5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peletakan Terumbu Buatan Proses awal dalam penelitian ini adalah peletakan terumbu buatan yang terbuat dari tempurung kelapa di daerah yang memiliki karakteristik yang cocok untuk pertumbuhan karang. Letak lokasi untuk terumbu buatan ini yaitu ,5 0 LS ; BT, kedalaman untuk peletakan terumbu buatan ini adalah 17 meter dan memiliki dasar berpasir serta kondisi dasar yang datar. Karakteristik tersebut sesuai dengan kriteria yang dibuat oleh Badan Sumberdaya Perikanan dan Perairan Filipina untuk peletakan terumbu buatan yaitu berjarak ±100 meter dari terumbu karang alami dibangun di daerah yang datar atau sedikit miring dan memiliki kecerahan yang baik, dan berada pada kedalaman 5-20 meter. Peletakan terumbu buatan tempurung kelapa dilakukan pagi hari pada tanggal 3 Maret 2012 pukul dengan kondisi arus, gelombang cukup baik, dimana pada saat peletakkan terumbu buatan di perairan Kepulauan Seribu sedang mengalami musim peralihan. Peletakan terumbu buatan tempurung kelapa dilakukan oleh 4 orang. Dua diantaranya berada di bawah kapal dan 2 lainnya berada diatas kapal. Jarak antar terumbu buatan tempurung kelapa sekitar 5 meter, hal tersebut dikarenakan kondisi dasar yang datar tidak terlalu luas dan apabila jarak lebih dari 5 meter akan ada kemungkinan salah satu terumbu buatan berada di kedalaman yang berbeda. Rancang bangun terumbu buatan tersebut memiliki bagian dan struktur yang jelas untuk menjadi alat pengumpul ikan, penarik ikan (fish aggregating device), sehingga dalam proses peletakan dapat diletakkan di area yang kurang produktif. Terumbu buatan dengan bahan dasar tempurung kelapa dirancang tidak hanya menjadi salah satu solusi dalam memperbaiki ekosistem terumbu alami, akan tetapi dirancang untuk menjadi fish aggregating device dimana mempunyai sifat aktif. Sifat aktif disini adalah dimana dapat mengumpulkan maupun menarik (aggregating) ikanikan karang serta menjadi media pertumbuhan karang.

2 Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya mengenai tempurung kelapa yang juga dibuat untuk dapat dijadikan terumbu buatan (bioreeftek) (Gambar 20) ( dimana dalam peletakkannya dekat dengan terumbu alami dengan tujuan tempurung tersebut nantinya akan merekrut larva planula karang secara alami (reproduksi seksual). Setelah larva planula karang menempel pada substrat Bioreeftek tersebut, dilakukan pemindahan ke ekosistem terumbu karang dengan prosentase relatif rendah. Struktur desain dari bioreeftek juga tidak memiliki bagian-bagian tertentu hanya dilakukan penumpukan tempurung kelapa di dekat terumbu alami. sumber : Gambar 20 Bioreeftek tempurung kelapa 5.2 Komposisi dan Jumlah Ikan di Terumbu Buatan Dari hasil pengamatan sensus visual ikan di tiga terumbu buatan (pada kedalaman 17 meter) berhasil tercacat sebanyak 10 famili yaitu Pomancentridae, Caesionidae, Labridae, Lutjanidae, Seranidae, Nempteridae, Holocentridae, Scaridae, Gobiidae dan Mullidae. Komposisi ikan hasil pengamatan sensus visual dapat dilihat pada Gambar 21. Famili tersebut merupakan beberapa famili yang erat kaitannya dengan lingkungan terumbu karang (Hutomo, 1995). Spesies indikator (Chaetodontidae) selama pengamatan visual tidak ditemukan, hal ini menjadi indikator bahwa belum adanya keberlangsungan terumbu karang di sekitar terumbu buatan tempurung kelapa. Komposisi kelimpahan terbesar hasil sensus visual di terumbu buatan selama penelitian adalah ikan betok dari famili Pomacentridae (59 %), sedangkan untuk

3 famili Labridae (166%) contohnya ikan nori merah, keelingg strip dan Famili Nemipteridae (14%). Famili Pomacentridae, Labridae merupakan famili yang bersifat ma dimana berperan diurnal dan termasukk dalam kelompok ikan mayor atau ikan utam dalam rantai makanaan (Adrim,1993). Ciri-ciri dari famili Pomaacentridae ini antara lain berukuran kecil hanya beberapa centimeter, bergerombol dallam jumlah banyak, nile hingga menjadi warna dan bentuk ekkor dapat berubah beberapa kali sejak juven ikan dewasa dan merrupakan ikan omnivora (Kuiter, 1992 diacu dalam d Yuspardianto, 1998). Ϭ ϮϬй ϯй ϯй ϭй Ϭ ϰϭй ĂĞƐŝŽŶŝĚĂĞ ^ĞƌƌĂŶŝĚĂĞ ϭϲй,,žůžđğŷƚƌŝěăğ Ϯй Ϯй >ĂďƌŝĚĂĞ >ƵƚũĂŶŝĚĂĞ D DƵůůŝĚĂĞ E EĞŵŝƉƚĞƌŝĚĂĞ ϭϰй ϱϵй W WŽŵĂĐĞŶƚƌŝĚĂĞ ^ĐĂƌŝĚĂĞ ' 'ŽďŝŝĚĂĞ Gambaar 21 Komposisi ikan hasil pengamatan sensuus visual Total individu ikan i setiap pengamatan sensus visual di tiiap terumbu buatan mengalami naik turuun. Hal ini disebabkan (1) karena perubahann cuaca atau musim yang berbeda tiap pengamatan, p (2) kemungkinan saat dilakukaan pencacahan, ada beberapa jenis dan jum mlah ikan yang berada di tempat lain. Dari hasil pencaccahan hasil sensus visual dari empat kali pen ngamatan, diperoleh hasil yang berbeda antara pengamatan dengan luasan 1 meterr (Gambar 22) dan pengamatan dengan luasan 2 meter (Gambar 23). Pada luasan 1 meeter diperoleh hasil bahwa jumlah individu ikkan terbanyak adalah pada terumbu buatann A, walaupun terdapat fluktuasi jumlah ik kan yang berkumpul pada terumbu A.

4 Gambar 22 Total individu ikan setiap pengamatan sensus visual di terumbu buatan dengann luasan pengamatan 1 meter Terumbu buatan A dalam setiap pengamatan (luasan 1 meter dan 2 meter) selalu diperoleh jumlah terbanyak ikan yang berkumpul dibanding dengan terumbu buatan B dan terumbu buatan C, hal ini dikarenakan posisi terum bu buatan A lebih dekat dan mengarah ke daratan serta juga lebih dekat dengan area terumbu karang alami, sehingga dapat dikatakan telah sesuai dengan kriteria dibuat oleh Badan Sumberdaya Perikanan dan Perairan Filipina untuk peletakan terumbu buatan dimana harus berjarak sekitar meter dari terumbu alami. Gambar 23 Total individu ikan setiap pengamatan sensuss visual di terumbu buatan dengan luasan pengamatan 2 meter

5 Terlihat dari hassil bahwa, secara keseluruhan jumlah ikan dari d luasan 2 meter lebih banyak (Gambbar 23), dikarenakan area luasan yang diggunakan lebih luas sehingga ikan-ikan yang y tercatat juga semakin lebih banyak, hal tersebut dapat menjadi kemungkinann bahwa ikan yang berada di luasan 2 meter dengan berjalannya waktu dapat berkumppul, berlindung pada terumbu buatan dari tem mpurung kelapa. Total individu ik kan yang terdapat terumbu buatan selama penelitian p dilakukan pembagian berdasarkkan tiga kategori kelompok ikan karang (Gam mbar 24), yaitu ikan indikator yaitu familli Chaetodontidae (0%), ikan target sepertii famili Serranidae, famili Lutjanidae (448%) dan ikan mayor seperti famili Pom macentridae, famili Labridae, famili Scaridae, famili Caesionidae, famili Gobiidae, fam mili Mullidae (51%) dan lain-lain (1%). ikann mayor 5 51% lain-laain 1% % ikan indikator 0% ikan targett 48% Gambar 24 Kom mposisi ikan hasil sensus visual menurut kategori k ikan karang di teerumbu buatan Tidak terdapatnyya ikan famili Chaetodontidae menunjukkann bahwa di terumbu karang buatan belum m tumbuh karang batu (stony coral). Baiik jumlah individu maupun spesies dapaat diramalkan akan bertambah apabila penelitian ini dilanjutkan sampai terumbu buaatan mampu menghasilkan karang batu. Karena K tujuan dari penelitian ini adalahh agar terumbu buatan dapat dijadikan alternatif a perbaikan komunitas terumbu karang k alami. Keberadaan ikann mayor paling banyak karena adanya sumberrdaya makanan yang tersedia di terumbu buatan b berupa plankton, maupun algae. Seddangkan banyaknya

6 ikan target disini dikarenakan adanya ikan mayor yang biasa dijadikan salah satu target mangsa ikan target, dimana ukuran ikan mayor lebih kecil dibandingkan ikan target, hal tersebut mengakibatkan ikan target datang ke terumbu buatan untuk memangsa ikan-ikan kecil tersebut. Berkumpulnya ikan di terumbu karang buatan disebabkan karena adanya proses kolonisasi dan suksesi. Kolonisasi adalah suatu proses penempatan atau penghunian suatu daerah atau tempat oleh suatu organisme, sedangkan suksesi merupakan suatu proses pergantian dari suatu atau sekelompok jenis organisme oleh yang lainnya dengan komposisi dan struktur yang berbeda-beda (Yuspardianto, 1998). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa ikan-ikan berkumpul di terumbu buatan antara lain disebabkan oleh proses pembentukan rantai makanan lokal. Proses ini diawali dengan terbentuknya akumulasi atau kolonisasi perifiton yang yang diikuti dengan terkumpulnya pemangsa perifiton, dan kemudian plankton feeder. Kolonisasi oleh mikroorganisme, baik mikroba maupun mikroalga akan menarik perhatian juvenil ikan, ikan berukuran kecil sampai ikan berukuran besar sehingga akan menyebabkan terjadinya food web di sekitar terumbu buatan (Bohnsack et al, 1991). Tingginya kelimpahan dan hasil tangkapan 10 spesies di terumbu buatan tempurung kelapa, diduga berkaitan dengan ukuran rongga (shelter) yang tidak terlalu besar. Beberapa studi yang menunjukkan bahwa ukuran rongga (hole size) dan jumlahnya mempengaruhi assemblages (Bortone dan Kimmel,1991 diacu dalam Mayasari, 2008). Walsh (1985) menemukan komposisi rongga hanya berpengaruh kecil terhadap assemblages pada siang hari, tetapi penting bagi ikan pada malam hari sebagai tempat berlindung di lepas pantai Hawai. Shulman (1984) juga menemukan bahwa rongga mampu menghindarkan ikan dari predator, kemudian meningkatkan rekrut juvenile, jumlah spesies dan densitas total ikan pada terumbu kecil di Kepulauan Virgin. Studi lain mengindikasikan bahwa terumbu dengan rongga ukuran besar kurang memberikan perlindungan terhadap ikan-ikan kecil dari predator, sehingga kelimpahan ikan dan keragaman spesiesnya rendah (Shulman, 1984; Hixon dan Beets, 1989 diacu dalam Mayasari, 2008). Ogawa (1982) diacu dalam Mayasari (2008) melaporkan bahwa ikan tidak akan menempati rongga dengan ukuran bukaan

7 2 meter atau lebih, daan merekomendasikan bukaan rongga yang terbaik t untuk tujuan perikanan adalah berk kisar antara 0,15 m sampai 1,5 m. 5.3 Hasil Tangkap pan pada Bubu Tambun Hasil tangkapann ikan total di terumbu karang buatan dengan n menggunakan tiga alat tangkap bubu tam mbun selama penelitian di bulan Maret-Mei 2012 sebanyak 92 ekor yang terdiri darri 13 spesies dan 10 famili (Gambar 25). Faamili Pomacentridae adalah famili yang paaling mendominasi dalam hasil tangkapan bu ubu dimana ikan dari famili Pomacentridaee adalah jenis ikan omnivora (pemakan segallanya dari ganggang sampai anemone, dann dari siput laut sampai ikan) yang aktif mencari m makan pada siang hari terdapat di d semua laut tropis dan penyebarannya luaas, contoh ikan dari family Pomacentridaae adalah ikan betok susu, betook hitam.. Sedangkan famili Chaetodontidae mem makan hard coral dan soft coral, alga.. Ikan dari famili Chaetodontidae mem mpunyai ciri khas warna tubuh yang cerah dan n indah, contoh ikan dari famili 4% 7 7% 2% 1% ĂůŝƐƚŝĚĂĞ 7% ŚĂĞƚŽĚŽŶƚŝĚĂĞ 23%,ŽůŽĐĞŶƚƌŝĚĂĞ >ĂďƌŝĚĂĞ DƵƌĂĞŶŝĚĂĞ WŽŵĂĐĞŶƚƌŝĚĂĞ ^ĐĂƌŝĚĂĞ 2% ^ĞƌƌĂŶŝĚĂĞ ^ŝőăŷŝěăğ 35% 17% yăŷƚśŝěăğ 2% Gambar 25 Kom mposisi hasil tangkapan bubu tambun berdasaarkan famili Terdapat flukttuasi angka jumlah penangkapan dalam setiap tripnya, hal tersebut dikarenakann musim yang berubah-ubah serta posisi peeletakan bubu yang terkadang tidak sam ma dengan sebelumnya. Berikut disajikan tabel jumlah hasil tangkapan tiap trip (T Tabel 5).

8 Tabel 5 Jumlah hasil tangkapan tiap trip Trip ke waktu setting waktu hauling Jumlah hasil tangkapan 1 18 Maret 2012, pukul Maret 2012, pukul ekor 2 10 April 2012, pukul April 2012, pukul ekor 3 11 April 2012, pukul April 2012, pukul ekor 4 12 April 2012, pukul April 2012, pukul ekor 5 27 April 2012, pukul April 2012, pukul ekor Sumber : data diolah kembali Fluktuasi angka penangkapan ikan tiap trip nya terjadi karena cuaca yang tidak mendukung dalam proses penangkapan, seperti yang terjadi pada saat trip ke-3, arah arus pada saat itu adalah arus tenggara dan kecepatan arus tergolong sangat kuat. Menurut hasil wawancara dengan nelayan setempat bahwa hal tersebut cukup menganggu dalam proses penangkapan dan hasil tangkapan yang diperoleh pun menurun. Jumlah dan komposisi ikan di bubu stasiun 2 dan stasiun 3 memang tidak terlalu banyak seperti pada bubu stasiun 1, akan tetapi pada bubu stasiun 3 selalu diperoleh jenis ikan dari famili Serranidae yaitu kerapu macan, kerapu lada dimana ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Jumlah hasil tangkapan tiap bubu pada setiap penangkapan disajikan pada Gambar 26. Penangkapan ke- Gambar 26 Jumlah hasil tangkapan bubu tiap stasiun selama penangkapan Peletakan posisi bubu dapat dikatakan mempengaruhi hasil tangkapan, seperti pada Gambar 26 terlihat bahwa pada bubu A lebih mendominasi dalam setiap proses

9 penangkapan, diduga karena peletakan bubu A dekat dengan terumbu buatan A dan posisi tersebut dekat dengan terumbu alami serta daratan. Sehingga terdapat hasil yang sejalan dengan pengamatan sensus visual pada terumbu buatan, dimana terumbu buatan A jumlah ikan yang tercacah lebih banyak dibanding dengan terumbu buatan B dan terumbu buatan C. Dari Gambar 26, jumlah hasil tangkapan ikan pada penangkapan ke lima (5) di terumbu karang buatan mengalami penurunan drastis. Hal ini disebabkan kecerahan perairan pada saat itu sangat rendah, sehingga kemungkinan saat melakukan perendaman bubu, ikan-ikan sedang bermigrasi ke tempat lain. Penurunan tersebut juga terjadi akibat bubu pada stasiun 3 hilang karena memang arus di dalam air cukup kuat kemungkinan bubu tersebut terbawa oleh arus. Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh dari penangkapan dengan menggunakan bubu tambun (Gambar 27) yaitu ikan target (6%) yang antara lain terdiri dari berbagai jenis ikan kerapu (Ephinephelus sp), ikan indikator (27%) yaitu dari jenis ikan famili Chaetodontidae seperti ikan marmut dan kepe-kepe, ikan mayor atau ikan utama (54%) yang berperan sebagai rantai makanan ikan seperti ikan famili Pomacentridae, Scaridae, Labridae serta lain-lain (13%). Tujuan penangkapan ikan karang di nelayan setempat diperoleh informasi bahwa kebanyakan adalah ikan-ikan konsumsi (famili Serranidae) serta ikan-ikan hias (famili Chaetodontidae), sehingga hasil tangkapannya dapat langsung dijual. Dengan demikian keberadaan terumbu karang buatan sangat cocok untuk pengganti terumbu karang alami, sehingga nelayan tidak lagi melakukan penangkapan di daerah terumbu karang alami yang rawan akan kerusakan karang.

10 lain-lain 13% ikan target 6% ikan inndikator 27% ikan mayor 54% Gambar 277 Komposisi hasil tangkapan bubu tambun selama penelitian Karena bubu yaang dioperasikan tanpa umpan, maka kemuungkinan besar ikan masuk ke dalam bubu u karena tingkah laku ikan tersebut. Beberapaa famili ikan karang mendekati bubu kareena rasa keingintahuan dari ikan tersebut teerhadap benda asing atau dikenal dengan sifat s thigmotaksis. Beberapa famili ikan karan ng menjadikan bubu sebagai area mencarri makan, seperti ikan dari famili Scaridaae, Chaetodontidae, Pomacanthidae dan Siganidae. S Selain itu diduga bubu sebagai tem mpat beristirahat atau menunggu mangsa leewat, ikan karnivora masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh mangsa yang terperanngkap dalam bubu. Sebagaimana hassil pengamatan yang dilakukan oleh High daan Beardsley (1970) diacu dalam Mayasaari (2008) pada bubu tanpa umpan dimana jeenis ikan Squirefish dan Goatfish (Mulliidae) masuk ke dalam bubu secara bergeerombol (schooling) sedangkan jenis Parrrotfish (Scaridae) dan big eye (Priacanthidaae) masuk ke dalam bubu secara individdu. High dan Ellis (1973) diacu dalam m Mayasari (2008) mengamati ikan Fo our-eyed butterfly (Chaetodon sp) dan Spotted goat fish (Pseudupeneus maculatus) disekitar bubu berenang maju mundurr ketika melihat ikan d bubu. lain terperangkap ke dalam Dari hasil pengam matan sensus visual terumbu buatan dengan ikan i hasil tangkapan bubu tambun, ternyyata terdapat kesamaan antara jenis, walaupun jumlah dan kelimpahannya berbeeda. Famili Seranidae tidak termasuk darii hasil pengamatan sensus visual, sedang gkan Serranidae banyak tertangkap pada buubu tambun. Hal ini

11 diduga karena ikan famili Serranidae tertarik pada bubu tambun akibat didalam bubu tambun terdapat mangsa ikan kecil yang dijadikan makanannya. Setelah dilakukan uji kenormalan Chi Square ternyata data yang diperoleh menyebar normal, maka dilanjutkan dengan Uji f. Dari hasil perhitungan uji f untuk hasil tangkapan diperoleh nilai p-value yaitu , atau di atas 0,05 (0,335>0,05). Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk jumlah hasil tangkapan pada setiap trip penangkapan. Hasil tangkapan yang diperoleh mempunyai nilai TKG kisaran I-IV, dalam hal ini hasil tersebut dapat dijadikan tolak ukur apakah hasil tangkapan bubu tambun layak ditangkap atau masih belum saatnya tertangkap. Nilai tingkat kematangan gonad (TKG) ikan hasil tangkapan bisa dijadikan sebagai tingkat pelestarian ekosistem ikan. Dari hasil diperoleh bahwa kebanyakan ikan yang tertangkap dengan bubu mempunyai nilai TKG I (Immature) atau termasuk ikan muda dimana masih belum mengalami kematangan gonad yaitu sebanyak 46%, sedangkan untuk ikan dengan nilai TKG II (developing) atau masa perkembangan diperoleh sebanyak 28%. Untuk ikan dengan nilai TKG III berjumlah 22% dari total hasil tangkapan sedangkan untuk ikan dengan nilai TKG IV yaitu 4%. Jumlah total ikan hasil tangkapan yang bernilai TKG I III sebesar 96%, sehingga dari nilai tersebut mengindikasikan ikan-ikan yang tertangkap masih belum layak tangkap (immature fish). Tingkat kematangan gonad ini menjadi indikator, apakah alat tangkap bubu baik untuk penangkapan dalam hal ini berhubungan dengan kelestarian spesies ikan. Dari data yang diperoleh, dengan bertambahnya ukuran panjang dan berat maka akan terdapat perkembangan gonad, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1969) bahwa dalam penentuan tingkat kematangan gonad dapat berdasarkan berat dan secara ilmiah hal ini berhubungan dengan ukuran dan berat ikan (Lampiran 7).

12 5.4 Perbandingan Panjang dan Berat Ikan Hasil Tangkapan Hasil analisis hubungan panjang dan berat menunjukkan tiga spesies dengan pertumbuhan alometrik positif (pertambahan berat relatif lebih besar dari pertambahan panjang), sementara lima spesies menunjukkan pertumbuhan alometrik negatif (pertambahan berat relatif lebih kecil dari pertambahan panjang). Tabel 6 menunjukkan nilai b setiap spesies. Tabel 6 Hubungan panjang dan berat ikan hasil tangkapan bubu tambun No. Nama Umum Spesies Famili Nilai b Keterangan 1 Betok hitam Dischistodus pseudochrysopoecilus Pomacentridae Alometrik negatif 2 Marmut Chaetodontoplus mesoleucus Chaetodontidae Alometrik positif 3 Triger Rhinecanthus aculeatus Balistidae Alometrik negatif 4 Betok susu Dischitodus perspicillatus Pomacentridae Alometrik negatif 5 Kenari merah Cheilinus fasciatus Labridae Alometrik negatif Dari data diatas diperoleh hasil ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus) mempunyai hubungan alometrik positif (b>3) dimana pertambahan berat lebih besar dari pertambahan panjang, sedangkan ikan betok hitam, triger, betok susu dan kenari susu mempunyai hubungan alometrik negatif (b<3) yaitu pertambahan berat lebih kecil dari pertambahan panjang. Grafik hubungan tiap spesies ikan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8. Hubungan panjang dan berat ikan juga memiliki hubungan dengan tingkat kematangan gonad ikan tersebut. Terdapat beberapa ikan yang secara ukuran panjang dan berat masih tergolong kecil, akan tetapi ketika dilakukan pengamatan tingkat kematangan gonad ikan tersebut masuk dalam TKG II atau TKG III contoh dalam kasus ini adalah ikan marmut. 5.5 Analisis Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Ikan di Terumbu Karang Alami Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi merupakan suatu indeks yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kestabilan suatu komunitas.. Suatu komunitas memiliki keseragaman tinggi jika semua jenis memiliki kelimpahan yang sama atau hampir sama. Jika hanya satu atau beberapa jenis saja yang melimpah maka tingkat keseragamannya akan rendah (Yuspardianto, 1998).

13 Hasil pencacahan diperoleh jumlah ikan di terumbu karang alami diperoleh 8 famili yaitu Caesionidae, Chaetodontidae, Haemulidae, Labridae, Nemipteridae, Pomacentridae, Scaridae dan Serranidae, sedangkan terdapat 25 spesies dengan luasan pengamatan 250 meter dengan kondisi terumbu karang yang dijadikan pembanding, mempunyai kondisi yang tidak lagi 100% baik adanya. Frekuensi terbanyak dari famili Pomacentridae yaitu spesies Pomacentrus alexanderae. Hasil pengamatan sensus visual terumbu karang alami diperoleh indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E), dan dominansi (C) berturut-turut 1.707, 0.304, Analisis Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Ikan di Terumbu Karang Buatan Hasil pengamatan sensus visual terumbu karang buatan dengan luasan pengamatan 1 meter diperoleh indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E), dan dominansi (C) berturut-turut berkisar antara , ,dan (Gambar 28). Nilai keanekaragaman ini tergolong kecil, hal ini menunjukkan bahwa komposisi spesies ikan di terumbu karang buatan masih kurang. Diperkirakan komposisi spesies ikan di terumbu karang buatan akan bertambah dengan bertambahnya umur terumbu karang buatan di dasar perairan. Nilai indeks keseragaman menunjukkan nilai labil mendekati stabil, berarti spesies-spesies ikan yang terdapat di terumbu karang buatan masih dalam tahap adaptasi lingkungan, sehingga selalu berpindah-pindah. Nilai Dominansi menunjukkan nilai rendah (mendekati nilai nol), yang berarti tidak terdapat jenis yang mempunyai kelimpahan yang menonjol atau dengan kata lain kelimpahan cukup merata untuk tiap spesies.

14 Gambar 28 Indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada terumbu karang buatan luasan 1 meter Hasil pengamatan sensus visual pada luasan pengamatan 2 meter, diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E), dan dominansi (C) berturut-turut berkisar antara , , (Gambar 29). Hasil tersebut tidak terlalu berbeda dengan pengamatan luasan 1 meter, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah akan terdapat perbedaan hasil dengan perbedaan luasan pengamatan. Dengan hasil tersebut dapat dikatakan terdapat peluang yang besar pada terumbu buatan tersebut nantinya akan semakin banyak ikan yang berada di terumbu buatan tersebut yang menjadikan terumbu buatan menjadi tempat berlindung, tempat mencari makan maupun shelter untuk bermain. Gambar 29 Indeks keanekaragaman (H ), keseragaman (E) dan dominansi (C) pada terumbu karang buatan pada luasan 2 meter

15 Untuk hasil tangkapan, indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi berturut-turut , , Nilai keanekaragaman ini tergolong sedang dengan tekanan lingkungan sedang, keseragaman tergolong sedang dengan komunitas yang labil dan nilai dominansi tergolong rendah.

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat 33 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Tangkapan 5.1.1 Total hasil tangkapan Hasil tangkapan bubu tali selama 10 kali operasi adalah 520 ekor dengan berat seluruhnya sebesar 43,595 kg. Hasil tangkapan didapatkan

Lebih terperinci

5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu

5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu 5 PEMBAHASAN Salah satu upaya meniadakan atau mengurangi penangkapan ikan di terumbu karang adalah dengan membangun terumbu buatan di sekitar terumbu karang, sehingga nelayan tidak lagi menangkap ikan

Lebih terperinci

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara.

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Arah dan Kecepatan Angin Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan

Lebih terperinci

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan selama periode pengamatan menunjukkan kekayaan jenis ikan karang sebesar 16 famili dengan 789 spesies. Jumlah tertinggi ditemukan

Lebih terperinci

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG PADA TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI FISH AGGREGATING DEVICE DONI PERYANTO

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG PADA TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI FISH AGGREGATING DEVICE DONI PERYANTO KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG PADA TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI FISH AGGREGATING DEVICE DONI PERYANTO DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami Definisi dan fungsi terumbu karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami Definisi dan fungsi terumbu karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami 2.1.1 Definisi dan fungsi terumbu karang Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Menjangan Kecil terletak di sebelah selatan Pulau Karimunjawa, yang memiliki luas 56,0 ha dengan 0,79% daratan. Pulau Menjangan Kecil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PRODUKTIVITAS HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 99-110 ISSN 2087-4871 PRODUKTIVITAS HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA (PRODUCTIVITY

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN Mochammad Riyanto 1), Ari Purbayanto 1), dan Budy Wiryawan 1) 1) Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

KONDISI DAN POTENSI KOMUNITAS IKAN KARANG DI WILAYAH KEPULAUAN KAYOA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN MALUKU UTARA

KONDISI DAN POTENSI KOMUNITAS IKAN KARANG DI WILAYAH KEPULAUAN KAYOA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN MALUKU UTARA KONDISI DAN POTENSI KOMUNITAS IKAN KARANG DI WILAYAH KEPULAUAN KAYOA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN MALUKU UTARA Pustika Ratnawati, Hamelia Priliska, Sukmaraharja Fisheries Diving Club, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA NUR LINA MARATANA NABIU

PRODUKTIVITAS HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA NUR LINA MARATANA NABIU PRODUKTIVITAS HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU DKI JAKARTA NUR LINA MARATANA NABIU DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKUR KOMUNITAS IKAN KARANG DI RUMPON DAN BUBU. Fonny J.L Risamasu dan Jotham S.R Ninef * ABSTRACT

ANALISIS STRUKUR KOMUNITAS IKAN KARANG DI RUMPON DAN BUBU. Fonny J.L Risamasu dan Jotham S.R Ninef * ABSTRACT ANALISIS STRUKUR KOMUNITAS IKAN KARANG DI RUMPON DAN BUBU Fonny J.L Risamasu dan Jotham S.R Ninef * ABSTRAT This paper describe of reef fish community structure in FAD (Fish Aggregating Device) and trap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk wilayah di Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Larva Ikan Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang hidup plantonik, merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Fikri Firmansyah, Adib Mustofa, Estradivari, Adrian Damora, Christian Handayani, Gabby Ahmadia,

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: Lampiran Tabulasi data persen tutupan karang berdasarkan bentuk pertumbuhan (life form)dan komponen lainnya No TipeSubtrat (DPL ) KayuDuri (DPL ) PulauUmang- Umang PersentaseTutupan (%) (DPL )GosongSawo

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sistem Sosial-Ekologi Desa Basaan 4.1.1 Sistem Sumberdaya Desa Basaan Kabupaten Minahasa Tenggara tidak terlepas dari kegiatan tektonik dan magmatisme busur gunung api karena

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Jenis Ikan Dua pendekatan digunakan untuk melihat komposisi jenis ikan di sekitar Pulau Semak Daun, yaitu berdasarkan pengambilan contoh menggunakan alat tangkap dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 49 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Ekologi Terumbu Karang Desa Teluk Buton 5.1.1 Persentasi tutupan karang hidup Dari hasil pengamatan dengan metode LIT pada ke dua stasiun penelitian, diperoleh rata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN BUBU YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN KARANG KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN BUBU YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN KARANG KEPULAUAN SERIBU ANALISIS HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN BUBU YANG DIOPERASIKAN DI PERAIRAN KARANG KEPULAUAN SERIBU Bycatch Analyses of Pot Operated In Coral Reef Waters of Seribu Islands Dahri Iskandar 1 1 Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

PETA LOKASI PENANAMAN BUBU TALI

PETA LOKASI PENANAMAN BUBU TALI LAMPIRAN 58 59 Lampiran 1 Lokasi penelitian dengan letak penanaman bubu tali PETA LOKASI PENANAMAN BUBU TALI -5.69-5.7-5.71 P SEMAK DAUN LEGENDA LOKASI L 1 LOKASI L 2 LOKASI L 3 LAUT DARAT LINTANG -5.72-5.73

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Kepulauan Seribu sebagian besar diisi oleh 108 pulau karang dengan dasar batu karang, serta 30 pulau lainnya terletak di Teluk Jakarta. Terumbu karang Kepulauan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia PENDAHULUAN Latar belakang Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini terlihat dari hasil

Lebih terperinci

STUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR

STUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR STUDI JUVENIL KARANG YANG MENEMPEL PADA RUMPON BUATAN DI PERAIRAN PULAU MANDANGIN, KECAMATAN SAMPANG, KABUPATEN SAMPANG JAWA TIMUR Mahmud, Oktiyas Muzaki Luthfi Program Studi Ilmu kelautan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik : PENANGKAPAN DAN DISTRIBUSI HIU (APPENDIX II CITES) OLEH NELAYAN RAWAI DI PERAIRAN SELATAN TIMOR CATCH AND DISTRIBUTION OF SHARKS (APPENDIX II CITES) BY LONGLINE FISHERMEN IN SOUTH WATER OF TIMOR Oleh :

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Daerah Kecamatan Pulau Tiga merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Natuna yang secara geografis berada pada posisi 3 o 34 30 3 o 39

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu. berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta

2. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu. berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi DKI Jakarta 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Geografis dan Iklim di Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai salah satu Kabupaten Administrasi berdasarkan UU No.34 Tahun 1999 tentang pemerintahan Provinsi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 cahaya Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. cahaya dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang Usep Sopandi. C06495080. Asosiasi Keanekaragaman Spesies Ikan Karang dengan Persentase Penutupan Karang (Life Form) di Perairan Pantai Pesisir Tengah dan Pesisir Utara, Lampung Barat. Dibawah Bimbingan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Djatikusumo, EW Dinamika Populasi Ikan (Bahan Kuliah). Jakarta. Akademi Usaha Perikanan.

DAFTAR PUSTAKA. Djatikusumo, EW Dinamika Populasi Ikan (Bahan Kuliah). Jakarta. Akademi Usaha Perikanan. 39 DAFTAR PUSTAKA Baskoro M, Telussa RF, dan Purwangka F. 2006. Efektivitas Bagan Motor di Perairan Waai, Pulau Ambon. Prosiding Seminar Perikanan Tangkap. ISBN: 979-1225-00-1. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO 3 ). Terumbu karang terdiri atas binatang karang (coral) sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI

PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI PEMANTAUAN KESEHATAN TERUMBU KARANG UNTUK MELIHAT EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS ZONASI Evi Nurul Ihsan, Estradivari, Amkieltiela, La Hamid, Mulyadi, Purwanto, Dedi Parenden

Lebih terperinci

PROTOKOL PEMANTAUAN PENDARATAN IKAN

PROTOKOL PEMANTAUAN PENDARATAN IKAN PROTOKOL PEMANTAUAN PENDARATAN IKAN Tasrif Kartawijaya Shinta Trilestari Pardede Wildlife Conservation Society Indonesia Program Jl. Atletik 8, Bogor 16161 - Indonesia Ph: t: +62 251 8342135, 8306029 Fac:

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

KONDISI IKAN KARANG DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA. 1) Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan, 2) Bi nandra Dwindaru dan 3) Fitrie Hardyanti

KONDISI IKAN KARANG DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA. 1) Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan, 2) Bi nandra Dwindaru dan 3) Fitrie Hardyanti 1 KONDISI IKAN KARANG DI PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA 1) Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan, 2) Bi nandra Dwindaru dan 3) Fitrie Hardyanti ABSTRAK Dalam suatu ekosistem terumbu karang terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri. Ekosistem pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri. Ekosistem pesisir dan laut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, mempunyai nilai ekologis dan nilai ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2014 di perairan Pulau Kelagian, Provinsi Lampung. B. Alat dan Bahan 1. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 55 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Sumberdaya Kecamatan Betoambari Kecamatan Betoambari dengan panjang garis pantai sekitar 10.30 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Sumberdaya

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENILITIAN. Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara,

BAB III METODE PENILITIAN. Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, 17 BAB III METODE PENILITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, dari bulan Oktober sampai bulan Desember 2012. Lokasi penelitian bertempat di Perairan Pantai Desa Ponelo, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG FISIK KAWASAN WISATA BAHARI

VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG FISIK KAWASAN WISATA BAHARI VI. KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG FISIK KAWASAN WISATA BAHARI 6.1. Kesesuaian Lahan Pulau Pari untuk Pariwisata Bahari Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Ada beberapa data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data angin serta

Lebih terperinci

SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus)

SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20 No. 2 Edisi April 2012 Hal 167-179 SELEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE VENT) TERHADAP IKAN KUPAS-KUPAS (Cantherhines fronticinctus) Oleh: Dahri Iskandar 1*, Didin

Lebih terperinci