6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet"

Transkripsi

1 114 6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 5, leadernet berwarna kuning lebih efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan. Proporsi ikan yang tergiring leadernet berwarna kuning sekitar 84,12%, sedangkan yang tergiring leadernet berwarna hijau sekitar 45,59%, pada saat penggunaan leadernet berwarna hijau ikan cenderung menabrak dan tidak tergiring, berbeda dengan pada saat menggunakan leadernet berwarna kuning ikan cenderung tergiring dan tidak tersangkut. Hal ini terjadi karena leadernet berwarna kuning relatif lebih kontras sehingga ikan menghindar untuk menabraknya. Terkait dengan ini, pemilihan warna dan jenis bahan sangat penting dalam operasi penangkapan sehingga didapat hasil yang maksimal. Menurut Mumby et al. (1999), pemilihan alat merupakan bagian yang penting dalam operasi penangkapan. Pengenalan bahan jaring sintetis dengan warna kontras dan mutu yang tinggi akan merangsang perkembangan pemakaian alat tangkap. Hal ini disebabkan efisiensi penangkapan dengan cara menggiring ikan jauh lebih baik 2-13 kali pada PA monofillament yang kontras dalam dibanding dengan bahan serat alami (kapas, rami, rami halus) dan warna samarsamar. Hal ini karena persyaratan efisiensi penangkapan pada small bottom setnet memerlukan leadernet yang baik dalam memnggiring ikan. Hasil penelitain Bab 5, juga terlihat tingkah laku ikan (lolos, tergiring dan kembali menjauh) pada leadernet kuning masing-masing adalah 15,88%; 84,12%; dan 0%, sedangkan tingkah laku ikan (lolos, tergiring dan kembali menjauh) pada leadernet hijau masing-masing adalah 29,62%; 45,59%; dan 24%. Hal ini terjadi karena karena perbedaan daya tampak leadernet yang mempengaruhi tingkah laku ikan. Warna jaring yang sesuai pada leadernet dapat mengarahkan ikan menuju playground. Menurut Risamasu (2007), warna jaring dalam air akan dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman dari perairan, transparansi, sinar matahari, sinar bulan dan lain-lain faktor, dan pula sesuatu warna akan mempunyai perbedaan derajat terlihat oleh ikan-ikan yang berbeda-beda. Warna tersebut sangat

2 115 mempengaruhi tingkah laku ikan dan hal tersebut terlihat jelas pada beberapa alat tangkap misalnya gillnet dan lainnya. Pada gillnet, tingkah laku ikan dalam menubruk atau menerobos jaring sangat dipengaruhi oleh warna jaring. Serat jaring yang terlalu tipis juga kurang terlihat. Bahan yang daya mulurnya tinggi untuk beban kecil tidak sesuai untuk setnet (termasuk small bottom setnet). Hal ini sesuai dengan pendapat Subani dan Barus (1989) yang menyatakan bahwa untuk mendukung pemilihan warna yang tepat dalam menggiring ikan, jaring perlu memiliki kekuatan simpul yang stabil dan ukuran mata jaring tidak boleh dipengaruhi air. Menurut Risamasu (2007), di samping warna yang tepat, kekuatan bahan jaring juga harus diperhatikan, sehingga ikan hasil tangkapan dengan tingkah laku memberontak dapat ditahan. PA continous filament adalah bahan yang paling lunak dari semua bahan sintetis dalam kondisi basah, warna putih mengkilat yang alami adalah jauh lebih terlihat dalam air jernih. Warna hijau, biru, abu-abu dan kecoklatan merupakan warna-warna yang nampak digunakan paling umum pada perikanan komersial. Ikan yang datang dan kemudian berbalik arah menjauhi leadernet hijau berjumlah 149 ekor atau sekitar 24,79%. Fenomena ini tidak terlihat pada leadernet warna kuning atau dengan kata lain tidak seekorpun dari ikan yang datang mendekat kemudian berbalik arah menjauhi leadernet kuning. Diduga ini terjadi karena warna hijau pada leadernet mirip dengan warna air laut sehingga tidak ditakuti oleh ikan bahkan sebagian besar ikan tersebut mendekat dan memakan lumut yang ada pada leadernet. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Kawamura et al. (1996), bahwa ikan lebih mudah menghindari alat tangkap/pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah daripada berwarna biru dan hijau. Jumlah hasil tangkapan pada alat pengumpul berwarna biru dan hijau cenderung lebih banyak daripada alat pengumpul berwarna putih, kuning, dan merah. Disamping jumlah berbeda, jenis ikan yang terkumpul tersebut juga berbeda untuk setiap jenis warna alat pengumpul tersebut. Perbedaan tersebut terjadi karena setiap ikan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon atau membedakan warna benda yang mirip maupun berbeda/kontras dengan warna lingkungan perairan. Menurut Risamasu (2007), warna jaring yang

3 116 sesuai untuk tujuan menangkap jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan sebaiknya diperhatikan karena sangat mempengaruhi hasil tangkapan. 6.2 Pengamatan Contoh Mata Ikan Karang yang Tergiring oleh Leadernet Tipe reseptor mata ikan karang Berdasarkan gambar preparat histologi di atas, pada retina mata ikan sersan mayor dan ikan kerapu ditemukan cone cells yang merupakan fotoreseptor utama. Cone cells yang ditemukan terdiri dari dua tipe yaitu tipe single cone cell dan tipe twin cone cell. Menurut pendapat Matsuoka (1957), pada ikan bertulang sejati, ditemukan twin cone dan single cone. Adanya dua tipe cone cells pada ikan sersan mayor dan ikan kerapu menunjukan kedua ikan tersebut dapat mengenal warna. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitri (2002), menyatakan bahwa ikan yang memiliki fotoreseptor cone cells, baik tunggal maupun ganda/kembar dan membentuk susunan mosaik maupun tidak mengindikasikan bahwa ikan tersebut mampu membedakan warna. Penelitian yang telah dilakukan oleh Razak (2005) pada kelompok ikan karang Chaetodontidae menunjukkan pada fotoreseptor terdiri cone cells ganda dominan yang tersusun membentuk mosaik bujur sangkar memiliki ketajaman mata yang kuat agar mampu menangkap invertebrata kecil yang menjadi makanannya disamping polip koral. Berdasarkan uraian diatas, jika dihubungkan antara tipe cone cells ikan sersan mayor dan kerapu dengan warna leadernet maka dapat dikatakan bahwa kedua ikan karang tersebut yaitu ikan sersan mayor dan ikan kerapu dapat membedakan warna leadernet hijau dan leader kuning pada small bottom setenet Sumbu penglihatan (visual axis) Menurut Purbayanto et al. (2010) sumbu penglihatan mata ikan dapat ditentukan dengan terlebih dahulu mengetahui kepadatan cone cells pada area dorso-caudal, caudal, atau ventro-caudal pada retina mata ikan. Selanjutnya menurut Fitri (2008) sumbu penglihatan mata ikan dapat

4 117 ditentukan dengan melihat kebiasaan makan dan posisi densitas cone cell tertinggi pada ikan tersebut. Kebiasaan makan ikan kerapu dilakukan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya (Sale 2002). Ikan kerapu yang dipelihara pada kolam pemeliharaan akan mempunyai kebiasaan makan dengan menyergap pakan yang diberikan satu per satu sebelum pakan itu sampai ke dasar. Demikian juga kebiasaan makan ikan sersan mayor dengan cara menyantap makanannya sebelum sampai ke dasar perairan. Hasil pengamatan densitas cone cells tertinggi retina mata ikan sersan mayor terletak pada nomor sampel 22 dengan jumlah 90. Selanjutnya hasil pengamatan densitas cone cells tertinggi retina mata ikan kerapu terletak pada nomor sampel 21 dengan jumlah 98. Nomor sampel 21 dan 22 terletak pada bagian ventro-caudal, sehingga dapat dikatakan bahwa kepadatan cone cells ikan sersan mayor dan ikan kerapu berada pada bagian ventro-caudal. Berdasarkan kebiasaan makan dan posisi densitas cone cells tertinggi ikan sersan mayor dan ikan kerapu di atas maka dapat ditentukan sumbu penglihatannya yaitu arah depan ke atas. Menurut Blaxter (1980) kepadatan tertinggi cone cells di bagian ventro-caudal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance) Hasil yang terlihat pada Bab 5, menunjukan bahwa semakin besar diameter objek yang dilihat oleh ikan sersan mayor dan ikan kerapu maka akan semakin besar pula angka jarak pandang maksimum (MSD). Hasil analisis jarak pandang maksimum pada ikan sersan mayor dengan diameter objek 3 mm berkisar antara 0,30 m sampai 0,43m sedangkan jarak pandang maksimum pada ikan kerapu dengan diameter objek 3 mm berkisar antara 0,44 m sampai 0,68 m. Demikian halnya hasil analisis jarak pandang maksimum pada ikan sersan mayor dengan diameter objek 4 mm berkisar antara 0,39 m - 0,57 m sedangkan jarak pandang maksimum pada ikan kerapu dengan diameter objek 4 mm berkisar antara 0,58 m - 0,91 m.

5 Pengoperasian Small Bottom Setnet pada Kawasan Konservasi Laut Pengaturan interaksi small bottom setnet dengan terumbu karang Small bottom setnet hanya berdampak nyata terhadap frekuensi kehadiran ikan karang. Sedangkan gangguan terhadap karang hidup, kecerahan perairan yang mempengaruhi penyinaran karang, sirkulasi air/arus di sekitar karang, sedimentasi di karang, kehadiran biota laut non ikan tidak berdampak nyata dari adanya operasi small bottom setnet. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum pengoperasian small bottom setnet di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, relatif aman dan tidak mengganggu kelestarian terumbu karang dan ekosistemnya. Kalaupun ada pengaruh terhadap kehadiran ikan karang tidaklah begitu riskan dibandingkan dengan seandainya terjadi kerusakan fisik dan pertumbuhan pada terumbu karang, karena terumbu karang merupakan kehidupan semua biota laut dan habitat termasuk ikan karang itu sendiri. Menurut Mumby et al. (1999) menyatakan bahwa terumbu karang dan padang lamun memiliki berbagai peran dan fungsi vital bagi kehidupan bawah laut. Terumbu karang dan padang lamun menjadi daerah asuhan (nursery ground) dan daerah perlindungan bagi berbagai ikan karang,udang, dan biota laut lainnya. Ekosistem terumbu karang dan padang lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan di laut dan menjadi sumber utama produktivitas primer serta sumber makanan penting bagi berbagai ikan laut yang di tangkap nelayan. Mengacu kepada hal ini, maka menurut Subani dan Barus (1989), bila terjadi kepunahan pada karang, kehidupan bawah laut termasuk dari jenis ikan karang akan punah pula. Sedangkan menurut Gomez dan Yap (1988), dampak negatif terhadap kehadiran ikan dapat dihindari dengan memilih lokasi pemasangan small bottom setnet yang agak dalam sehingga tidak mengganggu pergerakan biota laut di sekitar karang. Operasi dan pengembangan small bottom set tersebut akan berhasil baik bila semua pihak mematuhi peraturan kaidah dan ketentuan hukum terkait pemanfaatan biota laut menggunakan small bottom set tersebut, serta tidak mengoperasikan alat tangkap yang telah dilarang/merusak lingkungan. Bila

6 119 mengacu kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, maka menurut Mamuaya et al (2007), pengembangan alat tangkap yang sesuai peraturan yang berlaku terkait pemanfaatan sumberdaya mempunyai dua sasaran, yaitu : (1) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; (2) terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, dimana hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat tersalurkan dengan baik. Pengaturan small botom senet terhadap hasil tangkapan ikan dapat dilakukan dengan pengaturan ukuran mata jaring pada leadernet, playground, dan bagnet. Ikan yang memiliki ukuran badan lebih kecil dari ukuran mata jaring tersebut akan dapat meloloskan diri. Sebaliknya ikan yang memiliki ukuran badan lebih besar dari ukuran mata jaring tersebut akan dapat tertangkap oleh small botom senet. Selanjutnya pengaturan terhadap hasil tangkapan dapat dilakukan dalam beberapa hal antara lain: bila ikan yang tertangkap berukuran lebih besar dari mata jaring tetapi merupakan jenis ikan yang dilindungi dan dikonservasi misalnya penyu atau ikan yang bertelur maka ikan tersebut dapat dengan mudah dilepas dalam keadaan hidup yang relatif tidak mengalami stress karena small bottom setnet adalah alat tangkap yang bersifat pasif (diam di tempat). Bila ikan yang tertangkap lebih besar dari ukuran mata jaring tersebut tetapi ikan tersebut belum layak ukuran pasar (masih dianggap kecil) misalnya ikan kerapu maka ikan tersebut dapat ditangkap dalam keadaan hidup untuk selanjutnya dipelihara dan dibesarkan dalam keramba sampai mencapai ukuran yang diharapkan Aktualisasi small bottom setnet sebagai alat tangkap Dampak operasi small bottom setnet terlihat tidak membahayakan lingkungan, karena itu small botom setnet dapat dijadikan sebagai alat tangkap alternatif di kawasan konservasi Kepulauan Seribu. Supaya tidak konflik bila dikembangkan secara luas sebagai alat tangkap alternatif, maka wilayah pemasangan small bottom setnet tersebut dapat dibagi-bagi, misalnya berdasarkan kedekatan dengan tempat tinggal atau alur melaut yang dilakukan selama ini. Pembagian wilayah penangkapan/pemasangan alat tangkap dapat mencegah

7 120 terjadi illegal fishing. Hal ini karena nelayan satu dengan lainnya tidak ada yang mengganggu atau mencuri ikan pada lokasi tangkap yang lainnya. Disamping itu, sebagian besar wilayah laut menjadi terjaga sehingga kegiatan penangkapan ikan illegal dari pihak luar dapat dicegah. Pemilihan lokasi pemasangan small bottom setnet di dekat tempat tinggal sangat cocok dilakukan mengingat small bottom setnet merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara tetap di suatu lokasi, dan untuk mengambil hasil tangkapannya tidak perlu membutuhkan armada penangkapan ukuran besar. Untuk menghemat biaya, maka sangat wajar bila lebih dipilih lokasi operasi yang berdekatan dengan tempat tinggal nelayan. Disamping itu, dampak pencemaran lebih bisa dihindari karena manusia biasanya tidak mau mencemari tempat tinggalnya.

4 METODOLOGI B C. Keterangan: Gambar 4 Bahan penyusun small bottom setnet. A = jaring B = pelampung C = desain

4 METODOLOGI B C. Keterangan: Gambar 4 Bahan penyusun small bottom setnet. A = jaring B = pelampung C = desain 45 4 METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di Kawasan Konservasi Laut, tepatnya di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU

3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU 3 ORGAN PENGLIHATAN KERAPU 3.1 Pendahuluan Mata ikan berkembang dengan sangat baik sesuai dengan kebutuhan lingkungannya. Beberapa diantaranya memiliki kemampuan melihat ke arah permukaan air ataupun ke

Lebih terperinci

VISIBILITY OF MONOFILAMENT AND MULTIFILAMENT AS FISHING GEAR MATERIALS IN WATERS. Abstract

VISIBILITY OF MONOFILAMENT AND MULTIFILAMENT AS FISHING GEAR MATERIALS IN WATERS. Abstract VISIBILITY OF MONOFILAMENT AND MULTIFILAMENT AS FISHING GEAR MATERIALS IN WATERS By Darno Harefa 1) Nofrizal 2), Irwandy Syofyan 2) 1) Student of Fisheries and Marine Science Faculty, University of Riau

Lebih terperinci

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR CONE DAN ROD. Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR CONE DAN ROD. Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN BERONANG DAN KAKAP BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR CONE DAN ROD Aristi Dian Purnama Fitri dan Asriyanto PS. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-UNDIP ABSTRAK

Lebih terperinci

PROSES TERTANGKAPNYA IKAN KARANG DENGAN SMALL BOTTOM SETNET BARU SADARUN

PROSES TERTANGKAPNYA IKAN KARANG DENGAN SMALL BOTTOM SETNET BARU SADARUN PROSES TERTANGKAPNYA IKAN KARANG DENGAN SMALL BOTTOM SETNET BARU SADARUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul

Lebih terperinci

VISIBILITAS TALI MULTIFILAMEN UNTUK BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PADA KEDALAMAN PERAIRAN YANG BERBEDA

VISIBILITAS TALI MULTIFILAMEN UNTUK BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PADA KEDALAMAN PERAIRAN YANG BERBEDA Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2014, hlm 43 52 ISSN 0126-4265 Vol. 42. No.1 VISIBILITAS TALI MULTIFILAMEN UNTUK BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PADA KEDALAMAN PERAIRAN YANG BERBEDA Nofrizal 1) Diterima

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk

I. PENDAHULUAN. Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk . PENDAHULUAN.. Latar Belakang Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan dan menghindar dari pemangsalpredator atau kepungan alat tangkap. Ketajaman penglihatan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS INDERA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPON UMPAN DEBBY SOFIANILA SARI NATSIR SKRIPSI

ANALISIS INDERA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPON UMPAN DEBBY SOFIANILA SARI NATSIR SKRIPSI ANALISIS INDERA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPON UMPAN DEBBY SOFIANILA SARI NATSIR SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Marine Fisheries ISSN Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 29-38

Marine Fisheries ISSN Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 29-38 Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 2, No. 1, Mei 2011 Hal: 29-38 ANALISIS INDRA PENGLIHATAN IKAN KERAPU MACAN (EPINEPHELUS FUSCOGUTTATUS) DAN HUBUNGANNYA DALAM MERESPONS UMPAN (Visual Analysis of grouper

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

KETAJAMAN PENGLIHATAN KAKAP MERAH DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING ULUR

KETAJAMAN PENGLIHATAN KAKAP MERAH DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING ULUR KETAJAMAN PENGLIHATAN KAKAP MERAH DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING ULUR GENNY GEONITA SKRIPSI. ' PROGRAM STUD1 PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis ikan yang hidup di daerah terumbu karang dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia digolongkan menjadi dua, yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

Fishing Methods: Gillnetting. By. Ledhyane Ika Harlyan

Fishing Methods: Gillnetting. By. Ledhyane Ika Harlyan Fishing Methods: Gillnetting By. Ledhyane Ika Harlyan Tujuan Instruksional Khusus (Semoga) Mahasiswa dapat: 1. Menyebutkan macam-macam gillnet 2. Teknis tertangkapnya ikan dengan menggunakan gillnet 3.

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN KARANG BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR

FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN KARANG BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR J. Sains MIPA, Desember 2009, Vol. 15, No. 3, Hal.: 159-166 ISSN 1978-1873 FISIOLOGI ORGAN PENGLIHATAN IKAN KARANG BERDASARKAN JUMLAH DAN SUSUNAN SEL RESEPTOR Aristi Dian Purnama Fitri* dan Asriyanto 1)

Lebih terperinci

Fishing Methods: Gillnetting. By. Ledhyane Ika Harlyan

Fishing Methods: Gillnetting. By. Ledhyane Ika Harlyan Fishing Methods: Gillnetting By. Ledhyane Ika Harlyan Tujuan Instruksional Khusus (Semoga) Mahasiswa dapat: 1. Menyebutkan macam-macam gillnet 2. Teknis tertangkapnya ikan dengan menggunakan gillnet 3.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : /KEPMEN-KP/2017 TENTANG TAMAN NASIONAL PERAIRAN NATUNA KABUPATEN NATUNA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis Oleh: Ririn Irnawati Sub Bahasan: a. TLI terhadap jaring insang b. TLI terhadap pancing c. TLI terhadap perangkap d. TLI terhadap set net Jaring Insang (Gillnet)

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI MILAWATI ODE, S.KEL KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Coral Triangle Wilayah Sasaran = Pulau Wangiwangi,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama yang semakin tinggi mempengaruhi model pengelolaan perikanan yang sudah harus mempertimbangkan prediksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum molusca yang memiliki cangkang tunggal, biasa tumbuh dalam bentuk spiral. Gastropoda berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PANTAI PENYU PANGUMBAHAN DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan

Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan 84 LAMPIRAN 85 Lampiran 1. Panduan Kuisioner untuk Internal dan Eksternal Kelembagaan I. Kebutuhan data dan informasi terkait internal 1. Pengendalian : Organisasi 2. Menejemen : Kebijakan, struktur, perencanaan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah perairan, perairan tersebut berupa laut, sungai, rawa, dan estuari. Pertemuan antara laut dengan sungai disebut dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di dalam wilayah perairan Indo West Pacific (Hutomo & Moosa, 2005). Terumbu karang adalah salah satu ekosistem penting

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PULAU KEI KECIL, PULAU-PULAU, DAN PERAIRAN SEKITARNYA DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Berdasarkan buku Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (9), wilayah mangrove desa Jayamukti Kecamatan Blanakan secara administrasi kehutanan termasuk

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR MALUKU KEPUTUSAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 387 TAHUN 2016 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL KEPULAUAN LEASE KABUPATEN MALUKU TENGAH GUBERNUR MALUKU, Menimbang :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan selama periode pengamatan menunjukkan kekayaan jenis ikan karang sebesar 16 famili dengan 789 spesies. Jumlah tertinggi ditemukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati:

Berikut obyek wisata yang bisa kita nikmati: Daya tarik wisata alam Ujung Genteng memang membuat banyak orang penasaran karena keragaman objek wisatanya yang bisa kita nikmati dalam sekali perjalanan, mulai dari pantai berpasir putih, melihat penyu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

Aspek Interaksi Manusia dan Komputer

Aspek Interaksi Manusia dan Komputer HUMAN Manusia merasakan dunia nyata dengan menggunakan piranti yang lazim dikenal dengan panca indera -mata, telinga, hidung, lidah dan kulit- sehingga lewat komponen inilah kita dapat membuat model manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. baku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meningkat dari 365 ribu ton menjadi. 99% dan hanya 1% dipenuhi dari kapas domestik.

I. PENDAHULUAN. baku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meningkat dari 365 ribu ton menjadi. 99% dan hanya 1% dipenuhi dari kapas domestik. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pengimpor bahan baku serat kapas terbesar kedua di dunia (Pamuji, et al., 2009). Secara umum pertumbuhan kebutuhan bahan baku industri tekstil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN

VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN 61 VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN 7.1. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Berdasarkan hasil analisis data diperoleh total nilai manfaat langsung perikanan tangkap (ikan) sebesar Rp

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci