PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU"

Transkripsi

1 PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPANN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU MIRA NURYAWATI MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANANN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANANN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 20111

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2011 Mira Nuryawati

3 Hak cipta IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

4 ABSTRAK MIRA NURYAWATI, C Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan MOCHAMMAD RIYANTO. Bubu tali merupakan alat tangkap yang dioperasikan tanpa mengganggu atau merusak terumbu karang. Pengoperasian bubu tali memerlukan umpan sebagai atraktan. Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan kombinasi umpan buatan diantaranya campuran arginin dan leusin (umpan buatan A) serta minyak ikan dan tepung ikan (umpan buatan B). Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis hasil tangkapan bubu tali, menganalisis pengaruh umpan buatan terhadap hasil tangkapan bubu tali dan menentukan jenis umpan buatan yang efektif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental di lapangan dengan menggunakan bubu sebanyak 12 unit dengan masing-masing 3 buah diberi perlakuan yaitu tanpa umpan, umpan alami, umpan buatan A, dan umpan buatan B. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan komposisi hasil tangkapan bubu tali terdiri dari 30 spesies yang digolongkan menjadi 15 famili. Famili terbanyak tertangkap diantaranya adalah Nemipteridae (63,65%), Mulidae (7,31%), Labridae (4,04%), dan Lutjanidae (3,65%). Jumlah hasil tangkapan terbanyak terdapat pada bubu tali yang diberi umpan buatan B (41%) yaitu sebanyak 213 ekor. Uji statistik menunjukkan bahwa umpan buatan A dan umpan buatan B memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil tangkapan. Efektivitas penangkapan berdasarkan hasil tangkapan utama pada bubu tali dengan umpan buatan A dan umpan buatan B memiliki nilai efektivitas tertinggi (100%). Efektivitas penangkapan untuk famili Nemipteridae pada bubu tali diberi umpan buatan A memiliki nilai efektivitas yang cukup tinggi yaitu 63,33% dan pada umpan buatan B sebesar 70%. Efektivitas penangkapan untuk famili Serranidae, Lutjanidae dan Labridae pada semua perlakuan bubu dengan umpan mendapatkan nilai efektivitas yang rendah (< 50%). Kata kunci : bubu tali, perairan Kepulauan Seribu, umpan alami, umpan buatan A, umpan buatan B

5 PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU MIRA NURYAWATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 Judul Skripsi Nama NRP Mayor : Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu : Mira Nuryawati : C : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Mochammad Riyanto, S.Pi, M.Si. NIP: NIP: Diketahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: Tanggal lulus : 17 Juni 2011

7 KATA PENGANTAR Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil tangkapan bubu tali, menganalisis pengaruh umpan terhadap hasil tangkapan bubu tali di Kepulauan Seribu, dan menentukan jenis umpan yang efektif dalam pengoperasian bubu tali di Kepulauan Seribu. Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pengoperasian bubu tali sehingga terwujudnya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesarbesarnya kepada : 1. Prof.Dr.Ir Ari Purbayanto, M.Sc dan Mochammad Riyanto,S.Pi, M.Si sebagai komisi pembimbing atas saran dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini: 2. Ir. Ronny Irawan Wahyu, M.Phil selaku dosen penguji tamu; 3. Dr.Ir. Mohammad Imron, M.Si selaku komisi pendidikan Departemen PSP; 4. Keluarga Bapak Jayadi dan Bapak Asep atas bantuan dan dukungan selama penelitian di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu; 5. Keluargaku Bapak Suganda dan Ibu Ade serta kakakku Sandi, Rani dan Seni 6. Donny, Baskoro, Danang, Nova, Keristina, kak Didin, dan Satria yang telah banyak membantu dan mendukung selama penelitian dan penyusunan skripsi; 7. Seluruh dosen dan staf Departemen PSP yang telah memberikan arahan dan dukungan hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini; dan 8. Rekan-rekan PSP 44 (Ade, Dudi, Reza, Ryan, Dede, Ibay, Baginda, Muklis, Leo, Willy, Wawan, Fadli, Anton, Haidir, Ndalu, Rusak, Sudi, Khaerul, Nado, Pram, Rois, Diki, Nooke, Daya, Fani, Vera, Via, Eneng, Lili, Nela, Wulan, Siro, Tri, Hana) dan adik-adik angkatan 45,46 untuk dukungan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca Bogor, 17 Juni 2011 Mira Nuryawati

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Januari 1989 di Bandung, dari pasangan Bapak Suganda dan Ibu Ade Santiawati. Penulis adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal di SMA Negeri 12 Bandung pada tahun 2007, pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah satu mahasiswi pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Alat penangkapan Ikan (TAPI) pada tahun ajaran 2009/ /2011. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai organisasi diantaranya anggota KOPMA IPB (Koperasi Mahasiswa) periode 2007/2008, anggota KP2K BEM FPIK IPB periode 2008/2009, Staf Departemen Kewirausahaan HIMAFARIN periode 2008/2009, dan Ketua Departemen Kewirausahaan HIMAFARIN periode 2009/2010. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Pengaruh Jenis Umpan Buatan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali di Perairan Kepulauan Seribu dan dinyatakan lulus dalam sidang sarjana pada tanggal 17 Juni 2011.

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR... Halaman 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Ikan Karang Habitat Ikan Karang Unit Penangkapan Ikan Alat tangkap bubu Nelayan Armada penangkapan Umpan Jenis umpan Ukuran dan bobot umpan Posisi pemasangan umpan Hasil Tangkapan Bubu Metode Pengoperasian Bubu Musim Penangkapan Daerah Penangkapan Ikan Efektivitas Penangkapan METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Metode Pengambilan Data Metode Pengoperasian Bubu Tali Analisis Data Hasil tangkapan bubu tali Pengaruh perbedaan umpan Efektivitas penangkapan ikan dengan berbagai umpan KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Geografis dan Perairan Musim Unit Penangkapan Ikan Alat penangkapan ikan Armada penangkapan Nelayan Produksi Ikan iii iv v i

10 4.5 Daerah Penangkapan Ikan HASIL PENELITIAN Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Proporsi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu tali Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali Pengaruh perbedaan jenis umpan terhadap hasil Tangkapan bubu tali Jumlah hasil tangkapan pada bubu tali diberi umpan alami Jumlah hasil tangkapan pada bubu tali diberi umpan buatan A Jumlah hasil tangkapan pada bubu tali diberi umpan buatan B Efektivitas Penangkapan Ikan Pada Bubu Tali PEMBAHASAN Komposisi Hasil Tangkapan Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali Efektivitas Penangkapan Ikan Karang Konsumsi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Alat dan sarana yang digunakan selama penelitian Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian Komposisi kimia umpan buatan A (berat total umpan 8 gr) Komposisi umpan buatan dari bahan alami Perhitungan efektivitas tangkapan dengan berbagai jenis umpan Pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Jenis alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun Data armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun Data nelayan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun Data produksi perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun Proporsi hasil tangkapan utama dan sampingan pada bubu tali iii

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kontruksi bubu tali Proses pembuatan umpan buatan B Proses pemasangan umpan Proses pengangkatan bubu Komposisi jumlah hasil tangkapan total Komposisi berat hasil tangkapan total Perbandingan hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu tali Perbandingan hasil tangkapan total setiap perlakuan Komposisi hasil tangkapan bubu tali diberi umpan alami Komposisi hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan A Komposisi hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan B Perbandingan efektivitas penangkapan seluruhnya tiap perlakuan Perbandingan nilai efektivitas ikan ekonomis penting terhadap tiap perlakuan iv

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi penelitian dengan letak penanaman bubu tali Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian Hasil tangkapan selama penelitian Gambar hasil tangkapan Jenis dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap lokasi penangkapan setiap trip Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali seluruhnya Jumlah dan persentase spesies total hasil tangkapan berdasarkan ke empat perlakuan Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali tanpa umpan 93 9 Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan alami Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan A Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan B Efektivitas setiap famili berdasarkan keempat perlakuan Hasil Perhitungan Kolmogorov-Smirnov menggunakan SPSS Hasil uji statistik menggunakan perhitungan Kruskal Wallis menggunakan SPSS Hasil perhitungan uji Dunn v

14 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, salah satunya adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari km 2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters 1994 diacu dalam Suharsono 1998). Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah di Jakarta yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati laut. Hampir seluruh daerahnya dikelilingi oleh perairan karang yang kaya akan berbagai jenis ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan menjadi sumber utama kehidupan sebagian besar masyarakatnya. Pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu yang terus meningkat tiap tahun berimplikasi pada penurunan produksi ikan karang. Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu sebanyak 30 persen rusak, hal ini berkontribusi terhadap penurunan produksi ikan (Anonim 2011). Nelayan Kepulauan Seribu menangkap ikan menggunakan jaring payang, jaring insang dasar, jaring gebur (gillnet), bubu kecil, dan muroami (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2010). Penangkapan ikan sekitar karang banyak menggunakan bubu. Bubu (pots) merupakan salah satu perangkap yang bersifat pasif menunggu ikan yang masuk dan terperangkap sehingga cocok dioperasikan di perairan karang. Hasil tangkapan bubu dalam keadaan hidup dengan tingkat kerusakan ikan yang rendah, sehingga memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Bubu yang banyak digunakan di Kepulauan Seribu antara lain bubu tambun, bubu tali, dan bubu lempar (Pramono 2006). Setiap bubu mempunyai karakteristik dan pengoperasian yang berbeda-beda. Pengoperasian bubu tambun dapat dikatakan tidak ramah lingkungan karena dalam proses pengoperasiannya banyak menggunakan karang-karang hidup sebagai penutup. Bubu tali umumnya dioperasikan di perairan karang dalam, tanpa perlu ditutup oleh karang sehingga

15 2 pengoperasian bubu ini tidak mengganggu karang hidup (Pramono 2006; Riyanto 2008). Umpan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing (Subani dan Barus 1989). Pengoperasian bubu kerap kali dibantu dengan umpan. Adanya umpan pada bubu dapat mengoptimalkan hasil tangkapan bubu sehingga sesuai dengan target tangkapan. Umpan digunakan dalam pengoperasian bubu berfungsi sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu (Riyanto 2008). Umpan dapat dikelompokan menjadi umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait). Umpan yang biasa dipakai oleh nelayan Kepulauan Seribu yaitu bulu babi dan ikan rucah (umpan alami). Penggunaan umpan alami secara terus menerus akan menyebabkan berkurangnya sumberdaya dan kelestariannya terancam. Penelitian terkait dengan penggunaan umpan pada bubu yang telah dilakukan diantaranya adalah pengaruh penggunaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang pada bubu (trap) (Mawardi 2001), seleksi umpan bubu untuk meningkatkan hasil tangkapan keong macan di perairan Teluk Jakarta (Maulana 2003), perbandingan hasil tangkapan rajungan pada bubu lipat dengan menggunakan umpan yang berbeda (Ramdani 2007), efektivitas penangkapan ikan karang konsumsi menggunakan bubu dengan umpan yang berbeda di Kepulauan Seribu (Nugraha 2008), respons penciuman ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap umpan buatan (Riyanto 2008), respons penglihatan dan penciuman ikan kerapu terhadap umpan dalam efektivitas penangkapan (Fitri 2008). Berdasarkan pada hal tersebut di atas penelitian tentang penggunaan umpan buatan pada bubu tali belum dilakukan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian penggunaan jenis umpan buatan pada pengoperasian bubu tali di Kepulauan Seribu.

16 3 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menganalisis hasil tangkapan bubu tali. 2) Menganalisis pengaruh umpan buatan terhadap hasil tangkapan bubu tali di Kepulauan Seribu. 3) Menentukan jenis umpan buatan yang efektif dalam pengoperasian bubu tali di Kepulauan Seribu. 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi nelayan mengenai penggunaan umpan buatan (artificial bait) untuk meningkatkan efektivitas pengoperasian bubu tali. Memberikan informasi jenis jenis sumberdaya ikan hasil tangkapan bubu tali dan informasi bagaimana bubu tali dioperasikan.

17 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah terumbu karang maka dapat terlihat bahwa ikan ini merupakan penyokong hubungan yang ada di ekosistem terumbu (Nybakken 1992). Metode pengelompokan ikan karang berdasarkan pada peranannya dalam ekosistem, yakni sebagai berikut (Anonim 2004): (1) Ikan target Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti: Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae (Chelinus, Himigymnus, Choerodon), dan Haemulidae; (2) Ikan indikator Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan famili Chaetodontidae (Kepekepe); dan (3) Ikan lain (mayor family) Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae, dan lain-lain). 2.2 Habitat Ikan Karang Terumbu karang memiliki variasi habitat yang mempunyai komunitas berbeda (Sondita dan Bachtiar 2002). Berbagai variasi habitat yang ada pada terumbu karang adalah : (1) Rataan terumbu (reef flat) (2) Tubir (reef slope) (3) Goba (lagoon) (4) Gudus (reef cest) Tipe terumbu karang berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan dibagi ke dalam tiga klasifikasi tipe

18 5 yang sampai sekarang masih secara luas digunakan. Tipe terumbu karang tersebut adalah: (1) Terumbu karang tepi (Fringing reefs) Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas persisir pantai sari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah vertikal. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang tepi adalah Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), dan Nusa Dua (Bali). (2) Terumbu karang penghalang (barrier reefs) Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan kedalaman hingga 75 meter. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang penghalang adalah Great Barrier Reef (Australia), Spermonde (Sulawesi Selatan), Bangan Kepulauan (Sulawesi Tengah). (3) Terumbu karang cincin (atolls) Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas-batas dari pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe terumbu karang cincin adalah Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pualu Dana (NTT), Mapia (Papua). Namun demikian, tidak semua terumbu karang yang ada di Indonesia bisa digolongkan ke dalam salah satu dari ketiga tipe di atas. Dengan demikian ada satu tipe terumbu karang lagi yaitu : (4) Terumbu karang datar/gosong terumbu (patch reefs) Gosong terumbu terkadang disebut juga sebagai pualu datar. Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan

19 6 berkembang secara horizontal dan vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Beberapa perairan karang yang memiliki terumbu karang tipe gosong karang adalah Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh). 2.3 Unit Penangkapan Ikan Alat tangkap bubu Menurut Brandt (1984), traps adalah salah satu alat tangkap menetap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada paksaan tetapi sulit keluar atau meloloskan diri karena dihalangi dengan berbagai cara. Ditambahkan oleh Sainsburry (1982) bahwa pada dasarnya traps bersifat statis pada saat dioperasikan, sehingga efektivitas alat tergantung dari gerakan alat renang ikan. Penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan dengan alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap dimaksudkan sebagai tempat berlindung. Kontruksi alat dibuat sedemikian rupa, sehingga ikan yang telah masuk ke dalamnya tidak dapat melarikan diri (Gunarso 1988). Slack dan Smith (2001) membedakan terminologi antara perangkap (trap) dengan bubu (pot). Perangkap merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan menetap, yang memudahkan ikan untuk masuk dan sulit untuk keluar. Pada beberapa konstruksi perangkap, terdapat bagian yang berfungsi mengarahkan ikan agar masuk ke dalam perangkap. Perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindah-pindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar. Beberapa macam perangkap diantaranya adalah sero, barrier atau penghadang yang terbuat dari tumpukan batu, fyke, dan lain-lain. Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap bubu. Slack dan Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari: (1) Rangka Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat

20 7 dari papan atau kayu (Brandt 1984). Di Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang terbuat dari bambu dan besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya terbuat dari bambu (Susanti 2005). (2) Badan Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat, ketersediaan material, dan biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu. (3) Mulut Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. (4) Tempat umpan Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan yang dicacah biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik, sedangkan umpan yang tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang. (5) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan (6) Pemberat Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang, sehingga posisi bubu tidak berpindah-pindah dari tempat setting semula. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis-jenis batuan lainnya. Pemasangan pemberat juga berfungsi untuk memastikan bubu mendarat di dasar perairan secara benar.

21 8 Pemasangannya didasarkan atas pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ataupun yang berhubungan erat dengan ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso 1985). Menurut Martasuganda (2003), ada beberapa alasan utama pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan, yaitu: (1) Adanya larangan pengoperasian alat tangkap selain bubu; (2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung alat tangkap lain untuk dioperasikan; (3) Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan; (4) Biaya pembuatan alat tangkap bubu murah; (5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu tergolong mudah; (6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup; (7) Kualitas hasil tangkapan baik; (8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan lainnya. Menurut Tiku (2004), ada beberapa alasan ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam bubu, yaitu: (1) Sifat dasar ikan atau hewan laut lainnya yang selalu mencari tempat untuk berlindung; (2) Ikan atau hewan laut lainnya masuk karena tertarik oleh umpan yang berada di dalam perangkap; (3) Ikan terkejut karena ditakuti sehingga mencari tempat berlindung; dan Ikan masuk karena digiring oleh nelayan. Ciri khas bubu adalah mempunyai satu atau lebih catching chambers dan apabila ikan atau hewan laut lainnya sudah masuk, maka sukar bagi hewan tersebut untuk keluar. Jadi pada dasarnya alat ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mencegah atau mempersulit hewan tersebut untuk keluar (Tiku 2004). Letak dan bentuk mulut bubu disesuaikan dengan tingkah laku dan habitat ikan yang menjadi target hasil tangkapan. Sainsbury (1996) menambahkan bahwa menurut metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai.

22 9 (1) Sistem tunggal Pada pengoperasian bubu dengan sistem tunggal, bubu dipasang satu per satu serta tidak hanyut di dasar perairan. Agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan, maka bubu tersebut biasanya diberi pemberat. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali. Menurut Martasuganda (2003), salah satu bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu pintur. Bubu ini dioperasikan di daerah pantai dengan target hasil tangkapan berupa kepiting dan udang. Susanti (2005) menambahkan selain bubu pintur, bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu tambun. Adapun target hasil tangkapan bubu tambun adalah ikan karang. (2) Sistem rawai Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Selanjutnya bubu yang diikat pada tali utama diturunkan ke dalam perairan. Setelah seluruh bubu selesai diturunkan, lalu diikuti dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir. Contoh bubu yang dipasang dengan sistem rawai adalah bubu rajungan (Prakoso 2005). Martasuganda (2003) menambahkan bahwa bubu paralon adalah salah satu jenis bubu yang dipasang dengan sistem rawai. Bubu ini dibuat dari paralon dengan diameter antara cm dan panjang antara 60-80cm Nelayan Menurut UU No 45 tahun 2009, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan kecil adalah orang bermata pecaharian sebagai penangkap ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1997), nelayan dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

23 10 (1) Nelayan penuh Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya. (2) Nelayan sambilan utama Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya. (3) Nelayan sambilan tambahan Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya. Dalam operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu, jumlah nelayan yang mengoperasikannya berbervariasi, sesuai dengan jenis bubu yang dioperasikan dan tingkat kesulitannya (Martasuganda 2003). Adapun untuk bubu tambun, pada umumnya bubu ini hanya dioperasikan oleh 1 orang nelayan (Susanti 2005; Pramono 2006; Riyanto 2008) Armada penangkapan Kapal merupakan alat yang berfungsi untuk membawa nelayan dan alat tangkap menuju fishing ground dan selanjutnya membawa nelayan, alat tangkap (jika dibawa kembali pulang), dan hasil tangkapan kembali menuju fishing base. Dalam perikanan bubu pada umumnya nelayan banyak yang menggunakan kapal kayu, namun ada pula yang menggunakan kapal dari bahan fiber. Besar kecilnya kapal yang digunakan tergantung alat tangkap dan daerah penangkapan ikannya. Kapal yang digunakan oleh nelayan bubu yang mengoperasikan bubu di daerah pantai biasanya memiliki panjang antara 5 6 m. Kapal ini hanya menggunakan mesin tempel. Sedangkan untuk kapal yang digunakan oleh bubu yang dioperasikan di lepas pantai pada umumnya berukuran lebih besar. Kapal ini memiliki panjang antara m (Sainsbury 1996). Kapal atau perahu memiliki arti penting dalam operasi penangkapan. Perahu digunakan nelayan untuk mencapai daerah penangkapan yang dituju. Menurut UU No 45 tahun 2009 kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang

24 11 digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Slack dan Smith (2001) menjelaskan bahwa ukuran kapal yang dibutuhkan dalam operasi penangkapan ikan tergantung dengan jenis dan ukuran bubu yang digunakan, kondisi perairan, jarak menuju daerah penangkapan ikan, dan jumlah nelayan. Kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu kawat atau bubu bambu di Pulau Sebesi adalah kapal kayu berdimensi LOA 7-9 m, lebar 0,5-1 m, dan tinggi (depth) 0,5-0,7 m. Kapal bubu ini menggunakan mesin motor tempel berkekuatan 5,5 PK (Adianto 2007). Menurut Pramono (2006) kapal yang digunakan oleh nelayan Pulau Panggang umumnya berukuran 5 GT. Jenis perahu ini umumnya mengunakan mesin inboard. Dimensi kapal tersebut mempunyai panjang total (LOA) 6-9 m, lebar 1,2-1,6 m, tinggi (depth) 0,6-1 m, dan tinggi (draft) 0,5-0,7 m. Mesin yang digunakan umumnya mesin diesel dengan kekuatan 5, 8, dan 13 PK. Kapal yang digunakan umumnya terbuat dari kayu mentruk, damar, dan meranti. 2.4 Umpan Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu pada proses penangkapan ikan. Umpan merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan, baik masalah jenis umpan, sifat, dan cara pemasangan (Sadhori 1985). Menurut pendapat Hansen dan Reutter (2004) bahwa ikan predator (buas) yang memakan makanan yang tidak hidup (umpan) menggunakan sistem penciuman mereka untuk dapat merangsang makan dan dapat membedakan stimuli asam amino. Menurut Yudha (2006), Penggunaan alat bantu penangkapan, seperti umpan (bait), pada bubu dasar atau bubu karang merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efektivitas penangkapan dan sekaligus dapat mencegah masalah kerusakan terumbu karang. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu perangsang yang mampu memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan efektivitas alat tangkap.

25 12 Menurut Djatikusumo (1975) diacu dalam Riyanto (2008), umpan yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Tahan lama (tidak cepat busuk); (2) Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan; (3) Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang; (4) Harga terjangkau; (5) Mempunyai ukuran memadai; dan (6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan Jenis umpan Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait). Menurut penggunaannya, umpan dibedakan sebagai umpan yang dipasang pada alat tangkap dan umpan yang tidak dipasang pada alat tangkap. Adapun menurut sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983) Ukuran dan bobot umpan Ukuran dan bobot umpan mempengaruhi hasil tangkapan. Karena menurut Gunarso (1985), indera penglihatan dan penciuman ikan merupakan indera yang digunakan dalam aktivitas keseharian ikan. Salah satunya adalah aktivitas makan. Semakin besar ukuran bobot umpan, maka akan semakin mudah terlihat oleh ikan dan semakin banyak bau yang dilepaskan oleh umpan. Sehingga ikan akan mudah untuk menemukan umpan tersebut. Umpan yang padat seperti ikan utuh, tulang hewan, biasanya diletakkan secara langsung pada bagian dalam bubu Posisi pemasangan umpan Letak dan posisi pemasangan umpan sangat berpengaruh dalam keberhasilan penangkapan. Umpan harus diletakan pada posisi yang strategis sehingga membuat ikan masuk untuk memakan umpan tersebut. Posisi umpan yang dipasang pada bubu sebaiknya mempermudah ikan untuk menemukan pintu masuk. Posisi pemasangan umpan yang tepat tergantung dari tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan (Slack dan Smith 2001).

26 Hasil Tangkapan Bubu Jenis ikan yang menjadi hasil tangkapan bubu tergantung dari lokasi bubu itu dioperasikan. Menurut Riyanto (2008), hasil tangkapan dengan bubu tambun terdiri dari ikan kerapu (famili Serrenidae), kakatua (Scaridae), betok (Pomacentidae), serak (Nemipteridae), nori (Labridae), dan jenis ikan lainnya. Tiyoso (1979) dalam Risamasu (2008) menyatakan bahwa fluktuasi hasil tangkapan bubu dapat terjadi karena beberapa alasan seperti : (1) Migrasi perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; (2) Keragaman ukuran ikan dalam populasi; (3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangakap ini bersifat pasif dan menetap. Menurut Risamasu (2008) hasil tangakapan bubu dasar berupa ikan karang terutama family Pomacentridae, Chaeetodontidae, Siganidae, Serranidae, Scaridae, Achanthuridae, Lutjanidae, Labridae, dan jenis lainnya. 2.6 Metode Pengoperasian Bubu Pengoperasian bubu dapat dilakukan secara tunggal (single trap) maupun dengan sistem rawai (longline trap). Pemasangan bubu dengan sistem tunggal biasanya digunakan untuk menangkap ikan karang maupun bubu yang dioperasikan perairan sekitar hutan-hutan bakau untuk menangkap kepiting bakau. Hal ini karena lokasi penangkapan yang tidak memungkinkan pemasangan bubu dengan sistem rawai. Pemasangan bubu dengan sistem rawai (longline trap) sering digunakan pada penangkapan rajungan. Menurut Pramono (2006) dan Riyanto (2008), metode pengoperasian bubu tambun adalah sebagai berikut: (1) Persiapan Tahap persiapan dilakukan sebelum menuju daerah peletakan bubu. Tahap ini meliputi persiapan perbekalan, persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu penangkapan, dan persiapan perahu. Persiapan alat tangkap meliputi persiapan bubu dan rautan bambu untuk perbaikan bubu jika ada bubu yang rusak. Alat bantu penangkapan yang disiapkan berupa kaca mata selam, ganco, dan ember. Jika semua persiapan sudah selesai dilakukan, maka selanjutnya pergi ke fishing ground.

27 14 (2) Pemasangan bubu (setting) Pemasangan bubu dilakukan dengan cara ditimbun menggunakan batu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Penambunan akan dihentikan jika bubu telah tertutupi oleh karang. Tahap akhir dari pemasangan bubu adalah pembuatan jalan ikan pada daerah sekitar mulut bubu. (3) Perendaman bubu (soaking) Perendaman bubu dilakukan kurang lebih selama 24 jam. (4) Pengangkatan bubu (hauling) Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Pengangkatan bubu dibantu dengan alat ganco untuk memudahkan pada proses pengangkatan. Seletah diangkat, selanjutnya pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Metode pengoperasian bubu menurut FAO (1968) meliputi : (1) Rigging atau tali-temali berupa pemasangan tali-temali terutama tali pelampung tanda; (2) Baiting atau pemasangan umpan; (3) Setting atau pemasangan bubu, keberhasilan penangkapan ikan sangat bergantung pada lokasi penempatan bubu dan posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan; (4) Soaking time atau lama perendaman bergantung pada tingkah laku dari ikan sasaran penangkapan dan daya tahan umpan. Pada saat ikan sangat aktif mencari makan, lama perendaman hanya membutuhkan beberapa menit; (5) Hauling atau pengangkatan dilakukan secara manual maupun dengan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu diangkat, hasil tangkapan dipindahkan di palkah atau keranjang yang telah disiapkan sebelumnya; 2.7 Musim Penangkapan Musim penangkapan suatu alat tangkap disetiap daerah bermacam-macam. Biasanya nelayan mengoperasikan alat tangkap tergantung dari keberadaan ikan yang menjadi target tangkapan setiap musimnya. Hal ini biasa dilakukan untuk alat tangkap yang menangkap ikan secara spesifik. Namun, karena Indonesia memiliki jenis ikan yang multispesies, maka sebagian besar alat tangkap dioperasikan sepanjang tahun. Menurut LONLIPI (1977) diacu dalam Mawardi

28 15 (2001), di perairan Indonesia khususnya Kepulauan Seribu kegiatan penangkapan dipengaruhi oleh 3 musim, yaitu: (1) Musim Barat Musim ini terjadi pada bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Keadaan angin bervariasi dari arah Barat Daya sampai Barat Laut dengan kecepatan 720 knot. Dalam periode bulan Desember sampai Februari sering terjadi angin kencang dengan kecepatan lebih dari 20 knot, gelombang besar dan arus kuat, sehingga dalam bulan ini kegiatan nelayan nyaris terhenti. Keadaan alam yang buruk inilah salah satu penyebab hasil ikan laut pada akhir maupun awal tahun menurun. Alat tangkap yang memberikan hasil terbaik pada musim ini adalah payang, gill net, dan bagan. (2) Musim Timur Musim ini terjadi pada bulan Juni hingga September, angin bervariasi dari arah Timur Laut sampai Tenggara dengan kecepatan 715 knot. Keadaan ombak relatif sedang, sehingga semua alat penangkapan dapat bekerja dengan hasil tangkap cukup baik. Alat tangkap yang hasil tangkapannya baik adalah payang, gill net, muroami, bagan, dan bubu. (3) Musim Pancaroba Musim ini terjadi pada bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Arah angin umumnya bervariasi dengan kecepatan lemah. Semua alat penangkapan dapat bekerja aktif dengan hasil cukup bagus, terutama alat tangkap gill net, muroami, payang, bagan, bubu, dan hand line. 2.8 Daerah Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat tangkap dapat dioperasikan (Djatikusumo 1975 diacu dalam Risamasu 2008). Penentuan daerah penangkapan untuk pengoperasian bubu tidak begitu rumit dan sedikit dipengaruhi oleh faktor oseanografi, hal terpenting dalam menentukan daerah penangkapan adalah keberadaan ikan dasar, kepiting, atau udang sebelum operasi penangkapan dilakukan (Martasuganda 2003). Menurut Sadhori (1985) ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan daerah penangkapan ikan, yaitu: (1) Adanya ikan hasil tangkapan;

29 16 (2) Ikan tersebut dapat ditangkap; (3) Penangkapan dapat dilakukan secara kesinambungan; dan (4) Hasil tangkapan menguntungkan. 2.9 Efektivitas Penangkapan Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Suatu alat tangkap dapat dikatakan memiliki efektivitas tinggi jika alat tersebut dapat menangkap ikan yang sesuai dengan target operasi. Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Nilai efektivitas alat tangkap dapat dikatagorikan tiga, yaitu; apabila nilainya kurang dari 50 % dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50%- 80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 80%-100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006). Efisiensi metode penangkapan erat hubungannya dengan kemampuan alat tangkap tersebut untuk menangkap ikan dalam jumlah besar. Cara penangkapan yang efisien akan sangat tergantung pada pengetahuan akan tingkah laku ikan yang menjadi sasaran penangkapan. Respon ikan karang terhadap alat tangkap yang pasif dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya ikan tertarik pada bentuk maupun warna bubu, sehingga ikan mendekati dan akhirnya tertangkap didalamnya. Secara tidak langsung ikan tertarik dengan adanya umpan di dalam bubu (Mawardi 2001).

30 17 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanaan selama 6 (enam) bulan dimulai dengan pembuatan proposal pada September 2010, selanjutnya pengambilan data di lapangan yang dilakukan pada bulan Oktober hingga November Pengolahan data dilakukan pada bulan Desember 2010 hingga Februari Penyusunan Skripsi dilakukan pada bulan Maret hingga April Pengambilan data di lapangan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, tepatnya fishing base di Pulau Panggang dan daerah pengoperasiannya (fishing ground) di perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Peta lokasi penelitian di perairan Kepulauan Seribu disajikan pada Lampiran Alat dan Bahan Penelitian Alat dan sarana yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, papan pengukur ikan, kantong plastik, alat tulis, data sheet, buku identifikasi, software SPSS 13, GPS, bubu, ganco, dan kapal. Keterangan alat dan sarana yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Alat dan sarana yang digunakan selama penelitian Peralatan/Sarana Penelitian Kegunaan Timbangan Mengukur massa hasil tangkapan Papan pengukur ikan (measuring board) Mengukur panjang hasil tangkapan Kantong plastik Tempat hasil tangkapan Alat tulis Membantu penulisan data Data sheet Mencatan hasil tangkapan Buku identifikasi Mengetahui jenis ikan Software SPSS 13 Mengolah Data Hasil Tangkapan GPS Menentukan Posisi Bubu Menangkap ikan Ganco Mengangkat bubu Kapal Alat transportasi Bubu yang digunakan pada penelitian ini adalah bubu tali yang umum digunakan oleh nelayan setempat. Bubu ini dioperasikan pada kedalaman ± 30 m pada perairan karang dalam. Pemasangan bubu dilakukan dengan sistem tunggal, bubu dipasang satu per satu serta tidak hanyut di dasar perairan. Bubu dilengkapi

31 18 pemberat dengan bantuan tali sepanjang 30 m yang dihubungkan oleh pelampung tanda. Rangka bubu tali hampir sama dengan bubu tambun umumnya terbuat dari bambu. Bambu tersebut dikelilingi oleh jaring yang terbuat dari PE (polyethilene) dengan mata berukuran satu inci. Bubu tali memiliki dimensi Mulut bubu tali berbentuk menyerupai corong, bulat pada bagian luar dan mengecil ke bagian dalam. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu tali hanya satu buah. Konstruksi bubu tali selengkapnya dapat dilihat pada Gambar c cm 45 cm (a) Bubu tampak b a (b) Bubu tampak Keterangan : Panjang : 100 cm Lebar : 80 cm Tinggi : 35 cm Diameter mulut : 35 cm a : pemberat b : mulut bubu c : tempat pemasangan umpan : 1 inci Gambar 1 Konstruksi bubu tali.

32 19 Bubu tali yang digunakan pada penelitian ini adalah bubu baru. Pada saat akan melakukan pengambilan data, bubu tali baru tersebut direndam di pinggir Pulau Panggang selama 2 hari. Perendaman tersebut berfungsi untuk mengurangi bau bubu baru, berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan ikan akan menghindari bubu tersebut jika ada bau bubu baru. Bubu tali yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 12 unit. Pada setiap 3 unit bubu diberikan perlakuan yang berbeda-beda yaitu tidak diberi umpan, diberi umpan alami, umpan buatan A, dan umpan buatan B. Pemasangan bubu dibutuhkan waktu selama 1-1,5 jam dalam satu kali trip. Pengangkatan bubu dilakukan selama 1,5-2 jam. Waktu perendaman dilakukan selama 24 jam atau satu hari yaitu setelah melakukan hauling langsung di setting kembali. Pada saat hauling digunakan alat bantu yaitu ganco atau pengait yang berfungsi untuk mangkaitkan pelampung tanda. Perahu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki dimensi dengan panjang total (LOA) 9 m, lebar 1,8 m, tinggi (depth) 1,2 m, dan tinggi dek (draft) 0,75 m. Perahu dengan ukuran 5 GT memakai mesin Yanmar dengan kekuatan 18 PK. Bahan-bahan lainnya yang digunakan pada saat penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian Jenis Umpan Bahan Kegunaan Umpan Alami Bulu babi (Diadema- Umpan alami setosum) Bantal raja (Culcita- Umpan alami novaguineae) Umpan Buatan A Arginin A G Umpan buatan Leusin L G Umpan buatan CMC (Cellulose Metil Media perekat arginin dan leusin Carboxyl) Pewarna makanan Memberi warna pada umpan Air Pencampur Umpan Buatan B Minyak ikan Mewakili amoniak dan asam lemak Tepung ikan Mewakili asam lemak dan asam amino Tepung terigu Stabilitator Tepung tapioka Stabilitator Air Pencampur

33 20 Pengoperasian bubu tali menggunakan umpan sebagai atraktan. Pada penelitian ini diberi empat perlakuan berbeda-beda, satu perlakuan tanpa diberi umpan guna menjadi pembanding, tiga perlakuan lainnya adalah sebagai berikut : (1) Umpan Alami Umpan alami adalah umpan yang berasal dari alam. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan disana, umpan alami yang biasa digunakan adalah bulu babi dan bantal raja. Dari hasil penelitian Riyanto (2008) menyatakan efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu tambun yang diberikan umpan alami memiliki nilai sebesar 55,40%, yang berarti sudah cukup efektif karena nilainya sudah diatas 50,00%. (2) Umpan buatan A Umpan buatan A yang dimaksud adalah umpan yang terbuat dari campuran arginin dan leusin. Pada mamalia, arginin termasuk ke dalam asam amino esensial. Asam amino ini merupakan asam amino yang paling umum, sedangkan leusin paling banyak dijumpai pada kandungan protein yang diperlukan dalam perkembangan dan pertumbuhan. Leusin berperan dalam menjaga perombakan dan pembentukan protein otot. Penelitian Indrawatie (2010) mengenai pengujian umpan buatan (arginin dan leusin) terhadap ikan kerapu pada skala laboraturium menghasilkan formulasi umpan asam amino jenis arginin dan leusin. Bahan tambahan pada pembuatan umpan buatan A ini adalah Cellulose Metil Carboxyl (CMC) untuk merekatkan kedua asam amino serta pewarna makanan. Komposisi arginin dan leusin dihitung terhadap 100 gr umpan. Namun dalam pengambilan data umpan yang diujikan 8% dari 100 gr umpan. Komposisi kimia umpan buatan yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia umpan buatan A (berat total umpan 8 gr) Asam Amino Komposisi Kimia Umpan (gr) Arginin 0,38 Leusin 0,42 (3) Umpan buatan B Umpan buatan B adalah umpan yang didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya menggunakan umpan minyak ikan dan tepung ikan (umpan setengah alami). Umpan tersebut memberikan jumlah hasil

34 21 tangkapan yang cukup banyak dan memiliki nilai efektivitas sebesar 44,60% (Riyanto 2008). Menurut Riyanto (2008) formulasi umpan setengah alami yang efektif dalam penangkapan ikan karang konsumsi adalah dengan kandungan minyak ikan sebesar 35%. Komposisi bahan umpan setengah alami selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Tabel komposisi umpan buatan dari bahan alami No Komposisi Bahan Umpan setengah alami (gr) 1 Minyak Ikan 35 2 Tepung Ikan 1 3 Tepung Terigu 13 4 Tepung Tapioka 39 Total berat (gr) 100 Proses pembuatan umpan buatan B (umpan setengah alami) dimulai dengan menimbang semua bahan yang diperlukan sesuai dengan takarannya, mencampurkan bahan-bahan kering terlebih dahulu (tepung ikan, tepung terigu, dan tepung tapioka) kemudian diaduk secara merata. Selanjutnya mencampurkan bahan-bahan kering tersebut dengan minyak ikan dan air. Aduk adonan hingga tercampur merata dan mulai mencetak bentuknya dan dibungkus dengan kain kassa. Gambar 2 Proses pembuatan umpan buatan B.

35 Metode Pengambilan Data Data yang diperlukan dalam penelitian dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan dengan cara mengambil langsung dari hasil penelitian. Data primer yang diambil adalah data jenis, jumlah, dan berat hasil tangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat data hasil tangkapan dipisahkan berdasarkan jenis hasil tangkapan utama dan tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi sedangkan hasil tangkapan sampingan memiliki nilai ekonomis rendah dan ukurannya tidak layak tangkap untuk ikan hias. Data sekunder adalah data yang didapatkan dari data hasil penelitian terdahulu atau dari sumber-sumber dinas pertanian dan sejenisnya. Data sekunder yang diambil adalah kondisi daerah penelitian, unit penangkapan ikan, daerah penangkapan ikan, dan data produksi. Data sekunder yang diambil meliputi keadaan umum daerah penelitian guna untuk menunjung atau sebagai perbandingan data primer yang telah dilakukan secara langsung. Metode pengambilan data pada penelitian ini adalah metode experimental fishing, yaitu pengambilan data nya melalui kegiatan uji coba penangkapan ikan di lapangan. Data didapatkan dengan cara melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan 12 unit bubu. Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal dengan jarak pemasangannya 1,5 m sampai 4 m (Hartsjuijker dan Nicholson 1981; Parrish 1982; Luckhurst dan Ward 1985 diacu dalam Ferno dan Olsen 1994). Pemasangan bubu dilakukan sebanyak 10 kali ulangan dengan rincian sebagai berikut: 1. Trip ke-1, setting pada lokasi penempatan bubu. 2. Trip ke-2, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi. 3. Trip ke-3, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi. 4. Trip ke-4, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi. 5. Trip ke-5, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi. 6. Trip ke-6, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi. 7. Trip ke-7 dan seterusnya sampai 8. Trip ke-10, hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi.

36 Metode Pengoperasian Bubu Tali Pengoperasian bubu tali di Kepulauan Seribu pada penelitian kali ini dilakukan setiap hari 1 trip. Masing-masing trip diulang sebanyak 3 kali, sehingga total ulangan adalah 30 kali. Pemasangan (setting) bubu tali dilakukan pada siang hari, begitu pula saat pengangkatan (hauling) keesokan harinya pada saat siang hari. Setelah pengangkatan (hauling) hasil tangkapan dicatat panjang dan beratnya, lalu bubu tali diberi umpan dan dipasang (setting) kembali. Tahaptahap pengoperasian bubu tali diuraikan berikut ini : (1) Persiapan Tahap persiapan dalam pengoperasian bubu tali yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan alat tangkap, membuat umpan buatan, dan umpan alami, mempersiapkan kapal/perahu, dan mempersiapkan perbekalan. Dalam pembuatan umpan buatan dilakukan sehari sebelum operasi penangkapan dan umpan tersebut dibungkus kain kassa. Persiapan alat tangkap meliputi membuat rangka kontruksi bubu tali serta dipasang tali sepanjang 30 m dan diberi pelampung tanda. Dibutuhkan juga alat bantu penangkapan yaitu ganco dan ember untuk mengambil dan menangkap hasil tangkapan. Untuk membedakan perlakuan bubu, maka bubu diberikan tanda (tagging). Persiapan kapal perikanan meliputi pengisian bahan bakar dan pengecekan kondisi kapal. Persiapan perbekalan pada saat menuju fishing ground adalah makan dan minuman. (2) Pemasangan umpan Pada tahap ini umpan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dipasang ke dalam bubu pada saat alat tangkap akan dipasang (setting) di daerah fishing ground. Umpan yang digunakan ada 3 macam yaitu umpan alami, umpan buatan A dan umpan buatan B. Umpan alami yang digunakan adalah daging ikan bantal raja yang dipotong-potong. Umpan buatan A dan umpan buatan B disimpan pada mulut bubu dan diikat dengan kuat. Umpan yang dipasang disesuaikan dengan tanda perlakuan yang ada di bubu tersebut. Proses pemasangan umpan di atas kapal dapat dilihat pada Gambar 3.

37 24 Gambar 3 Proses pemasangan umpan. (3) Pemasangan bubu (setting) Tahap pemasangan bubu dilakukan di perairan karang yang memiliki kedalaman perairan maksimal 30 m dan tidak dipasang pada daerah alur pelayaran. Setelah mendapatkan fishing ground yang tepat dengan mengikuti kebiasaan nelayan, dalam kondisi kapal tetap menyala bubu dipasang dengan kapal berjalan perlahan, bubu dilempar ke air dengan mengulur tali bubu hingga pelampung tanda dilemparkan. (4) Perendaman bubu (soaking) Perendaman bubu tali ini dilakukan selama 24 jam atau seharian penuh. Bubu tali ditinggalkan oleh nelayan tersebut hingga keesokan harinya. (5) Pengangkatan bubu (hauling) Tahap pengangkatan bubu dilakukan setelah perendaman selama 24 jam. Nelayan mencari pelampung tanda dan mengaitnya menggunakan ganco. Pada saat pengangkatan kapal dalam kondisi mati. Tali bubu di tarik secara perlahan-lahan. Hingga bubu tali terangkat dan di simpan diatas kapal. Hasil tangkapannya diambil dan dicatat. Proses pengangkatan bubu tali dapat dilihat pada Gambar 4.

38 Analisis Data Gambar 4 Proses pengangkatan bubu Hasil tangkapan bubu tali Komposisi hasil tangkapan dilakukan untuk mengelompokan hasil tangkapan ke dalam kelompok-kelompok (kelas) ukuran tertentu. Ukuran yang digunakan untuk mengelompokan hasil tangkapan adalah ukuran berat dan panjang total ikan Pengaruh perbedaan umpan Data hasil tangkapan diuji dahulu kenormalannya dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika asumsi kenormalan dan asumsi lainnya tidak terpenuhi atau sukar untuk dipenuhi walaupun dalam berbagai upaya transformasi data telah dilakukan, maka digunakan prosedur alternatif lainnya untuk mengetahui pengaruh perbedaan umpan. Prosedur yang dapat digunakan adalah metode non parametrik, karena metode ini tidak memperhatikan bentuk sebaran data dan asumsi analisis ragamnya. Uji Kruskal-Wallis, disebut juga uji H Kruskal Wallis, merupakan generalisasi uji dua contoh Wilcoxon untuk k > 2 contoh. Uji ini digunakan untuk

39 26 menguji hipotesis nol H o bahwa k contoh bebas itu berasal dari populasi yang identik. Uji nonparametrik ini merupakan alternatif bagi uji F untuk pengujian kesamaan beberapa nilai tengah (dalam analisis ragam bila ingin menghindari dari asumsi bahwa contoh diambil dari populasi normal). Hipotesis yang dibuat : H o : semua perlakuan pengaruhnya sama H 1 : minimal ada perlakuan yang memberikan pengaruh yg berbeda. Misalkan 1,2,, adalah ukuran contoh ke-i. Pertama-tama gabungkan semua contoh dan susunlah... pengamatan itu dari yang terkecil sampai yang terbesar, dan kemudian tentukan peringkatnya masingmasing. Dalam hal ada beberapa nilai pengamatan yang sama, berikan peringkat rata-ratanya. Lambangkan jumlah peringkat dalam contoh ke-i dengan R i. Selanjutnya perhatikan statistik , Jika uji Kruskal-Wallis menghasilkan penolakan H o, secara alami akan muncul pertanyaan populasi mana yang berbeda. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan prosedur pembanding berganda yang disarankan oleh Dunn. Pertama dapatkan rataan peringkat tiap contoh dan misalkan rataan peringkat contoh ke-i dan rataan peringkat contoh ke-j. Jika kita mempunyai contoh, maka akan ada k(k-1)/2 pasangan contoh yang dapat dibandingkan. Hipotesis yang dibuat: : : Kaidah keputusan : jika N = jumlah semua contoh Untuk ukuran contoh-contoh sama, jika, Tolak H o (terima H 1 ), Tolak H 0 (Walpole 1995)

40 Efektivitas penangkapan ikan dengan berbagai umpan Pengukuran efektivitas umpan pada penangkapan ikan dengan bubu dilakukan dengan cara menghitung bubu dengan umpan tertentu yang menangkap ikan dengan jumlah total bubu yang digunakan. Menurut Riyanto 2008 metode yang ditunjukan untuk mengukur efektivitas penggunaan umpan pada bubu untuk menangkap ikan (Ef), yaitu banyaknya bubu yang menangkap ikan dengan menggunakan umpan (Ku) dibandingkan terhadap total bubu yang digunakan (TB) dinyatakan dalam persen. Perhitungan efektivitas tangkapan dengan menggunakan berbagai jenis umpan disajikan pada Tabel % Tabel 5 Perhitungan efektivitas tangkapan dengan berbagai jenis umpan Tanpa umpan Umpan alami Umpan Buatan A Umpan Buatan B Efektivitas total bubu berumpan Jumlah bubu TB 1 TB 2 TB 3 TB 4 TB i Bubu isi ikan Ku 1 Ku 2 Ku 3 Ku 4 Ku i Setting ke- 1 Ku 1-1 / TB 1 Ku 2-1 / TB 2 Ku 3-1 / TB 3 Ku 4-1 / TB 4 Ku i-1 / TB i-1 Setting ke- 2 Ku 1-2 / TB 1 Ku 2-2 / TB 2 Ku 3-1 / TB 3 Ku 4-1 / TB 4 Ku i-2 / TB i-2 Setting ke- 3 Ku 1-3 / TB 1 Ku 2-3 / TB 2 Ku 3-1 / TB 3 Ku 4-1 / TB 4 Ku i-1 / TB i-3 Setting ke- 4 Ku 1-4 / TB 1 Ku 2-4 / TB 2 Ku 3-1 / TB 3 Ku 4-1 / TB 4 Ku i-1 / TB i-4 Setting ke- n Ku 1-n / TB 1 Ku 2-n / TB 2 Ku 3-1 / TB 3 Ku 4-1 / TB 4 Ku i-n / TB i-n Total setting Ku 1-n / TB 1 Ku 2-n / TB 2 Ku 3-1 / TB 3 Ku 4-1 / TB 4 Ku i-n / TB i-n Efektivitas rata-rata (Ku 1-n / TB 1 ) 100/n (Ku 2-n / TB 2 ) 100/n (Ku 3-n /TB 3 ) 100/n (Ku 4-n /TB 4 ) 100/n (Ku i-n /TB i-n ) 100/n

41 28 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah sebuah kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta dimana sebelumnya menjadi salah satu kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara. Kabupaten Kepulauan Seribu meliputi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1986/2000 tanggal 27 Juli 2000, tentang Pemecahan, Pembentukan, Penetapan Batas, dan Nama Kelurahan di Kecamatan Kepulauan Seribu wilayah Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta sebagai berikut : Luas wilayah Kelurahan Pulau Panggang 62,10 ha dengan batas-batas geografis: Sebelah Utara : LS LS Sebelah Selatan : BT Sebelah Barat : BT Sebelah Timur : LS LS Adapun rincian pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara No. Nama Pulau Luas Keterangan Pulau Panggang Pulau Pramuka Pulau Karya Pulau Peniki Pulau Kariang Bongkok Pulau Karang Congkak Pulau Kotok Besar Pulau Air Besar Pulau Gosong Sekati Pulau Semak Daun Pulau Gosong Pandan Pulau Opak Kecil Pulau Kotok Kecil 9 ha 16 ha 6 ha 3 ha 0,50 ha 0,60 ha 20,75 ha 2,90 ha 0,20 ha 0,75 ha - 1,10 ha 1,30 ha Pemukiman Pemukiman Perkantoran / TPU Navigasi Peristirahatan Peristirahatan Pariwisata Peristirahatan Peristirahatan P H U Peristirahatan Peristirahatan P H U J u m l a h 62,10 ha

42 29 Berdasarkan SK. Gubernur DKI Jakarta tersebut, pulau yang terdapat di Kelurahan Pulau Panggang berjumlah 16 pulau namun akibat abrasi air laut sampai saat ini secara fisik berkurang menjadi 13 pulau. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah sebagai berikut: 1) Sebelah Utara : berbatasan dengan wilayah perairan Kelurahan Pulau Kelapa; 2) Sebelah Selatan : berbatasan dengan wilayah perairan Kelurahan Pulau Tidung; 3) Sebelah Timur : berbatasan dengan wilayah perairan Laut Jawa; 4) Sebelah Barat : berbatasan dengan wilayah perairan Laut Jawa. Pulau Semak Daun secara administrasi termasuk kedalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepualuan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 4.2 Musim Ketinggian tanah Pulau Panggang dari permukaan laut adalah 1 m. Kelembaban udara 79,4 Hg/mm, Kecepatan angin di Pulau Panggang 0-18 km/jam dan suhu udara rata-rata 27 o -32 o C. Tipe iklim pada sebelas pulau di Kepualuan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimal 32 o C dan suhu minimum 21,6 o C. Pada bulan Maret, April, dan Mei keadaan cuaca di Kepulaun Seribu dalam kondisi baik. Curah hujan di Kepulauan Seribu berkisar mm. Musim yang terdapat di Kepulauan Seribu adalah musin barat dan musim timur. Pada musim barat, angin bertiup dari barat disertai dengan hujan lebat. Adapun pada musim timur, angin bertiup dari timur serta kering. Angin barat terjadi pada bulan Desember hingga Maret dan angin timur terjadi antara bulan Juni hingga September. Musim pancaroba terjadi antara bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Kecepatan angin berkisar 7-20 knot, biasanya terjadi pada bulan Desember hingga Februari. Musim hujan di Kepulauan Seribu biasanya terjadi antara bulan November hingga April dengan jumlah hari hujan hari/bulan. 4.3 Unit Penangkapan Ikan Alat penangkapan ikan Jenis alat tangkap yang dominan di Kelurahan Pulau Panggang adalah pancing sebanyak 532 unit. Selanjutnya bubu besar sebanyak 200 unit. Alat

43 30 tangkap lain yang digunakan nelayan Kelurahan Pulau Panggang adalah jaring payang, jaring dasar, jaring gebur, bubu kecil, dan jaring muroami. Jenis alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jenis alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 No. Jenis Alat Jumlah Alat 1. Jaring Payang Jaring Dasar Jaring Gebur Bubu Besar Bubu Kecil Pancing Jaring muroami 10 Sumber: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) Armada penangkapan Data armada penangkapan yang dominan di Kelurahan Pulau Panggang adalah perahu motor sebanyak 417 unit. Jumlah armada penangkapan yang paling sedikit adalah perahu layar sebanyak 11 unit. Armada lain yang berada di Kelurahan Pulau Panggang adalah kapal motor, perahu dayung/sampan, dan speed boat. Data armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 selengkapnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Data armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 No. Jenis Sarana Jumlah 1. Kapal Motor Perahu Motor Perahu Layar Perahu Dayung/Sampan Speed Boat 13 Sumber: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) Nelayan Data nelayan di Kabupaten Kepulauan Seribu cukup seragam. Menurut Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta tahun 2010 jumlah nelayan terbanyak yaitu nelayan pancing sebanyak 444 orang selanjutnya nelayan jaring payang dan jaring dasar masing-masing sebanyak 20 orang dan 21 orang. Jumlah nelayan yang paling sedikit yaitu nelayan bubu kecil hanya 12 orang. Data nelayan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun 2010 disajikan pada Tabel 9.

44 31 Tabel 9 Data nelayan di Kelurahan Pulau Panggang pada tahun Produksi Ikan No Jenis Alat Jumlah Pemilik 1 Jaring Payang 20 2 Jaring Dasar 21 3 Jaring Gebur 10 4 Bubu Besar 17 5 Bubu Kecil 12 6 Pancing Jaring Muroami 10 Sumber: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) Produksi ikan dilihat dari sektor perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Seribu cukup bervariasi. Menururt data dari Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta, pada tahun 2006 total produksi perikanan tangkap mencapai kg. Produksi tersebut dihasilkan oleh nelayan dengan menggunakan beberapa alat tangkap seperti pancing, payang, bubu, jaring, muroami, dan alat tangkap lainnya. Data jumlah produksi perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2006 disajikan pada Tabel 10 Tabel 10 Data produksi perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 No Jenis alat tangkap Jumlah produksi (kg) Persentase (%) 1. Pancing ,46 2. Payang ,70 3. Muroami ,53 4. Bubu ,49 5. Jaring ,18 6. Lainnya ,63 Jumlah Sumber: Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta Utara (2006) Kontribusi terhadap produksi perikanan tangkap juga dihasilkan oleh alat tangkap lain. (bagan perahu, sero, dan lain-lain). Adapun alat tangkap jaring diantaranya adalah jaring dasar, jaring gebur, dan lain-lain. 4.5 Daerah Penangkapan Ikan Daerah operasi penangkapan merupakan daerah yang diperkirakan banyak terdapat ikan sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan di tempat tersebut. Daerah penangkapan nelayan Pulau Panggang diantaranya adalah Pulau Semak Daun, Pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, Pulau Karang Congkak, Pulau

45 32 Gosong Pandan, Pulau Gosong Keroya, Pulau Karya, Pulau Air, dan lain sebagainya. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan daerah subur, karena wilayahnya merupakan daerah karang yang merupakan habitat berbagai jenis ikan karang. Selain daerah karang lokasi tersebut juga merupakan daerah padang lamun yang merupakan salah satu tempat bagi ikan karang untuk mencari makan. Kondisi arus di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu mengikuti pola angin musim yang terjadi di Laut Jawa, dimana pada musim Barat arus bergerak ke arah timur, dan pada musim Timur arus bergerak ke arah Barat. Kecepatan arus rata-rata pada musim Barat adalah 0,3-0,5 m/s (Riyanto 2008; Fitri 2008).

46 33 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat seluruhnya sebesar 43,595 kg. Hasil tangkapan didapatkan 30 spesies dalam 15 famili, yaitu Serranidae (kerapu koko, kerapu karet, lodi), Nemipteridae (pasir, serak, mata belo), Lutjanidae (lencam, kakap tanda, menggaru), Monachantidae (kupas-kupas), Labridae (kenari terompet, pelo, nori item, kenari merah), Pomacentridae (betok hitam, betok belang), Mulidae (janggut, kuniran), Siganidae (kea-kea), Holocentridae (swanggi), Scorpaenidae (lepu ayam), Caesionidae (ekor kuning), Chaetodontidae (strip 8, marmut, kepek-kepek monyong), Muraenidae (belut laut), Xanthidae (kepiting), Diodontidae (buntal), dan ikan lainnya (poge, kurisi, wakong cabe, ragan, beseng). Secara rinci hasil tangkapan yang diperoleh beserta identifikasi spesies hasil tangkapan disajikan pada Lampiran 6. Jumlah hasil tangkapan famili terbanyak adalah famili Nemipteridae yaitu 331 ekor (63,65%). Selanjutnya famili Mulidae sebanyak 38 ekor (7,31%), Famili Labridae ditangkap sebanyak 21 ekor (4,04%), Lutjanidae sebanyak 19 ekor (3,65%), Pomacentridae sebanyak 14 ekor (2,69%), Holocentridae sebanyak 13 ekor (2,50%), Serranidae sebanyak 10 ekor (1,92%), Chaetodontidae sebanyak 10 ekor (1,92%), Monachantidae, dan Muraenidae masing-masing sebanyak 6 ekor (1,15%), Caesionidae sebanyak 5 ekor (0,96%), Xanthidae sebanyak 4 ekor (0,77%), Scorpaenidae sebanyak 4 ekor (0,77%), Siganidae sebanyak 3 ekor (0,58%), Diodontidae sebanyak 2 ekor (0,38%), dan ikan lainnya sebanyak 34 ekor (6,54%). Komposisi total berdasarkan jumlah hasil tangkapan disajikan pada Gambar 5.

47 34 2,50% 0,77% 0,96% 1,15% 0,58% 4,04% 0,77% 7,31% 1,15% 3,65% 2,69% 1,92% 0,38% 1,92% 6,54% 63,65% Serranidae Nemipteridae Pomacentridae Lutjanidae Monachantidae Scorpaenidae Labridae Caesionidaee Mulidae Siganidae Holocentridae Muraenidaee Xanthidae Chaetodontidae Diodontidae Lain lain Gambar 5 Komposisi jumlah hasil tangkapan total. Famili yang memiliki berat yang terbanyak adalah famili Nemipteridae yaitu 21,735 kg (49,86%). Selanjutnya famili Serranidae ditangkap seberat 3,155 kg (7,24%), famili Lutjanidae ditangkap seberat 3,125 kg (7.17%), Muraenidae ditangkap seberat 3,000 kg (6.88%), Mulidae ditangkap seberat 2,,310 kg (5.30%). Caesionidae seberat 1,600 kg (3.67%), Labridae seberat 1,435 kg (3.29%). Monachantidae seberat 0,940 kg (2.16%), Holocentridae seberat 0,790 kg (1,81%), Diodontidae seberat 0, 520 kg (1,19%), Chaetodontidae seberat 0,410 kg (0,94%), Pomacentridae seberat 0,375 kg (0,86%), Scorpaenidae seberat 0,275 kg (0,63%), (0,46%), Siganidae seberat 0, 210 kg (0,48%), Xanthidae seberat 0,200 kg dan ikan lainnya seberat 3,5155 kg (8,06%). Komposisi berat hasil tangkapann total disajikan pada Gambar 6.

48 35 1,19% Serranidae 1,81% 0,94% Nemipteridae 0,48% 3,67% 0,46% 6,88% 8,06% 7,24% Pomacentridae Lutjanidae Monachantidae 5,30% Scorpaenidae Labridae 7,17% 49,86% Caesionidaee Mulidae Siganidae 3,29% 0,63% 2,16% 0,86% Holocentridae Muraenidaee Xanthidae Chaetodontidae Diodontidae Lain lain Gambar 6 Komposisi berat hasil tangkapan total Proporsi hasil tangkapann utama dan hasil tangkapan sampingan Jumlah famili hasil tangkapan utamaa pada pengoperasian bubu tali adalah 11 famili yaitu terdirii dari ikan konsumsi dan ikan hias. Ikan konsumsi terdiri dari famili Serranidae, Nemipteridae, Pomacentridae, Lutjanidae, Labridae, Mulidae, Caesionidae, Siganidae, dan Xanthidae. Ikan hias terdiri dari famili Chaetodontidae dan Scorpaenidae. Jumlah hasil tangkapan sampingan ada 4 famili yang terdiri dari Holocentridae, Monachantidae, Muraenidae, dan Diodontidae. Proporsi hasil tangkapan utama dan sampingan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 11.

49 36 Tabel 11 Proporsi hasil tangkapan utama dan sampingan pada bubu tali Hasil Tangkapan Total Persentase Ikan Konsumsi Serranidae 10 1,92 Nemipteridae ,65 Pomacentridae 14 2,69 Lutjanidae 19 3,65 Labridae 21 4,04 Utama Mulidae 38 7,31 Caesionidae 5 0,96 Siganidae 3 0,58 Xanthidae 4 0,77 Ikan Hias Chaetodontidae 10 1,92 Scorpaenidae 4 0,77 Sub Total ,27 Holocentridae 13 2,50 Sampingan Muraenidae 6 1,15 Monachantidae 6 1,15 Diodontidae 2 0,38 Lainnya 34 6,54 Sub Total 61 11,73 TOTAL ,00 Jumlah hasil tangkapan utama pada penelitian ini adalah 459 ekor (88,27%) dan hasil tangkapan sampingan adalah 61 ekor (11,73%). Perbandingan hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu tali disajikan pada Gambar 7.

50 37 Sampingan 11,73% Utama 88,27% Gambar 7 Perbandingan hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan pada bubu tali. 5.2 Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali Pengaruh perbedaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan bubu tali Dari hasil pengujian kenormalann data dengan menggunakann uji Kolmogorov-Smirnovv pada SPSS 13. Hasil yang didapatkan adalah data tidak menyebar normal, hal ini ditunjukan dengan nilai Asymp. Signifikasinya kurang dari taraf signifikasi (α = 0,05) sebesar 0,004. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji non parametrik yaitu uji Kruskal-Wallisyang berarti ada salah satu perlakuan yang berpengaruh, hasil ini ditunjukkan dengan nilai Asymp. Signifikasinya kurang dari taraf signifikasi (α =0,05) sebesar 0,000. Hasil yang didapat adalah bahwa Tolak H o (berbeda nyata) Jumlah total hasil tangkapan yang didapatkan adalah untuk perlakuan tanpa umpan mendapatkan 43 ekor (8%), umpan alami sebanyak 77 ekor (19%), umpan buatan A sebanyak 171 ekor (33%), dan umpan buatan B sebanyak 213 ekor (41%). Perbandingann hasil tangkapan total setiap perlakuan disajikan pada Gambar 8.

51 38 Tanpa umpan 8% Umpan Buatan B 41% Umpan Alami 18% Umpan buatan A 33% Gambar 8 Perbandingan hasil tangkapan total setiap perlakuan. Dataa yang diperoleh berdasarkan jumlah dan berat hasil tangkapan total dari empat perlakuan yang dilakukan dengan 30 kali ulangan setiap masing-masing perlakuan. Mean rank yang didapatkan pada bubu tanpa umpan adalah 28,55. Bubu di beri umpan alami memiliki nilai mean rank 50,28, bubu diberi umpan buatan A sebesar 74,92, dan bubu diberi umpan buatan B memiliki nilai mean rank sebesar 88,25. Selisih antar perlakuan dibandingkan dengan yang didapatkan dari menggunakan prosedur pembanding berganda yang disarankan oleh Dunn. Hasil perhitungan Uji Dunn dapat dilihat di Lampiran Jumlah hasil tangkapan pada bubuu tali yang diberi umpan alami Hasil tangkapann pada bubu tali yang diberi umpan alami menghasilkan 93 ekor dengan berat 8,330 kg, terdiri dari 13 spesies dari 9 famili antara lain famili Serranidae, Nemipteridae, Haemulidae, Mulidae, Holocentridae, Monachantidae, Siganidae, Muraenidae, dan Xanthidae. Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapann bubu tali diberi umpan alami dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil tangkapan dominann dari segi jumlah pada bubu berumpan alami adalah dari famili Nemipteridaee yaitu 70 ekor (75,27%) dengan berat 5,525 kg, famili Mulidae yaitu 6 ekor (6,45%) dengann berat 0,295 kg, famili Monachantidae

52 39 yaitu 4 ekor (4,30%) dengan berat 0,065 kg, famili Serranidae yaitu 3 ekor (3,23%) dengan berat 0,58 kg, famili Haemulidae yaitu 3 ekor (3,23%) dengan berat 0,45 kg, famili Muranidae yaitu 2 ekor (2,15%) dengan berat 1,2 kg, famili Xanthidae yaitu 2 ekor (2,15%) dengan berat 0,1 kg, famili Siganidae yaitu 1 ekor (1,08%) dengan berat 0,06 kg, famili Holocentridae yaitu 1 ekor (1,08%) dengan berat 0,03 kg. Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu diberi umpan alami disajikan pada Gambar 9. 4,30% 1,08% 3,23% 1,08% 2,15% 2,15% 6,45% 1,08% 3,23% Serranidae Nemipteridae Haemulidae Holocentridae Monachantidae Siganidae Mulidae 75,27% Muraenidae Xanthidae Lain lain Gambar 9 Komposisi hasil tangkapann pada bubuu diberi umpan alami Jumlah hasil tangkapan pada bubuu tali yang diberi umpan buatan A Bubu tali yang diberi umpan buatan A mendapatkan hasil tangkapan sebanyak 173 ekor dengan berat 12,360 kg, terdiri dari 19 spesies dari 11 famili yaitu famili Serranidae, Nemipteridae, Labridae, Pomacentridae, Haemulidae, Mulidae, Holocentridae, Scorpaenidae, Caesionidae, Muraenidae, dan Chaetodontidae. Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan A dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah padaa bubu berumpan buatan A adalah dari famili Nemipteridaee yaitu 106 ekor (61,27%) dengann berat 6,020 kg, Mulidae berjumlah 15 ekor (8,67%) dengann berat 0,93 kg, Pomacentridae 14 ekor (8,09%) dengan berat 0,375 kg, Holocentridae berjumlah 8 ekor (4,62%) dengan

53 40 berat 0,345 kg, Haemulidae berjumlah 5 ekor (2,89%) dengan berat 0,800 kg, Caesionidae berjumlah 5 ekor (2,89%) dengan berat 1,,6 kg, Labridae berjumlah 4 ekor (2,31%) dengann berat 0,260 kg, Scorpaenidae berjumlah 3 ekor (1, 73%) dengan berat 0,25 kg, Chaetodontidae berjumlah 3 ekor (1,73%) dengan berat 0,080 kg, Muraenidaee berjumlah 2 ekor (1, 16%) dengan berat 0,85 kg, Serranidae berjumlah 2 ekor (1,16%) dengan berat 0,500 kg Komposisi hasil tangkapann pada bubu diberi umpan buatan A disajikan padaa Gambar 10. 1,73% 4,62% 1, 73% 2,89% 2,89% 3,47% 1,16% 1,16% Serranidaee Nemipteridae Labridae 8,67% Pomacentridae Haemulidae 8,09% 61,27% Mulidae Holocentridae Scorpaenidae Caesionidae 2,31% Chaetodontidae Muraenidae Lain lain Gambar 10 Komposisi hasil tangkapann bubu tali diberi umpan buatan A Jumlah hasil tangkapan pada bubuu tali yang diberi umpan buatan B Bubu tali yang diberi umpan buatan B mendapatkan hasil tangkapan sebanyak 213 ekor dengan berat 19,420 kg, terdiri dari 27 spesies dari 13 famili diantaranya famili Serranidae, Nemipteridae, Labridae, Pomacentridae, Haemulidae, Mulidae, Holocentridae, Scorpaenidae, Caesionidae, Chaetodontidae, Muraenidae, Xanthidae, dan Diodontidae. Jumlah dan persentase spesies hasil tangkapan bubu tali diberi umpan buatan B dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil tangkapan dominan dari segi jumlah padaa bubu berumpan buatan B adalah dari famili Nemipteridaee yaitu 136 ekor (63,85%) dengann berat 9,260 kg, Serranidaee berjumlah 4 ekor (1, 88%) dengan berat 1,975 kg, Labridae berjumlah 15 ekor (7,04%) dengan berat 0,975 kg, Mulidae berjumlah 13 ekor (6, 10%)

54 41 dengan berat 0,86 kg, Chaetodontidae berjumlah 6 ekor (2,82%) dengan berat 0,315 kg, Haemulidae berjumlah 4 ekor (1,88%) dengan berat 1,0500 kg, Holocentridae berjumlah 3 ekor (1,41%) dengan berat 0,315 kg, Monachantidae berjumlah 2 ekor (0, 94%) dengan berat 0, 875 kg, Muraenidae berjumlah 2 ekor (0,94%) dengan berat 0,95 kg, Xanthidae berjumlah 2 ekor (0,94%) dengan berat 0,100 kg, Scorpaenidae berjumlah 1 ekor (0,47%) dengan berat 0,025 kg, Diodontidae berjumlah 1 ekor (0,47%) dengan berat 0,300 kg. Komposisi hasil tangkapann pada bubuu diberi umpan buatan B disajikan pada Gambar 11. 0,94% 0,47% Serranidae 0,94% 0,94% 0,47% 1,41% 11,27% 1,88% Nemipteridae Labridae Chaetodontidae 1,88% 6, 10% Haemulidae Mulidae 7,04% 63,85% Holocentridae Monachantidae Scorpaenidae 2,82% Muraenidae Xanthidae Diodontidae lain lain Gambar 11 Komposisi hasil tangkapann bubu tali diberi umpan buatan B. 5.3 Efektivitas Penangkapan Ikan pada Bubu Tali Hasil tangkapan pada penelitian ini digolongkan menjadi hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama terdiri famili Serranidae, Nemipteridae, Pomacentridae, Lutjanidae, Labridae, Mulidae, Caesionidae, Siganidae, Xanthidae, Chaetodontidae, dan Scorpaenidae. Hasil tangkapann sampingan terdiri dari famili Holocentridae, Muraenidae, Monachantidae, dan Diodontidae. Berdasarkan hasil tangkapan bubu umpan A dan umpan B memiliki nilai efektivitas tertinggi yaitu 100%. Bubu yang diberi umpan alami sebesar 90%. Nilai efektivitas terendah adalah pada bubu tanpa umpan yaitu 60%. Perbandingan nilai efektivitas penangkapan seluruhnya tiap perlakuan disajikan pada Gambar 12.

55 42 Efektifitas Penangkapan %±SE n=30 90±0,02 60±0,04 100±0,00 100±0,00 tanpa umpan umpan alami umpan buatan A Umpan buatan B Jenis Umpan Gambar 12 Perbandingan efektivitas penangkapan seluruhnya tiap perlakuan. Famili Serranidae, Nemipteridae, Lutjanidae, Labridae merupakan ikan ekonomis penting dalam penelitian ini. Penangkapan pada perlakuan bubu tanpa umpan memiliki nilai efektivitas tertinggi adalah famili Nemipteridae sebesar 26,67%, selanjutnya famili Lutjanidae adalah 16,67%, famili Labridae sebesar 6,67%, dan famili Serranidae memiliki nilai efektivitas sebesar 3,33%. Perlakuan kedua yaitu bubu diberi umpan alami memiliki nilai efektivitas terhadap famili Nemipteridae sebesar 73,33%, selanjutnya famili Serranidae memiliki nilai efektivitasnya sebesar 10%, famili Lutjanidae sebesar 6,67%, dan famili Labridae memiliki nilai efektivitas sebesar 3,33%. Perlakuan ketiga yaitu bubu diberi umpan buatan A memiliki nilai efektivitas terhadap famili Nemipteridae adalah 63,33%, famili Lutjanidae sebesar 10%, selanjutnya famili Serranidae dan famili Labridae memiliki nilai efektivitas yang sama yaitu sebesar 6,67%. Perlakuan keempat yaitu bubu diberi umpan buatan B memiliki nilai efektivitas terhadap famili Nemipteridae adalah 70%, famili Labridae sebesar 30%, selanjutnya famili Serranidae dan famili Lutjanidae memiliki nilai efektivitas yang sama yaitu sebesar 6,67%. Perbandingan nilai efektivitas ikan ekonomis penting terhadap tiap perlakuan disajikan pada Gambar 13.

56 n=30 73,33±0,02 63,33±0,03 70±0,03 Efektifitas Penangkapan %±SE ±0,03 26,67±0,03 16,67±0,03 10±0,02 10±0,02 6,67±0,02 6,67±0,02 6,67±0,01 6,67±0,01 6,67±0,01 6,67±0,01 3,33±0,01 3,33±0,01 Tanpa umpan Umpan alami Umpan buatan A Umpan buatan B Jenis Umpan Serrenidae Nemipteridae Lutjanidae Labridae Gambar 13 Perbandingan nilai efektivitas ikan ekonomis penting terhadap tiap perlakuan.

57 44 6 PEMBAHASAN 6.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan bubu tali pada penelitian ini didominasi oleh famili Nemipteridae. Famili Nemipteridae merupakan hasil tangkapan utama yang terdiri dari ikan serak (Scolopsis lineatus), ikan mata belo (Clupea kanagurta), dan ikan pasir (Pentapodus trivittatus). Ikan jenis ini merupakan ikan target penangkapan yang memiliki warna yang cerah, hidup di dasar perairan. Ikan ini merupakan pemakan invertebrata, ikan kecil, udang, kepiting, dan cacing. Banyaknya hasil tangkapan ikan ini diduga berkaitan dengan sifat ikan famili Nemipteridae yang hidup bergerombol. Yudha (2006) mengatakan bahwa ikan famili Nemipteridae biasa hidup berkelompok, dimana ikan-ikan tersebut tertangkap dalam jumlah relatif lebih banyak. Jenis ikan Nemipteridae tertangkap pada semua jenis perlakuan umpan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ikan jenis ini tidak mengkhususkan diri pada suatu jenis makanan tertentu. Hal ini sesuai dengan Tabolt (1979) dalam Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa ikan-ikan yang hidup disekitar karang merupakan karnivora khususnya famili Nemipteridae yang tidak mengkhususkan makanannya pada suatu sumber makanan tertentu, tetapi sebaliknya bersifat opurtunistik dan mengambil apa saja yang berguna baginya. Famili Mulidae yang tertangkap adalah ikan janggut (Parupeuneus macronema) dan ikan kuniran (Upeneus sulphureus). Jumlah hasil tangkapan mulidae adalah hasil tangkapan terbanyak kedua. Famili Mulidae merupakan ikan pencari makan di dasar yang memiliki sepasang sungut mencolok yang memanjang dari dagunya seperti jenggot. Ikan ini diduga masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh bau umpan karena ikan famili Mulidae mempunyai sungut yang sensitif dengan bau kimiawi. Famili Mulidae yang tertangkap ke dalam bubu sedang dalam keadaan mencari makan karena ikan ini mencari makan di dalam karang berpasir dan menganggap bubu tali sebagai karang dan memasukinya. Famili Labridae merupakan ikan target dari penangkapan bubu tali yaitu yang tertangkap jenis ikan kenari terompet (Epibulus insidiator), ikan pelo (Halichoeres hortulatus), ikan nori item (Chelinus sp.), dan ikan kenari merah (Chelinus fasciatus). Ikan ini memiliki warna yang menarik yang hidup pada

58 45 kedalaman m (Anonim 2004). Diduga famili Labridae tertangkap bubu tertarik oleh ikan-ikan kecil yang telah tertangkap bubu tali sebelumnya. Famili Lutjanidae termasuk ikan target hal ini disebabkan karena ikan yang termasuk famili ini memiliki nilai jual yang tinggi. Jenis ikan famili Lutjanidae yang tertangkap adalah ikan lencam (Lutjanus sp.), ikan kakap tanda (Lutjanus rufolineatus), dan ikan menggaru (Lutjanus decussatus). Menurut Iskandar dan Mawardi (1997) menyatakan bahwa jenis ikan kakap umumnya termasuk ikan buas, karena pada umumya merupakan predator yang senantiasa aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Aktifitas ikan nocturnal (malam hari) tidak seaktif ikan diurnal (siang hari). Diduga ikan nokturnal lebih banyak menggunakan indera perasa dan penciuman dibandingkan indera penglihatan. Karena yang sifatnya nokturnal maka diduga ikan ini masuk karena tertarik bau umpan. Famili Serranidae termasuk ekonomis tinggi karena memiliki nilai jual tinggi dan termasuk ikan konsumsi. Hasil tangkapan bubu tali untuk famili ini adalah ikan kerapu koko (Ephinephelus quoyanus), ikan kerapu karet (Ephinephelus heniocus), dan ikan kerapu lodi (Plectropomus leopardus). Berat rata-rata ikan kerapu koko yang didapat adalah 250 gr, ikan kerapu karet 100 gr, dan ikan lodi 1250 gr. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan ikan kerapu lodi yang menjadi hasil tangkapan utama bubu tali ini memiliki nilai jual berkisar Rp Rp per kg. Jika dalam keadaan hidup ikan ini dapat dijual lebih mahal. Dengan penangkapan menggunakan bubu, ikan kerapu lodi dapat ditangkap dalam keadaan hidup. Ikan dari famili ini merupakan ikan predator ganas yang memangsa ikan-ikan pada struktur trofik yang lebih rendah dan aktif mencari makan di malam hari sampai menjelang subuh (Riyanto 2008). Hasil tangkapan terbanyak terdapat pada bubu umpan B. Tertangkapnya ikan kerapu pada bubu berumpan diduga masuk kedalam bubu karena tertarik oleh bau umpan atau pada ikan-ikan kecil yang tertangkap terlebih dahulu. Rata-rata jumlah tertangkapnya kerapu pada bubu relatif sedikit, hal ini terjadi dikarenakan ikan jenis ini adalah predator ganas dan hidupnya bersoliter. Pernyataan ini sama yang dikatakan oleh Anonim (2004) bahwa famili Serranidae ini hidup bersoliter jarang ditemukan bergerombol, sering bersembunyi di gua-

59 46 gua. Jenis famili Serranidae yang berukuran panjang sering ditemukan pada kedalaman 30 m. Jenis ikan dari famili Siganidae adalah ikan kea-kea (Siganus virgatus). Ikan kea-kea umumnya merupakan herbivora (pemakan alga). Famili ini mencari makan dalam kelompok besar namun terkadang hidup soliter atau berpasangan (Dahuri 2003). Diduga ikan kea-kea memasuki bubu tali karena tertarik dengan alga-alga yang berada pada bubu tali. Ikan indikator adalah ikan pada famili Chaetodontidae yaitu ikan strip 8 (Chaetodon octofasciatus), ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus), dan ikan kepek-kepek monyong (Chelmon rostratus). Dari penampakannya ikan ini memiliki warna yang menarik. Ikan jenis ini yang tertangkap dominan berwarna hitam, kuning, dan putih. Bubu tali ini dioperasikan deket karang dalam, hal ini membuktikan tertangkap ikan famili Chaetodontidae. Ikan jenis ini adalah ikan indikator yang menjadi penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang (Anonim 2004). Ikan ini paling aktif saat siang hari, mencari makan atau menjaga daerah rumahnya. Di malam hari mereka beristirahat di celah dan gua di terumbu (Erdmann 2004). Jenis ikan dari famili Pomacentriedae yang tertangkap adalah ikan betok hitam (Neoglyphidodon) dan ikan betok belang (Abudefduf septemfasciatus). Ikan ini merupakan ikan kecil yang banyak dijumpai di terumbu karang. Sebagian besar ikan betok yang tertangkap ada yang berwana hitam dan ada juga yang berwarna-warni. Beberapa ikan betok merumput di alga, di daerah kekuasaannya yang mereka jaga secara agresif terhadap ikan-ikan lain dari semua ukuran. Diduga famili ini tertangkap karena tidak sengaja masuk karena pengoperasian bubu tali di daerah lereng karang yang curam biasa menjadi habitat ikan betok dan tertarik dengan bau umpan. Jenis ikan dari famili Caesionidae adalah ikan ekor kuning (Redbelly yellowtail fusilier). Ikan ekor kuning sering kali terlihat berenang dalam kelompok besar dan pemakan zooplankton. Diduga famili Caesionidae masuk kedalam bubu karena tertarik oleh ikan-ikan lain dan yang tertangkap sebelumya dan zooplankton yang ada di dalam bubu.

60 47 Ikan lainnya yang tertangkap adalah famili Monachantidae (kupas-kupas), Scorpaenidae (lepu ayam), Muranidae (belut laut), Xanthidae (kepiting), dan Diodontidae (buntal). Ikan lainnya yang tertangkap kedalam bubu dalam jumlah sedikit. Diduga ikan famili yang disebutkan diatas masuk kedalam bubu tidak disengaja karena ikan tersebut sedang mencari makan lalu tidak sengaja memasukinya atau ikan tersebut sedang berlindung dari pemangsa. 6.2 Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Tali Bubu tali merupakan alat tangkap pasif yang dioperasikan pada kedalaman 30 m. Dengan bantuan umpan, bubu tali akan mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak. Umpan yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu umpan alami dan umpan buatan. Umpan alami yang digunakan pada penelitian ini adalah umpan yang biasa digunakan nelayan setempat yaitu bulu babi (Diadema setosum) dan bantal raja (Culcita novaguineae). Bulu babi dan bantal raja memiliki bau yang menyengat dan amis. Zarochman (1994) mengatakan bahwa syarat-syarat umpan mati yang biasa digunakan alat tangkap pasif bersifat memiliki bau dan warna yang sesuai dengan ikan-ikan sasaran. Perbedaan jenis umpan (alami dan buatan) memberikan pengaruh sebagai atraktan yang sama untuk menangkap ikan karang. Pengaruh yang sama tersebut disebabkan proses pelarutan kandungan kimia dari masing-masing umpan di dalam air adalah sama, artinya bahwa formulasi umpan buatan telah berdaya guna yang sama (performance) dengan umpan alami (Januma et al. 2003). Menurut Lokkeborg (1996), umpan buatan yang terbuat dari ekstrak udang mempunyai nilai pelarutan (rate release) kandungan asam amino yang sama dengan ikan mackerel sebagai umpan alami. Berdasarkan hal tersebut di atas maka umpan buatan dapat mensubstitusi umpan alami. Umpan buatan pada penelitian ini ada dua macam yaitu campuran bahan kimia (arginin dan leusin) dan campuran tepung ikan serta minyak ikan. Formulasi umpan tersebut didapatkan dari penelitian Indriwatie (2010) yaitu hasil pengujian umpan buatan (arginin dan leusin) terhadap ikan kerapu macan pada skala laboratorium. Asam amino dan minyak ikan merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan (Fujaya 2004: Djarijah 1998; Purbayanto dan Fitri 2009). Maka dari itu untuk umpan buatan A

61 48 menggunakan campuran bahan asam amino yaitu arginin dan leusin yang dapat menyerupai rasa pengganti umpan ikan. Berdasarkan penelitian Fitri (2008), perbandingan lemak dan protein antara umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa umpan buatan memiliki kandungan lemak dan protein lebih banyak. Perbedaan ini dimungkinkan karena umpan buatan merupakan hasil pengolahan ikan dengan tingkat konsentrasi kandungan lemak dan protein yang tinggi dari bahan yang terpisah. Namun perbedaan yang cukup besar terjadi pada kandungan asam amino (alanin dan leusin), dimana umpan alami memiliki jumlah kandungan alanin dan leusin yang lebih banyak. Untuk umpan buatan B terbuat dari minyak ikan dan tepung ikan. Minyak ikan memiliki kandungan asam lemak yang merupakan bahan perespon utama dalam penciuman ikan (Fujaya 2004). Minyak ikan memberikan rangsangan bau terhadap ikan pada kedalaman 30 m. Ikan yang hidup pada kedalaman 30 m cenderung lebih banyak mengandalkan indera penciuman. Menurut penelitian Riyanto (2008) komposisi umpan buatan (minyak ikan dan tepung ikan) memiliki kandungan lemak tertinggi. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa ikan akan merespons semua makanan yang dianggap memiliki kandungan asam lemak, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemilihan minyak ikan dan tepung ikan sebagai bahan penyusun utama umpan buatan ini dikarenakan minyak ikan mengandung komposisi kimiawi asam lemak yang merupakan bahan perespons utama dalam proses penciuman ikan (Hara 2006). Tepung ikan merupakan pengeringan dari ikan segar yang dihilangkan kandungan airnya, sehingga kandungan asam amino merupakan kandungan utama. Komponen kimia dalam umpan yang telah diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (Fitri 2009) Kedua umpan buatan tersebut sangat berpengaruh menjadi atraktan pada bubu tali sehingga ikan banyak yang tertarik umpan tersebut. Dengan begitu hasil tangkapan pada bubu tali meningkat. Penggunaan umpan buatan pada pengoperasian bubu tali memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan bubu. Dari hasil uji statistik bahwa keempat perlakuan yang diberikan terhadap bubu tali tersebut minimal satu perlakuan berpengaruh. Hal itu mengindikasikan bahwa (1) dalam pengoperasian bubu tali dibutuhkan bantuan umpan buatan untuk

62 49 meningkatkan hasil tangkapan, (2) banyak ikan yang terjebak dalam bubu tali karena tergoda oleh bau umpan yang menyengat. Berdasarkan uji Dunn umpan buatan A dan umpan buatan B lebih berpengaruh dibandingkan dengan kontrol dan umpan alami. Dengan komposisi minyak ikan dan tepung ikan akan membuat umpan buatan B lebih mempunyai bau yang lebih menyengat dibandingkan keempat umpan tersebut. Ikan yang tertangkap oleh bubu tali sebagian besar nokturnal, hal ini berarti ikan mencari makan pada malam hari dan menggunakan indera penciuman. Dilihat dari ke empat perlakuan, bubu dengan umpan buatan B yang memiliki bau yang lebih menyengat, sehingga ikan banyak tertangkap pada umpan ini. Umumnya ikan yang aktif di malam hari (nocturnal) akan menyukai umpan hidup yang memiliki bau yang kuat (Baskoro dan Efendy 2005). Pengoperasian bubu tali dilakukan pada kedalaman ± 30 meter dengan demikian jarak pandang ikan semakin berkurang dan lebih mengandalkan indera penciuman. Umpan buatan B memiliki bau yang lebih merangsang dibanding umpan yang lainnya. Keempat perlakuaan umpan ini memiliki hasil tangkapan yang berbeda-beda. Dari bubu tanpa diberi umpan menangkap hasil tangkapan paling sedikit yaitu 43 ekor ikan dikarenakan bubu tersebut tidak memiliki daya tarik bagi ikan untuk mendatanginya. Selanjutnya bubu yang diberi umpan alami sebanyak 93 ekor ikan. Bubu yang diberi perlakuan umpan buatan A hasilnya didapatkan 171 ekor ikan dan bubu yang diberi umpan buatan B sebanyak 213 ekor ikan. 6.3 Efektivitas Penangkapan Ikan Karang Konsumsi Menurut Baskoro et al. (2006) bahwa nilai efektivitas alat tangkap dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu : apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50-80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitas dan nilai % dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi. Hasil tangkapan dibagi menjadi dua golongan yaitu hasil tangkapan utama dan sampingan, berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh nelayan Kepulauan Seribu. Efektivitas total dari keempat bubu untuk menangkap ikan hasil tangkapan utama yaitu bubu tanpa umpan sebesar 60%, umpan alami sebesar 90%, umpan buatan A sebesar 100%, dan umpan buatan B

63 50 sebesar 100%. Dengan demikian dapat dikatakan pada umpan alami, umpan buatan A, dan umpan buatan B memiliki nilai efektivitas yang tinggi (80-100%) untuk menangkap ikan tangkapan utama bubu tali. Hal ini disebabkan bubu tali menggunakan umpan memiliki daya tarik (atraktan) agar ikan masuk. Rendahnya efektivitas pada bubu tanpa umpan disebabkan karena bubu tidak memiliki atraktan untuk menarik ikan masuk. Nilai efektivitas bubu tali berdasarkan tertangkapnya famili Serranidae. Umpan alami memiliki nilai efektivitas terbesar yaitu 10%, selanjutnya umpan buatan A dan umpan buatan B memiliki nilai yang sama yaitu 6,67% dan yang paling sedikit nilai efektivitasnya adalah bubu tanpa umpan sebesar 3,33%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari keempat perlakuan nilai efektivitasnya rendah (kurang dari 50%) untuk menangkap ikan jenis famili Serranidae. Rendahnya hasil tangkapan famili Serranidae disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : sifat famili Serranidae adalah jenis ikan predator ganas yang memakan ikan-ikan kecil dan kondisi perairan pada saat penelitian tidak mendukung seperti arus kencang. Nilai efektivitas bubu tali berdasarkan tertangkapnya famili Nemipteridae. Dari keempat perlakuan yang memiliki nilai efektivitas terbesar adalah pada umpan alami sebesar 73,33%, selanjutnya umpan buatan B sebesar 70%, umpan buatan A sebesar 63,33%, dan yang paling sedikit nilai efektivitasnya adalah bubu tanpa umpan sebesar 26,67%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan bubu tanpa umpan memiliki nilai efektivitas rendah (kurang dari 50%) untuk menangkap ikan jenis famili Nemipteridae. Rendahnya hasil tangkapan famili Nemipteridae pada bubu tanpa umpan disebabkan oleh bubu ini tidak memiliki atraktan untuk menarik ikan masuk kedalam bubu. Pada bubu perlakuan umpan alami, umpan buatan A, dan umpan buatan B memiliki nilai efektivitas yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada bubu tersebut ada atraktan umpan untuk menarik ikan mendatangi bubu. Nilai efektivitas bubu tali berdasarkan tertangkapnya famili Lutjanidae. Dari keempat perlakuan yang memiliki nilai efektivitas terbesar adalah pada bubu tanpa umpan sebesar 16,67%. Selanjutnya umpan alami, umpan buatan A, dan umpan buatan B memiliki nilai efektivitas yang sama, yaitu sebesar 6,67%.

64 51 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari keempat perlakuan nilai efektivitasnya rendah (kurang dari 50%) untuk menangkap ikan jenis famili Lutjanidae. Rendahnya hasil tangkapan famili Lutjaniadae disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : sifat famili Lutjanidae adalah jenis ikan predator ganas yang memakan ikan-ikan kecil dan kondisi perairan pada saat penelitian tidak mendukung seperti arus kencang. Nilai efektivitas bubu tali berdasarkan tertangkapnya famili Labridae. Dari keempat perlakuan yang memiliki nilai efektivitas terbesar adalah pada umpan buatan B sebesar 30%, selanjutnya bubu tanpa umpan dan umpan buatan A memiliki nilai yang sama sebesar 6,67%, dan yang paling sedikit nilai efektivitasnya adalah bubu umpan alami sebesar 3,33%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari keempat perlakuan nilai efektivitasnya rendah (kurang dari 50%) untuk menangkap ikan jenis famili Labridae. Rendahnya hasil tangkapan famili Labridae disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : sifat famili Labridae adalah jenis ikan diurnal yang mencari makan pada siang hari dan pemakan ikanikan kecil sedangkan pengangkatan bubu tali pada siang hari.

65 52 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1) Hasil tangkapan bubu tali pada penelitian ini sebanyak 30 spesies yang tergabung dalam 15 famili, yaitu : Nemipteridae (63,65%), Mulidae (7,31%), Labridae (4,04%), Lutjanidae (3,65%), Pomacentridae (2,69%), Holocentridae (2,50%), Serranidae (1,92%), Chaetodontidae (1,92%), Monachantidae (1,15%), Muraenidae (1,15%), Caesionidae (0,96%), Xanthidae (0,77%), Scorpaenidae (0,77%), Siganidae (0,58%), Diodontidae (0,38%) dan ikan lainnya sebanyak 34 ekor (6,54%). Hasil tangkapan terbanyak adalah ikan-ikan yang memiliki sifat nokturnal dan predator ikan-ikan kecil, yaitu ikan-ikan dalam famili Serranidae dan Lutjanidae. 2) Pemberian umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan. Umpan buatan A dan umpan buatan B memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil tangkapan. 3) Efektivitas penangkapan berdasarkan hasil tangkapan utama pada bubu tali dengan umpan buatan A dan umpan buatan B memiliki nilai efektivitas tertinggi (100%). Efektivitas penangkapan untuk famili Nemipteridae pada bubu tali diberi umpan buatan A memiliki nilai efektivitas yang cukup tinggi yaitu 63,33% dan pada umpan buatan B sebesar 70%. Efektivitas penangkapan untuk famili Serranidae, Lutjanidae, dan Labridae pada semua perlakuan bubu dengan umpan mendapatkan nilai efektivitas yang rendah (< 50%). 7.2 Saran 1) Umpan buatan dapat dijadikan alternatif pengganti umpan alami dalam pengoperasian bubu tali. 2) Perlu penelitian lanjutan mengenai lamanya pengoperasian bubu tali guna menyempurnakan efektivitas bubu tali dalam penangkapan ikan konsumsi terutama famili Serranidae.

66 53 DAFTAR PUSTAKA Adianto H Tingkat Keramahan Unit Penangkapan Ikan Karang dan Krustasea Terhadap Lingkungan di Pulau Sebesi Lampung [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Allen G, Steene RC, Humann P, dan Deloach N Reef Fish Identification Tropical Pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Florida USA; 457 hal [Anonim] Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. [Terhubung Berkala]. [08 Januari 2011] [05 Mei 2010]. Baskoro M dan Effendy A Tingkah Laku ikan (Hubungannya dengan Metode Pengoperasian Alat Tangkap Ikan). Dept Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Baskoro M, Telussa RF, dan Purwangka F Efektivitas Bagan Motor di Perairan Waai, Pulau Ambon. Prosiding Seminar Perikanan Tangkap. ISBN: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor hlm. Brandt AV Fishing Catching Methods of The World. England: Fishing News Books Ltd. Dahuri R Keaneakragaman Hayati Laut : Asset Pengembangan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pusaka Utama. Direktorat Jenderal Perikanan Statistik Perikanan Indonesia (Fisheries Statictic of Indonesia). Jakarta: Departemen Pertanian. Djarijah AS Membuat Pellet Pakan Ikan. Penerbit Kanisius. Djatikusumo EW Dinamika Populasi Ikan. Bahan Kuliah. Jakarta: Akademi Usaha Perikanan. Eldridge P J, V G Burrell, and Steele G Develovment of a Self Culling Blue Crab Pot. J. Const. int. Explor. Mer Erdmann AM Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. Buku ke 2 : Lautan, The Nature Concervancy, Indonesia Coastal and Marine Program. 32 pp.

67 54 FAO Modern Fishing Gear of The World. London. Fishing News Book Ltd. P Ferno A dan Olsen S Marine Fish Behaviour and Abudance Estimation. Fishing News Books, England. 221 hlm. FishBase Fitri ADP Respon Penglihatan dan Penciuman Ikan Kerapu Terhadap Umpan Dalam Efektivitas Penangkapan [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fujaya Y Fisiologi Ikan : Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rhineka Cipta. Jakarta Gibson, Ivancevich, dan Donnely Organisasi dan Manajemen. Djoerban Wahid, penerjemah. Jakarta Penerbit Erlangga. Terjemah dari: Organization and Management. Gunarso W Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode, dan Teknik Penangkapan. Bogor: IPB Press Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode, dan Teknik Penangkapan. Diklat Mata Ajaran Tingkah Laku Ikan (tidak dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hansen A dan Reutter K Chemosensory Systems in Fish:Structural, Functional and Ecological Aspects. Di dalam: Emde, G. V. D: Mogdans, J; Kapoor, B.G, editor. The Sense of Fish (Adaptations for the Reception of Natural Stimuli). Kluwer Academic Publishers. Pp: Hara Feeding Behaviour in Some Teleosts is Triggered by Single Amino Acids Primarily Throught Olfaction. Journal of Fish Biology (68): Hartsuijker L dan Nocholson WE Result Of Potfishing Survey on Pedro Bank (Jamaica): The Relations Between Catch Rates, Catch Composition, The Size Of Fish And Their Recruitment to Fishery. Fish. Div. Min Agri. Jamaica Tech. Rep. No. 2 Of The Project. FAO/TCO/JAM 8902: Pot Fishing Survey Pedro Bank. Pp 200. Indrawatie D Pengujian Umpan Buatan (Arginin dan Leusin) Terhadap ikan Kerapu Macan Pada Skala Laboratorium [skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor; Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Iskandar BH dan Mawardi W Studi Perbandingan Keberadaan Ikan-ikan Karang Nokturnal dan Diurnal Tujuan Penangkapan di Terumbu Karang Pulau Pari Jakarta Utara. Bulletin PSP 6 : 1. Hal

68 55 Januma S, Miyajima K, dan Abe T Development and Comparative Test of Squit Liver artificial Bait for Tuna Longline. J. Fisheries Science (69) : Leksono U Suatu Studi Tentang Penggunaan Umpan Ikan Lemuru Sebagai Umpan Pada Perikanan Rawai Tuna di PT. Perikanan Samudera Besar, Benoa, Bali [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Lokkeborg Umpan Long Line dengan Suatu Tinjauan terhadap Tingkah Laku Ikan dan Sosok Umpan serta Pengaruh Daya Aroma Penarik yang Keluar dari Umpan. BPPI. Semarang. [Diterjemahkan oleh Zarochman]. Luckhurst B dan Ward J Behavioural Dynamics of Coral Reef Fishes in Antillian Fish Trap at Bermuda. Proc. Gulf. Caribb. Fish Inst 38: Maulana RRM Seleksi Umpan Bubu Untuk Meningkatkan Hasil Tangkapan Keong Macan di Perairan Teluk Jakarta[Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Istitut Pertanian Bogor. Martasuganda S Bubu (Traps). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mawardi M dan Ilyas Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang Pada Alat Tangkap Bubu (Trap) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nugraha A Efektivitas Penangkapan Ikan Karang Konsumsi Menggunakan Bubu dengan Umpan Yang Berbeda Di Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Istitut Pertanian Bogor. Nybakken JW Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, Hutomo, dan Sukardjo, 1982, Marine Biology An Ecological Approach. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Parrish JO Fishes at The Puerto Rican Coral Reef. Distribution, Behavioural and Response to Passive Fishing Gear. Carib Journal Scicences 18; Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu Data Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jakarta: Pemkab Kepulauan Seribu. Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang Laporan Tahunan Jakarta: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Prakoso G Pengaruh Attractor Dalam Pengoperasian Alat Tangkap Bubu Rajungan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Istitut Pertanian Bogor.

69 56 Pramono J Perikanan Bubu dan Peluang Pengembanganya di Sekitar Lokasi Sea Farming Kepulauan Seribu. [Skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Purbayanto A dan Fitri ADP Pengaruh Perbedaan Umpan Terhadap Pola Tingkah Laku Makan Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Hal Ramdani D Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Bubu Lipat Dengan Menggunakan Umpan yang Berbeda. [Skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Randall JE dan James H Grouper Of The World (Family Serranidae Sub Family Epinephelinae). FAO Fisheries Sinopsis. [Terhubung Berkala]. [1 Desember 2008]. Risamasu FJL Inovasi Teknologi Penangkapan Ikan Karang dengan Bubu Dasar Berumpon. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Riyanto M Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Terhadap Umpan Buatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor. Sadhori Teknologi Penangkapan Ikan. Jakarta: CV. Yasaguna. Sainsbury JC Commercial Fishing Methods. Fishing News Books Ltd. London Commercial Fishing Methods. An IIntroduction to Vessel and Gears. 3 rd Edition. London: Fishing News Books. Slack RJ dan Smith Fishing With Traps and Pots. FAO Training Series. Italy: FAO. Sondita FA dan Bachtiar I Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Dalam : Darmawan, Editor. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pualu-Pulau Kecil Secara Terpadu. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Subani W dan Barus HR Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Suharsono Jenis-jenis karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembagan Oseanologi. Proyek penelitian dan Pengembangan daerah Pantai: 116 hlm.

70 57 Susanti Y Pengoperasian Bubu Tambun dan Kerusakan Terumbu Karang Yang Diakibatkannya di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tiku M Pengaruh Jenis Umpan dan Waktu Pengoperasian Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau (Sylla serrata) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor. Tiyoso SJ Alat-Alat Penangkapan Ikan Tidak Memungkinkan Ikan Kembali (Non Return Traps). [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Walpole RE Pengantar Statistik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 515 hlm. Yudha IG Pengaruh Perbedaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Bubu Karang (Coral Trap) di Perairan Pulau Puhawang, Lampung Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Hal: Pengaruh Warna Pemikat Cahaya (Light Attractor) Berkedip terhadap Jenis dan Jumlah Ikan hasil Tangkapan Bubu Karang (Coral Trap) Di Perairan Pulau Puhawang, Lampung Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.. Pengaruh Perbedaan Warna Media Bubu Karang (Coral Trap) Terhadap Hasil Tangkapan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Zarochman Suatu Pengenalan Teknik Penangkapan Crab Dengan Bulu Babi Perangkai di Jepang. Jurnal Ariomma, I (I) : Media Informasi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang. Hlm 1-12.

71 LAMPIRAN 58

72 59 Lampiran 1 Lokasi penelitian dengan letak penanaman bubu tali PETA LOKASI PENANAMAN BUBU TALI P SEMAK DAUN LEGENDA LOKASI L 1 LOKASI L 2 LOKASI L 3 LAUT DARAT LINTANG SUMBER PETA: BAKOSURTANAL TAHUN PEMBUATAN : 2011 KARTOGRAFER: MIRA NURYAWATI C INSET LINTANG -5.8 BUJUR 0 m 1.12 m 2.24 m 3.36 m 4.48 m BUJUR

73 60 Lampiran 2 Alat dan Bahan yang digunakan pada penelitian Papan pengukur ikan Perahu Dongdang Bubuu Timbangan Ganco

74 61 Lanjutan Lampiran 2 Bantal raja Bulu babi Argininn Leusin Tepung Ikan Minyak Ikan

75 62 Lampiran 3 Hasil tangkapan selama penelitian No. Famili Nama Lokal Spesies Nama Internasional 1 Serranidae Kerapu koko Ephinephelus quoyanus Longfin grouper Kerapu karet Ephinephelus heniochus Three lined rockcod Lodi Plectropomus leopardus Leopard coral grouper 2 Nemipteridae Pasir Pentapodus trivittatus Striped whiptail Serak Scolopsis lineatus Striped Spinecheek Mata belo Clupea kanagurta - 3 Pomacentridae Betok hitam Neoglyphidodon Bowtie damselfish Betok belang Abudefduf septemfasciatus Banded sergeant 4 Lutjanidae Lencam Lutjanus sp. Snapper Kakap tanda Lutjanus rufolineatus Yellowstriped snapper Menggaru Lutjanus decussatus Checkered snapper 5 Labridae Kenari terompet Epibulus insidiator Slingjaw wrasse Pelo Halichoeres hortulatus - Nori item Chelinus sp. wrasses Kenari merah Cheilinusfasciatus Scarlet breasted maori wrasse 6 Mulidae Janggut Parupeneus macronema Longbarbel Goatfish Kuniran Upeneus sulphureus Sulphur goatfish 7 Chaetodontidae Strip 8 Chaetodon octofasciatus Eightbanded butterflyfish Marmut Chaetodontoplus mesoleucus Vermiculate angelfish Kepek-kepek monyong Chelmon rostratus Long-beaked coralfish 8 Siganidae Kea-kea Siganus virgatus Barhedmspinefoot 9 Holocentridae Swanggi Sargocentron rubrum Red Squirrelfish 10 Monachantidae Kupas-kupas Cantherhines fronticinctus Spectacled Filefish 11 Scorpaenidae Lepu Ayam Pterois volitans Lionfishes 12 Caesionidae Ekor Kuning Redbelly yellowtail fusilier Caesio cuning 13 Muraenidae Belut laut Scuticaria okinawa Okinawan snake morays 14 Xanthidae Kepiting Atergratis floridus Reef crab 15 Diodontidae Buntal Diodon sp. Porcupinefishes

76 63 Lampiran 4 Gambar hasil tangkapan Sumber Identifikasi : Allen G, Steene RC, Humann P dan Deloach N Reef Fish Identification Tropical Pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Florida USA; 457 hal Serranidae Nama Lokal : Kerapu koko Nama Latin : Epinephelus quoyanus Nama Internasional : Longfin grouper Nama Lokal : Kerapu Karet Nama Latin : Ephinephelus heniochus Nama Internasional : Three lined rockcod Nama Lokal : Kerapu Lodi Nama Latin : Plectropomus leopardus Nama Internasional : Leopard coralgrouper Pomacentridae Nama Lokal : Betok Hitam Nama Latin : Neoglyphidodon Nama Internasional : Bowtie damselfish Nama Lokal : Betok Belang Nama Latin : Abudefduf septemfasciatus Nama Internasional : Banded sergeant

77 64 Lanjutan lampiran 4 Nemipteridae Nama lokal : Pasir Nama latin : Pentapodus trivittatus Nama internasional : Striped whiptail Nama lokal : Serak Nama latin : Scolopsis lineatus Nama internasional : Striped Spinecheek Nama Lokal : Mata Belo Nama Latin : Clupea kanagurta Nama Internasional : - Nama Lokal : Lencam Nama Latin : Lutjanus sp. Nama Internasional : Snapper Lutjanidae Nama lokal : Kakap Tanda Nama latin: Lutjanus rufolineatus Nama internasional : Yellowstriped Snapper Nama Lokal : Menggaru Nama Latin : Lutjanus decussatus Nama Internasional : Checkered snapper

78 65 Lanjutan lampiran 4 Labridae Nama Lokal : Kenari terompet Nama Latin : Epibulus insidiator Nama Internasional : Slingjaw wrasse Nama lokal : Pelo Nama latin : Halichoeres hortulatus Nama Internasional : Checkerboard wrasse Nama Lokal : Nori item Nama Latin : Chelinus sp. Nama Internasional : wrasses Nama lokal : Kenari merah Nama latin : Cheilinus fasciatus Nama internasional : Scarlet breasted maori wrasse Mulidae Nama lokal : Janggut Nama latin : Parupeneus macronema Nama internasional : Longbarbel Goatfish Nama lokal : Kuniran Nama latin : Upeneus sulphureus Nama internasional : Sulphur Goatfish

79 66 Lanjutan lampiran 4 Chaetodontidae Nama lokal : Marmut Nama latin : Chaetodontoplus Mesoleucus Nama internasional : Vermiculate angelfish Nama lokal : Strip delapan/kepekepe Nama latin : Chaetodon octofasciatus Nama internasional : Eightbanded butterflyfish Nama Lokal : Kepe-kepe monyong Nama Latin : Chelmon rostratus Nama Internasional : Long-beaked coralfish Siganidae Nama Lokal : Kea-kea Nama Latin : Siganus virgatus Nama Internasional : Barhedmspinefoot Holocentridae Nama lokal : Swanggi Nama latin : Sargocentron rubrum Nama internasional : Red Squirrelfish

80 67 Lanjutan lampiran 4 Monachantidae Nama lokal : Kupaskupas Nama latin : Cantherhines fronticinctus Nama internasional : Spectacled Filefish Nama Lokal : Lepu ayam Nama Latin : Pterois volitans Nama Internasional : Lionfishes Scorpaenidae Caesionidae Nama lokal : Ekor Kuning Nama latin : Caesio cuning Nama internasional : Redbelly yellowtail fusilier Muraenidae Nama Lokal : Belut laut Nama Latin : Scuticaria okinawa Nama Internasional : Okinawan snake morays Nama Lokal : Kepiting Nama Latin : Atergratis floridus Nama Internasional : Reef crab Xanthidae

81 68 Lanjutan lampiran 4 Diodontidae Nama Lokal : Buntal Nama Latin : Diodon sp. Nama Internasional : Porcupinefishes

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS UMPAN BUATAN DALAM PENANGKAPAN IKAN KARANG KONSUMSI PADA BUBU DI KEPULAUAN SERIBU

EFEKTIVITAS UMPAN BUATAN DALAM PENANGKAPAN IKAN KARANG KONSUMSI PADA BUBU DI KEPULAUAN SERIBU EFEKTIVITAS UMPAN BUATAN DALAM PENANGKAPAN IKAN KARANG KONSUMSI PADA BUBU DI KEPULAUAN SERIBU BASKORO SUKOCO C44070063 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN Mochammad Riyanto 1), Ari Purbayanto 1), dan Budy Wiryawan 1) 1) Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM Deka Berkah Sejati SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 28 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah sebuah kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta dimana sebelumnya menjadi salah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia digolongkan menjadi dua, yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ABSTRAK Desty Maryam. Pengaruh kecepatan arus terhadap komponen desain jaring millenium (percobaan dengan prototipe dalam flume tank

ABSTRAK Desty Maryam. Pengaruh kecepatan arus terhadap komponen desain jaring millenium (percobaan dengan prototipe dalam flume tank PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP KOMPONEN DESAIN JARING MILLENIUM (Percobaan dengan Prototipe dalam Flume Tank) Desty Maryam SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) PANCING Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata pancing (hook). Sedangkan bahan, ukuran tali

Lebih terperinci

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PINTA PURBOWATI 141211133014 MINAT TIHP FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang telah lama

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o 55 30-6 o 07 00 Lintang Selatan dan 106 o 42 30-106 o 59 30 Bujur Timur. Batasan di sebelah

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Prinsip dari metode ini adalah mengumpulkan ikan dalam ruang lingkup suatu alat tangkap. Dalam menarik perhatian ikan, digunakan

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN BUPATI JEMBRANA,

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008). TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Perikanan Indonesia terletak di titik puncak ragam jenis ikan laut dari perairan tropis Indo-Pasifik yang merupakan sistem ekologi bumi terbesar yang terbentang dari pantai

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

MAKALAH ALAT TANGKAP DRIVE IN NETS

MAKALAH ALAT TANGKAP DRIVE IN NETS MAKALAH ALAT TANGKAP DRIVE IN NETS Disusun oleh: Gigih Aji Winata 26010211140081 Yuliana Khasanah 26010215120010 Selvia Marantika 26010215120030 Amalina Kirana Putri 26010215140058 Muhammad Yasin Fadlilah

Lebih terperinci

Volume 4 Nomor 1, April 2011 ISSN : X. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Borneo Tarakan. Kalimantan Timur

Volume 4 Nomor 1, April 2011 ISSN : X. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Borneo Tarakan. Kalimantan Timur Volume 4 Nomor 1, April 2011 ISSN : 2087-121X 2011 Jurnal HARPODON Harpodon BORNEO Borneo Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Timur Volume 4 Nomor 1 April 2011 ISSN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) merupakan pelabuhan perikanan tipe B atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal perikanan yang

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat 33 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan 5.1.1 Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat seluruhnya sebesar 43,595 kg. Hasil tangkapan didapatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon (Lampiran 1). Survey dan persiapan penelitian seperti pencarian jaring,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

UJI COBA BUBU BUTON DI PERAIRAN PULAU BATANTA KABUPATEN SORONG, PROPINSI PAPUA

UJI COBA BUBU BUTON DI PERAIRAN PULAU BATANTA KABUPATEN SORONG, PROPINSI PAPUA UJI COBA BUBU BUTON DI PERAIRAN PULAU BATANTA KABUPATEN SORONG, PROPINSI PAPUA Oleh : * HAMZAN ARISMA NASUTION C05497037 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untukmemperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Berikut ini adalah gambar secara skematis karangka pemikiran penelitian :

Berikut ini adalah gambar secara skematis karangka pemikiran penelitian : 13 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Potensi sumberdaya alam laut yang terdapat di Pulau Bali terdapat dua kegiatan yakni budidaya laut dan perikanan tangkap. Kedua potensi ini yang

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N

CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N Pendahuluan Ekosistem terumbu karang merupakan gantungan hidup bagi masyarakat Kelurahan Pulau Panggang, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Lebih terperinci

PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU

PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU DAVID OCTAVIANUS SIAHAAN SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember 2011. Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember 2011. Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan SAMBUTAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya serta kerja keras penyusun telah berhasil menyusun Materi Penyuluhan yang akan digunakan bagi

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA Agus Salim Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 29 Mei 2008; Diterima

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO Teknik Penangkapan Ikan Pelagis Besar... di Kwandang, Kabupaten Gorontalo (Rahmat, E.) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA http://www.berita-pulauseribu.com/pembangunan/687-kepulauanseribu-targetkan-1000-nelayan-alih-profesi.html.

DAFTAR PUSTAKA http://www.berita-pulauseribu.com/pembangunan/687-kepulauanseribu-targetkan-1000-nelayan-alih-profesi.html. 53 DAFTAR PUSTAKA Adianto H. 2007. Tingkat Keramahan Unit Penangkapan Ikan Karang dan Krustasea Terhadap Lingkungan di Pulau Sebesi Lampung [Skripsi]. Bogor: Allen G, Steene RC, Humann P, dan Deloach N.

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pulau Nusa Penida Pulau Nusa Penida secara umum berada pada 155º30 00 dan 155º36 00 bujur timur dan -8º40 00 sampai -8º45 00 lintang selatan. Kecamatan nusa Penida

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

PENUNTUN PELAKSANAAN MONITORING TERUMBU KARANG DENGAN METODE MANTA TOW

PENUNTUN PELAKSANAAN MONITORING TERUMBU KARANG DENGAN METODE MANTA TOW PENUNTUN PELAKSANAAN MONITORING TERUMBU KARANG DENGAN METODE MANTA TOW PENDAHULUAN Metoda Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan cara pengamat di belakang perahu kecil bermesin

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG Oleh : Harry Priyaza C54103007 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan dimulai dengan penyusunan proposal dan penelusuran literatur mengenai objek penelitian cantrang di Pulau Jawa dari

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung

Lebih terperinci

METODE PENANGKAPAN IKAN

METODE PENANGKAPAN IKAN METODE PENANGKAPAN IKAN ASEP HAMZAH FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN PERIKANAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA TEXT BOOKS Today s Outline Class objectives Hook and line (handline, longlines, trolline, pole

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Teknik Unit penangkapan pancing rumpon merupakan unit penangkapan ikan yang sedang berkembang pesat di PPN Palabuhanratu. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN Hadiah Witarani Puspa 1), T. Ersti Yulika Sari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : hadiahwpuspa@gmail.com

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan perikanan tangkap di Indonesia yang masih

Lebih terperinci

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis Oleh: Ririn Irnawati Sub Bahasan: a. TLI terhadap jaring insang b. TLI terhadap pancing c. TLI terhadap perangkap d. TLI terhadap set net Jaring Insang (Gillnet)

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dengan pengumpulan data di lapangan sejak tanggal 16 Agustus 2011 hingga 31 September 2011 di Desa Kertajaya, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA PERIKANAN TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA PERIKANAN TAHUN 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA PERIKANAN TAHUN 2014 74/12/72/Th. XVII, 23 Desember 2014 JUMLAH BIAYA PER HEKTAR USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT, BANDENG, DAN NILA DI ATAS Rp. 5 JUTA JUMLAH BIAYA PER TRIP USAHA PENANGKAPAN

Lebih terperinci

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang

UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang UKTOLSEYA (1978) menyatakan bahwa usaha-usaha perikanan di daerah pantai tidak terlepas dari proses-proses dinamika kondisi lingkungan laut yang sangat mempengaruhi, seperti arus pasang dan arus surut.

Lebih terperinci

memanfaatkan tingkah laku ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Hal ini terlihat dari bentuk bubu itu sendiri yang menyerupai batang kayu berlubang

memanfaatkan tingkah laku ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Hal ini terlihat dari bentuk bubu itu sendiri yang menyerupai batang kayu berlubang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam tersedia dalam jumlah yang melimpah belum dapat menjamin bahwa suatu bangsa itu akan sejahtera apabila sumberdaya tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan

Lebih terperinci