PERKEMBANGAN HISTAMIN SELAMA PROSES FERMENTASI DAN PENYIMPANAN PRODUK BAKASANG JEROAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) RAHMATIA GARWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGAN HISTAMIN SELAMA PROSES FERMENTASI DAN PENYIMPANAN PRODUK BAKASANG JEROAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) RAHMATIA GARWAN"

Transkripsi

1 PERKEMBANGAN HISTAMIN SELAMA PROSES FERMENTASI DAN PENYIMPANAN PRODUK BAKASANG JEROAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) RAHMATIA GARWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Produk Bakasang Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2009 Rahmatia Garwan NIM C

3 ABSTRACT RAHMATIA GARWAN. The Histamine Growth during Fermentation Process and Storaging of Bakasang Produced from Viscera of Skipjack (Katsuwonus pelamis, Lin). Supervised by JOKO SANTOSO and SRI PURWANINGSIH. Bakasang is a fermented fish product, produced from viscera of skipjack which belongs to scombroid group. Those kinds of fish contains a lot of free histidin on their muscle tissue and easy to change become histamine due to decarboxylation reaction and activity of bacteria. These experiments were carried out to study the histamine growth during fermentation processed and storaging at room temperature of bakasang produced from viscera of skipjack. The viscera of skipjack were obtained from fish auction place at Muara Angke - North Jakarta. There were two main steps of experiment, i.e. fermentation processed of viscera for 8 days (0, 2, 4, 6, 8) and continued by storaging at room temperature for 90 days (0, 30, 60, 90). During fermentation processed, moisture content significance decreased from % to71.57 % and the numbers of total microbe (TPC) increased significantly from 10 4 to 10 5 Cfu/g; however, the protein content, ph values and histamine content were not affected significantly. There was positive correlation between the numbers of total microbe (TPC) and histamine content of bakasang during storaging. Both of values increased 10 3 to 10 6 Cfu/g and from to ppm respectively; however, the histamine were still under the maximum limit established by Ditjen P 2 HP DKP (2007). The moisture content of bakasang increased significantly during fermentation and storaging, with values were from % to %. In opposite, protein contents significance decreased during fermentation and storaging from % to %. The ph values of bakasang only affected by the storaging and increased from 5.73 to Based on organoleptic test, storaging until 90 days at room temperature still produced bakasang in good average level. Combination treatments between fermentation for 4 and 8 days without storaging (0 days) produced the high average values of color, odor, taste and texture; and they also had the higher values of odor and taste in comparison to commercial product. Both of combination treatments also had the highest protein contents and the lowest histamine values. Keywords: bakasang, fermentation, histamine, viscera of skipjack, storaging

4 RINGKASAN RAHMATIA GARWAN. Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Produk Bakasang Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan SRI PURWANINGSIH. Bakasang adalah produk fermentasi jeroan ikan berupa larutan kental, dibuat dari jeroan ikan melalui fermentasi dengan penambahan garam, yang rasanya asam dan biasanya disajikan untuk pelengkap lauk dengan dibumbuhi cabe dan gula. Bakasang umumnya berasal dari jeroan ikan cakalang yang termasuk golongan ikan scombroid dari famili scombroidae. Jenis ikan tersebut mengandung banyak histidin bebas dalam jaringan dagingnya. Proses penanganan dan pengolahan dilakukan dengan tidak benar menyebabkan histidin bebas tersebut dapat berubah menjadi histamin karena dekarboksilasi dan aktivitas bakteri pembentuk histamin. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perkembangan histamin selama proses fermentasi jeroan dan penyimpanan bakasang pada suhu ruang. Jeroan diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses fermentasi jeroan selama 8 hari (0, 2, 4, 6, 8) dan dilanjutkan dengan proses penyimpanan pada suhu ruang selama 90 hari (0, 30, 60, 90). Selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air secara nyata dari 75,87 % menjadi 71,57 % dan peningkatan total mikroba dari 10 4 menjadi 10 5 Cfu/g, sedangkan kadar protein, nilai ph dan histamin tidak berpengaruh nyata. Selama penyimpanan bakasang terjadi korelasi positif antara peningkatan total mikroba dari 10 3 menjadi 10 6 Cfu/g dengan jumlah histamin dari 18,59 menjadi 64,20 ppm, meskipun demikian nilainya masih di bawah batas maksimum yang ditetapkan oleh Ditjen P 2 HP DKP (2007). Kadar air bakasang mengalami peningkatan secara nyata oleh lama fermentasi dan lama penyimpanan dari 75,93 % menjadi 77,58 %, sedangkan kadar protein mengalami penurunan secara nyata oleh lama fermentasi dan lama penyimpanan dari 49,26 % menjadi 42,48 %. Berdasarkan uji organoleptik, penyimpanan bakasang sampai dengan hari terakhir (90 hari) masih menunjukkan karakteristik baik walaupun terjadi penurunan nilai. Dua produk terbaik hasil penilaian panelis didapatkan pada perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F 4 P 0) dan perlakuan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F 8 P 0 ) yang memberikan nilai rata-rata tertinggi terhadap parameter bau dan rasa dibandingkan dengan produk komersial. Kedua kombinasi perlakuan tersebut juga mempunyai kandungan protein tertinggi dan kadar histamin terendah. Kata kunci: bakasang, fermentasi, histamin, jeroan cakalang, penyimpanan

5 Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 PERKEMBANGAN HISTAMIN SELAMA PROSES FERMENTASI DAN PENYIMPANAN PRODUK BAKASANG JEROAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) RAHMATIA GARWAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Iriani Setyaningsih, M.S

8 Judul Tesis Nama NIM : Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Produk Bakasang Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) : Rahmatia Garwan : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ketua Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 18 Maret 2009 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan nikmat-nya terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulisan tesis dengan judul Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Produk Bakasang Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan, kesabaran dan kebijaksanaan, serta masukan kepada penulis sejak rencana penelitian hingga penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada: 1). Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Ternate (UMMU) yang telah memberikan rekomendasi dan ijin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2). Sekda Provinsi Maluku Utara Ternate yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 3). Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara Ternate yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 4). Ir. Iriani Setyaningsih, M.S, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan guna penyempurnaan tesis ini. 5). Aba dan Ibu tercinta (Hi. Mursjid Garwan dan Hj. Nurchalifah Faroek), kakakku Mb I dan Mas Gembong (suami), Ko Memet dan Mala (istri), adik-adikku Mubarakh dan Mimi (istri), Muchdi dan Nikma (istri) serta si bungsu Muzakkir (Iken) ganteng. Nenek tercinta Hj. Hawa Hakim (alm) dan Hj. Fatmah Faroek juga keenam keponakanku (Mb Lala, Bagus, Sukma, Dhiwa, Reihan dan Daffa); terima kasih atas segala dukungan material, moril, semangat dan doa yang tak terhingga nilainya selama ini kepada penulis.

10 6). Imran Pattisahusiwa; terima kasih atas perhatian, bantuan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keikhlasanmu. 7). Pa Ikram Sangadji, Pa Hi. Saiful Latif, Pa Hi. Ruslan, Ibu Hj. Ifo; terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keiikhlasannya. 8). Teman-teman S2 THP Angkatan 06 (Mb Nik, Mb Uci, Mb Poe, Pa Aim, Pa Mad, Pa Max, Mas Candra dan Pa Dani); terima kasih atas bantuan, motivasi, perhatian, semangat, kebersamaan dan kekompakannya yang terjalin sampai saat ini. 9). Teman-teman S2 THP Angkatan 05 dan 07 (Mb Chairita, Mb Vita, Pa Adri, Pa Celcius dan Pa Dani); Te Rita, Fitah, Pa Sit, Bu Juhli, Mb Elin, Mb Taty, Krisan, Sevry dan Ulina); terima kasih atas kerjasamanya. 10). Teman-teman S1 THP (Astari, Rijan, Alim, Santy, Agnes, Dede, Juhli, Diaz, Nujul), dan teman-teman Laboratorium Pluit Jakarta (Ayu, Bu Sri, Bu Helma, Bu Yuli, Pa Wahyu, Mas Kur, Mas Adi, Mas Pur, Mas Agung, Mas Kukuh, Mas Woko dan Mas Iyong; terima kasih atas kerjasamanya. 11). Prof. Frans G. Ijong, Prof. Berhimpon dan Nci Henny Dien; terima kasih atas arahan, motivasi dan semangatnya kepada penulis. 12). Teman-teman Dinas DKP Ternate; Ci Waty, Ci Ija, Esti, Ci Marni, Acid, Mad Kaplale, Kris, Jakir, Neni, Ci Mei, Ci Ina, Ci Mila, Ci Anti, Ci Nita, Pa Ismail, Pa Ama Duwila, Ko Buyung, Aba Dullah, Pa Muhlis Baay, Ko Jevo gendut, Pa Ota, Aslun, Su, Ratna, Udin Turuy, Upu, Aisten, Muja, Cahyadi, Pa Ekan dan seluruh staf DKP; terima kasih atas perhatian dan dukungannya. 13). Mas Ismail dan Bu Ema; terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya yang terjalin selama ini. Mas Roes, Mb Endang PAU; terima kasih atas kesabaran dan semangatnya dalam membantu dan memotivasi penulis. 14). Yani (mama Dillah) yang selalu setia mengerti, mendorong dan menguatkan penulis dalam masalah pribadi. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keikhlasanmu. 15). Teman-teman S2 dari Ternate; Ci Nona Albaar, Ido Raz, Sholli, Aditiawan, Fahmy Djafar, Yuyun, Sartika, Ko Oni, Aziz, Lafdy, Sahlan, Irham dan Pa

11 Haris, serta teman-teman Departemen IPN IPB; Silvana, Afgan dan Tanty; terima kasih atas kerjasama, perhatian dan dukungannya kepada penulis. 16). Teman-teman kozan Dwi Regina B (Astari, Pritha, Sri, Miaw, Winny, Rara, Lele, Lilik, Ulfa, Sita, Rini, Winda, Pipit, Fira, Vully, Dara, Riri, Tari imoet, dan teh Dede); terima kasih atas semangat, dukungan dan kekeluargaannya yang terjalin selama ini. Semoga jalinan silaturahmi kita selalu terjaga dan kita selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa, amin. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih ada kekurangannya, meskipun demikian diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Mei 2009 Rahmatia Garwan

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ternate pada Tanggal 22 November 1980 dari orang tua Hi. Mursjid M. Garwan dan Hj. Nurchalifah Faroek. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Penulis lulus dari SMA N 1 Ternate pada tahun 1998 dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Sam Ratulangi Manado melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada tahun 2004, penulis dipercayakan mengabdi pada Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara Ternate dan Tahun 2006 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui beasiswa BPPS dari Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti pendidikan S2, penulis pernah menjadi anggota Forum Wacana IPB periode

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya Mikrobiologi Ikan Segar Protein Ikan Histidin dan Histamin Kandungan histamin dan pembentukannya pada ikan Reaksi fisiologis histamin Fermentasi Fermentasi dengan garam Fermentasi bakasang METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Tahapan Penelitian Preparasi jeroan Proses fermentasi jeroan Penyimpanan bakasang xii

14 3.4 Prosedur Analisis Analisis kimia (a) Kadar air (AOAC 1995) (b) Kadar protein (Apriyantono et al. 1989) (c) Nilai ph (Fardiaz 1993) (d) Total Volatile Bases (TVB) (AOAC 1995) (e) Kadar histamin (SNI ) Analisis mikrobiologi (a) Total mikroba/total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1993) (b) Total kapang (Fardiaz 1993) (c) Escherichia coli (SNI ) (d) Salmonella (SNI ) Uji organoleptik (a) Uji skoring (SNI ) (b) Uji perbandingan pasangan (Soekarto dan Hubeis 2000) Uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin Rancangan Percobaan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) selama proses fermentasi Kadar air Kadar protein Nilai ph Kadar histamin Total mikroba/total Plate Count (TPC) Escherichia coli Salmonella Karakteristik Bakasang pada Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi dan Lama Penyimpanan Kadar air Kadar protein Nilai ph Kadar histamin Total mikroba/total Plate Count (TPC) Total kapang xiii

15 4.4 Karakteristik Organoleptik Bakasang dengan Uji Skoring Penampakan Bau Rasa Tekstur Karakteristik Organoleptik Bakasang dengan Uji Perbandingan Pasangan Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Bakasang Terpilih dan Bakasang Komersial Kadar air Kadar protein Nilai ph Kadar histamin Total mikroba/total Plate Count (TPC)) Total kapang Penentuan Kombinasi Perlakuan Terbaik Bakasang dari Aspek Kimia Kadar protein Kadar histamin Uji Pendugaan Umur Simpan Bakasang terhadap Kadar Histamin KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tahapan kemunduran mutu ikan Kandungan asam amino dalam protein daging ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi Bakteri-bakteri yang mendekarboksilasi histidin Karakteristik kimia dan mikrobiologi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Karakteristik kimia dan mikrobiologi bakasang terpilih dan bakasang komersial (bakasang yang ada di pasaran) Penentuan bakasang kombinasi perlakuan terbaik berdasarkan aspek kimia xv

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian perkembangan histamin selama proses fermentasi dan penyimpanan produk bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ( Reaksi pembentukan histamin (Cheffel et al. 1986) Tahapan preparasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Tahapan proses fermentasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Proses penyimpanan bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Histogram rata-rata kadar air jeroan selama proses fermentasi Histogram rata-rata kadar protein jeroan selama proses fermentasi Histogram rata-rata nilai ph jeroan selama proses fermentasi Histogram rata-rata kadar histamin jeroan selama proses fermentasi Histogram rata-rata log total mikroba jeroan selama proses fermentasi Histogram rata-rata kadar air bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata kadar protein bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata nilai ph bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata kadar histamin bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata log total mikroba bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata log total kapang bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata nilai penampakan bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata nilai bau bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata nilai rasa bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata nilai tekstur bakasang selama penyimpanan Histogram rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan Grafik uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin xvi

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembar isian organoleptik bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) (SNI ) Lembar isian organoleptik bakasang hasil penelitian terbaik dan bakasang komersial Jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) yang digunakan dalam penelitian a. Analisis ragam kadar air jeroan selama proses fermentasi b. Uji lanjut Duncan kadar air jeroan selama proses fermentasi Analisis ragam kadar protein jeroan selama proses fermentasi Analisis ragam nilai ph jeroan selama proses fermentasi Analisis ragam kadar histamin jeroan selama proses fermentasi a. Analisisi ragam log total mikroba jeroan selama proses fermentasi b. Uji lanjut Duncan log total mikroba jeroan selama proses fermentasi Produk bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) selama kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan a. Analisis ragam kadar air bakasang b. Uji lanjut Duncan kadar air pada lama fermentasi c. Uji lanjut Duncan kadar air pada lama penyimpanan a. Analisis ragam kadar protein bakasang b. Uji lanjut Duncan kadar protein pada lama fermentasi c. Uji lanjut Duncan kadar protein pada lama penyimpanan a. Analisis ragam nilai ph bakasang b. Uji lanjut Duncan nilai ph bakasang pada lama penyimpanan a. Analisis ragam kadar histamin bakasang b. Uji lanjut Duncan kadar histamin selama interaksi a. Analisis ragam log total mikroba bakasang b. Uji lanjut Duncan log total mikroba pada lama fermentasi c. Uji lanjut Duncan log total mikroba pada lama penyimpanan a. Analisis ragam log total kapang bakasang b. Uji lanjut Duncan log total kapang selama interaksi xvii

19 16. Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) a. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang b. Uji lanjut Multiple Comparisson penampakan bakasang Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) a. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang b. Uji lanjut Multiple Comparisson bau bakasang Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) a. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang b. Uji lanjut Multiple Comparisson rasa bakasang Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) xviii

20 35. Data organoleptik uji perbandingan pasangan bakasang F 4 P Data organoleptik uji perbandingan pasangan bakasang F 8 P a. Hasil uji Kruskal-Wallis bakasang terpilih dan bakasang komersial b. Uji lanjut Multiple Comparisson terhadap bau bakasang terpilih dan bakasang komersial Analisis ragam kadar air bakasang terpilih dan bakasang komersial Analisis ragam kadar protein bakasang terpilih dan bakasang komersial a. Analisis ragam nilai ph bakasang terpilih dan bakasang komersial b. Uji lanjut Duncan nilai ph bakasang terpilih dan bakasang komersial a. Analisis ragam kadar histamin bakasang terpilih dan bakasang komersial b. Uji lanjut Duncan kadar histamin bakasang terpilih dan bakasang komersial a. Analisis ragam log total mikroba bakasang terpilih dan bakasang komersial b. Uji lanjut Duncan log total mikroba bakasang terpilih dan bakasang komersial a. Analisis ragam log total kapang bakasang terpilih dan bakasang komersial b. Uji lanjut Duncan log total kapang bakasang terpilih dan bakasang komersial Analisis ragam kadar protein bakasang terpilih berdasarkan aspek kimia a. Analisis ragam kadar histamin bakasang terpilih berdasarkan aspek kimia b. Uji lanjut Duncan kadar histamin bakasang terpilih berdasarkan aspek kimia Data uji pendugaan masa simpan bakasang terhadap kadar histamin Rekapitulasi data preparasi jeroan ikan cakalang Rekapitulasi data lama fermentasi jeroan ikan cakalang Rekapitulasi data lama penyimpanan bakasang hasil penelitian Rekapitulasi data bakasang komersial pada penyimpanan 1 bulan (30 hari) Perhitungan kadar air, kadar protein, nilai ph, kadar histamin, total mikroba dan total kapang xix

21 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu potensi hasil perikanan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara yang cukup besar untuk dikembangkan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). Data Statistik Perikanan Tangkap Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2007) menunjukkan bahwa jumlah produksi ikan yang ada di Kota Ternate terdiri atas cakalang ,60 ton/tahun, teri ,72 ton/tahun, tuna 7.979,99 ton/tahun, tongkol 7.795,10 ton/tahun dan kakap 541,40 ton/tahun. Ikan cakalang selain sebagai komoditas dalam bentuk ekspor beku juga dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat Kota Ternate. Pengolahan tradisional yang sudah umum dikenal adalah ikan asin, ikan asap dan produk fermentasi seperti kecap ikan, terasi dan bakasang. Pada umumya proses pengolahan ikan cakalang seperti pengasapan dan penggaraman hanya memanfaatkan bagian dagingnya saja, sedangkan bagian lainnya seperti jeroan (usus, lambung, hati, jantung, paru dan telur) umumnya dibuang dan sebagiannya dimanfaatkan sebagai produk sampingan. Jeroan ikan merupakan limbah perikanan sumber enzim proteolitik yang cukup tinggi terutama pada bagian pilorikaeka dan usus. Pada pilorikaeka terdapat enzim tripsin dan kimotripsin, sedangkan pada usus terdapat enzim protease (Poernomo 1992), selain itu pada bagian lambung juga terdapat enzim proteolitik seperti pepsin, lipase dan esterase (Hidayat 1994). Jeroan ikan juga merupakan depot penyimpanan lemak dan sumber protein. Terdapat 17 jenis asam amino dalam jeroan ikan yaitu asam aspartat, treonin, serin, asam glutamat, leusin, glisin, alanin, sistein, valin, metionin, isoleusin, tirosin, fenilalanin, histidin, lisin dan arginin (Poernomo 1992). Pemanfaatan limbah perikanan khususnya jeroan secara tradisional telah dilakukan nelayan-nelayan di tepi pantai Indonesia bagian timur seperti Provinsi Sulawesi Utara dan Maluku Utara dengan cara fermentasi menggunakan garam dengan menghasilkan produk yang dikenal dengan nama bakasang. Pengolahan bakasang dengan cara fermentasi merupakan cara pengawetan yang

22 2 relatif sederhana dan mudah diterapkan turun temurun, proses pengolahannnya secara tradisional berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat, tidak membutuhkan biaya yang tinggi (mahal), menghasilkan bahan buangan (limbah) dalam jumlah kecil, produk fermentasi mempunyai daya simpan yang lama dan produk dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat (Rahayu et al. 1992). Menurut Brink et al. (1990); Ijong dan Ohta (1995); McLauchlin et al. (2005); Jiang et al. (2007), bakasang merupakan salah satu produk fermentasi oleh mikroba fermentatif golongan bakteri asam laktat. Bakasang umumnya dibuat dari jeroan ikan cakalang yang merupakan golongan scombroid yang berasal dari famili Scombroidae. Jenis ikan tersebut mengandung banyak histidin bebas di dalam jaringan daging dan bagian isi perutnya (jeroan) yang dapat diubah menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilasi dan aktivitas bakteri penghasil histamin. Proses pengolahan bakasang di Kota Ternate dilakukan secara tradisional dan dipasarkan secara lokal. Segera setelah ikan didatangkan ke tempat pengolahan, ikan langsung ditangani dengan cara merendamnya dengan air es dalam ember besar beberapa menit, kemudian dilanjutkan dengan penanganan isi perut untuk pembuatan bakasang. Penanganan bahan baku, praktek sanitasi dan higiene yang dilakukan menjadi permasalahan penting selama pengolahan bakasang, dimana jeroan ikan yang sudah ditangani tidak diberi es dan masih bercampur dengan kotoran-kotoran lain seperti insang dan isi lambung. Penanganan jeroan (usus, lambung, hati, jantung, paru dan telur) selanjutnya dilakukan pencucian dengan air kran untuk mengeluarkan sisa-sisa darah dan kotoran lain yang masih menempel. Jeroan tersebut kemudian diberi garam 25 % lalu ditutup dengan kain kasa dan difermentasi selama 8 hari pada suhu kamar. Proses selanjutnya adalah pemasakan jeroan selama 30 menit (dalam keadaan mendidih) merupakan tahapan setelah proses fermentasi. Hasil pemasakan kemudian didinginkan dan disaring (diambil filtrat atau larutan yang berwarna coklatnya) kemudian dimasukkan ke dalam botol dan dilanjutkan dengan proses penyimpanan pada suhu kamar untuk siap dijual atau dikonsumsi. Daya tahan bakasang yang ada di Kota Ternate dapat mencapai 7 bulan dimana produk belum

23 3 menunjukkan penyimpangan atau kerusakan dari sisi organoleptik seperti warna, bau, rasa dan tekstur sehingga masih dapat diterima oleh masyarakat 1. Sebagai upaya meningkatkan mutu sekaligus menyediakan makanan yang berbasis ikan dan produk olahannya yang aman dan bergizi perlu dilakukan suatu upaya perbaikan dalam pengolahan ikan seperti menjaga sanitasi dan higiene serta menerapkan proses pengolahan yang baik (good processing practices) dalam menghasilkan produk yang aman dikonsumsi. Terbatasnya informasi tentang perkembangan histamin pada produk bakasang dalam kaitannya dengan proses fermentasi dan penyimpanan menjadikan alasan pentingnya dilakukannya penelitian ini. Perkembangan histamin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah lama fermentasi, lama penyimpanan, suhu dan aktivitas mikroorganisme pembentuk histamin. Pada penelitian ini dipelajari pengaruh lama fermentasi dan lama penyimpanan terhadap perkembangan histamin pada bakasang jeroan ikan cakalang termasuk karakteristik organoleptik, kimia dan mikrobiologi Perumusan Masalah Proses fermentasi dalam pembuatan bakasang terjadi secara spontan dimana dalam pembuatannya hanya menambahkan garam tanpa penambahan mikroba starter maupun karbohidrat (nasi dan pati), sehingga pertumbuhan dan aktivitas mikroba dapat terangsang karena adanya penambahan garam tersebut. Penambahan garam dalam pembuatan bakasang mengakibatkan hanya mikroba tertentu saja yang dapat tumbuh. Penanganan dan pengolahan bahan baku jeroan (fermentasi) sampai menjadi bakasang yang dilakukan di Kota Ternate belum memenuhi persyaratan sanitasi higiene dan tidak diterapkannya sistem rantai dingin. Kondisi tersebut menyebabkan pembentukan senyawa biogenik amin sebagai hasil dekarboksilasi asam amino bebas seperti histidin menjadi histamin dapat meningkat pada jeroan ikan yang difermentasi sehingga bisa menyebabkan keracunan atau alergi pada manusia. Berkaitan dengan keberadaan histamin yang belum pernah dilakukan 1 Komunikasi pribadi dengan pemilik usaha pengolahan bakasang di Kota Ternate bulan Oktober 2007

24 4 uji keamanannya pada pada produk bakasang, maka diperlukan penelitian yang dapat memberikan informasi tentang kandungan histamin dan mutu bakasang terbaik yang dihasilkan pengolah tradisional di Kota Ternate, dalam kaitannya dalam penanganan dan pengolahan bakasang selama proses fermentasi dan selama penyimpanan Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuat produk bakasang dengan cara fermentasi garam dari jeroan ikan cakalang, sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) Mempelajari pengaruh lama fermentasi terhadap perkembangan histamin pada jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 2) Mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap perkembangan histamin pada bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 3) Mempelajari interaksi antara pengaruh lama fermentasi dan lama penyimpanan terhadap perkembangan histamin pada bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi tentang perkembangan histamin selama proses fermentasi dan selama penyimpanan terhadap produk bakasang yang diproduksi pengolah tradisional di Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. 1.4 Hipotesis 1) Lama fermentasi diduga berpengaruh terhadap perkembangan histamin pada jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 2) Lama penyimpanan diduga berpengaruh terhadap perkembangan histamin bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 3) Interaksi lama fermentasi dan lama penyimpanan diduga berpengaruh terhadap perkembangan histamin bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin).

25 5 1.5 Kerangka Pemikiran Jeroan merupakan limbah perikanan yang perlu mendapat perhatian, mengingat jeroan merupakan bagian yang digunakan dalam proses pengolahan produk bakasang sehingga perlunya penanganan dan pengolahan sesuai persyaratan dalam sanitasi dan higiene. Jeroan ikan merupakan salah satu limbah perikanan yang memiliki kandungan histamin dalam jumlah tinggi. Keberadaan histamin dalam ikan dan produk perikanan merupakan masalah besar karena dapat menyebabkan alergi dan efek keracunan bagi kesehatan manusia jika kadarnya melebihi 100 ppm. Salah satu produk olahan ikan yang sangat digemari oleh masyarakat Kota Ternate adalah bakasang. Pengolahan bakasang dari jeroan ikan cakalang melalui proses penggaraman dan perebusan menghasilkan bakasang dengan jumlah histamin yang rendah. Teknik lama fermentasi dan lama penyimpanan merupakan salah satu faktor penting dalam menghasilkan produk yang benilai tambah dan bergizi serta aman dikonsumsi sehingga dapat dijadikan alternatif dalam mengurangi jumlah histamin. Tingginya kandungan gizi dan rendahnya jumlah histamin menjadikan produk bakasang berkualitas dan aman, dengan demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi pengolah tradisional di Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

26 6 Jeroan ikan cakalang Penanganan dan pengolahan Lama fermentasi (0, 2, 4, 6, 8 hari) Lama penyimpanan (0, 30, 60, 90 hari) Bakasang Perkembangan histamin dan karakterisasi Kualitas bakasang yang terbaik Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perkembangan histamin selama proses fermentasi dan penyimpanan produk bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)

27 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Cakalang adalah ikan pelagis perenang cepat (good swimmer) dan mempunyai sifat rakus (varacious). Ikan ini melakukan migrasi jarak jauh dan hidup bergerombol dalam ukuran besar. Bentuk tubuhnya digolongkan dalam bentuk torpedo yaitu badan fusiform, bagian kepala sangat tebal, ramping dan kuat ke arah ekor dan sedikit pipih pada bagian samping. Penangkapan ikan cakalang dapat menggunakan pole and line, hand line dan tonda. Cakalang memiliki tubuh fusarium, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill net) berjumlah pada helai pertama. Mempunyai 2 sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung pertama terdapat finlet dan sirip punggung kedua terdapat 7-9 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada badan dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna gelap disisi bawah dan perut keperakan dengan 4-6 buah garis-garis berwarna kehitaman (gelap) yang memanjang pada bagian sepenjang badan (Matsumoto et al. 1984). Cakalang mempunyai ukuran panjang cm dan berat g, dengan perbandingan rata-rata untuk setiap bagian tubuh adalah sebagai berikut : daging putih 1-2 %, daging merah 10 %, kepala %, insang 3,3 %, isi perut 6,6 %, hati 0,9-3,5 %, ekor dan sirip 1,5-2,5 %, tulang 8,1-11,1 % dan kulit 3,8-6,6 % (Kizevetter 1993). Klasifikasi ikan cakalang menurut Matsumoto et al. (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom Subfilum Superkelas Series Kelas Subkelas Ordo Subordo Famili : Animalia : Craniata : Gnastomata : Pisces : Teleostomi : Actinopterigii : Perciformes : Scombridae : Scombridae

28 8 Subfamili Tribe Genus Spesies : Scombrina : Thunnini : Katsuwonus : Katsuwonus pelamis, Lin Daerah penyebaran ikan cakalang adalah perairan tropis dan subtropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Matsumoto et al. 1984). Morfologi ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ( Daging ikan cakalang segar mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari kadar air 70,40 %, kadar lemak 1,81 %, kadar protein 21,45 %, kadar abu 1,27 % dan kadar serat kasar 1,81 %. Ikan cakalang juga mengandung histidin yang tinggi yaitu 13,4 ppm daging (Matsumoto et al. 1984).

29 Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan biologis oleh enzim atau mikroorganisme pembusuk, sehingga memerlukan penanganan yang khusus untuk mempertahankan mutunya. Ikan sebagai bahan mentah yang cepat mengalami pembusukan, maka perlu diterapkan teknik penanganan yang baik meliputi waktu penanganan, temperatur dan kebersihan (Astawan et al. 1993; Soenardi 2005). Mutu kesegaran ikan dinilai berdasarkan sejauh mana ikan tersebut masih segar (Syah 2004). Ikan segar merupakan ikan yang baru saja ditangkap belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu tidak berubah serta tidak mengalami kerusakan (SNI ). Nilai kesegaran ikan ditentukan oleh kondisi tempat penangkapan, metode penangkapan dan penanganan yang dilakukan terhadap ikan. Nilai kesegaran ikan menunjukkan mutu ikan tersebut. Tingkat mutu ikan ditentukan oleh kenormalan semua variabel sensori yang meliputi penampakan, tekstur dan bau. Semua variabel sensori ini memiliki hubungan dengan sifat fisiko-kimia ikan (Botta 1994). Menurut Yunizal dan Wibowo (1998) untuk mengenali segar tidaknya ikan dapat dilakukan pengamatan visual terhadap penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang dan adanya lendir, meraba adanya lendir dan kelenturan ikan, menekan daging ikan untuk melihat teksturnya dan mencium bau ikan. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisiko-kimia dan mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya bermuara pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah pre-rigor, rigormortis, autolisis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit ikan yang membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh. Lendir yang dilepaskan tersebut sebagian besar terdiri dari glukomukoprotein (Rahayu et al. 1992). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar adenosin triphosphate (ATP) dan keratin fosfat seperti halnya pada reaksi glikolisis (Eskin 1990). Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigormortis

30 10 ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (FAO 1995). Hilangnya kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Setelah itu, ikan memasuki tahap post-rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Fase rigormortis dianggap penting, karena pada fase ini belum terjadi proses pembusukan dan dikenal sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan segar (Eskin 1990). Rigormortis merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada daging ikan segera setelah ikan mati, ditunjukkan oleh perubahan kreatin fosfat menjadi ATP dan dimulai pada saat kandungan ATP mulai berkurang. Senyawa ATP terus terdegradasi dan tingkat rigormortis sempurna terjadi pada saat konsentrasinya mencapai 1 µmol/g (Mazzarano-Manzano et al. 2000). Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel lunak. Selama rigor, gel menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging menjadi lunak dan lentur kembali. Keadaan ini berlangsung selama 1 7 jam sesaat setelah ikan mati. Nilai ph ikan pada fase ini sekitar 6 7 (Eskin 1990). Tahapan kemunduran mutu ikan Sakaguchi (1990) disajikan pada Tabel 1. Parameter Penampakan umum Kondisi permukaan Warna insang Bau insang Resistensi daging Penampakan daging Tabel 1. Tahapan kemunduran mutu ikan Tahapan kemunduran mutu ikan Pre-rigor Rigormortis Post-rigor Pembusukan Cerah dengan kilauan metalik Bersih dan transparan Merah cerah atau merah segar Bau segar Lembut dan elastis Semi transparan Sumber: Sakaguchi (1990) Keras elastis dan Kilau menurun Keruh, opaq/ seperti susu Merah kecoklatan Asam atau anyir Elastisitas menurun Warna memudar atau pucat Tebal, lengket, kelabu Coklat atau kelabu Sangat asam Lunak dan lembek Keruh

31 11 Marioka et al. (1999) menjelaskan bahwa kondisi post-rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Hal ini terjadi terutama pada ikan yang disimpan tanpa dibuang isi perutnya. Proses autolisis akan menyebabkan penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu peptida, asam amino dan amonia yang akan meningkatkan nilai ph daging ikan. Autolisis ditandai dengan adanya senyawa amonia, yang pada tahap sebelumnya tidak dihasilkan pada jaringan tubuh ikan (FAO 1995). Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan oleh aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat, sebab pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah (Clucas dan Ward 1996) Mikrobiologi Ikan Segar Keberadaan mikroba pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies ikan, lingkungan air, habitat, cuaca dan cara penangkapan. Pengaruh spesies ikan terhadap populasi mikroorganisme terutama disebabkan oleh perbedaan kandungan lendir pada kulit ikan antara satu spesies dengan spesies lainnya. Lendir yang menutupi ikan mengandung bakteri jenis Pseudomonas, Sarcina, Serattia, Micrococcus, Vibrio dan Bacillus (Kimata 1961). Bakteri yang berhasil diisolasi dari saluran usus ikan segar meliputi Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter, Flavobacterium, Pseudomonas dan Xanthomonas. Bakteri yang terdapat pada insang, usus dan lendir ikan sebanyak 60 % terdiri dari jenis Pseudomonas dan Achromobacter, 20 % terdiri dari jenis Corynebacterium, Flavobacterium dan Micrococcus. sedangkan sisanya adalah Alcaligenes, Bacillus, Proteus, Seratia, Graffkya dan E. coli (Rahayu et al. 1992).

32 12 Lingkungan air mempengaruhi mikroorganisme pada ikan. Ikan yang hidup di laut utara membawa banyak bakteri psikrofilik, sedangkan ikan yang hidup di laut tropis lebih banyak membawa bakteri mesofilik. Ikan yang hidup di air tawar membawa bakteri jenis Brevibacterium, Alcaligenes, Streptococcus, dan Lactobacillus. Ikan banyak mengandung bakteri apabila dibiarkan dalam waktu 2-3 jam pada suhu kamar akan cepat mengalami pembusukan. Bakteri yang berperan dalam kebusukan ikan adalah bakteri Gram-negatif berbentuk batang terutama dari jenis Pseudomonas, Achromobacter dan Alcaligenes (Rahayu et al. 1992). Kepadatan bakteri pada ketiga lokasi insang, kulit, dan usus tidak sama. Kepadatan bakteri masing-masing pada insang berkisar Cfu/g, kulit berkisar Cfu/g dan pada usus berkisar Cfu/g. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka-luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam, dari saluran pencernaan menuju jaringan daging dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam dan cara ketiga yang paling sedikit (Hadiwiyoto 1993). Proses pengawetan dan pengolahan ikan ditujukan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Banyak cara yang telah dilakukan untuk mencegah atau menghambat proses perubahan yang disebabkan oleh bakteri, antara lain dengan menyiangi ikan, merendam ikan dalam zat kimia, menggunakan es batu yang telah diberi zat antibakteri atau melalui proses pembekuan (Clucas dan Ward 1996) Protein Ikan Ikan mengandung protein yang cukup tinggi dan komposisi asam aminonya tidak sama dengan hewan-hewan darat. Ditinjau dari kandungan asam aminonya, maka protein ikan diklasifikasikan sebagai sumber protein yang bermutu tinggi sebab mengandung asam amino esensial yang lengkap (Zaitsev et al. 1969; Suzuki 1981). Protein adalah senyawa yang mempunyai berat molekul besar, yaitu ribuan sampai jutaan dalton. Protein merupakan komponen utama dalam sel hidup dan memegang peranan penting dalam proses kehidupan. Hasil-hasil hewani yang umum digunakan sebagai sumber protein

33 13 adalah daging (sapi, kerbau, kambing, dan ayam), telur (ayam dan bebek), susu dari hasil-hasil perikanan seperti ikan, udang dan kerang (Zaitsev et al. 1969; Winarno et al. 1993). Protein hewani disebut juga protein yang lengkap dan bermutu tinggi karena mempunyai asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh dan daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap oleh tubuh juga tinggi (Sakaguchi 1990). Komponen asam amino ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi Asam amino Ikan laut (%) a) Ikan air tawar (%) b) Daging sapi (%) c) Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Isoleusin Leusin Metionin Serin Treonin Valin Arginin Lisin Histidin Fenilalanin Prolin Triptofan 5,2 7,8 6,2-11,8 5,9-15,6 1,0 5,6 2,6 7,7 3,9 18,0 1,5 3,7 2,5 5,4 0,6 6,2 0,6 5,4 2,6 9,6 4,1 14,4 1,2 5,7 1,9 4,8 3,0 7,1 0,4 1,4 Tirosin 1,3 5,0 Sumber: a) Zaitsev et al. (1969) b) Mahmud et al. (1990) c) Slamet dan Purawisastra (1979) 10,34 18,3 3,03 8,37 7,8 13,34 6,64 1,0 7,5 8,2 1,1 1,6 5,91 8,56 5,8 1,26 7,9 3 6,05 11,95 3,3 2,23 4,91 2,07 1,76 2,92 2,14 4,07 4,92 1,62 2,71 1,91 5,4 2,30 Pada Tabel 2 dapat dilihat ada beberapa jumlah asam amino ikan yang sama dengan daging sapi, namun demikian jumlah jaringan ikat dalam otot ikan lebih kecil dari pada daging sapi serta serat-serat otot ikan lebih pendek daripada serat-serat otot sapi. Hal ini menyebabkan tekstur daging ikan lebih empuk dari daging sapi (Slamet dan Purawisastra 1979).

34 Histidin dan Histamin Histidin secara alami ditemukan pada kebanyakan hewan dan tumbuhan terutama yang tinggi proteinnya seperti ikan, unggas, keju dan biji gandum. Histidin adalah salah satu asam amino yang merupakan prekursor histamin (Tjay dan Rahardja 2007). Pada umumnya histidin bebas merupakan histidin yang dihasilkan dari degradasi protein pada saat ikan tersebut mengalami pembusukan (Brink et al. 1990; Stratton et al. 1991; Lehane dan Olley 2000). Ada dua macam histidin dalam daging ikan yaitu histidin bebas dan histidin terikat dalam protein. Hanya histidin bebas yang dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin. Histidin bebas yang terdapat pada daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging ikan yang berwarna merah seperti cakalang, marlin dan sardin, tinggi kandungan histidin bebasnya (Pan 1984). Rossi et al. (2003); Kung et al. 2005; McLauchlin et al. 2005; Veciana et al. (1996); Kuda et al. (2007) menjelaskan bahwa histidin bebas banyak terdapat pada ikan scombroid yang berasal dari famili scombroidae dan jaringan lainnya seperti pada jeroan khususnya pilorikaeka dan usus. Lehane dan Olley (2000); Tsai et al. (2007) menambahkan bahwa histamin adalah senyawa yang terdapat di dalam daging ikan yang menyebabkan keracunan scombroid. Keracunan scombroid merupakan salah satu jenis intoksikasi pangan yang disebabkan oleh mengkonsumsi spesies ikan laut scombroid dan sejenisnya. Keracunan histamin (intoksikasi kimiawi) terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Intoksikasi histamin tersebut terjadi dengan gejala seperti; kemerahan di sekitar leher dan wajah, badan terasa panas dan gatal-gatal. Gejala penderitaan yang dialami konsumen biasanya selama beberapa jam, tetapi pada beberapa kasus gejala tersebut dapat sampai beberapa hari.

35 Kandungan histamin dan pembentukannya pada ikan Histamin merupakan senyawa amin biogenik hasil dekarboksilasi asam amino histidin (ά-amino ß-inidosal asam propionat) (Keer et al. 2002; Tjay dan Rahardja 2007). Kandungan histamin pada ikan segar adalah rendah tetapi pada ikan busuk, kandungannya menjadi tinggi (Tsai et al. 2007). Nigous et al. (1990) menyatakan bahwa penyebab reaksi dekarboksilasi adalah berupa enzim, panas ataupun suasana basa. Reaksi pembentukan histamin menurut Cheffel et al. (1986) disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Reaksi pembentukan histamin (Cheffel et al. 1986) McLauchlin et al. (2005); Suryanti et al. (2006) melaporkan kandungan histamin pada ikan scombroid yang sudah rendah mutunya bervariasi antara ppm bahkan kadang-kadang sampai ppm. Kadar histamin jika melebihi 25 ppm sudah mulai terbentuk kerusakan, kadar >50 ppm sudah berbahaya untuk kesehatan dan kadar >100 ppm sudah bersifat racun pada manusia (SNI ). Standar yang ditetapkan oleh Ditjen P 2 HP DKP (2007) kadar histamin untuk hasil dan produk perikanan adalah 100 ppm. Brink et al. (1990) melaporkan kandungan histamin ppm sudah toksik, kadar 500 ppm sudah berbahaya bagi kesehatan manusia (Askar dan Treptow 1993), sedangkan kadar histamin produk perikanan yang masih aman untuk dikonsumsi adalah <5 ppm (USDFA 2001).

36 16 Pada tahun 1998 di New Zaeland, dilaporkan terjadi keracunan histamin pada pengunjung restoran yang memakan steak tuna yang mengandung histamin >50 ppm (Mah et al. 2002). Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada setiap spesies ikan tergantung pada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba dan dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan ph (Pan 1984; Fardiaz 1993; Kushner 1998; Lehane dan Olley 2000; Kim et al. 2000). Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimia segera setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase rigormortis, enzim di dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna tekstur, bau dan penampakan ikan (Hidayat et al. 2006). Menurut Sillasantos et al. (1996); Lehane dan Olley (2000); Tsai et al. (2007) bahwa jumlah histamin yang dihasilkan dari aktivitas bakteri lebih banyak daripada hasil reaksi autolisis. Jumlah histamin yang dikandung oleh ikan dipengaruhi oleh jumlah mikroba atau bakteri yang terdapat pada ikan tersebut. Kandungan histamin pada ikan yang berukuran kecil jauh lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar (Syah 2004). Bakteri pembentuk histamin lebih banyak dijumpai pada insang dan jeroan ikan daripada kulit karena insang dan jeroan merupakan sumber bakteri (Shewan dan Hobbs 1997). Hasil penelitian Keer et al. (2002); Kim et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan atau korelasi positif antara jumlah bakteri dan kadar histamin yang dihasilkan. Pada jaringan ikan beku yang dithawing, produksi histaminnya dapat terhambat. Hal ini disebabkan oleh rusaknya bakteri penghasil histamin dalam proses pembekuan (freezing) dan thawing sehingga mencegah pembentukan senyawa tersebut. Kim et al. (2004); Tsai et al. (2007) menjelaskan bahwa aktivitas bakteri dan pembentukan histamin dipengaruhi oleh suhu dan waktu inkubasi. Tiap-tiap spesies mempunyai suhu dan waktu optimum yang berbeda. Bakteri pembentuk histamin dapat dikelompokkan menjadi spesies yang mampu memproduksi histamin dalam jumlah besar (>100 ppm) pada suhu di atas 15 0 C dengan lama inkubasi < 24 jam dan spesies yang memproduksi histamin dalam jumlah kecil

37 17 (< 25 ppm) setelah diinkubasi pada temperatur 30 0 C selama > 48 jam. Bakteribakteri yang dapat mendekarboksilasi histidin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Bakteri-bakteri yang mendekarboksilasi histidin Bakteri Hafnia spp., Hafnia alvei Klebsiella spp., Klebsiella pneumonia, Escherichia coli Clostridium spp., C. perfringens Lactobacillus spp., Lactobacillus 30a Enterobacter spp. Proteus sp., Proteus morganii Sumber : Eitenmiller et al. (1981) Morfologi Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Gram-positif, batang, anaerobik Gram-positif, batang, fakultatif anaerobik Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik Hasil penelitian Taylor dan Behling (1982); Tsai et al. (2007) menunjukkan bahwa bakteri Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan Enterobacter aerogenes termasuk penghasil histamin yang paling banyak, sedangkan Hafnia alvei, E. coli dan Clostridium freundii menghasilkan histamin sedikit. Keer et al. (2002); Setiyono (2006) menyatakan bahwa histamin merupakan komponen biogenik amin yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi. Menurut Orejana (1984) bahwa adanya histamin pada daging ikan berkaitan dengan Scombroid poisoning sehingga histamin dapat digunakan sebagai indikator adanya suatu toksin dalam tuna, mackerel (kembung) dan ikanikan sejenis lainnya. Istilah Scombroid poisoning merupakan istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan ikan yang secara alami telah mengandung senyawa toksin. Ditambahkan lebih lanjut oleh Veciana et al. (1996); Rossi et al. (2003) bahwa ikan-ikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan tongkol, kembung, cakalang, tuna dan bonito. Yatsunami et al. (1994) melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin yang diisolasi dari produk fermentasi ikan sardin adalah Staphylococcus, Micrococcus, Vibrio dan Pseudomonas. Kuda et al. (2001); Kuda et al. (2002)

38 18 menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan mackerel dan ikan sardin berkisar 12,6-30,5 ppm, sedangkan bakteri pembentuk histamin yang paling dominan adalah bakteri asam laktat berbentuk kokus Tetragenococcus. Kobayashi et al. (2004) melaporkan bakteri pembentuk histamin yang berhasil diidentifikasi dari fermentasi ikan mackerel dan ikan sardin adalah T. mutiaticus. Dapkevicius et al. (2000) melaporkan juga bahwa ditemukan strain Lactobacillus sake yang mendegradasi histidin menjadi histamin dalam pasta ikan sardin yang difermentasi. Mah et al. (2002) melaporkan bahwa peningkatan histamin pada sardin dan mackerel setelah penyimpanan pada suhu 4 0 C selama fermentasi 10 hari berkisar ppm Reaksi fisiologis histamin Histamin mempunyai fungsi penting dalam tubuh yaitu dihubungkan dengan fenomena fisiologis, patologis terutama dengan pelepasan pada reaksi anafilaksis dan alergi. Alergi berarti masuknya suatu bahan asing yang menyebabkan reaksi tidak menyenangkan di dalam jaringan tubuh, namun tidak terjadi pada setiap orang. Keracunan adalah efek dari mengkonsumsi pangan tertentu yang melebihi dari yang ditetapkan berlaku pada setiap orang. Secara garis besar reaksi alergi dapat dibagi atas 3 golongan yaitu reaksi pertama terjadi sangat cepat, reaksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga bibir, lidah dan tenggorokan langsung membengkak dan menghalangi masuknya makanan. Manifestasi alerginya cepat sehingga mudah diketahui makanan yang mengandung alergen. Reaksi kedua terjadi lebih lambat perlu waktu berjam-jam lamanya dengan demikian lebih sukar untuk mengetahui makanan mana yang bertanggung jawab atas manifestasi alergi pada seorang penderita. Reaksi ketiga lebih lama lagi, manifestasi klinis dari reaksi ketiga ini biasanya berupa kemerahan pada kulit (Rengganis 2007). Ada 5 gejala kunci alergi yang dapat terjadi apabila seseorang mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung alergen yaitu pembengkakan di sekitar mata, tangan, abdomen dan pergelangan, denyut jantung yang cepat atau berdebar-debar khususnya terjadi setelah makan, keringat yang berlebihan

39 19 walaupun tidak berolah raga. Reaksi antigen-antibodi menyebabkan pelepasan histamin sehingga terjadi fase dilatasi, gatal dan edema (Mumby 1995). Pelepasan histamin selama terjadi reaksi antigen-antibodi telah dilaporkan oleh para peneliti. Histamin telah diketahui merupakan perantara terjadinya fenomena hipersensitivitas (Syamsudin 1990). Keracunan histamin jarang terjadi dan biasanya terjadi karena overdosis. Gejala utama yang timbul yaitu sakit kepala, diare, muntah-muntah, bibir bengkak dan rasa terbakar di tenggorokan (Rice et al. 1976; Ronald et al. 1999). Menurut Lehane dan Olley (2000) keracunan histamin dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu keracunan tingkat lemah apabila mengkonsumsi 8-40 ppm, keracunan sedang apabila mengkonsumsi ppm dan keracunan kuat apabila mengkonsumsi ppm histamin Fermentasi Proses fermentasi adalah pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO 2 ), tetapi banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan CO 2 saja. Selain karbohidrat, protein dan lemak dapat juga dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya (Rahayu et al. 1992). Fukami et al. (2002); Syah (2004) menjelaskan bahwa pada prinsipnya fermentasi adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim dan mikroba dalam keadaan terkontrol, dimana bahan-bahan atau komponen yang dihasilkan dapat menghambat kegiatan mikroba pembusuk. Selain menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, perubahan yang terjadi dapat memperbaiki nilai gizi produk. Gildberg dan Thongthai (2001); Ichimura et al. (2003) menyatakan bahwa fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil fermentasi terutama

40 20 tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, maka fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter, dimana mikroba tersebut akan berkembang biak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz 1993; Ruddle dan Ishige 2005) Fermentasi dengan garam Peranan garam dalam fermentasi adalah sebagai penyeleksi mikroorganisme yang diperlukan. Jumlah garam yang ditambahkan berpengaruh pada populasi mikroorganisme dan jenis mikroorganisme yang tumbuh. Oleh karena itu kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan aktivitas fermentasi apabila faktor-faktor lainnya sama (Winarno et al. 1993; Hermansyah 1999). Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi yaitu meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan, mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dalam fermentasi dan menghambat pertumbuhan mikroorgansime pembusuk dan patogen (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993; Ijong dan Ohta 1995). Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorgansime pembusuk dan patogen karenanya mempunyai sifat-sifat antimikroba yaitu: garam akan meningkatkan tekanan osmotik substrat; garam menyebabkan terjadinya penarikan air dalam bahan pangan, sehingga a w bahan pangan akan menurun dan mikroorganisme tidak akan tumbuh; garam menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam sel mikroorganisme sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan; ionisasi garam akan

41 21 menghasilkan ion klor yang beracun terhadap mikroorganisme dan dapat mengganggu kerja enzim proteolitik karena dapat mengakibatkan terjadinya dena- turasi protein (Heruwati 2000; Rahayu et al.1992). Fermentasi menggunakan garam sangat berperan dalam penguraian senyawa-senyawa seperti enzim dari ikannya sendiri, terutama enzim dari isi perut dan mikroorganisme yang berasal dari ikan maupun garam yang digunakan (Rahayu et al. 1992). Ijong dan Ohta (1995) menambahkan bahwa pada proses pembuatan bakasang ikan sardin, garam yang digunakan selain berfungsi untuk mengikat air dan pemberi rasa sedap juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak dikehendaki Fermentasi bakasang Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk. Jika ke dalam bahan mentahnya ditambahkan sumber karbohidrat, misalnya pati atau nasi, maka selama fermentasi akan terjadi pemecahan pati menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti asam dan alkohol (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Produk akhir fermentasi ikan dapat berupa ikan utuh, pasta atau saus. Prinsip pengawetan pada produk fermentasi ikan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penurunan aktivitas air oleh garam, gula, pengeringan dan dikombinasikan dengan penurunan ph oleh bakteri pembentuk asam (Rahayu et al. 1992). Bakasang adalah suatu produk fermentasi ikan berupa larutan kental (semisolid) dan dibuat melalui fermentasi dengan medium garam yang rasanya asam dan biasanya disajikan sebagai pelengkap lauk yang sebelumnya dibumbuhi cabe dan gula. Bakasang merupakan salah satu produk fermentasi oleh mikroba fermentatif yang disebut bakteri asam laktat (Gunena 2000; Ijong dan Ohta 1995).

42 22 Bakasang digolongkan dalam fermentasi spontan, karena dalam pembuatannya dilakukan penambahan garam dan tidak menambahkan starter mikroba maupun karbohidrat. Produk fermentasi yang dibuat menggunakan kadar garam tinggi tidak dapat digunakan sebagai makanan sumber protein karena rasanya yang terlalu asin, sehingga jumlah yang dapat dikonsumsi juga terbatas. Produk-produk semacam ini biasanya hanya digunakan sebagai bahan perangsang makan, penyedap makanan atau bumbu. Proses fermentasi ikan merupakan proses biologis atau semi-biologis yang pada prinsipnya dapat dibedakan atas empat golongan (Rahayu et al. 1992) yaitu: 1). Fermentasi menggunakan kadar garam tinggi, misalnya dalam pembuatan peda, kecap ikan dan bakasang. 2). Fermentasi menggunakan asam-asam organik, misalnya dalam pembuatan silase ikan dengan cara menambahkan asam-asam propionat dan format. 3). Fermentasi menggunakan asam-asam mineral, misalnya dalam pembuatan silase ikan menggunakan asam-asam kuat. 4). Fermentasi menggunakan bakteri asam laktat, misalnya dalam pembuatan bakasang. Daengsubha (1998) melaporkan bahwa dari produk Plaa-ra (produk sejenis bakasang yang berasal dari ikan air tawar di Thailand) dengan waktu fermentasi selama 6 bulan telah ditemukan mikroba seperti Bacillus, Pediococcus halophilus, Micrococcus sp. dan Staphylococcus epidermis dengan komposisi terdiri dari 7,95-20,28 % protein, 11,61-23,82 % garam, ph 4,0-6,90 serta terdapat 0,71-1,94 % asam laktat. Sumanti (1998) berhasil melakukan isolasi dan identifikasi bakteri halofilik selama fermentasi jeroan ikan cakalang, ditemukan bakteri seperti Micrococcus, Halobacterium salinarum, Staphylococcus sp dan Bacillus sp. Pada fermentasi bakasang ikan sardin yang diteliti oleh Ijong dan Ohta (1995) ditemukan bakteri asam laktat Lactobacillus pada ph 5,5-5,9 menggunakan kadar garam 20 % dan lama fermentasi 14 hari. Mikroba yang berhasil diisolasi dari bakasang ikan mujair ditemukan Lactobacillus, Streptococcus, Staphylococcus, Bacillus, Clostridium, Micrococcus, Enterobacter, Enterococcus dan Streptococcus dengan ph 5-7 selama 2 hari fermentasi (Gunena 2000). Muller et al. (2002) melaporkan bahwa

43 23 mikroflora yang diisolasi dari produk fermentasi Plaa-som (salah satu produk fermentasi ikan laut (Channas triatus) selama 12 hari fermentasi ditemukan Lactobacillus plantarum, Lalimentarius, Lactococcus garviae, Pediococcus pentosaceus, Staphylococcus dan Zygossacharomycez sp. Komposisi kimia silase jeroan ikan cakalang (produk sejenis bakasang dari Sulawesi Utara) terdiri dari protein 14,82-15,91 %, lemak 0,91-1,37 %, air 69,13-75,38 % dan kadar abu 13,12-15,07 % (Kaseger 1986).

44 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September Kegiatan preparasi, fermentasi jeroan, perebusan, penyimpanan bakasang, pengujian Total Volatile Bases (TVB), pengujian kadar histamin, pengujian Salmonella dan Escherichia coli dilakukan di Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPMHP) DKI Pluit, Jakarta Utara. Pengujian total mikroba/ Total Plate Count (TPC) dan total kapang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB untuk pengujian kadar air, kadar protein dan nilai ph Bahan dan Alat Bahan Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah jeroan (usus, hati, jantung, paru dan telur) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara. Bahan pembantu yang digunakan adalah garam yodium cap Jempol yang diperoleh dari pasar tradisional Jakarta Utara. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis TVB meliputi TCA 5 %, larutan K 2 CO 3 dan HCl 0,01 N. Bahan-bahan kimia untuk analisis kadar protein meliputi NaOH, Na 2 S 2 O 3, NaSO 4, CuSO 4, K 2 SO 4, H 3 BO 3, H 2 SO 4 dan HCl 0,1 N. Bahan untuk analisis ph yaitu akuades, sedangkan bahan-bahan kimia untuk analisis histamin terdiri atas NaOH 2 N, HCl 0,1 N, HCl 2 N, H 3 PO 4 3,75 N, metanol, resin amberlite, Orto-ptalatdikarboksildehid (OPT) 1 %. Bahan untuk analisis total mikroba dan total kapang adalah NaCl 0,89 %. Media untuk uji total mikroba (TPC) dan total kapang terdiri atas Plate Count Agar (PCA) dan Potatoes Dextro Agar (PDA). Media untuk uji Salmonella terdiri atas Bismuth Sulfite Agar (BSA), Hectoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Desoxycholate

45 25 Agar (XLDA), Tetrathionate Broth (TTB), Lactose Broth (LB), Rappaport Vassiliadis (RV). Media untuk uji Escherichia coli terdiri atas Escherichia coli Broth (ECB), Lauryl Tryptose Broth (LTB), larutan Butterfield s Phosphate Buffered (BPB), sedangkan bahan-bahan lain yang digunakan adalah kapas, tissue dan alkohol 70 % Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat preparasi jeroan, alat untuk fermentasi, alat untuk penyimpanan bakasang dan alat-alat untuk analisis kimia dan organoleptik. Alat-alat yang digunakan dalam preparasi jeroan meliputi coolbox, pisau, talenan, gunting, pinset, wadah plastik, wajan (untuk perebusan jeroan), saringan, gelas ukur dan timbangan analitik. Alat-alat yang digunakan untuk proses fermentasi jeroan adalah plastik polyethylene steril dan wadah plastik. Alat yang digunakan untuk penyimpanan bakasang adalah botol pyrex 250 ml. Alat-alat yang digunakan dalam analisis kimia meliputi spektrofotometer, kolom resin, inkubator, waterbath, glasswoll, homogenizer, cawan Conway, cawan porselin, destilasi protein, kompor gas, lampu bunsen, labu ukur, erlenmeyer, labu Kjeldhal, kertas saring Whatman No.01, gelas ukur, gelas piala, pipet, spatula, erlenmeyer, ph meter, vortex, batu stirer dan tabung reaksi, sedangkan alat-alat untuk uji organoleptik terdiri atas lembaran score sheet dan piring stearoform untuk menyajikan bakasang Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap preparasi jeroan ikan cakalang, tahap fermentasi jeroan dan tahap penyimpanan bakasang Preparasi jeroan Preparasi yang dilakukan dalam tahap ini meliputi pengambilan jeroan (usus, jantung, hati, paru dan telur), pengecilan ukuran, pencucian, penirisan dan penimbangan. Analisis yang digunakan untuk memperoleh informasi komposisi kimia jeroan adalah kadar air, protein, nilai ph, Total Volatile Bases (TVB), kadar

46 26 histamin dan uji total mikroba/ TPC. Diagram alir proses preparasi jeroan ikan cakalang disajikan pada Gambar 4. Ikan cakalang Jeroan (usus, hati, jantung, paru dan telur) Pengecilan ukuran (dipotong kecil-kecil) Pencucian Penirisan Penimbangan Analisis: - Kimia: kadar air, protein, nilai ph, TVB dan kadar histamin - Mikrobiologi: total mikroba/ TPC Gambar 4. Tahapan preparasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Proses fermentasi jeroan Jeroan yang telah dilakukan penimbangan kemudian ditambahkan garam 25 % (fermentasi 0 hari) dan dilakukan pengujian. Jeroan tersebut selanjutnya dibagi dalam 4 wadah dan ditutup dengan plastik polyethylene yang sudah disterilkan untuk proses fermentasi pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan pada 2, 4, 6 dan 8 hari dan analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar protein, nilai ph, kadar histamin, total mikroba/ TPC, Salmonella dan Escherichia coli. Tahapan proses fermentasi jeroan disajikan pada Gambar 5.

47 27 Jeroan (usus, hati, jantung, paru dan telur) Penimbangan Penambahan garam 25 % Pemisahan dalam wadah plastik dan ditutup dengan plastik steril Proses fermentasi pada suhu kamar (0, 2, 4, 6, 8 hari) Analisis: - Kimia: kadar air, protein, nilai ph dan kadar histamin - Mikrobiologi: total mikroba/ TPC, Salmonella dan Escherichia coli Gambar 5. Tahapan proses fermentasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Penyimpanan bakasang Jeroan yang sudah difermentasi kemudian dimasak (dalam keadaan mendidih) dan dibiarkan sampai hangat kemudian dilakukan penyaringan. Hasil saringan yang berwarna coklatnya selanjutnya dimasukkan dalam botol steril (bakasang) 250 ml dan dilanjutkan dengan proses penyimpanan pada suhu kamar selama 90 hari. Pengamatan dilakukan pada 0, 30, 60 dan 90 hari untuk setiap lama fermentasi dan analisis yang dilakukan meliputi kadar air, protein, nilai ph, kadar histamin, total mikroba/ TPC, total kapang dan uji organoleptik (uji skoring dan uji perbandingan pasangan). Diagram alir proses penyimpanan bakasang disajikan pada Gambar 6.

48 28 Proses fermentasi (2, 4, 6, 8 hari ) Pemasakan 30 menit (sampai hancur) Biarkan sampai hangat Penyaringan Filtrat (larutan coklatnya) Bakasang Pengisian dalam botol steril Penyimpanan 3 bulan pada suhu kamar (0, 30, 60, 90 hari) Analisis: - Kimia: kadar air, protein, nilai ph dan kadar histamin - Mikrobiologi: total mikroba dan total kapang - Organoleptik: uji skoring dan uji perbandingan pasangan (penampakan, bau, rasa dan tekstur) Gambar 6. Proses penyimpanan bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)

49 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis kimia, analisis mikrobiologi dan uji organoleptik (uji skoring dan uji perbandingan pasangan) Analisis kimia (a) Kadar air (AOAC 1995) Prinsip kerja penentuan kadar air adalah mengeringkan bahan dalam oven pada suhu C selama 12 jam atau sampai didapatkan berat konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Prosedur penentuan kadar air adalah sebagai berikut: cawan porselin kosong dikeringkan pada suhu C selama 15 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 g dimasukan ke dalam cawan kosong yang sudah ditimbang beratnya, selanjutnya cawan dan sampel dikeringkan dalam oven bersuhu C selama 12 jam. Cawan yang sudah didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang hingga diperoleh bobot konstan. Perhitungan nilai kadar air dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) = (A - B) A x 100 % Keterangan: A = berat sampel awal (g) B = berat sampel setelah dikeringkan (g) (b) Kadar protein (Apriyantono et al. 1989) Prinsip analisis protein adalah pengukuran kadar nitrogen (N) dari sampel dengan menggunakan Metode Kjeldahl. Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka konversi 6,25 diperoleh nilai protein dalam bahan makanan. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: Sampel ditimbang sebanyak 1-2 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Sebanyak 1,9 g K 2 SO 4 dan 2 ml H 2 SO 4 ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl dan

50 30 dimasukkan batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih dan didinginkan. Air sebanyak 5-10 ml ditambahkan secara perlahan-lahan melalui dinding labu Kjeldahl dan didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam destilasi kemudian dicuci dan dibilas sebanyak 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang berisi 5 ml H 3 BO 3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol dan metil biru 0,2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor direndam dalam larutan H 3 BO 3 dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na 2 S 2 O 3, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kurang lebih 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasan ditampung dalam labu yang sama. Isi labu erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Kadar protein dihitung dengan rumus: (ml HCl Kadar protein (%) = - ml blanko) x N HCl x 14,007 x 6,25 mg sampel x 100 % (c) Nilai ph (Fardiaz 1993) Sampel ditimbang seberat 2 g, dihancurkan dengan blender lalu didispersikan kedalam 20 ml akuades dan diaduk selama 2 menit. Alat ph meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer ph standar (ph 4 dan ph 7) dan selanjutnya elektroda yang telah dibersihkan dicelupkan ke dalam sampel yang akan diperiksa. Nilai ph merupakan hasil pembacaan jarum penunjuk pada ph meter selama 1 menit atau sampai angka digital tidak berubah. (d) Total Volatile Bases (TVB) (AOAC 1995) Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan. Komponen-komponen utama TVB adalah amine (NH 3 ), Trimethyl amine (TMA) dan Dimethyl amine (DMA). Prosedur kerjanya adalah sampel ditimbang sebanyak 5 g kemudian dicampur dengan 15 ml TCA 5 % dan diblender, selanjutnya larutan disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh filtrat

51 31 jernih. Larutan asam borat sebanyak 1 ml dimasukkan kedalam cawan conway pada bagian inner chamber kemudian 1 ml sampel yang dianalisis dimasukkan ke dalam outer chamber. Larutan K 2 CO 3 dimasukkan dalam sisi outer chamber yang berlainan, lalu ditutup rapat (pada bagian tepi cawan sebelumnya diolesi dengan vaselin). Blanko dibuat dengan prosedur yang sama, tetapi sebagai filtrat sampel diganti dengan TCA 3 %. Cawan ditutup, digoyang selama 1 menit agar tercampur selanjutnya diinkubasi selama 2 jam. Setelah diinkubasi, larutan asam borat pada bagian inner chamber dititrasi dengan HCl 0,01 N hingga berwarna merah muda. Kadar TVB ditentukan dengan rumus sebagai berikut : (a - b) x c x 14,007 x 100 TVB (mg N/100 g) = 15 Keterangan : a = ml titrasi dari sampel b = ml titrasi dari blanko c = ml total volume filtrat (e) Kadar histamin (SNI ) Kadar histamin dianalisis menggunakan alat spektrofotometer. Prinsip pengujian ini adalah histamin diekstrak dari jaringan daging contoh menggunakan metanol dan sekaligus mengkonversi histamin dalam bentuk OH. Zat-zat histamin selanjutnya dimurnikan melalui resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya dengan senyawa Orto-ptalatdikarboksildehid (OPT). Besarnya histamin diukur secara fluorometri pada panjang gelombang eksitasi 350 nm dan emisi 444 nm. Pengukuran kadar histamin secara fluorometri terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut: 1). Tahap ekstraksi (preparasi sampel) Sampel sebanyak 10 g ditimbang kemudian ditambahkan dengan metanol sebanyak 50 ml lalu dihomogenkan dengan homogenizer kurang lebih 1-2 menit. Sampel yang sudah dihomogenkan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 60 0 C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel yang sudah didinginkan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan

52 32 metanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan sampel tersebut kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.01. Hasil saringan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk pemurnian (clean up). 2). Persiapan resin Sebanyak 3 g resin ditimbang untuk setiap kolom dalam beaker glass 250 ml, kemudian ditambahkan 15 ml NaOH 2 N/g resin dan diaduk-aduk dengan magnetik stirer selama 30 menit. Cairan pada bagian atas dituangkan dan diulangi penambahan NaOH dengan jumlah yang sama. Resin selanjutnya dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali dan disaring pada kertas saring Whatman No. 01 dan dicuci kembali dengan akuades. Resin harus disiapkan dalam kondisi segar setiap minggu dan disimpan dalam refrigerator. 3). Persiapan kolom resin (tahap clean up/elusi) Glasswoll dimasukkan dalam kolom resin setinggi kurang lebih 1,5 cm. Resin dimasukkan dalam kolom resin setinggi 8 cm dan volume air yang berada di atas resin dipertahankan kurang lebih 1 cm (diusahakan agar resin jangan sampai kering). Labu takar 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin guna menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin. Hasil tampungan (elusi) tersebut kemudian dipisahkan untuk tahap pembentukan (pembacaan). 4). Pemurnian contoh Filtrat sebanyak 1 ml dipipet dan dimasukkan dalam kolom resin dan kran kolom resin dalam posisi terbuka dan dibiarkan aliran menetes dalam labu takar 50 ml. Akuades ditambahkan pada saat tinggi cairan kurang lebih 1 cm di atas resin dan cairan dibiarkan berelusi hingga mencapai 50 ml labu takar. Hasil elusi selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator. 5). Persiapan pembacaan contoh, standar dan blanko Pertama-tama tabung reaksi 50 ml masing-masing untuk contoh, standar dan blanko disiapkan. Masing-masing 5 ml contoh (hasil elusi), standar dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tersebut. Selanjutnya ditambahkan berturut-turut 10 ml HCl 0,1 N dan vortex, kemudian

53 33 ditambahkan 3 ml NaOH 1 N vortex dan dalam waktu 5 menit harus sudah ditambahkan 1 ml OPT 1 % lalu divortex dan dibiarkan selama 4 menit. Campuran tersebut selanjutnya ditambahkan H 3 P0 4 3 N dan divortex. Sampel sesegera mungkin dibaca dengan alat spektrofotometer. Nilai konsentrasi dan fluorosensi dari larutan standar dimasukkan dalam program regresi linier. Nilai fluorosensi contoh dimasukkan ke dalam persamaan regresi standar y= a + bx, dimana y= fluorosensi contoh, a = intercept, b= slope dan x = konsentrasi contoh yang akan dihitung. Konsentrasi histamin dihitung dengan rumus: Keterangan: IU = intensitas unit a = intercept b = slope x = bobot sampel (g) fp = faktor pengenceran Konsentras i histamin (ppm) = (IU - a) / b) x fp bobot sampel (x) Analisis mikrobiologi (a) Total mikroba/ Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1993) Analisis TPC bertujuan untuk menentukan secara kuantitatif jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media Plate Count Agar (PCA). Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: sebanyak 1 ml contoh dilarutkan ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis steril sehingga didapatkan pengenceran Larutan tersebut dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi 9 ml larutan fisiologis steril untuk mendapatkan pengenceran 10-2, demikian seterusnya sampai pengenceran Masing-masing pengenceran dipipet 1 ml dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril, selanjutnya setiap pengenceran dipindahkan ke dalam 2 cawan petri steril (duplo). Kemudian ke dalam setiap cawan petri ditambahkan 15 ml media Plate Count Agar (PCA) dan cawan petri digoyang supaya media benar-benar merata dan setelah media membeku, cawan petri disimpan dengan posisi terbalik di dalam inkubator pada suhu 37 C selama 48 jam.

54 34 Cara perhitungan hasil analisis TPC sebagai berikut: cawan yang dipilih dan dihitung jumlah bakterinya adalah yang mengandung koloni antara Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari 2 angka, yaitu angka pertama dan angka kedua menghasilkan koloni kurang dari 30, maka jumlah koloni yang dihitung hanya pada pengenceran yang terendah. Jika semua pengenceran menghasilkan lebih dari 300 koloni, maka hanya jumlah koloni tertinggi yang dihitung. Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni antara koloni dan perbandingan hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut kurang dari atau sama dengan dua, maka kedua nilai tersebut dirata-ratakan dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah lebih besar dari atau sama dengan dua maka yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil. Apabila menggunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran, maka data yang diambil adalah dari kedua cawan petri tersebut. Perhitungan jumlah koloni menggunakan rumus sebagai berikut: Total mikroba (Cfu/g) = Jumlah koloni per cawan x 1 Faktor pengeceran (b) Total kapang (Fardiaz 1993) Prosedur analisis total kapang sama dengan prosedur analisis pada TPC, hanya media yang digunakan untuk total kapang adalah Potatoes Dextro Agar (PDA). (c) Escherichia coli (SNI ) Prinsip kerja dari pengujian Escherichia coli adalah menumbuhkan bakteri dalam suatu media cair dan perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif setelah diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Prosedur kerja pengujian E. coli adalah sebagai berikut:

55 35 1). Preparasi contoh Prosedur kerjanya sebagai berikut: contoh sebanyak 25 ml yang akan diuji dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik steril dan ditambahkan 225 ml larutan Butterfield s Phosphatase Buffered (BPB), selanjutnya dihomogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan dengan pengenceran ). Uji pendugaan coliform Pertama-tama disiapkan pengenceran 10-2 dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-1 ke dalam 9 ml larutan pengencer BPP. Pengenceran dilakukan sesuai dengan pendugaan kepadatan populasi contoh dan setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Sampel selanjutnya dipindahkan dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml larutan dari setiap pengenceran ke dalam 3 seri atau 5 seri tabung Lauryl Tryptose Broth (LTB) yang berisi tabung durham selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0 C. Gas yang terbentuk (positif) setelah inkubasi 24 jam diperhatikan, selanjutnya tabung-tabung yang negatif (tidak adanya gas) diinkubasikan kembali selama 24 jam. Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. 3). Uji penegasan coliform Tabung-tabung Lauryl Tryptose Broth (LTB) yang positif diinokulasikan kedalam tabung-tabung Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB) yang berisi tabung durham dengan menggunakan jarum ose. Tabung-tabung BGLBB yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0 C. Tabungtabung BGLBB yang menghasilkan gas diperiksa dan dipisahkan. Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Jumlah tabung-tabung BGLBB yang positif ditentukan berdasarkan Angka Paling Memungkinkan (APM) dan dinyatakan sebagai APM/g coliform. 4). Uji pendugaan E. coli Tabung LTB yang positif diinokulasi ke tabung-tabung Escherichia coli Broth (ECB) yang berisi tabung durham dengan menggunakan jarum ose. ECB kemudian diinkubasi dalam waterbath selama 48 jam pada suhu 45 0 C. Waterbath

56 36 harus dalam keadaan bersih, air di dalamnya harus lebih tinggi dari cairan yang ada dalam tabung yang akan diinkubasi. Tabung-tabung ECB yang menghasilkan gas selama 24 jam diperiksa, dan jika negatif maka diinkubasi kembali sampai 48 jam. Tabung yang positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Jumlah tabung-tabung BGLBB yang positif ditentukan berdasarkan Angka Paling Memungkinkan (APM) dan dinyatakan sebagai APM/g faecal coliform. 5). Uji penegasan E. coli Tabung-tabung ECB yang positif digoreskan ke Levine s Eosin Methylene Blue Agar (L-EMBA) menggunakan jarum ose, lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 0 C. Koloni E. coli terduga memberikan ciri yang khas yaitu hitam pada bagian tengah tanpa hijau metalik. Koloni yang diduga E. coli kemudian diambil lebih dari satu koloni dari masing-masing cawan L-EMB lalu digoreskan ke media Plate Count Agar (PCA) miring dengan menggunakan jarum tanam, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 0 C. 6). Uji morfologi Uji morfologi dilakukan dengan cara pewarnaan Gram dari setiap koloni yang diduga sebagai E. coli. Biakan/contoh diambil dari PCA yang telah diinkubasi selama 24 jam kemudian dilanjutkan dengan pengamatan Gram bakteri menggunakan mikroskop sehingga dapat diketahui bahwa E. coli termasuk bakteri Gram-negatif, berbentuk batang pendek. (d) Salmonella (SNI ) Prinsip kerja dalam pengujian Salmonella adalah contoh yang diuji ditumbuhkan terlebih dahulu pada media pengkayaan kemudian dideteksi dengan menumbuhkannya pada media agar selektif. Metode ini didasarkan pada pengujian dengan menggunakan media pengkayaan. Koloni-koloni yang diduga Salmonella (suspect colonies) pada media selektif diisolasi dan dilanjutkan dengan konfirmasi melalui uji biokimia dan uji serologi untuk meyakinkan ada atau tidaknya bakteri Salmonella. Prosedur kerja pengujian Salmonella adalah sebagai berikut :

57 37 1). Prapengkayaan Sampel sebanyak 25 g atau contoh cair sebanyak 25 ml dari contoh yang akan diuji, kemudian dimasukkan dalam wadah plastik steril dan ditambahkan 225 ml larutan Lactose Broth (LB). Contoh kemudian dihomogenkan selama 2 menit untuk dianalisis dan secara aseptis larutan contoh dipindahkan dalam wadah steril yang sesuai dan dibiarkan pada suhu ruang selama 60 menit dengan wadah tertutup. Sampel dikocok perlahan-lahan dan bila perlu nilai ph ditetapkan sampai 6,6, kemudian dikocok secara merata dan tutup wadahnya dikendurkan secukupnya. Sampel kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 0 C. 2). Pengkayaan Contoh dipindahkan sebanyak 0,1 ml kedalam 10 ml Rappaport- Vassilladis (RV) medium dan 1 ml larutan contoh kedalam 10 ml Tetrathionate Broth (TTB). Media pengkayaan selektif kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 43 0 C (waterbath). 3). Isolasi Salmonella Tabung medium RV dan TTB yang sudah diinkubasi dihomogenkan dengan vortex dan menggunakan jarum loop, kemudian digoreskan RV yang telah diinkubasi ke dalam media pertumbuhan Salmonella yaitu Hectoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA) dan Bismuth Sulfit Agar (BSA). Hal yang sama dilakukan untuk contoh yang sudah diinkubasi dalam media TTB kemudian digoreskan pada media HEA, XLDA dan BSA dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 0 C. 4). Pengamatan morfologi koloni Salmonella yang khas (typical) Koloni Salmonella dari masing-masing media agar selektif setelah diinkubasi 24 jam kemudian diambil 2 atau lebih koloni. Koloni-koloni Salmonella yang khas adalah pada HEA, koloni berwarna hijau kebiruan sampai biru dengan atau tanpa inti hitam. Umumnya kultur Salmonella membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat atau hampir seluruh koloni berwarna hitam. Media XLDA, koloni berwarna merah jambu (pink) tanpa inti hitam. Kultur Salmonella umumnya membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat atau hampir

58 38 seluruh koloni terlihat berwarna hitam, sementara pada media BSA, koloni coklat abu-abu, hitam, kadang-kadang metalik. Biasanya media di sekitar koloni pada awalnya berwarna coklat kemudian berubah menjadi hitam (haloeffect) dengan makin lamanya waktu inkubasi. Apabila koloni yang khas tumbuh pada BSA setelah 24 jam inkubasi, maka diambil 2 koloni atau lebih dan diinkubasi kembali media BSA selama 24 jam. Pengambilan koloni pada media BSA ini dilakukan jika ada koloni yang tumbuh pada media tersebut Uji organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan dalam penelitian produk bakasang ini meliputi uji skoring dan uji perbandingan pasangan. (a) Uji skoring (SNI ) Uji ini berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji skoring diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji skoring adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu. Pemberian skor dapat dilakukan dengan skala yang jumlah skalanya tergantung pada tingkat kelas yang dikehendaki. Pengujian organoleptik meliputi penampakan, bau, rasa dan tekstur dengan nilai berkisar dari 1 9. Lembar penilaian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1. (b) Uji perbandingan pasangan (Soekarto dan Hubeis 2000) Bakasang yang terpilih (terbaik) sebagai bakasang yang mempunyai skor tertinggi berdasarkan hasil uji skoring, selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang dikomersilkan. Pada uji ini, panelis melakukan penilaian melalui formulir isian yang diberikan berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik/lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan ini berupa angka skala, yaitu -3 sampai +3, dimana -3= sangat buruk, -2= lebih buruk, -1= agak lebih buruk dan 0= tidak berbeda, +1= agak lebih baik, +2= lebih baik, +3= sangat lebih baik. Lembar uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran 2.

59 Uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin Umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara produk mulai diproduksi hingga saat digunakan dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Proses pendugaan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data-data mengenai mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas, unsur-unsur dalam produk yang secara langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk, bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan, mutu produk minimum dari produk yang masih dapat diterima, variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan, resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan, serta sifat sekat lintasan (barrier) pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur lain yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk (Hine 1987). Pendugaan umur simpan produk bakasang dilakukan dengan cara regresi linier berdasarkan datadata yang dihasilkan pada kadar histamin bakasang selama penyimpanan (metode pendugaan parameter regresi) Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah lama fermentasi (A) yang terdiri atas 4 taraf yaitu fermentasi 2 hari (A1), fermentasi 4 hari (A2), fermentasi 6 hari (A3) dan fermentasi 8 hari (A4). Faktor kedua adalah lama penyimpanan (B) yang terdiri atas 4 taraf yaitu penyimpanan 0 hari (B1), penyimpanan 30 hari (B2), penyimpanan 60 hari (B3) dan penyimpanan 90 hari (B4). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Model matematika dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993). Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + Єijk

60 40 Dimana : Yijk μ = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j = nilai tengah umum Ai = pengaruh lama fermentasi faktor A taraf ke-i (i = 1, 2, 3, 4) Bj = pengaruh lama penyimpanan faktor B taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4) (AB)ij = pengaruh faktor interaksi pengaruh lama fermentasi taraf ke-i dan lama penyimpanan taraf ke-j Єijk = galat percobaan Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan analisis ragam dan jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Jarak Berganda Duncan. Hasil data uji organoleptik diolah dengan uji statistik nonparametrik Kruskal-Wallis (Steel dan Torrie 1993). Model matematika uji Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut: H = 12 n (n+1) R i 2 n i -3 (n+1) H = H Pembagi T Pembagi = 1- (n-1) (n+1) n, dengan T = (t-1) (t+1) Keterangan: H = nilai uji Kruskal-Wallis Ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i n = jumlah total data 2 R i = jumlah ranking dalam contoh ke-i T = banyaknya pengamatan seri dalam perlakuan kelompok H = H yang terkoreksi H = H simpangan baku t = banyaknya pengamatan yang seri

61 41 Jika hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis. Rumus matematikanya adalah sebagai berikut: Ri Keterangan: R j >< Z α / 2o k( n + 1) 6 R i R j k n = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-i = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-j = banyaknya ulangan = jumlah total data

62 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Analisis kimia dan mikrobiologi yang dilakukan terhadap jeroan ikan cakalang meliputi kadar air, kadar protein, nilai ph, Total Volatile Bases (TVB), kadar histamin dan total mikroba/ Total Plate Count (TPC). Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui tingkat kesegaran dan komposisi kimia awal jeroan ikan sebelum dilakukan pengolahan (fermentasi), mengingat tingkat kesegaran dan komposisi kimia jeroan sangat berpengaruh terhadap karakteristik bakasang yang dihasilkan. Karakteristik kimia dan mikrobiologi jeroan ikan cakalang disajikan pada Tabel 4 dan jeroan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 4. Karakteristik kimia dan mikrobiologi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Komposisi Kadar air (%) Kadar protein (% bk) *) Nilai ph TVB (mg N/100 g) Histamin (ppm) Total mikroba/ TPC (Cfu/g) *) Persen basis kering Nilai 77,38 ± 1,67 52,23 ± 1,92 6,02 ± 0,13 22,61 ± 10,56 17,10 ± 4,01 3,43 x 10 4 Umumnya derajat kesegaran bahan pangan mempunyai hubungan dengan air yang dikandungnya. Sebagian besar bahan pangan segar mengandung air sebesar 70 % atau lebih (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar air jeroan ikan cakalang adalah sebesar 77,38 %. Nilai ini berbeda dan lebih kecil dari jeroan ikan tuna yaitu 78 % (Marlina 1998). Perbedaan nilai kadar air ini disebabkan oleh jenis bahan baku, asal bahan baku dan penanganannya. Tingginya kadar air jeroan diduga karena perlakuan pencucian dan penirisan yang kurang sempurna sehingga sisa-sisa kotoran yang terbawa masih ada dan memberikan pengaruh terhadap jeroan yang dihasilkan.

63 43 Hasil analisis kadar protein jeroan menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu 52,23 %. Hal ini disebabkan jeroan memiliki enzim protein dan asam amino yang cukup tinggi. Menurut Hidayat (1994) tingginya kadar protein disebabkan jeroan merupakan sumber enzim proteolitik yang cukup tinggi terutama pada bagian pilorikaeka, lambung dan usus seperti enzim tripsin, kemotripsin dan pepsin. Protein selain terdapat pada daging ikan, protein juga terdapat pada sirip, kulit, darah, pigmen otot, sel-sel hati, ginjal serta bagian-bagian isi perut dan hampir seluruhnya adalah berisi protein (Winarno et al. 1993). Nilai ph yang didapatkan dari hasil pengukuran jeroan ikan cakalang adalah sebesar 6,02 namun nilai tersebut masih berada pada kisaran ph ikan segar, dimana ikan yang baru saja mati memiliki ph netral mendekati basa dan mencapai nilai ph terendah sekitar 5,8-6,2 pada saat terjadinya fase rigormortis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahayu et al. (1992) bahwa nilai ph minimal yang dapat dicapai setelah ikan mati tergantung pada kandungan glikogen dan basa-basa menguap yang terdapat dalam daging dan bagian isi perut ikan khususnya lambung dan usus. Berdasarkan tingkat kesegarannya, jeroan ikan cakalang yang digunakan tergolong segar, karena nilai Total Volatile Bases (TVB)-nya < 30 mg N/100 g. Hal ini diduga bahwa perombakan enzim dan aktivitas mikroba belum terjadi secara nyata karena penerapan rantai dingin terus dilakukan. Hal ini didukung oleh Brillantes et al. (2002) bahwa pembentukan TVB disebabkan oleh terurainya Trimethyl Amonia (TMA) dan asam amino oleh aktivitas mikroba dan enzim yang berasal dari bahan baku menjadi senyawa basa nitrogen yang mudah menguap seperti ammonia, monoamin, dimetilamin, trimetilamin dan senyawa biogenik amin lainnya. Mah et al. (2002) menyatakan bahwa batas maksimum untuk produk perikanan dan hasil laut seperti udang, ikan, oyster dan scallop yang bermutu baik adalah 30 mg N/100 g, dengan demikian nilai TVB jeroan hasil analisis masih dapat diterima. Lebih lanjut ditambahkan oleh Gram dan Huss (1996) bahwa pembentukan TVB umumnya berkaitan dengan bakteri perusak seperti Shewanella putrefacians, Photobacterium phosphoreum dan Vibrio.

64 44 Histamin merupakan senyawa biogenik amin yang terdapat dalam daging ikan dan bagian lainnya seperti pada jeroan yang dapat menyebabkan keracunan. Kandungan histamin yang dihasilkan dari pengujian jeroan ikan cakalang adalah 17,10 ppm dan masih dalam batas aman, dimana batas kandungan histamin yang ditetapkan oleh Ditjen P 2 HP DKP (2007) adalah 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Diduga terbentuknya histamin pada jeroan berkaitan dengan jumlah bakteri alami yang terdapat pada jeroan tersebut dan aktivitas enzim histidin dekarboksilase penghasil histamin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Naguib et al. (1995); McLauchlin et al. (2005) hasil penguraian dari protein akan dimanfaatkan oleh bakteri untuk tumbuh, termasuk di dalamnya adalah bakteri yang menghasilkan enzim histidin dekarboksilase. Bakteri penghasil histidin dekarboksilase dapat tumbuh dengan memanfaatkan asam amino histidin dan merubahnya menjadi histamin. Analisis total mikroba/total Plate Count (TPC) bertujuan untuk menentukan secara kuantitatif jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh pada produk secara umum. Tabel 9 menunjukkan bahwa total mikroba (TPC) pada jeroan hasil penelitian memenuhi persyaratan kesegaran ikan, dimana total mikroba yang dihasilkan <10 6 Cfu/g, yaitu 3,43 x 10 4 Cfu/g. Hal ini disebabkan oleh perairan tempat hidupnya dan mikroflora alami yang terdapat pada jeroan sudah terbentuk sejak ikan ditangkap sampai ditangani, meskipun demikian nilainya masih dibawah batas aman yang ditetapkan. Menurut Rahayu et al. (1992) bahwa ikan dikatakan busuk bila jumlah bakteri seluruhnya sudah mencapai Cfu/g dan SNI menetapkan batas maksimum nilai TPC untuk ikan segar adalah 5 x 10 5 Cfu/g. Lebih lanjut Hadiwiyoto (1993) menambahkan bahwa kepadatan bakteri pada ketiga lokasi; insang, kulit dan usus tidak sama. Kepadatan bakteri pada insang berkisar Cfu/g, pada kulit Cfu/g dan pada usus berkisar Cfu/g. Setelah ikan mati bagian ini merupakan pusat konsentrasi mikroba pengurai dan pembusuk yang akan menyebar dan berpenetrasi ke daging ikan melalui permukaan kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam, dari saluran pencernaan menuju jaringan daging dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan

65 45 tubuh bagian dalam untuk mengurai/merubah komposisi kimiawi daging sehingga menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) selama Proses Fermentasi Proses fermentasi dilakukan selama 8 hari pada suhu kamar dengan tujuan untuk mengetahui perubahan kimia dan mikrobiologi selama fermentasi berlangsung. Pengujian dilakukan setiap 2 hari lama fermentasi, terhitung mulai 0, 2, 4, 6 dan 8 hari. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui perubahan jeroan ikan cakalang selama proses fermentasi meliputi kadar air, protein, nilai ph, kadar histamin, total mikroba (TPC), uji Salmonella dan Escherichia coli Kadar air Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, karena keawetan suatu bahan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air yang dikandungnya. Kadar air bahan pangan juga berperan dalam menentukan kemampuan mikroba untuk tumbuh dan berkembang (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar air jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 7. a ab bc c c Rataan yang mempunyai huruf superscript yang berbeda (a, b, c) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) untuk faktor lama fermentasi Gambar 7. Histogram rata-rata kadar air jeroan selama proses fermentasi

66 46 Gambar 7 menunjukkan bahwa selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air secara nyata dari 75,87 % menjadi 71,57 %. Hasil analisis ragam (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air jeroan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa lama fermentasi pada 8 hari menghasilkan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan lama fermentasi 2, 4 dan 6 hari. Rendahnya kadar air pada lama fermentasi 8 hari disebabkan oleh garam yang berdifusi ke dalam jaringan jeroan telah berpenetrasi secara sempurna sehingga kadar air mengalami penurunan seiring lamanya fermentasi. Penurunan nilai kadar air jeroan selama fermentasi diduga terkait adanya penambahan garam dalam konsentrasi tinggi (25 %) yang dapat mempengaruhi kesetimbangan dalam bahan menjadi terganggu. Garam merupakan elektrolit yang memiliki tekanan osmotik yang tinggi masuk ke jaringan sel dan mengakibatkan perubahan terhadap komponen jaringan, dimana garam dapat menarik air keluar dari jaringan tersebut sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami penurunan (Rahayu et al. 1992). Ijong dan Ohta (1995) menambahkan bahwa selama fermentasi, penambahan garam kristal akan menurunkan kadar air dengan pesat dalam periode waktu tertentu. Garam yang masuk ke dalam jaringan akan menggantikan air bebas yang ada dalam daging/jeroan. Garam dapat mengawetkan tubuh ikan dengan cara mengeluarkan air dari tubuh ikan Kadar protein Protein merupakan suatu zat makanan yang paling penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh. Kadar protein dalam makanan merupakan suatu faktor yang dapat dijadikan bahan pertimbangan tersendiri bagi konsumen (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar protein jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 8.

67 47 a a a a a Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk faktor lama fermentasi Gambar 8. Histogram rata-rata kadar protein jeroan selama proses fermentasi Kecenderungan yang sama yaitu terjadi penurunan pada hasil analisis kadar protein selama fermentasi dari 51,63 % bk pada awal menjadi 48 % bk pada akhir fermentasi (Gambar 8). Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa lama fermentasi tidak berpengaruh terhadap kadar protein jeroan. Penurunan nilai protein disebabkan oleh garam yang berdifusi kedalam jeroan dapat menguraikan komponen protein dalam bentuk yang lebih sederhana menjadi basa-basa menguap. Kimura et al. (2001) menyatakan bahwa selama proses fermentasi, garam yang masuk ke dalam jaringan sel ikan akan menimbulkan berbagai perubahan fisika dan kimia yang akan mengakibatkan pemecahan beberapa unsur seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa lebih sederhana oleh enzim yang terdapat dalam jeroan. Segera setelah penarikan air, protein dalam jaringan ikan akan terlepas dan larut ke dalam cairan garam. Selama fermentasi, garam mempunyai sifat dapat mengabsorpsi air dan protein dari jaringan daging sehingga protein dalam bentuk makromolekul akan terurai menjadi derivatnya seperti peptida, asam amino dan komponen lainnya yang mempunyai berat molekul rendah (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993).

68 Nilai ph Nilai ph merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasaman dan kebasaan suatu bahan, dimana ph menunjukkan suatu konsentrasi ion hidrogen yang terdapat di dalam larutan. Nilai ph juga merupakan salah satu faktor fisiko-kimia yang sangat mempengaruhi keawetan bahan makanan. Mikroba dapat hidup dan berkembang biak di dalam lingkungan dengan suatu kondisi ph tertentu (Rahayu et al. 1992). Hasil analisis nilai ph jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 9. a a a a a Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk faktor lama fermentasi Gambar 9. Histogram rata-rata nilai ph jeroan selama proses fermentasi Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai ph jeroan selama proses fermentasi mengalami peningkatan dari 5,66 pada awal menjadi 5,83 pada akhir fermentasi, tetapi kisaran nilai tersebut masih dalam kondisi asam (Gambar 9). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama fermentasi tidak memberikan pengaruh terhadap nilai ph jeroan ikan cakalang (Lampiran 6). Hal ini disebabkan oleh konsentrasi garam yang digunakan sebesar 25 % mampu merangsang beberapa mikroba halofilik, halotoleran dan beberapa bakteri asam laktat untuk tumbuh dan berkembang biak. Selama proses fermentasi, beberapa bakteri asam laktat seperti Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus biovardiacetylactis dapat menyebabkan

69 49 ph menjadi asam (Surono (2004). Lebih lanjut Peralta et al. (1996); Shimoda et al. (1996); Fukami et al. (2002); Berna et al. (2005) menambahkan bahwa senyawa yang berperan selama proses fermentasi termasuk asam, karbonil, senyawa nitrogen, komponen sulfur yang dapat memberikan kontribusi terhadap aroma dan bau asam. Hasil penelitian Kiline et al. (2006) menjelaskan bahwa dalam proses fermentasi ikan sardin selama 57 hari pada suhu kamar menunjukkan peningkatan nilai ph dan TPC selama fermentasi hari ke-0 sampai hari ke-22 dan mengalami penurunan setelah fermentasi pada hari ke-22. Peningkatan nilai ph tersebut dipengaruhi oleh aktivitas enzim (autolisis) dan degradasi mikroba pembentuk asam laktat dalam jaringan daging. Berna et al. (2005) melaporkan pada fermentasi Plaa-som (produk petis ikan yang berasal dari Thailand) terjadi peningkatan nilai ph secara signifikan pada setiap pengamatan lama fermentasi 5, 12, 19 dan 25 hari. Hal ini disebabkan oleh degradasi enzim dan bakteri penghasil asam dan bakteri halofilik lainnya Kadar histamin Rawles et al. (1996); Lehana dan Olley (2000); McLauchlin et al. (2005) menyatakan bahwa histamin adalah senyawa biogenik amin hasil dekarboksilasi asam amino histidin dan aktivitas mikroba pembentuk histamin yang umumnya terdapat dalam jaringan ikan dan seafood lainnya yang dapat memberikan efek keracunan dan alergi. Paleologos et al.(2004); Kung et al.(2005); Dissaraphong et al.(2006); Jiang et al. (2007) menambahkan, keberadaan histamin dalam jumlah besar pada ikan-ikan golongan scombroid dapat menyebabkan pembusukan, keracunan, bahkan kematian. Ikan-ikan tersebut diantaranya adalah skipjack tuna, mackerel, yellowfin, bluefin dan tuna albacore. Hasil analisis kadar histamin jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 10.

70 50 a a a a a Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk faktor lama fermentasi Gambar 10. Histogram rata-rata kadar histamin jeroan selama proses fermentasi Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar histamin selama proses fermentasi (Gambar 10) meskipun demikian nilai tersebut masih dalam batas aman berdasarkan batas maksimum nilai yang ditetapkan oleh Ditjen P 2 HP DKP (2007) yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Peningkatan kadar histamin berkaitan dengan jumlah mikroba khususnya bakteri yang tahan pada garam tinggi dan kondisi ph asam yang mampu mengurai asam amino histidin menjadi histamin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar histamin jeroan yang dihasilkan (Lampiran 7). Leuschner et al. (1998) menyatakan bahwa bakteri asam laktat dan halofilik khususnya Pediococcus acidilactid, Halobacterium dan Staphylococcus sangat potensial dalam fermentasi makanan untuk membentuk histamin. Lebih lanjut Rawles et al. (1996); McLauchlin et al. (2005) menambahkan bahwa jumlah histamin yang dikandung oleh daging ikan dan bagiannya seperti jeroan dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang terdapat pada ikan tersebut. Taylor dan Behling (1982); Tsai et al. (2007) berhasil mengidentifikasi beberapa bakteri pembentuk histamin yang paling banyak yaitu dari golongan Enterobacter sp., Klebsiella pneumonia dan Proteus morganii. Lehane dan Olley

71 51 (2000); FDA (2001) menyatakan bahwa suhu optimum yang mampu meningkatkan pembentukan histamin adalah pada suhu C. Hasil penelitian Jiang et al. (2007) pada Yu-lu (produk fermentasi ikan dari China) yang difermentasi menggunakan garam 30 % selama 187 hari, terjadi peningkatan histamin pada hari ke-60 (2 bulan fermentasi). Peningkatan kandungan histamin tersebut berkorelasi dengan adanya mikroba pembentuk enzim histidin dekarboksilase dalam jumlah yang banyak seperti Staphylococcus pasteur dan Bacillus meganterium. Beberapa bakteri pembentuk enzim histidin dekarboksilase umumnya lebih banyak terdapat pada jaringan otot, insang dan jeroan diantaranya adalah Hafnia sp., E. coli, Clostridium sp. dan Enterobacter sp. (Astawan et al. 1993) Total mikroba/ Total Plate Count (TPC) Di dalam tubuh ikan banyak mengandung bakteri yang terkonsentrasi pada permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Setelah ikan mati, bagian ini merupakan pusat konsentrasi mikroba pengurai dan pembusuk yang akan menyebar dan berpenetrasi ke daging ikan melalui permukaan kulit yang luka untuk mengurai/merubah komposisi kimiawi daging sehingga ikan menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk (Rahayu et al. 1992; Hadiwiyoto 1993). Selama fermentasi jeroan, terjadi peningkatan log total mikroba dari 4,29 (4,17 x 10 4 Cfu/g) menjadi log 5,15 (1,42 x 10 5 Cfu/g). Peningkatan jumlah mikroba bisa disebabkan oleh kesesuaiannya medium tempat tumbuhnya seperti kandungan nutrisi, ph dan suhu. Selain itu fungsi garam disamping sebagai pemberi citarasa, garam juga mampu menekan beberapa mikroba pembusuk dan merangsang mikroba tertentu seperti mikroba golongan halofilik atau halotoleran untuk tumbuh dan berkembang sesuai periode waktu tertentu. Hasil analisis log total mikroba jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 11.

72 52 b a a a a Rataan yang mempunyai huruf superscript yang berbeda (a, b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) untuk faktor lama fermentasi Gambar 11. Histogram rata-rata log total mikroba jeroan selama fermentasi Hasil analisis ragam (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh terhadap log total mikroba jeroan yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa log total mikroba pada lama fermentasi 0 hari berbeda nyata dengan 2, 4, 6 dan 8 hari. Fermentasi pada 0 hari menunjukkan nilai terendah (4,28 atau 4,17 x 10 3 Cfu/g) diduga mikroba baru melakukan adaptasi dengan lingkungannya (fase lag). Fase lag atau fase adaptasi adalah fase dimana mikroba belum melakukan pembelahan, tetapi terjadi peningkatan massa volume, sintesis enzim, protein dan peningkatan aktivitas metabolisme (Supardi dan Sukamto 1999). Peningkatan log total mikroba terjadi lagi sampai akhir fermentasi (8 hari), diduga bahwa kondisi mikroba yang telah melalui fase eksponensial (fase log), dimana mikroba melakukan pembelahan secara biner dengan jumlah kelipatan dalam periode tertentu serta beberapa mikroba yang mampu tahan garam dapat berkembang selama fermentasi. Fase log adalah fase dimana terjadi lonjakan peningkatan jumlah biomassa sel, ketersediaan nutrisi dan oksigen yang masih cukup untuk dimanfaatkan oleh mikroba, sehingga bisa diketahui seberapa

73 53 besar terjadi pertumbuhan secara optimal dan tingkatan produktivitas biomassa sel (Supardi dan Sukamto 1999). Chaiyanan et al. (1999); Paludan et al. (2002); Berna et al. (2005); Killine et al. (2006) menambahkan bahwa semakin tinggi konsentrasi garam, semakin tinggi pula jumlah bakteri asam laktat dan bakteri halofilik. Lebih lanjut Ichimura et al. (2003) menambahkan bahwa fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Keberhasilan dari proses fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno et al. 1993; Hidayat et al. 2006) Escherichia coli Mikroorganisme yang digunakan sebagai indikator sanitasi dalam pengolahan makanan adalah mikroorganisme yang umum terdapat dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan (Suhartono et al. 1995; Fardiaz 1993). E. coli merupakan bakteri Gram negatif, bersifat motil, tidak membentuk spora dan bersifat anaerobik fakultatif (Hariyadi 2003). Hasil uji E. coli secara kualitatif pada media selektif Lauryl Tryptose Broth (LTB) setelah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0 C, menunjukkan bahwa selama proses fermentasi jeroan dari awal hingga akhir fermentasi (8 hari) masih menunjukkan batas aman karena nilai Most Probably Number (MPN) yang dihasilkan < 3 atau 0 (negatif). Batas MPN E. coli untuk ikan segar adalah 0 (SNI ). Hasil pada tabung pengenceran (3 tabung seri) tidak menunjukkan adanya kekeruhan dan pembentukan gas dalam tabung Durham (menandakan bahwa mikroba mampu memfermentasi gas), sehingga uji penegasan coliform atau E. coli tidak dapat dilanjutkan sampai uji morfologi dan uji biokimia. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi jeroan menggunakan garam tinggi (25 %) dapat merangsang pertumbuhan bakteri baik dan dapat menghambat pertumbuhan

74 54 bakteri jahat (patogen) seperti E. coli dan Salmonella. Hal ini didukung oleh pernyataan Supardi dan Sukamto (1999); BPOM (2002); Jiang et al. (2007); bahwa selama fermentasi berlangsung, garam akan merangsang beberapa pertumbuhan bakteri baik seperti Bifidobacterium bifidium, Bifidobacterium infantis yang mampu melindungi makanan dari serangan Salmonella dan E.coli. Kemungkinan lain E. coli tidak dapat tumbuh bisa diduga bahwa air pencucian dan peralatan yang digunakan selama penanganan dan pengolahan jeroan bersih dan tidak tercemari oleh E. coli. Menurut Moehyi (1992) E. coli dapat tumbuh di dalam bahan baku, peralatan yang digunakan, air pencuci maupun pekerja selama pengolahan yang tidak bersih dan sehat. Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan diberi disinfektan untuk mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan, penyimpanan maupun saat penyajian, karena peralatan dapur seperti alat pemotong, talenan dan alat saji merupakan sumber kontaminan potensial bagi makanan (Purnawijayanti 2001) Salmonella Salmonella merupakan salah satu mikroba yang paling banyak mencemari bahan pangan. Salmonella memiliki sifat tidak tahan garam, tidak tahan panas dan perlakuan penggaraman pada bahan pangan dapat membunuh mikroba ini (Supardi dan Sukamto 1999). Salmonella umumnya ditemukan pada ikan, telur, daging, bahan pangan mentah, peralatan dapur, air dan tanah. Penyebab utama kontaminasi Salmonella adalah kurangnya sanitasi dan higiene selama penanganan. Bahaya keamanan pangan yang ditimbulkan oleh Salmonella berupa gangguan pencernaan dan demam tinggi. Gejala lain berupa mual, muntah-muntah dan muntaber (Forsythe dan Hayes 1998). Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae, berbentuk batang, Gram negatif tanpa spora, anaerobik fakultatif, memiliki flagella peritrikous, dapat membentuk H 2 S dan menggunakan sitrat sebagai sumber karbon (Supardi dan Sukamto 1999). Hasil uji kualitatif Salmonella terhadap jeroan ikan cakalang selama fermentasi pada 0 sampai 8 hari menunjukkan hasil negatif, dimana pada media pengkayaan Hectone Enteric Agar

75 55 (HEA) menunjukkan koloni berwarna coklat, pada media Xylose Lysine Dextro Agar (XLDA) koloni yang tumbuh berwarna kuning, sedangkan pada media Bismuth Sulfit Agar (BSA) koloni yang tumbuh berwarna kehijauan. Artinya koloni yang tumbuh pada media-media tersebut diduga bukan koloni Salmonella, tetapi mikroba lain yang mampu tumbuh pada media tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku jeroan yang digunakan tidak terkontaminasi Salmonella dan sanitasi pengolahan selama proses fermentasi dipraktekkan dengan baik. Kemungkinan lain ketidakmampuan Salmonella tumbuh dalam media selektif adalah karena adanya garam tinggi (25 %) sebagai media dalam proses fermentasi jeroan, dimana Salmonella adalah bakteri yang tidak tahan pada kondisi garam tinggi. Menurut Supardi dan Sukamto (1999) Salmonella dapat dihambat pada konsentrasi garam ringan (6 %) dan ph di bawah 4,5. Lebih lanjut ditambahkan Jenie (2000) pengaruh garam selama fermentasi dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Clostridium botulinum dan Salmonella Karakteristik Bakasang pada Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi dan Lama Penyimpanan Jeroan hasil fermentasi selanjutnya dilakukan pemasakan untuk dijadikan bakasang dan disimpan pada suhu kamar selama 90 hari (0, 30, 60, 90), menggunakan bahan pengemas botol gelas/kaca Pyrex 250 ml yang sudah disterilkan (Lampiran 9). Sifat utama dari kemasan ini diantaranya tahan pecah, tembus pandang dan jernih. Penyimpanan bakasang dilakukan selama 90 hari pada suhu kamar dengan tujuan untuk mengetahui perubahan mutu secara kimia dan mikrobiologi terhadap bakasang dalam jangka waktu yang relatif lama. Pengujian dilakukan setiap 30 hari penyimpanan, terhitung mulai 0, 30, 60 dan 90 hari. Analisis kimia dan mikrobiologi yang dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik bakasang selama penyimpanan meliputi kadar air, protein, nilai ph, kadar histamin, total mikroba dan total kapang.

76 Kadar air Keawetan bahan pangan mempunyai hubungan erat dengan kadar air. Semakin rendah kadar air dalam bahan pangan diharapkan dapat memperpanjang masa simpannya. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba (Winarno 1997). Hasil analisis kadar air bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 12. Lama fermentasi (hari ke-) Gambar 12. Histogram rata-rata kadar air bakasang selama penyimpanan Nilai kadar air bakasang dipengaruhi secara nyata oleh lama fermentasi dan lama penyimpanan, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 10a ). Gambar 12 menunjukkan terjadi peningkatan kadar air selama fermentasi dan selama penyimpanan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 10b) menunjukkan bahwa pengaruh lama fermentasi 8 hari berbeda nyata dengan lama fermentasi 2, 4 dan 6 hari. Hal ini disebabkan selama proses fermentasi garam, terjadi hidrolisis enzimatis senyawa protein menjadi turunan yang lebih sederhana. Selama fermentasi, akan terjadi perubahan secara biokimia yang ditandai dengan penguraian komponen makro seperti protein, lemak dan karbohidrat akan diuraikan oleh mikroorganisme dan enzim-enzim yang terdapat di dalam bahan baku menjadi molekul yang lebih sederhana seperti peptida dan asam amino,

77 57 lipida dan glukosa yang menghasilkan dan melepaskan molekul air (H 2 O) (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Hasil uji Duncan (Lampiran 10c) menunjukkan bahwa lama penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan ketiga lama penyimpanan (30, 60 dan 90 hari). Lama penyimpanan 30 hari berbeda nyata dengan 90 hari, tetapi tidak berbeda nyata dengan 60 hari. Perbedaan ini diduga terkait dengan adanya laju penguapan yang berbeda-beda selama penyimpanan bakasang pada suhu kamar. Hal ini didukung oleh pernyataan Ariningsih (1992); Gunadi (1991); Huffman et al. (1996) meningkatnya kadar air selama penyimpanan suhu kamar disebabkan oleh adanya penyerapan air dari ruang penyimpanan kedalam bahan pangan, dimana pada suhu ruang kelembabannya (RH) menjadi meningkat Kadar protein Protein merupakan suatu zat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar protein bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 13. Lama fermentasi (hari ke-) Gambar 13. Histogram rata-rata kadar protein bakasang selama penyimpanan Gambar 13 menunjukkan terjadi penurunan kadar protein bakasang seiring dengan lamanya fermentasi dan lamanya penyimpanan. Hasil analisis

78 58 ragam menunjukkan bahwa lama fermentasi dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata, tetapi interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap kadar protein bakasang yang dihasilkan (Lampiran 11a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar protein seluruh perlakuan jeroan pada lama fermentasi 2 hari berbeda nyata dengan ketiga perlakuan (4, 6 dan 8 hari) (Lampiran 11b). Hal ini ada hubungannya dengan penambahan garam dan aktivitas mikroba proteolitik selama fermentasi, dimana pada fermentasi 2 hari, hidrolisis enzim dan pemecahan makromolekul yang ada pada jeroan belum terjadi secara nyata, dimana mikroba yang berperan dalam fermentasi sebagai pengurai protein masih menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selama proses fermentasi menggunakan garam, meresapnya garam ke dalam jaringan daging ikan akan menimbulkan berbagai perubahan fisiko-kimia maupun mikrobiologi sehingga pemecahan makromolekul protein, lemak dan karbohidrat berubah menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim proteolitik yang terdapat dalam jeroan (Winarno et al. 1993; Hidayat et al. 2006). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kadar protein selama penyimpanan bakasang pada 0, 30, 60 dan 90 hari berbeda nyata satu dengan lainnya (Lampiran 11c). Hal ini diduga karena proses pemasakan dan penyimpanan pada suhu ruang dapat mempengaruhi perubahan kandungan dalam bahan pangan utamanya protein menjadi senyawa turunannya seperti peptida, oligopeptida dan asam amino. Menurut Kimura et al. (2001); Lopetcharat et al. (2001) pemasakan (perebusan, pengukusan dan pemanggangan) serta penyimpanan dapat menyebabkan protein, peptida dan asam amino terurai menjadi komponen turunannya yang mempunyai berat molekul rendah dan berkontribusi terhadap nilai flavor (rasa dan aroma). Lebih lanjut ditambahkan oleh Lenah (1993) protein daging ikan akan terpecah menjadi miogen, miosin, aktomiosin, peptida dan asam amino pada saat pemasakan. Ajandouz et al. (2001) menyatakan bahwa menurunnya gizi protein selama pengolahan dan pemasakan akibat suhu tinggi dapat menyebabkan penurunan kualitas protein, yaitu hilangnya residu asam amino dan daya cerna.

79 Nilai ph Sifat keasaman dan kebasaan suatu bahan pangan dapat diukur dengan nilai ph (Surono 2004). Nilai ph juga merupakan salah satu faktor kimia yang sangat mempengaruhi keawetan bahan pangan karena berhubungan dengan mikroba, dimana mikroba dapat hidup dan berkembang biak di dalam lingkungan dengan kondisi ph tertentu (Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006). Hasil analisis nilai ph bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 14. Lama fermentasi (hari ke-) Gambar 14. Histogram rata-rata nilai ph bakasang selama penyimpanan Nilai ph bakasang selama penyimpanan 90 hari berada pada kisaran ph 5,73 sampai 6,23. Gambar 14 menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ph bakasang seiring dengan lamanya penyimpanan pada setiap lama fermentasi. Kisaran ph pada awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan dalam kondisi asam dan mendekati ph netral (ph 7). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai ph bakasang hanya dipengaruhi oleh lama penyimpanan, sedangkan lama fermentasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 12a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan lama penyimpanan 30 dan 90 hari, tetapi tidak berbeda dengan lama penyimpanan 60 hari. Lama penyimpanan 30 hari berbeda nyata dengan lama penyimpanan 60 dan 90 hari, sedangkan lama penyimpanan 60 hari berbeda nyata dengan lama penyimpanan 90 hari (Lampiran 12b).

80 60 Gambar 14 menunjukkan terjadi penurunan nilai ph pada awal penyimpanan dari setiap lama fermentasi. Penurunan nilai ph pada awal penyimpanan disebabkan adanya aktivitas dari bakteri dan kapang penghasil asam selama proses fermentasi garam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kimura et al. (2001); Berna et al. (2005) selama fermentasi, nilai ph dipengaruhi oleh adanya bakteri halofilik yang menghasilkan metabolit asam seperti bakteri asam laktat Lactobacillus acidophilus dan kapang Aspergillus niger. Semakin tinggi penggunaan garam, bakteri asam laktat yang terbentuk semakin banyak dan semakin besar pula perubahannya terhadap nilai ph (Surono 2004). Peningkatan nilai ph terjadi lagi setelah awal penyimpanan dan keadaan ini berkaitan dengan tingginya nilai total mikroba (Gambar 16), dimana mikroba tersebut mampu mendegradasi protein, peptida dan asam amino menjadi derivatnya yang bersifat volatil seperti ammonia, indol, H 2 S, merkaptan, fenol, kresol dan skatol (Aurand et al. 1987; Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Lebih lanjut Berna et al. (2005) menambahkan bahwa pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan dan peningkatan nilai ph berhubungan dengan kandungan nitrogennya Kadar histamin Sims (1992); Rawles et al. (1996); Lehana dan Olley (2000); McLauchlin et al. (2005) menyatakan histamin adalah senyawa biogenik amin yang terdapat di dalam daging dan jaringan ikan yang dapat menyebabkan keracunan maupun alergi. Histamin dihasilkan dari perombakan histidin oleh enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri. Pembentukan histamin dipengaruhi oleh faktor waktu, suhu, jenis bahan baku dan banyaknya bakteri pembentuk histamin dalam daging dan jaringan ikan Taylor dan Alasalvar (2002) menambahkan bahwa histamin yang telah dihasilkan bersifat tahan panas, walaupun ikan telah dimasak, dikalengkan atau dipanaskan sebelum dikonsumsi, histamin yang ada tidak dapat dihancurkan atau dihilangkan. Nilai kadar histamin bakasang pada awal sampai akhir penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.

81 61 Lama fermentasi (hari ke-) Gambar 15. Histogram rata-rata kadar histamin bakasang selama penyimpanan Kadar histamin yang dihasilkan oleh bakasang selama penyimpanan 90 hari dari setiap lama fermentasi mengalami peningkatan. Hasil analisis ragam (Lampiran 13a) menunjukkan bahwa lama fermentasi, lama penyimpanan dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar histamin bakasang. Uji lanjut Duncan (Lampiran 13b) menunjukkan bahwa interaksi antara lama fermentasi 2 hari pada lama penyimpanan 0 hari (F 2 P 0 ) berbeda nyata dengan lama fermentasi 6 hari pada lama penyimpanan 90 hari (F 6 P 0 ), dan lama fermentasi 8 hari pada lama penyimpanan 90 hari (F 4 P 90 ) terhadap kadar histamin bakasang. Kadar histamin mengalami peningkatan seiring dengan lamanya fermentasi dan lamanya penyimpanan meskipun nilainya masih relatif kecil yaitu dari 18,59 ppm meningkat menjadi 64,20 ppm. Nilai-nilai tersebut masih aman karena berada di bawah standar yang ditetapkan oleh Ditjen P 2 HP DKP (2007) yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Adanya kandungan histamin pada setiap lama fermentasi berkaitan dengan adanya bakteri yang mampu mendekarboksilasi asam amino histidin bebas menjadi histamin pada saat penanganan sampai proses pengolahan jeroan (fermentasi), dimana jeroan merupakan tempat akumulasinya bakteri pembusuk.

82 62 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yatsunami dan Echigo (1991); Yatsunami dan Echigo (1992) menunjukkan bahwa bakteri penghasil histamin yang berhasil diisolasi dari produk fermentasi bergaram seperti kecap ikan adalah Staphylococcus, Vibrio, Escherichia dan Pseudomonas sp. Lebih lanjut Kimura et al. (2001); Kung et al. (2005); Dissaraphong et al. (2006) menambahkan bahwa keberadaan senyawa biogenik amin dipengaruhi oleh keberadaan dan kelimpahan dari asam amino bebas, keberadaan mikrooganisme yang mampu mendekarboksilasi asam amino dan kondisi ph serta suhu yang memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memproduksi enzim. Hernandez et al. (1999); Gildberg dan Thongthai (2001); Kimura et al. (2001) bahwa bakteri penghasil histamin yang diisolasi dari produk fermentasi lebih banyak berasal dari bakteri asam laktat halofilik (yang tahan terhadap garam tinggi) seperti Staphylococcus epidermidis, S. captitis dan Tetragenococcus muriaticus, sedangkan Ishizuka et al. (1993); Leuschner at al. (1998) melaporkan pada fermentasi daging tuna yang disimpan pada suhu ruang dapat menghasilkan senyawa histamin lebih didominasi oleh bakteri asam laktat khususnya Pediococcus acidilactid. Pembentukan histamin selama fermentasi bisa disebabkan oleh penangaan bahan baku yang tidak tepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno et al. (1993); Yongsawatdigul et al. (2004) tingginya jumlah histamin dalam produk fermentasi disebabkan karena aktivitas senyawa biogenik amin dengan bahan mentah dan penanganan yang salah. Bahan mentah yang tidak segar dan penanganan yang salah memberikan peluang tingginya aktivitas mikroba pengurai histidin menjadi histamin dalam makanan menjadi tinggi pula. Peningkatan kadar histamin selama penyimpanan 90 hari diduga karena pengaruh suhu ruang penyimpanan dan aktivitas bakteri dekarboksilasi pembentuk histamin, dimana bakteri pembentuk histamin lebih cepat tumbuh pada suhu tinggi daripada suhu rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan FDA (2001) bahwa batas suhu pertumbuhan bakteri pembentuk histamin pada daging dan jaringan ikan yaitu 4,4 0 C, sedangkan pada suhu penyimpanan 0 0 C hanya sedikit pembentukan histamin. Lebih lanjut ditambahkan Lehana dan Olley (2000);

83 63 Suhu optimum yang mampu meningkatkan pembentukan histamin adalah pada suhu C. Menurut Keer et al. (2002) suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25 0 C dan perkembangannya terjadi bila lebih dari suhu optimumnya. Dapkevicius et al. (2000) melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin paling dominan dalam pasta ikan yang mampu mendegradasi histidin menjadi histamin adalah Lactobacillus sake Total mikroba/total Plate Count (TPC) Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan enzim dan perubahan kimia. Mikroba merupakan penyebab utama kerusakan bahan pangan. Adanya pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dapat menyebabkan kerusakan dan kemunduran yang ditandai adanya perubahanperubahan seperti penampakan, bau, rasa, tekstur, serta terbentuknya komponenkomponen yang bersifat racun. Kerusakan bahan pangan oleh mikroba menyebabkan bahan pangan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi dan berbahaya bagi kesehatan (Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006). Log total mikroba yang dihasilkan pada bakasang berkisar 4,33 (3,74 x 10 3 Cfu/g) pada awal penyimpanan menjadi log 8,34 (2,17 x 10 6 Cfu/g) pada akhir penyimpanan (Gambar 16). Mengacu pada standar yang ditetapkan SNI bahwa batas maksimum TPC untuk produk petis udang adalah 10 5 Cfu/g. Artinya nilai TPC pada akhir penyimpanan sudah melebihi standar yang ditetapkan. Hasil analisis ragam (Lampiran 14a) menunjukkan bahwa lama fermentasi dan lama penyimpanan berpengaruh nyata, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap log total mikroba bakasang. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa lama fermentasi 2 hari berbeda nyata dengan lama fermentasi 4, 6 dan 8 hari (Lampiran 14b). Selama proses fermentasi terjadi peningkatan total mikroba (Gambar 16). Hal ini berkaitan dengan karakteristik bahan baku (jeroan), dimana mikroflora alami banyak ditemukan di dalamnya, selain itu pengaruh penambahan garam tinggi (25 %) mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan sebaliknya merangsang pertumbuhan mikroba tertentu untuk berperan selama proses fermentasi. Hasil

84 64 uji log total mikroba pada bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 16. Lama fermentasi (hari ke-) Gambar 16. Histogram rata-rata log total mikroba bakasang selama penyimpanan Semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin memicu pertumbuhan beberapa mikroorganisme seperti bakteri asam laktat, beberapa bakteri golongan halofilik (tahan terhadap garam) dan kapang yang bersifat halofilik (Ilyas 1993; Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yatsunami dan Takenaka (1994); Chaiyanan et al. (1999) menunjukkan bahwa jenis bakteri halofilik dan halotoleran yang berhasil diidentifikasi oleh antara lain Staphylococcus dan Halobacterium pada daging sardin yang difermentasi dengan beras. Kimura et al. (2001) berhasil mengidentifikasi Tetragenococcus muriaticus dan T. halophillus pada produk petis, sedangkan Tsai et al. (2007) berhasil mengidentifikasi Corynebacterium dan Micrococcus pada produk kecap, pasta ikan dan pasta udang. Uji lanjut Duncan (Lampiran 14c) terhadap lama penyimpanan menunjukkan bahwa bakasang pada lama penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan bakasang pada lama penyimpanan 30, 60 dan 90 hari. Pada awal penyimpanan (0 hari), pertumbuhan mikroba berada dalam fase lag (adaptasi), dimana mikroba belum melakukan pembelahan, tetapi terjadi peningkatan massa volume. Pada fase tersebut, mikroba lebih banyak melakukan adaptasi dengan lingkungan, selanjutnya pada lama penyimpanan 30 hari sampai akhir

85 65 penyimpanan (90 hari), log total mikroba secara tajam mengalami lonjakan jumlah sel, dimana ketersediaan nutrisi dan oksigen masih cukup untuk dimanfaatkan oleh mikroba. Tingginya kandungan log total mikroba pada lama penyimpanan 30, 60 dan 90 hari diduga oleh berkembangnya bakteri termofilik yang tahan pada suhu tinggi ketika jeroan dimasak dan beberapa mikroba yang tahan terhadap suhu ruang pada saat penyimpanan bakasang. Bakteri yang tahan pada suhu pemasakan adalah golongan bakteri penghasil spora seperti Clostridium dan Bacillus (Winarno et al. 1993; Supardi dan Sukamto 1999). Lebih lanjut Jenie et al. (2000) menambahkan bahwa proses pemanasan dapat mengubah tidak hanya komposisi kimia makanan tetapi juga strukturnya dengan melunakkan jaringan, melepaskan atau mengikat air, menghancurkan atau membentuk suspensi koloidal, gel atau emulsi dan mengubah kemampuan penetrasi makanan terhadap air dan oksigen. Protein dapat terdenaturasi sehingga lebih mudah digunakan oleh sebagian mikroorganisme. Pati atau protein dapat tergelatinasi melepaskan air dan menjadi lebih mudah terdekomposisi. Sifat-sifat makanan tersebut akan dimanfaatkan oleh mikroba dan menentukan jumlah dan jenis mikroba yang akan tumbuh Total kapang Pertumbuhan dan aktivitas mikroba seperti kapang merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Pertumbuhan kapang membutuhkan kondisi fisik tertentu seperti kelembaban, temperatur, ph, nutrisi dan oksigen (Rahyu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Hasil analisis total kapang terhadap bakasang menunjukkan terjadi peningkatan dari log 3,28 (1,93 x 10 2 Cfu/g) pada awal penyimpanan menjadi log 8,39 (2,49 x 10 6 Cfu/g) pada akhir penyimpanan (Gambar 17). Total kapang pada bakasang dipengaruhi secara nyata oleh lama fermentasi, lama penyimpanan dan interaksi keduanya (Lampiran 15a). Hasil analisis log total kapang pada bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 17.

86 66 Lama fermentasi (hari ke-) Gambar 17. Histogram rata-rata log total kapang bakasang selama penyimpanan Uji lanjut Duncan (Lampiran 15b) menunjukkan bahwa interaksi antara bakasang hasil lama fermentasi 2 hari pada penyimpanan 0 hari (F 2 P 0 ) berbeda nyata dengan bakasang lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 90 hari (F 8 P 90 ). Perbedaan ini diduga pengaruh suhu selama fermentasi dan selama penyimpanan pada suhu kamar, dimana pada suhu tersebut kapang dapat tumbuh dengan baik. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang antara lain suhu, kebutuhan oksigen dan kebutuhan nutrisi. Kapang dapat tumbuh baik pada suhu kamar, dimana suhu optimum pertumbuhannya sekitar C, tetapi beberapa dapat tumbuh baik pada suhu C atau lebih tinggi seperti Aspergillus. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran ph yang luas, yaitu 2,0-8,5, tetapi biasanya akan lebih baik pada kondisi asam atau ph rendah. Kebanyakan kapang memproduksi enzim hidrolitik, misalnya amilase, pektinase, proteinase dan lipase sehinga dapat tumbuh baik pada makanan yang mengandung pati, pektin, protein dan lemak (Hidayat et al. 2006). Penyimpanan bakasang pada suhu kamar menunjukkan terjadi peningkatan pada awal sampai pada 30 hari penyimpanan (Gambar 17). Hal ini diduga bahwa sokongan nutrisi pada lingkungan masih memadai lagi sehingga akhirnya terjadi peningkatan jumlah. Penurunan jumlah sel terjadi pada penyimpanan 60 hari dan meningkat kembali pada penyimpanan 90 hari. Hal ini diduga, pada penyimpanan 60 hari sel mengalami fase stasioner, dimana sokongan

2. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)

2. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Cakalang adalah ikan pelagis perenang cepat (good swimmer) dan mempunyai sifat rakus (varacious). Ikan ini

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap

Lebih terperinci

KOMBINASI KITOSAN DENGAN KALIUM SORBAT, NATRIUM BENZOAT DAN EKSTRAK TERUNG PUNGO

KOMBINASI KITOSAN DENGAN KALIUM SORBAT, NATRIUM BENZOAT DAN EKSTRAK TERUNG PUNGO KOMBINASI KITOSAN DENGAN KALIUM SORBAT, NATRIUM BENZOAT DAN EKSTRAK TERUNG PUNGO (Solanum sp.) TERHADAP AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN DAYA AWET BANDENG PRESTO BAGUS FAJAR PAMUNGKAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc. dhinie_surilayani@yahoo.com Ikan = perishable food Mengandung komponen gizi: Lemak, Protein, Karbohidrat, dan Air Disukai Mikroba Mudah Rusak di Suhu Kamar Setelah ikan

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAGING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) REBUS PADA SUHU KAMAR Sri Purwaningsih 1, Josephine W 2, Diana Sri Lestari 3 Abstrak Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Susu Kedelai Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari kedelai. Protein susu kedelai memiliki susunan asam amino yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN Oleh: Dhias Wicaksono C34104028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BAKASANG JEROAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) SEBAGAI PANGAN TRADISIONAL MALUKU UTARA

KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BAKASANG JEROAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) SEBAGAI PANGAN TRADISIONAL MALUKU UTARA KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BAKASANG JEROAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin) SEBAGAI PANGAN TRADISIONAL MALUKU UTARA (Organoleptic Characteristics of Bakasang, Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis, Lin)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu pelelehan es dan proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

UJI KOMPOSISI BAHAN BAKU TERASI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENCETAK TERASI

UJI KOMPOSISI BAHAN BAKU TERASI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENCETAK TERASI UJI KOMPOSISI BAHAN BAKU TERASI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENCETAK TERASI (Shrimp Paste Composition Test Using Shrimp Paste Molder) Suwandi 1,2), Ainun Rohanah 1), Adian Rindang 1) 1) Program Studi Keteknikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di PT. Graha Insan Sejahtera yang berlokasi di salah satu Perusahaan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jalan Muara

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan pangan hewani (daging, telur, dan susu) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan pola hidup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN.

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN. 1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

Harryara Sitanggang

Harryara Sitanggang IV. Hasil Pengamatan & Pembahasan Penanganan pasca panen bukan hanya berlaku untuk produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau biasa disebut produk nabati. Pemanenan dari komoditas hewani juga perlu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di antara pulau lain, namun tingkat endemik masih kalah dibandingkan dengan

I. PENDAHULUAN. di antara pulau lain, namun tingkat endemik masih kalah dibandingkan dengan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia bahkan dunia. Kondisi geografis yang berlekuk mengakibatkan Kalimantan memiliki banyak aliran sungai (Nurudin,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ASAM AMINO DAN KOMPONEN BIOAKTIF SOTONG (Sepia recurvirostra) SUHANA SULASTRI

KARAKTERISTIK ASAM AMINO DAN KOMPONEN BIOAKTIF SOTONG (Sepia recurvirostra) SUHANA SULASTRI KARAKTERISTIK ASAM AMINO DAN KOMPONEN BIOAKTIF SOTONG (Sepia recurvirostra) SUHANA SULASTRI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGANAN BAHAN BAKU TERHADAP MUTU SOSIS IKAN PATIN (Pangasius pangasius) ERDIANSYAH

TEKNOLOGI PENANGANAN BAHAN BAKU TERHADAP MUTU SOSIS IKAN PATIN (Pangasius pangasius) ERDIANSYAH TEKNOLOGI PENANGANAN BAHAN BAKU TERHADAP MUTU SOSIS IKAN PATIN (Pangasius pangasius) ERDIANSYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan 1 Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan Pengertian Abon Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN HENI RIZQIATI F 251020021 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PENGESAHAN DEDIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS ABSTRAK

DAFTAR ISI. Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PENGESAHAN DEDIKASI RIWAYAT HIDUP PENULIS ABSTRAK DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i PENGESAHAN ii PRAKATA iii DEDIKASI iv RIWAYAT HIDUP PENULIS v ABSTRAK vi ABSTRACT vii DAFTAR ISI viii DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR TABEL xii DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahu, merupakan salah satu makanan yang digemari oleh hampir semua kalangan masyarakat di Indonesia, selain rasanya yang enak, harganya pun terjangkau oleh

Lebih terperinci

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) Oleh : Dwi Sartika C34104025 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Ikan Tuna

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Ikan Tuna 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna Klasifikasi ikan tuna (Saanin 1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Teleostei Subclass : Actinopterygi Ordo : Perciformes

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

STUDI VIABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT PADA FERMENTASI TAUCO DALAM LARUTAN GARAM

STUDI VIABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT PADA FERMENTASI TAUCO DALAM LARUTAN GARAM STUDI VIABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT PADA FERMENTASI TAUCO DALAM LARUTAN GARAM TESIS Oleh YUSI INDRIANI 077030029/BIO S E K O L A H PA S C A S A R J A N A SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN.

PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN. PENILAIAN MUTU ORGANOLEPTIK IKAN MUJAIR (TILAPIA MOSSAMBICA) SEGAR DENGAN UKURAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN DINGIN Nurmeilita Taher Staf Pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

1) Mahasiswa Program Studi THP STITEK Balik Diwa Makassar 2) Staf Pengajar Program Studi THP STITEK Balik Diwa Makassar ;

1) Mahasiswa Program Studi THP STITEK Balik Diwa Makassar 2) Staf Pengajar Program Studi THP STITEK Balik Diwa Makassar  ; PENGARUH PENAMBAHAN GARAM TERHADAP KARAKTERISTIK PETIS BERBAHAN LIMBAH PADAT IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) Hernawati 1, Jawiana Saokani 2 dan Heriansah 2 1) Mahasiswa Program Studi THP STITEK Balik

Lebih terperinci

UJI KOMPOSISI BAHAN BAKU TERASI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENCETAK TERASI SKRIPSI

UJI KOMPOSISI BAHAN BAKU TERASI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENCETAK TERASI SKRIPSI UJI KOMPOSISI BAHAN BAKU TERASI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENCETAK TERASI SKRIPSI Oleh: SUWANDI 110308035/KETEKNIKAN PERTANIAN PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN DALAM PEMBUATAN PlNDANG TONGKOL. Oleh F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN instltut PERTANIAN BOGOR

MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN DALAM PEMBUATAN PlNDANG TONGKOL. Oleh F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN instltut PERTANIAN BOGOR /Tf'y $2 @f MEMPELAJARI METODE REDUKSI KADAR HISTAMIN DALAM PEMBUATAN PlNDANG TONGKOL Oleh IDA AYU IRASTINA DANUR F 25.0223 1993 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN instltut PERTANIAN BOGOR BOGOR Ida Ayu Irastina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing (mamae) yang berasal dari pemerahan pada mamalia dan mengandung lemak, protein, laktosa, serta berbagai jenis vitamin (Susilorini,

Lebih terperinci

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG. Oleh : MAULITA NOVELIANTI

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG. Oleh : MAULITA NOVELIANTI SKRIPSI APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG Oleh : MAULITA NOVELIANTI F24103090 2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM Oleh : Melly Dianti C03400066 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN

PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI SURIMI IKAN AIR TAWAR DAN PRODUK OLAHAN PANGAN TURUNANNYA DALAM RANGKA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT KABUPATEN BOGOR Oleh : Heru Sumaryanto Joko Santoso Pudji Muljono Chairita

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C34101028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Oleh : ROSARIA F

SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Oleh : ROSARIA F SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR Oleh : ROSARIA F 24103043 2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK SKRIPSI Oleh: CHERIA LESTARI 090305017/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C34101045 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan yang halal dan baik, seperti makan daging, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan

BAB I PENDAHULUAN. makanan yang halal dan baik, seperti makan daging, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia memiliki luas wilayah perairan yang lebih besar dari pada luas daratan. Besarnya luas wilayah perairan yang dimiliki Indonesia, membuat negara ini kaya akan

Lebih terperinci

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT

The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The Study of Catfish (Pangasius hypophthalmus) Freshness by Handling with Different Systems By Yogi Friski 1 N. Ira Sari 2 and Suparmi 2 ABSTRACT The objective of this research was to determine the differences

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil.

Lampiran 1 Tahapan Penelitian. Penirisan. 1 ekor karkas ayam segar. Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Serbuk kitosan komersil. LAMPIRAN 59 60 Lampiran Tahapan Penelitian Serbuk kitosan komersil ekor karkas ayam segar Tanpa perlakuan kitosan (Kontrol) Pembuatan larutan kitosan (0,5 %; %;,5%) Pemotongan Proses perendaman Penirisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat pada tepung adalah kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. terdapat pada tepung adalah kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mie basah merupakan salah satu bahan pangan yang digemari masyarakat Indonesia. Hal itu terbukti dengan tingginya produksi mie basah yaitu mencapai 500-1500 kg mie

Lebih terperinci

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY Ella Salamah 1), Anna C Erungan 1) dan Yuni Retnowati 2) Abstrak merupakan salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI BUBUK BAWANG PUTIH DAN GARAM DAPUR (NaCl) TERHADAP MUTU TAHU SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

PENGARUH KONSENTRASI BUBUK BAWANG PUTIH DAN GARAM DAPUR (NaCl) TERHADAP MUTU TAHU SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR PENGARUH KONSENTRASI BUBUK BAWANG PUTIH DAN GARAM DAPUR (NaCl) TERHADAP MUTU TAHU SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR SKRIPSI Oleh: PRITA LESTARI NINGRUM 080305021/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR Oleh : Ismiwarti C34101018 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 RINGKASAN

Lebih terperinci

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PEMEUATAN KECAP IKAN DENGAN CARA KOMBlNASl HlDROLlSA EN ZIMATIS DAN FERMENTASI

PEMEUATAN KECAP IKAN DENGAN CARA KOMBlNASl HlDROLlSA EN ZIMATIS DAN FERMENTASI PEMEUATAN KECAP IKAN DENGAN CARA KOMBlNASl HlDROLlSA EN ZIMATIS DAN FERMENTASI OIeh AGUS SUPARMAN F 25. 0275 1993 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR Agus Suparman, F25.0275. Pembuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tahu merupakan makanan yang biasa dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Asia lainnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengkonsumsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY

PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY SKRIPSI Oleh: MISYE A. LUMBANGAOL 110305028/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SENSORI COOKIES DARI TEPUNG KOMPOSIT (BERAS MERAH, KACANG MERAH DAN MOCAF)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SENSORI COOKIES DARI TEPUNG KOMPOSIT (BERAS MERAH, KACANG MERAH DAN MOCAF) i KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SENSORI COOKIES DARI TEPUNG KOMPOSIT (BERAS MERAH, KACANG MERAH DAN MOCAF) SKRIPSI Oleh: JULIARDO ESTEFAN PURBA 120305048/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C

KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI. Oleh: Rahadian Hardja Utama C KEMUNDURAN MUTU IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PADA PENYIMPANAN SUHU CHILLING DENGAN PERLAKUAN CARA MATI Oleh: Rahadian Hardja Utama C34103042 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA Bahan Baku Kerang Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai ciri-ciri: cangkang terdiri dari dua belahan atau katup yang dapat membuka dan menutup dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR

KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Berkala Perikanan Terubuk, Juli 2006, hlm.121-125 Vol. 33 No. 2 ISSN 0126-4265 KAJIAN SIFAT MUTU UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) SEGAR PADA PENYIMPANAN SUHU KAMAR Rahman Karnila, Suparmi 1), Mei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya

BAB I PENDAHULUAN. nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu hasil perikanan budidaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Berdasarkan data dari Kementerian

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar

Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar LAMPIRAN 61 62 Lampiran 1 Lembar penilaian uji organoleptik ikan segar Nama Panelis : Tanggal pengujian : Instruksi : Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian. Berilah

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI HIDROLISAT PROTEIN DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) Oleh : DIAN PURBASARI C

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI HIDROLISAT PROTEIN DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) Oleh : DIAN PURBASARI C PRODUKSI DAN KARAKTERISASI HIDROLISAT PROTEIN DARI KERANG MAS NGUR (Atactodea striata) Oleh : DIAN PURBASARI C34103001 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL KANDUNGAN GIZI DAN ANTIBAKTERI BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA. Oleh : Fanni Al Fanany C

KAJIAN AWAL KANDUNGAN GIZI DAN ANTIBAKTERI BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA. Oleh : Fanni Al Fanany C KAJIAN AWAL KANDUNGAN GIZI DAN ANTIBAKTERI BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA Oleh : Fanni Al Fanany C34101073 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR TUGAS AKHIR PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR (MANUFACTURE OF COW S MILK YOGHURT WITH THE HELP OF MICROORGANISMS IN PLAIN YOGHURT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permen jelly merupakan salah satu produk pangan yang disukai semua orang dari kalangan anak-anak hingga dewasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permen jelly merupakan salah satu produk pangan yang disukai semua orang dari kalangan anak-anak hingga dewasa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permen jelly merupakan salah satu produk pangan yang disukai semua orang dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Permen jelly memiliki tekstur lunak yang diproses dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo

Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo Uji Pembedaan Ikan Teri Kering pada Lama Pengeringan Berbeda dengan Ikan Teri Komersial dari Desa Tolotio Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo 1.2 Rimin Lasimpala, 2 Asri Silvana aiu 2 Lukman Mile

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

KUALITAS MIE BASAH DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG BIJI KLUWIH (Artocarpus communis G.Forst)

KUALITAS MIE BASAH DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG BIJI KLUWIH (Artocarpus communis G.Forst) KUALITAS MIE BASAH DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG BIJI KLUWIH (Artocarpus communis G.Forst) Quality of Noodle with Substitution of Kluwih (Artocarpus communis G. Forst) Seed Flour Agustina Arsiawati Alfa Putri

Lebih terperinci

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Klasifikasi Ikan Cakalang Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, panjang tubuh sekitar 25cm dan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci