RANCANG BANGUN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI LADA SUCI WULANDARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANG BANGUN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI LADA SUCI WULANDARI"

Transkripsi

1 RANCANG BANGUN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI LADA SUCI WULANDARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Lada adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi in i. Bogor, Januari 2013 Suci Wulandari F

4

5 ABSTRACT SUCI WULANDARI. Design of Risk Management Model on Pepper Agroindustrial Investment. Supervised by ERIYATNO, MEIKA SYAHBANA RUSLI, and B.S. KUSMULJONO. The spectrum of investment instruments will provide different degree of uncertainty. This is influenced by the level of risk faced. Analysis of investment performance then need an analysis that integrates the aspects of return and risk within a framework of analysis. The competitiveness of pepper industry, which can be expressed in the achievement of quality, market share, profitability and sustainability, is still low. Pepper agroindustrial is integrated with farming systems and conducted on a small scale and traditional approach. The decisions on mechanical pepper agroindustrial and its investment on value chain are very limited. It has typically been driven by practical factors such as risk. The objective of this paper is to propose a comprehensive method in risk analysis, risk management design, and risk based financial analysis as a model of decision support systems. The methods of this research are Fuzzy Logic, FMEA, Vulnerability Analysis which expressed in Radar Chart, Analytical Hierarchy Process, and Cash Flow Analysis. On the other hand, fuzzy weighting approach on expert and risk compenent is one method that can improve risk assessment. This study provides an analysis tool that integrates financial and risk analysis in a framework, risk management models, and support facility analysis, which is integrated in Decision Support System called SMART INVEST. It consists of data based management system, model based management system, integrated analysis, and user interface. The model provides integrated risk analysis for pepper commodity system agent, description of financial analysis for investor, and a guideline for government and other stakeholders in the process of providing instrument for risk management. Further analysis of the risk in the form of vulnerability analysis, will provide the basis for determining the support type for the risk management. Application of the model in Bangka showed that the total value of risk was in the high class. Based on risk group, the biggest risk faced by investment on the pepper agroindustrial was the marketing and followed by agriculture, agroindustry, institutional, and financial. The analysis showed that the biggest risks were the price, competition, steam rot disease, cooperation, and dependence between actors. The project generates a surplus of benefits over cost in 202,8 billion IDR. It would be found in this case that the IRR was 45,28%. The benefi cost ratio was 1,95, and the payback period was 3,75 years. If there is no risk management, the risk is expected to effect on the pepper processing services (28,89%), the amount of processed pepper (31,03%), and yield (10,70%). Changes in its variables will consequence in large changes in NPV, IRR, BC ratio, and Pay Back Period. It is therefore necessary to develop risk management system which completed by support facilities. Key words: risk management, investment, agroindustry, pepper, support facilities, fuzzy approach

6

7 RINGKASAN SUCI WULANDARI. Rancang Bangun Model Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Lada. Dibimbing oleh ERIYATNO, MEIKA SYAHBANA RUSLI dan B.S. KUSMULJONO. Investasi pada sektor pertanian masih merupakan bagian kecil dari total penanaman modal. Kondisi ini didominasi oleh tingginya tingkat risiko, yang kemudian menyebabkan kinerja yang rendah. Fenomena rendahnya tingkat investasi juga terjadi pada pengembangan komoditas lada. Lada Indonesia pada pasar dunia terdiri dari Lampung Black Pepper (lada hitam) dan Muntok White Pepper (lada putih). Dukungan pendanaan yang terbatas merupakan karakteristik pada pengembangan komoditas lada, selain risiko pengusahaan yang tinggi serta adopsi teknologi yang rendah. Pada saat ini kegiatan pengolahan lada dilakukan di tingkat petani secara tradisional. Hal ini menyebabkan rendahnya pencapaian mutu lada. Pada sisi lain, agroindustri lada di negara lain terus berkembang, yang ditandai dengan introduksi teknologi dan perluasan skala pengusahaan. Kegiatan investasi dengan mempertimbangkan risiko sangat penting, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian manajemen risiko pada investasi agroindustri, yang didalamnya mengintegrasikan analisis finansial dan analisis risiko dalam sebuah kerangka kerja. Pada sisi yang lain implementasi pengelolaan risiko membutuhkan dukungan fasilitas. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rendahnya sumberdaya teknologi, sumberdaya manusia, sumberdaya informasi, dan sumberdaya finansial yang dimiliki pelaku dalam sistem komoditas. Oleh karena itu dilakukan analisis lanjutan, yaitu analisis kerentanan (vulnerability), yang akan dijadikan sebagai dasar dalam pemberian dukungan fasilitas. Melalui dukungan fasilitas yang diberikan inilah maka diharapkan strategi pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk merancang bangun model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada. Dalam upaya mencapai hal tersebut secara khusus tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi risiko, melakukan penilaian risiko, serta menyusun pengelolaan risiko pada investasi agroindustri lada, (2) menyusun dukungan fasilitas dalam pengelolaan risiko pada investasi agroindustri lada, serta (3) menilai kelayakan investasi dan melakukan simulasi dampak risiko terhadap kelayakan investasi agroindustri lada. Agroindustri yang menjadi obyek penelitian adalah agroindustri lada putih dengan fokus analisis kegiatan pengolahan dan keterkaitannya dengan aspek budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial. Penelitian dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang merupakan sentra produksi utama lada putih. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah logika fuzzy yang berbasis pengetahuan. Metode pembobotan pakar dan pembobotan komponen risiko adalah Fuzzy Weighted Average Index. Penilaian risiko menggunakan metode Fuzzy Failure Mode Effect and Analysis (FMEA) dengan teknik Fuzzy Weighted Average. Agregasi nilai risiko menggunakan Fuzzy Risk Value. Analisis kemampuan pengelolaan risiko menggunakan metode Vulnerability Analysis yang digambarkan dalam Radar Chart, sedangkan analisis instrumen pengelolaan risiko menggunakan Analytical Hierarchy Process. Keseluruhan aspek tersebut diintegrasikan dalam sebuah kerangka analisis dalam bentuk Sistem Penunjang

8 Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST. Data yang digunakan terdiri dari data input maupun data hasil proses yaitu: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaan risiko, bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah. Selain itu dikembangkan delapan jenis model yaitu: pembobotan pakar, pembobotan komponen risiko, penilaian risiko, agregasi nilai risiko, analisis kapasitas pengelolaan risiko, analisis instrumen pengeloaan risiko, analisis finansial, dan simulasi kelayakan investasi. Pengelolaan risiko sebagai upaya untuk mengurangi probabilitas munculnya kejadian, mengurangi tingkat keparahan, atau keduanya merupakan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini yang dinyatakan sebagai uraian yang melekat pada setiap risiko. Instrumen pengelolaan risiko yang dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan risiko dapat dikelompokkan menjadi: adopsi dan pengembangan teknologi, perbaikan manajemen unit usaha, dukungan pembiayaan, pembangunan dan pengembangan infrastruktur, sinergi dan fokus kebijakan, serta peningkatan hubungan kemitraan antar pelaku. Penelitian ini menghasilkan output yang dapat memperbaiki proses identifikasi risiko, penilaian risiko, dan analisis lanjutan sebagai pelengkap dalam pengelolaan risiko. Penggabungan logika fuzzy dan pembobotan dalam sebuah kerangka analisis, menjadikan pendekatan ini sebagai metode yang dapat memperbaiki penilaian risiko. Pendekatan fuzzy yang menggunakan skala linguistik memberi kemudahan dalam proses akuisisi nilai yang berbasis pengetahuan. Pembobotan pakar dan pembobotan komponen risiko memberikan ruang bagi penilai untuk memasukkan perbedaan tingkat kepercayaan pakar dan nilai kepentingan komponen risiko. Agregasi nilai risiko dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai status dan nilai risiko secara keseluruhan. Penggabungan analisis finansial dan analisis risiko dalam sebuah kerangka analisis akan memberikan gambaran kinerja investasi yang lebih baik. Oleh karena itu setelah dilakukan analisis kelayakan investasi, maka dilakukan simulasi kelayakan investasi berbasis kepada risiko potensial. Pengembangan agroindustri lada merupakan prioritas bagi upaya penyelesaian sejumlah kelemahan sistem dan upaya mengatasi ancaman yang ada, selain strategi peningkatan produksi lada yang terus dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya. Strategi yang dipilih adalah strategi peningkatan nilai tambah melalui penjaringan nilai (capturing value). Peningkatan nilai tambah ini dapat dilakukan melalui peningkatan mutu (quality), fungsi (functionality), bentuk (form), tempat (place), waktu (time) dan kemudahan mendapatkan (ease of possession). Risiko investasi agroindustri lada terdiri dari 32 jenis risiko yang terbagi ke dalam aspek agroindustri, budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial. Pengelolaan risiko sebagai upaya untuk mengurangi probabilitas munculnya kejadian, mengurangi tingkat keparahan, atau keduanya. Analisis lanjutan dilakukan terhadap nilai risiko dalam bentuk analisis kerentanan (vulnerability), yaitu pemetaan kesenjangan antara nilai risiko dan kemampuan pengelolaan risiko. Hal ini akan memberikan dasar bagi penetapan jenis dukungan bagi pengelolaan risiko. Instrumen pengelolaan risiko yang dapat meningkatkan

9 kemampuan pengelolaan risiko dapat dikelompokkan menjadi: peningkatan adopsi dan pengembangan teknologi, perbaikan manajemen unit usaha, penyediaan pembiayaan usaha, pembangunan dan pengembangan infrastruktur, perumusan dan sinergi kebijakan, serta pengembangan hubungan kemitraan. Penerapan model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada di Kepulauan Bangka menunjukkan bahwa nilai total risiko termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan kelompok risiko, risiko terbesar yang dihadapi dalam investasi agroindustri lada secara berurutan adalah aspek pemasaran, budidaya, agroindustri, kelembagaan, dan finansial. Secara individual, analisis menunjukkan bahwa nilai risiko terbesar adalah harga, persaingan, penyakit busuk pangkal batang, kerjasama, dan ketergantungan antar pelaku. Pengelolaan risiko selama ini lebih banyak dilakukan secara individu dengan konsentrasi kepada penanganan risiko pada aspek budidaya. Kemampuan pengelolaan risiko pada aspek agroindustri diduga relatif baik, sedangkan pada aspek pemasaran, aspek kelembagaan, dan aspek finansial relatif rendah. Berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability), terdapat beberapa risiko yang memiliki nilai risiko tinggi dan nilai kemampuan pengelolaan risiko yang rendah yang akan menjadi fokus pemberian dukungan fasilitas. Risiko tersebut adalah risiko harga, persaingan, kerjasama, penyakit busuk pangkal batang, serta ketergantungan antar pelaku. Pengelolaan risiko harga dapat dilakukan dengan menerapkan Sistem Resi Gudang, yang membutuhkan relatif lebih besar dukungan dalam bentuk infrastruktur, kebijakan, dan pembiayaan, dibandingkan dengan instrumen teknologi, manajemen usaha, dan kemitraan. Analisis kelayakan investasi menunjukkan bahwa NPV pendirian agroindustri lada yaitu sebesar Rp. 202,8 juta. Nilai IRR yang dihasilkan yaitu sebesar 45,28%, dimana lebih besar dibandingkan faktor diskonto yang digunakan. Nilai B/C adalah sebesar 1,95. Adapun periode pengembalian adalah selama 3,75 tahun. Hasil analisis pengaruh risiko menunjukkan bahwa apabila tidak dilakukan pengelolaan dalam bentuk pencegahan dan atau penanganan risiko, maka akan mempengaruhi kinerja investasi. Sebagai akibat terjadinya risiko pada sistem komoditas lada, maka kemampuan petani dalam pembayaran jasa pengolahan dapat menurun sebesar 28,89%, jumlah lada yang diolah dan jumlah produk samping akan mengalami penurunan sebesar 31,03%. Risiko pada investasi agroindustri lada diduga dapat menyebabkan penurunan rendemen sebesar 10,70%. Peningkatan peluang keberhasilan adopsi teknologi agroindustri lada putih di kepulauan Bangka memerlukan dukungan dalam bentuk penyediaan instrumen pengelolaan risiko. Pengembangan sistem komoditas lada juga mensyaratkan pelibatan stakeholder secara substansial. Pembiayaan kredit usaha, investasi pemerintah melalui model joint venture, trust fund, dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN merupakan sumber pembiayaan yang dapat digunakan dalam kegiatan investasi agroindustri lada. Kata Kunci: manajemen risiko, investasi, agroindustri, lada, dukungan fasilitas, pendekatan fuzzy.

10

11 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Mengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

12

13 RANCANG BANGUN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI LADA SUCI WULANDARI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

14 Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si 2. Prof. (Riset). Dr. Ir. Risfaheri, M.Si Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Dedi Mulyadi, M.Si 2. Dr. Ir. Sudradjat, MS

15 Judul Disertasi : Rancang Bangun Model Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Lada Nama : Suci Wulandari NIM : F Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Ketua Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc Anggota Dr. Ir. B.S. Kusmuljono, MBA Anggota Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 7 Desember 2012 Tanggal Lulus:

16

17 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Beberapa bagian dari disertasi, yang berjudul Rancang Bangun Model Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Lada, telah diterbitkan sebagai publikasi ilmiah. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan penuh ketulusan dan kesabaran memberikan bimbingan selama proses pada masa studi, memberikan masukan untuk terus memperbaiki diri, serta memberikan dorongan dalam menyempurnakan ikhtiar penulis untuk memberikan yang terbaik. 2. Bapak Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan penuh perhatian memberikan masukan untuk memperkaya wawasan penulis, memberikan bimbingan untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, serta memberikan arahan agar dapat diperoleh kegunaan dari setiap proses dan hasil yang diberikan. 3. Bapak Dr. Ir. Kusmuljono, MBA selaku Anggota Komisi, yang bersedia meluangkan waktu diantara kesibukan yang ada, untuk memberikan wawasan berdasarkan segala kekayaan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, serta memberikan arahan dalam upaya menjadikan segala hasil yang dicapai memiliki manfaat yang sebesar-besarnya. 4. Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan bantuan dan dukungan bagi penulis selama pada masa studi. 5. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si dan Prof. (Riset). Dr. Ir. Risfaheri, M.Si selaku Dosen Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup. Dr. Dedi Mulyadi, M.Si dan Dr. Ir. Sudradjat, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka. 6. Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEARCA), yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. Arsenio M. Balisacan, PhD; Dr. Gil C. Saguiguit Jr.; dan Dr. Editha C. Cedicol atas dukungan yang diberikan. 7. Dr. Ir. Agus Wahyudi, MS; Dr. Ir. Sugeng Budiharsono; Ir. Lukman M. Baga, MAE; dan Dr.Eng. Taufik Djatna, S.TP, M.Si atas proses pembelajaran dan peningkatan kapasitas yang sangat berarti selama ini. 8. Rekan kerja pada Lembaga Penelitian lingkup Badan Litbang Kementerian Pertanian atas segala bantuan dalam penelitian dan selama masa studi. Keluarga besar Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan. 9. Rekan pada pemerintah daerah, kelompok tani, dunia usaha, dan lembaga penelitian, yang berada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, atas segala bantuan yang diberikan selama penelitian.

18 10. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti, serta temanteman S3 TIP atas segala kerjasama dan dukungan yang diberikan. 11. Keluarga tercinta: Ibu Ismiyati Duryat; Ir. Hadi Sulistianto; ketiga buah hati: Hanif, Huda, dan Hasna; serta kakak Ir. Rahmi Hidayati; drg Dyah Irnawati, M.Si; Puspitawati SE, M.Si; Dr. Kusdamayanti; Ir. Rahmat Saptono, M.Sc, atas segala dukungan dan pengorbanan yang diberikan, serta atas kesediaan mendampingi dan mencurahkan kasih dan doa bagi penulis. Besar harapan penulis bahwa karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan menjadi inspirasi untuk terus berkarya. Bogor, Januari 2013 Suci Wulandari

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Oktober 1972 sebagai anak ke enam dari Bapak M. Duryat Puspowidagdo (alm) dan Ibu Ismiyati. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, IPB melalui jalur USMI, pada periode Pada tahun 1995, penulis mendapatkan beasiswa dari Magister Manajemen Agribisnis, IPB untuk melanjutkan studi di jurusan Magister Manajemen Agribisnis, IPB. Jenjang S2 diselesaikan pada tahun 1997 dan tercatat sebagai Lulusan Terbaik S2 Tingkat IPB. Penulis mendapatkan beasiswa dari Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research Agriculture (SEARCA) untuk melanjutkan studi pada tahun 2008 di program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB, pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian. Penulis juga mendapatkan beasiswa lanjutan dari Kementerian Pertanian. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Puslitbang Perkebunan, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian dan pernah melakukan tugas pada Puslit Sosial Ekonomi Kehutanan dan Perkebunan dan Puslitbang Perkebunan. Penulis memiliki pengalaman terlibat pada sejumlah kegiatan pada beberapa Lembaga Pembangunan Internasional dalam program pengembangan komoditas dan pembangunan wilayah. Berbagai karya ilmiah penulis telah diterbitkan dalam bentuk jurnal, dipresentasikan pada seminar, serta dipublikasikan sebagai bagian dari beberapa buah buku.

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xxiii xxv xxvii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Sistem Sistem Komoditas Lada Subsistem Pengadaan Input Subsistem Budidaya Subsistem Agorindustri Subsistem Pemasaran Subsistem Kelembagaan dan Kebijakan Pengembangan Komoditas Manajemen Risiko Manajemen Risiko Agroindustri Manajemen Risiko Investasi Agroindustri Posisi Penelitian METODOLOGI Kerangka Pemikiran Tahapan Penelitian Metode Analisis Verifikasi dan Validasi Tata Laksana Penelitian ANALISIS SITUASIONAL Kinerja Sistem Komoditas Pemetaan Lingkungan Strategis Sistem Komoditas Lada Analisis Komparatif Sistem Komoditas Lada Indonesia dengan Vietnam Pengembangan Agroindustri berbasis Nilai Tambah Model Proses Adopsi Teknologi Agroindustri Lada Pembiayaan pada Investasi Agroindustri Lada Persepsi terhadap Risiko PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI Pemodelan Sistem Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Identifikasi Risiko

22 Halaman 5.4. Penilaian Risiko Pembobotan Pakar Pembobotan Komponen Risiko Perhitungan Nilai Risiko Agregasi Nilai Risiko Pengelolaan Risiko Pengelolaan Risiko pada Aspek Agroindustri Pengelolaan Risiko pada Aspek Budidaya Pengelolaan Risiko pada Aspek Pemasaran Pengelolaan Risiko pada Aspek Kelembagaan Pengelolaan Risiko pada Aspek Finansial Analisis Instrumen Pengelolaan Risiko Penilaian Kemampuan Pengelolaan Risiko Penilaian Kerentanan (Vulnerability) Penilaian Instrumen Pengelolaan Risiko Analisis Finansial Analisis Kelayakan Investasi Simulasi Kelayakan Investasi berbasis Risiko APLIKASI MODEL Gambaran Wilayah Penilaian Risiko Analisis Pengelolaan Risiko Analisis Finansial Simulasi Kelayakan Investasi berbasis Risiko Tatanan Kelembagaan Investasi Agroindustri Lada Keterkaitan ke Depan dengan Perusahaan Agroindustri Eksportir Lada KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

23 DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada di Indonesia Luas Areal dan Produksi Lada Berdasarkan Provinsi Spesifikasi Teknis Mesin dan Peralatan pada Pengolahan Lada Kerangka Penelitian Nilai Prioritas Global Aspek Kekuatan Nilai Prioritas Global Aspek Kelemahan Nilai Prioritas Global Aspek Peluang Nilai Prioritas Global Aspek Ancaman Nilai Prioritas Strategi Pengembangan Sistem Komoditas Lada Putih Kegiatan dan Jenis Keputusan Pelaku pada Rantai Nilai Skala Nilai Variabel Input Agregasi Tahap Atribut dan Fungsi Keanggotan Variabel Input Agregasi Tahap Atribut dan Fungsi Keanggotan Variabel Input Agregasi Tahap Nilai Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) Nilai Dukungan Fasilitas (support facilities) Persepsi Responden terhadap Aksesibilitas Sumber Pembiayaan Formal Persepsi Responden terhadap Aksesibilitas Sumber Pembiayaan Non Formal Analisa Kebutuhan Risiko pada Aspek Agroindustri Risiko pada Aspek Budidaya Risiko pada Aspek Pemasaran Risiko pada Aspek Kelembagaan Risiko pada Aspek Finansial Skala Penilaian Pembobotan Pakar Skala Penilaian Pembobotan Komponen Risiko Pengelolaan Risiko pada Aspek Agroindustri Pengelolaan Risiko pada Aspek Budidaya Pengelolaan Risiko pada Aspek Pemasaran Pengelolaan Risiko pada Aspek Kelembagaan Pengelolaan Risiko pada Aspek Finansial Nilai Skala Saaty Sebaran Areal Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nilai Risiko Kemampuan Pengelolaan Risiko Nilai Kerentanan (vulnerability) Nilai Instrumen Pengelolaan Risiko Asumsi Analisis Finansial Rencana Investasi Biaya Pengolahan Perkiraan Kapasitas Pengolahan Lada Kelayakan Investasi Agregasi Nilai Keparahan (severity) Penilaian Pengaruh Komponen Kelayakan Investasi Perubahan Nilai Kelayakan Investasi

24 Halaman 45. Asumsi Analisis Finansial Perusahaan Agroindustri Rencana Investasi Perusahaan Agroindustri Biaya Pengolahan Perusahaan Agroindustri Perkiraan Kapasitas Pengolahan Lada Perusahaan Agroindustri Kriteria Investasi Perusahaan Agroindustri

25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Soft System Methodology Sebaran Pengembangan Lada Nasional Proses Pengolahan Lada Perkembangan Produksi Lada Hitam Negara Produsen Utama Perkembangan Produksi Lada Putih Negara Produsen Utama Proses Manajemen Risiko Kerangka Konseptual Metodologi Penelitian Struktur Sistem Penunjang Keputusan Tata Laksana Penelitian Perkembangan Produksi Lada Putih Indonesia Analisis Risiko Mutu Pengolahan Lada secara Tradisional Struktur Hirarki Pemetaan Lingkungan Strategis Pangsa Pasar Lada Putih Indonesia dan Vietnam Rantai Nilai Lada Putih Prediksi Rantai Nilai Berbasis Peningkatan Nilai Tambah Pengalaman Menggunakan Alat dan Mesin Agroindustri Lada Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Perontok Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Bak Perendam Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Pengupas Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Pengering Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Sortasi Model Proses Adopsi Teknologi Tahapan Analisis Proses Adopsi Teknologi Persepsi terhadap Tingkat Keuntungan pada Pengusahaan Lada Persepsi terhadap Tingkat Risiko pada Pengusahaan Lada Diagram Lingkar Sebab Akibat Diagram Input Output Kerangka Model Sistem Penunjang Keputusan Taksonomi Risiko Investasi Agroindustri Lada Matriks Perbandingan Berpasangan Analisis Instrumen Pengelolaan Risiko Perkembangan Luas Areal Lada, Karet, dan Kelapa Sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Penilaian Frekuensi Serangan Hama dan Penyakit Lada Utama Tingkat Keparahan Akibat Serangan Hama dan Penyakit Perkembangan Harga Bulanan di Tingkat Petani Persepsi Mengenai Teknologi dalam Perannya Mengatasi Permasalahan Pengalaman dalam Mengakses Informasi Teknologi Pengalaman dalam Memperoleh Bimbingan Penggunaan Teknologi Penilaian terhadap Peran Kelompok Tani Sebaran Tingkat Pendidikan Petani Radar Chart Nilai Kerentanan (Vulnerability) Perbandingan Nilai Kelayakan Investasi Pemetaan Pelaku dalam Pengembangan Agroindustri Lada Skema Pendanaan Model Pembiayaan KUR Skema Investasi Pemerintah dengan Bentuk Investasi Langsung Patungan (Joint Venture) Skema Pendanaan Model Pembiayaan PKBL-BUMN Skema Pendanaan Model Pembiayaan Dana Perwalian (Trust Fund)

26

27 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rugi Laba Arus Kas Rugi Laba Berbasis Risiko Arus Kas Berbasis Risiko Pertunjuk Penggunaan Program Aplikasi SPK SMART INVEST

28 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi pada sektor pertanian, sebagai sebuah kegiatan penggunaan modal untuk menciptakan nilai tambah, merupakan salah satu penggerak utama proses pembangunan perekonomian nasional. Realisasi investasi sektor pertanian masih merupakan bagian kecil dari total penanaman modal baik yang berasal dari dalam negeri maupun swasta dan asing. Rendahnya investasi pada sektor pertanian didominasi oleh alasan tingginya tingkat risiko yang dihadapi. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap kinerja pengembangan komoditas pertanian. Fenomena rendahnya tingkat investasi juga terjadi pada pengembangan komoditas lada. Pendanaan kegiatan sebagian besar dilakukan secara mandiri dengan besaran yang tergantung kepada kemampuan individu. Dukungan pendanaan yang terbatas merupakan salah satu dari karakteristik pada pengembangan komoditas lada selain risiko pengusahaan yang tinggi, serta adopsi teknologi yang rendah (Elizabeth 2005). Selain itu, pengembangan komoditas lada dihadapkan pada permasalahan dominasi dan besarnya jumlah perkebunan rakyat, lokasi perkebunan yang terpencar, keterkaitan ke depan yang masih rendah, serta efisiensi kolektivitas yang belum terbangun. Lada merupakan komoditas rempah di pasar dunia, dimana Indonesia berperan sebagai salah satu produsen utama. Lada Indonesia pada pasar dunia terdiri dari Lampung Black Pepper (lada hitam) dan Muntok White Pepper (lada putih). Lada berperan sangat strategis dalam perekonomian nasional maupun perekonomian rakyat. Ditinjau dari sisi ekspor, pada tahun 2010, volume ekspor lada putih Indonesia mampu mencapai ton dengan nilai US$ ribu dan lada hitam mencapai ton dengan nilai US$ ribu. Perkebunan lada di Indonesia memiliki luas ha, dimana hampir seluruhnya merupakan perkebunan rakyat dengan melibatkan KK petani (Ditjen Perkebunan 2012). Peran lada yang besar dan tingginya potensi bagi pengembangannya ternyata tidak diikuti oleh kinerja sistem komoditas lada yang optimal. Perkembangan pangsa pasar lada Indonesia di pasar dunia pada kurun waktu cenderung menurun. Indonesia pada tahun 1995 masih menguasai 1

29 40,32% pasar dunia dan terus mengalami penurunan hingga mencapai 23,61% pada tahun Pencapaian pangsa pasar terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 90,02%, sedangkan nilai terendah yaitu 14,00% pada tahun Hal ini berbeda dengan pangsa pasar lada Vietnam di pasar dunia. Bila pada tahun 1995 kontribusi Vietnam hanya mencapai 13,86% maka pada pada tahun 2010 mencapai 43,95%. Adapun pangsa pasar terbesar dicapai pada tahun 2009 yaitu sebesar 49,06% (IPC 2011). Peningkatan persaingan global juga terjadi pada agroindustri yang ditandai dengan introduksi teknologi dan perluasan skala pengusahaan. Agroindustri lada di negara produsen utama lada terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pergeseran struktur kompetisi pasar produk pertanian, dimana konsentrasi meningkat pada agroindustri, retail, jasa layanan produk, serta pengembangan rantai pasok global (Jaffee et al. 2008). Pada sisi yang lain, persyaratan yang diminta negara-negara konsumen semakin ketat, terutama dalam jaminan mutu, serta aspek kebersihan dan kesehatan. Dari sisi mutu, diketahui bahwa pada pengembangan lada di Indonesia masih terdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan pemenuhan persyaratan mutu. Kegiatan pasca panen lada yang dilakukan secara tradisional telah menyebabkan tingginya risiko mutu. Tingginya tingkat persaingan mengharuskan pelaku usaha untuk terus meningkatkan daya saing. Hal ini kemudian direalisasikan melalui kegiatan investasi. Daya saing agroindustri berkaitan dengan derajat transformasi yang dapat dicapai, yang ditentukan oleh: modal investasi, ketersediaan teknologi, dan kemampuan manajerial (Austin 1992; Brown 1994). Pengembangan industri hilir menjadi fokus investasi sektor pertanian, selain peningkatan produktivitas dan perluasan areal, serta pengembangan pasar. Berbagai teknologi dan pendekatan rekayasa memberikan pilihan dalam kegiatan investasi. Teknik pengukuran tingkat pengembalian sebagian besar dilakukan melalui analisis finansial. Analisis finansial pada investasi agroindustri lada putih telah dilakukan. Pendekatan ini memiliki keterbatasan, dimana analisis sensitivitas pada analisis finansial tidak menunjukkan indikasi peluang terjadinya perubahan, hubungan antar variabel diasumsikan saling independen (Merna dan 2

30 Detlev 2000), serta penetapan perubahan nilai variabel untuk simulasi dilakukan secara acak. Pada sisi yang lain, spektrum instrumen investasi akan memberikan derajat ketidakpastian yang berbeda karena perbedaan tingkat risiko yang dihadapi. Kegiatan investasi dengan mempertimbangkan risiko yang ada menjadi penting dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian manajemen risiko pada investasi agroindustri, yang didalamnya mengintegrasikan analisis finansial dan analisis risiko dalam sebuah kerangka kerja. Pada sisi yang lain, pelaku pada sistem komoditas dihadapkan pada situasi rendahnya kepemilikan sumberdaya teknologi, sumberdaya manusia, sumberdaya informasi, dan sumberdaya finansial. Hal ini berimplikasi terhadap dibutuhkannya dukungan fasilitas dalam upaya untuk mengimplementasikan pengelolaan risiko tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis lanjutan, yaitu analisis kerentanan (vulnerability), yang memetakan nilai risiko dan kemampuan pengelolaan risiko, sebagai dasar dalam pemberian dukungan fasilitas. Melalui dukungan fasilitas ini maka diharapkan pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan baik. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Melalui pendekatan ini diharapkan akan diketahui keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh mengenai permasalahan pada sistem, sehingga diperoleh strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing komoditas lada Indonesia. Kompleksitas yang terjadi sebagai akibat dari penggabungan tersebut akan diatasi dengan pengembangan Sistem Penunjang Keputusan (SPK). SPK akan mengintegrasikan penilaian dan informasi yang terkomputerisasi dalam proses akuisisi data dan analisis untuk menunjang proses pengambilan keputusan. SPK telah dikembangkan pada berbagai bidang kajian termasuk analisis investasi dan manajemen risiko, dengan aplikasi pada berbagai sektor termasuk sektor pertanian. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan rancang bangun model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada. Dalam upaya mencapai hal 3

31 tersebut, penelitian memiliki beberapa tujuan khusus yang diuraikan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi risiko, melakukan penilaian risiko, serta menyusun pengelolaan risiko pada investasi agroindustri lada 2. Menyusun dukungan fasilitas dalam pengelolaan risiko pada investasi agroindustri lada 3. Menilai kelayakan investasi dan melakukan simulasi kelayakan investasi berbasis risiko pada investasi agroindustri lada 1.3 Ruang Lingkup Penelitian Agroindustri yang menjadi obyek penelitian adalah agroindustri lada putih dengan fokus analisis kegiatan pengolahan dan keterkaitannya dengan aspek budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial. Penelitian dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang merupakan sentra produksi utama lada putih. Satuan obyek analisis adalah sistem komoditas lada putih pada sentra produksi di Kepulauan Bangka. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan gambaran komprehensif mengenai investasi pada agroindustri lada. Pengguna hasil penelitian ini adalah: pelaku dalam sistem komoditas, investor, serta pemerintah dan stakeholder lain. Secara lebih spesifik, penelitian ini menghasilkan: (1) gambaran bagi investor mengenai kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi, (2) gambaran bagi pelaku dalam sistem komoditas mengenai risiko dan pengelolaan risiko terpadu, serta (3) panduan bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko sebagai bentuk dukungan fasilitas yang diberikan. 4

32 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Sistem Sistem adalah sekumpulan elemen-elemen dari suatu obyek dengan pembatas jelas, yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. Filosofi dasar kesisteman yang menjadi landasan pokok dalam menyelesaikan masalah melalui pendekatan sistem adalah: (1) sibernetik, yaitu berorientasi pada tujuan (2) holistik, yaitu memandang secara utuh terhadap keseluruhan sistem, dan (3) efektif, yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang lebih operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai keputusan (Eriyatno 2003). Pengkajian sistem mensyaratkan dipenuhinya tiga karakteristik, yaitu (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dimana faktornya mengandung prediksi dan berubah menurut waktu, dan (3) probabilistik, dimana memerlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Pendekatan sistem merupakan suatu kerangka berpikir yang mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh mengenai suatu permasalahan. Tahapan pendekatan sistem terdiri dari enam tahapan analisis, yaitu (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) formulasi model, (5) verifikasi dan validasi model, dan (6) implementasi model. Metodologi sistem dibagi menjadi dua yaitu hard system methodology (HSM) dan soft system methodology (SSM). Kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisiplin, oleh karena itu untuk menghasilkan sintesis yang mendalam dan komprehensif, tidak cukup hanya menggunakan satu metode. Riset kebijakan menggunakan teknik-teknik dari SSM, namun dapat juga dikombinasikan dengan HSM untuk analisis sebab akibat. Dalam SSM terdapat berbagai teknik yang digunakan dalam memperoleh atau menganalisis input penelitian. Setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga dengan menggunakan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analis, meningkatkan mutu disain, dan meminimalisasi bias dalam penelitian (Eriyatno dan Sofyar 2007). Tahapan dalam SSM meliputi: (1) analisis situasi permasalahan yang tidak terstruktur, (2) identifikasi situasi permasalahan, (3) pendefinisian sistem yang 5

33 relevan, (4) pengembangan model konseptual, (5) perbandingan model konseptual dan situasi permasalahan yang ditemukenali, (6) identifikasi hal yang diinginkan secara sistematis, dan (7) tindakan perbaikan. Tahapan tersebut disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Soft System Methodology Sumber: Checkland (1981) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007) Analisis kebutuhan merupakan langkah awal yang dilakukan dalam pengkajian sistem. komponen-komponen Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan dari yang terkait, untuk kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhannya akibat adanya keterbatasan sumberdaya. Pendekatan sistem berorientasi kepada pencapaian tujuan, maka permasalahan yang diformulasikan adalah masalah yang terkait dengan pencapai tujuan. Hal ini yang membedakan formulasi masalah pada pendekatan sistem dengan pendekatan yang hanya berorientasi pada pemecahan masalah saja, dimana tujuan ditetapkan setelah muncul adanya permasalahan. 6

34 Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dari masalah yang dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sistem. Tahapan selanjutnya adalah mengembangkan model yang sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Model adalah abstraksi dari suatu gejala. Pemodelan merupakan alat uji sistem yang bertujuan untuk memudahkan mempelajari perilaku suatu gejala secara seksama agar dapat dilakukan generalisasi terhadap masalah tersebut. Melalui model akan diketahui struktur suatu obyek, elemen-elemen penyusunnya dan interaksinya secara logis. Model simulasi yang dibangun diharapkan merupakan representasi sistem nyata, oleh karena itu kesesuaian model perlu dianalisis melalui verifikasi dan validasi model. Implementasi model adalah tahapan akhir dari pendekatan sistem. Pada tahap ini, model yang telah valid dapat diimplentasikan untuk melakukan prediksi dan mengambil keputusan atas suatu permasalahan. 2.2 Sistem Komoditas Lada Sistem komoditas lada dapat dilihat dari subsistem pengadaan input, budidaya, agroindustri, pemasaran, serta kelembagaan dan kebijakan pengembangan komoditas Subsistem Pengadaan Input Subsistem ini meliputi berbagai kegiatan yang menghasilkan bibit, benih, pupuk, obat-obatan, dan peralatan pertanian. Fungsi subsistem ini adalah memproduksi dan memasok kebutuhan input yang akan digunakan dalam subsistem berikutnya, yaitu subsistem produksi. Pada saat ini telah dilepas 7 varietas lada yaitu Petaling 1, Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Chunuk RS, Lampung daun kecil RS dan Bengkayang LU Subsistem Budidaya Perkembangan luas areal penanaman lada dan produksi lada di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun Perkembangan produksi lada meningkat tajam dari tahun 1980 sebesar ton kemudian menjadi ton pada tahun Selama satu dekade berikutnya, produksi lada berfluktuasi dan relatif stagnan. Pada tahun 2011 areal lada Indonesia seluas ha dengan produksi mencapai ton (Tabel 1). 7

35 Tabel 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada di Indonesia Tahun Luas Areal (ha) PProduksi (ton) Sumber: Ditjen Perkebunan (2012) Lada diusahakan pada hampir seluruh wilayah di Indonesia (Gambar 2). Daerah sentra produksi lada adalah Provinsi Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Berdasarkan data penyebarannya, 56,23% dari areal lada berada di provinsi Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung. Luas areal lada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat yaitu sebesar 19,08%, sedangkan sisanya tersebar pada provinsi lain (Tabel 2). Gambar 2. Sebaran Pengembangan Lada Nasional Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007) 8

36 Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Lada Berdasarkan Provinsi No. Provinsi Luas Areal (ha) Produksi (ton) Luas Areal (ha) Produksi (ton) Luas Areal (ha) Produksi (ton) 1. Lampung Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Kalimantan Tengah Bengkulu Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Kalimantan Selatan Lainnya Total Indonesia Sumber: Ditjen Perkebunan (2012) Subsistem Agroindustri Agroindustri adalah unit usaha yang melakukan pengolahan terhadap bahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Agroindustri menggunakan bahan baku pertanian dengan sifat yang mudah rusak (perishable), bulky atau voluminous, bersifat musiman, menerapkan teknologi dan manajemen yang akomodatif terhadap heterogenitas sumberdaya manusia, serta dengan kandungan bahan baku lokal yang tinggi. Pengolahan meliputi transformasi dan pencegahan melalui tindakan fisik dan kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi (Austin 1992). Agroindustri terbagi menjadi empat tingkat kegiatan yaitu: (1) agroindustri tingkat satu yang terdiri dari: kegiatan pembersihan, pengelompokan, atau penyimpanan. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada buah segar, sayur segar, dan telur; (2) agroindustri tingkat dua yang terdiri dari: kegiatan penggilingan, pemotongan, atau pencampuran. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada rempah, serelia, serat, kapas, dan karet; (3) agroindustri tingkat tiga yang terdiri dari: kegiatan pemasakan, pasteurisasi, pengalengan, pembekuan, pengeringan, atau ekstraksi. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada industri makanan minuman, gula, tekstil, dan furnitur; serta (4) agroindustri tingkat empat 9

37 yang terdiri dari: kegiatan proses kimiawi, atau teksturisasi. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada industri makanan instan, dan ban. Lada putih adalah lada yang dihasilkan melalui proses pengupasan atau pemisahan kulit dan pengeringan, sedangkan lada hitam adalah lada yang dihasilkan langsung melalui proses pengeringan tanpa melalui proses pengupasan atau pemisahan kulit. Pengolahan lada dapat dilakukan secara tradisional dan secara mekanis (Gambar 3). Gambar 3. Proses Pengolahan Lada Pasca panen, menurut pasal 31 UU Nomor 12/1992 tentang budidaya tanaman, adalah suatu kegiatan yang meliputi pembersihan, pengupasan, penyortiran, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan transportasi hasil produksi budidaya tanaman (Ditjen P2HP 2009). Penanganan pasca panen lada adalah penanganan buah lada segar hingga menghasilkan produk primer berupa lada kering. Panen adalah proses pemetikan atau pemungutan buah lada pada tingkat kematangan optimal. Sortasi buah lada segar adalah proses pemilahan hasil panen yang masak dan yang baik dari buah yang kecil, rusak atau cacat karena terkena serangan hama dan penyakit, serta benda asing lainnya. 10

38 Perendaman adalah proses menempatkan lada di dalam genangan air mengalir yang bertujuan untuk melunakkan kulit buah. Pengupasan adalah proses memisahkan kulit bagian luar. Pengeringan adalah upaya menurunkan kadar air sampai mencapai kadar air kesetimbangan sehingga aman untuk disimpan. Sortasi kering adalah proses pemilahan biji lada kering atas dasar membuang kotoran atau benda-benda asing lainnya yang tidak diperlukan. Pengolahan lada putih secara tradisional meliputi kegiatan perendaman, pencucian dan pemisahan kulit, pengeringan, sortasi dan pengemasan. Kegiatan pengolahan lada dilakukan di tingkat petani. Pemetikan buah lada dilakukan setelah 8-9 bulan bunga muncul dengan ditandai sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna kuning kemerahan. Setelah pemetikan, buah lada dimasukkan ke dalam karung untuk direndam. Perendaman dilakukan selama hari. Lamanya perendaman lada tergantung dari jenis atau varietas tanaman, lingkungan tumbuh, kemasakan buah dan keadaan lingkungan tempat perendaman seperti, kesadahan air, intensitas cahaya dan lain-lain. Setelah perendaman dilakukan pengupasan kulit dan pencucian, dimana apabila kulit luar telah terkelupas, kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menghamparkan lada, yang sudah terkupas dan bersih, di atas alas yang bersih. Pengolahan lada putih secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat perontok, pengupas, pengering, dan sortasi lada. Perbaikan cara pengolahan lada hitam secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat perontok lada, pengering, dan blansir. Pengolahan secara mekanis disebut juga sebagai pengolahan secara semi mekanis untuk membedakan pengolahan dengan bantuan mesin yang tanpa melalui perendaman. Perbaikan pengolahan dengan cara mekanis bertujuan agar proses pengolahan lebih efisien, serta mutu dan kebersihan menjadi lebih baik (Nurdjannah et al. 2000). Spesifikasi teknis alat dan mesin yang digunakan tertera pada Tabel 3. Perontokan dilakukan untuk memisahkan buah lada dari tangkainya. Pengupasan kulit lada dilakukan untuk memisahkan kulit buah lada dari bijinya. Alat pengupas dapat mengupas lada segar dengan baik, namun warna dari lada putih yang dihasilkan tidak seputih yang dihasilkan dengan cara tradisional yang menggunakan air yang bersih dan mengalir. Oleh karena itu dapat dilakukan 11

39 perendaman buah lada selama 6 hari. Pengeringan dilakukan dalam beberapa tahap dan dengan suhu tidak melebihi 60 o C. Sortasi dilakukan untuk memisahkan lada enteng, menir, dan debu dari lada putih yang dihasilkan. Sortasi dilakukan untuk mengelompokkan lada berdasarkan mutunya. Cara kerja mesin sortasi adalah berdasarkan perbedaan berat dari masing-masing bagian. Tabel 3. Spesifikasi Teknis Mesin dan Peralatan Pengolah Lada Peralatan Tipe Kapasitas (kg) 12 Keterangan Alat perontok (Thresher) Throw-in kg buah lada bertangkai/jam Alat pengayak Manual Maks kg buah lada tanpa tangkai/jam (Sieve) Bak perendaman (Soaking tank) Maks kg buah lada tanpa tangkai/proses Alat pengupas (Decorticator) Piringan kg buah lada tanpa tangkai/jam Bak pemisahan pulp Manual Alat pengering Bak Maks kg biji lada/proses (Mechanical dryer) Unit penjemuran (Sun drying) Rak Alat sortasi Saringan dan hisap kg lada putih/jam Sumber: Hidayat et al. (2009) Pengolahan lada putih secara mekanis dapat mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang berbahaya, dan kotoran lainnya. Pengolahan dengan cara ini juga dapat mempersingkat waktu pengolahan. Selain produk utama berupa lada putih, juga dapat diperoleh tambahan pendapatan dengan menjual produk samping dalam bentuk lada enteng, menir, dan debu sebagai sumber minyak lada. Lada putih yang diolah secara mekanis mempunyai aroma khas lada, bebas dari bau busuk, dan mengandung minyak atsiri yang tinggi (Winarti dan Nurjannah 2007). Pemanfaatan lada yang diperoleh dari sisa hasil sortasi dapat dijadikan minyak lada dan oleoresin. Ekstraksi minyak lada dapat dilakukan dengan cara penyulingan, yaitu proses pemisahan komponen berupa cairan atau padatan dari dua campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya. Proses ini dapat dilakukan terhadap minyak lada karena sifatnya yang tidak larut dalam air, sedangkan ekstraksi oleoresin dilakukan dengan cara solvent extraction. Minyak lada terutama digunakan sebagai pemberi aroma dan rasa pada berbagai macam industri makanan serta dipakai dalam industri kosmetika dan

40 farmasi. Bahan baku untuk penyulingan minyak lada yaitu lada gugur, lada enteng, lada menir, debu, tangkai lada. Penyulingan dengan uap langsung pada tekanan 1 atmosfir (suhu 100 C) selama 4 jam akan menghasilkan minyak dengan rendemen sekitar 2,15%. Balsam lada adalah salah satu sediaan obat yang dapat dibuat dari minyak lada. Krim merupakan sediaan setengah padat, berupa emulsi yang mengandung air tidak kurang dari 60%. Oleoresin diperoleh dengan cara melakukan ekstraksi ampas sisa penyulingan dengan menggunakan pelarut mudah menguap. Ekstraksi oleoresin dapat juga dilakukan secara langsung dari lada enteng, tanpa pemisahan minyak lada dengan penyulingan. Agroindustri lada di beberapa negara berkembang dengan baik. Perkembangan agroindustri lada di India ditandai dengan jumlah dan besarnya perusahaan serta tingkat teknologi yang digunakan. Agroindustri menggunakan standar mutu yang ketat dalam menghasilkan produk dalam bentuk lada kering dan oleoresin. Strategi pengembangan industri lada sebagai upaya mengatasi jumlah lada di India, yang menurun drastis karena kegagalan produksi pada saat permintaan dalam negeri terus berkembang, yaitu melakukan investasi di Vietnam. Vietnam pada saat ini merupakan basis bagi 13 agroindustri lada asing yang berasal dari India, Belanda, Indonesia, Jepang, Singapura (VPA 2010). Agroindustri rempah di Srilanka mencanangkan tahun 2011 sebagai tahun peningkatan nilai tambah bagi industri rempah. Selama ini ekspor dilakukan dalam bentuk bahan baku. Oleh karena itu, industri diharapkan dapat dikembangkan dengan teknologi dan penggunaan teknik untuk peningkatan mutu produk Subsistem Pemasaran Lada diproduksi oleh sebelas negara yang terbagi dalam dua kelompok yaitu: anggota International Pepper Community (IPC), yang terdiri dari: Brazilia, India, Indonesia, Malaysia, Srilanka, Vietnam, dan (2) non anggota IPC seperti: China, Thailand, Madagaskar, Kambodia, dan Equador. Tingkat persaingan pada industri lada semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pangsa pasar negara produsen seiring dengan munculnya Vietnam. 13

41 Perkembangan produksi lada hitam pada awalnya didominasi oleh India dengan peruntukkan bagi pemenuhan kebutuhan domestik yang relatif besar. Pada tahun 2000-an, Vietnam menjadi pemain penting dan mendominasi produksi lada hitam dunia. Pada sisi yang lain, dengan pola produksi yang cenderung stagnan, Indonesia tidak mampu untuk memperbaiki posisinya (Gambar 4). B I I M S L V C PR T M L Gambar 4. Perkembangan Produksi Lada Hitam Negara Produsen Utama Sumber: IPC (2011) B I I M S L V C PR Gambar 5. Perkembangan Produksi Lada Putih Negara Produsen Utama Sumber: IPC (2011) 14

42 Perkembangan produksi lada putih pada awalnya didominasi oleh Indonesia, namun demikian produksi Indonesia terus mengalami penurunan yang sangat signifikan sejak tahun Hal ini berbeda dengan Vietnam yang terus mengalami peningkatan produksi (Gambar 5). Pelaku dalam sistem pemasaran lada yaitu: petani, pengumpul, pedagang, eksportir, dan retail. Pemasaran lada di Kepulauan Bangka Belitung dilakukan melalui beberapa cara. Petani dapat menjual lada ke pengumpul, ke pedagang besar, atau langsung ke eksportir. Hal ini dimungkinkan karena adanya dukungan infrastruktur transportasi dan dukungan fasilitas telekomunikasi yang memadai Subsistem Kelembagaan dan Kebijakan Pengembangan Komoditas Pengembangan sistem komoditas lada memerlukan dukungan kelembagaan dan kebijakan. Lembaga riset dibawah Kementerian Pertanian telah menghasilkan teknologi komoditas lada antara lain dalam bentuk: varietas unggul, teknik budidaya, cara penanggulangan hama penyakit, alat dan mesin pengolah lada, namun adopsi teknologi ini masih rendah. Pada bidang kelembagaan diketahui bahwa pemerintah dibawah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian membentuk Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar, dibawah Badan Litbang Pertanian telah membentuk Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Melalui lembaga ini dihasilkan dukungan dalam bentuk teknologi dan kebijakan bagi pengembangan lada. Kelembagaan lain yang bergerak dalam pengembangan lada adalah: Asosiasi Eksportir Lada (AELI), Asosiasi Petani Lada Indonesia (APLI), serta Masyarakat Rempah Indonesia. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah dibentuk Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) yang bertugas dalam proses percepatan pengembangan lada. 2.3 Manajemen Risiko Risiko mengandung pengertian sebagai perubahan kehilangan (change of loss), kemungkinan kehilangan (possibility of loss), ketidakpastian (uncertainty), penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan, atau probabilitas atas hasil 15

43 yang berbeda dari yang diharapkan. Risiko adalah situasi dimana terdapat ketidakpastian hasil atau akibat dari suatu kejadian (Field 2003). Risiko dapat didefinisikan sebagai pengukuran dari peluang dan keparahan atas suatu dampak yang tidak diinginkan (Haimes 2009). Risiko merupakan variasi dari hasil yang muncul selama periode tertentu akibat dari situasi tertentu (IOSH 2002). Biaya-biaya yang ditimbulkan karena menanggung risiko atau ketidakpastian dapat dibagi menjadi: (1) biaya-biaya dari kerugian yang tidak diharapkan, dan (2) biaya-biaya dari ketidakpastian itu sendiri (Marrison 2002). Risiko menunjukkan adanya variasi dari hasil, yang dinyatakan sebagai pengukuran dari tingkat peluang dan keparahan. Peluang dapat dinyatakan sebagai probability (Lam 2003), frequency, probability of frequency (Haimes 2009), occurrence (McDermott et al. 2009). Occurrence adalah peluang atau frekuensi dimana sebuah kegagalan terjadi. Keparahan dinyatakan sebagai severity (McDermott et al. 2009; Lam 2003). Severity merupakan konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari suatu kegagalan. Pada kasus tertentu, risiko dinyatakan juga sebagai fungsi detection. Detection mengindikasikan peluang atas tidak dapat dideteksinya sebuah kejadian sebelum terjadi. Pada penelitian ini digunakan istilah occurrence untuk menunjukkan tingkat kejadian, severity untuk tingkat keparahan dampak, dan detection untuk ketidakmampuan pendeteksian. Pada ranah keteknikan, risiko digambarkan secara kuantitatif dan lebih fokus kepada teknologi. Pada sisi yang lain, ilmu sosial menyediakan informasi yang dapat membantu memahami bagaimana individu berinteraksi, mengambil keputusan, menyusun kekuatan, dan merespon perubahan (Gerber 2004). Penggambaran risiko pada kedua sisi tersebut akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang struktur dan perilaku risiko. Pengelompokan risiko dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Berdasarkan sumbernya, risiko dapat dibagi menjadi: (1) kegagalan perangkat keras (hardware failure), (2) kegagalan perangkat lunak (software failure), (3) kegagalan kelembagaan (organizational failure), dan (4) kegagalan sumberdaya manusia (human failure) (Haimes 2009). 16

44 Pendekatan sistem dapat membantu proses identifikasi risiko secara komprehensif (O Donnel 2005). Analisis risiko dan pengelolaan risiko pada rantai nilai lebih kompleks daripada individu. Risiko dan kerentanan dianalisis dengan pendekatan sistem yang memperhitungkan eskposur, potensi kerugian, pilihan manajemen risiko, serta hubungan dengan pelaku di luar rantai nilai baik secara individu maupun kelompok (Jaffee et al. 2008) Pada kerangka manajemen rantai pasok (supply chain management), risiko rantai pasok dibagi menjadi dua, yaitu risiko eksternal dan risiko internal. Risiko eksternal merupakan risiko yang dihadapi oleh unit usaha berkaitan dengan jalannya sistem rantai pasok, yang terdiri dari risiko kerjasama, risiko keputusan manajemen, risiko pembagian informasi, dan risiko penjadwalan. Risiko internal merupakan risiko yang dihadapi usaha berkaitan dengan operasional unit usaha, yang terdiri dari risiko finansial, risiko proses, dan risiko pasar (Kim et al. 2004). Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan komprehensif untuk menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian (COSO 2006). Manajemen risiko merupakan suatu aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur, serta menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi (Hanafi 2006). Manajemen risiko adalah suatu proses dengan menggunakan metode-metode tertentu, dimana dipertimbangkan risiko yang dihadapi dalam setiap kegiatan organisasi dalam proses mencapai tujuan (Bowe 2006). Secara prosedural, manajemen risiko terdiri dari kegiatan penetapan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, dan penanganan risiko, yang didalamnya disertai pula kegiatan pengembangan komunikasi, serta monitoring dan evaluasi pada setiap tahapannya (GRA 2006). Tahapan manajemen risiko tertera pada Gambar 6. Manajemen risiko bertujuan untuk melakukan identifikasi risiko sehingga dapat diperkirakan dampak jika risiko terjadi, membuat keputusan yang tepat mengenai dampak yang telah diperkirakan, mengimplementasikan program penanggulangan risiko tersebut, serta secara berkesinambungan melakukan pengukuran dan memperkirakan apakah program yang telah dijalankan telah berjalan efektif atau masih membutuhkan perbaikan (Olson dan Desheng 2008; Reuvid 2008). 17

45 Penetapan Konteks komunikasi dan konsultasi Identifikasi Risiko Analisis Risiko Evaluasi Risiko Pengendalian dan evaluasi Perlakuan terhadap Risiko Gambar 6. Proses Manajemen Risiko Sumber: GRA (2006) Teknik dalam identifikasi risiko dapat dilakuan dengan menggunakan brainstorming, kuesioner, patok duga industri (industry benchmarking), analisis skenario (scenario analysis), risk assessment workshop, investigasi kejadian (incident investigation), audit dan inspeksi, atau Hazard and Operability Studies (HAZOP) (Siahaan 2009; Hayes 2004). Teknik evaluasi dan pengukuran risiko dipilih berdasarkan jenis risiko yang akan diukur. Teknik ini terdiri dari: Value at Risk (VaR), stress testing, credit rating, creditmetricts, metode pengukuran jangka waktu, risk mapping atau matriks frekuensi dan keparahan, analisis skenario (Hanafi 2006; CAS 2003), atau Hierarchical Holographic Modeling (Haimes 2009; Haimes et al. 2002, 1995). Pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan cara penghindaran risiko (risk avoidance), penahanan risiko (risk retention), pengalihan risiko (risk transfer) dan pengendalian risiko (risk control). Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui asuransi, perlindungan nilai (hedging), atau pembentukan perseroan terbatas. Risiko yang tidak dapat dihindari, maka dilakukan pengendalian risiko. Dalam kerangka dua dimensi, yaitu frekuensi dan tingkat keparahan (severity), maka pengendalian bertujuan untuk mengurangi peluang munculnya kejadian, mengurangi tingkat keparahan (severity), atau keduanya (Field 2003). 18

46 2.4 Manajemen Risiko Agroindustri Risiko pertanian dapat dibedakan menjadi: risiko alam, risiko tanaman, risiko lahan, risiko persaingan internasional, risiko kebijakan, risiko teknologi, dan risiko petani (Su et al. 2011). Risiko alam terdiri dari risiko iklim, geologi, kelautan, dan sumberdaya alam. Risiko tanaman terdiri dari risiko produksi, permintaan, harga, serangan hama, serangan penyakit, cuaca, curah hujan, struktur pasar, pestisida, varietas, dan polusi. Risiko lahan terdiri dari risiko jenis lahan, kelangkaan lapisan dan air. Risiko persaingan internasional terdiri dari risiko impor dan ekspor yang terdiri dari risiko mutu, keamanan, dan harga. Risiko kebijakan terdiri dari risiko investasi finansial, harga, dan jasa informasi. Risiko teknologi terdiri dari risiko peralatan modern, organisasi, penyuluhan, dan teknisi. Risiko petani terdiri dari risiko pendapatan, pendidikan, dan populasi. Pada sudut pandang yang lain, risiko pada kegiatan agribisnis dapat dibedakan menjadi: risiko harga, risiko produksi, risiko aset, risiko kelembagaan, risiko keuangan, dan risiko sumberdaya manusia (Angelucci dan Conforti 2010). Ditinjau dari sisi pelaku, risiko yang dihadapi petani berasal dari berbagai sumber dari perubahan atau ketidakpastian, baik yang langsung maupun yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan usahatani. Oleh karena itu risiko yang dihadapi terdiri dari risiko produksi, risiko harga, risiko kehilangan aset, dan risiko teknologi (Miller 2004). Risiko harga terjadi sebagai akibat dari perubahan yang tak terduga atas harga input atau output. Risiko produksi timbul dari bahaya alam yang mempengaruhi jumlah atau mutu tanaman. Risiko aset timbul dari kerugian atas perubahan atau kehilangan yang terjadi pada peralatan, bangunan dan aset produktif lainnya. Risiko kelembagaan merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari perubahan kebijakan nasional dan internasional, atau perubahan konsentrasi kekuatan pasar sepanjang rantai nilai. Risiko keuangan merupakan risiko yang muncul dari perubahan tak terduga atas biaya modal, fluktuasi nilai tukar, atau gangguan dalam kemampuan untuk mengakses kredit. Risiko sumberdaya manusia muncul karena gangguan atau perubahan dari kapabilitas tenaga kerja. Risiko pengolahan terjadi sebagai akibat dari terjadinya variasi proses, atau terhentinya produksi. 19

47 Agroindustri merupakan aktivitas pemberian nilai tambah pada komoditas pertanian melalui pengolahan sebelum produk sampai di tangan kepada konsumen (Benfica 2002). Risiko agroindustri dalam konteks sistem agribisnis dapat ditinjau dari sisi pengadaan bahan baku, teknis dan teknologi, pemasaran, serta kelembagaan. Risiko pengadaan bahan baku merupakan parameter penting dalam risiko usaha agroindustri karena ketersediaan bahan baku tergantung pada sub sistem budidaya, yang memiliki ketidakpastian yang tinggi. Potensi risiko bahan baku disebabkan oleh sifat produksi yang musiman, sifat produk yang mudah rusak, bervariasi, dan bervolume besar, sifat produsen yang resisten terhadap inovasi serta sifat pasar yeng tersebar secara geografis dan unit-unit kecil dengan jumlah yang banyak (Austin 1992). Sebagian risiko pada agroindustri merupakan transmisi dari risiko yang dihadapi pada tingkat budidaya (Jafee et al. 2008). Risiko pada pelaksanaan kegiataan budidaya yaitu perubahan cuaca, bencana alam, biologi dan lingkungan, risiko pemasaran, risiko kebijakan dan kelembagaan, risiko logistik, serta risiko manajemen dan operasi. Secara umum risiko tersebut akan memberikan pengaruh pada kegiatan agroindustri terhadap ketersediaan, harga, mutu produk, serta biaya logistik. Risiko bencana alam akan memberikan pengaruh pada biaya pengembangan sumber pengadaan. Risiko biologi dan lingkungan akan berpengaruh pada reputasi merek dan akses pasar. Risiko kebijakan dan kelembagaan serta risiko logistik akan berpengaruh pada ketersediaan dan harga produk lain, serta biaya operasi dan kebutuhan terhadap sumber pengadaan lain. Risiko manajemen dan operasi akan berpengaruh pada keamanan produk, kehandalan produk, dan biaya operasi. Pengelolaan risiko merupakan upaya untuk menghindari atau mengurangi dampak risiko yang telah teridentifikasi. Strategi pengelolaan risiko pada bidang pertanian terdiri dari: strategi budidaya, strategi pembagian risiko, diversifikasi, jaminan sosial, pasar berjangka, atau asuransi. Adapun alat pengelolaan risiko antara lain asuransi pertanian (asuransi biaya, asuransi hasil, asuransi pendapatan, asuransi indeks meteorologi), contract farming, atau perdagangan berjangka komoditas pertanian (Qiao 2011). Strategi pada tingkat budidaya ditekankan kepada manajemen budidaya termasuk pemilihan produk dengan risiko rendah, 20

48 atau produk dengan siklus produksi yang pendek, memberikan kecukupan likuiditas, dan diverisifikasi produk. Strategi pembagian risiko termasuk kontrak produksi dan pemasaran, integrasi vertikal, pasar berjangka, partisipasi pada pendanaan bersama dan asuransi. Pasar berjangka akan membantu mengurangi risiko harga pada jangka pendek, dan pada saat yang bersamaan akan meningkatkan transparansi pembentukan harga. Strategi diversifikasi dilakukan melalui peningkatan pendapatan yang bersumber dari kegiatan di luar pertanian. Jaring pengaman merupakan sebuah strategi pengelolaan risiko yang disediakan oleh pasar. Risiko produksi dapat dilindungi dengan asuransi jika risiko sedikit berhubungan dengan invidu yang telah terlindungi oleh asuransi dan jika petani dengan perusahaan asuransi membangun informasi yang simetri. 2.5 Manajemen Risiko Investasi Agroindustri Investasi adalah awal kehilangan dari sesuatu yang akan ditukar dengan manfaat, sebagai bentuk antisipasi atas didapatkannya kembali dari yang ditanamkan. Perbedaan antara nilai yang ditanam dengan apa yang diperoleh kemudian merupakan pengembalian (return). Pengembalian adalah kompensasi yang diperoleh atas diserahkannya sejumlah modal. Berbagai bentuk investasi akan memberikan tingkat ketidakpastian yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat risiko yang dihadapi. Dengan demikian maka analisis investasi merupakan analisis yang mengintegrasikan aspek pengembalian dan risiko dalam sebuah kerangka analisis (Feibel 2003). Investasi pada sektor pertanian dapat dilakukan dalam berbagai bentuk model bisnis. Model bisnis merupakan cara dimana sebuah unit usaha mengelola sumberdaya, kerjasama, dan hubungan pelanggan dalam upaya menciptakan dan mendapatkan nilai. Derajat inklusivitas diukur dari kepemilikan, suara, risiko, dan penghargaan yang dibagi antar mitra kerja. Model kerjasama pada bidang budidaya adalah perjanjian pembelian, sewa lahan, bagi hasil, kontrak manajemen, join ventura (Vermeulen dan Cotula 2010). Dukungan pemerintah yang dapat diberikan antara lain dalam bentuk penyediaan peraturan, informasi, dan pelibatan kelompok. 21

49 Vermeulen dan Cotula (2010) menyebutkan beberapa pilihan bentuk lembaga pengolahan yaitu: koperasi pengolahan, kepemilikan bersama, atau pengolahan yang disediakan oleh perusahaan besar atau pengumpul. Dukungan pemerintah yang dapat diberikan antara lain dalam bentuk promosi, dan dukungan bisnis bagi peningkatan kepemilikan. Secara lebih spesifik, investasi agroindustri berdasarkan kepemilikannya dapat dibedakan menjadi: perusahaan agroindustri, unit pengolahan bersama, dan unit pengolahan perseorangan (VPA 2010). Perusahaan agroindustri biasanya dalam bentuk pabrik dengan mesin modern dan kapasitas besar, serta menerapkan sistem sanitary dan food safety. Perusahaan agroindustri biasanya merupakan eksportir yang melakukan kegiatan pembersihan, sortasi, dan pengemasan. Ruang lingkup kegiatan perusahaan dipengaruhi oleh bentuk pengadaan bahan baku lada. Perusahaan dimungkinkan memiliki kebun sendiri, kontrak pengadaan bahan baku dengan petani, atau pembelian bebas. Unit pengolahan bersama merupakan usaha milik badan usaha atau kelompok yang dioperasikan oleh tim manajemen. Unit pengolahan perseorangan merupakan unit pengolahan milik individu yang mensyaratkan luasan kebun tertentu dengan kemampuan pembiayaan investasi dan operasional yang tinggi. Tingkat pengembalian selama periode investasi (holding period of return) berdasarkan historis dihitung dengan melakukan perbandingan nilai akhir investasi (ending value of investment) terhadap nilai awal investasi (beginning value of investment). Analisis investasi meliputi pengukuran pengembalian dan pengukuran risiko. Pengukuran pengembalian dilakukan untuk mengetahui: (1) bagaimana nilai absolut dari portofolio yang berubah dari waktu ke waktu, (2) apakah penyebab kenaikan nilai, (3) apa dampak dari biaya manajemen, pajak, dan fluktuasi mata uang terhadap pengembalian, dan (4) bagaimana pengembalian dibandingkan dengan alternatif lain. Pengukuran risiko dilakukan untuk mengetahui: (1) berapa banyak total risiko diambil untuk mencapai tingkat pengembalian tertentu, (2) bagaimana peluang pencapaian tingkat pengembalian yang diharapkan, dan (3) apakah diperlukan acuan arah portofolio (Feibel 2003). Teknik pengukuran tingkat pengembalian biasanya dilakukan melalui analisis finansial. Kriteria investasi yang digunakan yaitu adalah Net Present 22

50 Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Ratio (Net B/C), dan Pay Back Period (PBP). Analisis tingkat pengembalian yang diketahui melalui analisis finansial memiliki keterbatasan (Merna dan Detlef 2000) yaitu: (1) analisis sensitivitas pada analisis finansial tidak menunjukkan indikasi peluang terjadinya perubahan, dan (2) pada variabel kunci antar variabel diasumsikan saling independen. Value at Risk (Var) merupakan sebuah standar industri dalam kuantifikasi risiko dan pengendalian pada perusahaan-perusahaan, terutama yang bergerak pada perdagangan instrumen pasar modal seperti lembaga finansial, perusahaan energi, dan lembaga non keuangan, dengan aktivitas yang signifikan pada pasar modal. Pada perusahaan seperti ini, VaR digunakan untuk mengukur risiko terhadap posisi keuangan. VaR merepresentasikan sebuah alat yang efektif dalam proses pengukuran dan pengendalian risiko. Manajemen risiko pada perusahaan non finansial lebih difokuskan kepada manajemen arus kas dan pendapatan, serta tidak kepada nilai pasar dari aset dan liabilitas. Oleh karena itu, perusahaan non finansial menerapkan teknik VaR untuk mengukur dan mengelola arus kas berbasis risiko (Cash Flow at Risk- CFaR) dan pendapatan berbasis risiko (Earning at Risk-EaR). Tujuan dari CFaR dan EaR adalah untuk mengkuantifikasi dan mengendalikan variabel kunci yang berkontribusi terhadap perubahan pada arus kas dan pendapatan. Perhitungan yang dapat digunakan untuk mengestimasi mengukur dan mengelola arus kas berbasis risiko (Cash Flow at Risk-CFaR) dan pendapatan berbasis risiko (Earning at Risk-EaR) adalah: (1) Pro Forma Analysis, (2) Analisis Regresi, dan (3) Analisis Simulasi (Lam 2003). Pro Forma Analysis berbasis kepada kinerja dari setiap komponen pada arus kas dan laporan keuangan. Analisis finansial dugaan menjadi dasar yang kemudian digunakan untuk menetapkan variabel yang mungkin akan mempengaruhi outcome dari setiap elemen dan kisaran potensial perubahannya. Analisis regresi menghitung arus kas dan pendapatan pada variasi faktor risiko tertentu dan berbasis kepada analisis data deret waktu suatu unit usaha. Model ini menyediakan estimasi linear terhadap arus kas dan pendapatan pada aturan tertentu. Analisis simulasi menghitung potensi perubahan terhadap arus kas dan pendapatan atas perubahan 23

51 pada variabel kunci. Analisis finansial berbasis risiko dilakukan dengan cara menyusun diagram pengaruh (influence diagram) dan menghitung risiko yang menjadi pemicu (Shenkir dan Walker 2007). Pada kondisi dimana terdapat keterbatasan sumberdaya dan kemampuan, maka kegiatan pengelolaan risiko membutuhkan dukungan fasilitas dalam bentuk instrumen pengelolaan risiko. Fasilitasi adalah modifikasi dari sebuah sistem yang akan membuat sesuatu menjadi lebih mudah dalam proses pencapaian tujuan. Fasilitasi digambarkan sebagai sebuah kondisi dari kesempatan, sumberdaya, dukungan terhadap sebuah kelompok untuk mencapai tujuan mereka (NAPSF 2008). Fasilitasi bagi pengembangan komoditas melibatkan pemerintah, dunia usaha, donor, dan masyarakat. Bentuk fasilitasi dari setiap pelaku sejalan dengan peran yang diemban dalam pengembangan komoditas. Terdapat berbagai bentuk fasilitas yang dapat diberikan dalam upaya mempercepat pencapaian tujuan yaitu: fasilitas teknis, fasilitas finansial, fasilitas sumberdaya, fasilitas legal dan administratif (BSFMCT 2008). Instrumen pengelolaan risiko yang dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan risiko pada rantai pasok komoditas pertanian dapat dikelompokkan menjadi (Jaffee et al. 2008): (1) adopsi dan pengembangan teknologi: penelitian dan pengembangan untuk perbaikan benih, penanganan pasca panen, teknologi informasi dan pengetahuan, serta penyuluhan (2) manajemen unit usaha: manajemen usahatani, manajemen usaha pengolahan, manajemen pengadaan barang, manajemen mutu, dan manajemen keamanan pangan; (3) instrumen finansial: pembiayaan, dan hedging; (4) infrastruktur: transportasi dan komunikasi, energi, transfer informasi dan pengetahuan, fasilitas penyimpanan dan penanganan produk, dan fasilitas pengolahan; (5) kebijakan: institutional arrangement, pengaturan, kebijakan pemerintah, hak kekayaan intelektual, dan peraturan perburuhan; serta (6) kemitraan: tindakan oleh kelompok tani, asosiasi, koperasi, dan kerjasama. Fasilitas teknis dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki infrastuktur teknologi. Melalui fasilitasi ini maka diharapkan akan terbangun inovasi teknologi yang akan mempercepat proses pengembangan komoditas. Tiga bentuk utama inovasi teknologi yang diharapkan dapat terjadi dalam infrastruktur 24

52 teknologi yaitu: (1) inovasi produk-proses, (2) inovasi pengetahuan-ketrampilan, dan (3) inovasi metode-sistem. Fasilitas sumberdaya manusia dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketrampilan pengetahuan, keahlian, dan kreativitas dalam mengelola sumberdaya. Fasilitasi sumberdaya manusia bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan efisiensi. Fasilitasi organisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam melaksanakan pengembangan komoditas. Peningkatan dilakukan terhadap perangkat organisasi dalam bentuk: metode, teknik, jaringan organisasi, dan manajemen praktis. Fasilitas pembiayaan diberikan dalam upaya untuk meningkatkan akses terhadap lembaga keuangan yang selama ini menjadi kendala bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Hybrid Microfinancing adalah sebuah sistem perkuatan permodalan bagi usaha mikro melalui mekanisme pemadu-serasian sumbersumber pembiayaan dari dana masyarakat pada perbankan dengan dana pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan serta perluasan lapangan pekerjaan (Kusmuljono 2009). Pada sektor pertanian, beberapa jenis pembiayaan yaitu: Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), dan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). KUR adalah kredit atau pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif. KUR merupakan salah satu skim kredit yang diberikan oleh Perbankan dengan pola penjaminan, yang bekerjasama dengan Lembaga Penjamin yang ditetapkan oleh Pemerintah. Perkembangan pelaksanaan program KUR, sangat ditentukan oleh terselenggaranya koordinasi yang melibatkan tiga unsur berikut: instansi/departemen pembina, perbankan, dan lembaga penjaminan. KUR untuk sektor pertanian diarahkan untuk mendukung program-program kementerian Pertanian dalam rangka pemenuhan permodalan untuk mengembangkan usahanya. Usaha sektor pertanian yang dapat dibiayai KUR (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2012) meliputi: (1) aspek budidaya (on- 25

53 farm) yang terdiri dari: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan; (2) aspek hulu yang terdiri dari: (a) pengadaan sarana produksi: pupuk, pestisida, herbisida, dan lain-lain; (b) pengadaan alsintan pra panen: traktor, pompa air, bajak, luku, pacul, mesin pembibitan (seedler), alat tanam bijibijian (seeder) dan lain-lain; serta (3) aspek hilir yang terdiri dari: (a) pengadaan hasil produksi: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan, (b) pengadaan alsintan tanaman pangan; (c) pengadaan alsintan hortikultura; (d) pengadaan alsintan perkebunan antara lain meliputi: pengolah kelapa sawit mini, sangrai kopi, sangrai kakao, pengolah teh, pengolah lada, pengolah kelapa, kepras tebu, alat tebang (tracer), mesin pengolah biji jarak dan lain-lain; (e) pengadaan alsintan peternakan; dan (f) usaha budidaya, pengelolaan hasil dan pengadaan atau pembiayaan alsintan. Dalam upaya menyelesaikan permasalahan kurangnya akses kepada sumber permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi petani yang masih lemah, Kementerian Pertanian mulai tahun 2008 telah melaksanakan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dibawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat. Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam mendukung empat sukses Kementerian Pertanian yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan; (2) peningkatan diversifikasi pangan; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani. Skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP), yang sumber dananya berasal dari Perbankan dengan subsidi suku bunga bagi petani dan peternak disediakan oleh pemerintah, telah diluncurkan sejak tahun Dalam perkembangannya KKP mengalami penyesuaian dari tahun ke tahun, sejak Oktober 2007 KKP disempurnakan menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Hal ini mengadopsi upaya mengurangi ketergantungan energi berbahan baku fosil dan perkembangan teknologi energi dikembangkan energi lain yang berbasis sumber energi nabati. 26

54 Berdasarkan peruntukannya, penyaluran kredit perbankan untuk Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM) lebih banyak diserap untuk keperluan konsumsi bila dibandingkan untuk investasi dan modal kerja. Penyebarannya masih belum merata dan alokasinya masih terpusat didaerah perkotaan, sedangkan untuk daerah perdesaan alokasinya masih kurang. Penyaluran KUR masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan didominasi sektor perdagangan, sedangkan provinsi di luar Jawa pada umumnya masih terbatas. Penyaluran KUR untuk sektor diluar perdagangan seperti: pertanian dan perikanan masih rendah. Aternatif sumber pembiayaan non perbankan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha agribisnis adalah dana Social Corporate Responsibility (CSR), antara lain dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN (PKBL- BUMN). Sesuai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Penyisihan dan Penggunaan Laba BUMN dapat digunakan untuk keperluan pembinaan terhadap usaha kecil atau koperasi dan pembinaan masyarakat sekitar BUMN melalui PKBL-BUMN, termasuk usaha sektor pertanian. Pinjaman diberikan untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan usaha kecilnya. Usaha kecil yang dibiayai adalah usaha produktif yang mempunyai prospek dikembangkan antara lain perdagangan, industri kecil, jasa, budidaya pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan), perikanan, dan promosi (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2011). 2.6 Posisi Penelitian Penelitian tentang risiko telah dilakukan pada berbagai aspek dan bidang kajian, termasuk agroindustri. Identifikasi risiko yang dilakukan berbasis pendekatan rantai komoditas dapat memberikan gambaran risiko secara komprehensif (Zeng et al. 2007; Jaffee et al. 2008; Su et al. 2011). Perhitungan risiko dapat dilakukan dengan berbasis data histori atau berbasis pengetahuan. Logika fuzzy merupakan metode yang dapat digunakan pada perhitungan risiko yang berbasis pengetahuan. Pendekatan logika fuzzy pada analisis risiko diaplikasian pada beberapa metode antara lain: fuzzy logic (Shull 2006), fuzzy geometric mean FMEA (Wang et al. 2009), grey relational analysis (Su et al. 27

55 2011), fuzzy reasoning approach (Zeng et al. 2007), fuzzy AHP (Buchmeister et al. 2006), fuzzy inference system (Markowski 2008), serta fuzzy application procedure (Mure dan Demichela 2009). FMEA merupakan salah satu alternatif kerangka analisis yang dapat digunakan dalam menilai risiko. Sebagai upaya untuk memperhitungkan penilaian secara detail, pada kasus tertentu diperlukan perhitungan bobot komponen risiko (occurrence, severity, dan detection) serta bobot pakar (Wang et al. 2009). Selain itu untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh, perlu dilakuan agregasi nilai risiko dan statusnya. Pada situasi tertentu, analisis pengelolaan risiko tidak mencukupi, sehingga diperlukan analisis lanjutan berkaitan dengan analisis kerentanan (vulnerability analysis) sebagai dasar untuk menentukan dukungan fasilitas berupa pemberian instrumen pengelaan risiko (Jaffee et al. 2008). Validasi model analisis risiko dapat dilakukan dengan studi kasus seperti dilakukan oleh Su et al. (2011), Zeng et al. (2007), serta Mure dan Demichela (2009). Analisis finansial pada investasi agroindustri telah dilakukan pada berbagai komoditas pertanian. Sebagian besar analisis merupakan kajian yang melakukan analisis sensitivitas dengan melakukan simulasi atas asumsi yang ditetapkan. Analisis risiko merupakan salah satu dasar simulasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kinerja investasi. Penggunaan SPK dalam proses manajemen risiko investasi telah diterapkan pada berbagai bidang. Caliskan (2006) mengembangkan SPK bagi evaluasi investasi pada sektor transportasi, Marquez dan Carol (2006) pada bisnis teknologi, serta Wang (2005) pada investasi real estate. Secara lebih spesifik, T.Aven (2003) mengintegrasikan analisis risiko sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan. Pada bidang pertanian telah dibangun SPK pada model AgriSupport yang membantu perencanaan dalam usahatani (Recio et al. 2003), sedangkan pada analisis risiko rantai pasok telah dikembangkan Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment (RapAgRisk) (Jafee et al. 2008), namun belum dikembangkan dalam bentuk SPK. Penelitian ini merupakan analisis manajemen risiko pada investasi agroindustri lada putih, yang didalamnya menggabungkan analisis risiko dan 28

56 analisis finansial dengan perhitungan sensitivitas yang menggunakan teknik simulasi berbasis risiko. Kebaharuan pada penelitian ini terdapat pada risiko yang teridentifikasi, penilaian risiko, dan analisis lanjutan bagi pengelolaan risiko, serta terintegrasinya analisis risiko dan analisis investasi pada sebuah kerangka analisis. Identifikasi risiko dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem komoditas. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan adanya transmisi risiko pada mata rantai lain, sehingga diperlukan kerangka identifikasi risiko yang komprehensif. Risiko pada aspek agroindustri diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan sumber risiko (Haimes 2009), selain itu diperhitungkan transmisi risiko (Jaffee et al. 2008) sehingga diperhitungkan risiko pada aspek budidaya, pemasaran, finansial dan kelembagaan. Identifikasi pada aspek lain dilakukan dengan menggunakan risiko pada konsep pertanian (Miller et al. 2004), agribisnis (Angelucci dan Conforti 2010), rantai pasok (Kim et al. 2004). Dilakukan penambahan jenis risiko pada aspek budidaya, pemasaran, dan kelembagaan berdasarkan struktur dan perilaku sistem komoditas obyek kajian. Perbaikan penilaian risiko dilakukan dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy yang memungkinkan dilakukan penilaian bagi data yang bersifat pengetahuan. Pendekatan logika fuzzy tersebut yang diaplikasikan pada fuzzy weighted average FMEA. Perbaikan penilaian risiko juga dilakukan dengan mengaplikasikan penambahan perhitungan bobot komponen risiko (occurrence, severity, dan detection), serta perhitungan bobot pakar. Penelitian ini juga melakukan agregasi nilai risiko untuk mendapatkan status risiko secara keseluruhan yang tidak dilakukan pada setiap analisis risiko pada penelitian lain. Berkaitan dengan pengelolaan risiko, pada penelitian ini dilengkapi analisis lanjutan dalam bentuk analisis kerentanan (vulnerability) dan analisis instrumen pengelolaan risiko. Nilai kerentanan (vulnerability) yang dihasilkan dapat menggambarkan perbandingan antara kemampuan untuk mengelola risiko dengan nilai risiko. Analisis kerentanan (vulnerability) tidak dipetakan pada matriks dua dimensi seperti kebanyakan dilakukan, tetapi dipetakan pada grafik dalam bentuk radar chart. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki visualisasi nilai tersebut. Analisis ini merupakan dasar untuk menentukan dukungan fasilitas dalam bentuk instrumen pengelolaan risiko. Analisis instrumen risiko dilakukan 29

57 dengan metode perbandingan berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas antar instrumen pengelolaan risiko. Analisis kelayakan investasi diperkaya dengan melakukan simulasi kelayakan investasi berbasis kepada nilai risiko yang telah dianalisis sebelumnya. Pendekatan ini dapat memperbaiki kelemahan analisis kelayakan investasi yang dilakukan secara konvensional. Hal ini mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai perilaku kinerja investasi yang dipengaruhi oleh risiko. Keseluruhan aspek kajian diintegrasikan dalam sebuah kerangka analisis dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST. Model ini merupakan integrasi atas berbagai aspek analisis yang didalamnya terdapat kebaharuan yang dihasilkan dari penelitian ini. Model yang dibangun merupakan sistem komputerisasi informasi yang menggunakan model-model yang diakomodasikan dengan basis data. Pada SPK yang dibangun dipaparkan secara rinci elemen-elemen sistem, sehingga dapat menunjang pengguna dalam proses pengambilan keputusan. SPK akan menghasilkan gambaran bagi investor mengenai kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi, gambaran bagi pelaku dalam sistem komoditas mengenai risiko pengelolaan risiko terpadu, serta panduan bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko. 30

58 3. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan tingkatannya, analisis daya saing dapat dilakukan pada tiga tingkat agregasi yaitu: tingkat perusahaan, tingkat industri atau suatu sektor, dan tingkat negara (McFetridge 1995; Ambastha dan Momaya 2004). Terdapat perbedaan dalam pengukuran indikator daya saing pada ketiga tingkat tersebut. Analisis daya saing tingkat industri atau suatu sektor ditujukan untuk mengetahui: faktor apa yang menentukan investasi, bagaimana keberhasilan suatu unit usaha ditentukan, serta kebijakan publik apa yang baik untuk sektor atau industri (Solleiroa dan Rosaria 2005). Pengukuran daya saing dapat dilakukan dengan metode: (1) pengukuran kinerja, (2) pengukuran potensi daya saing, serta (3) pengukuran proses daya saing (Kemp dan Horbach 2008). Pengukuran kinerja dilakukan dengan menganalisis seberapa baik industri berperilaku dibandingkan dengan para pesaingnya, dimana ukuran dinyatakan dalam profitabilitas, pertumbuhan, pangsa pasar, dan keseimbangan komersial. Pengukuran potensi daya saing, yang dilakukan dengan mengukur ketersediaan dan jumlah bahan baku, teknologi untuk menghasilkan harga dan biaya yang bersaing, serta produktivitas yang lebih tinggi. Pengukuran proses daya saing, yang merupakan ukuran terhadap proses penciptaan daya saing. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Gambar 7. Kerangka analisis industri menyebutkan bahwa daya saing pada tingkat industri dapat dilakukan dengan menganalisis indikator daya saing (competitiveness indicator) dan pemicu daya saing (competitiveness driver) (Sirikrai dan John 2006). Tingkat daya saing ditentukan oleh bekerjanya dua set variabel yaitu aset penciptaan daya saing dan proses penciptaan daya saing (World Bank 2009). Aset penciptaan daya saing meliputi: teknologi, pendanaan, infrastruktur dan transportasi, serta sumber daya manusia. Proses penciptaan daya saing dapat ditempuh antara lain melalui penerapan manajemen risiko, sedangkan aset penciptaan daya saing dapat diperoleh melalui penerapan pemberian dukungan fasilitas. 31

59 Gambar 7. Kerangka Konseptual Operasionalisasi dari penciptaan daya saing dapat dilakukan melalui pendekatan rantai nilai (value chain). Kinerja rantai nilai dapat dioptimalkan melalui faktor pengungkit yaitu skala, pembelajaran, keterkaitan, pola utilisasi kapasitas, integrasi, waktu, dan kebijakan. Adapun faktor pemicu yang dimungkinkan atas hal tersebutt adalah teknologi, yang terbagi atas teknologi produk dan teknologi proses (Porter 1998). Implementasi konsep tersebut dapat dijalankan melalui kegiatan investasi. Oleh karena itu, manajemen risiko yang diajukan adalah manajemen risiko investasi yang didalamnya tercakup analisis terhadap kegiatan investasi dan operasi. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan model analisis investasi, yang memperhitungkan risiko, menerapkan manajemen risiko, dan pemberian dukungan fasilitas, merupakan upaya menjawab peluang dan tantangan dalam pengembangan agroindustri lada. 32

60 3.2 Tahapan Penelitian Kegiatan penelitian terdiri dari beberapa tahap seperti tertera pada Gambar 8. Penelitian diawali dengan melakukan analisis situasional. Tahap ini terdiri dari tujuh kegiatan yaitu: analisis kinerja sistem komoditas, pemetaan lingkungan strategis, analisis komparatif sistem komoditas lada di Indonesia dengan Vietnam, analisis nilai tambah, desain model proses adopsi teknologi, analisis pembiayaan investasi, dan analisis persepsi terhadap risiko. Metode yang digunakan adalah Analytical Hierarchy Proces, Fuzzy Inferrence System, dan Analisis Deskriptif. Analisis Deskriptif digunakan pada analisis kinerja sistem komoditas, analisis komparatif sistem komoditas lada di Indonesia dengan Vietnam, analisis nilai tambah, analisis pembiayaan investasi, dan analisis persepsi terhadap risiko. Analisis pemetaan lingkungan strategis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Proces, sedangkan desain model proses adopsi teknologi dilakukan dengan menyertakan Fuzzy Inferrence System sebagai metode analisis. Hasil analisis situasional adalah deskripsi kinerja pengembangan sistem komoditas, strategi pengembangan sistem komoditas, strategi peningkatan nilai tambah, model proses adopsi teknologi, deskripsi pembiayaan investasi, dan deskripsi persepsi terhadap risiko. Berdasarkan hasil analisis situasional kemudian dikembangkan kerangka analisis yang komprehensif untuk melakukan identifikasi risiko. Perancangan model manajemen risiko investasi pada agroindustri lada diawali dengan melakukan penilaian risiko. Penilaian risiko dilakukan dengan menganalisis terlebih dahulu bobot pakar dan bobot komponen risiko. Kedua bobot tersebut kemudian digunakan dalam proses perhitungan nilai risiko. Berdasarkan nilai risiko tersebut kemudian dilakukan agregasi nilai risiko, dimana di dalamnya meliputi kegiatan pembobotan aspek risiko. Agregasi nilai risiko akan memberikan nilai agregat risiko dan status risiko. Status risiko ditetapkan dengan menggunakan rule base. Nilai risiko juga digunakan untuk melakukan analisis lanjutan dalam bentuk analisis kerentanan (vulnerability) dan analisis instrumen pengelolaan risiko. Analisis kerentanan diawali dengan melakukan penilaian kemampuan 33

61 pengelolaan risiko. Berdasarkan nilai risiko dan nilai kemampuan pengelolaan risiko tersebut kemudian ditetapkan nilai kerentanan (vulnerability) yang selain dinyatakan dalam bentuk numerik juga dinyatakan dalam radar chart. Analisis instrumen pengelolaan risiko dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dukungan fasilitas apa yang harus diberikan oleh pemerintah atau stakeholder lain berdasarkan nilai prioritasnya. Pada sisi yang lain, dilakukan analisis finansial untuk mendapatkan gambaran kinerja investasi agroindustri lada. Simulasi kelayakan investasi dilakukan berbasis risiko, oleh karena itu nilai risiko juga digunakan sebagai dasar untuk melakukan simulasi kelayakan investasi. Perhitungan diawali dengan menghitung besarnya nilai pengaruh setiap kelompok risiko terhadap komponen biaya atau manfaat. Simulasi kelayakan investasi dilakukan dengan menghitung pengaruh risiko terhadap komponen pada struktur manfaat dan biaya berdasarkan nilai keparahannya (severity). Keseluruhan tahapan tersebut terintegrasi dalam SPK Manajemen Risiko Terpada pada Investasi Agroindustri Lada. SPK terdiri dari delapan jenis model yaitu: Pembobotan Pakar, Pembobotan Komponen Risiko, Penilaian Risiko, Agregasi Nilai Risiko, Analisis Kapasitas Pengelolaan Risiko, Analisis Instrumen Pengeloaan Risiko, Analisis Finansial, dan Simulasi Kelayakan Investasi. Jenis data yang digunakan adalah data input maupun data hasil proses yang terdiri dari: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaan risiko, bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah. Data yang digunakan adalah data yang berjenis pengetahuan dan data numerik. Metoda analisis yang digunakan adalah logika fuzzy dengan pendekatan Fuzzy Weighted Average, FMEA dengan pendekatan logika fuzzy, Radar Chart, Analytical Hierarchy Proces, dan Analisis Finansial. Secara terperinci, tahapan dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Tabel 4. 34

62 Gambar 8. Metodologi Peneliti 35

63 Tabel 4. Kerangka Penelitian Tahapan Metode Analisis Output Analisis Situasional 1. Analytical Hierarchy Process 2. Fuzzy Inferrence System 3. Analisis Deskriptif Perancangan SPK Manajemen Risiko Investasi Agroindustri Lada Penilaian dan Pengelolaan Risiko Agregasi Nilai Risiko Analisis Kerentanan (vulnerability) Analisis Instrumen Pengelolaan Risiko Analisis Finansial Simulasi Kelayakan Investasi 1. Fuzzy Weighted Average Index 2. Fuzzy Weighted Average FMEA 3. Fuzzy Weighted Average Risk Analysis Fuzzy Weighted Average Radar Chart Analytical Hierarchy Process 1. Kinerja pengembangan sistem komoditas 2. Strategi pengembangan sistem komoditas 3. Deskripsi komparatif sistem komoditas Indonesia-Vietnam 4. Strategi peningkatan nilai tambah 5. Model proses adopsi teknologi 6. Deskripsi pembiayaan investasi 7. Deskripsi persepsi terhadap risiko 1. Bobot Pakar 2. Bobot Komponen Risiko 3. Nilai Risiko Nilai Total Risiko Nilai Kerentanan (vulnerability) Instrumen Pengelolaan Risiko Cash Flow Analysis 1. NPV 2. IRR 3. Net BC Ratio 4. Pay Back Period Analisis Kelayakan Investasi Berbasis Risiko 1. Kemampuan Pembayaran Upah Jasa Pengolahan 2. Jumlah Lada Diolah 3. Rendemen 1. NPV berbasis Risiko 2. IRR berbasis Risiko 3. Net BC Ratio berbasis risiko 4. Pay Back Period berbasis Risiko 3.3 Metode Analisis Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem. Hal ini didasarkan kepada kondisi dimana obyek analisis memerlukan analisis yang holistik, yaitu memandang secara utuh terhadap keseluruhan bagian. Keputusan investasi agroindustri merupakan proses pengambilan keputusan strategis yang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti dan berorientasi jangka panjang serta untuk mencapai efektifitas secara menyeluruh. Dengan demikian proses pengambilan keputusan 36

64 dalam bentuk strategi dan penjabarannya merupakan sesuatu yang kompleks. Input sistem yaitu input berbasis pengetahuan (knowledge base) dan berbasis data (data base). Analisis berbasis data dilakukan pada analisis finansial, sedangkan analisis lainnya berbasis pengetahuan. Pendekatan penelitian ini kemudian diaplikasikan dalam sebuah kerangka SPK sebagai sistem komputerisasi informasi yang menggunakan model-model yang diakomodasikan dengan basis data. SPK dapat dapat menunjang pengguna dalam proses pengambilan keputusan karena mampu memaparkan secara rinci elemen-elemen sistem yang ada. SPK akan membantu pengambil keputusan terutama pada situasi keputusan yang bersifat semi-struktur dan tidak terstruktur dengan mengintegrasikan penilaian pengambil keputusan dan informasi yang terkomputerisasi, membantu pengambil keputusan pada berbagai tingkatan menajemen serta proses pengambilan keputusan secara individu atau kelompok, dan membantu semua tahapan dalam proses pengambilan keputusan. Pada SPK terdapat kendali pengambil keputusan terhadap semua tahapan dalam proses pengambilan keputusan. Aplikasi kajian ini dalam sebuah kerangka SPK diharapkan dapat bersifat adaptif terhadap waktu, serta memperbaiki efektifitas pengambilan keputusan dalam ketepatan, kecepatan dan mutu, dibandingkan dengan aspek efisiensi. Struktur dasar SPK terdiri dari: manajemen basis data, manajemen baisi model, sistem pengolahan terpusat, dan manajemen dialog, seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Manajemen data memasukkan satu basis data yang berisi data yang sesuai dan dikelola oleh perangkat lunak yang disebut sistem manajemen basis data. Database dibuat, diakses, dan diperbarui oleh sebuah sistem manajemen basis data. Basis model berisi model kuantitatif dan berfungsi untuk mengelola model agar dapat digunakan untuk melakukan analisis dan perhitungan komputatif pada proses pengambilan keputusan. Pengelolaan meliputi aktivitas untuk menyimpan, menghubungkan dan mengakses model. SPK memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan akses data dan model-model keputusan. Kemampuan tersebut diperoleh melalui penambahan model-model keputusan ke dalam sistem informasi yang menggunakan database sebagai mekanisme integrasi dan komunikasi diantara model-model. 37

65 Data Model Sistem Manajemen Basis Data DBMS Sistem Manajemen Basis Model MBMS Sistem Pengolahan Terpusat Sistem Manajemen Dialog SPK Pengguna Gambar 9. Struktur Sistem Penunjang Keputusan Sumber: Turban (2005) Sistem pengolahan terpusat adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh dan berfungsi menjaga keterkaitan antar bagian sistem yang ada. Sistem ini menerima masukan basis data, basis model, dan manajemen dialog dalam bentuk baku serta menghasilkan keluaran sistem yang dikehendaki. Sistem manajemen dialog adalah bagian sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung dengan pengguna. Sistem ini berfungsi menerima masukan dan memberi keluaran yang dikehendaki oleh pengguna. Prinsip yang nantinya dikembangkan dalam merancang SPK adalah keinteraktifan dan kemudahan untuk digunakan dalam operasi dan rekayasa masukan. SPK dapat dibedakan menjadi: model driven, data driven, communication driven, document driven, dan knowledge driven (Power 2007). SPK tipe model driven menekankan akses dan manipulasi model keuangan, optimasi atau simulasi. Model kuantitatif sederhana menyediakan tingkat fungsional dasar. SPK ini menggunakan data terbatas dan parameter yang disediakan oleh pembuat keputusan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menganalisis situasi, tetapi secara umum yang besar basis data yang tidak diperlukan. SPK tipe data driven menekankan pada akses dan manipulasi dari dara runut waktu (time series) sebagai data internal dan eksternal, dan kadang data real time. SPK tipe communication driven menggunakan jaringan dan teknologi komunikasi untuk memfasilitasi kolaborasi dan komunikasi keputusan yang sesuai. SPK tipe 38

66 document driven menggunakan fasilitas penyimpanan pada komputer dan teknologi pengolahan untuk melakukan pengambilan dokumen dan analisis. SPK knowledge driven dimungkinkan menyarankan atau merekomendasikan tindakan kepada pengguna. SPK yang dikembangkan pada penelitian ini ini merupakan SPK dengan tipe model driven yang memungkinkan dilakukan analisis dan simulasi dengan aplikasi bidang manajemen risiko pada kegiatan investasi. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu FMEA, Analisis Risiko, Logika Fuzzy, Analytical Hierarchy Process, Fuzzy Inference System, Fuzzy Weighted Average, Radar Chart, Analisis Finansial. Setiap alat analisis diuraikan sebagai berikut: 1. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) FMEA adalah metoda untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kegagalan potensial selama proses produksi, menentukan tingkat risiko dari kegagalan, serta menetapkan skala prioritas untuk mengambil tindakan yang diperlukan. FMEA merupakan metode yang sistematik dalam mengidentifikasi dan mencegah permasalahan produk dan proses. FMEA fokus kepada pencegahan kegagalan, peningkatan keamanan, dan peningkatan kepuasan pelanggan (McDermott et al. 2009). FMEA digolongkan menjadi dua jenis yaitu Design FMEA dan Process FMEA. Design FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa model kegagalan potensial, serta penyebab dan akibatnya terkait dengan karakteristik desain. Design FMEA akan menguji fungsi dari komponen, sub sistem dan sistem. Model kegagalan potensialnya dapat berupa kesalahan pemilihan jenis material, ketidaktepatan spesifikasi dan yang lainnya. Process FMEA yaitu alat yang digunakan untuk memastikan bahwa model kegagalan potensial, sebab dan akibatnya telah diperhatikan terkait dengan karakteristik prosesnya. Process FMEA akan menguji kemampuan proses yang akan digunakan untuk membuat komponen, sub sistem dan sistem. Model kegagalan pontensialnya dapat berupa kesalahan operator dalam merakit bagian atau adanya variasi proses yang terlalu besar. 39

67 Tahapan dalam metode FMEA terdiri dari 12 langkah yaitu: (1) identifikasi fungsi dari ruang lingkup sistem, (2) identifikasi segala kegagalan yang mungkin terjadi pada setiap fungsi, (3) untuk setiap mode kegagalan, identifikasi segala konsekuensi pada sistem, sistem terkait, proses, proses terkait, produk, servis, pelanggan, dan regulasi, (4) penentuan tingkat keseriusan (severity, disimbolkan dengan S ) dari masing-masing efek, (5) untuk setiap mode kegagalan, ditentukan penyebab utama yang berpotensi, (6) untuk setiap penyebab, ditentukan rating atau peluang muncul kejadian (occurrence, disimbolkan dengan O ), (7) penentuan proses kontrol yang telah ada untuk masing-masing penyebab, (8) untuk setiap kontrol, ditentukan tingkat deteksi dari kontrol (detection disimbolkan dengan D ), (9) pada industri tertentu, ditentukan apakah mode kegagalan ini berasosiasi dengan Critical Characteristic Indicator yang merefleksikan keamanan atau pemenuhan regulasi dari pemerintah dan membutuhkan kontrol khusus, (10) Perhitungan nilai Risk Priority Number (RPN) sebagai fungsi perkalian dari S, O, dan D, (11) indentifikasi aksi atau tindakan yang direkomendasikan, serta (12) evaluasi dan perbaikan. Dalam penerapannya, terdapat beberapa kelemahan FMEA (Yeh dan Hsieh 2007; Wang et al. 2009). Kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (1) informasi pada FMEA dinyatakan dalam bentuk linguistik, sehingga sulit bagi konvensional FMEA untuk melakukan secara tepat reliability dan safety dari produk atau proses, (2) penilaian ketiga parameter severity (S), occurrence (O), dan detection (D) diasumsikan memiliki tingkat kepentingan yang sama, serta (3) mengabaikan tingkat kepentingan anggota tim penilai ketika melakukan penilaian dalam FMEA. Dalam FMEA konvensional, penilaian faktor-faktor failure mode yaitu faktor severity (S), faktor occurrence (O) dan faktor detection (D) yang diterapkan dalam natural language akan menghasilkan informasi yang tidak tepat dan bersifat samar. Peningkatan kinerja FMEA dalam menilai faktor-faktor risiko pada penelitian ini dilakukan dengan: (1) menggunakan metode fuzzy sebagai langkah untuk memperbaiki metode akuisisi pengetahuan, dan (2) melakukan pembobotan sebagai upaya untuk mengukur tingkat kepercayaan pakar dan tingkat kepentingan komponen risiko. Penggunaan teori fuzzy memberi fleksibilitas 40

68 untuk menampung ketidakpastian akibat samarnya informasi yang dimiliki maupun unsur preferensi yang subjektif yang digunakan dalam penilaian terhadap mode kegagalan yang terjadi (Yeh dan Hsieh 2007; Shirouyehzad et al. 2010). Pengembangan lebih jauh untuk keperluan detailisasi adalah menerapkan metode fuzzy yang lebih mendalam dengan menggunakan fuzzy weighted geometric mean (Wang et al. 2009), fuzzy inference system (Hu dan Cheng 2009). Selain itu juga telah dilakukan penggabungan fuzzy FMEA dengan metode lain seperti: pengembangan model penentuan prioritas terhadap mode kegagalan potensial dengan Fuzzy FMEA dan TOPSIS (Wang 2005). 2. Analisis Risiko (Risk Analysis) Analisis Risiko merupakan metode untuk mengukur dan memetakan peluang terjadinya risiko (occurrence) dan derajat dampak (severity) dari suatu risiko (Hanafi 2006; Siahaan 2009). Hasil analisis risiko biasanya dipetakan dalam bentuk matriks risiko dua dimensi, sebagai alat untuk menggambarkan tingkat kepentingan suatu risiko bagi penyusunan strategi manajemen risiko. Status matriks merupakan fungsi dari occurrence dan severity. Analisis risiko diperlukan bagi analisis aspek risiko selain agroindustri. 3. Logika Fuzzy Logika fuzzy merupakan suatu logika yang memiliki nilai kekaburan atau kesamaran (fuzzyness). Dalam teori logika fuzzy suatu nilai bias bernilai benar atau salah, dimana berapa besar kebenaran dan kesalahan suatu tergantung pada bobot keanggotaan yang dimilikinya. Logika fuzzy memiliki derajat keanggotaan dalam rentang 0 hingga 1. Hal ini berbeda dengan logika klasik (crisp), suatu nilai hanya mempunyai dua kemungkinan yaitu merupakan suatu anggota himpunan atau tidak. Himpunan fuzzy A pada semesta X dinyatakan sebagai himpunan pasangan berurutan baik diskrit maupun kontinu. Fungsi keanggotaan memetakan setiap pada suatu nilai antara [0,1] yang disebut derajat keanggotaan (membership value). Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya atau derajat keanggotaan, 41

69 yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai keanggotaan adalah dengan melalui pendekatan fungsi. Derajat keanggotaan dalam himpunan (degree of membership) dilambangkan dengan. Beberapa fungsi yang dapat digunakan antara lain: linear, segitiga, trapesium, kurva bentuk bahu, kurva S, atau kurva lonceng (Kusumadewi dan Purnomo 2004). Secara umum, hubungan antara dua variabel lingustik pada logika fuzzy dapat dinyatakan dalam bentuk fuzzy if then rules. Aturan yang diperoleh dari pakar merupakan dasar dalam pengembangan knowledge base dari fuzzy controller atau fuzzy expert systems (Bih 2006). Operator dasar yang didefinisikan khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy adalah: operator and, operator or, dan operator not. Metode Multi Atribute Decision Making (MADM) umumnya menganggap bahwa semua kriteria dan bobot masing-masing dinyatakan dalam nilai crisp. Dalam situasi keputusan dunia nyata, penerapan metode MADM klasik menghadapi kendala besar dalam penilaian kriteria yang mencerminkan ketidakjelasan. Nilai kriteria menjadi lebih realistis apabila dinyatakan secara kualitatif atau dengan menggunakan istilah linguistik, oleh karena itu dibutuhkan pendekatan fuzzy (Kahraman, 2008). Tahapan dari metode fuzzy terdiri dari: (1) fuzzifikasi, yaitu proses untuk mengubah variabel non fuzzy (variabel numerik) menjadi variabel fuzzy (variabel linguistik), (2) komputasi secara fuzzy, serta (3) defuzifikasi, yaitu proses pengubahan data-data fuzzy tersebut menjadi data-data numerik. Terdapat beberapa teknik defuzzifikasi, yaitu metode center of area (COA) atau metode centroid, bisektor, mean of maximum (MOM), largest of maximum (LOM), dan smallest of maximum (SOM). Pada metode COA, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Pada metode Bisektor, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada domain fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan separuh dari jumlah total nilai keanggotaan pada daerah fuzzy. Pada metode MOM, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai rata-rata domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. Pada metode LOM, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terbesar dari domain 42

70 yang memiliki nilai kenggotaan maksimum. Pada metode SOM, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terkecil dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. Kelebihan dari teori logika fuzzy adalah kemampuan dalam proses penalaran secara bahasa. Dalam perancangannya, logika fuzzy tidak memerlukan persamaan matematik dari objek yang akan dikendalikan. Selain itu logika fuzzy toleran terhadap data yang tidak akurat, dapat memodelkan fungsi non linear, dapat dibangun berdasarkan pengalaman pakar, serta dapat digabungkan dengan metode konvensional lainnya (Hellmann 2002). 4. Fuzzy Inference System Metode penalaran dalam sistem fuzzy yaitu: metode Tsukamoto, metode Mamdani dan metode Sugeno. Pada metode Tsukamoto, setiap konsekuensi pada aturan yang berbentuk if then harus direpresentasikan dengan suatu himpunan fuzzy dengan fungsi keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari tiap-tiap aturan diberikan dengan tegas (crisp) berdasarkan predikat (fire strength). Metode Mamdani merupakan metode penalaran dimana output hasil inferensi dinyatakan dalam bentuk himpunan fuzzy. Metode penalaran pada metode Sugeno memiliki kemiripan dengan metode Mamdani, namun output hasil inferensi tidak dinyatakan berupa himpunan fuzzy melainkan berupa konstanta atau persamaan linear. Tahapan yang dilakukan pada metode Mamdani adalah sebagai berikut: a. Melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan. Pada variabel input dan variabel output dilakukan fuzzifikasi dengan cara memberikan variabel linguistik yang mencerminkan intensitas dari kriteria. Hasil fuzzifikasi adalah himpunan fuzzy (fuzzy set). b. Menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function). Model fungsi keanggotaan fuzzy yang digunakan adalah triangular fuzzy number (TFN) atau trapesium fuzzy number. c. Pembentukan aturan (if then rules). Berdasarkan pendekatan teoritis dan pendapat pakar ditetapkan sejumlah aturan yang digunakan dalam proses penarikan kesimpulan. 43

71 d. Evaluasi aturan. Terdapat beberapa operasi yang didefinisikan secara khusus untuk mengkombinasikan dan memodifikasi himpunan fuzzy. Hasil aplikasi operator fuzzy (output) untuk setiap aturan dapat dinyatakan dengan. Nilai merupakan nilai fungsi keanggotaan ( ) yang bernilai antara 0 dan 1 atau dinyatakan sebagai [0,1]. Operator dasar yang didefinisikan khusus untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan fuzzy adalah: operator and, operator or, dan operator not. Selanjutnya, implikasi masing-masing aturan dianalisis dengan membandingkan nilai-nilai yang telah diperoleh dengan model representasi fungsi keanggotaan output. Analisis ini menghasilkan daerah solusi output untuk masing-masing aturan. Daerah solusi atau sering disebut solusi himpunan fuzzy adalah daerah yang berada pada interval nilai z tertentu. e. Agregasi output dilakukan dengan melakukan komposisi daerah solusi output yang dihasilkan oleh masing-masing aturan. Agregasi akan menghasilkan daerah solusi yang merefleksikan kontribusi dari setiap aturan. Terdapat tiga metode yang digunakan dalam melakukan inferensi system fuzzy yaitu: maximum (max), additive (sum), dan probabilistic or. f. Defuzzifikasi. Input dari dari proses defuzzifikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. 5. Fuzzy Weighted Average Salah satu penggunaan logika fuzzy pada FMEA yaitu metode FMEA yang berbasis kepada fuzzy if then rules. Metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu kesulitan membangun ratusan aturan karena berbasis kepada pengetahuan pakar, sedangkan reduksi aturan akan membatasi efektivitas metode ini. Pada metode fuzzy sekalipun, penilaian risiko tidak selalu mudah dinyatakan dalam bentuk nilai crisp, sehingga kemudian dilakukan penilaian dengan nilai linguistik. Permasalahan selanjutnya adalah dalam hal agregasi, yang kemudian dapat diselesaikan melalui metode Fuzzy Weighted Average (FWA) (Dong dan Wong 1987). Secara teori perhitungan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan -level dan linear programming, namun untuk menghindari 44

72 kompleksitas perhitungan, defuzifikasi nilai dapat dilakukan dengan metode defuzified centroid (Wang et al. 2009). Aplikasi FWA pada tahap pembobotan pakar dan pembobotan komponen risiko yaitu Fuzzy Weighted Average Index yang bergunakan untuk menghitung bobot pakar, bobot komponen risiko, dan bobot kelompok risiko. Aplikasi FWA pada penilaian risiko yaitu Fuzzy Weighted Average FMEA yang digunakan untuk menghitung nilai risiko faktor sebagai fungsi dari Occurrence (O), Severity (S), dan Detection (D). Langkah FWA terdiri dari: (1) melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan, (2) menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function), (3) dan Defuzzifikasi. 6. Radar Chart Penjelasan hasil yang berbasis kepada nilai non matematis memerlukan sebuah pendekatan tertentu. Pada satu sisi, adalah sebuah langkah penting untuk mengakumulasi penilaian pada sebuah kerangka yang komprehensif untuk memudahkan pemahaman. Pada sisi yang lain, detailisasi analisis memerlukan sebuah metode yang mampu merepresentasikan hasil secara konsisten. Visualisasi nilai risiko memainkan peran penting dalam proses memahami dan menangani risiko. Metode yang dapat digunakan untuk merepresentasikan hasil penilaian risiko antara lain: peta, grafik, diagram, dan deskripsi visual lainnya (Eppler dan Aeschimann 2008). Grafik yang dapat dipilih untuk mengatasi hal tersebut adalah radar chart (Schreyer et al. 2010). Grafik radar (radar chart) menggambarkan nilai data menggunakan sumber nilai yang ditarik dari pusat diagram dan terpisah untuk setiap kategori atau bagian data. Radar chart memudahkan dalam proses menafsirkan, membandingkan, melihat kecenderungan, serta menarik kesimpulan dari data. Penggunaan radar chart antara lain pada area manajemen risiko, atau manajemen konflik (Mans dan Shimshon 2005). 7. Analitical Hierarchy Process Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan sebuah pendekatan untuk mengorganisasikan informasi dan pendapat dalam memilih alternatif terbaik atas 45

73 pertimbangan tertentu (Saaty 1983). Prosedur yang digunakan meliputi: (1) penyusunan struktur hirarki dan (2) penilaian kriteria dan altenatif, (3) penentuan prioritas, dan (4) konsistensi logis (Marimin 2005) dengan uraian sebagai berikut: a. Penyusunan struktur hirarki. Pada tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap tingkat hirarki dari permasalahan yang dihadapi dalam mencapai tujuan tersebut. b. Penilaian kriteria dan alternatif. Prosedur AHP menggunakan teknik pembobotan untuk menghasilkan faktor bobot. Faktor bobot ini menggambarkan ukuran relatif nilai kepentingan suatu elemen dibandingkan dengan lainnya. c. Penentuan prioritas. Penentuan prioritas diperoleh dengan melakukan perbandingan berpasangan untuk setiap kriteria dan alternatif dilakukan perbandingan berpasangan. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. d. Konsistensi logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. 8. Analisis Kelayakan Finansial Analisis investasi digunakan untuk mengukur nilai pengembalian pada masa yang akan datang dari investasi yang ditanamkan. Beberapa metode analisis yang dapat dipergunakan adalah: a. Metode Non-Discounted Cash Flow. Metode ini adalah metode pengukuran investasi dengan melihat kekuatan pengembalian modal tanpa mempertimbangkan nilai waktu terhadap uang (time value of money). Metode ini terdiri dari analisis titik impas dan pay back period. Titik Impas (Break Even Point, BEP) adalah metode yang dipergunakan untuk menghitung jumlah atau nilai dimana diperoleh keuntungan sama dengan biaya yang dikeluarkan. Nilai titik impas yang dinyatakan dalam unit kuantitas adalah sebagai berikut: BEP =... (1) 46

74 Pay Back Period (PBP) adalah metode yang dipergunakan untuk menghitung waktu yang diperlukan untuk pengembalian. PBP dinyatakan dalam formula: = 1 n... (2) Metode PBP merupakan alat ukur yang sangat sederhana, mudah dimengerti dan berfungsi sebagai tahapan paling awal bagi penilaian suatu investasi. Model ini umum digunakan untuk pemilihan alternatif-alternatif usaha yang mempunyai resiko tinggi, karena modal yang telah ditanamkan harus segera dapat diterima kembali secepat mungkin. b. Metode Discounted Cash Flow. Metode ini adalah metode pengukuran investasi dengan melihat nilai waktu uang (time value of money) dalam menghitung tingkat pengembalian modal pada masa yang akan datang. Metode ini terdiri dari NPV, IRR, dan Net B/C. Net Present Value (NPV) didefinisikan sebagai selisih antara investasi sekarang dengan nilai sekarang (present value) dari proyeksi hasil-hasil bersih masa datang yang diharapkan. Dengan demikian, NPV dapat dirumuskan: = ( ) + ( ) (3) di mana: i = bunga tiap periode N = periode (tahun, bulan) - C = modal (capital) C = hasil bersih (proceed) Internal Rate of Return didefinisikan sebagai besarnya suku bunga yang menyamakan nilai sekarang (present value) dari investasi dengan hasil-hasil bersih yang diharapkan selama usaha berjalan. Dasar yang dipakai sebagai acuan baik tidaknya IRR biasanya adalah suku bunga pinjaman bank yang sedang berlaku, atau suku bunga deposito jika usaha tersebut dibiayai sendiri. Dengan skenario dua nilai NPV yang telah diketahui sebelumnya, IRR dapat dirumuskan sebagai: 47

75 IRR = i + (i i ) x ( ) x 100%... (4) di mana: NPV 1 harus di atas 0 (NPV 1 > 0) NPV 2 harus di bawah 0 (NPV 2 < 0) Net B/C merupakan perbandingan antara biaya dan manfaat yang dikeluarkan selama kegiatan investasi berlangsung. Net B/C dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Net B/ C= ( ) ( )... (5) 3.4 Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi dan validasi dilakukan untuk membangun tingkat kepercayaan model. Verifikasi berkaitan dengan hubungan antara model konseptual dan model komputer. Validasi berkaitan dengan hubungan antara model komputer dan pengukuran eksperimental. Verifikasi model komputerisasi didefinisikan sebagai langkah untuk meyakinkan bahwa pemrograman komputer dan implementasi dari model konseptual adalah benar. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa model yang diajukan adalah benar dan cocok dengan spesifikasi dan asumsi yang disepakati (Carson 2002). Validasi adalah proses penentuan apakah model, sebagai konseptualisasi atau abstraksi, merupakan representasi berarti dan akurat dari sistem nyata. Validasi model konseptual didefinisikan sebagai langkah menentukan bahwa teori dan asumsi yang mendasari model konseptual adalah benar dan bahwa model representasitasi model terhadap permasalahan adalah masuk akal. Validasi operasional didefinisikan sebagai langkah menentukan perilaku keluaran model memiliki akurasi yang cukup untuk tujuan model ini atas penerapan model dituju. Validitas data didefinisikan sebagai langkah memastikan bahwa data yang diperlukan untuk membangun model, evaluasi dan pengujian model, dan percobaan model, yang dilakukan untuk memecahkan masalah adalah memadai dan benar (Sargent 2007). 48

76 Terdapat beberapa metode validasi yang dapat digunakan. Martis (2006) menyebutkan metode tersebut adalah: comparison to other models, degenerate test, events validity, face validity, historical data validation, predictive validation, schellenberger s criteria, scoring model approach, clarity, black-box validation, atau extreme condition test. Secara lebih spesifik validasi menurut Forrester dan Senge (1980) dapat dibagi menjadi: analisis nilai penting tujuan model, validasi struktur model, validasi perilaku model, dan validasi implikasi kebijakan. Model dapat dinyatakan valid melalui berbagai metode, namun demikian validasi tersebut tidak akan berarti apabila tujuan diformulasikan tidak tepat. Oleh karena itu perlu dianalisis tujuan berdasarkan kesesuaian dengan keadaan nyata. Validasi model struktur dapat dilakukan dengan tes kesesuaian (suitability test), tes konsistensi (consistency test), dan tes efektivitas (effectivenss test). Tes kesesuaian dapat dilakukan dengan structure verification test, dimensional consistency, extreme condition, boundary adequacy. Tes konsistensi dapat dilakukan dengan face validity test, parameter verification test. Tes efektivitas dapat dilakukan dengan cara menilai kesesuaian dengan pelaku (appropriate for audience). Validasi model perilaku dapat dilakukan dengan tes kesesuaian (suitability test), tes konsistensi (consistency test), dan tes efektivitas (effectivenss test). Tes kesesuaian dapat dilakukan dengan parameter sensitivity test. Tes konsistensi dapat dilakukan dengan behavior-reproduction test, behavior-prediction test, behavior-anomaly test, family member test, surprising behavior test, extremepolicy test, boundary adequacy (behavior) test, behavior-sensitivity test, atau statistical tests. Tes efektivitas dapat dilakukan dengan counter intuitive behavior. Validasi implikasi kebijakan dapat dilakukan dengan tes kesesuaian (suitability test), tes konsistensi (consistency test), dan tes efektivitas (effectivenss test). Tes kesesuaian dapat dilakukan dengan policy sensitivity and robustness test. Tes konsistensi dapat dilakukan dengan behavior prediction test, boundary adequacy (policy) test, atau system improvement test. Tes efektivitas dapat dilakukan dengan implementable policy test. 49

77 Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menilai tingkat kepentingan tujuan model, validasi struktur model, validasi perilaku model, dan validasi implikasi kebijakan. Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Validasi struktur model dilakukan dengan structure verification test dengan cara menganalisis apakah struktur model kontradiksi dengan kondisi nyata, dan face validity test dengan cara menganalisis kesesuaian dengan kondisi nyata. Validasi model perilaku dilakukan dengan menggunakan parameter sensitivity test, dimana dianalisis perubahan perilaku dengan melakukan simulasi yang didalamnya terdapat perubahan nilai beberapa parameter. Validasi implikasi kebijakan dilakukan dengan menggunakan behavior prediction test, yaitu dengan cara menilai apakah model dapat memprediksi dengan benar bagaimana sistem akan berubah dengan menerapkan suatu kebijakan. 3.5 Tata Laksana Penelitian Pengembangan model manajemen risiko investasi agroindustri terdiri dari beberapa langkah yang tertera pada Gambar 10. Penelitian terdiri dari kegiatan studi pustaka, pengumpulan data, pengembangan sistem, serta validasi dan verifikasi. Kegiatan lapang dilakukan di Kepulauan Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada periode panen tahun 2011 yaitu pada bulan Juni dan Juli, sedangkan kegiatan pengembangan model dilakukan hingga bulan Mei Pengembangan model menggunakan data primer dan data sekunder baik yang berbasis data maupun pengetahuan. Data dan pengetahuan bagi pengembangan model diperoleh melalui observasi, metode baseline survey, in depth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Observasi dilakukan melalui peninjauan unit penangkaran benih dan perkebunan lada, peninjauan agroindustri lada secara tradisional dan mekanis, serta kunjungan dan wawancara dengan eksportir lada. Peninjauan unit penangkaran benih dan perkebunan lada dilakukan di Kabupaten Bangka Barat dan Bangka Selatan. Peninjauan agroindustri lada secara tradisional dilakukan di Kabupaten Bangka Selatan, sedangkan peninjauan agroindustri lada secara mekanis dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan. 50

78 Gambar 10. Tata Laksana Penelitian Baseline survey dilakukan dengan menjaring pendapat responden yaitu petani sebagai pihak penerima manfaat atas pengembangan sistem komoditas lada. Baseline survey dilakukan di tiga desa pada dua kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan. Baseline survey melibatkan 42 petani di Kabupaten Bangka Selatan yang tersebar di Desa Delas dan Desa Nyelanding, Kecamatan Air Gegas, serta Desa Bedegung, Kecamatan Payung. Kegiatan in depth interview dilakukan terhadap petani, pedagang, eksportir, pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten, peneliti pada lembaga penelitian, International Pepper Community (IPC), serta Badan Pengelola Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L). Pada tingkat Kementerian Pertanian, in depth interview dilakukan pada Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Balai Penelitian Tanaman Industri (Balittri), Balai Besar Pasca Panen Hasil Pertanian (BBPPHP), serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kegiatan FGD dilakukan di ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan melibatkan unsur pemerintah daerah tingkat provinsi, dunia usaha, dan lembaga penelitian. Kegiatan FGD dilakukan untuk melihat kesinergian dan 51

79 fokus kebijakan pemerintah dan kesesuaian terhadap permasalahan dan kebutuhan atas pengembangan komoditas lada. Pada model yang telah dikembangkan kemudian dilakukan validasi dengan melihat implementasi model tersebut pada sentra produksi lada putih di kepulauan Bangka. Penilaian dan analisis dilakukan dengan menjaring pengetahuan pakar yang terdiri dari petani, staf pemerintah daerah, dan peneliti pada lembaga penelitian. Pemilihan responden didasarkan kepada aspek pengetahuan, tingkat pendidikan, serta kemampuan pemahaman terhadap tujuan dan masalah dalam konteks kesisteman. Kajian juga dilengkapi dengan berbagai data sekunder yang bersifat data dunia, data nasiona, maupun data wilayah. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari BPS, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Bank Indonesia, IPC, dan Pemerintah Daerah. 52

80 4.1 Kinerja Sistem Komoditas 4. ANALISIS SITUASIONAL Produksi lada putih di Indonesia mengalami fluktuasi. Peningkatan produksi sejak tahun 1995 hingga tahun 2000, diikuti dengan penurunan yang tajam setelahnya (Gambar 11). Peningkatan produksi yang sangat signifikan terjadi pada tahun Hal ini berkaitan dengan terjadinya lonjakan nilai tukar rupiah yang berpengaruh terhadap penerimaan di tingkat petani, sehingga menjadi daya tarik bagi petani untuk memperluas area dan mengusahakan lada secara intensif. Pada tahun produksi mengalami penurunan yang sangat tinggi. Bila pada tahun 2001 mencapai produksi ton maka pada tahun 2005 hanya mencapai ton. Pada periode produksi lada Indonesia cenderung stagnan. Gambar 11. Perkembangan Produksi Lada Putih Indonesia Sumber: IPC (2011) Standar mutu lada putih di pasar lokal ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Pada tingkat pembeli akhir yaitu, eksportir, lada yang telah disortasi diberi harga lebih tinggi. Salah satu eksportir di Kepulauan Bangka menetapkan perbedaan harga sebesar Rp. 1000/kg, namun demikian hampir tidak ada petani yang melakukan sortasi. 53

81 Standar mutu lada putih di pasar dunia mengacu kepada sejumlah standar mutu yang telah disepakati bersama secara internasional. Selain harus mengikuti standar mutu yang telah ditetapkan oleh Dewan Standar Nasional yaitu SNI , perdagangan lada di pasar dunia juga harus mengikuti persyaratan internasional dan persyaratan mutu yang ditetapkan oleh negara tujuan. International Standard Organization (ISO) mengeluarkan ISO sebagai persyaratan mutu lada hitam dan ISO sebagai persyaratan mutu lada putih. Negara-negara produsen lada yang tergabung dalam International Pepper Community (IPC) mengeluarkan standar lada hitam dan putih yang diharapkan dapat menyamakan persepsi mengenai mutu lada diantara negara produsen, serta memenuhi keinginan dari negara konsumen lada. Standar terdiri dari syarat mutu untuk lada asalan dan untuk lada yang telah diberi perlakuan seperti sterilisasi dan sebagainya. Secara lebih spesifik pengiriman lada ke negara Amerika harus memenuhi persayaratan yang ditetapkan oleh American Spice Trade Association (ASTA) dan peraturan yang ditetapkan oleh US Food and Drug Administration (USFDA). Parameter utama dalam penentuan mutu lada putih yaitu: warna, kandungan lada hitam, kadar air, kerapatan densitas, biji berjamur dan kandungan bahan asing (Ditjen PPHP 2009). Selain parameter tersebut, pada standar internasional juga ditetapkan mengenai lada enteng, serangga, kotoran mamalia, escherichia coli, serta salmonella. Pencapaian standar mutu lada putih di Indonesia masih rendah. Kontaminasi mikroorganisme merupakan salah satu isu dalam keamanan produk selain kontaminasi aflatoksin dan residu pestisida. Hal ini terjadi karena masih digunakannya cara tradisional dalam proses pengolahannya (Nurdjannah 2008). Jenis dan status risiko mutu yang muncul dari proses pengolahan lada putih secara tradisional, dapat dipetakan seperti tertera pada Gambar 12. Pemetikan buah lada dilakukan setelah 8-9 bulan bunga muncul dengan ditandai sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna kuning kemerahan. Pemetikan yang tidak dilakukan tepat waktu akan menghasilkan lada hitam dan lada enteng. Pada kegiatan panen, risiko terjadinya lada enteng dan lada hitam 54

82 relatif rendah. Setelah pemetikan, buah lada dimasukkan ke dalam karung untuk direndam selama hari. Gambar 12. Analisis Risiko Mutu Pengolahan Lada Secara Tradisional Pada kegiatan perendaman, risiko lada memiliki bau busuk serta risiko lada terserang e.coli dan salmonella, yaitu sangat tinggi. Perendaman pada umumnya dilakukan di sungai atau di bekas galian timah. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan dimana lada yang sedang direndam rawan pencurian. Air pada perendaman yang dilakukan di bekas galian timah biasanya merupakan air tergenang yang tidak jernih. Perendaman yang terlalu lama pada pengolahan lada putih sering menimbulkan bau busuk dan lumpur (off-flavor) serta berkurangnya aroma lada karena hilangnya sebagian minyak atsiri. Bau busuk dan lumpur tersebut disebabkan oleh senyawa 3-metilindol, 4-metilfenol, dan asam butanat yang terbentuk selama perendaman (Risfaheri 2011). Proses pencucian banyak dilakukan di sungai atau kolong bekas galian timah. Proses pencucian yang 55

83 dilakukan di sungai menciptakan risiko pencemaran e.coli dan salmonella, karena sungai juga digunakan untuk pemenuhan keperluan sehari-hari masyarakat. Pengeringan biasanya dilakukan dengan menghamparkan lada di pekarangan. Penjemuran lada pada hamparan sangat tergantung dari keadaan cuaca. Akibat cuaca yang kurang baik maka pengeringan menjadi lambat dan lada menjadi berjamur. Selain itu pengeringan dengan cara penghamparan di atas tanah menimbulkan kontaminasi dari debu, batu, atau kotoran hewan. Risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah rendah pada tahap panen, sangat tinggi pada tahap perendaman, tinggi pada tahap pencucian, serta tinggi pada tahap pengeringan. Secara keseluruhan, nilai risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah tinggi. Hal ini menunjukkan rendahnya kinerja agroindustri lada ditinjau dari sisi pencapaian mutu. 4.2 Pemetaan Lingkungan Strategis Sistem Komoditas Analisis lingkungan strategis bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal mencakup kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan lingkungan eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Penilaian lingkungan internal dapat dilakukan dengan menganalisis faktor sumberdaya manusia (man), modal (money), metode (method), teknologi (machine), dan bahan baku (material). Secara lebih spesifik, sistem pengembangan agroindustri dalam proses penciptaan pertumbuhan memerlukan sumberdaya dalam bentuk: sumberdaya alam, sumberdaya teknologi, sumberdaya manusia, sumberdaya informasi, dan sumberdaya finansial. Penilaian lingkungan eksternal dilakukan dengan menganalisis industri. Persaingan yang terjadi di dalam sebuah industri bersumber dari struktur dari industri itu sendiri (Porter 1998). Struktur industri terdiri dari beberapa kekuatan yaitu: (1) persaingan antar perusahaan yang ada, (2) ancaman pendatang baru, (3) ancaman produk subtitusi, (4) kekuatan tawar penawar pembeli, dan (5) kekuatan tawar menawar pemasok. Sebagai tambahan, analisis strategis lingkungan 56

84 eksternal juga dapat dilakukan dengan menganalisis faktor lingkungan bisnis yang meliputi lingkungan ekonomi, sosial budaya, dan pengembangan teknologi. Analisis lingkungan strategis sistem komoditas lada dilakukan dengan memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, serta ancaman yang dihadapi. Struktur hirarki pemetaan lingkungan strategis tertera pada Gambar 13. Gambar 13. Struktur Hirarki Pemetaan Lingkungan Strategis Keterangan: S = kekuatan (strength) W = kelemahan (weaknesses) O = peluang (opportunities) T = ancaman (threath) SDT = sumberdaya teknologi, SDM = sumberdaya manusia SDI = sumberdaya informasi SDF = sumberdaya finansial Ketersediaan teknologi budidaya (F1) Ketersediaan teknologi pengolahan mekanis (F2) Pengalaman budidaya (F3) Aksess informasi harga (F4) Aksess teknologi pengolahan mekanis (F5) Pengadaan bibit unggul (F6) Risiko mutu pengolahan tradisional (F7) Pelatihan budidaya (F8) Kesadaran peningkatan mutu (F9) Pelatihan pengolahan mekanis (F10) Kewirausahaan (F11) Pengetahuan pasar (F12) Transfer teknologi budidaya (F13) Transfer teknologi pengolahan (F14) Investasi perluasan lahan (F15) Kemampuan pembiayaan usahaa terintegrasi (F16) Indikasi Geografis (F17) Preferensi konsumen (F18) Jaminan mutu (F19) Persyaratan Indikasi Geografis (F20) Persaingan antar negara (F21) Subtitusi lada hitam (F22) Gangguan OPT (F23) Daya dukung lahan (F24) 57

85 Pemetaan dilakukan dengan menganalisis S, W, O, dan T yang menunjukkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Aspek ini kemudian diuraikan menjadi sub aspek pada setiap bagiannya. Kekuatan sistem komoditas lada dipengaruhi oleh keberadaan sumberdaya teknologi (SDT), sumberdaya manusia (SDM), dan sumberdaya informasi (SDI). Kelemahan sistem komoditas lada dipengaruhi oleh sumberdaya teknologi (SDT), sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya informasi (SDI), dan sumberdaya finansial (SDF). Konsumen memberikan pengaruh terhadap peluang dan ancaman yang dihadapi. Faktor lain yang merupakan ancaman bagi sistem komoditas lada adalah persaingan, subtitusi produk, serta lingkungan. F1-F24 merupakan faktor dari setiap sub aspek. Metode analisis dilakukan dengan menggunakan AHP. AHP SWOT merupakan aplikasi metode AHP pada analisis SWOT. Tahapan AHP SWOT dimulai dengan analisis SWOT kemudian dilanjutkan dengan menggunakan analisis AHP. AHP akan membantu meningkatkan analisis SWOT dalam mengelaborasikan hasil keputusan situasional sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan. Tujuan penggunaan AHP dalam kerangka SWOT adalah untuk mengevaluasi faktor-faktor sistematis SWOT dan intensitas sepadan faktor-faktornya. Jika digunakan dalam kombinasi dengan proses hirarki analitis, pendekatan SWOT dapat memberikan ukuran kuantitatif kepentingan setiap faktor pada pengambilan keputusan (Kurttila et al. 2000). Aplikasi logika fuzzy dilakukan pada langkah penilaian. Langkah pertama yaitu melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function), kemudian dilakukan defuzzifikasi. Teknik defuzzifikasi yang digunakan adalah metode COA (center of area) atau disebut juga metode centroid, dimana solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Hal ini dilakukan karena banyaknya matriks perbandingan berpasangan, yaitu sebanyak 39 buah, yang harus dianalisis. Nilai inkonsistensi keseluruhan (overall inconsistency) analisis adalah sebesar 0,05 atau menunjukkan konsisten. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara keseluruhan kelemahan (0,51) dan ancaman (0,26) mendominasi perkembangan sistem komoditas lada putih dibandingkan dengan kekuatan (0,15) dan peluang (0,07) yang dihadapi. Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya 58

86 kinerja sistem komoditas lada yang dinyatakan dalam bentuk pangsa pasar dan pencapaian mutu. Dari sisi kekuatan, diketahui bahwa sumberdaya teknologi (0,09) merupakan faktor utama pembentuk kekuatan, sedangkan sumberdaya manusia dan sumberdaya informasi merupakan faktor dibawahnya dengan nilai yang sama (0,03) (Tabel 5). Ketersediaan teknologi budidaya, pengalaman, serta ketersediaan dan akses informasi harga, merupakan sumberdaya yang menjadi kekuatan bagi pengembangan sistem komoditas lada. Teknologi budidaya lada, yang meliputi: penyediaan bibit unggul, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit terpadu, telah tersedia dan mudah diakses melalui lembaga penelitian dan dinas perkebunan. Informasi harga diperoleh petani secara berkala melalui pedagang pengumpul dan IPC. Departemen Perdagangan dan IPC melakukan kerjasama dalam proses penyebaran informasi harga kepada anggota kelompok petani. Tabel 5. Nilai Prioritas Global Aspek Kekuatan Aspek Nilai Prioritas Global Sub Aspek Kekuatan 0,15 Sumberdaya Teknologi Nilai Faktor Prioritas Global 0,09 Ketersediaan teknologi budidaya (F1) Ketersediaan teknologi pengolahan mekanis (F2) Nilai Prioritas Global 0,07 0,02 SDM 0,03 Pengalaman budidaya (F3) 0,03 Sumberdaya 0,03 Akses informasi harga (F4) 0,03 Informasi Kelemahan yang terjadi dalam proses pengembangan sistem komoditas lada secara berurutan adalah sebagai berikut: sumberdaya teknologi (0,26), sumberdaya manusia (0,10) dan sumberdaya finansial (0,10), serta sumber daya informasi (0,04). Secara terperinci hal tersebut tertera pada Tabel 6. Akses terhadap teknologi pengolahan secara mekanis masih sangat rendah. Proses pengolahan lada, yang meliputi perendaman, pencucian dan pemisahan kulit, serta pengeringan, dilakukan di tingkat petani secara tradisional. Transfer teknologi pengolahan lada secara mekanis belum berjalan dengan baik. Uji Coba telah dilakukan di Kepulauan Bangka, di Kabupaten Bangka Tengah 59

87 dan Kabupaten Bangka Selatan, namun demikian introduksi teknologi pada kedua daerah ini belum berjalan optimal. Tabel 6. Nilai Prioritas Global Aspek Kelemahan Aspek Nilai Prioritas Global Faktor Kelemahan 0,51 Sumberdaya Teknologi Nilai Sub Faktor Prioritas Global 0,26 Akses teknologi pengolahan mekanis (F5) Pengadaan bibit unggul (F6) Risiko mutu pengolahan tradisional (F7) Nilai Prioritas Global 0,11 0,04 0,11 SDM 0,10 Pelatihan budidaya (F8) 0,01 Kesadaran peningkatan 0,04 mutu (F9) Pelatihan pengolahan 0,04 mekanis (F10) Kewirausahaan (F11) 0,01 Pengetahuan pasar (F12) 0,01 Sumberdaya 0,04 Transfer teknologi 0,01 Informasi budidaya (F13) Transfer teknologi 0,03 pengolahan (F14) Sumberdaya 0,10 Investasi perluasan lahan 0,02 Finansial (F15) Kemampuan pembiayaan usaha terintegrasi (F16) 0,08 Risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah rendah pada tahap panen, sangat tinggi pada tahap perendaman, rendah pada tahap pencucian, serta tinggi pada tahap pengeringan. Secara keseluruhan, risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah tinggi. Kesadaran peningkatan mutu di tingkat petani masih rendah. Hal ini disebabkan karena rendahnya insentif dan belum terbangunnya sistem pemasaran yang berorientasi mutu. Investasi petani pada usaha budidaya dan pengolahan dilakukan secara mandiri. Pembiayaan tergantung kepada kemampuan finansial individu. Pada sisi yang lain, tidak ada kredit program dari pemerintah bagi pengembangan lada. Perluasan areal dapat dilakukan petani dengan investasi yang dipenuhi dari sumber pribadi maupun dari sumber keluarga. Perluasan usaha ke arah hilir hampir tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan modal. 60

88 Peluang yang terdapat dalam pengembangan sistem komoditas lada yaitu bersumber dari konsumen dalam bentuk perolehan indikasi geografis (0,06) dan preferensi konsumen (0,02). Hal ini tertera pada Tabel 7. Peluang pengembangan lada masih terbuka. Hal ini ditandai dengan kondisi dimana lada merupakan produk yang belum memiliki subsitusi serta merupakan produk dengan indikasi geografis. Tabel 7. Nilai Prioritas Global Aspek Peluang Aspek Nilai Prioritas Global Sub Aspek Nilai Prioritas Global Faktor Nilai Prioritas Global Peluang 0,07 Konsumen 0,07 Indikasi Geografis (F17) 0,06 Preferensi Konsumen (F18) 0,02 Pengembangan lada diperkirakan akan meningkat sejalan dengan diperolehnya manfaat indikasi geografis dalam bentuk proses identifikasi produk yang lebih mudah, serta penetapan standar produksi dan proses di antara pemangku kepentingan. Dari sisi persaingan, indikasi geografis akan menghindarkan dari praktek persaingan curang. Dari sisi konsumen, indikasi geografis akan memberikan perlindungan konsumen dari penyalahgunaan reputasi indikasi geografis, dan membangun kepercayaan konsumen karena adanya jaminan mutu produk. Dari sisi produsen, melalui indikasi geografis dimungkinkan membina produsen lokal, mendukung dan memperkuat lembaga dalam sistem dalam rangka menciptakan, menyediakan, serta memperkuat citra nama dan reputasi produk. Dari sisi produksi, indikasi geografis akan meningkatkan produksi karena dalam indikasi geografis disebutkan tentang produk berkarakter khas dan unik sebagai pembeda dengan produk lain. Dari sisi wilayah, indikasi geografis akan mengangkat reputasi suatu kawasan indikasi geografis. Ancaman yang dihadapi dalam pengembangan sistem komoditas lada terdiri dari ancaman yang bersumber dari konsumen (0,09) dan persaingan antar negara (0,09) sebagai ancaman utama. Ancaman lain adalah daya dukung lingkungan (0,06) dan subtitusi lada putih oleh lada hitam (0,03). Secara terperinci hal ini tertera pada Tabel 8. 61

89 Tabel 8. Nilai Prioritas Global Aspek Ancaman Aspek Nilai Prioritas Global Sub Aspek Nilai Prioritas Global Faktor Nilai Prioritas Global Ancaman 0,265 Konsumen 0,09 Jaminan mutu (F19) 0,02 Persyaratan Indikasi 0,09 Geografis (F20) Persaingan 0,09 Persaingan antar negara 0,09 (F21) Subtitusi Produk 0,03 Subtitusi lada hitam (F22) 0,03 Lingkungan 0,06 Gangguan OPT (F23) 0,03 Daya dukung lahan (F24) 0,03 Indikasi geografis merupakan komponen Hak Kekayaan Intelektual yang memberikan perlindungan terhadap lada putih muntok sebagai komoditas perdagangan yang terkait erat dengan Bangka Belitung sebagai tempat asal produk barang. Indikasi geografis mengharuskan dipenuhinya input, proses, dan output sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Pada buku persyaratan dijelaskan tentang identifikasi produk secara rinci yang didalamnya juga menguraikan tentang faktor-faktor yang menjadikan ciri khas suatu produk, yang terdiri dari: (1) nama indikasi geografis, (2) nama barang yang dilindungi, (3) uraian mengenai karakteristik dan mutu, (4) uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia, (5) uraian tentang batas-batas daerah dan atau peta wilayah yang dicakup oleh indikasi geografis, (6) uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian indikasi geografis, (7) uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan dan proses pembuatan, serta (8) uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji mutu (Ditjen PPHP 2012). Proses produksi, proses pengolahan dan proses pembuatan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, dimana jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka indikasi geografis atas lada putih (muntok white pepper) dapat dicabut. Persaingan antar negara produsen lada di pasar dunia sangat tinggi, terutama sejak Vietnam memasuki pasar. Dominasi Indonesia pada pasar dunia terus mengalami penurunan. Perannya digantikan oleh Vietnam yang terus mengembangkan areal dan memperbaiki sistem budidaya dan pengolahannya. Peningkatan kinerja sistem komoditas lada dapat dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya, pengembangan agroindustri lada, dan pengembangan 62

90 pasar. Lada putih sebagai komoditas perdagangan dunia, dalam perkembanganya tidak terlepas dari dinamika pasar dengan persaingan dan tuntutan konsumen terhadap mutu yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi untuk melengkapi upaya peningkatan produksi lada nasional yaitu dalam bentuk peningkatan mutu produk melalui pengembangan agroindustri lada dan pengembangan pasar. Perbaikan sistem budidaya lada dapat dilakukan melalui Good Agricultural Practise (GAP). Melalui kegiatan ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas per pohon maupun populasi per luasan. Peningkatan mutu produk dapat dilakukan melalui pengembangan agroindustri secara mekanis, sedangkan pengembangan pasar dapat dilakukan melalui perluasan daerah tujuan ekspor, memperbesar ekspor secara langsung, dan memperluas cakupan produk sesuai dengan kebutuhan negara konsumen. Model agroindustri lada secara mekanis dapat dilakukan melalui pendirian perusahaan agroindustri, pengembangan unit pengolahan bersama, dan pengembangan unit pengolahan perseorangan (VPA 2010). Dalam upaya mempercepat pemanfaatan alat mesin pertanian, Kementerian Pertanian telah meluncurkan program penumbuhan dan pengembangan kelembagaan agroindustri. Kelembagaan agroindustri adalah organisasi petani di suatu wilayah yang berbasis gabungan kelompok tani (gapoktan). Kelembagaan agroindustri dapat berbentuk Kecamatan Pasca Panen (KPP), Usaha Pelayanan Jasa Alat Mesin (UPJA), Lumbung Desa Modern (LDM), Unit Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (UP3HP), Terminal Agribisnis (TA), Sub Terminal Agribisnis (STA), Koperasi Tani (Koptan), Badan Usaha Milik Petani (BUMP), dan lain-lain (Ditjen PPHP 2007). Dalam penerapannya, model ini akan berjalan baik apabila pembentukan kelembagaan didasarkan atas kesamaan visi dan kebutuhan, serta bukan dibentuk secara top down atas alasan adanya program. Berdasarkan penilaian lingkungan internal dan eksternal, diketahui bahwa pengembangan agroindustri lada (0,49) merupakan prioritas bagi upaya penyelesaian sejumlah kelemahan sistem dan upaya mengatasi ancaman yang ada, selain upaya peningkatan produksi lada yang terus dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya dan pengembangan pasar (Tabel 9). 63

91 Tabel 9. Nilai Prioritas Strategi Pengembangan Sistem Komoditas Lada Putih Strategi Nilai Prioritas Perbaikan Sistem Budidaya 0,29 Pengembangan Agroindustri Lada 0,49 Pengembangan Pasar 0,22 Introduksi teknologi budidaya yang selama ini dilakukan terus diupayakan peningkatan penerapannya. Budidaya lada anjuran antara lain dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, pembuatan saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pembuatan pagar keliling. Penerapan secara berkesinambungan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas per tanaman serta produksi secara agregat. Pengembangan pasar dapat dilakukan dengan cara: menciptakan produk yang dengan standar mutu yang disertai jaminan mutu dan kontinuitas pasokan, menetapkan harga yang yang kompetitif, menerapkan promosi yang membangun komunikasi informasi yang persuasif tentang produk agar mempengaruhi pembelian, serta menerapkan pemilihan tempat, sebagai fungsi dari saluran pemasaran, cakupan pasar, transportasi, dan manajemen persediaan, untuk menyampaikan produk kepada konsumen. Melalui strategi ini maka diharapkan akan tercapai pengembangan pasar dalam perluasan fungsi, perluasan wilayah pemasaran, maupun perluasan jangkauan konsumen. Pengembangan pasar juga dilakukan untuk mendukung pengembangan produk dengan nilai tambah tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan spesialisasi dalam bentuk spesialisasi produk, spesialisasi geografis, spesialisasi harga dan mutu, spesialisasi pelanggan, spesialisasi pelayanan, spesialisasi pemakai akhir, spesialisasi pesanan, spesialisasi produk atau lini produk, spesialisasi saluran pemasaran, atau spesialisasi ukuran pelanggan. Melalui strategi ini maka produk akan terdiferensiasi dengan baik di pasar. Model agroindustri lada secara mekanis yang dapat diimplementasikan pada saat ini adalah pengembangan unit pengolahan bersama, sebagai suatu lembaga pengolahan hasil pertanian yang didirikan di daerah sentra produksi. 64

92 Kelembagaan agroindustri yang berbasis kelompok tani mensyaratkan terbangunnya collective efficiency yang muncul atas keinginan pencapaian tujuan bersama dan bukan pembentukan secara top down. Model agroindustri lada secara mekanis melalui pendirian perusahaan agroindustri dilakukan pada perusahaan dengan kepemilikan sumberdaya dan kapasitas yang besar. Bentuk ini biasanya diterapkan pada perusahaan eksportir. Pengembangan unit pengolahan perseorangan merupakan penggunaan alat dan mesin pengolah lada dengan kepemilikan pribadi. Hal ini memiliki peluang penerapan yang besar, namun demikian diperlukan penelitian dan pengembangan mengenai alat dan mesin dengan kapasitas yang lebih kecil sesuai dengan kepemilikan lahan petani dan kemampuan petani untuk mengoperasikan. Pengembangan agroindustri lada diharapkan mampu menjawab tantangan serta mampu mengatasi kelemahan sistem komoditas lada nasional. Hal ini pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan daya saing lada putih di pasar dunia. 4.3 Analisis Komparatif Sistem Komoditas Lada Indonesia dengan Vietnam Ditinjau dari sisi pangsa pasar, persaingan antar negara produsen lada di pasar dunia sangat tinggi, terutama sejak Vietnam memasuki pasar. Vietnam terus melakukan pengembangan areal serta memperbaiki sistem budidaya dan pengolahannya. Perkembangan pangsa pasar lada putih Indonesia di pasar dunia pada kurun waktu mengalami penurunan (Gambar 14). Pada kurun waktu , Indonesia masih mendominasi pangsa pasar lada putih dunia. Indonesia pada tahun 1995 masih menguasai 73,48% pasar dunia. Pencapaian pangsa pasar terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 90,02%, namun demikian kecenderungan ini terus mengalami penurunan hingga mencapai 31,65% pada tahun Nilai pangsa pasar terendah yaitu 26,86% pada tahun Hal ini berbeda dengan pangsa pasar lada putih Vietnam di pasar dunia. Bila pada tahun 2003 kontribusi Vietnam hanya mencapai 11,37%, maka pada pada tahun 2010 mencapai 46,89%. Pangsa pasar terbesar dicapai pada tahun 2009 yaitu sebesar 52,67% (IPC 2011). 65

93 I V Gambar 14. Pangsa Pasar Lada Putih Indonesia dan Vietnam Sumber: IPC (2011) Perkembangan yang pesat ini tidak terlepas dari dimilikinya aset daya saing dan berjalannya proses penciptaan daya saing di Vietnam. Vietnam memiliki sumberdaya alam, tenaga kerja, dan proses aplikasi teknologi modern yang terus berjalan. Beberapaa strategi yang dilakukan adalah menjaga mutu, memperbesar pasar ekspor, meningkatkan nilai tambah lada, dan meningkatkan promosi perdagangan. Pemerintah terus memberikan dorongan karena berkepentingan untuk membangun sekaligus menjaga trademark Vietnam sebagai negara penghasil lada. Perluasan lahan lada di Vietnam dilakukan sejak tahun 1995, dimana terus mengalami perkembangan, sehingga pada tahun 2009 telah mencapai 50 ribu hektar. Intensifikasi lahan juga dilakukan secara bersamaan, termasuk mengembangkan lada organik sebagai upaya untuk menghentikan serangan penyakit, serta berupaya menerapkan aplikasi Good Agricultural Practises (GAP). Dukungan pemerintah sangat besar dalam pengadaan dan penetapan fungsi lahan. Salah seorang petani mendapatkan hak penggunaan lahan seluas 11 hektar untuk penggunaan selamaa 50 tahun. Berbeda dengan di Indonesia, pengembangan lada putih di Kepulauan Bangka dihadapkan pada kerusakan lingkungan yang sangat besar sebagai akibat meledaknya penambangan timah. Hal ini menyebabkan rendahnya daya dukung 66

94 lingkungan terhadap pengembangan komoditas lada. Selain itu adopsi teknologi budidaya sangat terbatas, sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan finansial petani. Kondisi ini menyebabkan produktivitas yang semakin menurun. Pada sisi yang lain, konversi lahan pertanian menjadi areal penambangan atau areal tanaman lain juga terus meningkat. Pada sisi agroindustri terdapat perbedaan signifikan antara agroindustri lada di Vietnam dan Indonesia. Agroindustri lada di Vietnam dilakukan dengan menerapkan model perusahaan agroindustri, pengolahan bersama, serta pengolahan secara individu. Pada agroindustri lada skala besar, lada putih yang diolah secara manual kemudian diberi steam treatment dan strerilisasi untuk memenuhi mutu sesuai ASTA, ESA dan Japan Standard. Orientasi produksi yaitu menciptakan produk sesuai standar sanitary dan food safety. Pada agroindustri pedesaaan telah dikembangkan peralatan pengolahan secara mekanis. Selain itu, inovasi juga terus berjalan. Hal ini ditandai dengan adanya perbaikan mesin pengolah lada putih dengan kapasitas 200 kg/jam yang dikerjakan oleh dua tenaga kerja dan menghasilkan lada putih dengan mutu prima. Iklim investasi yang mendukung, telah menyebabkan perkembangan investasi agroindustri lada di Vietnam. Investasi dilakukan baik dalam bentuk perusahaan asing, usaha patungan (joint venture), maupun perusahaan lokal seperti: Harris Preman, Vina Hariss, Man-Spice Vietnam, Truong Loc Enterprise, Maseco, Tan Hung Enterprise, Agrexport HCM, Intimex HCM. Perusahaan ini melakukan investasi dalam mesin modern dilengkapi dengan steam treatment, pengeringan, dan microbiological treatment. Beberapa perusahaan seperti: Thach Loc, Intimex Binh Duong, dan Olam telah melakukan pengolahan lanjut untuk menghasilkan bubuk lada dalam kemasan steril sebagai upaya peningkatan nilai tambah (Nam 2008). Penerapan metode pengolahan lada secara mekanis di Indonesia berjalan lambat. Agroindustri perdesaan baru dilaksanakan sebagai program percontohan dan belum berjalan optimal. Pengolahan lada masih dilakukan secara tradisional. Ditinjau dari sisi biaya, pengolahan dengan cara tradisional memiliki efisiensi yang rendah. Hal ini disebabkan tingginya penggunaan tenaga kerja terutama pada tahap pengupasan kulit. Pada pengolahan lada putih dibutuhkan perendaman 67

95 selama 1-2 minggu untuk melunakkan kulit sebelum buah dikupas. Kontribusi biaya pengupasan terhadap biaya pengolahan lada putih mencapai 80%, karena kemampuan pengupasan secara tradisional sangat rendah, yaitu 100 kg/hari/orang (Risfaheri 2011). Selain itu, diperlukan tenaga kerja pada tahap perendaman untuk menjaga lada, hal ini berkaitan dengan risiko pencurian lada yang tinggi. Pada sisi pemasaran, Vietnam menunjukkan program pemasaran yang lebih baik. Hal ini tampak dari dibangunnya merek produk secara berkesinambungan dengan tujuan ekspor beberapa negara. Selain itu, untuk mengatasi persaingan, ekspor dilakukan pada delapan bulan pertama, pada saat negara produsen lain belum memasuki masa panen. Vietnam mengenalkan kawasan Chu Se di Provinsi Gia Lai sebagai kawasan pengembangan lada. Kinerja pemasaran, yang salah satunya ditunjukkan dengan pencapaian harga, menunjukkan bahwa harga lada Chu Se lebih tinggi ketimbang harga lada yang dikembangkan di kawasan lain. Selain itu, juga terdapat Vietnam Pepper Association, sebuah organisasi non profit, yang selalu beroperasi secara aktif dan efektif untuk kepentingan dan pengembangan industri lada di Vietnam. Salah satu perusahaan agroindustri lada terbesar di Vietnam adalah pemain besar dalam perdagangan lada dunia. Perusahaan memiliki lahan yang telah dipilih secara selektif berdasarkan kesesuaian lahan, curah hujan, dan suhu. Dari sisi budidaya, pengembangan yang dilakukan sejak tahun 1995 menghasilkan produk yang stabil, homogen dengan mutu prima, dengan kapasitas 4000 metrik ton. Pengembangan lahan kemudian diikuti oleh pembangunan agroindustri lada dengan teknologi lanjut dan peralatan modern pada tahun Hal ini bertujuan untuk menghasilkan lada yang higienis dan memenuhi standar keamanan produk. Pada sisi pemasaran, perusahaan membangun branding product dengan nama Maseco Pepper, sebagai upaya mengembangkan lada lokal yaitu Chu Se Pepper. Pemberian penghargaan oleh IPC diberikan secara berkala kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor lada dengan nilai tambah produk, pelaku usaha yang memproduksi produk lada yang inovatif, dan kepada petani dengan kinerja terbaik. IPC merupakan organisasi antar pemerintah negara-negara penghasil lada 68

96 yang terdiri dari negara Brazil, India, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka dan Vietnam sebagai anggota penuh dan Papua Nugini sebagai anggota asosiasi. IPC didirikan pada tahun 1972 di bawah naungan United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP). Sekretariat IPC berlokasi di Jakarta, Indonesia dan dipimpin oleh seorang Direktur Eksekutif. Keanggotaan Komunitas ini terbuka untuk semua negara penghasil lada. Pada tahun 2010, sebagai tahun pertama penyelenggaraan IPC Award, penghargaan diterima oleh pelaku usaha di Vietnam yaitu diberikan kepada: (1) Phuc Sinh Corp, HCM City sebagai pelaku usaha yang melakukan ekspor lada dengan nilai tambah produk, (2) Intimex Group JSC, HCM City sebagai pelaku usaha yang memproduksi produk lada yang inovatif, dan (3) Nguyen Van Queo, Chu See Town, Gia Lai Province sebagai petani dengan kinerja terbaik. Penghargaan ini menunjukkan pengakuan kinerja petani dan pelaku usaha di Vietnam dalam pengembangan nilai tambah produk dan pencapaian kinerja yang optimal. Hal ini sekaligus sebagai dasar penciptaan merek produk dalam upaya pengembangan jaminan mutu (VPA 2010). Program pemasaran lada di Indonesia memiliki kekuatan dengan dimilikinya indikasi geografis bagi lada putih Kepulauan Bangka Belitung. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan mutu tertentu pada barang yang dihasilkan (Ditjen KPI 2004). Indikasi geografis memberikan penjelasan secara rinci tentang produk berkarakter khas dan unik. Dimilikinya indikasi geografis akan memberikan informasi yang jelas dalam proses identifikasi produk, kemudahan dalam proses menetapkan dan menerapkan standar produk dan proses. Pencapaian dan kemampuan mempertahankan indikasi geografis akan memberikan jaminan mutu produk, serta merek yang membangun unsur pembeda dari lada yang dihasilkan oleh wilayah lain. Kelebihan dalam bentuk indikasi geografis dijadikan sebuah alat pemasaran yang strategis yang memacu pertumbuhan sistem manajemen mutu dari budidaya hingga pengolahan dengan mempertimbangkan keterlibatan petani sebagai pelaku utama. 69

97 4.4 Pengembangan Agroindustri berbasis Peningkatan Nilai Tambah Visi Pembangunan Industri Nasional Jangka Panjang adalah Membawa Indonesia pada tahun 2025 untuk menjadi Negara Industri Tangguh Dunia. Misi yang terdapat di dalamnya yaitu: (1) mendorong peningkatan nilai tambah industri; (2) mendorong peningkatan perluasan pasar domestik dan internasional; (3) mendorong peningkatan industri jasa pendukung; (4) memfasilitasi penguasaan teknologi industri; (5) memfasilitasi penguatan struktur industri; (6) mendorong penyebaran industri keluar pulau jawa; dan (7) mendorong peran IKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada saat ini, ekspor produk manufaktur tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekspor produk primer. Proporsi produk manufaktur dalam ekspor non-migas makin kecil, dari 76% pada 2000 menjadi 50% pada Struktur ekspor semakin didominasi oleh bahan mentah. Sejak 2008, impor naik pesat sehingga neraca perdagangan produk manufaktur mengalami defisit. Tuntutan hilirisasi semakin kuat, di mana tuntutan memperluas rantai nilai komoditas ekspor unggulan juga semakin meningkat. Kegiatan hilirisasi, sebagai kegiatan mengolah bahan mentah sebelum diekspor, diterapkan pada berbagai industri, termasuk Industri Berbasis Pertanian/Agro. Bahkan pada produk pertambangan mineral dan batu bara telah diwajibkan oleh UU No. 4 Tahun Pada saat ini pemerintah akan memfokuskan program hilirisasi industri pada Industri Berbasis Pertanian/Agro (CPO, Kakao, dan Rotan) dan Industri Berbasis Mineral Hasil Tambang (Bauksit, Nikel, Bijih/Pasir Besi, dan Tembaga). Program hilirisasi industri pada Industri Berbasis Pertanian/Agro diharapkan juga akan diterapkan pada komoditas ekspor unggulan lainnya seperti lada. Kegiatan pengembangan agroindustri lada didasarkan kepada kebutuhan untuk meningkatkan nilai tambah pada sistem komoditas lada. Peningkatan nilai tambah dapat dilakukan pada seluruh mata rantai oleh pelaku yang terlibat di dalamnya. Kebijakan hilirisasi diharapkan dapat memberikan dampak positif, berupa: peningkatan utilisasi industri, peningkatan ekspor produk olahan, serta peningkatan investasi. 70

98 Peningkatan nilai produk merupakan hasil dari aktivitas sepanjang rantai nilai sebagai kegiatan ekstraksi bahan baku untuk digunakan oleh pelanggan. Pada setiap tahap rantai nilai diperlakukan aspek yang berbeda dari nilai yang diberikan (Sathre 2009). Melalui analisis rantai nilai maka akan dipelajari dan dianalisis nilai tambah pada kegiatan yang berbeda melalui analisis biaya dan koordinasinya (Porter 1998; Stahmer dan Frank 2006). Pelaku pada rantai nilai komoditas lada terdiri dari: penyedia input, petani, pengumpul, pedagang, eksportir, retail lokal dan global (Gambar 15). Pedagang tingkat desa atau pedagang tingkat kecamatan disebut juga sebagai pengumpul. Aktivitas dan jenis keputusan yang diambil pada setiap pelaku tertera pada Tabel 10. Penyedia input merupakan pihak yang berkepentingan untuk menyediakan dan mendistribusikan input pertanian pada jumlah dan harga yang sesuai. Petani melakukan penangkaran bibit, budidaya, dan pengolahan secara tradisional. Beberapa petani melakukan pengadaan bibit melalui pembelian kepada penangkar. Petani akan mempertimbangkan harga untuk menilai kemampuan memenuhi biaya yang dikeluarkan. Pedagang melakukan pengumpulan, pengemasan, dan trasportasi, sedangkan sortasi produk hanya dilakukan di tingkat eksportir. Gambar 15. Rantai Nilai Lada Putih 71

99 Tabel 10. Kegiatan dan Jenis Keputusan Pelaku pada Rantai Nilai Pelaku Aktivitas Jenis Keputusan Penyedia Input Distribusi Kuantitas Harga Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Eksportir Retail Penangkaran benih Budidaya Pemanenan Perendaman Pengupasan Pencucian Pengeringan Pengemasan Pengumpulan Transportasi Pengumpulan Transportasi Sortasi Pengemasan Penyimpanan Pengiriman Pengangkutan Penetrasi pasar Pengemasan Distribusi Kuantitas Biaya Kuantitas Biaya Harga Kuantitas Biaya Harga Kuantitas Mutu Kontinuitas Biaya Aliran informasi Harga Mutu Harga Aliran Informasi Input pertanian utama pada budidaya lada adalah bibit, tajar, pupuk, obatobatan, dan tenaga kerja. Penyedia input menyediakan sarana produksi yaitu pupuk dan pestisida. Bibit lada yang digunakan sebagian besar merupakan bibit yang tidak bersertifikat yang diperoleh melalui penangkar tidak resmi. Investasi pada usahatani lada putih relatif besar. Komponen utama pada investasi budidaya lada adalah pembukaan lahan dan pembelian tajar. Budidaya tanaman lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar dilakukan dengan menggunakan tiang panjat mati. Metode ini memberikan pertumbuhan dan produktivitas yang lebih tinggi, namun umur produktif tanaman lebih pendek. Kondisi ini mengakibatkan biaya investasi usaha tani lada semakin meningkat, karena ketersediaan tiang panjat mati yang semakin sulit. Pengolahan lada putih dilakukan oleh petani secara tradisional. Komponen biaya terbesar pada tahap ini adalah biaya tenaga kerja. Pemetikan buah lada dilakukan setelah sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna 72

100 kuning kemerahan. Pemanenan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kemasakan buah. Setelah pemetikan, buah lada dimasukkan ke dalam karung untuk direndam. Perendaman dilakukan selama 1-2 minggu. Pada tahap ini, tenaga kerja juga dibutuhkan untuk mengawasi lada dari risiko pencurian. Setelah perendaman dilakukan pengupasan kulit. Setelah kulit luar terkelupas, kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menghamparkan lada pada alas tikar atau terpal. Rantai penjualan lada dari petani ke eksportir dilakukan melalui beberapa cara. Petani dapat menjual lada ke pengumpul atau langsung ke pedagang besar. Bahkan dalam jumlah yang sangat besar, petani dimungkinkan menjual langsung ke eksportir. Hal ini dimungkinkan karena adanya infrastruktur transportasi yang baik dan dukungan fasilitas telekomunikasi yang menunjang. Perbedaan harga antar pelaku yaitu sekitar Rp per kg. Pada saat ini petani telah mendapat informasi harga yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan dan IPC melalui layanan short message system. Oleh karena itu pembentukan harga tidak lagi berlangsung sepihak oleh pedagang pengumpul. Perbedaan harga yang terjadi adalah hingga Rp ketika di tangan eksportir. Biaya yang dikeluarkan oleh petani meliputi biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi terdiri dari: biaya pembukaan lahan, tajar, bibit, dan peralatan pertanian, sedangkan biaya operasional terdiri dari: pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Biaya tenaga kerja merupakan biaya yang sangat besar yang mendominasi struktur biaya usahatani lada. Biaya yang dikeluarkan oleh pengumpul adalah biaya pengemasan dan biaya transportasi, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar adalah biaya transportasi dan biaya penyusutan. Biaya penyusutan merupakan biaya yang harus dibayar akibat mutu lada yang belum memenuhi persyaratan. Besar biaya penyusutan adalah sekitar 2%. Pengangkutan lada dilakukan dengan menggunakan colt dengan muatan 2 ton atau truk dengan muatan 7 ton. Biaya yang dikeluarkan oleh eksportir adalah biaya sortasi, pengeringan jika diperlukan, dan pengemasan. Harga jual ditetapkan berdasarkan perjanjian kontrak pembelian dengan importir dan biasanya merujuk kepada harga di pasar 73

101 dunia. Marjin keuntungan pedagang desa sebesar 2,73%, pedagang pengumpul 3,29%, dan eksportir 7,73% (Djulin dan Malian 2005). Peningkatan kinerja rantai nilai dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan kuantitas produksi dan perbaikan kesinambungan pasokan, meningkatkan mutu dan keamanan produk, menurunkan waktu produksi, menimimalisasi biaya transaksi, serta meningkatkan kapasitas pelaku untuk mengadopsi teknologi dan pengembangan pasar (UNIDO 2009). Strategi pengembangan rantai nilai dapat dicapai dengan menerapkan strategi perbaikan mutu, peningkatan efisiensi sistem, dan pengembangan diferensiasi produk (AFC 2004). Peningkatan nilai tambah merupakan satu dari tiga strategi peningkatan kinerja rantai nilai. Peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui pengembangan produk yang inovatif atau diferensiasi produk, proses yang inovatif, dan kegiatan pemasaran yang inovatif. Dua strategi lainnya yaitu peningkatan jejaring rantai nilai melalui pemilihan pasar dan saluran pemasaran yang tepat, serta peningkatan tata kelola rantai nilai melalui pemilihan organisasi kerjasama vertikal dan horisontal yang sesuai (Trienekens 2011). Secara lebih spesifik, peningkatan nilai tambah produk pertanian adalah meningkatkan pendapatan melalui: budidaya tanaman tertentu untuk pasar khusus, perubahan bentuk produk, perubahan pengemasan produk, perubahan cara memasarkan produk, atau mengembangkan unit usaha baru (Born dan Bachmann 2006). Strategi peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: (1) menjaring nilai (capturing value), dan (2) menciptakan nilai (creating value) (Parcell et al. 2010, Brees et al. 2004). Kedua strategi penambahan nilai tersebut dapat diimplementasikan pada komoditas lada melalui perbaikan metode pengolahan. Strategi menjaring nilai merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengoptimalkan input dan proses produksi, sehingga dapat diperoleh produk dengan biaya yang optimal. Strategi menciptakan nilai merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan produk yang unik atau berbeda dari produk yang selama ini ada dengan tujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan oleh konsumen. Peningkatan nilai tambah melalui kedua strategi tersebut merupakan pengembangan dari: mutu (quality), fungsi (functionality), 74

102 bentuk (form), tempat (place), waktu (time) dan kemudahan mendapatkan (ease of possession) (Anderson dan Hall 2008). Peningkatan nilai tambah melalui kegiatan penjaringan nilai pada lada didefinisikan sebagai kegiatan mengoptimalkan proses budidaya dan pengolahan lada dengan tujuan untuk menghasilkan lada dengan mutu yang memenuhi persyaratan standar mutu yang telah ditetapkan. Peningkatan nilai tambah melalui kegiatan penciptaan nilai tambah pada lada didefinisikan sebagai kegiatan pemberian input dan penyelenggaraan proses lanjutan dengan tujuan untuk menghasilkan lada dalam bentuk, fungsi, dan kemudahan mendapatkan. Peningkatan kinerja rantai nilai komoditas lada ditempuh melalui peningkatan produktivitas yang dilakukan dengan mempercepat dan memperluas adopsi teknologi budidaya anjuran di tingkat petani, serta peningkatan rendemen dan mutu lada yang dilakuan dengan perbaikan metode pengolahan. Jenis lada pada strategi penciptaan nilai (IPC 2010) antara lain: (1) lada yang diberi perlakuan untuk perubahan ukuran, (2) lada yang diberi perlakuan untuk meningkatkan mutu, (3) lada yang diberi input tambahan dan proses lanjutan, (4) lada yang diberi proses pengolahan lanjutan untuk menghasilkan produk dalam bentuk dan fungsi yang berbeda, serta (5) lada yang diberi kemasan tertentu. Lada yang diberi perlakuan untuk perubahan ukuran seperti: lada yang telah dihancurkan (crushed pepper), bubuk lada (pepper powder), tepung lada (milled pepper), lada serpihan (flake), atau lada butiran (granules). Lada yang diberi perlakuan untuk meningkatkan mutu seperti: lada yang telah disterilisasi, atau lada organik (certified organic). Lada yang diberi input tambahan dan proses lanjutan sehingga dihasilkan: lada kering (dehydrated pepper), lada beku (frozen pepper), lada beku kering (freeze dried pepper), lada asin (pepper in brine), lada dalam bentuk permen, atau lada dalam bentuk pasta. Lada yang diberi proses pengolahan lanjutan untuk menghasilkan produk dalam bentuk dan fungsi yang berbeda seperti: minyak lada (pepper oils), atau oleoresin. Lada yang diberi kemasan tertentu untuk memperluas pasar seperti: lada dalam kemasan konsumen, yaitu dengan bobot kurang dari 2,5 kg per kemasan. Secara lebih spesifik, penciptaan nilai yang dapat dilakukan pada lada putih dan lada hitam adalah: lada yang diberi perlakuan untuk perubahan ukuran, 75

103 lada yang diberi perlakuan untuk meningkatkan mutu, lada yang diberi proses pengolahan lanjutan untuk menghasilkan produk dalam bentuk dan fungsi yang berbeda, serta lada yang diberi kemasan tertentu untuk memperluas pasar. Lada hijau merupakan produk olahan dari lada dengan warna hijau yang dipertahankan. Berdasarkan cara pengolahannya dikenal tiga bentuk lada hijau yaitu (1) lada hijau dalam larutan garam, (2) lada hijau dalam bentuk kering, dan (3) lada hijau dalam bentuk beku. Strategi menjaring nilai dilakukan dengan mengembangkan unit pengolahan pasca panen yang memiliki seperangkat mesin dan peralatan yang terdiri dari mesin perontok (thresher), alat pengayak, bak perendaman (soaking tank), mesin pengupas (decorticator), bak pemisahan pulp, dan alat pengering (mechanical dryer), mesin sortasi (winnower). Mesin dapat dilengkapi pula dengan alat penyulingan untuk memanfaatkan produk samping yang dihasilkan. Pemilihan alat dan mesin dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna berdasarkan skala prioritasnya. Peralatan dan mesin teknologi pengolahan lada secara mekanis telah dihasilkan oleh lembaga penelitian Kementerian Pertanian. Mesin dan peralatan juga telah diujicobakan pada beberapa lokasi sentra produksi lada. Instalasi, operasi, dan perawatan dilakukan oleh unit usaha dengan bimbingan dari Dinas Perkebunan. Strategi menjaring nilai yang dilakukan melalui pengolahan lada putih secara mekanis ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan dan untuk memenuhi persayaratan input, proses, dan output yang dipersyaratkan pada Indikasi Geografis. Oleh karena itu, prospek dari pelaksanaan kegiatan ini sangat besar, mengingat standar mutu dan Indikasi Geografis merupakan bahasa perdagangan global yang mampu memberikan jaminan mutu atas produk yang diperdagangkan. Risiko yang mungkin muncul pada penerapan strategi penjaringan nilai adalah risiko produksi, risiko pemasaran, risiko investasi, dan risiko tambahan nilai (Brees et al. 2004). Risiko produksi yang berkaitan dengan proses produksi pada strategi penjaringan nilai adalah rendah. Hal ini berkaitan dengan telah diketahui dengan baik proses yang berlangsung pada strategi penjaringan nilai. 76

104 Risiko produksi ditinjau dari sisi keahlian produsen adalah rendah, demikian juga pada dari sisi peraturan atau persyaratan hukum. Risiko pemasaran berkaitan dengan tingkat kompetisi dan akses pasar. Pada strategi penjaringan nilai, tingkat kompetisi tinggi sedangkan akses pasar mudah untuk dilakukan. Risiko investasi berkaitan dengan modal yang dibutuhkan dan arus kas. Kedua hal ini memiliki risiko yang bervariasi. Berdasarkan tambahan nilai, diketahui bahwa strategi penjaringan nilai memberikan tambahan keuntungan pada skala yang kecil. Strategi menciptakan nilai akan menghasilkan produk yang unik atau berbeda dari produk yang selama ini ada dengan tujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan oleh konsumen. Walaupun teknologi untuk melakukan pengolahan lebih lanjut telah tersedia, namun proses ini hampir tidak pernah dilakukan oleh pelaku pada sistem komoditas lada di Indonesia. Penyediaan lada dalam berbagai ukuran dan bentuk, serta pengemasan yang beragam, telah dilakukan oleh perusahaan pengolah lada putih di Kalimantan. Strategi menciptakan nilai dapat menimbulkan risiko produksi yang lebih tinggi daripada strategi penjaringan nilai. Risiko investasi berkaitan dengan modal yang dibutuhkan dan arus kas. Modal yang dibutuhkan relatif besar. Berdasarkan tambahan nilai, diketahui bahwa strategi penjaringan nilai memberikan tambahan keuntungan pada skala yang besar. Risiko pemasaran berkaitan dengan tingkat kompetisi dan akses pasar. Pada strategi penciptaan nilai, tingkat kompetisi rendah sedangkan akses pasar sulit untuk dilakukan. Permintaan untuk produk inovatif biasanya harus diciptakan melalui iklan, promosi, dan pendidikan konsumen, dimana hal ini merupakan proses yang panjang dan mahal. Strategi ini juga membutuhkan proses pembelajaran, ketrampilan pemasaran, pengemasan, pelabelan, dan pemenuhan berbagai peraturan. Risiko pemasaran dapat menjadi lebih rendah daripada strategi penjaringan nilai, apabila permintaan dapat dibangun, terdapat potensi yang tinggi, harga stabil, dan persaingan langsung dalam jumlah sedikit. Pengembangan skala operasi dan cakupan usaha akan mensyaratkan penambahan tenaga kerja, peningkatan ketrampilan manajemen, peningkatan fungsi pengendalian, peningkatan kemampuan manajemen bisnis dan perencanaan keuangan, serta adanya keputusan investasi dalam mesin peralatan atau perbaikan 77

105 pengemasan. Selain itu, penambahan volume produksi juga mensyaratkan kemampuan perencanaan produksi dan penanganan limbah yang memadai, selain kemampuan pelaksanaan riset pasar, pengembangan produk, atau pencitraan (Fellows dan Rottger 2005). Strategi penjaringan nilai merupakan strategi yang dipilih pada kondisi saat ini. Hal ini didasarkan kepada belum optimalnya pencapaian produksi dan mutu biji lada. Oleh karena itu, fokus dalam analisis pada bagian selanjutnya adalah berkaitan dengan upaya meningkatkan mutu lada sebagai langkah menanamkan pondasi bagi berkembangnya industri lada yang berbasis penciptaan nilai tambah. Model agroindustri lada secara mekanis dapat dilakukan melalui pendirian perusahaan agroindustri, pengembangan unit pengolahan bersama, dan pengembangan unit pengolahan perseorangan. Rantai nilai dugaan dari model pengolahan bersama dan model perusahaan agroindustri tertera pada Gambar 16. Gambar 16. Prediksi Rantai Nilai Berbasis Pengolahan Lada secara Mekanis Pengalihan pelaksanaan kegiatan pengolahan lada dari petani diharapkan dapat memperbaiki mutu produk, serta dapat menciptakan distribusi risiko yang lebih baik. Kegiatan pengolahan lada dapat dilakukan oleh unit agroindustri 78

106 dalam bentuk model pengolahan bersama atau model perusahaan agroindustri. Pada model pengolahan bersama, pemilik lada melakukan pengolahan dengan pembayaran upah jasa pengolahan tertentu, dengan kepemilikan lada yang tidak berpindah. Pada perusahaan agroindustri pembelian dilakukan dalam bentuk buah lada atau biji lada dengan penanganan pasca panen yang berada dalam pengawasan perusahaan. Kedua model ini masih memiliki keterkaitan ke depan yang sangat besar dengan perusahaan eksportir. Pada perusahaan agroindustri, perusahaan eksportir dapat merupakan sebuah unit usaha yang terintegrasi ditinjau dari sisi kepemilikan maupun pengelolaannya. Perusahaan agroindustri dapat juga sebagai bagian terpisah dari perusahaan eksportir, namun dengan sistem kerjasama yang saling mengikat dalam proses pengadaan bahan baku dan transportasi dengan pengelolaan produk, aliran informasi, dan distribusi keuntungan dan risiko yang optimal bagi seluruh pelaku pada rantai pasok. Pada model pengolahan lada bersama, penjualan hasil yang dilakukan kembali oleh petani, sedangkan pada model perusahaan agroindustri dilakukan oleh perusahaan. Model perusahaan agroindustri dimungkinkan apabila terjalin kesepakatan yang tertuang dalam kontrak kerjasama antara petani dengan perusahaan dalam pembelian buah lada, atau perusahaan memiliki kebun sendiri yang diusahakan oleh petani. 4.5 Model Proses Adopsi Teknologi Agroindustri Lada Teknologi agroindustri, sebagai salah satu komponen dalam proses penciptaan pertumbuhan, memiliki peran yang strategis. Beberapa peran tersebut adalah: menurunkan kehilangan pasca panen, memperpanjang umur simpan produk, stabilisasi harga bahan baku pada saat panen puncak, menyediakan produk dengan mutu seragam dalam jumlah besar, mengembangkan industri terkait, meningkatkan pengembalian terhadap petani, menciptakan lapangan pekerjaan, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi (Yakwezi 2003). Oleh karena itu teknologi diharapkan dapat diadopsi secara menyeluruh dan berkesinambungan dalam pengembangan komoditas. Di Kepulauan Bangka, telah dilakukan uji coba pengolahan lada secara mekanis di Desa Delas, Kecamatan Air Gegas, Bangka Selatan dan Desa Cambai, 79

107 Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah. Introduksi teknologi pada kedua daerah ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Di desa Delas, peralatan pengolahan lada pada masa uji coba tidak berfungsi dengan baik. Hal ini ditandai oleh banyaknya lada pecah yang dihasilkan dan lada yang tidak terkelupas, selain itu letak bak perendaman beradaa lebih tinggi dari letak kebun. Di Desa Cambai telah dilakukan ujicoba pengolahan lada secara mekanis, namun demikian mesin dan peralatan tersebut tidak diimplementasikan secara berkesinambungan. Mesin dan peralatan hanya digunakan bila diperlukan untuk kegiatan pelatihan. Beberapa permasalahan teknis yang muncul diduga sebagai akibat dari kinerja mesin dan peralatan yang tidak optimal, selain permasalahan kelembagaan yang berkaitan dengan rendahnya pengalaman dalam menjalankan kegiatan ekonomi bersama dan tidak adanya dukungan dalam bentuk bimbingan teknis dan pendampingan. Pengalaman responden menggunakan mesin dan peralatan pengolahan lada ditunjukkan pada Gambar 17. Seluruh responden tidak memiliki pengalaman menggunakan mesin perontok, mesin pengupas, mesin pengering, dan mesin sortasi. Sebanyak 3 responden (7,14%) memiliki pengalaman memanfaatkan bak perendaman dalam proses perendaman lada. Gambar 17. Pengalaman Menggunakan Alat dan Mesin Agroindustri Lada Proses adopsi teknologi dipengaruhi oleh tiga komponen utama yaitu: (1) karakteristik inovasi yang berkaitan dengan manfaat dan biaya, (2) karakteristik inovator atau aktor yang mempengaruhi kemungkinan adopsi inovasi, dan (3) 80

108 karakteristik konteks lingkungan yang memodulasi difusi melalui karakteristik struktural (Wejnert 2002). Pada sektor pertanian, faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi secara positif yaitu: tingkat pendidikan, teknologi lokal, profesionalisme keanggotaan, serta keterlibatan pemerintah. Di sisi lain faktor yang mempengaruhi secara negatif yaitu: kendala keuangan, sistem kepemilikan tanah, dan ukuran lahan (Nzomoi et al. 2002). Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor internal, proses adopsi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, oleh karena itu dibutuhkan sebuah model proses adopsi teknologi dan penggunaan teknologi tersebut secara berkelanjutan yang mengintegrasikan faktor internal maupun faktor eksternal. Terdapat beberapa hal yang menjadi latar belakang mengapa tidak dilakukan adopsi teknologi. Sebagai upaya untuk mendapatkan gambaran atas hal tersebut, maka dilakukan penjaringan persepsi petani terhadap peluang adopsi dan kemungkinan alasan yang melatarbelakangi apabila tidak dilakukan adopsi. Alasan responden tidak memanfaatkan mesin perontok didominasi oleh alasan keterbatasan modal (sebanyak 41 responden atau 97,62%), ketersediaan mesin (sebanyak 40 responden atau 95,24%), dan keterbatasan bimbingan teknologi (sebanyak 39 responden atau 92,86%) (Gambar 18). Ditinjau dari sisi kemampuan mesin memberikan manfaat dan implikasi biaya, jumlah responden yang mempercayai hal tersebut relatif berimbang. Penggunaan mesin ini diharapkan akan dapat menghemat penggunaan tenaga kerja, sebagai komponen biaya utama pengolahan lada. Alasan responden tidak memanfaatkan bak perendam didominasi oleh alasan keterbatasan modal (sebanyak 40 responden atau 95,24%), ketersediaan bak (sebanyak 40 responden atau 95,24%), dan implikasi biaya (sebanyak 41 responden atau 97,62%), seperti tertera pada Gambar 19. Teknologi dan cara kerja sederhana dari bak perendaman tidak membutuhkan bimbingan teknis, selain itu sebagian besar responden tidak ragu atas tingkat manfaat. Sebagian besar responden mempercayai bahwa bak perendam dapat memberikan penyelesaian atas permasalahan yang muncul dari perendaman yang dilakukan di sungai atau bekas galian. Kualitas air dan ketersediaan air yang menurun akan memberikan pengaruh terhadap kualitas lada. Selain itu, salah satu 81

109 kendala yang dihadapi petani dalam tahap perendaman secara tradisional adalah tingginya risiko pencurian lada. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk mengatasi tersebut relatif besar. Oleh karena itu selain penggunaan bak perendam diharapkan dapat meningkatkann peluang pencapaian mutu yang sesuai dengan standar yang berlaku, penggunaan bak perendam juga dapat menyelesaikan permasalahan keamanan. Gambar 18. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Perontok Gambar 19. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Bak Perendam Responden tidak memanfaatkan mesin pengupas disebabkan oleh keterbatasan modal (sebanyak 41 responden atau 97,62%), keterbatasan mesin (sebanyak 40 responden atau 95,24%), keterbatasan bimbingan teknis (sebanyak 39 responden atau 92,86%), seperti tertera pada Gambar 20. Bimbingan teknis diperlukan terkait spesifikasi mesin dan keragaman ukuran lada yang dapat 82

110 menyebabkan risiko lada pecah. Dari sisi kemampuan alat memberikan manfaat dan rendahnya implikasi biaya, jumlah responden yang mempercayai hal tersebut relatif lebih besar. Gambar 20. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Pengupas Alasan responden tidak memanfaatkan mesin pengering didominasi oleh alasan keterbatasan modal (sebanyak 40 responden atau 95,24%), ketersediaan mesin (sebanyak 39 responden atau 92,86%), dan implikasi biaya (sebanyak 40 responden atau 95,24%), seperti tertera pada Gambar 21. Teknologi dan cara kerja sederhana dari mesin pengering menyebabkan responden berpendapat tidak membutuhkan bimbingan teknis. Terjadinya perubahan cuaca dalam tahap penjemuran lada, menjadi dasar penilaian responden terhadap manfaat atas mesin pengering yang dinyatakann sebanyak 27 responden atau sebesar 64,28%. Gambar 21. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Pengering 83

111 Kegiatan sortasi hampir tidak pernah dilakukan oleh petani. Tidak dimanfaatkannya mesin sortasi didominasi oleh alasan keterbatasan modal (92,86%) dan kersediaan mesin (88,09%), seperti tertera pada Gambar 22. Gambar 22. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Sortasi Mesin sortasi dianggap mampu memberikan manfaat secara signifikan dalam proses pemisahan lada berdasarkan mutunya. Adanya implikasi biaya tidak menjadi permasalahan bagi responden karena adanya insentif berupa perbedaan harga yang ditawarkan oleh eksportir berdasarkan mutu lada yang dihasilkan. Berdasarkan rendahnyaa tingkat adopsi dan adanya permasalahan keterbatasan modal, ketersediaan mesin dan peralatan, keterbatasan bimbingan teknis, keraguan efektivitas teknologi, dan adanya implikasi biaya, maka dibutuhkan sebuah model yang mampu menganalisis hal tersebut. Beberapa model yang dibangun untuk menganalisis dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi diterimanya penggunaan teknologi antara lain Theory of Reasoned Action (TRA), Theory of Planned Behavior (TPB), dan Technology Acceptance Model (TAM) (Chuttur 2009). TAM menyatakan bahwaa penerimaan pengguna dan penggunaan teknologi ditentukan oleh dua komponen sikap kunci yaitu penggunaan (perceived use) dan kemudahan penggunaan (perceived ease of use) (Sunding dan Zilberman 2000). Sebagai model untuk mengukur dan menduga penerimaan pengguna teknologi baru, TAM telah dipergunakann dalam berbagai bidang kajian termasuk sektor pertanian (Flett et al. 2004). TAM menjelaskan hubungan sebab akibat antara 84

112 keyakinan akan manfaat suatu teknologi dan kemudahan penggunaannya, perilaku, tujuan, serta penggunaan aktual dari pengguna suatu teknologi. Model TAM terus diperluas, dan dikembangkan, sehingga lahir TAM 2 (Venkatesh 2000), dan TAM 3 (Venkatesh dan Bala 2008). Integrasi beberapa model proses adopsi teknologi menghasilkan sebuah model yang baru yang dinamakan Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) (Venkatesh et al. 2003). UTAUT menguji faktor-faktor penentu penerimaan pengguna dan perilaku penggunaan yang terdiri dari: kinerja yang diharapkan, usaha yang diharapkan, pengaruh sosial, dan kondisi fasilitasi. Keempat hal tersebut berkontribusi kepada perilaku penggunaan, baik secara langsung maupun melalui kecenderungan perilaku. UTAUT juga memperhatikan faktor-faktor seperti gender, usia, pengalaman, dan kesukarelaan. Model proses adopsi teknologi pengolahan lada secara mekanis dimodifikasi dari UTAUT Model yang terdiri dari 2 bagian sub model, yaitu Sub Model Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) dan Sub model Dukungan Fasilitasi, yang akan mempengaruhi keputusan perilaku penggunaan. Model proses adopsi teknologi tertera pada Gambar 23. Gambar 23. Model Proses Adopsi Teknologi 85

113 Input yang digunakan dalam analisis ini adalah indikator yang dinyatakan dalam bentuk indikator tambahan keuntungan untuk menduga nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy), indikator efisiensi untuk menduga nilai proses yang diperkirakan (effort expectancy) dan indikator peran kelompok tani untuk menduga pengaruh sosial (social influence). Indikator dukungan fasilitas (support facilities) yang terdiri dari komponen persepsi terhadap dukungan pendanaan, persepsi terhadap dukungan teknologi, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas. Penilaian terhadap indikator dilakukan secara terpisah terhadap setiap mesin dan peralatan yang digunakan tahap pengolahan lada putih, yaitu mesin perontok, mesin pengupas, bak perendam, mesin pengering, dan sortasi. Penilaian secara terpisah tidak dilakukan terhadap indikator peran kelompok tani. Nilai individu dinyatakan dalam skala 1 atau 0 dan nilai indikator didekati dengan nilai komulatif sampel untuk penilaian yang sama. Atribut dan fungsi keanggotan variabel input agregasi 1-3 tertera pada Tabel Tabel 11. Skala Nilai Variabel Input Agregasi Tahap 1 Variabel Input Skala Nilai 1. Rata-rata nilai tambahan keuntungan 2. Rata-rata nilai efisiensi 3. Peran kelompok tani. 4. Rata-rata nilai persepsi terhadap dukungan pendanaan 5. Rata-rata nilai persepsi terhadap dukungan teknologi 6. Rata-rata nilai persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas Sangat Rendah (0-8) Rendah (9-16) Sedang (17-24) Tinggi (25,-32) Sangat Tinggi (33-42) Tabel 12. Atribut dan Fungsi Keanggotaan Variabel Input Agregasi Tahap 2 Variabel Input Fuzzifikasi Fungsi Keanggotaan 1. Kinerja yang diharapkan (performance expectancy) 2. Usaha yang diharapkan (effort expectancy) 3. Pengaruh sosial (social influence) 4. Persepsi terhadap dukungan pendanaan 5. Persepsi terhadap dukungan teknologi 6. Persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas Sangat Rendah (0,0,3) Rendah (2,4,6) Sedang (5,7,9) Tinggi (8,10,12) Sangat Tinggi (11,15,15) 86

114 Tabel 13. Atribut dan Fungsi Keanggotaan Variabel Input Agregasi Tahap 3 Variabel Input 1. Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) 2. Dukungan Fasilitas (support facilities) Fuzzifikasi Sangat Rendah (0, 0, 3) Rendah (2, 3.5, 5) Sedang (4, 5.5, 7) Tinggi (6, 7.5, 9) Sangat Tinggi (8, 8, 10) Fungsi Keanggotaan Proses kajian terdiri dari tahap pemetaan status dan formulasi kebijakan, seperti tertera pada Gambar 24. Pemetaan status adopsi teknologi dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan pendekatan fuzzy inference system model Tagaki-Sugeno-Kang (TSK) orde satu. Formulasi kebijakan dilakukan secara analisis deskriptif berdasarkan nilai yang diperoleh dari analisis pemetaan status. Gambar 24. Tahapan Analisis Proses Adopsi Teknologi 87

115 Agregasi tahap 1 dilakukan untuk mendapatkan nilai indikator kinerja yang diharapkan (performance expectancy), hasil yang diharapkan (effort expectancy), persepsi terhadap dukungan pendanaan, persepsi terhadap dukungan teknologi, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas. Agregasi tahap 1 merupakan rerataan nilai pada seluruh teknologi pada setiap indikator. Agregasi tahap 2 dilakukan untuk mendapatkan nilai Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) dan Dukungan Fasilitas (support facilities). Agregasi tingkat 3 dilakukan untuk mendapatkan nilai Perilaku Penggunaan (usage behavior). Pada agregasi tahap 2 digunakan 125 aturan, sedangkan pada tahap 3 digunakan 25 aturan. Output yang dihasilkan dari kajian ini adalah nilai pendugaan tingkat proses adopsi teknologi secara keseluruhan. Selain itu juga diketahui nilai pendugaan untuk setiap indikator yang dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis lanjutan bagi formulasi kebijakan. Perilaku penggunaan (usage behavior) didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang akan menggunakan teknologi secara berkelanjutan karena kegunaan teknologi dan adanya dukungan dalam proses penggunaannya. Sub model Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) menggunakan indikator tambahan keuntungan untuk menduga nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy), indikator efisiensi untuk menduga nilai hasil yang diharapkan (effort expectancy) dan indikator peran kelompok tani untuk menduga pengaruh sosial (social influence). Penilaian dilakukan terhadap kinerja yang diharapkan (performance expectancy) dan usaha yang diharapkan (effort expectancy) dilakukan secara terpisah terhadap setiap komponen teknologi yang digunakan pada tahap pengolahan. Kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya bahwa teknologi dapat dipahami, digunakan dan memberi manfaat. Sub model dukungan fasilitas (support facilities) menggunakan indikator yang terdiri dari persepsi terhadap dukungan pendanaan, persepsi terhadap dukungan teknologi, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas. Ketiga komponen tersebut dianalisis secara terpisah terhadap setiap teknologi yang digunakan pada tahap pengolahan. Dukungan Fasilitas (support facilities) 88

116 didefinisikan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya akan mendapat dukungan dalam proses penggunaan teknologi. Nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy) bernilai SEDANG, indikator efisiensi untuk menduga nilai usaha yang diharapkan (effort expectancy) bernilai TINGGI, dan indikator peran kelompok tani untuk menduga pengaruh sosial (social influence) bernilai TINGGI. Secara terperinci, nilai tersebut tertera pada Tabel 14 dan 15. Tabel 14. Nilai Kecenderungan untuk Menggunakan (Intention to Use) Jenis Teknologi Kinerja yang Usaha yang Pengaruh sosial diharapkan diharapakan Mesin Perontok Mesin Pengupas Bak Perendam 1 27 Mesin Pengering 2 30 Mesin Sortasi 6 26 Rata-rata 16,4 26,6 26,0 Status Sedang Tinggi Tinggi Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) berdasarkan aturan no 69 yaitu: If kinerja yang diharapkan (performance expectancy) is Sedang, and usaha yang diharapkan (effort expectancy) is Tinggi, and pengaruh sosial (social influence) is Tinggi, then kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) is Tinggi. Tabel 15. Nilai Dukungan Fasilitas (Support Facilities) Jenis Teknologi Dukungan Pendanaan Dukungan Mesin Dukungan Peningkatan Kapasitas Mesin Perontok Mesin Pengupas Bak Perendam Mesin Pengering Mesin Sortasi Rata-rata 1,8 2,2 2,2 Status Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Dari sisi Dukungan Fasilitasi, diketahui bahwa Persepsi terhadap dukungan pendanaan bernilai Sangat Rendah, persepsi terhadap dukungan teknologi bernilai Sangat Rendah, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan 89

117 kapasitas bernilai Sangat Rendah. Dengan demikian, dukungan fasilitas (support facilities) menggunakan aturan no 1 yaitu: If persepsi terhadap Dukungan Pendanaan is Sangat Rendah, and persepsi terhadap Dukungan Mesin is Tinggi, and persepsi terhadap Dukungan Peningkatan Kapasitas is Sangat Rendah, then Dukungan Fasilitas is Sangat Rendah Berdasarkan nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy), nilai usaha yang diharapkan (effort expectancy) dan pengaruh sosial (social influence), diketahui bahwa kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) teknologi pengolahan secara mekanis di Kepulauan Bangka memberikan nilai yang tinggi. Pada sisi yang lain, perilaku penggunaan (usage behavior) sebagai suatu ukuran kesediaan seseorang untuk menggunakan teknologi tersebut dalam perilaku operasional produksi, masih rendah. Hal ini disebabkan karena rendahnya dukungan fasilitas dalam proses adopsi. Peningkatan peluang keberhasilan adopsi teknologi agroindustri lada putih di Kepulauan Bangka memerlukan dukungan fasilitas dalam bentuk fasilitas pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas SDM. Fasilitas pendanaan memungkinkan terjadinya investasi individu maupun kolektif. Investasi ini merupakan kunci bagi pengembangan komoditas untuk lebih berdayasaing dengan pemadu-serasian sumber-sumber pembiayaan dari dana masyarakat pada perbankan dengan dana pemerintah. Fasilitas teknologi selain ditujukan bagi penyediaan teknologi dalam bentuk mesin, peralatan, dan proses, juga dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki infrastuktur teknologi. Melalui fasilitas ini diharapkan akan tersedia teknologi yang dibutuhkan dan dapat diakses dengan mudah. Teknologi diharapkan dapat memperbaiki kinerja produk yang dihasilkan dan kinerja proses produksi. Fasilitas peningkatan kapasitas dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, dan kreativitas SDM dalam mengelola sumberdaya dan memanfaatkan teknologi. Peningkatan kapasitas mencakup bidang teknis, manajerial, kewirausahaan, dan kelembagaan. Melalui penyediaan fasilitas ini maka diharapkan akan terbentuk pelaku usaha yang memiliki orientasi kepada pemenuhan kebutuhan konsumen dan memahami dinamika pasar. 90

118 4.6 Pembiayaan Investasi Agroindustri Lada Pengembangan komoditas lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dipengaruhi oleh kegiatan investasi di dalamnya. Investasi pada usahatani lada putih relatif besar. Hal ini dipengaruhi oleh pola pembukaan lahan bagi penanaman lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pola tersebut adalah sebagai berikut: pembukaan lahan kemudian penanaman padi, setelah panen padi dilanjutkan dengan penanaman lada, setelah itu dilanjutkan dengan penanaman karet pada sela-sela tanaman lada. Sepanjang masa produktif tanaman lada, tanaman karet besar, sehingga setelahnya menjadi kebun karet. Setelah itu penanaman lada dilakukan di lahan lain dengan pola yang sama. Secara agregat hal ini menjadi salah satu penyebab pertumbuhan luas areal karet yang terus meningkat dan luas areal lada yang cenderung tetap atau menurun, sementara penanaman kelapa sawit selama periode cenderung tetap. Permintaan petani lada terhadap kredit pertanian terus mengalami peningkatan sejalan dengan adanya kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran petani, serta keterbatasan modal dan tabungan bagi pendanaan inovasi teknologi. Petani sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit, yang sulit untuk dijadikan agunan. Hal ini mengakibatkan rendahnya penumpukan modal untuk investasi pada teknologi baru. Sumber pembiayaan masyarakat perdesaan terdiri dari lembaga formal dan non formal. Lembaga pembiayan formal antara lain Bank, BPR, Koperasi, Pegadaian, Bank Kredit/Desa, selain itu juga terdapat pinjaman atau bantuan dari lembaga formal dalam bentuk CSR dan bantuan pemerintah. Lembaga pembiayan non formal antara lain kios saprotan, pedagang, pelepas uang, atau keluarga. Sumber pembiayaan seluruh responden adalah modal sendiri. Pinjaman dilakukan pada saat-saat tertentu. Pinjaman tersebut merupakan pinjaman jangka pendek berkisar antara 3-12 bulan dan ditujukan bagi penggunaan pengeluaran operasional. Petani tidak pernah menggunakan pinjaman jangka menengah yang berkisar antara 1-10 tahun yang biasanya digunakan untuk mendanai pembelian aset seperti mesin, peralatan, pembibitan, dan perbaikan. Petani juga tidak pernah 91

119 menggunakan pinjaman jangka panjang yang biasanya digunakan untuk pembangunan tanah dan bangunan yang biasanya diamortisasi lebih dari 10 tahun. Petani lada tidak dapat menjangkau lembaga pembiayaan formal, sehingga pemenuhan kebutuhan layanan jasa keuangan untuk pelaku usaha diisi oleh lembaga pembiayaan non formal seperti pedagang sarana produksi, pedagang output, pelepas uang, tetangga, dan sebagainya. Sistem perkreditan non formal ini beroperasi secara personal dan membentuk hubungan saling percaya. Penilaian persepsi responden terhadap akses terhadap lembaga keuangan formal dan non formal ditunjukkan pada Tabel 16 dan 17. Tabel 16. Persepsi terhadap Aksesibilitas Sumber Pembiayaan Formal (dalam %) Persespsi terhadap Aksesibilitas Bank BPR Koperasi Nama Lembaga Pegadaian Bank Kredit/ CSR Bantuan Pemerintah Desa Sangat sulit 66,67 64,29 45,24 40,48 40,48 59,52 42,86 Sulit 33,33 35,71 45,24 42,86 54,76 38,10 47,62 Sedang 0 0 9,52 16,67 4,76 2,38 9,52 Mudah Sangat mudah Tabel 17. Persepsi terhadap Aksesibilitas Sumber Pembiayaan Non Formal (dalam %) Persespsi terhadap Nama Lembaga Aksesibilitas Kios Saprotan Pedagang Pelepas Uang Keluarga Sangat sulit 61,90 57,14 61,90 2,38 Sulit 35,71 40,48 38,10 14,29 Sedang 0 2, ,10 Mudah ,48 Sangat mudah ,76 Akses kredit tergantung dari kemampuan peminjam dalam memberikan agunan yang bersifat permanen seperti gedung dan tanah yang dapat diterima bank. Apabila seorang petani tidak memiliki akses untuk memperoleh kredit secara formal, maka petani tersebut mencari pinjaman secara informal. Sebagian besar responden menyatakan bahwa akses terhadap lembaga keuangan formal sangat sulit dan sulit. Tidak ada responden yang beranggapan mudah atau sangat mudah. Hanya akses terhadap sumber keluarga yang dianggap mudah. Selama ini kesulitan pendanaan bagi usahatani lada biasanya diselesaikan dengan peminjaman dana dari keluarga dalam waktu satu tahun. 92

120 Kementerian Pertanian dan dinas teknis atau badan lingkup pertanian di daerah mempunyai peran strategis dalam proses penyaluran pembiayaan. Peran tersebut antara lain: mengidentifikasi petani yang layak usahanya untuk dibiayai tetapi belum sesuai ketentuan perbankan belum bankable, melakukan upaya intermediasi akses kredit atau pembiayaan, membantu mencarikan off taker atau penjamin pasar, mengembangkan pola kerjasama kemitraan, serta melakukan pembinaan dan pendampingan, serta bimbingan dan pengawasan. Sebuah pertanyaan mendasar adalah berbasis terhadap apakah Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian dan dinas teknis/badan lingkup Pertanian di tingkat propinsi dan kabupaten/kota dalam melakukan fungsi pembinaan dan pendampingan, dan bimbingan terhadap penerima pinjaman. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah manajemen risiko investasi yang didalamnya tercakup analisis terhadap kegiatan investasi dan manajemen risiko. Melalui pendekatan ini diharapkan akan diketahui struktur dan perilaku risiko dalam sistem komoditas, pengelolaan risiko, serta dukungan fasilitas yang dapat diberikan pemerintah. 4.7 Persepsi terhadap Risiko Pengusahaan lada merupakan sumber pendapatan utama bagi para pelaku yang teribat di dalamnya. Tingkat pengembalian yang relatif besar, mendorong pelaku untuk terus mengusahakannya. Pengusahaan lada dinilai sangat menguntungkan oleh sebanyak 18 responden atau 42,86%, dan dinilai menguntungkan oleh sebanyak 11 responden atau 26,19% (Gambar 25). Responden yang menyatakan sangat menguntungkan dan menguntungkan didasarkan kepada fakta yang dirasakan bahwa pengusahaan lada dapat menjadi sumber pendapatan yang mampu menjadi sumber utama perekonomian keluarga. Berbagai pengeluaran yang bersifat investasi dan strategis dimungkinkan dibiayai dari pendapatan yang diperoleh dari pengusahaan lada. Responden yang menyatakan kurang menguntungkan dinyatakan oleh sebanyak 11 responden atau 26,19%. Hal ini didasarkan kepada adanya berbagai permasalahan yang mengganggu pencapaian produksi. Beberapa permasalahan yang mempengaruhi hal tersebut adalah: fluktuasi harga pada kisaran yang besar, 93

121 menurunnya daya dukung lahan, serta tingginya serangan hama dan penyakit, sehingga pada saat-saat tertentu besarnya penerimaan tidak dapat menutupi besarnya biaya produksi yang dikeluarkan. Gambar 25. Persepsi Terhadap Tingkat Keuntungan pada Pengusahaan Lada Kegiatan investasi akan memberikan derajat ketidakpastian yang berbeda- beda. Rendahnya penyaluran kredit pada bidang pertanian diduga karena tingginya tingkat risiko pada usaha pertanian. Hal ini sejalan dengan persepsi petani terhadap pengusahaan lada, dimana sebanyak 23 responden atau 54,76% menyatakan bahwa risiko budidaya lada sangat tinggi, sebanyak 9 responden atau 21,43% menyatakan tinggi, dan sebanyak 10 responden atau 23,81% menyatakan sedang. Responden yang menyatakan risiko rendah atau tanpa risiko tidak ada (Gambar 26). Gambar 26. Persepsi terhadap Tingkat Risiko pada Pengusahaan Lada 94

122 Tingginya risiko budidaya terkait dengan sifat tanaman lada yang merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu, sukulen, dan merambat, sehingga sangat mudah terserang hama dan penyakit, terutama infeksi jamur, bakteri, serangga, dan nematoda. Apabila terjadi serangan hama atau penyakit, secara teknis penyulaman tidak dimungkinkan akan mengejar produksi. Oleh karena itu produktivitas lada ditinjau dari produktivitas per pohon maupun produktivitas per luasan akan menurun. Pada sisi yang lain, pada saat harga turun, pemeliharaan kebun lada cenderung minimum. Peningkatan harga menyebabkan ketidakseimbangan antara biaya pemeliharaan tanaman dan hasil yang diperoleh, sehingga petani tidak menerapkan seluruh teknologi anjuran dalam kegiatan budidaya. Kondisi ini mengakibatkan sebagian besar kebun rusak dan produktivitas menurun. Selain itu, pendapatan yang menurun, menyebabkan banyak petani beralih ke komoditas lain atau beralih profesi menjadi penambang timah. Tingginya risiko budidaya dan fluktuasi harga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja agroindustri dan pemasaran sistem komoditas lada. Pada sistem pengembangan komoditas lada saat ini, kegiatan agroindustri dan pemasaran merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan mutu yang telah dibentuk pada tahap budidaya. Oleh karena itu, kemunduran kinerja pada tahap budidaya akan menyebabkan stagnasi kinerja pada kegiatan agroindustri dan pemasaran. 95

123 96

124 5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI 5.1 Pemodelan Sistem Pelaku utama dalam agroindustri lada putih adalah petani, pengolah, pedagang dan eksportir, pemerintah pusat, pemerintah daerah, asosiasi, lembaga keuangan, serta lembaga penelitian. Kebutuhan pelaku tertera pada Tabel 18. Tabel 18. Analisa Kebutuhan No Pelaku Aspek Kebutuhan 1 Petani Bahan Baku Ketersediaan sarana produksi pertanian Ketersediaan benih unggul Teknologi Ketersediaan teknologi budidaya Pelatihan dan Pendampingan Pemasaran Informasi harga Respon harga terhadap peningkatan mutu produk Infrastruktur Kondisi jaringan jalan usahatani Kebijakan Kebijakan adopsi dan diseminasi teknologi Pendanaan Suku bunga yang rendah Skim pendanaan yang sesuai Pinjaman Kelembagaan Peningkatan peran institusi ekonomi 2 Agroindustri Bahan Baku Bahan baku sesuai standar Teknologi Ketersediaan alat perontok, alat pengupas, alat pengering, dan alat sortasi lada Pelatihan dan pendampingan Pemasaran Pemasaran yang terintegrasi Informasi harga Respon harga terhadap peningkatan mutu produk Infrastruktur Kondisi jaringan jalan usahatani Infrastruktur energi Kebijakan Iklim usaha Kebijakan peningkatan investasi Kebijakan pengembangan jaringan usaha Kebijakan pemberdayaan UKM Pendanaan Suku bunga yang rendah Skim pendanaan yang sesuai Pinjaman Kelembagaan Peningkatan peran institusi ekonomi di daerah 3 Pedagang dan Produk Mutu produk yang sesuai persyaratan Eksportir Pemasaran Informasi harga Kebijakan Iklim usaha Kebijakan peningkatan investasi Kebijakan pengembangan jaringan usaha Pendanaan Suku bunga yang rendah Pinjaman 4 Pemerintah Klaster Komoditas Model pengembangan rantai nilai Pendanaan Model pendanaan 5 Asosiasi Kelembagaan Dukungan penguatan kelembagaan Kebijakan Kebijakan pengembangan jaringan usaha 6 Lembaga keuangan Pendanaan Kebutuhan pendanaan Dukungan penjaminan pemerintah daerah Informasi kelayakan investasi agroindustri Informasi dan perilaku risiko investasi agroindustri 7 Lembaga Penelitian Teknologi Informasi model proses adopsi teknologi 97

125 Agroindustri memiliki kebutuhan dalam proses pengadaan aset pencipta daya saing yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya teknologi, sumberdaya finansial, dan sumberdaya informasi. Pedagang dan eksportir memiliki kebutuhan pendanaan dan dukungan kebijakan yang berfungsi dalam mengatur dan mendukung proses pengembangan agroindustri. Pemerintah memiliki kebutuhan dalam bentuk ketersediaan data dan informasi tentang model pengembangan agroindustri lada. Melalui hal ini, pemerintah dapat menetapkan kebijakan dan menyediakan dukungan fasilitas yang sesuai. Bagi lembaga keuangan, dukungan akan diberikan dalam bentuk pendanaan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi kelayakan investasi, serta jenis dan perilaku risiko. Bagi lembaga penelitian, dukungan bagi pengembangan agroindustri lada akan diberikan dalam bentuk penyediaan dan diseminasi teknologi yang sesuai kebutuhan. Pengembangan agroindustri diharapkan dapat meningkatkan pencapaian mutu, pangsa pasar, keuntungan, dan keberlanjutan. Dalam proses pencapaian tersebut, pelaku dihadapkan pada keterbatasan kepemilikan asset, yaitu teknologi, pengetahuan dan ketrampilan, informasi pasar, infrastruktur perekonomian perdesaan, dan modal, yang dibutuhkan bagi penciptaan daya saing. Sebagai akibatnya proses peningkatan mutu, proses pencapaian efisiensi biaya, dan proses peningkatan keberlanjutan, tidak berjalan optimal. Oleh karena itu diperlukan investasi yang memungkinkan pelaku untuk melakukan pengembangan agroindustri. Membangun kemandirian untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat lokal, bagi setiap kabupaten/kota khususnya dan propinsi merupakan keharusan dan tuntutan semua elemen dalam melaksanakan semangat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu cara mencapainya dapat melalui pengembangan ekonomi berbasis komoditas unggulan sebagai suatu instrumen kebijakan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah yang pada akhirnya berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lada putih sebagai komoditas unggulan daerah diharapkan dapat berperan sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pembangunan ekonomi daerah. 98

126 Akar permasalahan utama rendahnya kinerja agroindustri adalah keterbatasan sumberdaya finansial. Agroindustri pada sebagian besar komoditas didominasi UKM. Isu dominan yang muncul dalam pembiayaan UKM antara lain unit usaha dianggap tidak layak secara bisnis, kurang informasi, tidak memiliki agunan, agunan yang ada tidak mencukupi, serta berbagai permasalahan legalitas. Pada kegiatan agroindustri sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang berbasis pertanian, hal ini diperburuk oleh tingginya risiko yang dihadapi dalam proses produksi. Berbagai upaya untuk menumbuhkembangkan agroindustri terlihat dari komitmen pemerintah melalui peningkatan peran perbankan dalam kegiatan investasi dan pembiayaan. Pada penerapannya hal ini masih terkendala pada permasalahan usaha yang umumnya masih masuk dalam kategori belum bankable, terutama dikaitkan dengan ketentuan prudential banking yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Investasi merupakan langkah strategis dalam proses pengembangan agroindustri lada putih. Melalui kegiatan investasi dimungkinkan tersedianya aset daya saing dan penerapan proses penciptaan daya saing. Kedua hal ini akan menentukan pengembangan agroindustri dalam proses pencapaian pencapaian mutu dan mutu produk yang optimal. Mengingat lada merupakan komoditas ekspor, maka pencapaian kuantitas dan mutu ini akan menentukan juga pasar pangsa lada di pasar dunia. Pencapaian kinerja ini memberikan keuntungan yang signifikan yang dapat digunakan sebagai sumber pendanaan bagi kegiatan investasi selanjutnya. Keputusan dalam kegiatan investasi dipengaruhi oleh risiko yang melekat pada kegiatan tersebut. Hal ini menyebabkan diperlukan adanya pengelolaan risiko yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pengelolaan risiko memungkinkan sumberdaya dapat tersedia secara memadai, proses produksi pada sistem agroindustri berjalan dengan baik, serta produk yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Melalui pengelolaan risiko dan penyediaan aset penciptaan daya saing, maka diharapkan akan terjadi pencapaian kuantitas dan mutu produk yang optimal. Diagram lingkar sebab akibat dari berbagai fenomena yang terjadi pada sistem agroindutri tersebut tertera pada Gambar

127 Gambar 27. Diagram Lingkar Sebab Akibat Diagram input output pada sistem manajemen risiko investasi agroindustri disajikan pada Gambar 28. Sistem manajemen risiko pada investasi agroindustri lada memungkinkan terjadinya pemanfaatan input terkendali untuk mencapai tujuan terjadinya investasi. Melalui kegiatan investasi ini maka diharapkan akan tercapai peningkatan kuantitas dan mutu produk yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing. Melalui sistem manajemen risiko pada investasi agroindustri diharapkan akan mampu menjalankan transformasi input menjadi output yang diharapkan. Sistem yang berjalan dengan baik diharapkan akan meningkatkan daya tarik investasi, terhindarnya penahanan produk pada pasar dunia, dan pencapaian efisiensi yang dinyatakan dalam bentuk biaya. 100

128 Gambar 28. Diagram Input Output 5.2 Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST, terdiri dari empat subsistem yaitu; subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model, subsistem pengolahan terpusat, dan subsistem manajemen dialog (Gambar 29). Uraian deskripsi, kebutuhan hardware dan software, prosedur instalasi, struktur program, serta prosedur pengoperasian tertera pada Lampiran 5. SPK ini merupakan SPK dengan tipe model driven yang memungkinkan dilakukan analisis dan simulasi. SPK ini menggunakan data input dan data hasil analisis yang disediakan oleh pembuat keputusan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menganalisis. Terdapat sebelas jenis dataa yaitu: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaann risiko, 101

129 bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah. Gambar 29. Kerangka Sistem Penunjang Keputusan Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Subsistem manajemen basis data, melalui subsistem pengolahan terpusat, terkoneksi dengan model perhitungan yang digunakan di dalam SPK ini. Sumber data untuk permodelan ini berasal dari sub-sistem manajemen basis data, dimana hasil dari perhitungan pemodelan akan disimpan kembali ke sub-sistem ini. Basis model berisi model kuantitatif yang berfungsi untuk mengelola model agar dapat digunakan untuk melakukan analisis dan perhitungan komputatif pada proses pengambilan keputusan. Pengelolaan meliputi aktivitas untuk menyimpan, menghubungkan dan mengakses model. Subsistem manajemen basis model terdiri dari delapan jenis model yaitu: Pembobotan Pakar, 102

130 Pembobotan Komponen Risiko, Penilaian Risiko, Agregasi Nilai Risiko, Analisis Kapasitas Pengelolaan Risiko, Analisis Instrumen Pengeloaan Risiko, Analisis Finansial, dan Simulasi Kelayakan Investasi. Sistem pengolahan terpusat adalah koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh dan berfungsi menjaga keterkaitan antar sistem yang ada. Sistem ini menerima masukan basis data, basis model dan manajemen dialog dalam bentuk baku serta menghasilkan keluaran sistem yang dikehendaki. Sistem manajemen dialog adalah bagian sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung dengan pengguna. Sistem ini berfungsi menerima masukan dan memberi keluaran yang dikehendaki oleh pengguna. Pengguna SPK, yaitu pelaku sistem komoditas lada, investor, dan pemerintah, dapat menggunakan SPK melalui media berupa grafik atau interface pengguna konvensional melalui sub sistem manajemen dialog. Pelaku pada sistem komoditas lada, investor, dan pemerintah merupakan pengguna SPK. Bagi investor, SPK dapat memberikan gambaran mengenai kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi. Bagi pelaku pada sistem komoditas lada, SPK dapat memberikan gambaran nilai risiko dan pengelolaan risiko terpadu. Bagi pemerintah, SPK dapat memberikan panduan dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko sebagai bentuk dukungan fasilitas dari pemerintah dan stakeholder lain. 5.3 Identifikasi Risiko Keberhasilan pengembangan agroindustri berbasis alat dan mesin pertanian dipengaruhi oleh aspek kelembagaan pasca panen, aspek teknis, aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek ergonomis (Ditjen PPHP 2007). Pada aspek agroindustri, fokus analisis risiko adalah perihal yang berkaitan dengan aspek teknis, sedangkan aspek kelembagaan dianalisis pada bagian terpisah. Identifikasi risiko pada agroindustri lada dilakukan dengan menganalisis risiko berdasarkan sumbernya. Risiko tersebut terdiri dari risiko akibat kegagalan perangkat keras (hardware failure), kegagalan perangkat lunak (software failure), kegagalan kelembagaan (organizational failure), dan kegagalan sumberdaya manusia (human failure) (Haimes 2009) dalam kaitannya dengan pencapaian 103

131 parameter mutu yang terdapat pada SNI , ISO 959-2, dan Standar Mutu IPC. Berdasarkan sifat produk yang dihasilkan, risiko pada agroindustri lada dipengaruhi oleh risiko yang terjadi pada rantai sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya transmisi risiko pada rantai nilai komoditas lada. Oleh karena itu diperhitungkan risiko pada aspek budidaya dan pemasaran. Identifikasi pada aspek lain dilakukan dengan menggunakan risiko pada konsep pertanian (Miller et al. 2004), agribisnis (Angelucci dan Conforti 2010), atau rantai pasok (Kim et al. 2004). Terdapat enam jenis risiko merupakan penambahan jenis risiko berdasarkan sifat spesifik dari sistem komoditas yang menjadi obyek kajian. Risiko tersebut yaitu risiko lokasi lahan dan risiko daya dukung lingkungan pada aspek budidaya, risiko Indikasii Geografis, risiko subtitusi produk, dan risiko persaingan pada aspek pemasaran, serta risiko ketergantungan antar pelaku pada aspek kelembagaan. Identifikasi risiko dapat dilihat dari bagaimana struktur dan dinamika rantai nilai pada suatu komoditas. Hal ini didasarkan kepada kondisi dimana kinerja rantai nilai sistem komoditas dipengaruhi struktur dan dinamika rantai nilai. Risiko sistem komoditas lada terdiri dari risiko pada aspek agroindustri, budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial (Gambar 30). 104 Gambar 30. Taksonomi Risiko Investasi Agroindustri Lada

132 Risiko pada aspek agroindustri adalah tidak tercapainya standar mutu lada putih. Standar mutu tersebut antara lain dinyatakan dengan: warna, kadar air, kerapatan massa, lada berjamur, lada enteng, lada berjamur, escherichia coli, serta salmonella, lada terserang serangga, kotoran mamalia, kandungan lada hitam, lada enteng, dan kandungan bahan asing. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada agroindustri tertera pada Tabel 19. Tabel 19. Risiko pada Aspek Agroindustri Nama Risiko Bentuk Kegagalan (Failure Mode) 1. Lada tercampur Mesin perontok: alat pemisah tidak bekerja dengan baik 2. Lada keabu-abuan Metode perendaman: lama perendaman tidak sesuai dengan kekerasan kulit buah 3. Kontaminasi Air: air yang digunakan dalam perendaman perendaman tidak bersih dan tanpa penggantian air 4. Lada pecah Mesin pengupas: ukuran alat pemisah tidak sesuai dengan ukuran lada 5. Kontaminasi pencucian Air: air yang digunakan untuk pencucian tidak bersih dan tidak mengalir 6. Kadar air Alat Pengering Bak: pemanas tidak bekerja optimal Metode pengeringan: pengeringan tidak dilakukan dalam beberapa tahap Pengendalian suhu: suhu melebihi 60 o C. 7. Serangga ditemukan Metode Penjemuran: penjemuran pada ruang terbuka tanpa rak penjemuran 8. Kotoran Metode Penjemuran: penjemuran pada ruang terbuka tanpa rak penjemuran 9. Jamur Metode Pengeringan: Kadar air setelah pengeringan masih tinggi Ruang penyimpanan: ruang penyimpanan tidak disertai dengan ventilasi yang baik 10. Aroma Metode Penyulingan: tidak sesuai prosedur. 11. Kadar atsiri Alat suling: alat suling tidak dapat mengekstrak dengan optimal Metode Penyulingan: tidak sesuai prosedur. Dampak Kegagalan (Failure Effect) Buah lada tercampur dengan tangkai lada Lada berwarna Keabu-Abuan Kontaminasi buah lada dengan e coli atau salmonella Penurunan Aroma Lada Lada Pecah Kontaminasi buah lada dengan e coli atau salmonella Kadar air lebih tinggi dari yang dipersyaratkan Serangga ditemukan Kotoran ditemukan Biji lada terkena serangan jamur Aroma lada berkurang Kadar Atsiri rendah 105

133 Risiko yang terjadi pada setiap tahapan pengolahan adalah: (1) tahap perontokan: lada tercampur, (2) tahap perendaman: lada keabu-abuan, kontaminasi, (3) tahap pengupasan: lada pecah, (4) tahap pengeringan (pengeringan bak dan penjemuran): kadar air, serangga ditemukan, dan kotoran, jamur, (5) tahap sortasi: lada tercampur, serta (6) penyulingan: penurunan aroma, penurunan kadar atsiri. Penurunan aroma juga terjadi sebagai akibat dari pencemaran yang terjadi pada tahap perendaman. Risiko yang terjadi pada aspek budidaya yaitu: hama penggerek batang, hama penghisap buah, hama penghisap bunga, penyakit busuk pangkal batang, penyakit kuning, dan penyakit kerdil atau keriting. Selain itu juga terdapat risiko cuaca, lokasi lahan, dan lingkungan. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek budidaya tertera pada Tabel 20. Tabel 20. Risiko pada Aspek Budidaya Nama Risiko 12. Hama Penggerek Batang 13. Hama Penghisap Buah 14. Hama Penghisap Bunga 15. Penyakit Busuk Pangkal Batang 106 Deskripsi Efek Transmisi Efek Larva hama penggerek batang merusak cabang dan batang. serangga dewasa menyerang bagian tanaman seperti pucuk, bunga, dan buah. Penghisap buah pada stadia nimfa maupun serangga dewasa menghisap cairan buah. Penghisap bunga pada stadia nimfa maupun dewasa dapat merusak bunga dan tandan bunga. Penyakit busuk pangkal batang disebabkan oleh serangan jamur phytopthora capsici yang dapat menyerang seluruh Serangan penggerek batang menurunkan mutu dan kuantitas produksi Pada tingkat serangan berat, dapat menyebabkan kematian tanaman. Bila menyerang buah muda menyebabkan tandan buah banyak kosong, sedangkan bila menyerang buah tua menyebabkan buah menjadi hampa, kering, dan gugur. Serangan ringan menyebabkan tandan rusak, salah bentuk, dan buah hanya sedikit. Serangan berat menyebabkan seluruh bunga rusak, tangkai hitam, dan gugur sebelum waktunya. Penyakit busuk pangkal batang dapat menyebabkan kematian tanaman dalam waktu singkat. Serangan jamur Serangan HPT dapat menyebabkan penurunan produktivitas yang secara spesifik akan menurunkan kuantitas buah lada. Hal ini menyebabkan penurunan ketersediaan buah lada yang akan diolah. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya idle capacity yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan tingkat penerimaan. Serangan HPT juga dapat menurunkan mutu buah lada. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan kerusakan biji lada selama pengolahan sehingga menurunkan penerimaan.

134 Tabel 20 (Lanjutan) Nama Risiko 16. Penyakit Kuning 17. Penyakit Kerdil/ Keriting Deskripsi Efek Transmisi Efek bagian tanaman. Serangan yang paling membahayakan apabila terjadi pada pangkal batang atau akar. Gejala serangan dini sulit diketahui. Gejala yang tampak seperti kelayuan tanaman menunjukkan serangan telah lanjut. Penyakit Kuning disebabkan oleh tidak terpenuhinya berbagai persyaratan agronomis serta serangan cacing halus (Nematoda). Penyakit ini menyerang akar tanaman lada, ditandai menguningnya daun lada, akar rambut mati, membusuk dan berwarna hitam. Penyakit kerdil/keriting tidak mematikan tanaman tetapi menghambat pertumbuhan tanaman, sehingga menjadi kerdil dan menurunkan produktivitas. 18. Cuaca Pertanaman lada membutuhkan iklim dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun, Kelembaban udara 70-90%, dengan suhu maksimum 34 0 C dan suhu minimum 20 0 C. 19. Lokasi lahan 20. Daya Dukung Lingkun gan Lokasi lahan terpencar Jarak Lokasi lahan berjauhan Peraturan pemerintah daerah tentang pembukaan tambang inkonvensional telah menyebabkan perluasan timah rakyat yang sangat cepat. sangat mudah menyebar. Luka akibat serangan nematode akan memudahkan terjadinya infeksi jamu F. oxysporum. Selain itu dapat menyebabkan tanaman peka terhadap kekeringan dan kekurangan unsur hara. Tanaman yang terserang ringan tetap dapat berproduksi tetapi tandan buahnya menjadi pendek, tandan buah tidak penuh, dan ukuran buah lebih kecil. Pada tanaman yang terserang berat, tanaman menjadi sangat kerdil dan tidak berbuah. Curah hujan yang tinggi saat musim pembungaan menyebabkan tanaman lada gagal berbuah. Kendala teknis operasional Daya dukung lingkungan yang rendah menyebabkan penurunan produktivitas tanaman Ketersediaan buah lada Biaya trasportasi dan waktu pengumpulan buah lada akan menyebabkan peningkatan biaya pengolahan Perubahan lingkungan makro akan menyebabkan penurunan produktivitas sehingga menurunkan ketersediaan buah lada yang akan diolah 107

135 Risiko risiko cuaca, lokasi lahan, dan lingkungan merupakan risiko yang secara spesifik terjadi pada pengembangan komoditas lada di Kepulauan Bangka Belitung. Perubahan cuaca yang terjadi memberikan pengaruh yang signifikan pada proses pembuahan dan penjemuran lada. Selain itu lokasi kebun lada terpencar dengan jarak lokasi kebun yang berjauhan. Ditinjau dari sisi perkembangan kebijakan wilayah, peraturan pemerintah daerah tentang pembukaan tambang inkonvensional telah menyebabkan perluasan timah rakyat yang sangat cepat yang kemudian berpengaruh terhadap pengembangan areal lada. Hama penggerek batang (Lophobarispiperis) merupakan hama yang paling merugikan. Larvanya menggerek batang dan cabang, yang pada serangan berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Serangga dewasa menyerang pucuk, bunga, dan buah sehingga dapat menurunkan produksi dan mutu buah. Hama penghisap bunga (Diconocoris hewetti) pada stadia nimfa maupun dewasa dapat merusak bunga dan tandan bunga. Serangan ringan menyebabkan tandan rusak, salah bentuk, dan buah sedikit, sedangkan serangan berat menyebabkan seluruh bunga akan rusak, tangkai bunga menjadi hitam dan akhirnya bunga gugur sebelum waktunya. Hama ini juga memakan buah muda. Hama penghisap buah (Dasynus piperis) pada stadium nimfa maupun dewasa menghisap cairan buah. Serangan pada buah muda menyebabkan tandan buah banyak yang kosong, sedangkan pada buah tua mengakibatkan buah hampa, kering, dan gugur (IPC 2010; BBPTP 2008; Balittro 2005). Penyakit busuk pangkal batang, yang disebabkan oleh jamur Phytophthora capsici, merupakan penyakit yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan kematian tanaman dalam waktu singkat. Jamur P.capsici dapat menyerang seluruh bagian tanaman lada, namun serangan yang paling membahayakan yaitu pada pangkal batang atau akar. Gejala serangan dini sulit diketahui, sedangkan gejala serangan lanjut berupa tanaman layu. Bila dalam kebun terdapat tanaman yang sakit, dalam 1-2 bulan kemudian penyakit akan menyebar ke tanaman di sekitarnya. Penyakit akan lebih cepat menyebar pada musim hujan, terutama pada pertanaman lada yang disiang bersih. Penyakit kuning banyak dijumpai di Bangka dan Kalimantan. Penyebabnya sangat kompleks, yaitu nematoda 108

136 Radopholus similis dan Meloidogyne incognita, jamur Fusarium oxysporum, serta kesuburan dan kelembapan tanah rendah. Serangan nematoda R. similis dan M. incognita berlangsung secara bersamaan. Luka akibat serangan nematoda akan memudahkan infeksi jamur F. oxysporum, serta menyebabkan tanaman peka terhadap kekeringan dan kekurangan unsur hara. Gejalanya penyakit kuning yaitu daun menjadi kuning, kaku tergantung tegak lurus, serta daun sangat rapuh sehingga mudah gugur. Secara bertahap, cabang akan gugur dan akhirnya tanaman gundul. Pada bagian akar, sebagian akar rambut rusak akibat serangan R. similis dan terdapat bintil-bintil akar akibat serangan M. incognita. Penyakit kerdil atau keriting disebabkan oleh virus seperti pepper yellow mottle virus (PYMV) dan cucumber mosaic virus (CMV). Penyakit ini tidak mematikan tanaman, tetapi menghambat pertumbuhan sehingga tanaman kerdil dan produksi menurun. Penyakit kerdil ditandai dengan munculnya daun-daun muda yang abnormal, berukuran lebih kecil, sering kali bergelombang atau belang. Pada serangan berat, pertumbuhan ruas memendek sehingga tanaman kerdil. Sering pula pertumbuhan cabang menjadi berlebihan dengan daun kecil atau tidak berdaun. Tanaman yang terserang ringan tetap dapat berproduksi, tetapi tandan buah menjadi pendek dan tidak penuh. Ukuran buah lebih kecil dari buah normal. Bila terserang berat, tanaman menjadi sangat kerdil dan tidak berbuah. Tanaman yang telah menunjukkan gejala penyakit ini, walaupun masih dalam stadium ringan, tidak dapat menjadi sumber bibit. Selain oleh serangga vektor (Aphis sp., Planococcus citri, dan Ferrisia sp.), penyakit juga dapat menyebar melalui alat pertanian (IPC 2010; BBPTP 2008; Balittro 2005). Cuaca adalah kondisi udara di suatu tempat pada saat yang relatif singkat, yang meliputi kondisi temperatur, kelembaban dan tekanan. Iklim adalah kondisi udara disuatu wilayah pada periode waktu yang tertentu dan relatif lama. Risiko cuaca terjadi sebagai akibat perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, angin. Tanaman lada tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian mulai dari m dpl dengan curah hujan dari mm per tahun, merata sepanjang tahun dan mempunyai hari hujan hari per tahun, serta musim kemarau hanya 2-3 bulan per tahun. Kelembaban udara 70-90% selama musim hujan, 109

137 dengan suhu maksimum 34 0 C dan suhu minimum 20 0 C. Perubahan pada kondisi tersebut akan mengakibatkan tidak optimalnya produksi dan mutu lada. Pemerintah daerah Bangka Belitung telah mengeluarkan peraturan daerah tentang pembukaan tambang inkonvensional. Hal ini menyebabkan perluasan tambang timah rakyat yang sangat cepat, sehingga menyebabkan berkurangnya ekosistem hutan. Pengurangan ekosistem hutan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistem alam, yang pada akhirnya menurunkan daya dukung lingkungan terhadap pertanamana lada. Lokasi pertanaman lada menyebar pada areal pertanian yang ada. Pertanaman lada pada suatu hamparan sangat jarang dijumpai. Akibat yang ditimbulkan dari kondisi ini terhadap agroindustri lada yaitu adanya sebaran konsentrasi buah lada yang akan diolah, sehingga diperlukan waktu dan biaya transportasi yang semakin besar. Risiko harga merupakan risiko dalam aspek pemasaran yang memberikan pengaruh penting dalam pengembangan komoditas (Angelucci dan Conforti 2010; Miller 2004). Dalam konteks pengembangan komoditas lada putih, maka risiko pada aspek pemasaran juga meliputi risiko indikasi geografis, subtitusi produk, persaingan. Risiko tersebut merupakan isu dominan yang terjadi dalam sistem komoditas lada putih. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek pemasaran tertera pada Tabel 21. Risiko harga terjadi sebagai akibat perubahan harga lada secara tajam. Ketidakpastian dalam perkembangan harga akan mempengaruhi keputusan para pelaku ekonomi dalam melakukan perencanaan kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi. Penurunan harga lada secara tajam akan mempengaruhi pendapatan petani yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan petani dalam proses penanaman selanjutnya dan kemampuan petani dalam pembayaran jasa pengolahan. Indikasi Geografis merupakan komponen Hak Kekayaan Intelektual yang memberikan perlindungan terhadap lada putih muntok sebagai komoditas perdagangan yang terkait erat dengan Bangka Belitung sebagai tempat asal produk barang. Hal ini mengacu kepada UU No.15 tahun 2001 tentang Merek dan PP No tentang Indikasi Geografis. Indikasi geografis mensyaratkan 110

138 pencapaian mutu dan nilai tambah produk melalui serangkaian proses yang telah ditetapkan. Indikasi Geografis mengharuskan dipenuhinya input, proses, dan output sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Tabel 21. Risiko pada Aspek Pemasaran Nama Risiko Deskripsi Efek Transmisi Efek 21. Harga Risiko yang terjadi sebagai akibat perubahan harga lada secara tajam 22. Indikasi Geografis 23. Subtitusi Produk 24. Tingkat Persaingan Risiko indikasi geografis merupakan ketidakmampuan sistem produksi lada di Bangka Belitung dalam menghasilkan lada putih dengan spesifikasi mutu yang ditetapkan dan dalam menjalani proses yang dipersyaratkan. Risiko subtitusi produk merupakan beralihnya konsumen terhadap lada hitam sebagai akibat dari ketersediaan produk, harga produk, atau kemudahan pembelian produk. Risiko tingkat persaingan menunjukkan adanya pengalihan dominasi pasar Pada saat harga lada rendah, pemeliharaan kebun cenderung minimum sehingga sebagian besar kebun rusak dan produktivitas menurun, terjadi konversi ke tanaman lain, atau petani yang menjadi penambang timah. Jika input, proses, dan output sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. tidak dapat dipenuhi, maka indikasi geografis atas lada putih (muntok white pepper) dapat dicabut. Pengalihan pembelian kepada lada hitam akan menurunkan pangsa pasar lada putih. Persaingan antar negara produsen lada di pasar dunia sangat tinggi, terutama sejak Vietnam memasuki pasar dan terus mengembangkan areal dan memperbaiki sistem budidaya dan pengolahannya. Penurunan kuantitas buah lada menimbulkan kapasitas pengolahan tidak terpenuhi, sehingga terjadi penurunan penerimaan. Dari sisi petani, penurunan kuantitas dan mutu lada akan menyebabkan penurunan penerimaan petani sehingga menurunkan kemampuan pembayaran jasa pengolahan lada Pencabutan indikasi geografis akan menurunkan kemampuan pengembangan merek produk sehingga mempengaruhi tingkat kepercayaan produk di pasar. Penurunan pangsa pasar menyebakan penurunan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan menurunkan kemampuan pembayaran jasa pengolahan buah lada Peningkatan persaingan menyebakan penurunan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan menurunkan kemampuan pembayaran jasa pengolahan buah lada Risiko indikasi geografis dinyatakan dalam bentuk ditariknya indikasi geografis lada putih muntok akibat ketidakmampuan menghasilkan lada putih 111

139 dengan spesifikasi mutu yang ditetapkan dan ketidakmampuan menjalani proses menghasilkan lada putih seperti yang dipersyaratkan. Pencabutan ini merupakan ancaman yang dapat mengganggu pengembangan merek produk (product branding) di pasar dunia. Secara teori, permintaan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: harga, produk, selera, dan pendapatan. Risiko subtitusi produk adalah risiko perpindahan pilihan konsumen dari lada putih ke lada hitam. Subtitusi lada putih terhadap lada hitam dimungkinkan terjadi karena rasa dan aroma yang dimiliki. Rasa pedas dipengaruhi oleh kandungan piperin, sedangkan aroma dipengaruhi oleh kandungan minyak atsiri. Komposisi pada kedua jenis lada tersebut berbeda. Risiko persaingan menunjukkan peningkatan tekanan akibat dari perbaikan kinerja pada negara produsen lain. Kinerja pengembangan komoditas dapat dinyatakan dalam pencapaian mutu, pangsa pasar, keuntungan, dan keberlanjutan. Risiko persaingan ditunjukkan oleh penurunan pangsa pasar pada pasar dunia. Pada kerangka manajemen rantai pasok (supply chain management), risiko rantai pasok dibagi menjadi dua, yaitu risiko eksternal dan risiko internal. Risiko eksternal merupakan risiko yang dihadapi oleh unit usaha berkaitan dengan jalannya sistem rantai pasok, yang terdiri dari risiko kerjasama, risiko keputusan manajemen, risiko pembagian informasi, risiko penjadwalan (Kim et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut maka risiko yang terjadi pada aspek kelembagaan yaitu: risiko kerjasama, ketergantungan, manajemen operasional, dan informasi. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek pemasaran tertera pada Tabel 22. Kerjasama antar pelaku dalam rantai nilai dipengaruhi oleh: kepentingan pelaku, konflik antar pelaku, dan koordinasi antar pelaku. Risiko kerjasama merupakan risiko hilangnya kesepakatan pencapaian tujuan bersama antar pelaku pada rantai nilai. Hilangnya kerjasama antar pelaku pada rantai nilai akan menyebabkan tidak efektif atau bahkan terputusnya rantai produksi. Risiko ketergantungan antar pelaku dalam rantai nilai adalah seberapa besar pelaku pada rantai nilai saling membutuhkan pelaku pada rantai yang lain dalam proses pengadaan bahan baku, produksi, dan pemasaran produk yang dihasilkan. Ketergantungan dapat terjadi sebagai akibat dari kebutuhan bersama 112

140 terhadap teknologi, pengetahuan, keberlanjutan, modal, dan inovasi (Ziggers dan Trienekens 1999). Risiko ketergantungan antar pelaku dalam proses pengolahan lada menjadi faktor yang harus diperhitungkan, karena proses pengolahan lada masih dimungkinkan dilakukan individual di tingkat petani secara tradisional. Tabel 22. Risiko pada Aspek Kelembagaan Nama Risiko Deskripsi Efek Transmisi Efek 25. Kerjasama Kerjasama antar pelaku dalam rantai nilai dipengaruhi oleh: kepentingan antar pelaku, konflik antar pelaku, dan koordinasi antar pelaku. Risiko kerjasama merupakan risiko hilangnya kesepakatan pencapaian tujuan bersama antar pelaku pada rantai nilai akibat tersebut diatas. 26. Ketergantungan antar pelaku 27. Jadwal operasional Risiko ketergantungan antar pelaku dalam rantai nilai adalah seberapa besar pelaku pada rantai nilai saling membutuhkan pelaku pada rantai yang lain dalam proses pengadaan bahan baku, produksi, dan pemasaran produk yang dihasilkan. Risiko penjadwalan berkaitan dengan waktu panen dan pengolahan yang bersamaan sehingga terjadi penumpukan buah lada 28. Informasi Risiko yang berkaitan dengan informasi adalah tentang penyebaran informasi dan pemanfaatan informasi. Hilangnya kerjasama antar pelaku pada rantai nilai akan menyebabkan tidak efektif atau bahkan terputusnya rantai produksi Ketergantungan antar pelaku yang rendah pada situasi proses adopsi yang belum berjalan, akan menyebabkan petani memilih mengolah lada secara tradisional. Waktu panen dan pengolahan yang bersamaan mengharuskan pengolahan dalam jumlah besar yang melebihi kapasitas mesin sehingga terjadi penumpukan buah lada Tidak adanya proses akuisisi dan transfer informasi antar anggota akan menyebabkan penurunan keuntungan atau penurunan tingkat keamanan rantai pasok. Hal ini disebabkan oleh Terputusnya rantai produksi akan mengakibatkan gangguan kelangsungan pengolahan lada. Hal ini akan menyebabkan kapasitas pengolahan yang rendah, sehinga menyebabkan penurunan penerimaan Waktu panen yang bersamaan dapat menyebabkan keterlambatan pengolahan sebagai akibat dari jumlah lada diolah yang melebihi kapasitas pengolahan mesin. Informasi yang tidak terbagi secara simetri akan menyebabkan gangguan pada rantai nilai. Hal ini berkaitan dengan keputusan pada setiap rantai yang akan mempengaruhi rantai lainnya. Manajemen operasional yang berkaitan dengan panjadwalan memegang peranan penting dalam proses penciptaan mutu produk dan kelangsungan 113

141 produksi. Risiko penjadwalan berkaitan dengan waktu panen dan pengolahan yang bersamaan sehingga terjadi penumpukan buah lada. Risiko yang berkaitan dengan informasi adalah tentang penyebaran dan pemanfaatan informasi. Rendahnya proses akuisisi dan transfer informasi antar anggota akan mengakibatkan terjadinya penurunan keuntungan atau penurunan tingkat keamanan rantai pasok. Risiko yang terjadi pada aspek finansial yaitu: risiko suku bunga, nilai tukar, kredit, serta likuiditas. Bentuk kegagalan dan dampak kegagalan pada aspek finansial tertera pada Tabel 23. Tabel 23. Risiko pada Aspek Finansial Nama Risiko Deskripsi Efek 29. Suku Bunga Risiko suku bunga adalah risiko yang timbul karena nilai relatif aktiva berbunga, seperti pinjaman atau obligasi, akan memburuk karena peningkatan suku bunga. 30. Nilai tukar Risiko kerugian pada saat terjadinya apresiasi (kenaikan) atau depresiasi (penurunan) mata uang asing yang disebabkan oleh adanya posisi transaksi yang masih terbuka. 31. Kredit Risiko yang timbul sebagai akibat dari pengguna jasa yang diberi keringanan pembayaran gagal memenuhi kewajiban untuk membayar pinjaman 32. Likuiditas Risiko dimana unit usaha tidak memiliki uang tunai atau aktiva jangka pendek yang dapat diuangkan segera dalam jumlah cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran Kenaikan suku bunga akan mengakibatkan peningkatan kewajiban dari pinjaman yang harus dibayar. Kenaikan nilai tukar akan menyebabkan penurunan penerimaan petani yang kemudian menyebabkan penurunan kemampuan petani dalam merawat kebun. Hal ini kemudian akan mempengaruhi jumlah lada yang diolah. Kegagalan pembayaran oleh pihak ketiga akan mengakibatkan terganggunya pembiayaan internal dan operasional unit usaha. Penurunan kemampuan pembayaran kewajiban akan mempengaruhi kelangsungan operasional pengolahan lada. Risiko suku bunga adalah risiko yang timbul karena nilai relatif aktiva berbunga, seperti pinjaman atau obligasi, yang memburuk karena peningkatan suku bunga. Risiko kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat dari pengguna jasa, yang diberi keringanan pembayaran, gagal memenuhi kewajiban untuk membayar pinjaman. Risiko likuiditas adalah risiko dimana unit usaha tidak memiliki uang tunai atau aktiva jangka pendek, yang dapat diuangkan segera, dalam jumlah cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran. 114

142 Perbedaan harga lada putih pada tingkat produsen dan konsumen ditentukan oleh biaya transportasi, tarif impor, pajak ekspor, serta nilai tukar mata uang. Faktor lain yang memberikan pengaruh adalah kebijakan perdagangan yang lain yang dikeluarkan oleh negara eksportir maupun importir. Sebagai produk komoditas ekspor, perdagangan lada dipengaruhi oleh nilai tukar yang berlaku. Risiko nilai tukar merupakan risiko kerugian pada saat terjadinya apresiasi (kenaikan) atau depresiasi (penurunan) mata uang asing disebabkan oleh adanya posisi transaksi yang masih terbuka. 5.4 Penilaian Risiko Penilaian risiko dilakukan terhadap sistem komoditas secara keseluruhan. Penilaian dilakukan untuk mendapatkan prioritas risiko yang paling kritis yang dapat menyebabkan tidak tercapainya kinerja investasi agroindustri lada. Penilaian risiko dilakukan dengan pendekatan Analisis Risiko dan FMEA. Pada Analisis Risiko dilakukan penilaian terhadap kejadian (occurrence) dan keparahan (severity) dari setiap faktor risiko, sedangkan pada FMEA, selain hal tersebut, juga dilakukan penilaian terhadap tidak terdeteksinya faktor risiko (detection). Keparahan (severity) menggambarkan konsekuensi atas kegagalan yang terjadi, kejadian (occurrence) menggambarkan kemungkinan atau frekuensi terjadinya kegagalan, dan deteksi (detection) menggambarkan kemungkinan tidak terdeteksinya kegagalan sebelum dampak dari efek kegagalan tersebut terjadi. Pendekatan FMEA digunakan pada analisis risiko aspek agroindustri. Analisis FMEA yang digunakan adalah FMEA berbasis proses dimana analisis meliputi permasalahan yang terjadi selama proses pengolahan berlangsung. Pada aspek budidaya, pemasaran, finansial, serta kelembagaan, analisis dilakukan terhadap kejadian (occurrence) dan keparahan (severity). Hal ini didasarkan pada kondisi dimana fungsi risiko tidak dipengaruhi oleh tingkat pendeteksian atau pendeteksian dilakukan pelaku lain, metode yang digunakan pada keempat aspek ini adalah Risk Analysis dimana risiko merupakan fungsi dua dimensi dari occurrence (O) dan severity (S). 115

143 Penilaian faktor dilakukan dengan menggunakan pendekatan fuzzy. Hal ini didasarkan kepada adanya kebutuhan pengukuran secara linguistik sebagai upaya untuk menangkap pengetahuan responden atas faktor tertentu. Selain itu, nilai kriteria menjadi lebih realistis apabila dinyatakan secara kualitatif atau dengan menggunakan istilah linguistik. Faktor harga, pangsa pasar, suku bunga, dan nilai tukar merupakan faktor yang memiliki nilai historis. Penilaian pada faktor ini dilakukan dengan meminta pendapat pakar berdasarkan data yang ada atau gambaran situasi yang sesungguhnya terjadi. Pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan apabila nilai risiko adalah berbasis data dan berbasis pengetahuan. Pada hal ini diperlukan kombinasi metode penilaian risiko yang dinyatakan secara linguistik berbasis pengetahuan dan berbasis nilai yang diturunkan dari data deret waktu (time series). Metode yang dapat digunakan adalah kombinasi metode fuzzy logic dengan metode Autoregressive Moving Average (ARIMA) Pembobotan Pakar Pembobotan pakar dilakuan untuk memberikan nilai terhadap pakar berdasarkan tingkat kepercayaannya. Metode yang digunakan adalah logika Fuzzy dengan metode Fuzzy Weighted Average. Tahapan diawali dengan melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function) seperti tertera pada Tabel 24. Tabel 24. Skala Penilaian Pembobotan Pakar Skala Linguistik Nilai Fuzzy Sangat Tinggi (0.75, 1, 1) Tinggi (0.5, 0.75, 1) Sedang (0.25, 0.5, 0.75 Rendah (0, 0.25, 0.5) Sangat Rendah (0, 0, 0.25) Tahapan selanjutnya adalah defuzzifikasi. Input dari proses defuzzifikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain 116

144 himpunan fuzzy tersebut. Teknik defuzzifikasi yang digunakan adalah metode center of area (COA) atau disebut juga metode centroid, dimana solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: = (6) dimana: w pi = bobot pakar ke-i a pi = titik bawah TFN pakar ke-i b pi = titik tengah TFN pakar ke-i c pi = titik atas TFN pakar ke-i Hasil yang telah diperoleh dari tahap defuzzifikasi, kemudian dilakukan normalisasi nilai. Hal ini dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = (7) dimana: w npi = bobot ternormalisasi pakar ke-i w pi = bobot pakar ke-i Pembobotan Komponen Risiko Pembobotan komponen risiko dilakukan untuk memberikan nilai terhadap komponen risiko, yaitu occurrence, severity, dan detection, berdasarkan tingkat kepentingannya. Metode yang digunakan logika Fuzzy dengan metode Fuzzy Weighted Average yang terdiri dari langkah seperti pada pembobotan pakar. Rumus yang digunakan pada tahap defuzifikasi bagi komponen occurrence adalah sebagai berikut: = = = (8) (9) (10) = (11) 117

145 dimana: w ao = bobot occurrence berdasarkan nilai titik bawah TFN w bo = bobot occurrence berdasarkan nilai titik tengah TFN w co = bobot occurrence berdasarkan nilai titik atas TFN a Opi = nilai titik bawah TFN nilai occurrence pakar ke-i b Opi = nilai titik tengah TFN nilai occurrence pakar ke-i c Opi = nilai titik atas TFN nilai occurrence pakar ke-i w O = nilai occurrence Rumus yang digunakan pada tahap defuzifikasi bagi komponen severity adalah sebagai berikut: = = = (12) (13) (14) = (15) dimana: w as = bobot severity berdasarkan nilai titik bawah TFN w bs = bobot severity berdasarkan nilai titik tengah TFN w cs = bobot severity berdasarkan nilai titik atas TFN a Spi = nilai titik bawah TFN nilai severity pakar ke-i b Spi = nilai titik tengah TFN nilai severity pakar ke-i c Spi = nilai titik atas TFN nilai severity pakar ke-i w S = bobot severity Rumus yang digunakan pada tahap defuzifikasi bagi komponen detection adalah sebagai berikut: = = = (16) (17) (18) = (19) dimana: w ad = bobot detection berdasarkan nilai titik bawah TFN w bd = bobot detection berdasarkan nilai titik tengah TFN w cd = bobot detection berdasarkan nilai titik atas TFN a Dpi = nilai titik bawah TFN nilai detection pakar ke-i b Dpi = nilai titik tengah TFN nilai detection pakar ke-i c Dpi = nilai titik atas TFN nilai detection pakar ke-i w D = bobot detection 118

146 Pada risiko dengan fungsi komponen yang terdiri dari occurrence, severity dan detection, normalisasi nilai dilakukan dengan cara menjadikan penjumlahan ketiga bobot tersebut menjadi 100%. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: = = = (20) (21) (22) dimana: w n1o = bobot Occurrence 1 w n1s = bobot Severity 1 w n1d = bobot Detection 1 w O = bobot Occurrence w S = bobot Severity w D = bobot Detection Pada risiko dengan fungsi komponen yang terdiri dari occurrence dan severity, normalisasi nilai dilakukan dengan cara menjadikan penjumlahan kedua bobot tersebut menjadi 100%. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: = = dimana: w n2o = bobot Occurrence 2 w n2s = bobot Severity 2 w O = bobot Occurrence w S = bobot Severity Perhitungan Nilai Risiko Nilai risiko dipengaruhi oleh komponen risiko dan bobot penilai. Langkah perhitungan nilai risiko yaitu melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan, dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function) seperti tertera pada Tabel

147 Tabel 25. Skala Penilaian Pembobotan Komponen Risiko Skala Linguistik Nilai Fuzzy Sangat Tinggi (8, 9, 10, 10) Tinggi (6, 7, 8, 9) Sedang (4, 5, 6, 7) Rendah (2, 3, 4, 5) Sangat Rendah (1, 1, 2, 3) Perhitungan diawali dengan melakukan agregasi nilai occurrence, severity dan detection. Perhitungan nilai occurrence dilakukan dengan rumus sebagai berikut: = (25) = (26) = (27) = (28) = (29) dimana: a O = nilai occurrence berdasarkan nilai titik bawah TFN b O = nilai occurrence berdasarkan nilai titik tengah1 TFN c O = nilai occurrence berdasarkan nilai titik tengah2 TFN d O = nilai occurrence berdasarkan nilai titik atas TFN a Opi = nilai titik bawah TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i b Opi = nilai titik tengah1 TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i c Opi = nilai titik tengah2 TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i d Opi = nilai titik atas TFN nilai occurrence oleh pakar ke-i w npi = bobot ternormalisasi pakar ke-i O = nilai occurrence risiko Perhitungan agregasi nilai severity dilakukan dengan rumus sebagai berikut: = (30) = (31) = (32) = (33) = (34) 120

148 dimana: a S = nilai severity berdasarkan nilai titik bawah TFN b S = nilai severity berdasarkan nilai titik tengah1 TFN c S = nilai severity berdasarkan nilai titik tengah2 TFN d S = nilai severity berdasarkan nilai titik atas TFN a Spi = nilai titik bawah TFN nilai severity oleh pakar ke-i b Spi = nilai titik tengah1 TFN nilai severity oleh pakar ke-i c Spi = nilai titik tengah2 TFN nilai severity oleh pakar ke-i d Spi = nilai titik atas TFN nilai severity oleh pakar ke-i w npi = bobot ternormalisasi pakar ke-i S = nilai severity Perhitungan agregasi nilai detection dilakukan dengan rumus sebagai berikut: = (35) = (36) = (37) = (38) = (39) dimana: a D = nilai detection berdasarkan nilai titik bawah TFN b D = nilai detection berdasarkan nilai titik tengah1 TFN c D = nilai detection berdasarkan nilai titik tengah2 TFN d D = nilai detection berdasarkan nilai titik atas TFN a Dpi = nilai titik bawah TFN nilai detection oleh pakar ke-i b Dpi = nilai titik tengah1 TFN nilai detection oleh pakar ke-i c Dpi = nilai titik tengah2 TFN nilai detection oleh pakar ke-i d Dpi = nilai titik atas TFN nilai detection oleh pakar ke-i w npi = bobot ternormalisasi pakar ke-i S = nilai detection Perhitungan Nilai Risiko dengan dengan menggunakan pendekatan Fuzzy Risk Priority Number yang telah disempurnakan dengan memasukkan bobot pakar dan bobot komponen risiko. Hal ini dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = (( ) ) (( ) ) (( ) ) (40) = (( ) ) (( ) ) (41) dimana: NR i = nilai risiko faktor risiko ke-i O Ri = nilai occurrence faktor risiko ke-i 121

149 S Ri = nilai severity faktor risiko ke-i D Ri = nilai detection faktor risiko ke-i w n1o = bobot Occurrence 1 w n1s = bobot Severity 1 w n1d = bobot Detection 1 w n2o = bobot Occurrence 2 w n2s = bobot Severity Agregasi Nilai Risiko Agregasi nilai risiko merupakan penggabungan nilai risiko secara keseluruhan untuk memperoleh gambaran nilai total risiko dan memperkirakan statusnya. Agregasi nilai risiko dilakuan dengan mengikuti langkah sebagai berikut: 1. Menghitung Bobot Risiko Kelompok. Hal ini dilakuan dengan fuzzifikasi kriteria pemilihan dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function). Model fungsi keanggotaan fuzzy yang digunakan adalah triangular fuzzy number (TFN) dengan nilai pada kisaran 0-1. Kemudian dilanjutkan dengan defuzzifikasi dan normalisasi nilai. Rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut: = = (42) (43) = (44) = (45) dimana: w ki = bobot kelompok risiko ke-i a ki = nilai bobot kelompok ke-i berdasarkan nilai titik bawah TFN b ki = nilai bobot kelompok ke-i berdasarkan nilai titik tengah TFN c ki = nilai bobot kelompok ke-i berdasarkan nilai titik atas TFN a kipi = nilai titik bawah TFN nilai bobot kelompok ke-i oleh pakar ke-i b kipi = nilai titik tengah TFN nilai bobot kelompok ke-i oleh pakar ke-i c kipi = nilai titik atas TFN nilai bobot kelompok ke-i oleh pakar ke-i 122

150 2. Menghitung Nilai Risiko Total. Nilai Risiko Total dianalisis dengan memperhitungkan nilai bobot kelompok dan nilai risiko kelompok. Rumus yang digunakan dalam perhitungan nilai risiko kelompok adalah sebagai berikut: = (46) = (47) = (48) = (49) = (50) dimana: NR ki = nilai risiko faktor risiko kelompok ke-i Perhitungan nilai risiko total dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = ( ) (51) dimana: NR total = Nilai Risiko Total 3. Menilai Status Risiko Status risiko ditetapkan dengan menggunakan aturan sebagai berikut: If 0<Nilai Risiko Total 2 then Status Risiko is Sangat Rendah If 2.01<Nilai Risiko Total 4 then Status Risiko is Rendah If 4.01<Nilai Risiko Total 6 then Status Risiko is Sedang If 6.01<Nilai Risiko Total 8 then Status Risiko is Tinggi If 8.01<Nilai Risiko Total 10 then Status Risiko is Sangat Tinggi 123

151 5.5 Pengelolaan Risiko Pengelolaan risiko pada investasi agroindustri lada merupakan upaya untuk mengurangi peluang munculnya kejadian (occurrence), mengurangi tingkat keparahan (severity), atau keduanya. Hal ini merupakan pendekatan yang digunakan pada penelitian ini yang dinyatakan sebagai uraian yang melekat pada setiap risiko Pengelolaan Risiko pada Aspek Agroindustri Pada kegiatan pengolahan lada yang dilakukan secara tradisional, dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses pengerjaannya, selain itu hasil yang diperoleh juga lebih rendah. Pengolahan secara mekanis kemudian menjadi langkah strategis untuk mengatasi hal tersebut, namun demikian dibutuhkan modal awal yang besar pada tahap awal. Pemilihan pengolahan secara mekanis juga mensyaratkan adanya manajemen pemeliharaan dan pengadaan suku cadang yang baik. Pada pengolahan secara mekanis, penggunaan tenaga kerja relatif lebih sedikit, namun demikian pelatihan merupakan persyaratan penting dalam upaya mengoperasikan dan menyesuaikan operasional mesin untuk mencapai hasil yang maksimal. Tenaga operator yang handal diharapkan dapat membantu pencapaian efisiensi potensial alat dan mesin, serta dapat memelihara operasional alat dan mesin sampai umur ekonomisnya. Pengelolaan risiko yang dapat dilakukan pada aspek agroindustri tertera pada Tabel 26. Pengelolaan risiko yang bersifat ex ante yaitu melakukan pencegahan melalui pengelolaan sumber risiko baik yang berasal dari kesalahan SDM, mesin, atau pemilihan dan penerapan metode. Pengelolaan dapat dilakukan dengan pemeliharaan alat dan mesin, meningkatkan kemampuan operator, dan memperbaiki metode pengolahan. Selain itu juga perlu dilakukan pengembangan kapasitas sumberdaya manusia seperti pelatihan dan magang pada unit agroindustri yang telah berjalan, demonstrasi dan pendampingan penggunaan alat dan mesin pengolahan lada. Ditinjau dari sisi teknis, perlu dilakukan penyediaan peralatan penunjang, penyediaan suku cadang, dan perbengkelan. Pengelolaan risiko yang bersifat ex post yaitu perbaikan mesin dan peralatan, serta penyempurnaan metode pengolahan. Perbaikan ini akan 124

152 disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pengguna dengan mempertimbangkan efisiensi dan biaya yang harus dikeluarkan. Tabel 26. Pengelolaan Risiko pada Aspek Agroindustri Nama Risiko Pengelolaan Risiko 1. Lada tercampur 1. Menyediakan mesin perontok yang memiliki alat pemisah sesuai dengan karakteristik fisik buah lada 2. Menggunakan mesin perontok sesuai dengan SOP. 3. Pencatatan kegiatan operasional mesin perontok 4. Perawatan dan perbaikan mesin secara berkala 2. Lada keabu-abuan Melakukan perendaman pada periode waktu yang sesuai dengan kekerasan kulit buah lada 3. Kontaminasi perendaman Menggunakan air yang bersih dengan penggantian air yang dilakukan secara periodik pada bak perendaman 4. Lada pecah 1. Menyediakan mesin pengupas dengan ukuran alat pemisah kulit buah dari bijinya sesuai dengan ukuran lada 2. Menggunakan mesin pengupas sesuai dengan SOP. 3. Pencatatan kegiatan operasional mesin pengupas 4. Perawatan dan perbaikan mesin secara berkala 5. Kontaminasi pencucian Menggunakan air yang bersih dan mengalir 6. Kadar air 1. Melakukan pengeringan pada interval waktu yang memadai dengan suhu yang sesuai 2. Menggunakan mesin pengering sesuai dengan SOP. 3. Pencatatan kegiatan operasional mesin pengering 4. Perawatan dan perbaikan mesin secara berkala 7. Serangga ditemukan Penjemuran pada ruang terbuka dilakukan dengan menggunakan rak penjemuran 8. Kotoran Penjemuran pada ruang terbuka dilakukan dengan menggunakan rak penjemuran 9. Jamur Menerapkan metode pengeringan sesuai SOP 2. Menyediakan ruang penyimpanan dengan ventilasi yang baik 10. Aroma 1. Menyediakan alat penyuling sesuai kebutuhan 2. Menerapkan metode penyulingan sesuai SOP Pencatatan kegiatan operasional alat penyuling Perawatan dan perbaikan alat secara berkala 11. Kadar atsiri 1. Menyediakan alat penyuling sesuai kebutuhan 2. Menerapkan metode penyulingan sesuai SOP 3. Pencatatan kegiatan operasional alat penyuling 4. Perawatan dan perbaikan alat secara berkala Pengelolaan Risiko pada Aspek Budidaya Pengelolaan risiko pada aspek budidaya terdiri dari kegiatan yang bersifat pencegahan yang dilakukan sebelum risiko terjadi atau kegiatan perbaikan yang dilakukan setelah risiko terjadi. Pengelolaan risiko yang bersifat pencegahan merupakan perbaikan penerapan teknik budidaya anjuran sesuai spesifikasi lokasi. Pengelolaan risiko pada aspek budidaya tertera pada Tabel

153 Tabel 27. Pengelolaan Risiko pada Aspek Budidaya 126 Nama Risiko 12. Hama Penggerek Batang 13. Hama Penghisap Buah 14. Hama Penghisap Bunga 15. Penyakit Busuk Pangkal Batang 16. Penyakit Kuning 17. Penyakit Kerdil/ Keriting Pengelolaan Risiko Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika populasi hama tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika populasi hama tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika populasi hama tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. Menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pagar keliling. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan pestisida kimiawi jika intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. 18. Cuaca 1. Mengembangkan sistem deteksi dini perubahan cuaca dan meningkatkan akses penggunaan informasi cuaca terhadap pengambilan keputusan budidaya lada. 2. Membangun infrastruktur dan menerapkan manajemen praktis dalam merespon perubahan cuaca. 19. Lokasi lahan Meningkatkan efektifitas sistem transportasi produk pertanian melalui: pemilihan alat transportasi yang sesuai dengan jumlah, jarak, dan kondisi jalan kebun lada serta mengintegrasikan keputusan transportasi ke dalam sistem agroindustri lada 20. Daya Dukung Lingkungan 1. Kesinergian dan fokus kebijakan pemerintah 2. Penerapan penilaian dampak dan pengawasan lingkungan secara berkala

154 Pengelolaan risiko yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman dapat dilakukan melalui kegiatan pencegahan dan kegiatan penanganan. Pengendalian terpadu yang dianjurkan meliputi teknik budidaya, serta pengendalian secara hayati dan kimiawi. Pengelolaan risiko yang bersifat ex ante dilakukan dengan cara menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, pembuatan saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pembuatan pagar keliling. Pengelolaan risiko yang bersifat ex post dilakukan dengan menggunakan pestisida atau agensi hayati. Pengendalian menggunakan pestisida kimiawi dilakukan jika populasi hama atau intensitas serangan penyakit tinggi, diikuti pengendalian secara hayati menggunakan musuh alaminya. Agensi hayati yang digunakan diantaranya pasteuria penetrans untuk pengendalian penyakit kuning, jamur trichoderma harzianum untuk mengendalikan penyakit busuk pangkal batang, jamur beuveria bassiana mengendalikan hama penghisap bunga dan buah lada. Penggunaan pestisida nabati untuk mengendalikan hama tanaman lada antara lain ekstrak biji bengkuang, tepung cengkeh, ekstrak biji mimba dan ekstrak akar tuba. Apabila dijumpai tanaman yang dicurigai terkena BPB maka tanaman tersebut dan tanaman di sekitarnya diberi fungisida sistemik atau disiram bubur bordo. Pengelolaan risiko yang timbul sebagai akibat perubahan cuaca adalah dengan melakukan pencegahan dalam bentuk pengembangan sistem deteksi dini perubahan cuaca dan meningkatkan akses penggunaan informasi cuaca terhadap pengambilan keputusan. Selain itu, dapat dilakukan pembangunan infrastruktur dan menerapkan manajemen praktis dalam merespon perubahan cuaca. Pengelolaan risiko yang timbul sebagai akibat dari lokasi kebun yang terpencar adalah dengan meningkatkan efektifitas sistem transportasi produk. Pemilihan sarana transportasi perlu memperhatikan: waktu pengangkutan, frekuensi, kehandalan pemenuhan jadwal dan waktu tempuh, kemampuan menangani pengangkutan, biaya, serta jaminan atas barang. Oleh karena itu pengelolaan risiko diterapkan melalui pemilihan alat transportasi yang sesuai 127

155 dengan jumlah, jarak, dan kondisi jalan kebun lada serta mengintegrasikan keputusan transportasi ke dalam sistem agroindustri lada. Dukungan lingkungan yang rendah menyebabkan penurunan produktivitas tanaman dan mutu lada. Pengelolaan risiko dapat dilakukan dalam bentuk penerapan kesinergian dan fokus kebijakan pemerintah, serta penerapan penilaian dampak dan pengawasan lingkungan secara berkala Pengelolaan Risiko pada Aspek Pemasaran Pengelolaan risiko pada aspek pemasaran sebagian besar merupakan upaya mencegah atau meminimalisasi dampak bila risiko terjadi. Pengelolaan risiko yang dapat dilakukan pada aspek pemasaran tertera pada Tabel 28. Tabel 28. Pengelolaan Risiko pada Aspek Pemasaran Nama Risiko 128 Pengelolaan Risiko 21. Harga Penerapan skema non pasar, skema pasar, atau kombinasi keduanya. Skema non pasar antara lain upaya untuk meningkatkan dan mempertahakan mutu lada melalui kegiatan produksi. Skema pasar antara lain kontrak berjangka atau Sistem Resi Gudang 22. Indikasi Geografis 23. Subtitusi produk 1. Pengembangan sistem jaminan mutu melalui pengadaan fasilitas, peralatan, dan sistem manajemen pendukung bagi uji mutu lada. 2. Pengembangan sistem akreditasi bagi penilai (assessor) pemberi sertifikasi (certifiers), penguji (tester), dll. 3. Pengembangan sistem inspeksi pengadaan input, budidaya, pengolahan, pengemasan, dan pengangkutan. 4. Penerapan sistem manajemen usaha termasuk pencatatan dan penelusuran produk (product traceability). Penerapan sistem produksi yang berkelanjutan dan penerapan bauran pemasaran yang sesuai. Bauran pemasaran dilakukan melalui: (1) menciptakan produk yang dengan standar mutu yang disertai jaminan mutu dan kontinuitas pasokan; (2) menetapkan harga yang yang kompetitif; (3) menerapkan promosi yang membangun komunikasi informasi yang persuasif tentang produk agar mempengaruhi pembelian; (4) menerapkan pemilihan tempat, sebagai fungsi dari saluran pemasaran, cakupan pasar, transportasi, dan manajemen persediaan, untuk menyampaikan produk kepada konsumen. 24. Persaingan 1. Peningkatan nilai tambah untuk menghasilkan produk yang unik atau berbeda dengan tujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan konsumen. Peningkatan nilai tambah dilakukan melalui perubahan atau penambahan mutu, fungsi, bentuk, tempat, waktu dan kemudahan mendapatkan 2. Penerapan strategi ceruk pasar (niche market), yaitu strategi menjadi pemimpin pasar di pasar yang kecil. Hal ini dilakukan dengan menciptakan spesialisasi dalam bentuk spesialisasi produk, spesialisasi geografis, spesialisasi harga dan mutu, spesialisasi pelanggan, spesialisasi pelayanan, spesialisasi pemakai akhir, spesialisasi pesanan, spesialisasi produk atau lini produk, spesialisasi saluran pemasaran, atau spesialisasi ukuran pelanggan.

156 Pengelolaan risiko harga pada sistem komoditas lada dapat dilakukan melalui skema non pasar, skema pasar, atau kombinasi keduanya. Skema non pasar antara lain upaya untuk meningkatkan dan mempertahakan mutu lada melalui kegiatan produksi. Pada skema pasar dikenal instrumen kontrak ke depan, kontrak berjangka, opsi, swap dan bond. Kontrak berjangka adalah suatu perjanjian yang mengikat secara hukum di antara dua pihak untuk membeli atau menjual komoditi dalam jumlah, mutu, jenis dan tempat tertentu yang telah ditetapkan. Transaksi menyepakati suatu harga untuk komoditi tertentu untuk penyerahan di kemudian hari. Kontrak berjangka dilakukan oleh eksportir tetapi dengan pola hubungan kerjasama dengan petani yang terputus. Hal ini mengakibatkan manfaat hedging dalam menghindarkan dari kemungkinan turunnya harga komoditi pada saat panen atau yang disimpan di gudang tidak apat dinikmati oleh petani. Hedging juga dapat melindungi terhadap turunnya nilai persediaan dan melindungi eksportir dari kenaikan harga komoditi yang telah dikontrak mereka untuk penyerahan kemudian namun belum dibeli. Perdagangan komoditi merupakan bidang yang memerlukan intensitas kredit yang tinggi. Hal ini merupakan kendala di negara berkembang. Pada sisi lain, petani menghadapi masalah untuk akses kredit. Selain itu akses pada informasi juga tidak mudah sehingga mengakibatkan harga tidak transparan. Sistem Resi Gudang merupakan langkah strategis untuk mengatasi permasalahan tersebut. Resi gudang yaitu suatu tanda bukti penyimpanan barang yang dapat digunakan sebagai agunan, karena tanda bukti tersebut dijamin dengan adanya persediaan komoditi tertentu dalam pengawasan suatu gudang. Resi gudang merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, digunakan sebagai agunan untuk memperoleh kredit, serta dapat diterima sebagai alat pembayaran dalam perdagangan derivatif seperti penyerahan produk di pasar berjangka. Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 Tahun 2007, tentang barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan Sistem Resi Gudang yaitu: Gabah, Beras, Jagung, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput Laut. Sistem Resi Gudang pada komoditas lada hanya diterapkan lada hitam di Lampung. Melalui 129

157 penerapan Sistem Resi Gudang pada komoditas lada, diharapkan dapat mengatasi risiko dan mempermudah akses pembiayaan. Resi gudang, sebagai instrumen pengelolaan risiko, dapat memperpanjang masa penjualan hasil produksi petani. Resi gudang dapat digunakan untuk mendapatkan pembiayaan yang bersumber dari kredit bank atau green clause letter of credit. Penyebab petani kecil tidak dapat menyediakan agunan adalah karena tidak memiliki aset yang dapar digunakan sebagai agunan. Hal ini biasanya diatasi dengan menawarkan hasil panen mereka sebagai agunan. Resi gudang diperoleh dengan cara menyerahkan hasil panen ke gudang-gudang yang ditetapkan. Dengan resi gudang tersebut, petani dapat memperoleh kredit. Kredit yang diperoleh dapat mencapai 80-90% dari nilai agunan dan dengan tingkat bunga murah. Pemegang resi gudang dapat memperoleh sumber kredit dari luar negeri yang kadang-kadang biaya bunganya lebih rendah. Kredit akan lebih mudah diperoleh khususnya untuk komoditi ekspor seperti kopi, lada, atau tembakau. Green clause letter of credit memberikan kewenangan pada pembeli di luar negeri untuk memberikan kredit kepada eksportir atas sebagian dari nilai produk yang akan diekspornya, dengan syarat eksportir mengirimkan resi gudang yang memuat informasi tentang jumlah barang dan rencana tanggal pengapalan. Mekanisme ini bertujuan untuk membantu eksportir dalam memperoleh dana pada masa pasca panen dan kredit tersebut jatuh tempo pada saat komoditi di ekspor ke negara tujuan beberapa bulan kemudian. Risiko indikasi geografis merupakan ketidakmampuan sistem produksi lada di Bangka Belitung dalam menghasilkan lada putih dengan spesifikasi mutu yang ditetapkan dan ketidakmampuan menjalani proses menghasilkan lada putih seperti yang dipersyaratkan. Pengelolaan risiko dapat dilakukan melalui: (1) pengembangan sistem jaminan mutu melalui pengadaan fasilitas, peralatan, dan sistem manajemen pendukung bagi uji mutu lada, (2) pengembangan sistem akreditasi bagi penilai (assessor), pemberi sertifikasi (certifiers), atau penguji (tester). (3) pengembangan sistem inspeksi pengadaan input, budidaya, pengolahan, dan pengemasan, dan (4) penerapan sistem manajemen usaha termasuk pencatatan dan penelusuran produk (product traceability). 130

158 Subtitusi lada putih terhadap lada hitam dimungkinkan terjadi karena rasa dan aroma yang dimiliki oleh keduanya. Risiko subtitusi produk merupakan beralihnya konsumen terhadap lada hitam sebagai akibat dari ketersediaan produk, harga produk, atau kemudahan pembelian produk. Preferensi konsumen terhadap lada putih atau lada hitam sangat dipengaruhi oleh selera. Hal ini tidak terlepas dari sifat keduanya. Dalam pengolahan lada putih, kulit lada dikupas sehingga komponen pada lada putih berbeda dengan lada hitam. Lada putih mengandung kadar serat yang lebih kecil dan kadar pati yang lebih tinggi daripada lada hitam. Kadar minyak atsiri lada putih lebih sedikit dari lada hitam. Pengelolaan risiko subtitusi produk dilakukan dengan penerapan sistem produksi yang berkelanjutan dan penerapan bauran pemasaran yang sesuai. Bauran pemasaran dilakukan melalui: (1) menciptakan produk yang dengan standar mutu yang disertai jaminan mutu dan kontinuitas pasokan, (2) menetapkan harga yang yang kompetitif, (3) menerapkan promosi yang membangun komunikasi informasi yang persuasif tentang produk agar mempengaruhi pembelian, serta (4) menerapkan pemilihan tempat, sebagai fungsi dari saluran pemasaran, cakupan pasar, transportasi, dan manajemen persediaan, untuk menyampaikan produk kepada konsumen. Persaingan antar negara produsen lada di pasar dunia sangat tinggi, terutama sejak Vietnam memasuki pasar. Hal ini terkait dengan strategi pengembangan areal serta perbaikan sistem budidaya dan pengolahannya. Pengelolaan risiko persaingan dapat dilakukan melalui strategi menciptakan nilai, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan produk yang unik atau berbeda dari produk yang selama ini ada dengan tujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan oleh konsumen. Peningkatan nilai tambah dapat dicapai melalui perbaikan dan peningkatan: mutu (quality), fungsi (functionality), bentuk (form), tempat (place), waktu (time), dan kemudahan mendapatkan (ease of possession). Peningkatan nilai tambah melalui kegiatan penciptaan nilai pada lada didefinisikan sebagai kegiatan pemberian input dan penyelenggaraan proses lanjutan dengan tujuan untuk menghasilkan lada dalam bentuk, fungsi, kemudahan mendapatkan. Jenis lada pada strategi ini antara lain: lada yang diberi 131

159 perlakuan untuk perubahan ukuran, lada yang diberi perlakuan untuk meningkatkan mutu, lada yang diberi input tambahan dan proses lanjutan, lada yang diberi proses pengolahan lanjutan untuk menghasilkan produk dalam bentuk dan fungsi yang berbeda seperti: minyak lada, oleoresin, serta lada yang diberi kemasan tertentu untuk memperluas pasar. Pada sisi pemasaran, pengelolaan risiko persaingan dilakukan dengan menerapkan Penerapan strategi ceruk pasar (niche market), yaitu strategi menjadi pemimpin pasar di pasar yang kecil. Hal ini dilakukan dengan menciptakan spesialisasi, misalnya spesialisasi produk, spesialisasi geografis, spesialisasi harga dan mutu, spesialisasi pelanggan, spesialisasi pelayanan, spesialisasi pemakai akhir, spesialisasi pesanan, spesialisasi produk atau lini produk, spesialisasi saluran pemasaran, atau spesialisasi ukuran pelanggan Pengelolaan Risiko pada Aspek Kelembagaan Pengelolaan risiko pada aspek kelembagaan merupakan upaya penguatan sinergi para pelaku yang terlibat dalam sistem komoditas. Pengelolaan risiko yang dapat dilakukan pada aspek kelembagaan tertera pada Tabel 29. Tabel 29. Pengelolaan Risiko pada Aspek Kelembagaan Nama Risiko 132 Pengelolaan Risiko 25. Kerjasama Perbaikan kerjasama melalui: penguatan hubungan kerjasama yang telah ada, perubahan perilaku tentang kompetisi, pengembangan kemampuan keahlian dan kompetensi bisnis, serta peningkatan kemampuan pengambilan keputusan 26. Ketergantungan antar pelaku 27. Jadwal operasional 1. Penguatan rantai nilai melalui: perbaikan mutu produk dan memasuki lini produk yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai tambah yang semakin besar, investasi teknologi baru untuk memperbaiki proses dan efisiensi rantai, serta menerapkan fungsi baru pada rantai untuk meningkatkan kinerja pada setiap aktivitas 2. Penerapan sistem insentif terhadap perbaikan mutu 1. Peningkatan efektivitas operasi mesin dan peralatan yang dilakukan melalui penggunaan mesin dan peralatan sesuai dengan SOP, serta perawatan dan perbaikan mesin secara berkala. 2. Pada jangka panjang, dapat dilakukan penambahan kapasitas mesin melalui pembelian mesin baru. 28. Informasi Pengelolaan risiko dilakukan melalui perbaikan sistem pembagian informasi yang meliputi: struktur pembagian informasi, obyek data yang dibagikan, dan model aliran informasi. Perbaikan pada ketiga aspek ini akan mengungkit peningkatan efisiensi dan efektivitas kolaborasi antar pelaku.

160 Kerjasama antar pelaku dalam rantai nilai dipengaruhi oleh: kepentingan antar pelaku, konflik antar pelaku, dan koordinasi antar pelaku. Risiko kerjasama merupakan risiko hilangnya kesepakatan pencapaian tujuan bersama antar pelaku pada rantai nilai akibat tersebut diatas. Pengelolaan risiko kerjasama dapat dilakukan melalui penguatan hubungan kerjasama yang telah ada, perubahan perilaku tentang kompetisi, pengembangan kemampuan keahlian dan kompetensi bisnis, dan peningkatan kemampuan pengambilan keputusan. Rendahnya ketergantungan antar pelaku menyebabkan pelaku dapat melakukan aktivitas pada seluruh mata rantai secara individual. Petani dapat kembali melakukan pengolahan secara tradisional sehingga berdampak negatif terhadap keberadaan agroindustri lada dan misi untuk meningkatan mutu lada. Kerjasama dapat ditingkatkan dengan cara penguatan rantai nilai melalui: perbaikan mutu produk dan memasuki lini produk yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai tambah yang semakin besar, investasi teknologi baru untuk memperbaiki proses dan efisiensi rantai, serta menerapkan fungsi baru pada rantai untuk meningkatkan kinerja pada setiap aktivitas rantai. Selain itu risiko dapat diminimalisasi melalui penerapan sistem insentif terhadap perbaikan mutu. Risiko penjadwalan berkaitan dengan waktu panen dan pengolahan yang bersamaan sehingga terjadi penumpukan buah lada. Waktu panen dan pengolahan yang bersamaan mengharuskan dilakukannya pengolahan dalam jumlah besar yang melebihi kapasitas mesin. Apabila kapasitas tidak sesuai dengan jumlah lada yang diolah, maka akan terjadi penumpukan buah lada. Pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan cara meningkatkan efektivitas operasi mesin dan peralatan yang dilakukan melalui penggunaan sesuai dengan SOP serta perawatan dan perbaikan mesin secara berkala. Pada jangka panjang, pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan penambahan kapasitas mesin melalui pembelian mesin baru. Risiko informasi yaitu risiko yang berkaitan dengan terhentinya proses penyebaran informasi dan pemanfaatan informasi antar pelaku pada rantai nilai. Hilangnya penyebaran dan pemanfaatan informasi akan menyebabkan penurunan penurunan tingkat keamanan rantai nilai. Pengelolaan risiko dilakukan melalui perbaikan sistem pembagian informasi yang meliputi: struktur pembagian informasi, obyek data yang dibagikan, dan model aliran informasi. Perbaikan 133

161 pada ketiga aspek ini akan mengungkit peningkatan efisiensi dan efektivitas kolaborasi antar pelaku Pengelolaan Risiko pada Aspek Finansial Pengelolaan risiko pada aspek finansial merupakan upaya mengantisipasi terjadinya risiko tersebut atau upaya untuk mengetahui lebih dini perubahan yang terjadi. Risiko suku bunga dan risiko nilai tukar merupakan risiko pada lingkungan makro yang berpengaruh terhadap aktivitas rantai nilai. Pengelolaan risiko yang dapat dilakukan pada aspek finansial tertera pada Tabel 30. Tabel 30. Pengelolaan Risiko pada Aspek Finansial Nama Risiko 29. Suku Bunga 30. Nilai tukar Pengelolaan Risiko Penerapan sistem pengelolaan keuangan yang efektif dengan sistem akuntansi biaya yang dapat memberikan informasi dini terhadap perubahan suku bunga dan implikasinya Penerapan sistem pengelolaan keuangan yang efektif dengan sistem akuntansi biaya yang dapat memberikan informasi dini terhadap perubahan nilai tukar dan implikasinya 31. Kredit Peningkatan kerjasama dan pengembangan mekanisme pembayaran yang berbasis kemampuan dan jadwal produksi. 32. Likuiditas Penerapan sistem perencanaan dan pengelolaan keuangan yang baik agar unit usaha memiliki uang tunai atau aktiva jangka pendek yang dapat diuangkan segera dalam jumlah cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran pada saat yang telah disepakati. Risiko kredit merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari pengguna jasa yang diberi keringanan pembayaran gagal memenuhi kewajiban untuk membayar pinjaman. Hal ini dapat diatasi dengan kerjasama dan pengembangan mekanisme pembayaran yang berbasis kemampuan dan jadwal produksi. Risiko likuiditas merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari unit usaha tidak memiliki uang tunai atau aktiva jangka pendek yang dapat diuangkan segera dalam jumlah cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran. Hal ini dapat diatasi melalui perbaikan sistem perencanaan dan pengelolaan keuangan. Risiko suku bunga adalah risiko yang timbul karena nilai relatif aktiva berbunga, seperti pinjaman atau obligasi, akan memburuk karena peningkatan suku bunga. Risiko kerugian pada saat terjadinya apresiasi (kenaikan) atau depresiasi (penurunan) mata uang asing yang disebabkan oleh adanya posisi 134

162 transaksi yang masih terbuka. Pengelolaan risiko yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem pengelolaan keuangan yang efektif dengan sistem akuntansi biaya yang dapat memberikan informasi dini terhadap perubahan suku bunga atau nilai tukar dan implikasinya. 5.6 Analisis Instrumen Pengelolaan Risiko Penilaian Kemampuan Pengelolaan Risiko Kemampuan pengelolaan risiko diukur dengan memberikan nilai pada risiko berdasarkan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki, akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan, ketepatan waktu atas kepemilikan sumberdaya yang dibutuhkan, serta efektivitas sumberdaya dalam mengatasi permasalahan yang ada. Nilai yang diberikan antara 1-10, dimana nilai semakin besar nilai, maka semakin kemampuan dalam pengelolaan risiko Penilaian Kerentanan (vulnerability) Penilaiaan tingkat kerentanan (vulnerability) dilakukan dengan membandingkan nilai risiko dan nilai kemampuan pengelolaan risiko. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: = (52) Besarnya perbedaan nilai risiko dan nilai kemampuan risiko menunjukkan besarnya nilai kerentanan (vulnerability), yang kemudian dipetakan ke dalam radar chart Penilaian Instrumen Pengelolaan Risiko Penilaian instrumen pengelolaan risiko dilakukan dengan menggunakan AHP. Analisis diawali dengan penilaian jenis instrumen pengelolaan risiko. Dimana untuk setiap jenis instrumen dilakukan perbandingan berpasangan dengan mengisikan matriks perbandingan berpasangan. Contoh matriks perbandingan berpasangan tertera pada Gambar 31 dengan skala penilaian tertera pada Tabel

163 Gambar 31. Matriks Perbandingan Berpasangan Analisis Instrumen Pengelolaan Risiko Adopsi Manajemen Finansial Infrastruktur Kebijakan Kemitraan Adopsi 1 2 1/6 1/7 1/8 1 Manajemen 1/2 1 1/7 1/8 1/6 1 Finansial /8 3 6 Infrastruktur Kebijakan 8 6 1/3 ½ 1 4 Kemitraan 1 1 1/6 ¼ 1/4 1 Tabel 31. Angka Skala Saaty Tingkat Kepentingan Definisi 1 Sama penting 3 Perbedaan penting yang lemah antara yang satu terhadap yang lain 5 Sifat lebih pentingnya kuat 7 Menunjukkan sifat sangat penting 9 Ekstrim penting 2, 4, 6, 8 Nilai tengah diantara dua penilaian Resiprokal Jika komponen i, dibandingkan dengan j, mendapat nilai bukan nol, maka j jika dibandingkan dengan i, mempunyai nilai kebalikannya Setelah pengisian matriks perbandingan berpasangan, kemudian dilakukan penilaian konsistensi, dimana semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Langkah terakhir yaitu penggabungan nilai yang dilakukan dengan menggunakan persamanaan geometric mean. Jumlah matriks perbandingan berpasangan adalah 96 buah dan 32 buah matriks sebagai matriks gabungan, dimana setiap matriks menunjukkan analisis instrumen untuk setiap risiko. 5.7 Analisis Finansial Analisis Kelayakan Investasi Asumsi yang menjadi dasar perhitungan diperlukan dalam menghitung perkiraan biaya. Asumsi-asumsi tersebut antara lain asumsi produksi, pembiayaan, pinjaman dan angsuran, serta penyusutan. Asumsi produksi berkaitan dengan kapasitas mesin, periode pengolahan, rendemen, upah pengolahan, dan nilai produk samping. Asumsi pembiayaan memberikan informasi mengenai persentase modal sendiri dan pinjaman. Asumsi pinjaman 136

164 dan angsuran berkaitan dengan nilai bunga dan periode pinjaman. Asumsi penyusutan berkaitan dengan penyusutan bangunan, mesin dan peralatan yang dinyatakan dalam umur ekonomi dan nilai sisa. Sumber pembiayaan investasi terdiri dari pinjaman bank dan modal sendiri. Dana pinjaman merupakan pinjaman sumber dana yang berasal dari bank konvensional. Jenis pinjaman yang diberikan oleh bank konvensional yaitu kredit investasi dengan nilai bunga dan mekanisme pembayaran tertentu. Biaya investasi yaitu biaya yang diperlukan pada saat akan mendirikan usaha. Biaya ini terdiri dari biaya modal tetap dan biaya modal kerja. Modal tetap terdiri dari: biaya tanah dan bangunan, biaya mesin dan peralatan, biaya fasilitas, dan biaya pra operasi. Modal kerja merupakan dana yang dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan sebelum perusahaan menerima pendapatan atas penjualan. Besarnya biaya produksi per tahun yang dibutuhkan pada unit pengolahan lada putih terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya pemeliharaan bangunan dan mesin, pajak, serta biaya penanganan limbah. Biaya variabel terdiri dari biaya bahan pembantu, energi, pengangkutan, dan biaya tenaga kerja langsung. Pendapatan usaha pengolahan lada diperoleh dari jasa pengolahan dan hasil samping berupa tangkai dan lada enteng yang disuling. Perhitungan kelayakan investasi mengacu kepada proyeksi rugi lada dan aliran arus kas. Proyeksi rugi laba digunakan untuk mengetahui tingkat profitibilitas suatu usaha. Aliran kas bersih merupakan selisih kas masuk dengan kas keluar Simulasi Kelayakan Investasi berbasis Risiko Risiko dapat mempengaruhi kelayakan investasi. Pada agroindustri lada, risiko yang terjadi dapat mempengaruhi tiga komponen yaitu: jasa pengolahan, jumlah lada diolah, dan rendemen. Jasa pengolahan menggambarkan kemampuan pembayaran atas penggunaan mesin dan peralatan pengolah lada. Jumlah lada diolah merupakan banyaknya lada yang dapat dioleh dengan menggunakan mesin dan peralatan pengolah lada. Rendemen menggambarkan efisiensi kemampuan pengolahan lada. 137

165 Simulasi dilakukan dengan memperhitungkan agregasi nilai keparahan (severity) kelompok dan menghitung nilai keparahan (severity) tertimbang berdasarkan bobot kelompok yang telah diperhitungkan sebelumnya. Nilai keparahan (severity) kelompok dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = (53) = (54) = (55) = (56) = (57) dimana: S kn = nilai severity kelompok ke-n NS Ri = nilai severity risiko ke-i Nilai total severity dihitung dengan melakukan normalisasi nilai dengan rumus sebagai berikut: = (58) dimana: S n = nilai severity ternormalisasi w nki = nilai bobot kelompok ke-i Besarnya pengaruh yang diberikan terhadap komponen kelayakan investasi dilakukan dengan menjaring penilaian pakar. Penilaian pakar kemudian dihitung sebagai bobot pengaruh tertimbang yang akan menentukan besarnya nilai pengaruh yang dihitung berdasarkan nilai keparahan (severity) agregat. Skala yang digunakan tertera pada Tabel 25. Perhitungan nilai pengaruh terhadap jasa pengolahan dilakukan dengan rumus sebagai berikut: 138 = (59)

166 = (60) = (61) = (62) dimana: a j = nilai jasa pengolahan berdasarkan nilai titik bawah TFN b j = nilai jasa pengolahan berdasarkan nilai titik tengah TFN c j = nilai jasa pengolahan berdasarkan nilai titik atas TFN a jpi = nilai jasa pengolahan berdasarkan nilai titik bawah TFN oleh pakar ke-i b jpi = nilai jasa pengolahan berdasarkan nilai titik tengah TFN oleh pakar ke-i c jpi = nilai jasa pengolahan berdasarkan nilai titik atas TFN oleh pakar ke-i j = nilai jasa pengolahan Perhitungan nilai pengaruh terhadap jumlah lada diolah dilakukan dengan rumus sebagai berikut: = = = (63) (64) (65) = (66) dimana: a q = nilai jumlah lada diolah berdasarkan nilai titik bawah TFN b q = nilai jumlah lada diolah berdasarkan nilai titik tengah TFN c q = nilai jumlah lada diolah berdasarkan nilai titik atas TFN a qpi = nilai jumlah lada diolah berdasarkan nilai titik bawah TFN oleh pakar ke-i b qpi = nilai jumlah lada diolah berdasarkan nilai titik tengah TFN oleh pakar ke-i c qpi = nilai jumlah lada diolah berdasarkan nilai titik atas TFN oleh pakar ke-i q = nilai jumlah lada diolah Perhitungan nilai pengaruh terhadap rendemen dilakukan dengan rumus sebagai berikut: = = = (67) (68) (69) = (70) 139

167 dimana: a r = nilai rendemen berdasarkan nilai titik bawah TFN b r = nilai rendemen berdasarkan nilai titik tengah TFN c r = nilai rendemen berdasarkan nilai titik atas TFN a rpi = nilai rendemen berdasarkan nilai titik bawah TFN oleh pakar ke-i b rpi = nilai rendemen berdasarkan nilai titik tengah TFN oleh pakar ke-i c rpi = nilai rendemen berdasarkan nilai titik atas TFN oleh pakar ke-i r = nilai rendemen Nilai pengaruh kemudian dihitung dengan melakukan normalisasi nilai dengan rumus sebagai berikut: = = = (71) (72) (73) dimana: j n = nilai jasa pengolahan ternormalisasi q n = nilai jumlah lada diolah ternormalisasi r n = nilai rendemen ternormalisasi j = nilai jasa pengolahan q= nilai jumlah lada diolah r = nilai rendemen Perhitungan persentase pengaruh ditetapkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = (74) = (75) = (76) dimana: j p = nilai jasa pengolahan dalam persentase q p = nilai jumlah lada diolah dalam persentase r p = nilai rendemen ternormalisasi dalam persentase j n = nilai jasa pengolahan ternormalisasi q n = nilai jumlah lada diolah ternormalisasi r n = nilai rendemen ternormalisasi S n = Nilai Severity ternormalisasi Berdasarkan nilai persentase yang diperoleh dari perhitungan tersebut, kemudian dilakukan analisis perubahan terhadap faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh secara langsung terhadap faktor perubah. Risiko yang terjadi 140

168 berpengaruh terhadap jasa pengolahan lada. Perhitungan besarnya nilai pengaruh terhadap jasa pengolahan dilakukan dengan menggunakan rumus: = (77) dimana: JP t0 = nilai jasa pengolahan awal j p = nilai jasa pengolahan dalam persentase JP t1 = nilai jasa pengolahan dipengaruhi risiko Besarnya jumlah lada yang diolah akan berpengaruh terhadap jumlah bahan baku yang diolah dan produk samping yang dihasilkan. Analisis dilakukan dengan menggunakan rumus: = (78) = (79) dimana:bbj t0 = nilai bahan baku awal BB t1 = nilai bahan baku dipengaruhi risiko PT t0 = nilai produk tambahan awal PT t1 = nilai produk tambahan dipengaruhi risiko q p = nilai jumlah lada diolah dalam persentase Analisis perubahan nilai rendemen dilakukan dengan menggunakan rumus: = (80) dimana: R t0 = nilai rendemen awal R t1 = nilai rendemen dipengaruhi risiko r p = nilai rendemen ternormalisasi dalam persentase Berdasarkan perubahan nilai jasa pengolahan, jumlah lada diolah, dan nilai rendemen, maka akan diketahui perubahan kinerja investasi yang dinyatakan dalam nilai IRR, NPV, Net B/C ratio, dan Pay Back Period. Informasi mengenai perubahan kinerja investasi ini kemudian diperbandingkan dengan kinerja investasi potensial dalam bentuk grafik. 141

169 142

170 6. APLIKASI MODEL Pengembangan model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada bertujuan untuk memprediksi perilaku risiko, memperkirakan pengelolaan risiko dan instrumen yang diperlukan, serta memprediksi kinerja investasi dibawah pengaruh risiko. Untuk mencapai kegunaan tersebut maka perlu dipastikan bahwa model memiliki tingkat akurasi yang memadai. Tingkat akurasi yang memadai memiliki pengertian bahwa model dapat digunakan untuk merepresentasikan sistem nyata untuk tujuan percobaan dan analisis. Representasi yang kredibel dari sistem nyata oleh model ditunjukkan dengan verifikasi dan validasi model. Verifikasi memeriksa penerjemahan model simulasi konseptual (diagram alur dan asumsi) ke dalam bahasa pemrograman secara benar. Error pada program komputer dan implementasinya dapat disebabkan oleh data, model konseptual, program komputer, dan implementasi komputer. Verifikasi dilakukan untuk memastikan kesalahan yang berkaitan dengan program komputer. Program SMART INVEST dapat dioperasikan dan memberikan output yang dapat digunakan oleh pelaku pada sistem komoditas lada, investor, dan pemerintah. Bagi investor, model dapat memberikan gambaran mengenai kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi. Bagi pelaku pada sistem komoditas lada, model dapat memberikan gambaran nilai risiko dan pengelolaan risiko terpadu. Bagi pemerintah, model dapat memberikan panduan dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko sebagai bentuk dukungan fasilitas dari pemerintah dan stakeholder lain. Mekanisme perhitungan, yang diverifikasi melalui pemeriksaan antar variabel serta besaran dan arah dari nilai output, menunjukkan bahwa model dapat melakukan penilaian risiko, agregasi pendapat, agregasi nilai, dan pemetaan nilai sesuai yang diharapkan. Validasi adalah proses penentuan apakah model, sebagai konseptualisasi atau abstraksi, merupakan representasi dari sistem nyata. Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menilai tingkat kepentingan tujuan model, validasi struktur model, validasi perilaku model, dan validasi implikasi kebijakan. 143

171 Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang menurun dipengaruhi oleh stagnasi kegiatan investasi peningkatan nilai tambah, sedangkan investasi yang rendah terjadi sebagai akibat tingginya risiko yang ada dalam sistem komoditas lada, pada sisi yang lain proses adopsi teknologi yang berjalan lambat disebabkan oleh rendahnya dukungan fasilitas. Hal ini sejalan dengan tujuan pengembangan model yaitu identifikasi dan penilaian risiko, menyusun dukungan fasilitas, dan menilai kelayakan investasi berbasis risiko. Validasi struktur model dilakukan dengan structure verification test dengan cara menganalisis apakah struktur model kontradiksi dengan kondisi nyata, dan face validity test dengan cara menganalisis kesesuaian dengan kondisi nyata. Struktur model terdiri dari manajemen risiko dan analisis finansial serta kelayakan investasi berbasis risiko. Taksonomi risiko yang bersifat holistik memungkinkan diperolehnya gambaran yang memadai atas sistem yang nyata. Jenis risiko agroindustri dipengaruhi oleh risiko pada aspek budidaya, pemasaran, kelembagaan dan finansial dengan mekanisme transmisi yang terjadi di dalamnya. Pada kondisi demikian, perhitungan nilai risiko yang berbasis pengetahuan menjadi penting dilakukan. Pada model manajemen risiko, model mampu melakukan akuisisi pengetahuan responden, perhitungan risiko dan agregasi dengan pendekatan logika fuzzy, serta pemetaan pada radar chart, dengan output yang dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai besaran dan arah variabel yang dianalisis. Pada model analisis finansial, model mampu memperhitungkan keterkaitan antara nilai risiko dan kelayakan investasi. Validasi model perilaku dilakukan dengan menggunakan parameter sensitivity test, dimana dianalisis perubahan perilaku dengan melakukan simulasi yang didalamnya terdapat perubahan nilai beberapa parameter. Pada kasus ini dilakukan pengukuran dan simulasi atas perubahan tiga komponen utama pada agroindustri yaitu kemampuan pembayaran jasa pengolahan, jumlah lada yang diolah, dan tingkat rendemen, selain itu juga dapat dianalisis perubahannya atas dasar risiko yang terjadi. 144

172 Validasi implikasi kebijakan dilakukan dengan menggunakan behavior prediction test. Model yang dihasilkan dapat memperkirakan bahwa kelayakan investasi akan berubah sejalan dengan intervensi yang dilakukan dalam bentuk pengelolaan risiko. Pada kasus ini, pada kondisi ekstrim dimana tidak dilakukan pengelolaan terhadap risiko, perubahan kinerja sistem berpengaruh terhadap nilai kelayakan investasi dengan arah yang semakin memburuk. Validasi secara keseluruhan dilakukan dengan melihat bagaimana struktur model dan perilaku model mendekati keadaan di dunia nyata. Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana aplikasi model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada di Kepulauan Bangka. Uraian terkait hal tersebut terdiri dari: gambaran wilayah dan kinerja komoditas, penilaian risiko, analisis pengelolaan risiko, analisis finansial, simulasi kelayakan investasi berbasis risiko, tatanan kelembagaan, dan keterkaitan ke depan. 6.1 Gambaran Wilayah Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki total luas wilayah sebesar ,14 km 2, yang terdiri dari daratan seluas ,14 km 2 (20,10%) dan lautan seluas km 2 (79,90%). Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi dalam enam kabupaten dan satu kota yaitu: Kabupaten Bangka (2.950,68 km 2 ), Kabupaten Bangka Barat (2.820,61 km 2 ), Kabupaten Bangka Tengah (2.155,77 km 2 ), Kabupaten Bangka Selatan (3.607,08 km 2 ), Kabupaten Belitung (2.293,69 km 2 ), Kabupaten Belitung Timur (2.506,91 km 2 ), dan Kota Pangkalpinang (89,40 km 2 ). Penanaman lada tersebar pada seluruh kabupaten dengan melibatkan KK petani. Kabupaten Bangka Selatan merupakan sentra produksi lada di Kepulauan Bangka Belitung. Luas lahan terbesar yaitu di Kabupaten Bangka Selatan, dengan luas sebesar ha atau 40,31% dari areal lada yang ada. Areal pada Kabupaten Bangka Barat dan Belitung masing-masing sebesar 19,85% dan 18.45% dari luas areal lada yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sedangkan Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung Timur dan Kabupaten Bangka Tengah memiliki luas areal di bawah 10% (Tabel 32). 145

173 Tabel 32. Sebaran Areal Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Kabupaten/Kota Luas (ha) Produksi (ton) Jumlah Petani (KK) Bangka Bangka Selatan Bangka Tengah Bangka Barat Belitung Belitung Timur Total Sumber: Disbun Babel (2011) Kontribusi PDRB atas harga berlaku Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2011 yaitu sektor industri pengolahan (20,56%), sektor pertambangan dan penggalian (19,18%), serta sektor Pertanian (18,41%). Kontribusi subsektor perkebunan terhadap sektor pertanian yaitu sebesar 5,73% (BPS 2012). Struktur ekspor Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didominasi oleh ekspor barang tambang dan galian yaitu timah, kemudian diikuti oleh ekspor hasil pertanian yaitu lada dan karet. Komoditas lada, karet, dan kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan utama di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada kurun waktu , perkembangan luas areal karet meningkat dengan pertumbuhan 12,79% per tahun, kelapa sawit cenderung tetap, sedangkan lada cenderung mengalami penurunan sebesar 3,95% per tahun (Gambar 32). Luas areal lada pada tahun 2010 mencapai ha dengan produksi sebesar ton. Penurunan produksi memberikan pengaruh terhadap keberadaan eksportir lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari sekitar 40 eksportir yang ada sebelumnya, di tahun 2012 hanya tersisa 5 perusahaan eksportir lada. Penurunan produksi yang sangat signifikan menyebabkan penurunan kemampuan ekspor. Kemampuan eksportir dalam melakukan ekspor menurun hingga mencapai ton/bulan. 146

174 Gambar 32. Perkembangan Luas Areal Lada, Karet, dan Kelapa Sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sumber: Disbun Babel (2011) Pengembangan komoditas lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dipengaruhi oleh kegiatan investasi di dalamnya. Investasi pada usahatani lada putih relatif besar, oleh karena itu dilakukan berbagai upaya oleh Pemerintah Daerah untuk menarik investor terlibat dalam program perluasan areal lada. Kabupaten Bangka, sebagai salah satu sentra produksi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memiliki lahan potensial perkebunan lada yang dapat dikembangkan seluas ,31 ha, sedangkan lahan yang baru diusahakan masih 2.409,42 ha. Hal ini menunjukkan masih tersedia lahan sekitar 14 ribu ha yang tersebar di enam kecamatan. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Bangka gencar melakukan promosi investasi untuk perluasan areal lada. Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan dan Bangka Barat merencanakan pembukaan lahan bagi perkebunan lada, dimana dana untuk pengelolaan lahan, bibit, dan pupuk merupakan bantun dari Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian. Pengelolaan perkebunan lada ini diserahkan kepada kelompok tani lada yang tersebar di sentra produksi lada. 6.2 Penilaian Risiko Penilaian risiko dilakukan terhadap 32 jenis risiko yang ada dalam sistem komoditas lada di Kepulauan Bangka. Risiko tersebut merupakan risiko yang 147

175 akan dihadapi apabila dilakukan investasi agroindustri lada. Nilai risiko menunjukkan peluang dan tingkat keparahan yang akan dialami apabila risiko tersebut terjadi. Hasil penilaian risiko tersebut tersaji pada Tabel 33. Tabel 33. Nilai Risiko Kelompok Risiko Nilai Deteksi (Detection) Agroindustri (4,84) Budidaya (6,14) Pemasaran (8,00) Kelembagaan (5,93) Finansial (4,76) Nama Risiko Nilai Kejadian (0ccurrence) Nilai Keparahan (Severity) Nilai Risiko 1. Lada tercampur 3,10 3,50 1,75 3,07 2. Lada keabu-abuan 6,19 4,81 4,35 5,17 3. Kontaminasi perendaman 2,89 6,65 3,50 4,62 4. Lada pecah 3,96 7,50 2,36 5,20 5. Kontaminasi pencucian 2,89 6,19 3,50 4,45 6. Kadar air 4,19 7,50 4,81 5,82 7. Serangga ditemukan 2,36 4,19 1,75 3,08 8. Kotoran 3,50 6,35 1,75 4,39 9. Jamur 3,50 6,19 4,19 4, Penurunan aroma 5,04 7,50 5,50 6, Kadar atsiri 5,04 7,50 5,50 6, Hama Penggerek Batang 6,19 6,19-6, Hama Penghisap Buah 5,04 5,04-5, Hama Penghisap Bunga 4,81 3,50-3, Penyakit Busuk Pangkal 8,51 9,25-8,95 Batang 16. Penyakit Kuning 6,25 6,19-6, Penyakit Kerdil/Keriting 5,73 6,19-4, Cuaca 6,19 6,65-6, Lokasi lahan 5,04 5,04-5, Daya dukung lingkungan 8,51 8,51-8, Harga 9,25 9,25-9, Indikasi geografis 7,50 7,55-7, Subtitusi Produk 2,69 6,00-5, Persaingan 9,25 9,25-9, Kerjasama 8,85 8,64-8, Ketergantungan antar 7,04 9,25-8,32 pelaku 27. Manajemen operasional 7,04 8,51-7, Informasi 5,96 5,96-5, Suku bunga 3,50 6,19-4, Nilai tukar 3,50 7,90 4, Kredit 6,19 5,50-5, Likuiditas 7,04 7,90-7,56 Nilai risiko kelompok adalah sebagai berikut: Agroindustri (4,84), Budidaya (6,14), Pemasaran (8,00), Kelembagaan (5,93), serta Finansial (4,76). Secara keseluruhan agregasi risiko investasi agroindustri lada di Kepulauan Bangka adalah menunjukkan status Tinggi dengan nilai sebesar 6,

176 Nilai risiko kelompok pemasaran memiliki nilai risiko kelompok terbesar. Hal ini berkaitan dengan tingkat keparahan yang terjadi dan keterbatasan kemampuan petani dalam mengelola risiko tersebut, selain itu kewenangan pengelolaan risiko tidak berada di tangan petani. Nilai risiko kelompok budidaya merupakan nilai risiko terbesar kedua. Hal ini berkaitan dengan tingginya serangan organisme pengganggu tanaman, dimana hama dan penyakit tanaman lada memberikan dampak yang sangat parah. Sebanyak 18 responden (42,86%) dan 23 responden (54,76%) menyatakan bahwa serangan penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning sangat sering menyerang tanaman lada (Gambar 33). Hal yang sama terjadi padaa hama penggerek batang, dimana frekuensi serangan relatif sering dan sedang. J R B P B P K H P B Gambar 33. Penilaian Frekuensi Serangan Hama dan Penyakit Lada Utama Gambar 34. Tingkat Keparahan Akibat Serangan Hama dan Penyakit 149

177 Berdasarkan tingkat keparahan yang disebabkan oleh serangan OPT, sebanyak 35 responden (83,33%) menyatakan bahwa akibat serangan tersebut tanaman biasanya hanya akan bertahan kurang dari satu tahun (Gambar 34). Hal ini menunjukkan tingginya tingkat keparahan yang disebabkan oleh serangan OPT. Pada kelompok agroindustri, risiko terbesar adalah penurunan aroma (6,30) dan kadar atsiri (6,30) yang dominan terjadi pada proses penyulingan, mengingat penurunan aroma dapat juga terjadi dalam proses perendaman. Hal ini dapat terjadi karena metode yang tidak sesuai prosedur. Pada kelompok budidaya, risiko terbesar adalah penyakit busuk pangkal batang. Penyakit ini merupakan risiko yang paling ditakuti petani karena dapat menyebabkan kematian tanaman dalam waktu singkat. Apabila serangan jamur terjadi pada satu tanaman dalam suatu kebun, pada jangka waktu yang tidak lama penyakit akan menyebar ke tanaman di sekitarnya. Penyakit akan lebih cepat menyebar pada musim hujan. Risiko terbesar lainnya adalah daya dukung lingkungan (8,51) dan cuaca (6,47). Daya dukung lingkungan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dipengaruhi secara signifikan oleh pembukaan tambang timah rakyat. Pemerintah daerah Bangka Belitung menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis, Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya, sebagai peraturan yang memudahkan pembukaan tambang inkonvensional. Selain itu juga terdapat SKEP Bupati Bangka No.540.K/271/Tamben/2001 tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan untuk Pengolahan dan Penjualan (ekspor). Ketika ekspor timah marak, maka Menperindag mengeluarkan Kepmen-Perindag No 443/MPP/ Kep/5/2002 tentang larangan ekspor timah berbentuk bijih atau pasir timah. Pemberian ijin tambang swasta dan tambang inkonvensional di Bangka Belitung telah meningkatkan aktivitas penambangan timah secara tajam. Hal ini kemudian berdampak kepada hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi area pertambangan, yang melahirkan dampak terjadinya ketidakseimbangan sistem alam. Areal tambang timah yang telah digunakan ditinggalkan dalam 150

178 bentuk kolam-kolam bekas tambang, yang tidak dapat digunakan lagi sebagai areal pertanian. Pembukaan lahan timah secara besar-besaran berpengaruh terhadap upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan dalam mendukung pertanaman lada. Perubahan cuaca pada fase produksi akan mengakibatkan tidak optimalnya produksi dan mutu lada. Perubahan iklim global akan mempengaruhi tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan, serta (3) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El- Nino dan La-Nina. Perubahan kodisi ini dapat menyebabkan dampak terhadap produktivitas tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan kondisi tanah. Temperatur secara langsung berperan terhadap perkembangan biji seperti pengisian biji dan laju produksi bahan kering pada biji. Perubahan jumlah hujan dan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran awal musim dan periode masa tanam. Penurunan curah hujan menyebabkan penurunan potensi satu periode masa tanam. Tingginya curah hujan saat pembungaan, proses panen dan setelah pemanenan membuat mutu lada juga menurun. Pada kelompok pemasaran, risiko harga dan risiko persaingan merupakan risiko terbesar dengan nilai 9,25. Risiko persaingan terjadi pada ranah perdagangan global. Dominasi lada Vietnam dan ekspansi usaha yang berkelanjutan dari Vietnam, mempengaruhi struktur persaingan lada di pasar dunia. Perkembangan lada di Vietnam dimulai pada periode 1980-an. Hal ini dilakukan untuk merespon pergerakan harga lada yang terus meningkat. Areal tanam dari Vietnam terus meningkat. Dengan peningkatan kecepatan rata-rata 27,29% per tahun sejak tahun 1996, maka perkebunan lada di Vietnam melampaui tingkat ha sejak tahun Seiring dengan perluasan perkebunan lada, produksi dan ekspor lada Vietnam juga memiliki kenaikan yang luar biasa, yaitu sekitar 30% per tahun sejak tahun Pada tahun 2001, Vietnam menjadi eksportir lada terbesar di dunia dengan total ekspor ton, yang mencapai 151

179 28,00% dari ekspor dunia. Vietnam telah melakukan pengiriman ke hampir 80 negara dan wilayah (VPA 2010). Fluktuasi harga sangat mempengaruhi keputusan petani dalam pengusahaan lada selanjutnya, baik dalam keputusan perluasan areal kebun maupun keputusan pemeliharaan kebun secara intensif. Hal ini berkaitan dengan komposisi modal petani yang seluruhnya merupakan modal sendiri. Analisis perkembangan harga pada periode Januari 2001-Mei 2012 menunjukkan bahwa data memiliki fungsi y = 5,23x 2 323,02x dengan tingkat kepercayaan 91,30% (Gambar 35). Data periode menggunakan data harga rata-rata lada putih di tingkat lokal, sedangkan data periode menggunakan data harga rata-rata lokal dalam USD yang telah dikonversi menggunakan nilai kurs tengah bulanan Bank Indonesia pada periode tersebut. Fungsi regresi menunjukkan bahwa harga lada putih memiliki kecenderungan jangka panjang yang terus meningkat. Pada jangka pendek, periode kenaikan harga yang diikuti oleh periode penurunan harga akan mempengaruhi keputusan petani dalam proses perawatan kebun lada atau dalam proses pengambilan keputusan perluasan areal. R Gambar 35. Perkembangan Harga Bulanan di Tingkat Petani Periode Januari 2001-Mei

180 Pada aspek kelembagaan, risiko kerjasama (8,72) merupakan risiko dengan nilai terbesar. Bercermin kepada uji coba alat pengolahan di Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan, pemenuhan persyaratan teknis belum cukup untuk menentukan keberhasilan proses adopsi teknologi. Penguatan kerjasama antar pelaku menjadi faktor kunci keberhasilan lainnya, mengingat model agroindustri yang dikembangkan merupakan model penyediaan alat yang digunakan secara bersama dalam suatu sistem pengelolaan. Oleh karena itu, hilangnya kerjasama antar pelaku pada rantai nilai akan menyebabkan tidak efektif atau bahkan terputusnya rantai produksi yang kemudian akan mengakibatkan kegagalan pada model bisnis pengolahan lada berbasis kelompok. Pada aspek finansial, risiko likuiditas merupakan risiko dengan nilai terbesar yaitu 7,56. Risiko ini berkaitan dengan manajemen pengelolaan keuangan, dimana tidak dimilikinya uang tunai atau aktiva jangka pendek yang dapat diuangkan segera untuk memenuhi kewajiban pembayaran. 6.3 Analisis Pengelolaan Risiko Pengelolaan risiko menunjukkan kemampuan petani dalam memberikan respon terhadap risiko. Pada sistem komoditas lada, pengelolaan risiko dapat bersifat pencegahan sebelum risiko terjadi (ex ante) maupun penyelesaian setelah risiko terjadi (ex post), dengan jenis pengelolaan risiko yang bersifat formal maupun non formal. Ditinjau dari sudut pelaku, pengelolaan risiko pada sistem komoditas lada dapat dibedakan menjadi pengelolaan risiko yang dilakukan secara individual atau kelompok. Pengelolaan risiko selama ini dilakukan secara individu dengan konsentrasi kepada penanganan risiko pada aspek budidaya. Pengalaman budidaya lada dan pengetahuan yang diturunkan, pada awalnya mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Seiring berjalannya waktu, pada kondisi dimana tekanan lingkungan semakin tinggi, maka diperlukan teknologi yang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pada kondisi demikian, teknologi dirasa sebagai salah satu alat untuk mengelola risiko, hal ini tercermin dari pendapat sebanyak 18 responden (42,86%) atas hal ini (Gambar 36). 153

181 Gambar 36. Persepsi Mengenai Teknologi dalam Perannya Mengatasi Permasalahan Kesadaran akan kemampuan teknologi dapat mengatasi permasalahan yang ada, ternyata tidak diikuti dengan tingginya nilai adopsi teknologi. Berdasarkan pengalaman, sebanyak 28 responden atau sebesar 66,67% belum pernah mengakses informasi teknologi (Gambar 37), sebanyak 31 responden atau sebesar 73,81% belum pernah mendapatkan bimbingan tentang teknologi (Gambar 38). Gambar 37. Pengalaman dalam Mengakses Informasi Teknologi Gambar 38. Pengalaman dalam Memperoleh Bimbingan Penggunaan Teknologi 154

182 Gambar 39. Penilaian terhadap Peran Kelompok Tani Kemampuan pengelolaan risiko yang dilakukan secara berkelompok dapat difasilitasi melalui kelompok tani. Keberadaan kelompok tani telah sejak lama ada, namun demikian petani masih belum merasakan peran yang optimal dari lembaga tersebut. Hal ini tercermin dari pandangan petani terhadap peran kelompok tani dalam perihal akses lembaga keuangan, pengadaan mesin pengolahan bersama, pengadaan input bersama, serta pemasaran bersama yang dirasa masih sangat tidak memadai dan kurang memadai, serta hanya sebagian kecil yang menyatakan cukup (Gambar 39). Sebagian besar petani mengatakan bahwa akses terhadap lembaga keuangan (73,81%) sangat tidak memadai, sedangkan penilaian tidak memadai bagi peran kelompok tani terhadap pengadaan input, pengadaan mesin pengolahan bersama, dan pemasaran bersama berturut- turut adalah sebesar 47,62% %, 35,71%, dan 30,95%. Secara keseluruhan, kemampuan pengelolaan risiko dapat dilihat pada Tabel 34. Pengelolaan risiko pada aspek agroindustri diduga relatif tinggi. Hal ini didasarkan kepada prosedur pengoperasian alat yang relatif mudah, ketersediaan energi yang memadai, serta kebutuhan kapabilitas operator yang tidak terlalu tinggi dalam mengoperasikan alat dan mesin pengolahan lada. Kemampuan alat dan mesin pengolahan lada dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan mutu lada, akan mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berkesinambungan. Hal ini pada akhirnya akan membangun kemampuan pengoperasian alat dan mesin secara optimal. 155

183 Tabel 34. Kemampuan Pengelolaan Risiko Nama Risiko Nilai Kemampuan Pengelolaan Risiko 1. Lada tercampur 8 2. Lada keabu-abuan 8 3. Kontaminasi perendaman 7 4. Lada pecah 8 5. Kontaminasi pencucian 8 6. Kadar air 9 7. Serangga ditemukan 9 8. Kotoran 8 9. Jamur Penurunan aroma Kadar atsiri Hama Penggerek Batang Hama Penghisap Buah Hama Penghisap Bunga Penyakit Busuk Pangkal Batang Penyakit Kuning Penyakit Kerdil/Keriting Cuaca Lokasi lahan Daya dukung lingkungan Harga Indikasi geografis Subtitusi produk Persaingan Kerjasama Ketergantungan antar pelaku Manajemen operasional Informasi Suku bunga Nilai tukar Kredit Likuiditas 6 Kemampuan pengelolaan risiko lain yang relatif tinggi adalah pengelolaan risiko pada aspek budidaya. Hal ini berkaitan dengan dukungan teknologi budidaya yang selama ini telah ada. Selain itu, pengalaman budidaya lada yang dilakukan secara turun temurun akan membangun pengetahuan yang sangat berarti bagi petani dalam menjalankan usahatani lada. Pengelolaan risiko pemasaran belum berjalan optimal. Hal ini berkaitan dengan sifat pengelolaan yang membutuhkan pendekatan formal pada tingkat rantai nilai secara keseluruhan. Pengelolaan risiko pada aspek kelembagaan relatif rendah. Operasionalisasi usaha yang selama ini dijalankan secara individu serta peran lembaga usaha bersama yang masih sangat terbatas menyebabkan rendahnya pengalaman petani menjalankan usaha secara bersama. 156

184 Pengelolaan risiko finansial akan membutuhkan kemampuan dalam pengelolaan keuangan serta dalam membangun kerjasama dengan pelaku lain yang terlibat dalam transaksi ekonomi usaha. Sebagai sebuah unit yang berorientasi kepada pencapaian keuntungan, maka usaha pengolahan ladaa secara mekanis dituntut untuk diselenggarakan secara profesional. Rendahnya pengalaman dalam hal inilah yang diduga akan menyebabkan rendahnya kemampuan pengelolaan risiko pada aspek finansial. Kemampuan pengelolaan risiko dipengaruhi oleh kapasitas individu, kapasitas kelompok, dan dukungan program pemerintah. Pada tingkat individu, kemampuan pengelolaan risiko dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengalaman petani. Sebaran tingkat pendidikan petani lada adalah tidak tamat SD sebanyak satu responden (21,43%), tamat SD sebanyak 21 responden (50,00%), dan sisanya tamat SMP sebanyak sepuluh orang (23,81%) dan tamatt SLTA sebanyak satu orang (2,38%). Sebagian besar petani memiliki latar belakang pendidikan tidak tamat SD dan tamat SD (Gambar 40). SD SD SMP SLTA PT Gambar 40. Sebaran Tingkat Pendidikan Petani Ditinjau dari sisi pengetahuan, pendidikan formal tersebut diperkaya dengan pengetahuan teknis mengenai lada yang sangat luas. Pengusahaan lada merupakan usaha yang dilakukan secara turun temurun. Oleh karena itu, pengetahuan dan pengalaman menjadi faktor lain yang menentukan keberhasilan pengusahaan lada selain dari tingkat pendidikannya. Dengan sebaran usia terbesar pada kelompok usia tahun, petani memiliki pengalaman melakukan budidaya lada rata-rata selama 17,8 tahun. 157

185 Selain pengelolaan risiko secara individu, telah dikeluarkan berbagai program pemerintah sebagai upaya pengelolaan secara berkelompok. Secara umum, pemerintah telah meluncurkan program dalam upaya mengatasi permasalahan yang ada di tingkat petani. Beberapa program pemerintah yang berpengaruh terhadap kemampuan petani adalah program penyuluhan, sekolah lapang, diseminasi teknologi, dan bantuan pembiayaan. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan di Kepulauan Bangka Belitung menghadapi beberapa kendala yang mengakibatkan proses perubahan perilaku berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan petani belum dapat berjalan dengan optimal. Penyuluhan pertanian sebagai sebuah sistem pendidikan luar sekolah bagi petani dan keluarganya, belum mampu mencapai tujuan perubahan sikap dan perilaku untuk bertani lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better bussines), hidup lebih sejahtera (better living) dan bermasyarakat lebih baik (better community), serta menjaga kelestarian lingkungannya (better environment). Kendala yang dihadapi yaitu: jumlah penyuluh yang tidak memadai, dan kapasitas penyuluh yang terbatas. Berbagai langkah strategis telah dilakukan oleh pemerintah. Kementerian Pertanian melakukan pengangkatan tenaga penyuluh honorer untuk memperkuat tenaga penyuluhan. Kementerian Pertanian juga berupaya memperbaiki dan memfungsikan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), menyediakan kendaraan dinas untuk transportasi penyuluh, serta memperbaiki metoda dan sistem penyuluhan yang selama ini lebih banyak berorientasi pada peningkatan produksi kepada penyuluhan yang berorientasi kepada agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani dan keluarganya. Pada tingkat daerah, Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki sekitar 300 orang penyuluh, yaitu penyuluh pertanian, perikanan, peternakan. Penyuluh tersebut tersebar di desa di enam kabupaten dan satu kota. Pada sisi yang lain, pemerintah memiliki program pembangunan 230 unit posko penyuluh desa yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini bertujuan untuk mempercepat penyampaian teknologi pertanian kepada masyarakat, atau sebagai pusat informasi teknologi pertanian di perdesaan. Posko 158

186 ini merupakan salat satu solusi dalam mengatasi permasalahan rendahnya daya jangkau penyuluh karena jumlah penyuluh yang terbatas. Peningkatan kemampuan petani juga dilakukan melalui pembentukan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). SLPTT merupakan media pembelajaran langsung di lapangan bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Dalam SLPTT terdapat satu unit Laboratorium Lapangan yang merupakan bagian dari kawasan sekolah lapang, yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, tempat belajar dan tempat praktek penerapan komponen teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu yang disusun dan diterapkan oleh kelompok tani atau petani peserta SLPTT. Program pemerintah lainnya yaitu melalui Badan Litbang Pertanian adalah dengan terus mengembangkan berbagai program diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian. Program ini bertujuan untuk memacu adopsi dan penerapan inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan usahatani. Jika sebelumnya implementasi program pemacuan adopsi teknologi tersebut dituangkan dalam kegiatan Prima Tani, maka mulai tahun 2011 dikembangkan melalui Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (MP3MI). MP3MI merupakan suatu model kegiatan diseminasi melalui suatu percontohan di lapang yang melibatkan kelompok tani atau gapoktan. Peragaan inovasi yang dilakukan meliputi aspek teknis dan aspek kelembagaan. Aspek teknis meliputi teknik budidaya, sedangkan aspek kelembagaan meliputi pemberdayaan kelompok tani atau gapoktan, pemberdayaan kelembagaan pendukung termasuk kelembagaan pasar input dan output. MP3MI di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilaksanakan di Desa Perpat, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Pada aspek pembiayaan, program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) merupakan program Kementerian Pertanian bagi petani di perdesaan dalam rangka meningkatkan mutu hidup, kemandirian, dan kesejahteraan. PUAP telah dilaksanakan mulai 2008 di bawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) dan berada dalam kelompok pemberdayaan masyarakat. PUAP adalah fasilitasi bantuan modal 159

187 usaha agribisnis untuk petani baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang disalurkan melalui Gabungan Kelompok Tani. Kemampuan pengelolaan risiko akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja. Nilai risiko yang tinggi akan membutuhkan kemampuan pengelolaan risiko yang tinggi pula. Apabila kondisi ini tidak dapat dipenuhi, maka akan menimbulkan kerentanan yang dapat mengakibatkan penurunan kinerja dalam bentuk kuantitas, mutu, keuntungan, maupun keberlanjutan. Berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability), maka terdapat beberapa risiko yang memiliki nilai risiko tinggi dan nilai kemampuan pengelolaan risiko yang rendah (Tabel 35). Pemetaan nilai kerentanan (vulnerability) secara grafis disajikan pada Gambar 41. Tabel 35. Nilai Kerentanan (Vulnerability) Nama Risiko Nilai Risiko Kapasitas Pengelolaan Risiko Nilai kerentanan (vulnerability) 1. Lada tercampur 3,07 8 4,93 2. Lada keabu-abuan 5,17 8 2,83 3. Kontaminasi perendaman 4,62 7 2,38 4. Lada pecah 5,20 8 2,80 5. Kontaminasi pencucian 4,45 8 3,55 6. Kadar air 5,82 9 3,18 7. Serangga ditemukan 3,08 9 5,92 8. Kotoran 4,39 8 3,61 9. Jamur 4,85 8 3, Penurunan aroma 6,30 7 0, Kadar atsiri 6,30 7 0, Hama Penggerek Batang 6,19 7 0, Hama Penghisap Buah 5,04 7 1, Hama Penghisap Bunga 3,96 7 3, Penyakit Busuk Pangkal Batang 8,95 5-3, Penyakit Kuning 6,32 5-1, Penyakit Kerdil/Keriting 6,01 5-1, Cuaca 6,47 4-2, Lokasi lahan 5,04 7 1, Daya dukung lingkungan 8,51 6-2, Harga 9,25 3-6, Indikasi geografis 7,53 5-2, Subtitusi produk 5,98 5-0, Persaingan 9,25 4-5, Kerjasama 8,72 4-4, Ketergantungan antar pelaku 8,32 5-3, Manajemen operasional 7,90 7-0, Informasi 5,96 5-0, Suku bunga 4,96 5 0, Nilai tukar 5,76 6 0, Kredit 5,76 6 0, Likuiditas 7,56 6-1,56 160

188 N R K P R Gambar 41. Radar Chart Nilai Kerentanan (vulnerability) Keterangan: 1. Risiko lada tercampur 2. Risiko lada keabu-abuan 3. Risiko kontaminasi perendaman 4. Risiko lada pecah 5. Risiko kontaminasi pencucian 6. Risiko kadar air 7. Risiko serangga ditemukan 8. Risiko kotoran 9. Risiko jamur 10. Risiko penurunan aroma 11. Risiko kadar atsiri 12. Risiko hama penggerek batang 13. Risiko hama penghisap buah 14. Risiko hama penghisap bunga 15. Risiko penyakit busuk pangkal batang 16. Risiko penyakit kuning 17. Risiko penyakit kerdil/keriting 18. Risiko cuaca 19. Risiko lokasi lahan 20. Risiko daya dukung lingkungan 21. Risiko harga 22. Risiko indikasi geografis 23. Risiko risiko subtitusi produk 24. Risiko persaingan 25. Risiko kerjasama 26. Risiko ketergantungan antar pelaku 27. Risiko manajemen operasional 28. Risiko informasi 29. Risiko suku bunga 30. Risiko nilai tukar 31. Risiko kredit 32. Risiko likuiditas Jenis risiko dengan nilai kerentanan tinggi, yang akan menjadi prioritas dalam pemberian dukungan dalam proses pengelolaan risiko, adalah risiko dengan nilai risiko yang tinggi dan nilai kemampuan pengelolaan yang rendah. Risiko tersebut adalah: risiko harga, risiko persaingan, risiko kerjasama, risiko penyakit busuk pangkal batang, risiko ketergantungan antar pelaku, risiko indikasi geografis, risiko cuaca, risiko daya dukung lahan, risiko likuiditas, risiko penyakit 161

189 kuning, risiko pernyakit kerdil, risiko subtitusi produk, risiko manajemen operasional, dan risiko pembagian informasi. Beberapa risiko yang mendapat prioritas dalam pemberian dukungan fasilitas adalah risiko harga, persaingan, kerjasama, penyakit busuk pangkal batang, serta ketergantungan antar pelaku. Pengelolaan risiko pada sistem komoditas lada memerlukan instrumen pengelolaan risiko dengan prioritas yang berbeda, tergantung dari jenis pengelolaan risiko yang dipilih dan ketersediaan aset pengelolaan risiko yang dimiliki oleh pelaku. Nilai relatif keenam instrumen pengelolaan risiko pada setiap jenis risiko tertera pada Tabel 36. Tabel 36. Nilai Prioritas Instrumen Pengelolaan Risiko Nama Risiko Nilai Instrumen Pengelolaan Risiko Teknologi Manajemen Pembiayaan Kebijakan Infrastruktur Kemitraan 1. Lada tercampur 16,88 6,35 43,65 13,18 7,15 12,79 2. Lada keabu-abuan 9,72 44,28 5,48 13,65 3,04 23,84 3. Kontaminasi perendaman 16,33 39,28 6,03 25,83 3,21 9,33 4. Lada pecah 26,17 15,88 28,61 10,57 3,97 14,80 5. Kontaminasi pencucian 12,22 41,58 6,07 23,48 3,76 12,89 6. Kadar air 17,17 9,01 41,77 10,98 7,21 13,85 7. Serangga ditemukan 42,25 24,65 15,61 5,17 3,33 8,98 8. Kotoran 32,70 28,82 13,72 10,79 3,80 10,17 9. Jamur 20,74 30,03 28,31 8,47 3,63 8, Penurunan aroma 25,55 14,48 40,64 7,72 3,39 8, Kadar atsiri 23,37 22,78 24,42 13,20 4,81 11, Hama Penggerek Batang 16,58 39,23 25,16 9,41 5,87 3, Hama Penghisap Buah 18,30 39,04 23,17 10,34 5,44 3, Hama Penghisap Bunga 18,95 38,96 23,07 10,16 5,42 3, Penyakit Busuk Pangkal Batang 16,77 42,71 22,43 9,74 4,95 3, Penyakit Kuning 16,45 41,99 22,27 10,05 5,48 3, Penyakit Kerdil/Keriting 17,20 39,84 23,76 10,17 5,37 3, Cuaca 39,42 19,27 9,09 21,53 6,57 4, Lokasi lahan 5,37 25,92 16,43 8,36 3,99 39, Daya dukung lingkungan 15,07 5,10 9,15 28,62 38,42 3, Harga 5,95 5,51 12,83 37,07 31,97 6, Indikasi geografis 25,82 15,69 6,41 38,11 10,04 3, Subtitusi produk 12,63 33,33 24,34 15,23 8,15 6, Persaingan 39,15 9,67 14,29 3,28 5,23 28, Kerjasama 17,22 25,65 10,73 4,14 2,82 39, Ketergantungan antar pelaku 23,12 16,76 12,86 7,98 5,87 33, Manajemen operasional 17,87 30,23 11,49 9,92 11,99 18, Informasi 32,45 10,12 7,36 34,25 8,33 7, Suku bunga 15,08 39,99 4,58 12,81 17,20 10, Nilai tukar 14,39 38,79 4,39 4,50 31,10 6, Kredit 5,47 42,07 3,36 8,22 13,80 27, Likuiditas 5,25 42,97 3,34 8,07 13,68 26,68 162

190 Sistem Resi Gudang merupakan sebuah terobosan baru dalam menangani fluktuasi harga komoditas. Selain baru diterapkan untuk lada hitam di Lampung, implementasi Sistem Resi Gudang mengalami berbagai kendala dan mengalami fluktuasi baik dari jumlah resi gudang, volume komoditi, nilai barang maupun jumlah pembiayaannya. Penerapan Sistem Resi Gudang pada lada putih membutuhkan relatif lebih besar dukungan infrastruktur (31,97), kebijakan (37,07), dan finansial (12,83) dibandingkan dengan instrumen lainnya. Pengelolaan risiko persaingan dilakukan dengan cara peningkatan nilai tambah dan pengembangan pasar. Peningkatan nilai tambah untuk menghasilkan produk yang unik atau berbeda bertujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan konsumen. Pengelolaan risiko melalui penambahan mutu, fungsi, dan bentuk dapat dilakukan melalui perbaikan dan pengembangan sistem pengolahan lada. Pengelolaan risiko melalui penambahan pemenuhan fungsi tempat, waktu dan kemudahan mendapatkan dapat dilakuan melalui penerapan strategi ceruk pasar (niche market), yaitu strategi menjadi pemimpin pasar di pasar yang kecil. Hal ini dilakukan dengan menciptakan spesialisasi dalam bentuk spesialisasi produk, spesialisasi geografis, spesialisasi harga dan mutu, spesialisasi pelanggan, spesialisasi pelayanan, spesialisasi pemakai akhir, spesialisasi pesanan, spesialisasi produk atau lini produk, spesialisasi saluran pemasaran, atau spesialisasi ukuran pelanggan. Kemampuan melakukan pengelolaan risiko persaingan tersebut belum dimiliki oleh para pelaku dalam sistem komoditas lada. Hal ini berkaitan dengan sistem penjualan produk yang dilakukan dalam bentuk produk curah melalui pengumpul atau pedagang perantara, serta tanpa interaksi dengan konsumen. Dukungan fasilitas yang dibutuhkan secara berurutan adalah ketersediaan, diseminasi, dan adopsi teknologi (39,15), penguatan hubungan kemitraan antar pelaku (28,39), dan dukungan finansial (14,29). Perbaikan kerjasama dilakukan melalui penguatan hubungan kerjasama yang telah ada, perubahan perilaku tentang kompetisi, pengembangan kemampuan keahlian dan kompetensi bisnis, serta peningkatan kemampuan pengambilan keputusan. Dukungan fasilitas yang diperlukan adalah fasilitasi untuk meningkatkan peran asosiasi dalam proses penguatan internal maupun dalam 163

191 proses pengmbangan jejaring dengan pihak lain. Selain fasilitasi kemitraan (31,61), kerjasama secara operasional membutuhkan infrastruktur (25,86) dan teknologi (18,39) dalam proses implementasinya. Penanganan serangan organisme pengganggu tanaman yang dilakukan oleh sebagian besar petani adalah pengendalian dengan cara kimia. Langkah ini dilakukan saat harga lada tinggi, namun tidak dilakukan pada saat harga lada turun, mengingat keterbatasan modal petani. Sebagai akibatnya hama penyakit tanaman masih menjadi masalah yang serius pada banyak pertanaman lada. Pengelolaan risiko yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman dapat dilakukan melalui kegiatan pencegahan dan kegiatan penanganan. Pengendalian terpadu yang dianjurkan meliputi teknik budidaya, serta pengendalian secara hayati dan kimiawi. Pengelolaan risiko yang bersifat ex ante dilakukan dengan cara menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, pembangunan saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pembuatan pagar keliling. Pengelolaan risiko yang bersifat ex post dilakukan dengan menggunakan pestisida atau agen hayati. Dukungan fasilitas yang diperlukan adalah manajemen usahatani sesuai anjuran (27,44), dukungan pembiayaan (22,43), dan aplikasi teknologi secara berkelanjutan (16,77). Kerjasama antar pelaku dalam sistem komoditas lada dapat ditingkatkan dengan cara penguatan rantai nilai melalui: perbaikan mutu produk dan memasuki lini produk yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai tambah yang semakin besar, investasi teknologi baru untuk memperbaiki proses dan efisiensi rantai, serta menerapkan fungsi baru pada rantai untuk meningkatkan kinerja pada setiap aktivitas rantai. Selama ini pelaku melakukan aktivitas pada seluruh mata rantai secara individual dengan pendekatan tradisional. Untuk menerapkan metode pengeloaan risiko tersebut maka diperlukan dukungan fasilitas dalam bentuk dukungan teknologi (23,12), penguatan manajemen pengelolaan sistem komoditas (16,76)), serta dukungan pembiayaan (12,86). Melalui dukungan fasilitas ini maka diharapkan akan terbangun sistem kerjasama antar pelaku yang lebih baik. 164

192 1.3 Analisis Finansial Keberhasilan pengembangan agroindustri berbasis alat dan mesin pertanian dipengaruhi oleh aspek kelembagaan pasca panen, aspek teknis, aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek ergonomis (Ditjen P2HP 2007). Oleh karena itu aspek manajemen pasca panen, aspek teknis, serta aspek ekonomi menjadi perihal yang dipertimbangkan pada analisis finansial. Aspek manajemen pasca panen menyangkut jenis atau tipe, metoda, mutu, dan waktu operasi. Faktor yang perlu dipertimbangkan dari aspek teknis dalam pelaksanaan operasi pengolahan lada adalah waktu panen, pola pembelian lada, jumlah lada, mutu lada, dan kapasitas operasi alat mesin pasca panen. Kriteria teknis mencakup sifat-sifat fisik dan mekanis dari bahan dan produksi, kebutuhan daya, kekuatan bahan dan kontruksi, kerumitan kontruksi, kemudahan perawatan dan perbaikan serta efisiensi penanganannya. Selain kriteria teknis terdapat kriteria tekno ekonomi yang mencakup kapasitas produksi yang tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe dan besarnya sarana alat mesin pasca panen, keterampilan pengelola dan operator, ketersediaan dan kualitas tenaga kerja. Analisis rasio biaya input dan output, tingkat pendapatan, dan jangka waktu pengembalian modal merupakan faktor yang dianalisis dari aspek ekonomis. Pada keadaan dimana sarana alat mesin lebih banyak dipakai, maka biaya yang dikeluarkan juga meningkat, sehingga pengelolaan sarana alat mesin pasca panen menjadi kunci keberhasilan penanganan pasca panen. Analisis finansial memerlukan asumsi-asumsi yang menjadi dasar perhitungan biaya. Asumsi tersebut dijelaskan pada Tabel 37. Pembiayaan investasi agroindustri lada terdiri atas dua sumber dana, yaitu dari dana, pinjaman bank dan dari modal sendiri. Dana pinjaman yaitu pinjaman dengan sumber dana yang berasal dari bank. Jenis pinjaman yang diberikan yaitu kredit investasi yang diberikan untuk mendirikan suatu usaha baru. Nilai suku bunga yang berlaku untuk pinjaman adalah 17%. Pembayaran pinjaman dilakukan selama lima tahun, dengan pembayaran angsuran pinjaman pokok dan bunga dimulai pada tahun pertama. Dipilihnya jangka waktu pengembalian lima tahun adalah karena waktu tersebut merupakan 165

193 jangka waktu pengembalian tercepat yang ditawarkan oleh bank. Alasan dipilihnya jangka waktu pengembalian tercepat adalah jika suatu saat jangka waktu pengembalian diperpanjang, maka dapat dipastikan bahwa proyek layak. Tabel 37. Asumsi Analisis Finansial Parameter Nilai Asumsi Satuan Produksi Kapasitas Mesin 500 kg buah/jam Periode Pengolahan 8 jam/hari Periode Pengolahan 120 hari/tahun Kapasitas Produksi Tahun ke 1 90 % Kapasitas Produksi Tahun ke % Rendemen 25 kg biji kering Upah Pengolahan Rp/kg Produk Samping Rp/tahun Pembiayaan Persentase Modal sendiri 40 % Persentase Pinjaman 60 % Pinjaman dan Angsuran Bunga 17 % Lama Kembali Pinjaman 5 Tahun Penyusutan Bangunan Umur Ekonomis 20 Tahun Persentase nilai sisa 10 % Penyusutan Mesin Umur Ekonomis 10 Tahun Persentase nilai sisa 10 % Penyusutan Peralatan Umur Ekonomis 10 Tahun Persentase nilai sisa 10 % Pajak Penghasilan 20 % Biaya investasi yaitu biaya yang diperlukan pada saat akan mendirikan agroindustri lada. Biaya ini terbentuk atas dua komponen, yaitu modal tetap dan modal kerja (Tabel 38). Modal tetap terdiri dari: biaya tanah dan bangunan, biaya mesin dan peralatan, biaya fasilitas, dan biaya pra operasi. Modal kerja merupakan dana yang dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan sebelum perusahaan menerima pendapatan atas penjualan. Modal kerja dihitung berdasarkan besarnya perkiraan pengeluaran per bulan selama tiga bulan. Pembangunan unit pengolahan lada putih memiliki kapasitas pengolahan sebesar kg buah/tahun yang dihitung berdasarkan kemampuan mesin yang dioperasikan selama 500 kg/jam jam per hari. Periode operasi adalah 8 jam per hari selama 4 bulan atau masa panen lada. Investasi yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 213,5 juta yang terdiri dari modal tetap sebesar Rp.152 juta dan modal kerja sebesar Rp. 61 juta. Investasi tersebut dikeluarkan pada tahun ke nol, yaitu saat pendirian pabrik. 166

194 Tabel 38. Rencana Investasi Parameter Nilai Satuan Tanah dan Bangunan Ruang Produksi Rp Luas Ruang Produksi 100 m 2 Harga Ruang Produksi Rp/m 2 Lantai Penjemuran Rp Luas Lantai Penjemuran 50 m 2 Harga Lantai Penjemuran Rp/m 2 Bak Perendaman Rp Luas Bak Perendaman 50 m 2 Harga Bak Perendaman Rp/m 2 Tanah Rp Luas Tanah 300 m 2 Harga Tanah Rp/m 2 Mesin dan Peralatan Mesin Produksi Rp Jumlah Mesin Produksi 1 Unit Harga Mesin Produksi Rp/Unit Peralatan produksi Rp Jumlah Peralatan produksi 1 Unit Harga Peralatan produksi Rp/Unit Instalasi Rp/Unit Total Investasi Tetap Rp Biaya Pra Operasi Perijinan Rp Modal Kerja Modal Kerja Rp Persentase Modal Kerja 40 % Total Investasi Rp Besarnya biaya produksi per tahun yang dibutuhkan tertera pada Tabel 39. Biaya tetap terdiri dari: biaya penyusutan, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya pemeliharaan, pajak, dan biaya penanganan limbah. Biaya variabel terdiri dari bahan pembantu, energi, pengangkutan, dan tenaga kerja langsung. Tabel 39. Biaya Pengolahan Parameter Nilai Tahun 1 (Rp) Nilai Tahun 2-10 (Rp) BIAYA TETAP Biaya Penyusutan Bangunan Biaya Penyusutan Mesin Biaya Penyusutan Peralatan Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung Pemeliharaan Bangunan dan Mesin Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Penanganan Limbah Sub Total BIAYA VARIABEL Biaya Bahan Pembantu Energi Pengangkutan Biaya Tenaga Kerja Langsung Sub Total Total Pengeluaran

195 Pendapatan usaha pengolahan lada diperoleh dari jasa pengolahan dan hasil samping berupa tangkai dan lada enteng yang disuling. Jasa pengolahan adalah sebesar Rp /kg dan hasil samping sebesar Rp. 4 juta. Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama usaha beroperasi pada kapasitas 90% serta pada tahun kedua dan seterusnya pada kapasitas 100%. Perincian tentang rencana produksi, penerimaan dan proporsi penerimaan usaha selama umur proyek tertera pada Tabel 40. Tabel 40. Perkiraan Kapasitas Pengolahan Lada Parameter Nilai Tahun 1 Nilai Tahun 2-10 Kapasitas Pengolahan (kg buah) Persentase Pengolahan (%) Total Pengolahan (kg kering) Jasa Pengolahan (Rp/kg) Produk Tambahan (Rp) Total Penerimaan (Rp) Proyeksi rugi laba digunakan untuk mengetahui tingkat profitabilitas agroindustri lada. Proyeksi rugi laba industri pengolahan lada tertera pada Lampiran 1. Laba bersih pada tahun pertama yaitu sebesar Rp dan terus meningkat hingga mencapai Rp pada tahun ke Aliran arus kas dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu arus kas masuk dan arus kas keluar. Arus kas agroindustri lada tertera pada Lampiran 2. Investasi agroindustri lada mencapai titik impas pada kg per tahun. Titik dimana hasil penjualan produk pada periode waktu tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditanggung sehingga kegiatan tidak memperoleh kerugian juga tidak memperoleh keuntungan. Kriteria investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Pay Back Period (PBP). Analisa kelayakan pendirian agroindustri lada tertera pada Tabel 41. NPV merupakan selisih dari nilai investasi sekarang dengan nilai penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Apabila nilai penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi, maka proyek tersebut menguntungkan sehingga dinyatakan 168

196 layak, begitu pula sebaliknya memberikan informasi mengenai hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel. Hasil dari perhitungan NPV untuk pendirian agroindustri lada yaitu sebesar Rp Nilai tersebut lebih besar daripada nol, oleh karena itu pendirian agroindustri lada dinyatakan layak sesuai perhitungan NPV. Tabel 41. Kelayakan Investasi Kriteria Investasi Satuan Nilai NPV (DF 17 %) Rp IRR % 45,28 Net B/C - 1,95 Pay Back Period Tahun 3,75 IRR merupakan tingkat bunga yang menyamakan nilai investasi saat ini dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang. Suatu proyek layak dilaksanakan akan mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari nilai faktor diskonto, artinya investasi tersebut memberikan manfaat lebih dibandingkan dengan suku bunga yang diberikan oleh bank. Nilai IRR yang dihasilkan yaitu sebesar 45,28%. Nilai ini lebih besar dibandingkan faktor diskonto yang digunakan, maka dapat dikatakan proyek agroindustri layak untuk direalisasikan. Analisa yang dilakukan untuk menghitung net B/C adalah dengan menggunakan nilai arus kas yang telah diperhitungkan nilai perubahannya berdasarkan waktu. net B/C yang didapat adalah 1,95. Nilai tersebut menerangkan bahwa agroindustri lada layak untuk direalisasikan, karena mempunyai nilai net B/C lebih besar dari satu. Periode pengembalian atau pay back period adalah suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanam dalam proyek dapat kembali dan menggambarkan lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan dapat dikembalikan. Hasil perhitungan periode pengembalian adalah selama 3,75 tahun. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa agroindustri lada layak karena waktu pengembalian modal lebih cepat dibandingkan dengan umur proyek. 169

197 6.4 Simulasi Kelayakan Investasi berbasis Risiko Kelayakan investasi dapat berubah dipengaruhi oleh risiko yang terdapat di dalamnya. Dalam agroindustri lada, risiko yang terjadi dapat mempengaruhi tiga komponen yaitu: kemampuan pembayaran jasa pengolahan, jumlah lada diolah, dan rendemen. Selain itu, besarnya jumlah lada yang diolah akan berpengaruh juga terhadap produk samping yang dihasilkan. Analisis menunjukkan bahwa nilai keparahan (severity) kelompok pemasaran menunjukkan nilai terbesar dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu 8,39. Nilai bobot kelompok menunjukkan bahwa nilai kelompok agroindustri memiliki nilai bobot terbesar yaitu 0,25. Simulasi dilakukan dengan memperhitungkan agregasi nilai keparahan (severity) kelompok dan menghitung nilai keparahan (severity) tertimbang berdasarkan bobot kelompok yang telah diperhitungkan sebelumnya. Nilai keparahan (severity) tertimbang yaitu sebesar 7,06 pada skala 10 (Tabel 42). Tabel 42. Agregasi Nilai Keparahan (severity) Kelompok Risiko Nilai Keparahan (severity) Kelompok Bobot Kelompok Nilai Keparahan (severity) Tertimbang Agroindustri 6,17 0,25 1,56 Budidaya 6,29 0,24 1,48 Pemasaran 8,39 0,19 1,64 Kelembagaan 8,09 0,17 1,38 Finansial 6,87 0,15 1,01 Nilai Keparahan (severity) Agregat 7,06 Besarnya pengaruh yang diberikan terhadap komponen kelayakan investasi dilakukan dengan menjaring penilaian pakar. Penilaian pakar kemudian dihitung sebagai bobot pengaruh tertimbang yang akan menentukan besarnya nilai pengaruh yang dihitung berdasarkan nilai keparahan (severity) agregat. Nilai pengaruh berbasis tingkat keparahan (severity) terhadap kemampuan pembayaran jasa pengolahan, jumlah lada diolah, dan tingkat rendemen berturut-turut adalah sebesar 28,89%, 31,03% dan 10,70% (Tabel 43). 170

198 Tabel 43. Penilaian Pengaruh Komponen Kelayakan Investasi Komponen yang Dipengaruhi Agregasi Nilai Pakar Bobot Pengaruh Tertimbang Pengaruh terhadap Jasa Pengolahan 0,75 0,41 Pengaruh terhadap Jumlah Ladaa Diolah 0,81 0,44 Pengaruh terhadap Rendemen 0,28 0,15 Nilai Pengaruh 0,29 0,31 0,11 Hasil analisis pengaruh risiko diketahui bahwa apabila tidak dilakukan pengelolaan dalam bentuk pencegahan dan atau penanganan risiko, makaa risiko tersebut akan memberikan pengaruh terhadap upah sewa pengolahan lada, jumlah lada diolah dan rendemen. Tabel 44. Perubahan Nilai Kelayakan Investasi Kriteria Investasi NPV IRR Net B/C Pay Back Period Satuan Nilai Rp. ( ) % - - 0,72 Tahun NPV IRR N B C PBP K I P K I B R Gambar 42. Perbandingan Nilai Kelayakan Investasi Simulasi yang didasarkan kepada penurunan jasa pengolahan sebesar 28,89%, penurunan jumlah lada diolah sebesar 31,03%, dan penurunan rendemen 171

199 sebesar 10,70% akan menyebabkan perubahan nilai kelayakan investasi. Perubahan yang terjadi yaitu menyebabkan perubahan nilai NPV menjadi Rp (61,3) juta, net B/C menjadi 0,72, dan Payback Period menjadi 45,19 tahun (Tabel 44). Besarnya perubahan terhadap nilai kelayakan potensial ditunjukkan pada Gambar 42. Proyeksi rugi laba dan Arus kas agroindustri lada berbasis risiko tertera pada Lampiran 3 dan Tatanan Kelembagaan Investasi Agroindustri Lada Investasi agroindustri lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan melibatkan pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam proses fasilitasi, koordinasi, pembiayaan, dan peningkatan kapasitas. Stakeholder inti dalam sistem komoditas lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah: petani, kelompok tani, pedagang, penyuluh, lembaga penelitian dan Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L). Pemetaan pelaku yang berperan dalam pengembangan agroindustri lada tertera pada Gambar 43. Pelaku utama memberikan pengaruh secara signifikan terhadap perkembangan komoditas lada. Petani sebagai pengambil keputusan, akan dipengaruhi oleh dukungan atau intervensi pelaku utama lainnya. BP3L merupakan lembaga lokal yang berperan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan mutu lada putih menurut standar indikasi geografis. BP3L bekerja dengan prinsip koordinasi, partisipasi, dan kemitraan antar stakeholder. BP3L beranggotakan pemerintah daerah, dunia usaha (eksportir dan pedagang), petani, lembaga riset, perguruan tinggi. Keberadaan lembaga ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mutu lada putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menurut standar indikasi geografis. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan adalah inisiasi tahap pra produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selain peningkatan produksi, kegiatan bertujuan untuk meningkatkan mutu menuju ISO 9000, (sistem mutu dan keamanan pangan) dan penerapan manajemen rantai pasok (supply chain management). 172

200 Gambar 43. Pemetaan Pelaku dalam Pengembangan Agroindustri Lada Investasi agroindustri lada dapat dilakukan melalui beberapa sumber pembiayaan diantaranya adalah pembiayaan kredit usaha, investasi pemerintah, dana perwalian (trust fund), dan dana CSR yang secara lebih spesifik yaitu Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Secara umum, model pembiayaan KUR dapat dilihat pada Gambar 44. Dana pemerintah pusat dan dana pemerintah daerah merupakan sumber utama bagi pemberian kredit program yang diperuntukkan pembiayaan kegiatan budidaya lada. Dana pemerintah dan dana pihak ketiga melalui lembaga keuangan dapat disalurkan untuk membiayai kegiatan agroindustri perdesaan yang dimiliki Gapoktan atau Badan Usaha Milik Desa. Pemerintah Daerah melalui off taker memberikan jaminan pasar atas produk yang dihasilkan, dan melalui Lembaga Penjaminan Kredit Daerah memberikan jaminan atas kredit yang disalurkan kepada penerima manfaat. Pemerintah Pusat melalui Askrindo dan Jamkrindo sebagai Lembaga Penjaminan 173

201 Kredit memberikan jaminan atas kredit yang disalurkan. Pemerintah Pusat juga menyediakan berbagai program pembiayaan bagi sektor pertanian yang dapat dimanfaatkan oleh petani lada dan agroindustri lada. Lembaga Keuangan melalui Dana Pihak Ketiga yang dihimpun dari masyarakat, menyediakan sumber dana yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna jasa layanan perbankan. Berbagai sumber pembiayaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh petani lada bagi tujuan pengembangan perkebunan lada dan oleh agroindustri lada bagi tujuan pe rbaikan sistem pengolahan lada. Gambar 44. Skema Pendanaan Model Pembiayaan KUR Pengembangan sistem komoditas lada dapat pula dilakukan melalui model pembiayaan investasi pemerintah yang dilakukan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, yang dimaksud dengan investasi pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi 174

202 pembelian surat berharga dan investasi langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Kewenangan pengelolaan investasi pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan regulasi, supervisi, dan operasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau Indonesia Investment Agency (IIA) mempunyai tugas melaksanakan kewenangan operasional dalam pengelolaan investasi Pemerintah Pusat sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PIP merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia dan menjadi operator investasi pemerintah Indonesia. Adapun cakupan sektor investasi PIP meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya. Investasi di bidang pembangunan infrastruktur sebagai salah satu fokus dari PIP, didasarkan pada alasan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. Dasar hukum pelaksanaan tugas PIP adalah: (1) PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, (2) PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah, (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pengelolaan Dana dalam Rekening Induk Dana Investasi, (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Investasi Pemerintah, (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.05/2008 tentang Pelaksanaan Investasi Pemerintah, (7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.05/2008 tentang Pelaporan atas 175

203 Pelaksanaan Kegiatan Investasi, dan (8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah. Mitra Investasi PIP, yaitu: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pemerintah Daerah, Badan Layanan Umum (BLU) Lainnya, Sektor Swasta, dan Lembaga Keuangan Internasional. Ruang lingkup investasi pemerintah meliputi investasi jangka panjang dan investasi langsung. Ruang lingkup pengelolaannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan investasi dan divestasi. Berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, investasi pemerintah dilakukan dalam bentuk Investasi Surat Berharga dan Investasi Langsung. Investasi Surat Berharga meliputi investasi dengan cara pembelian saham dan surat utang, sedangkan Investasi Langsung meliputi Penyertaan Modal dan/atau Pemberian Pinjaman. Investasi langsung dapat dilakukan melalui kerjasama investasi antara PIP dengan Badan Usaha dan/atau BLU dengan pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership atau PPP) dan/atau antara PIP dengan Badan Usaha, BLU, Pemprov/Pemkab/Pemkot, BLUD, dan/atau badan hukum asing dengan pola selain PPP (Non-PPP). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi PIP memiliki tugas memfasilitasi pelaksanaan proyek PPP melalui kegiatan penyediaan dana talangan untuk dukungan Pemerintah. Sesuai dengan Perpres 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Perpres 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, peluang PIP dalam investasi dengan pola PPP adalah melalui empat pola yaitu: (1) pola investasi penyediaan lahan infrastruktur, (2) pola investasi konstruksi infrastruktur, (3) pola investasi patungan (joint venture) dengan badan usaha, dan (4) pola investasi persiapan proyek. Investasi pemerintah pada agroindustri lada dapat dilakukan dengan pola investasi patungan (joint venture) dengan badan usaha dengan mekanisme pembiayaan yang tertera pada Gambar 45. Pusat Investasi Pemerintah menyusun 176

204 nota kesepahaman bersama dengan Badan Usaha dengan penyertaan modal. Investasi dilakukan pada pembangunan fasilitas transportasi, bangunan irigasi, fasilitas air bersih, fasilitas penanganan limbah, fasilitas pembangkit energi dan distribusi, serta fasilitas gudang. Investasi infrastruktur ini akan memberikan dukungan bagi petani, agroindustri, dan eksportir sebagai pelaku utamaa dalam sistem komoditas lada. Gambar 45. Skema Investasi Pemerintah Bentuk Investasi Langsungg Investasi agroindustri lada dapat juga menggunakan dana yang bersumber dari CSR. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaann secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN mengalokasikan dana program kemitraan untuk usaha kecil termasuk padaa sektor pertanian dalam mengembangkan usaha agribisnis. Hal ini didasarkan kepada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 316/KMK.016/1994 tentang Kebijaksanaan Pemanfaatan Sebagian Laba BUMN disalurkan kepada Pengusaha Kecil dan Koperasi, serta Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: 177

205 KEP-236/MBU/2003 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-05/MBU/2007 Tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL-BUMN). Usaha pertanian yang dapat dibiayai adalah kegiatan yang dilakukan mulai dari hulu, budidaya, dan hilir, pada subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Penyisihan dan penggunaan laba dapat diberikan dalam bentuk pemberian pinjaman yang digunakan untuk kegiatan investasi atau membiayai modal kerja yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing lada. Melalui program ini diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana bagian laba BUMN. Skema pendanaan model pembiayaan CSR pada model PKBL-BUMN tertera pada Gambar 46. Gambar 46. Skema Pendanaan Model Pembiayaan PKBL-BUMN 178

206 Pinjaman diberikan untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan usaha. Dana dapat digunakan untuk mendukung pembiayaan kegiatan perkebunan rakyat yang mungkin telah didukung pembiayaannya oleh pemerintah melalui kredit program, atau digunakan secara langsung untuk pembiayaan kegiatan agroindustri. Sumber dana program kemitraan terdiri dari: (1) sumber dana yang dipergunakan bumn untuk program, (2) kemitraan dan bina lingkungan berasal dari penyisihan laba bumn pembina setelah pajak (laba bersih) maksimal 2%, (3) jasa administrasi/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan atau jasa giro dana kemitraan, (4) pelimpahan dana program kemitraan dari BUMN yang lain, serta (5) penyaluran dana dari bumn pembina lain. Suku bunga ditetapkan berdasarkan jenis peruntukannya. Jasa administrasi pinjaman dana program kemitraan sebesar 6% per tahun dari limit pinjaman, atau ditetapkan Menteri Negara BUMN. Pinjaman yang diberikan berdasarkan prinsip jual beli, maka proyeksi marjin yang dihasilkan disetarakan dengan marjin 6%. Pinjaman yang diberikan berdasarkan prinsip bagi hasil, maka rasio bagi hasilnya untuk BUMN Pembina mulai 10% (10:90) sampai dengan maksimal 50% (50:50). Jangka waktu pinjaman yang bersifat jangka pendek maksimal satu tahun, sedangkan untuk jenis usaha yang panjang akan ditetapkan bersama antara usaha kecil dengan BUMN Pembina/Peyalur dengan mempertimbangkan siklus usahanya. Dana program kemitraan yang sifatnya pinjaman, resiko macet ditanggung oleh BUMN Pembina. Oleh karena itu kinerja pengembalian pinjaman menjadi acuan bagi BUMN Pembina untuk memberikan pinjaman selanjutnya. Dana program kemitraan disalurkan langsung oleh BUMN Pembina atau melalui kantor cabang/perwakilan BUMN Pembina di wilayah kantor cabang/perwakilan dengan mempertimbangkan dana yang tersedia. BUMN Pembina bekerjasama dengan BUMN Penyalur dan atau Lembaga Penyalur. Model pembiayaan lainnya adalah dana perwalian (trust fund). Sejumlah aset finansial dalam bentuk properti, uang, sekuritas (trust) yang oleh orang atau lembaga (trustor/donor/grantor) dititipkan atau diserahkan untuk dikelola dengan 179

207 baik oleh sebuah lembaga (trustee) dan disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiaries) sesuai dengan maksud dan tujuan yang dimandatkan. Dana perwalian (trust fund) merupakan mekanisme pembiayaan bagi program yang membutuhkan biaya relatif besar secara berkelanjutan dalam jangka menengah atau panjang. Kegiatan yang dibiayai pada umumnya memiliki tujuan: (1) pengentasan kemiskinan, (2) pemberdayaan masyarakat, (3) penanggulangan masalah sosial, budaya, dan kesehatan, (4) pelestarian sumberdaya alam, dan (5) program strategis lainnya. Mekanisme pembiayaan tertera pada Gambar 47. Gambar 47. Skema Pendanaan Model Pembiayaan Dana Perwalian (Trust Fund) Unit Pengelola Program (Program Management Unit) Dana Perwalian biasanya terdiri dari Komisi Pengarah, Komisi Teknis dan Sekretariat. Wali 180

208 Amanah (trustee) biasanya dikelola oleh lembaga internasional atau lembaga nasional, tergantung kesepakan antara donor dengan pemerintah. Mitra pembangunan (development partners) adalah pihak donor yang melakukan kerjasama secara bilateral ataupun multilateral. Penerima manfaat (beneficiaries) dari dana perwalian ini yaitu: kementerian atau lembaga, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi massa. Komisi Pengarah bertanggungjawab dalam tiga bidang, yaitu: membuat pedoman kebijakan dan operasional, manajemen, dan monitoring dan evaluasi. Komisi Teknis terdiri dari staf kementerian yang menjadi tuan rumah dari dana perwalian ini ditambah dengan staf kementerian lainnya. Tugas Komisi Teknis adalah memberikan saran kepada Komisi Pengarah urusan teknis, yaitu: mengevaluasi kelayakan usulan proyek, mengembangkan pedoman dan manual, memberikan bantuan teknis dan mengerjakan tugas-tugas lainnya yang dibutuhkan oleh Komisi Pengarah. Unit Pengelola Program dalam pelaksanaan tugas harian akan dibantu oleh Sekretariat, yang mempunyai fungsi: membantu Komisi Pengarah dan Komisi Teknis, menyiapkan laporan, memelihara sistem informasi dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya yang diminta Komisi Pengarah dan Komisi Teknis. Beberapa bentuk dana perwalian (trust fund) yang dapat diaplikasikan pada pengembangan agroindustri adalah: dana abadi (endowment fund), dana bergulir (revolving fund), dana menurun (sinking fund), dan mixed trust fund. Dana Abadi (Endowment Fund) yaitu dana yang dititipkan atau diserahkan untuk dikelola secara abadi, tanpa batasan waktu. Dana Bergulir (Revolving Fund) yaitu dana yang dititipkan atau diserahkan untuk dikelola secara bergulir kepada penerima manfaat. Hal ini dilakukan untuk memperluas cakupan penerima manfaat secara bergilir. Dana Menurun (Sinking Fund) yaitu dana yang dititipkan atau diserahkan untuk dikelola dan dimanfaatkan kepada penerima manfaat hingga dana tersebut habis secara berkala. Mixed Trust Fund merupakan kombinasi antara tiga bentuk dana perwalian (trust fund) yang telah disebutkan. Dana menurun (sinking fund) dapat digunakan untuk membiayai investasi bagi kegiatan penunjang agroindustri lada, sedangkan dana bergulir (revolving fund) dapat digunakan bagi investasi kegiatan utama agroindustri lada dan replikasinya. 181

209 6.6 Keterkaitan ke Depan dengan Perusahaan Agroindustri Eksportir Lada Ekspor lada mensyaratkan standar mutu yang harus dipenuhi oleh negara produsen, oleh karena itu perbaikan metode pengolahan lada di tingkat petani akan diikuti oleh pengolahan lanjut di tingkat perusahaan agroindustri eksportir lada. Mutu produk yang telah terbentuk dan terjaga pada tingkat budidaya dan pengolahan lada, akan mempengaruhi kinerja perusahaan agroindustri eksportir lada. Perbaikan mutu sebagai akibat dari perbaikan pengolahan lada diharapkan dapat merealisasikan kesediaan membayar lebih tinggi biji lada oleh perusahaan agroindustri eksportir lada. Pengembangan agroindustri perdesaaan dalam bentuk pengolahan bersama yang berbasis petani, membutuhkan keterkaitan ke depan dengan perusahaan agroindustri lada. Perusahaan agroindustri berperan penting dalam proses pengolahan lanjut sebagai langkah peningkatan nilai tambah. Proses produksi pada perusahaan agroindustri eksportir lada yaitu meliputi: pembersihan, sortasi biji lada berdasarkan ukuran, pembersihan, sortasi biji lada berdasarkan kehampaan, pemisahan biji lada dengan bagian lainnya, pencucian dan perlakuan mikroorganisme dengan steam treatment, pengeringan, pemisahan biji lada dengan bagian lainnya, serta pengemasan (Nam, 2008). Produk yang dihasilkan adalah lada bersih sesuai dengan standar dari ASTA. Uraian setiap langkah adalah sebagai berikut: pembersihan, pengelompokan biji menurut ukuran, pemisahan batu, pengelompokan secara aerodinamis, pengelompokan berdasarkan kerapatan, pencucian dan perlakuan terhadap mikroorganisme oleh uap panas, pengeringan, pendinginan, serta penimbangan dan pengemasan. Pada tahap pembersihan, lada dimasukkan ke dalam penampung lada yang dibangun di bawah tanah dan kemudian ditransfer ke saringan benda asing dengan konveyor. Saringan benda asing beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip kinetika, berat, dan volume untuk memisahkan. saringan benda asing dapat memisahkan sekitar 90% benda asing pada lada termasuk: benda asing mikro, makro, dan benda asing benda asing ringan (yang terdiri dari debu). Selain itu, akibat adanya bagian magnetik, saringan benda asing dapat memisahkan besi dan baja dalam 182

210 bahan baku. Setelah meninggalkan saringan benda asing, lada yang terpilih dalam ukuran dari 2,5-6,5 mm. Pada pengelompokan biji lada menurut ukuran, setelah memisahkan benda asing, lada dipindah ke saringan cadangan oleh conveyor untuk dikelompokkan. Saringan dibedakan menjadi tiga ukuran diameter 4,5 mm, 4,9 mm, dan 5,5 mm. Setelah dibersihkan, lada dikelompokkan menjadi 4 jenis produk: yaitu lada dengan ukuran diameter 2,5-4,5 mm, 4,5-4,9 mm, 4,9-5,5 mm, dan ukuran lebih dari 5,5 mm. Setelah dikelompokkan, lada dimasukkan ke dalam empat tangki. Setelah itu lada akan dicampur berdasarkan kebutuhan pengguna atau diproses lebih lanjut. Tahap setelah pengelompokan berdasarkan ukuran adalah pemisahan batu yang masih tercampur pada lada. Sebelum dimasukkan ke dalam alat pemisah batu, lada masih memiliki batu dengan ukuran yang sama dengan lada. Pemisah batu beroperasi berdasarkan prinsip yang membedakan kepadatan lada dengan ukuran yang sama. Lada ringan akan terangkat oleh aliran udara menciptakan aliran paralel pada saringan untuk keluar. Pada saat yang sama, batu-batu berat akan turun dan keluar. Setelah melalui saringan batu, masih terdapat lada keras dan kenyal karena ukuran yang sama. Lada akan dikelompokkan secara aerodinamis dengan memasukkan lada ke dalam catador. Peralatan ini mengandung aliran udara yang tertiup dari dasar dengan arah vertikal. Oleh karena itu, lada enteng akan terangkat dan keluar sementara lada keras akan keluar dengan cara lain. Aliran udara pada mesin catador dapat disesuaikan tergantung pada kualitas lada. Pada tahap selanjutnya dilakukan pengelompokan berdasarkan kerapatan. Setelah tahap di atas, lada masih berbeda dalam bentuk, seperti lada pecah atau atau lada bulat yang masih memiliki batang lada. Pemisah spiral dibuat dengan kepala spiral yang berputar secara vertikal. Campuran lada pecah dan lada utuh dimasukkan ke dalam mulut atas dari pemisah spiral. Di bawah pengaruh gravitasi, lada jatuh ke arah spiral. Alat akan memutar lada utuh. Percepatan alat secara bertahap akan meningkat sampai lada utuh berputar di lereng sekat luar, untuk kemudian dipisahkan. Pada saat yang sama, lada pecah jatuh bebas dari 183

211 palung spiral dan memiliki gesekan lebih tinggi dari kecepatan aliran, sehingga mengalir lebih dekat pivot spiral dan keluar. Pencucian dan perlakuan terhadap mikroorganisme oleh uap panas dilakukan untuk menghilangkan mikroorganisme berbahaya, terutama bakteri Salmonella. Selama proses menyerap uap panas, lada diangkut melalui drum untuk mengekstraksi air dari lada yang dicuci sebelum memasuki sistem pengeringan. Sistem pengeringan terdiri dari dua tingkat yang saling terhubung, yaitu input layer dan dryng layer. Kapasitas pengeringan lada disesuaikan dengan kelembaban lada untuk mencapai produktivitas yang tinggi dengan menggunakan sistem carambola-shaped outlet screws. Peningkatan panas sistem menggunakan penyemprotan udara otomatis dilakukan untuk mempertahankan aroma lada,. Setelah dikeringkan, lada diangkut ke tangki untuk melalui proses pendinginan, setelah itu dibawa kembali ke catador untuk menghilangkan kotoran termasuk sekam debu dan lada enteng. Setelah itu, lada dipindahkan ke dalam mesin klasifikasi jenis spiral untuk yang kedua. Tahap selanjutnya adalah penimbangan dan pengemasan. Penimbangan dilakukan secara elektronik dengan berat kg, dimana kapasitas mesin adalah 200 kantung /jam. Mesin dan peralatan yang digunakan terdiri dari: pre-cleaning machine, destoner, catador, gravity separator, pre-washing machine, grader, steam sterilisation, driers, elevators dan conveyors, weighing dan bagging, serta stacking conveyer. Biaya investasi dengan menggunakan teknologi ini di Vietnam pada tahun 2008 adalah sebesar VND 6 juta atau sekitar Rp. 2,7M (Nam, 2008). Komponen biaya investasi lainnya terdiri dari tanah, bangunan dan pekerjaan sipil, mebel dan peralatan, kendaraan, biaya pra operasi, dan modal kerja. Perhitungan investasi pabrik pengolah lada bubuk, dengan kapasitas 150 ton/tahun di Ethiopia dengan menggunakan teknologi pengolahan lada dari India dengan menyebutkan persentase biaya invetasi dan biaya produksi (SNNPR 2007). Komponen biaya investasi lainnya adalah sebesar: tanah (3,08%), bangunan dan pekerjaan sipil (17,37%), mesin (42,47), mebel dan peralatan (3,86%), kendaraan (7,72%), biaya pra operasi (11,19%), dan modal kerja 184

212 (14,29%). Selain itu juga diperoleh gambaran mengenai biaya produksi yaitu bahan baku dan bahan lain (80,31%), utilitas (2,08%), perawatan dan perbaikan (1,55%), tenaga kerja langsung (2,99%), overhead pabrik 32,16%), biaya administrasi (2,00%), biaya operasi total (89,93%), depresiasi (6,6%), serta biaya finansial (3,48%). Investasi pabrik pengolah lada di Vietnam dan Ethiopia ini dijadikan dasar penentuan asumsi dengan beberapa penyesuaian pada beberapa komponen sesuai dengan kondisi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Asumsi analisis finansial yang digunakan pendirian pabrik tertera pada Tabel 45. Tabel 45. Asumsi Analisis Finansial Pendirian Perusahaan Agroindustri Parameter Nilai Asumsi Satuan Produksi Kapasitas Mesin 400 kg biji/jam Periode Produksi 16 jam/hari Periode Produksi 240 hari/tahun Kapasitas Produksi Tahun ke 1 0,80 % Kapasitas Produksi Tahun ke ,0 % Rendemen 0,92 % Harga Produk Rp Produk Samping Rp/tahun Pembiayaan Persentase Modal sendiri 30 % Persentase Pinjaman 70 % Pinjaman dan Angsuran Bunga 17 % Lama Kembali Pinjaman 5 Tahun Penyusutan Bangunan, Umur Ekonomis 20 Tahun Furniture, Kendaraan Persentase nilai sisa 10 % Penyusutan Mesin Umur Ekonomis 10 Tahun Persentase nilai sisa 10 % Penyusutan Peralatan Umur Ekonomis 10 Tahun Persentase nilai sisa 10 % Pajak Penghasilan 30 % Pembiayaan investasi terdiri atas dua sumber dana, yaitu dari dana, pinjaman bank dan dari modal sendiri. Nilai suku bunga yang berlaku untuk pinjaman adalah 17%. Pembayaran pinjaman dilakukan selama lima tahun, dengan pembayaran angsuran pinjaman pokok dan bunga dimulai pada tahun pertama. Biaya investasi yaitu biaya yang diperlukan pada saat akan mendirikan agroindustri lada. Biaya ini terbentuk atas dua komponen, yaitu modal tetap dan modal kerja (Tabel 46). Modal tetap terdiri dari: biaya tanah dan bangunan, biaya mesin dan peralatan, kendaraan, mebel dan peralatan kantor, dan biaya pra operasi. Modal 185

213 kerja merupakan dana yang dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan sebelum perusahaan menerima pendapatan atas penjualan. Pembangunan unit pengolahan lada putih memiliki kapasitas pengolahan sebesar ton/tahun yang dihitung berdasarkan kemampuan mesin yang dioperasikan selama 16 jam per hari selama 240 hari. Tabel 46. Rencana Investasi Pendirian Perusahaan Agroindustri Parameter Nilai Satuan Bangunan Ruang Produksi Rp Luas Ruang Produksi 300 m 2 Harga Ruang Produksi Rp/m 2 Tanah Tanah Rp Luas Tanah m 2 Harga Tanah Rp/m 2 Kendaraan Kendaraan Rp Jumlah 2 m 2 Harga Rp/m 2 Mebel dan Peralatan Kantor Furniture Rp Jumlah 1 m 2 Harga Rp/m 2 Mesin dan Peralatan Mesin Produksi Rp Jumlah Mesin Produksi 1 Unit Harga Mesin Produksi Rp/Unit Peralatan produksi Rp Jumlah Peralatan produksi 1 Unit Harga Peralatan produksi Rp/Unit Instalasi Rp/Unit Total Investasi Tetap Rp Biaya Pra Operasi Perijinan Rp Modal Kerja Modal Kerja Rp Persentase Modal Kerja 0,25 % Total Investasi Rp Investasi yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 5,837 milyar yang terdiri dari modal tetap sebesar Rp 4,570 milyar. dan modal kerja sebesar Rp. 1,167 milyar. Investasi tersebut dikeluarkan pada saat pendirian pabrik. Besarnya biaya produksi per tahun yang dibutuhkan pada unit pengolahan lada putih tertera pada Tabel 47. Biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya pemeliharaan, pajak, dan biaya penanganan limbah. Biaya variabel terdiri dari bahan pembantu, energi, pengangkutan, dan tenaga kerja langsung. 186

214 Tabel 47. Biaya Pengolahan Pendirian Perusahaan Agroindustri Parameter Nilai Tahun 1 (Rp) Nilai Tahun 2-10 (Rp) BIAYA TETAP Biaya Penyusutan Bangunan Biaya Penyusutan Mesin Biaya Penyusutan Peralatan Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung Pemeliharaan Bangunan dan Mesin Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Penanganan Limbah Sub Total BIAYA VARIABEL Biaya Bahan Pembantu Energi Pengangkutan Biaya Tenaga Kerja Langsung Sub Total Total Pengeluaran Pendapatan diperoleh dari penjualan produk dan hasil samping berupa tangkai dan lada enteng yang disuling. Harga produk adalah sebesar Rp /kg dan hasil samping sebesar Rp. 1,2 milyar/tahun. Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama usaha beroperasi pada kapasitas 80% serta pada tahun kedua dan seterusnya pada kapasitas 100%. Perincian rencana produksi, penerimaan dan proporsi penerimaan usaha selama umur proyek tertera pada Tabel 48. Tabel 48. Perkiraan Kapasitas Pengolahan Lada Parameter Nilai Tahun 1 Nilai Tahun 2-10 Kapasitas Pengolahan (kg) Persentase Pengolahan (%) Total Produksi (kg kering) Harga Produk (Rp/kg) Produk Tambahan (Rp) Total Penerimaan (Rp) Kriteria investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Ratio (Net B/C), dan Pay Back Periode (PBP). Analisa kelayakan pendirian pabrik agroindustri eksportir lada tertera pada Tabel

215 Tabel 49. Kriteria Investasi Pendirian Perusahaan Agroindustri Kriteria Investasi Satuan Nilai NPV (DF 17 %) Rp. Rp 18,676,357,894 IRR % 63,55 Net B/C - 4,20 Payback Period Tahun 1,61 Hasil perhitungan NPV adalah sebesar Rp. 18,7 milyar dengan IRR sebesar 63,55%. Net B/C yaitu sebesar 4,20. Adapun waktu pengembalian yang diperlukan adalah selama 1,61 tahun. Berdasarkan nilai kriteria investasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa investasi layak untuk dilakukan. Melalui pendirian pabrik agroindustri eksportir lada ini maka perbaikan pengolahan lada di tingkat petani dapat berlangsung proses produksi yang berkelanjutan sehingga produk diterima oleh konsumen seperti persyaratan yang diminta, serta dapat memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan. 188

216 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Produksi lada putih di Indonesia terus menurun, sementara pencapaian standar mutu masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari dominasi kelemahan pada sistem komoditas lada pada sisi sumberdaya teknologi dan sumberdaya finansial. Pada sisi yang lain, negara pesaing menunjukkan peran yang semakin dominan pada pasar dunia. Pengembangan agroindustri lada merupakan prioritas bagi upaya penyelesaian sejumlah kelemahan sistem dan upaya mengatasi ancaman yang ada, selain strategi peningkatan produksi lada yang terus dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya dan pengembangan pasar. Hal ini dapat dilakukan melalui penerapan pengolahan lada secara mekanis untuk peningkatan nilai (capturing value) sehingga dihasilkan lada dengan mutu yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Strategi peningkatan nilai (capturing value) akan menjadi dasar yang kuat pula bagi penciptaan nilai (creating value) dalam upaya peningkatan: mutu (quality), fungsi (functionality), bentuk (form), tempat (place), waktu (time) dan kemudahan mendapatkan (ease of possession). Pengembangan agroindustri tersebut diimplementasikan melaui kegiatan investasi, namun demikian kegiatan investasi masih rendah. Sumber pembiayaan petani selama ini adalah modal sendiri. Sebagian besar petani lada merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit, yang sulit untuk dijadikan agunan. Hal ini mengakibatkan rendahnya penumpukan modal untuk investasi pada teknologi baru. Petani lada tidak dapat menjangkau lembaga pembiayaan formal. Hal ini tidak terlepas dari tinggginya risiko yang dihadapi. Oleh karena itu diperlukan manajemen risiko yang dimungkinkan dilakukan pengelolaan risiko di dalamnya. Pada sisi yang lain, adopsi teknologi agroindustri lada belum berjalan optimal. Hal ini ditandai dengan introduksi teknologi di dua kabupaten di Kepulauan Bangka yang belum berkesinambungan. Kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) teknologi pengolahan secara mekanis relatif tinggi. Hal ini diukur berdasarkan nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy), nilai usaha yang diharapkan (effort expectancy), serta pengaruh sosial (social influence). Dari sisi perilaku penggunaan (usage behavior), sebagai 189

217 suatu ukuran kesediaan seseorang untuk menggunakan teknologi tersebut dalam perilaku operasional produksi, masih rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya dukungan fasilitas dalam proses adopsi. Tingginya kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) yang dimiliki oleh petani ternyata tidak mampu membentuk perilaku untuk menggunakan (usage behavior). Oleh karena itu dibutuhkan dukungan fasilitas untuk memperkuat aset penciptaan daya saing. Risiko investasi agroindustri lada terdiri dari 32 jenis risiko yang terbagi ke dalam aspek agroindustri, budidaya, pemasaran, kelembagaan, dan finansial. Risiko lokasi lahan dan risiko daya dukung lingkungan pada aspek budidaya serta risiko indikasi geografis, risiko subtitusi produk, dan risiko persaingan pada aspek pemasaran, serta risiko ketergantungan antar pelaku pada aspek kelembagaan merupakan penambahan jenis risiko berdasarkan sistem komoditas yang menjadi obyek kajian. Perbaikan penilaian risiko dilakukan dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy yang memungkinkan dilakukan penilaian bagi data yang bersifat pengetahuan. Pendekatan logika fuzzy tersebut yang diaplikasikan pada fuzzy weighted average FMEA. Perbaikan penilaian risiko juga dilakukan dengan mengaplikasikan penambahan perhitungan bobot komponen risiko (occurrence, severity, dan detection), serta perhitungan bobot pakar. Penelitian ini juga melakukan agregasi nilai risiko untuk mendapatkan status risiko secara keseluruhan yang tidak dilakukan pada setiap analisis risiko pada penelitian lain. Berkaitan dengan pengelolaan risiko, pada penelitian ini dilengkapi analisis lanjutan dalam bentuk analisis kerentanan (vulnerability) dan analisis instrumen pengelolaan risiko. Analisis ini merupakan dasar untuk menentukan dukungan fasilitas dalam bentuk instrumen pengelolaan risiko. Analisis kelayakan investasi diperkaya dengan melakukan simulasi kelayakan investasi berbasis kepada nilai risiko yang telah dianalisis sebelumnya. Hal ini merupakan sebuah pendekatan yang dapat memperbaiki kelemahan analisis investasi konvensional. Keseluruhan aspek tersebut diintegrasikan dalam sebuah kerangka analisis dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST sebagai integrasi atas berbagai aspek kebaharuan yang dihasilkan dari penelitian ini. Data yang 190

218 digunakan terdiri dari data input maupun data hasil proses yaitu: bobot pakar, bobot komponen risiko, tingkat keparahan, tingkat kejadian, tingkat pendeteksian, nilai kerentanan (vulnerability), kemampuan pengelolaan risiko, bobot instrumen pengelolaan risiko, nilai bobot kelompok risiko, input analisis finansial, serta nilai indikator peubah. Selain itu dikembangkan delapan jenis model yaitu: Pembobotan Pakar, Pembobotan Komponen Risiko, Penilaian Risiko, Agregasi Nilai Risiko, Analisis Kapasitas Pengelolaan Risiko, Analisis Instrumen Pengeloaan Risiko, Analisis Finansial, dan Simulasi Kelayakan Investasi. Penerapan model Manajemen Risiko pada Investasi Agroindustri Lada di Kepulauan Bangka menunjukkan bahwa nilai total risiko termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan kelompok risiko, risiko terbesar yang dihadapi dalam investasi agroindustri lada secara berurutan adalah aspek pemasaran, budidaya, agroindustri, kelembagaan, dan finansial. Secara individual, analisis menunjukkan bahwa nilai risiko terbesar adalah harga, persaingan, penyakit busuk pangkal batang, kerjasama, dan ketergantungan antar pelaku. Pengelolaan risiko selama ini dilakukan secara individu dengan konsentrasi kepada penanganan risiko pada aspek budidaya. Kemampuan pengelolaan risiko pada aspek agroindustri diduga relatif baik, sedangkan pada aspek pemasaran, aspek kelembagaan, dan aspek finansial relatif rendah. Berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability), terdapat beberapa risiko yang memiliki nilai risiko tinggi dan nilai kemampuan pengelolaan risiko yang rendah yang akan menjadi fokus pemberian dukungan fasilitas. Risiko tersebut adalah risiko harga, persaingan, kerjasama, penyakit busuk pangkal batang, serta ketergantungan antar pelaku. Pengelolaan risiko harga melalui sistem resi gudang merupakan strategi mekanisme pasar yang dalam penerapannya membutuhkan dukungan dalam bentuk infrastruktur dan kebijakan. Analisis kelayakan investasi menunjukkan bahwa NPV pendirian agroindustri lada yaitu sebesar Rp. 202,8 juta. Nilai IRR yang dihasilkan yaitu sebesar 45,28%, dimana lebih besar dibandingkan faktor diskonto yang digunakan. Nilai B/C adalah sebesar 1,95. Adapun periode pengembalian adalah selama 3,75 tahun. 191

219 Hasil analisis pengaruh risiko menunjukkan bahwa apabila tidak dilakukan pengelolaan dalam bentuk pencegahan dan atau penanganan risiko, maka risiko tersebut diduga akan memberikan pengaruh terhadap jasa pengolahan lada, jumlah lada diolah, dan rendemen. Kondisi ini akan mempengaruhi kinerja investasi. Sebagai akibat terjadinya risiko pada sistem komoditas lada, maka kemampuan petani dalam pembayaran jasa pengolahan dapat menurun sebesar 28,89%. Jumlah lada yang diolah juga akan mengalami penurunan sebesar 31,03%. Selain itu, sebagai akibat dari penurunan jumlah lada yang diolah, maka jumlah produk samping yang dihasilkan diduga akan menurun pada persentase yang sama. Risiko pada investasi agroindustri lada diduga dapat menyebabkan penurunan rendemen sebesar 10,70%. 7.2 Saran Peningkatan kinerja sistem komoditas lada dapat dilakukan melalui pengembangan agroindustri lada dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah melalui penjaringan nilai atas atribut yang melekat pada produk. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan unit pengolahan pasca panen perdesaan sebagai sebuah lembaga pengolahan hasil pertanian yang didirikan di daerah sentra produksi. Agroindustri lada perdesaan ini memiliki seperangkat mesin dan peralatan yang terdiri dari mesin perontok, alat pengayak, bak perendaman, mesin pengupas, bak pemisahan pulp, alat pengering, mesin sortasi, serta dilengkapi alat penyuling. Peningkatan peluang keberhasilan adopsi teknologi agroindustri lada putih di kepulauan Bangka memerlukan dukungan fasilitas dalam bentuk penyediaan instrumen pengelolaan risiko. Dukungan fasilitas dapat diberikan dalam bentuk penyediaan dan peningkatan akses teknologi, pengembangan kapasitas SDM, peningkatan kapasitas manajemen, dukungan pembiayaan, kebijakan, pembangunan infrastruktur, serta pengembangan kemitraan antar pelaku. Hal ini dapat disediakan oleh pemerintah maupun mitra pembangunan. Berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability), maka terdapat beberapa risiko yang memiliki nilai risiko tinggi dan nilai kemampuan pengelolaan risiko yang rendah yaitu risiko harga, persaingan, kerjasama, penyakit busuk pangkal 192

220 batang, serta ketergantungan antar pelaku. Nilai risiko yang tinggi akan membutuhkan kemampuan pengelolaan risiko yang sesuai dengan tingkat kemampuan yang tinggi pula. Pemenuhan kondisi ini akan mengatasi kerentanan sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja dalam bentuk kuantitas, mutu, keuntungan, maupun keberlanjutan. Pengembangan sistem komoditas lada mensyaratkan pelibatan secara substansial stakeholder inti yaitu petani, kelompok tani, pedagang, penyuluh, lembaga penelitian dan Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L), dengan dukungan pemerintah dan mitra pembangunan. Investasi agroindustri lada dapat dilakukan melalui beberapa sumber pembiayaan yaitu pembiayaan kredit usaha, investasi pemerintah melalui model joint venture, trust fund, dan dana CSR melalui PKBL-BUMN. 193

221 194

222 DAFTAR PUSTAKA [AFC] Agriculture and Food Council of Alberta, Canada Value Chain Guidebook, a Process for Value Chain Development. Second Edition. Canada. Ambastha A, Momaya K Competitiveness of Firms: Review of Theory, Frameworks and Models. Singapore Management Review 1(26):45-61 Anderson DP, Hall CR Adding Value to Agricultural Products. Texas Agriculture Extension Service. The Texas A and M University System. Angelucci F, Conforti P Risk Management and Finance along Value Chains of Small Island Developing States. Evidence from the Caribbean and the Pacific. Food Policy. Austin JE Agroindustrial Project Analysis, Critical Design Factor. The Jhon Hopkin University Press. Badan Litbang Pertanian Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Lada. Jakarta. Badan Litbang Pertanian. Badan Litbang Pertanian Panduan Umum Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi (MP3MI). Jakarta. Badan Litbang Pertanian. 35p. [Balittro] Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Pedoman Budidaya Tanaman Lada (Piper nigrum Linn). Bogor. Balittro. [BBPPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Teknologi Budidaya Lada. Bogor. BBPPTP. Benfica R, Tschirley D, Sambo L Agro-Industry and Smallholder Agriculture: Institutional Arrangements and Rural Poverty Reduction in Mozambique. Bih J Paradigm Shift, an Introduction to Fuzzy Logic. IEEE Potentials. Born H, Bachmann J Adding Value to Farm Products: An Overview. National Center for Appropriate Technology (NCAT). Bowe JK Enterprise Risk Management Specialty Guide. [BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam Angka. Brees M, Parcell J, Giddens N Value Added: Capturing vs. Creating Value. MU Guide. Department of Agricultural Economics. 195

223 Brown JG Agroindustrial Investement and Operation. The World Bank. [BSFMCT] Business Support Facilities Management of Cape Town, Business Support Framework. Business Support Facilities Management Buchmeister B. Kremljak Z, Polajnar A, Pandza K Fuzzy Decision Support System Using Risk Analysis. Advance in Production Engineering and Management 1(1): Caliskan N A Decision Support Approach for The Evaluation of Transport Investment Alternatives. European Journal of Operational Research 175: Carson JS Model Verification and Validation. Yücesan E, Chen CH, Snowdon JL, Carnes JM, eds. Proceedings of the 2002 Winter Simulation Conference. [CAS] Casualty Actuarial Society Overview of Enterprise Risk Management. Casualty Actuarial Society Chuttur MY Overview of the Technology Acceptance Model: Origins, Developments and Future Directions. Working Papers on Information Systems. Indiana University, USA. [COSO] Committee of Sponsoring Organization Enterprise Risk Management Framework. Committee of Sponsoring Organization of The Treadway Commission. COSO Courtois EL, Nogales EG, Santacoloma P, Tartanac F Enhancing Farmers Access to Markets For Certified Products: a Comparative Analysis Using a Business Model Approach. Rural Infrastructure and Agro-Industries Division, Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Direktorat Pembiayaan Pertanian Pedoman Umum Pemanfaatan Sumber Pembiayaan Non Perbankan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL-BUMN) untuk Pengembangan Agribisnis. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. 18p. Direktorat Pembiayaan Pertanian Pedoman Teknis Kredit Usaha Rakyat (KUR) Sektor Pertanian. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. 43p. [Disbun Babel] Dinas Perkebunan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Statistik Perkebunan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [Ditjen KPI] Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia dengan Pengembangan Indikasi Geografis. 196

224 [Ditjen Perkebunan] Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Statistik Perkebunan Indonesia, Lada. Jakarta. Ditjen Perkebunan. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Pedoman Umum Pengadaan dan Pendayagunaan Alat Mesin bantuan Pemerintah. Jakarta. Ditjen PPHP. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Pedoman Penanganan Pasca Panen Lada (Piper Nigrum L.). Jakarta. Ditjen PPHP. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Pedoman Teknis Pelaksanaan Indikasi Geografi. Jakarta. Ditjen PPHP. 35p. Djulin A, Malian AH Struktur dan Integrasi Pasar Ekspor Lada HItam dan Lada Putih di Daerah Produksi Utama. Socio Economic of Agriculture and Agribusiness 5(1). Denpasar. Universitas Udayana. Dong WM, Wong FS Fuzzy Weighted Averages and Implementation of The Extension Principle. Fuzzy Sets and Systems 21: Elizabeth R Keragaan Komoditas Lada Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Bangka). Socio Economic of Agriculture and Agribusiness. 5(1). Denpasar. Universitas Udayana. Eppler MJ, Aeschimann M Envisioning Risk: A Systematic Framework for Risk Visualization in Risk Management and Communication. ICA Working Paper. Universita della Svizzera Italiana. Eriyatno, Sofyar F Riset Kebijakan, Metode untuk Pascasarjana. IPB Press. Eriyatno Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Edisi Ketiga. IPB Press. Feibel BJ Investment Performance Analysis. John Willey and Sons Inc. Fellows P, Rottger A Business Management For Small-Scale Agro- Processors. Agricultural Management, Marketing and Finance Service (AGSF). Agricultural Support Systems Division. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Field P Modern Risk Manajemen: A History. Risk Books, Incisive RWG Ltd. Flett R, Alpass F, Humphries S, Massey C, Morriss S, Long N The Technology Acceptance Model and Use of Technology in New Zealand Dairy Farming. Agricultural Systems 80(2):

225 Forrester JW, Senge P Tests for Building Confidence in System Dynamics Models. TIMS Studies in the Management Sciences Vol 14. [GRA] Global Risk Alliance Risk Management Guide for Small Business. NSW Department of State and Regional Development. Haimes YY, Jim L, Duan L, Rich S, Vijay T Hierarchical Holographic Modeling for Risk Identification in Complex Systems. IEEE 1995: Haimes YY, Stan K, James HL Risk Filtering, Ranking, and Management Framework Using Hierarchical Holographic Modeling. Risk Analysis 22(2): Haimes YY Risk Modeling, Assesment, and Management. John Willey and Sons Inc. Hanafi MM Manajemen Risiko. Penerbit STIM YKPN. Hayes S Software Tools for Risk Analysis and Management. Risk Management Tools. Hellmann M Fuzzy Logic Introduction. Universit e de Rennes. Hidayat T, Nurdjannah N, Usmiati S Analisis Teknis dan Finansial Paket Teknologi Pengolahan Lada Putih (White Pepper) Semi Mekanis. Buletin Littro 20(1): Hu K, Cheng W Integrating Fuzzy Inference and FMEA to Prioritize Service Failure Risk. National Pingtung University of Science and Technology, Pingtung, Taiwan, ROC. 7p. [IOSH] The Institutional of Occupational Safety and Health Risk Management Basics for SMEs and Employees. European Agency for Health and Safety. [IPC] International Pepper Community Good Agricultural Practise (GAP) dor Black Pepper (Pepper nigrum L) [IPC] International Pepper Community Pepper World Statistic. Jaffee S, Paul S, Colin A Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment. Conceptual Framework and Guidelines for Application. Commodity Risk Management Group Agriculture and Rural Development Department. World Bank. Kahraman C Multi-Criteria Decision Making Methods And Fuzzy Sets. di dalam: Fuzzy Multi-Criteria Decision Making Theory and Applications with Recent Developments. Cengiz Kahraman, Editor. Springer Science Business Media, LLC. 198

226 Kemp R, Horbach J Measurement of Competitiveness of Eco-Innovation. European Commission Kim CS, James T, Mike B, Richard F, Bing C, Mahendrawati E State of The Art Review. Techniques to Model Supply Chain in an Extended Enterprise. Operation Management Division. University of Notingham. Kurttila M, Pesonen M, Kangas J, Kajanus M. 2000, Utilizing The Analytic Hierarchy Process (AHP) in SWOT Analysis-A Hybrid Method and Its Application to a Forecast Certification Case. Forecast Policy and Economics 1:41-52 Kusmuljono BS Menciptakan Kesempatan Rakyat Berusaha. IPB Press. Kusumadewi S, Purnomo H Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan. Graha Ilmu. Lam J Enterprise Risk Management: from Incentives to Controls. John Whiley and Sons Inc. Mans U, Shimshon G International Conflict Management: Analysis and Intervention. Training Manual. Clingendael Institute and Pax Ludens Marimin Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor. IPB Press. Markowski AS, Mannan MS. Fuzzy Risk Matrix. Journal of Hazardous Materials 159 (2008): Marquez AC, Carol B A Decision Support System for Evaluating Operations Investments in High Technology Business. Decision Support System 41(2006): Marrison C The Fundamental of Risk Measurement. Mc Graw Hil Publishing. Martis MS Validation of Simulation Based Models: A Theoretical Outlook. The Electronic Journal of Business Research Methods 4(1). McDermott RE, Mikulak RJ, Beauregard MR The Basics of FMEA. 2nd Edition. Productivity Press. New York. 104p. McFetridge DG Competitiveness: Concepts and Measures. Occasional Paper Number 5. Industry Canada. Merna T, Detlef VS Risk Management of an Agricultural Investment in a Developing Country Utilising the CASPAR Programme. International Journal of Project Management 18(2000):

227 Miller A, Dobbins C, Pritchett J, Boehlje M, Ehmke C Risk Management for Farmers. Staff Paper Department of Agricultural Economics. Purdue University. Mure S, Demichela M Fuzzy Application Procedure (FAP) for The Risk Assessment of Occupational Accidents. Journal of Loss Prevention in the Process Industries 22 (2009): Nam TNT Market and Quality Assessment of Pepper in Vietnam. Sustainable Management of Natural Resources in Central Vietnam. GTZ dan GFA Consulting Group. 35p. [NAPSF] Nigeria Agriculture Policy Support Facilities National Economic Empowerment and Development Strategy. National Economic Empowerement and Development. Nurdjannah N, Hidayat T, Risfaheri Pedoman Pengolahan Lada Putih dengan Mesin. Kerjasama Pemda Kabupaten Bangka dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Nurdjannah N Perbaikan Mutu Lada dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing di Pasar Dunia. Perpektif. Puslitbang Perkebunan 5(1): Nzomoi JN, Byaruhanga JK, Maritim HK, Omboto PI Determinants of Technology Adoption in The Production of Horticultural Export Produce in Kenya African. Journal of Business Management. 1(5): O Donnel E Enterprise Risk Management: A System Thinking Framework for The Event Identification Phase. International Journal of Accounting Information Systems 6(2005): Olson DL, Desheng W, editor New Frontiers in Enterprise Risk Management. Springer-Verlag Berlin Heidelberg Parcell J, Brees M, Giddens N Adding Value. Ag Decision Maker. Dept. of Agricultural Economics, University of Missouri. Paudel B, Hossain MA School of Informatics, University of Bradf ord. Fuzzy based Decision Support System for E-tourism Investment Risk Analysis. 6p. Paul N, Ellinger PN, Peter J. Barry PJ. A Farmer's Guide to Agricultural Credit. The Center for Farm and Rural Business Finance. A Finance-Focused Initiative Providing Information to Farm and Rural Businesses and Their Capital Providers. University of Illinois at Urbana-Champaign. Porter M Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. Free Press. 200

228 Power DJ A Brief History of Decision Support Systems. DSSResources. 16p. Presutti WD Supply Management and E-Procurement: Creating Value Added in The Supply Chain. Industrial Marketing Management 32(2003): Puslitbang Perkebunan Inovasi Mendukung Gerakan Kebangkitan Lada Putih. Qiao Z, Lei Xu The System of Agricultural Risk Management in China, A Framework Design. Agricultural Information Institute. Chinese Academy of Agricultural Sciences. Recio B, Rubio F, Criado JA A Decision Support System for Farm Planning Using AgriSupport II. Decision Support Systems 36(2003): Reuvid J Managing Business Risk. 5 th edition. Kogan Page Limited. Risfaheri Teknologi Pengolahan Lada Semimekanis dan Diversifikasi Produk Menghadapi Persaingan Pasar Dunia. Teknologi Pengolahan Lada Semimekanis 4(4) 2011: Saaty TL Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decission in Complex World. Pittsburgh. RWS Publication. Sargent RG Verification and Validation of Simulation Models. Proceedings of the 2007 Winter Simulation Conference. S. G. Henderson, B. Biller, M.-H. Hsieh, J. Shortle, J. D. Tew, and R. R. Barton, eds. Sathre R, Leif G Process-Based Analysis of Added Value in Forest Product Industries. Forest Policy and Economics 11: Schreyer M, Benning P, Ryd N, Tulke J, Jaeger J, Brandt T, Dortmund Smart Decision Making Framework for Building Information Models. The InPro, Integrated Project. The European Commission Shenkir WG, Walker PL Enterprise Risk Management: Tools and Techniques for Effective Implementation. Institute of Management Accountants. 34p. Shirouyehzad H, Badakhshian M, Dabestani R, Panjehfouladgaran H Fuzzy FMEA Analysis for Identification and Control of Failure Preferences in ERP Implementation. The Journal of Mathematics and Computer Science 1(4): Shull NDP Project Evaluation Using Fuzzy Logic and Risk Analysis Techniques. Thesis. Univerity of Puerto Rico. 201

229 Siahaan H Manajemen Risiko pada Perusahaan dan Birokrasi. Elex Media Komputindo. Sirikrai SB, John CST Industrial Competitiveness Analysis: Using the Analytical Hierarchy Process. Journal of High Technology Management Research 17: [SNNPR] Southern Nations, Nationalities and People's Region. Profile on Black Pepper Processing. 14p. Solleiroa JL, Rosario C Competitiveness and Innovation Systems: The Challenges for Mexico s Insertion in The Global Context. Technovation 25: Stahmer JM, Frank W Value Chain Analysis and Making Markets Work for The Poor Poverty Reduction through Value Chain Promotion. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Su X, Zhao Z, Zhang H, Zhiqiang Li Z, Deng Y An Integrative Assessment of Risk in Agriculture System. Journal of Computational Information Systems 7(1) 2011: 9-16 Sunding D, Zilberman D The Agricultural Innovation Process: Research and Technology Adoption in a Changing Agricultural Sector. T.Aven JK On The Use of Risk and Decision Analysis to Support Decision-Making. Reliability Engineering and System Safety 79(2003): Trienekens JH Agricultural Value Chains in Developing Countries A Framework for Analysis. International Food and Agribusiness Management Review Volume 14, Issue 2, 2011 Tsang, Eric WK, Paul SLY, Mun HT The Impact of R and D on Value Added for Domestic and Foreign Firms In A Newly Industrialized Economy. International Business Review 17: Turban E, Jay EA, Ting PL Decision Support Systems and Intelligent Systems. Edisi 7. Edisi Indonesia. Penerbit Andi. [UNIDO] United Nations Industrial Development Organization Agro- Value Chain Analysis and Development. The UNIDO Approach. Vienna. 83p. Venkatesh V Determinants of Perceived Ease of Use: Integrating Control, Intrinsic Motivation, and Emotion into The Technology Acceptance Model. Information systems research 11:

230 Venkatesh V, Bala H. 2008, Technology Acceptance Model 3 and a Research Agenda on Interventions. Decision Sciences 39(2): Venkatesh V, Morris MG, Davis GB, Davis FD User Acceptance of Information Technology: Toward a Unified View MIS Quarterly 27(3): Vermeulen S, Cotula L Making The Most of Agricultural Investment: a Survey of Business Models That Provide Opportunities for Smallholders. FAO and IIED. Rome, Italy. 116p. VPA. Vietnam Pepper Association Vietnam Pepper Industry. Wang WK A Knowledge-Based Decision Support System for Measuring the Performance of Government Real Estate Investment. Expert System with Aplication 29(2005): Wang YM, Chin KS, Poon GKK, Yang JB Risk Evaluation in Failure Mode and Effects Analysis Using Fuzzy Weighted Geometric Mean, Journal Expert Systems with Application 36: Wejnert B Integrating Models of Diffusion of Innovations: A Conceptual Framework. Annual Review of Sociology 28: Winarti C, Nurdjannah N Teknologi Pengolahan Lada Putih dan Hitam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. World Bank Clusters for Competitiveness. A Practical Guide and Policy Implications for Developing Cluster Initiatives. World Bank. Yakwezi SN The Contribution of Simple Agro-Processing Industries. Uganda Industrial Research Institute. Yeh RH, Hsieh MH Fuzzy Assessment of FMEA for Sewage Plant, Journal of the Chinese Institute of Industrial Engineers 24: Zeng J, An M, Smith NJ Application of A Fuzzy Based Decision Making Methodology to Construction Project Risk Assessment. International Journal of Project Management 25 (2007): Ziggers GW, Trienekens J Quality Assurance in Food and Agribusiness Supply Chains: Developing Successful Partnerships. International Journal Production Economics (1999):

231 LAMPIRAN

232 Lampiran 1. Rugi Laba Uraian Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 PENERIMAAN Kapasitas Pengolahan (kg buah) 480, , , , , , , , , ,000 Persentase Pengolahan Jumlah Pengolahan (kg kering) 108, , , , , , , , , ,000 Jasa Pengolahan (Rp/kg buah) 1,900 1,900 1,900 1,900 1,900 1,900 1,900 1,900 1,900 1,900 Produk Tambahan 3,600,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 4,000,000 Total Penerimaan 208,800, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000,000 PENGELUARAN BIAYA TETAP Biaya Penyusutan Bangunan 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 Biaya Penyusutan Mesin 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 Biaya Penyusutan Peralatan 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 Pemeliharaan Bangunan dan Mesin 500, , , , , , , , , ,000 Pajak Bumi dan Bangunan 100, , , , , , , , , ,000 Biaya Penanganan Limbah 200, , , , , , , , , ,000 Sub Total 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 BIAYA VARIABEL Biaya Bahan Pembantu 2,160,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 2,400,000 Energi 17,280,000 19,200,000 19,200,000 19,200,000 19,200,000 19,200,000 19,200,000 19,200,000 19,200,000 19,200,000 Pengangkutan 4,320,000 4,800,000 4,800,000 4,800,000 4,800,000 4,800,000 4,800,000 4,800,000 4,800,000 4,800,000 Biaya Tenaga Kerja Langsung 25,920,000 28,800,000 28,800,000 28,800,000 28,800,000 28,800,000 28,800,000 28,800,000 28,800,000 28,800,000 Sub Total 49,680,000 55,200,000 55,200,000 55,200,000 55,200,000 55,200,000 55,200,000 55,200,000 55,200,000 55,200,000 Total Pengeluaran 63,020,000 68,540,000 68,540,000 68,540,000 68,540,000 68,540,000 68,540,000 68,540,000 68,540,000 68,540,000 Pinjaman dan Bunga Bank 47,397,000 43,041,600 38,686,200 34,330,800 29,975, Laba Sebelum Pajak 98,383, ,418, ,773, ,129, ,484, ,460, ,460, ,460, ,460, ,460,000 Pajak Penghasilan 19,676,600 24,083,680 24,954,760 25,825,840 26,696,920 32,692,000 32,692,000 32,692,000 32,692,000 32,692,000 Laba Bersih 78,706,400 96,334,720 99,819, ,303, ,787, ,768, ,768, ,768, ,768, ,768,000

233 Lampiran 2. Arus Kas Uraian Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 Kas Masuk Penerimaan Modal Sendiri Pinjaman Bank Nilai sisa Total Kas Masuk Kas Keluar Biaya Operasional Investasi Tetap Modal Kerja Biaya Pra Operasional Angsuran Kredit Total Kas Keluar Kas Bersih Kas Awal Tahun Kas Akhir Tahun

234 Lampiran 3. Rugi Laba Berbasis Risiko Uraian Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 PENERIMAAN Kapasitas Produksi (kg buah) 326, , , , , , , , , ,501 Persentase Produksi Total Produksi (kg kering) 65,362 72,624 72,624 72,624 72,624 72,624 72,624 72,624 72,624 72,624 Jasa Pengolahan 1,334 1,334 1,334 1,334 1,334 1,334 1,334 1,334 1,334 1,334 Produk Tambahan 2,448,754 2,720,838 2,720,838 2,720,838 2,720,838 2,720,838 2,720,838 2,720,838 2,720,838 2,720,838 Total Penerimaan 89,660,976 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 PENGELUARAN BIAYA TETAP Biaya Penyusutan Bangunan 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 1,350,000 Biaya Penyusutan Mesin 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 8,100,000 Biaya Penyusutan Peralatan 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 90,000 Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 3,000,000 Pemeliharaan Bangunan dan Mesin 500, , , , , , , , , ,000 Pajak Bumi dan Bangunan 100, , , , , , , , , ,000 Biaya Penanganan Limbah 200, , , , , , , , , ,000 Sub Total 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 13,340,000 BIAYA VARIABEL Biaya Bahan Pembantu 1,469,252 1,632,503 1,632,503 1,632,503 1,632,503 1,632,503 1,632,503 1,632,503 1,632,503 1,632,503 Energi 11,754,019 13,060,021 13,060,021 13,060,021 13,060,021 13,060,021 13,060,021 13,060,021 13,060,021 13,060,021 Pengangkutan 2,938,505 3,265,005 3,265,005 3,265,005 3,265,005 3,265,005 3,265,005 3,265,005 3,265,005 3,265,005 Biaya Tenaga Kerja Langsung 17,631,029 19,590,032 19,590,032 19,590,032 19,590,032 19,590,032 19,590,032 19,590,032 19,590,032 19,590,032 Sub Total 33,792,805 37,547,561 37,547,561 37,547,561 37,547,561 37,547,561 37,547,561 37,547,561 37,547,561 37,547,561 Total Pengeluaran 47,132,805 50,887,561 50,887,561 50,887,561 50,887,561 50,887,561 50,887,561 50,887,561 50,887,561 50,887,561 Angsuran Pinjaman dan Bunga Bank 47,397,000 43,041,600 38,686,200 34,330,800 29,975, Laba Sebelum Pajak -4,868,829 5,694,146 10,049,546 14,404,946 18,760,346 48,735,746 48,735,746 48,735,746 48,735,746 48,735,746 Pajak Penghasilan -973,766 1,138,829 2,009,909 2,880,989 3,752,069 9,747,149 9,747,149 9,747,149 9,747,149 9,747,149 Laba Bersih -3,895,063 4,555,317 8,039,637 11,523,957 15,008,277 38,988,597 38,988,597 38,988,597 38,988,597 38,988,597

235 Lampiran 4. Arus Kas Berbasis Risiko Uraian Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 Kas Masuk Penerimaan 0 89,660,976 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 Modal Sendiri 85,400, Pinjaman Bank 128,100, Nilai sisa ,600,000 Total Kas Masuk 213,500,000 89,660,976 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623,307 99,623, ,223,307 Kas Keluar Biaya Operasional 84,016,039 85,527,990 82,043,670 78,559,350 75,075,030 51,094,710 51,094,710 51,094,710 51,094,710 51,094,710 Investasi Tetap 152,000, Modal Kerja 61,000, Biaya Pra Operasional 500, Angsuran Kredit 47,397,000 43,041,600 38,686,200 34,330,800 29,975, Total Kas Keluar 213,500, ,413, ,569, ,729, ,890, ,050,430 51,094,710 51,094,710 51,094,710 51,094,710 51,094,710 Kas Bersih 0-41,752,063-28,946,283-21,106,563-13,266,843-5,427,123 48,528,597 48,528,597 48,528,597 48,528,597 74,128,597 Kas Awal Tahun ,752,063-70,698,346-91,804, ,071, ,498,876-61,970,280-13,441,683 35,086,913 83,615,510 Kas Akhir Tahun 0-41,752,063-70,698,346-91,804, ,071, ,498,876-61,970,280-13,441,683 35,086,913 83,615, ,744,107

236 Lampiran 5. Petunjuk Penggunaan Program Aplikasi Sistem Penunjang Keputusan SMART INVEST A. Deskripsi Program Program SMART INVEST dibuat dengan menggunakan Microsoft Visual Basic yang merupakan sebuah bahasa pemrograman yang menawarkan Integrated Development Environment visual berbasis sistem operasi Microsoft Windows dengan menggunakan model pemrograman (COM). Pembuatan program SMART INVEST yang menggunakan Visual Basic dilakukan dengan membuat tampilan aplikasi pada form, kemudian diberi script program di dalam komponenkomponen yang diperlukan. Form disusun oleh komponen-komponen yang berada di Toolbox, dan setiap komponen yang dipakai harus diatur propertinya lewat jendela Property. B. Kebutuhan Hardware dan Software Hardware yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: Processor : Intel Core i3 Processor Memory : DDR3 PC GB VGA Card : 16 MB Software yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: Operating System : Microsoft Windows XP / Vista / 7 Database : Microsoft Access 2000 / XP / 2003 / 2007 Development Tools : Microsoft Visual Studio 6 (SP 6) Minimum HDD Space : 100 MB C. Prosedur Instalasi Instalasi dilakukan dengan menjalankan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Jalankan file setup.exe dari folder Installer 2. Klik OK pada dialog berikut: Klik gambar computer pada dialog berikutnya, jika ingin mengubah tujuan instalasi default, klik Change Directory terlebih dahulu, dan arahkan ke tujuan instalasi yang diinginkan:

237 5. Pada dialog berikutnya klik Continue: 6. Tunggu sejenak hingga proses instalasi selesai, kemudian klik OK untuk menutup program instalasi:

238 D. Struktur Program Program SMART INVEST memiliki struktur sebagai berikut: 1. Penilaian dan Pengelolaan Risiko 1.1. Tingkat Kepercayaan Pakar 1.2. Bobot Komponen Risiko 1.3. Nilai Risiko 1.4. Pengelolaan Risiko 2. Dukungan Fasilitas Pengelolaan Risiko 2.1. Kerentanan (vulnerability) 2.2. Radar Chart Nilai Kerentanan (vulnerability) 2.3. Instrumen Pengelolaan Risiko 3. Agregasi Nilai Risiko 3.1. Nilai Risiko Total 4. Analisis Finansial 4.1. Input 4.2. Rugi Laba 4.3. Arus Kas 4.4. Kelayakan Investasi 5. Simulasi Kelayakan Investasi 5.1. Nilai Peubah 5.2. Input 5.3. Rugi Laba 5.4. Arus Kas 5.5. Kelayakan Investasi E. Prosedur Pengoperasian SMART INVEST Setelah program dijalankan, maka akan muncul tampilan utama program sebagai berikut:

239 1. Penilaian dan Pengelolaan Risiko 1.1. Tingkat Kepercayaan Pakar Tingkat kepercayaan pakar dinilai dengan memasukkan penilaian pada kolom bobot pakar. Hal ini dapat dilakukan dengan menilai tiga orang pakar berdasarkan kriteria tertentu. Hasil pengolahan yang berupa bobot pakar tampak pada kolom kedua Bobot Komponen Risiko Komponen risiko terdiri dari occurrence, severity dan detection. Occurrence adalah peluang atau frekuensi dimana sebuah kegagalan terjadi. Severity merupakan konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari suatu kegagalan, sedangkan Detection mengindikasikan peluang atas tidak dapat dideteksinya sebuah kejadian sebelum terjadi. Pada penelitian ini digunakan istilah occurrence untuk menunjukkan tingkat kejadian, severity untuk tingkat keparahan dampak, dan detection untuk ketidakmampuan pendeteksian. Pada kolom 1-3 merupakan tempat pengisian nilai terhadap komponen risiko. Analisis yang menggunakan komponen risiko occurrence, severity dan detection, maka nilai bobot komponen risiko tertera pada kolom ke empat, sedangkan analisis yang hanya menggunakan occurrence dan severity maka nilai bobot tertera pada kolom ke enam Nilai Risiko Penilaian risiko dilakukan terhadap 32 jenis risiko. Pada baris pertama terdapat angka 1-32 yang menunjukkan ke-32 jenis risiko tersebut. Dengan mengklik nomor tersebut, maka penilaian risiko akan aktif pada

240 jenis risiko tersebut. Pada kolom 1-3 merupakan kolom pengisian nilai oleh pakar, sedangkan kolom ke lima menunjukkan hasil nilai risiko Pengelolaan Risiko Pengelolaan risiko dapat ditunjukkan melalui tiga cara, yaitu berdasarkan nomor risiko, berdasarkan nilai risiko (tinggi-rendah), dan berdasarkan nilai risiko (rendah-tinggi). Hal ini dilakukan dengan menekan bagian Sort by Nomor Risiko untuk urutan berdasarkan nomor risiko, Sort by Nilai Risiko untuk urutan berdasarkan nilai risiko (tinggi-rendah) dan Sort by Nilai Risiko Desc untuk urutan berdasarkan nilai risiko (rendah-tinggi). 2. Dukungan Fasilitas Pengelolaan Risiko 2.1. Kerentanan (vulnerability) Tempat memasukkan nilai kemampuan pengelolaan risiko terdapat pada kolom ke 2, sedangkan nilai keterbatasan atau nilai kerentanan

241 (vulnerability) akan tampak pada kolom ketiga. Tampilan hasil dapat dinyatakan dalam Berdasarkan nomor risiko, berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability) (tinggi-rendah), serta berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability) (rendah-tinggi). Hal ini dilakukan dengan menekan bagian Sort by Nomor Risiko untuk urutan berdasarkan nomor risiko, Sort by Vulnerability untuk urutan berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability) (tinggi-rendah) dan Sort by Nilai Risiko Desc untuk urutan berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability) (rendah-tinggi) Radar Chart Nilai Kerentanan (vulnerability) Pada menu ini merupakan bagian tampilan nilai kerentanan (vulnerability) yang ditunjukkan oleh nilai risiko dan nilai kemampuan pengelolaan risiko secara visual tanpa memasukkan nilai. Gambar merupakan hasil yang diperoleh dari analisis sebelumnya.

242 2.3. Instrumen Pengelolaan Risiko Pengisian nilai instrumen pengelolaan risiko dilakukan dengan mengisi kolom berwarna putih pada matriks perbandingan berpasangan. Matriks ke 1-3 merupakan matriks isian bagi pakar ke 1-3, sedangkan matrik keempat merupakan matriks agregasi. Nilai konsistensi setiap pakar dapat dilihat pada bagian konsistensi yang menunjukkan status konsisten atau tidak konsisten. Hasil analisis secara agregat dinyatakan dalam bentuk: (1) nilai pada matriks keempat kolom kelima, dan (2) bar chart pada bagian kanan.

243 3. Agregasi Nilai Risiko 3.1. Nilai Risiko Total Nilai risiko total dan statusnya diperoleh dengan mengisikan terlebih dahulu nilai kepentingan kelompok risiko pada kolom 1-3. Nilai kepentingan kelompok akan memberikan nilai bobot kelompok pada kolom kelima. Nilai risiko total dan status risiko tertera pada bagian bawah. 4. Analisis Finansial 4.1. Input Asumsi pada analisis finansial dimasukkan pada menu input. Menu input terdiri dari produksi, investasi, pembiayaan, pinjaman dan angsuran, penyusutan bangunan, penyusutan mesin, penyusutan peralatan, biaya tetap, biaya variabel, serta pajak. Bagian kolom dengan warna putih merupakan kolom isian yang harus dimasukkan nilainya, sedangkan bagian kolom dengan warna abu-abu merupakan kolom hasil perhitungan.

244

245

246

247 4.2. Rugi Laba Laporan rugi laba disajikan dalam menu rugi laba. Bagian ini merupakan tampilan dalam bentuk laporan rugi laba dari perhitungan yang didasarkan pada nilai yang dimasukkan pada menu input Arus Kas Laporan arus kas disajikan dalam menu Arus Kas. Bagian ini merupakan tampilan dalam bentuk laporan arus kas dari perhitungan yang didasarkan pada nilai yang dimasukkan pada menu input Kelayakan Investasi Kelayakan investasi dinyatakan dalam bentuk nilai NPV, IRR, Net B/C, pay back period, dan BEP yang tertera pada kolom sebelah kanan. Nilai ini diperoleh dengan terlebih dahulu mengisi persentase pada kolom percentage 1 dan 2 di bagian atas.

248 5. Simulasi Kelayakan Investasi 5.1. Nilai Pengaruh Nilai pengaruh terhadap jasa pengolahan, jumlah lada diolah, dan rendemen pada kolom ke 1-3. Bobot pengaruh dapat diketahui pada kolom kelima, sedangkan besarnya nilai pengaruh tertera pada kolom keenam Nilai Indikator Peubah Nilai indikator peubah menampilkan secara otomatis hasil dari perhitungan nilai pengaruh dalam bentuk nilai yang telah memperhitungkan nilai pengaruh. Nilai terkoreksi ditampilkan pada menu produksi.

249 5.3. Rugi Laba Laporan rugi laba berbasis risiko disajikan dalam menu Rugi Laba. Bagian ini merupakan tampilan dalam bentuk laporan rugi laba dari perhitungan yang didasarkan pada nilai input yang telah dikoreksi dengan nilai pengaruh yang disebabkan oleh risiko Arus Kas Laporan arus kas berbasis risiko disajikan dalam menu Arus Kas. Bagian ini merupakan tampilan dalam bentuk laporan arus kas dari perhitungan yang didasarkan pada nilai input yang telah dikoreksi dengan nilai pengaruh yang disebabkan oleh risiko. 6. Kelayakan Investasi Kelayakan investasi dinyatakan dalam bentuk nilai NPV, IRR, Net B/C dan Pay Back Period terbagi menjadi dua bagian yaitu nilai potensial dan nilai yang dipengaruhi risiko yang tertera pada kolom 1 dan 2. Pada kolom 3 dan 4 nilai tersebut dinyatan dalam persentase dengan nilai potensial sebagai dasar perhitungan. Perbandingan kelayakan investasi pada nilai potensian dan nilai yang dipengaruhi risiko dinyatakan dalam persentase dan perbandingan keduanya digambarkan secara grafis dengan bar chart.

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Produksi lada putih di Indonesia terus menurun, sementara pencapaian standar mutu masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari dominasi kelemahan pada sistem komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 HALAMAN PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan

Lebih terperinci

Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang

Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang 6. APLIKASI MODEL Pengembangan model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada bertujuan untuk memprediksi perilaku risiko, memperkirakan pengelolaan risiko dan instrumen yang diperlukan, serta

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pendekatan Sistem

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pendekatan Sistem 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Sistem Sistem adalah sekumpulan elemen-elemen dari suatu obyek dengan pembatas jelas, yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. Filosofi

Lebih terperinci

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Oleh: Agus Wahyudi (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (Sumber : SINAR TANI Edisi 17 23 November 2010)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian merupakan sektor yang penting dalam

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN BUAH LADA

PENGOLAHAN BUAH LADA PENGOLAHAN BUAH LADA Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama I. PENDAHULUAN Lada memiliki nama latin Piper nigrum dan merupakan family Piperaceae. Lada disebut juga sebagai raja dalam kelompok rempah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem manajemen ahli model SPK agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit terdiri dari tiga komponen utama yaitu sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 65 3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Permasalahan utama yang dihadapi industri gula nasional yaitu rendahnya kinerja khususnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula. Untuk menyelesaikan permasalahan

Lebih terperinci

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren. 44 V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. barang dan jasa akan terdistribusi dengan jumlah, waktu, serta lokasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. barang dan jasa akan terdistribusi dengan jumlah, waktu, serta lokasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Rantai Pasok Rantai pasok adalah sekumpulan aktivitas dan keputusan yang saling terkait untuk mengintegrasi pemasok, manufaktur, gudang, jasa transportasi, pengecer,

Lebih terperinci

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS Formatted: Swedish (Sweden) Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis mengemukakan teori-teori terkait penelitian. Teori-teori tersebut antara lain pengertian proyek, keterkaitan proyek dengan

Lebih terperinci

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR

EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR EFISIENSI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PEMBESARAN IKAN MAS PADA KOLAM AIR DERAS DI DESA CINAGARA, KECAMATAN CARINGIN, KABUPATEN BOGOR MEISWITA PERMATA HARDY SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS (Kasus : Kecamatan Sipahutar, Kababupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara) Oleh : IRWAN PURMONO A14303081 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agribisnis Semakin bergemanya kata agribisnis ternyata belum diikuti dengan pemahaman yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapas merupakan salah satu bahan baku industri yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional karena kapas merupakan komoditas utama penghasil serat alam untuk

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN

C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabe berasal dari Amerika Tengah dan saat ini merupakan komoditas penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Hampir semua rumah tangga

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual III. METODE PENELITIAN Nilai tambah yang tinggi yang diperoleh melalui pengolahan cokelat menjadi berbagai produk cokelat, seperti cokelat batangan merupakan suatu peluang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lada atau pepper (Piper nigrum L) disebut juga dengan merica, merupakan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah menjadi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 66 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam hutan. Hasil hutan dapat berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Hasil hutan kayu sudah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

ANALISA SISTEM. Analisa Situasional

ANALISA SISTEM. Analisa Situasional ANALISA SISTEM Metodologi sistem didasari oleh tiga pola pikir dasar keilmuan tentang sistem, yaitu (1) sibernetik, atau berorientasi pada tujuan. Pendekatan sistem dimulai dengan penetapan tujuan melalui

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN PG-122 IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN Fauziyah 1,, Khairul Saleh 2, Hadi 3, Freddy Supriyadi 4 1 PS Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi 1.2. Penggilingan Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi 1.2. Penggilingan Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi Umumnya alat pengolahan padi terdiri dari berbagai macam mesin, yaitu mesin perontok padi, mesin penggiling padi, mesin pembersih gabah, mesin penyosoh beras,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis buah-buahan Indonesia saat ini dan masa mendatang akan banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses globalisasi, proses yang ditandai

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang cukup besar di dunia. Pada masa zaman pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia merupakan negara terkenal yang menjadi pemasok hasil

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi

I. PENDAHULUAN. Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki banyak peran di Provinsi Bali, salah satunya adalah sebagai sektor pembentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem 76 PEMODELAN SISTEM Pendekatan Sistem Analisis Sistem Sistem Rantai Pasok Agroindustri Minyak Nilam secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) level pelaku utama, yaitu: (1) usahatani nilam, (2) industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik karena banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian, maupun karena kontribusinya yang

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI 5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI 5.1 Pemodelan Sistem Pelaku utama dalam agroindustri lada putih adalah petani, pengolah, pedagang dan eksportir, pemerintah pusat, pemerintah

Lebih terperinci

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

METODOLOGI Kerangka Pemikiran METODOLOGI Kerangka Pemikiran Semakin berkembangnya perusahaan agroindustri membuat perusahaanperusahaan harus bersaing untuk memasarkan produknya. Salah satu cara untuk memenangkan pasar yaitu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian. Ekspor negara Indonesia banyak dihasilkan dari sektor pertanian, salah satunya hortikultura

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Lidah buaya adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh maupun perawatan kulit manusia. Tanaman ini juga memiliki kecocokan hidup dan dapat

Lebih terperinci

Pengolahan lada putih secara tradisional yang biasa

Pengolahan lada putih secara tradisional yang biasa Buletin 70 Teknik Pertanian Vol. 15, No. 2, 2010: 70-74 R. Bambang Djajasukmana: Teknik pembuatan alat pengupas kulit lada tipe piringan TEKNIK PEMBUATAN ALAT PENGUPAS KULIT LADA TIPE PIRINGAN R. Bambang

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gaya hidup pada zaman modern ini menuntun masyarakat untuk mengkonsumsi

I. PENDAHULUAN. Gaya hidup pada zaman modern ini menuntun masyarakat untuk mengkonsumsi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gaya hidup pada zaman modern ini menuntun masyarakat untuk mengkonsumsi makanan dan minuman berkualitas. Salah satu contoh produk yang sangat diperhatian kualitasmya

Lebih terperinci

IV. PEMODELAN SISTEM. A. Konfigurasi Sistem EssDSS 01

IV. PEMODELAN SISTEM. A. Konfigurasi Sistem EssDSS 01 IV. PEMODELAN SISTEM A. Konfigurasi Sistem EssDSS 01 Sistem penunjang keputusan pengarah kebijakan strategi pemasaran dirancang dalam suatu perangkat lunak yang dinamakan EssDSS 01 (Sistem Penunjang Keputusan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAITESISDANSUMBER INFORMASI Dengan inimenyatkan

Lebih terperinci

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT FANJIYAH WULAN ANGRAINI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Kementerian Pertanian Seminar Nasional Agribisnis, Universitas Galuh Ciamis, 1 April 2017 Pendahuluan Isi Paparan Kinerja dan permasalahan Posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari semakin menginginkan pola hidup yang sehat, membuat adanya perbedaan dalam pola konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah penelitian, dan sistematika penulisan laporan dari penelitian yang dilakukan. 1. 1

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF ARIEF RAHMAN,

RINGKASAN EKSEKUTIF ARIEF RAHMAN, RINGKASAN EKSEKUTIF ARIEF RAHMAN, Analisis Kelayakan Investasi Pengembangan Usaha Industri Sayur Beku Olahan Pada PT. Kemfarm Indonesia. Dibawah bimbingan DJONI TANOPRUWITO dan SRI HARTOYO. PT. Kemfarm

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENYUSUNAN RENSTRA

ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENYUSUNAN RENSTRA RENCANA OPERASIONAL PENELITIAN PERTANIAN (ROPP) ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENYUSUNAN RENSTRA 2015-2019 DEDI SUGANDI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU 2014 RENCANA OPERASIONAL PENELITIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

POTENSI PASAR BANK YANG BERBASIS AGRIBISNIS BAGI PENGEMBANGAN PT. BANK BUKOPIN, TBK CABANG KARAWANG DI WILAYAH KABUPATEN PURWAKARTA

POTENSI PASAR BANK YANG BERBASIS AGRIBISNIS BAGI PENGEMBANGAN PT. BANK BUKOPIN, TBK CABANG KARAWANG DI WILAYAH KABUPATEN PURWAKARTA POTENSI PASAR BANK YANG BERBASIS AGRIBISNIS BAGI PENGEMBANGAN PT. BANK BUKOPIN, TBK CABANG KARAWANG DI WILAYAH KABUPATEN PURWAKARTA SKRIPSI EMMY WARDHANI A14102528 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah daratan 1,9 juta km 2 dan wilayah laut 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai 81.290 km, Indonesia memiliki potensi sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk

Lebih terperinci

RINGKASAN. masyarakat dalam berkesehatan. Instansi ini berfungsi sebagai lembaga

RINGKASAN. masyarakat dalam berkesehatan. Instansi ini berfungsi sebagai lembaga RINGKASAN EJEN MUHAMADJEN. Analisis Kelayakan Usaha Rumah Jamu di Taman Sringanis, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh Ir. Netty Tinaprilla,MM Taman Sringanis merupakan wujud kepedulian terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-undang No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Di Sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu jenis rempah yang paling penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi perannya dalam menyumbangkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Rugi Laba

Lampiran 1. Rugi Laba LAMPIRAN Lampiran 1. Rugi Laba Uraian Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 PENERIMAAN Kapasitas Pengolahan (kg buah) 480,000 480,000 480,000 480,000 480,000

Lebih terperinci

Vol. 16, No.2, Agustus 2002 UNJUK KERJA MESIN PASCA PANEN LADA. (Performance of pepper post harvest machines) Wahyu Purwanto dan Lamhot P.

Vol. 16, No.2, Agustus 2002 UNJUK KERJA MESIN PASCA PANEN LADA. (Performance of pepper post harvest machines) Wahyu Purwanto dan Lamhot P. UNJUK KERJA MESIN PASCA PANEN LADA (Performance of pepper post harvest machines) Wahyu Purwanto dan Lamhot P. Manalu Abstract The purpose of this study was to learn technical performance and financial

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xxi. DAFTAR GAMBAR... xxiii. DAFTAR LAMPIRAN... xxv

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xxi. DAFTAR GAMBAR... xxiii. DAFTAR LAMPIRAN... xxv DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xxi DAFTAR GAMBAR... xxiii DAFTAR LAMPIRAN... xxv DAFTAR ISTILAH... xxvii I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 6 1.3. Tujuan Penelitian...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu

Lebih terperinci

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Fokus MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Guru Besar Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Program Pascasarjana IPB Staf

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian 36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PISANG

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PISANG Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PISANG Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 23 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam perumusan strategi serta implementasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat perdesaan, sektor pertanian masih merupakan tema sentral yang perlu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini V. ANALISA SISTEM 5. Agroindustri Nasional Saat Ini Kebijakan pembangunan industri nasional yang disusun oleh Departemen Perindustrian (5) dalam rangka mewujudkan visi: Indonesia menjadi Negara Industri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA AKARWANGI (Andropogon Zizanoid) PADA KONDISI RISIKO DI KABUPATEN GARUT. Oleh: NIA ROSIANA A

KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA AKARWANGI (Andropogon Zizanoid) PADA KONDISI RISIKO DI KABUPATEN GARUT. Oleh: NIA ROSIANA A KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA AKARWANGI (Andropogon Zizanoid) PADA KONDISI RISIKO DI KABUPATEN GARUT Oleh: NIA ROSIANA A14104045 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT

OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT 1 OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT Oleh : NUR HAYATI ZAENAL A14104112 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dilihat dari aspek kontribusinya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman menu makanan,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci