7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN"

Transkripsi

1 7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam tempat atau jebakan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tertangkapnya ikan oleh bubu adalah tertarik oleh umpan. Metode pengoperasian bubu dengan umpan didasarkan pada insting tingkah laku makan pada ikan (Lokkeborg 1994). Tingkah laku makan ikan merupakan hasil interaksi dari organ-organ yang peka terhadap cahaya (light), mekanik, kimia, dan rangsangan elektromagnetik yang bergantung pada habitat dan pengenalan bahan makanan (Liang et al. 1998). Dengan kata lain, organ penglihatan, penciuman, dan linea lateralis dapat ikut berperan dalam tingkah laku makan ikan. Pola tingkah laku ikan saat mendekati umpan terdiri atas tahapan ( Lokkeborg 1994, Baskoro dan Effendy 2005): (1) Arousal (rangsangan) Ketika penempatan umpan dalam bubu dapat menimbulkan rangsangan pada ikan, maka organ penciuman yang terlebih dahulu berperan. Organ tersebut biasanya digunakan untuk mendeteksi mangsa/umpan yang letaknya jauh. Rangsangan tersebut timbul karena kandungan kimia pada umpan (2) Mencari lokasi umpan Dalam mencari posisi umpan yang menarik rangsangan kimia ikan, organ penglihatan yang mulai berperan. Namun tidak terlepas pula bahwa organ penciuman masih ikut bekerja karena bau umpan disebarkan bergantung pada dari arah arus. (3) Posisi ikan mendekati bubu berumpan dan pintu masuk Pada saat ikan telah melihat umpan yang menimbulkan rangsangan kimianya, biasanya ikan tidak langsung masuk pada bubu tetapi hanya

2 136 dengan mengamati posisi umpan dengan cara mengitari dan mendekati pintu masuk bubu (4) Saat masuk di dalam bubu Apabila rangsangan kimia yang dikeluarkan dari umpan semakin kuat ditunjang dengan arah arus yang menjadikan ikan dapat mendeteksi keberadaan umpan, maka dengan perlahan ikan akan mendekati umpan (5) Aktivitas makan di dalam bubu Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, biasanya ikan akan melakukan gerakan-gerakan halus di dalam bubu yang kemudian mulai menuju ke umpan dan menggigit umpan. Namun, ada beberapa spesies ikan yang dengan cepat mulai melihat keadaan sekeliling setelah menggigit umpan. Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing. Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Tertariknya ikan pada umpan disebabkan oleh rangsangan berupa warna, gerak, bentuk, rasa, dan bau (Gunarso 1985). Penggunaan alat bantu pengumpul ikan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan ikan (Bramono 2006) Menurut Rahardjo (1988) diacu dalam Purbayanto (1998), berdasarkan teknik penangkapan ada dua macam daya tarik yang menyebabkan ikan masuk ke dalam suatu perangkap, yaitu melalui daya tarik penciuman dan mata yang bergantung pada spesies ikan dan kondisi perairan. Organ penglihatan dan penciuman pada ikan yang hidup di zona eufotik (zona bercahaya) masih memungkinkan dapat digunakan sampai batas ambang tertentu untuk mendeteksi keberadaan umpan. Akan tetapi apabila sudah di luar ambang batas toleransi penglihatan, maka organ penciuman yang lebih berperan. Untuk jenis ikan yang hidup di zona afotik, organ penciumanlah yang sangat berperan karena organ penglihatan sudah tidak berfungsi lagi. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah

3 137 didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan perbandingan antara hasil dan tujuan dalam persen, yaitu apabila nilai sebagai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, sedangkan apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain, efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen. Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Tujuan penangkapan yang dimaksud harus mengacu ke usaha menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, yaitu operasi penangkapan dengan mempertimbangkan faktor keramahan terhadap lingkungan yang sesuai dengan Code of Conduct for Responssible Fisheries. Nilai efektivitas alat tangkap dapat dikategorikan tiga, yaitu apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya, dan nilai 80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006). Menurut Friedman (1988), hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum bergantung pada faktor-faktor, antara lain parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan, dan kondisi oseanografi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efektivitas umpan pada bubu pada hasil tangkapan ikan kerapu. 7.2 Metode Penelitian Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2008 di perairan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Gambar 73).

4 Metode penelitian Metode yang digunakan adalah eksperimental penangkapan (experimental fishing) dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktor. Penelitian ini menggunakan dua faktor yang mempengaruhi percobaan, yaitu jenis umpan dan waktu pemasangan bubu (soaking time). Masing-masing faktor mempunyai taraf, yaitu: 1 Faktor pertama jenis umpan a. Taraf 1 (a1) : umpan ikan rucah b. Taraf 2 (a2) : umpan udang c. Taraf 3 (a3) : umpan gonad bulu babi d. Taraf 4 (a4) : umpan buatan jenis B e. Taraf 5 (a5) : umpan buatan jenis D Penentuan buatan jenis B dan jenis D yang digunakan untuk uji coba di lapangan didasarkan pada hasil pengamatan terhadap rata-rata waktu respons yang paling cepat pada uji coba ikan kerapu skala laboratorium 2 Faktor kedua waktu pemasangan bubu (soaking time) a. Taraf 1 (b1) : pemasangan siang (waktu setting pada pagi hari dan hauling pada sore hari) b. Taraf 2 (b2) : pemasangan malam (waktu setting pada sore hari dan hauling pada pagi hari) Asumsi yang digunakan pada penelitian ini adalah 1. Perlakuan jenis umpan diacak tanpa memilih bubu mana yang akan dipasang. 2. Lokasi dan kedalaman pemasangan bubu sama untuk semua perlakuan. 3. Faktor eksternal lingkungan, seperti angin, arus, dan musim diabaikan. 4. Lama waktu perendaman pada saat operasi dianggap sama.

5 139 Peta lokasi penelitian operasi penangkapan ikan kerapu dapat dilihat pada Gambar 73. Keterangan : Lokasi penelitian Gambar 73 Peta lokasi operasi penangkapan ikan kerapu Penangkapan ikan kerapu Peralatan yang digunakan Tabel 11. Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan dapat dilihat pada Tabel 11 Peralatan yang digunakan selama penelitian di lapangan No Alat Kegunaan 1 Unit penangkapan bubu tambun Alat penangkap ikan kerapu 2 Peralatan tulis Mencatat data lapangan 3 Buku identifikasi Mengidentifikasi hasil tangkapan bubu 4 Timbangan dengan ketelitian Mengukur berat ikan hasil 1 g tangkapan 5 Penggaris dengan ketelitian 1 mm 6 Umpan alami dan umpan buatan Atraktor penangkapan Mengukur panjang total ikan hasil tangkapan

6 140 Konstruksi bubu tambun yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar cm 3 cm Gambar 74 Konstruksi bubu tambun Pengoperasian bubu Sistem pengoperasian bubu dengan cara meletakkan di dasar substrat berpasir di antara komunitas terumbu karang. Bubu ditimbun atau ditindih dengan karang yang telah mati, yang berfungsi sebagai pemberat juga untuk menutupi bubu. Semua bubu sebelum dioperasikan diberi tanda terlebih dahulu untuk membedakan jenis umpan. Setiap lima buah bubu diberi umpan yang berbeda yaitu ikan juwi, udang, gonad bulu babi, umpan buatan B, dan umpan buatan D, sedangkan satu bubu tidak diberi umpan (kontrol). Pemasangan antarbubu dilakukan secara acak dengan jarak antarbubu adalah 1,5 4 m. Hal tersebut bertujuan agar aroma yang ditimbulkan dari masing-masing umpan pada bubu tidak akan bercampur (Lokkeborg 1994). Pengoperasian bubu dilakukan setiap hari dengan 2 trip, yaitu pagi dan sore hari. Masing-masing trip diulang sebanyak 20 kali, sehingga total ulangan adalah 40 kali. Pemasangan (setting) bubu sampai pengangkatan (hauling) bubu dilakukan pada batas waktu yang sama pada setiap ulangan, yaitu selama 6 jam operasi. Waktu yang diperlukan untuk pengangkatan bubu (hauling) dan penurunan (setting) sekitar 15 menit, termasuk pengambilan hasil tangkapan dan

7 141 penggantian umpan. Setting bubu dilakukan pada pagi hari antara pukul WIB dan diturunkan kembali 15 menit kemudian untuk diangkat (hauling) lagi pada sore hari antara pukul WIB. Kemudian dilanjutkan kembali dengan setting bubu dan diturunkan 15 menit kemudian untuk diangkat (hauling) lagi pada sore hari antara pukul WIB. Demikian seterusnya hingga masing-masing setting diulang hingga 10 kali ulangan. Jadi lamanya bubu dipasang dalam air sekitar 6 jam Pengumpulan data Hasil tangkapan yang diperoleh dikumpulkan setiap trip, yaitu saat hauling pada pukul WIB dan pukul WIB dengan jumlah ulangan penangkapan masing-masing trip 10 kali (total 20 trip). Data yang dicatat adalah jumlah, jenis, ukuran, dan berat hasil tangkapan setiap kali trip dari masingmasing bubu yang menggunakan jenis umpan yang berbeda. Ikan hasil tangkapan tersebut kemudian diidentifikasi Analisis data Hasil tangkapan bubu Komposisi hasil tangkapan dilakukan untuk mengelompokkan hasil tangkapan ke dalam kelompok-kelompok (kelas) ukuran tertentu. Ukuran yang digunakan untuk pengelompokan hasil tangkapan adalah ukuran berat dan panjang total. Ukuran berat hasil tangkapan dikelompokkan dalam selang kelas dan interval kelas berat. Ukuran panjang total hasil tangkapan dikelompokkan dalam selang kelas dan interval kelas panjang total (total length/tl). Penentuan jumlah selang kelas dan interval kelas untuk ukuran berat dan panjang total dihitung menggunakan rumus distribusi frekuensi menurut Walpole (1995), yaitu: K = 1 + 3,3 log n Lebar kelas (i) = Nilai terbesar Nilai terkecil K Keterangan : K = jumlah kelas n = banyaknya data

8 Efektivitas penangkapan ikan kerapu Pengukuran efektivitas penggunaan umpan pada bubu dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu: 1) Ditujukan untuk mengukur efektivitas penggunaan umpan pada bubu untuk menangkap ikan kerapu (E f ), yaitu banyaknya bubu menggunakan umpan yang menangkap ikan kerapu (B k ) dibandingkan dengan jumlah total bubu yang digunakan (TB) yang dinyatakan dalam persen. Rumus tersebut ditulis sebagai berikut: E f Bk.100% TB 2) Demikian pula untuk pengukuran efektivitas penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan pada pengoperasian bubu untuk menangkap ikan kerapu (E f(u-i) ), yaitu banyaknya bubu menggunakan umpan-i yang menangkap ikan kerapu (B ku-i ) dibandingkan dengan jumlah total bubu yang menggunakan umpan (TB u-i ) yang dinyatakan dalam persen, adalah sebagai berikut: E f u i B TB ku i u i.100% Perhitungan efektivitas suatu alat tangkap (khususnya alat tangkap bubu) tidak dapat mengacu secara langsung berdasarkan pendapat Baskoro et al. (2006), bahwa apabila nilai persentase tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan di atas 100% dikatakan sudah efektif dan nilai persentase di bawah 100% dikatakan tidak efektif. Hal tersebut disebabkan: 1) Berdasarkan ketentuan dari CCRF (Code of Conduct Responssible Fisheries) dan syarat alat tangkap yang berwawasan lingkungan bahwa hasil tangkapan alat tangkap bukan berdasarkan hasil tangkapan maksimum tetapi hasil tangkapan optimum, artinya bahwa selektivitas alat tangkap harus diperhatikan 2) Sifat alat tangkap bubu yang pasif, yang memungkinkan bahwa setiap bubu yang dipasang (setting) pada suatu perairan akan memiliki peluang yang sama dalam menangkap ikan target tangkapan

9 Perbedaan jumlah tangkapan Untuk melihat perbedaan jumlah tangkapan pada setiap bubu berdasarkan perbedaan penggunaan jenis dan lama waktu pemasangan umpan dilakukan uji statistik median dengan menggunakan SPSS versi 13. Sebelumnya data dilakukan uji kenormalan, data yang tidak normal akan dinormalkan dengan cara transformasi logaritma natural. 7.3 Hasil Komposisi total hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh untuk setiap pengangkatan dipisahkan berdasarkan jenis umpan yang digunakan dan setiap jenis ikan karang dihitung jumlahnya. Jumlah trip bubu tambun yang dilakukan selama penelitian sebanyak 20 kali ulangan. Hasil tangkapan bubu tambun dari kelompok ikan sebanyak 12 famili antara lain jenis ikan kerapu (famili Serranidae), kakatua (famili Scaridae), betok (famili Pomacentridae), serak (famili Nemipteridae), nori (famili Labridae) dan jenis ikan karang lainnya dengan total tangkapan 1074 ekor dan berat total kg. Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah adalah Pomacentridae 388 ekor (36,13%), Scaridae 215 ekor (20,02%), Labridae 138 ekor (12,85%) dan Serranidae 80 ekor (7,45%). Komposi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun No. Famili Spesies Jumlah (ekor) Berat (g) Presentase Jumlah (%) Presentase Berat (%) 1 Serranidae Kerapu koko 26 4,08 2,42 6,04 Kerapu karet 27 3,09 2,51 4,59 Kerapu macan 21 4,49 1,96 6,65 Kerapu langalanga ,09 0,15 Kerapu lumpur ,09 0,10 Kerapu lodi/sunu ,19 0,40 Kerapu lada ,09 0,15 Kerapu lokal ,09 0,10 Sub total 80 12,27 7,45 18,18 2 Scaridae Kakatua 107 6,70 9,96 9,93

10 144 Tabel 12 (lanjutan) No. Famili Spesies Jumlah (ekor) Berat (g) Presentase Jumlah (%) Presentase Berat (%) Kakatua merah 19 2,11 1,77 3,12 Kakatua hijau 36 3,69 3,35 5,48 Kakatua hitam 9 1,16 0,84 1,71 Kakatua biru ,75 1,13 Kakatua putih 36 2,28 3,35 3,37 Sub total ,69 20,02 24,75 3 Pomacentridae Betok 38 3,30 3,54 4,89 Betok hitam 51 2,51 4,75 3,72 Betok susu ,47 0,37 Betok putih ,56 0,29 Sersan mayor ,47 26,82 17,00 Sub total ,73 36,13 26,29 4 Labridae jarang gigi ,21 1,34 Nori ,01 11,64 16,32 Sub total ,92 12,85 17,66 5 Siganidae Kea-kea ,49 1,09 Lingkis ,75 0,64 Sub total 24 1,17 2,24 1,73 6 Nemipteridae Serak ,21 1,45 Pasir 10 1,02 0,93 1,50 Sub total 23 1,99 2,14 2,96 7 Haemulidae Lencam ,02 1,19 8 Lutjanidae Tanda-tanda ,19 0,40 9 Holocentridae Swanggi ,47 0,42 10 Monachantidae Kipas-kipas ,61 1,41 Sub total 46 2,31 4,28 3,42 11 Chaetodontidae Kepe-kepe 93 1,14 8,66 1,69 Marmut 67 2,23 6,24 3,31 Sub total 160 3,37 14,89 5,00 Total ,46 100,00 100,00 1 Portunidae kepiting merah ,33 18,10 kepiting rajungan ,33 12,22 2 Xanthidae kepiting plonkor ,33 69,68 Total 6 1,11 100,00 100,00 Dilihat dari beratnya, hasil tangkapan yang dominan adalah Pomacentridae 17,73 g (26,29%); Scaridae 16,695 g (24,75%); Serranidae 12,265 g (18,18%) dan

11 145 Labridae 11,915 g (17,66%). Hasil tangkapan dari kelompok crustacea ada sebanyak 3 spesies dari 2 famili. Crustacea yang tertangkap di antaranya kepiting solasi, rajungan, dan kepiting plonkor Komposisi hasil tangkapan bubu tambun selengkapnya dapat dilihat pada Gambar % 2.96% 1.19% 0.40% 0.42% 1.41% 5.00% 18.18% 17.66% 24.75% 26.29% Serranidae Scaridae Pomacentridae Labridae Siganidae Nemipteridae Haemulidae Lutjanidae Holocentridae Monachantidae Chaetodontidae Gambar 75 Komposisi berat hasil tangkapan bubu tambun Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu Berdasarkan hasil tangkapan bubu selama penelitian, ikan kerapu yang tertangkap sebanyak 7 jenis, meliputi kerapu macan, kerapu karet, kerapu koko, kerapu langa-langa, kerapu lodi/sunu, kerapu lada, dan kerapu lokal. Distribusi frekuensi panjang ikan kerapu dominan yang tertangkap memiliki kisaran ukuran yang cukup seragam. Ikan kerapu dominan yang tertangkap adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu karet (Epinephelus fasciatus), dan kerapu koko (Epinephelus merra). Ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) tertangkap pada kisaran ukuran panjang total mm, kerapu karet (E. fasciatus) dengan kisaran ukuran panjang total mm, dan kerapu koko (E. merra) dengan kisaran panjang total mm. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu macan disajikan pada Gambar 76.

12 Hasil Tangkapan (ekor) Selang Kelas (mm) Length at first maturity ( 280 mm) Gambar 76 Komposisi panjang kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan Jumlah ikan kerapu macan yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 21 ekor. Sebaran hasil tangkapan yang terbanyak terdapat pada selang kelas mm dengan jumlah 8 ekor. Pada selang kelas antara mm sampai mm relatif sedikit hasil tangkapan yang didapatkan. Hal ini menunjukkan ikan kerapu macan yang muda lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan yang lebih tua. Ukuran layak tangkap E. fuscoguttatus pada ukuran panjang 280 mm (length at first maturity) (Anonim 2008). Jumlah ikan kerapu karet yang tertangkap dalam penelitian ini sebanyak 27 ekor dan semuanya layak tangkap berdasarkan ukuran panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) sebesar 130 mm (Anonim 2008). Ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang tertangkap tersebut cenderung menyebar normal. Sebaran ukuran panjang terbanyak pada selang kelas mm, yaitu sebanyak 8 ekor. Pada selang kelas ( mm) dan selang kelas tertinggi ( mm) jumlah tangkapan yang didapatkan relatif sedikit, yaitu 4 dan 2 ekor. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu karet (Epinephelus fasciatus) disajikan pada Gambar 77.

13 Hasil Tangkapan (ekor) Hasil Tangkapan (ekor) Length at first maturity ( 130 mm) Selang Kelas (mm) Gambar 77 Komposisi panjang kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan Jumlah ikan kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebanyak 26 ekor yang tersebar dalam 5 selang kelas frekuensi panjang dan yang layak tangkap berdasarkan ukuran panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) sebanyak 23 ekor dengan ukuran sebesar 169 mm (Anonim 2008). Sebaran frekuensi panjang total terbanyak tertangkap pada selang kelas mm yaitu sebanyak 9 ekor. Pada selang kelas mm, dan selang kelas tertinggi ( mm) hasil tangkapan yang diperoleh relatif lebih sedikit yaitu 1 dan 2 ekor. Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu koko (Epinephelus merra) disajikan pada Gambar Length at first maturity ( 169 mm) Selang kelas (mm) Gambar 78 Komposisi panjang kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu

14 Hasil Tangkapan (ekor) 148 Berdasarkan komposisi berat hasil tangkapan ikan kerapu yang tertangkap, memiliki kisaran ukuran berat yang beragam dari ukuran yang terkecil 50 g hingga ukuran terbesar 500 g. Ukuran kerapu akan memiliki nilai jual tinggi jika memiliki ukuran semakin besar. Ukuran ikan kerapu yang memiliki nilai jual adalah minimal berukuran 300 g. Untuk ikan yang tertangkap di bawah ukuran tersebut tidak dapat langsung dijual. Ikan tersebut dipelihara oleh nelayan dalam keramba jaring apung hingga ukurannya mencapai ukuran minimal layak jual. Ukuran berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas mm, yaitu sebanyak 9 ekor. Ukuran layak tangkap (layak jual) dari ukuran berat, yaitu 300 g. Ikan kerapu macan yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 5 ekor atau 25% yang layak jual. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu macan disajikan pada Gambar Tidak layak jual 14 ekor Layak jual 7 ekor Ukuran jual = 300 g selang Kelas (gram) Gambar 79 Komposisi berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan Ukuran berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) yang dominan tertangkap terletak pada selang kelas g, yaitu sebanyak 14 ekor. Ukuran kerapu layak tangkap (layak jual) menurut ukuran berat minimal 300 g. Ikan kerapu karet yang tertangkap pada ukuran tersebut hanya 2 ekor atau 8% yang layak jual. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu karet disajikan pada Gambar 80.

15 Hasil Tangkapan (ekor) Hasil Tangkapan (ekor) Tidak Layak jual 25 ekor Ukuran jual = 300 g Layak jual 2 ekor Selang Kelas (gram) Gambar 80 Komposisi berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan Kerapu koko (Epinephelus merra) yang tertangkap sebagian besar berukuran tidak layak jual (berukuran kurang dari 300 g). Selang kelas terbanyak pada berat mm, yaitu sebanyak 10 ekor. Ikan kerapu koko yang tertangkap untuk ukuran layak jual hanya 2 ekor atau 6,25%. Sebaran frekuensi berat ikan kerapu koko disajikan pada Gambar Tidak layak jual (30 ekor) Layak jual (2 ekor) Ukuran jual = 300 g Selang Kelas (gram) Gambar 81 Komposisi berat kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan Pengaruh perbedaan jenis dan waktu pemasangan umpan Jumlah berat hasil tangkapan rata-rata dengan perbedaan waktu pemasangan siang dan malam didapatkan bahwa rata-rata hasil tangkapan malam hari lebih banyak dibandingkan rata-rata hasil tangkapan pada siang hari. Hasil

16 Hasil tangkapan rata-rata (gram) 150 tangkapan rata-rata pada malam hari sebanyak 411,77±4,13 g, sedangkan pada siang hari sebanyak 299,86±3,80 g. Perbandingan hasil tangkapan rata-rata siang dan malam hari disajikan pada Gambar ± ±3.80 Siang Malam Waktu operasi penangkapan Gambar 82 Perbandingan hasil tangkapan rata-rata waktu siang dan malam hari Khusus untuk kasus famili Serranidae (kerapu), hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan memiliki perbedaan hasil tangkapan yang cukup signifikan. Hasil tangkapan malam memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari. Hal tersebut disebabkan karena waktu pemasangan bubu (soaking time) yang lebih lama pada waktu malam hari (pukul WIB) dibanding soaking time pada waktu siang hari (pukul WIB) sehingga dimungkinkan peluang yang besar ikan yang berada di sekitar setting bubu untuk dapat masuk kedalam bubu. Umpan yang paling banyak menangkap ikan kerapu adalah umpan udang, yaitu 22 ekor (siang 6 ekor dan malam 16 ekor), umpan rucah sebanyak 18 ekor (siang 5 ekor dan malam 13 ekor), umpan bulu babi sebanyak 14 ekor (siang 3 ekor dan malam 11 ekor), umpan D sebanyak 14 ekor (siang 4 ekor dan malam 10 ekor), dan umpan B sebanyak 12 ekor (siang 2 ekor dan malam 10 ekor). Hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan disajikan pada Gambar 83.

17 Hasil Tangkapan (ekor) Rucah Udang B. Babi Umpan B Umpan D Jenis Umpan Siang Malam Gambar 83 Hasil tangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu pemasangan Hasil tangkapan tertinggi ikan kerapu dihasilkan pada siang hari oleh umpan udang kemudian diikuti umpan rucah, D, gonad bulu babi, dan yang terakhir umpan B. Pada malam hari, hasil tangkapan ikan kerapu tertinggi adalah pada umpan udang, diikuti umpan rucah, gonad bulu babi, umpan D, dan umpan B. Umpan udang memberikan hasil tangkapan terbanyak ikan kerapu baik pada penangkapan siang dan malam hari. Hal ini disebabkan dari segi bentuk (fisik) maupun aroma (kimia) umpan udang mampu menarik perhatian kerapu dengan menggunakan organ penglihatan maupun organ penciuman. Hasil uji statistik median menunjukkan bahwa pada siang hari pengaruh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang tidak memiliki perbedaan nyata antara kelima umpan, seperti ditunjukkan dengan nilai sig. 0,834 0,05. Tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan berbagai jenis umpan dapat disebabkan oleh (1) ikan kerapu yang masuk ke dalam bubu karena ikan lebih melihat bubu sebagai tempat persembunyian, (2) sifat tigmotaxis kerapu terhadap bentuk fisik umpan yang diletakkan dalam bubu ketika berada di sekitar bubu. Demikian pula hasil uji statistik median pada malam hari menunjukkan pengaruh penggunaan umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang tidak berbeda nyata antara kelima umpan. Hasil ini ditunjukkan dengan nilai sig. 0,962 0,05. Tidak adanya perbedaan yang nyata antara kelima jenis umpan terhadap hasil

18 152 tangkapan ikan kerapu disebabkan oleh (1) rangsangan bau pada masing-masing umpan memberikan pengaruh yang sama sebagai aktraktan pada kerapu dengan menggunakan organ penciumannya, (2) waktu pemasangan bubu (soaking time) yang lebih lama pada waktu malam hari (pukul WIB) dibanding soaking time pada waktu siang hari (pukul WIB) sehingga dimungkinkan peluang yang besar dari ikan yang berada di sekitar lokasi pemasangan bubu untuk dapat masuk ke dalam bubu, (3) kerapu dikelompokkan sebagai ikan nocturnal dengan puncak aktivitas makannya pada waktu menjelang senja dan fajar (crepuscular/twilight). Waktu pemasangan umpan yang berbeda (siang dan malam hari) memberikan hasil tangkapan ikan kerapu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya ikan kerapu melakukan aktivitas makan baik pada siang hari (diurnal) maupun pada malam hari (nocturnal). Aktivitas makan yang dilakukan pada siang maupun malam hari dikategorikan ke dalam spesies twilight atau crepuscular (Potts 1990). Helfman (1993) mengemukakan bahwa crepuscular adalah periode yang terjadi pada petang hari dan senja hari. Menurut Indonesia Coral Reef Foundation (2004), bahwa ikan-ikan dari suku Sphyraenidae, Serranidae, Carangidae, Scorpaenidae, Synodontidae, Carcharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae, dan beberapa Muraenidae dikelompokkan sebagai ikan yang melakukan aktivitas di antara malam dan siang hari (crepuscular). Pada umumnya ikan-ikan yang dikategorikan sebagai kelompok crepuscular bersifat piscivores (Potts 1990). Perbedaan jenis umpan (natural bait dan artificial bait) memberikan pengaruh sebagai atraktan yang sama untuk menangkap ikan kerapu. Pengaruh yang sama tersebut disebabkan oleh proses pelarutan dari kandungan kimia masing-masing umpan di dalam air adalah sama. Artinya bahwa formulasi umpan buatan telah berdaya guna (performance) dengan umpan alami (Januma et al. 2003). Menurut Lokkeborg (1990), umpan buatan yang terbuat dari ekstrak udang mempunyai nilai pelarutan (rate release) kandungan asam amino yang sama dengan ikan mackerel sebagai umpan alami. Berdasarkan hal tersebut di atas maka umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami

19 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan Jumlah ikan kerapu yang tertangkap selama penelitian sebanyak 80 ekor terdiri atas kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebanyak 21 ekor (26,25%), kerapu karet (Ehinephelus fasciatus) sebanyak 27 ekor (33,75%), kerapu koko (Epinephelus merra) sebanyak 29 ekor (32,50%), kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) sebanyak 1 ekor (1,25%), kerapu lodi/sunu (Plectropoma leopardus) sebanyak 2 ekor (2,50%), dan kerapu lokal (Epinephelus rivulatus) sebanyak 1 ekor (1,25%). Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian disajikan pada Gambar 84. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan alami pada siang hari adalah 21,46% dan malam hari 45,83%. Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan pada siang hari adalah sebesar 13,54% dan malam hari adalah 40,63% , 26% 1.25, 1% 2.5, 3% 1.25, 1% 1.25, 1% 1.25, 1% 32.5, 33% 33.75, 34% KERAPU KOKO KERAPU KARET KERAPU MACAN KERAPU LANGA-LANGA KERAPU LUMPUR KERAPU LODI/SUNU KERAPU LADA KERAPU LOKAL Gambar 84 Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan pada siang hari didapatkan bahwa efektivitas terbaik adalah umpan ikan, yaitu sebesar 23,33% diikuti oleh umpan udang sebesar 22,29%, umpan D sebesar 20,83%, gonad bulu babi sebesar 18,75%, serta umpan B sebesar 6,25%. Pada malam hari efektivitas penangkapan ikan kerapu didapatkan nilai yang terbaik adalah umpan

20 Efektivitas penangkapan (%) 154 udang 49,17% diikuti oleh umpan ikan sebesar 44,58%, gonad bulu babi sebesar 43,75%, umpan D sebesar 39,58% serta umpan B 39,58%. Efektivitas penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan disajikan pada Gambar Ikan Udang Bulu Babi Umpan B Umpan D Jenis umpan Siang Malam Gambar 85 Efektivitas penangkapan ikan kerapu pada masing-masing umpan dengan perbedaan waktu penangkapan Nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu pada alat tangkap bubu baik pada malam hari dengan menggunakan umpan alami maupun umpan buatan lebih tinggi dibandingkan nilai efektivitas penangkapan pada siang hari. Hal tersebut disebabkan soaking time bubu pada malam hari lebih lama, yaitu dari pukul WIB sampai pukul WIB dibandingkan pada siang hari, yaitu dari pukul WIB, sehingga ikan kerapu yang dikelompokkan sebagai ikan crepuscular (puncak aktivitas makan menjelang senja dan menjelang fajar) (Gunarso 1985; Indonesian Coral Reef Foundation 2004) banyak tertangkap pada waktu tersebut. Apabila ditinjau dari penggunaan masing-masing umpan, efektivitas penangkapan ikan kerapu tertinggi pada siang hari terdapat pada umpan rucah/ikan (23,38%), diikuti umpan udang (22,29%), umpan D (20,83%), gonad bulu babi (18,75%), dan umpan B (6,25%). Pada malam hari, efektivitas penangkapan ikan kerapu tertinggi terdapat pada umpan udang (49,17%), diikuti oelh umpan rucah (44,58%), gonad bulu babi (43,74%), umpan D (41,67%), dan umpan B (39,58%). Apabila dibandingkan kelima jenis umpan, mengindikasikan bahwa umpan buatan telah memiliki efektivitas yang sama dengan umpan alami (udang dan rucah), artinya bahwa formulasi umpan buatan telah memiliki

21 155 karakteristik fungsi untuk dapat menggantikan umpan udang dan umpan rucah ditinjau dari berat hasil tangkapan ikan kerapu. Dengan kata lain bahwa umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami. 7.4 Pembahasan Pada penelitian ini, jenis ikan dari famili Pomacentridae yang paling banyak tertangkap. Menurut Adrim (1993) diacu dalam Nasution (2001), ikan dari famili ini merupakan ikan utama atau ikan mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan. Famili Pomacentridae adalah ikan omnivora yang aktif mencari makan pada siang hari atau bersifat diurnal. Hal itu terbukti dari hasil tangkapan pada siang hari dimana ikan ini lebih banyak tertangkap dibandingkan pada malam hari. Diduga ikan ini masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan dari dalam bubu. Dari hasil pengamatan secara visual langsung di dalam air setelah bubu dipasang ikan betok langsung mendekati bubu dan berkumpul di sekitar bubu. Jenis ikan famili Serranidae yang tertangkap ialah kerapu koko (Epinephelus merra), kerapu karet (Epinephelus fasciatus), dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Ikan jenis tersebut termasuk dalam golongan ikan karang yang berukuran besar. Tertangkapnya ikan kerapu ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan pada bubu dan/atau tertarik oleh ikan-ikan kecil yang ada di dalam bubu. Ikan kerapu juga menganggap bubu sebagai gugusan gua karang dan memanfaatkannya untuk tempat beristirahat dan bersembunyi menunggu mangsa yang lewat untuk melakukan pemangsaan karena ikan kerapu hidup soliter di guagua karang dan di bawah atau sela-sela gugusan karang. Hal ini terbukti dari perbandingan komposisi hasil tangkapan antara siang dan malam, famili Serranidae lebih banyak tertangkap pada waktu malam hari. Pada penangkapan ikan kerapu didapatkan bahwa hasil tangkapan malam hari (60 ekor) lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil tangkapan pada siang hari (20 ekor). Perbedaan jumlah yang cukup besar ini disebabkan karena ikan kerapu merupakan ikan aktif pada malam hari namun memiliki puncak aktivitas mencari makan pada senja dan subuh hari (Gunarso 1985; Herring et al. 1990;

22 156 Potts 1990). Pada penangkapan siang hari tertangkapnya ikan kerapu disebabkan bukan karena tertarik oleh bau umpan tapi lebih banyak terhadang ketika arus pasang surut terjadi dan menjadikan bubu sebagai tempat berlindung atau beristirahat sehingga hasil tangkapan dari setiap jenis umpan perbedaannya tidak terlalu jauh, begitu pula halnya pada hasil tangkapan umpan buatan. Tingginya hasil tangkapan ikan kerapu pada malam hari disebabkan pada waktu malam hari indera penciuman pada ikan lebih berperan dalam mencari makan dibandingkan indera penglihatannya sehingga umpan alami yang mengeluarkan bau yang kuat lebih cepat direspons oleh ikan dibandingkan pada umpan buatan. Perbedaan jenis umpan (alami dan buatan) memberikan pengaruh sebagai atraktan yang sama untuk menangkap ikan kerapu. Pengaruh yang sama tersebut disebabkan proses pelarutan kandungan kimia dari masing-masing umpan di dalam air adalah sama, artinya bahwa formulasi umpan buatan telah berdaya guna yang sama (performance) dengan umpan alami (Januma et al. 2003). Menurut Lokkeborg (1990), umpan buatan yang terbuat dari ekstrak udang mempunyai nilai pelarutan (rate release) kandungan asam amino yang sama dengan ikan mackerel sebagai umpan alami. Berdasarkan hal tersebut di atas tampak bahwa umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami 7.5 Kesimpulan Penangkapan pada waktu siang hari, efektivitas tertinggi pada umpan ikan, diikuti umpan udang, umpan D, umpan gonad bulu babi, dan umpan B. Efektivitas penangkapan tertinggi pada waktu malam hari, terdapat pada umpan udang, diikuti umpan ikan, umpan gonad bulu babi, umpan D, dan umpan B. Umpan buatan D memiliki nilai efektivitas penangkapan pada waktu siang lebih tinggi daripada umpan alami (gonad bulu babi). Hal tersebut mengindikasikan bahwa formula umpan buatan memiliki karakteristik fungsi yang relatif sama dengan umpan alami sebagai atraktan baik pada kondisi penangkapan siang hari. Dengan kata lain bahwa umpan buatan D dapat mensubstitusi umpan alami (gonad bulu babi).

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN Mochammad Riyanto 1), Ari Purbayanto 1), dan Budy Wiryawan 1) 1) Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat 33 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan 5.1.1 Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat seluruhnya sebesar 43,595 kg. Hasil tangkapan didapatkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia digolongkan menjadi dua, yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan

Lebih terperinci

Volume 4 Nomor 1, April 2011 ISSN : X. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Borneo Tarakan. Kalimantan Timur

Volume 4 Nomor 1, April 2011 ISSN : X. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Borneo Tarakan. Kalimantan Timur Volume 4 Nomor 1, April 2011 ISSN : 2087-121X 2011 Jurnal HARPODON Harpodon BORNEO Borneo Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Timur Volume 4 Nomor 1 April 2011 ISSN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

PRAKTIKUM TINGKAH LAKU IKAN

PRAKTIKUM TINGKAH LAKU IKAN PENDAHULUAN Pengetahuan tentang tingkah laku ikan merupakan cabang ilmu yang dapat diaplikasikan dalam bidang perikanan tangkap. Penerapan ilmu ini sangat terbatas dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS UMPAN BUATAN DALAM PENANGKAPAN IKAN KARANG KONSUMSI PADA BUBU DI KEPULAUAN SERIBU

EFEKTIVITAS UMPAN BUATAN DALAM PENANGKAPAN IKAN KARANG KONSUMSI PADA BUBU DI KEPULAUAN SERIBU EFEKTIVITAS UMPAN BUATAN DALAM PENANGKAPAN IKAN KARANG KONSUMSI PADA BUBU DI KEPULAUAN SERIBU BASKORO SUKOCO C44070063 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 6 TINGKAH LAKU IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 6.1 Pendahuluan Tingkah laku ikan diartikan sebagai perubahan-perubahan ikan dalam kedudukan, tempat, arah, maupun sifat lahiriah suatu makhluk hidup yang mengakibatkan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan selama periode pengamatan menunjukkan kekayaan jenis ikan karang sebesar 16 famili dengan 789 spesies. Jumlah tertinggi ditemukan

Lebih terperinci

PETA LOKASI PENANAMAN BUBU TALI

PETA LOKASI PENANAMAN BUBU TALI LAMPIRAN 58 59 Lampiran 1 Lokasi penelitian dengan letak penanaman bubu tali PETA LOKASI PENANAMAN BUBU TALI -5.69-5.7-5.71 P SEMAK DAUN LEGENDA LOKASI L 1 LOKASI L 2 LOKASI L 3 LAUT DARAT LINTANG -5.72-5.73

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Djatikusumo, EW Dinamika Populasi Ikan (Bahan Kuliah). Jakarta. Akademi Usaha Perikanan.

DAFTAR PUSTAKA. Djatikusumo, EW Dinamika Populasi Ikan (Bahan Kuliah). Jakarta. Akademi Usaha Perikanan. 39 DAFTAR PUSTAKA Baskoro M, Telussa RF, dan Purwangka F. 2006. Efektivitas Bagan Motor di Perairan Waai, Pulau Ambon. Prosiding Seminar Perikanan Tangkap. ISBN: 979-1225-00-1. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat 5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat Bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat pintu atas dengan penambahan pintu jebakan bentuk kisi-kisi merupakan desain dan konstruksi yang pertama kali dibuat. Cacing

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus)

SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20 No. 2 Edisi April 2012 Hal 167-179 SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus) Oleh: Dahri Iskandar 1*, Didin

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Prinsip dari metode ini adalah mengumpulkan ikan dalam ruang lingkup suatu alat tangkap. Dalam menarik perhatian ikan, digunakan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPANN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU MIRA NURYAWATI MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANANN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANANN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Karangsong Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Penelitian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet 114 6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 5, leadernet berwarna kuning lebih efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN BUBU YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN KARANG KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN BUBU YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN KARANG KEPULAUAN SERIBU ANALISIS HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN BUBU YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN KARANG KEPULAUAN SERIBU Bycatch Analyses of Pot Operated In Coral Reef Waters of Seribu Islands Dahri Iskandar 1 1 Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cangkol Kampung Cangkol Kelurahan Lemah Wungkuk Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon Jawa Barat. Pengambilan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kondisi bak penelitian Kondisi bak yang digunakan selama penelitian dikontrol, sehingga keadaannya mendekati habitat asli ikan kerapu macan di alam. Menurut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

ANALISIS PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN LAMA WAKTU PERENDAMAN PADA ALAT TANGKAP BUBU TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DI PERAIRAN SURADADI TEGAL

ANALISIS PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN LAMA WAKTU PERENDAMAN PADA ALAT TANGKAP BUBU TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DI PERAIRAN SURADADI TEGAL ANALISIS PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN LAMA WAKTU PERENDAMAN PADA ALAT TANGKAP BUBU TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DI PERAIRAN SURADADI TEGAL Rizqi Laily Catur Putri *), Aristi Dian Purnama Fitri, dan Taufik

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Sarana, Bahan dan Alat Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Sarana, Bahan dan Alat Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama enam bulan dari bulan September 2009 sampai Pebruari 2010. Penelitian ini dilakukan pada dua tempat, untuk respons tingkah laku

Lebih terperinci

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk wilayah di Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM Deka Berkah Sejati SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Fishing target behavior against traps design

Fishing target behavior against traps design Fishing target behavior against traps design By. Ledhyane Ika Harlyan Dept. of Fisheries and Marine Resources Management Fisheries Faculty, Brawijaya University Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN

WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN (Mud Crab Fishing Time in Lontar Water Serang Regency Banten) Ririn Irnawati 1), Adi Susanto 1), Siti Lulu Ayu

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo Dalam pengoperasiannya, bagan rambo menggunakan cahaya untuk menarik dan mengumpulkan ikan pada catchable area. Penggunaan cahaya buatan yang berkapasitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dengan pengumpulan data di lapangan sejak tanggal 16 Agustus 2011 hingga 31 September 2011 di Desa Kertajaya, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Penelitian

Lebih terperinci

5 UMPAN 5.1 Pendahuluan

5 UMPAN 5.1 Pendahuluan 5 UMPAN 5.1 Pendahuluan Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangannya (Sadhori 1985).

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

KARUNG GONI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI TERUMBU KARANG DALAM PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS, KEPULAUAN SERIBU

KARUNG GONI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI TERUMBU KARANG DALAM PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS, KEPULAUAN SERIBU KARUNG GONI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI TERUMBU KARANG DALAM PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS, KEPULAUAN SERIBU R. NUGROHO BAYU SANTOSO MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN

Lebih terperinci

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara.

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Arah dan Kecepatan Angin Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian tentang rancang bangun bubu lobster modifikasi dan penggunaan umpan alternatif untuk penangkapan lobster dilakukan berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN Hadiah Witarani Puspa 1), T. Ersti Yulika Sari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : hadiahwpuspa@gmail.com

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.

Lebih terperinci

4 OTAK IKAN KERAPU 4.1 Pendahuluan

4 OTAK IKAN KERAPU 4.1 Pendahuluan 4 OTAK IKAN KERAPU 4.1 Pendahuluan Pemahaman tentang otak ikan akan membantu dalam mempelajari adaptasi tingkah laku ikan karena berhubungan erat dengan indera-indera dan sistem hormonal yang terdapat

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang sangat mempengaruhi, seperti arus pasang dan arus surut.

Lebih terperinci

PERBEDAAN UMPAN DAN KEDALAMAN PERAIRAN PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN BETAHWALANG, DEMAK

PERBEDAAN UMPAN DAN KEDALAMAN PERAIRAN PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN BETAHWALANG, DEMAK PERBEDAAN UMPAN DAN KEDALAMAN PERAIRAN PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN BETAHWALANG, DEMAK Nadia Adlina, Aristi Dian Purnama Fitri *), Taufik Yulianto

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 25 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perairan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, yang merupakan salah satu daerah penghasil

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang hidup plantonik, merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peletakan Terumbu Buatan Proses awal dalam penelitian ini adalah peletakan terumbu buatan yang terbuat dari tempurung kelapa di daerah yang memiliki karakteristik yang cocok

Lebih terperinci

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya H. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bagan apung Bagan adalah alat tangkap yang menggunakan cahaya sebagai alat untuk menarik dan mengumpulkan ikan di daerah cakupan alat tangkap, sehingga memudahkan dalam proses

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda

Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap (4): 14-18, Desember 16 ISSN 337-436 Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda The Comparison Catch of Swimming

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

PENGGUNAAN JENIS DAN BOBOT UMPAN YANG BERBEDA PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU

PENGGUNAAN JENIS DAN BOBOT UMPAN YANG BERBEDA PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Juni 2013 Vol. 2 No.1 Hal : 55-61 ISSN 2302-6308 Available online at: http://umbidharma.org/jipp PENGGUNAAN JENIS DAN BOBOT UMPAN YANG BERBEDA PADA BUBU LIPAT KEPITING

Lebih terperinci

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI

RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI RESPONS PENGLIHATAN DAN PENCIUMAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN TERKAIT DENGAN EFEKTIVITAS PENANGKAPAN ARISTI DIAN PURNAMA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar 21 3METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada tanggal 15 September 11 Desember 2010 ini bertempat di TPI Palabuhanratu. Sukabumi Jawa Barat. Kegiatan penelitian meliputi eksperimen langsung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o 55 30-6 o 07 00 Lintang Selatan dan 106 o 42 30-106 o 59 30 Bujur Timur. Batasan di sebelah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Sumber Data

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Sumber Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian pengaruh periode hari bulan terhadap hasil tangkapan dan tingkat pendapatan nelayan bagan tancap dilakukan selama delapan bulan dari bulan Mei 2009 hingga Desember

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA

Jurnal KELAUTAN, Volume 2, No.1 April 2009 ISSN : LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA LIMBAH IKAN SEBAGAI ALTERNATIF UMPAN BUATAN UNTUK ALAT TANGKAP PANCING TONDA Indah Wahyuni Abida Firman Farid Muhsoni Aries Dwi Siswanto Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo E-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI

PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI Evi Nurul Ihsan, Estradivari, Amkieltiela, La Hamid, Mulyadi, Purwanto, Dedi Parenden

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 cahaya Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. cahaya dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS UMPAN DAN UKURAN MATA PANCING ALAT TANGKAP RAWAI DASAR TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp) DI PERAIRAN PASIR, KEBUMEN

HUBUNGAN JENIS UMPAN DAN UKURAN MATA PANCING ALAT TANGKAP RAWAI DASAR TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp) DI PERAIRAN PASIR, KEBUMEN HUBUNGAN JENIS UMPAN DAN UKURAN MATA PANCING ALAT TANGKAP RAWAI DASAR TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN KAKAP (Lutjanus sp) DI PERAIRAN PASIR, KEBUMEN The Relationship Between Bait Type Hook Size and Catch

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

UJI COBA PROGRAM STUDI

UJI COBA PROGRAM STUDI UJI COBA TUTUPAN IJUK DAN GONI PADAA PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ARI NADO SYAHRUR RAMADAN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENGARUH PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN LAMA PERENDAMAN BUBU TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER (Panulirus sp.) DI PERAIRAN ARGOPENI KABUPATEN KEBUMEN

PENGARUH PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN LAMA PERENDAMAN BUBU TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER (Panulirus sp.) DI PERAIRAN ARGOPENI KABUPATEN KEBUMEN PENGARUH PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN LAMA PERENDAMAN BUBU TERHADAP HASIL TANGKAPAN LOBSTER (Panulirus sp.) DI PERAIRAN ARGOPENI KABUPATEN KEBUMEN The Effect of Differences of Using Bait and Soaking Time

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci