi standar pelayanan Kamtibmas Prima mencapai 60 persen; serta (3) meningkatnya pengungkapan tindak pidana konvensional dan transnasional mencapai 64,1 persen dan 43,0 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan Polri dalam tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan diantaranya adalah: (1) dapat dikembangkannya langkah strategi, dan pencegahan suatu potensi gangguan keamanan baik kualitas maupun kuantitas, sampai kepada penanggulangan sumber penyebab kejahatan, ketertiban dan konflik di masyarakat dan sektor sosial, politik dan ekonomi sehingga gangguan kamtibmas menurun; (2) terpenuhinya dukungan terhadap tugas pembinaan dan operasional Polri melalui ketersediaan sarana dan prasarana materiil, fasilitas dan jasa baik kualitas maupun kuantitas; serta (3) terwujudnya penanggulangan dan penurunan penyelesaian jenis kejahatan (kejahatan konvensional, kejahatan trans-nasional, kejahatan yang berimplikasi kontijensi dan kejahatan terhadap kekayaan negara) tanpa melanggar HAM. Badan Pengawas Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam RAPBN Tahun 2011 mendapat alokasi anggaran sebesar Rp778,8 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp120,9 miliar atau 18,4 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BPOM dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp657,9 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BPOM dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp743,1 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp35,7 miliar. Alokasi anggaran pada BPOM dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengawasan obat dan makanan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp464,8 miliar, (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BPOM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp222,0 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BPOM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp92,0 miliar. Output yang diharapkan dari kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya proporsi obat yang memenuhi standar mencapai 99,3 persen dan proporsi makanan yang memenuhi syarat mencapai 80 persen; (2) tercapainya jumlah unit kerja yang menerapkan quality policy hingga 15 persen dan unit kerja yang terintegrasi secara online sampai 72 persen; serta (3) tersedianya sarana dan prasarana penunjang kinerja mencapai 75 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BPOM pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya efektifitas pengawasan obat dan makanan dalam rangka melindungi masyarakat; (2) meningkatnya koordinasi perencanaan pembinaan, pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya di lingkungan BPOM sesuai dengan standar sistem manajemen mutu; serta (3) meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh BPOM. IV-90 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

249 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Lembaga Ketahanan Nasional Alokasi anggaran untuk Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp140,9 miliar. Jumlah ini secara nominal turun sebesar Rp97,7 miliar atau 41,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Lemhannas dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp238,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Lembaga Ketahanan Nasional dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp137,9 miliar, dan PHLN sebesar Rp3,0 miliar. Anggaran belanja pada Lemhannas dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Lemhannas, dengan alokasi anggaran sebesar Rp86,6 miliar; (2) program pengembangan ketahanan nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp52,0 miliar; serta (3) program peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur Lemhannas, dengan alokasi anggaran Rp2,3 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tersusunnya dokumen perencanaan program kerja dan anggaran Lemhannas RI, laporan pengelolaan administrasi keuangan, laporan hasil pengendalian program kerja dan evaluasi pelaksanaan program kerja dan anggaran Lemhannas RI; (2) tersusunnya dokumen Kurikulum Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) dan Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA), dokumen bahan ajaran dan Modul Penataran Istri/ Suami PPSA/PPRA) Lemhannas RI, dokumen bahan ajaran dan modul forum konsolidasi bupati, Walikota & Ketua DPRD Kabupaten/Kota; serta (3) terselenggaranya penyampaian berita dan informasi Lemhannas serta database informasi kehumasan secara online dan up-to-date. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya dukungan bagi Kinerja Lemhannas RI secara efektif dan efisien serta optimal; (2) meningkatnya kualitas pelaksanaan pendidikan pimpinan tingkat nasional secara efektif dan efisien serta optimal; serta (3) meningkatnya pengawasan dan pemeriksaan kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi kelembagaan di lingkungan Lemhannas RI. Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp435,8 miliar. Jumlah tersebut secara nominal meningkat sebesar Rp7,1 miliar atau 1,7 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja BKPM dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp428,7 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BKPM dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program peningkatan daya saing penanaman modal, dengan alokasi anggaran sebesar Rp270,1 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BKPM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp155,5 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BKPM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp10,2 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) meningkatnya jumlah aplikasi perijinan dan non perijinan yang menjadi wewenang BKPM, PTSP Propinsi, PTSP Kabupaten/Kota yang terbangun dalam Sistem Pelayanan Informasi dan Pemberian Izin Secara Elektronik (SPIPISE) sebanyak 15 perijinan sektor; (2) meningkatnya jumlah aparatur BKPM yang mengikuti diklat struktural, diklat Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -91

250 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 teknis, diklat fungsional, dan tenaga kediklatan serta jumlah kurikulum dan modul diklat sebanyak 442 orang; serta (3) terlaksananya pengembangan laporan data realisasi penanaman modal untuk proyek di 9 provinsi. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BKPM pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya kualitas dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya di BKPM; (2) meningkatnya kualitas kajian dan usulan kebijakan, informasi potensi, dan fasilitasi pengembangan usaha untuk mendorong peningkatan daya saing penanaman modal; serta (3) meningkatnya kualitas promosi yang berorientasi pada peningkatan daya saing penanaman modal. Badan Narkotika Nasional Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam RAPBN tahun 2011 mendapat alokasi anggaran sebesar Rp723,6 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp355,4 miliar atau 96,5 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BNN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp368,2 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BNN dalam RAPBN 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN), dengan alokasi anggaran sebesar Rp545,6 miliar; serta (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BNN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp178,0 miliar. Output yang diharapkan dari kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terbentuknya 7 Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) dan 25 Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota (BNNK) yang terbentuk untuk menyelenggarakan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN); (2) tercapainya opini laporan akuntabilitas kinerja dan keuangan BNN dengan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan tercapainya peringkat Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip) BNN dalam peringkat 30 besar; serta (3) menurunnya angka prevalensi penyalahgunaan narkoba menjadi 1,95 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BNN pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain meliputi: (1) meningkatnya sikap postif masyarakat thd bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba; (2) meningkatnya kinerja akuntabilitas dan keuangan BNN; serta (3) meningkatnya fasilitas rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba yang dikelola instansi Pemerintah. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Alokasi anggaran untuk Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp1,2 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp144,5 miliar atau 13,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,0 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp716,4 miliar, dan PHLN sebesar Rp468,1 miliar. Anggaran belanja Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program percepatan pembangunan daerah tertinggal, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,1 triliun; serta (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya KPDT, dengan alokasi anggaran sebesar Rp126,7 miliar. IV-92 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

251 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) terlaksananya fasilitasi penguatan kelembagaan pemerintah daerah dan peningkatan indeks Good Governance pada kabupaten di daerah tertinggal sebesar 40 persen; (2) meningkatnya persentase kabupaten di daerah tertinggal yang memiliki pusat produksi dan pusat pertumbuhan sebesar 40 persen; serta (3) meningkatnya persentase kabupaten daerah tertinggal yang memiliki kebijakan pembangunan infrastruktur energi daerah tertinggal sebesar 40 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya kemampuan sistem, organisasi, dan SDM pemerintah daerah untuk mewujudkan Good Governance; (2) meningkatnya pengembangan pusat produksi dan pertumbuhan di daerah tertinggal; serta (3) meningkatnya pemanfaatan energi matahari untuk pengembangan infrastruktur dasar di wilayah perdesaan tertinggal terpencil. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp2,4 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp1,1 triliun atau 77,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BKKBN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,4 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja BKKBN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program kependudukan dan KB, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,2 triliun; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BKKBN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp102,7 miliar; serta (3) program pelatihan dan pengembangan BKKBN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp65,1 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) tercapainya peserta keluarga berencana (KB) baru miskin dan rentan lainnya yang mendapatkan alat dan obat kontrasepsi gratis melalui klinik KB pemerintah dan swasta sebanyak 3,8 juta orang, (2) tercapainya peserta KB aktif miskin dan rentan lainnya yang mendapatkan diskon gratis melalui klinik KB Pemerintah dan swasta sebanyak 12,2 juta orang; serta (3) persentase cakupan jejaring sistem teknologi informasi dan komunikasi data informasi kependudukan dan KB sampai kabupaten/kota (495 sasaran) mencapai 30 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BKKBN pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya pembinaan kesertaan, dan kemandirian ber-kb; (2) meningkatnya keterampilan keluarga dalam pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak, pembinaan remaja, serta peningkatakan kualitas hidup lansia; serta (3) meningkatnya ketersediaan sarana, prasarana, dan teknologi informasi komunikasi program kependudukan dan KB. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp57,2 miliar. Jumlah ini turun sebesar Rp0,9 miliar atau 1,5 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Komnas HAM dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp58,1 miliar. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh telah selesainya pembangunan gedung dalam tahun anggaran Rencana alokasi anggaran belanja Komnas HAM dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -93

252 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan program kerja dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Komnas HAM. Output yang diharapkan dari kegiatan pada program-program tersebut adalah tercapainya kenaikan pemahaman aparatur negara terhadap ketaatan atas produk perundang-undangan yang berperspektif HAM sebesar 5 persen. Sementara itu, outcome yang diharapkan adalah meningkatnya dukungan manajemen pelaksanaan tugas teknis Komnas HAM. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Meterorologi, Geofisika, dan Klimatologi (BMKG) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,3 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp370,1 miliar atau 39,1 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja BMKG dalam APBN-P 2010 sebesar Rp947,3 miliar. Rencana alokasi anggaran tersebut berasal dari rupiah murni sebesar Rp1,1 triliun, PHLN/PDN sebesar Rp140,9 miliar dan pagu penggunaan PNBP/BLU sebesar Rp40,3 miliar. Alokasi anggaran pada BMKG dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program pengembangan dan pembinaan meteorologi, klimatologi, dan geofisika, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,0 triliun; serta (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BMKG, dengan alokasi anggaran sebesar Rp277,8 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut meliputi: (1) terlaksananya pembangunan sarana analisa cuaca Meteorological Early Warning System (MEWS) di empat lokasi, (2) telaksananya pembangunan AWOS (Automatic Weather Observation System) di stasiun meteorologi di empat lokasi, serta (3) pelaksanaan pemeliharaan dan operasional MKKuG (Meteorologi, Klimatologi, Kualitas Udara dan Geofisika) pada 177 UPT. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BMKG pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain yaitu: (1) meningkatnya pelayanan data dan informasi meteorologi publik serta peringatan dini cuaca ekstrim; (2) meningkatnya kualitas, kuantitas dan jangkauan pelayanan data, informasi dan jasa di bidang meteorologi penerbangan dan maritim; serta (3) terbinanya pelaksanaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) BMKG. Komisi Pemilihan Umum Alokasi anggaran untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp980,9 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp19,4 miliar atau 2,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja KPU dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp961,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja KPU dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan tiga program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya KPU, dengan alokasi anggaran sebesar Rp796,0 miliar; (2) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur KPU, dengan alokasi anggaran sebesar Rp121,5 miliar; serta (3) program penguatan kelembagaan demokrasi dan perbaikan proses politik, dengan alokasi anggaran sebesar Rp63,4 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) tercapainya persentase penyiapan dan penyelenggaraan pemilu yang tepat waktu dan akuntabel (sesuai dengan peraturan perundangan) sebesar 80 persen; (2) tercapainya persentase penyelenggaraan dukungan manajemen yang profesional, akuntabel (sesuai dengan peraturan perundangan), efisien (tepat sasaran), dan efektif (tepat guna) sebesar 70 persen; serta (3) terlaksananya tingkat/kesesuaian kebutuhan anggota IV-94 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

253 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV dan staf KPU terhadap ketersediaan sarana dan prasarana KPU/KPU Provinsi/Kabupaten/ Kota dan sarana dan prasarana serta kendaraan operasional untuk daerah pemekaran sebesar 20 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain meliputi: (1) tersedianya dokumen perencanaan dan penganggaran, koordinasi antarlembaga, data dan informasi serta hasil monitoring dan evaluasi; (2) terselenggaranya pengelolaan data, pengadaan, pendistribusian, inventarisasi sarana dan prasarana serta terpenuhinya logistik keperluan Pemilu; serta (3) tersedianya sarana dan prasarana operasionalisasi KPU yang memadai. Mahkamah Konstitusi Dalam RAPBN tahun 2011, Mahkamah Konstitusi RI direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp287,7 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp98,4 miliar atau 52,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Mahkamah Konstitusi RI dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp189,3 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Mahkamah Konstitusi dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan teknis manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Mahkamah Konstitusi RI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp115,6 miliar; (2) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Mahkamah Konstitusi RI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp70,0 miliar; serta (3) program penanganan perkara konstitusi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp55,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) terselenggaranya persidangan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU), Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN), Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Legislatif, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati, Pemilihan Walikota dan perkara lainnya; (2) terselenggaranya pendidikan dan pelatihan panitera pengganti bagi pegawai Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi RI, serta pendidikan dan pelatihan administrasi yustisial bagi pegawai Mahkamah Konstitusi RI; serta (3) terselenggaranya temu wicara antara Mahkamah Konstitusi dengan KPU dan KPUD, Badan Bawaslu dan Panwaslu, serta kelompok profesi dan organisasi masyarakat, serta debat konstitusi antara Mahkamah Konstitusi dengan perguruan tinggi. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain berupa: (1) terselesaikannya perkara-perkara yang terkait dengan peradilan konstitusi yang tepat waktu, serta dengan keputusan yang independen dan tidak memihak; (2) meningkatnya proses peradilan secara efektif, efisien, akuntabel, dan transparan; serta (3) meningkatnya pemahaman masyarakat tentang isu konstitusi dan ketatanegaraan. Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp97,9 miliar. Jumlah ini secara nominal menurun sebesar Rp16,0 miliar atau 14,1 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja PPATK dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp113,9 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan tiga program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -95

254 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 tugas teknis lainnya PPATK, dengan alokasi anggaran sebesar Rp56,9 miliar; (2) program pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan terorisme, dengan alokasi anggaran sebesar Rp33,5 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur PPATK, dengan alokasi anggaran sebesar Rp7,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya kualitas yang baik dan tepat waktu penyelesaian dokumen perencanaan, pelaksanaan, sistem akuntansi dan pelaporan yang mengacu pada ketentuan yang berlaku, hingga 100 persen; (2) tersedianya sarana dan prasarana perkantoran terhadap kebutuhan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi PPATK hingga 100 persen; serta (3) masuknya dan tersedianya pendapat dan bantuan hukum terkait masalah TPPU dan pendanaan terorisme maupun masalah terkait lainnya sebanyak 24 dokumen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh PPATK pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain meliputi: (1) terpenuhinya dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis PPATK yang berkualitas; (2) terpenuhinya sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi PPATK; serta (3) meningkatnya partisipasi pihak-pihak terkait dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan pendanaan terorisme di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dalam RAPBN tahun 2011, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp599,0 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp102,8 miliar atau 20,7 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp496,2 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp531,7 miliar, PHLN sebesar Rp27,0 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp40,4 miliar. Alokasi anggaran pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program penelitian, penguasaan, dan pemanfaatan iptek, dengan alokasi anggaran Rp452,2 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya LIPI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp103,7 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur LIPI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp43,1 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) terbangunnya kreatifitas dan profesionalisme pada 40 UKM binaan; (2) tersusunnya 12 publikasi ilmiah, termasuk buku indikator iptek mengenai pembangunan kebijakan Iptek Nasional yang tepat; serta (3) terbangunnya 1 paket fasilitas laboratorium dan peralatannya dan paket pengembangan program bioteknologi peternakan. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 2011 tersebut, maka outcomes yang diharapkan antara lain adalah: (1) terbangunnya tatakelola litbang yang efisien dan efektif, yang mampu mendorong kreatifitas dan profesionalisme peneliti ; (2) tersusunnya konsep dan rancangan pembangunan kebijakan Iptek Nasional yang tepat; serta (3) terbangunnya fasilitas litbang bioteknologi peternakan modern. IV-96 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

255 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Badan Tenaga Nuklir Nasional Alokasi anggaran untuk Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp601,6 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp194,8 miliar atau 47,8 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BATAN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp406,8 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BATAN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp588,0 milar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp13,6 miliar. Alokasi anggaran pada BATAN dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program penelitian pengembangan dan penerapan energi nuklir, isotop, dan radiasi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp506,9 miliar; serta (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BATAN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp94,7 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya pengembangan aplikasi teknologi isotop dan radiasi untuk meningkatkan produktivitas dan varietas bibit unggul tanaman pangan, yaitu varietas padi (padi sawah, padi gogo, padi lokal dataran tinggi, dan padi hibrida), sorgum dan gandum tropis; serta (2) tersedianya prototipe perangkat nuklir untuk kesehatan, industri, dan sistem kendali reaktor. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BATAN pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain berupa: (1) meningkatnya kapasitas dan kapabilitas sumber daya iptek dan kinerja manajemen kelembagaan litbang untuk mendukung penguatan sistem inovasi dan pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan energi nuklir isotop dan radiasi ke masyarakat; serta (2) meningkatnya hasil litbang enisora dan pemanfaatan/ penerapan di bidang pangan, energi, kesehatan dan obat serta sumber daya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp693,3 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp24,3 miliar atau 3,6 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BPPT dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp669,0 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp581,1 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp112,2 miliar. Anggaran belanja BPPT dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BPPT, dengan alokasi anggaran sebesar Rp332,3 miliar; (2) program pengkajian dan penerapan teknologi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp280,9 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BPPT, dengan alokasi anggaran sebesar Rp80,1 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) terselenggaranya pengembangan produk pupuk berimbang, yang meliputi TPY Slow Realease Fertilizer (SRF), TPY pupuk hayati, dan 300 TPY pupuk BCOF; (2) terlaksananya pengembangan PLTP skala kecil, yang meliputi satu pilot plant PLTP 3MW dan satu paket komponen PLTP binary cycle 100kW; serta (3) terlaksananya uji coba prototipe BCCS dengan kemampuan daya serap 1,5 gram CO2 per liter per hari. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -97

256 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada tahun 2011 tersebut, maka outcomes yang diharapkan antara lain adalah: (1) berkembangnya produk pupuk berimbang; (2) berkembangnya PLTP skala kecil; serta (3) berkembangnya teknologi pengendalian dan mitigasi dampak pemanasan global. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Alokasi anggaran untuk Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp365,5 miliar. Jumlah tersebut secara nominal meningkat sebesar Rp126,5 miliar atau 52,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja LAPAN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp239,0 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja LAPAN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp349,5 miliar, dan pagu penggunaan PNBP/BLU sebesar Rp16,0 miliar. Alokasi anggaran pada LAPAN dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program pengembangan teknologi penerbangan dan antariksa, dengan alokasi anggaran sebesar Rp278,3 miliar program; serta (2) dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya LAPAN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp87,2 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya pengembangan 10 tipe/jenis roket; (2) terlaksananya peluncuran 2 satelit yang dibuat/ diintegrasi di dalam negeri; serta (3) tersedianya 1 rancang bangun jenis pesawat nir-awak dan propulsi jet. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh LAPAN pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain meliputi: (1) meningkatnya kemampuan penguasaan teknologi roket, teknologi satelit, dan stasiun bumi; (2) kontinuitas operasi instansi uji terbang, stasiun pengamat dirgantara untuk mendukung litbang, dan pemanfaatan sains antariksa. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp455,2 miliar, atau secara nominal turun sebesar Rp7,8 miliar atau 1,7 persen dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp463,0 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Bakorsurtanal dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berasal dari rupiah murni sebesar Rp221,8 miliar, PNBP/BLU sebesar Rp9,3 miliar, dan PHLN sebesar Rp224,1 miliar. Alokasi dana tersebut digunakan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program survei dan pemetaan nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp372,8 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Bakorsurtanal, dengan alokasi anggaran Rp82,4 miliar. Melalui kedua program tersebut diharapkan dapat tercapai output diantaranya: (1) tersusunnya dokumen-dokumen kebijakan pemetaan dasar rupa bumi, peta dasar nasional matra darat, lautan dan udara serta batas wilayah; (2) tersusunnya dokumen data dan informasi atas serta pengembangan wilayah; serta (3) tersusunnya dokumen koordinasi pelaksanaan di bidang sistem jaringan dan standardisasi data spasial serta bidang survei geodesi dan geodinamika. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai program dan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Bakosurtanal pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain meliputi: (1) meningkatnya pemanfaatan peta dasar dalam mendukung pembangunan nasional; (2) tertatanya penyelenggaraan survei dan IV-98 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

257 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV pemetaan di bidang sistem jaringan dan standardisasi data spasial serta survei geodesi dan geodinamika; serta (3) memperluas pemanfaatan data dan informasi spasial tematik hasil survei SDA dan lingkungan hidup untuk pengelolaan SDA dan perlindungan fungsi lingkungan hidup yang berkelanjutan. Badan Standardisasi Nasional Badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp82,6 miliar. Jumlah ini secara nominal menurun sebesar Rp39,0 miliar atau 32,1 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BSN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp121,6 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BSN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp74,2 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp8,4 miliar. Alokasi anggaran pada BSN dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan standardisasi nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp52,6 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan teknis lainnya BSN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp29,1 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BSN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp0,9 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terselesaikannya Undang-Undang mengenai standardisasi; (2) terselesaikannya 200 Standard Nasional Indonesia (SNI); serta (3) terselesaikannya laporan fasilitasi penerapan SNI kepada LPK dan industri/organisasi. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BSN pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain berupa: (1) tersedianya peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; (2) meningkatnya jumlah Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan sesuai kebutuhan pasar dan tata cara perumusan standar; serta (3) meningkatnya penerapan standar/sni oleh pemangku kepentingan standardisasi. Badan Pengawas Tenaga Nuklir Alokasi anggaran untuk Badan Pengawas Tenaga Nuklir dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp76,8 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp19,5 miliar atau 34,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Badan Pengawas Tenaga Nuklir dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp57,3 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Badan Pengawas Tenaga Nuklir dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp72,0 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp4,7 miliar. Alokasi anggaran pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan tiga program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Badan Pengawas Tenaga Nuklir, dengan alokasi anggaran sebesar Rp52,0 miliar; (2) program pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir, dengan alokasi anggaran sebesar Rp22,1 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,6 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terselesaikannya laporan hasil inspeksi bahan nuklir, proteksi fisik, audit pembukuan, dan pengendalian bahan nuklir serta bahan sumber sebanyak 30 laporan; (2) terselesaikannya laporan hasil inspeksi keselamatan instalasi nuklir sebanyak 24 laporan; serta (3) terselesaikannya dokumen sistem manajemen inspeksi instalasi nuklir sebanyak 9 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -99

258 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 laporan. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain meliputi: (1) tersedianya rumusan kebijakan pengawasan dalam bentuk hasil kajian yang handal untuk mendukung pengawasan, dan tersedianya peraturan perundangan yang harmonis untuk mendukung pengawasan fasilitas radiasi dan instalasi nuklir sesuai dengan regulasi nasional; (2) terwujudnya tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) sebagai pendukung pelaksanaan pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir; serta (3) meningkatnya kapasitas sarana dan prasarana dalam rangka mendukung pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir. Lembaga Administrasi Negara Dalam RAPBN tahun 2011, Lembaga Administrasi Negara (LAN) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp244,1 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp44,6 miliar atau 22,4 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja LAN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp199,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja LAN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp184,6 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp59,5 miliar. Alokasi anggaran pada Lembaga Administrasi Negara dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan tiga program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya LAN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp95,4 miliar; (2) program pengkajian administrasi negara dan diklat aparatur negara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp87,9 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur LAN, dengan alokasi anggaran Rp60,8 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) tersusunnya suatu laporan sosialisasi pembaharuan sistem diklat pola baru; (2) terselenggaranya diklat training of trainer (TOT) pelayanan publik berbasis kinerja dengan target jumlah peserta mencapai 100 orang; serta (3) terselenggaranya diklat kepemimpinan tingkat I dengan target jumlah peserta mencapai 60 orang. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Lembaga Adminstrasi Negara pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya pembangunan sistem diklat aparatur pola baru; (2) meningkatnya kualitas penyusunan modul dan terselenggaranya diklat pelayanan publik; serta (3) meningkatnya kualitas pelaksanaan diklat kepemimpinan tingkat I. Arsip Nasional Republik Indonesia Alokasi anggaran untuk Arsip Nasional Republik Indonesia dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp129,1 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp15,0 miliar atau 13,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Arsip Nasional Republik Indonesia dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp114,0 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Arsip Nasional Republik Indonesia dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp123,2 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp5,9 miliar. Alokasi anggaran pada Arsip Nasional Republik Indonesia dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan tiga program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Arsip Nasional Republik Indonesia, dengan alokasi anggaran sebesar Rp56,8 miliar; (2) program penyelenggaraan kearsipan nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp44,4 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Arsip Nasional Republik Indonesia, dengan alokasi anggaran sebesar Rp27,9 miliar. IV-100 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

259 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada ketiga program tersebut, antara lain meliputi: (1) tercapainya peningkatan koordinasi penyusunan program dan anggaran, evaluasi, dan pelaporan, ketatausahaan pimpinan serta hubungan masyarakat di lingkungan ANRI; (2) terpenuhinya sarana dan prasarana kantor untuk mendukung layanan arsip; serta (3) terlaksananya peningkatan jasa sistem dan pembenahan, penyimpanan dan perawatan arsip. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya efektivitas koordinasi perencanaan program dan kegiatan serta pengelolaan administrasi di lingkungan ANRI; (2) meningkatnya efektivitas pemenuhan sarana dan prasarana kantor untuk mendukung layanan arsip; serta (3) meningkatnya kualitas pembinaan kearsipan secara efektif dan efisien. Badan Kepegawaian Negara Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp448,5 miliar, yang secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp49,2 miliar atau 9,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran BKN dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp497,7 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BKN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berasal dari rupiah murni sebesar Rp415,3 miliar, dan PHLN sebesar Rp33,2 miliar. Alokasi anggaran pada BKN dalam tahun 2011 tersebut, akan digunakan untuk melaksanakan tiga program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BKN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp253,4 miliar; (2) program penyelenggaraan manajemen kepegawaian negara, dengan alokasi anggaran Rp114,3 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BKN, dengan alokasi anggaran sebesar Rp80,8 miliar. Melalui pelaksanaan ketiga program tersebut, diharapkan dapat tercapai output antara lain berupa: (1) meningkatnya kecepatan durasi penyelesaian penetapan SK, persetujuan, pertimbangan teknis kenaikan pangkat dan mutasi lainnya serta pensiun PNS dan pejabat negara; (2) tersedianya data PNS yang up to date dan akurat; serta (3) meningkatnya instansi pemerintah yang telah menerapkan standar kompetensi jabatan di lingkungannya. Sedangkan outcome yang diharapkan dari output yang dihasilkan dari berbagai kegiatan di BKN pada tahun 2011 diantaranya adalah: (1) meningkatnya efektifitas koordinasi perencanaan program dan kegiatan, sumber daya serta pengelolaan administrasi di lingkungan BKN; (2) terwujudnya rumusan kebijakan pembinaan kinerja dan pelaksanaan penyusunan peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian; serta (3) terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan di bidang pengadaan, kepangkatan, dan mutasi lainnya, pelayanan pensiun PNS dan Pejabat Negara serta penetapan pertimbangan status dan kedudukan kepegawaian. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Alokasi anggaran untuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam RAPBN Tahun 2011 direncanakan sebesar Rp714,0 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp47,0 miliar atau 7,0 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BPKP dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp667,0 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BPKP dalam RAPBN 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp693,3 miliar, PHLN sebesar Rp15,5 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp5,2 miliar. Anggaran belanja BPKP dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -101

260 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BPKP, dengan alokasi anggaran sebesar Rp540,8 miliar, (2) program pengawasan intern akuntabilitas keuangan negara dan pembinaan penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah, dengan alokasi anggaran sebesar Rp155,8 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BPKP, dengan alokasi anggaran sebesar Rp17,4 miliar. Output yang diharapkan dari kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terealisasinya jumlah rencana penugasan pengawasan hingga mencapai 75 persen; (2) tercapainya hasil pengawasan lintas sektor yang dijadikan bahan pengambilan keputusan oleh stakeholders hingga 80 persen; serta (3) tercapainya tingkat kepuasan penerimaan layanan dengan skala 7.7 (dalam skala likert 1-10). Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BPKP pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain meliputi: (1) meningkatnya kualitas dukungan manajemen dan kapasitas penyelenggaraan pengawasan intern akuntabilitas keuangan negara dan pembinaan penyelenggaraan SPIP; (2) meningkatnya kualitas penyelenggaraan pengawasan intern akuntabilitas keuangan negara dan pembinaan penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) pada Kementerian/ Lembaga bidang Perekonomian, bidang Polsoskam, instansi Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara/Pemerintah Daerah, dan terkait kegiatan investigasi; serta (3) terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana aparatur BPKP. Kementerian Perdagangan Kementerian Perdagangan dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,6 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp171,2 miliar atau 11,8 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Perdagangan dalam APBN-P 2010 sebesar Rp1,5 triliun. Rencana alokasi anggaran tersebut berasal dari belanja murni sebesar Rp1,6 triliun, dan pagu PNBP/BLU sebesar Rp26,2 miliar. Alokasi anggaran pada Kementerian Perdagangan dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Perdagangan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp419,9 miliar; (2) program pengembangan perdagangan dalam negeri, dengan alokasi anggaran Rp315,6 miliar; serta (3) program pengembangan ekspor nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp278,9 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut meliputi: (1) terlaksananya pengembangan 15 unit pasar percontohan dan pembangunan satu unit pusat distribusi; (2) meningkatnya persentase ketersediaan barang kebutuhan pokok bagi masyarakat mencapai 92 persen; serta (3) meningkatnya pelayanan promosi dan hubungan dagang dalam rangka pengembangan ekspor nasional. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Perdagangan pada tahun 2001 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya efektivitas kebijakan yang menunjang pengembangan dan pengamanan perdagangan dalam negeri; (2) meningkatnya diversifikasi pasar ekspor; serta (3) meningkatnya kerja sama perdagangan internasional dalam rangka peningkatan dan pengamanan akses pasar. IV-102 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

261 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Kementerian Perumahan Rakyat Dalam RAPBN tahun 2011, Kementerian Perumahan Rakyat direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp2,8 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp1,8 triliun atau 186,1 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Perumahan Rakyat dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp964,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Perumahan Rakyat dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan perumahan dan permukiman, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,5 triliun; (2) program dukungan dan manajemen tugas teknis lainnya Kementerian Perumahan Rakyat, dengan alokasi anggaran sebesar Rp216,8 miliar; serta (3) program pengembangan pembiayaan perumahan dan permukiman, dengan alokasi anggaran sebesar Rp57,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terbangunnya 100 twin block rusunawa; (2) tersedianya fasilitasi dan stimulasi pembangunan baru perumahan swadaya sebanyak unit; serta (3) tersedianya fasilitasi dan stimulasi prasarana, sarana dan utilitas kawasan perumahan dan permukiman sebanyak unit. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya jumlah rusunawa terbangun; (2) meningkatnya jumlah fasilitasi dan stimulasi pembangunan baru perumahan swadaya; serta (3) meningkatnya jumlah fasilitasi dan stimulasi prasarana, sarana dan utilitas kawasan perumahan dan permukiman. Kementerian Pemuda dan Olah Raga Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp2,1 triliun. Jumlah ini secara nominal menurun sebesar Rp419,8 miliar atau 16,8 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp2,5 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam RAPBN 2011 tersebut keseluruhannya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pembinaan olahraga prestasi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp965,5 miliar; (2) program pembinaan dan pengembangan olahraga, dengan alokasi anggaran sebesar Rp479,7 miliar; serta (3) program pelayanan kepemudaan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp342,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terfasilitasinya pemuda dalam pendidikan kepanduan; (2) terfasilitasinya 66 sentra kewirausahaan pemuda; serta (3) terlaksananya fasilitasi 135 kejuaraan cabang olahraga unggulan bertaraf internasional. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya partisipasi dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan; (2) meningkatnya kualitas fasilitas penunjang prestasi olahraga; serta (3) meningkatnya budaya dan prestasi olahraga. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -103

262 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp575,7 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat Rp116,9 miliar atau 25,5 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran Belanja KPK dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp458,8 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja KPK dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berasal dari rupiah murni sebesar Rp540,0 miliar, dan PHLN sebesar Rp35,7 miliar. Alokasi anggaran tersebut akan digunakan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya KPK, dengan alokasi anggaran sebesar Rp417,0 miliar; serta (2) program pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp158,7 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai program tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya 80 persen putusan Inkracht Pengadilan Tipikor yang menyatakan terdakwa bersalah; (2) tercapainya 50 persen hasil pengembalian/penyelamatan kerugian Negara dari eksekusi perkara yang telah Inkracht; serta (3) tercapainya 100 persen keberhasilan penanganan perkara TPK oleh Apgakum yang disupervisi KPK. Sedangkan outcome yang diharapkan dari output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan kegiatan pada KPK pada tahun 2011 diantaranya adalah: (1) meningkatnya efektivitas penindakan TPK; (2) penindakan TPK yang kuat dan proaktif; serta (3) berkurangnya korupsi di Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah Dalam RAPBN tahun 2011, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,2 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp519,6 miliar, atau 81,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja DPD dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp634,6 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja DPD dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain yaitu: (1) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur DPD RI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp641,3 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya DPD RI sebesar Rp327,6 miliar; serta (3) program penguatan kelembagaan DPD dalam sistem demokrasi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp185,3 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) tercapainya persentase tersedianya dukungan persidangan Komite I, Komite III, Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU), Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT), Kelompok DPD di MPR untuk pelaksanaan fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan Dewan Perwakilan Daerah sebesar 100 persen; serta (2) tercapainya persentase terselenggaranya kegiatan perencanaan, keuangan, administrasi keanggotaan, kepegawaian, penataan organisasi dan tata laksana, teknologi informasi, pengkajian aspirasi masyarakat daerah, dan pengkajian kebijakan hukum sebanyak 100 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh DPD pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) terselenggaranya pelaksanaan fungsi legislasi, pertimbangan, dan pengawasan DPD serta penyerapan aspirasi masyarakat dan daerah dan akuntabilitas kinerja anggota DPD; serta (2) terselenggaranya pelaksanaan kinerja Biro Administrasi, Biro Sekretariat Pimpinan, Biro Perencanaan dan Keuangan, Pusat Data dan Informasi, Pusat Kajian Daerah, Pusat Kajian Kebijakan dan Hukum Setjen DPD. IV-104 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

263 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Komisi Yudisial RI Komisi Yudisial dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp79,7 miliar. Jumlah ini meningkat sebesar Rp21,2 miliar atau 36,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Komisi Yudisial dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp58,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Komisi Yudisial dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Komisi Yudisial, dengan alokasi anggaran sebesar Rp60,2 miliar; (2) program peningkatan kinerja seleksi Hakim Agung dan pengawasan perilaku Hakim, dengan alokasi anggaran sebesar Rp16,1 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Komisi Yudisial, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,4 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) terwujudnya pelayanan yang handal oleh Komisi Yudisial bagi publik pencari keadilan; (2) tercapainya jumlah pengaduan masyarakat yang ditangani hingga tuntas sebesar 70 persen; serta (3) meningkatnya penyelesaian pelaksanaan tugas oleh Komisi Yudisial secara cepat dan efisien dengan sarana dan prasarana yang memadai. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Komisi Yudisial pada tahun 2011 tersebut, outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya dukungan teknis administratif kepada Komisi Yudisial di bidang pembiayaan kegiatan, peningkatan SDM, akuntabilitas serta pelayanan publik; (2) terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bersih dan berwibawa; serta (3) meningkatnya sarana dan prasarana kantor untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Yudisial. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Alokasi anggaran untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp663,2 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp441,1 miliar atau 198,7 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp222,1 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BNPB dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp645,7 milar, dan PHLN sebesar Rp17,6 miliar. Alokasi anggaran pada BNPB dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program penanggulangan bencana, dengan alokasi anggaran sebesar Rp579,2 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BNPB, dengan alokasi anggaran sebesar Rp46,7 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur BNPB, dengan alokasi anggaran sebesar Rp34,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) tersusunnya rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana yang tersusun dan terbentuknya kelembagaan penanggulangan bencana daerah di 33 provinsi dan 100 kabupaten/kota; serta (2) terlaksananya pemenuhan kebutuhan dan pendistribusian logistik kebencanaan pada 17 provinsi. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BNPB pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan adalah terlaksananya penanggulangan bencana di Indonesia secara terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -105

264 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Dalam RAPBN tahun 2011, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp264,0 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp10,5 miliar atau 4,1 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BNP2TKI dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp253,5 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja BNP2TKI dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dipergunakan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BNP2TKI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp184,5 miliar; serta (2) program peningkatan fasilitasi penempatan dan perlindungan TKI, dengan alokasi anggaran sebesar Rp79,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain adalah: (1) terlayaninya 600 ribu pekerja migran dalam memperoleh KTKLN; serta (2) terlaksananya pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dengan silabus yang memenuhi standar perlindungan dan prinsip-prinsip HAM kepada 600 ribu pekerja migran. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BNP2TKI pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain yaitu: (1) meningkatnya pemahaman hak dan kewajiban pekerja imigran; serta (2) meningkatnya fasilitasi penempatan dan perlindungan TKI. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,3 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp70,0 miliar atau 5,8 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja BPLS dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,2 triliun. Rencana alokasi anggaran belanja BPLS dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan dua program, yaitu: (1) program penanggulangan bencana lumpur sidoarjo, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,3 triliun; serta (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya BPLS, dengan alokasi anggaran sebesar Rp22,8 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada kedua program tersebut, antara lain adalah: (1) terlaksananya pembayaran jual beli tanah dan pembangunan di luar peta area terdampak seluas 61 Ha; (2) terlaksananya penanganan pengaliran luapan lumpur melalui operasi 6 unit kapal keruk untuk mengalirkan 32,4 juta m 3 lumpur; serta (3) terlaksananya pembangunan relokasi jalan arteri sebanyak 4 paket dan simpang susun Kesambi 1 paket. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BPLS pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan adalah: (1) terlaksananya perlindungan sosial terhadap warga terdampak akibat semburan dan luapan lumpur; (2) terpenuhinya pemberian rasa aman masyarakat di sekitar semburan lumpur dan menyediakan infrastruktur untuk percepatan pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat/jawa Timur; serta (3) terlaksananya penanggulangan bencana di Indonesia secara terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. IV-106 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

265 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Alokasi anggaran untuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat sebesar Rp208,6 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp98,4 miliar atau 89,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja LKPP dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp110,2 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja LKPP dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp198,2 miliar, dan PHLN sebesar 10,4 miliar. Alokasi anggaran pada LKPP dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengembangan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah alokasi anggaran sebesar Rp80,9 miliar; (2) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur LKPP, dengan alokasi anggaran sebesar Rp79,7 miliar; serta (3) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya LKPP, dengan alokasi anggaran sebesar Rp48,0 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) terselesaikannya reorganisasi yang dilakukan sesuai dengan fungsi dan kebutuhan LKPP; (2) tercapainya persentase pemenuhan kebutuhan pegawai sebesar 80 persen; serta (3) tercapainya persentase pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana sebesar 75 persen. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh LKPP pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) terlaksananya penyempurnaan fungsi dan struktur organisasi LKPP; (2) terpenuhinya SDM yang kompeten; serta (3) terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana LKPP. Badan SAR Nasional Dalam RAPBN tahun 2011, Badan SAR Nasional direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp1,2 triliun. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp572,7 miliar atau 96,9 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja Badan SAR Nasional dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp591,1 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja Badan SAR Nasional dalam RAPBN tahun 2011 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp1.1 triliun, dan PHLN sebesar Rp109,2 miliar. Alokasi anggaran pada Badan SAR Nasional dalam tahun 2011 tersebut, akan dimanfaatkan untuk melaksanakan tiga program, yaitu: (1) program pengelolaan pencarian, pertolongan, dan penyelamatan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp839,4 miliar; (2) program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Badan SAR Nasional sebesar Rp215,6 miliar; serta (3) program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Badan SAR Nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp108,8 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) tersedianya beberapa kelengkapan Badan SAR Nasional, yang terdiri atas helikopter tipe medium sebanyak 2 unit, rapid deployment vehicle sebanyak 25 unit, dan rubber boat sebanyak 20 unit; (2) terselenggaranya operasi dan latihan SAR sebanyak 12 paket; serta (3) terlaksananya pelatihan, pendidikan, dan pemasyarakatan SAR sebanyak 12 paket. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh Badan SAR Nasional pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan antara lain adalah: (1) meningkatnya keberhasilan operasi SAR; (2) terpenuhinya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan SAR yang lebih meningkat sesuai Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -107

266 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 dengan beban dan tanggung jawab Badan SAR Nasional; serta (3) meningkatnya pengaturan, pengawasan dan pengendalian potensi SAR. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp181,3 miliar. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp99,0 miliar atau 120,3 persen bila dibandingkan dengan pagu alokasi anggaran belanja KPPU dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp82,3 miliar. Rencana alokasi anggaran belanja KPPU dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dimanfaatkan untuk melaksanakan program pengawasan persaingan usaha. Output yang diharapkan dari program tersebut, antara lain: (1) terselesaikannya penegakan hukum persaingan usaha sebanyak 326 kasus; serta (2) terselesaikannya kegiatan pengembangan dan harmonisasi kebijakan persaingan usaha sebanyak 28 kegiatan. Berdasarkan output yang dihasilkan dari program yang akan dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan adalah berjalannya kegiatan pengawasan persaingan usaha secara efektif dan kredibel dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Badan Pengembangan Wilayah Suramadu Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar R292,5 miliar. BPWS merupakan badan baru yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 27 tahun 2008 dan telah dilakukan perubahan sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 23 tahun Rencana alokasi anggaran belanja BPWS dalam RAPBN tahun 2011 tersebut seluruhnya bersumber dari rupiah murni, yang akan dipergunakan untuk melaksanakan berbagai program, antara lain: (1) program pengawasan kawasan kaki jembatan sisi Madura (KKJSM), dengan alokasi anggaran sebesar Rp208,0 miliar; (2) program administrasi kegiatan, dengan alokasi anggaran Rp30,0 miliar; serta (3) program fasilitasi pembangunan wilayah, dengan alokasi anggaran sebesar Rp20,5 miliar. Output yang diharapkan dari berbagai kegiatan pada program-program tersebut, antara lain meliputi: (1) terbangun dan terkelolanya 3 kawasan (600 ha di kaki jembatan sis Surabaya, 600 ha kaki jembatan sisi Madura, dan 600 ha kawasan khusus di Pulau Madura); (2) beroperasinya jembatan tol Suramadu dan tol lingkar timur Surabaya; serta (3) beroperasinya pelabuhan peti kemas di pantai utara Madura. Berdasarkan output yang dihasilkan dari berbagai kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh BPWS pada tahun 2011 tersebut, maka outcome yang diharapkan adalah optimalisasi pengembangan wilayah Surabaya Madura sebagai pusat perekonomian Jawa Timur. Selanjutnya, rincian Belanja Pemerintah Pusat menurut Kementerian Negara/Lembaga dapat dilihat dalam Tabel IV.16. IV-108 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

267 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV TABEL IV.16 ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA, (miliar rupiah) No. KODE BA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA APBN-P 2010 RAPBN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 260,3 340, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 2.376, , BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 2.297, , MAHKAMAH AGUNG 5.219, , KEJAKSAAN AGUNG 2.940, , SEKRETARIAT NEGARA 1.908, , KEMENTERIAN DALAM NEGERI , , KEMENTERIAN LUAR NEGERI 5.563, , KEMENTERIAN PERTAHANAN , , KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM 5.320, , KEMENTERIAN KEUANGAN , , KEMENTERIAN PERTANIAN 8.887, , KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 1.684, , KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 8.002, , KEMENTERIAN PERHUBUNGAN , , KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL , , KEMENTERIAN KESEHATAN , , KEMENTERIAN AGAMA , , KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 3.122, , KEMENTERIAN SOSIAL 3.727, , KEMENTERIAN KEHUTANAN 4.023, , KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 3.380, , KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM , , KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN 238,8 436, KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN 116,4 220, KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT 101,2 132, KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA 1.679, , KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA 166,2 140, KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI 650,5 440, KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 422,3 854, KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM 789,3 828, KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK 183,5 160, KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI 129,8 153, BADAN INTELIJEN NEGARA 985, , LEMBAGA SANDI NEGARA 625,1 500, DEWAN KETAHANAN NASIONAL 30,2 37, BADAN PUSAT STATISTIK 5.153, , KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS 566,3 699, BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2.951, , PERPUSTAKAAN NASIONAL 443,6 332, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 2.888, , KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA , , BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN 657,9 778, LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL 238,5 140, BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL 428,7 435, BADAN NARKOTIKA NASIONAL 368,2 723, KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 1.040, , BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL 1.361, , KOMISI NASIONAL HAK AZASI MANUSIA 58,1 57, BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 947, , KOMISI PEMILIHAN UMUM 961,5 980,9 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -109

268 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 No. KODE BA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI 189,3 287, PUSAT PELAPORAN ANALISIS DAN TRANSAKSI KEUANGAN 113,9 97, LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 496,2 599, BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL 406,8 601, BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 669,0 693, LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL 239,0 365, BADAN KOORDINASI SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL 463,0 455, BADAN STANDARDISASI NASIONAL 121,6 82, BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR 57,3 76, LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA 199,5 244, ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA 114,0 129, BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA 497,7 448, BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN 667,0 714, KEMENTERIAN PERDAGANGAN 1.455, , KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT 964, , KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAH RAGA 2.503, , KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI 458,8 575, DEWAN PERWAKILAN DAERAH 634, , KOMISI YUDISIAL RI 58,5 79, BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA 222,1 663, BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI 253,5 264, BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO 1.216, , LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH 110,2 208, BADAN SAR NASIONAL 591, , KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 82,3 181, BADAN PENGEMBANGAN WILAYAH SURAMADU - 292,5 Sumber: Kementerian Keuangan JUMLAH APBN-P 2010 RAPBN , , Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, RAPBN tahun 2011 Menurut klasifikasi fungsi, alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam APBN dirinci ke dalam 11 fungsi, yang pengklasifikasiannya bertujuan untuk menggambarkan tugas pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Fungsi-fungsi tersebut mencakup: (1) pelayanan umum; (2) pertahanan; (3) ketertiban dan keamanan; (4) ekonomi; (5) lingkungan hidup; (6) perumahan dan fasilitas umum; (7) kesehatan; (8) pariwisata dan budaya; (9) agama; (10) pendidikan; dan (11) perlindungan sosial. Alokasi anggaran belanja pemerintah pusat menurut fungsi merupakan pengelompokan belanja pemerintah pusat berdasarkan fungsi-fungsi utama pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai subfungsi, yang pada dasarnya merupakan kompilasi dari anggaran berbagai kegiatan di setiap kementerian negara/lembaga. Kegiatan adalah penjabaran dari program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit Eselon II/satuan kerja atau penugasan tertentu K/L yang berisi satu atau beberapa komponen kegiatan untuk mencapai keluaran (output) dengan indikator kinerja yang terukur. Selain itu, kegiatan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya, baik yang berupa sumber daya manusia (SDM), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, serta dana, atau dengan kata lain kegiatan adalah IV-110 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

269 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Satker merupakan business unit yang melakukan siklus anggaran dari sejak perencanaan dan penganggaran hingga pelaksanaan, pertanggungjawaban,dan pelaporannya. Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi belanja pemerintah pusat berdasarkan fungsi masih didominasi oleh fungsi pelayanan umum, yang kemudian diikuti secara berturut-turut oleh fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi pertahanan, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya, seperti fungsi lingkungan hidup, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama dan fungsi perlindungan sosial. Relatif tingginya porsi alokasi anggaran pada fungsi pelayanan umum tersebut menunjukkan bahwa fungsi pemberian pelayanan umum kepada masyarakat merupakan fungsi utama pemerintah, yang terdiri dari pemberian subsidi, pembayaran bunga utang, dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya, peyelenggaraan diplomasi dan kerjasama internasional, penataan administrasi kependudukan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan daerah, serta penelitian dan pengembangan iptek. Perbandingan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat menurut fungsi tahun dapat dilihat dalam Tabel IV.17. KODE TABEL IV.17 ALOKASI BELANJA PEMERINTAH PUSAT, MENURUT FUNGSI TAHUN ) (miliar rupiah) Selanjutnya penjelasan yang lebih rinci tentang alokasi anggaran Belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi dan sasarannya adalah sebagai berikut. Alokasi Anggaran Fungsi Pelayanan Umum Dalam RAPBN tahun 2011, anggaran yang dialokasikan pada fungsi pelayanan umum direncanakan sebesar Rp525,4 triliun (7,5 persen terhadap PDB), yang berarti lebih rendah Rp3,3 triliun atau sekitar 0,6 persen bila dibandingkan dengan fungsi pelayanan umum pada APBN-P tahun 2010 sebesar Rp528,8 triliun (8,5 persen tehadap PDB). Jumlah tersebut, terdiri dari: (1) alokasi anggaran pada subfungsi pelayanan umum lainnya sebesar Rp304,5 triliun, atau 58,0 persen dari anggaran fungsi pelayanan umum; (2) alokasi anggaran pada subfungsi pinjaman pemerintah sebesar Rp116,5 triliun (22,2 persen); (3) alokasi anggaran pada subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal serta urusan luar negeri sebesar Rp89,0 triliun (16,9 persen); dan (4) sisanya sebesar Rp15,4 triliun (2,9 persen) tersebar pada subfungsi-subfungsi lainnya, yaitu subfungsi pelayanan umum, subfungsi penelitian dasar dan pengembangan iptek, dan subfungsi pembangunan daerah. FUNGSI APBN APBN-P % thd PDB RAPBN % thd PDB % thd PDB 01 PELAY ANAN UMUM ,0 8, ,3 8, ,6 7,5 02 PERTAHANAN ,2 0, ,1 0, ,7 0,6 03 KETERTIBAN DAN KEAMANAN ,0 0, ,3 0, ,9 0,3 04 EKONOMI ,8 1, ,9 1, ,4 1,4 05 LINGKUNGAN HIDUP 7.889,2 0, ,8 0, ,6 0,2 06 PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM ,6 0, ,0 0, ,8 0,3 07 KESEHATAN ,8 0, ,5 0, ,7 0,2 08 PARIWISATA DAN BUDAY A 1.416,1 0, ,5 0, ,1 0,0 09 AGAMA 913,1 0,0 943,1 0, ,6 0,0 10 PENDIDIKAN ,5 1, ,7 1, ,6 1,2 11 PERLINDUNGAN SOSIAL 3.456,7 0, ,4 0, ,9 0,1 JUMLAH ,0 12, ,5 12, ,0 11,8 1) Perbedaan satu angka di belakang koma dalam angka penjumlahan adalah karena pembulatan Sumber: Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -111

270 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Alokasi anggaran pada subfungsi pelayanan umum lainnya direncanakan sebesar Rp304,5 triliun, terutama akan digunakan untuk membayar subsidi dan transfer lainnya. Selanjutnya, pada subfungsi pinjaman pemerintah, alokasi anggaran sebesar Rp116,5 triliun akan digunakan untuk melaksanakan pembayaran bunga utang. Sementara itu, pada subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, masalah keuangan dan fiskal serta urusan luar negeri, alokasi anggaran sebesar Rp89,0 triliun terutama akan digunakan untuk membiayai program/ kegiatan: (1) Dukungan Manajemen Dan Tugas Teknis Lainnya sebesar Rp7,8 triliun atau 8,7 persen dari pagu subfungsi lembaga eksekutif dan legislatif, keuangan dan fiskal serta urusan luar negeri; (2) Koordinasi Penyusunan Rencana Kerja, Pembinaan dan Pengelolaan Anggaran sebesar Rp5,2 triliun (5,9 persen); dan (3) Penyelenggaraan Diplomasi Dan Kerjasama Internasional Perwakilan RI sebesar Rp4,1 triliun (4,6 persen). Sesuai dengan alokasi anggarannya, sasaran pembangunan yang diharapkan dicapai dari fungsi pelayanan umum tahun 2011 tersebut di antaranya: (1) terlaksananya penyaluran subsidi BBM dengan target volume sebesar 36,7 juta kilo liter; (2) terlaksananya penyaluran subsidi pangan dan penyediaan beras bersubsidi untuk 17,5 juta masyarakat miskin (RTS) sebanyak 5 kg per RTS selama 12 bulan; (3) terlaksananya penyaluran subsidi pupuk dan subsidi benih dalam bentuk penyediaan pupuk dan benih unggul murah bagi petani; (4) terlaksananya penyaluran subsidi transportasi umum untuk penumpang kereta api kelas ekonomi dan kapal laut kelas ekonomi; (5) terlaksananya peningkatan kompetensi sumber daya manusia PNS untuk mendukung pelayanan kepada masyarakat; dan (6) tersusunnya kerangka kebijakan dalam rangka implementasi undang-undang pelayanan publik; (7) tersusunnya indeks dan hasil survey pelayanan publik; (8) terselenggaranya pelayanan penyelamatan dokumen/arsip termasuk penanganan arsip pasca bencana, arsip masuk desa dan pengelolaan arsip secara efektif dan efisien; (9) terlaksananya implementasi sistem kearsipan statsis berbasis TIK dan system kearsipan dinamis berbasis TIK; serta (10) terlaksananya penyelamatan arsip Pemilu tahun Alokasi Anggaran Fungsi Pendidikan Alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang mencerminkan upaya pemberian pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pendidikan, dari tahun ke tahun diupayakan untuk terus meningkat. Peningkatan alokasi anggaran pada fungsi pendidikan tersebut berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan amanat konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Pada tahun 2011, sebagai hasil kompilasi dari anggaran berbagai program/kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh beberapa kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pada fungsi pendidikan K/L diperkirakan mencapai Rp82,0 triliun (1,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, terdiri dari: (1) alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan dasar sebesar Rp9,2 triliun atau 11,3 persen dari anggaran fungsi pendidikan; (2) alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan menengah sebesar Rp3,9 triliun (4,7 persen); (3) alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan tinggi sebesar Rp29,2 triliun (35,6 persen); (4) alokasi anggaran pada subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan sebesar Rp15,7 triliun (19,2 persen); (5) alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan lainnya sebesar Rp14,8 triliun (18,1 persen); dan (6) sisanya sebesar Rp9,2 triliun (11,2 persen) tersebar pada subfungsi-subfungsi lainnya, yang meliputi alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal dan informal, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, dan litbang pendidikan, serta pendidikan dan pembinaan kepemudaan dan olahraga. IV-112 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

271 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Pada RAPBN tahun 2011, total anggaran pendidikan direncanakan sebesar Rp243,3 triliun atau 20,2 persen dari total belanja negara, yang terdiri dari : (1) anggaran pendidikan pada K/L sebesar Rp82,0 triliun; (2) anggaran pendidikan pada BA 999 sebesar Rp2,2 triliun; (3) anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah sebesar Rp156,6 triliun, dan (4) dana pengembangan pendidikan nasional Rp2,5 triliun. Dalam tahun 2011, alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan dasar yang mencapai Rp9,2 triliun, akan digunakan untuk melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Alokasi anggaran tersebut telah mempertimbangkan adanya kebijakan realokasi anggaran untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS), yang selama ini dialokasikan melalui anggaran Kementerian Pendidikan Nasional, kemudian dipindahkan menjadi bagian dari anggaran transfer ke daerah. Realokasi anggaran tersebut sebesar Rp16,8 triliun yang terdiri dari: (a) dana BOS sebesar Rp16,6 triliun; dan (b) dana cadangan (buffer funds) sebesar Rp0,2 triliun. Sementara itu, alokasi anggaran sebesar Rp29,2 triliun pada subfungsi pendidikan tinggi akan digunakan untuk melaksanakan pendanaan pendidikan tinggi. Selanjutnya, alokasi anggaran pada subfungsi pendidikan menengah, seluruhnya akan digunakan untuk melaksanakan pendidikan menengah. Pada subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan, antara lain: (1) Penyediaan Guru Untuk Seluruh Jenjang Pendidikan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp6,9 triliun atau 43,9 persen dari alokasi anggaran subfungsi pelayanan bantuan terhadap pendidikan; (2) Penyediaan Subsidi Pendidikan Madrasah Bermutu dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,7 triliun atau 17,4 persen; dan (3) Peningkatan Penjaminan Mutu Pendidikan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,9 triliun (12,4 persen). Sasaran pembangunan dari alokasi anggaran pada fungsi pendidikan dalam tahun 2011 tersebut, di antaranya: (1) meningkatnya taraf pendidikan masyarakat yang ditandai dengan: (a) peningkatan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 7,75 tahun, (b) penurunan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 5,17, (c) peningkatan APM SD/SDLB/MI/Paket A menjadi 95,3, (d) peningkatan APM SMP/ SMPLB/MTs/Paket B menjadi 74,7, (e) peningkatan APK PT usia tahun menjadi 26,1; (2) meningkatnya tingkat efisiensi internal yang ditandai dengan meningkatnya angka melanjutkan dan menurunnya angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah; (3) menurunnya disparitas dan kualitas pelayanan pendidikan antarwilayah, gender, dan sosial ekonomi, serta antar satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat; (4) meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan yang ditandai dengan: meningkatnya APK pendidikan anak usia dini (PAUD), meningkatnya tingkat kebekerjaan lulusan pendidikan kejuruan, meningkatnya proporsi satuan pendidikan baik negeri maupun swasta yang terakreditasi baik pada jenjang SD/SDLB/MI menjadi sebesar 11,0 persen, SMP/SMPLB/MTs menjadi sebesar 22,0 persen; SMA/SMALB/MA menjadi sebesar 28,0 persen; dan SMK menjadi sebesar 24,0 persen; (5) meningkatnya proporsi program studi PT yang terakreditasi menjadi sebesar 77,8 persen dan makin banyaknya PT yang masuk dalam peringkat besar dunia (TOP 500 THES) menjadi sebesar 5 PT; serta (6) tercapainya Standar Pendidikan Nasional (SNP) bagi satuan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan paling lambat pada tahun Alokasi Anggaran Fungsi Ekonomi Upaya percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan transportasi, pertanian, infrastruktur, dan energi didanai dengan anggaran pada fungsi ekonomi. Dalam tahun 2011, alokasi anggaran pada Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -113

272 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 fungsi ekonomi direncanakan sebesar Rp95,6 triliun (1,4 persen dari PDB), yang bila dibandingkan dengan fungsi ekonomi pada APBN-P tahun 2010 sebesar Rp61,2 triliun, berarti lebih tinggi sebesar Rp34,4 triliun atau naik sekitar 56,3 persen. Jumlah tersebut, terdiri dari: (1) alokasi anggaran pada subfungsi transportasi sebesar Rp43,8 triliun atau 45,8 persen dari anggaran fungsi ekonomi; (2) alokasi anggaran pada subfungsi pertanian, kehutanan, perikanan, dan kelautan sebesar Rp13,9 triliun (14,6 persen); (3) alokasi anggaran pada subfungsi pengairan sebesar Rp12,4 triliun (12,9 persen); (4) alokasi anggaran pada subfungsi bahan bakar dan energi sebesar Rp11,0 triliun (11,5 persen); dan (5) sisanya sebesar Rp14,6 triliun (15,3 persen) tersebar pada subfungsi-subfungsi lainnya, yang meliputi subfungsi perdagangan, pengembangan usaha, koperasi dan UKM, tenaga kerja, pertambangan, industri dan konstruksi, telekomunikasi dan informatika, litbang ekonomi, dan subfungsi ekonomi lainnya. Pada subfungsi transportasi, alokasi anggaran yang direncanakan sebesar Rp43,8 triliun akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan, antara lain meliputi: (1) Pelaksanaan Preservasi dan Peningkatan Kapasitas Jalan Nasional, dengan alokasi anggaran sebesar Rp23,7 triliun atau 54,2 persen dari anggaran subfungsi transportasi; (2) Pengelolaan dan Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pelabuhan dan Pengerukan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,5 triliun (7,9 persen); (3) Pembangunan dan Pengelolaan Prasarana dan Fasilitas Pendukung Kereta Api, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,4 triliun (7,7 persen); dan (4) Pembangunan, Rehabilitasi dan Pemeliharaan Prasarana Bandar Udara, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,2 triliun (5,1 persen). Melalui alokasi anggaran pada subfungsi transportasi dalam tahun 2011 tersebut, sasaran pembangunan yang diharapkan dapat tercapai di antaranya: (1) peningkatan kondisi mantap jalan nasional menjadi 88,5 persen; (2) penurunan waktu tempuh rata-rata antar pusat kegiatan nasional sebesar 1 persen; (3) bertambahnya kapasitas jalan lajur sepanjang Km pada jalan nasional; (4) terbangunnya sistem jaringan transportasi perkotaan dan perdesaan di wilayah terpencil, pedalaman, perbatasan, dan pulau terdepan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat; (5) menurunnya tingkat kecelakaan transportasi pada tahun 2011 turun 20 persen dari kondisi eksisting tahuun 2010; (6) terbangunnya pelabuhan dan Bandar udara yang ramah lingkungan (eco port dan eco airport); (7) terbangunnya transportasi umum massal berbasis bus di perkotaan; (8) selesainya peraturan turunan dari undang-undang bidang transportasi. Sementara itu, pada subfungsi pertanian, kehutanan, perikanan, dan kelautan, alokasi anggaran yang direncanakan mencapai Rp13,9 triliun akan digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain: (1) Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan Penyegar, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,4 triliun atau 10,4 persen dari anggaran subfungsi pertanian, kehutanan, perikanan, dan kelautan; (2) Pengembangan Pengelolaan Lahan Pertanian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp942,3 miliar (6,8 persen); (3) Perluasan Areal Pertanian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp919,2 miliar (6,6 persen); dan (4) Pengelolaan Air Untuk Pertanian, dengan alokasi anggaran sebesar Rp803,2 miliar (5,8 persen). Sasaran pembangunan yang diharapkan dapat tercapai dari alokasi anggaran pada subfungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan dalam tahun 2011 tersebut, di antaranya adalah (1) terpeliharanya dan meningkatnya tingkat swasembada bahan pangan pokok; (2) menurunnya penduduk dan daerah yang rentan terhadap rawan pangan; (3) terjaganya IV-114 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

273 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV stabilitas harga komoditas pangan; (4) meningkatnya ketersediaan dan konsumsi sumber pangan protein hewani dan ikan; (5) meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan; (6) tercapainya tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan sekitar 3,7 persen; (7) tercapainya indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di atas 105 dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) sekitar 107; (8) terpeliharanya swasembada beras dan meningkatnya swasembada bahan pangan lain (jagung, kedelai, gula, daging sapi, dan susu), dengan sasaran produksi padi 68,8 juta ton GKG, produksi jagung 22,0 juta ton, kedelai 1,6 juta ton, gula 3,9 juta ton, dan daging sapi 439 ribu ton; (9) meningkatnya produksi perikanan menjadi 12,3 juta ton; (10) berkembangnya usaha hutan rakyat untuk bahan baku industri pertukangan 100 ribu, hutan desa ha, dan hutan kemasyarakatan ha; (11) penambahan tanaman HTI dan HTR mencapai 1 juta ha; (12) meningkatnya produksi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan sebesar 2%; dan (13) terkelolanya logged over area (LOA) oleh pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi seluas ha Selanjutnya, alokasi anggaran pada subfungsi pengairan yang direncanakan sebesar Rp12,4 triliun merupakan kompilasi pada pagu anggaran dari beberapa kegiatan, antara lain: (1) Pengendalian Banjir, Lahar Gunung Berapi dan Pengamanan Pantai, dengan alokasi anggaran sebesar Rp4,3 triliun atau 34,9 persen dari anggaran subfungsi pengairan; (2) Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa, dan Jaringan Pengairan Lainnya, dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,7 triliun (29,7 persen); serta (3) Pengelolaan dan Konservasi Waduk, Embung, Situ Serta Bangunan Penampung Air Lainnya, dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,6 triliun (21,0 persen). Melalui alokasi anggaran pada subfungsi pengairan dalam tahun 2011, sasaran pembangunan yang diharapkan dapat tercapai antara lain: (1) melanjutkan pembangunan 6 buah waduk dan dimulainya pembangunan 2 waduk; (2) penyelesaian pembangunan 34 embung/situ dan diselesaikannya rehabilitasi 2 waduk, 50 embung/situ, serta dimulainya rehabilitasi 13 waduk lainnya; (3) beroperasi dan terpeliharanya 179 waduk/embung/situ; (4) konservasi di 9 kawasan sumber air; (5) meningkatnya luas layanan jaringan irigasi seluas 56,78 ribu hektar, meningkatnya layanan jaringan rawa seluas 67,85 ribu hektar, terehabilitasinya jaringan irigasi seluas 161,9 ribu hektar, terehabilitasinya jaringan rawa seluas 171,34 ribu hektar, beroperasi dan terpeliharanya jaringan irigasi dan rawa seluas 3,04 juta hektar; (6) terehabilitasinya 326 sumur air tanah, beroperasi dan terpeliharanya 494 sumur air tanah; (7) meningkatnya prasarana air baku dengan kapasitas masing-masing 5,89 m3/det, 2,92 m3/det dan 7,18 m3/det. Dalam tahun 2011, alokasi anggaran pada subfungsi bahan bakar dan energi yang direncanakan mencapai Rp11,0 triliun akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan, antara lain: (1) Penyusunan Kebijakan dan Program Serta Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Ketenagalistrikan, dengan alokasi anggaran Rp10,1 triliun atau 91,9 persen dari anggaran subfungsi bahan bakar dan energi; (2) Pembinaan dan Penyelenggaraan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, dengan alokasi anggaran sebesar Rp325,4 miliar (3,0 persen); dan (3) Penyediaan dan Pengelolaan Energi Baru Terbarukan dan Pelaksanaan Konservasi Energi sebesar Rp191,7 miliar (1,7 persen). Sasaran pembangunan yang diharapkan dapat tercapai melalui alokasi anggaran pada subfungsi bahan bakar dan energi dalam tahun 2011, diantaranya adalah: (1) pemanfaatan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 10,23 persen; (2) pembangunan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -115

274 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 jaringan gas kota untuk sambungan rumah; (3) tercapainya pembangunan 7 buah SPBG di berbagai kota; (4) rasio elekrifikasi meningkat menjadi 69,50 persen di tahun 2011; (5) meningkatnya rasio desa berlistrik menjadi 95,0 persen; serta (6) tercapainya bauran energi primer batubara sebesar 22,1 persen, panas bumi sebesar 2,8 persen, gas bumi sebesar 30 persen, dan EBT sebesar 3 persen. Alokasi Anggaran Fungsi Pertahanan Sementara itu, alokasi anggaran pada fungsi pertahanan dalam RAPBN tahun 2011 diupayakan meningkat dari tahun sebelumnya. Peningkatan alokasi anggaran pada fungsi pertahanan tersebut berkaitan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara sebagai upaya untuk mewujudkan salah satu tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam tahun 2011, alokasi anggaran pada fungsi pertahanan, yang merupakan hasil kompilasi dari anggaran berbagai program pertahanan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan/TNI (termasuk didalamnya Mabes, AD, AL dan AU), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), dan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), direncanakan sebesar Rp45,2 triliun (0,6 persen terhadap PDB). Bila dibandingkan dengan APBN-P 2010 sebesar Rp21,4 triliun (0,3 persen terhadap PDB), maka alokasi anggaran pada fungsi pertahanan dalam tahun 2011 tersebut, lebih tinggi Rp23,7 triliun atau 110,7 persen dari pagu alokasi anggaran fungsi pertahanan pada APBN-P Jumlah tersebut, terdiri dari: (1) alokasi anggaran pada subfungsi pertahanan negara sebesar Rp40,9 triliun (90,6 persen dari anggaran fungsi pertahanan); (2) alokasi anggaran pada subfungsi dukungan pertahanan sebesar Rp4,2 triliun (9,3 persen); dan (3) alokasi anggaran pada subfungsi litbang pertahanan sebesar Rp52,1 miliar (0,1 persen). Alokasi anggaran pada subfungsi pertahanan negara yang direncanakan sebesar Rp40,9 triliun akan digunakan untuk melaksanakan pengembangan pertahanan integratif, pengembangan pertahanan matra darat, pengembangan pertahanan matra laut, pengembangan pertahanan matra udara, penegakan kedaulatan dan penjagaan keutuhan wilayah NKRI dan program pengembangan bela negara. Pada subfungsi dukungan pertahanan, alokasi anggaran sebesar Rp4,2 triliun akan digunakan untuk melaksanakan pengembangan sistem dan strategi pertahanan, dan pengembangan industri pertahanan. Pada subfungsi litbang pertahanan, alokasi anggaran sebesar Rp52,1 miliar akan digunakan untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan pertahanan, dan pengembangan ketahanan nasional. Alokasi anggaran untuk fungsi pertahanan tahun 2011 tersebut, diharapkan memberikan pencapaian antara lain: (1) terwujudnya postur dan struktur Pertahanan sebesar 25 % dari kekuatan pokok minimum (minimum essential force) yang mampu melaksanakan operasi gabungan dan memiliki efek penggentar. Tercapainya sasaran ini ditandai dengan meningkatnya profesionalime personel TNI, meningkatnya kuantitas dan kualitas alutsista TNI, serta terbentuknya komponen bela negara; (2) terbangunnya pos pertahanan baru di wilayah perbatasan darat dan terbangunnya pos pertahanan baru di pulau terdepan (terluar) dan memantapkan pos pertahanan di 12 pulau terdepan (terluar) beserta penggelaran prajuritnya; serta (3) terdayagunakannya industri pertahanan nasional bagi kemandirian pertahanan, pencapaian sasaran ini secara optimal akan meningkatkan kemandirian alutsista TNI dan alat utama Polri baik dari sisi kuantitas, kualitas, maupun variasinya. IV-116 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

275 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Alokasi Anggaran Fungsi Ketertiban dan Keamanan Sementara itu, alokasi anggaran pada fungsi ketertiban dan keamanan, yang menunjukkan besaran anggaran yang dialokasikan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang ketertiban dan keamanan, juga diupayakan meningkat dari tahun sebelumnya. Peningkatan alokasi anggaran pada fungsi ketertiban dan keamanan tersebut berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan amanat konstitusi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam tahun 2011, alokasi anggaran pada fungsi ketertiban dan keamanan yang merupakan hasil kompilasi dari anggaran berbagai kegiatan ketertiban dan keamanan yang dilaksanakan oleh beberapa kementerian negara/lembaga, direncanakan mencapai Rp19,7 triliun (0,3 persen terhadap PDB). Bila dibandingkan dengan APBN-P nya dalam tahun 2010 sebesar Rp16,9 triliun (0,3 persen terhadap PDB), berarti lebih tinggi Rp2,8 triliun atau 16,8 persen. Alokasi anggaran pada fungsi ketertiban dan keamanan dalam tahun 2011 tersebut, terdiri dari: (1) alokasi anggaran pada subfungsi kepolisian sebesar Rp8,8 triliun atau 44,8 persen dari anggaran fungsi ketertiban dan keamanan; (2) alokasi anggaran pada subfungsi peradilan sebesar Rp6,1 triliun atau 30,9 persen dari anggaran fungsi ketertiban dan keamanan; (3) alokasi anggaran pada subfungsi pembinaan hukum sebesar Rp2,3 triliun (11,9 persen); dan (4) alokasi anggaran pada subfungsi ketertiban dan keamanan lainnya sebesar Rp1,8 triliun (9,4 persen). Alokasi anggaran pada subfungsi kepolisian tahun 2011 sebesar Rp8,8 triliun akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan, antara lain: (1) Bina Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Kewilayahan sebesar Rp2,1 triliun atau 24,7 persen dari pagu anggaran subfungsi kepolisian; (2) Pengembangan Alut dan Alsus Kepolisian Strategis sebesar Rp1,7 triliun (19,0 persen); dan (3) Peningkatan Kualitas Layanan Publik LLAJ sebesar Rp1,2 triliun (13,2 persen). Pada subfungsi peradilan sebesar Rp6,1 triliun akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan, antara lain: (1) Pembinaan Administrasi dan Pengelolaan Keuangan Badan Urusan Administrasi sebesar Rp4,2 triliun atau 69,5 persen dari pagu subfungsi peradilan; dan (2) Pengadaan Sarana dan Prasarana Di Lingkungan Peradilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama sebesar Rp1,2 triliun (19,1 persen). Alokasi anggaran pada subfungsi pembinaan hukum sebesar Rp2,3 triliun akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan, antara lain: (1) Pembangunan/Pengadaan/Peningkatan Sarana dan Prasarana Kejaksaan RI sebesar Rp553,4 miliar atau 23,6 persen dari pagu subfungsi pembinaan hukum; (2) Penanganan Perkara Pidana Umum di Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri sebesar Rp353,1 miliar (15,0 persen). Selanjutnya, alokasi anggaran pada subfungsi ketertiban dan keamanan lainnya sebesar Rp1,8 triliun akan digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan, antara lain: (1) Penyelenggaraan Dukungan Administrasi dan Sumber Daya Manusia sebesar Rp246,8 miliar 13,4 persen dari pagu subfungsi ketertiban dan keamanan lainnya; (2) Operasi Kontra Intelijen sebesar Rp233,5 miliar (12,6 persen); (3) Operasi Intelijen Dalam Negeri sebesar Rp227,8 miliar (12,3 persen); dan (4) Pengamanan Sinyal sebesar Rp226,5 miliar (12,3 persen). Sasaran pembangunan yang diharapkan dapat tercapai melalui alokasi anggaran untuk fungsi Ketertiban dan Keamanan tahun 2011 tersebut, di antaranya: (1) menurunnya tingkat kejahatan (criminal rate) yang meliputi kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang akan berdampak pada meningkatnya kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) meningkatnya persentase penuntasan kejahatan konvensional, transnasional, kontingensi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi 52-55% (dengan penerapan prinsip diversi dan restorative justice sebagai Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -117

276 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 inti perubahan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan kepada sistem dan prosedur kepolisian); (3) meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian yang tercermin pada terselenggaranya pelayanan kepolisian sesuai dengan Standar Pelayanan Kamtibmas Prima. Tercapainya sasaran ini berdampak pada masyarakat yaitu terdapatnya kenyamanan pada masyarakat ketika berhubungan dengan kepolisian, terutama ketika melihat dan menghadapi kasus hukum/kriminalitas; serta (4) menurunnya angka penyalahgunaan narkoba dan menurunnya peredaran gelap narkoba Alokasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Menurut Jenis, RAPBN tahun 2011 Menurut jenis belanja atau klasifikasi ekonomi, anggaran belanja Pemerintah Pusat terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Dari alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2011 sebesar Rp823,6 triliun, sekitar 21,9 persen akan dialokasikan untuk belanja pegawai, sekitar 16,0 persen untuk belanja barang, sekitar 14,8 persen untuk belanja modal, sekitar 14,1 persen untuk pembayaran bunga utang, sekitar 22,4 persen untuk subsidi, sekitar 0,1 persen untuk belanja hibah, sekitar 7,5 persen untuk bantuan sosial, dan sekitar 3,2 persen untuk belanja lain-lain. Dari komposisi tersebut, terlihat bahwa alokasi belanja pemerintah pusat masih didominasi oleh pengeluaran yang sifatnya wajib (nondiscretionary spending), yang meliputi belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi, dan sebagian belanja barang. Anggaran yang tersedia untuk belanja tidak mengikat (discretionary spending), yaitu belanja modal, belanja hibah, bantuan sosial, sebagian belanja barang dan belanja lain-lain masih terbatas. Komposisi alokasi belanja Pemerintah Pusat tahun 2011 menurut jenis dapat dilihat dalam Grafik IV.31 Selanjutnya, uraian yang lebih rinci tentang rencana alokasi anggaran belanja Pemerintah Pusat menurut jenis disampaikan pada bagian berikut. Alokasi Anggaran Belanja Pegawai GRAFIK IV.31 KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH PUSAT MENURUT JENIS BELANJA, TAHUN 2011 Belanja Pegawai 21.9% Belanja pegawai mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjaga kelancaran kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Alokasi anggaran belanja pegawai ini digunakan untuk pembayaran kompensasi terhadap penyelenggara negara, baik dalam bentuk uang ataupun barang, yang harus dibayarkan kepada aparatur negara yang bertugas di dalam maupun di luar negeri, baik sebagai pejabat negara, maupun pegawai negeri sipil, sebagai imbalan atas pekerjaan atau pelaksanaan tugasnya, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi anggaran untuk belanja pegawai direncanakan sebesar Rp180,6 triliun atau 2,6 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan Belanja Barang 16.0% Sumber: Kementerian Keuangan Belanja lain-lain 3.2% Belanja Modal 14.8% Pembayaran Bunga Utang 14.1% Bantuan Sosial 7.5% Subsidi 22.4% Belanja Hibah 0.1% IV-118 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

277 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV sebesar Rp18,0 triliun atau 11,0 persen bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja pegawai dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp162,7 triliun. Peningkatan ini terutama berkaitan dengan berbagai langkah kebijakan yang diambil pemerintah dalam kerangka reformasi birokrasi, baik dalam memperbaiki dan menjaga kesejahteraan aparatur pemerintah dan pensiunan maupun dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Anggaran belanja pegawai tersebut terdiri dari belanja gaji dan tunjangan, belanja honorarium, vakasi, lembur dan lain-lain, serta belanja kontribusi sosial. Alokasi anggaran pada pos belanja gaji dan tunjangan dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp91,2 triliun atau 50,5 persen dari total belanja pegawai. Jumlah ini menunjukkan peningkatan sebesar Rp10,1 triliun atau 12,5 persen bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja gaji dan tunjangan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp81,1 triliun. Peningkatan tersebut terutama berkaitan dengan: (1) kebijakan meningkatkan gaji pokok bagi PNS dan anggota TNI/POLRI sebesar rata-rata 10 persen, yang bertujuan selain untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, juga sekaligus untuk memperbaiki rasio antara gaji pokok terendah dengan gaji pokok tertinggi, sehingga diperoleh skala gaji pokok yang lebih mencerminkan keadilan; (2) melanjutkan kebijakan pemberian gaji bulan ke-13, yang diarahkan untuk membantu pegawai dalam memenuhi beban biaya pendidikan; serta (3) menampung cadangan alokasi anggaran untuk mengantisipasi kebutuhan gaji bagi tambahan pegawai baru di instansi pemerintah pusat. Tambahan formasi pegawai baru tersebut, terutama dimaksudkan untuk menggantikan pegawai yang memasuki usia pensiun (kebijakan zero growth). Sementara itu, alokasi anggaran pada pos honorarium, vakasi, lembur dan lain-lain dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp28,1 triliun, atau meningkat sebesar Rp879,0 miliar (3,2 persen) bila dibandingkan dengan pagu alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp27,3 triliun. Selain menampung anggaran honorarium, vakasi, dan lembur, jumlah tersebut juga menampung anggaran untuk pembayaran remunerasi pada beberapa kementerian negara/lembaga terkait dengan pelaksanaan reformasi birokrasi. Pemberian remunerasi pada beberapa kementerian negara/lembaga tersebut sejalan dengan program prioritas pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi secara bertahap dan berkesinambungan, yang diikuti dengan upaya meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Selanjutnya, alokasi anggaran pada pos kontribusi sosial dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp61,3 triliun atau naik sebesar Rp7,0 triliun (12,9 persen) bila dibandingkan dengan pagu anggaran yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp54,3 triliun. Peningkatan alokasi anggaran pada pos kontribusi sosial, yang sebagian besar digunakan untuk pembayaran pensiun melalui PT Taspen (persero) dalam tahun 2011 tersebut, berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk menaikan pokok pensiun sebesar 10 persen, dan melanjutkan pemberian pensiun ke-13. Di samping itu, anggaran kontribusi sosial juga disiapkan untuk menampung beban kewajiban pemerintah guna memenuhi iuran jaminan kesehatan melalui PT Askes (persero), yang ditujukan untuk mendukung upaya perbaikan pelayanan asuransi kesehatan kepada pegawai, pensiunan, veteran nontuvet, serta tambahan manfaat jaminan kesehatan bagi Menteri, pejabat setingkat Menteri, dan pejabat eselon I. Alokasi Anggaran Belanja Barang Alokasi anggaran belanja barang dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp131,5 triliun atau 1,9 persen terhadap PDB. Jumlah ini, menunjukkan peningkatan sebesar Rp18,9 triliun atau 16,8 persen bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja barang yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -119

278 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp112,6 triliun (1,8 persen terhadap PDB). Alokasi anggaran pada pos belanja barang tersebut, terutama diarahkan untuk: (1) menjaga kelancaran penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, dan pemeliharaan aset, termasuk penyediaan belanja operasional bagi satuan kerja baru; dan (2) menyediakan dana untuk biaya perjalanan dalam rangka mendukung tugas pokok. Anggaran belanja barang dalam RAPBN tahun 2011 tersebut dialokasikan untuk pos belanja barang dan jasa, pos belanja pemeliharaan, dan pos belanja perjalanan. Alokasi anggaran untuk pos belanja barang dan jasa dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp100,4 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp16,2 triliun (19,3 persen) bila dibandingkan dengan pagu alokasi belanja barang dan jasa yang ditetapkan dalam APBN- P tahun 2010 sebesar Rp84,2 triliun. Peningkatan anggaran tersebut, selain dipengaruhi oleh naiknya harga barang-barang secara umum (inflasi), juga merupakan dampak dari perkembangan jumlah dan jenis kegiatan yang memerlukan dukungan anggaran operasional. Sementara itu, alokasi anggaran untuk pos belanja pemeliharaan dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp10,2 triliun atau naik sebesar Rp1,4 triliun (15,8 persen) bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja pemeliharaan yang ditetapkan dalam APBN- P tahun 2010 sebesar Rp8,8 triliun. Selanjutnya, alokasi anggaran untuk pos belanja perjalanan dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp20,9 triliun atau mengalami peningkatan sebesar Rp1,3 triliun (6,7 persen) bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja perjalanan yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp19,6 triliun. Peningkatan anggaran pada pos belanja perjalanan tersebut, lebih rendah bila dibandingkan dengan peningkatan pos belanja barang dan jasa dan pos belanja pemeliharaan. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi dan efektifitas pada pos belanja perjalanan. Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal dalam APBN merupakan merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi, serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja, dan bukan untuk dijual. Dengan sifat atau karakteristik tersebut, maka belanja modal diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, secara berkesinambungan melalui pembangunan sarana-prasarana dan berbagai kegiatan ekonomi yang lebih produktif, sesuai dengan arah kebijakan pembangunan dalam RKP tahun 2011 yang memfokuskan pada kegiatan-kegiatan yang pro growth, pro poor, dan pro job. Berkaitan dengan itu, dalam rangka mendukung tercapainya sasaran-sasaran pembangunan sesuai dengan arah kebijakan, tema, dan prioritas pembangunan dalam RKP tahun 2011 tersebut, alokasi anggaran belanja modal dalam RAPBN tahun 2011 ditetapkan mencapai Rp121,7 triliun atau 1,7 persen terhadap PDB. Jumlah ini, berarti mengalami peningkatan sebesar Rp26,6 triliun, atau 28,0 persen bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja modal yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp95,0 triliun (1,5 persen terhadap PDB). Peningkatan alokasi anggaran belanja modal dalam tahun 2011 tersebut, sejalan dengan upaya pemerintah untuk melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif dan berkeadilan. IV-120 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

279 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Alokasi anggaran belanja modal tersebut, bersama-sama dengan anggaran belanja barang, akan digunakan untuk mendukung pelaksanaan ke berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh K/L, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Sasaran umum pembangunan infrastruktur dalam tahun 2011 antara lain adalah: (1) mendukung ketahanan pangan nasional; (2) meningkatkan keterhubungan antarwilayah; (3) memperkuat virtual domestic interconnectivity/indonesia connected; (4) mengurangi back log perumahan; (5) meningkatkan ketahanan energi nasional; dan (6) menjaga ketersediaan air baku dan pengendalian banjir. Dalam kaitan ini, belanja modal akan digunakan untuk mendukung program-program yang akan dilaksanakan oleh K/L, antara lain: (1) penyediaan pembangunan infrastruktur dasar (jalan, jembatan, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan rakyat; (2) penyediaan pembangunan infrastruktur pertanian (irigasi, optimalisasi/ konservasi/reklamasi lahan, dan pengembangan agrobisnis) untuk mendukung pencapaian program ketahanan pangan; (3) pengembangan infrastruktur dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam; (4) prioritas diberikan untuk pendanaan kegiatan multiyears guna mendukung kesinambungan pembiayaan; serta (5) peningkatan kapasitas mitigasi dan adaptasi terhadap dampak negatif akibat perubahan iklim (climate change). Alokasi Anggaran Pembayaran Bunga Utang Beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menggunakan kebijakan penganggaran defisit yang diarahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pada target yang telah ditetapkan. Dengan kebijakan tersebut, diperlukan alokasi sumber pembiayaan yang memadai untuk menutup defisit yang ditetapkan. Dengan semakin berkurangnya sumber pembiayaan nonutang, maka pemerintah mengandalkan pemenuhan pembiayaan melalui utang. Akibatnya, outstanding utang dari tahun ke tahun akan mengalami peningkatan. Sebagai konsekuensinya, beban utang yang ditanggung oleh pemerintah, baik beban bunga atas outstanding utang maupun biaya penerbitan/pengadaan utang yang diperlukan untuk memperolehnya, mengalami peningkatan. Beban bunga utang merupakan bagian dari kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah, selain pembayaran pokok jatuh tempo utang. Untuk itu, pengeluaran ini merupakan salah satu bagian yang harus didahulukan oleh pemerintah. Selain itu, bagi investor, pemberi pinjaman luar dan dalam negeri, dan lembaga internasional lainnya menilai kredibilitas pemerintah melalui kemampuan dan ketepatan waktu dalam memenuhi kewajiban utangnya. Untuk itu, perlu dilakukan perencanaan utang yang baik dan hati-hati, sehingga kewajiban atas utang di masa mendatang masih dalam batas kemampuan ekonomi, dan tidak menimbulkan tekanan terhadap APBN dan neraca pembayaran. Dalam memperhitungkan beban utang, beberapa variabel ikut mempengaruhi, antara lain: (1) asumsi nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dolar Amerika, dan beberapa mata uang kuat lainnya; (2) tingkat suku bunga SBI-3 bulan yang digunakan sebagai referensi bunga instrumen variable rate SBN; (3) asumsi tingkat bunga Libor dengan tingkat bunga mengambang yang digunakan sebagai referensi untuk menghitung instrument pinjaman; (4) outstanding utang; dan (5) perkiraan utang baru tahun Berdasarkan beberapa variabel di atas, pemerintah menganggarkan biaya bunga utang pada RAPBN tahun 2011 sebesar Rp116.4 triliun, atau 1,7 persen terhadap PDB. Beban bunga utang tersebut, diperuntukkan bagi pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp80,4 triliun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -121

280 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp36,0 triliun. Pembayaran bunga utang tahun 2011 tersebut dapat lihat dalam Tabel IV.18). TABEL IV.18 PEMBAYARAN BUNGA UTANG, (miliar Rupiah) Uraian APBN APBN-P RAPBN Pembayaran Bunga Utang (triliun rupiah) , , ,8 i. Dalam Negeri , , ,0 ii. Luar Negeri , , ,8 Faktor-Faktor yang mempengaruhi : - Rata-rata nilai tukar (Rp/US$) , , ,0 - Rata-rata SBI-3 bulan (%) 6,5 6,5 6,5 Pembiayaan Utang : (triliun rupiah) 95,5 108,3 123,4 i. Dalam Negeri 60,4 67,1 84,9 - SBN domestik (neto) 59,4 66,1 83,9 - Pinjaman dalam negeri 1,0 1,0 1,0 ii. Luar Negeri 35,1 41,2 38,5 - Pinjaman luar negeri (neto) (9,9) (0,2) (3,0) - SBN internasional 45,0 41,4 41,5 Sumber : Kementerian Keuangan Secara persentase terhadap outstanding, pembayaran bunga utang dalam negeri relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pembayaran bunga utang luar negeri. Hal ini disebabkan oleh tingkat bunga yang diminta investor relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan instrumen dengan mata uang asing yang disebabkan mata uang rupiah yang lebih berfluktuasi dibandingkan dengan mata uang dolar Amerika. Faktor lain adalah terdapat pinjaman lunak yang memiliki terms and conditions yang lebih ringan, sehingga menekan persentase bunga utang luar negeri. Pembayaran bunga utang dalam negeri dalam RAPBN tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 11,9 persen jika dibandingkan dengan beban tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk mengutamakan utang yang bersumber dari dalam negeri, yang mengakibatkan jumlah outstanding utang dalam negeri meningkat. Sementara itu, bunga pinjaman luar negeri diperkirakan juga akan mengalami peningkatan. Peningkatan pembayaran bunga utang luar negeri relatif lebih kecil yakni sebesar 6,6 persen jika dibandingkan dengan peningkatan pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar 11,9 persen. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk mengutamakan utang yang bersumber dari SBN dibandingkan dengan utang yang bersumber dari pinjaman. Hal ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada lender, dan meningkatkan fleksibilitas penggunaan dana yang diperoleh dari utang yang diterbitkan/ditarik. IV-122 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

281 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Melihat perkembangan Sovereign Credit Rating dan Country Risk Classification Indonesia yang secara bertahap semakin membaik dari tahun ke tahun, telah memberikan pengaruh terhadap besaran biaya pengadaan utang oleh pemerintah yang cenderung semakin efisien, baik ketika menerbitkan SBN, maupun penarikan pinjaman. Peningkatan rating 1 notch berpotensi menurunkan yield SBN valas baru sekitar bps, sedangkan penurunan 1 level CRC berpotensi menurunkan biaya pinjaman luar negeri, khususnya fasilitas kredit ekspor baru sekitar bps. Posisi rating Indonesia pada tahun 2010 berada pada level BB+ dengan outlook stabil (Fitch), BB dengan outlook positif (S & P), dan Ba2 (Moody), dan terakhir level 4 (CRC). Alokasi Anggaran Belanja Subsidi Dalam tahun 2011, subsidi yang sudah berjalan namun masih diperlukan atau belum berakhir jangka waktu pemberiannya akan terus dilanjutkan. Namun demikian, pemberian subsidi tersebut akan terus dievaluasi agar lebih tepat sasaran. Mengingat keterbatasan anggaran negara, maka pemberian subsidi harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara, dan harus diberikan untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak, terutama masyarakat yang kurang mampu. Mengingat subsidi merupakan program pemerintah, maka pengajuan usulan subsidi dilakukan oleh kementerian negara/lembaga yang mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, usulan subsidi diajukan bersamaan dengan pengajuan kegiatan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (RKA-KL). Alokasi anggaran subsidi dalam RAPBN 2011, direncanakan mencapai Rp184,8 triliun (2,6 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti turun sebesar Rp16,5 triliun, atau 8,2 persen bila dibandingkan dengan belanja subsidi dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp201,3 triliun. Sebagian besar dari keseluruhan alokasi anggaran belanja subsidi dalam RAPBN tahun 2011 tersebut direncanakan akan disalurkan untuk subsidi energi sebesar 72,4 persen, yaitu subsidi BBM sebesar 50,2 persen dan subsidi listrik sebesar 22,2 persen, sedangkan sisanya, yaitu sebesar 27,6 persen akan disalurkan untuk subsidi non-energi, yaitu: (1) subsidi pangan; (2) subsidi pupuk; (3) subsidi benih; (4) bantuan/subsidi PSO; (5) subsidi bunga kredit program; dan (6) subsidi pajak. Subsidi Energi Dalam RAPBN tahun 2011, Pemerintah menyediakan anggaran subsidi BBM untuk beberapa jenis BBM tertentu, terdiri dari: (1) minyak tanah; (2) premium dan biopremium; dan (3) minyak solar dan biosolar. Dengan subsidi BBM jenis tertentu dan subsidi LPG Tabung 3 kilogram tersebut diharapkan kebutuhan masyarakat akan BBM dan LPG dapat terpenuhi dengan harga yang terjangkau. Anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp92,8 triliun (1,3 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti mengalami kenaikan sebesar Rp3,9 triliun atau 4,4 persen bila dibandingkan dengan anggaran belanja subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam APBN-P Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -123

282 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 tahun 2010 sebesar Rp88,9 triliun (1,4 persen terhadap PDB). Peningkatan beban anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan LPG Tabung 3 Kilogram dalam RAPBN 2011 tersebut, berkaitan dengan perubahan alpha BBM, volume konsumsi BBM jenis tertentu, dan volume konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 Kg dalam RAPBN tahun 2011 tersebut didasarkan atas parameter-parameter sebagai berikut: (1) ICP sebesar US$80,0 per barel; (2) volume konsumsi BBM jenis tertentu diperkirakan mencapai 36,8 juta kiloliter (kl) TABEL IV.19 ASUMSI, PARAMETER DAN BESARAN SUBSIDI BBM JENIS TERTENTU DAN LPG TABUNG 3 KILOGRAM, Uraian APBN-P APBN Subsidi BBM (triliun rupiah) 88,9 92,8 Asumsi dan Parameter - ICP (US$/barel) 80,00 80,00 - Konsumsi BBM (ribu kiloliter) > Premium (ribu kiloliter) > Minyak Tanah (ribu kiloliter) > Solar (ribu kiloliter) Volume LPG Tabung 3 kg (ribu metrik ton) Alpha (Rp) Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) Harga Jual > Premium (Rp/liter) > Minyak Tanah (Rp/liter) > Solar (Rp/liter) Sumber : Kementerian Keuangan dan konsumsi LPG Tabung 3 Kg sebesar 3,52 metrik ton; (3) alpha BBM sebesar Rp597/ liter; dan (4) nilai tukar rupiah sebesar Rp9.300 per dolar Amerika Serikat (lihat Tabel IV.19). Dalam rangka menghemat subsidi BBM jenis tertentu dan sekaligus mendorong diversifikasi energi alternatif, maka dalam tahun 2011 Pemerintah akan menempuh berbagai langkah kebijakan sebagai berikut: (1) optimalisasi program konversi minyak tanah ke LPG; (2) meningkatkan pemanfaatan energi alternatif seperti bahan bakar nabati (BBN) yang dicampurkan ke dalam BBM bersubsidi dan bahan bakar gas (BBG); (3) melakukan kajian atas pembatasan kategori pengguna BBM bersubsidi serta pembatasan volume; dan (4) pengendalian penggunaan BBM bersubsidi melalui sistem distribusi tertutup secara bertahap dan penyempurnaan regulasi. Dalam rangka meningkatkan kemandirian bidang energi di dalam negeri, dalam RKP tahun 2011, melalui prioritas energi, sasaran pembangunan infrastruktur energi dan ketenagalistrikan tahun 2011, diarahkan pada: (1) tercapainya komposisi bauran energi yang sehat dengan menurunnya persentase pemanfaatan energi fosil dan meningkatnya persentase energi baru terbarukan (EBT); (2) penurunan elastisitas energi; (3) pemanfaatan potensi pendanaan domestik dan skema pendanaannya; (4) penyusunan dan penyempurnaan regulasi dan kebijakan guna meningkatkan jaminan dan kepastian hukum pemanfaatan energi baru terbarukan serta pengembangan konservasi dan efisiensi energi; (5) peningkatan kapasitas dan kualitas sarana dan prasarana energi nasional untuk memenuhi kebutuhan domestik dan komitmen ekspor; (6) peningkatan jangkauan pelayanan ketenagalistrikan; (7) pencapaian bauran energi (energy mix) primer; (8) peningkatan efektifitas subsidi pemerintah; dan (9) pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sumberdaya manusia nasional yang mendukung industri energi dan ketenagalistrikan nasional. Arah kebijakan pembangunan infrastruktur energi dan ketenagalistrikan tahun 2011, yaitu: (1) diversifikasi energi serta peningkatan efisiensi dan konservasi energi yang diarahkan guna penganekaragaman pemanfaatan energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, sehingga dicapai optimalisasi penyediaan energi regional dan nasional untuk IV-124 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

283 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya, termasuk upaya menjamin ketersediaan pasokan domestik dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan; (2) kebijakan harga energi yang menitikberatkan pada nilai keekonomian agar tercipta efisiensi ekonomi dengan tetap memperhatikan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat: (3) peningkatan kapasitas sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan serta prioritas pembangunan dan pemanfaatan energi terbarukan, terutama untuk kelistrikan desa, termasuk daerah terpencil dan pengembangan jaringan gas kota; serta (4) pengembangan dan peningkatan kerjasama pemerintah dan swasta dalam pembangunan dan pemanfaatan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan guna mendorong peran serta pemerintah daerah, swasta, koperasi dan ban dan usaha lainnya; (5) restrukturisasi kelembagaan, termasuk penyempurnaan regulasi untuk mengakomodasikan perkembangan sektor energi dan ketenagalistrikan; (6) peningkatan keselamatan dan perlindungan lingkungan dalam pembangunan energi dan ketenagalistrikan nasional. Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong penerapan standarisasi dan sertifikasi peralatan, kewajiban sertifikasi laik I.2-61 operasi, sertifikasi kompetensi bagi tenaga teknik, dan sertifikasi bagi badan usaha serta penerapan standar baku mutu lingkungan. Dalam tahun 2011, subsidi listrik masih perlu disediakan, dengan pertimbangan masih lebih rendahnya tarif dasar listrik (TDL) yang berlaku bila dibandingkan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik. Sebagaimana pedoman dalam RKP tahun 2011, pemerintah mengupayakan beberapa kebijakan dalam rangka mengendalikan anggaran subsidi, khususnya subsidi BBM dan subsidi listrik. Selama beberapa tahun terakhir, realisasi anggaran subsidi listrik mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Untuk mengendalikan anggaran subsidi listrik, maka Pemerintah bersama PT PLN (Persero) secara bertahap terus melakukan langkah-langkah dan upaya untuk menurunkan BPP tenaga listrik, dengan antara lain: (1) program penghematan pemakaian listrik (demand side) melalui penurunan susut jaringan(losses); dan (2) program diversifikasi energi primer di pembangkit tenaga listrik (supply side), melalui optimalisasi penggunaan gas, penggantian High Speed Diesel (HSD) dengan Marine Fuel Oil (MFO), peningkatan penggunaan batubara, pemanfaatan biofuel, dan panas bumi; (3) penyesuaian TDL sebesar 15 persen yang akan diberlakukan mulai awal tahun 2011; dan (4) pemerintah menerapkan tarif dasar listrik (TDL) sesuai dengan harga keekonomian secara otomatis untuk pemakaian energi diatas 50 persen konsumsi rata-rata nasional tahun 2010 bagi pelanggan rumah tangga (R), bisnis (B), dan publik (P) dengan daya mulai 6600 VA ke atas. Selain perbaikan pada sisi permintaan dan penawaran (demand and supply side), Pemerintah juga mengupayakan pembenahan pada PT PLN (Persero). Untuk menjaga agar PT PLN (Persero) tidak mengalami kesulitan likuiditas dan pendanaan, maka pemerintah memberikan margin usaha. Hal ini merupakan upaya agar kondisi keuangan PT PLN (Persero) semakin baik dan bankable, yang antara lain ditunjukan dengan indikator Consolidated Interest Coverage Ratio (CICR) di atas 2 persen. Tingkat CICR di atas 2 persen diperlukan oleh PT PLN (Persero) agar dapat memenuhi syarat untuk melakukan penerbitan global bond di pasar internasional. Pendanaan dari obligasi (pinjaman) di pasar internasional tersebut diperlukan untuk pembangunan pembangkit listrik yang merupakan faktor penting dalam menjamin ketersediaan pasokan listrik, dan pertumbuhan penjualan tenaga listrik (growth sales) untuk memenuhi peningkatan kebutuhan masyarakat. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -125

284 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Dalam rangka mengendalikan beban subsidi listrik, Pemerintah bersama DPR-RI telah menyepakati untuk menurunkan subsidi listrik secara bertahap dengan tidak mengorbankan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam perkembangannya, BPP listrik sejak tahun 2009 mengalami kenaikan akibat naiknya beberapa harga komponen utama untuk dapat menghasilkan tenaga listrik. Berkaitan dengan hal itu, Pemerintah merasa perlu untuk menyesuaikan tarif dasar listrik (TDL) rata-rata sebesar 10 persen yang telah dilaksanakan sejak awal bulan Juli tahun Dalam hal ini, bagaimanapun Pemerintah tetap berpihak kepada rakyat kecil, dengan tidak menetapkan kenaikan TDL bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau pelanggan pengguna listrik dengan daya 450 watt dan 900 watt. Selain berbagai kebijakan tersebut di atas, perhitungan beban subsidi listrik dalam tahun 2011 juga berdasarkan pada asumsi dan parameter-parameter sebagai berikut: (1) ICP sebesar US$80,0/barel; (2) nilai tukar rupiah sebesar Rp9.300 per dolar Amerika Serikat; (3) margin usaha PT PLN sebesar 8 persen; (4) perkiraan peningkatan penjualan tenaga listrik berkisar 7,4 persen dari penjualan tahun 2010; dan (5) susut jaringan (losses) sebesar 9,35 persen. Anggaran subsidi listrik dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp41,0 triliun (0,6 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti lebih rendah sebesar Rp14,1 triliun, atau 25,6 persen dari beban anggaran belanja subsidi listrik dalam tahun 2010 sebesar Rp55,1 triliun (0,9 persen terhadap PDB) (lihat Tabel IV.20). Lebih rendahnya alokasi anggaran subsidi listrik dalam RAPBN tahun 2011 tersebut, terutama berkaitan dengan rencana penyesuaian TDL sebesar 15 persen, yang akan diberlakukan mulai awal tahun TABEL IV.20 ASUMSI, PARAMETER DAN BESARAN SUBSIDI LISTRIK, Uraian APBN-P APBN Subsidi Listrik (triliun rupiah) 55,1 41,0 Asumsi dan Parameter - ICP (US$/barel) 80,00 80,00 - Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) TDL (%) 10,0 15,0 - Margin (%) 8,0 8,0 - Energy Sales (TWh) 143,26 153,85 - Growth Sales (%) 6,60 7,40 - Energy Losses (%) 9,41 9,35 Sumber : Kementerian Keuangan Subsidi Non-energi Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi anggaran subsidi pangan direncanakan sebesar Rp15,3 triliun (0,2 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti lebih tinggi sebesar Rp1,3 triliun, atau 9,6 persen dari alokasi anggaran belanja subsidi pangan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp13,9 triliun (0,2 persen terhadap PDB). Kebijakan penyediaan subsidi pangan ini diberikan dalam bentuk penjualan beras kepada rumah tangga sasaran (RTS) dengan harga terjangkau daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam tahun 2011, program subsidi pangan ini disediakan untuk menjangkau 17,5 juta RTS, dalam bentuk penyediaan beras murah IV-126 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

285 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV oleh Perum Bulog sebanyak 3,1 juta ton. Jumlah tersebut akan dialokasikan untuk jangka waktu 12 bulan, dengan alokasi sebanyak 15 kg per RTS per bulan dan harga jual raskin sebesar Rp1.600 per kg (lihat Tabel IV.21). Sementara itu, ketahanan pangan dalam upaya untuk mendorong swasembada pangan pokok terhadap lonjakan harga dan ketersediaan kebutuhan pangan di dalam negeri, dipandang perlu Subsidi Pangan (triliun rupiah) 2010 APBN-P 2011 APBN 13,9 15,3 Asumsi dan Parameter - Kuantum (ton) > RTS (juta KK) 17,5 17,5 > Durasi (bulan) > Alokasi (kg/rts/bulan) HPB (Rp/kg) Harga jual (Rp/kg) Sumber : Kementerian Keuangan & BPS TABEL IV.21 SUBSIDI PANGAN, terus ditingkatkan. Dalam RKP tahun 2011 melalui prioritas ketahanan pangan, sasaran peningkatan ketahanan pangan tahun 2011, adalah: (1) terpeliharanya dan meningkatnya tingkat pencapaian swasembada bahan pangan pokok; (2) terbangunnya dan meningkatnya luas layanan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi; (3) menurunnya jumlah dan persentase penduduk dan daerah yang rentan terhadap rawan pangan; (4) terjaganya stabilitas harga bahan pangan dalam negeri; (5) meningkatnya kualitas pola konsumsi pangan masyarakat dengan skor pola pangan harapan (PPH) menjadi sekitar 88,1; (6) meningkatnya PDB sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan dengan pertumbuhan sekitar 3,7 persen; serta (7) tercapainya indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di atas 105 dan Nilai Tukar Nelayan menjadi 107. Untuk mencapai sasaran prioritas ketahanan pangan tersebut, maka arah kebijakan pembangunan ketahanan pangan ditekankan pada: (1) pelaksanaan perluasan lahan pertanian, dan perikanan sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan dan tata ruang; (2) perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan perikanan khususnya jaringan irigasi serta jalan usaha tani dan produksi di daerah sentra produksi; (3) penyediaan benih/ bibit unggul dan dukungan terhadap pengembangan industri hilir pertanian dan perikanan hasil inovasi penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas hasil pertanian; (4) pemantapan cadangan pangan pemerintah dan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat; (5) stabilisasi harga bahan pangan dalam negeri; serta (6) jaminan ketersediaan pupuk dan pengembangan pupuk organik melalui perbaikan mekanisme subsidi pupuk. Dalam rangka mendukung upaya tersebut, maka dalam RAPBN 2011, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi pada sektor pertanian, yaitu subsidi pupuk dan subsidi benih. Subsidi pupuk diberikan dalam rangka membantu meringankan beban petani dalam memenuhi kebutuhan pupuk dengan harga yang relatif lebih murah, dan sekaligus mampu mendukung program ketahanan pangan secara berkesinambungan. Mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan secara tertutup melalui masing-masing perusahaan produsen pupuk, yaitu PT Pupuk Sriwijaya, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang Cikampek, dan PT Pupuk Iskandar Muda. Apabila pada tahun sebelumnya subsidi pupuk terdiri dari subsidi harga, dan bantuan langsung pupuk (BLP), maka dalam rangka tertib anggaran, mulai tahun 2011 subsidi pupuk hanya menampung anggaran subsidi harga, sedangkan anggaran BLP direalokasikan ke Uraian Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -127

286 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Kementerian/Lembaga (Kementerian Pertanian). Alokasi anggaran subsidi pupuk tahun 2011 direncanakan sebesar Rp16,4 triliun (0,2 persen terhadap PDB). Jumlah ini berarti lebih rendah Rp2,0 triliun atau 11,1 persen bila dibandingkan dengan alokasi anggaran subsidi pupuk dalam APBN- P tahun 2010 sebesar Rp18,4 triliun (0,3 persen terhadap PDB). Lebih rendahnya alokasi anggaran subsidi pupuk dalam RAPBN tahun 2011 tersebut terutama berkaitan dengan realokasi anggaran BLP ke Kementerian/Lembaga (Kementerian Pertanian), dan rencana menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk dalam tahun (lihat Tabel IV.22). TABEL IV.22 ASUMSI, PARAMETER DAN BESARAN SUBSIDI PUPUK, Uraian 2010 APBN-P 2011 APBN Subsidi Pupuk (triliun rupiah) 18,4 16,4 Faktor-faktor yang mempengaruhi : a. Volume ( ribu ton) Urea SP-36/Superphose ZA NPK Organik b. Harga Pokok Produksi (ribu/ton) - Urea SP-36/Superphose ZA NPK Pupuk Organik c. Harga Eceran Tertinggi (ribu/ton) - Urea SP-36/Superphose ZA NPK Organik Sumber : Kementerian Pertanian Sejalan dengan itu, dalam rangka membantu petani memenuhi kebutuhan akan sarana produksi pertanian, dan mendukung upaya peningkatan produktivitas pertanian melalui penyediaan benih unggul untuk padi, jagung, dan kedelai dengan harga terjangkau, maka dalam RAPBN tahun 2011 juga dialokasikan anggaran untuk subsidi benih sebesar Rp120,3 miliar. Jumlah ini berarti lebih rendah sebesar Rp2,1 triliun atau 94,7 persen jika dibandingkan dengan anggaran subsidi benih dalam tahun 2010 sebesar Rp2,3 triliun. Lebih rendahnya alokasi anggaran subsidi benih dalam RAPBN tahun 2011 tersebut terutama berkaitan dengan realokasi anggaran cadangan benih nasional (CBN), dan anggaran bantuan langsung benih unggul (BLBU) ke Kementerian/Lembaga (Kementerian Pertanian). Hal tersebut dilakukan dalam rangka tertib anggaran, dimana tahun 2011 subsidi benih hanya menampung subsidi harga benih bersubsidi. Dalam tahun sebelumnya, subsidi benih menampung anggaran subsidi harga benih bersubsidi, anggaran CBN, dan anggaran BLBU. Sementara itu, untuk memberikan kompensasi finansial kepada BUMN yang diberikan tugas untuk menjalankan kewajiban pelayanan umum (public service obligation/pso), seperti penyediaan jasa di daerah tertentu dan/atau dengan tingkat tarif yang relatif lebih murah dari harga pasar (seperti angkutan kapal laut dan kereta api kelas ekonomi), dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan alokasi anggaran untuk bantuan/subsidi PSO sebesar Rp1,9 triliun. Jumlah ini berarti lebih tinggi sebesar Rp0,5 triliun (36,5 persen) bila dibandingkan dengan anggaran belanja bantuan subsidi PSO dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,4 triliun. Lebih tingginya alokasi anggaran subsidi/bantuan PSO dalam RAPBN tahun 2011 tersebut terutama berkaitan dengan kenaikan biaya pokok produksi atas penyediaan barang/jasa yang mendapat subsidi/pso. Anggaran belanja subsidi/bantuan PSO dalam tahun 2011 tersebut dialokasikan masing-masing kepada PT Kereta Api (Persero) sebesar Rp0,6 triliun untuk penugasan layanan jasa angkutan kereta api penumpang kelas ekonomi; PT Pelni sebesar Rp0,9 triliun untuk penugasan layanan jasa angkutan penumpang kapal laut kelas ekonomi; PT Posindo sebesar Rp0,3 triliun untuk tugas layanan jasa pos di daerah terpencil; dan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara sebesar Rp0,1 triliun untuk penugasan layanan berita berupa teks, foto, radio, multimedia, english news, dan televisi. IV-128 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

287 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Selanjutnya, dalam rangka menunjang upaya peningkatan ketahanan pangan dan mendukung program diversifikasi energi, Pemerintah akan meneruskan kebijakan pemberian subsidi bunga kredit program, dalam bentuk subsidi bunga kredit untuk program ketahanan pangan dan energi (KKP-E), termasuk penyediaan anggaran atas risk sharing terhadap KKP-E bermasalah yang menjadi beban pemerintah, serta kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (KPEN-RP). Selain dialokasikan melalui ketiga skim tersebut, subsidi bunga kredit program yang bertujuan untuk membantu meringankan beban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan sumber dana dengan bunga yang relatif lebih rendah, juga dialokasikan untuk kredit program eks-kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang dikelola oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM); kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) dan Rusunami; subsidi bunga pengusaha NAD, Sumut, Sumbar, Jambi dan Jabar; Imbal Jasa Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR); subsidi bunga kredit berupa kredit usaha sektor peternakan; resi gudang; subsidi bunga untuk air bersih; serta subsidi Pengembangan Ekspor Nasional. Dengan langkah-langkah kebijakan tersebut, dalam RAPBN tahun 2011, direncanakan alokasi anggaran bagi subsidi bunga kredit program sebesar Rp2,6 triliun. Bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi anggaran belanja subsidi bunga kredit program dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp2,9 triliun, maka alokasi anggaran subsidi bunga kredit program dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berarti lebih rendah sebesar Rp0,3 triliun, atau 8,3 persen. Lebih rendahnya alokasi anggaran subsidi bunga kredit program dalam RAPBN 2011 tersebut, terutama berkaitan dengan penurunan alokasi anggaran kredit pengembangan energi nabati, dan revitalisasi perkebunan (KPEN- RP). Selanjutnya, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, dalam RAPBN tahun 2011 Pemerintah juga tetap mengalokasikan subsidi pajak berupa pajak ditanggung pemerintah sebesar Rp14,8 triliun, yang terdiri dari subsidi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP), dan fasilitas bea masuk DTP. Alokasi anggaran subsidi pajak dalam tahun 2010 tersebut berarti lebih rendah sebesar Rp3,7 triliun (20,0 persen), jika dibandingkan dengan belanja subsidi pajak dalam APBN-P tahun 2010 yang mencapai Rp18,4 triliun. Lebih rendahnya alokasi anggaran subsidi pajak dalam RAPBN 2011 tersebut, terutama berkaitan dengan penghapusan beberapa jenis pajak yang diberi fasilitas pajak ditanggung pemerintah (DTP). Dalam tahun 2011, alokasi anggaran subsidi pajak penghasilan berupa PPh DTP direncanakan mencapai sebesar Rp3,5 triliun. Jumlah ini terdiri dari PPh DTP atas kegiatan panas bumi sebesar Rp1,0 triliun, PPh DTP atas bunga imbal hasil atas SBN yang diterbitkan di pasar internasional sebesar Rp1,5 triliun, dan PPh DTP atas hibah dan pembiayaan internasional dari lembaga keuangan multilateral sebesar Rp1,0 triliun. Alokasi anggaran subsidi pajak penghasilan dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berarti lebih rendah sebesar Rp0,9 triliun atau 20,9 persen, jika dibandingkan dengan subsidi pajak penghasilan dalam APBN-P tahun 2010 yang mencapai Rp4,4 triliun. Penurunan rencana pemberian subsidi PPh DTP dalam tahun 2010 tersebut berkaitan dengan makin berkurangnya jenis pajak penghasilan yang ditanggung Pemerintah. Di samping subsidi pajak penghasilan, dalam tahun 2011 juga dialokasikan subsidi pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp9,3 triliun, yang terdiri dari: (1) subsidi PPN atas penjualan BBM, BBN, dan LPG tabung 3 kg bersubsidi dalam negeri sebesar Rp6,0 triliun; (2) Subsidi PPN atas impor eksplorasi sebesar Rp2,8 triliun; dan (3) Subsidi PPN adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebesar Rp0,5 triliun. Alokasi anggaran subsidi pajak pertambahan nilai dalam tahun 2011 tersebut berarti lebih Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -129

288 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 rendah sebesar Rp2,8 triliun atau 23,0 persen, jika dibandingkan dengan anggaran subsidi pajak pertambahan nilai pada APBN-P dalam tahun 2010 sebesar Rp12,0 triliun. Sementara itu, fasilitas bea masuk DTP dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp2,0 triliun, yang berarti sama dengan fasilitas bea masuk DTP dalam APBN-P dalam tahun Alokasi Anggaran Belanja Hibah Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi anggaran belanja hibah direncanakan sebesar Rp771,3 miliar, yang berarti terjadi peningkatan sebesar Rp528,1 miliar bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja hibah yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp243,2 miliar. Kebijakan alokasi anggaran hibah kepada daerah untuk tahun 2011 masih dititikberatkan pada kelanjutan dari program tahun 2010, yaitu diarahkan pada upaya mendukung peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan layanan dasar umum dalam bidang pendidikan, air minum, sanitasi dan perhubungan. Sumber dana hibah kepada daerah berasal dari luar negeri baik berupa penerusan pinjaman maupun penerusan hibah luar negeri Pemerintah, dengan rincian sebagai berikut: Pertama, Hibah yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri Pemerintah, yaitu Program Mass Rapid Transit (MRT) dari JBIC yang diberikan kepada Pemerintah DKI Jakarta pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp592,1 miliar. Kedua, Hibah yang bersumber dari penerusan hibah luar negeri Pemerintah, yaitu (1) Program Local Basic Education Capacity (L-BEC) dari Pemerintah Belanda dan Uni Eropa (dikelola oleh Bank Dunia) pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp53,7 miliar; (2) Program Hibah Air Minum dari AusAid pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp58,9 miliar; (3) Program Air Limbah Terpusat dari AusAid pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp28,3 miliar; (4) Program Water and Sanitation Program Sub-D (WASAP-D) dari World Bank pada tahun anggaran 2011 sebesar Rp5,4 miliar; dan (5) Program Infrastructure Enhancement Grant (IEG) sebesar Rp33,0 miliar. Program MRT dilaksanakan untuk mengatasi masalah transportasi di Jakarta, dimana sebagian pendanaan untuk MRT Project bersumber dari pinjaman Japan International Cooperation Agency/JICA (dulu Japan Bank for International Cooperation/JBIC), yang akan diberikan dalam beberapa tahap. Cost-sharing yang menjadi bagian Pemerintah salah satunya diwujudkan dalam bentuk penerusan pinjaman sebagai hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dana hibah tersebut dipergunakan untuk membiayai kegiatan jasa konsultasi, pekerjaan sipil dan peralatan, dan alokasi cadangan dana tak terduga. Program L-BEC merupakan hibah kepada kabupaten/kota dari Komisi Eropa dan Pemerintah Belanda yang dikelola oleh Bank Dunia sebagai Trustee, dan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah di bidang pendidikan dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain bidang perencanaan, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia, sistem informasi, dan sistem monitoring dan evaluasi. Program Hibah Air Minum dan Air Limbah Terpusat berasal dari Pemerintah Australia, yang bertujuan untuk meningkatkan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Hibah yang diberikan kepada 23 pemerintah daerah ini diharapkan akan dapat membantu pencapaian target pembangunan milenium (MDGs). Selanjutnya, program Water and Sanitation Program Sub-D bersumber dari Kerajaan Belanda melalui Bank Dunia. Tujuan pemberian hibah ini adalah dalam rangka pembangunan sarana pengelolaan air limbah, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). IV-130 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

289 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV Program Infrastructure Enhancement Grant (IEG) bersumber dari hibah AusAID, dan ditujukan untuk program peningkatan infrastruktur dalam mendukung proyek-proyek infrastruktur yang menjadi prioritas pembangunan. IEG ini bertujuan untuk meningkatkan dampak ekonomi dan sosial dari investasi infrastruktur melalui penyediaan hibah. Alokasi Anggaran Bantuan Sosial Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi anggaran bantuan sosial direncanakan sebesar Rp61,5 triliun atau 0,9 persen terhadap PDB. Jumlah ini, menunjukkan penurunan sebesar Rp9,6 triliun atau 13,6 persen bila dibandingkan dengan pagu anggaran bantuan sosial yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp71,2 triliun (1,1 persen terhadap PDB). Alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2011 tersebut, terdiri dari: (1) alokasi dana penanggulangan bencana alam sebesar Rp4,0 triliun, dan (2) alokasi bantuan sosial yang disalurkan melalui kementerian negara/lembaga sebesar Rp57,5 triliun. Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berarti lebih tinggi Rp207,2 miliar atau 5,5 persen dari pagu anggaran penanggulangan bencana alam yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,8 triliun. Dana penanggulangan bencana alam tersebut akan dipergunakan untuk melindungi masyarakat terhadap berbagai dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, yang meliputi kegiatankegiatan tahap prabencana dalam rangka meningkatkan pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana, tahap penanganan tanggap darurat pascabencana, dan tahap pemulihan pasca bencana melalui rehabilitasi dan rekonstruksi. Selanjutnya, alokasi anggaran bantuan sosial yang akan disalurkan melalui berbagai kementerian negara/lembaga dalam tahun 2011 sebesar Rp57,5 triliun tersebut, berarti mengalami penurunan sebesar Rp9,9 triliun, atau 14,6 persen bila dibandingkan dengan pagu anggaran bantuan sosial yang disalurkan melalui K/L dalam 2010 sebesar Rp67,4 triliun. Penurunan alokasi anggaran bantuan sosial dalam tahun 2011 tersebut, terutama berkaitan dengan adanya kebijakan realokasi bantuan operasional sekolah yang semula merupakan bantuan sosial yang dialokasikan melalui Kementerian Pendidikan Nasional menjadi bagian dari transfer ke daerah. Beberapa program yang termasuk dalam kategori bantuan sosial dalam RAPBN tahun 2011 antara lain adalah: (1) bantuan operasional sekolah (BOS), dengan alokasi anggaran sebesar Rp3,0 triliun, yang dialokasikan melalui Kementerian Agama. Mulai tahun 2011 ini direncanakan adanya kebijakan realokasi anggaran untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS), yang selama ini dialokasikan melalui anggaran Kementerian Pendidikan Nasional akan dipindahkan menjadi bagian dari anggaran transfer ke daerah. Realokasi anggaran BOS tersebut direncanakan mencapai Rp16,8 triliun, terdiri dari: (a) dana BOS sebesar Rp16,6 triliun; dan (b) dana cadangan (buffer funds) sebesar Rp0,2 triliun; (2)beasiswa pendidikan untuk siswa dan mahasiswa miskin, dengan alokasi anggaran sebesar Rp24,9 triliun; (3) program upaya kesehatan masyarakat (pelayanan kesehatan di Puskesmas) dengan alokasi anggaran sebesar Rp916,8 miliar; (4) program upaya kesehatan perorangan (pelayanan kesehatan di rumah sakit kelas III), dengan alokasi anggaran sebesar Rp4,3 triliun; (5) peningkatan keberdayaan masyarakat dan PNPM pedesaan dengan kecamatan (PPK), dengan alokasi anggaran sebesar Rp9,6 triliun; (6) pengembangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah/penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP), dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,7 triliun; serta (7) program keluarga harapan (PKH), dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,6 triliun. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -131

290 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Program BOS merupakan amanat dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Tujuan dari program BOS, yaitu membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu, dan meringankan beban siswa lainnya agar semua siswa memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat dalam rangka penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program BOS diberikan kepada sekolah tingkat SD dan SMP, dan dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat, khususnya masyarakat miskin dalam membiayai pendidikan, sehingga diharapkan angka putus sekolah dapat menurun. Program BOS diberikan, baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan operasional sekolah, maupun dalam bentuk BOS buku. Dana BOS tersebut dialokasikan berdasarkan jumlah murid, dengan alokasi sebesar Rp untuk SD/MI kabupaten, sebesar Rp untuk SD/MI kota per murid per tahun, sebesar Rp untuk SMP/ MTs kabupaten, dan sebesar Rp untuk SMP/MTs kota per murid per tahun. Dalam tahun 2011, dana BOS akan disediakan bagi 44,1 juta siswa tingkat pendidikan dasar, dengan total alokasi anggaran sebesar Rp19,8 triliun. Di samping program BOS yang dialokasikan untuk pendidikan dasar, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran bagi program beasiswa untuk siswa miskin mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Program beasiswa untuk siswa miskin dalam tahun 2011 akan dialokasikan masing-masing untuk 5,3 juta siswa SD dan SMP dengan alokasi anggaran sebesar Rp19,5 triliun; bagi 1,3 juta siswa MI dan MTs dengan alokasi anggaran sebesar Rp702,0 miliar; bagi 892,4 ribu siswa SMA dan SMK dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,9 triliun; bagi 400,0 ribu siswa MA dengan alokasi anggaran sebesar Rp304,0 miliar; bagi 67 ribu mahasiswa Perguruan Tinggi dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,2 triliun; dan untuk 59,5 ribu mahasiswa Perguruan Tinggi Agama dengan alokasi anggaran sebesar Rp84,0 miliar. Dalam rangka meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar, khususnya bagi penduduk miskin, maka pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang sudah dilaksanakan dalam tahun-tahun sebelumnya dalam bentuk Askeskin/Jamkesmas akan terus dilanjutkan dan diperluas cakupannya. Dalam tahun 2011, program jaminan pelayanan kesehatan pada masyarakat (jamkesmas) akan diberikan dalam bentuk: (1) peningkatan akses penduduk miskin dan kurang mampu di kelas III RS Pemerintah dan RS swasta tertentu yang ditunjuk, mencakup sebanyak 76,4 juta RTS, dengan alokasi anggaran bantuan sosial sebesar Rp4,3 triliun dan pelayanan kesehatan dasar bagi seluruh penduduk di Puskesmas dan jaringannya, dengan alokasi anggaran bantuan sosial sebesar Rp916,8 miliar. Dalam rangka menyempurnakan sistem perlindungan sosial, dan sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat pencapaian target Millenium Development Goals (MDG s), khususnya bagi masyarakat miskin, dalam tahun 2011 Pemerintah akan kembali melanjutkan program penyediaan bantuan bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) dalam pos bantuan sosial melalui program bantuan dan jaminan kesejahteraan sosial (program keluarga harapan/ PKH) bagi 1,1 juta RTSM, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,6 triliun. Apabila dibandingkan dengan pelaksanaan program keluarga harapan tahun 2010, terdapat kenaikan baik untuk jumlah sasaran penerima, maupun alokasi anggarannya. Kebijakan tersebut sesuai dengan rencana target sasaran-alokasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun Sasaran yang berhak menerima bantuan adalah: (1) anak usia 0-6 tahun dalam RTSM yang akan diberikan pelayanan kesehatan; (2) ibu hamil dan IV-132 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

291 Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 Bab IV ibu nifas dalam RTSM yang akan diberikan pelayanan kesehatan; dan (3) anak usia 6-15 tahun dalam RTSM yang akan diberikan layanan pendidikan. Selanjutnya, dalam rangka menjaga keberlanjutan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan dalam tahun-tahun sebelumnya, dalam tahun 2011 cakupan PNPM akan diperluas ke beberapa kecamatan di perkotaan dan perdesaan, dan akan terus dilakukan harmonisasi antarprogram penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dari berbagai sektor ke dalam wadah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat antara lain meliputi: (1) peningkatan keberdayaan masyarakat dan PNPM perdesaan dengan kecamatan (PNPM Perdesaan), yang mencakup pemberdayaan di kecamatan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp9,6 triliun; (2) penanggulangan infrastruktur sosial ekonomi wilayah penanggulangan kemiskinan perkotaan/p2kp (PNPM perkotaan), yang mencakup kelurahan, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,7 triliun; (3) PNPM infrastruktur perdesaan (PPIP) yang mencakup desa dengan alokasi anggaran Rp1,0 triliun; (4) PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus yang mencakup seluruh kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam dan 75 kabupaten lainnya dengan alokasi anggaran Rp345,9 miliar; serta (5) PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah yang mencakup pemberdayaan di 237 kecamatan dengan alokasi anggaran Rp527,8 miliar. Alokasi Anggaran Belanja Lain-lain Belanja Lain-lain adalah semua belanja Pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membiayai keperluan lembaga yang belum mempunyai kode bagian anggaran, keperluan yang bersifat ad-hoc (tidak terus menerus), kewajiban pemerintah berupa kontribusi atau iuran kepada lembaga internasional yang belum ditampung dalam bagian anggaran Kementerian negara/lembaga, dana cadangan risiko fiskal, serta mengantisipasi kebutuhan mendesak dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Alokasi anggaran belanja lain-lain dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp26,3 triliun, atau 0,4 persen terhadap PDB. Jumlah ini, berarti menunjukkan penurunan sebesar Rp6,6 triliun, atau 20,1 persen bila dibandingkan dengan pagu anggaran belanja lain-lain dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp32,9 triliun (0,5 persen terhadap PDB). Lebih rendahnya alokasi anggaran belanja lain-lain dalam tahun 2011 tersebut, antara lain berkaitan dengan dilakukannya realokasi beberapa pos anggaran dari belanja lain-lain ke belanja K/L, seperti pendanaan untuk biaya pemungutan PBB, anggaran operasional beberapa komite/lembaga, dan sebagian belanja penunjang. Selain itu, juga dilakukan realokasi anggaran penyertaan modal negara (PMN) kepada lembaga keuangan internasional dari belanja lainnya ke pos pembiayaan. Alokasi anggaran belanja lain-lain dalam tahun 2011 tersebut terdiri dari: (1) dana cadangan risiko fiskal (policy measures) sebesar Rp4,9 triliun; dan (2) belanja lainnya Rp21,4 triliun. Dana cadangan risiko fiskal dialokasikan antara lain berupa dana cadangan risiko asumsi makro, yang disediakan sebagai langkah antisipasi perubahan besar-besaran dalam postur APBN apabila terjadi deviasi antara berbagai asumsi ekonomi makro yang ditetapkan Pemerintah, seperti pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dengan realisasinya. Di samping itu, dana cadangan risiko fiskal juga menampung dana contingent liabilities, untuk proyek infrastruktur, khususnya pengadaan tanah untuk proyek jalan tol. Pemberian dukungan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mendorong percepatan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 IV -133

292 Bab IV Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2011 pembangunan jalan tol yang terkendala oleh adanya permasalahan pembebasan tanah akibat terjadinya kenaikan harga tanah yang akan digunakan dalam pembangunan jalan tol (land capping). Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka alokasi anggaran untuk dana cadangan risiko fiskal dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp4,9 triliun. Jumlah ini, berarti mengalami penurunan sebesar Rp1,1 triliun dibandingkan dengan pagu anggaran dana cadangan resiko fiskal dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp6,0 triliun. Penurunan alokasi anggaran dana cadangan risiko fiskal dalam tahun 2011 tersebut, antara lain berkaitan dengan tidak lagi dialokasikannya cadangan risiko stabilisasi harga pangan dan risiko fiskal lainnya seperti risiko lifting dan kenaikan harga gas PLN. Sementara itu, komponen lainnya dari belanja lain-lain adalah anggaran belanja lainnya yang antara lain menampung pengeluaran yang bersifat ad hoc, dan tidak diharapkan berulang, seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya, yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dalam RAPBN tahun 2011, alokasi anggaran belanja lainnya direncanakan sebesar Rp21,4 triliun (0,3 persen terhadap PDB). Jumlah ini, berarti lebih rendah sebesar Rp5,6 triliun atau 20,7 persen bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi anggaran belanja lainnya dalam tahun 2010 sebesar Rp26,9 triliun (0,4 persen terhadap PDB). Alokasi anggaran belanja lainnya dalam tahun 2011 tersebut, antara lain dipergunakan untuk menampung: (1) operasional lembaga/komite; (2) cadangan belanja termasuk cadangan beras Pemerintah, lanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi Sumatera Barat, dan pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE); serta (3) belanja penunjang. Selain itu, juga menampung cadangan pembangunan daerah perbatasan, penyelesaian nomor induk kependudukan, alutsista hankam, dan cadangan subsidi BBM. Alokasi anggaran belanja pemerintah Pusat menurut jenis dalam tahun 2010 dan 2011,dapat dilihat pada Tabel IV.23. TABEL IV.23 PERKEMBANGAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT, (triliun rupiah) No. Uraian APBN-P % thd PDB RAPBN % thd PDB 1. Belanja Pegawai 162,7 2,6 180,6 2,6 2. Belanja Barang 112,6 1,8 131,5 1,9 3. Belanja Modal 95,0 1,5 121,7 1,7 4. Pembayaran Bunga Utang 105,7 1,7 116,4 1,7 5. Subsidi 201,3 3,2 184,8 2,6 6. Belanja Hibah 0,2 0,0 0,8 0,0 7. Bantuan Sosial 71,2 1,1 61,5 0,9 8. Belanja lain-lain 32,9 0,5 26,3 0,4 Jumlah 781,5 12,5 823,6 11,8 Sumber : Kementerian Keuangan IV-134 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

293 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V 5.1 Umum BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang- Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud. Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint (kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33 Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun melalui transfer ke daerah. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun 2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-1

294 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah, peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah. Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun Pada tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program nasional yang menjadi Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah, seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1). Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan belanja pemerintah daerah dapat tercermin dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya. Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula, tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator statistik pemerataan PDRB antarprovinsi. V-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

295 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Kebijakan desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro. Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai. GRAFIK V.1 DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010 Belanja APBN-P 2010 (triliun rupiah) Sumber: APBN-P 2010 Belanja Negara di Daerah 126,37 (11,22%) Bantuan ke Masyarakat 35,37 (3,14%) Subsidi 176,33 (15,66%) Total Belanja = 1.126,15 T BelanjaNegaradiPusat 443,46 (39,38%) Transfer ke Daerah 344,61 (30,60%) Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%) Melalui Angg. K/L dan APP (Program Nasional) Melalui APP (Subsidi) Melalui Angg. Transfer ke Daerah (Masuk APBD) Melalui Angg. K/L - PNPM 10,42 0,93% - BBM 88,89 7,89% - DBH 89,62 7,96% - Dana Dekon 11,93 1,06% - BOS 19,84 1,76% - Listrik 55,10 4,89% - DAU 203,61 18,08% - Dana TP 7,64 0,68% - Jamkes 5,10 0,45% - Pangan 13,92 1,24% - DAK 21,14 1,88% - Dana Vertikal 106,80 9,48% - Pupuk 18,41 1,63% - Otsus 9,09 0,81% - Penyesuaian 21,15 1,88% *) APP = Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan Total 35,37 (3,14%) Total 176,33 (15,66%) Total 344,61 (30,60%) Total 126,37 (11,22%) 5.2 Perkembangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun Perkembangan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-3

296 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain. Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun Pertama adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan korektif. Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu, instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik. Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain, melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran. V-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

297 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah. Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent), mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman, persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya. Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari pinjaman daerah. Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada Pemerintah Daerah. Kebijakan hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri. Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-5

298 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah Perkembangan Transfer ke Daerah Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut, perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detail perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1. Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun. Peningkatan tersebut terjadi merata pada semua jenis transfer ke daerah. DAU yang merupakan komponen terbesar dari transfer ke daerah meningkat dari Rp88,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp203,6 triliun pada tahun 2010, suatu peningkatan yang sangat signifikan karena meningkat hampir tiga kali lipat. Peningkatan terbesar terjadi pada DAK. Pada tahun 2005 nilai DAK masih berada di bawah Rp4 triliun, tetapi triliun rupiah GRAFIK. V.2 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH (DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN) TAHUN ,22 7,24 4,05 9, LKPP 222, LKPP Sumber : Kementerian Keuangan 243, LKPP Dana Otsus dan Penyesuaian 278,71 287,25 13,72 21,33 30, LKPP 2009 LKPP Dana Perimbangan 314, APBN-P TABEL V.1 PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, (miliar rupiah) LKPP Audited APBN-P Uraian 2005 % thd PDB 2006 % thd PDB 2007 % thd PDB 2008 % thd PDB 2009 % thd PDB 2010 % thd PDB I. Dana Perim bangan ,3 5, ,6 6, ,1 6, ,7 5, ,5 5, ,3 5,0 a. Dana Bagi Hasil ,2 1, ,3 1, ,9 1, ,2 1, ,9 1, ,4 1,4 b. Dana Alokasi Umum ,4 3, ,2 4, ,4 4, ,1 3, ,1 3, ,5 3,3 c. Dana Alokasi Khusus ,7 0, ,1 0, ,8 0, ,3 0, ,4 0, ,4 0,3 II. Dana Otsus dan Peny esuaian 7.242,6 0, ,3 0, ,0 0, ,8 0, ,8 0, ,6 0,5 a. Dana Otonomi Khusus 1.775,3 0, ,3 0, ,7 0, ,3 0, ,6 0, ,6 0,1 b. Dana Penyesuaian 5.467,3 0,2 561,1 0, ,3 0, ,5 0, ,2 0, ,0 0,3 Jum lah ,9 5, ,9 6, ,1 6, ,5 5, ,2 5, ,9 5,5 Sumber : Kementerian Keuangan V-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

299 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010 turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun Adapun kebijakan pengalokasian dari tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat. Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1 triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun. Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-provinsi Kalimantan Timur, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar 35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah daerah se-provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-provinsi DI Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar nya yaitu 0,004 persen. Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50 persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah daerah se-provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen. Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5 persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-7

300 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal GRAFIK. V.3 PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total , , Tertinggi Kaltim ,56 35,24 Kaltim ,70 34,06 Terendah Bali 1,29 0,004 Yogyakarta 1,24 0,004 Rata-Rata , ,77 - miliar rupiah Yogyakarta Bali Banten NTT Gorontalo Sulbar Bengkulu Sulut Sumut Sulteng Sumbar Jateng Sultra Maluku Sulsel Kalbar DKI Malut NTB *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Babel Lampung Kalteng Jatim Jabar Jambi NAD Papua Papua Barat Kepri Kalsel Sumsel Riau Kaltim Sumber : Kementerian Keuangan GRAFIK. V.4 PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA *) TAHUN Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total , , Tertinggi DKI 8.688,80 22,1% DKI ,84 23,7% Terendah Gorontalo 132,21 0,34% Gorontalo 129,00 0,28% Rata-Rata , ,86 - miliar rupiah *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : KementerianKeuangan V-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

301 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V rentang waktu , realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun. Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah. Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut: (1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal. Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah 100 persen. (2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk wilayah. (3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya Williamson Index. Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana (KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang. Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang. Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-9

302 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal GRAFIK. V.5 PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN miliar rupiah Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total , , Tertinggi Jatim ,97 11,19 Jatim ,50 11,06 Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00 Rata-Rata , , *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/ kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada tahun Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah. Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu, diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari pagu DAU nasional. Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan. V-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

303 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V GRAFIK.V.6 PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*) TAHUN miliar rupiah Uraian Daerah Jumlah % Daerah Jumlah % Total , , Tertinggi Jatim 2.138,18 8,65 Jateng 1.969,34 9,32 Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00 Rata-Rata , , DKI Kepri Babel Sulbar Kaltim Gorontalo Riau Yogyakarta Malut Bali Banten Bengkulu Papua Barat Maluku Kalteng Jambi Sulteng NTB Sultra Kalsel Sumsel Sulut Kalbar Lampung NTT NAD Sumbar Sulsel Sumut Papua Jabar Jatim Jateng *) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan Sumber : Kementerian Keuangan Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi, besarnya adalah Rp , per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen. Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu, pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun juga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi Guru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan Nasional. Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi anggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan untuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun dapat dilihat pada Tabel V.2. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-11

304 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal Dalam Grafik V.7, dapat dilihat bahwa realisasi Dana Otsus dan Penyesuaian dalam periode mengalami peningkatan yang signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp30,2 triliun dalam APBN- P Peningkatan ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah untuk lebih mendorong peran daerah dalam era otonomi daerah yang ditandai dengan makin beragamnya jenis Dana Penyesuaian dari tahun ke tahun. TABEL V.2 PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN No. Nomenklatur Dana Penyesuaian Murni 2 Dana Penyesuaian DAU 3 Dana Penyeimbang DAU 4 Dana Tunjangan Kependidikan 5 Dana Tambahan DAU 6 Dana Penyesuaian Ad Hoc 7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan 8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana (DISP) 9 Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal & Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD) 10 Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD) 11 Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan (DPPIP) 12 Dana Insentif Daerah 13 Dana Tambahan Penghasilan Guru 14 Kurang Bayar DAK dan DISP Sumber: Kementerian Keuangan GRAFIK V.7 PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN TAHUN Dana Penyesuaian Dana Otonomi Khusus triliun rupiah ,8 21, ,5 0,6 1, LKPP Sumber : Kementerian Keuangan 3,5 4, LKPP 5, LKPP 6,2 7, LKPP 9,5 9, LKPP 2010 APBN-P Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah. V-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

305 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah. Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara lain adalah: (1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru. Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi. Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-13

306 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor. (3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit 10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. (4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/ atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi. UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu. Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 masing-masing dapat dilihat pada Tabel V.3 dan Tabel V.4. Sama halnya dengan pajak daerah, pemerintah daerah juga tidak diperkenankan untuk memungut jenis retribusi selain yang telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun Namun demikian, untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, maka dimungkinkan untuk menambah jenis retribusi sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU dimaksud dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah. TABEL V.3 JENIS PAJAK DAERAH Provinsi Kabupaten/Kota 1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel 2. Bea Balik Nama 2. Pajak Restoran Kendaraan Bermotor 3. Pajak Bahan Bakar 3. Pajak Hiburan Kendaraan Bermotor 4. Pajak Air Permukaan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Parkir 7. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 8. Pajak Air Tanah 9. Pajak Sarang Burung Walet 10. PBB Perdesaan dan Perkotaan 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009 V-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

307 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V TABEL V.4 JENIS RETRIBUSI DAERAH Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu 1 Retribusi Pelayanan Kesehatan 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan 2 Retribusi Kebersihan 2 Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2 Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 3 Retribusi KTP dan Akte Capil 3 Retribusi Tempat Pelelangan 3 Retribusi Izin Gangguan 4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan 4 Retribusi Terminal 4 Retribusi Izin Trayek Mayat 5 Retribusi Parkir di Tepi 5 Retribusi Tempat Khusus Parkir 5 Retribusi Izin Usaha Perikanan Jalan Umum 6 Retribusi Pelayanan Dasar 6 Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa 7 Retribusi Pengujian Kendaraan 7 Retribusi Rumah Potong Hewan Bermotor 8 Retribusi Pemeriksaan Alat 8 Retribusi Pelayanan Kepelabuhan Pemadam Kebakaran 9 Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 9 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga 10 Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang 10 Retribusi Penyeberangan di Air 11 Retribusi Penyedotan Kakus 11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah 12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair 13 Retribusi Pelayanan Pendidikan 14 Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009 Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan. Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah. Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2010, terdapat perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, perda (37 persen) diantaranya direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari yang diterima, sejumlah diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352 (13 persen) raperda ditolak dan (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-15

308 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran; (2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode penyaluran. Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: (1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam APBN tahun 2011; (2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari Dengan demikian, penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah; (3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011; (4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012; (5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/ koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian, dan penetapan Pinjaman dan Hibah Daerah Pinjaman Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang V-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

309 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah, dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah. Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8 menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan dengan besarnya defisit pada APBD. Berdasarkan grafik tersebut, dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit APBD sangat kecil dan berfluktuasi antara 4 persen sampai dengan 7 persen. Defisit APBD pada umumnya ditutup dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya masingmasing Pemerintah Daerah. Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri. Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri (Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal domestik Hibah Daerah 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% GRAFIK. V.8 PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah. Kebijakan pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwa pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari 5,32 Sumber: KementerianKeuangan 6,13 4,63 4, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-17

310 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut: (1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan mulai direalisasikan pada tahun Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity (L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda (dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah dilakukan pada tahun Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan direncanakan berakhir pada tahun Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5) V-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

311 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V TABEL V.5 ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN No. Kegiatan Sum ber Jum lah (miliar Rp) Da er a h Penerim a Jum lah (miliar Rp) Da er a h Penerim a Mass Rapid Transit (MRT) Local Basic Education Capacity (L-BEC) Support to Community Health Services (SCHS) Pinjaman dari JICA 34,38 1 Hibah dari Pemerintah Belanda dan Uni Eropa (dikelola World Bank) Hibah dari Uni Eropa (dikelola World Health Organisation) 22, , , Hibah Air Minum Hibah dari AusAid 106, Hibah Air Limbah Hibah dari AusAid WASAP-D Hibah dari World Bank 12,6 6 Sumber : Kementerian Keuangan Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinankemungkinan upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehingga diharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu permasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkan dalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain: (1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibah antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. (2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui Menteri Keuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD. (3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yang memudahkan bagi negara pemberi hibah. (4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku. (5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukan kepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan secara tertib. Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasi dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan. Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah agar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-19

312 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal Gambaran Pelaksanaan APBD Total realisasi pendapatan seluruh provinsi tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 35,1 persen dari tahun 2007, yang kenaikan terbesarnya disumbangkan oleh Dana Perimbangan sebesar 53,3 persen. Sementara itu, Lain-lain Pendapatan Daerah justru mengalami penurunan sebesar 1,7 persen (lihat Tabel V.6). Berbeda halnya dengan realisasi pendapatan provinsi, seluruh kelompok pendapatan kabupaten dan kota mengalami kenaikan. Kenaikan realisasi pendapatan kabupaten dan kota tersebut adalah sebesar 25,2 persen pada tahun 2008 (lihat Tabel V.7). Peningkatan pendapatan juga diikuti dengan pertumbuhan pada sisi belanja. Dalam empat tahun terakhir, belanja APBD provinsi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Setiap jenis belanja tumbuh, tak terkecuali belanja modal yang mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 20,13 persen. Pertumbuhan rata-rata tertinggi ada pada belanja barang dan jasa diikuti dengan belanja pegawai. Di lain pihak, pertumbuhan terendah adalah pada Belanja Lainnya. Belanja Lainnya merupakan gabungan dari belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan belanja tak terduga. (lihat Tabel V.8). Komposisi belanja pemerintah provinsi pada dasarnya tidak mengalami banyak perubahan. Berbeda halnya dengan pemerintah kabupaten dan kota. Jika pada tahun 2007 belanja pegawai mengambil porsi sebesar 40,91 persen dari total belanja, pada tahun 2010 porsi tersebut meningkat menjadi 50,74 persen. Sebaliknya, belanja modal dari total belanja turun dari 31,16 persen pada tahun 2007 menjadi 21,90 persen pada tahun 2010 (lihat Tabel V.9). Dilihat dari belanja per fungsi, alokasi belanja pada APBD provinsi mengalami perkembangan yang cukup menarik. Dari tahun 2007 ke tahun 2009, belanja untuk fungsi pendidikan mengalami pertumbuhan tertinggi hampir mendekati 53 persen. Tabel V.6 REALISASI PENDAPATAN PROVINSI TAHUN 2007 dan 2008 (miliar rupiah) Kelompok Pendapatan Perubahan (%) Pendapatan Asli Daerah , ,5 21,0 Dana Perimbangan , ,7 53,3 Lain-lain Pendapatan Daerah , ,2-1,7 T otal , ,3 35,1 Sumber : Kementerian Keuangan Tabel V.7 REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA TAHUN 2007 dan 2008 (miliar rupiah) Kelompok Pendapatan TABEL V.8 TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENIS TAHUN 2007 DAN 2010 (miliar rupiah) Jenis Belanja Rasio (%) Perubahan (%) Pendapatan Asli Daerah , ,4 20,9 Dana Perimbangan , ,4 25,7 Lain-lain Pendapatan Daerah , ,1 22,5 Total , ,9 25,2 Sumber : Kementerian Keuangan Pertumbuhan Rata-rata (%) Pegawai , ,3 24,08 26,37 26,76 Barang dan Jasa , ,6 19,07 23,75 32,33 Modal , ,2 24,95 23,25 20,13 Lainnya , ,2 31,90 26,62 15,8 Total , ,3 100,00 100,00 22,98 Sumber : Kementerian Keuangan TABEL V.9 TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS TAHUN 2007 DAN 2010 (miliar rupiah) Jenis Belanja Pegawai , ,77 40,91 50,74 15,88 Barang dan Jasa , ,50 17,03 16,81 7,38 Modal , ,08 31,16 21,9 (4,12) Lainnya , ,31 10,90 10,55 6,7 Total , ,67 100,00 100,00 7,85 Sumber : Kementerian Keuangan 2007 Rasio (%) 2010 Pertumbuhan Rata-rata (%) V-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

313 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh fungsi kesehatan dan pelayanan umum. Urutan terakhir adalah fungsi lainnya yang merupakan gabungan dari fungsi ekonomi, lingkungan hidup, ketentraman dan ketertiban, perumahan dan fasilitas umum, pariwisata dan budaya, serta perlindungan sosial. Pertumbuhan total belanja APBD provinsi per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.10. Belanja per fungsi pada total APBD kabupaten dan kota juga mengalami perkembangan serupa. Pertumbuhan rata-rata belanja untuk Fungsi Pendidikan hampir mendekati 21 persen. Porsi belanja untuk total TABEL V. 10 TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI TAHUN 2007 dan 2009 (miliar rupiah) % thd Total No. Fungsi Belanja Pertumbuhan Rata-rata (%) Pelayanan Umum , ,5 53,0 56,8 25,9 2 Pendidikan 4.524, ,6 7,4 11,7 52,7 3 Kesehatan 4.055, ,1 6,7 9,0 41,3 4 Lainnya , ,9 32,9 22,5 0,6 Sumber: Kementerian Keuangan TABEL V. 11 TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI TAHUN 2007 dan 2009 (miliar rupiah) % thd Total No. Fungsi Belanja Pertumbuhan Rata-rata (%) Pelayanan Umum , ,84 30,53 28, Pendidikan , ,70 27,48 31, Kesehatan , ,56 9,71 9, Lainnya , ,18 32,28 30, Sumber: Kementerian Keuangan Fungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undang bidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi 31,22 persen pada tahun Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh Fungsi Lainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupaten dan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V Implikasi Desentralisasi Fiskal terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local taxing power. Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya, peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknya akses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi, ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangan daerah. Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen. Pada Grafik V.9 terlihat bahwa terdapat 14 provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pada tahun 2009, dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,55 persen terdapat 22 provinsi yang berada di atas pertumbuhan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-21

314

315 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi laju inflasi daerah. Hal ini dapat dilihat pada tren penurunan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada tahun 2009 yang ternyata juga diikuti dengan penurunan inflasi. Berdasarkan data pantauan inflasi di 66 kota di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 terjadi penurunan laju inflasi daerah yang relatif cukup signifikan, salah satunya diakibatkan penurunan harga minyak dunia dan penurunan harga BBM di tahun Laju inflasi tertinggi terjadi di Kota Manokwari yang mencapai 7,4 persen, sedangkan yang paling rendah inflasinya adalah Kota Dumai hanya sebesar 0,8 persen. Dalam tahun 2010, laju inflasi diharapkan akan berada pada tingkat yang lebih rendah. Perkembangan laju inflasi selama periode di 66 kota dapat dilihat dalam Tabel V.12. TABEL V.12 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA (dalam persen) No. Kota No. Kota Lhokseumawe 17,6 1,9 4,2 15,0 3,9 34 Probolinggo 5,6 3,5 2 Banda Aceh 41,1 9,5 11,0 12,0 3,5 35 Madiun 6,0 3,4 3 Padang Sidempuan 18,5 10,0 5,9 10,7 1,9 36 Surabaya 14,1 6,7 6,3 10,4 3,3 4 Sibolga 22,4 5,0 7,1 13,8 1,6 37 Serang/Cilegon 16,1 7,7 6,3 13,7 4,5 5 Pematang Siantar 19,7 6,1 8,4 10,3 2,7 38 Tangerang 6,2 2,5 6 Medan 22,9 6,0 6,4 9,9 2,7 39 Cilegon 4,6 3,1 7 Padang 20,1 8,0 6,9 13,1 2,1 40 Denpasar 11,3 4,3 5,9 10,5 4,3 8 Pekanbaru 17,1 6,3 7,5 10,5 1,9 41 Mataram 17,7 4,2 8,8 12,4 3,1 9 Dumai 8,0 0,8 42 Bima 8,9 4,0 10 Batam 14,8 4,6 4,8 8,6 1,9 43 Maumere 6,3 5,2 11 Jambi 16,5 10,7 7,4 11,1 2,5 44 Kupang 15,2 9,7 8,4 10,5 6,3 12 Palembang 19,9 8,4 8,2 13,3 1,8 45 Pontianak 14,4 6,3 8,6 11,6 4,9 13 Bengkulu 25,2 6,5 5,0 14,5 2,9 46 Singkawang 5,7 1,2 14 Bandar Lampung 21,2 6,0 6,6 14,4 4,2 47 Sampit 11,9 7,7 7,6 8,3 2,8 15 Pangkal Pinang 17,4 6,4 2,6 18,4 2,2 48 Palangkaraya 12,1 7,7 8,0 12,2 1,4 16 Tanjung Pinang 7,0 1,5 49 Banjarmasin 12,9 11,0 7,8 11,0 3,8 17 DKI Jakarta 16,1 6,0 6,0 11,1 2,3 50 Balikpapan 17,3 5,5 7,3 11,1 3,5 18 Bogor 4,0 2,1 51 Samarinda 16,6 6,5 9,2 12,8 4,0 19 Sukabumi 7,5 3,4 52 Tarakan 8,8 7,0 20 Tasikmalaya 20,8 8,4 7,7 11,7 4,1 53 Manado 18,7 5,1 10,1 9,0 2,3 21 Bandung 19,6 5,3 5,3 9,9 2,1 54 Palu 16,3 8,7 8,1 10,7 5,6 22 Cirebon 16,8 6,3 7,9 13,9 4,1 55 Watampone 10,1 6,7 23 Bekasi 5,1 1,9 56 Makassar 15,2 7,2 5,7 12,2 3,2 24 Depok 6,1 1,3 57 Parepare 7,4 1,4 25 Purwokerto 14,5 8,4 6,1 12,3 2,8 58 Palopo 7,8 4,1 26 Surakarta 13,9 6,2 3,3 8,3 2,6 59 Kendari 21,5 10,6 7,5 16,0 4,5 27 Semarang 16,5 6,1 6,7 11,2 3,1 60 Gorontalo 18,6 7,5 7,0 7,9 4,3 28 Tegal 18,4 7,7 8,9 8,6 5,7 61 Mamuju 8,5 1,8 29 Yogyakarta 15,0 10,4 8,0 10,0 2,9 62 Ambon 16,7 4,8 5,8 10,1 6,4 30 Jember 16,9 6,8 7,2 10,1 3,7 63 Ternate 19,4 5,1 10,4 12,2 3,8 31 Sumenep 5,5 2,7 64 Manokwari 14,5 7,4 32 Kediri 16,8 7,8 6,8 10,1 3,5 65 Sorong 11,0 3,3 33 Malang 15,7 5,9 5,9 11,9 3,3 66 Jayapura 14,1 9,5 10,3 15,5 2,0 Sumber : Badan Pusat Statistik Salah satu faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Terkait dengan investasi, pada dasarnya kewenangan daerah sangat besar karena kewenangan penanaman modal merupakan salah satu kewenangan yang didesentralisasikan sesuai dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peran besar daerah dalam meningkatkan investasi berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) saat ini sudah diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dukungan Pemerintah Pusat terlihat pada upaya menarik investor dari luar negeri yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Kemudahan dan fasilitas telah disediakan oleh Pemerintah maupun pemerintah Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-23

316 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal daerah dalam rangka menarik para investor untuk lebih banyak menanamkan modalnya dan hal tersebut juga sudah didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Salah satu upaya mempermudah investor adalah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dimana daerah berkoordinasi dengan BKPM membentuk unit tersendiri yang tugas utamanya menyediakan kemudahan perizinan bagi investor. Upaya lain yang dilakukan diantaranya adalah (1) meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik kualitas maupun kuantitas, (2) adanya kepastian hukum, (3) jaminan keamanan, (4) kondisi persaingan usaha yang sehat, dan (5) transparansi kebijakan pemerintah daerah. Belum seluruh pemerintah daerah secara optimal melaksanakan upaya-upaya tersebut, hal ini dikarenakan terjadinya krisis ekonomi dunia yang berpengaruh pada minat investor asing berinvestasi di Indonesia, akan tetapi di lain pihak data pertumbuhan investasi di beberapa daerah menunjukkan kecenderungan peningkatan investasi khususnya untuk PMDN. Berdasarkan data BKPM, pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang relatif signifikan pada PMDN, tetapi terjadi penurunan pada PMA. Kegiatan investasi secara umum masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal ini terutama disebabkan oleh kurang memadainya infrastruktur di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Perkembangan realisasi investasi di Indonesia tahun dapat dilihat dalam Tabel V.13. TABEL V.13 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA TAHUN Provinsi PMA (Juta US$) PMDN (Rp. Miliar) SUMATERA 898, , ,9 776, , , , ,6 JAWA 4.416, , , , , , , ,5 BALI DAN NUSA TENGGARA 106,2 56,7 95,5 233,8 104,9 15,7 29,0 50,8 KALIMANTAN 534,8 300,6 115,2 284, , , , ,4 SULAWESI 15,5 79,6 65,4 141,6 68, , , ,4 MALUKU 20, ,9 0, PAPUA 0,6 2,5 18,7 2,8 403,5-294,7 41,0 JUMLAH 5.991, , , , , , , ,8 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, besarnya peningkatan jumlah investasi yang terealisasi tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yang turun sebesar 1.46 persen. Hal ini wajar terjadi karena investasi yang ditanamkan pada tahun 2009 belum menimbulkan efek pada peningkatan PDRB. Oleh karena itu, perlu dilihat dari indikator lain untuk mengetahui besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator yang terkait langsung dengan investasi dan pembangunan ekonomi adalah rendahnya tingkat pengangguran. Secara nasional, tingkat pengangguran senantiasa menunjukkan penurunan, yaitu turun dari 11,2 persen di tahun 2005 dan berturut-turut turun menjadi 10,3 persen di tahun 2006, 9,1 persen di tahun 2007, 8,4 persen di tahun 2008, dan turun lagi menjadi 7,87 persen di tahun Tingkat pengangguran di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Sulawesi Utara relatif lebih tinggi dibandingkan kawasan lain, yaitu mencapai lebih dari 10 persen pada tahun 2008 dan Perkembangan tingkat pengangguran per provinsi dari tahun dapat dilihat dalam Grafik V.11. V-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

317 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V 16 GRAFIK V.11 TINGKAT PENGANGGURAN PER PROVINSI TAHUN Tingkat Pengangguran (%) BALI NTT PAPUA SULBAR KALTENG SULTRA BENGKULU JATIM SULTENG KALBAR JAMBI GORONTALO DIY BABEL NTB KALSEL LAMPUNG MALUT JATENG PAPUA BARAT SUMSEL SUMBAR KEP. RIAU SUMUT RIAU NAD SULSEL SULUT MALUKU KALTIM JABAR JAKARTA BANTEN Sumber : Kementerian Keuangan Bergeraknya roda perekonomian dan banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam industri yang didanai dari investasi dalam dan luar negeri seharusnya bisa menimbulkan dampak pada indikator tingkat kemiskinan, secara nasional juga terjadi penurunan yang relatif signifikan. Apabila dibandingkan dengan tahun 2006, maka pada tahun 2009 sebagian besar daerah di Indonesia menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin. Pada tahun 2006, persentase penduduk miskin mencapai 17,75 persen dan turun menjadi 14,15 persen pada tahun Berbeda dengan indikator tingkat pengangguran, untuk indikator tingkat kemiskinan, DKI Jakarta, Banten, dan Jabar justru menunjukkan tingkat kemiskinan yang rendah, bahkan tingkat kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah. Sebagaimana terlihat pada Grafik V.12, daerah yang tingkat kemiskinannya tertinggi adalah Papua dan Papua Barat yang mencapai lebih dari 35 persen di tahun 2008 maupun 2009, diikuti dengan Provinsi Maluku dan NTT. Untuk mengetahui keberhasilan pembangunan ekonomi dalam pemerataan pembangunan antardaerah maka dapat digunakan indikator pemerataan, yang salah satunya dapat dilihat melalui Indeks Williamson. Berdasarkan angka Indeks Williamson tahun terlihat bahwa tingkat pemerataan aktivitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB antarprovinsi (tidak termasuk Provinsi DKI Jakarta) masih belum terlalu baik, tetapi perkembangannya menunjukkan ke arah kondisi yang lebih baik. Pada Tabel V.14, dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 Indeks Williamson untuk aktivitas perekonomian sebesar 0,59, turun menjadi 0,47 pada tahun Penurunan Indeks Williamson tersebut menunjukkan bahwa perkembangan aktivitas perekonomian antarprovinsi menjadi semakin berimbang. TABEL V.14 INDEKS WILLIAMSON UNTUK PDRB, TAHUN Indonesia 0,59 0,49 0,48 0,47 Sumatera 0,55 0,52 0,52 0,51 Jawa 0,17 0,17 0,17 0,17 Bali dan Nusa Tenggara 0,41 0,42 0,43 0,43 Kalimantan 0,85 0,82 0,82 0,80 Sulawesi 0,19 0,20 0,19 0,19 Maluku dan Papua 0,57 0,52 0,50 0,53 Sumber : Badan Pusat Statistik Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-25

318

319 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V yaitu sebesar 2,37 persen dan Nanggroe Aceh Darussalam yang menurun hingga 1,75 persen. Kedua, peningkatan transfer diiringi juga dengan pengurangan tingkat pengangguran, namun tidak semua daerah mengalami penurunan. Terdapat 20 daerah mengalami penurunan tingkat pengangguran. Penurunan tingkat pengangguran tertinggi terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat yang mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,34 persen dan 1,12 persen. Dari Tabel V.15 juga dapat dilihat bahwa pendapatan APBD per kapita yang tinggi terdapat di daerah Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Timur. Pendapatan APBD per kapita di Papua bahkan mencapai lebih dari 10 kali lipat pendapatan APBD per kapita di Jawa Timur. Tingginya pendapatan APBD per kapita diharapkan dapat mempercepat pembangunan di wilayah tersebut, terutama untuk mendanai investasi awal di bidang infrastruktur. Selanjutnya, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan pemerintah daerah adalah upaya untuk menyelaraskan pola alokasi dana ke daerah dengan target pertumbuhan ekonomi dan target kesejahteraan masyarakat. 5.3 Kebijakan Anggaran ke Daerah Tahun Kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah Berdasarkan peraturan perundang-undangan serta mengacu pada hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan APBN tahun 2011, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan untuk (1) meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance); (2) menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (3) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (4) mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro; (5) meningkatkan daya saing daerah; (6) meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (7) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; dan (8) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah. Sementara itu, sejalan dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun Anggaran 2009, terutama yang terkait dengan Bagian Anggaran Transfer ke Daerah mengenai konsistensi penggunaan akun transfer, dalam tahun 2011 akan dilakukan beberapa kebijakan, diantaranya yaitu adanya reklasifikasi anggaran sesuai dengan jenis transfer dan tujuan pembentukan akun transfer. Hal ini ditujukan juga untuk menjaga momentum atas penilaian BPK terhadap pelaksanaan Anggaran Transfer ke Daerah Tahun 2009 berupa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari tahun sebelumnya dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Kebijakan reklasifikasi anggaran akan dimulai dengan penguatan konsep Dana Penyesuaian, yang meliputi definisi, tujuan, dan ruang lingkup. Selanjutnya, juga akan dilakukan pengelompokan jenis transfer yang sejenis/serumpun sesuai dengan kejadian saat transaksi, sehingga memudahkan dalam pencatatan dan pelaporannya. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-27

320 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal Guna mendukung arah kebijakan transfer ke daerah tersebut, dalam RAPBN 2011 alokasi anggaran Transfer ke Daerah direncanakan sebesar Rp378,4 triliun, atau 5,4 persen terhadap PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami kenaikan Rp33,8 triliun, atau 9,8 persen dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp344,6 triliun. Kenaikan anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN 2011 tersebut selain disebabkan adanya kenaikan Dana Perimbangan, juga disebabkan oleh adanya peningkatan Dana Otsus dan Penyesuaian terutama adanya komponen baru pada pos Dana Penyesuaian, yaitu bantuan operasional sekolah (BOS) yang merupakan realokasi dari Belanja Pemerintah Pusat ke Transfer ke Daerah. Dari jumlah alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN 2011 tersebut, sekitar 87,0 persen merupakan alokasi Dana Perimbangan, dan sisanya sekitar 13,0 persen merupakan alokasi Dana Otsus dan Penyesuaian Kebijakan Dana Perimbangan Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Perimbangan direncanakan sebesar Rp329,1 triliun, atau 4,7 persen terhadap PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan sebesar Rp14,7 triliun, atau 4,7 persen dari alokasi Dana Perimbangan dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp314,4 triliun. Dari jumlah alokasi Dana Perimbangan tersebut, sebesar 24,9 persen merupakan DBH, sebesar 67,4 persen merupakan DAU, dan sebesar 7,7 persen merupakan DAK Dana Bagi Hasil (DBH) DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2011 mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintah dan daerah dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil, serta memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan jenis penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Adapun mekanisme penetapan dan penyaluran DBH ke tiap-tiap daerah yang berhak menerima diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam tahun 2011, arah kebijakan DBH diarahkan untuk: (1) lebih meningkatkan akurasi data melalui koordinasi dengan institusi pengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP); (2) menyempurnakan proses penghitungan dan penetapan alokasi DBH secara lebih transparan dan akuntabel; (3) menyempurnakan sistem penyaluran DBH tepat waktu dan tepat jumlah; dan (4) penyelesaian kurang bayar DBH SDA dan DBH Pajak. Dari arah kebijakan tersebut, diharapkan penyelesaian dokumen transfer yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan penyaluran DBH ke daerah dapat dipercepat, sehingga akuntabilitas dan efektifitas penggunaannya dapat dilaksanakan dengan baik. V-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

321 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Dalam RAPBN 2011, alokasi DBH direncanakan mencapai Rp82,0 triliun, atau 1,4 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp7,6 triliun atau 8,5 persen dari alokasi DBH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp89,6 triliun. Penurunan DBH dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karena adanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasi DBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar 49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen. DBH Pajak DBH Pajak terdiri atas 4 jenis yaitu DBH dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dalam tahun anggaran 2011, BPHTB tidak lagi termasuk dalam DBH, karena jenis pajak ini telah dialihkan menjadi Pajak Daerah. Selain itu, sebagian objek PBB, yaitu sektor perdesaan dan perkotaan mulai tahun 2014 juga akan dialihkan menjadi Pajak Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, serta Pasal 8 PP Nomor 55 Tahun 2005, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, yang merupakan bagian daerah adalah sebesar 20 persen. DBH dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut, dibagi dengan imbangan sebesar 12 persen untuk kabupaten/kota dan 8 persen untuk provinsi. Bagian kabupaten/kota tersebut, dibagi 8,4 persen untuk daerah penghasil dan 3,6 persen dibagi secara merata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Daerah penghasil ditentukan berdasarkan tempat wajib pajak terdaftar. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar 90 persen dengan rincian 64,8 persen untuk kabupaten/kota, 16,2 persen untuk provinsi, dan 9 persen untuk Biaya Pemungutan (BP), sedangkan sisanya sebesar 10 persen merupakan bagian Pemerintah Pusat. Biaya Pemungutan sebesar 9 persen tersebut dibagi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dengan persentase yang berbeda-beda untuk setiap sektor PBB. Bagian Pusat sebesar 10 persen tersebut dibagi lagi ke daerah secara merata sebesar 6,5 persen dan sebagai insentif sebesar 3,5 persen. Berdasarkan rencana penerimaan PBB yang ditetapkan dalam APBN, DBH PBB untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Selanjutnya, Sesuai ketentuan Pasal 66A UU Nomor 39 Tahun 2007 dan Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009, DBH CHT dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau dan provinsi penghasil tembakau sebesar 2 persen dari penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Penerimaan DBH CHT tersebut dibagi kepada Kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut, dengan imbangan 30 persen untuk provinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota. Bagian kabupaten/ kota, dibagi dengan imbangan 40 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persen untuk kabupaten/kota lainnya. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-29

322 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berbeda dengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH CHT bersifat specific grant, yang berarti penggunaannya ditetapkan untuk membiayai pengeluaran tertentu. DBH CHT tersebut digunakan untuk mendanai: (1) peningkatan kualitas bahan baku; (2) pembinaan industri; (3) pembinaan lingkungan sosial; (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/ atau (5) pemberantasan barang kena cukai ilegal. Berdasarkan pada rencana penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan, dan memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai DBH Pajak yang berlaku, maka alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp40,5 triliun, atau 0,6 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp4,0 triliun, atau 9,0 persen dari DBH Pajak dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp44,5 triliun. Lebih rendahnya alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh adanya pengalihkan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut telah memperhitungkan kurang bayar DBH PPh tahun 2009 sebesar Rp2,5 miliar dan kurang bayar DBH PBB tahun 2009 sebesar Rp16,5 miliar. Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut, terdiri atas: (i) DBH PPh sebesar Rp13,1 triliun, atau lebih rendah Rp43,7 miliar (0,3 persen) dari DBH PPh dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp13,2 triliun; (ii) DBH PBB sebesar Rp26,2 triliun, atau lebih tinggi Rp3,2 triliun (13,7 persen) dari DBH PBB dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp23,1 triliun; dan (iii) DBH Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp1,2 triliun, atau lebih tinggi Rp43,8 miliar (3,9 persen) dari DBH Cukai Hasil Tembakau dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,1 triliun. DBH Sumber Daya Alam (SDA) DBH SDA, terdiri dari SDA pertambangan minyak bumi, SDA pertambangan gas bumi, SDA kehutanan, SDA pertambangan umum, SDA perikanan, dan SDA panas bumi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f, dan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun 2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyak bumi dan gas bumi ditetapkan masing-masing 15,5 persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Porsi sebesar 0,5 persen dari DBH SDA Migas tersebut diarahkan sebagai tambahan anggaran pendidikan dasar, kecuali bagi daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan undang-undang otonomi khusus telah diatur tersendiri. Dalam rangka melaksanakan amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam RAPBN 2011 dialokasikan tambahan DBH SDA Migas untuk Propinsi Papua Barat dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Adapun rincian tambahan tersebut adalah minyak bumi sebesar 55 persen dan gas bumi sebesar 40 persen, sehingga proporsi migas untuk ketiga daerah tersebut masing-masing menjadi sebesar 70 persen. UU Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa realisasi penyaluran DBH yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130 persen dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi yang telah ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, yang berlaku mulai tahun Selanjutnya, dalam hal bagi hasil minyak dan gas bumi melebihi 130 persen dari asumsi APBN, maka selisih kelebihan dimaksud akan dihitung dengan pendekatan kesenjangan fiskal (Fiscal Gap) dalam formula DAU dan disalurkan melalui mekanisme APBN Perubahan. V-30 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

323 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Memenuhi amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah dari SDA Pertambangan Umum, Kehutanan, Panas Bumi, serta Perikanan ditetapkan sebesar 80 persen dari penerimaannya. DBH SDA Pertambangan Umum berupa royalti dan landrent, bersumber dari kegiatan: (1) Kontrak Karya (KK); (2) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); dan (3) Kuasa Pertambangan (KP). Penetapan alokasi DBH SDA dimulai dengan perkiraan alokasi yang dihitung berdasarkan rencana penerimaan yang dimuat dalam UU APBN. Dalam rangka pelaksanaan penyaluran ke daerah, perhitungannya dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antarinstansi pusat terkait dan antara pusat dengan daerah penghasil. Sejalan dengan penerimaan yang berasal dari SDA minyak bumi dan gas bumi, SDA pertambangan umum, SDA kehutanan, SDA Panas Bumi, dan SDA perikanan, serta dengan memperhatikan ketentuan pembagian DBH SDA tersebut, maka dalam RAPBN 2011, alokasi DBH SDA direncanakan sebesar Rp41,5 triliun, atau lebih rendah Rp3,6 triliun atau 8,0 persen dari realisasi DBH SDA dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp45,1 triliun. Lebih rendahnya alokasi DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Secara rinci, alokasi DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut terdiri atas DBH SDA minyak bumi sebesar Rp16,7 triliun, DBH SDA gas bumi sebesar Rp12,7 triliun, DBH SDA pertambangan umum sebesar Rp8,3 triliun, DBH SDA kehutanan sebesar Rp1,4 triliun, DBH SDA perikanan sebesar Rp83,7 miliar, DBH SDA panas bumi sebesar Rp351,0 miliar, serta kurang bayar DBH SDA sebesar Rp2,5 triliun, dengan rincian kurang bayar DBH SDA migas tahun 2008 sebesar Rp2,0 triliun, kurang bayar DBH SDA pertambangan umum tahun sebesar Rp0,4 triliun, kurang bayar DBH SDA perikanan tahun 2009 sebesar Rp3,7 miliar, dan DBH SDA pertambangan panas bumi tahun sebesar Rp66,1 miliar Dana Alokasi Umum (DAU) DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besaran DAU Nasional sangat tergantung dari besaran Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto dalam APBN. Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, PDN neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Selanjutnya jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang kurangnya 26 persen dari PDN neto yang ditetapkan dalam APBN. Pada APBN tahun 2007 dan 2008, PDN neto merupakan hasil pengurangan antara pendapatan dalam negeri yang merupakan hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak, dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked (penggunaannya diarahkan) dan anggaran yang sifatnya in-out (pencatatan anggaran dengan jumlah yang sama pada penerimaan dan belanja). Pada tahun 2009, dalam rangka sharing the pain beban APBN dan dengan mempertimbangkan bahwa sebagian subsidi juga diperuntukkan bagi daerah, PDN neto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi pupuk, dan subsidi pangan sebagai faktor pengurang. Untuk 2010, kebijakan PDN Neto masih dipertimbangkan dengan tetap menjaga peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun. Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun 2008 terdapat Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-31

324 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu perhitungan alokasi DAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan tersebut belum dapat dilaksanakan secara murni, tetapi mulai APBN 2009, kebijakan tersebut telah dilaksanakan, dan tetap dilanjutkan pada APBN Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka dalam tahun 2011 akan dihasilkan alternatif alokasi DAU kepada daerah sebesar nol (tidak mendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari DAU tahun Selanjutnya, besaran DAU yang didistribusikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam RAPBN 2011, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi dan kabupaten/kota dengan mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun DAU yang akan didistribusikan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan pada: (1) alokasi dasar, yang dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengan tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil; dan (2) celah fiskal, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal tercermin dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, indeks pembangunan manusia, dan PDRB per kapita, sedangkan kapasitas fiskal diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBH SDA tidak termasuk DBH SDA Dana Reboisasi. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pemerataan alokasi dana antardaerah, dan mengatasi kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah, maka akan terus dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU, yang meliputi variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukur tingkat ekualisasi terbaik antardaerah, digunakan indikator Williamson Index (WI) dan Coefficient of Variation (CV) yang merupakan parameter standar pengukuran tingkat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Hal ini berarti bahwa semakin kecil angka indikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakin kecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah akan semakin baik. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat untuk meminimalkan kesenjangan fiskal antardaerah, diformulasikan analisis terhadap tingkat kesenjangan fiskal antardaerah melalui penentuan proporsi komponen DAU, yang salah satunya, dapat ditempuh dengan mengurangi proporsi AD dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peran AD dalam formula DAU, maka semakin besar peran formula berdasarkan CF yang memiliki fleksibilitas dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran CF dalam formula DAU dengan membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataan yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi. Untuk menyempurnakan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAU memungkinkan daerah memperoleh DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada tahun sebelumnya, karena daerah tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal secara signifikan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, agar penerimaan DAU secara proporsional dapat seimbang dengan penerimaan DBH dan PAD yang merupakan tolok ukur kemampuan keuangan suatu daerah. Konsekuensi penerapan formula DAU bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggi adalah kemungkinan penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAU dari segi pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat bagi daerah marjinal/miskin lainnya (pro-poor). Kebijakan non-hold harmless tersebut sejalan dengan tujuan untuk memperkecil ketimpangan fiskal antardaerah. V-32 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

325 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Untuk mendukung pelaksanaan atas formula DAU tersebut dalam RAPBN 2011, DAU akan tetap diarahkan untuk: (1) mendukung fungsi DAU sebagai alat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah; (2) meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU yang bersumber dari lembaga/instansi yang berwenang; (3) Alokasi Dasar memperhitungkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kenaikan gaji pokok, formasi CPNSD, dan kebijakankebijakan lainnya yang terkait dengan penggajian; (4) proporsi DAU sebesar 10 persen untuk semua provinsi dan 90 persen untuk semua kabupaten/kota dari besaran DAU nasional; (5) tetap melanjutkan penerapan kebijakan non-hold harmless; (6) DAU untuk daerah otonom baru hasil pemekaran tahun 2008, penghitungannya dilakukan secara proporsional antara daerah induk dan daerah anak berdasarkan data luas wilayah, jumlah penduduk, dan jumlah PNSD; dan (7) DAU untuk 14 daerah pemekaran baru yang pada tahun 2010 dihitung secara proporsional, dalam RAPBN 2011 akan dihitung secara mandiri. Berdasarkan arah kebijakan tersebut, serta target pendapatan dalam negeri dalam RAPBN 2011 sebesar Rp1.082,6 triliun, dikurangi dengan rencana penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah berupa DBH sebesar Rp79,5 triliun (tidak termasuk kurang bayar DBH sebesar Rp2,5 triliun), rencana PNBP yang akan digunakan kembali oleh kementerian/lembaga penghasil PNBP sebesar Rp27,4 triliun, subsidi pajak sebesar Rp14,8 triliun, dan bagian 65 persen dari beberapa subsidi lainnya, yaitu subsidi listrik sebesar Rp41,0 triliun, subsidi BBM sebesar Rp92,8 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp16,4 triliun, subsidi pangan sebesar Rp15,3 triliun, dan subsidi benih sebesar Rp120,3 miliar, sehingga beberapa subsidi lainnya tersebut yang diperhitungkan dalam penetapan PDN neto adalah sebesar Rp107,6 triliun, maka besaran PDN neto dalam RAPBN 2011 adalah sebesar Rp853,4 triliun. Selanjutnya, dengan memperhatikan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan mengacu pada hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2011, maka besaran alokasi DAU dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar 26 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp221,9 triliun (3,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp29,4 triliun jika dibandingkan dengan alokasi DAU murni dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp192,5 triliun. Alokasi DAU dalam RAPBN 2011 tersebut, sebesar Rp22,2 triliun (10 persen dari total DAU nasional) akan didistribusikan untuk provinsi dan sebesar Rp199,7 triliun (90 persen dari total DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2011 akan ditransfer ke kas daerah setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi. Alokasi DAU yang didistribusikan kepada kabupaten/kota tersebut, telah memperhitungkan alokasi DAU daerah pemekaran. Pada tahun 2010 telah dialokasikan DAU untuk 14 daerah pemekaran yang pembentukannya telah ditetapkan dengan undang-undang dalam rentang waktu bulan September 2008 sampai dengan bulan februari 2009 (Tabel V.16). Perhitungan DAU ke-14 daerah pemekaran tersebut pada APBN 2010 belum berdasarkan basis data yang TABEL V.16 DAERAH PEMEKARAN YANG AKAN MENDAPAT DAU 2011 DENGAN PERHITUNGAN BERDASARKAN BASIS DATA SECARA MANDIRI No Daerah Pemekaran Daerah Induk Provinsi 1 Kota Tangerang Selatan Kab. Tangerang Banten 2 Kab Tambrauw Kab. Sorong Papua Barat 3 Kab Maybrat Kab. Sorong Papua Barat 4 Kab Pulau Morotai Kab.Halmahera Utara Maluku Utara 5 Kab Intan Jaya Kab. Paniai Papua 6 Kab Deiyai Kab. Paniai Papua 7 Kab Sabu Raijua Kab. Kupang NTT 8 Kab Pringsewu Kab. Tanggamus Lampung 9 Kota Gunung Sitoli Kab. Nias Sumut 10 Kab Nias Utara Kab. Nias Sumut 11 Kab Nias Barat Kab. Nias Sumut 12 Kab Tulang Bawang Barat Kab. Tulang Bawang Lampung 13 Kab Mesuji Kab. Tulang Bawang Lampung 14 Kab Meranti Kab. Bengkalis Riau Sumber : Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-33

326 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal mandiri, melainkan masih menggunakan data sebelum pemekaran, yang kemudian diperhitungkan secara proporsional berdasarkan data penduduk, data luas wilayah, dan jumlah PNSD dari daerah induk dan daerah pemekaran. Pada tahun 2011, daerah pemekaran tersebut akan mendapatkan DAU dengan perhitungan sesuai dengan basis data perhitungan secara mandiri Dana Alokasi Khusus (DAK) DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Sementara itu, DAK dimaksudkan untuk membantu daerah tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional. Arah kebijakan umum DAK tahun 2011 ditujukan untuk: (1) mendukung program yang menjadi prioritas nasional sesuai kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework) dan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting); (2) membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalam membiayai pelayanan publik sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka pemerataan pelayanan dasar publik; dan (3) meningkatkan penyediaan data-data teknis, koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di pusat dan daerah, sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang didanai APBN dan APBD, serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. Berdasarkan identifikasi kebutuhan DAK untuk mendukung pencapaian prioritas nasional 2011, serta dengan memperhatikan kebijakan DAK dalam RPJMN dan RKP 2011, maka bidang yang direncanakan untuk didanai dari DAK Tahun 2011 adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Keluarga Berencana; (4) Infrastruktur Jalan; (5) Infrastruktur Irigasi; (6) Infrastruktur Air Minum; (7) Infrastruktur Sanitasi; (8) Prasarana Pemerintahan Daerah; (9) Kelautan dan Perikanan; (10) Pertanian; (11) Lingkungan Hidup; (12) Kehutanan; (13) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal; (14) Sarana Perdagangan; (15) Transportasi Perdesaan; (16) Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan; (17) Listrik Perdesaan; (18) Perumahan dan Permukiman; serta (19) Keselamatan Transportasi Darat. Sejalan dengan arah kebijakan umum DAK, kebijakan dan ruang lingkup kegiatan DAK untuk masing-masing bidang diarahkan antara lain untuk: 1. Pendidikan, diarahkan untuk meningkatkan pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, untuk memastikan semua anak Indonesia dapat mengikuti pendidikan dasar yang bermutu, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar melalui penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik dan lengkap untuk memenuhi SPM, serta secara bertahap memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Lingkup kegiatannya diprioritaskan untuk rehabilitasi ruang kelas SD/SDLB dan SMP/SMPLB yang rusak sedang dan berat. 2. Kesehatan, diarahkan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu V-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

327 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V dan anak, perbaikan status gizi masyarakat, pengendalian penyakit, penyehatan lingkungan, melalui peningkatan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannya termasuk Poskesdes, rumah sakit dan laboratorium kesehatan provinsi/kabupaten/kota, serta penyediaan dan pengelolaan obat generik dan perbekalan kesehatan, terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) Pelayanan Kesehatan Dasar, yang meliputi: (i) pembangunan, peningkatan, dan perbaikan Puskesmas dan jaringannya; (ii) pembangunan pos kesehatan desa; (iii) pengadaan peralatan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya; (iv) pengadaan peralatan promosi kesehatan; (b) Pelayanan Kesehatan Rujukan, meliputi: (i) peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III rumah sakit; (ii) pembangunan, perbaikan Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) dan peralatan Unit Transfusi Darah (UTD); (iii) pembangunan dan pengadaan peralatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit (IGDRS); (iv) pembangunan dan pengadaan peralatan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif Rumah Sakit (PONEK RS); (v) pemenuhan peralatan di laboratorium kesehatan daerah dan rumah sakit provinsi/kabupaten/kota; (vi) Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL); dan (c) Pelayanan Kefarmasian, meliputi: (i) penyediaan obat generik dan perbekalan kesehatan; (ii) pembangunan dan perbaikan instalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota; dan (iii) pengadaan sarana pendukung instalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota. 3. Keluarga Berencana, diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang merupakan bagian dari program prioritas nasional yang telah menjadi urusan daerah dan tetap disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dalam rangka: (a) meningkatkan komitmen pemerintah daerah tentang pentingnya keluarga berencana; (b) membantu pemerintah daerah dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana fisik kepada masyarakat; (c) meneguhkan kembali pelaksanaan Program KB Nasional beserta sarana dan prasarana fisik pendukungnya dalam rangka pengendalian jumlah penduduk dan peningkatan kesejahteraan keluarga; (d) meningkatkan akses dan kualitas informasi dan pelayanan kontrasepsi, terutama bagi keluarga prasejahtera (Pra-KS) dan keluarga sejahtera I (KS-I); dan (e) menunjang percepatan pencapaian program KB di daerah dengan tingkat fertilitas yang masih tinggi, angka pemakaian kontrasepsi/contraceptive prevalence rate (CPR) yang masih rendah, serta proporsi keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I yang masih besar. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan kendaraan bermotor roda dua dan sarana kerja bagi Penyuluh Keluarga Berencana (PKB)/Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB)/Pengawas Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB); (b) penyediaan sarana pelayanan KB di klinik KB (statis) berupa Intra Uterine Device (IUD) kit/sterilisator, obgyn bed, dan implant kit; (c) pembangunan/renovasi balai penyuluhan KB kecamatan; (d) pembangunan gudang penyimpanan alokon di kab/kota; (e) penyediaan Laparascopy; (f) penyediaan Bina Keluarga Balita (BKB) kit; dan (g) penyediaan Mobil Unit Penerangan (MUPEN) KB, pengadaan public address, serta pengadaan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kit. 4. Infrastruktur Jalan, diarahkan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan fiskal rendah atau sedang dalam rangka mendanai kegiatan pemeliharaan berkala, peningkatan dan pembangunan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadi urusan daerah, mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan prasarana jalan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-35

328 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal provinsi, kabupaten dan kota dalam rangka memperlancar distribusi penumpang, barang jasa, serta hasil produksi yang diprioritaskan untuk mendukung sektor pertanian, industri, dan pariwisata sehingga dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional, dan menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana jalan. Lingkup kegiatannya adalah: pemeliharaan berkala/periodik jalan dan jembatan provinsi/ kabupaten/kota dan peningkatan prasana jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota. 5. Infrastruktur Irigasi, diarahkan untuk mempertahankan tingkat layanan, mengoptimalkan fungsi, dan membangun prasarana sistem irigasi, termasuk jaringan reklamasi rawa dan jaringan irigasi desa yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dan provinsi khususnya daerah lumbung pangan nasional dalam rangka mendukung program prioritas pemerintah bidang ketahanan pangan. Lingkup kegiatannya adalah: peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi, sedangkan dana untuk Operasional dan Pemeliharaan (OP) jaringan irigasi dialokasikan dari APBD masingmasing pemerintah daerah penerima DAK bidang irigasi. 6. Infrastruktur Air Minum, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan memenuhi SPM penyediaan air minum. Lingkup kegiatannya adalah pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) baru dan peningkatan SPAM untuk masyarakat berpenghasilan rendah. 7. Infrastruktur Sanitasi, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan sanitasi (air limbah, persampahan, dan drainase), serta meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal; (b) pengembangan fasilitas pengurangan sampah dengan pola 3R (reduce, reuse, dan recycle); dan (c) pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang berwawasan lingkungan, yang diutamakan bagi pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal. Jika daerah kabupaten/kota tersebut sudah bebas dari kondisi buang air besar sembarangan (BABS), maka kabupaten/kota dapat menggunakan alokasi DAK untuk membiayai pengembangan fasilitas pengurangan sampah dan pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri. 8. Prasarana Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran dan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerah lainnya yang prasarana pemerintahannya sudah tidak layak. Prioritas diberikan kepada daerah pemekaran tahun 2008 dan Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan/ perluasan/rehabilitasi kantor Gubernur, Bupati dan/atau Walikota, kantor DPRD, gedung kantor SKPD di daerah otonom baru/pemekaran dan yang mengalami dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009, serta pada daerah-daerah lainnya yang prasarana pemerintahannya seperti kantor Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD dan kantor SKPD-nya sudah tidak layak lagi, khususnya pada daerah-daerah yang belum mendapat alokasi DAK Prasarana Pemerintahan pada tahun sebelumnya. 9. Kelautan dan Perikanan, diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, peningkatan mutu, pemasaran, pengawasan perikanan, serta penyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan, terutama pada daerah V-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

329 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan (minapolitan), yang didukung dengan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan dan penguatan statistik perikanan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan sarana dan rehabilitasi prasarana produksi perikanan tangkap; (b) penyediaan sarana dan rehabilitasi prasarana produksi perikanan budidaya; (c) penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan; (d) penyediaan dan rehabilitasi infrastruktur dasar dan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil serta kawasan konservasi perairan, yang terkait dengan wisata bahari dan pengembangan perikanan; (e) penyediaan dan rehabilitasi prasarana Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN); (f) penyediaan sarana dan prasarana pengawasan; (g) penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan (h) penyediaan sarana dan prasarana pengembangan statistik perikanan. 10. Pertanian, diarahkan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dalam negeri guna mendukung pencapaian prioritas nasional ketahanan pangan melalui perluasan areal pertanian dan penyediaan sarana dan prasarana pertanian di tingkat usaha tani dan perdesaan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) perluasan areal pertanian, meliputi: pencetakan sawah, pembukaan lahan kering/perluasan areal untuk tanaman pangan, holtikultura, perkebunan dan peternakan; (b) penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan air, antara lain: pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani, jaringan irigasi tersier desa, tata air mikro, irigasi air permukaan, irigasi tanah dangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam, parit, dan embung; (c) pengelolaan lahan melalui pembangunan/rehabilitasi jalan usaha tani dan jalan produksi, optimasi lahan, peningkatan kesuburan tanah, konservasi lahan, serta penyediaan Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO); (d) pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan Kecamatan; (e) penyediaan lumbung/gudang pangan masyarakat/pemerintah; (f) penyediaan sarana dan prasarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuk tanaman pangan/holtikultura/perkebunan; dan (g) pembangunan/rehabilitasi pusat/ pos pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan. 11. Lingkungan Hidup, diarahkan untuk mendukung pencapaian target prioritas nasional, yaitu penurunan beban pencemaran dan penurunan tingkat polusi sebesar 50 persen dengan mendukung pelaksanaan pengendalian pencemaran air, udara dan limbah padat di daerah serta memperkuat pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup daerah. Di samping itu, kegiatan bidang Lingkungan Hidup diarahkan untuk mendukung penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Lingkup kegiatannya adalah: (a) pemantauan kualitas air melalui kegiatan: (i) pembangunan gedung laboratorium; (ii) penyediaan sarana prasarana pemantauan kualitas air; dan (iii) pembangunan laboratorium lingkungan bergerak; (b) pengendalian pencemaran air melalui kegiatan: penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah (seperti biogas, 3R, Ruang Terbuka Hijau (RTH), Particulate Matter (PM10), taman kahati, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) medik dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM); dan c) pengendalian polusi udara melalui kegiatan: i) pengadaan alat pemantau kualitas udara; ii) penerapan teknologi tepat guna/sederhana untuk mengurangi polusi udara (alat pembuatan asap cair, briket arang, dan lain-lain). Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-37

330 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal 12. Kehutanan, diarahkan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanah dan air, serta mendukung mitigasi perubahan iklim. Kebijakan tersebut dicapai dengan mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap sumber daya hutan, tanah, dan air yang berada dalam DAS dengan melaksanakan rehabilitasi lahan kritis, pengelolaan kawasan hutan yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota/provinsi, termasuk pengembangan kebun bibit desa dan konservasi lahan gambut. Lingkup kegiatannya adalah: (a) kegiatan RHL yang terdiri dari kegiatan vegetatif dan konservasi tanah dan air; (b) pengembangan sarana prasarana keamanan hutan; dan (c) pengembangan sarana prasarana penyuluhan kehutanan. 13. Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal, diarahkan untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian daerah dan kualitas sumberdaya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju. Daerah tertinggal yang dimaksud tidak termasuk daerah tertinggal yang memiliki kawasan perbatasan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan moda transportasi perairan/ kepulauan; (b) penyediaan moda transportasi darat; (c) pembangunan dan rehabilitasi jalan di luar jalan provinsi dan kabupaten/kota; (d) pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan; dan (e) penyediaan/ pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi mikrohidro dan pikohidro. 14. Sarana Perdagangan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan sarana perdagangan untuk memperlancar arus barang antar wilayah dan meningkatkan ketersediaan dan kestabilan harga bahan pokok, meningkatkan tertib ukur dalam upaya perlindungan konsumen di daerah serta memberikan alternatif pembiayaan bagi petani dan UKM melalui Sistem Resi Gudang. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan dan pengembangan pasar tradisional; (b) pembangunan dan peningkatan sarana metrologi legal; dan (c) pembangunan gudang komoditas pertanian dalam rangka penerapan Sistem Resi Gudang. 15. Transportasi Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan dan kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta pengembangan sarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan jalan poros desa; dan (b) penyediaan angkutan perdesaan (pemberian bantuan sarana transportasi angkutan barang yang sesuai dengan karakteristik daerah). 16. Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan, diarahkan untuk mengurangi keterisolasian kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara dan pintu gerbang aktivitas ekonomi-perdagangan dengan negara tetangga dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan/rehabilitasi jaringan jalan di luar jalan provinsi dan kabupaten/kota; (b) pembangunan/rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu di kecamatan perbatasan atau kawasan pulau kecil terluar berpenduduk; dan (c) moda V-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

331 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V transportasi perairan/kepulauan untuk mendukung mobilisasi angkutan orang dan barang. 17. Listrik Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan dengan memberikan prioritas pada pemanfaatan energi terbarukan setempat untuk memperluas jangkauan pelayanan energi dan ketenagalistrikan sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan energi alternatif selain BBM (terutama energi terbarukan) serta pemanfaatan secara optimal tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam negeri untuk memberikan nilai tambah (value added) bagi perekonomian dalam negeri, terutama untuk mendorong pengembangan industri dan teknologi dalam negeri untuk daerah yang tidak termasuk daerah tertinggal dan kawasan perbatasan. Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan pembangkit energi baru terbarukan untuk penyediaan energi listrik dengan memanfaatkan potensi energi lokal yang berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT), yaitu konstruksi pembangkit skala kecil EBT berbasis surya (solar cell), mikro hidro, atau pembangkit EBT lainnya. 18. Keselamatan Transportasi Darat, diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di kabupaten/kota guna menurunkan tingkat kecelakaan pada lalu lintas angkutan jalan dalam rangka melaksanakan rencana aksi road map to zero accident. Lingkup kegiatannya adalah: pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan, antara lain: (a) rambu jalan; (b) marka jalan; dan (c) pagar pengaman jalan. 19. Perumahan dan Permukiman, diarahkan untuk meningkatkan penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) kawasan perumahan dan permukiman sebagai stimulan untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Menengah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di daerah. Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) kawasan perumahan dan permukiman yaitu: (a) penyediaan jaringan pipa air minum; (b) septik tank komunal; (c) jaringan distribusi listrik; dan (d) penerangan jalan umum. Untuk mendukung pencapaian arah kebijakan umum dan arah kebijakan masing-masing bidang tersebut, alokasi DAK dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp25,2 triliun atau 0,4 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan sebesar Rp4,1 triliun atau 19,4 persen dari alokasi DAK yang direncanakan dalam APBN-P 2010 sebesar Rp21,1 triliun. Selanjutnya, perhitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu : (1) Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK, dengan memperhatikan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. (2) Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah, yang dilakukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Penjelasan atas penggunaan kriteria pengalokasian DAK tahun 2011 tersebut adalah sebagai berikut : (1) Kriteria Umum, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja pegawai negeri sipil daerah. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-39

332 Bab V Kebijakan Desentralisasi Fiskal (2) Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah, yaitu : a. Peraturan Perundangan, dimana daerah-daerah yang menurut ketentuan peraturan perundangan diprioritaskan mendapat alokasi DAK, serta seluruh daerah tertinggal diberikan kebijakan untuk mendapatkan alokasi DAK. b. Karakteristik daerah, yang meliputi daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk dalam kategori daerah ketahanan pangan, daerah rawan bencana, dan daerah pariwisata. (3)Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana yang akan didanai dari DAK Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian merupakan amanat dari UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam APBN 2011 dialokasikan Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan. Kebijakan pemberian Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional tersebut juga berlaku untuk Provinsi NAD, yang penggunaannya diarahkan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentaskan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang besarannya disepakati antara Pemerintah dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur. Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Otonomi Khusus direncanakan sebesar Rp10,3 triliun, dengan rincian sebagai berikut: (1) Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp4,4 triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. (2) Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD sebesar Rp4,4 triliun. (3) Dana Tambahan Otsus Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp1,4 triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2008, Dana Tambahan Infrastruktur Papua dan Papua Barat tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Selanjutnya, dalam RAPBN 2011, dialokasikan dana penyesuaian berupa dana tambahan penghasilan guru PNSD sebesar Rp3,7 triliun, Dana Insentif Daerah sebesar Rp1,4 triliun, dana tambahan untuk tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp17,1 triliun, dan bantuan operasional sekolah (BOS) sebesar Rp16,8 triliun. Dana Insentif Daerah terutama ditujukan kepada daerah berprestasi yang memiliki kriteria keuangan dan kriteria kinerja ekonomi dan kesejahteraan yang baik, serta tetap mengupayakan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. V-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

333 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Bab V Sementara itu, dana tambahan untuk TPG sejalan dengan telah ditetapkan PP Nomor 41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, yang dialokasikan mulai tahun Dana tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya, sesuai dengan kewenangannya. TABEL V.17 TRANSFER KE DAERAH, (miliar rupiah) APBN-P % thd PDB RAPBN % thd PDB I. DANA PERIMBANGAN ,3 5, ,3 4,7 A. DANA BAGI HASIL ,4 1, ,3 1,4 1. Pajak ,5 0, ,0 0,6 a. Pajak Penghasilan ,3 0, ,5 0,2 i. Pasal ,7 0, ,9 0,2 ii. Pasal 25/29 orang pribadi 859,2 0,0 715,1 0,0 iii. Kurang bayar PPh TA ,4 0,0 2,5 0,0 b. PBB ,4 0, ,3 0,4 i DBH PBB ,0 0, ,8 0,4 ii. Kurang bayar DBH PBB TA ,3 0,0 16,5 0,0 c. BPHTB 7.155,5 0,1 - - d. Cukai 1.117,3 0, ,1 0,0 2. Sumber Daya Alam ,9 0, ,3 0,6 a. Migas ,4 0, ,3 0,4 i. Minyak Bumi ,1 0, ,6 0,2 ii. Gas Bumi ,2 0, ,8 0,2 iii. kurang bayar migas tahun ,1 0, ,0 0,0 b. Pertambangan Umum 7.790,4 0, ,7 0,1 i. Iuran Tetap 124,4 0,0 130,9 0,0 ii. Royalti 7.666,0 0, ,4 0,1 iii. Kurang bayar DBH pertambangan umum TA ,4 0,0 c. Kehutanan 1.802,6 0, ,6 0,0 i. Provisi Sumber Daya Hutan 898,4 0,0 773,0 0,0 ii. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan 15,8 0,0 72,3 0,0 iii. Dana Reboisasi 652,7 0,0 526,2 0,0 iv. Kurang bayar SDA kehutanan 235,8 0,0 - - d. Perikanan 120,0 0,0 83,7 0,0 i DBH Perikanan ,0 - ii Kurang bayar perikanan TA ,7 - e. Pertambangan Panas Bumi (PPB) 195,5 0,0 351,0 0,0 i. DBH PPB 195,5 0,0 284,9 0,0 ii. Kurang bayar DBH PPB TA ,1 0,0 B. DANA ALOKASI UMUM ,5 3, ,2 3,2 1. DAU Murni ,3 3, ,2 3,2 2. Tambahan untuk tunjangan profesi guru ,9 0, Koreksi alokasi DAU Kab. Indramayu 121,3 0,0 - - C. DANA ALOKASI KHUSUS ,4 0, ,8 0,4 II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN ,6 0, ,9 0,7 A. DANA OTONOMI KHUSUS 9.099,6 0, ,9 0,1 1. Dana Otsus 7.699,6 0, ,9 0,1 a. Dana Otsus Prov. Papua dan Papua Barat 3.849,8 0, ,4 0,1 - Provinsi Papua 2.694,9 0, ,2 0,0 - Provinsi Papua Barat 1.154,9 0, ,2 0,0 b. Dana Otsus Aceh 3.849,8 0, ,4 0,1 2. Dana tambahan Otsus Infrastruktur Prov Papua 1.400,0 0, ,0 0,0 a. Papua 800,0 0,0 800,0 0,0 b. Papua Barat 600,0 0,0 600,0 0,0 B. DANA PENYESUAIAN ,0 0, ,0 0,6 1. Dana Tambahan Tunjangan Profesi Guru ,0 0,2 2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ,0 0,2 3. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD 5.800,0 0, ,2 0,1 4. Dana insentif daerah 1.387,8 0, ,8 0,0 5. Kurang bayar DAK Tahun ,2 0, Kurang bayar DISP Tahun ,0 0, Dana penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah 7.100,0 0, Dana penguatan infrastruktur dan prasarana daerah (DPIPD) 5.500,0 0, Dana percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan (DPPIP) 1.250,0 0,0 - - J U M L A H ,9 5, ,2 5,4 Sumber : Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 V-41

334 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI BAB VI PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL 6.1 Pendahuluan Kebijakan defisit anggaran dalam Rancangan APBN tahun 2011 selain ditujukan untuk mendukung ekspansi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di tengah situasi perekonomian global yang tengah dalam proses pemulihan; sekaligus juga dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Pengalaman mengajarkan, bahwa ekspansi fiskal yang besar yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, yang dibiayai dengan utang, telah mengakibatkan beberapa negara Eropa, seperti Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol mengalami krisis utang dan defisit fiskal yang berat. Dunia bahkan mencemaskan krisis utang dan fiskal yang terjadi di sebagian kawasan Eropa tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan baru yang dapat mengganggu proses pemulihan perekonomian global yang tengah berlangsung. Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan countercyclical, kebijakan ekspansi fiskal yang diambil oleh berbagai negara di dunia dalam mengatasi dampak krisis keuangan global, antara lain melalui pemberian stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan melakukan konsolidasi fiskal melalui efisiensi jenis belanja tertentu untuk mengurangi tekanan fiskal, dinilai cukup efektif dalam memperpendek lamanya krisis ekonomi. Hal ini antara lain diindikasikan oleh adanya perbaikan sektor keuangan dan pemulihan kegiatan sektor riil. Perbaikan di sektor keuangan, khususnya di Eropa sebagai pusat krisis antara lain terlihat pada meningkatnya peminat lelang obligasi negara yang dilakukan oleh Spanyol, Portugal, Irlandia, dan Yunani. Namun demikian, perbaikan kondisi sektor keuangan negara-negara di kawasan tersebut, masih perlu diwaspadai mengingat belum sepenuhnya kembali ke kondisi sebelum krisis, yang antara lain ditunjukan oleh masih tingginya volatilitas yield obligasi, indikator pasar modal, dan nilai tukar. Sebagaimana dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia, kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, sebagai respon dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam APBN-P tahun 2008 dan Dibandingkan dengan dengan persentase defisit pada periode sebelum 2007, besarnya defisit APBN-P pada tahun 2008 dan 2009 tersebut relatif lebih tinggi, yaitu berada pada kisaran 2,1 persen dan 2,4 persen terhadap PDB. Namun demikian, peningkatan defisit yang digunakan untuk memberikan stimulus fiskal tidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukan melalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaitu hanya sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen terhadap PDB. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa komponen pendapatan negara yang diperkirakan akan mengalami penurunan akibat krisis global justru menunjukan peningkatan, sehingga melampaui target, sementara di sisi belanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yang dianggarkan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-1

335 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Dalam APBN-P tahun 2010, defisit anggaran direncanakan meningkat dari perkiraan APBN 2010 sebesar Rp98,0 triliun (1,6 persen dari PDB) menjadi Rp133,7 triliun (2,1 persen dari PDB). Kenaikan defisit anggaran berkaitan dengan beberapa faktor, diantaranya: (i) naiknya harga minyak dunia, yang menyebabkan meningkatnya beban subsidi energi yang harus ditanggung oleh pemerintah, serta naiknya dana bagi hasil migas yang harus ditransfer ke daerah; (ii) meningkatnya kebutuhan dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara, dan dana bergulir pengadaan tanah untuk jalan tol (BPJT); (iii) dibentuknya dana pengembangan pendidikan nasional; serta (iv) adanya pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan. Kenaikan defisit anggaran tersebut akan dibiayai dari tambahan utang sebesar Rp12,8 triliun, dan pembiayaan non-utang sebesar Rp22,9 triliun. Adanya berbagai pilihan sumber-sumber pembiayaan anggaran tersebut mendorong perlunya disusun kebijakan pengelolaan dan strategi dalam memanfaatkan sumber pembiayaan secara hati-hati dan terukur, dengan mempertimbangkan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang. Dalam melakukan pemilihan dari berbagai alternatif sumber-sumber pembiayaan tersebut, diupayakan dengan terlebih dahulu mengoptimalkan sumber pembiayaan non-utang. Dengan demikian, sumber pembiayaan yang berasal dari utang dipilih sebagai alternatif terakhir pemenuhan defisit anggaran, mengingat adanya biaya dan risiko yang melekat dalam sumber pembiayaan utang. Selanjutnya, sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan yang ramah lingkungan, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, dalam tahun 2011, RAPBN direncanakan mengalami defisit sebesar Rp115,7 triliun, atau sekitar 1,7 persen terhadap PDB. Selain untuk memenuhi kebutuhan defisit anggaran, pembiayaan anggaran juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban penjaminan. Dengan semakin terbatasnya sumber-sumber pemenuhan pembiayaan non-utang, maka saat ini sumber pembiayaan defisit yang utama berasal dari utang. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pemerintah tetap mengedepankan pertimbangan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang. 6.2 Realisasi Pembiayaan APBN Sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal yang ditempuh oleh pemerintah, baik dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), menciptakan lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran (pro-job), dan mengentaskan kemiskinan (pro-poor), maupun memberikan stimulus fiskal dalam memperkecil dampak krisis, dan menyelamatkan perekonomian nasional dari krisis perekonomian global sejak tahun 2008, defisit anggaran dalam kurun waktu semula dirancang cenderung meningkat, dari 0,9 persen terhadap PDB menjadi 2,4 persen terhadap PDB. Meskipun demikian, realisasi defisit anggaran dalam kurun waktu masih berada di bawah target yang ditetapkan. Dalam periode tersebut, realisasi defisit berada pada kisaran 0,1 persen sampai dengan 1,6 persen. Sebagai gambaran, target dan realisasi defisit anggaran dalam periode tahun dapat dilihat pada Grafik VI.1. Realisasi defisit anggaran paling rendah dibandingkan dengan target defisit anggaran yang ditetapkan dalam APBN-P terjadi pada tahun 2008, yaitu hanya sebesar 0,1 persen terhadap VI-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

336 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI PDB jika dibandingkan dengan target defisit anggaran dalam APBN-P 2008 sekitar 2,1 persen terhadap PDB. Rendahnya realisasi defisit anggaran dalam kurun waktu tersebut, terutama disebabkan oleh realisasi daya serap anggaran belanja negara rata-rata hanya mencapai sekitar 96,3 persen dari pagu anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN-P, sementara realisasi anggaran pendapatan negara dan hibah rata-rata sesuai atau memenuhi sasaran yang ditetapkan dalam APBN-P. Khusus untuk tahun % thd PDB 3,0 2008, rendahnya realisasi defisit anggaran terutama disebabkan terlampauinya realisasi pendapatan negara dan hibah dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN-P, sementara realisasi belanja hanya mencapai 99,6 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P. Lebih rendahnya realisasi anggaran belanja negara dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P terutama disebabkan oleh realisasi anggaran belanja K/L hanya mencapai Rp259,9 triliun atau 89,6 persen dari pagu dalam APBN-P sebesar Rp290,0 triliun. Di lain pihak, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp981,6 triliun atau 9,7 persen melampaui target yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp895,0 triliun. Untuk tahun 2009, rendahnya realisasi defisit disebabkan oleh rendahnya realisasi belanja negara yaitu sebesar Rp937,4 triliun atau hanya mencapai 93,7 persen dari target APBN-P sebesar Rp1.000,8 triliun. Akibat dari rendahnya defisit yang tidak diimbangi dengan penyesuaian pembiayaan adalah bertambahnya dana dalam rekening SAL Pemerintah Tren Pembiayaan Anggaran 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 GRAFIK VI.1 TARGET DAN REALISASI DEFISIT Kebutuhan pembiayaan APBN dalam kurun waktu tahun cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya defisit anggaran dan makin besarnya kebutuhan pengeluaran pembiayaan. Kebutuhan pembiayaan anggaran tersebut dipenuhi, baik dari sumber-sumber pembiayaan utang maupun pembiayaan non-utang. Mengingat kapasitas sumber pembiayaan yang berasal dari non-utang semakin berkurang, maka dalam periode tersebut, sumber pembiayaan utang masih mendominasi pemenuhan kebutuhan pembiayaan anggaran. Faktor yang mempengaruhi semakin terbatasnya kontribusi sumber pembiayaan non-utang dalam periode , selain akibat kebijakan penerimaan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan restrukturisasi BUMN bersangkutan, juga karena semakin terbatasnya aset eks restrukturisasi perbankan yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN. Sementara itu, sumber pembiayaan dari utang terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), baik melalui instrumen Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Selain SBN, penarikan pinjaman luar negeri terutama pinjaman yang sifatnya tunai merupakan sumber pembiayaan utang yang juga memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Secara neto, dalam tahun , pembiayaan yang berasal dari utang memberikan kontribusi rata-rata 75,1 persen dari total pembiayaan yang diperlukan. Gambaran mengenai perkembangan defisit dan penggunaan sumber-sumber pembiayaan anggaran disajikan sebagaimana terlihat pada Grafik VI.2. 0,9 0,5 APBN-P 1,3 0,9 1,5 1, Sumber: KementerianKeuangan LKPP 2,1 0,1 2,4 1,6 2,1 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-3

337 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Apabila dilihat dari komponen pembiayaan secara bruto, struktur pembiayaan terbagi ke dalam komponen pengeluaran dan penerimaan pembiayaan, baik yang berasal dari utang triliun rupiah (20) GRAFIK VI.2 TREND PEMBIAYAAN DEFISIT, Defisit Non-Utang Net SBN- net Pinjaman LN-net Defisit thd PDB % thd PDB 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 - (1,0) (40) * (2,0) Catatan : *Angka 2010 merupakan angka APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan maupun non-utang. Komponen pengeluaran pembiayaan utang mencakup pembayaran pokok utang jatuh tempo, dan pembelian kembali SBN sebelum jatuh tempo. Sementara itu, komponen pengeluaran pembiayaan non-utang mencakup PMN, investasi pemerintah, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban-kewajiban pemerintah lainnya sebagai konsekuensi dari kebijakan pemberian jaminan, terutama bagi proyek-proyek infrastruktur. Dengan adanya keperluan untuk pengeluaran pembiayaan, besaran kebutuhan pembiayaan secara total menjadi lebih besar dari pada kebutuhan defisit. Dalam periode tersebut, bagian terbesar pembiayaan dipenuhi melalui penerbitan SBN Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran Pemenuhan pembiayaan defisit anggaran pada dasarnya merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi makro secara keseluruhan. Dalam kurun waktu tahun , pembiayaan defisit anggaran disesuaikan dengan strategi kebijakan fiskal, yang ditetapkan pemerintah dalam merespon perkembangan kondisi perekonomian yang mempengaruhi pada saat itu. Dalam perkembangannya, realisasi besaran defisit dan realisasi besaran pembiayaan tidak selalu sama besar nilainya dengan rencana semula, sehingga mendorong timbulnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) dalam hal terjadi kelebihan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit, atau sisa kurang pembiayan anggaran (SiKPA) dalam hal terjadi kekurangan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit. Mengingat sebagian besar sumber pembiayaan anggaran berasal dari utang, maka pengelolaan dan perencanaan APBN yang tepat dan akurat menjadi hal yang penting, agar pengelolaan APBN bisa semakin efisien, dan tidak membebani anggaran pada masa yang akan datang. Gambaran mengenai perkembangan realisasi defisit dan pembiayaan anggaran tahun sebagaimana Tabel VI.1. Dari tabel tersebut terlihat adanya perbedaan antara besaran realisasi defisit dan besaran realisasi pembiayaan, sehingga menimbulkan SiLPA dan SiKPA. Dalam periode tersebut, realisasi APBN mengalami SiKPA sebesar Rp3,3 triliun pada tahun 2005, dan sebesar VI-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

338 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.1 PERKEMBANGAN REALISASI DEFISIT DAN PEMBIAYAAN ANGGARAN, (triliun rupiah) APBN-P II LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN-P LKPP APBN APBN-P A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 540,1 495,2 659,1 638,0 694,1 707,8 895,0 981,6 871,0 848,8 949,7 992,4 B. BELANJA NEGARA 565,1 509,6 699,1 667,1 752,4 757,6 989,5 985, ,8 937, , ,1 C. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A - B) (24,9) (14,4) (40,0) (29,1) (58,3) (49,8) (94,5) 4,1 (129,8) (88,6) (98,0) (133,7) % defisit thd PDB (0,9) (0,5) (1,3) (0,9) (1,5) (1,3) (2,1) 0,1 (2,4) (1,6) (1,6) (2,1) D. PEMBIAYAAN 24,9 11,1 40,0 29,4 58,3 42,5 94,5 84,1 129,8 112,6 98,0 133,7 I. NON-UTANG 7,7 (1,2) 19,5 20,0 12,3 11,9 (10,2) 16,6 43,3 28,7 2,5 25,4 1. Perbankan dalam negeri 4,3 (2,6) 17,9 18,9 10,6 11,1 (11,7) 16,2 56,6 41,1 7,1 45,5 2. Privatisasi (1,7) (5,2) 1,0 0,4 2,0 0,3 0,5 0,1 0,0 0,0 0,0 1,2 3. Hasil pengelolaan aset 5,1 6,6 2,6 2,7 1,7 2,4 3,9 2,8 (0,2) (0,3) 1,2 1,2 4. Dana Investasi Pemerintah dan PMN 0,0 0,0 (2,0) (2,0) (2,0) (2,0) (2,8) (2,5) (12,1) (12,1) (3,9) (12,9) 5. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1,0) 6. Kewajiban Penjaminan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1,0) 0,0 (1,0) (1,1) 7. Pinjaman Kepada PT PLN (Persero) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (7,5) II. UTANG 17,2 12,3 20,5 9,4 46,0 30,6 104,7 67,5 86,5 83,9 95,5 108,3 1. Surat Berharga Negara (neto) 22,1 22,6 35,8 36,0 58,5 57,2 117,8 85,9 99,3 99,5 104,4 107,5 2. Pinjaman (4,8) (10,3) (15,3) (26,6) (12,5) (26,6) (13,1) (18,4) (12,7) (15,5) (8,9) 0,8 i. Pinjaman Luar Negeri (4,8) (10,3) (15,3) (26,6) (12,5) (26,6) (13,1) (18,4) (12,7) (15,5) (9,9) (0,2) -. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 43,0 29,1 37,6 29,7 42,2 34,1 48,1 50,2 69,3 58,7 57,6 70,8 a. Pinjaman Program 11,3 12,3 12,1 13,6 19,0 19,6 26,4 30,1 30,3 28,9 24,4 29,4 b. Pinjaman Proyek 31,7 16,8 25,5 16,1 23,2 14,5 21,8 20,1 39,0 29,7 33,2 41,4 -. Penerusan Pinjaman (7,4) (2,2) 0,0 (3,6) 0,0 (2,7) 0,0 (5,2) (13,0) (6,2) (8,6) (16,8) -. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN (40,4) (37,1) (52,8) (52,7) (54,8) (57,9) (61,3) (63,4) 69,0 (68,0) (58,8) (54,1) ii. Pinjaman Dalam Negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 1,0 3. Tambahan Pembiayaan Utang 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 KELEBIHAN/KEKURANGAN PEMBIAYAAN 0,0 (3,3) (0,0) 0,3 0,0 (7,4) 0,0 80,0 0,0 24,0 (0,0) 0,0 Sumber : Kementerian Keuangan Rp7,4 triliun pada tahun Sebaliknya, pada tahun 2006 realisasi APBN mengalami SilPA sebesar Rp0,3 triliun, tahun 2008 realisasi APBN mengalami SilPA sebesar Rp80,0 triliun, dan tahun 2009 mengalami SiLPA sebesar Rp24,0 triliun, yang dapat digunakan untuk membiayai defisit anggaran pada tahun-tahun berikutnya. Terjadinya SiKPA pada tahun 2005, disebabkan oleh realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit APBN. Rendahnya realisasi pembiayaan dalam tahun tersebut terutama karena realisasi pembiayaan non-utang mengalami negatif sebesar Rp1,2 triliun, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan target pembiayaan non-utang sebesar Rp7,7 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan utang turun menjadi sebesar Rp12,3 triliun dari target sebesar Rp17,2 triliun. Sementara itu, terjadinya SiLPA pada tahun 2006, terutama karena realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan target, namun disisi lain realisasi defisit juga masih dibawah target yang ditetapkan. Berbeda dengan tahun sebelumnya, realisasi pembiayaan non-utang mencapai Rp20,0 triliun, lebih besar dibanding dengan target yang ditetapkan sebesar Rp19,5 triliun. Sementara itu, realisasi utang menurun menjadi sebesar Rp9,4 triliun dari target sebesar Rp20,5 triliun. Pada tahun 2007, kembali terjadi SiKPA sebagai akibat adanya kenaikan belanja negara berkaitan dengan naiknya harga komoditas, yang berimbas pada naiknya beban subsidi. Sedangkan terjadinya SiLPA sebesar Rp80,0 triliun pada tahun 2008, terutama disebabkan rendahnya realisasi defisit anggaran, berkaitan dengan realisasi pendapatan negara yang jauh melampai target yang ditetapkan, sementara realisasi anggaran belanja negara mendekati pagu yang direncanakan. Di lain pihak, realisasi pembiayaan anggaran mendekati target yang ditetapkan. Pada tahun 2009, terjadinya SiLPA disebabkan realisasi pembiayaan anggaran lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit. Rendahnya realisasi defisit terutama berkaitan dengan realisasi belanja negara hanya mencapai sebesar Rp937,4 triliun, lebih rendah Rp63,4 triliun bila dibandingkan dengan pagu belanja negara yang direncanakan pada APBN-P 2009 sebesar Rp1.000,8 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan anggaran, terutama pembiayaan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-5

339 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal melalui utang mencapai Rp83,9 triliun, atau sekitar 97,0 persen dari target pembiayaan utang yang ditetapkan dalam APBN-P 2009 sebesar Rp86,5 triliun. Perbedaan antara target dan realisasi pada sebagian besar sumber pembiayaan, baik nonutang maupun utang, dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perbedaan antara target dan realisasi pembiayaan, dijabarkan sebagai berikut Pembiayaan Non-utang Kebutuhan pembiayaan non-utang dalam APBN selalu dipenuhi dari berbagai sumber dengan jenis dan proporsi yang berbeda setiap tahunnya. Pemilihan sumber dan besaran pembiayaan non-utang tersebut, selain ditentukan oleh ketersediaan sumber pemenuhannya, juga ditentukan berdasarkan kemampuan penyediaan dana, manfaat, serta keuntungan yang diperoleh. Perkembangan pembiayaan non-utang dapat dilihat pada Tabel VI.2. TABEL VI.2 PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN NON-UTANG, (triliun rupiah) Uraian Realisasi APBN-P 2010 A. Perbankan Dalam Negeri (2,6) 18,9 11,1 16,2 41,1 45,5 1. Rekening Pemerintah - 11,6 4,8 16,2 41,1 6,1 a.l - Rekening Dana Investasi - 2,0 4,0 0,3 3,7 5,5 - Rekening Pembangunan Hutan ,6 0,6 - Saldo Anggaran Lebih - - 0,3-51,9 39,3 - Rekening Pemerintah Lainnya - 9,6 0,5 15,9 (15,1) - 2. Eks. Moratorium NAD dan Nias, Sumut - 7,4 6, B. Non Perbankan Dalam Negeri 1,4 1,1 0,7 0,4 (12,4) (20,1) 1. Privatisasi (neto) (5,2) 0,4 0,3 0,1-1,2 2. Hasil Pengelolaan Aset 6,6 2,7 2,4 2,8 (0,3) 1,2 3. Dana Investasi Pemerintah dan PMN - (2,0) (2,0) (2,5) (12,1) (12,9) a.l i. Investasi Pemerintah - (2,0) (2,0) - (0,5) (3,6) ii. Penyertaan Modal Negara (2,5) (10,7) (6,0) iii. Dana Bergulir (0,9) (3,3) 4. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (1,0) 5. Kewajiban Penjaminan (1,1) 6. Pemberian Pinjaman kepada PT PLN (7,5) Jumlah (1,2) 20,0 11,9 16,6 28,7 25,4 Sumber: Kementerian Keuangan A. Penggunaan saldo rekening Pemerintah Pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah adalah penerimaan atau pengeluaran pembiayaan yang terkait dengan penerimaan dan pengembalian dari rekening-rekening Pemerintah lainnya yang dikelola atau dikuasai oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Penggunaan saldo rekening Pemerintah yang berada di perbankan dalam negeri menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan yang digunakan untuk membiayai APBN. Saldo rekening Pemerintah tersebut bersumber dari penerimaan Rekening Dana Investasi (RDI)/Rekening Pembangunan Daerah (RPD), Rekening Pembangunan Hutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening lainnya. Penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam setiap tahun anggaran dipengaruhi oleh jumlah akumulasi uang tunai/ VI-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

340 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI saldo yang ada di rekening Pemerintah sebagai hasil operasional penerimaan dikurangi dengan pengeluaran dalam APBN tahun-tahun sebelumnya. Tren penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun cenderung mengalami peningkatan, kecuali tahun 2007 yang menunjukkan penurunan sebesar Rp6,8 triliun atau 58,5 persen dibandingkan dengan tahun Tren peningkatan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun disebabkan meningkatnya kontribusi RDI/RPD dan SAL. Dalam tahun 2006, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp11,6 triliun atau meningkat sebesar Rp14,1 triliun (553,2 persen) jika dibandingkan dengan tahun Peningkatan ini disebabkan adanya setoran RDI sebesar Rp2,0 triliun dan rekening lainlain sebesar Rp9,6 triliun. Sedangkan tingginya jumlah saldo rekening lain-lain yang diterima dalam tahun 2006 karena adanya penerimaan dari hasil penutupan rekening Pemerintah di berbagai K/L yang mencapai Rp5,5 triliun. Penutupan rekening ini dilaksanakan dalam rangka penertiban rekening-rekening yang kategorikan ke dalam rekening nonbudjeter. Kemudian dalam tahun 2007, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp4,8 triliun atau turun Rp6,7 triliun. Penurunan sebesar 58,5 persen ini disebabkan menurunnya penerimaan yang berasal dari penutupan rekening Pemerintah di K/L, meskipun penerimaan RDI meningkat cukup signifikan hingga mencapai 100 persen bila dibandingkan dengan penerimaannya dalam tahun sebelumnya. Sementara itu, penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2008 sebesar Rp16,2 triliun atau meningkat Rp11,4 triliun (236,6 persen) bila dibandingkan dengan tahun Peningkatan ini disebabkan adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldo Rekening Khusus (Reksus) akibat selisih kurs sebesar Rp15,9 triliun. Dalam tahun 2009 penggunaan saldo rekening Pemerintah untuk menutup kebutuhan pembiayaan APBN melonjak cukup tinggi hingga mencapai Rp41,2 triliun. Peningkatan penggunaan saldo rekening Pemerintah mencapai Rp24,9 triliun atau 154,1 persen bila dibandingkan dengan tahun Hal ini sebagai akibat meningkatnya penerimaan RDI sebesar Rp3,4 triliun (1.135,0 persen), RPH sebesar Rp621,0 miliar (100,0 persen), dan SAL sebesar Rp51,9 triliun. Penggunaan SAL yang cukup signifikan dalam tahun 2009 berkenaan dengan adanya SiLPA 2008 yang cukup besar. SiLPA tersebut disebabkan karena realisasi pendapatan negara yang melebihi dari target yang ditetapkan dan realisasi belanja negara yang lebih rendah dari pagu yang ditetapkan, khususnya belanja subsidi karena realisasi harga minyak mentah (ICP) lebih rendah dari perkiraan semula. Dalam APBN-P 2010, direncanakan penggunaan saldo rekening Pemerintah mencapai Rp45,5 triliun atau meningkat Rp4,4 triliun (10,8 persen) dibandingkan tahun Peningkatan ini dikarenakan meningkatnya penerimaan RDI sebesar Rp1,8 triliun atau 48,6 persen bila dibandingkan dengan tahun Selain itu juga dikarenakan dalam tahun 2009 GRAFIK VI.3 PENGGUNAAN SALDO REKENING PEMERINTAH TAHUN (triliun rupiah) 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0, * * APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-7

341 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal terdapat pengeluaran dari rekening Pemerintah terkait adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldo Reksus akibat selisih kurs hingga mencapai Rp15,1 triliun. Dari segi penggunaan SAL, dalam tahun 2010 direncanakan Pemerintah akan menggunakan SAL untuk membiayai APBN sebesar Rp39,3 triliun atau turun Rp12,5 triliun (24,1 persen) bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lebih rendahnya penggunaan SAL dalam tahun 2010 dikarenakan lebih rendahnya SiLPA tahun 2009 jika dibandingkan dengan SiLPA tahun Perkembangan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun dapat dilihat pada Grafik VI.3. B. Privatisasi BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN, dilakukan bukan hanya dalam rangka memperolah dana segar, melainkan juga untuk menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, antara lain melalui pembenahan manajemen dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik. Privatisasi saat ini tidak lagi diartikan secara sempit sebagai penjualan saham Pemerintah semata ke pihak nonpemerintah, tetapi dilakukan sebagai upaya untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik (privatisasi diupayakan dilakukan melalui metode initial public offering/ipo). Dari program privatisasi tersebut, kemudian sebagian dana yang diperoleh dapat digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN dan sebagian lainnya masuk kas perusahaan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Penerimaan pembiayaan melalui privatisasi cenderung mengalami peningkatan terutama selama periode , dan selanjutnya semakin menurun, sejalan dengan kebijakan Pemerintah yang tidak lagi mengandalkan hasil privatisasi sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan. Dalam periode , upaya privatisasi BUMN telah menghasilkan Rp5,5 triliun yang dilakukan melalui IPO, strategic sales (SS), private placement, secondary offering (SO), dan employee management buy out (EMBO). Sementara itu dalam tahun 2010, penerimaan privatisasi diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun. Pada tahun 2005, tidak ada penerimaan pembiayaan yang berasal dari privatisasi, tahun 2006 sebesar Rp2,4 triliun yang berasal dari privatisasi PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN), tahun 2007 sebesar Rp3,0 triliun yang berasal dari privatisasi Bank BNI. Sementara itu, pada tahun 2008 Pemerintah menyetujui program privatisasi terhadap 44 BUMN, yang antara lain bergerak pada sektor pekerjaan umum, perkebunan, industri dan keuangan. Dari jumlah ini, sebanyak 38 perusahaan dengan kepemilikan negara mayoritas dan 6 perusahaan dengan kepemilikan negara minoritas. Namun, karena kondisi pasar keuangan yang tidak kondusif, program privatisasi pada tahun 2008 tidak dapat dilaksanakan. Realisasi penerimaan privatisasi pada tahun 2008 sebesar Rp82,3 miliar yang berasal dari penutupan saldo privatisasi Bank BNI tahun VI-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

342 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Pada tahun 2009, Pemerintah tidak menargetkan pembiayaan dari privatisasi. Hal tersebut terkait dengan kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan BUMN dan faktor-faktor eksternal, antara lain krisis keuangan global yang belum mengalami perbaikan, fluktuasi harga komoditi yang sulit diperkirakan, dan faktor geopolitik yang tidak pasti. 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 GRAFIK VI.4 PENERIMAAN PRIVATISASI BUMN, (triliun rupiah) Sementara itu, pada tahun ,0 Pemerintah menargetkan penerimaan dari privatisasi BUMN sebesar APBN-P Realisasi Sumber: Kementerian Keuangan Rp1,2 triliun. Setoran privatisasi dalam APBN-P tersebut direncanakan berasal dari hasil penjualan saham greenshoe Bank BNI sebesar 3,1 persen atau setara dengan lembar saham. Penjualan saham greenshoe Bank BNI tersebut dimaksudkan untuk menstabilkan harga saham di secondary market pasca pelaksanaan privatisasi 26,9 persen saham Bank BNI yang telah dilakukan pada tanggal 13 Agustus Perkembangan penerimaan privatisasi pada periode dapat dilihat dalam Grafik VI.4. C. Hasil Pengelolaan Aset Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), Hasil Pengelolaan Aset (HPA) adalah setiap penerimaan tunai yang berasal dari restrukturisasi, kerjasama dengan pihak lain, penagihan piutang, penjualan, penyewaan, dividen, kupon/bunga dan/atau penerimaan lain yang berasal dari aset yang dikelola dari transaksi yang sudah selesai. Oleh karena itu, di samping pembiayaan dari penggunaan dana tunai yang ada di rekening Pemerintah, pembiayaan tunai non-utang dalam APBN juga dibiayai dari HPA milik Pemerintah. Dalam periode aset yang dikelola Pemerintah dan dapat digunakan untuk pembiayaan APBN adalah aset yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dan aset yang dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Aset yang dikelola DJKN meliputi aset eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks kelolaan PT PPA dan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset yang dikelola DJKN tersebut dapat berupa aset kredit, aset properti, dan aset saham, yang dikelola dengan cara: (1) penagihan, melalui Panitia Urusan Piutang Negara (terhadap aset kredit), (2) penjualan (terhadap aset properti dan saham), (3) pemanfaatan (terhadap aset properti), (4) penetapan status penggunaan (terhadap aset properti) kepada K/L, dan (5) pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi terhadap aset properti yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Sementara itu, PT PPA melaksanakan pengelolaan aset berdasarkan penugasan yang diterima dari Kementerian Keuangan. Aset yang dikelola oleh PT PPA meliputi aset saham bank, aset saham nonbank, aset kredit/hak tagih, serta aset saham dan kredit. Hasil pengelolaan aset oleh PT PPA setiap tahun akan dievaluasi oleh Kementerian Keuangan, dan selanjutnya Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-9

343 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 GRAFIK VI.5 HASIL PENGELOLAAN ASET (triliun Rupiah) Sumber: KementerianKeuangan APBN-P Realisasi akan dilakukan perjanjian pengelolaan aset setiap tahunnya antara Kementerian Keuangan dan PT PPA untuk menentukan jenis dan jumlah aset yang akan dikelola oleh PT PPA. Pada tahun 2005 dan 2006, kontribusi pengelolaan aset dalam penerimaan pembiayaan adalah masing-masing sebesar Rp6,6 triliun dan Rp2,7 triliun. Sementara itu, pada kurun waktu tahun , pengelolaan aset memberikan kontibusi masing-masing sebesar Rp2,4 triliun, Rp2,8 triliun, dan sebesar negatif Rp309,7 miliar. HPA pada tahun 2009 yang bernilai negatif Rp309,7 miliar tersebut terdiri dari hasil penjualan aset sebesar Rp690,3 miliar dikurangi dengan PMN untuk restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,0 triliun. Sedangkan pada APBN-P tahun 2010, hasil pengelolaan aset diharapkan memberikan kontribusi sebesar Rp1,2 triliun. Kontribusi pengelolaan aset yang cenderung menurun tersebut sejalan dengan makin berkurangnya jumlah aset yang dikelola, baik oleh DJKN maupun oleh PT PPA (persero). Perkembangan hasil pengelolaan aset pada periode dapat dilihat pada Grafik VI.5. D. Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara (PMN) terdiri atas berbagai komponen, yaitu: (1) Investasi Pemerintah, (2) PMN, dan (3) dana bergulir. Pada setiap tahun anggaran, tidak semua jenis alokasi ini ada pada dana investasi Pemerintah dan PMN. Dana Investasi Pemerintah dan PMN merupakan pengeluaran pembiayaan yang tidak dilakukan secara reguler, namun GRAFIK VI.6 REALISASI DANA INVESTASI PEMERINTAH DAN PMN, (triliun rupiah) merupakan kebijakan yang bersifat ad-hoc tergantung kepada kebutuhan atau kebijakan Pemerintah dalam satu tahun anggaran seperti dukungan Pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dan pendirian sebuah BUMN untuk menjalankan kebijakan Pemerintah. Perkembangan dana Investasi Pemerintah dan PMN selama periode dapat dilihat pada Grafik VI.6. Investasi Pemerintah Dana Investasi Pemerintah merupakan dana yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam APBN yang peruntukannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan nilai tambah dan memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi Pemerintah tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembelian saham, surat utang maupun investasi langsung. Dalam mencapai tujuan investasi Pemerintah dimaksud, arah kebijakan dana investasi Pemerintah 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0, * Investasi Pemerintah PMN Dana Bergulir * APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan VI-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

344 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI dititikberatkan pada bidang infrastruktur. Pemerintah pada tahun 2005 belum menganggarkan dana investasi Pemerintah. Alokasi dana investasi Pemerintah pada tahun anggaran 2006 dan 2007 masing-masing sebesar Rp2,0 triliun. Pada tahun anggaran 2008, Pemerintah tidak menganggarkan Dana Investasi Pemerintah. Namun pada tahun anggaran 2009 Pemerintah telah mengalokasikan kembali Dana Investasi Pemerintah sebesar Rp500 miliar. Sementara itu, pada tahun 2010 Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk investasi Pemerintah sebesar Rp3,6 triliun, yang terdiri dari: (1) Dana Investasi Pemerintah (reguler) Rp927,5 miliar, dan (2) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Rp2,7 triliun. Alokasi dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada APBN-P 2010 tersebut berasal dari realokasi dana subsidi kredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) yang direncanakan untuk menjalankan kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Hal tersebut berkenaan dengan perubahan skema subsidi untuk KPRSh menjadi kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, yang menyediakan dana murah jangka panjang untuk dipadukan dengan dana bank pelaksana pemberi KPRSh. Penyertaan Modal Negara (PMN) Pengertian PMN menurut PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT) adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN, BUMD, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara. Dalam upaya mewujudkan salah satu tujuan bernegara, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum, maka Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomian negara, antara lain dengan cara menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kewajiban tersebut dapat dilakukan sendiri oleh Pemerintah, baik melalui instansi Pemerintah maupun badan usaha yang dibentuk oleh Pemerintah, dan dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, maka Pemerintah dapat melakukan PMN untuk mendirikan BUMN. Sementara itu, untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan PMN ke dalam perusahaan yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara. Untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula melakukan penambahan PMN. Besarnya alokasi dana PMN dalam periode adalah sebagai berikut: (1) Tahun 2005 sebesar Rp5,2 triliun antara lain untuk PT Sarana Multigriya Financial dan Lembaga Penjaminan Simpanan, (2) Tahun 2006 sebesar Rp2,0 triliun antara lain untuk PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Kertas Kraft Aceh, (3) Tahun 2007 sebesar Rp2,7 triliun antara lain untuk PT Sarana Pengembangan Usaha, PT Asuransi Kredit Indonesia, dan PT Pusri, (4) Tahun 2008 sebesar Rp2,5 triliun untuk PT PPA dalam rangka restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,5 triliun, dan perusahaan perseroan di bidang pembiayaan infrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI) sebesar Rp1,0 triliun, (5) Tahun 2009 sebesar Rp10,7 triliun antara lain untuk PT Perkebunan Nusantara II, PT Penjaminan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-11

345 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Infrastruktur Indonesia (PT PII), dan PT Pertamina, (6) Tahun 2010 sebesar Rp6,0 triliun antara lain untuk LPEI, PT PII, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, PT SMI, Perusahaan Penerbit SBSN II dan III, PT Askrindo dan PT BPUI yang berasal dari hibah saham Bank Indonesia. Tidak semua PMN yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam kurun waktu berupa fresh money. Beberapa PMN kepada BUMN dialokasikan sebagai bentuk konversi utang pokok (utang RDI dan PNBP), maupun hibah saham dari pihak lain (bersifat in-out). Sebagai contoh adalah PMN kepada PT Pertamina tahun 2009 yang terkait dengan hasil rekonsiliasi utang piutang (PNBP) Pertamina dan Pemerintah sebagai dasar penetapan neraca awal Pertamina tahun Selain itu, PMN kepada PT Askrindo dan PT BPUI pada tahun 2010 berasal dari hibah saham Bank Indonesia. Sementara itu, sejak tahun 2009 Pemerintah tidak lagi mengalokasikan PMN kepada BUMN tertentu yang bertujuan untuk merestrukturisasi BUMN. Hal tersebut terkait dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset, yang memberikan penugasan kepada PT PPA untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Dengan demikian, PMN diberikan kepada PT PPA, dan selanjutnya BUMN dapat mengajukan permintaan restrukturisasi/revitalisasi kepada PT PPA. PMN yang berupa fresh money saat ini lebih banyak ditujukan untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam bidang tertentu, seperti PMN kepada PT PII dan PT SMI yang ditujukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, serta PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo yang ditujukan untuk mendukung perluasan program KUR. Dana Bergulir Dana bergulir adalah dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepada masyarakat oleh pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran yang bertujuan meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Jenis dana bergulir yang dialokasikan Pemerintah dalam setiap tahun anggaran tidak sama, tergantung pada kebutuhan penyediaan dana yang akan digulirkan kepada masyarakat. Suatu dana dikategorikan sebagai dana bergulir jika memenuhi karakteristik (1) merupakan bagian dari keuangan negara, (2) dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan negara, (3) dimiliki, dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), (4) disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepada masyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund), (5) ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya, dan (6) dapat ditarik kembali pada suatu saat. Sebelum tahun 2009, dana bergulir diklasifikasikan ke dalam belanja negara, baik belanja bantuan sosial (bansos), subsidi, belanja hibah, maupun belanja modal nonfisik lainnya. Dalam perkembangannya Pemerintah memandang dana bergulir tidak tepat diklasifikasikan ke dalam belanja negara karena tidak sesuai dengan karakteristik dan sifat dana bergulir. Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun VI-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

346 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI , Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 99 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga tanggal 7 Juli Baru kemudian dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan dana bergulir ke dalam pembiayaan anggaran. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (1) PMK Nomor 99 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa pengeluaran dana bergulir yang bersumber dari rupiah murni dialokasikan sebagai pengeluaran pembiayaan dalam APBN. Dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir sebesar Rp915,0 miliar yang digunakan untuk membiayai dana bergulir di bidang koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) sebesar Rp290,0 miliar dan bidang kehutanan sebesar Rp625,0 miliar. Realisasinya sampai dengan akhir tahun mencapai Rp911,0 miliar atau 99,6 persen dibandingkan dengan alokasi anggarannya, yang terdiri dari realisasi dana bergulir KUMKM sebesar Rp290,0 miliar (100,0 persen) dan realisasi dana bergulir kehutanan sebesar Rp621,0 miliar (99,4 persen). Dana bergulir di bidang koperasi dikelola oleh Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM (BLU LPDB KUMKM) yang merupakan satker di bawah Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pengalokasian anggaran dana bergulir KUMKM ditujukan untuk (1) membantu perkuatan modal usaha guna mengembangkan koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pengembangan ekonomi nasional, (2) mengembangkan dan menyediakan akses pembiayaan bagi usaha KUMKM melalui pola dana bergulir, dan (3) memperkuat pendanaan lembaga keuangan dalam rangka memberdayakan lembaga keuangan dimaksud agar dapat memberikan layanan pembiayaan secara mandiri bagi KUMKM yang belum memenuhi kriteria kelayakan perbankan umum (not bankable). Mekanisme penyaluran dana bergulir KUMKM dapat dilaksanakan melalui perantara atau tanpa perantara. Mekanisme penyaluran dengan perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir memberikan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) melalui lembaga perantara. Lembaga perantara dimaksud dapat berupa lembaga keuangan bank (LKB) atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) seperti koperasi primer, koperasi sekunder, perusahaan modal ventura, dan lain-lain. Sedangkan mekanisme penyaluran dana bergulir tanpa perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir menyalurkan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) secara langsung tanpa melalui lembaga perantara. Realisasi anggaran dana bergulir KUMKM tahun 2009 mencapai 100,0 persen. Penyalurannya dilaksanakan melalui 6 koperasi sekunder, 33 koperasi primer, 22 perusahaan modal ventura, dan 6 perbankan. Beberapa kendala dalam penyaluran dana bergulir KUMKM tahun 2009 yaitu, (1) terbatasnya jumlah tenaga account officer (AO) yang dimiliki BLU LPDB KUMKM, (2) tarif skim pinjaman/pembiayaan masih dalam proses persetujuan Menteri Keuangan sehingga dana bergulir yang ada belum bisa disalurkan sesuai dengan kelayakan dan kebutuhan KUMKM, (3) informasi tentang keberadaan BLU LPDB KUMKM belum tersebar luas, (4) ketidaksiapan lembaga perantara sebagai penyalur pinjaman kepada koperasi-koperasi, (5) pemberian persetujuan pinjaman/pembiayaan dilakukan secara koligial direksi pada rapat komite pinjaman, dan (6) kelemahan database koperasi yang layak untuk mendapatkan pinjaman. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-13

347 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Sementara itu, dana bergulir kehutanan merupakan dana yang bersumber dari alokasi APBN dan sumber dana lainnya, yang dipinjamkan kepada pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) dan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) untuk pembangunan hutan tanaman dengan suku bunga tertentu, yang harus digulirkan ke pemegang IUPHHK-HTR dan IUPHHK-HTI lainnya jika jangka waktu pinjamannya berakhir atau diberhentikan. Dana bergulir di bidang kehutanan dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU P3H) yang merupakan satker di bawah Kementerian Kehutanan. Pengalokasian anggaran dana bergulir kehutanan ditujukan untuk menyediakan dana bagi membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan melalui skema pinjaman dan bergulir kepada badan usaha berbadan hukum, koperasi, dan kelompok tani hutan. Sumber pembiayaan dana bergulir kehutanan bersumber dari RPH, yang merupakan rekening penampungan dana reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan menggunakan sistem pinjaman dan dikelola dengan sistem dana bergulir. Sedangkan sumber dana RPH berasal dari (1) dana reboisasi, (2) sisa dana reboisasi setiap tahun dari bagian Pemerintah Pusat setelah dikurangi alokasi ke Kementerian Kehutanan, (3) dana reboisasi dari penerimaan pembayaran kembali pinjaman/kredit beserta bunganya dari para debitur, hasil divestasi, dividen, dan pungutan kayu sitaan, (4) dana reboisasi yang berada di pihak ketiga, (5) bunga dan/atau jasa giro yang berasal dari RPH, dan (6) surplus (return) bagian Pemerintah yang berasal dari BLU P3H. Dalam APBN-P 2010, alokasi dana bergulir meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau 259,5 persen dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun Peningkatan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kenaikan alokasi dana bergulir KUMKM dari semula Rp290,0 miliar dalam tahun 2009 menjadi Rp350,0 miliar dan adanya alokasi dana bergulir baru untuk pengadaan tanah sebesar Rp2,3 triliun. Sedangkan dana bergulir kehutanan dalam APBN-P 2010, alokasi anggarannya tetap sama seperti yang dialokasikan dalam tahun 2009 sebesar Rp625,0 miliar. Tujuan pengalokasian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 sama dengan tahun sebelumnya karena pada prinsipnya kebijakan pemberian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 merupakan kelanjutan dari tahun ,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 KUMKM Kehutanan Pengadaan Tanah Total GRAFIK VI.7 DANA BERGULIR (triliun rupiah) - * APBN-P * Sumber: Kementerian Keuangan Sedangkan alokasi dana bergulir pengadaan tanah ditujukan untuk dana talangan dalam rangka mempercepat proses penyelesaian pengadaan tanah untuk pembangunan 22 ruas jalan tol. Dana bergulir ini dikelola oleh Badan Layanan Umum Badan Pengatur Jalan Tol (BLU BPJT) yang merupakan satker di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. VI-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

348 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Sebagian anggaran yang digunakan untuk dana bergulir pengadaan tanah berasal dari realokasi cadangan pembiayaan 2010 yang telah dianggarkan dalam APBN 2010 sebesar Rp914,3 miliar. Sedangkan sisanya sebesar Rp1,4 triliun merupakan tambahan anggaran baru. Pemerintah memroyeksikan pembangunan 22 ruas jalan tol akan dapat diselesaikan paling lambat tahun 2013 dalam upaya memenuhi target pembangunan infrastruktur jalan berdasarkan program prioritas Pemerintah. Perkembangan realisasi dana bergulir tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Grafik VI.7. E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanisme dana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam. Pemerintah baru mengalokasikan dana pengembangan pendidikan nasional melalui pembiayaan anggaran sebesar Rp1,0 triliun dalam APBN-P Sedangkan dalam tahuntahun sebelumnya, Pemerintah belum mengalokasikan anggaran untuk keperluan ini. F. Kewajiban Penjaminan Untuk PT PLN (Persero) dan PDAM Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik MW. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (Persero) dalam memperoleh kredit yang diharapkan dapat menurunkan biaya modal proyek. Dengan penjaminan tersebut diharapkan dapat membantu mempercepat penyelesaian Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik MW dalam rangka mengatasi kekurangan pasokan listrik nasional. Sebagai konsekuensi pemberian jaminan ini, ketika PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, maka Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah kepada kreditor ini akan diperhitungkan sebagai utang PT PLN (Persero) kepada Pemerintah. Terhadap utang ini, PT PLN (Persero) wajib melakukan pelunasan pada kesempatan pertama setelah dilakukan penagihan atau langsung dilakukan pemotongan dari hak PLN atas subsidi harga listrik yang dibayar Pemerintah. Dana kewajiban penjaminan mulai dianggarkan pada APBN tahun 2007, tetapi sampai dengan akhir tahun 2009, realisasi dana kontijensi untuk PT PLN (Persero) masih nihil. Hal ini dikarenakan PT PLN (Persero) masih mampu membayar kewajibannya kepada kreditur dengan baik. Selanjutnya pada APBN-P 2010, dana kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) kembali dialokasikan sebesar Rp1,0 triliun. Sementara itu, Pemerintah juga melakukan penjaminan terhadap kemungkinan gagal bayar dari proyek PDAM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-15

349 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Selain itu, kewajiban penjaminan untuk PDAM dialokasikan dalam rangka percepatan penyediaan air minum yang merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk yang perlu diupayakan agar senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup merata dan mutu yang baik dalam rangka pencapaian millenium development goals (MDG s), sehingga perlu diberikan akses pembiayaan bagi PDAM untuk memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional. Dana kewajiban penjaminan untuk PDAM mulai dianggarkan pada tahun Pada APBN-P 2010, Pemerintah mengalokasikan dana kewajiban penjaminan untuk PDAM sebesar Rp50,0 miliar. G. Pinjaman kepada PT PLN (Persero) Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di bidang kelistrikan, selain memberikan penjaminan kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp1,0 triliun, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp7,5 triliun dalam APBN-P Dalam tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah tidak mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero). Pinjaman ini merupakan pinjaman lunak dengan masa pengembalian antara 10 sampai dengan 15 tahun dengan masa tenggang maksimal 5 tahun, jika dibayarkan secara amortisasi. Selain itu, tingkat suku bunga yang dikenakan atas pinjaman ini juga rendah guna mempertimbangkan pemenuhan covenant utang-utang PT PLN (Persero). Rencana pemberian pinjaman tersebut akan digunakan PT PLN (Persero) untuk menutup financing gap PT PLN (Persero) sebagai akibat dari pengadaan dan penggantian trafo, penguatan instalasi transmisi dan distribusi serta investasi lainnya. Untuk penyalurannya, Pemerintah memberikan penugasan kepada Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP) untuk melaksanakan pemberian pinjaman dengan penerbitan Peraturan Presiden. Pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) juga mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah Pembiayaan Utang Utang merupakan instrumen pembiayaan yang hampir selalu digunakan oleh berbagai negara di dunia untuk menutup defisit pembiayaannya. Hal ini disebabkan karena sumber ini relatif tersedia baik dalam bentuk pinjaman maupun surat berharga. Pinjaman tersebut dapat diberikan oleh lembaga pemberi pinjaman sebagai perantara (intermediaries) seperti Bank Dunia atau bank pembangunan kawasan misalnya Asian Development Bank untuk kawasan Asia Pasifik, African Development Bank untuk kawasan Afrika, European Development Bank untuk kawasan Eropa, atau Inter American Development Bank untuk kawasan Amerika Selatan, maupun diberikan oleh negara atau lembaga keuangan yang mewakili sebuah negara. Di negara-negara yang telah maju industri keuangan dan pasar modalnya, pembiayaan utang lebih banyak bersumber dari pasar atau investor pasar keuangan melalui penerbitan surat berharga. Pemerintah Indonesia menggunakan dua instrumen utang tersebut dalam memenuhi pembiayaannya baik instrumen pinjaman maupun instrumen surat berharga. Secara bruto pembiayaan utang meningkat dari Rp76,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp249,8 triliun pada tahun 2010 atau meningkat lebih dari 3 kali. Seiring dengan peningkatan pembiayaan utang penarikan pinjaman juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Penarikan VI-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

350 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI 300,0 GRAFIK VI.8 PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN UTANG TAHUN ,0 triliun rupiah 200,0 150,0 100,0 50, Total Utang 76,5 123,9 150,9 182,9 207,2 249,8 Penerbitan SBN 47,4 94,2 116,9 132,7 148,5 178,0 Penarikan PLN 29,1 29,7 34,1 50,2 58,7 70,8 Penarikan PDN 1,0 Sumber: KementerianKeuangan pinjaman pada tahun 2005 sebesar Rp29,1 triliun meningkat menjadi Rp70,8 triliun pada tahun 2010 untuk memanfaatkan pinjaman program dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan utang tunai. Hal ini dilakukan karena penggunaan dana pinjaman program tidak terikat pada kegiatan tertentu atau lebih fleksibel, sehingga pemanfaatannya akan lebih optimal sesuai dengan kebutuhan belanja Pemerintah. Namun demikian, kenaikan penarikan pinjaman ini tidak sebanding dengan meningkatnya penerbitan SBN. Penerbitan SBN pada tahun 2010 meningkat lebih dari 4 kali lipat dibandingkan tahun 2005, yaitu dari Rp47,4 triliun ke Rp178,0 triliun. Peningkatan yang cukup besar tersebut lebih banyak dipenuhi melalui penerbitan SBN domestik, hal ini dilakukan karena untuk meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar dalam negeri serta untuk mengurangi risiko perubahan mata uang. Perkembangan pembiayaan utang tahun dapat dilihat pada Grafik.VI.8. A. Penerbitan SBN neto Sepanjang periode , perkembangan realisasi pembiayaan khususnya yang bersumber dari penerbitan SBN cenderung semakin meningkat. Faktor utama yang berkontribusi bagi peningkatan penerbitan SBN ini adalah (i) adanya kebijakan untuk memprioritaskan pendanaan dari sumber pembiayaan domestik dan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri, (ii) adanya kebutuhan pembiayaan kembali dan reprofiling utang. Dalam upaya memenuhi target pembiayaan yang terus meningkat tersebut, penerbitan SBN menghadapi berbagai tantangan yang cukup berat mengingat kondisi pasar SBN masih perlu untuk terus dikembangkan dan masih cukup rentan apabila terjadi krisis. Pada tahun 2005, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P ditetapkan sebesar Rp22,1 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-17

351 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal 200,0 GRAFIK VI.9 REALISASI PEMBIAYAAN MELALUI PENERBITAN SBN (triliun rupiah) 150,0 100,0 50,0 0,0-50, * -100,0 * APBN-P 2010 Sumber: KementerianKeuangan SBN (neto) Penerbitan Pokok Jatuh Tempo triliun atau secara gross sebesar Rp43,3 triliun. Pada tahun ini kondisi pasar keuangan kurang mendukung program penerbitan SBN akibat adanya krisis reksa dana. Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2005 adalah sebesar Rp47,4 triliun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp22,6 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp24,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp22,5 triliun dengan tenor rata-rata 9,2 tahun dan ON valas sebesar Rp24,8 triliun dengan tenor ratarata 15,0 tahun Walaupun kondisi pasar keuangan kurang mendukung, minat investor untuk berinvestasi pada SBN masih cukup tinggi yang ditunjukkan oleh bid to cover ratio sebesar 2,16 kali. Pada tahun 2006 dan 2007, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat cukup signifikan menjadi sebesar Rp35,8 triliun dan Rp58,5 triliun atau secara gross Rp90,5 triliun dan Rp99,3 triliun. Peningkatan target penerbitan tersebut dapat dipenuhi dengan biaya yang relatif rendah karena adanya upaya pengembangan instrumen SUN dan perluasan basis investor yang didukung kondisi pasar keuangan yang sudah pulih dari krisis reksadana dan kondisi makro ekonomi yang stabil. Hal ini terlihat dari tingginya likuiditas di pasar keuangan yang tercermin pada indikator bid to cover ratio sebesar 2,32 kali di tahun 2006 dan 2,22 kali di tahun Realisasi penerbitan gross SBN pada tahun 2006 adalah sebesar Rp94,2 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp42,6 triliun dengan tenor rata-rata 11,6 tahun dan ON valas sebesar Rp20,0 triliun dengan tenor rata-rata 20,3 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp36,0 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp58,3 triliun. Sedangkan pada tahun 2007, realisasi penerbitan gross SBN adalah sebesar Rp116,9 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp71,7 triliun dengan tenor 14,1 tahun, ON seri SPN sebesar Rp4,2 triliun dengan tenor rata-rata 1,0 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp10,5 triliun dengan tenor rata-rata 2 tahun dan ON valas sebesar Rp13,6 triliun dengan tenor 30 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp57, 2 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp59,7 triliun. Pada paruh kedua tahun 2007, pasar keuangan global diguncang oleh krisis keuangan yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika, namun dampak dari krisis global ini belum secara signifikan mempengaruhi pasar SBN dalam negeri. Pada tahun 2008, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat menjadi sebesar Rp117,8 triliun atau secara gross sebesar Rp157,0 triliun. Pada tahun ini, dampak krisis subprime morgage yang melanda Amerika Serikat mulai dirasakan oleh pasar keuangan VI-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

352 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI domestik dan mencapai puncaknya pada paruh kedua tahun Dalam kondisi pasar keuangan yang memburuk tersebut, mengingat pasar obligasi tidak dapat dipisahkan dengan kondisi pasar keuangan pada umumnya, maka Pemerintah mengambil tindakan antara lain dengan (i) menghentikan penerbitan SUN untuk menjaga kepercayaan investor dan mengurangi kekhawatiran atas oversupply SUN dan (ii) melakukan program debt switch dan buyback. Dengan demikian, realisasi penerbitan gross SBN hanya sebesar Rp132,7 triliun yang diarahkan untuk membiayai defisit anggaran sebesar Rp86,0 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp46,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp62,4 triliun dengan tenor rata-rata 9,6 tahun, ON seri VR sebesar Rp5,0 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun, ON seri SPN sebesar Rp10,0 triliun dengan tenor rata-rata 0,9 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp9,6 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun dan ON valas sebesar Rp39,3 triliun dengan tenor rata-rata 18,1 tahun. Dalam rangka mengatasi dampak krisis yang semakin memburuk pada perekonomian nasional, Pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan stimulus fiskal dalam APBN Hal ini berimplikasi kepada kenaikan target penerbitan SBN neto dari semula Rp54,7 triliun dalam APBN 2009 menjadi Rp99,3 triliun dalam APBN-P 2009 atau secara gross sebesar Rp99,6 triliun menjadi Rp144,8 triliun. Menyadari bahwa kondisi pasar keuangan dunia masih belum kondusif, pemenuhan target pembiayaan melalui penerbitan SBN tersebut dikhawatirkan tidak dapat dilakukan secara optimal. Beberapa faktor yang dinilai dapat mempengaruhi tidak optimalnya penerbitan SBN pada saat itu antara lain adalah (i) terbatasnya permintaan dari investor akibat perlambatan ekonomi yang berimbas pada penurunan kapasitas investasi dan keterbatasan likuiditas, (ii) semakin banyaknya negaranegara di dunia yang melakukan penambahan utang untuk menutup kebutuhan penyelamatan perekonomian dan fiskal stimulus, dan (iii) potensi terjadinya crowding out effect, yang dapat berakibat pada sulitnya mencari pembiayaan dari pasar dan makin mahalnya biaya yang harus ditanggung. Sebagai respon terhadap tingginya target pembiayaan tahun 2009 di tengah kondisi pasar yang kurang kondusif, Pemerintah melakukan pembicaraan secara intensif dengan pemberi pinjaman konvensional baik multilateral maupun bilateral, mengenai kemungkinan untuk memberikan fasilitas pinjaman siaga (contingency loan) dalam hal penerbitan SBN tidak dapat dilakukan secara optimal. Tindak lanjut dari inisiatif ini, Pemerintah melakukan penandatanganan perjanjian dengan empat development partners yaitu Bank Dunia, ADB, Pemerintah Jepang melalui JBIC, dan Pemerintah Australia. Adapun masa laku dari pinjaman siaga ini adalah selama 2 (dua) tahun, terhitung dari tahun Pinjaman ini bukan merupakan pinjaman yang bersifat stand-by sebagaimana halnya commited credit line, yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam hal diperlukan dan dapat menjadi substitusi dari alternatif pembiayaan yang telah ada. Bentuk dukungan pinjaman siaga dapat berupa pemberian pinjaman, yang hanya dapat ditarik dalam hal 2 (dua) kondisi yang disepakati antara Pemerintah dengan development partners secara simultan terpenuhi yaitu (i) target pembiayaan Pemerintah dalam satu triwulan tertentu tidak dapat dipenuhi dan (ii) yield obligasi Pemerintah yang diterbitkan melampaui threshold tertentu yang disepakati. Untuk fasilitas dalam bentuk pinjaman ini tercakup dalam kerangka Public Expenditure Support Facility (PESF) yang dalam pelaksanaannya memperoleh dukungan dari Bank Dunia, ADB, dan Pemerintah Australia. Selain itu, pinjaman siaga dapat berupa pemberian jaminan (guarantee) melalui kerangka Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh Pemerintah Jepang. Dalam skema ini Pemerintah dapat melakukan penerbitan surat Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-19

353 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal berharga di pasar internasional, terutama pasar keuangan Jepang dengan mendapatkan jaminan dari Pemerintah Jepang melalui JBIC. Sampai dengan pertengahan tahun 2009, pinjaman siaga tersebut baru dimanfaatkan sebesar JPY35 miliar melalui penerbitan JBIC guaranteed samurai bonds (shibosai) di pasar keuangan Jepang. Sedangkan pinjaman siaga dalam kerangka PESF sampai saat ini belum dimanfaatkan. Hal ini disebabkan karena kondisi pasar keuangan yang cenderung mengalami perbaikan sejak awal tahun 2009 sampai dengan saat ini, sehingga 2 (dua) syarat dalam rangka penarikan pinjaman ini belum terlampaui. Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2009 adalah sebesar Rp148,5 triliun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp99,5 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp 49,1 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp66,1 triliun dengan tenor rata-rata 10,7 tahun, ON seri VR sebesar Rp6,5 triliun dengan tenor rata-rata 4,5 tahun ON seri SPN sebesar Rp25,2 triliun dengan tenor rata-rata 0,5 tahun dan ON valas sebesar Rp46,8 triliun dengan tenor rata-rata 8 tahun. Sebagai salah satu respon terhadap kecenderungan meningkatnya target penerbitan SBN, dan mempertimbangkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada awal tahun, Pemerintah dalam melakukan penerbitan SBN menerapkan kebijakan front loading. Melalui kebijakan ini, porsi jumlah penerbitan diatur sedemikian rupa sehingga jumlah penerbitan pada semester I relatif lebih besar dari pada jumlah penerbitan semester II. Pertimbangan dilaksanakannya kebijakan front loading ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memanfaatkan kondisi pasar yang relatif bullish pada awal tahun. 2. Memberikan rasa aman bagi para pelaku pasar bahwa target penerbitan SBN Pemerintah relatif akan dapat dicapai. 3. Tambahan biaya yang harus ditanggung Pemerintah untuk setiap peningkatan bid yang diterima pada saat lelang pada semester I umumnya lebih kecil daripada semester II. 4. Praktik front loading merupakan praktik yang umum dilakukan oleh Debt Management Office (DMO) di banyak negara. 5. Penerapan strategi front loading dalam pengelolaan utang yang prudent cenderung memberikan kontribusi positif pada stabilitas fiskal dan pasar keuangan dan diapresiasi oleh rating agencies. Namun, pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara hati-hati dan terukur dengan mempertimbangkan kondisi kas negara, kondisi pasar keuangan, dan rencana kebijakan fiskal yang ditempuh sehingga kebijakan front loading yang dilakukan dapat mendorong pengembangan pasar obligasi domestik. Dalam periode gambaran hasil pelaksanaan kebijakan ini dapat dilihat dalam Tabel VI.3. Seiring dengan meningkatnya target pembiayaan defisit anggaran melalui penerbitan SBN, diperlukan kondisi pasar SBN yang aktif, dalam, dan likuid. Dalam rangka meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar SBN, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah melalui pengembangan instrumen SBN, baik SBN domestik maupun SBN Valas. Pengembangan instrumen SBN domestik yang telah dilakukan sepanjang tahun diantaranya adalah pengembangan obligasi ritel, pengembangan SBSN, sukuk ritel, SPN, obligasi tanpa kupon (zero coupon bond eszcb), dan sukuk dana haji Indonesia (SDHI). Produk obligasi negara ritel yang lebih dikenal ORI diperkenalkan pada tahun 2006, yang ditujukan bagi VI-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

354 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.3 REKAPITULASI PENERBITAN SBN PER SEMESTER, (juta rupiah) Tahun Semester I Semester II Total , , ,0 61,5% 38,5% , , ,0 70,4% 29,6% , , ,0 57,5% 42,5% , , ,0 78,7% 21,3% , , ,0 66,3% 33,7% Catatan: Penerbitan SBN termasuk dengan lelang dan private placement, tetapi belum termasuk SBSN Sumber: Kementerian Keuangan investor individu. Untuk itu, terms and condition produk obligasi ritel ini disesuaikan dengan kebutuhan investor individu, diantaranya tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat bunga tabungan, maupun deposito dan pembayaran bunga yang dilakukan secara bulanan. Selanjutnya pada tahun 2007, Pemerintah memperkenalkan instrumen ZCB yang diarahkan untuk menyesuaikan pola investasi dari perusahaan asuransi dan dana pensiun. Selanjutnya untuk mengisi kebutuhan pasar akan instrumen jangka pendek, Pemerintah menerbitkan surat perbendaharaan negara (SPN) yang terutama ditujukan bagi kalangan perbankan sebagai instrumen untuk menyelaraskan durasi. Pada awalnya SPN dan ZCB kurang diminati oleh pasar karena adanya perlakuan pajak yang dinilai memberatkan investor. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah mengkaji kembali perlakuan pajak atas kedua instrumen tersebut dan melakukan penyesuaian sehingga instrumen tersebut menjadi lebih menarik. Dampak dari kebijakan ini telah dirasakan secara nyata dengan tingginya minat investor setelah perlakuan pajak yang baru terhadap kedua instrumen tersebut terutama SPN ditetapkan. Memasuki tahun 2008, setelah ditetapkannya UU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Pemerintah melakukan penerbitan SBSN dengan tenor 7 dan 10 tahun di pasar domestik dan internasional. Penerbitan ini mendapat sambutan yang cukup baik dengan terpenuhinya target penerbitan SBSN bahkan penawaran yang masuk lebih tinggi dari target yang ditetapkan. Berkenaan dengan mata uang SBN yang diterbitkan, sejak tahun 2004 Pemerintah mulai menerbitkan SBN dalam denominasi valas dalam mata uang USD, sedangkan dalam mata uang JPY baru dimulai pada tahun Tujuan penerbitan SBN valas adalah untuk memenuhi pembiayaan dan untuk mengelola portofolio utang Pemerintah. Penerbitan SBN dalam mata uang USD pada awalnya menggunakan program stand alone dengan format reg S/144A, namun sejak tahun 2009 Pemerintah menerbitkan SBN Valas dengan format GMTN (Global Medium Term Note). Penerbitan dengan format Reg S/144A memerlukan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-21

355 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal waktu yang cukup panjang sehingga terbuka peluang untuk diprediksi oleh pasar yang pada akhirnya cenderung mendorong yield ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan format GMTN Pemerintah dapat melakukan penerbitan sampai dengan jumlah yang didaftarkan pada program GMTN tersebut dan realisasi penerbitan dapat dilaksanakan setiap saat dalam periode yang telah ditentukan, sesuai dengan kebutuhan pembiayaan. Dengan demikian Pemerintah memiliki fleksibilitas dalam memilih waktu yang tepat untuk penerbitan yang pada akhirnya dapat mengurangi noise di pasar keuangan. Pada tahun 2009 Pemerintah mencoba menjajaki pasar Jepang dengan menerbitkan shibosai sebesar JPY 35 miliar yang memanfaatkan fasilitas Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh Pemerintah Jepang melalui JBIC. Penerbitan shibosai ini menggunakan mekanisme private placement kepada investor Jepang yang potensial. Pada tahun 2010 direncanakan untuk melakukan penerbitan shibosai pada semester II 2010, penerbitan ini ditujukan untuk menambah likuiditas shibosai dengan menambah jumlah outstanding. SBN valas juga diterbitkan dengan basis syariah (sukuk valas). Penerbitan pertama kali dilakukan pada bulan April 2009 sebesar USD650 juta dengan akad Ijarah sale and lease back. Penerbitan tersebut merupakan penerbitan straight sukuk terbesar di luar negara teluk dan merupakan benchmark pertama kali sukuk valas di Asia sejak tahun Minat investor terhadap instrumen ini cukup tinggi tercermin dari tingginya jumlah penawaran yang masuk (over subscription) sebanyak 7,3 kali dari jumlah penerbitan. Selain itu, Pemerintah berupaya untuk terus melakukan pengembangan pasar perdana melalui peningkatan kualitas pengelolaan SBN salah satunya dengan meningkatkan aspek certainty dan predictability bagi para investor. Melalui kedua aspek ini maka diharapkan kualitas pengelolaan SBN dapat ditingkatkan. Salah satu initiatif yang telah dilakukan pada tahun 2007, Pemerintah mengimplementasikan primary dealership system yang memungkinkan terjadinya market making dalam pasar SBN. Kemudian tahun 2010, pengembangan pasar antara lain dilakukan dengan menyusun jadwal pelaksanaan lelang per triwulan yang meliputi indikasi waktu, jenis instrumen per tenor, dan rencana penerbitan triwulanan. Meskipun jadwal ini sifatnya masih tentative, namun setidaknya dapat memberikan gambaran bagi investor terhadap penyusunan rencana investasi di SBN sepanjang tahun. Sedangkan dalam pengembangan pasar sekunder, telah ditetapkan crisis management protocol sebagai mekanisme early warning dan prosedur dalama pengelolaan jika terjadi krisis di pasar sekunder. Kemudian diperkenalkan metode securities lending and borrowing bagi primary dealers, dan Pemerintah dapat melakukan stabilisasi pasar dengan transaksi langsung melalui dealing room. Dalam pengelolaan portofolio dan risiko utang, Pemerintah juga telah mengembangkan berbagai operasi untuk memperbaiki struktur portofolio dan mengendalikan risiko yang terkandung dalam utang. Sebagai salah satu contoh dalam pengendalian risiko refinancing, Pemerintah telah melakukan operasi pasar melalui program cash buyback dan program penukaran utang (debt switching). Konsep dasar kedua program tersebut adalah sama, yaitu menukar utang yang jatuh tempo dalam jangka waktu pendek dengan utang yang memiliki jangka waktu yang lebih panjang, atau dapat dilakukan dengan menerbitkan obligasi yang dapat menjadi benchmark dan aktif ditransaksikan (on the run) untuk menggantikan obligasi yang tidak aktif (off the run). B. Penarikan Pinjaman Meskipun secara neto besaran penarikan pinjaman luar negeri ditetapkan negatif dan VI-22 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

356 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI perannya sebagai sumber pembiayaan sejak tahun 2004 sudah tidak lagi dominan, namun pembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari pinjaman luar negeri masih dipertahankan sampai saat ini. Hal tersebut didasari oleh masih adanya kebutuhan untuk mendukung pembiayaan kegiatan yang terkait langsung dengan belanja negara dan penerusan pinjaman, maupun dalam bentuk pinjaman luar negeri tunai yang berfungsi sebagai budget support. Dalam upaya mengurangi risiko nilai tukar yang melekat pada instrumen pinjaman luar negeri serta mempertimbangkan ketersediaan sumber dalam negeri, Pemerintah mengembangkan instrumen pembiayaan dari pinjaman yang bersumber dari dalam negeri. Seiring dengan telah dipenuhinya kerangka infrastruktur peraturan perundangan maupun peraturan operasional, pinjaman dalam negeri mulai digunakan sebagai instrumen pembiayaan pada tahun Sesuai dengan peruntukkannya, pinjaman dalam negeri hanya diarahkan untuk pembiayaan kegiatan. Dengan demikian, terhitung mulai tahun 2010 dalam rangka pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah mempunyai dua instrumen pinjaman yaitu pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 GRAFIK VI.10 PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI, (triliun rupiah) 16,8 16,1 13,6 14,5 12,3 Pinjaman Luar Negeri * * APBN-P 2010 Dalam periode , Pinjaman Program Pinjaman Proyek Sumber: KementerianKeuangan penarikan pinjaman luar negeri dilakukan atas pinjaman proyek dan pinjaman tunai. Pinjaman proyek merupakan pinjaman yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh K/ L sehingga tercakup dalam belanja K/L atau yang diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah atau BUMN. Sedangkan pinjaman tunai yang lebih dikenal dengan sebutan pinjaman program merupakan pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan defisit (budget support) yang syarat pencairannya adalah melalui pemenuhan policy matrix atau terlaksananya sebuah kegiatan tertentu. Pada tahun , terdapat kecenderungan peningkatan jumlah total penarikan pinjaman. Apabila dilihat secara rinci, perkembangan penarikan pinjaman program mulai meningkat sejak tahun 2007 seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan utang tunai. Sedangkan penarikan pinjaman proyek dari tahun cenderung menurun, namun kembali meningkat pada tahun 2008 dan Perkembangan pinjaman luar negeri tahun dapat dilihat pada Grafik VI.10. Sebagaimana disebutkan di atas, realisasi penarikan pinjaman proyek dalam periode cenderung menurun, dan kemudian cenderung meningkat pada tahun Namun, apabila dibandingkan antara besaran realisasi dengan target yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P, realisasi penarikan pinjaman proyek pada periode masih berada di bawah target yaitu rata-rata hanya mencapai angka 72,9 persen. Relatif rendahnya realisasi penarikan pinjaman proyek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain (1) adanya kendala permasalahan di lapangan, misalnya kesulitan dalam pembebasan tanah dan/atau tidak diperolehnya perijinan penggunaan lahan, (2) belum siapnya pelaksanaan kegiatan di tahun pertama yang ditunjukkan dengan belum disediakannya dana pendamping/uang muka, atau belum lengkapnya organ pelaksana kegiatan, (3) penyelesaian pengadaan yang 19,6 30,1 28,9 29,7 29,4 20,1 41,4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-23

357 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 GRAFIK VI.11 PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROYEK, (triliun rupiah) APBN-P Realisasi Sumber: KementerianKeuangan Grafik VI.11. APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi APBN-P Realisasi tertunda akibat adanya persyaratan tertentu dari pemberi pinjaman (lender) atau karena barang yang diadakan memiliki karakteristik sangat spesifik, (4) penyusunan besaran rencana penarikan yang terlalu optimis, (5) adanya persyaratan administratif yang belum dipenuhi oleh pelaksana kegiatan sehingga mengakibatkan dana diblokir, dan lain-lain. Perkembangan target dan realisasi penarikan pinjaman proyek tahun dapat dilihat pada Dalam kurun waktu tahun , khususnya mulai tahun 2007 terdapat kecenderungan peningkatan kebutuhan pemenuhan pembiayaan dari pinjaman tunai. Besaran realisasi penarikan pinjaman tunai tersebut meningkat dua kali lipat yaitu pada tahun dibandingkan dengan Hal ini dapat dipahami, mengingat sumber pembiayaan dari pinjaman tunai luar negeri yang merupakan non market base instrument diharapkan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pembiayaan pada saat terjadi krisis global. Salah satu pertimbangan dimanfaatkannya pinjaman tunai ini adalah sifat penarikannya yang single disbursement dan tidak earmark dengan belanja tertentu (khususnya bagi pinjaman tunai di luar mekanisme refinancing modality), sehingga relatif fleksibel dalam pemanfaatannya. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa pinjaman tunai memiliki syarat pencairan yaitu policy matrix (untuk pinjaman program reguler) atau terlaksananya sebuah kegiatan (dalam konteks refinancing modality). Selain itu, mengingat sifatnya yang single disbursement, pinjaman tunai berpotensi mengurangi country limit/ single country ceiling yang diterapkan oleh masing-masing lender. Hal ini akan mengurangi ruang dan kapasitas negara peminjam untuk melakukan pinjaman baru, ataupun jika batasan ini dapat dilampaui maka biaya pinjaman dapat berpotensi naik. Sepanjang tahun , tidak semua pemberi pinjaman bersedia atau memiliki produk yang menyediakan fasilitas pinjaman tunai ini. Selama periode tersebut hanya empat pemberi pinjaman yang secara konsisten menyediakan fasilitasnya yaitu Bank Dunia, ADB, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Agence Française de Développement (AFD, Perancis). Sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan adanya lender lain yang menyediakan fasilitas pinjaman tunai, namun terdapat potensi bahwa dana tunai yang disediakan memiliki konsekuensi biaya yang relatif mahal. Adapun dari sisi fokus program yang akan diterjemahkan dalam matriks kebijakan (policy matrix) sebagai syarat penarikan, terdapat beberapa program yang secara generik dapat menggambarkan pinjaman tunai dimaksud, antara lain kebijakan di bidang program pembangunan, infrastruktur, dan climate change. Dalam pemenuhan policy matrix tersebut, diperlukan upaya penyusunan berbagai kebijakan, baik yang berbentuk penetapan aturan perundangan maupun aturan operasional, serta studi-studi yang mengarah pada reformasi APBN-P Realisasi VI-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

358 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI kebijakan. Mengingat reformasi kebijakan tersebut dilakukan di segala bidang, maka dalam pemenuhan syarat penarikan tersebut sangat diperlukan keterlibatan aktif setiap K/L yang terkait langsung dengan masing-masing fokus area tersebut. Kebijakan di bidang program pembangunan tercakup dalam Development Policy Loan (DPL) yang merupakan produk pinjaman tunai dari Bank Dunia dan Development Policy Support Program (DPSP), dengan ADB sebagai lender. JICA melakukan cofinancing dengan Bank Dunia untuk program ini. Terdapat 3 area kebijakan publik yang menjadi perhatian Pemerintah untuk pelaksanaan program ini yaitu perbaikan iklim investasi, penguatan pengelolaan keuangan publik, dan pengentasan kemiskinan. Trigger Policy sesuai karakteristik masing-masing area kebijakan publik tersebut, yaitu (i) perbaikan iklim investasi, fokus kebijakan Pemerintah pada penyelesaian studi dalam pengurangan beban pajak bagi wajib pajak tertentu, operasionalisasi sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) beserta regulasi teknisnya dan pembenahan daftar negatif investasi (DNI), yang diikuti dengan mendirikan sistem lisensi operasional investasi online (SPIPISE) dan pembentukan staf helpdesk untuk Indonesia National Single Window (INSW), (ii) penguatan pengelolaan keuangan publik, diwujudkan dengan melakukan pengembangan kapasitas SDM untuk meningkatkan fungsi procurement dalam Pemerintahan sehingga dapat meningkatkan kecepatan dan efektifitas dalam melakukan procurement, kemudian menyempurnakan mekanisme untuk meningkatkan kualitas K/L dalam melakukan cash and budget forecasting agar efisiensi pengelolaan uang negara meningkat, dan pembentukan komite teknologi dan informasi serta pemberlakuan pemakaian standar kebijakan dalam penggunaan teknologi informasi Pemerintah; dan (iii) pengentasan kemiskinan, antara lain melalui pelaksanaan sensus secara nasional untuk melakukan pemetaan terhadap kemiskinan yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan pengentasan kemiskinan di tahun Sejak tahun , total penarikan pinjaman program di bidang program pembangunan yang telah dilakukan adalah sebesar USD4.693 juta yang terdiri dari Bank Dunia sebesar USD3.100 juta, ADB sebesar USD1.000 juta dan JICA sebesar equivalen USD593 juta. Program pembangunan infrastruktur melalui Infrastructure Development Policy Loan (IDPL) dengan lender dari Bank Dunia dan Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP) dengan ADB yang melakukan cofinancing dengan JICA sebagai lender. Dalam program ini area utama kebijakan infrastruktur berfokus pada kebijakan untuk mempertahankan alokasi dana APBN 2010 di bidang infrastruktur dan penyediaan listrik yang stabil, efektif, dan berkesinambungan. Fokus kebijakan infrastruktur lainnya adalah Public Private Partnership (PPP), yaitu upaya untuk mengutamakan peningkatan kerjasama antara Pemerintah dan pihak swasta. Pinjaman program untuk program pembangunan infrastruktur baru dimulai pada tahun 2006 dengan penarikan pinjaman dari ADB sebesar USD400 juta. Sepanjang tahun , jumlah penarikan pinjaman program untuk program pembangunan infrastruktur yang telah ditarik dari 3 lender ini adalah USD1,530 juta. Program perubahan iklim melalui Climate Change Program Loan (CCPL) didukung pembiayaannya oleh JICA dan AFD, Perancis. Program loan ini dimulai pada tahun 2008 dengan fokus sektor meliputi sektor kehutanan dengan target outcome mencegah pengurangan luas hutan dan meningkatkan tingkat penyerapan CO2, sektor energi dengan target outcome mengurangi emisi CO2 dan mendorong penggunaan energi terbarukan, sektor sumber daya dan energi dan beberapa sektor lainnya. Untuk sektor kehutanan yang menjadi perhatian utama adalah program Reducing Emissions from Deforestation and Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-25

359 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Degradation (REDD) untuk meminimalisasi emisi karbon melalui penguatan regulasi di bidang perkayuan termasuk penguatan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi regulasinya. Sektor berikutnya yang menjadi perhatian adalah sektor sumber daya dan energi melalui kebijakan peningkatan penggunaan sumber-sumber energi terbarukan. Dalam sektor transportasi fokus kebijakan meliputi upaya untuk menurunkan emisi karbon di udara, yang diwujudkan dengan kebijakan untuk meningkatkan transportasi umum, perbaikan fasilitas bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda di kota-kota besar di Indonesia, dan pemanfaatan converter kit untuk transportasi umum di kota-kota besar untuk menurunkan emisi gas buang kendaraan. Di bandingkan dua fokus area lainnya, climate change merupakan fokus area yang relatif baru dan dimulai pada tahun 2008 melalui JICA dan AFD sebesar equivalen USD500 juta. Pada tahun 2009, AFD meningkatkan besaran komitmennya dari semula USD200 juta menjadi USD300 juta, sehingga jumlah total penarikan pinjaman program climate change AFD pada tahun 2009 bersama dengan JICA adalah USD600 juta. Pada tahun 2008, Bank Dunia memberikan fasilitas pinjaman tunai berbasis kegiatan. Dalam skema pinjaman ini, syarat pencairan pinjaman tidak menggunakan policy matrix, namun pelaksanaan sebuah kegiatan yang dinilai berkualitas dan dapat disepakati bersama antara Pemerintah dengan pemberi pinjaman (refinancing modality). Pada tahap awal, kegiatan yang diajukan kepada pemberi pinjaman (dalam hal ini Bank Dunia) dan kemudian disepakati untuk dijadikan syarat pencairan adalah pelaksanaan kegiatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk kemudian menjadi program BOS-KITA (Bantuan Operasional Sekolah Knowledge Improvement for Transparancy and Accountability). Pinjaman dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama dengan komitmen sebesar USD600 juta memiliki rentang waktu dua tahun yaitu tahun 2008 dan 2009 dengan realisasi masing-masing sebesar USD47 juta dan USD553 juta, sedangkan tahap kedua sebesar USD500 juta akan ditarik pada tahun 2010 dan Pada tahun 2010, selain BOS KITA terdapat pinjaman tunai lainnya yang juga menggunakan skema refinancing modality yaitu PNPM refinancing. Faktor utama yang membedakan skema refinancing modality dengan pinjaman program regular pada umumnya adalah mekanisme pencairan dananya. Pinjaman program melalui mekanisme refinancing modality ini terkait langsung dengan kegiatan yang dibiayai, sehingga mekanisme pencairan dananya juga terkait dengan kemajuan pelaksanaan kegiatan tersebut. Realisasi penarikan pinjaman program tahun dapat dilihat pada Tabel VI.4. Pada Semester I tahun 2010, pencairan pinjaman program telah dapat dilakukan bagi empat pinjaman program dari tiga lender yaitu ADB, Jepang melalui JICA, dan Perancis. Pinjaman program dari ADB yang tercakup dalam program countercyclical support facility (CSF) sebesar USD500 juta, dari JICA tercakup dalam program development policy loan sebesar USD100 juta dan climate change program loan sebesar USD300 juta dari JICA, dan dari Perancis yaitu climate change program loan sebesar USD300 juta. Belum ditariknya pinjaman program yang lain disebabkan oleh siklus pendanaan lender, mekanisme pengadaan pinjaman dan pemenuhan syarat pencairannya. Selanjutnya berdasarkan data realisasi tahun , besarnya pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri meningkat drastis sejak tahun 2006 dibandingkan dengan posisi tahun Peningkatan tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yaitu (i) adanya penguatan nilai tukar beberapa valuta asing (original currency) khususnya JPY dan USD pada kurun VI-26 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

360 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.4 PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROGRAM, (juta dolar AS) No Lender Program Total 1. Development Policy Loan (DPL) 1 s.d WB 2. Infrastructure Development Policy Loan (IDPL) 1 s.d BOS-KITA Refinancing Sub Total WB State Audit Reform Sector Development 2. Development Policy Support Program (DPSP) 1 s.d Local Government Finance Reform Sector Development 1 & ADB 4. Infrastructure Reform Sector Development 1 & Capital Market Development Cluster 1 & Poverty Reduction and MDG Acceleration Local Government Finance Countercyclical Support Facility (CSF) Sub Total ADB Development Policy Loan (cofinancing dengan WB) 1 s.d Infrastructure Reform Sector Development 1 & JICA 3. Indonesia Disaster Recovery and Management Climate Change Program Loan 1 s.d Economic Stimulus and Budget Support Loan Development Policy Loan (cofinancing dengan WB) 7 - Sub Total JBIC/ JICA France Climate Change Program Loan 1 s.d Sub Total France Total Sumber: Kementerian Keuangan waktu tahun dan (ii) jatuh tempo pembayaran pinjaman yang dijadwalkan kembali (rescheduling) melalui forum Paris Club. Berdasarkan jenis mata uang, terdapat 3 mata uang utama yang memiliki porsi cukup besar dalam pembayaran cicilan pokok ini yaitu USD, JPY, dan EUR. Dengan demikian, penguatan salah satu atau beberapa mata uang tersebut terhadap mata uang rupiah akan memiliki TABEL VI.5 REALISASI PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (NETO), (triliun rupiah) Uraian Realisasi APBN-P I. Penarikan Pinjaman Luar Negeri 29,1 29,7 34,1 50,2 58,7 70,8 a. Pinjaman Program 12,3 13,6 19,6 30,1 28,9 29,4 b. Pinjaman Proyek 16,8 16,1 14,5 20,1 29,7 41,4 II. Penerusan Pinjaman (2,2) (3,6) (2,7) (5,2) (6,2) (16,8) III. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri (37,1) (52,7) (57,9) (63,4) (68,0) (54,1) Jumlah (10,3) (26,6) (26,6) (18,4) (15,5) (0,16) Sumber : Kementerian Keuangan pengaruh yang cukup besar dalam pembayaran cicilan pokok. Hal ini tercermin dari pergerakan nilai rupiah yang cenderung melemah sepanjang kurun waktu baik terhadap USD maupun terhadap JPY. Selain karena adanya pelemahan rupiah, peningkatan pembayaran cicilan pokok juga disebabkan telah jatuh temponya pembayaran cicilan yang dijadwal ulang (rescheduling) melalui forum Paris Club I, II, dan III dengan uraian (i) Paris Club I tahun 1998 periode pembayarannya adalah tahun , (ii) Paris Club Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-27

361 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal II tahun 2000 periode pembayarannya tahun , (iii) Paris Club III tahun 2002 periode pembayarannya tahun ; dan (iv) moratorium tahun 2005 periode pembayarannya tahun Realisasi pembiayaan luar negeri (neto) tahun dapat dilihat pada Tabel VI.5. BOX VI.1 Pinjaman Program Refinancing Modality Pinjaman luar negeri sebagai salah satu instrumen pembiayaan utang APBN terdiri dari (i) Pinjaman Proyek (Project Loan) dan (ii) Pinjaman Program/Tunai (Program Loan). Berbeda dengan pinjaman proyek, dimana penggunaan pinjaman attached dengan kegiatan yang dibiayai sebagai underlying, pinjaman program yang diterima Pemerintah langsung disetor ke Kas Negara menjadi general funds. Dalam perjalanannya pinjaman program telah berevolusi, yang semula pinjaman program selalu dikaitkan dengan pemenuhan policy matrix, sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Bank Dunia telah diperkenalkan pinjaman program dengan refinancing modality. Pinjaman refinancing modality merupakan pinjaman yang dicairkan secara tunai sebagai refinancing (reimbursement) atas suatu kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya pinjaman ini diberikan sebagai refinancing atas kegiatan/program Bantuan Operasional Sekolah Knowledge Improvement for Transparency and Accountability (BOS-KITA). Dalam implementasi BOS-KITA, pinjaman yang bersumber dari Bank Dunia digunakan untuk me-refinance + 60 persen Bantuan Operasional Sekolah yang dikeluarkan Pemerintah. Jumlah refinance dari Bank Dunia selanjutnya akan masuk ke Kas Negara. Persyaratan pencairan yang disepakati Pemerintah dan Bank Dunia adalah keberhasilan penyaluran dana bantuan yang ditunjukkan oleh hasil audit pelaksanaan BOS dan adanya perbaikan terhadap operations manual pelaksanaan BOS. Dengan mekanisme tersebut di atas, maka pencairan dan pelaksanaan proyek/kegiatan yang dibiayai pinjaman luar negeri tersebut di atas telah sepenuhnya mengikuti sistem, mekanisme dan aturan yang berlaku di Indonesia. Penerapan pinjaman refinancing modality ini sejalan dengan Jakarta Commitment tahun 2009 yang memandatkan dimanfaatkannya bantuan luar negeri mengikuti sistem dan aturan yang berlaku di negara penerima (peminjam). Pinjaman BOS-KITA sebesar USD600 juta yang pencairannya telah dilaksanakan dalam tahun 2008 dan 2009, akan dilanjutkan dengan BOS-KITA II sebesar USD500 juta yang pencairannya dilaksanakan tahun 2010 dan Adapun terms and conditions perjanjian ini adalah: (1) suku bunga: LIBOR + Variable Spread Loan (VSL), dimana pada bulan Juni 2010, LIBOR sebesar 0,75 persen dan VSL sebesar 0,24 persen, (2) jangka waktu pembayaran selama 24,5 tahun dengan masa tenggang (grace period) 9 tahun, serta (4) front end fee sebesar 0,25 persen dari total pinjaman. Selanjutnya, dalam tahun 2010 refinancing modality telah direplikasi untuk pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), khususnya untuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Berbeda dengan BOS-KITA, dimana program ini sejak awal dibiayai menggunakan rupiah murni, maka pada PNPM Pemerintah akan memberikan dana talangan terlebih dahulu untuk pelaksanaan BLM. Kemudian setelah dana talangan tersebut memperoleh refinancing melalui pinjaman Bank Dunia, selanjutnya dana refinancing akan disetorkan ke Kas Negara. Dengan mekanisme tersebut penyaluran BLM ke masyarakat dapat dilakukan secara lebih cepat, karena penyaluran BLM yang telah tercantum dalam dokumen anggaran sebagai rupiah murni dapat dilakukan sebelum pinjaman efektif. Hal ini dimungkinkan karena telah adanya VI-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

362 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI kesepakatan dengan Bank Dunia tentang pemberlakuan retroactive financing terhadap BLM yang telah ditalangi Pemerintah. Adapun jumlah pinjaman PNPM refinancing modality direncanakan sebesar USD629,18 juta untuk PNPM Perdesaaan dan sebesar USD115,76 juta untuk PNPM Perkotaan. Penerusan Pinjaman Penerusan pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah (Pemda) atau BUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. Penerusan pinjaman merupakan fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Pemda atau BUMN untuk memperoleh pinjaman, khususnya pinjaman dalam bentuk pembiayaan bagi kegiatan tertentu. Melalui penerusan pinjaman, lender tidak memperhitungkan kondisi Pemda atau BUMN yang bersangkutan, namun yang diperhitungkan adalah Pemerintah sebagai ultimate borrower. Untuk itu, dalam mekanisme penerusan pinjaman ini, proses pengadaan pinjamannya tetap harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat (i) penarikannya meskipun sifatnya in-out dalam APBN, namun tetap memberikan potensi peningkatan outstanding pinjaman, (ii) lender tetap memperhitungkan pinjaman tersebut sebagai pinjaman Pemerintah, (iii) terdapat potensi terjadi mismatch antara penerimaan pembayaran kewajiban dari penerima penerusan pinjaman dengan pembayaran kewajiban ke lender, dan (iv) seperti halnya pinjaman proyek, rendahnya penyerapan pinjaman berpotensi menambah biaya pinjaman. Pemberian pinjaman kegiatan atau proyek kepada Pemda atau BUMN dengan menggunakan mekanisme penerusan pinjaman dikarenakan Pemda atau BUMN berbeda entitas akuntansi dengan Pemerintah Pusat. Selain itu, berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, Kementerian Negara/Lembaga/Pemda dilarang melakukan perikatan dalam bentuk apapun secara langsung dengan pihak kreditur asing yang dapat menimbulkan kewajiban tertentu dikemudian hari. Dalam perkembangannya, realisasi penerusan pinjaman dalam kurun waktu tahun cenderung mengalami peningkatan, kecuali tahun 2007 yang mengalami penurunan Rp834,6 miliar atau 23,5 persen dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Apabila dalam tahun 2005 realisasi penerusan pinjaman mencapai Rp2,3 triliun maka dalam tahun 2009 realisasinya mencapai Rp6,2 triliun. Hal ini berarti ratarata peningkatan pertahunnya mencapai sekitar 36 persen. Peningkatan realisasi penerusan pinjaman dalam periode sejalan dengan meningkatnya kebutuhan 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 GRAFIK VI.12 REALISASI PENERUSAN PINJAMAN, (triliun rupiah) * * APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-29

363 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal pembiayaan investasi untuk proyek-proyek vital yang dilaksanakan baik oleh Pemda maupun BUMN. Perkembangan realisasi penerusan pinjaman tahun dapat diikuti pada Grafik VI.12. Apabila dilihat dari komposisi pengguna penerusan pinjaman dalam periode , BUMN adalah lembaga peminjam terbesar, baru kemudian sisanya merupakan pinjaman Pemda. Pinjaman BUMN rata-rata pertahunnya mencapai sekitar 99 persen dan hanya sekitar 1 persen yang menjadi pinjaman Pemda. Diantara BUMN-BUMN yang meminjam dana dengan mekanisme penerusan pinjaman, PT PLN (Persero) merupakan BUMN peminjam terbesar dibandingkan dengan BUMN yang lainnya. Dalam APBN-P 2010, penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero) mencapai Rp12,2 triliun atau 72,5 persen dari total penerusan pinjaman sebesar Rp16,8 triliun. Hal ini menunjukkan peningkatan 62,5 persen dibandingkan rencana alokasi penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero) tahun Besarnya jumlah penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero) mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut sedang membutuhkan dana jumlah yang besar untuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur listrik seperti pembangunan pembangkit listrik baru, pemeliharaan dan pengadaan travo, pembangunan jaringan transmisi, dan lain sebagainya. Selain PT PLN (Persero), beberapa BUMN lainnya yang juga menerima penerusan pinjaman antara lain PT PGN, PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), dan lain-lain. Sedangkan penerusan pinjaman kepada Pemda, umumnya untuk membiayai proyek-proyek urban water supply and sanitation project (UWSSP), urban sector development reform project (USDRP), dan Jakarta emergency dredging initiative (JEDI), yang sumber pendanaannya berasal dari pinjaman Bank Dunia. Beberapa daerah yang menerima penerusan pinjaman untuk pembiayaan proyek UWSSP atau USDRP antara lain Pemkab Palopo, Pemkot Palangkaraya, Pemkot Pare- Pare, Pemkab Barru, Pemkab Bogor, Pemkab Muara Enim, Pemprop DKI Jakarta, dan lain-lain. GRAFIK VI.13 REALISASI PENERUSAN PINJAMAN KEPADA BUMN DAN PEMDA, (triliun rupiah) 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2, * * APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan Perkembangan realisasi penerusan pinjaman berdasarkan BUMN dan Pemda tahun dapat diikuti pada Grafik VI.13. Pinjaman Dalam Negeri Instrumen pinjaman dalam negeri pada dasarnya hanya digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu, antara lain dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri dan pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur. Instrumen ini dikembangkan sebagai BUMN Pemda VI-30 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

364 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman komersial luar negeri serta dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri. Dalam tahap awal pemanfaatan instrument ini, Pemerintah masih memfokuskan kepada pelaksanaan kegiatan dalam di 2 K/L yaitu Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara. Selain itu, besaran angka yang ditetapkan menjadi target penarikannya pun masih belum signifikan dibandingkan dengan sumber pembiayaan utang lainnya, yaitu Rp1,0 triliun. Berbeda dengan mekanisme dalam pengadaan pinjaman komersial luar negeri, dalam pinjaman dalam negeri terdapat dua proses yang dilakukan secara paralel yaitu proses pengadaan barang yang dilaksanakan di K/L dan proses pengadaan pinjaman dilaksanakan di Kementerian Keuangan. Dua proses tersebut dilakukan secara terpisah dalam rangka mempercepat pelaksanaan kegiatan. Meskipun dilakukan secara terpisah, namun diharapkan tidak mengurangi kualitas dari eksekusi atas kegiatan yang direncanakan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya diperlukan komunikasi yang cair dan koordinasi yang solid antara kementerian negara/lembaga dengan Kementerian Keuangan. Dalam pelaksanaannya, sepanjang Semester I 2010 pinjaman dalam negeri masih dalam tahap penyelesaian administrasi di lingkungan K/L. Pengadaan pinjaman oleh Kementerian Keuangan dapat dilaksanakan apabila sudah ada konfirmasi kesiapan dari K/L. Adapun sampai saat ini lender yang berpotensi menyediakan fasilitas pinjamannya terutama dari kalangan perbankan dalam negeri. Perkembangan Portofolio Utang Pemerintah Perkembangan pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang sepanjang periode memberikan gambaran bahwa terdapat kecenderungan peningkatan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang, bahkan pada tahun 2008 peningkatan kebutuhan pembiayaan dari utang neto mencapai lebih dari 100 persen apabila dibandingkan dengan tahun Peningkatan realisasi pembiayaan utang pada akhirnya akan memberikan dampak pada semakin meningkatnya outstanding utang Pemerintah secara keseluruhan. Dengan melihat kecenderungan yang ada terutama pada periode , pengendalian utang akan menghadapi tantangan besar jika tidak disertai dengan konsistensi kebijakan. Sebagai salah satu contoh, dalam periode , kebijakan untuk mengurangi pinjaman luar negeri telah dicanangkan. Namun, apabila mempertimbangkan kecenderungan realisasi atas penarikan pinjaman luar negeri neto, terdapat fenomena bahwa besarannya semakin meningkat khususnya pada realisasi tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2009 dan APBN-P Apabila dilihat secara rinci, maka salah satu sebabnya adalah jumlah penarikan pinjaman tunai dalam bentuk pinjaman program yang semakin besar dari waktu ke waktu terutama pada tahun Konsekuensi pertambahan utang adalah meningkatnya outstanding utang Pemerintah sebagaimana digambarkan pada Grafik VI.14. Meskipun demikian, pertambahan nominal utang tersebut cenderung lebih lambat jika dibandingkan pertambahan nominal PDB. Pertambahan nominal utang per Juni 2010 jika dibandingkan dengan akhir tahun 2005 mencapai Rp300 triliun sementara pertambahan PDB nominal per Juni 2010 dengan mengikuti asumsi APBN-P jika dibandingkan dengan akhir tahun 2005 mencapai Rp3.480 triliun. Peningkatan kebutuhan utang dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan risiko bagi Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-31

365 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal GRAFIK VI.14 Pemerintah mengingat PERKEMBANGAN RASIO UTANG TERHADAP PDB portofolio utang Pemerintah TAHUN [ triliun Rupiah] khususnya yang berasal dari % pinjaman terdiri dari % beragam mata uang. Risiko % tersebut antara lain risiko 80% 67% % tingkat bunga dan risiko 57% 60% 47% mata uang. Risiko yang % 35% 33% 28,3% 27,8% 40% terlihat dampaknya adalah risiko nilai tukar yang terus % mengalami fluktuasi seiring 0 0% dengan perubahan kondisi * ekonomi suatu negara dan * APBN-P 2010 Outstanding PDB Rasio Utang thd PDB (RHS) Sumber: Kementerian Keuangan kondisi perekonomian global. Fluktuasi kurs akan menyebabkan outstanding utang Pemerintah terus berubah-ubah meskipun tidak ada cash flow utang. Upaya untuk mengurangi dampak fluktuasi kurs terhadap outstanding utang Pemerintah ini adalah dengan mengadakan utang dalam mata uang rupiah antara lain melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman dalam negeri. Perkembangan portofolio utang Pemerintah menurut kurs tahun 2005 sampai dengan Juni 2010 yang dapat mempengaruhi besaran outstanding setiap tahun dapat dilihat pada Tabel VI.6. TABEL VI.6 OUTSTANDING UTANG BERDASARKAN CURRENCY (juta dolar AS) Dalam Mata Uang Asli Jun-10 IDR [triliun] 658,7 693,1 737,1 783,9 836,3 879,3 USD [miliar] 26,4 27,5 28,4 32,8 37,1 39,1 Pinjaman 22,9 22,0 21,4 21,6 22,2 22,0 SBN 3,5 5,5 7,0 11,2 14,9 16,9 JPY [miliar] 3.184, , , , , ,3 Pinjaman 3.184, , , , , ,3 SBN ,0 35,0 EUR [miliar] 8,1 7,8 7,2 6,7 6,0 5,8 Other currencies Multiple Currencies Total 133,6 144,4 147,5 149,5 169,2 178,2 Ekuivalen dalam triliun rupiah IDR 658,7 693,1 737,1 783,9 836,3 879,3 USD 259,9 248,1 267,1 358,6 348,6 355,3 JPY 265,6 232,4 244,4 341,9 276,0 273,7 EUR 94,4 92,1 98,9 104,2 80,7 64,4 Other Currencies 34,7 36,4 41,9 48,2 49,1 45,8 Total 1.313, , , , , ,5 Exchange Rate Assumption USD/IDR Sumber: Kementerian Keuangan VI-32 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

366 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI 6.3 Pembiayaan APBN Tahun 2011 Dalam RAPBN tahun 2011, defisit anggaran direncanakan sebesar Rp115,7 triliun atau 1,7 persen terhadap PDB. Pembiayaan defisit anggaran ini akan dipenuhi melalui sumbersumber pembiayaan utang dan sumber-sumber pembiayaan nonutang. Pembiayaan dari sumber non-utang (secara neto) dalam tahun 2011 direncanakan sebesar negatif Rp7,8 triliun, atau 0,1 persen terhadap PDB, sedangkan pembiayaan anggaran yang bersumber dari utang (secara neto) direncanakan mencapai Rp123,5 triliun atau 1,8 persen terhadap PDB. Dengan demikian, dalam tahun 2011 pembiayaan utang masih menjadi sumber utama pembiayaan APBN. Pembiayaan melalui utang merupakan konsekuensi dari kebijakan anggaran defisit, meskipun dalam kebijakan anggaran berimbang atau surplus, pembiayaan utang tetap dilakukan, antara lain untuk: (a) membiayai pengeluaran pembiayaan, termasuk utang yang jatuh tempo; (b) menciptakan benchmark risk free asset di pasar keuangan dan pengelolaan portofolio utang pemerintah; (c) melaksanakan perikatan perjanjian pinjaman dengan lender, dan kemungkinan masih berlangsung masa penarikannya, terutama untuk multi years project, baik untuk proyek K/L maupun penerusan pinjaman Pemerintah kepada BUMN dan/atau Pemda. Dalam RAPBN tahun 2011 ini, kebutuhan pengeluaran pembiayaan yang harus dipenuhi diperkirakan mencapai Rp160,4 triliun (2,3 persen terhadap PDB), yang meliputi pembayaran pokok SBN yang jatuh tempo sebesar Rp84,0 triliun, penerusan pinjaman Rp12,0 triliun, pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 48,1 triliun, dan kebutuhan pengeluaran pembiayaan nonutang yang diperkirakan mencapai sebesar Rp16,3 triliun. Apabila ditambahkan dengan kebutuhan pembiayaan defisit anggaran sebesar Rp115,7 triliun, maka seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan (bruto) yang diperlukan dalam tahun 2011 akan mencapai Rp276,1 triliun. Walaupun Pemerintah berupaya memaksimalkan sumber penerimaan pembiayaan bruto melalui sumber-sumber non-utang, namun diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar 3,1 persen dari seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan bruto, karena keterbatasan sumber dan jumlahnya. Penerimaan pembiayaan yang berasal dari utang secara bruto dalam tahun 2011 direncanakan mencapai sebesar Rp267,6 triliun (1,8 persen terhadap PDB). Jumlah ini meliputi penerbitan SBN sebesar Rp209,5 triliun, penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,o triliun, dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp57,1 triliun. Pinjaman luar negeri tersebut terdiri atas pinjaman program sebesar Rp17,7 triliun dan penarikan pinjaman proyek sebesar Rp39,4 triliun. Dari jumlah rencana penarikan pinjaman proyek tersebut, sebesar Rp12,0 triliun diantaranya akan diteruspinjamkan kepada BUMN dan/atau pemerintah daerah. Pembiayaan utang yang bersumber dari penarikan pinjaman proyek, baik luar negeri maupun dalam negeri yang sedang berjalan akan mendapat prioritas utama untuk direalisasikan pada tahun Prioritas selanjutnya, akan diberikan pada pinjaman yang saat ini telah atau hampir selesai dinegosiasikan, yang penarikannya akan dimulai pada tahun Kebijakan ini dilakukan, mengingat pengeluaran pinjaman proyek akan di-earmark dengan belanja K/L dan BUMN/Pemda melalui penerusan pinjaman. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang yang bersumber dari SBN, akan mengutamakan penerbitan di pasar domestik, dengan tetap memperhitungkan daya serap pasar keuangan domestik agar tidak menimbulkan terjadinya crowding out effect. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-33

367 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Selanjutnya, apabila masih terdapat kekurangan pembiayaan, maka Pemerintah akan melakukan penerbitan SBN Valas di pasar keuangan internasional, dengan tetap memperhitungkan kondisi portofolio dan risiko utang secara keseluruhan Kebijakan Pembiayaan Non-utang Pembiayaan anggaran yang bersumber dari non-utang dalam tahun anggaran 2011 secara umum terdiri atas dua sumber, yaitu: (1) perbankan dalam negeri, yang berasal dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman serta RKUN untuk pembiayaan kredit investasi pemerintah; dan (2) nonperbankan dalam negeri, yang berasal dari penerimaan privatisasi, penerimaan hasil pengelolaan aset, serta dana investasi pemerintah dan penyertaan modal negara (PMN). Sumber pembiayaan non-utang pada tahun 2011 tersebut sedikit berbeda dibandingkan dengan sumber pembiayaan non-utang tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2011, pemerintah tidak menargetkan pembiayaan perbankan dalam negeri yang bersumber dari SAL, dengan pertimbangan besarnya kebutuhan penggunaan SAL untuk kebutuhan kas pada awal tahun, serta penggunaan dana SAL yang cukup besar pada tahun Pembiayaan anggaran yang bersumber dari non-utang dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar negatif Rp7,8 triliun, yang berarti menurun sebesar Rp33,2 triliun apabila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp25,4 triliun. Jumlah pembiayaan non-utang yang bersifat negatif tersebut, menunjukan bahwa pengeluaran pembiayaan lebih besar dari penerimaan pembiayaan. Hal ini terutama disebabkan tidak dipergunakannya SAL sebagai sumber pembiayaan non-utang Perbankan dalam negeri 45,5 7,7 a. Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman (RDI) 5,5 6,8 b. Rekening Pembangunan Hutan 0,6 - c. Sisa Anggaran Lebih (SAL) 39,3 - d. Rekening KUN untuk Pembiayaan Kredit Investasi - 0,9 2. Penerimaan Privatisasi 1,2 0,3 3. Hasil Pengelolaan Aset 1,2 0,5 4. Dana Investasi Pemerintah dan PMN (12,9) (12,8) 5. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (1,0) (2,5) 6. Kewajiban Penjaminan (1,1) (1,0) 7. Pinjaman Kepada PT PLN (7,5) - Jumlah 25,4 (7,8) Sumber: Kementerian Keuangan TABEL VI.7 PEMBIAYAAN NON UTANG 2010 dan 2011 (triliun rupiah) Uraian APBN-P 2010 Pembiayaan anggaran non-utang dalam RAPBN tahun 2011, terdiri dari: (1) perbankan dalam negeri melalui penerimaan pengembalian penerusan pinjaman sebesar Rp6,8 triliun; (2) RKUN untuk pembiayaan kredit investasi pemerintah sebesar Rp853,9 miliar; (3) penerimaan privatisasi sebesar Rp340,0 miliar; (4) penerimaan hasil pengelolaan aset sebesar Rp533,1 miliar; (5) dana investasi pemerintah dan PMN sebesar negatif Rp12,8 triliun; (6) dana pengembangan pendidikan nasional sebesar negatif Rp2,5 trildan (7) kewajiban penjaminan sebesar negatif Rp1,0 triliun. Perbandingan pembiayaan anggaran melalui non-utang dalam APBN-P tahun 2010 dengan RAPBN tahun 2011 dapat dilihat dalam Tabel VI Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman Kontribusi penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman terhadap APBN pada tahun-tahun sebelumnya diklasifikasikan ke dalam penerimaan pembiayaan dari RDI. Perubahan klasifikasi penerimaan jenis ini dalam RAPBN tahun 2011, dimaksudkan untuk perbaikan sistem dan penertiban rekening yang dikelola oleh pemerintah, khususnya yang RAPBN 2011 VI-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

368 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI dikelola oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Karena itu, mulai tahun 2011 pengembalian dari debitur tidak lagi melalui rekening RDI, akan tetapi langsung disetorkan kepada Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Setoran dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman untuk pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp6,8 triliun. Bila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp5,5 triliun, maka setoran dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berarti menunjukkan peningkatan sebesar Rp1.299,2 miliar, atau 23,6 persen. Peningkatan setoran yang berasal dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalam RAPBN tahun 2011 tersebut disebabkan memperhitungkan adanya konversi piutang penerusan pinjaman pada PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) sebesar Rp1,3 triliun, yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran Penerimaan Privatisasi Penerimaan privatisasi yang akan digunakan untuk pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp340,0 miliar, atau menurun 71,6 pesen apabila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,2 triliun. Penurunan penerimaan privatisasi dalam tahun 2011 tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintah saat ini yang tidak lagi menjadikan privatisasi sebagai sumber pembiayaan APBN, namun privatisasi lebih ditujukan untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus bagi BUMN yang diprivatisasi, antara lain untuk peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, serta perkembangan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global. Penerimaan privatisasi dalam RAPBN 2011 direncanakan berasal dari PT Inti (Persero) sebesar Rp200,0 miliar, PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) Rp135,0 miliar, dan PT Rekayasa Industri sebesar Rp5,0 miliar. Pada PT Inti (Persero) dan PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) yang sebelum privatisasi saham negara masih mencapai 100 persen, penjualan saham negara akan dilaksanakan maksimal masing-masing sebesar 49 persen dan 40 persen. Sementara itu, PT Rekayasa Industri berencana akan melakukan IPO, dengan mengeluarkan saham baru sebesar 20 persen sampai 30 persen. Dengan demikian, saham negara akan terdilusi dengan adanya pengeluaran saham baru tersebut, sehingga saham negara yang tersisa di PT Rekayasa Industri sebesar 4,97 persen akan didivestasi bersama dengan IPO Hasil Pengelolaan Aset Target penerimaan hasil pengelolaan aset yang akan digunakan untuk pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp533,1 miliar, atau 0,46 persen dari total pembiayaan anggaran yang direncanakan dalam APBN tahun Target tersebut direncanakan berasal dari hasil pengelolaan aset oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan sebesar Rp372,0 miliar (69,8 persen), dan PT PPA sebesar Rp161,1 miliar (30,2 persen). Apabila dibandingkan dengan target hasil pengelolaan aset yang ditetapkan dalam APBN-P 2010 sebesar Rp1,2 triliun, maka target hasil pengelolaan asset dalam tahun 2011 tersebut, berarti menurun sebesar Rp666,9 miliar atau sebesar 120,0 persen. Penurunan target hasil pengelolaan aset dalam tahun 2011 tersebut, terutama disebabkan oleh semakin terbatasnya jumlah aset yang dikelola. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-35

369 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Hasil pengelolaan aset oleh DJKN pada tahun 2011 diperkirakan berasal dari aset eks bank dalam likuidasi (BDL) sebesar Rp75,0 miliar, aset eks PT PPA sebesar Rp80,0 miliar, aset eks BPPN sebesar Rp90,0 miliar, dan HPA yang berasal dari penyelesaian hak tagih terhadap PT DI (sebagai akibat dari konversi utang menjadi PMN) sebesar Rp127,0 miliar. Sementara itu, hasil pengelolaan aset yang dilakukan PT PPA sebesar Rp161,1 miliar, diperkirakan berasal dari percepatan pelunasan Multi Years Bond (MYB) PT Tuban Petrochemical Industries (PT TPI) Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara Pembiayaan dalam bentuk dana investasi Pemerintah dan PMN bersifat cash outflow, yang berarti pengeluaran pembiayaan. Pengeluaran dana untuk investasi pemerintah dan PMN dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp12,8 triliun, atau menurun 7,8 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp12,2 triliun. Alokasi dana investasi Pemerintah dan PMN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut akan digunakan untuk: (a) investasi Pemerintah sebesar Rp1,9 triliun; (b) PMN kepada BUMN sebesar Rp6,4 triliun; (c) PMN kepada organisasi/lembaga keuangan internasional sebesar Rp721,5 miliar; dan (d) dana bergulir sebesar Rp3,8 triliun. A. Investasi Pemerintah Dalam RAPBN tahun anggaran 2011, Pemerintah merencanakan alokasi anggaran untuk investasi Pemerintah sebesar Rp1,9 triliun, atau menurun 47,2 persen bila dibandingkan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,6 triliun. Penurunan dana investasi Pemerintah tersebut terutama disebabkan oleh adanya realokasi dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) ke dana bergulir. Alokasi dana investasi Pemerintah terdiri dari: (1) dana investasi Pemerintah (reguler) sebesar Rp1,0 triliun; dan (2) pembiayaan kredit investasi Pemerintah sebesar Rp853,9 miliar. Investasi Pemerintah (Reguler) Sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara juncto PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, kepada Pemerintah diamanatkan untuk dapat melakukan investasi jangka panjang, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Alokasi anggaran untuk investasi Pemerintah (reguler) saat ini dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah, yang merupakan instansi Pemerintah pada Kementerian Keuangan yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya, kebijakan dana investasi Pemerintah diarahkan untuk menggerakkan sektor riil dalam rangka pengembangan investasi di Indonesia. Penempatan dana investasi Pemerintah dilaksanakan melalui investasi langsung (direct investment) dengan cara penyertaan modal dan pemberian pinjaman untuk infrastruktur, transportasi pelabuhan, energi, perumahan, dan bidang lainnya. Melalui pelaksanaan kebijakan investasi dimaksud, diharapkan dapat dicapai tujuan pelaksanaan investasi Pemerintah, yaitu untuk mendapatkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Proyeksi kebutuhan dana investasi Pemerintah untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp1,0 triliun, dengan total dana investasi selama tahun 2006 s.d diperkirakan sebesar Rp7,4 triliun, dengan rincian: (a) saldo awal dana investasi Pemerintah sebesar Rp6,1 triliun; (b) perkiraan VI-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

370 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI keuntungan terdahulu (2010) sebesar Rp300,0 miliar; dan (c) alokasi RAPBN 2011 sebesar Rp1,0 triliun. Dana investasi Pemerintah tersebut direncanakan pada kegiatan-kegiatan yang mengacu pada program Pemerintah terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur dan bidang-bidang lainnya, seperti energi, transportasi, jalan tol, pelabuhan, dan pertambangan. Pada dasarnya alokasi dana investasi Pemerintah (reguler) tersebut pada tahun 2011 masih akan menitikberatkan pada bidang infrastruktur (60 persen dari total portofolio) disamping untuk pendirian SPV (anak perusahaan) dan bidang investasi low carbon dalam rangka penanggulangan Climate Change. Pembiayaan Kredit Investasi Pemerintah Kegiatan pembiayaan kredit investasi Pemerintah dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp853,9 miliar, yang akan digunakan untuk membiayai: (1) kredit pengendalian polusi untuk usaha kecil dan menengah Rp16,0 miliar; (2) kredit perkebunan swasta nasional Rp117,9 miliar; serta (3) kredit usaha mikro kecil dan menengah Surat Utang Pemerintah (SUP) 005 Rp720,0 miliar. Sumber pendanaan pembiayaan kredit investasi Pemerintah ini berasal dari RKUN yang secara khusus diperuntukkan bagi pembiayaan kredit investasi pemerintah. B. Penyertaan Modal Negara Kepada BUMN Dalam RAPBN tahun 2011, Pemerintah merencanakan alokasi dana untuk PMN kepada BUMN sebesar Rp6,4 triliun, atau lebih tinggi Rp370,1 miliar atau 6,1 persen dari alokasi dana PMN dalam APBN-P 2010 yang direncanakan sebesar Rp6,0 triliun. PMN tersebut akan dialokasikan untuk PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) sebesar Rp1,5 triliun, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo (KUR) sebesar Rp2,0 triliun, PT Dirgantara Indonesia (Persero) sebesar Rp127,0 miliar, PT Pupuk Iskandar Muda (Persero) sebesar Rp1,3 triliun, Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV sebesar Rp0,1 miliar, Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia V sebesar Rp0,1 miliar, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) sebesar Rp1,0 triliun, dan PT Geo Dipa Energi sebesar Rp443,5 miliar. PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Pendirian PT PII oleh pemerintah dimaksudkan untuk: (1) memberikan penjaminan pada proyek kerjasama pemerintah dan badan usaha/swasta (KPS) di bidang infrastruktur; (2) meningkatkan creditworthiness atas proyek-proyek KPS infrastruktur melalui pemberian penjaminan atas risiko politik yang kredibel; dan (3) meningkatkan governance atas pemberian penjaminan atas risiko politik. Sesuai dengan Anggaran Dasar PT PII, modal dasar perseroan ditetapkan sebesar Rp4,0 triliun, dan penambahan PMN sebesar Rp1,0 triliun pada tahun 2011 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan modal dasar perseroan secara bertahap, setelah pada tahun 2010 PT PII mendapatkan PMN sebesar Rp1,0 triliun. Disamping untuk meningkatkan kecukupan modal sesuai anggaran dasar perseroan, penambahan PMN kepada PT PII diharapkan akan dapat meningkatkan kredibilitas penjaminan dan leverage kemampuan keuangan perseroan untuk memperoleh dukungan dan melakukan kerjasama keuangan/pendanaan dengan multilateral agencies (World Bank, ADB, dll) dan institusi finansial lainnya. Selain itu, tambahan PMN kepada PT PII diharapkan juga akan memberikan persepsi positif bagi investor, mengingat kesiapan penjaminan akan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-37

371 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal menjadi lebih pasti, dengan pengalokasian risiko yang lebih transparan, sehingga investasi proyek-proyek infrastruktur dapat memadai dan terlaksana sesuai dengan jadwal. PT Askrindo dan Perum Jamkrindo (KUR) PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo sebesar Rp2,0 triliun dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas usaha, dan memperkuat struktur permodalan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor riil oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebagaimana diamanatkan dalam Inpres 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM, guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, pelaksanaan program KUR ditujukan untuk mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Penambahan PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk melanjutkan revitalisasi program KUR, yang telah mulai dilaksanakan pada tahun Revitalisasi program KUR ini penting, mengingat besarnya kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional. Sementara itu, di sisi lain kendala utama pengembangan UMKM adalah akses permodalan dan pemasaran. Dengan revitalisasi program KUR melalui ekspansi penyaluran KUR, diharapkan dapat meningkatkan akses permodalan UMKM sehingga dapat meningkatkan secara signifikan jumlah penerima fasilitas KUR. Dengan perkiraan gearing ratio sebesar 10 kali, maka tambahan PMN tersebut akan meningkatkan kemampuan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo untuk melakukan penjaminan KUR sebesar Rp20,0 triliun. Peningkatan kemampuan penjaminan tersebut diharapkan dapat mendukung program pemerintah untuk melakukan ekspansi KUR sebesar Rp20,0 triliun per tahun mulai tahun 2010 sampai dengan Ekspansi program KUR tersebut diharapkan dapat menjangkau hingga 13,22 juta pengusaha UMKM, dan mampu menyerap tenaga kerja sampai dengan 30,82 juta orang, dan akan mampu memberi kehidupan kepada 176 juta penduduk Indonesia (diasumsikan 13,2 juta pengusaha dan 30,8 juta tenaga kerja memiliki 1 istri/suami dan 2 anak). PT Dirgantara Indonesia (PT DI) PMN kepada PT DI sebesar Rp127,0 miliar merupakan konversi dari dana talangan (utang) yang diterima PT DI dari eks BPPN. Pada tahun 2000, BPPN telah melaksanakan restrukturisasi utang PT DI menjadi penyertaan modal sementara (PMS), sesuai dengan persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Nomor Kep.03/K.KKSK/11/2000 tanggal 10 November Penetapan perubahan status PMS menjadi PMN kepada PT DI tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah, sehingga Pemerintah berhak atas dividen dari penambahan PMN tersebut. Dengan demikian, PMN untuk PT DI yang berasal dari pelunasan pinjaman kepada eks BPPN bersifat in-out (Hasil Pengelolaan Aset dan PMN) dalam pembiayaan. PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) PMN kepada PT PIM sebesar Rp1,3 triliun berasal konversi utang pokok SLA sebesar USD151,6 juta, sebagai bagian dari restrukturisasi utang yang telah mendapat rekomendasi Komite Kebijakan, sebagaimana termuat dalam Berita Acara Pembahasan (BAP) Nomor VI-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

372 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI BA-02/KOMITE/2009 tanggal 6 Maret 2009, dan sesuai surat persetujuan Menteri Keuangan Nomor S-716/MK.05/2009. Sama dengan PMN kepada PT DI, PMN untuk PT PIM yang berasal dari pelunasan utang pokok SLA bersifat in-out (penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dan PMN) dalam pembiayaan. Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV dan V Sementara itu, pada tahun 2011 Pemerintah juga merencanakan untuk mengalokasikan PMN kepada Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV, dan Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia V untuk mendukung penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar perdana internasional dalam tahun 2011, dan untuk mengantisipasi penerbitan SBSN valas di awal tahun Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN. Untuk memenuhi persyaratan pendirian sebagai badan hukum, Perusahaan Penerbit harus memiliki modal. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, modal pendirian tersebut berasal dari APBN dan merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Adapun besar modal Perusahaan Penerbit SBSN yang didirikan Pemerintah adalah sebesar Rp100 juta untuk setiap Perusahaan Penerbit. PT Sarana Multigriya Finansial (PT SMF) PT SMF adalah perusahaan yang ditugaskan pemerintah untuk mengupayakan terbentuknya mekanisme pasar pembiayaan sekunder perumahan yang efisien, yang secara bertahap diharapkan mampu mendorong turunnya tingkat bunga KPR. Pembentukan mekanisme pasar dimaksud, dilakukan dengan mengalirkan dana dari pasar modal ke sektor perumahan melalui penyediaan fasilitas pinjaman dan sekuritisasi. Penambahan PMN kepada PT SMF sebesar Rp1,0 triliun diperlukan untuk memperkuat struktur modal perseroan, sehingga secara bertahap perseroan dapat mulai berperan sebagai guarantor terhadap efek berbasis KPR. Penambahan PMN kepada PT SMF diharapkan akan memberikan beberapa manfaat, yaitu: (1) menggerakkan perekonomian melalui sektor perumahan; (2) membangun sistem pembiayaan perumahan yang efisien serta berorientasi pasar; (3) mengembangkan pasar modal; dan (4) memperluas pilihan investasi investor. PT Geo Dipa Energi PT Geo Dipa Energi merupakan anak usaha PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) yang berdiri sejak tahun 2002, dan bergerak dalam bidang usaha pembangkit listrik tenaga panas bumi, yang saat ini mengelola proyek PLTP di Dieng dan Patuha. Saat ini, PT Pertamina (Persero) memiliki 67 persen saham PT Geo Dipa Energi, dan sisanya dimiliki PT PLN (Persero). Seiring dengan perkembangannya, maka dalam rangka untuk lebih menfokuskan diri pada pengembangan panas bumi di Indonesia, PT Geo Dipa Energi direncanakan akan diubah menjadi sebuah BUMN. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam RAPBN tahun 2011 pemerintah merencanakan akan mengalokasikan PMN kepada PT Geo Dipa Energi sebesar Rp443,5 miliar. Pengalokasian PMN tersebut dilakukan dalam rangka rencana pengalihan PT Geo Dipa Energi menjadi BUMN dengan pengalihan saham PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) pada PT Geo Dipa Energi senilai Rp443,5 miliar. PMN tersebut tidak bersifat tunai, karena berasal dari hibah saham PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) kepada Pemerintah. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-39

373 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal C. Penyertaan Modal Negara Untuk Organisasi/Lembaga Keuangan Internasional (LKI) Selain kepada beberapa BUMN, Pemerintah juga berencana mengalokasikan PMN kepada beberapa organisasi/lembaga keuangan internasional (LKI) sebesar Rp721,5 miliar, yaitu untuk (1) Islamic Development Bank (IDB) sebesar Rp117,5 miliar; (2) The Islamic Corporation for the Development of Private Sector sebesar Rp28,5 miliar; (3) Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp371,9 miliar; (4) International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) sebesar Rp40,0 miliar; (5) International Finance Corporation (IFC) sebesar Rp8,6 miliar; (6) International Fund for Agricultural Development (IFAD) sebesar Rp15,0 miliar; serta (7) Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) sebesar Rp140,0 miliar. Adapun alokasi PMN kepada organisasi/lki ke dalam pembiayaan baru dilakukan dalam RAPBN tahun 2011, setelah sebelumnya dialokasikan melalui belanja lainlain. Realokasi dari belanja lain-lain ke pembiayaan tersebut, sesuai dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Islamic Development Bank (IDB) IDB didirikan tahun 1975 dalam agreement yang ditandatangani oleh 22 negara, dan saat ini jumlah anggota sudah mencapai 57 negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor Pusat IDB di Jeddah, Saudi Arabia dan Regional di Maroko, Malaysia dan Kazakhstan, serta memiliki Field Representative di setiap negara anggota, termasuk di Indonesia. Berkenaan dengan keanggotaan Indonesia pada IDB, Indonesia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, diantaranya adalah penyetoran modal IDB. Sampai dengan akhir tahun 2008, total penyertaan Indonesia (paid-in) di IDB adalah sebesar Special Drawing Right (SDR) 107,6 juta atau equivalen dengan Rp1,6 triliun. Pada sidang tahunan Dewan Gubernur IDB ke-31 di Kuwait pada tanggal 31 Mei 2006, Dewan Gubernur (Board of Governor/BOG) menyepakati untuk melaksanakan pencairan 70 persen callable capital (jumlah modal yang belum dibayar) dari 2nd General Increase (penambahan modal) IDB melalui resolusi BOG Nomor BG/6-427, yang meminta kepada masing-masing negara anggota IDB untuk melunasi komitmen atas 2nd General Increase IDB dengan pembayaran setiap 6 bulan sekali selama 5 tahun (10 kali pembayaran). The 2nd general increase IDB telah disetujui BOG pada 4 Juli 1992 melalui pengesahan resolusi Nomor BG/(SM) Subskripsi Indonesia adalah sebesar Islamic Dinar (ID) yang mana sebesar 30 persennya telah lunas dibayar dalam 10 kali cicilan sejak tahun 1992 sampai tahun Sesuai dengan resolusi Nomor BG/6-427 diatas, Indonesia harus melunasi 70 persen dari subskripsi (bagian dari saham yang diambil) 2nd General Increase IDB atau sebesar ID42,8 juta (Islamic Dinar) harus dilunasi dalam 10 kali pembayaran dalam lima tahun atau setiap enam bulan membayar masing-masing sebesar ID4,3 juta. Pada tahun 2011 Indonesia akan membayar cicilan yang ke-10, yaitu ID4,3 juta yang akan jatuh tempo pada tanggal 31 Mei Selain itu, karena kekeliruan administrasi, pada tahun 2009, Indonesia hanya merealisasikan pembayaran sebesar Rp80,7 miliar, atau setara dengan ID5,3 juta, sehingga terjadi kekurangan pembayaran ID3,2 juta. Dengan demikian, total pembayaran tahun 2011 adalah sebesar ID7,5 juta, atau setara dengan Rp117,5 miliar (kurs SDR1=USD0,637881, per 31 Desember 2009). VI-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

374 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI The Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD) ICD adalah salah satu institusi di bawah IDB Group yang mempunyai peran meningkatkan pembangunan ekonomi sektor swasta di negara anggota. Pada General Assembly (Sidang Umum) yang ke-9 di Ashgabat, Turkmenistan pada tahun 2009, telah disetujui kenaikan modal ICD, yaitu kenaikan authorized capital dari USD1,0 miliar menjadi USD2,0 miliar, dan subscribed capital dari USD500,0 juta menjadi USD1,0 miliar. Sesuai dengan article agreement ICD, Indonesia berkesempatan untuk melakukan subscribed sebanyak 475 share, atau senilai USD4,75 juta, yang dapat dicicil selama 5 kali cicilan, atau masing-masing sebesar USD950 ribu mulai tahun Menteri Keuangan melalui Surat Nomor S-739/ MK.011/2009 tanggal 2 Desember 2009 telah menyetujui untuk ikut serta dalam kenaikan modal IDB dimaksud. Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membayar cicilan pertama pada tahun Namun, karena Pemerintah Indonesia belum mengalokasikan pembayaran subscribed tersebut pada APBN tahun 2009 dan 2010, maka pembayaran tahun akan dilakukan sekaligus pada tahun 2011 sebesar Rp28,5 miliar. Asian Development Bank (ADB) ADB merupakan lembaga keuangan terbesar setelah Bank Dunia. Total aset ADB adalah sebesar USD70,5 miliar, dan total pinjaman ADB, yaitu sebesar USD30,3 miliar. Pemegang saham terbesar ADB adalah Jepang dan AS masing-masing sebesar 15,57 persen. Kemudian diikuti China, India, Australia, dan Indonesia masing-masing sebesar 6,4 persen, 6,3 persen, 5,7 persen, dan 5,4 persen. Sisanya sebesar 54,9 persen dibagi ke 61 negara anggota lainnya. Sebagai pemegang saham besar, Indonesia juga menerima manfaat dari keberadaan ADB. Sementara itu, berkenaan dengan terjadinya krisis global, berdasarkan keputusan Dewan Gubernur pada sidang tahunan ADB ke-42 di Bali, BOG menyetujui kenaikan capital increase (general capital increase/gci) sebesar 200 persen, di mana atas kenaikan tersebut, sebesar 4 persen dibayar tunai (paid-in). Indonesia berkewajiban untuk menambah setoran modal sebesar USD185,97 juta, atau equivalen dengan Rp1,9 triliun, yang akan dicicil selama 5 tahun mulai 1 April 2010, sehingga setiap tahunnya Pemerintah perlu menyediakan dana sebesar Rp371,9 miliar. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2011, Pemerintah mengalokasikan PMN sebagai kewajiban untuk melakukan pembayaran cicilan ke-2 GCI ke-5 ADB yaitu sebesar Rp371,9 miliar. International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) IBRD, atau Bank Dunia untuk pembangunan dan pemulihan adalah badan internasional yang bergerak di bidang perbankan untuk pembangunan dan kemajuan negara-negara berkembang. IBRD berdiri pada tanggal 27 Desember 1945, yang berkedudukan di Washington DC, Amerika Serikat. Badan ini bertujuan memberikan bantuan, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek kepada negara-negara yang sedang berkembang. Pengoperasian Bank Dunia yang berasal dari kontribusi negara anggota melalui penyetoran modal diatur piagam pendirian IBRD. Penyetoran modal pada IBRD dilakukan dalam dua bentuk, yaitu tunai (cash) dan penerbitan promissory note. Pada akhir tahun 2008, total penyertaan Indonesia (paid-in) di IBRD adalah sebesar USD110,2 juta atau equivalen dengan Rp1,2 triliun. Pada tahun 2010, terdapat penerbitan promissory note baru sebesar Rp75,9 miliar untuk keperluan maintenance of value share Indonesia per 30 Juni Atas promissory note Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-41

375 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal tersebut, sudah disepakati oleh alternate executive director (direktur eksekutif pengganti) untuk Indonesia di Washington DC agar dibayar dalam 2 kali cicilan, yaitu sebesar Rp40,0 miliar pada tahun 2011, dan sisanya akan dilunasi pada tahun Sehubungan dengan itu, pada tahun 2011, Pemerintah merencanakan mengalokasikan PMN kepada IBRD sebesar Rp40,0 miliar International Finance Corporation (IFC) IFC adalah sebuah lembaga di bawah Group Bank Dunia yang didirikan pada tahun 1956, dengan tujuan untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan mendorong perkembangan perusahaan swasta yang produktif dalam negara-negara anggota, terutama di daerah tertinggal. IFC adalah lembaga multilateral terbesar yang menyediakan dana pinjaman dan pembiayaan untuk sektor swasta di negara-negara berkembang. IFC mendorong pengembangan berkelanjutan sektor swasta melalui: 1. Pembiayaan proyek dan perusahaan di negara-negara berkembang. 2. Membantu perusahaan swasta di negara-negara berkembang dan memobilisasi pembiayaan dari pasar uang internasional. 3. Memberikan masukan dan bantuan teknik untuk kalangan bisnis dan Pemerintah. Di Indonesia, IFC mempunyai 3 obyek utama, yaitu: mengurangi dampak perubahan iklim, meningkatkan pendapatan perdesaan, dan mendorong urbanisasi yang berkelanjutan. Markas IFC berpusat di Washington DC, USA. Dengan modal awal USD100 juta, IFC saat ini beranggotakan 182 negara (masing-masing negara menunjuk 1 Governor dan 1 Alternate Governor), dan mempunyai share capital sebesar USD2,4 milyar. Di Indonesia, IFC mulai aktif sejak tahun Berdasarkan pertemuan Development Committee pada tanggal Februari 2010, diperoleh aklamasi kesetaraan saham IFC dengan IBRD (47 persen di phase ke 2) di kemudian hari, dengan kenaikan saham DTCs bertahap dari 33 persen menjadi 42,5 persen melalui increase basic vote (penambahan hak suara dasar) menjadi 5,5 persen, dan sisanya sekitar 8 persen melalui selective capital increase (SCI) USD300,0 juta dengan penawaran ke DTCs (Developing and Transition countries) yang berminat (preferensi diberikan ke DTCs under represented atau negara berkembang dan transisi yang keterwakilannya kurang). Saham Indonesia di IFC adalah sebesar 1,2 persen, atau sebesar USD28,5 juta atau sekitar Rp259,2 miliar (kurs USD1 = Rp9.083). Dengan kesepakatan di atas, saham Indonesia berpotensi menurun menjadi 1,04 persen. Untuk menghindari terdilusinya saham Indonesia di IFC, Indonesia perlu berkontribusi sebesar USD4,29 juta, yang dapat dicicil selama 5 tahun. Dengan demikian, pembayaran penyertaan modal negara untuk IFC pada tahun 2011 adalah USD858 ribu atau equivalen Rp8,6 miliar. International Fund for Agricultural Development (IFAD) IFAD adalah lembaga khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan sebagai sebuah lembaga keuangan pada tahun IFAD adalah salah satu hasil dari Konferensi Pangan Internasional tahun 1974, dimana konferensi tersebut merupakan tanggapan atas krisis pangan yang terutama melanda negara di Afrika di awal tahun 1970-an. Konferensi tersebut sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga keuangan internasional yang berfungsi sebagai badan untuk mendanai pembangunan pertanian. VI-42 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

376 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Sebagai negara anggota, Indonesia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, yang diantaranya adalah penyertaan modal pada IFAD. Total penyertaan modal negara Indonesia di IFAD sejak awal hingga replenishment VII adalah sebesar USD46,96 juta. Pada sidang tahunan Dewan Gubernur ke-31 di Roma, Italia pada tanggal Februari 2009, para Gubernur menyetujui usulan manajemen IFAD untuk melakukan replenishment (penambahan modal) ke-8 IFAD dalam rangka meningkatkan peranan IFAD dalam upaya penanganan kemiskinan, perubahan iklim, dan kenaikan harga pangan. Pemerintah RI telah berkomitmen untuk berpartisipasi pada replenishment ke-8, di mana Pemerintah memberikan kontribusi sebesar USD5,0 juta, yang akan dicicil selama tiga kali, yaitu sebesar USD1,5 juta pada tahun 2010 dan 2011, dan sebesar USD2,0 juta pada tahun Dengan demikian, pada tahun 2011 Pemerintah mengalokasikan PMN kepada IFAD sebesar Rp15,0 miliar. Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) Pada pertemuan para Menteri Keuangan ASEAN+3 (Negara ASEAN dan Jepang, Korea, China) yang ke-12 di Bali, tanggal 3 Mei 2009, para Menteri sepakat untuk membentuk Credit Guarantee and Investment Mechanism (CGIM), yang kemudian berubah nama menjadi Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF). CGIF adalah sebuah trust fund yang ditujukan untuk: (i) mendorong penerbitan obligasi swasta bermata uang lokal; (ii) meningkatkan akses pasar bagi issuer dengan rating minimal investment grade; dan (iii) memberikan jaminan dengan biaya rendah. Modal awal yang disepakati adalah sebesar USD500,0 juta, yang diperoleh dari kontribusi negara-negara ASEAN+3, dan ADB selaku pengelola trust fund tersebut. Dari modal awal yang disepakati, Jepang dan Cina masing-masing telah berkomitmen untuk berkontribusi sebesar USD200,0 juta, sedangkan Korea berkontribusi sebesar USD100,0 juta. Mengingat modal awal yang semula disepakati telah tercukupi oleh negara-negara pluss three, ADB dan negara-negara ASEAN berkomitmen untuk juga berkontribusi pada CGIF. Dalam hal ini, ADB akan berkontribusi sebesar USD130,0 juta, sedangkan negara-negara ASEAN sepakat untuk berkontribusi secara kolektif dengan jumlah minimal 10 persen dari total modal awal yang diperkirakan menjadi USD700,0 juta. Dengan demikian, kontribusi ASEAN secara kolektif sebesar USD70,0 juta. Dari jumlah tersebut, mengingat potensi pengguna di negara ASEAN adalah negara-negara ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, dan Singapura), maka akan diupayakan untuk ditanggung secara bersama oleh 1 Islamic Development Bank (IDB) 117,5 2 The Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD) 28,5 3 Asian Development Bank (ADB) 371,9 4 International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) 40,0 5 International Finance Corporation (IFC) 8,6 6 International Fund for Agricultural Development (IFAD) 15,0 7 Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) 140,0 Sumber: Kementerian Keuangan TABEL VI.8 PMN KEPADA ORGANISASI/LKI TAHUN 2011 (miliar rupiah) No Nama Organisasi/LKI Jumlah Jumlah 721,5 ASEAN5 secara equal sharing. Dengan demikian, masing-masing negara akan berkontribusi sebesar USD14,0 juta. Karena itu, pada tahun 2011, Pemerintah mengalokasikan PMN untuk CGIF sebesar Rp140,0 miliar. Adapun Rincian PMN kepada organisasi/lki pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel VI.8. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-43

377 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal D. Dana Bergulir Pemerintah merencanakan mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir dalam RAPBN 2011 sebesar Rp3,8 triliun. Jumlah ini menunjukkan kenaikan sebesar Rp546,6 miliar atau 16,7 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,3 triliun. Kenaikan anggaran dana bergulir dalam RAPBN 2011 tersebut terutama disebabkan oleh adanya realokasi dana FLPP dari dana investasi Pemerintah ke dalam dana bergulir. Dana bergulir KUMKM Alokasi dana bergulir untuk KUMKM dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp250,0 miliar, atau lebih rendah Rp100,0 miliar (28,6 persen) bila dibandingkan dengan pagunya dalam APBN-P Dana bergulir KUMKM tersebut akan digunakan untuk memberikan stimulus bagi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, berupa penguatan modal. Dalam pelaksanannya, BLU LPDB KUMKM merencanakan akan menyalurkan dana bergulir kepada unit KUMKM serta 21 LKB dan LKBB. Dana bergulir FLPP Alokasi dana bergulir untuk FLPP dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp3,6 triliun atau meningkat Rp888,6 miliar (31,0 persen) dibandingkan dengan pagunya dalam APBN-P Dalam APBN-P 2010, dana FLPP semula diklasifikasikan sebagai dana investasi pemerintah, mengingat saat itu Kementerian Perumahan Rakyat belum mempunyai satker Badan Layanan Umum yang akan mengelola dana FLPP. Dengan demikian, dana FLPP semula direncanakan akan disalurkan kepada masyarakat melalui Pusat Investasi Pemerintah Kementerian Keuangan. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 290/KMK.01/2010 tentang Penetapan Pusat Pembiayaan Perumahan (PPP) pada Kementerian Perumahan Rakyat, sebagai instansi Pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU. Selain itu, saat ini telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Peyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana FLPP. Satker BLU Kementerian Perumahan Rakyat tersebut telah ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dana FLPP. Demikian juga, dana FLPP yang telah dikembalikan masyarakat kepada PPP akan digulirkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan. Dana bergulir untuk FLPP tahun 2011 merupakan perubahan dari skema subsidi untuk kredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) untuk mendukung pembangunan rumah sederhana sehat bagi masyarakat yang berpendapatan rendah (MBR). Perubahan skema yang telah mulai dilaksanakan pada APBN-P 2010 tersebut, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun , yang mengatur bahwa untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat, dan mewujudkan kota tanpa permukinan kumuh, antara lain dilakukan dengan: (a) menyempurnakan pola subsidi sektor perumahan yang tepat sasaran, transparan, akuntabel, dan pasti, khususnya subsidi bagi MBR; dan (b) melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro perumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat yang berswadaya dalam pembangunan rumah. VI-44 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

378 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Perubahan skema KPRSh dari subsidi menjadi pembiayaan, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar, baik bagi masyarakat maupun bagi keberlangsungan program KPRSh dalam jangka panjang. Dengan skema baru tersebut, masyarakat dapat menikmati bunga cicilan KPRSh yang rendah sepanjang masa peminjaman, diharapkan tidak melebihi satu digit. Sementara itu, dalam jangka panjang, melalui fasilitas pembiayaan, diharapkan dana yang sudah dikembalikan masyarakat dapat dipergunakan lagi oleh masyarakat yang lain, sehingga dapat mengurangi beban APBN di masa-masa yang akan datang. E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanisme dana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam. Dalam RAPBN 2011, alokasi anggaran untuk dana pengembangan pendidikan nasional direncanakan sebesar Rp2,5 triliun. Jumlah alokasi ini berarti meningkat Rp1,5 triliun atau 150,0 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P 2010 sebesar Rp1,0 triliun. Peningkatan alokasi dana pengembangan pendidikan nasional dalam RAPBN 2011 sejalan dengan meningkatnya alokasi anggaran pendidikan secara keseluruhan. F. Kewajiban Penjaminan Dalam RAPBN tahun 2011, Pemerintah mengalokasikan kewajiban penjaminan sebesar Rp1,0 triliun, yang akan dialokasikan untuk PT PLN (Persero) sebesar Rp889,0 miliar, dan PDAM sebesar Rp147,0 miliar. Kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) tersebut dialokasikan dalam rangka memberikan dukungan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara. Bentuk dukungan dalam dana kewajiban penjaminan adalah Pemerintah memberikan jaminan penuh (full guarantee) terhadap PT PLN (Persero) atas pembayaran kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik ( MW), apabila terjadi gagal bayar pada saat jatuh tempo. Kebijakan tersebut didukung dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun Sementara itu, dana kewajiban penjaminan untuk PDAM dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp147,0 miliar, yang diperuntukkan dalam rangka percepatan penyediaan air minum bagi masyarakat. Dana penjaminan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perbankan nasional dalam memberikan kredit investasi kepada PDAM. Sementara itu, PDAM juga diberikan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat atas kewajiban pembayaran kredit investasi PDAM kepada bank. Kebijakan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum serta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Dana Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-45

379 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal penjaminan kepada PDAM akan diberikan dalam hal PDAM gagal membayar atas sebagian atau seluruh kewajiban yang telah jatuh tempo. Pemerintah pusat akan menanggung sebesar 70 persen, dan sisanya sebesar 30 persen menjadi risiko bank yang memberikan kredit investasi. Dari dana penjaminan sebesar 70 persen tersebut, realisasi pembayaran penjaminan oleh Pemerintah akan diperhitungkan sebagai pinjaman kepada PDAM sebesar 40 persen, dan sisanya sebesar 30 persen sebagai beban pemerintah daerah Kebijakan Pembiayaan Utang Kebutuhan Pembiayaan pada tahun 2011 sebagian besar akan dipenuhi dari pembiayaan utang yang dapat dikelompokkan menjadi utang yang bersumber dari SBN dan pinjaman baik dalam negeri maupun luar negeri. Pembiayaan utang ditargetkan sebesar Rp123,5 triliun yang terdiri dari SBN neto sebesar Rp125,5 triliun, pinjaman luar negeri neto sebesar negatif Rp3,0 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,0 triliun. Dengan adanya kebutuhan pembiayaan melalui utang, tambahan utang pada akhir tahun 2011 akan mempengaruhi jumlah utang secara keseluruhan Gambaran Umum Pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang dilakukan dengan memanfaatkan instrumen utang yang telah ada melalui berbagai kombinasi komposisi mata uang, tenor, jenis bunga, basis investor, dan lain lain yang bertujuan mengendalikan biaya dan risiko utang. Hal ini searah dengan kebijakan pengelolaan utang yang tercantum dalam strategi pengelolaan utang jangka menengah yang mengedepankan efisiensi terhadap biaya utang dan efektifitas pemanfaatan utang dengan tetap memperhatikan risiko yang terkandung dalam utang. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan pembiayaan utang yang ditempuh perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan pengadaan/ penerbitan utang, antara lain (i) biaya dan risiko yang melekat dalam portofolio utang, (ii) perkembangan kondisi pasar keuangan yang dapat mempengaruhi biaya utang, (iii) kapasitas daya serap pasar keuangan domestik dan country ceiling/single country limit untuk pengadaan pinjaman, dan (iv) sisa komitmen pinjaman yang telah ditandatangani. Selain itu juga mempertimbangkan pengembangan pasar SBN, pengelolaan kas yang mencakup proyeksi kebutuhan kas baik rupiah maupun valas, posisi cadangan devisa, dan pengelolaan assets liabilities Pemerintah dan BI. Biaya dan risiko utang yang harus ditanggung merupakan konsekuensi dari pemilihan alternatif pembiayaan melalui utang. Biaya utang meliputi bunga atas outstanding utang dan biaya lain seperti biaya penerbitan SBN yang tercermin dari diskon pada SBN regular, biaya penerbitan yang diberikan kepada agen penjual SBN ritel dan valas, biaya komitmen, serta management fee atas pinjaman. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi biaya bunga, antara lain karakteristik pemberi pinjaman/investor, jenis instrumen utang yang diterbitkan/diadakan, dan kondisi pasar keuangan termasuk nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta pergerakan tingkat bunga. Pada umumnya dalam portofolio utang Pemerintah, pinjaman luar negeri memiliki tingkat bunga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan utang dalam bentuk surat berharga, khususnya pinjaman yang bersifat lunak (concessional). Seiring berkurangnya pinjaman lunak tersebut dan semakin bertambahnya porsi SBN, akan berpotensi meningkatkan biaya utang. Selain itu untuk penerbitan SPN dan obligasi tanpa bunga akan memberikan dampak biaya yang relatif VI-46 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

380 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI lebih besar pada tahun penerbitan yang disebabkan seluruh biaya kedua instrumen tersebut dibebankan langsung pada saat penerbitan. Seiring dengan perkembangan pasar keuangan global yang baru pulih dari kondisi krisis, pengelolaan utang menghadapi tantangan terkait dengan pengelolaan risiko pasar, berupa risiko perubahan tingkat bunga dan risiko nilai tukar. Selain itu, utang-utang jatuh tempo dalam jangka pendek juga menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pengelolaan risiko pembiayaan kembali. Sampai dengan bulan Juni 2010, risiko potensial yang mungkin terjadi adalah risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan kembali (refinancing risk). Risiko nilai tukar dapat diketahui dengan melihat proporsi utang dengan mata uang asing terhadap outstanding. Semakin tinggi proporsinya semakin besar risiko yang dihadapi. Proporsi utang dalam mata uang asing saat ini masih di atas 40 persen dari total outstanding, sehingga apabila terjadi pelemahan mata uang rupiah maka akan terjadi peningkatan outstanding utang yang diikuti pula oleh meningkatnya kewajiban utang baik pembayaran pokok jatuh tempo maupun bunga dan biaya utang lainnya. Sedangkan refinancing risk diukur berdasarkan durasi utang dan profil jatuh tempo utang. Dalam tiga tahun kedepan refinancing risk portofolio utang Pemerintah cukup tinggi terutama disebabkan oleh tingginya utang yang jatuh tempo pada periode tersebut. Dengan memperhitungkan penerbitan SBN yang dilakukan pada tahun 201o dan penarikan pinjaman tahun 2010, maka pokok jatuh tempo pada periode tersebut akan semakin besar sehingga refinancing risk berpotensi semakin tinggi. Pada tahun 2011, pokok utang yang jatuh tempo diperkirakan sebesar Rp132,1 triliun miliar yang terdiri dari SBN sebesar Rp84,0 triliun dan pinjaman sebesar Rp48,1 triliun. Perkiraan jatuh tempo SBN telah memperhitungkan rencana operasi pasar dalam program debt switch dan penerbitan SPN pada Semester II Selain faktor tersebut di atas, perlu dipertimbangkan pula daya serap pasar SBN untuk menentukan jumlah target penerbitan SBN oleh Pemerintah yang wajar agar biaya dan risiko utang dapat optimal. Daya serap pasar SBN, antara lain ditentukan oleh kondisi makro ekonomi, likuiditas pasar keuangan, aliran dana asing, perkembangan suku bunga, perkembangan nilai tukar, pertumbuhan aset kelolaan investor institusi, dan ketersediaan instrumen yang sesuai dengan keinginan investor. Terkait dengan hal tersebut, alternatif jenis instrumen yang diterbitkan dan jenis/tipe investor yang menjadi sasaran serta tenor yang dipilih menjadi sangat penting. Untuk instrumen pinjaman yang perlu diperhatikan adalah fasilitas yang masih dapat disediakan oleh lender dimana negara debitur dapat melakukan pengadaan/penarikan pinjaman atau biasa dikenal sebagai single country limit. Besaran fasilitas yang tersedia tersebut merupakan batas maksimum pengadaan pinjaman /komitmen yang tidak dapat dilampaui. Apabila single country limit terlampaui maka konsekuensinya lender akan mengenakan kenaikan biaya sebagai wujud dari kenaikan risiko negara tersebut. Selanjutnya sisa komitmen pinjaman perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan pengadaan utang karena mempengaruhi prioritas penarikan pinjaman yang sedang berjalan. Sisa komitmen merupakan bagian dari fasilitas pinjaman yang sudah disepakati, namun belum ditarik untuk pembiayaan kegiatan. Sisa komitmen yang belum dimanfaatkan akibat rendahnya kemampuan penyerapan berpotensi menambah biaya utang dan meningkatkan opportunity cost. Untuk itu diperlukan pemanfaatan sisa komitmen pinjaman secara tepat waktu melalui peningkatan kualitas usulan dan perencanaan kegiatan misalnya peningkatan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-47

381 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal kualitas penyusunan feasibility study, dan kesiapan serta peningkatan kualitas pelaksanaan kegiatan. BOX VI. 2 Penerbitan Sukuk Negara Dengan Underlying Proyek Menurut Undang-Undang SBSN, Sukuk Negara dapat diterbitkan dengan berbagai akad, antara lain Ijarah, Mudharabah, Musyarakah, Istishna, dan akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, atau kombinasi dua atau lebih akad-akad tersebut. Sampai dengan saat ini, penerbitan SBSN sebagian besar menggunakan akad Ijarah, terutama Ijarah Sale and Lease Back yang menggunakan underlying Barang Milik Negara selain Ijarah Al Khadamat menggunakan jasa-jasa (services) pelayanan haji atau Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) dan dari sisi pemanfaatan hasil penerbitan tersebut seluruhnya digunakan untuk keperluan pembiayaan umum APBN (general financing). Mekanisme penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying penerbitan Sukuk Negara (Ijarah Sale and Lease Back), antara lain adalah : (i) BMN yang digunakan sebagai underlying merupakan BMN yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis yang dapat diukur, berupa tanah, dan/atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan. BMN yang akan digunakan harus telah mendapat persetujuan dari DPR, (ii) Jenis, nilai, dan spesifikasi BMN ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku pengelola kekayaan negara, (iii) Penggunaannya dengan cara disewakan, dijual, atau cara lain yang sesuai dengan prinsip syariah; (iv) Pada saat jatuh tempo SBSN, underlying asset akan dibeli kembali oleh Pemerintah sebesar nilai nominal SBSN; (v) Menteri sebagai Pengelola BMN akan meminta persetujuan DPR, pada saat penyusunan RAPBN, (vi) diterbitkannya notification letter terhadap BMN yang sedang digunakan oleh instansi pengguna, dan (vii) Penjualan BMN, hanya berupa hak manfaatnya (beneficial title) tanpa disertai pemindahtanganan fisik dan perubahan status kepemilikan (legal title). Mekanisme penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dimaksudkan bahwa instansi pengguna BMN, masih menggunakan BMN tersebut dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansinya. Penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN ini, akan mendorong tertibnya administrasi dalam pengelolaan aset Negara. Selain itu, pada BMN yang telah menjadi underlying penerbitan SBSN tidak akan terjadi peralihan kepemilikan aset negara kepada pihak lain. Di lain pihak, konsekuensi dari usulan penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tidak menyebabkan BMN dijaminkan/digadaikan oleh pihak tertentu karena tetap dalam penguasaan negara. Sebagai upaya diversifikasi jenis dan struktur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara, saat ini Pemerintah sedang mengkaji kemungkinan untuk penerbitan SBSN dengan underlying asset berupa proyek. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN, proyek yang dapat dibiayai melalui penerbitan SBSN adalah proyek yang telah mendapat alokasi dalam APBN. Pembiayaan proyek melalui penerbitan SBSN tersebut selaras dengan tujuan RPJM, yaitu antara lain dalam rangka (i) percepatan pembangunan infrastruktur, (ii) peningkatan pelayanan umum, (iii) pemberdayaan industri dalam negeri, dan/atau (iv) kegiatan investasi Pemerintah. Sukuk berbasis proyek (project based sukuk) telah diterbitkan oleh beberapa negara (sovereign) dan korporasi, terutama negara-negara di Timur Tengah. Untuk merealisasikan penerbitan SBSN proyek, Pemerintah saat ini sedang menyiapkan penyusunan infrastruktur hukum (Peraturan Pemerintah dan beberapa peraturan pelaksananya), dan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, termasuk desain instrumen yang akan digunakan. VI-48 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

382 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI BOX VI. 3 Perbaikan Struktur Portofolio Utang Upaya perbaikan struktur utang atau yang seringkali dikenal pula dengan upaya restrukturisasi dilakukan dengan tujuan, antara lain untuk mengurangi risiko yang dihadapi pengelola utang seperti risiko refinancing, risiko nilai tukar, dan risiko tingkat bunga. Upaya tersebut dapat dilakukan terhadap utang, baik yang berasal dari instrumen SBN maupun pinjaman. Restrukturisasi yang dilakukan terhadap SBN relatif lebih mudah dilakukan karena SBN merupakan instrumen pasar keuangan yang sifatnya fleksibel. Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini dalam melakukan restrukturisasi instrumen SBN antara lain melalui pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback) maupun penukaran instrumen utang (debt switch). Pembelian kembali atau buyback merupakan transaksi yang dilakukan untuk melunasi SBN sebelum waktu jatuh tempo. Transaksi ini dapat digunakan untuk (i) mengurangi risiko refinancing, yang dilakukan dengan membeli kembali surat utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek, (ii) mengurangi risiko tingkat bunga, terutama apabila buyback diarahkan untuk membeli kembali surat utang yang memiliki tingkat bunga yang relatif tinggi, (iii) pengembangan pasar, yang dilakukan dengan membeli kembali surat utang yang tidak ditransaksikan (off the run), dan (iv) untuk tujuan stabilitas pasar bila terjadi market instability misalnya harga SBN yang volatile atau cenderung turun tajam dalam waktu yang singkat karena berbagai sebab. Dalam pelaksanaannya, sampai saat ini Pemerintah lebih mengedepankan buyback yang digunakan untuk tujuan mengurangi risiko refinancing dan untuk tujuan stabilitas pasar. Debt switch merupakan transaksi simultan antara pembelian kembali (buyback) dan penerbitan SUN baru kepada investor yang sama, sehingga sifatnya lebih kepada voluntary basis. Sebagaimana mekanisme buyback, debt switch dapat digunakan untuk (i) mengurangi risiko refinancing, dengan menarik surat utang yang akan jatuh tempo dalam jangka pendek dan menggantikannya dengan surat utang yang memiliki jatuh tempo lebih panjang, (ii) mengurangi risiko tingkat bunga dengan menukar surat utang dengan tingkat bunga mengambang dengan surat utang dengan tingkat bunga tetap, (iii) pengembangan pasar, misalnya dengan menukar off the run bond dengan on the run bond. Upaya Pemerintah untuk melaksanakan debt switch selama dalam rangka mengurangi risiko refinancing telah memperpanjang rata-rata jatuh tempo utang pemerintah dari 3,79 tahun dan 2,77 tahun menjadi 13,69 dan 20,35 tahun. Upaya untuk memperbaiki struktur pinjaman luar negeri juga dapat dilakukan akan tetapi cenderung lebih sulit karena sering adanya restriksi dalam perjanjian pinjaman terutama pinjaman lunak dan dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Selama ini, upaya perbaikan struktur portofolio utang khususnya bagi instrumen pinjaman masih dilakukan dalam koridor transaksi bilateral (lender by lender). Upaya tersebut dilakukan salah satunya dengan perubahan terms and conditions perjanjian pinjaman yang difokuskan untuk mengubah tingkat bunga referensi dan mata uang, dalam hal terbuka kesempatan. Bagi perubahan struktur pembayaran bunga, restrukturisasi dilakukan dengan melakukan amendment atas perjanjian pinjaman dari tingkat bunga mengambang menjadi tingkat bunga tetap ketika kondisi suku bunga secara umum dinilai berada pada titik terendah. Perubahan terms and conditions ini dilakukan dengan pertimbangan untuk mengurangi ketidakpastian pembayaran bunga di masa yang akan datang sebagai konsekuensi dari naik turunnya tingkat bunga mengikuti situasi pasar keuangan. Selain itu, Pemerintah berpotensi melakukan penghematan pembayaran bunga utang seandainya tingkat bunga di masa yang akan datang naik menjadi lebih tinggi dibandingkan saat ini. Perubahan struktur biaya juga dapat dilakukan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-49

383 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal dengan mengubah metode pembayaran dari multi-currency menjadi single currency. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya cash mismatch karena pengeluaran dalam mata uang asing tertentu yang tidak seimbang dengan pemasukannya pada satu periode. Pengurangan outstanding sebagai bagian dari perbaikan struktur portofolio pinjaman luar negeri dapat dilakukan antara lain dengan melakukan debt swap. Debt swap ini dinilai menguntungkan karena Pemerintah yang sebelumnya telah mengalokasikan dana sejumlah tertentu untuk pembayaran cicilan pokok utang, dapat merealokasi anggaran tersebut menjadi program-program pembangunan sesuai kesepakatan dengan lender misalnya melakukan rehabilitasi hutan atau kegiatan pendidikan. Selain itu, debt swap yang dilakukan dengan underlying mata uang Rupiah tidak akan mengganggu stabilitas nilai tukar. Selama ini Pemerintah telah melakukan upaya-upaya restrukturisasi melalui debt swap meskipun harus diakui nilainya masih relatif kecil. Di luar kelebihan fasilitas debt swap yang telah diuraikan tersebut, debt swap juga memunculkan tantangan yang harus diperhatikan dengan cermat dalam setiap rencana pelaksanaannya. Tantangan-tantangan tersebut antara lain (i) adanya potensi tambahan dana sebagai akibat pengeluaran yang lebih besar dibandingkan jumlah utang yang dikonversi, (ii) perlunya penyamaan persepsi antar pihak-pihak yang berkepentingan terkait alokasi dana hasil swap dan penetapan kegiatan, dan (iii) pendekatan kepada negara-negara yang berpotensi memberikan fasilitas debt swap terutama negaranegara kreditor besar. Restrukturisasi utang dapat juga berdasarkan permintaan debitor antara lain melalui mekanisme reschedulling melalui forum Paris Club dan debt forgiveness (penghapusan utang). Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Paris Club, umumnya negara yang mengajukan proposal dipersyaratkan berada dalam program asistensi dengan IMF. Sedangkan untuk dapat memanfaatkan penghapusan utang, sebuah negara tidak boleh memiliki PDB per kapita melebihi USD650 per tahun. Terkait dengan persyaratan ini, Indonesia sudah tidak eligible lagi mengingat Pemerintah justru berupaya menghindari program asistensi IMF. Untuk itu pemanfaatan fasilitas dengan menggunakan mekanisme rescheduling maupun debt forgiveness tersebut sulit untuk dapat dilakukan oleh Pemerintah, mengingat posisi Indonesia saat ini yang berada pada kelompok negara berpendapatan menengah dan tidak berada pada program asistensi IMF. Jika opsi ini hendak dilaksanakan, Pemerintah menghadapi konsekuensi penurunan sovereign credit rating dan peningkatan country risk classification. Dari sisi biaya, penurunan rating kurang menguntungkan mengingat terjadinya penurunan satu notch akan menyebabkan yield SBN valas Pemerintah naik sekitar bps. Peningkatan satu tingkat country risk classification berdampak pada naiknya biaya pinjaman terutama yang berasal dari negara-negara anggota OECD sebesar bps Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Utang 2011 Dalam memenuhi target pembiayaan defisit tahun 2011, Pemerintah berupaya mengoptimalkan sumber pembiayaan dari utang baik SBN maupun pinjaman. Untuk penerbitan SBN dilakukan dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian global yang belum stabil sebagai dampak dari kebijakan negara maju untuk melakukan bailout yang dibiayai dari utang. Selain itu, Pemerintah tetap mempertimbangkan kapasitas daya serap pasar SBN domestik sehingga diharapkan penerbitan SBN tidak menimbulkan crowding out effect. Selanjutnya, pengadaan pinjaman dilakukan dalam rangka budget support dan/atau hanya untuk pembiayaan kegiatan prioritas. Pinjaman yang dilakukan dalam rangka budget support dapat berbentuk pinjaman program/refinancing modality yang syarat penarikannya sesuai VI-50 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

384 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI dengan program Pemerintah. Sedangkan pinjaman kegiatan diutamakan bagi pinjaman yang telah ditandatangani perjanjiannya dengan mendorong upaya penarikan secara tepat waktu. Meskipun sumber pembiayaan dari pinjaman ini masih tetap menggunakan lender baik multilateral, bilateral maupun lembaga keuangan komersial, prioritas pengadaan utang tetap diarahkan bagi (i) lender yang memberikan terms and condition yang favorable (wajar), (ii) tidak adanya agenda politik tertentu, dan (iii) ketersediaan sumber pinjaman yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatannya Kebijakan pengelolaan SBN Target penerbitan SBN neto dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp125,5 triliun dengan prioritas penerbitan SBN rupiah di pasar domestik yang meliputi obligasi negara reguler, obligasi negara ritel, SPN, sukuk reguler, sukuk ritel, dan lain-lain. Pemilihan instrumen dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain preferensi investor, kondisi pasar keuangan domestik, kebutuhan untuk melakukan benchmarking, dan pengelolaan portofolio serta risiko utang. Terkait dengan penerbitan SBSN, untuk menghindari ketergantungan terhadap Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan SBSN, dilakukan penerbitan SDHI dan pengembangan instrumen SBSN dengan underlying proyek. Untuk menjaga stabilitas pasar keuangan domestik dan menghindari crowding out akibat tingginya target penerbitan SBN, pemenuhan pembiayaan melalui SBN juga dilakukan di pasar global melalui penerbitan SBN valas. Penerbitan ini juga ditujukan untuk membuat benchmark di pasar keuangan global dan dapat pula digunakan untuk menambah cadangan devisa. Namun, penerbitan tersebut dilakukan dengan jumlah yang terukur agar porsi utang valas tetap terjaga pada kisaran di bawah 50 persen dari total utang. Penerbitan SBN valas direncanakan terdiri dari obligasi negara valas dalam mata uang USD dan mata uang Yen, serta sukuk valas dalam mata uang USD dengan tenor menengah panjang yang mempertimbangkan pembentukan yield curve dalam rangka benchmarking. Namun dalam realisasinya, jumlah, jenis mata uang, dan tenor SBN valas yang diterbitkan akan disesuaikan dengan kondisi pasar keuangan dan kebutuhan valas untuk mendukung kondisi makro ekonomi pada saat pelaksanaan. Sedangkan untuk mendukung penerbitan SBN rupiah di pasar domestik, perlu dilakukan kebijakan diversifikasi instrumen dan metode penerbitan SBN melalui penerbitan benchmark series, penerbitan instrumen baru, dan memperluas penggunaan metode penerbitan sehingga dapat memberikan pilihan instrumen yang lebih bervariasi dan sesuai dengan preferensi investor. Upaya ini antara lain dilakukan melalui peningkatan frekuensi dan kualitas lelang penerbitan, segmentasi investor, serta perluasan target investor. Sedangkan pengembangan instrumen yang masih dilakukan untuk mendukung diversifikasi tersebut antara lain adalah penerbitan sukuk proyek dan penerbitan Islamic T-Bills. Kebijakan lain yang dilakukan untuk mendukung penerbitan SBN rupiah di pasar domestik adalah melalui kebijakan pengembangan infrastruktur pasar dan sosialisasi SBN untuk meningkatkan awareness masyarakat/investor. Upaya yang dilakukan antara lain adalah meningkatkan fungsi market making oleh primary dealer, pengembangan pasar repo SBN dengan memperluas jenis underlying dan akses repo window, dan memperluas wilayah serta target sosialisasi SBN. Selanjutnya dengan memanfaatkan kondisi pasar keuangan yang membaik, penerbitan SBN diupayakan memiliki tenor menengah sampai panjang. Namun, apabila kondisi pasar Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-51

385 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal keuangan cenderung memburuk, pilihan penerbitan SBN jangka pendek dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dalam jumlah yang terukur agar risiko refinancing utang masih dalam tingkat yang terkendali Kebijakan Pengelolaan Pinjaman Dalam RAPBN 2011, jumlah pinjaman yang akan ditarik terdiri dari penarikan pinjaman luar negeri bruto sebesar Rp57,1 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,0 triliun. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, penarikan pinjaman luar negeri ini mencakup rencana penarikan pinjaman proyek sebesar Rp39,4 triliun dan penarikan pinjaman tunai dalam bentuk pinjaman program reguler sebesar Rp10,2 triliun dan refinancing modality sebesar Rp7,5 triliun. Apabila dibandingkan dengan jumlah penarikan pinjaman pada tahun 2009 dan 2010, rencana penarikan pinjaman pada tahun 2011 relatif jauh lebih rendah yang terutama dikontribusi oleh penurunan rencana penarikan pinjaman program dengan cukup signifikan. Penurunan rencana penarikan pinjaman program ini merupakan akibat dari semakin berkurangnya komitmen yang disediakan lender dan sebagai konsekuensi dari pengendalian besarnya penarikan pinjaman luar negeri yang ditetapkan dalam strategi pengelolaan utang. Berdasarkan sumbernya, pinjaman program pada tahun 2011 direncanakan berasal dari Bank Dunia, ADB, dan Jepang melalui JICA. Dalam pelaksanaannya, pinjaman program yang berasal dari JICA pada umumnya merupakan co-financing dengan Bank Dunia dan/ atau ADB, sehingga memiliki fokus kebijakan yang sama dengan syarat pencairan berupa policy matrix yang sama. Adapun secara tentatif, sasaran uraian pinjaman program tahun 2011 antara lain adalah Development Policy Loan (DPL), Infrastructure Development Policy Loan (IDPL), dan Local Government Finance and Government Reform (LGFGR). Dalam rangka penarikannya, diperlukan penyusunan berbagai kebijakan terkait reformasi di bidang Pemerintahan sesuai dengan masing-masing fokus area sebagaimana yang disepakati antara lender dengan Pemerintah. Mengingat fokus area tersebut meliputi berbagai bidang, dalam penyusunan policy matrix membutuhkan peran aktif dari K/L sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L. Apabila policy matrix tersebut mencakup beberapa bidang maka pelaksanaannya dapat dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan/atau Bappenas. Sebagai kelanjutan dari tahun sebelumnya, pada tahun 2011 pinjaman tunai dengan skema refinancing modality dari Bank Dunia yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perdesaan dan Perkotaan akan tetap dilanjutkan. Kebutuhan penyediaan dana untuk refinancing modality pada tahun 2011 ditargetkan sebesar Rp7,5 triliun. Mengingat skema refinancing modality ini menggunakan underlying pelaksanaan kegiatan, maka besarnya dana pinjaman tunai yang dapat ditarik ditentukan oleh realisasi kemajuan pelaksanaan kegiatan. Untuk itu, progress pelaksanaan kegiatan oleh K/L selaku Executing Agency dan kecepatan penyusunan kelengkapan administrasi yang akan diajukan kepada lender menjadi faktor yang cukup penting. Berkenaan dengan pinjaman kegiatan, rencana penarikan pinjaman untuk tahun 2011 dapat dirinci menjadi besaran pinjaman luar negeri yang akan ditarik oleh Pemerintah Pusat melalui K/L sebesar Rp27,4 triliun dan penerusan pinjaman sebesar Rp12,0 triliun. Berikut ini beberapa kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri dan akan ditarik pada tahun 2011 yaitu (i) Indonesian Vocational Education Strengthening Project (INVEST) VI-52 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

386 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI sebesar SDR50,6 juta. Pinjaman ini bersifat pinjaman lunak yang ditandatangani dengan ADB pada tanggal 26 Mei 2008 dengan masa laku sampai dengan 30 November Sebagai pelaksana kegiatan adalah Kementerian Pendidikan Nasional. Kegiatan yang tercakup dalam INVEST secara umum diarahkan kepada upaya untuk memperluas akses lulusan sekolah menengah kejuruan ke pasar tenaga kerja melalui peningkatan keahlian yang pada akhirnya dapat menunjang pembangunan ekonomi dan industri. Dalam kegiatan ini ditekankan adanya model pengembangan yang diambil dengan menggunakan jejaring nasional dari sekolah menengah kejuruan unggulan yang nantinya berperan sebagai sekolah model, dan (ii) Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR) bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pembayar pajak dan memperbaiki tata kelola administrasi perpajakan. Komponen proyek antara lain meliputi peningkatan efisiensi pengumpulan dan pengelolaan data, pengelolaan dan pengembangan SDM, penguatan operasional pengelolaan kepatuhan melalui reformasi audit perpajakan dan penarikan tunggakan pajak. Proyek ini mulai berlaku efektif sejak 7 Agustus 2009 bersumber dari pendanaan semi-concessional Bank Dunia dengan total komitmen sebesar USD110 juta yang dilaksanakan oleh Ditjen Pajak dengan batas akhir penarikan sampai dengan 31 Desember Hingga akhir Desember 2009 total penarikan pinjaman terkait program ini berjumlah USD275 ribu atau 0,25 persen dari total komitmen. Salah satu topik yang sering muncul dan didiskusikan dalam penarikan pinjaman ini adalah kemampuan daya serap kegiatan yang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Upaya peningkatan daya serap kegiatan yang dibiayai dari pinjaman telah dilakukan sejak tahap perencanaan dengan pemberlakukan readiness criteria sampai tahap pelaksanaan melalui kegiatan monitoring. Namun demikian, masih diperlukan berbagai upaya tambahan untuk dapat mengurai dan memetakan berbagai faktor potensial yang menjadi penghambat. Tidak terlaksananya kegiatan secara tepat waktu akan berpotensi menambah biaya utang dan hasil dari kegiatan tersebut tidak segera dapat memberikan efek positif bagi perekonomian. Terkait dengan biaya pinjaman, seiring dengan semakin terbatasnya ketersediaan pinjaman murah, kiranya perlu dilakukan reformulasi dan penajaman kebijakan yang ada saat ini. Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti antara lain, adalah (i) pemanfaatan pinjaman agar lebih diarahkan bagi kegiatan yang memberikan dampak yang besar bagi perekonomian dan bagi kegiatan dengan tingkat urgensi tinggi, (ii) dilakukan perbaikan berkesinambungan dalam perencanaan dan persiapan kegiatan sehingga keterlambatan pelaksanaan kegiatan dari jadwal yang disusun dapat dihindarkan, (iii) penerapan disbursement plan yang lebih ketat sebagai referensi dalam pelaksanaan kegiatan yang dapat digunakan sebagai sarana pemberian reward and punishment dan evaluasi terhadap pengusul dan/atau pengelola kegiatan sehingga project ownership dan responsibility dapat ditingkatkan, dan (iv) penyusunan kebijakan perencanaan pinjaman secara lebih komprehensif dan prudent sehingga dapat menghindari pinjaman yang sifatnya lender driven dan tied loan. Penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp12,0 triliun atau turun 28,6 persen jika dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P 2010 sebesar Rp16,8 triliun. Penurunan penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 terutama disebabkan alokasi penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 murni menampung usulan baru yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran Sedangkan alokasi penerusan pinjaman dalam APBN-P 2010 menampung juga luncuran penerusan pinjaman tahun anggaran 2009 sebesar Rp4,3 triliun. Sekitar 95 persen dari total alokasi penerusan pinjaman akan digunakan untuk membiayai berbagai proyek yang dilaksanakan oleh BUMN. Sedangkan sisanya, sekitar 5 persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-53

387 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal diperuntukkan bagi proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Pemda. Seperti halnya dalam tahun 2010, BUMN pengguna dana penerusan pinjaman terbesar dalam tahun 2011 adalah PT PLN (Persero). Alokasi untuk PT PLN (Persero) mencapai Rp9,6 triliun atau 80,2 persen dibandingkan dengan total keseluruhan penerusan pinjaman. Alokasi penerusan pinjaman untuk PT PLN (Persero) rencananya akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek vital dibidang infrastruktur listrik seperti pembangunan PLTGU Muara Karang 720 MW dan 225 MW, Java Bali power sector restructuring and strengthening project, renewable energy development sector project, power transmission improvement sector project, dan lain-lain. Proyek-proyek tersebut umumnya merupakan proyek-proyek multiyears sehingga pelaksanaan proyek dalam tahun 2011 merupakan kelanjutan dari tahuntahun sebelumnya. Selain PT PLN (Persero), beberapa BUMN yang direncanakan akan mendapatkan alokasi penerusan pinjaman yaitu PT PGN, PT KAI, PT SMI, PT Pelindo II, dan LPEI. Sedangkan Pemda yang akan menerima penerusan pinjaman dalam tahun 2011 yaitu Pemkot Bogor, Pemkab Muara Enim, dan Pemkab Kuala Kapuas, yang akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek UWSSP. Proyek UWSSP adalah proyek yang bertujuan untuk membangun instalasi penyediaan air bersih yang dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat. Selain ketiga kota tersebut, Pemkot Sawah Lunto, Pemkab Konawe Selatan, Pemkab Solok Selatan, Pemkot Palembang, Pemkab Morowali, dan Pemkot Banda Aceh direncanakan mendapatkan alokasi penerusan pinjaman dalam tahun 2011 untuk membiayai proyek-proyek USDRP. Proyek USDRP ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan yang layak huni, berkeadilan sosial, berbudaya, produktif, dan berkelanjutan serta saling memperkuat dalam mendukung keseimbangan pengembangan wilayah. Selain proyek-proyek UWSSP dan USDRP, Pemerintah juga berencana mengalokasikan penerusan pinjaman untuk Pemprop DKI Jakarta dalam tahun 2011 untuk membiayai proyek JEDI. Proyek JEDI ini merupakan kelanjutan dari yang telah dilaksanakan tahun 2010 karena bersifat multiyears. Proyek JEDI merupakan proyek penanggulangan banjir di wilayah DKI Jakarta yang akan dilaksanakan dengan merehabilitasi dan mengeruk saluran air atau sungai yang sudah ada. Untuk pinjaman dalam negeri, arah pemanfaatan pinjaman masih difokuskan kepada pembiayaan kegiatan dalam rangka mendorong peningkatan produksi dalam negeri. Saat ini pinjaman dalam negeri diprioritaskan untuk dua K/L yaitu Kementerian Pertahanan dan Polri dengan alokasi sebesar Rp1,0 triliun yang direncanakan bersumber dari perbankan dalam negeri. Mekanisme pengadaan pinjaman dalam negeri menyelaraskan antara perencanaan kegiatan dan perencanaan pinjaman dengan perencanaan anggaran. Untuk itu, dalam rangka menghindari kelambatan penarikan pinjaman, setiap usulan kegiatan yang diajukan merupakan kegiatan yang sudah pasti (firm) dan menjadi prioritas K/L. BOX VI. 4 Monitoring Pinjaman Luar Negeri Pasal 24 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, mengamanatkan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri VI-54 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

388 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI pada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi pinjaman luar negeri secara triwulanan. Selanjutnya dalam pasal 24 ayat (3), ditegaskan bahwa Menteri Keuangan mengeluarkan Laporan Realisasi Penyerapan pinjaman dan/atau hibah luar negeri secara triwulanan atas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri. Sebagai penjabaran dari ketentuan tersebut di atas, dan untuk memperkuat fungsi monitoring pinjaman luar negeri telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 33/ PMK.08/2010 tanggal 12 Februari 2010 tentang Monitoring, Evaluasi, Pelaporan, Publikasi, dan Dokumentasi Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan dan pengendalian utang. Monitoring terutama ditujukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan berjalan sesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila diketahui adanya kendala atau permasalahan dalam pelaksanaannya dapat segera diantisipasi penyelesaiannya secara lebih dini. GRAFIK VI.15 PEMANFAATAN PINJAMAN LUAR NEGERI MEI % % [ miliar USD] ,6% 29,8% 25,2% 80% 60% 40% 50 21,4% 17,1% 13,9% 6,2% 6,0% 5,4% 5,3% 5,8% 5,3% 5,6% 20% % Sumber: Kementerian Keuangan Net Commitment Disbursement Undisbursed % Undisbursed (RHS) Saat ini, kegiatan monitoring pinjaman luar negeri masih difokuskan pada realisasi penyerapan pinjaman luar negeri, yaitu untuk mengatur rasio atau tingkat penyerapan (disbursement) terhadap waktu yang tersedia untuk penarikan pinjaman tersebut. Penarikan pinjaman luar negeri yang lambat, mengindikasikan adanya masalah yang pada umumnya diakibatkan oleh kelambatan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Implikasi yang timbul atas keterlambatan penarikan pinjaman luar negeri adalah meningkatnya beban biaya pinjaman terutama biaya commitment fee yang pengenaannya dihitung berdasarkan persentase terhadap jumlah pinjaman yang belum ditarik (undisbursed loan amount). Commitment fee akan relatif kecil dan tidak membebani dalam hal kecepatan absorbsi pinjaman yang besar. Fee ini dalam beberapa hal sulit dihindarkan mengingat pemberi pinjaman sudah harus menyediakan/ mencadangkan jumlah dana tertentu yang akan digunakan oleh peminjam selama waktu penarikan (avalability period) sesuai syarat yang disepakati. Berdasarkan data historis pemanfaatan pinjaman luar negeri dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa, jumlah penyerapan pinjaman luar negeri mengalami trend yang cenderung meningkat. Untuk meningkatkan kapasitas dan peranan dalam pelaksanaan kegiatan monitoring pinjaman luar negeri, saat ini sedang dikembangkan mekanisme penerapan result base monitoring system, dimana kinerja kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri harus dapat diukur dari hasil yang dicapai dengan cara mengukur dan membandingkan antara input dengan output, outcome, dan dampaknya serta tingkat efektivitas dan efisiensinya. Sehingga diharapkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan pinjaman luar negeri oleh pengguna dapat meningkat. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-55

389 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal BOX VI.5 Sovereign Credit Rating dan Country Risk Classification Sovereign Credit Rating (SCR) dan Country Risk Classification (CRC) merupakan indikator tingkat risiko suatu negara, dengan implikasi terhadap biaya pengadaan utang. Indikator tingkat risiko dimaksud memberikan gambaran kemampuan suatu negara dalam memenuhi kewajiban utang yang jatuh tempo secara penuh dan tepat waktu. Sedangkan implikasi terhadap biaya pengadaan utang, SCR akan secara langsung mempengaruhi biaya penerbitan obligasi maupun pergerakan yield obligasi dan CRC mempengaruhi premi risiko pinjaman komersial. Penetapan level SCR dan CRC dilakukan oleh para pemeringkat melalui analisis terhadap beberapa variabel ekonomi dan non-ekonomi. Variabel ekonomi meliputi penilaian terhadap risiko keuangan (penilaian kemampuan Pemerintah untuk memenuhi kewajibannya), dan risiko ekonomi (penilaian terhadap pertumbuhan ekonomi, PDB per kapita, tingkat inflasi, angka pengangguran). Variabel non ekonomi menitikberatkan antara lain kepada risiko politik, infrastruktur, konflik dalam negeri, dan lain-lain. Level peringkat dari masing-masing lembaga pemeringkat berbeda antara satu dengan yang lain. S & P dan Fitch menetapkan klasifikasi level rating mulai dari SD (selective default) sampai AAA+, dimana level investment grade akan dimulai sejak level BBB-). Moody menetapkan klasifikasi level rating mulai dari C sampai Aaa1, dimana level investment grade dimulai sejak level Baa3. OECD menetapkan klasifikasi level CRC mulai dari 0 sampai 7, dimana semakin rendah pengklasifikasian, mengindikasikan semakin rendahnya risiko gagal bayar TABEL VI.9 PERKEMBANGAN SCR DAN CRC INDONESIA Tahun Rating S & P Fitch Moody's CRC 1999 CCC+ B- B B- B- B CCC B- B CCC+ B B B- B+ B B+ B+ B B+ BB- B B+ BB- B BB- BB- B BB- BB Ba BB- BB Ba BB BB+ Ba2 4 Sumber : Kementerian Keuangan suatu negara yang akan berimbas pada makin turunnya premi risiko pinjaman. Perkembangan level SCR Pemerintah Indonesia tertinggi (kategori investment grade) dicapai pada periode sebelum krisis ekonomi tahun 1998 (level BBB oleh S & P, BBB- oleh Fitch dan Baa3 oleh Moody). Pada tahun 1998, rating Indonesia turun 8 notches dan masuk dalam kategori non investment grade. Bahkan pada saat restrukturisasi pinjaman luar negeri melalui VI-56 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

390 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Forum Paris Club pada tahun 1999, 2000, dan 2002, S&P menurunkan credit rating Indonesia menjadi SD yang merupakan level dengan risiko tertinggi. Kemudian mulai tahun 2004, secara bertahap terjadi peningkatan level SCR Indonesia, hingga akhirnya pada tahun 2010 berada pada level BB+ dengan outlook stabil (Fitch), BB dengan outlook positif (S & P), dan Ba2 (Moody). Sebaliknya untuk perkembangan level CRC Indonesia relatif lamban, dimulai tahun 1999 yang berada pada level 6, kemudian berubah menjadi level 5 pada tahun 2005, dan terakhir berubah menjadi level 4 pada tahun Faktor penentu perbaikan SCR dan CRC pada periode tersebut disebabkan antara lain ketahanan perekonomian Indonesia dalam menghadapi krisis global , kestabilan politik dan perbaikan law enforcement, serta pengelolaan utang pemerintah yang prudent (penurunan rasio utang terhadap PDB, ketepatan waktu pembayaran kewajiban utang, dan meningkatnya kepercayaan investor/kreditor) Isu-isu Terkait Dengan Pengelolaan Utang Dampak Krisis Eropa Terhadap Pengelolaan SBN Krisis utang di Eropa ini bermula dari permasalahan Pemerintah Yunani yang gagal dalam mengelola anggarannya sejak beberapa tahun yang lalu. Yunani yang awalnya memiliki PDB sebesar USD350 miliar atau 2 persen dari total PDB Eropa terus meningkatkan defisit anggarannya sehingga melebihi batas maksimal yang ditetapkan Uni Eropa (UE) yaitu 3 persen dari PDB. Kondisi tersebut mencapai titik tertinggi yang mencapai angka 13,6 persen dari PDB dan pada saat bersamaan, defisit tersebut dibiayai melalui penerbitan surat utang. Akibat penyusunan kebijakan pembiayaan defisit melalui penerbitan utang yang tidak dilandasi dengan prinsip kehati-hatian tersebut, Yunani dinyatakan default (gagal bayar). Kondisi tersebut memicu kekhawatiran negara-negara yang tergabung dalam UE terhadap potensi contagion effect yang dapat mengakibatkan runtuhnya perekonomian Eropa. Untuk menghindari effect ini, maka Dana Moneter internasional (IMF) dan UE sepakat untuk membantu Yunani dengan mengeluarkan bantuan dana awal sebesar USD145,0 miliar. Namun krisis tersebut pada akhirnya menjalar pula ke negara-negara Eropa lainnya, seperti Spanyol, Portugal, Irlandia, dan Italia dengan permasalahan krisis fiskal yang cukup berat. Untuk itu, IMF dan UE kembali sepakat untuk memberikan dana bailout sebesar USD1,0 triliun. Langkah ini juga diikuti dengan pengelolaan fiskal yang efisien seperti pembatasan pengeluaran Pemerintah atau pemangkasan gaji para pegawai. Merebaknya krisis yang melanda beberapa negara Eropa tersebut membawa kekhawatiran yang mendalam terutama di kalangan investor global. Para investor cenderung menghindari untuk membeli instrumen berisiko tinggi seperti surat utang di emerging market. Hal ini terjadi karena masih tingginya ketidakpastian terhadap penanganan atas krisis Eropa. Investor global cenderung memilih safety asset seperti emas, mata uang dolar AS, maupun surat utang Pemerintah AS. Sebagai suatu sistem keuangan yang terhubung satu sama lain, dampak dari krisis yang terjadi di Eropa juga sedikit banyak berpengaruh pada Indonesia. Walaupun waktu transmisi cukup panjang dan magnitude yang relatif kecil dibanding krisis global, namun terjadi aksi risk aversion di pasar keuangan domestik dengan pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 1,04 persen pada tanggal 6 Mei 2010, karena investor mulai melepas kepemilikan surat berharga di pasar domestik Indonesia. Nilai imbal hasil (yield) SBN untuk seri benchmark mengalami kenaikan rata-rata hampir 50 bps pada penutupan perdagangan tanggal 6 Mei Indeks SUN juga menunjukkan penurunan sebesar 1,64 poin pada tanggal yang sama. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-57

391 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Selain berdampak pada pasar obligasi, dampak krisis juga berpengaruh pada pasar modal dengan adanya pihak asing melakukan aksi jual saham besar-besaran sehingga menurunkan indeks harga saham hingga lebih dari 15 persen. Namun, pelemahan pasar keuangan domestik terlihat sementara dan tidak berlangsung lama karena hanya dalam beberapa hari kondisi pasar SBN terlihat memiliki tren yang menguat. Para investor asing yang sebelumnya mengurangi porsi kepemilikan terlihat kembali membeli SBN di pasar domestik. Hal-hal yang menjadi faktor pendorong pemulihan kondisi pasar keuangan domestik antara lain: 1. Kondisi fundamental ekonomi yang cukup solid seperti inflasi yang cukup terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang berjalan dengan baik yang diprediksi di kisaran 5,8 persen sampai dengan akhir tahun 2010, termasuk utang yang relatif terkendali yang ditunjukkan oleh Debt to GDP ratio yang memiliki tren menurun sehingga mencapai kisaran 28 persen, jauh lebih kecil dibanding debt to GDP ratio negara-negara maju. 2. Yield SBN domestik yang cukup menarik dibanding dengan peer countries seiring dengan relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya tekanan inflasi. Selain berdampak pada pasar domestik, krisis Eropa juga berdampak pada instrumen obligasi global Indonesia. Ketidakpastian penanganan krisis Eropa mendorong pelemahan terhadap obligasi global Indonesia. Pada tanggal 6 Mei 2010 yield obligasi global Indonesia bertenor 10 tahun meningkat 18 bps ke level 5,64. Sedangkan untuk obligasi global yang bertenor 30 tahun mengalami kenaikan sebesar GRAFIK VI.16 PENGARUH KRISIS EROPA TERHADAP YIELD SBN DOMESTIK /13/ /1/2010 1/12/2010 1/21/2010 1/22/2010 2/2/2010 Kurs Rupiah FR0027 (5 tahun) FR0031 (10 tahun) Sumber: KementerianKeuangan GRAFIK VI.17 PENGARUH KRISIS EROPA TERHADAP YIELD SBN GLOBAL CDS 10Y INDON10Y INDON30Y 2/11/2010 2/22/2010 Sumber: KementerianKeuangan 3/3/2010 3/15/2010 Tanggal 6 Mei 2010: yield INDON10Y = naik 18 bps yield INDON30Y = naik 14 bps CDS 10Y = naik 43,87 bps 3/24/2010 Tanggal 6 Mei: yield FR0027 = naik 42 bps yield FR0031 = naik 50 bps kurs rupiah = melemah Rp 95 (1,04%) 4/2/2010 2/1/2010 2/10/2010 2/19/2010 3/2/2010 3/11/2010 3/23/2010 4/1/2010 4/12/2010 4/21/2010 4/30/2010 5/11/2010 5/20/2010 5/31/2010 6/9/2010 4/13/2010 4/22/2010 5/3/2010 5/12/2010 5/21/2010 6/1/ /10/ bps. Persepsi risiko investor atas credit default swap Indonesia juga naik sebesar 43,87 bps dibanding hari sebelumnya. Hal ini mencerminkan kekhawatiran investor terutama terhadap aset berisiko seperti aset emerging market. Seperti halnya pasar domestik, risk appetite investor global juga cepat pulih yang terlihat dari turunnya yield obligasi global Indonesia baik tenor 10 maupun 30 tahun dalam beberapa hari. Investor global menilai pengaruh krisis Eropa terhadap Indonesia tidak signifikan karena negara-negara UE bukan merupakan tujuan utama ekspor Indonesia di samping kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang cukup baik. Pengaruh krisis Eropa terhadap yield SBN Domestik dan SBN Global Indonesia dapat dillhat pada Grafik VI.16 dan Grafik VI.17. VI-58 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

392 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI BOX VI. 6 SBN Ritel: Prospek dan Manfaatnya Penerbitan SBN Ritel ini tidak terlepas dari tujuan Pemerintah untuk memperluas basis investor SBN melalui penerbitan instrumen dengan karakteristik yang sesuai dengan karakteristik investor individu. Dengan menerbitkan SBN Ritel, selain memperoleh sumber pembiayaan APBN, Pemerintah juga menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengembangkan pasar ritel yang telah dibangun sejak tahun Tumbuhnya retail instrument telah mendorong investor untuk tidak lagi hanya berperan dominan sebagai saving society, namun dapat berperan lebih jauh sebagai investment society. Bagi investor, selain memberikan imbal hasil yang relatif lebih tinggi dari deposito, juga memperoleh instrumen investasi yang aman, sekaligus berkontribusi dalam pembangunan negara. Instrumen SBN Ritel yang saat ini diterbitkan oleh pemerintah terdiri dari Obligasi Negara Ritel (ORI) yang telah mencapai 7 seri dan Sukuk Negara Ritel (Sukri) yang hingga tahun 2010 mencapai 2 seri. Keterangan Dana Pihak Ketiga di Perbankan/DPK (miliar rupiah) 1.287, , , ,0 Outstanding SBN Ritel (miliar rupiah) 3,3 18,9 34,6 45,7 Rasio DPK terhadap Outstanding SBN Ritel 0,25% 1,25% 1,98% 2,32% Sumber: Kementerian Keuangan TABEL VI.10 RASIO DANA PIHAK KETIGA (DPK) Saat ini SBN Ritel telah menjadi alternatif yang cukup menarik bagi investor individu di samping instrumen lain seperti deposito, saham, obligasi korporasi, reksadana, unit link, dan berbagai macam produk perbankan lainnya, sehingga memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia untuk ikut serta berkontribusi secara langsung dalam pembiayaan pembangunan dengan berinvestasi melalui SBN Ritel. Perkembangan penerbitan SBN Ritel mulai tahun 2006 hingga saat ini, selalu terdapat penambahan jumlah investor yang berinvestasi dalam SBN Ritel. Hal ini menunjukkan bahwa program sosialisasi yang dilakukan pemerintah berhasil mengubah pola pikir masyarakat dari saving oriented menjadi investment oriented. Investor SBN Ritel sampai tahun awal 2010 telah mencapai investor, yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Sedangkan kepemilikan SBN Ritel sebagian besar masih didominasi oleh perseorangan, hal ini menandakan bahwa investor SBN Ritel cenderung berinvestasi dengan pola hold to maturity. Dalam perjalanan waktu, SBN Ritel mampu menyerap 2,32 persen dari Dana Pihak Ketiga yang terdapat di perbankan. Melihat hal tersebut, masih besar kemungkinan terjadinya pengalihan dana dari tabungan ke SBN Ritel, atau munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan investasi di surat berharga selain produk tabungan yang ada. Manfaat dari penerbitan SBN Ritel, antara lain memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara, memperkaya instrumen pembiayaan fiskal, memperluas dan mendiversifikasi basis investor SBN, mendorong pertumbuhan dan pengembangan alternatif instrumen investasi di pasar keuangan, termasuk menciptakan benchmark di pasar keuangan baik konvensional maupun syariah Profil Kepemilikan SBN Domestik Sebagai instrumen keuangan yang bebas risiko yang ditransaksikan secara over the counter di dalam sistem devisa bebas, maka SBN Domestik diminati tidak hanya oleh investor domestik namun juga investor asing. Secara garis besar investor domestik terbagi dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-59

393 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal tiga kelompok besar, yaitu Bank, Institusi Pemerintah, dan Non-Bank. Kelompok Bank terdiri dari bank BUMN Rekap, Bank Swasta Rekap, Bank Non Rekap, BPD Rekap, dan Bank Syariah. Kelompok Institusi Pemerintah terdiri dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, termasuk Lembaga Penjamin Simpanan. Sedangkan kelompok Non-Bank meliputi dari Reksadana, Asuransi, Dana Pensiun, Sekuritas, dan Lain-Lain yang terdiri dari Korporasi, Lembaga Keuangan, Perorangan, Yayasan dan Investor lain yang tidak termasuk dalam kelompok yang telah disebutkan. Pada awal lahirnya obligasi negara pada akhir dekade 90-an, seluruh obligasi hanya dimiliki oleh Bank Rekap. Sejak mulai diperdagangkan pada akhir tahun 2000 dan setelah adanya Undang-Undang tentang Surat Utang Negara di akhir tahun 2002, kepemilikan obligasi Pemerintah makin tersebar. Dari ilustrasi dalam Tabel VI.11, dalam 5 tahun terakhir nominal SBN tradable berdenominasi rupiah untuk periode tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu sebesar Rp209,84 triliun (52 persen), sejalan dengan semakin pentingnya peran SBN sebagai instrumen fiskal dan keuangan. Dari ketiga kelompok kepemilikan SBN, kepemilikan bank mengalami penurunan sebesar Rp53,60 triliun atau 18,37 persen dari akhir tahun 2005 sampai bulan Mei Sebaliknya, kepemilikan Institusi Pemerintah dan Non Bank mengalami kenaikan masing-masing sebesar Rp10,55 triliun atau 100,26 persen dan Rp252,49 triliun atau 253,32 persen dari akhir tahun 2005 sampai bulan Mei Untuk kepemilikan lain-lain tercatat kenaikan jumlah kepemilikan SBN TABEL VI.11 KEPEMILIKAN SBN BERDASARKAN INVESTOR SBN DOMESTIK * (akhir Desember 2005 dan akhir Mei 2010) (triliun rupiah) Kelompok Industri Nominal Persentase Growth (%) Des-05 Mei-05 Des-05 Mei-10 I. Bank 289,7 236,4 72,4 38,8 (18,4) a. Bank BUMN Rekap 154,5 137,8 38,6 22,6 (10,9) b. Bank Swasta rekap 85,4 55,2 21,4 9,0 (35,4) c. Bank Non Rekap 45,8 38,7 11,5 6,3 (15,5) d. BPD Rekap 4,0 2,3 1,0 0,4 (41,7) e. Bank Syariah - 2,6-0,4 - II. Institusi Pemerintah 10,5 21,1 2,6 3,5 100,3 a. Bank Indonesia 10,5 21,1 2,6 3,5 100,3 b. Kementerian Keuangan III. Non-Bank 99,7 352,2 24,9 57,8 253,3 a. Reksadana 9,1 47,3 2,3 7,8 418,6 b. Asuransi 32,3 77,2 8,1 12,7 139,1 c. Asing 31,1 144,1 7,8 23,6 363,5 d. Dana Pensiun 22,0 37,5 5,5 6,2 70,4 e. Sekuritas 0,5 0,3 0,1 0,0 (45,7) f. Lain-lain 4,7 45,8 1,2 7,5 878,0 Total * SBN tradable berdenominasi Rupiah Sumber: Kementerian Keuangan 399,8 609, ,0 52,5 VI-60 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

394 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI yaitu dari Rp4,68 triliun pada akhir tahun 2005 menjadi Rp45,77 triliun pada bulan Mei 2010 atau naik sebesar 878,78 persen yang didorong terutama oleh meningkatnya kepemilikan SBN oleh investor individu melalui obligasi negara ritel. Perkembangan kepemilikan SBN tradable berdenominasi rupiah dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Perbankan Pada awalnya, SBN yang diterbitkan hanya untuk perbankan yang masuk dalam program rekapitalisasi perbankan dalam rangka pemulihan sektor perbankan pada saat terjadi krisis ekonomi tahun Namun, seiring dengan perbaikan kondisi makro ekonomi, kepemilikan SBN oleh perbankan khususnya bank rekap mengalami penurunan yang signifikan karena sebagian dari aset bank yang sebelumnya dalam bentuk SBN telah diperjualbelikan sejak akhir tahun 2000 agar bank rekap dapat memainkan fungsi intermediaries dalam menyalurkan kredit. Hampir semua kelompok industri perbankan mencatat penurunan jumlah kepemilikan SBN, kecuali Bank Syariah yang naik Rp2,55 triliun atau 0,42 persen setelah diperkenalkannya surat utang berbasis syariah. 2. Institusi Pemerintah Dalam kelompok institusi Pemerintah, Bank Indonesia merupakan salah satu investor. Kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia digunakan sebagai instrumen pengendali moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan yang berkesinambungan. 3. Non-Bank Minat investor terhadap SBN semakin meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian Indonesia. Institusi seperti asuransi dan dana pensiun terutama life insurance, memerlukan penempatan dana kelolaannya pada instrumen yang stabil, bebas risiko, dan mampu memenuhi asset against liabilities matching. Dalam kondisi perekonomian yang membaik, pertumbuhan aset institusi seperti dana pensiun dan asuransi akan menunjukkan kecenderungan yang searah perkembangan kondisi perekonomian. Di masa lalu dalam ketiadaan instrumen, asuransi dan dana pensiun akan cenderung menempatkan dana kelolaannya pada instrumen tabungan terutama dalam bentuk deposito. Seiring dengan makin kayanya instrumen, pemahaman pada investasi yang makin baik, dan transaksi pasar sekunder yang makin likuid yang diimbangi dengan infrastruktur peraturan yang mendukung, telah mendorong asuransi dan dana pensiun untuk menempatkan dana kelolaannya pada SBN. Dari data yang ada, hingga akhir 2009, sekitar 26 persen dana kelolaan dari industri dana pensiun ditempatkan pada SBN. Sementara untuk asuransi pada waktu yang sama sekitar 28 persen dialokasikan penempatannya pada SBN. Asuransi dan dana pensiun telah menjadikan SBN sebagai tempat penempatan sesuai profil liabilitiesnya dengan jumlah kepemilikan SBN bertenor panjang (lebih dari 10 tahun). Data akhir Mei 2010 menunjukkan, asuransi dan dana pensiun menempatkan masing-masing sebesar Rp51,78 triliun (67 persen) dan Rp18,05 triliun (48 persen) pada instrumen jangka panjang. Kelompok industri reksadana, asuransi dan dana pensiun menunjukkan minat yang besar terhadap SBN. Berdasarkan data per Desember 2009, total dana yang diinvestasikan kelompok industri reksadana, asuransi, dan dana pensiun dalam bentuk SBN masing-masing sebesar Rp35,2 triliun (35 persen), Rp78,3 triliun (28 persen), dan Rp28,5 triliun (26 persen) dari total aset yang dimiliki. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-61

395 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Industri reksadana dan investor perseorangan yang termasuk ke dalam kelompok industri lain-lain menunjukkan persentase pertumbuhan yang paling tinggi yaitu 574,42 persen. Kenaikan yang signifikan ini berasal dari penerbitan ORI yang dilakukan Pemerintah sejak tahun Jumlah investor perseorangan dan unit penyertaan yang berbasis obligasi negara dalam industri reksadana juga akan terus bertambah seiring dengan penerbitan ORI yang akan terus dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan basis investor di dalam negeri. Berbeda dengan kelompok industri asuransi dan dana pensiun, kelompok industri lain-lain lebih banyak berinvestasi pada SBN yang bertenor pendek. Rating Indonesia yang secara bertahap meningkat dalam enam tahun terakhir telah mendorong investor asing masuk ke Indonesia. Bahkan kelompok industri asing menjadi yang paling dominan meskipun pada awal penerbitan SBN tahun 2002, jumlah kepemilikan Asing atas SBN hanya sebesar Rp1,91 triliun atau 0,48 persen saja, yang secara bertahap terus menunjukkan peningkatan hingga lebih dari 20 persen dari total outstanding yang diperdagangkan pada pertengahan tahun Pada saat terjadi krisis global bulan Oktober 2008, investor asing menarik dananya di SBN secara bertahap hingga mencapai titik terendahnya pada kuartal pertama Efek dari krisis global tersebut tidak berlangsung lama karena kuatnya fundamental perekonomian domestik dan masih cukup menariknya yield yang diberikan. Memasuki kuartal kedua 2009, investor asing kembali masuk ke pasar modal dan membeli SBN. Berdasarkan data kepemilikan SBN Domestik bulan Mei 2010, jumlah kepemilikan investor asing atas SBN mencapai Rp144,09 triliun atau 23,63 persen dari total jumlah SBN tradable. Meningkatnya jumlah SBN yang dipegang investor asing perlu dicermati dengan seksama, karena sebagian besar investor domestik masih bertindak mengikuti langkah-langkah yang dilakukan investor asing, misalnya jika investor asing melepas SBN, investor domestik pun akan ikut melepas SBN. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh kepada kestabilan harga SBN domestik di pasar sekunder. Berkaitan dengan semakin meningkatnya porsi kepemilikan SBN domestik oleh investor asing, maka Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan basis investor di dalam negeri dan salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerbitkan SBN Ritel sejak tahun BOX VI.7 Deklarasi Paris tentang Aid Effectiveness 2005, Accra Agenda for Action (AAA) 2008 dan Jakarta Commitment 2009 Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Harmonisasi pada High Level Forum (HLF) I di Roma pada tahun 2003, lebih dari 120 negara dan 30 organisasi internasional telah mendeklarasikan 5 (lima) prinsip peningkatan Aid Effectiveness, pada HLF II di Paris Kelima prinsip tersebut dikenal menjadi Deklarasi Paris 2005, terdiri dari: (1) ownership; (2) harmonization, (3) alignment, (4) mutual accountability, dan (5) development result. Evaluasi atas pelaksanaan lima prinsip dimaksud, menunjukkan bahwa Deklarasi Paris, telah memberikan pengaruh nyata dalam: a) mendorong negara berkembang melakukan perubahan dalam pengelolaan keuangan negara, dan b) mendorong negara maju untuk meningkatkan koordinasinya. Namun perubahan tersebut terjadi relatif lambat dan tanpa aksi konkrit, sehingga komitmen untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan aid effectiveness akan sulit terpenuhi. Dalam rangka menjawab tantangan ke depan guna meningkatan akselerasi pelaksanaan 5 (lima) prinsip Aid Effectiveness, ketika kegiatan HLF III di Accra 2008, telah disepakati untuk memfokuskan upaya pada: VI-62 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

396 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI 1. Peningkatan country ownership sebagai kunci utama, antara lain melalui: a. Komitmen negara berkembang dengan dukungan aktor pembangunan (Parlemen; Pemerintah Daerah; Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk (i) meningkatkan kapasitasnya guna memimpin penetapan kebijakan dan tujuan pembangunan nasional, (ii) memonitor pelaksanaan pembangunan nasional yang mencakup peningkatan kesejahteraan dengan pengentasan kemiskinan, HAM, isu gender, lingkungan, serta ikut serta menciptakan perdamaian, guna mempercepat pencapaian MDG s. b. Komitmen negara donor untuk meningkatkan kapasitasnya guna merespon kebutuhan negara berkembang, mengadopsi pendekatan demand driven guna meningkatkan ownership untuk mendukung (i) penetapan prioritas dan pencapaian tujuan pembangunan, (ii) peningkatan kapasitas aktor pembangunan, (iii) penguatan kelembagaan melalui partisipasi di dalam proses penetapan kebijakan pembangunan, (iv) peningkatan penggunaan sistem lokal (alignment), dan lain-lain. 2. Pembangunan hubungan kemitraan yang sejajar melalui : a. Komitmen negara donor dan negara berkembang untuk mengurangi aid fragmentation dengan memperbaiki duplikasi dan efektifitas divison of labour among donor (harmonization) tanpa berpengaruh pada pengurangan alokasi bantuan. b. Komitmen negara donor dan negara berkembang untuk meningkatkan value for money atas aid melalui pengurangan tied aid dengan cara antara lain penggunaan sistem pelelangan lokal sepanjang transparan dan memberi kesempatan bagi perusahaan lokal dan regional untuk ikut bersaing. c. Negara donor dan negara berkembang sepakat untuk bekerjasama dengan aktor pembangunan serta meningkatkan peran global fund dalam mendukung kebijakan dan penguatan kelembagaan di sektor pembangunan yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan. 3. Mewujudkan prinsip akuntabilitas untuk pembangunan yang berorientasi pada hasil sebagai road map peningkatan aid effectiveness melalui : a. Komitmen negara berkembang dan donor bahwa kegiatan pembangunan akan membawa dampak positif terhadap standar hidup sesuai yang diharapkan masyarakat; b. Negara berkembang dan donor akan saling transparan dan akuntabel, memonitor dan evaluasi atas pencapaian komitmen yang ditetapkan dalam (5) lima prinsip Aid Effectiveness dalam Deklarasi Paris Sejalan dengan semangat Deklarasi Paris 2005, dan sebagai amanat Accra Agenda for Action (AAA) 2008, pada tanggal 12 Januari 2008 Pemerintah RI dengan 25 mitra pembangunan, telah menandatangani the Jakarta Commitment: Road Map of Aid Development Effectiveness. Sekalipun merupakan suatu Memorandum of Understanding yang sifatnya morally binding, the Jakarta Commitment telah memberikan dampak positip terhadap perubahan sikap negara donor dalam pengadaan pinjaman dan bantuan luar negeri. Tantangan terbesar dari pelaksanaan dan pencapaian target yang tertuang di dalam the Jakarta Commitment datang dari perubahan paradigma manajemen pembangunan. Dalam konteks terkini, foreign aid seringkali hanya dipahami secara sempit dalam perannya sebagai pengisi kekurangan sumber daya keuangan. Sementara itu, dalam perspektif yang lebih luas, foreign aid adalah transfer sumber daya beserta intangible aspects lainnya yang dapat berperan untuk merubah existing resources di negara penerima menjadi sumber daya baru yang memang berkesesuaian dengan tujuan pembangunan. Di samping itu, foreign aid dapat dipandang sebagai pelengkap penguatan institusi yang menjadi tumpuan pencapaian tujuan- Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-63

397 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal tujuan pembangunan yang pada gilirannya memungkinkan pembaharuan strategi pembangunan serta menumbuhkan inovasi yang relevan dan dapat diterapkan dalam konteks lokal Pembiayaan Alat Utama Sistem Persenjataan Melalui Pinjaman Pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI dan Alut POLRI selain dibiayai dengan rupiah murni APBN, juga dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Oleh karena pinjaman lunak pada umumnya terbatas untuk kegiatan di luar sektor pertahanan dan keamanan (infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain-lain), maka sumber pembiayaan pengadaan Alutsista dan Alut POLRI didapatkan melalui Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) dan pinjaman komersial. Sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006, pembiayaan alutsista dan alut POLRI diutamakan dengan memanfaatkan FKE resmi yang disediakan oleh lembaga penjamin kredit ekspor dari negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development s (OECD s) Arrangement. Pinjaman dimaksud mengandung subsidi dari negara yang bersangkutan guna mendukung kegiatan ekspornya. Dalam skema FKE resmi, negara-negara pengekspor memberikan kompensasi kepada bank pemberi kredit atas perbedaan interest rate yang diberikan kepada negara importirnya/peminjam dan interest rate yang berlaku di pasar. Dengan demikian, pinjaman kepada negara importirnya memiliki biaya (cost of borrowing) yang relatif lebih murah dibandingkan pinjaman komersial di pasar keuangan. Namun, dalam hal tidak diperolehnya sumber pembiayaan dari FKE resmi, maka pengadaan Alutsista dapat dibiayai dengan pinjaman komersial. Pinjaman komersial berasal dari bank komersial terkemuka dan bertaraf internasional. Faktor yang menyebabkan tidak diperolehnya pembiayaan melalui FKE resmi adalah bahwa tidak semua negara terdaftar dalam keanggotaan OECD s Arrangement dan konsensus OECD s Arrangement, FKE resmi tidak boleh diberikan untuk pembelian peralatan militer yang bersifat lethal/combatant (seperti rudal, peluru, dan sejenisnya). Dari sisi biaya, FKE resmi dan pinjaman komersial mempunyai cost of borrowing yang relatif lebih mahal dibandingkan sumber pembiayaan multilateral dan bilateral. Oleh karena itu, Pemerintah hanya memanfaatkan pinjaman tersebut untuk membiayai pengadaan Alutsista dan Alut POLRI yang menjadi prioritas utama. Sebagai alternatif pembiayaan selain dari FKE resmi dan pinjaman komersial, telah diupayakan sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri, yaitu pinjaman dalam negeri dari bank-bank BUMN sesuai kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun Sumber pembiayaan ini disamping diharapkan dapat meningkatkan mutu serta kapasitas produk Alutsista dan Alut POLRI di dalam negeri, juga diharapkan dapat meningkatkan fleksibilitas dalam pengelolaan utang serta mengurangi risiko mata uang utang Pemerintah Akselerasi Pembayaran Pinjaman IDA Salah satu instrumen pinjaman dari World Bank yang dimanfaatkan oleh Pemerintah adalah International Development Association (IDA) Credit. IDA Credit (pinjaman IDA) merupakan pinjaman dengan concessional terms yang ditujukan khususnya bagi negara dengan Gross National Product (GNP) per capita rendah (Low Income Country). Dalam portofolio utang Pemerintah per akhir Juni 2010, terdapat pinjaman IDA sebesar USD2,19 miliar atau sekitar 1,1persen dari total outstanding utang Pemerintah. VI-64 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

398 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Sejak tahun 2008 Indonesia sudah tidak lagi mendapat pinjaman IDA karena telah digolongkan ke dalam Middle Income Country dan hanya berhak memperoleh pinjaman International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dengan semi-concessional terms. Dalam loan agreement pinjaman IDA yang ditandatangani sesudah tahun 1987 terdapat klausul bahwa World Bank mempunyai hak untuk meminta dilakukannya akselerasi pelunasan pinjaman IDA kepada debitur apabila GNP per capita-nya telah melebihi threshold USD1.135 selama tiga tahun berturut-turut (threshold tahun 2010) serta memenuhi kriteria sebagai debitur IBRD. Indonesia dalam hal ini telah memenuhi kondisi dimaksud sejak tahun Terkait dengan ketentuan dalam loan agreement tersebut, terdapat dua pilihan akselerasi pinjaman IDA yang dapat dilakukan debitur, yakni (1) Principal option yang mengubah tenor pinjaman menjadi lebih pendek dengan meningkatkan pembayaran pokok dua kali lipat pembayaran dengan skedul normal; atau (2) Interest option yang mengubah ketentuan suku bunga pinjaman, dimana debitur melakukan tambahan pembayaran beban bunga agar Net Present Value (NPV) dari cashflow pembayaran pokok dan bunga pada skedul opsi ini sama dengan NPV skedul Principle option. Dari jumlah pinjaman IDA yang dimiliki Pemerintah, sekitar USD1,51 milar (69 persen) memiliki ketentuan dilakukannya akselerasi dimaksud. Dengan adanya akselerasi dimaksud, diharapkan akan meningkatkan ketersediaan dana pinjaman IDA yang dapat dipinjamkan World Bank kepada negara miskin dan negara berkembang yang membutuhkan. 6.4 Risiko Fiskal Analisis Sensitivitas Sensitivitas Defisit APBN terhadap Perubahan Asumsi Ekonomi Makro Dalam penyusunan APBN, indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP), dan lifting minyak. Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan penghitungan besaran-besaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda dengan asumsinya, maka besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan berubah. Oleh karena itu, variasi-variasi ketidakpastian dari indikator ekonomi makro merupakan faktor risiko yang akan memengaruhi APBN. Tabel VI.12 menunjukkan selisih antara perkiraan awal besaran asumsi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN dan realisasinya untuk tahun Selisih tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan antara target defisit dengan realisasinya. Apabila realisasi defisit melebihi target defisit yang ditetapkan dalam APBN maka hal tersebut merupakan risiko fiskal yang harus dicarikan sumber pembiayaannya. Risiko fiskal akibat variasi asumsi ekonomi makro dapat digambarkan dalam bentuk analisis sensitivitas parsial terhadap angka baseline defisit dalam APBN. Analisis sensitivitas parsial Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-65

399 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal TABEL VI.12 SELISIH ANTARA ASUMSI EKONOMI MAKRO DAN REALISASINYA* Uraian ** Pertumbuhan ekonomi (%) 0,2-0,32 0-0,2 0,2 0 Inflasi (%) 11,6-1,4 0,6 4,9-1,7-0,3 Tingkat suku bunga SBI 3 bulan (%) 2,6-0,3 0 1,8 0,1 0,1 Nilai tukar (Rp/USD) 1 2, , ICP (USD/barel) 27,8-0,2 9,7 1,8 0,6-2 Produksi minyak (juta barel per hari) -0,1-0,04-0,05 0-0,08-0,006 * Angka positif menunjukkan realisasi lebih tinggi daripada asumsi anggaran. Untuk nilai tukar, angka positif menunjukkan depresiasi. ** Merupakan selisih antara APBN-P 2010 dan realisasi s.d. Akhir Juni 2010 Sumber: Kementerian Keuangan. digunakan untuk melihat dampak perubahan atas satu variabel asumsi ekonomi makro, dengan mengasumsikan variabel asumsi ekonomi makro yang lain tidak berubah (ceteris paribus). Pertumbuhan ekonomi memengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lain memengaruhi penerimaan pajak, terutama PPh dan PPN. Pada sisi belanja negara, pertumbuhan ekonomi antara lain memengaruhi besaran nilai dana perimbangan dalam anggaran transfer ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak. Pada tahun anggaran 2011, apabila pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih rendah 1 persen dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp4,4 triliun sampai dengan Rp4,9 triliun. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Pada sisi pendapatan negara, depresiasi nilai tukar rupiah antara lain akan memengaruhi penerimaan minyak dan gas bumi (migas) dalam denominasi dolar Amerika Serikat serta PPh migas dan PPN. Pada sisi belanja negara, yang akan terpengaruh antara lain (1) belanja dalam mata uang asing; (2) pembayaran bunga utang luar negeri; (3) subsidi BBM dan listrik; dan (4) transfer ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil migas. Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang akan terkena dampaknya adalah (1) pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek; (2) pembayaran cicilan pokok utang luar negeri; dan (3) privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan yang dilakukan dalam mata uang asing. Pada tahun anggaran 2011, apabila nilai tukar rupiah rata-rata per tahun terdepresiasi sebesar Rp100,0 dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,38 triliun sampai dengan Rp0,42 triliun. Tingkat suku bunga yang digunakan sebagai asumsi penyusunan APBN adalah tingkat suku bunga SBI 3 bulan. Perubahan tingkat suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan hanya akan berdampak pada sisi belanja. Dalam hal ini, peningkatan tingkat suku bunga SBI 3 bulan akan berakibat pada peningkatan pembayaran bunga utang domestik. Pada tahun anggaran 2011, apabila tingkat suku bunga SBI 3 bulan lebih tinggi 0,25 persen dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,3 triliun sampai dengan Rp0,5 triliun. VI-66 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

400 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Harga minyak mentah Indonesia (ICP) memengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan ICP antara lain akan mengakibatkan kenaikan pendapatan dari kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas dalam bentuk PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan dari penerimaan PPh migas dan penerimaan migas lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatan ICP antara lain akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke daerah. Pada tahun anggaran 2011, apabila rata-rata ICP lebih tinggi USD1 per barel dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,0 triliun sampai dengan negatif Rp0,3 triliun (surplus). Penurunan lifting minyak domestik juga akan memengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi pendapatan, penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan PPh migas dan PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan dana bagi hasil ke daerah. Pada tahun anggaran 2011, apabila realisasi lifting minyak domestik lebih rendah barel per hari dari yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp3,0 triliun sampai dengan Rp3,34 triliun. Variabel lain yang berpengaruh terhadap besaran defisit adalah volume konsumsi BBM domestik. Peningkatan konsumsi BBM domestik sebesar 0,5 juta kiloliter berpotensi menambah defisit RAPBN 2011 pada kisaran Rp1,14 triliun sampai dengan Rp1,25 triliun. Dari analisis sensitivitas di atas maka besaran risiko fiskal berupa tambahan defisit yang berpotensi muncul dari variasi asumsi-asumsi variabel ekonomi makro yang digunakan untuk menyusun RAPBN 2011 dapat digambarkan dalam Tabel VI.13. TABEL VI.13 SENSITIVITAS DEFISIT APBN 2011 TERHADAP PERUBAHAN ASUMSI EKONOMI MAKRO No. Uraian Satuan Perubahan Asumsi Asumsi 2011 * Potensi Tambahan Defisit (triliun rupiah) 1 Pertumbuhan ekonomi (%) -1 6,3 4,4 s.d. 4,9 2 Tingkat inflasi (%) 0,1 5,3 Tidak langsung 3 Rata-rata nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) ,38 s.d. 0,42 4 Suku bunga SBI-3 bulan (%) 0,25 6,5 0,3 s.d o,5 5 ICP (USD/barel) ,0 s.d. 0,3 6 Lifting minyak (ribu barel/hari) ,00 s.d. 3,34 7 Konsumsi BBM domestik (juta kiloliter) 0,5 36,8 1,14 s.d. 1,25 *) Defisit RAPBN Tahun 2011 adalah Rp115,7 triliun. Sumber: Kementerian Keuangan Sensitivitas Risiko Fiskal Badan Usaha Milik Negara Akibat Perubahan Variabel Ekonomi Makro Risiko fiskal yang bersumber dari BUMN terdiri dari: (i) kontribusi bersih BUMN; (ii) nilai utang bersih BUMN; dan (iii) kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Risiko-risiko tersebut dapat dibedakan sebagai risiko yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Risiko yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-67

401 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal bersifat langsung berupa kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, dimana setiap perubahan kinerja BUMN dapat mempengaruhi postur besaran APBN. Sedangkan yang bersifat tidak langsung berupa kemampuan BUMN untuk memenuhi seluruh kewajibannya yang diukur dari nilai utang bersih BUMN dan kapasitas untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan guna mendanai investasi dalam rangka pengembangan usahanya yang diukur dari kebutuhan pembiayaan bruto. GRAFIK VI.18 PERKEMBANGAN KONTRIBUSI BERSIH BUMN, (triliun rupiah) APBN-P 2010 Pajak deviden Privatisasi PSO PMN Pinjaman Kontribusi Bersih BUMN Sumber: Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara BUMN (data diolah) GRAFIK VI.19 PERKEMBANGAN NILAI UTANG BERSIH BUMN, (triliun rupiah) Sumber: Kementerian Ne gara BUMN (data diolah) GRAFIK VI.20 PERKEMBANGAN KEBUTUHAN PEMBIAYAAN BRUTO BUMN (CAPITAL EXPENDITURE), Sumber: Kementerian Negara BUMN (data diolah) Kontribusi bersih BUMN, merupakan selisih antara penerimaan negara dari BUMN (seperti pendapatan pajak, pendapatan bukan pajak, dan privatisasi) dibandingkan dengan pengeluaran negara kepada BUMN (seperti penyertaan modal negara, kompensasi PSO/ subsidi, dan pinjaman kepada BUMN). Perkembangan kontribusi bersih BUMN selama periode tahun 2005 sampai dengan 2010 menunjukkan selisih negatif dan berfluktuasi dapat dilihat pada Grafik VI.18. Nilai utang bersih BUMN, merupakan total kewajiban BUMN dikurangi dengan ketersediaan kas dan aset lancar. Nilai utang bersih ini tidak berpengaruh langsung ke APBN, tetapi dapat menjadi kewajiban kontinjensi Pemerintah apabila terdapat BUMN yang gagal bayar dalam memenuhi kewajibannya. Perkembangan total utang bersih BUMN tahun dapat dilihat pada Grafik VI.19. Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN, merupakan kebutuhan pendanaan untuk mendanai aset akibat sumber-sumber pendanaan yang telah tersedia tidak dapat memenuhi. Untuk itu BUMN perlu menerbitkan surat utang atau pun saham baru. Hal ini juga tidak berpengaruh langsung kepada Pemerintah, kecuali perusahaan memiliki investasi yang wajib dilakukan namun tidak memiliki akses sumber pembiayaan yang memadai seperti program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik batubara MW oleh PT PLN (Persero). Proyek percepatan tersebut membutuhkan dukungan Pemerintah untuk mendapatkan pinjaman dari pihak ketiga. Perkembangan kebutuhan pembiayaan bruto BUMN tahun dapat dilihat pada Grafik VI.20. Perubahan besaran risiko fiskal dari BUMN dipengaruhi oleh pergerakan variabel asumsi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan harga minyak. Pergerakan VI-68 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

402 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI variabel-variabel ekonomi makro tersebut akan menimbulkan dampak pada kinerja keuangan BUMN yang pada akhirnya dapat memengaruhi besaran indikator risiko fiskal dari BUMN. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan tersebut Pemerintah telah melakukan pengujian sensitivitas atau macro stress test dengan menggunakan beberapa indikator risiko fiskal yang meliputi: (i) kontribusi bersih BUMN; (ii) nilai utang bersih BUMN; dan (iii) kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Pengujian sensitivitas ini akan memberikan gambaran tentang (i) magnitude risiko dari BUMN yang memengaruhi APBN, (ii) informasi dini risiko fiskal, dan (iii) gambaran risiko sektoral, sehingga dapat diambil tindakan dini dan antisipasi terhadap gejala risiko fiskal. Sejak tahun 2009 simulasi macro stress test dilakukan dengan menggunakan sampel 22 BUMN dari berbagai sektor dengan kriteria (i) BUMN penghasil laba terbesar, (ii) BUMN penyebab rugi terbesar, (iii) BUMN penerima PSO/subsidi terbesar, dan (iv) BUMN yang mewakili sektor dalam perekonomian Indonesia. Perubahan atas 22 BUMN ini diharapkan dapat mencerminkan perubahan total BUMN yang berjumlah 141 BUMN. Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat lebih mewakili eksposur risiko fiskal yang berasal dari BUMN. Model macrostress test risiko fiskal BUMN menyajikan dua hasil utama yaitu analisis skenario dan stress test. Analisis skenario menggambarkan tingkat ketidakpastian indikator risiko fiskal masing-masing BUMN maupun agregasinya pada tiga skenario yakni (i) baseline, (ii) optimistis, dan (iii) pesimistis. Sedangkan stress test menyajikan perubahan relatif atas indikator risiko fiskal BUMN jika terjadi goncangan atau tekanan faktor risiko. Skenario baseline, menggambarkan kondisi ekonomi makro sesuai dengan asumsi APBN, seperti pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,3 persen, harga ICP USD80 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp Pada skenario ini, kontribusi bersih BUMN terhadap RAPBN 2011 menunjukkan nilai negatif sebesar Rp65,9 triliun. Skenario optimistis, variabel-variabel ekonomi makro diasumsikan berada pada posisi optimal yang paling mungkin terjadi, seperti pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,5 persen, harga ICP relatif rendah pada USD60 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar diasumsikan pada kisaran Rp Pada kondisi makro yang kondusif ini, tekanan risiko fiskal dari BUMN akan berkurang yang ditandai dengan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN sebesar Rp15,5 triliun. Skenario pesimistis, menunjukkan kondisi ekonomi makro berada pada posisi buruk yang paling mungkin terjadi, seperti untuk tahun 2011, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,0 persen, tingginya harga ICP sebesar USD95 per barel dan depresiasi rupiah terhadap dolar yang sangat tinggi hingga mencapai Rp Pada skenario ini, tekanan risiko fiskal dari BUMN akan meningkat yang ditandai dengan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN sebesar negatif Rp115,9 triliun. Kondisi ini akan memberikan tekanan terhadap belanja APBN khususnya kenaikan besaran PSO/subsidi yang dibayarkan Pemerintah melalui BUMN. Selain itu, biaya produksi operasional BUMN akan mengalami kenaikan sehingga akan mengurangi kontribusi BUMN terhadap APBN melalui penerimaan pajak dan setoran dividen. Risiko fiskal juga muncul sebagai akibat peningkatan nilai utang bersih BUMN karena sebagian besar biaya operasional dan komposisi utang BUMN dalam bentuk mata uang asing. Hasil analisis skenario risiko fiskal BUMN agregasi seperti pada Grafik VI.21 dan Tabel VI.14. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-69

403 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal GRAFIK VI.21 ANALISIS SKENARIO FISKAL BUMN AGREGASI 50,00 Kontribusi Bersih terhadap APBN 1.400,00 Nilai Utang Bersih BUMN Triliun rupiah - (50,00) (100,00) Trilun rupiah 1.200, ,00 800,00 600,00 400,00 (150,00) (200,00) 200, Baseline Optimistis Pesimistis Baseline Optimistis Pesimistis Triliun rupiah 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 - Kebutuhan Pembiayaan Bruto Baseline Optimistis Pesimistis Sumber: Kementerian Keuangan (data diolah) TABEL VI.14 KONTRIBUSI BERSIH TERHADAP APBN (miliar rupiah) Skenario baseline No Uraian Pajak dibayar Tunai a. PPH Badan b. PPN c. Royalti / iuran d. Pajak lainnya Subsidi dibayar Tunai Dividen kepada Pemerintah (tunai) Transfer dari Pemerintah non-subsidi Bunga atas Hutang dari Pemerintah Posisi Pinjaman Pemerintah (67.363) ( ) Posisi akhir Sumber: Kementerian Keuangan (data diolah) (85.155) (65.904) ( ) ( ) VI-70 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

404 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Stress test beberapa variabel utama ekonomi makro terhadap risiko fiskal BUMN agregat dilakukan secara parsial, yaitu melihat dampak atas perubahan satu variabel ekonomi makro terhadap indikator risiko fiskal BUMN, dengan mengasumsikan variabel ekonomi makro lainnya tidak berubah (ceteris paribus). Dengan cara ini juga akan dapat diketahui variabel ekonomi makro yang mempunyai dampak paling besar dan signifikan terhadap risiko fiskal BUMN. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 20 persen mempunyai dampak sangat signifikan terhadap besaran subisidi/pso, kinerja operasional dan neraca keuangan BUMN agregat. Kerentanan yang sangat besar ini disebabkan formula perhitungan subsidi/pso memakai mata uang asing dan komposisi biaya operasional serta utang dalam mata uang asing yang sangat besar. Ini terlihat dengan bertambahnya nilai utang bersih BUMN sebesar Rp17,38 triliun pada tahun 2011 dan terus meningkat pada tahun berikutnya. Dengan meningkatnya nilai utang bersih tersebut, berarti kemampuan aktiva lancar BUMN dalam menanggung total kewajiban semakin menurun. Kondisi ini berpotensi terjadinya kemungkinan BUMN default dan tidak mampu membayar kewajiban utangnya. Selain itu depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga akan meningkatkan kebutuhan pembiayaan bruto BUMN, yang ditunjukkan pada tahun 2011 kebutuhan pembiayaan bruto BUMN bertambah sebesar Rp7,61 triliun agar BUMN tetap tumbuh. Terkait dengan hal ini terdapat BUMN yang mengalami kesulitan dalam mencari sumbersumber pembiayaan jika tanpa disertai dengan dukungan Pemerintah. Dampak yang dirasakan oleh BUMN ini pada akhirnya akan mengurangi kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi BUMN sebesar Rp69,48 triliun pada tahun Kenaikan harga minyak dunia sebesar USD25 per barel akan mendorong secara signifikan kenaikan biaya produksi, terutama pada BUMN di bidang energi, transportasi dan pupuk, serta bertambahnya besaran subsidi dari Pemerintah sehingga kontribusi bersih terhadap APBN semakin negatif. Dampak stress test ini mengakibatkan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN pada tahun 2011 semakin negatif sebesar Rp80,99 triliun, sehingga tekanan terhadap fiskal semakin berat. Kenaikan subsidi/pso ini terutama disebabkan oleh bertambahnya subsidi minyak dan listrik yang diberikan melalui PT Pertamina dan PT PLN. Kenaikan suku bunga sebesar 3 persen juga berdampak kepada fiskal walaupun tidak sebesar dampak dari depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan kenaikan harga minyak. Kenaikan suku bunga berdampak pada bertambahnya biaya yang ditanggung oleh BUMN sehingga akan mengurangi kontribusi bersih BUMN. Kenaikan suku bunga pada tahun 2011 akan menambah negatif kontribusi bersih BUMN sebesar Rp3,49 triliun begitu pula pada tahun berikutnya jika kenaikan masih terjadi. Penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen juga berdampak penurunan jumlah penjualan yang dapat diraih oleh BUMN, yang selanjutnya akan mengurangi kontribusi bersih BUMN sebesar Rp1,68 triliun. Adapun gambaran stress test perubahan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, harga minyak, dan tingkat bunga terhadap risiko BUMN dapat dilihat pada Tabel VI.15. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-71

405 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal TABEL VI.15 STRESS TEST PERUBAHAN PERTUMBUHAN EKONOMI, NILAI TUKAR, HARGA MINYAK, DAN TINGKAT BUNGA TERHADAP RISIKO FISKAL Stress test depresiasi Rupiah terhadap dolar sebesar 20 persen (miliar Rupiah) No Variabel Shock Dampak Kontribusi bersih terhadap APBN (64.215) ( ) ( ) ( ) 2 Nilai Utang bersih BUMN Kebutuhan pembiayaan bruto (7.612) (7 1) (9.347 ) 4 Subsidi Stress test kenaikan harga minyak sebesar USD25 per barel No Variabel Shock (miliar Rupiah) Dampak Kontribusi bersih terhadap APBN (82.910) (80.995) (92.188) (90.630) 2 Nilai Utang bersih BUMN Kebutuhan pembiayaan bruto (1.7 64) ( ) (1.847 ) 4 Subsidi Stress test kenaikan suku bunga sebesar 3 persen No Variabel Shock (miliar Rupiah) Dampak Kontribusi bersih terhadap APBN (2.17 4) (3.498) (5.303) (6.264) 2 Nilai Utang bersih BUMN Kebutuhan pembiayaan bruto 33 (135) (53) (40) 4 Subsidi Stress test pertumbuhan ekonomi turun sebesar 1 persen No Variabel Shock (miliar Rupiah) Dampak Kontribusi bersih terhadap APBN (221 ) (1.67 5) (4.27 3) (6.603) 2 Nilai Utang bersih BUMN Kebutuhan pembiayaan bruto (17 3) Subsidi (543) (32) Sumber: Kementerian Negara BUMN (data diolah) VI-72 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

406 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI BOKS VI. 8 PT PERTAMINA (Persero) Kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) tahun 2009 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang terus meningkat. Rasio utang dan modal juga mengalami kenaikan, yang berarti bahwa peningkatan aktiva lebih banyak bersumber dari utang daripada modal sendiri. Walaupun demikian, PT Pertamina (Persero) merupakan salah satu BUMN penyumbang pajak dan dividen terbesar. (triliun rupiah) Keterangan Total Aktiva 254,2 294,4 315,9 Total Kewajiban 133,7 144,2 175,8 Hak Minoritas 1,7 1,1 0,7 Total Ekuitas 118,8 149,1 139,4 Laba Bersih 19,51 30,2 15,79 Return on investment (%) 7,68 10,26 5,00 Debt to Equity Ratio (%) 112,54 96,71 126,11 Su m ber: Kem enteria n Negara BUMN,(data diolah) Risiko terbesar pada PT Pertamina (Persero) adalah sangat sensitif terhadap perubahan harga minyak dan nilai tukar terutama terkait dengan pengadaan BBM disamping volume permintaan BBM dalam negeri yang terus meningkat. PT Pertamina (Persero) mengemban penugasan dari Pemerintah untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM bersubsidi kepada masyarakat. Sehubungan dengan PSO tersebut, PT Pertamina (Persero) menerima subsidi dari Pemerintah sebagai pengganti selisih antara harga jual BBM PSO dengan harga keekonomiannya. (triliun rupiah) Tahun Subsidi Keterangan ,2 LKPP ,8 LKPP ,1 LKPP ,0 LKPP ,9 APBN-P Sumber: Kementerian Keuangan, (data diolah) Uji Macrostress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi BBM pada PT Pertamina menunjukkan dampak sebagai berikut: (miliar rupiah) Variabel Shock Depresiasi Rupiah terhadap dolar (20 %) Harga minyak naik USD25 per barel Kenaikan suku bunga 3 % Pertumbuhan ekonomi turun 1 % - (1.064) (1.301) (1.352) Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-73

407 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal BOKS VI. 9 PT PLN (Persero) Tahun 2009, kinerja keuangan PT PLN Persero (PLN) telah membukukan laba setelah pada tahun-tahun sebelumnya mengalami kerugian. Membaiknya kondisi tersebut antara lain terkait dengan penetapan besaran margin sebesar 5 persen dalam komponen perhitungan subsidi. (triliun rupiah) Keterangan Total Aktiva 273,5 290,7 333,7 Total Kewajiban 137,1 163,7 192,5 Hak Minoritas Total Ekuitas 136, ,2 Laba Bersih -5,7-12,3 10,4 Return on investment (%) (2,07) (4,23) 3,10 Debt to Equity Ratio (%) 100,48 128,93 136,35 Sumber: Kementerian Negara BUMN (data diolah) Jumlah utang PLN hingga tahun 2009 terus meningkat yang terlihat dari kenaikan debt to equity ratio, yang sebagian besar digunakan untuk pendanaan proyek investasi PLN yang besar seperti proyek percepatan pembangunan PLTU MW. Beberapa risiko yang dihadapi oleh PLN antara lain fluktuasi nilai tukar, suku bunga, harga energi primer dan risiko proyek. Kebijakan Pemerintah dalam menguatkan kondisi keuangan PLN untuk mendukung pelaksanaan Proyek MW pada tahun 2010 antara lain berupa penambahan besaran margin dalam komponen perhitungan subsidi, pemberian pinjaman dengan persyaratan lunak dan penyesuaian tarif dasar listrik (TDL). Dalam kerangka PSO, PLN mengemban penugasan Pemerintah untuk menyediakan tenaga listrik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat umum. Sehubungan dengan PSO tersebut, PLN menerima subsidi dari Pemerintah sebagai pengganti selisih antara harga jual listrik PSO dengan BPP listrik. (triliun rupiah) Tahun Subsidi Keterangan ,4 LKPP ,1 LKPP ,9 LKPP ,7 LKPP ,1 APBN-P Sumber: Kementerian Keuangan (data diolah) Uji Macrostress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi BBM pada PT PLN (Persero) menunjukkan dampak sebagai berikut: (miliar rupiah) Variabel Shock Depresiasi Rupiah terhadap dolar (20 %) Harga minyak naik USD25 per barel Kenaikan suku bunga 3 % Pertumbuhan ekonomi turun 1 % (67 5) VI-74 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

408 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI BOKS VI. 10 PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dalam Program Penjaminan Kredit Usaha Rakyat Program penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan tindak lanjut Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK). KUR disalurkan oleh bank-bank pelaksana yang dijamin oleh PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Realisasi penjaminan KUR per 31 Desember 2009 adalah sebagai berikut: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 menginstruksikan penerbitan Peraturan Pemerintah Uraian PT Askrindo Perum Jamkrindo Total Pokok kredit (miliar Rp) , , ,67 Gearing ratio (x) 13,01 4,59 17,6 Jumlah UMKMK (unit) Jumlah tenaga kerja Jumlah klaim (miliar rupiah) 265,6 30,92 296,53 Non Performing Guarantee (%) 2,08 0,79 2,78 tentang Penyertaan Modal Negara kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Pada tahun 2010 telah dilakukan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo sebesar sebesar Rp1.800,0 miliar. Penambahan PMN tersebut dilakukan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan penjamin, sehingga akan menaikkan tingkat penyaluran KUR kepada debitur usaha mikro. Dengan gearing ratio sebesar 10 kali, maka tambahan PMN tersebut akan meningkatkan kemampuan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo untuk melakukan penjaminan KUR dari Rp19.500,0 miliar pada tahun 2009 menjadi Rp37.500,0 miliar pada tahun Peningkatan kemampuan penjaminan tersebut diharapkan dapat mendukung program Pemerintah untuk melakukan ekspansi KUR mulai tahun 2010 sampai dengan Selain itu, pada tahun 2010 Pemerintah juga melakukan penyesuaian besaran Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Risiko terbesar program KUR adalah kemungkinan peningkatan Non Performing Guarantee (NPG) sebagai dampak krisis keuangan global, yang akan berpengaruh pada kinerja PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dan penurunan nilai PMN pada kedua BUMN tersebut. Secara umum kinerja keuangan PT Askrindo adalah sebagai berikut: Keterangan Total Aktiva 907,2 1793,3 1962,3 2195,7 Total Kewajiban 55,2 65,5 207,1 278,1 Total Ekuitas 852,0 1727,9 1755,3 1916,7 Laba Bersih 87,3 48,7 36,7 (110,7) Return on Equity (%) 10,25 2,82 2,09 (5,78) Debt to Equity Ratio (%) 6,48 3,79 11,80 14,51 Sumber: PT Askrindo (data diolah) (miliar rupiah) Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-75

409 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Sedangkan kinerja keuangan Perum Jamkrindo adalah sebagai berikut Keterangan Total Aktiva 442,0 1126,0 1267,2 1661,5 Total Kewajiban , ,5 Total Ekuitas 295,0 945,6 1058,2 1434,0 Laba Bersih 33,6 58,6 133,8 113,2 Return on equity (%) 11,39 6,20 12,64 7,89 Debt to equity ratio (%) 49,83 19,08 19,75 15,86 Sumber: Perum Jamkrindo (data diolah) (miliar rupiah) Terkait dengan uraian tersebut di atas, berikut ini disajikan profil kinerja Keuangan beberapa BUMN yang mempunyai potensi risiko fiskal sangat besar yang terkait dengan penugasan khusus Pemerintah (PSO) di bidang energi pada Boks VI.8 dan Boks VI.9. Untuk risiko fiskal BUMN terkait dengan PMN disajikan BUMN yang terlibat dalam Program Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Boks VI Risiko Utang Pemerintah Pusat Risiko utang Pemerintah merupakan salah satu bentuk risiko fiskal yang sangat penting dan memerlukan pengelolaan yang baik, sebab sangat mempengaruhi kesinambungan fiskal Pemerintah pada tahun berjalan dan masa yang akan datang. Dalam hal ini, pengelolaan risiko utang Pemerintah akan berpengaruh terhadap besarnya beban yang akan ditanggung Pemerintah. Secara umum, risiko utang Pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis yaitu risiko tingkat bunga (interest rate risk), risiko pembiayaan kembali (refinancing risk), dan risiko nilai tukar (exchange rate risk). Parameter-parameter tersebut digunakan untuk menentukan optimal atau tidaknya pengelolaan portofolio utang Pemerintah dari sisi keuangan. Selain itu, terdapat pula risiko yang ditimbulkan dari lingkungan internal organisasi yakni risiko operasional yang terjadi dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang. Kondisi risiko keuangan portofolio utang Pemerintah selama 2010 semakin membaik dibandingkan pada tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan semakin kondusifnya pasar keuangan khususnya di pasar domestik, sehingga para investor semakin tertarik untuk menginvestasikan modalnya di pasar domestik. Dengan kondisi ini telah memengaruhi juga pasar obligasi, antara lain turunnya yield SBN dan meningkatnya biding yang masuk dalam lelang SBN. Selama semester I 2010 telah berjalan sesuai dengan target yang ditetapkan dan didukung dengan pasar yang semakin kondusif. Realisasi penerbitan SBN telah mencapai 61,81 persen dari total target, dimana penerbitan tersebut didominasi oleh SBN domestik dengan ratarata tenor diatas 10 tahun dan memiliki tingkat bunga tetap. Sehingga realisasi dari komposisi penerbitan SBN tersebut mempengaruhi kondisi risiko portofolio utang Pemerinta secara signifikan. Secara spesifik perubahan yang terjadi pada indikator risiko portofolio utang dapat dilihat pada Tabel VI.16. VI-76 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

410 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.16 INDIKATOR RISIKO PORTOFOLIO UTANG TAHUN Uraian * 2011** Outstanding (triliun rupiah) SBN 7 44,2 803,1 906,5 97 9, , ,1 PLN 559,4 586,4 7 30,3 610,3 611,2 610,4 Total 1.303, , , , , ,5 Interest Rate Risk Rasio Variabel Rate (%) 28,7 26,7 22,9 22,1 19,7 17,5 Refixing Rate (%) 32,4 30,2 28,2 28,2 27,7 24,0 Average Time to Refix (tahun) 8,4 8,4 8,3 8,2 8,2 7,8 Exchange Rate Risk Rasio Utang FX-PDB (%) 18,2 16,5 17,2 13,4 12,3 11,6 Rasio Utang FX-Total Utang (%) 46,8 47,0 52,1 47,4 45,5 46,2 Komposisi Currency Utang (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,1 100,0 IDR 53,2 53,1 47,9 52,6 54,6 53,8 USD 16,7 19,0 21,9 21,9 21,9 22,7 JPY 17,8 17,6 20,9 17,4 16,8 17,2 EURO 7,0 7,1 6,4 5,0 3,9 2,5 Others 5,2 3,3 2,9 3,1 2,9 3,8 Refinancing Risk (%) Porsi Utang Jatuh Tempo <1 th 5,7 6,8 6,4 7,6 7,7 7,9 Porsi Utang Jatuh Tempo <3 th 18,3 19,4 18,6 20,3 21,4 21,8 Porsi Utang Jatuh Tempo <5 th 29,9 30,6 31,1 33,2 34,9 35,4 Average T im e Maturuty (AT M) (tahun) SBN 1 2,8 12,4 12,0 11,0 1 0,2 9,6 PLN 7,6 7,6 7,4 8,0 8,8 9,1 Total 10,6 10,4 10,0 9,8 9,7 9,4 Catatan: *) angka 2010 proyeksi untuk akhir tahun 2010 berdasarkan realisasi semester I 2010 **) angka 2011 adalah proyeksi berdasarkan tren yang terjadi selama 2006 s.d 2010 Sumber: Kementerian Keuangan Interest Rate Risk Risiko tingkat bunga (interest rate risk) adalah potensi tambahan beban anggaran akibat perubahan tingkat bunga di pasar yang meningkatkan biaya pemenuhan kewajiban utang Pemerintah. Indikator risiko tingkat bunga terdiri dari rasio variable rate (VR) dan refixing rate terhadap total utang, serta Average Time to Refix (ATR). Pada Tabel VI.16 terlihat bahwa rasio variable rate (VR) dan refixing rate terhadap total utang lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rasio-rasio tersebut secara trend terus mengalami penurunan akibat adanya kebijakan dalam menetapkan strategi pembiayaan yang mengutamakan penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman luar negeri yang memiliki bunga tetap. Penyebab lain turunnya rasio VR terhadap total utang adalah adanya restrukturisasi pinjaman World Bank yang memiliki tingkat bunga mengambang dikonversi menjadi tingkat bunga tetap (tahun 2009), dan adanya pembatalan atas penerbitan SBN dengan suku bunga mengambang (floating) di tahun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-77

411 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Konversi tingkat bunga World Bank tahun 2009 merupakan konversi kedua, yang mengubah pinjaman World Bank sebesar USD4,17 miliar. Konversi yang dilakukan saat kondisi tingkat bunga berada pada historically low-level ini, berdampak mengurangi risiko tingkat bunga utang Pemerintah sebesar 2,12 persen. Selain mengurangi risiko, konversi saat kondisi tingkat bunga rendah juga berpotensi menurunkan beban bunga karena konvesi dilakukan saat suku bunga sedang rendah. Sementara itu, ATR utang Pemerintah menunjukkan kondisi penurunan, yang menggambarkan semakin meningkatnya risiko pembayaran kembali, karena rata-rata waktu yang dibutuhkan portofolio dalam mengeset kembali suku bunganya semakin pendek. Exchange Rate Risk Risiko nilai tukar (exchange rate risk) adalah potensi peningkatan beban kewajiban Pemerintah dalam memenuhi kewajiban utang akibat peningkatan kurs nilai tukar valuta asing terhadap mata uang rupiah. Dalam dekade terakhir ini risiko nilai tukar utang Pemerintah cenderung semakin membaik sejalan dengan kecenderungan menguatnya nilai tukar Rupiah. Membaiknya risiko nilai tukar utang ditunjukkan oleh penurunan rasio utang dalam denominasi valas (utang FX) terhadap besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan semakin rendahnya rasio ini menunjukkan semakin berkurangnya risiko nilai tukar secara relatif terhadap perekonomian. Penurunan rasio tersebut disebabkan kurs nilai tukar rupiah pada semester I tahun 2010 stabil dan cenderung mengalami penguatan, serta adanya pengurangan target penerbitan SBN valas sekitar Rp13,05 triliun. Rasio utang FX terhadap total utang diperkirakan akan terkoreksi hingga 45,50 persen pada akhir tahun Hal ini mengalami penurunan yang sangat jauh dibandingkan dengan tahun 2008 yang pada saat itu mengalami krisis finansial global. Refinancing Risk Risiko refinancing adalah potensi naiknya tingkat biaya utang pada saat melakukan pembiayaan kembali (refinancing), atau bahkan tidak dapat dilakukan refinancing sama sekali yang akan meningkatkan beban Pemerintah dan/atau mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan pembiayaan Pemerintah. Average Time to Maturity (ATM) merupakan salah satu indikator refinancing risk, yang pada 2010 kondisinya sekitar 9,69 tahun. Kondisi tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, yana mana menunjukkan bahwa tenor utang Pemerintah semakin pendek. Indikator lain dari refinancing risk adalah porsi utang yang jatuh tempo pada 1, 3, dan 5 tahun yang akan datang. Sejalan dengan makinpendeknya ATM, ketiga porsi utang yang jatuh tempo tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini kedepannya dapat diantisipasi dengan melakukan pembelian kembali (buyback) dan penukaran (switching) terhadap utang yang jatuh tempo kurang dari 3 tahun. Pada tahun 2011, diproyeksikan jumlah outstanding utang akan mencapai Rp1.807,45 triliun yang terdiri dari SBN sebesar Rp1.197,09 triliun dan Pinjaman sebesar Rp610,38 triliun. Proyeksi tersebut diperkirakan akan berdampak pada kondisi risiko portofolio utang yang semakin baik, yaitu risiko tingkat bunga yang akan terus membaik dengan menurunnya proyeksi rasio utang variabel rate dan refixing rate. Perbaikan tingkat risiko utang juga akan terjadi pada risiko nilai tukar dengan menurunnya rasio utang valas terhadap PDB. VI-78 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

412 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Walaupun rasio utang valas terhadap total utang sedikit meningkat, rasionya masih terjaga dalam interval kurang dari 49 persen (berdasarkan strategi pembiayaan jangka menengah). Sementara itu untuk risiko refinancing diperkirakan akan sedikit memburuk karena adanya peningkatan porsi utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek, serta memendeknya tenor utang Pemerintah secara keseluruhan. Upaya perbaikan tingkat risiko portofolio utang di atas dapat dicapai dengan penerapan strategi sebagai berikut: a. Mengutamakan penerbitan/penarikan utang yang memiliki suku bunga tetap (Fixed Rate) dan melakukan konversi utang yang memiliki bunga mengambang atau variabel menjadi bunga tetap untuk mengurangi risiko tingkat bunga. b. Mengutamakan penerbitan surat utang di pasar domestik dengan mata uang rupiah untuk mengurangi risiko nilai tukar. c. Memilih jenis mata uang valas yang memiliki volatilitas rendah terhadap mata uang Rupiah dalam penerbitan/penarikan utang. d. Mengupayakan penarikan utang baru dengan terms and conditions yang lebih favorable, antara lain dengan mengurangi/ menghilangkan pengenaan commitment fee untuk komitmen utang yang belum dicairkan. e. Melakukan operasi pembelian kembali (buyback) dan penukaran (switching) yang berkesinambungan dalam rangka pengelolaan portofolio dan risiko Surat Berharga Negara dengan tujuan mengurangi risiko refinancing. f. Melakukan monitoring penarikan utang yang efektif, sehingga komitmen utang yang tidak efisien untuk diteruskan dapat segera ditutup. g. Menyusun peraturan pelaksanaan terkait penggunaan instrumen financial derivative dalam rangka hedging. Dari sisi operasional pengelolaan utang, juga dilakukan pengendalian risiko yang mungkin terjadi selama kegiatan pengelolaan utang dilaksanakan. Upaya yang dilakukan Pemerintah antara lain dengan: (a) mengembangkan dan melaksanakan standar prosedur pengelolaan utang, baik untuk internal unit pengelola utang maupun terkait dengan hubungan antara unit pengelola utang dengan stakeholders; (b) menegakkan kode etik pegawai unit pengelola utang; (c) meningkatkan kompetensi pegawai unit pengelola utang; (d) mengembangkan sistem teknologi informasi yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang secara efektif, efisien, aman, transparan, dan akuntabel; (e) menyusun dan menyempurnakan peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan utang, sebagai landasan hukum untuk melaksanakan pengelolaan utang secara trasparan, aman, akuntabel, dan bertanggung jawab; (f) serta melaksanakan penerapan manajemen risiko, yang terdiri dari : identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, rencana penanganan (mitigasi) risiko, melakukan monitoring atas risiko dalam pengelolaan utang Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat Proyek Pembangunan Infrastruktur Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur, seperti yang berasal dari dukungan dan/atau jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-79

413 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal yaitu proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik MW tahap I dan II, proyek pembangunan jalan tol, percepatan penyediaan air minum (PDAM) dan proyek model Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS) Independent Power Producer (IPP) PLTU Jawa Tengah. Pemberian jaminan ini membawa konsekuensi fiskal bagi Pemerintah dalam bentuk peningkatan kewajiban kontinjen Pemerintah. Ketika risiko-risiko yang dijamin Pemerintah tersebut terjadi dan Pemerintah harus menyelesaikan kewajiban kontinjen dimaksud, maka kondisi ini kemudian dapat menjadi tambahan beban bagi APBN. Untuk meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia perlu meningkatkan pembangunan infrastruktur. Dengan fakta bahwa kemampuan keuangan negara dalam penyediaan infrastruktur relatif terbatas, maka peran swasta dalam penyediaan infrastruktur di masa depan menjadi semakin penting. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah dapat memberikan penjaminan atas partisipasi pendanaan pihak swasta yang digunakan untuk membangun infrastruktur. Yang dijamin dalam hal ini adalah kemungkinan kerugian/return yang menurun karena terjadinya risiko-risiko yang bersumber dari Pemerintah (sovereign risks). Penjaminan yang telah diberikan selama ini tertuang untuk proyek yang merupakan penugasan dari Pemerintah untuk penyelenggaraan infrastruktur dan proyek infrastruktur yang dilaksanakan dengan skema KPS. Di sektor kelistrikan, Pemerintah telah memberikan jaminan kredit penuh untuk Proyek MW Tahap I terkait penugasan kepada PT PLN (Persero) dalam penyediaan listrik. Sementara itu, untuk penyediaan air minum Pemerintah menyediakan jaminan kredit sebagian bagi PDAM yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Terkait dengan proyek KPS, Pemerintah memberikan jaminan atas perjanjian kerjasama antara penanggung jawab proyek kerjasama dan badan usaha sehubungan dengan risiko-risiko yang bersumber dari Pemerintah. Di samping kebijakan penjaminan bagi proyek infrastruktur, Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan untuk membantu pengadaan tanah yang sering menjadi kendala dalam pembangunan infrastruktur. Selanjutnya dari sisi penjaminan proyek, Pemerintah telah mendirikan sebuah badan usaha untuk menjamin proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan skema KPS. Sementara itu, dari sisi pendanaan Pemerintah juga telah menyiapkan badan usaha yang fokus pada penggalangan dana domestik untuk penyediaan infrastruktur. Dalam rangka pengembangan green energy, Pemerintah telah menetapkan dukungan kepada badan usaha terkait untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik panas bumi (geothermal). Dengan pengembangan pembangkit ini maka diharapkan di masa depan kesinambungan keuangan negara dari akibat negatif gejolak harga minyak dan batubara dapat lebih terjaga. a. Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik MW Tahap I Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/ kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik ( MW). Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (persero) dalam memperoleh kredit (creditworthiness) dan sekaligus menurunkan biaya modal proyek. VI-80 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

414 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.17 PEROLEHAN PEMBIAY AAN PROYEK PEMBANGKIT T ENAGA LISTRIK MW TAHAP I (per 31 Desem ber 2009) No. PLT U Kapasitas (MW) Nilai Pinjaman Porsi Rupiah (m iliar) Porsi USD (juta) 1 Suralaya 1 x ,4 284,29 2 Paiton 1 x ,6 330,83 3 Rembang 2 x ,50 261,8 4 Labuan 2 x ,60 288,56 5 Indramayu 3 x ,90 592,22 6 Pacitan 2 x ,90 293,23 7 Teluk Naga 3 x ,60 454,97 8 Pelabuhan Ratu 3 x ,30 481,94 9 Lampung 2 x ,9 119,21 10 Sumatera Utara 2 x ,8 209,26 11 NTB 2 x ,8 23, Gorontalo 2 x ,8 25,84 13 Sulawesi Utara 2 x ,5 27,31 14 Kepulauan Riau 2 x 7 71,2 7,01 15 NTT 2 x 7 73,2 7,89 16 Sulawesi Tenggara 2 x 10 97,1 10,28 17 Kalimantan Tengah 2 x ,9 62,06 18 Tanjung Awar-Awar 2 x , ,5 19 Sulawesi Selatan 2 x ,9 52, Bangka Belitung 2 x ,9 22, Papua 2 x ,8 13,66 22 Kalimantan Selatan 2 x ,4 83,94 23 Aceh 2 x ,3 124, NTT 2 x 16,5 134,5 23, NTB 2 x ,5 23, Sumatera Barat 2 x ,4 138, Kalimantan Barat 2 x 27, , Bangka Belitung 2 x 16,5 142,2 23,9 29 Maluku Utara 2 x 7 100,4 9,87 30 Adipala 1 x , Riau 2 x ,4 8, Riau 2 x 7 111,3 9, Kalimantan Barat 2 x ,1 62, Paket Transmisi ,27 - T otal , ,67 Sumber: Kementerian Keuangan. Dengan demikian diharapkan akan mempercepat penyelesaian proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik MW tahap sehingga masalah kekurangan pasokan listrik dapat teratasi. Proyek ini dibiayai dari anggaran PT PLN dan pembiayaan dari perbankan. Porsi pembiayaan perbankan sekitar 85 persen dari total kebutuhan dana proyek pembangkit dan transmisi. Hingga 31 Desember 2009, sumber pembiayaan yang telah diperoleh (ditandatangani dan ditetapkan pemenang lelang) dapat dilihat pada Tabel VI.17. Risiko fiskal dengan adanya jaminan Pemerintah (full guarantee) ialah ketika PLN tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, dan oleh karenanya Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan kewajiban Pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN. Beberapa faktor risiko yang dapat mengurangi kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu antara lain pertumbuhan penjualan energi listrik yang tinggi, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, serta kekurangan pasokan batubara. Kewajiban PLN kepada kreditur pada tahun 2011 sudah memasuki periode kewajiban pembayaran bunga dan pokok atas pinjaman. Mengingat 90 persen kebutuhan pembiayaan telah diperoleh pada tahun 2009 maka Pemerintah pada RAPBN 2011 perlu mengalokasikan anggaran guna mengantisipasi risiko fiskal atas kewajiban PLN dalam pembayaran pokok dan bunga kredit tersebut sebesar Rp889,0 miliar. b. Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik MW Tahap II Komitmen Pemerintah Indonesia atas hasil pertemuan G20 dalam hal pengurangan emisi karbon serta dalam rangka mengurangi dampak gejolak harga minyak bumi terhadap besaran subsidi listrik di masa yang akan datang Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2010 tentang Penugasan Kepada PT PLN (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 sebagai landasan dan dasar hukum dalam memberikan dukungan dalam bentuk penjaminan kelayakan usaha PT PLN (Persero) dalam rangka pelaksanaan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, batu bara dan gas. Adapun nama-nama proyek yang akan mendapat penjaminan tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-81

415 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal 2010 tentang Daftar Proyek-proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas serta Transmisi Terkait. c. Proyek Pembangunan Jalan Tol Risiko Fiskal pada proyek pembangunan jalan tol berasal dari dukungan Pemerintah dalam menanggung sebagian dari kelebihan biaya pengadaan tanah (land capping) sebagai akibat adanya kenaikan harga pada saat pembebasan lahan. Dukungan Pemerintah dimaksud diberikan untuk 28 proyek jalan tol. Pemberian dukungan Pemerintah atas kenaikan biaya pengadaan lahan pada 28 ruas jalan tol dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan jalan tol yang tersendat. Hal tersebut disebabkan oleh permasalahan kenaikan harga dalam pembebasan tanah yang akan digunakan dalam pembangunan jalan tol. Di samping itu, dukungan juga dimaksudkan untuk menjaga tingkat kelayakan financial dari proyek jalan tol sehingga diharapkan investor segera menyelesaikan pembangunannya. Dana dukungan Pemerintah atas kenaikan biaya pengadaan lahan (land capping) tersedia sebesar Rp4,89 triliun sejak tahun Dari jumlah tersebut, Rp890,2 miliar akan dialokasikan pada APBN Tahun Pelaksanaan penggunaan dana pada akhir tahun 2010 dan pada awal tahun 2011 akan digunakan sebagai bahan evaluasi kebijakan dukungan Pemerintah dalam menetapkan kelanjutan kebijakan land capping di tahun 2012 dan selanjutnya. d. Percepatan Penyediaan Air Minum Dalam rangka percepatan penyediaan air minum bagi penduduk dan untuk mencapai MDG s, Pemerintah memandang perlu untuk mendorong peningkatan investasi PDAM. Hal tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan akses PDAM untuk memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional, melalui kebijakan pemberian jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan dimaksud dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum serta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Jaminan Pemerintah Pusat adalah sebesar 70 persen dari jumlah kewajiban pembayaran kembali kredit investasi PDAM yang telah jatuh tempo, sedangkan sisanya sebesar 30 persen menjadi risiko bank yang memberikan kredit investasi. Sedangkan tingkat bunga kredit investasi yang disalurkan bank kepada PDAM ditetapkan sebesar BI rate ditambah paling tinggi 5 persen, dengan ketentuan tingkat bunga sebesar BI rate ditanggung PDAM, dan selisih bunga di atas BI rate paling tinggi sebesar 5 persen menjadi subsidi yang ditanggung Pemerintah Pusat. Jaminan atas kewajiban PDAM serta subsidi bunga tersebut akan dibayarkan Pemerintah melalui skema APBN. Jaminan tersebut selanjutnya akan menjadi kewajiban PDAM dan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Risiko fiskal yang mungkin terjadi dari penjaminan ini adalah ketidakmampuan PDAM untuk membayar kewajibannya yang jatuh tempo kepada perbankan. Untuk itu Pemerintah akan memenuhi 70 persen dari kewajiban PDAM tersebut. Faktor-faktor yang dapat memicu VI-82 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

416 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI terjadinya hal itu di antaranya adalah tingkat kehilangan air (non water revenue/nwr) yang tinggi, manajemen internal PDAM yang kurang handal, serta penetapan tarif air minum (oleh Pemda/Kepala Daerah) yang berada di bawah harga keekonomian. Kewajiban PDAM kepada bank dalam tahun 2011 meliputi kewajiban pembayaran bunga dan pembayaran pokok atas pinjaman. Untuk itu dalam RAPBN 2011, Pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp147,0 miliar guna mengantisipasi risiko fiskal atas kewajiban PDAM dalam pembayaran kredit perbankan. e. Operasionalisasi PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dalam Penjaminan Infrastruktur Sebagai bentuk komitmen Pemerintah untuk mendorong keterlibatan sektor swasta dan upaya memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam penyediaan infrastruktur, Pemerintah telah mendirikan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)/PT PII pada tanggal 30 Desember PT PII merupakan implementasi dari Indonesia Infrastructure Guarantee Fund dan bertindak sebagai instrumen fiskal dalam pemberian jaminan untuk meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) proyek infrastruktur. PT PII ditugaskan menjamin risikorisiko yang dialokasikan pada Pemerintah dalam proyek infrastruktur sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2005 yang telah diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden nomor 67 tauhn 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Pemerintah menerapkan kebijakan satu pintu/single window policy dimana usulan penjaminan disampaikan kepada PT PII, kemudian PT PII akan melakukan tinjauan dan penilaian atas usulan tersebut. Keputusan penjaminan PT PII didasarkan pada kemampuan modalnya dan untuk memenuhi kebutuhan penjaminan, PT PII dimungkinkan melakukan kerjasama dengan pihak lain dan/atau melakukan penjaminan bersama Pemerintah. Berdasarkan hal di atas, keberadaan PT PII akan mendorong pengelolaan yang lebih transparan dan akuntabel atas kewajiban kontinjen guna menjaga kesinambungan APBN dari kewajiban-kewajiban mendadak yang timbul akibat pemberian jaminan. PT PII merupakan sebuah BUMN yang dimiliki 100 persen oleh Pemerintah. Pemerintah berkomitmen untuk mencukupi kebutuhan modal PT PII sesuai kebutuhan penjaminan. Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur Indonesia, Pemerintah telah menanamkan modal awal sebesar Rp1,0 trilliun dan telah melakukan penambahan modal melalui APBN-P 2010 sebesar Rp1,0 trilliun. Seiring kebutuhan pembangunan proyek infrastruktur dan sebagai upaya meningkatkan kepercayaan pihak swasta, Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp1,5 trilliun kepada PT PII sebagai tambahan Penyertaan Modal Negara dalam RAPBN f. Dukungan Pemerintah untuk Proyek Model KPS Independent Power Producer (IPP) PLTU Jawa Tengah Dalam Semester I tahun 2009, Pemerintah telah menerima proposal permintaan dukungan Pemerintah yang diajukan oleh PT PLN (Persero) untuk model IPP PLTU Jawa Tengah. Proyek ini merupakan satu dari sepuluh proyek yang dinyatakan Pemerintah dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE) 2006 sebagai model proyek yang akan dijalankan dengan skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)/Public Private Partnership Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-83

417 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Box VI. 11 Pengelolaan Kewajiban Kontinjensi Kewajiban Kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa (event), yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Pemerintah. Dengan demikian, terdapat risiko fiskal bagi Pemerintah untuk memenuhi kewajiban kontinjensi yang timbul, meskipun risiko tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk memberikan kepastian agar beban kewajiban kontinjensi Pemerintah yang timbul tidak mengganggu keberlangsungan fiskal dalam tahun anggaran berkenaan, maka diperlukan adanya pengelolaan kewajiban kontinjensi oleh Pemerintah sehingga dapat meminimalkan biaya dan risiko fiskal dalam APBN. Pengelolaan kewajiban kontinjensi dapat berupa analisis risiko terhadap usulan kegiatan baru yang berpotensi menimbulkan kewajiban kontinjensi, sehingga kebijakan yang diambil atas usulan kegiatan baru dimaksud telah memperhitungkan portofolio dan risiko beban kewajiban kontinjensi bagi Pemerintah. Di samping itu, terhadap kewajiban kontinjensi yang telah ada (existing) perlu dilakukan pemantauan, sekaligus rekomendasi mitigasi risiko atas potensi timbulnya suatu kewajiban kontinjensi. Berdasarkan jenisnya, terdapat 2 jenis kewajiban kontinjensi yaitu (i) kewajiban kontinjensi yang bersifat Eksplisit, yaitu kewajiban yang timbul dan harus dibayar berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan/atau perjanjian, dan (ii) kewajiban kontinjensi yang bersifat Implisit, yaitu kewajiban yang sebelumnya tidak secara resmi/sah diakui oleh Pemerintah, tetapi terdapat kebijakan Pemerintah untuk mengambil-alih tanggung jawab kewajibannya. Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan peraturan perundang-undangan, meliputi : (i) Penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjaga modal minimum (Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan), (ii) Penambahan modal kepada Bank Indonesia untuk menjaga modal minimum (Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia), (iii) Penyediaan dana Fasilitas Pembiayaan Darurat kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas (Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan), (iv) Pembayaran iuran program jaminan sosial nasional oleh Pemerintah kepada peserta fakir miskin dan tidak mampu (Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional), (v) Penyediaan dana untuk program jaminan sosial nasional, kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes (Undang- Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional), (vi) Penyediaan dana PSO kepada BUMN (Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN). Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan perjanjian, baik perjanjian bilateral maupun multilateral dimana Pemerintah membuat suatu perjanjian dengan Negara lain, kreditur, investor, dan lembaga internasional yang berpotensi menimbulkan dampak keuangan yang harus dibayarkan oleh Pemerintah, misalnya : (i) Perjanjian mengenai pendirian The Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) sebagaimana disahkan dalam Keppres No. 31 tahun 1986 tanggal 18 Juli 1986 tentang Pengesahan Convention Establising The Multilateral Investment Guarantee Agency, (ii) Keanggotaan Indonesia dalam lembaga keuangan multilateral yaitu IMF, dimana terdapat kewajiban penambahan modal bagi setiap anggota, (iii) Perjanjian mengenai Persetujuan Dukungan Penanaman Modal antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat, dimana Pemerintah Indonesia mengakui kewajiban kepada Overseas Private Investment Corporation (suatu badan Amerika) apabila sendiri dan/atau dengan Koasuradur melakukan pembayaran kepada seseorang atau entitas, atau menggunakan hak-haknya sebagai kreditur atau pemegang hak subrogasi terkait dengan setiap dukungan penanaman modal di Indonesia. VI-84 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

418 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan jaminan, dimana Pemerintah memberikan jaminan atas kewajiban pembayaran kredit pihak lain kepada krediturnya, atau jaminan kelayakan usaha untuk menjamin kemampuan pembayaran pihak lain sesuai perjanjian usaha, misalnya : (i) Jaminan Pemerintah atas kewajiban pembayaran kredit PT PLN (Persero) dalam proyek MW Tahap I, sesuai Perpres nomor 86 tahun 2006 jo. Perpres 91 tahun 2007 tentang Pemberian Jaminan Untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Yang Menggunakan Batubara. Per Juli 2010, Pemerintah telah mengeluarkan sebanyak 33 Surat Jaminan dengan nilai kredit yang dijamin sebesar Rp70,6 triliun (asumsi kurs USD 1 = Rp9.200) baik untuk pembangkit maupun transmisi. Dalam APBN 2010, Pemerintah mengalokasikan dana jaminan dimaksud sebesar Rp1 triliun, (ii) Jaminan Pemerintah atas kewajiban pembayaran kredit PDAM dalam rangka percepatan penyediaan air minum, sesuai Perpres nomor 29 tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga Oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Pemerintah belum mengeluarkan Surat Jaminan mengingat saat ini PDAM dan calon kreditur masih dalam proses negosiasi pinjaman, sehingga PDAM belum mengajukan permintaan untuk memperoleh jaminan dan subsidi secara resmi kepada Pemerintah dengan melampirkan dokumen yang dipersyaratkan. Namun demikian, dalam TA 2010 Pemerintah telah mengalokasikan dana jaminan Pemerintah dalam APBN sebesar Rp50 miliar, (iii) Jaminan Pemerintah atas kelayakan usaha PT PLN (Persero) dalam proyek MW Tahap II, sesuai Perpres nomor 4 tahun 2010 tentang Penugasan kepada PT PLN (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas, dimana saat ini Pemerintah belum mengeluarkan surat jaminan kelayakan usaha. Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan litigasi, dimana Pemerintah berkewajiban melakukan pembayaran atas tuntutan hukum masyarakat yang dikabulkan oleh lembaga peradilan. Sedangkan kewajiban kontinjensi yang bersifat implisit antara lain yaitu dana penanganan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, mengakibatkan Pemerintah perlu memperhitungkan secara cermat potensi risikonya dan mengalokasikan dananya jika bencana alam tersebut benar-benar terjadi di kemudian hari. Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan litigasi, dimana Pemerintah berkewajiban melakukan pembayaran atas tuntutan hukum masyarakat yang dikabulkan oleh lembaga peradilan. Sedangkan kewajiban kontinjensi yang bersifat implisit antara lain dana penanganan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, mengakibatkan Pemerintah perlu memperhitungkan secara cermat potensi risikonya dan mengalokasikan dananya jika bencana alam tersebut benar-benar terjadi di kemudian hari. (PPP) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 dan peraturan perubahannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun Untuk tahun 2010 diperkirakan belum ada risiko fiskal terkait proyek dimaksud, mengingat konstruksi baru akan dimulai pada akhir tahun 2011 dan pengoperasian pada Semester I tahun Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Risiko fiskal yang berasal dari Program Pensiun PNS terutama berasal dari peningkatan jumlah pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun karena sejak tahun anggaran 2009 pendanaan pensiun PNS seluruhnya (100 persen) menjadi beban APBN. Beberapa faktor yang mempengaruhi besaran kenaikan pembayaran manfaat pensiun diantaranya, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-85

419 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal jumlah PNS yang mencapai batas usia pensiun, meningkatnya gaji pokok PNS, meningkatnya pensiun pokok PNS serta adanya pembayaran Dana Kehormatan sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 2008 tentang Dana Kehormatan Veteran Republik Indonesia. Berdasarkan asumsi kenaikan pensiun pokok sebesar 5 persen setiap tahun, jumlah dana APBN yang diperlukan untuk membayar manfaat pensiun diperkirakan akan terus mengalami peningkatan yakni sebesar Rp44,6 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp51,2 triliun pada tahun Sementara itu, risiko fiskal yang berasal dari Progam Tunjangan Hari Tua PNS terutama berasal dari unfunded liability. PT Taspen mencatat adanya akumulasi unfunded liability yang timbul akibat kebijakan Pemerintah menaikan gaji pokok PNS sejak tahun 2007 sampai dengan Untuk menyelesaikan masalah ini, Kementerian Keuangan telah membentuk Tim Penyusun Desain Ke Depan Program Pensiun PNS untuk mengkaji secara mendalam dan menyeluruh Program Pensiun dan THT PNS baik dari sisi peraturan dan kebijakan maupun dari sisi fiskal Sektor Keuangan Kewajiban kontinjensi Pemerintah pada sektor keuangan terutama berasal dari kewajiban Pemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan (Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) jika modal lembaga keuangan tersebut di bawah modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. a. Bank Indonesia Sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang tentang BI, untuk melaksanakan tugas tersebut modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp2 triliun. Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang mengakibatkan modal tersebut menjadi kurang dari Rp2,0 triliun (pasal 62), maka Pemerintah wajib menutup kekurangan dimaksud yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPR. Selain dari ketentuan perundang-undangan di atas, mengenai permodalan Bank Indonesia juga diatur dalam pasal 3 ayat 2 butir (f) Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah dan Bank Indonesia Mengenai Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta Hubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 2003, menyatakan bahwa dalam hal rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank 14,0% 12,0% 10,0% 8,0% 6,0% 4,0% 2,0% 0,0% 10,3% GRAFIK VI.22 RASIO MODAL TERHADAP KEWAJIBAN MONETER BANK IDONESIA 12,4% 8,0% 10,4% 8,8% 5,5% (Est.) 2011 (Est.) Sumber: Bank Indonesia Keterangan: Batas minimum rasio modal terhadap kewajiban moneter (3%) 3,8% Indonesia kurang dari 3 persen disepakati bahwa Pemerintah membayar charge kepada Bank Indonesia sebesar kekurangan yang diperlukan. Namun sebaliknya apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia mencapai di atas 10 persen, maka BI akan memberikan bagian kepada Pemerintah atas surplus BI sebagaimana diatur dalam ketentuan perundangan tentang BI. Pada tahun 2009 rasio modal BI mengalami penurunan menjadi sebesar 8,79 persen VI-86 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

420

421 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal c. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank) didirikan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang bertujuan untuk menunjang kebijakan Pemerintah dalam rangka mendorong program ekspor Nasional. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebelumnya bernama PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), adalah lembaga keuangan nonbank yang berfungsi mendukung program ekspor nasional melalui penyediaan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasa konsultasi bagi para eksportir. LPEI mempunyai ruang gerak pembiayaan yang relatif lebih fleksibel dibandingkan dengan Bank pada umumnya, sehingga dapat menutupi gap yang selama ini dihadapi oleh eksportir, yang pada gilirannya mampu mengakselerasi ekspor nasional. GRAFIK VI.24 KEGIATAN PEMBIAYAAN EKSPOR DAN POSISI PERMODALAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA, (miliar rupiah) , , , , , (Audited) 2009 (Audited) 2010 (Proj) 2011 (Proj) Total Aktiva Pembiayaan Ekspor Garansi dan Penjaminan Asuransi Ekuitas Sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, modal awal LPEI ditetapkan paling sedikit Rp4,0 triliun. Dalam hal modal LPEI menjadi berkurang dari Rp4,0 triliun, Pemerintah menutup kekurangan tersebut dari dana APBN berdasarkan mekanisme yang berlaku. Perkembangan posisi permodalan LPEI untuk tahun 2008 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Grafik VI.24. Sumber: KementerianKeuangan Pada tahun 2011, ekuitas LPEI diperkirakan akan mencapai Rp6,98 triliun dengan asumsi rencana Penambahan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2 triliun pada tahun 2010 terealisir. Modal tersebut diperkirakan cukup untuk mendukung pemberian pembiayaan ekspor sebesar Rp19,83 triliun, garansi dan penjaminan sebesar Rp2,97 triliun serta asuransi ekspor sebesar Rp569,4 miliar. Berdasarkan proyeksi kondisi keuangan LPEI di atas, Pemerintah tidak perlu menganggarkan dana tambahan modal untuk LPEI pada RAPBN Tuntutan Hukum kepada Pemerintah Potensi risiko fiskal timbul dari beberapa gugatan perdata yang ditujukan kepada beberapa kementerian negara/lembaga. Berdasarkan data yang terkumpul di Kementerian Keuangan, gugatan tersebut terjadi antara tahun , yang ditujukan kepada 12 Kementerian dan 1 Lembaga Pemerintah, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Risiko fiskal yang timbul berupa potensi pengeluaran negara dari APBN maupun potensi hilangnya kepemilikan aset tanah dan bangunan karena kepemilikannya dipersengketakan. Gugatan yang ditujukan kepada Kementerian dan Lembaga tersebut menimbulkan risiko fiskal berupa pengeluaran negara kurang lebih sebesar Rp22.254,7 miliar dan USD2,1 miliar. Namun dari nilai tersebut tidak seluruhnya akan menjadi beban Pemerintah karena beberapa gugatan ditujukan secara tanggung renteng dengan tergugat lainnya. Gugatan tanggung renteng tersebut ditujukan pada BPKP, Kementerian Perindustrian, Kementerian Negara BUMN, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Keuangan. VI-88 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

422 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapat menimbulkan risiko fiskal terkait dengan: 1. Adanya komitmen Pemerintah untuk memberikan kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut. 2. Adanya keterlambatan penerbitan peraturan perundang-undangan dalam hal pembayaran kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut. Untuk tahun 2011, diperkirakan jumlah dana yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah untuk membayar kontribusi dan penyertaan modal pada organisasi dan lembaga keuangan internasional sebesar Rp1.036,76 milyar. Kontribusi kepada organisasi internasional disalurkan melalui DIPA Departemen Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Keppres No. 64 Tahun 1999 dengan jumlah kurang lebih Rp300,0 miliar. Sementara kontribusi, penyertaan modal dan trust fund pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dialokasikan pada DIPA Departemen Keuangan sebesar Rp736,76 miliar. Dari total Rp736,76 miliar, pada RAPBN 2011 akan dialokasikan penyertaan modal kepada organisasi dan lembaga keuangan internasional sebesar Rp721,52 miliar. Kontribusi dan penyertaan modal Pemerintah pada ornganisasi dan lembaga keuangan internasional tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel VI.18. TABEL VI.18 KONTRIBUSI DAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PADA ORGANISASI DAN LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL TAHUN 2011 Jumlah No Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional Equivalen Mata Uang Asing (miliar Rp) Kementerian Luar Negeri 300,0 Kontribusi Kementerian Keuangan 300,0 736,8 a. Penyertaan Modal Negara 721,5 1 Islamic Development Bank (IDB) ID* ,09 117,5 2 The Islamic Corporation for the Development of Private Sector USD ,00 28,5 3 Asian Delopment Bank (ADB) 371,9 4 International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) 40,0 5 International Finance Corporation USD ,00 8,6 6 International Fund for Agricultural Development (IFAD) USD ,00 15,0 7 Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) USD ,00 140,0 b. Trust Fund 12,8 8 ASEAN Science Fund USD ,80 2,8 9 USAID Trust Fund 10,0 c. Kontribusi 2,4 10 ASEAN+3 Finance Cooperation Fund (AFCF) USD 2.000,00 0,0 11 ASEAN Finance Minister Investor Seminar (AFMIS) 0,2 12 Macroeconomic Finance and Surveillance Office (MFSO) USD ,26 1,8 13 OECD Development Centre EUR ,00 0,4 Total 1.036,8 Catatan: *) ID adalah Islamic Dinar yang besarnya sama dengan Special Drawing Right (SDR) IMF Sumber: Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-89

423 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bencana Alam Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada salah satu titik rawan bencana paling aktif di muka bumi, dengan sering terjadinya gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Data Bencana Indonesia yang ada di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa antara tahun 2004 sampai dengan 2009 terjadi bencana alam di Indonesia, antara lain banjir (43,5 persen), kekeringan (24,6 persen), badai (13,2 persen) dan tanah longsor (10,6 persen). Jumlah peristiwa bencana di Indonesia selama periode 2004 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada Tabel VI.19. No Bencana Alam Total Per Bencana 1 Gempa Bumi Gempa Bumi dan Tsunami Letusan Gunung Berapi Tanah Longsor Banjir dan Tanah Longsor Banjir Kekeringan Angin Topan Gelombang Pasang Sumber: BNPB (2010) TABEL VI.19 JUMLAH PERISTIWA BENCANA DI INDONESIA, Total Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah meletakkan tanggung jawab pada pundak Pemerintah untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana diantaranya perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampak bencana dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN. Anggaran tersebut diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan tahap pra bencana, saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana. Biaya rehabilitasi atau pemulihan infrastruktur publik dan rumah tangga, yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan keuangan, memberikan beban besar pada pengeluaran publik. Sebagai contoh, bencana Tsunami Aceh/Nias tahun 2004 menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih dari Rp40,0 triliun, sedangkan kerugian untuk gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 lebih dari Rp29,0 triliun. Pemerintah menghabiskan anggaran rekonstruksi senilai lebih dari Rp37,0 triliun untuk Aceh dan Nias serta sekitar Rp1,6 triliun untuk Yogyakarta. Pada RAPBN Tahun 2011, Pemerintah merencanakan kembali untuk mengalokasikan dana kontinjensi bencana alam sebesar Rp4,0 triliun. Besaran alokasi ini didasarkan pada VI-90 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

424 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI pengalaman historis kebutuhan bantuan Pemerintah untuk daerah-daerah yang mengalami bencana alam yang sering terjadi namun dengan skala yang relatif kecil (seperti banjir, gempa bumi berkekuatan relatif kecil atau tanah longsor). Pengalaman dari bencana besar yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini juga menunjukan pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi atas bencanabencana besar makin meningkat sehingga tidak dapat dipenuhi hanya dari anggaran dana cadangan bencana alam. Perkembangan dana cadangan bencana alam tahun dapat dilihat pada Grafik VI.25. Pada tahun 2001, belanja negara yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana tersebut meliputi 0,25 persen dari belanja Pemerintah pusat. Pada tahun 2007, dimana Indonesia harus membiayai rekonstruksi dari bencana relatif besar pada saat bersamaan yaitu Tsunami Aceh, serta gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, rasio belanja untuk penanggulangan bencana terhadap total belanja Pemerintah pusat naik menjadi 2,24 persen. Walaupun di tahun 2009, belanja ini dianggarkan hanya 0,5 persen dari total belanja Pemerintah pusat, namun rekonstruksi di Jawa Barat dan Sumatera Barat diperkirakan akan meningkatkan persentase ini di tahun-tahun ke depan. Dengan pola pembiayaan yang ada sekarang ini, dimana APBN menjadi tumpuan utama, bencana alam berpotensi memberikan tekanan pada kesinambungan APBN pada saat setiap terjadi bencana. Sehingga ke depan perlu dilakukan diversifikasi pembiayaan risiko bencana baik dari segi sumber, maupun pola pengalokasiannya. Dengan mempertimbangkan naiknya probabilitas kejadian bencana serta meningkatnya nilai kerusakan dan kerugian akibat vulnerabilitas dan perubahan iklim serta laju urbanisasi yang cepat, perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan keragaman dalam pilihan-pilihan pembiayaan risiko bencana. Pembiayaan risiko bencana yang merupakan kombinasi yang optimal antara risiko yang diretensi (ditanggung langsung) dan yang ditransfer agar kesinambungan fiskal terjaga. Yang menggabungkan antara pengalokasian dana kontinjensi bencana alam, seperti yang dilakukan saat ini, dengan pinjaman siaga dan asuransi untuk menutup risiko bencana yang berbeda tingkat dampak dan frekwensi kejadiannya. Gabungan pembiayaan tersebut diharapkan dapat memberikan ketahanan yang lebih tinggi bagi kesinambungan APBN. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah merumuskan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana yang salah satu programnya adalah peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan risiko bencana. Kegiatan yang menjadi salah satu fokus dari program tersebut adalah pembentukan mekanisme pendanaan risiko bencana (asuransi bencana) Desentralisasi Fiskal GRAFIK VI.25 DANA CADANGAN BENCANA ALAM ,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0, * 2011** Keterangan: *APBN P Tahun 2010 ** Pagu RAPBN Tahun 2011 Pagu Realisasi Sumber: Kementerian Keuangan Dalam rangka mengoptimalkan efektivitas pelaksanaan pembangunan daerah, penyelenggaraan pembangunan daerah diharapkan harus benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas daerah. Oleh karena itu Pemerintah mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan otonomi daerah dan desentralisasi Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-91

425 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal fiskal, Pemerintah daerah, sebagai tingkatan Pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, diharapkan dapat menjadi motor penggerak pembangunan. Namun demikian, dalam implementasinya terdapat beberapa kebijakan yang berpotensi menjadi sumber risiko fiskal. a. Kebijakan Pemekaran Daerah Pemekaran daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat dalam mempercepat tercapainya tujuan yang diinginkan dalam penerapan kebijakan desentralisasi. Rentang kendali yang lebih ramping diharapkan dapat membuat pelayanan publik jauh lebih efektif dan efisien. Pemikiran luhur tersebut dalam penerapannya mengalami banyak kendala dan jika tidak dikelola dengan baik berpotensi menambah beban fiskal. Sejak mulai diberlakukannya kebijakan desentralisasi tahun 1999 sampai dengan tahun 2010 jumlah daerah otonom sudah mencapai 524 daerah yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Tren ini telah GRAFIK VI.26 PERKEMBANGAN JUMLAH DAERAH OTONOM BARU, Sumber: Kementerian Keuangan disikapi Pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah dimana syarat untuk pembentukan daerah baru diperketat. PP tersebut diharapkan dapat menjadi penyaring utama guna mewujudkan pemekaran yang efektif. Perkembangan jumlah daerah otonom baru dapat dilihat pada Grafik VI.26. Risiko fiskal yang berasal dari kebijakan pemekaran daerah ditransmisikan melalui beberapa hal, yaitu pengurangan alokasi DAU, peningkatan penyediaan DAK bidang prasarana Pemerintahan, dan peningkatan alokasi dana untuk pembangunan instansi vertikal. Dampak pemekaran terhadap DAU dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu, (1) dampak terhadap DAU daerah induk yang berkurang secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, dan belanja PNSD (netralitas fiskal), dan (2) dampak terhadap seluruh daerah karena porsi pembagian daerah pemekaran secara relatif mengurangi porsi daerah lainnya. Pada tahun 2008, dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 451 daerah, rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp358,22 miliar atau mengalami kenaikan sebesar 16,49 persen dibandingkan tahun Sedangkan pada tahun 2009 dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 477 daerah, rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp351,71 miliar atau mengalami penurunan sebesar 6,50 persen dibandingkan tahun Dengan kenaikan pagu DAU Nasional tahun 2009 yang hanya sebesar 3,85 persen dibandingkan tahun 2008, dan dengan bertambahnya jumlah daerah otonom sebanyak 17 daerah yang perhitungan DAU-nya dilakukan secara mandiri, maka pada tahun 2009 terdapat beberapa daerah yang mengalami penurunan DAU. Kenaikan pagu DAU Nasional pada tahun 2010 sebesar 9,16 persen dibandingkan tahun dengan tidak ada pemekaran daerah baru - maka pada tahun 2010 rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp383,93 miliar atau naik mengalami kenaikan sebesar 32,21 persen dibandingkan tahun 2009 sebagaimana terlihat pada Tabel VI.20. VI-92 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

426 Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal Bab VI TABEL VI.20 TABEL PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP DAU KABUPATEN/KOTA, Tahun Jumlah Rata-Rata Kenaikan DAU Kab/Kota Kenaikan DAU Kenaikan Kab/Kota Penerimaan (Penurunan) (90% DAU Jumlah Nasional DAU (%) Penerima DAU Rata-Rata Nasional) Daerah (%) DAU (miliar rupiah) (miliar rupiah) , , , , ,5 14, ,6 178,9 17, , ,1 11, ,3 187,2 8, , ,8 6, ,8 180,3 (7,0) , ,9 8, ,9 184,1 3, , ,7 64, ,0 118, , ,7 13, ,7 39, , ,4 8, ,9 358,2 16, , ,7 3, ,8 351,7 (6,5) , ,7 9, ,9 32,3 Sumber: Kementerian Keuangan GRAFIK VI.27 PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP ALOKASI DAK KE DAERAH Sumber: Kementerian Keuangan GRAFIK VI.28 PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP ALOKASI DANA VERTIKAL KE DAERAH, (miliar rupiah) Sumber: Kementerian Keuangan Untuk membantu penyediaan sarana dan prasarana Pemerintahan di daerah otonom baru, mulai tahun 2003 telah dialokasikan DAK bidang prasarana Pemerintahan, yang digunakan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan daerah pemekaran dan daerah yang terkena dampak pemekaran. Alokasi DAK bidang prasarana Pemerintahan mengalami peningkatan yang relatif cukup signifikan, dari sebesar Rp88,0 miliar untuk 22 daerah pada tahun 2003 menjadi Rp386,0 miliar untuk 123 daerah pada tahun 2010, sebagaimana terlihat pada Grafik VI.27. Konsekuensi lain dari pemekaran daerah terhadap keuangan negara adalah penambahan kantor-kantor vertikal yang melaksanakan kewenangan Pemerintah yang tidak didesentralisasikan melalui penyediaan sarana dan prasarana kantor. Jumlah dana APBN yang dialokasikan kepada daerah otonom baru naik sebesar 63,78 persen, dari Rp8.714,0 miliar pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp10.693,0 miliar pada tahun 2010, dapat dilihat pada Grafik VI.28. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 VI-93

427 Bab VI Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal b. Pinjaman Daerah Dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi daerah dan penyediaan layanan publik, Pemda membutuhkan dana yang relatif besar. Pemerintah telah mengambil kebijakan dengan membuka kesempatan bagi Pemda untuk melakukan pinjaman sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan. Salah satu sumber pinjaman daerah berasal dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri (Subsidiary Loan Agreement/SLA) dan RPD. Risiko fiskal yang berasal dari penerusan pinjaman dan RPD terutama berasal dari tunggakan Pemerintah daerah atas pembayaran kembali pinjaman. jumlah pinjaman yang telah dilakukan dan kinerja pembayaran kembali pinjaman dapat dilihat pada Grafik VI.29. Jika dibandingkan dengan GRAFIK VI.29 TUNGGAKAN PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH PER AKHIR, (miliar rupiah) ,4 513,7 518,2 117,6 136,1 107,8 115,8 96,2 107,3 600,3 153,8 121,6 128,2 667, * 2011** Catatan : * Perkiraan tahun 2010 ** Perkiraan tahun 2011 Sumber: Kementerian Keuangan Provinsi Kota Kabupaten 201,4 data pada tahun 2007, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi dan kabupaten mengalami penurunan di tahun Namun keadaan sebaliknya terjadi pada tunggakan pinjaman Pemerintah kota yang mengalami kenaikan sekitar 5,0 persen. Begitu juga pada tahun berikutnya, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi dan kabupaten mengalami penurunan di tahun Namun keadaan sebaliknya terjadi pada tunggakan pinjaman Pemerintah kota yang mengalami kenaikan sekitar 1 persen. Untuk estimasi tahun 2010 dan 2011, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi, kabupaten dan Pemerintah kota mengalami tren kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, rata-rata kenaikan ketiganya sebesar 29 persen (kenaikan tertinggi terjadi pada tunggakan Pemerintah kabupaten sekitar 43 persen). Dan untuk tahun 2011, ratarata kenaikan ketiganya sebesar 16 persen (kenaikan tertinggi terjadi pada tunggakan Pemerintah kabupaten sekitar 31 persen). c. Pengalihan Pajak Pusat Menjadi Pajak Daerah Untuk meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah juga perlu adanya penambahan jenis pajak dan retribusi baru bagi daerah. Penambahan jenis pajak dan retribusi VI-94 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELAN NJA NEGAR RA TAHUN ANGGARAN 2011 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... Daftar

Lebih terperinci

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2011 memiliki makna yang sangat strategis dalam pencapaian sasaran-sasaran pembangunan sesuai dengan visi,

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2009 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2009 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2009 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... Daftar

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

2 Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi p

2 Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi p TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KEUANGAN. APBN. Tahun 2015. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 44) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak

2 makro yang disertai dengan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal, dan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram yang berdampak No.44, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. APBN. Tahun 2015. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5669) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3

Lebih terperinci

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAANN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJAA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGAR RAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel...

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2002 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks...

DAFTAR ISI. Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Prioritas RKP 2010... 1.3 Peran Strategis Kebijakan Fiskal... 1.4 Dasar Hukum Penyusunan

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.142, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun anggaran 2014. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5547) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan Bab I BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Sebagaimana layaknya setiap bangsa, bangsa ini punya cita-cita. Cita-cita untuk menjadi negeri yang sejahtera, demokratis, dan adil. Indonesia adalah negeri

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 Jakarta, 10 Juni 2014 Kunjungan FEB UNILA Outline 1. Peran dan Fungsi APBN 2. Proses Penyusunan APBN 3. APBN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PAKET KEBIJAKAN EKONOMI MENJELANG DAN SESUDAH BERAKHIRNYA PROGRAM KERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL MONETARY FUND PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 Penyusun: 1. Bilmar Parhusip 2. Basuki Rachmad Lay Out Budi Hartadi Bantuan dan Dukungan Teknis Seluruh Pejabat/Staf Direktorat Akuntansi

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN

DATA POKOK APBN DATA POKOK - DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan...... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Umum Enam puluh tiga tahun merdeka memberikan pengajaran kepada bangsa Indonesia bahwa perjalanan sebuah bangsa adalah sebuah perjalanan yang penuh perjuangan dan kerja keras. Proses

Lebih terperinci

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Penetapan KUPA Kebijakan Umum Perubahan Anggaran Tahun Anggaran 2017 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY Kompleks Kepatihan Danurejan Yogyakarta (0274)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 110, 2005 APBN. Pendapatan. Pajak. Bantuan. Hibah. Belanja Negara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : dan.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1994/1995.........

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2006 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2006 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah)

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah) Tabel 1a APBN 2004 dan 2004 Keterangan APBN (1) (2) (3) (4) (5) A. Pendapatan Negara dan Hibah 349.933,7 17,5 403.769,6 20,3 I. Penerimaan Dalam Negeri 349.299,5 17,5 403.031,9 20,3 1. Penerimaan Perpajakan

Lebih terperinci

RINGKASAN APBN TAHUN 2017

RINGKASAN APBN TAHUN 2017 RINGKASAN APBN TAHUN 2017 1. Pendahuluan Tahun 2017 merupakan tahun ketiga Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mewujudkan sembilan agenda priroritas (Nawacita)

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN NOMOR 74/DPD RI/IV/2012 2013 PERTIMBANGAN TERHADAP KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL SERTA DANA TRANSFER DAERAH DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN-P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN-P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P 2007 DAN -P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 :, 2007 dan 2008......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995 2008...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg

2013, No makro yang disertai dengan perubahan kebijakan fiskal yang berdampak cukup signifikan terhadap besaran APBN Tahun Anggaran 2013 sehingg No.108, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun Anggaran 2012. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5426) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2006 DAN APBN 2007 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2006 DAN APBN 2007 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : -.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1989/1990...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1989/1990...... 3 Tabel

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel 4 : Belanja

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 2010 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005 2010.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005 2010..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

No koma dua persen). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan meningkatkan kredibilitas kebijakan fiskal, menjaga stabilitas ekonomi ma

No koma dua persen). Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan meningkatkan kredibilitas kebijakan fiskal, menjaga stabilitas ekonomi ma TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6111 KEUANGAN. APBN. Tahun 2017. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 186) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah)

Tabel 1a APBN 2004 dan APBN-P 2004 (miliar rupiah) Tabel 1a 2004 dan -P 2004 Keterangan -P ( (3) (4) (5) A. Pendapatan Negara dan Hibah 349.933,7 17,5 403.769,6 20,3 I. Penerimaan Dalam Negeri 349.299,5 17,5 403.031,8 20,3 1. Penerimaan Perpajakan 272.175,1

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

Jakarta, 10 Maret 2011

Jakarta, 10 Maret 2011 SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM ACARA TEMU KONSULTASI TRIWULANAN KE-1 TAHUN 2011 BAPPENAS-BAPPEDA PROVINSI SELURUH INDONESIA Jakarta,

Lebih terperinci

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA KEBIJAKAN FISKAL oleh: Rachmat Efendi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Prodip III Kepabeanan Dan Cukai Tahun 2015 TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami Kebijakan Fiskal yang

Lebih terperinci

DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN

DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2009 REPUBLIK INDONESIA DOKUMEN TAMBAHAN NOTA KEUANGAN DAN RAPBN TA 2009 Pendahuluan Pada tahun anggaran

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR

M E T A D A T A INFORMASI DASAR M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Operasi Keuangan Pemerintah Pusat 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 4 Contact : Divisi

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN 2.1 EKONOMI MAKRO Salah satu tujuan pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat, sehubungan dengan itu pemerintah daerah berupaya mewujudkan

Lebih terperinci

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Enam puluh tiga tahun merdeka memberikan pengajaran kepada bangsa Indonesia bahwa perjalanan sebuah bangsa adalah sebuah perjalanan yang penuh perjuangan dan kerja keras. Proses

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 Nomor. 02/ A/B.AN/VII/2007 Perkembangan Ekonomi Tahun 2007 Pada APBN 2007 Pemerintah telah menyampaikan indikator-indikator

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2002 2004 Bab perkembangan ekonomi makro tahun 2002 2004 dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2002 dan dua tahun berikutnya.

Lebih terperinci

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN - 3 - LAMPIRAN: NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR : 910/3839-910/6439 TENTANG : PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA APBD KOTA

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang akan dicapai dalam tahun 2004 2009, berdasarkan

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel 4 : Belanja

Lebih terperinci

REALISASI SEMENTARA APBNP

REALISASI SEMENTARA APBNP I. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH REALISASI SEMENTARA 1 Dalam tahun, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp1.014,0 triliun (16,0 persen dari PDB). Pencapaian ini lebih tinggi Rp21,6 triliun (2,2

Lebih terperinci

TABEL 2 RINGKASAN APBN, (miliar rupiah)

TABEL 2 RINGKASAN APBN, (miliar rupiah) 2 A. Pendapatan Negara dan Hibah 995.271,5 1.210.599,7 1.338.109,6 1.438.891,1 1.635.378,5 1.762.296,0 I. Pendapatan Dalam Negeri 992.248,5 1.205.345,7 1.332.322,9 1.432.058,6 1.633.053,4 1.758.864,2 1.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5907 KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun 2016. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 146). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel

Lebih terperinci

Pidato Presiden - Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN serta..., Jakarta, 16 Agustus 2016 Selasa, 16 Agustus 2016

Pidato Presiden - Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN serta..., Jakarta, 16 Agustus 2016 Selasa, 16 Agustus 2016 Pidato Presiden - Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN serta..., Jakarta, 16 Agustus 2016 Selasa, 16 Agustus 2016 PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENYAMPAIAN KETERANGAN PEMERINTAH ATAS RANCANGAN

Lebih terperinci

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2015 Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2015 Indikator a. Pertumbuhan ekonomi (%, yoy) 5,7 4,7 *) b. Inflasi (%, yoy) 5,0 3,35

Lebih terperinci

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012

REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012 REALISASI BELANJA NEGARA SEMESTER I TAHUN 2012 Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Pada APBN-P tahun 2012 volume belanja negara ditetapkan sebesar Rp1.548,3 triliun, atau meningkat Rp112,9 triliun (7,9

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2011 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2011 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2011 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman BAB I PENDAHULUAN I-1 1.1 Umum... 1.2 Pokok-pokok Perubahan Asumsi

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan I 2010 Inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-5,5%. Mayoritas responden (58,8%) optimis bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Hal mendasar dalam perencanaan pembangunan tahunan adalah kemampuannya dalam memproyeksikan kapasitas riil keuangan daerah secara

Lebih terperinci

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN DALAM APBN Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiLPA/SiKPA) adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perumusan masalah menjelaskan mengenai butir-butir permasalahan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. Perumusan masalah menjelaskan mengenai butir-butir permasalahan yang akan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini diuraikan perihal mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Latar belakang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.146, 2016 KEUANGAN NEGARA. APBN. Tahun 2016. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5907) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Boks... ix

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Boks... ix Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Boks... ix BAGIAN I RINGKASAN RAPBN PERUBAHAN TAHUN 2017 1 Pendahuluan... 2 Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA

MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA NEGARA KOMPETENSI DASAR Mamahami pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur tentang keuangan negara INDIKATOR Sumber Keuangan Negara Mekanisme Pengelolaan Keuangan Negara

Lebih terperinci

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2017 (Audited) LKPP TAHUN 2017 AUDITED

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2017 (Audited) LKPP TAHUN 2017 AUDITED LKPP TAHUN 2017 AUDITED MEI 2018 KATA PENGANTAR Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II/PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG

PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II/PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDAPAT AKHIR PEMERINTAH PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II/PENGAMBILAN KEPUTUSAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2014

Lebih terperinci

2017, No melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tent

2017, No melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tent No.233, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. APBN. Tahun 2018. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6138) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017

Lebih terperinci

SURVEI PERSEPSI PASAR

SURVEI PERSEPSI PASAR 1 SURVEI PERSEPSI PASAR Triwulan II 29 Responden Survei Persepsi Pasar (SPP) memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-29 (yoy) dan selama tahun 29 berada pada kisaran 4,1-4,5%. Perkiraan pertumbuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) No. 63, 2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. APBN 2008. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia MODUL PERKULIAHAN Perekonomian Indonesia Kebijakan Fiskal dan APBN Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Akuntansi 10 84041 Abstraksi Modul ini membahas salah

Lebih terperinci

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017

INFOGRAFIS REALISASI PELAKSANAAN APBN 2017 INFOGRAFIS REALISASI s.d. 31 Mei 2017 FSDFSDFGSGSGSGSGSFGSF- DGSFGSFGSFGSGSG Realisasi Pelaksanaan INFOGRAFIS (s.d. Mei 2017) Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro Lifting Minyak (ribu barel per hari) 5,1

Lebih terperinci