2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pendekatan Sistem

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pendekatan Sistem"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Sistem Sistem adalah sekumpulan elemen-elemen dari suatu obyek dengan pembatas jelas, yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. Filosofi dasar kesisteman yang menjadi landasan pokok dalam menyelesaikan masalah melalui pendekatan sistem adalah: (1) sibernetik, yaitu berorientasi pada tujuan (2) holistik, yaitu memandang secara utuh terhadap keseluruhan sistem, dan (3) efektif, yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang lebih operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai keputusan (Eriyatno 2003). Pengkajian sistem mensyaratkan dipenuhinya tiga karakteristik, yaitu (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dimana faktornya mengandung prediksi dan berubah menurut waktu, dan (3) probabilistik, dimana memerlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Pendekatan sistem merupakan suatu kerangka berpikir yang mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh mengenai suatu permasalahan. Tahapan pendekatan sistem terdiri dari enam tahapan analisis, yaitu (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) formulasi model, (5) verifikasi dan validasi model, dan (6) implementasi model. Metodologi sistem dibagi menjadi dua yaitu hard system methodology (HSM) dan soft system methodology (SSM). Kebijakan publik adalah pengetahuan yang bersifat multidisiplin, oleh karena itu untuk menghasilkan sintesis yang mendalam dan komprehensif, tidak cukup hanya menggunakan satu metode. Riset kebijakan menggunakan teknik-teknik dari SSM, namun dapat juga dikombinasikan dengan HSM untuk analisis sebab akibat. Dalam SSM terdapat berbagai teknik yang digunakan dalam memperoleh atau menganalisis input penelitian. Setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga dengan menggunakan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analis, meningkatkan mutu disain, dan meminimalisasi bias dalam penelitian (Eriyatno dan Sofyar 2007). Tahapan dalam SSM meliputi: (1) analisis situasi permasalahan yang tidak terstruktur, (2) identifikasi situasi permasalahan, (3) pendefinisian sistem yang 5

2 relevan, (4) pengembangan model konseptual, (5) perbandingan model konseptual dan situasi permasalahan yang ditemukenali, (6) identifikasi hal yang diinginkan secara sistematis, dan (7) tindakan perbaikan. Tahapan tersebut disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Soft System Methodology Sumber: Checkland (1981) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007) Analisis kebutuhan merupakan langkah awal yang dilakukan dalam pengkajian sistem. komponen-komponen Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan dari yang terkait, untuk kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhannya akibat adanya keterbatasan sumberdaya. Pendekatan sistem berorientasi kepada pencapaian tujuan, maka permasalahan yang diformulasikan adalah masalah yang terkait dengan pencapai tujuan. Hal ini yang membedakan formulasi masalah pada pendekatan sistem dengan pendekatan yang hanya berorientasi pada pemecahan masalah saja, dimana tujuan ditetapkan setelah muncul adanya permasalahan. 6

3 Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dari masalah yang dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sistem. Tahapan selanjutnya adalah mengembangkan model yang sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Model adalah abstraksi dari suatu gejala. Pemodelan merupakan alat uji sistem yang bertujuan untuk memudahkan mempelajari perilaku suatu gejala secara seksama agar dapat dilakukan generalisasi terhadap masalah tersebut. Melalui model akan diketahui struktur suatu obyek, elemen-elemen penyusunnya dan interaksinya secara logis. Model simulasi yang dibangun diharapkan merupakan representasi sistem nyata, oleh karena itu kesesuaian model perlu dianalisis melalui verifikasi dan validasi model. Implementasi model adalah tahapan akhir dari pendekatan sistem. Pada tahap ini, model yang telah valid dapat diimplentasikan untuk melakukan prediksi dan mengambil keputusan atas suatu permasalahan. 2.2 Sistem Komoditas Lada Sistem komoditas lada dapat dilihat dari subsistem pengadaan input, budidaya, agroindustri, pemasaran, serta kelembagaan dan kebijakan pengembangan komoditas Subsistem Pengadaan Input Subsistem ini meliputi berbagai kegiatan yang menghasilkan bibit, benih, pupuk, obat-obatan, dan peralatan pertanian. Fungsi subsistem ini adalah memproduksi dan memasok kebutuhan input yang akan digunakan dalam subsistem berikutnya, yaitu subsistem produksi. Pada saat ini telah dilepas 7 varietas lada yaitu Petaling 1, Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Chunuk RS, Lampung daun kecil RS dan Bengkayang LU Subsistem Budidaya Perkembangan luas areal penanaman lada dan produksi lada di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun Perkembangan produksi lada meningkat tajam dari tahun 1980 sebesar ton kemudian menjadi ton pada tahun Selama satu dekade berikutnya, produksi lada berfluktuasi dan relatif stagnan. Pada tahun 2011 areal lada Indonesia seluas ha dengan produksi mencapai ton (Tabel 1). 7

4 Tabel 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada di Indonesia Tahun Luas Areal (ha) PProduksi (ton) Sumber: Ditjen Perkebunan (2012) Lada diusahakan pada hampir seluruh wilayah di Indonesia (Gambar 2). Daerah sentra produksi lada adalah Provinsi Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Berdasarkan data penyebarannya, 56,23% dari areal lada berada di provinsi Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung. Luas areal lada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat yaitu sebesar 19,08%, sedangkan sisanya tersebar pada provinsi lain (Tabel 2). Gambar 2. Sebaran Pengembangan Lada Nasional Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007) 8

5 Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Lada Berdasarkan Provinsi No. Provinsi Luas Areal (ha) Produksi (ton) Luas Areal (ha) Produksi (ton) Luas Areal (ha) Produksi (ton) 1. Lampung Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Kalimantan Tengah Bengkulu Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Kalimantan Selatan Lainnya Total Indonesia Sumber: Ditjen Perkebunan (2012) Subsistem Agroindustri Agroindustri adalah unit usaha yang melakukan pengolahan terhadap bahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Agroindustri menggunakan bahan baku pertanian dengan sifat yang mudah rusak (perishable), bulky atau voluminous, bersifat musiman, menerapkan teknologi dan manajemen yang akomodatif terhadap heterogenitas sumberdaya manusia, serta dengan kandungan bahan baku lokal yang tinggi. Pengolahan meliputi transformasi dan pencegahan melalui tindakan fisik dan kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi (Austin 1992). Agroindustri terbagi menjadi empat tingkat kegiatan yaitu: (1) agroindustri tingkat satu yang terdiri dari: kegiatan pembersihan, pengelompokan, atau penyimpanan. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada buah segar, sayur segar, dan telur; (2) agroindustri tingkat dua yang terdiri dari: kegiatan penggilingan, pemotongan, atau pencampuran. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada rempah, serelia, serat, kapas, dan karet; (3) agroindustri tingkat tiga yang terdiri dari: kegiatan pemasakan, pasteurisasi, pengalengan, pembekuan, pengeringan, atau ekstraksi. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada industri makanan minuman, gula, tekstil, dan furnitur; serta (4) agroindustri tingkat empat 9

6 yang terdiri dari: kegiatan proses kimiawi, atau teksturisasi. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada industri makanan instan, dan ban. Lada putih adalah lada yang dihasilkan melalui proses pengupasan atau pemisahan kulit dan pengeringan, sedangkan lada hitam adalah lada yang dihasilkan langsung melalui proses pengeringan tanpa melalui proses pengupasan atau pemisahan kulit. Pengolahan lada dapat dilakukan secara tradisional dan secara mekanis (Gambar 3). Gambar 3. Proses Pengolahan Lada Pasca panen, menurut pasal 31 UU Nomor 12/1992 tentang budidaya tanaman, adalah suatu kegiatan yang meliputi pembersihan, pengupasan, penyortiran, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan transportasi hasil produksi budidaya tanaman (Ditjen P2HP 2009). Penanganan pasca panen lada adalah penanganan buah lada segar hingga menghasilkan produk primer berupa lada kering. Panen adalah proses pemetikan atau pemungutan buah lada pada tingkat kematangan optimal. Sortasi buah lada segar adalah proses pemilahan hasil panen yang masak dan yang baik dari buah yang kecil, rusak atau cacat karena terkena serangan hama dan penyakit, serta benda asing lainnya. 10

7 Perendaman adalah proses menempatkan lada di dalam genangan air mengalir yang bertujuan untuk melunakkan kulit buah. Pengupasan adalah proses memisahkan kulit bagian luar. Pengeringan adalah upaya menurunkan kadar air sampai mencapai kadar air kesetimbangan sehingga aman untuk disimpan. Sortasi kering adalah proses pemilahan biji lada kering atas dasar membuang kotoran atau benda-benda asing lainnya yang tidak diperlukan. Pengolahan lada putih secara tradisional meliputi kegiatan perendaman, pencucian dan pemisahan kulit, pengeringan, sortasi dan pengemasan. Kegiatan pengolahan lada dilakukan di tingkat petani. Pemetikan buah lada dilakukan setelah 8-9 bulan bunga muncul dengan ditandai sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna kuning kemerahan. Setelah pemetikan, buah lada dimasukkan ke dalam karung untuk direndam. Perendaman dilakukan selama hari. Lamanya perendaman lada tergantung dari jenis atau varietas tanaman, lingkungan tumbuh, kemasakan buah dan keadaan lingkungan tempat perendaman seperti, kesadahan air, intensitas cahaya dan lain-lain. Setelah perendaman dilakukan pengupasan kulit dan pencucian, dimana apabila kulit luar telah terkelupas, kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menghamparkan lada, yang sudah terkupas dan bersih, di atas alas yang bersih. Pengolahan lada putih secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat perontok, pengupas, pengering, dan sortasi lada. Perbaikan cara pengolahan lada hitam secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat perontok lada, pengering, dan blansir. Pengolahan secara mekanis disebut juga sebagai pengolahan secara semi mekanis untuk membedakan pengolahan dengan bantuan mesin yang tanpa melalui perendaman. Perbaikan pengolahan dengan cara mekanis bertujuan agar proses pengolahan lebih efisien, serta mutu dan kebersihan menjadi lebih baik (Nurdjannah et al. 2000). Spesifikasi teknis alat dan mesin yang digunakan tertera pada Tabel 3. Perontokan dilakukan untuk memisahkan buah lada dari tangkainya. Pengupasan kulit lada dilakukan untuk memisahkan kulit buah lada dari bijinya. Alat pengupas dapat mengupas lada segar dengan baik, namun warna dari lada putih yang dihasilkan tidak seputih yang dihasilkan dengan cara tradisional yang menggunakan air yang bersih dan mengalir. Oleh karena itu dapat dilakukan 11

8 perendaman buah lada selama 6 hari. Pengeringan dilakukan dalam beberapa tahap dan dengan suhu tidak melebihi 60 o C. Sortasi dilakukan untuk memisahkan lada enteng, menir, dan debu dari lada putih yang dihasilkan. Sortasi dilakukan untuk mengelompokkan lada berdasarkan mutunya. Cara kerja mesin sortasi adalah berdasarkan perbedaan berat dari masing-masing bagian. Tabel 3. Spesifikasi Teknis Mesin dan Peralatan Pengolah Lada Peralatan Tipe Kapasitas (kg) 12 Keterangan Alat perontok (Thresher) Throw-in kg buah lada bertangkai/jam Alat pengayak Manual Maks kg buah lada tanpa tangkai/jam (Sieve) Bak perendaman (Soaking tank) Maks kg buah lada tanpa tangkai/proses Alat pengupas (Decorticator) Piringan kg buah lada tanpa tangkai/jam Bak pemisahan pulp Manual Alat pengering Bak Maks kg biji lada/proses (Mechanical dryer) Unit penjemuran (Sun drying) Rak Alat sortasi Saringan dan hisap kg lada putih/jam Sumber: Hidayat et al. (2009) Pengolahan lada putih secara mekanis dapat mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang berbahaya, dan kotoran lainnya. Pengolahan dengan cara ini juga dapat mempersingkat waktu pengolahan. Selain produk utama berupa lada putih, juga dapat diperoleh tambahan pendapatan dengan menjual produk samping dalam bentuk lada enteng, menir, dan debu sebagai sumber minyak lada. Lada putih yang diolah secara mekanis mempunyai aroma khas lada, bebas dari bau busuk, dan mengandung minyak atsiri yang tinggi (Winarti dan Nurjannah 2007). Pemanfaatan lada yang diperoleh dari sisa hasil sortasi dapat dijadikan minyak lada dan oleoresin. Ekstraksi minyak lada dapat dilakukan dengan cara penyulingan, yaitu proses pemisahan komponen berupa cairan atau padatan dari dua campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya. Proses ini dapat dilakukan terhadap minyak lada karena sifatnya yang tidak larut dalam air, sedangkan ekstraksi oleoresin dilakukan dengan cara solvent extraction. Minyak lada terutama digunakan sebagai pemberi aroma dan rasa pada berbagai macam industri makanan serta dipakai dalam industri kosmetika dan

9 farmasi. Bahan baku untuk penyulingan minyak lada yaitu lada gugur, lada enteng, lada menir, debu, tangkai lada. Penyulingan dengan uap langsung pada tekanan 1 atmosfir (suhu 100 C) selama 4 jam akan menghasilkan minyak dengan rendemen sekitar 2,15%. Balsam lada adalah salah satu sediaan obat yang dapat dibuat dari minyak lada. Krim merupakan sediaan setengah padat, berupa emulsi yang mengandung air tidak kurang dari 60%. Oleoresin diperoleh dengan cara melakukan ekstraksi ampas sisa penyulingan dengan menggunakan pelarut mudah menguap. Ekstraksi oleoresin dapat juga dilakukan secara langsung dari lada enteng, tanpa pemisahan minyak lada dengan penyulingan. Agroindustri lada di beberapa negara berkembang dengan baik. Perkembangan agroindustri lada di India ditandai dengan jumlah dan besarnya perusahaan serta tingkat teknologi yang digunakan. Agroindustri menggunakan standar mutu yang ketat dalam menghasilkan produk dalam bentuk lada kering dan oleoresin. Strategi pengembangan industri lada sebagai upaya mengatasi jumlah lada di India, yang menurun drastis karena kegagalan produksi pada saat permintaan dalam negeri terus berkembang, yaitu melakukan investasi di Vietnam. Vietnam pada saat ini merupakan basis bagi 13 agroindustri lada asing yang berasal dari India, Belanda, Indonesia, Jepang, Singapura (VPA 2010). Agroindustri rempah di Srilanka mencanangkan tahun 2011 sebagai tahun peningkatan nilai tambah bagi industri rempah. Selama ini ekspor dilakukan dalam bentuk bahan baku. Oleh karena itu, industri diharapkan dapat dikembangkan dengan teknologi dan penggunaan teknik untuk peningkatan mutu produk Subsistem Pemasaran Lada diproduksi oleh sebelas negara yang terbagi dalam dua kelompok yaitu: anggota International Pepper Community (IPC), yang terdiri dari: Brazilia, India, Indonesia, Malaysia, Srilanka, Vietnam, dan (2) non anggota IPC seperti: China, Thailand, Madagaskar, Kambodia, dan Equador. Tingkat persaingan pada industri lada semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pangsa pasar negara produsen seiring dengan munculnya Vietnam. 13

10 Perkembangan produksi lada hitam pada awalnya didominasi oleh India dengan peruntukkan bagi pemenuhan kebutuhan domestik yang relatif besar. Pada tahun 2000-an, Vietnam menjadi pemain penting dan mendominasi produksi lada hitam dunia. Pada sisi yang lain, dengan pola produksi yang cenderung stagnan, Indonesia tidak mampu untuk memperbaiki posisinya (Gambar 4). B I I M S L V C PR T M L Gambar 4. Perkembangan Produksi Lada Hitam Negara Produsen Utama Sumber: IPC (2011) B I I M S L V C PR Gambar 5. Perkembangan Produksi Lada Putih Negara Produsen Utama Sumber: IPC (2011) 14

11 Perkembangan produksi lada putih pada awalnya didominasi oleh Indonesia, namun demikian produksi Indonesia terus mengalami penurunan yang sangat signifikan sejak tahun Hal ini berbeda dengan Vietnam yang terus mengalami peningkatan produksi (Gambar 5). Pelaku dalam sistem pemasaran lada yaitu: petani, pengumpul, pedagang, eksportir, dan retail. Pemasaran lada di Kepulauan Bangka Belitung dilakukan melalui beberapa cara. Petani dapat menjual lada ke pengumpul, ke pedagang besar, atau langsung ke eksportir. Hal ini dimungkinkan karena adanya dukungan infrastruktur transportasi dan dukungan fasilitas telekomunikasi yang memadai Subsistem Kelembagaan dan Kebijakan Pengembangan Komoditas Pengembangan sistem komoditas lada memerlukan dukungan kelembagaan dan kebijakan. Lembaga riset dibawah Kementerian Pertanian telah menghasilkan teknologi komoditas lada antara lain dalam bentuk: varietas unggul, teknik budidaya, cara penanggulangan hama penyakit, alat dan mesin pengolah lada, namun adopsi teknologi ini masih rendah. Pada bidang kelembagaan diketahui bahwa pemerintah dibawah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian membentuk Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar, dibawah Badan Litbang Pertanian telah membentuk Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Melalui lembaga ini dihasilkan dukungan dalam bentuk teknologi dan kebijakan bagi pengembangan lada. Kelembagaan lain yang bergerak dalam pengembangan lada adalah: Asosiasi Eksportir Lada (AELI), Asosiasi Petani Lada Indonesia (APLI), serta Masyarakat Rempah Indonesia. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah dibentuk Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) yang bertugas dalam proses percepatan pengembangan lada. 2.3 Manajemen Risiko Risiko mengandung pengertian sebagai perubahan kehilangan (change of loss), kemungkinan kehilangan (possibility of loss), ketidakpastian (uncertainty), penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan, atau probabilitas atas hasil 15

12 yang berbeda dari yang diharapkan. Risiko adalah situasi dimana terdapat ketidakpastian hasil atau akibat dari suatu kejadian (Field 2003). Risiko dapat didefinisikan sebagai pengukuran dari peluang dan keparahan atas suatu dampak yang tidak diinginkan (Haimes 2009). Risiko merupakan variasi dari hasil yang muncul selama periode tertentu akibat dari situasi tertentu (IOSH 2002). Biaya-biaya yang ditimbulkan karena menanggung risiko atau ketidakpastian dapat dibagi menjadi: (1) biaya-biaya dari kerugian yang tidak diharapkan, dan (2) biaya-biaya dari ketidakpastian itu sendiri (Marrison 2002). Risiko menunjukkan adanya variasi dari hasil, yang dinyatakan sebagai pengukuran dari tingkat peluang dan keparahan. Peluang dapat dinyatakan sebagai probability (Lam 2003), frequency, probability of frequency (Haimes 2009), occurrence (McDermott et al. 2009). Occurrence adalah peluang atau frekuensi dimana sebuah kegagalan terjadi. Keparahan dinyatakan sebagai severity (McDermott et al. 2009; Lam 2003). Severity merupakan konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari suatu kegagalan. Pada kasus tertentu, risiko dinyatakan juga sebagai fungsi detection. Detection mengindikasikan peluang atas tidak dapat dideteksinya sebuah kejadian sebelum terjadi. Pada penelitian ini digunakan istilah occurrence untuk menunjukkan tingkat kejadian, severity untuk tingkat keparahan dampak, dan detection untuk ketidakmampuan pendeteksian. Pada ranah keteknikan, risiko digambarkan secara kuantitatif dan lebih fokus kepada teknologi. Pada sisi yang lain, ilmu sosial menyediakan informasi yang dapat membantu memahami bagaimana individu berinteraksi, mengambil keputusan, menyusun kekuatan, dan merespon perubahan (Gerber 2004). Penggambaran risiko pada kedua sisi tersebut akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang struktur dan perilaku risiko. Pengelompokan risiko dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Berdasarkan sumbernya, risiko dapat dibagi menjadi: (1) kegagalan perangkat keras (hardware failure), (2) kegagalan perangkat lunak (software failure), (3) kegagalan kelembagaan (organizational failure), dan (4) kegagalan sumberdaya manusia (human failure) (Haimes 2009). 16

13 Pendekatan sistem dapat membantu proses identifikasi risiko secara komprehensif (O Donnel 2005). Analisis risiko dan pengelolaan risiko pada rantai nilai lebih kompleks daripada individu. Risiko dan kerentanan dianalisis dengan pendekatan sistem yang memperhitungkan eskposur, potensi kerugian, pilihan manajemen risiko, serta hubungan dengan pelaku di luar rantai nilai baik secara individu maupun kelompok (Jaffee et al. 2008) Pada kerangka manajemen rantai pasok (supply chain management), risiko rantai pasok dibagi menjadi dua, yaitu risiko eksternal dan risiko internal. Risiko eksternal merupakan risiko yang dihadapi oleh unit usaha berkaitan dengan jalannya sistem rantai pasok, yang terdiri dari risiko kerjasama, risiko keputusan manajemen, risiko pembagian informasi, dan risiko penjadwalan. Risiko internal merupakan risiko yang dihadapi usaha berkaitan dengan operasional unit usaha, yang terdiri dari risiko finansial, risiko proses, dan risiko pasar (Kim et al. 2004). Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan komprehensif untuk menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian (COSO 2006). Manajemen risiko merupakan suatu aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur, serta menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi (Hanafi 2006). Manajemen risiko adalah suatu proses dengan menggunakan metode-metode tertentu, dimana dipertimbangkan risiko yang dihadapi dalam setiap kegiatan organisasi dalam proses mencapai tujuan (Bowe 2006). Secara prosedural, manajemen risiko terdiri dari kegiatan penetapan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, dan penanganan risiko, yang didalamnya disertai pula kegiatan pengembangan komunikasi, serta monitoring dan evaluasi pada setiap tahapannya (GRA 2006). Tahapan manajemen risiko tertera pada Gambar 6. Manajemen risiko bertujuan untuk melakukan identifikasi risiko sehingga dapat diperkirakan dampak jika risiko terjadi, membuat keputusan yang tepat mengenai dampak yang telah diperkirakan, mengimplementasikan program penanggulangan risiko tersebut, serta secara berkesinambungan melakukan pengukuran dan memperkirakan apakah program yang telah dijalankan telah berjalan efektif atau masih membutuhkan perbaikan (Olson dan Desheng 2008; Reuvid 2008). 17

14 Penetapan Konteks komunikasi dan konsultasi Identifikasi Risiko Analisis Risiko Evaluasi Risiko Pengendalian dan evaluasi Perlakuan terhadap Risiko Gambar 6. Proses Manajemen Risiko Sumber: GRA (2006) Teknik dalam identifikasi risiko dapat dilakuan dengan menggunakan brainstorming, kuesioner, patok duga industri (industry benchmarking), analisis skenario (scenario analysis), risk assessment workshop, investigasi kejadian (incident investigation), audit dan inspeksi, atau Hazard and Operability Studies (HAZOP) (Siahaan 2009; Hayes 2004). Teknik evaluasi dan pengukuran risiko dipilih berdasarkan jenis risiko yang akan diukur. Teknik ini terdiri dari: Value at Risk (VaR), stress testing, credit rating, creditmetricts, metode pengukuran jangka waktu, risk mapping atau matriks frekuensi dan keparahan, analisis skenario (Hanafi 2006; CAS 2003), atau Hierarchical Holographic Modeling (Haimes 2009; Haimes et al. 2002, 1995). Pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan cara penghindaran risiko (risk avoidance), penahanan risiko (risk retention), pengalihan risiko (risk transfer) dan pengendalian risiko (risk control). Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui asuransi, perlindungan nilai (hedging), atau pembentukan perseroan terbatas. Risiko yang tidak dapat dihindari, maka dilakukan pengendalian risiko. Dalam kerangka dua dimensi, yaitu frekuensi dan tingkat keparahan (severity), maka pengendalian bertujuan untuk mengurangi peluang munculnya kejadian, mengurangi tingkat keparahan (severity), atau keduanya (Field 2003). 18

15 2.4 Manajemen Risiko Agroindustri Risiko pertanian dapat dibedakan menjadi: risiko alam, risiko tanaman, risiko lahan, risiko persaingan internasional, risiko kebijakan, risiko teknologi, dan risiko petani (Su et al. 2011). Risiko alam terdiri dari risiko iklim, geologi, kelautan, dan sumberdaya alam. Risiko tanaman terdiri dari risiko produksi, permintaan, harga, serangan hama, serangan penyakit, cuaca, curah hujan, struktur pasar, pestisida, varietas, dan polusi. Risiko lahan terdiri dari risiko jenis lahan, kelangkaan lapisan dan air. Risiko persaingan internasional terdiri dari risiko impor dan ekspor yang terdiri dari risiko mutu, keamanan, dan harga. Risiko kebijakan terdiri dari risiko investasi finansial, harga, dan jasa informasi. Risiko teknologi terdiri dari risiko peralatan modern, organisasi, penyuluhan, dan teknisi. Risiko petani terdiri dari risiko pendapatan, pendidikan, dan populasi. Pada sudut pandang yang lain, risiko pada kegiatan agribisnis dapat dibedakan menjadi: risiko harga, risiko produksi, risiko aset, risiko kelembagaan, risiko keuangan, dan risiko sumberdaya manusia (Angelucci dan Conforti 2010). Ditinjau dari sisi pelaku, risiko yang dihadapi petani berasal dari berbagai sumber dari perubahan atau ketidakpastian, baik yang langsung maupun yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan usahatani. Oleh karena itu risiko yang dihadapi terdiri dari risiko produksi, risiko harga, risiko kehilangan aset, dan risiko teknologi (Miller 2004). Risiko harga terjadi sebagai akibat dari perubahan yang tak terduga atas harga input atau output. Risiko produksi timbul dari bahaya alam yang mempengaruhi jumlah atau mutu tanaman. Risiko aset timbul dari kerugian atas perubahan atau kehilangan yang terjadi pada peralatan, bangunan dan aset produktif lainnya. Risiko kelembagaan merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari perubahan kebijakan nasional dan internasional, atau perubahan konsentrasi kekuatan pasar sepanjang rantai nilai. Risiko keuangan merupakan risiko yang muncul dari perubahan tak terduga atas biaya modal, fluktuasi nilai tukar, atau gangguan dalam kemampuan untuk mengakses kredit. Risiko sumberdaya manusia muncul karena gangguan atau perubahan dari kapabilitas tenaga kerja. Risiko pengolahan terjadi sebagai akibat dari terjadinya variasi proses, atau terhentinya produksi. 19

16 Agroindustri merupakan aktivitas pemberian nilai tambah pada komoditas pertanian melalui pengolahan sebelum produk sampai di tangan kepada konsumen (Benfica 2002). Risiko agroindustri dalam konteks sistem agribisnis dapat ditinjau dari sisi pengadaan bahan baku, teknis dan teknologi, pemasaran, serta kelembagaan. Risiko pengadaan bahan baku merupakan parameter penting dalam risiko usaha agroindustri karena ketersediaan bahan baku tergantung pada sub sistem budidaya, yang memiliki ketidakpastian yang tinggi. Potensi risiko bahan baku disebabkan oleh sifat produksi yang musiman, sifat produk yang mudah rusak, bervariasi, dan bervolume besar, sifat produsen yang resisten terhadap inovasi serta sifat pasar yeng tersebar secara geografis dan unit-unit kecil dengan jumlah yang banyak (Austin 1992). Sebagian risiko pada agroindustri merupakan transmisi dari risiko yang dihadapi pada tingkat budidaya (Jafee et al. 2008). Risiko pada pelaksanaan kegiataan budidaya yaitu perubahan cuaca, bencana alam, biologi dan lingkungan, risiko pemasaran, risiko kebijakan dan kelembagaan, risiko logistik, serta risiko manajemen dan operasi. Secara umum risiko tersebut akan memberikan pengaruh pada kegiatan agroindustri terhadap ketersediaan, harga, mutu produk, serta biaya logistik. Risiko bencana alam akan memberikan pengaruh pada biaya pengembangan sumber pengadaan. Risiko biologi dan lingkungan akan berpengaruh pada reputasi merek dan akses pasar. Risiko kebijakan dan kelembagaan serta risiko logistik akan berpengaruh pada ketersediaan dan harga produk lain, serta biaya operasi dan kebutuhan terhadap sumber pengadaan lain. Risiko manajemen dan operasi akan berpengaruh pada keamanan produk, kehandalan produk, dan biaya operasi. Pengelolaan risiko merupakan upaya untuk menghindari atau mengurangi dampak risiko yang telah teridentifikasi. Strategi pengelolaan risiko pada bidang pertanian terdiri dari: strategi budidaya, strategi pembagian risiko, diversifikasi, jaminan sosial, pasar berjangka, atau asuransi. Adapun alat pengelolaan risiko antara lain asuransi pertanian (asuransi biaya, asuransi hasil, asuransi pendapatan, asuransi indeks meteorologi), contract farming, atau perdagangan berjangka komoditas pertanian (Qiao 2011). Strategi pada tingkat budidaya ditekankan kepada manajemen budidaya termasuk pemilihan produk dengan risiko rendah, 20

17 atau produk dengan siklus produksi yang pendek, memberikan kecukupan likuiditas, dan diverisifikasi produk. Strategi pembagian risiko termasuk kontrak produksi dan pemasaran, integrasi vertikal, pasar berjangka, partisipasi pada pendanaan bersama dan asuransi. Pasar berjangka akan membantu mengurangi risiko harga pada jangka pendek, dan pada saat yang bersamaan akan meningkatkan transparansi pembentukan harga. Strategi diversifikasi dilakukan melalui peningkatan pendapatan yang bersumber dari kegiatan di luar pertanian. Jaring pengaman merupakan sebuah strategi pengelolaan risiko yang disediakan oleh pasar. Risiko produksi dapat dilindungi dengan asuransi jika risiko sedikit berhubungan dengan invidu yang telah terlindungi oleh asuransi dan jika petani dengan perusahaan asuransi membangun informasi yang simetri. 2.5 Manajemen Risiko Investasi Agroindustri Investasi adalah awal kehilangan dari sesuatu yang akan ditukar dengan manfaat, sebagai bentuk antisipasi atas didapatkannya kembali dari yang ditanamkan. Perbedaan antara nilai yang ditanam dengan apa yang diperoleh kemudian merupakan pengembalian (return). Pengembalian adalah kompensasi yang diperoleh atas diserahkannya sejumlah modal. Berbagai bentuk investasi akan memberikan tingkat ketidakpastian yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat risiko yang dihadapi. Dengan demikian maka analisis investasi merupakan analisis yang mengintegrasikan aspek pengembalian dan risiko dalam sebuah kerangka analisis (Feibel 2003). Investasi pada sektor pertanian dapat dilakukan dalam berbagai bentuk model bisnis. Model bisnis merupakan cara dimana sebuah unit usaha mengelola sumberdaya, kerjasama, dan hubungan pelanggan dalam upaya menciptakan dan mendapatkan nilai. Derajat inklusivitas diukur dari kepemilikan, suara, risiko, dan penghargaan yang dibagi antar mitra kerja. Model kerjasama pada bidang budidaya adalah perjanjian pembelian, sewa lahan, bagi hasil, kontrak manajemen, join ventura (Vermeulen dan Cotula 2010). Dukungan pemerintah yang dapat diberikan antara lain dalam bentuk penyediaan peraturan, informasi, dan pelibatan kelompok. 21

18 Vermeulen dan Cotula (2010) menyebutkan beberapa pilihan bentuk lembaga pengolahan yaitu: koperasi pengolahan, kepemilikan bersama, atau pengolahan yang disediakan oleh perusahaan besar atau pengumpul. Dukungan pemerintah yang dapat diberikan antara lain dalam bentuk promosi, dan dukungan bisnis bagi peningkatan kepemilikan. Secara lebih spesifik, investasi agroindustri berdasarkan kepemilikannya dapat dibedakan menjadi: perusahaan agroindustri, unit pengolahan bersama, dan unit pengolahan perseorangan (VPA 2010). Perusahaan agroindustri biasanya dalam bentuk pabrik dengan mesin modern dan kapasitas besar, serta menerapkan sistem sanitary dan food safety. Perusahaan agroindustri biasanya merupakan eksportir yang melakukan kegiatan pembersihan, sortasi, dan pengemasan. Ruang lingkup kegiatan perusahaan dipengaruhi oleh bentuk pengadaan bahan baku lada. Perusahaan dimungkinkan memiliki kebun sendiri, kontrak pengadaan bahan baku dengan petani, atau pembelian bebas. Unit pengolahan bersama merupakan usaha milik badan usaha atau kelompok yang dioperasikan oleh tim manajemen. Unit pengolahan perseorangan merupakan unit pengolahan milik individu yang mensyaratkan luasan kebun tertentu dengan kemampuan pembiayaan investasi dan operasional yang tinggi. Tingkat pengembalian selama periode investasi (holding period of return) berdasarkan historis dihitung dengan melakukan perbandingan nilai akhir investasi (ending value of investment) terhadap nilai awal investasi (beginning value of investment). Analisis investasi meliputi pengukuran pengembalian dan pengukuran risiko. Pengukuran pengembalian dilakukan untuk mengetahui: (1) bagaimana nilai absolut dari portofolio yang berubah dari waktu ke waktu, (2) apakah penyebab kenaikan nilai, (3) apa dampak dari biaya manajemen, pajak, dan fluktuasi mata uang terhadap pengembalian, dan (4) bagaimana pengembalian dibandingkan dengan alternatif lain. Pengukuran risiko dilakukan untuk mengetahui: (1) berapa banyak total risiko diambil untuk mencapai tingkat pengembalian tertentu, (2) bagaimana peluang pencapaian tingkat pengembalian yang diharapkan, dan (3) apakah diperlukan acuan arah portofolio (Feibel 2003). Teknik pengukuran tingkat pengembalian biasanya dilakukan melalui analisis finansial. Kriteria investasi yang digunakan yaitu adalah Net Present 22

19 Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Ratio (Net B/C), dan Pay Back Period (PBP). Analisis tingkat pengembalian yang diketahui melalui analisis finansial memiliki keterbatasan (Merna dan Detlef 2000) yaitu: (1) analisis sensitivitas pada analisis finansial tidak menunjukkan indikasi peluang terjadinya perubahan, dan (2) pada variabel kunci antar variabel diasumsikan saling independen. Value at Risk (Var) merupakan sebuah standar industri dalam kuantifikasi risiko dan pengendalian pada perusahaan-perusahaan, terutama yang bergerak pada perdagangan instrumen pasar modal seperti lembaga finansial, perusahaan energi, dan lembaga non keuangan, dengan aktivitas yang signifikan pada pasar modal. Pada perusahaan seperti ini, VaR digunakan untuk mengukur risiko terhadap posisi keuangan. VaR merepresentasikan sebuah alat yang efektif dalam proses pengukuran dan pengendalian risiko. Manajemen risiko pada perusahaan non finansial lebih difokuskan kepada manajemen arus kas dan pendapatan, serta tidak kepada nilai pasar dari aset dan liabilitas. Oleh karena itu, perusahaan non finansial menerapkan teknik VaR untuk mengukur dan mengelola arus kas berbasis risiko (Cash Flow at Risk- CFaR) dan pendapatan berbasis risiko (Earning at Risk-EaR). Tujuan dari CFaR dan EaR adalah untuk mengkuantifikasi dan mengendalikan variabel kunci yang berkontribusi terhadap perubahan pada arus kas dan pendapatan. Perhitungan yang dapat digunakan untuk mengestimasi mengukur dan mengelola arus kas berbasis risiko (Cash Flow at Risk-CFaR) dan pendapatan berbasis risiko (Earning at Risk-EaR) adalah: (1) Pro Forma Analysis, (2) Analisis Regresi, dan (3) Analisis Simulasi (Lam 2003). Pro Forma Analysis berbasis kepada kinerja dari setiap komponen pada arus kas dan laporan keuangan. Analisis finansial dugaan menjadi dasar yang kemudian digunakan untuk menetapkan variabel yang mungkin akan mempengaruhi outcome dari setiap elemen dan kisaran potensial perubahannya. Analisis regresi menghitung arus kas dan pendapatan pada variasi faktor risiko tertentu dan berbasis kepada analisis data deret waktu suatu unit usaha. Model ini menyediakan estimasi linear terhadap arus kas dan pendapatan pada aturan tertentu. Analisis simulasi menghitung potensi perubahan terhadap arus kas dan pendapatan atas perubahan 23

20 pada variabel kunci. Analisis finansial berbasis risiko dilakukan dengan cara menyusun diagram pengaruh (influence diagram) dan menghitung risiko yang menjadi pemicu (Shenkir dan Walker 2007). Pada kondisi dimana terdapat keterbatasan sumberdaya dan kemampuan, maka kegiatan pengelolaan risiko membutuhkan dukungan fasilitas dalam bentuk instrumen pengelolaan risiko. Fasilitasi adalah modifikasi dari sebuah sistem yang akan membuat sesuatu menjadi lebih mudah dalam proses pencapaian tujuan. Fasilitasi digambarkan sebagai sebuah kondisi dari kesempatan, sumberdaya, dukungan terhadap sebuah kelompok untuk mencapai tujuan mereka (NAPSF 2008). Fasilitasi bagi pengembangan komoditas melibatkan pemerintah, dunia usaha, donor, dan masyarakat. Bentuk fasilitasi dari setiap pelaku sejalan dengan peran yang diemban dalam pengembangan komoditas. Terdapat berbagai bentuk fasilitas yang dapat diberikan dalam upaya mempercepat pencapaian tujuan yaitu: fasilitas teknis, fasilitas finansial, fasilitas sumberdaya, fasilitas legal dan administratif (BSFMCT 2008). Instrumen pengelolaan risiko yang dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan risiko pada rantai pasok komoditas pertanian dapat dikelompokkan menjadi (Jaffee et al. 2008): (1) adopsi dan pengembangan teknologi: penelitian dan pengembangan untuk perbaikan benih, penanganan pasca panen, teknologi informasi dan pengetahuan, serta penyuluhan (2) manajemen unit usaha: manajemen usahatani, manajemen usaha pengolahan, manajemen pengadaan barang, manajemen mutu, dan manajemen keamanan pangan; (3) instrumen finansial: pembiayaan, dan hedging; (4) infrastruktur: transportasi dan komunikasi, energi, transfer informasi dan pengetahuan, fasilitas penyimpanan dan penanganan produk, dan fasilitas pengolahan; (5) kebijakan: institutional arrangement, pengaturan, kebijakan pemerintah, hak kekayaan intelektual, dan peraturan perburuhan; serta (6) kemitraan: tindakan oleh kelompok tani, asosiasi, koperasi, dan kerjasama. Fasilitas teknis dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki infrastuktur teknologi. Melalui fasilitasi ini maka diharapkan akan terbangun inovasi teknologi yang akan mempercepat proses pengembangan komoditas. Tiga bentuk utama inovasi teknologi yang diharapkan dapat terjadi dalam infrastruktur 24

21 teknologi yaitu: (1) inovasi produk-proses, (2) inovasi pengetahuan-ketrampilan, dan (3) inovasi metode-sistem. Fasilitas sumberdaya manusia dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketrampilan pengetahuan, keahlian, dan kreativitas dalam mengelola sumberdaya. Fasilitasi sumberdaya manusia bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan efisiensi. Fasilitasi organisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam melaksanakan pengembangan komoditas. Peningkatan dilakukan terhadap perangkat organisasi dalam bentuk: metode, teknik, jaringan organisasi, dan manajemen praktis. Fasilitas pembiayaan diberikan dalam upaya untuk meningkatkan akses terhadap lembaga keuangan yang selama ini menjadi kendala bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Hybrid Microfinancing adalah sebuah sistem perkuatan permodalan bagi usaha mikro melalui mekanisme pemadu-serasian sumbersumber pembiayaan dari dana masyarakat pada perbankan dengan dana pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan serta perluasan lapangan pekerjaan (Kusmuljono 2009). Pada sektor pertanian, beberapa jenis pembiayaan yaitu: Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), dan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). KUR adalah kredit atau pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif. KUR merupakan salah satu skim kredit yang diberikan oleh Perbankan dengan pola penjaminan, yang bekerjasama dengan Lembaga Penjamin yang ditetapkan oleh Pemerintah. Perkembangan pelaksanaan program KUR, sangat ditentukan oleh terselenggaranya koordinasi yang melibatkan tiga unsur berikut: instansi/departemen pembina, perbankan, dan lembaga penjaminan. KUR untuk sektor pertanian diarahkan untuk mendukung program-program kementerian Pertanian dalam rangka pemenuhan permodalan untuk mengembangkan usahanya. Usaha sektor pertanian yang dapat dibiayai KUR (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2012) meliputi: (1) aspek budidaya (on- 25

22 farm) yang terdiri dari: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan; (2) aspek hulu yang terdiri dari: (a) pengadaan sarana produksi: pupuk, pestisida, herbisida, dan lain-lain; (b) pengadaan alsintan pra panen: traktor, pompa air, bajak, luku, pacul, mesin pembibitan (seedler), alat tanam bijibijian (seeder) dan lain-lain; serta (3) aspek hilir yang terdiri dari: (a) pengadaan hasil produksi: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan, (b) pengadaan alsintan tanaman pangan; (c) pengadaan alsintan hortikultura; (d) pengadaan alsintan perkebunan antara lain meliputi: pengolah kelapa sawit mini, sangrai kopi, sangrai kakao, pengolah teh, pengolah lada, pengolah kelapa, kepras tebu, alat tebang (tracer), mesin pengolah biji jarak dan lain-lain; (e) pengadaan alsintan peternakan; dan (f) usaha budidaya, pengelolaan hasil dan pengadaan atau pembiayaan alsintan. Dalam upaya menyelesaikan permasalahan kurangnya akses kepada sumber permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi petani yang masih lemah, Kementerian Pertanian mulai tahun 2008 telah melaksanakan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dibawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat. Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam mendukung empat sukses Kementerian Pertanian yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan; (2) peningkatan diversifikasi pangan; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani. Skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP), yang sumber dananya berasal dari Perbankan dengan subsidi suku bunga bagi petani dan peternak disediakan oleh pemerintah, telah diluncurkan sejak tahun Dalam perkembangannya KKP mengalami penyesuaian dari tahun ke tahun, sejak Oktober 2007 KKP disempurnakan menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Hal ini mengadopsi upaya mengurangi ketergantungan energi berbahan baku fosil dan perkembangan teknologi energi dikembangkan energi lain yang berbasis sumber energi nabati. 26

23 Berdasarkan peruntukannya, penyaluran kredit perbankan untuk Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM) lebih banyak diserap untuk keperluan konsumsi bila dibandingkan untuk investasi dan modal kerja. Penyebarannya masih belum merata dan alokasinya masih terpusat didaerah perkotaan, sedangkan untuk daerah perdesaan alokasinya masih kurang. Penyaluran KUR masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan didominasi sektor perdagangan, sedangkan provinsi di luar Jawa pada umumnya masih terbatas. Penyaluran KUR untuk sektor diluar perdagangan seperti: pertanian dan perikanan masih rendah. Aternatif sumber pembiayaan non perbankan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha agribisnis adalah dana Social Corporate Responsibility (CSR), antara lain dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN (PKBL- BUMN). Sesuai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Penyisihan dan Penggunaan Laba BUMN dapat digunakan untuk keperluan pembinaan terhadap usaha kecil atau koperasi dan pembinaan masyarakat sekitar BUMN melalui PKBL-BUMN, termasuk usaha sektor pertanian. Pinjaman diberikan untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan usaha kecilnya. Usaha kecil yang dibiayai adalah usaha produktif yang mempunyai prospek dikembangkan antara lain perdagangan, industri kecil, jasa, budidaya pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan), perikanan, dan promosi (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2011). 2.6 Posisi Penelitian Penelitian tentang risiko telah dilakukan pada berbagai aspek dan bidang kajian, termasuk agroindustri. Identifikasi risiko yang dilakukan berbasis pendekatan rantai komoditas dapat memberikan gambaran risiko secara komprehensif (Zeng et al. 2007; Jaffee et al. 2008; Su et al. 2011). Perhitungan risiko dapat dilakukan dengan berbasis data histori atau berbasis pengetahuan. Logika fuzzy merupakan metode yang dapat digunakan pada perhitungan risiko yang berbasis pengetahuan. Pendekatan logika fuzzy pada analisis risiko diaplikasian pada beberapa metode antara lain: fuzzy logic (Shull 2006), fuzzy geometric mean FMEA (Wang et al. 2009), grey relational analysis (Su et al. 27

24 2011), fuzzy reasoning approach (Zeng et al. 2007), fuzzy AHP (Buchmeister et al. 2006), fuzzy inference system (Markowski 2008), serta fuzzy application procedure (Mure dan Demichela 2009). FMEA merupakan salah satu alternatif kerangka analisis yang dapat digunakan dalam menilai risiko. Sebagai upaya untuk memperhitungkan penilaian secara detail, pada kasus tertentu diperlukan perhitungan bobot komponen risiko (occurrence, severity, dan detection) serta bobot pakar (Wang et al. 2009). Selain itu untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh, perlu dilakuan agregasi nilai risiko dan statusnya. Pada situasi tertentu, analisis pengelolaan risiko tidak mencukupi, sehingga diperlukan analisis lanjutan berkaitan dengan analisis kerentanan (vulnerability analysis) sebagai dasar untuk menentukan dukungan fasilitas berupa pemberian instrumen pengelaan risiko (Jaffee et al. 2008). Validasi model analisis risiko dapat dilakukan dengan studi kasus seperti dilakukan oleh Su et al. (2011), Zeng et al. (2007), serta Mure dan Demichela (2009). Analisis finansial pada investasi agroindustri telah dilakukan pada berbagai komoditas pertanian. Sebagian besar analisis merupakan kajian yang melakukan analisis sensitivitas dengan melakukan simulasi atas asumsi yang ditetapkan. Analisis risiko merupakan salah satu dasar simulasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kinerja investasi. Penggunaan SPK dalam proses manajemen risiko investasi telah diterapkan pada berbagai bidang. Caliskan (2006) mengembangkan SPK bagi evaluasi investasi pada sektor transportasi, Marquez dan Carol (2006) pada bisnis teknologi, serta Wang (2005) pada investasi real estate. Secara lebih spesifik, T.Aven (2003) mengintegrasikan analisis risiko sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan. Pada bidang pertanian telah dibangun SPK pada model AgriSupport yang membantu perencanaan dalam usahatani (Recio et al. 2003), sedangkan pada analisis risiko rantai pasok telah dikembangkan Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment (RapAgRisk) (Jafee et al. 2008), namun belum dikembangkan dalam bentuk SPK. Penelitian ini merupakan analisis manajemen risiko pada investasi agroindustri lada putih, yang didalamnya menggabungkan analisis risiko dan 28

25 analisis finansial dengan perhitungan sensitivitas yang menggunakan teknik simulasi berbasis risiko. Kebaharuan pada penelitian ini terdapat pada risiko yang teridentifikasi, penilaian risiko, dan analisis lanjutan bagi pengelolaan risiko, serta terintegrasinya analisis risiko dan analisis investasi pada sebuah kerangka analisis. Identifikasi risiko dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem komoditas. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan adanya transmisi risiko pada mata rantai lain, sehingga diperlukan kerangka identifikasi risiko yang komprehensif. Risiko pada aspek agroindustri diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan sumber risiko (Haimes 2009), selain itu diperhitungkan transmisi risiko (Jaffee et al. 2008) sehingga diperhitungkan risiko pada aspek budidaya, pemasaran, finansial dan kelembagaan. Identifikasi pada aspek lain dilakukan dengan menggunakan risiko pada konsep pertanian (Miller et al. 2004), agribisnis (Angelucci dan Conforti 2010), rantai pasok (Kim et al. 2004). Dilakukan penambahan jenis risiko pada aspek budidaya, pemasaran, dan kelembagaan berdasarkan struktur dan perilaku sistem komoditas obyek kajian. Perbaikan penilaian risiko dilakukan dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy yang memungkinkan dilakukan penilaian bagi data yang bersifat pengetahuan. Pendekatan logika fuzzy tersebut yang diaplikasikan pada fuzzy weighted average FMEA. Perbaikan penilaian risiko juga dilakukan dengan mengaplikasikan penambahan perhitungan bobot komponen risiko (occurrence, severity, dan detection), serta perhitungan bobot pakar. Penelitian ini juga melakukan agregasi nilai risiko untuk mendapatkan status risiko secara keseluruhan yang tidak dilakukan pada setiap analisis risiko pada penelitian lain. Berkaitan dengan pengelolaan risiko, pada penelitian ini dilengkapi analisis lanjutan dalam bentuk analisis kerentanan (vulnerability) dan analisis instrumen pengelolaan risiko. Nilai kerentanan (vulnerability) yang dihasilkan dapat menggambarkan perbandingan antara kemampuan untuk mengelola risiko dengan nilai risiko. Analisis kerentanan (vulnerability) tidak dipetakan pada matriks dua dimensi seperti kebanyakan dilakukan, tetapi dipetakan pada grafik dalam bentuk radar chart. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki visualisasi nilai tersebut. Analisis ini merupakan dasar untuk menentukan dukungan fasilitas dalam bentuk instrumen pengelolaan risiko. Analisis instrumen risiko dilakukan 29

26 dengan metode perbandingan berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas antar instrumen pengelolaan risiko. Analisis kelayakan investasi diperkaya dengan melakukan simulasi kelayakan investasi berbasis kepada nilai risiko yang telah dianalisis sebelumnya. Pendekatan ini dapat memperbaiki kelemahan analisis kelayakan investasi yang dilakukan secara konvensional. Hal ini mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai perilaku kinerja investasi yang dipengaruhi oleh risiko. Keseluruhan aspek kajian diintegrasikan dalam sebuah kerangka analisis dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST. Model ini merupakan integrasi atas berbagai aspek analisis yang didalamnya terdapat kebaharuan yang dihasilkan dari penelitian ini. Model yang dibangun merupakan sistem komputerisasi informasi yang menggunakan model-model yang diakomodasikan dengan basis data. Pada SPK yang dibangun dipaparkan secara rinci elemen-elemen sistem, sehingga dapat menunjang pengguna dalam proses pengambilan keputusan. SPK akan menghasilkan gambaran bagi investor mengenai kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi, gambaran bagi pelaku dalam sistem komoditas mengenai risiko pengelolaan risiko terpadu, serta panduan bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko. 30

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Produksi lada putih di Indonesia terus menurun, sementara pencapaian standar mutu masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari dominasi kelemahan pada sistem komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian merupakan sektor yang penting dalam

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang

Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang 6. APLIKASI MODEL Pengembangan model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada bertujuan untuk memprediksi perilaku risiko, memperkirakan pengelolaan risiko dan instrumen yang diperlukan, serta

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem manajemen ahli model SPK agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit terdiri dari tiga komponen utama yaitu sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI LADA SUCI WULANDARI

RANCANG BANGUN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI LADA SUCI WULANDARI RANCANG BANGUN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI LADA SUCI WULANDARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Oleh: Agus Wahyudi (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (Sumber : SINAR TANI Edisi 17 23 November 2010)

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang cukup besar di dunia. Pada masa zaman pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia merupakan negara terkenal yang menjadi pemasok hasil

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penelusuran teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Adapun

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren. 44 V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agribisnis Semakin bergemanya kata agribisnis ternyata belum diikuti dengan pemahaman yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Proyek Kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS Formatted: Swedish (Sweden) Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Kementerian Pertanian Seminar Nasional Agribisnis, Universitas Galuh Ciamis, 1 April 2017 Pendahuluan Isi Paparan Kinerja dan permasalahan Posisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber :  [18 Februari 2009] I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa termasuk Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar (228.523.300

Lebih terperinci

Lampiran 1. Rugi Laba

Lampiran 1. Rugi Laba LAMPIRAN Lampiran 1. Rugi Laba Uraian Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 PENERIMAAN Kapasitas Pengolahan (kg buah) 480,000 480,000 480,000 480,000 480,000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI 5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI 5.1 Pemodelan Sistem Pelaku utama dalam agroindustri lada putih adalah petani, pengolah, pedagang dan eksportir, pemerintah pusat, pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapas merupakan salah satu bahan baku industri yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional karena kapas merupakan komoditas utama penghasil serat alam untuk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Konsep Risiko Istilah risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty) sering digunakan secara bersamaan atau bahwa risiko sama dengan ketidakpastian.

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan suatu penalaran dari peneliti yang didasarkan atas pengetahuan, teori dan dalil dalam upaya menjawab tujuan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pokok masyarakat, salah satunya adalah sayur-sayuran yang cukup banyak

BAB I PENDAHULUAN. pokok masyarakat, salah satunya adalah sayur-sayuran yang cukup banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki tanaman pangan maupun hortikultura (buah dan sayuran) yang beraneka ragam. Iklim tropis menjadi kemudahan dalam menanam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO Pada bab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri

Lebih terperinci

Sistem Manajemen Basis Data

Sistem Manajemen Basis Data 85 KONFIGURASI MODEL Hasil analisis sistem menunjukkan bahwa sistem pengembangan Agrokakao bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat dalam

Lebih terperinci

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Siwi Purwanto Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang mendasari penelitian diantaranya yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 DIREKTORAT TANAMAN SEMUSIM DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu.

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu. 52 6 PENGEMBANGAN MODEL 6.1 Analisis model sistem dinamis agroindustri gula tebu Sesuai dengan metodologi, maka rancang bangun sistem dinamis bagi pengambilan keputusan kompleks pada upaya pengembangan

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Gula merah tebu merupakan komoditas alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula. Gula merah tebu dapat menjadi pilihan bagi rumah tangga maupun industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis buah-buahan Indonesia saat ini dan masa mendatang akan banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses globalisasi, proses yang ditandai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. struktur pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi

I. PENDAHULUAN. struktur pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia sebagai negara agraris

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual III. METODE PENELITIAN Nilai tambah yang tinggi yang diperoleh melalui pengolahan cokelat menjadi berbagai produk cokelat, seperti cokelat batangan merupakan suatu peluang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang devisa,

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan komoditas pertanian serta sebagian besar penduduknya adalah petani. Sektor pertanian sangat tepat untuk dijadikan sebagai

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian Dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian telah dilaksanakan banyak program pembiayaan pertanian.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 23 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam perumusan strategi serta implementasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat perdesaan, sektor pertanian masih merupakan tema sentral yang perlu

Lebih terperinci

PENGOLAHAN BUAH LADA

PENGOLAHAN BUAH LADA PENGOLAHAN BUAH LADA Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama I. PENDAHULUAN Lada memiliki nama latin Piper nigrum dan merupakan family Piperaceae. Lada disebut juga sebagai raja dalam kelompok rempah

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN Agar pangsa pasar susu yang dihasilkan peternak domestik dapat ditingkatkan maka masalah-masalah di atas perlu ditanggulangi dengan baik. Revolusi putih harus dilaksanakan sejak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor penggerak utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Soekartawi (2000),

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Manfaat dan Biaya Dalam menganalisa suatu usaha, tujuan analisa harus disertai dengan definisi-definisi mengenai biaya-biaya dan manfaat-manfaat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lada atau pepper (Piper nigrum L) disebut juga dengan merica, merupakan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu jenis rempah yang paling penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi perannya dalam menyumbangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. barang dan jasa akan terdistribusi dengan jumlah, waktu, serta lokasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. barang dan jasa akan terdistribusi dengan jumlah, waktu, serta lokasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Rantai Pasok Rantai pasok adalah sekumpulan aktivitas dan keputusan yang saling terkait untuk mengintegrasi pemasok, manufaktur, gudang, jasa transportasi, pengecer,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012 1 TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012 I. PENDAHULUAN Pengembangan sektor agribisnis sebagai salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis mengemukakan teori-teori terkait penelitian. Teori-teori tersebut antara lain pengertian proyek, keterkaitan proyek dengan

Lebih terperinci

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU Ubi kayu menjadi salah satu fokus kebijakan pembangunan pertanian 2015 2019, karena memiliki beragam produk turunan yang sangat prospektif dan berkelanjutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dilihat dari aspek kontribusinya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman menu makanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi pertanian dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan (long

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini pertanian organik menjadi suatu bisnis terbaru dalam dunia pertanian Indonesia. Selama ini produk pertanian mengandung bahan-bahan kimia yang berdampak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada prinsipnya pengertian agribisnis adalah merupakan usaha komersial (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian Indonesia memiliki potensi yang besar dalam segi sumberdaya dan kualitas, sehingga dapat menjadi sektor unggulan dalam meningkatkan pendapatan negara. Saat ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah dan beraneka ragam. Hal ini tampak pada sektor pertanian yang meliputi komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN. HIDUP. Sumber Daya Alam. Perkebunan. Pengembangan. Pengolahan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao memegang peranan penting dalam hal pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Komoditas ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara, pengadaan lapangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci