UJI COBA PROGRAM STUDI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UJI COBA PROGRAM STUDI"

Transkripsi

1 UJI COBA TUTUPAN IJUK DAN GONI PADAA PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ARI NADO SYAHRUR RAMADAN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Uji Coba Tutupan Ijuk dan Karung Goni pada Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 17 Februari 2011 Ari Nado Syahrur Ramadan

3 ABSTRAK ARI NADO SYAHRUR RAMADAN. C Uji Coba Tutupan Ijuk dan Karung Goni pada Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh DINIAH dan ROZA YUSFIANDAYANI. Pengoperasian bubu tambun di Perairan Kepulauan Seribu menggunakan terumbu karang sebagai penutup dan kamuflase lingkungan terumbu karang dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan terumbu karang. Hal ini dapat menggangu keseimbangan di lingkungan terumbu karang salah satunya ketersediaan sumberdaya ikan karang, sehingga perlu diupayakan solusinya. Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif pengganti terumbu karang sebagai tutupan dalam pengoperasian alat tangkap bubu tambun, yaitu menggunakan media tutupan bahan alami ijuk dan goni, di Perairan Kepulauan Seribu. Metode yang digunakan adalah experimental fishing, yaitu mengoperasikan bubu tambun dengan jenis bahan tutupan berbeda. Bahan tutupan bubu tambun yang digunakan dikategorikan sebagai perlakuan, yaitu ijuk dan goni, serta karang sebagai kontrol. Uji coba dilakukan selama 10 trip penangkapan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Hasil tangkapan total dalam penelitian ini sebanyak 477 ekor dengan berat mencapai g. Hasil tangkapan utama sebanyak 432 ekor dengan berat g dan hasil tangkapan sampingan sebanyak 45 ekor dengan berat 5730 g. Komposisi hasil tangkapan total didominasi oleh Famili Pomacentridae sebanyak 159 ekor dengan berat 11,055 g. Hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan ijuk berjumlah 137 ekor dengan berat total sebesar g. Famili Pomacentridae merupakan hasil tangkapan yang paling banyak pada bubu tambun menggunakan tutupan ijuk yaitu sebanyak 38 ekor. Hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan karung goni berjumlah 165 ekor dengan berat total sebesar g. Famili Pomacentridae merupakan hasil tangkapan yang paling banyak pada bubu tambun menggunakan tutupan Goni yaitu sebanyak 61 ekor. Hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan karang berjumlah 175 ekor dengan berat total sebesar g. Famili Pomacentridae merupakan hasil tangkapan yang paling banyak pada bubu tambun menggunakan tutupan karang yaitu sebanyak 60 ekor. Hasil tangkapan yang didapat oleh bubu Ijuk dan bubu goni tidak berbeda nyata dengan hasil bubu karang, sehingga bisa diterapkan dalam pengoperasian bubu tambun di Perairan Kepulauan Seribu. Kata kunci: bubu tambun, ijuk, goni, terumbu karang, Perairan Kepulauan Seribu.

4 Hak cipta IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

5 UJI COBA TUTUPAN IJUK DAN GONI PADA PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ARI NADO SYAHRUR RAMADAN C Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memproleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 Judul Skripsi Nama NRP Mayor Program Studi : Uji Coba Tutupan Ijuk dan Karung Goni pada Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Kepulauan Seribu. : Ari Nado Syahrur Ramadan : C : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Disetujui : Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Diniah, M.Si. Dr. Roza Yusfiandayani,S.Pi. NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP Tanggal lulus: 17 Februari 2011

7 KATA PENGANTAR Kepulauan Seribu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya ikan karang yang cukup baik di Perairan Pulau Jawa. Salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu untuk menangkap ikan karang adalah bubu tambun. Dalam pengoperasiannya, nelayan bubu tambun menggunakan terumbu karang untuk menimbun bubu, sehingga dikhawatirkan akan semakin merusak ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Skripsi ini mengungkapkan modifikasi media tutupan bubu tambun dalam pengoperasiannya, yaitu mengganti media tutupan yang semula terumbu karang menjadi bahan alami lain, yaitu ijuk dan goni. Hal ini juga dimaksudkan dalam rangka mancari alternatif upaya mengurangi kerusakan terumbu karang di Perairan Kepulauan Seribu. Ucapan terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, sehingga menjadi lebih sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Februari 2011 Ari Nado Syahrur Ramadan

8 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada : (1) Dr.Ir. Diniah, M.Si. dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. atas segala bimbingan dan perhatian yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; (2) Dr.Ir. Muhammad Imron, M.Si. selaku Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaaatan Sumberdaya Perikanan dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. selaku dosen Penguji Tamu dalam sidang ujian skripsi atas segala masukan dan saran yang diberikan, sehingga skripsi ini tersusun lebih sempurna; (3) Kepala Balai, Kepala Seksi III dan staf Taman Nasional Kepulauan Seribu; (4) Pak Asep dan keluarga atas segala bantuan yang telah diberikan; (5) Papa, Mama, Nata, Niko dan Nandre atas doa dan segala dukungan yang diberikan hingga studi dapat diselesaikan dengan baik; (6) Fifi Dewi Resti dan Muflihati Zainal atas perhatian dan semangat yang diberikan; (7) Rekan seperjuangan PSP 44 atas segala semangat dan kebersamaan selama masa studi; (8) Rekan seperjuangan di tempat kost kak Anja, kak Haryo, kak Lutfan dan Hardi atas segala semangat dan kebersamaan selama masa studi; dan (9) Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup Provinsi Bengkulu pada tanggal 02 Mei 1989 dari Bapak Drs. M Riduan dan Ibu Harmini S.Pd. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Curup pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun 2007 penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Dasar-Dasar Perikanan Tangkap pada tahun ajaran 2009/2010, asisten mata kuliah Metode Observasi Bawah Air pada tahun ajaran 2010/2011, asisten mata kuliah Rekayasa Tingkah Laku Ikan pada tahun ajaran 2010/2011 dan asisten mata kuliah Alat Penangkapan Ikan pada tahun 2010/2011. Penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) sebagai staf Departemen Pengembangan Profesi pada masa jabatan 2009/2010 dan sebagai staf Departemen Pengembangan Minat dan Bakat pada masa jabatan 2010/2011. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian untuk bahan menyusun skripsi dengan judul Uji Coba Tutupan Ijuk dan Goni pada Pengoperasian Bubu Tambun di Perairan Kepulauan Seribu. Penulis dinyatakan lulus dalam Sidang Ujian Skripsi yang diselenggarakan oleh Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 17 Februari 2011.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Ikan Karang Ekosistem Terumbu Karang Tingkah Laku Ikan Karang Alat Tangkap Bubu (Traps) Definisi dan klasifikasi Konstruksi alat tangkap bubu (traps) Kelengkapan dalam unit penangkapan Kapal Nelayan Umpan Metode Pengoperasian Alat Daerah Penangkapan Ikan Hasil Tangkapan Bahan Tutupan Bubu Uji Coba Ijuk Goni METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Alat tangkap bubu tambun Perahu Metode Penelitian Batasan Penelitian Asumsi yang Digunakan Metode Analisis Data KEADAAN UMUM PENELITIAN Kondisi Geografis dan Perairan Keadaan Penduduk Kondisi Perikanan Tangkap Kapal perikanan Alat tangkap Nelayan... 35

11 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Hasil Tangkapan Total Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan ijuk Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan goni Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan karang Sebaran Panjang Hasil Tangkapan Hasil Analisis Statistik Pengaruh Penggunaan Ijuk dan Goni dalam Operasional Bubu Tambun KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 59

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Pulau Panggang Jumlah kapal perikanan menurut gross tonage (GT) Jenis dan jumlah alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang Jumlah nelayan dan volume jumlah produksi perikanan menurut jenis alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Komposisi hasil tangkapan total berdasarkan jumlah hasil tangkapan Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan Ijuk Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan Goni Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan Karang Hasil uji Kruskal-Wallis data ketiga jenis bubu penelitian Hasil uji Kruskal-Wallis data hasil tangkapan utama ketiga jenis bubu penelitian Hasil uji Kruskal-Wallis data hasil tangkapan sampingan ketiga jenis bubu penelitian Hasil tangkapan berdasarkan lama perendaman setelah perendaman awal. 50 i

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Konstruksi bubu tambun Perahu yang digunakan dalam penelitian Konstruksi bubu tambun uji coba Umpan bubu tambun bintang laut bantal (Culcita novaguineae) Batu pemberat yang dipasang pada bubu Daerah penangkapan ikan perairan Pulau Panggang Bubu tambun menggunakan karang di dalam perairan Posisi pemasangan bubu Pengangkatan bubu tambun dalam penelitian Ukuran panjang total ikan Komposisi hasil tangkapan total berdasarkan famili Komposisi hasil tangkapan total dalam persen Hasil tangkapan Famili Serranidae Komposisi hasil tangkapan Famili Serranidae penelitian Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan ijuk Komposisi hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan ijuk dalam persen Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan Goni Komposisi hasil tangkapan Bubu Tambun dengan tutupan Goni dalam persen Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan karang Komposisi hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan karang dalam persen Sebaran frekuensi panjang Betok Laut pada bubu Ijuk Sebaran frekuensi panjang Betok Laut pada bubu Goni Sebaran frekuensi panjang Betok Laut pada bubu Karang Hasil uji kenormalan data hasil tangkapan ketiga jenis bubu penelitian Hasil tangkapan berdasarkan lama perendaman setelah perendaman awal ii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Proses pembuatan bubu tambun penelitian Peta Kepulauan Seribu Peta Pulau Panggang tempat penelitian Foto ikan hasil tangkapan bubu Data hasil tangkapan penelitian iii

15 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar km 2 dan mempunyai keanekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Terumbu karang mempunyai keunikan, diantaranya asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Namun dibalik produktivitas yang tinggi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam di daerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung sering merusak terumbu karang (Suprihayono 2000 diacu dalam Dahuri 2003). Pemanfaatan sumberdaya ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu antara lain menggunakan bubu. Penangkapan ikan dengan bubu bersifat sistemik yang mencakup aspek lingkungan dan melibatkan suatu teknologi pemanfaatan yang harus dikelola dengan baik, sehingga mencapai proses optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada. Menurut Martasuganda (2008), penangkapan ikan dengan bubu yang berwawasan lingkungan mempunyai aspek yang penting. Aspek pertama yaitu lingkungan, lingkungan adalah lingkungan hidup dalam arti adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidupnya, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Aspek kedua adalah teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan dalam arti upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya ikan secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup. Pemanfaatan sumberdaya ikan karang di perairan Kepulauan Seribu menggunakan bubu tambun. Pengoperasian bubu ini seyogyanya mempunyai keunggulan tersendiri, yaitu ikan hasil tangkapan bubu tertangkap dalam kondisi hidup dan kualitasnya lebih terjamin, karena hanya sedikit mengalami luka. Selain itu harga alat tangkap bubu ikan karang relatif lebih murah dibandingkan dengan alat tangkap ikan karang lainnya.

16 2 Pengoperasian bubu tambun di Kepulauan Seribu pada kenyataannya dapat dikatakan tidak ramah lingkungan, karena menggunakan bongkahan terumbu karang, baik yang hidup maupun terumbu karang yang mati. Hal ini yang mengakibatkan rusaknya terumbu karang yang seharusnya menjadi subtrat bagi pertumbuhan biota karang lainnya. Rusaknya sistem kehidupan karang akan menyebabkan populasi ikan dan hewan lain makin berkurang, karena dalam ekosistem kehidupan karang semua komponen merupakan mata rantai makanan yang tidak terputus dan terus berinteraksi. Bila keseimbangannya terganggu akan mengakibatkan terganggunya daya dukung lingkungan di terumbu karang, akhirnya akan mengancam ekosistem terumbu karang secara keseluruhan. Salah satu solusi yang ingin dikembangkan adalah pengoperasian bubu tambun menggunakan bahan alami lain sebagai tutupan, sehingga tidak lagi menggunakan terumbu karang. Penelitian tentang tutupan alami pernah dilakukan oleh R. Nugroho Bayu Santoso pada tahun 2009, yaitu menggunakan tutupan goni. Hasil penelitian tersebut belum menggambarkan hasil yang lebih baik. Santoso (2009) menggunakan bubu tambun dengan tutupan goni 100 %. Sehubungan dengan hal tersebut penulis bermaksud melakukan penelitian yang sama, namun selain goni penulis menggunakan ijuk sebagai media tutupan. Persentase tutupan goni dan ijuk yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 70%. Hal ini dimaksudkan untuk dapat berfungsi sebagai alat kamuflase dari habitat ikan karang. Pemasangan tutupan goni pada bubu tambun dalam penelitian Santoso (2009) adalah berupa lembaran goni dan ditutupkan pada bagian atas bubu tambun. Pada penelitian ini penulis menggunakan cara penutupan yang berbeda dengan yang dilakukan Santoso (2009), cara penutupan bahan ijuk dan goni dibentuk sedemikian hingga menjadi seperti sayap kupu kupu yang diletakkan sebagai tutupan bubu tambun penelitian. Kemudian potongan tersebut disusun di bagian atas dan samping bubu, hingga luas tutupan mencapai 70 %. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk dipakai nelayan dalam pengoperasian bubu tambun, sehingga dapat mengurangi rusaknya ekosistem terumbu karang.

17 3 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari alternatif pengganti terumbu karang sebagai tutupan dalam pengoperasian alat tangkap bubu tambun dengan menggunakan media tutupan bahan alami ijuk dan goni di Perairan Kepulauan Seribu. 1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah: (1) Bagi penulis, hasil penelitian ini akan dimanfaatkan sebagai bahan penyusun skripsi yang merupakan salah satu tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor. (2) Bagi nelayan, memberikan informasi mengenai media alternatif pengganti terumbu karang untuk tutupan bubu dalam kegiatan penangkapan ikan karang di Perairan Kepulauan Seribu. (3) Bagi lingkungan, dapat mengurangi tekanan kerusakan terumbu karang, sehingga ekosistem terumbu karang tetap terjaga.

18 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Karang Sumberdaya ikan karang meliputi ikan konsumsi dan ikan hias. Sebagian ikan bertulang keras (teleostei) yang merupakan ordo perciformes. Menurut Hutomo (1995), kelompok ikan karang yang erat kaitannya dengan lingkungan terumbu karang adalah: (1) Tiga famili dalam sub ordo Labridei, yaitu famili Labridae (cina-cina), Scaridae (kakatua) dan Pomacentridae (betok laut). Ketiganya bersifat diurnal; (2) Tiga famili dari sub ordo Acanthuridae, yaitu famili Acanthuridae (butana), Siganidae (baronang) dan Zanclidae (bendera atau moorish idol). Ketiganya bersifat herbivora; (3) Dua famili dari sub ordo Chaetodontidae yang mempunyai warna yang cerah; (4) Famili Blennidae dan Gobiidae yang bersifat demersal dan menetap; (5) Famili Apogonidae (beseng) nokturnal, memangsa avertebrata terumbu dan ikan kecil; (6) Famili Ostraciidae, Tetraodontidae dan Balestidae (pakol) yang menyolok dalam bentuk dan warnanya; dan (7) Pemangsa dan pemakan ikan (piscivorous) yang besar jumlahnya dan bernilai ekonomis tinggi, meliputi famili Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lecam), Holocentridae (swanggi). Menurut Susanto (2001) diacu dalam Dahuri (2003), beberapa sumberdaya ikan yang hidup di karang mempunyai nilai ekonomis sebagai berikut: (1) Suku Chaetodontidae (Butterflyfish). Ikan yang termasuk suku ini mempunyai bentuk tubuh yang pipih serta lebar, sehingga gerakannya meliuk-liuk mirip karpet. Sampai sekarang diperkirakan terdapat sekitar 114 jenis ikan kepe-kepe yang tersebar di seluruh dunia, antara lain di Australia 50 jenis, Philipina 45 jenis, Indonesia 44 jenis, Taiwan 33 jenis dan Papua Nugini 42 jenis. Ikan jenis ini hidup di perairan laut tropis pada kedalaman perairan sampai 20 meter.

19 5 (2) Suku Pomancanthidae (Angelfishes). Bentuk ikan ini menarik dan dikenal sebagai ikan bidadari atau enjel. Suku ini hidup di terumbu karang di perairan tropis. Diperkirakan ada 74 jenis yang termasuk dalam suku pomacanthidae. Ikan ini hidup pada kedalaman 1-50 meter, seperti marga Centropype dan Genicanthus. Daerah penyebaran dan jumlah jenis ikan enjel di perairan Indo-pasifik adalah Australia 23 jenis, Papua Nugini 22 jenis, Indonesia 21 jenis, Taiwan 20 jenis dan Philipina 19 jenis. Jenis ikan ini memiliki corak warna yang indah dan menarik. (3) Suku Balistidae (Triggerfish). Ikan pelatuk atau ikan trigger banyak ditemukan di perairan Indonesia. Di Perairan Kepulauan Seribu, jenis ikan ini dikenal sebagai ikan pakol. Ikan pelatuk biasanya hidup soliter atau menyendiri di habitat terumbu karang. (4) Suku Labridae (Wrasses). Kelompok ikan ini di Indonesia disebut ikan keling. Suku ini merupakan ikan diurnal yang aktif mencari makan di siang hari dan sebagian besar merupakan ikan karnivor. Mangsanya berupa moluska, cacing, krustase dan ikan kecil. Widodo et al (1998) menjelaskan bahwa ada sepuluh famili utama dari perairan Indonesia yang menyumbang produksi ikan karang konsumsi, yaitu Caesionidae; Holocentridae; Serranidae; Siganidae; Scaridae; Lethrinidae; Priacanthidae; Labridae; Lutjanidae dan Haemulidae. Beberapa jenis ikan karang konsumsi yang banyak terdapat di pasaran, yaitu kerapu (Serranidae), lencam (Lethrinidae), ekor kuning dan pisang-pisang (Caesionidae), baronang (Siganidae), kakap merah (Lutjanidae), kakak tua (Scaridae), serta napoleon atau marning atau siomay (Labridae). Ekor kuning atau pisang-pisang merupakan kelompok ikan karang yang dapat dieksploitasi secara besar-besaran. Ikan ini pemakan plankton dan membentuk kelompok (school) yang relatif besar. Penyebaran ikan karang konsumsi terdapat di seluruh terumbu yang tersebar sepanjang Kepulauan Indonesia. Menurut Adrim (1993), kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

20 6 (1) Kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti kelompok ikan famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae; (2) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae; dan (3) Kelompok ikan utama atau mayor, yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Achanturidae, Caesionidae, Labridae, Mullidae dan Apogonidae. 2.2 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang merupakan ciri dominan dari perairan dangkal di daerah katulistiwa. Terumbu karang merupakan salah satu dari ekosistem pantai yang sangat produktif dan sangat beraneka ragam. Terumbu karang memang unik sifatnya diantara asosiasi dan masyarakat biota laut. Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik. Terumbu merupakan timbunan masif dari kapur CaCO 3 yang terutama telah dihasilkan oleh hewan karang dengan tambahan penting dari alga berkapur dan organisme lain penghasil kapur. Proses produksi kapur dapat dijelaskan secara sederhana seperti berikut. Kerangka atau corallus dari karang batu terdiri dari CaCO 3 terlarut dalam air laut, menurut persamaan kimia berikut: CaCO 3 + H 2 CO 3 Ca(HCO 3 ) 2 Ca + + 2HCO 3 Asam karbonik hipotetikal (H 2 CO 3 ) terdapat sebagai ion-ion hidrogen (H) dan karbonat (HCO 3 ) yang cenderung untuk memisah menjadi H 2 O dan CO 2. Seluruh reaksi kimia ini terjadi di dalam jaringan hewan karang, dimana air dan produksi CO 2 sangat dipercepat oleh enzim anhidrase. Karang pembentuk terumbu hidup dalam simbiosis dengan zooxanthella, yakni alga bersel satu yang terdapat di dalam endoderma. Zooxanthella mengambil CO 2 untuk fotosintesis dan ini mengakibatkan keseimbangan persamaan di atas terganggu dan bergerak ke kiri,

21 7 sehingga terjadi pengendapan CaCO 3. Ini terjadi dalam satu irama harian dan sebagian besar kapur diendapkan selama siang hari ketika fotosintesis mencapai puncak kegiatannya, ketika malam hari kegiatan ini berhenti. Pada awalnya kristal kapur terbentuk pada suatu matrik kitin lepas-lepas yang dikeluarkan oleh sel-sel ektoderma. Kristal-kristal ini kemudian merekat menjadi kerangka yang terdiri dari kristal-kristal kapur merekat di lapisan-lapisan bawah (Dahuri 2003). Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia, dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Berbagai pendapat menyatakan hal yang sebaliknya, bahwa ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, tidak mapan dan mampu memperbaiki dirinya sendiri dari gangguan alami. Hal ini bila parameter lingkungan utama bagi pertumbuhannya sangat mendukung, misalnya tingkat kecerahan yang tinggi dan tidak banyak run-off polutan dan sedimen dari daratan (Dahuri 2003). Wallace (1994) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya, terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah C di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, perubahan salinitas juga akan mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang. Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang berdasarkan hubungannya dengan daratan menjadi tiga tipe umum, yaitu : (1) Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef ); Terumbu karang tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Contoh tipe terumbu karang tepi adalah terumbu karang yang ada di daerah Mentawai, Pangandaran, Parangtritis di pantai selatan Pulau Jawa, Lombok dan Sumbawa.

22 8 (2) Terumbu karang penghalang (Barrier reef); dan Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya mengelilingi pulau yang merupakan penghalang bagi pendatang dari luar. Contohnya adalah The Great Barrier Reef yang berderet di sebelah timur laut Australia dengan panjang mil. (3) Terumbu karang cincin (atol). Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (lagoon). Kedalaman goba di dalam atol sekitar 45 m, jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Takabonerate di Sulawesi Selatan. Selain ketiga kelompok besar tersebut, di Indonesia terdapat jenis terumbu gosong (patch reef), contohnya di Kepulauan Seribu di utara Pulau Jawa. Dahuri (2003) menyatakan distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa parameter fisika, yaitu: (1) Kecerahan Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu karang (CaCo 3 ) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. (2) Temperatur Pada umumnya, terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25 0 C dan 29 0 C. Suhu di luar kisaran tersebut masih bisa ditolerir oleh spesies tertentu dari jenis karang hermatifik untuk dapat berkembang dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu di bawah 20 0 C selama beberapa waktu dan dapat mentolerir suhu sampai 36 0 C dalam waktu yang singkat.

23 9 (3) Salinitas Banyak spesies karang peka terhadap perubahan salinitas yang besar. Umumnya terumbu karang tumbuh baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30 ppt - 35 ppt. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut, pertumbuhannya menjadi kurang baik bila dibandingkan pada salinitas normal. Ada juga terumbu karang yang mampu berkembang di kawasan perairan dengan salinitas 42 ppt, seperti di wilayah timur tengah. (4) Sirkulasi arus dan sedimentasi Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi dari partikel lumpur padat yang dibawa oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga tidak hanya berdampak negatif terhadap hewan karang tetapi juga terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut. Partikel lumpur yang tersedimentasi tersebut dapat menutupi polip, sehingga respirasi organisme terumbu karang dan proses fotosintesis oleh zooxanthellae tidak terjadi. 2.3 Tingkah Laku Ikan Karang Arami (2006) menyatakan bahwa ada tiga bentuk interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang yaitu : (1) interaksi langsung, sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan muda; (2) interaksi dalam mencari makan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga; dan (3) interaksi tak langsung akibat struktur karang dan kondisi hidrologi sedimen. Ikan menerima berbagai informasi mengenai keadaan sekeliling melalui beberapa inderanya, seperti indera penglihat, pendengar, pencium, peraba dan linea lateralis. Indera tersebut memungkinkan ikan untuk mendeteksi benda-benda

24 10 pada suatu jarak tertentu. Indera pendengar dan linea lateralis pada berbagai jenis ikan dapat memberikan reaksi terhadap getaran suara yang dipancarkan dari jarak ratusan bahkan ribuan meter dari tempat mereka berada. Indera penciuman ikan mampu mengindera bau dari sumber yang cukup jauh, sedangkan indera penglihatan, perasa dan peraba mempunyai kisaran reaksi yang lebih pendek. Ikan yang menggunakan alat indera utama mata biasanya aktif pada siang hari atau sering disebut ikan diurnal. Ikan diurnal banyak ditemukan di lapisan pelagis dimana lapisan ini menerima sinar matahari lebih banyak. Sebaliknya ikan yang aktif pada malam hari atau sering disebut ikan nokturnal, maka alat penerima yang utama adalah linea lateralis, indera penciuman dan indera peraba (Gunarso 1985). Menurut Furevik (1994), tingkah laku ikan dalam menghadapi bubu dapat digolongkan ke dalam beberapa fase berurutan, yaitu: (1) Fase arousal dan location; Fase ini merupakan fase awal. Ikan akan tertarik untuk mendekati bubu. Penyebab utama ikan mendekati bubu yang diberi umpan adalah adanya penyebaran aroma umpan. Hampir seluruh jenis ikan menggunakan indera penciuman untuk mendeteksi keberadaan mangsa atau umpan. Penyebaran aroma umpan juga dipengaruhi oleh arus air. Bagi ikan untuk bereaksi terhadap atraktan makan dari umpan konsentrasinya harus di atas level tertentu (response level). Penyebaran aroma umpan akan mengundang ikan untuk mendekati bubu. Ada pula penyebab lain ikan tertarik mendekati bubu, seperti sifat thigmothasis ikan atau sifat ketertarikan ikan pada benda asing, perilaku interspesies ikan, adaptasi bubu sebagai tempat tinggal dan stimulus feromon dari mangsa. Untuk lokasi idealnya jarak antara bubu yang berdekatan seharusnya diukur sehingga daerah daya tarik (active space) dari bubu yang berdekatan tidak tumpang tindih. Pada saat tumpang tindihnya besar, dua atau lebih bubu akan bersaing untuk ikan yang sama selama waktu perendaman alat tangkap bubu. (2) Fase nearfield dan ingress; Fase ini merupakan fase lanjutan dari arousal dan location. Dalam fase ini, ikan akan berusaha mendekati bubu dan mencoba masuk ke dalamnya. Sejumlah pengamatan bawah air yang dilakukan telah mengenali pola tingkah

25 11 laku ikan mendekati bubu bergantung pada spesies ikan tersebut. High dan Breadsley (1970) diacu dalam Furevik (1994) menyatakan beberapa jenis ikan karang memiliki cara yang berbeda dalam mendekati bubu. Famili Holocentridae dan Mullidae bergerombol memasuki bubu, sedangkan famili Scaridae dan Pricanthidae memasuki bubu secara individu. (3) Fase inside the pot atau aktivitas di dalam bubu; dan Fase kritis dalam perikanan bubu adalah pada saat ikan bergerak memasuki jalan pintu masuk. Desain pintu masuk mempengaruhi laju masuk maupun keluarnya ikan, baik ikan yang berada dari luar bubu ke dalam bubu. Ikan yang memasuki bubu karena tertarik aroma umpan akan langsung mendatangi posisi umpan di dalam bubu, namun setelah beberapa lama ikan akan kehilangan ketertarikannya terhadap umpan. Spesies ikan yang berbeda akan memiliki perilaku yang berbeda pula di dalam bubu. High dan Breadsley (1970) diacu dalam Furevik (1994) menyatakan bahwa famili Chaetodontidae, Mullidae, Holocentridae dan Scaridae aktif berenang mengelilingi bubu, sedangkan famili Serranidae diam menunggu mangsa di dalam bubu. Aktivitas ikan di dalam bubu akan mengundang ikan lain untuk memasuki bubu. Famili Serranidae cenderung tertarik memasuki bubu dikarenakan aktivitas mangsa di dalam bubu. (4) Fase escape atau lolos menuju lingkungan. Laju lepasnya ikan yang terdapat di dalam bubu untuk setiap spesies ikan bergantung pada aktivitas ikan tersebut di dalam bubu. Setiap ikan yang tertangkap memiliki kemungkinan untuk lolos menuju lingkungan beberapa waktu setelah tertangkap di dalam bubu. Ikan akan menyusuri dinding bubu hingga menemukan celah untuk meloloskan diri, bahkan seringkali ikan dapat keluar melalui mulut bubu yang terlalu besar. 2.4 Alat Tangkap Bubu (Traps) Bubu merupakan alat tangkap yang berukuran kecil. Pemakaian bubu tersebar di seluruh daerah perikanan Indonesia. Bentuk bubu bermacam-macam, ada yang berbentuk kotak, silinder dan kerucut, bergantung jenis ikan sasaran tangkap, namun prinsip pengoperasiannya tetap sama. Bahan yang digunakan

26 12 dalam pembuatan bubu bermacam-macam, seperti benang, kawat, rotan, bambu maupun bahan lainnya (Subani dan Barus 1989) Definisi dan klasifikasi Alat tangkap bubu tambun termasuk klasifikasi perangkap dan penghadang. Perangkap (traps) dan penghadang (guiding barriers) adalah semua alat penangkap ikan yang berupa jebakan yang bersifat pasif (Subani dan Barus 1989). Menurut von Brandt (2005), traps adalah salah satu alat tangkap menetap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada pemaksaan, tetapi sulit keluar atau lolos, karena dihalangi dengan berbagai cara. Di tambahkan oleh Sainsburry (1982) bahwa pada dasarnya traps bersifat statis pada saat dioperasikan, sehingga efektivitasnya bergantung pada gerakan renang ikan. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap dimaksudkan sebagai tempat berlindung. Konstruksi alat dibuat sedemikian rupa, sehingga bila ikan telah masuk ke dalamnya tidak dapat melarikan diri (Gunarso 1985). Bubu (portable traps) yaitu perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk. Alat tersebut dipasang di dasar atau di atas permukaan dasar perairan selama jangka waktu tertentu. Untuk menarik perhatian ikan, kadang-kadang di dalam atau di luar perangkap tersebut diberi umpan berupa ikan, kulit kambing atau kelapa (Baskoro 2005). Bubu tambun adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang. Alat tangkap ini termasuk klasifikasi bubu dasar karena dioperasikan di dasar perairan karang. Bahan pembuat bubu tambun sebagian besar terbuat dari anyaman serutan bambu (Susanti 2005) Konstruksi alat tangkap bubu (traps) Secara garis besar bubu tambun tediri atas bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu. Badan bubu sebagai rongga tempat ikan terkurung. Mulut bubu berbentuk seperti corong dan merupakan tempat ikan masuk tetapi tidak dapat keluar. Sementara pintu bubu merupakan tempat pengambilan hasil tangkapan (Subani dan Barus 1989).

27 13 Pada umumnya bubu terdiri atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut: (1) Rangka; Rangka bubu terbuat dari bahan yang kuat dan mampu mempertahankan bentuk rangka saat operasi penangkapan ikan dan proses penyimpanan bubu. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja, namun di beberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Di barat laut Brazil, nelayan tradisional setempat menggunakan kayu mangrove sebagai rangka pada bubu rock lobster. Di Kanada dan Barat laut Amerika Serikat, bubu lobster tradisional dibuat dari kayu, tetapi kini plastik digunakan sebagai bahan pembuat bubu. Beberapa jenis bubu yang dibuat dari rangka yang fleksibel seperti rotan, bambu atau kawat besi dan baja. Pada beberapa jenis bubu rangkanya dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dilipat untuk mengefektifkan ruang yang dibutuhkan untuk menyimpan bubu di atas kapal. (2) Badan Bubu; Badan pada bubu moderen biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu bergantung pada kebudayaan atau kebiasaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material bergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Di beberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu. (3) Mulut bubu; Mulut bubu memiliki beberapa tipe yang berbeda-beda. Salah satunya adalah yang berbentuk lubang corong bagian dalam mengarah ke bawah dan ukuran dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. (4) Pintu bubu; dan Pintu bubu adalah bagian dari badan bubu yang digunakan sebagai jalan untuk memudahkan nelayan mengeluarkan hasil tangkapan. Pada beberapa jenis bubu lobster, posisi pintu bubu berada di bagian atas.

28 14 (5) Tempat Umpan. Tempat umpan umumnya terletak di dalam bubu. Umpan terdiri dari dua macam, yaitu umpan yang dicacah menjadi potongan-potongan kecil dan umpan yang tidak dicacah. Umpan yang dicacah biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik. Umpan yang tidak dicacah biasanya hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Keistimewaan bubu sebagai alat tangkap tradisional (Monintja dan Martasuganda 1990) adalah : (1) Pembuatan alat mudah dan murah; (2) Pengoperasiannya mudah; (3) Kualitas hasil tangkapan segar; (4) Tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis; dan (5) Dapat dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan. Monintja dan Martasuganda (1990) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap dalam bubu, yaitu : (1) Tertarik umpan; (2) Digunakan sebagai tempat berlindung; (3) Karena sifat thigmotaksis ikan itu sendiri; dan (4) Digunakan sebagai tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi. Bahan yang digunakan oleh nelayan untuk membuat badan bubu sangat bergantung pada ketersediaan bahan pembuat di lokasi pemukiman nelayan. Di Indonesia bubu masih banyak yang terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, maupun rotan. Hal ini terlihat pada bubu tambun yang bahan utamanya adalah bambu (Nugraha 2008) Kelengkapan alat dalam unit penangkapan ikan Kapal Berdasarkan Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia, kapal perikanan terdiri atas kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut

29 15 ( kapal penangkap ikan dikelompokkan menjadi: (1) Perahu Tanpa Motor (Non Powered boat); Perahu tanpa motor adalah perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak dayung atau layar. Ada kalanya tipe perahu ini dibuat dari satu batang pohon utuh yang dilubangi, namun ada juga yang ditambah dengan beberapa keping papan. Umumnya tipe perahu ini digunakan untuk mengoperasikan jenis-jenis alat penangkap ikan yang berukuran relatif kecil, seperti colok, sejenis jaring insang berukuran kecil yang dioperasikan di perairan sekitar pantai, pancing ulur, tomba, alat pengumpul dan sebagainya: (2) Perahu Motor Tempel (Outboard motor); dan Perahu motor tempel adalah kapal atau perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak mesin atau motor yang dipasang di perahu pada saat dioperasikan dan dilepaskan kembali pada saat selesai dioperasikan. Mesin atau motor tersebut dinamakan motor tempel atau outboard engine. (3) Kapal Motor (Inboard motor). Kapal motor dikelompokkan lagi berdasarkan bobotnya. Bobot kapal dinyatakan dalam Gross Tonnage (GT). Kapal motor berdasarkan bobot dikelompokkan menjadi kapal motor <5 GT, 5-10 GT hingga > 200 GT. Mesin kapal diletakkan di ruang mesin di dalam bangunan kapal. Tipe kapal motor umumnya digunakan untuk mengoperasikan berbagai jenis alat penangkap ikan yang berukuran besar, misalnya pukat udang, pukat cincin, jaring insang skala besar, rawai tuna, huhate dan sebagainya. Kapal pengangkut, sebagaimana namanya, kapal ikan hanya berfungsi sebagai alat pengangkut, baik mengangkut nelayan dari fishing base ke fishing ground dan sebaliknya, maupun melakukan pengangkutan hasil tangkapan dan perbekalan. Jenis alat penangkap ikan yang dalam pengoperasiannya memerlukan bantuan kapal pengangkut adalah bagan tancap, bagan rakit, jermal, sero dan sebagainya (Diniah 2008). Wudianto et al (1988) menyatakan bahwa untuk mengoperasikan bubu di perairan dekat pantai dapat digunakan kapal motor berukuran 2 3 GT, sedang untuk perairan lepas pantai sebaiknya digunakan kapal berukuran lebih dari 40

30 16 GT. Kapal pada pengoperasian bubu tambun digunakan selain untuk membantu nelayan menuju lokasi pemasangan bubu juga untuk menyimpan hasil tangkapan Nelayan Menurut Undang Undang No 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang Undang No 31 Tahun 2004 mengenai Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Menurut Direktorat Jendral Perikanan (2002) diacu dalam Isnaini (2008), nelayan dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu kerjanya sebagai berikut : (1) Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau mengumpulkan binatang air lainnya atau tanaman air lainnya; (2) Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya; dan (3) Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air lainnya. Nelayan berperan sebagai operator kapal dan alat tangkap dalam kegiatan operasi penangkapan ikan menggunakan bubu di Kepulauan Seribu. Pada umumnya, nelayan yang melakukan pengoperasian alat tangkap bubu tambun berjumlah hanya satu orang nelayan (Susanti 2005) Umpan Jenis umpan yang digunakan dalam operasional bubu tambun yaitu bantal raja (Cucita novaguineae) dan bulu babi (Diadema setosum). Bantal baja yang digunakan adalah yang sudah mati dan dikeringkan, sehingga menimbulkan bau yang sangat menyengat, yang dapat memikat ikan untuk masuk ke dalam bubu. Bantal baja yang telah mengering dipotong menjadi 5 bagian dan diletakkan pada dasar bubu. Umpan bulu babi, awalnya dihancurkan terlebih dahulu memakai ganco, lalu disebarkan pada dasar bubu tambun (Komarudin 2009).

31 Metode Pengoperasian Alat Pemasangan alat tangkap perangkap berdasarkan pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan jalan ikan atau berhubungan erat dengan pola ruaya atau migrasi temporal dan parsial pada waktu tertentu. Efektifitas dari pengoperasian alat tangkap perangkap ini bergantung pada pola migrasi dan tingkah laku ikan terhadap penempatan atau pemasangan alat tangkap tersebut. Faktor dalam keberhasilan penangkapan ikan menggunakan bubu antara lain desain alat penangkapan ikan dan attraction factor, yaitu umpan, bahan pembuat alat dan dimensi pintu masuk (Baskoro 2005). Berdasarkan metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi tiga jenis. Ketiga jenis tersebut adalah bubu yang dipasang secara menetap (stationary pots), yang diapungkan di permukaan perairan (floating pots) dan yang dihanyutkan (drifting pots) (Subani dan Barus 1989). Pengoperasian alat tangkap bubu dapat dilakukan secara tunggal (single trap) maupun dengan sistem rawai. Menurut Santoso (2008), metode pengoperasian bubu tambun di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut : (1) Persiapan; Persiapan yang dilakukan meliputi persiapan perbekalan melaut, persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu penangkapan ikan serta persiapan perahu dan perlengkapannya. Persiapan alat tangkap meliputi persiapan bubu dan rautan bambu. Rautan bambu digunakan oleh nelayan alat tangkap bubu untuk memperbaiki bubu yang rusak. Alat bantu penangkapan ikan yang dipersiapkan meliputi kacamata selam, ganco dan ember (dondang) untuk membantu kelancaran operasi bubu tambun. Pada tahap ini semua alat yang akan digunakan disiapkan dan diangkut ke atas kapal. (2) Pemasangan (setting); Pemasangan (setting) bubu dilakukan dengan cara ditambun menggunakan batu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Terakhir yaitu menyingkirkan benda-benda yang menutupi jalan agar ikan dapat masuk menuju bubu dan terjebak.

32 18 (3) Perendaman (soaking); dan Tahap ketiga adalah perendaman bubu (soaking). Bubu yang sudah dipasang akan dibiarkan di dalam air selama + 24 jam setelah bubu terpasang. (4) Pengangkatan (hauling). Tahap yang terakhir adalah pengangkatan bubu atau hauling. Proses pengangkatan bubu diawali dengan menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Setelah itu, bubu diangkat dan selanjutnya pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Hasil tangkapan ditampung dalam wadah. Ikan target tangkapan biasanya langsung dipisahkan dalam wadah khusus yang memungkinkan ikan tetap hidup. 2.6 Daerah Penangkapan Ikan Simbolon (2006) menjelaskan bahwa daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, di lokasi ini operasi penangkapan ikan dapat dilakukan menggunakan alat tangkap tertentu secara produktif dan menguntungkan. Daerah penangkapan ikan harus memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut : (1) Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna; (2) Dapat dijangkau oleh kapal ikan; dan (3) Mengandung sumberdaya ikan yang banyak dan bernilai ekonomis penting. Simbolon (2006) juga menjelaskan bahwa optimasi penentuan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan menguntungkan, perlu mempertimbangkan tiga aspek utama, yaitu : (1) Aspek sumberdaya ikan; (2) Lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan; dan (3) Teknologi alat penangkapan ikan yang digunakan dalam operasi penangkapan. 2.7 Hasil Tangkapan Hasil tangkapan utama bubu tambun adalah ikan kerapu (Epinephelus spp). Hasil tangkapan sampingannya adalah ikan baronang (Siganus spp), ikan kakap (Lutjanus spp), ikan kakaktua (Scarus spp), ikan ekor kuning (Caesio spp),

33 19 ikan lencam (Lethrinus laticaudatis), rajungan (Portunus pelagicus), betok putih (Dischitodus prosopotaenia) (Susanti 2005). 2.8 Bahan Tutupan Bubu Uji Coba Uji coba bubu tambun di Perairan Kepulauan Seribu dalam penelitian ini menggunakan bahan alami sebagai tutupan bubu. Bahan yang terbuat dari serabut alami dikatagorikan menjadi bahan yang terbuat dari serat tumbuhan dan serat hewan. Media yang dipakai dalam penelitian ini mengunakan serabut alami yang berasal dari serat tumbuhan. Serabut tumbuh-tumbuhan merupakan bagian dari tanaman yang sudah mati dan sebagian besar terdiri dari selulosa. Oleh karena itu bila kondisinya lembab atau terendam dalam air akan diserang oleh mikroorganisme pemakan selulose dari jenis bakteri. Proses pembusukan dari bahan organik yang sudah mati ini merupakan proses vital dalam siklus hidup sebab proses pembusukan membebaskan makanan organik seperti fosfor, nitrogen, potassium dan zat anorganik yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Dengan demikian kelangsungan hidup tanaman dan hewan menjadi terjamin (Klust 1983). Pembusukan merupakan kendala utama penggunaan serabut alami ijuk dan goni. Pembusukan terjadi karena terurainya selulosa oleh bakteri. Klust (1983) menyebutkan empat faktor utama penyebab pembusukan pada serabut alami, yaitu sebagai berikut : 1) Jenis Serabut; Ketahanan serabut terhadap pembusukan berbeda-beda antar jenis tumbuhan. Hal ini diduga karena struktur kulit pohon dan kandungan organik tiap tumbuhan berbeda, sehingga mengakibatkan lama proses penguraian bahan serabut berbeda-beda. Berdasarkan daya tahannya, maka jenis serabut yang paling tahan terhadap pembusukan adalah coir diikuti manila, sisal, katun dan rami. 2) Suhu Air; Suhu air berpengaruh terhadap aktivitas mikroba. Pada suhu dingin aktivitas mikroba lambat. Akibatnya pembusukan yang terjadi pada suhu rendah menjadi lambat. Sebaliknya di daerah tropis aktivitas pembusukan oleh

34 20 mikroba sangat tinggi karena aktivitas mikroba pada suhu tinggi lebih dinamis. 3) Daya Pembusukan Air; dan Air merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pembusukan. Perairan yang subur mempunyai daya pembusukan yang lebih tinggi dibanding perairan yang miskin dengan unsur hara. Demikian pula dengan air yang mengalir mempunyai daya pembusukan yang lebih besar dibanding dengan perairan yang diam. 4) Lama Perendaman. Selama ini timbul kesalahpahaman bahwa perendaman mengakibatkan umur teknis bahan baku kayu maupun jaring menjadi lebih baik. Namun fakta menunjukkan bahwa bahan serat alami yang direndam secara terus menerus di dalam air sangat rawan untuk menjadi busuk. Demikian pula apabila alat tangkap tersebut dipasang di dasar perairan hingga menempel pada lumpur, maka daya pembusukan menjadi lebih besar. Ketahanan dari berbagai jenis serabut tumbuh-tumbuhan terhadap pembusukan berbeda-beda dan bertambah menurut urutan berikut: linen, hemp, rami, cotton, sisal, manila dan coir. Meskipun demikian dalam praktek penangkapan ikan, perbedaan ini hampir tidak pernah diperlihatkan sama sekali, dan semua serabut tumbuh-tumbuhan secara umum seharusnya dianggap kurang tahan pembusukan (Klust 1983) Ijuk Serat ijuk yaitu serabut berwarna hitam dan liat, yang terdapat di bagian pangkal dan pelepah daun pohon aren (Pambudi 2005). Pohon aren menghasilkan ijuk pada umur 4-5 tahun. Serat ijuk yang mempunyai kualitas bagus diperoleh dari pohon yang sudah tua tetapi sebelum tandan atau bakal buah muncul, yaitu sekitar umur 4 tahun, karena saat tandan atau bakal buah muncul ijuk menjadi kecil-kecil dan jelek. Ijuk yang dihasilkan pohon aren mempunyai sifat fisik diantaranya: berupa helaian benang atau serat berwarna hitam, berdiameter kurang dari 0,5 mm, bersifat kaku dan ulet tidak mudah putus. Selama ini pemanfaatan ijuk belum terlalu banyak, diantaranya sebagai bahan pembuat sapu dan tali tambang. Masih

35 21 banyak serat ijuk yang belum dimanfaatkan sehingga terbuang percuma. Ijuk bersifat lentur dan tidak mudah rapuh, sangat tahan terhadap genangan asam termasuk air laut yang mengandung garam (Pambudi 2005) Karung goni Karung goni merupakan bahan pembungkus yang terbuat dari bahan alami. Beberapa serat yang dapat digunakan untuk membuat karung goni antara lain serat rosella (Hybiscus sabdriffa), serat knaf (Hybiscus cannbicus), serat jute (Chorcorus Capsularis) dan serat rami (Boehmeria nivea) (Sudiro 2004).

36 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Secara lebih jelas lokasi daerah penangkapan ikan dapat dilihat pada Lampiran Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Sembilan buah unit bubu tambun (Gambar 1); (2) Alat dasar selam berupa masker, snorkel dan fin; (3) Alat pengukur berupa penggaris dengan skala terkecil 1 mm; (4) Alat pengukur berat berupa timbangan dengan skala terkecil 1 gram, dan (5) Alat dokumentasi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Ijuk; (2) Karung Goni; (3) Bulu Babi (Diadema setosum); dan (4) Bintang Laut Bantal Raja (Culcita novaguineae) Alat tangkap bubu tambun Alat tangkap yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubu tambun. Bubu tambun merupakan alat tangkap yang dioperasikan di perairan karang dan digunakan untuk menangkap ikan karang. Secara keseluruhan bubu tambun terbuat dari bambu apus (Gigantochloa apus). Bubu tambun yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai dimensi p x l x t ; 70 x 60 x 20 (cm). Bubu tambun memiliki satu buah mulut (blongsong) yang berbentuk horse neck Diameter mulut luar 20 cm dan diameter mulut bagian dalam sebesar 13 cm. Diameter anyaman bambu pada bubu (mesh size) adalah 3 cm. Konstruksi bubu tambun ditunjukkan pada Gambar 1.

37 23 A B 13 cm 43 cm A 20 cm 3 cm B Gambar A: mulut bubu Gambar B: mesh size bubu Gambar 1 Konstruksi bubu tambun.

38 Perahu Perahu yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu kayu dengan dimensi panjang 4 m, lebar 1 m dan dalam 0,75 m. Perahu ini dilengkapi dengan mesin inboard berkekuatan 5 PK (Gambar 2). Gambar 2 Perahu yang digunakan dalam penelitian. 3.3 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah experimental fishing, yaitu mengoperasikan bubu tambun dengan jenis bahan tutupan berbeda di daerah penangkapan ikan. Bahan tutupan bubu tambun yang digunakan dikategorikan sebagai perlakuan yaitu ijuk, goni dan karang (Gambar 3) sebagai kontrol. Perlakuan tutupan bubu dilakukan sebanyak 70 %. Hal ini disesuaikan dengan tingkah laku ikan karang yang tidak menyukai tempat berlindung yang terlalu gelap. Bubu ijuk, bubu goni dan bubu karang sebagai kontrol diberi perlakuan awal untuk memperlancar operasionalnya, yaitu dengan merendam bubu di dalam laut selama 2 hari. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan aroma bambu dan karung goni. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk memberikan kesempatan alga dan perifiton tumbuh.

39 25 Tutupan ijuk Tutupan goni Tutupan karang Gambar 3 Konstruksi bubu tambun uji coba.

40 26 Operasional bubu tambun dilakukan selama dua minggu. Proses pemasangan dan pengangkatan bubu dilakukan setiap hari. Perendaman bubu tambun dilakukan selama + 24 jam atau selama sehari. Tahap-tahap operasi penangkapan ikan dalam penelitian ini adalah: 1) Persiapan Persiapan awal yang dilakukan adalah mempersiapkan sembilan unit bubu tambun dan diberi tutupan ijuk sebanyak tiga buah, tutupan goni sebanyak tiga buah dan tutupan karang sebanyak tiga buah. Kemudian mempersiapkan umpan, selanjutnya diletakkan di dalam bubu dan di depan mulut bubu. Umpan yang digunakan adalah bintang laut bantal (Culcita novaguineae) yang telah dipotong-potong (Gambar 4) dan umpan bulu babi (Diadema sp) yang telah dihancurkan. Setelah itu memasang pemberat di kedua sisi bubu, yaitu berupa batu yang dapat ditemukan di sekitar dramaga Pulau Panggang (Gambar 5). Gambar 4 Umpan bintang laut bantal (Culcita novaguineae). Gambar 5 Batu pemberat pemberat yang dipasang pada bubu.

41 27 2) Pemilihan daerah penangkapan ikan Pemilihan daerah penangkapan ikan didasarkan pada pengalaman nelayan atau berdasarkan hasil tangkapan yang diperoleh sebelumnya. Lokasi pemasangan bubu tambun di sekitar perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu (Gambar 6). Gambar 6 Daerah penangkapan ikan perairan Pulau Panggang. 3) Pemasangan bubu di dasar perairan Pemasangan bubu tambun dilakukan pada pagi hari. Pemasangan bubu dilakukan secara langsung di dasar perairan (Gambar 7). Dalam proses pemasangan bubu, nelayan menggunakan alat dasar selam berupa masker dan sepatu khusus. Semua bubu dipasang di perairan berkarang dengan sistem tunggal tanpa tali pengikat dan pelampung tanda (Gambar 8). Posisi penempatan bubu disejajarkan dengan arah datangnya arus. 4) Pengangkatan bubu Pengangkatan bubu dilakukan pada keesokan harinya. Dalam proses pengangkatan bubu menggunakan alat bantu berupa pengait. Pengait berfungsi menaikkan bubu dari dasar perairan ke atas kapal. Hasil tangkapan yang diperoleh diletakkan di dalam bak penampung sementara. Ada dua jenis bak penampung yang digunakan. Bak pertama dengan sirkulasi air yang berasal

42 28 dari mesin untuk ikan yang dibiarkan hidup dan bak kedua berupa palka kecil untuk ikan yang mati. Bubu yang sudah diangkat (gambar 9) dan dikeluarkan hasil tangkapannya disusun sedemikian rupa di atas kapal untuk memudahkan pemasangan berikutnya. Gambar 7 Bubu tambun menggunakan karang di dalam perairan. 20 m 20 m Gambar 8 Posisi pemasangan bubu.

43 29 Gambar 9 Bubu tambun yang baru diangkat dari dalam laut. Data primer yang dikumpulkan adalah komposisi jenis, jumlah, berat dan panjang hasil tangkapan seluruh bubu. Panjang ikan yang diukur adalah panjang total (Gambar 10). Data kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis bubu yang digunakan. Data sekunder dikumpulkan dari Dinas Perikanan dan kelautan Pemerintah Kepulauan Seribu. Data sekunder mencakup kondisi perikanan daerah penelitian, jumlah dan jenis unit penangkapan ikan. Keterangan Gambar A : Panjang Total A Gambar 10 Ukuran panjang total ikan.

44 Batasan Penelitian Batasan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Penelitian ini hanya membandingkan komposisi hasil tangkapan bubu berdasarkan jenis tutupan yang berbeda; dan (2) Uraian tingkah laku ikan karang hanya berdasarkan literatur yang diacu. 3.5 Asumsi yang Digunakan Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Setiap ikan yang berada di daerah pengoperasian bubu memiliki peluang tertangkap yang sama; (2) Parameter lingkungan seperti arus, suhu perairan, pasang surut, gelombang dan musim dalam penelitian ini diabaikan; (3) Keahlian setiap nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap ini dianggap sama. 3.6 Metode analisis data Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap komposisi jenis dan ukuran ikan hasil tangkapan. Ukuran panjang yang digunakan adalah ukuran panjang total (total length). Hal ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi panjang ikan hasil tangkapan yang dominan tertangkap. Penentuan jumlah selang kelas dan interval kelas untuk ukuran panjang total dihitung menggunakan rumus distribusi frekuensi (Walpole 1995), yaitu: K = 1 + 3,3 log n... (1)... (2) Keterangan : K = Jumlah kelas; n = Banyak data; i = Lebar kelas; N max = Nilai terbesar; dan N min = Nilai terkecil.

45 31 Data hasil tangkapan bubu dengan tutupan ijuk, goni dan karang terlebih dahulu diuji kenormalannya menggunakan uji kenormalan Anderson Darling. Selanjutnya dilakukan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk mengambil keputusan ada atau tidaknya perbedaan komposisi hasil tangkapan bubu dengan tiga jenis tutupan. Model dasar Uji Kruskall Wallis adalah Keterangan : r i = Jumlah dari peringkat perlakuan ke-i; n i = Banyaknya data dari perlakuan ke- i; n = Banyaknya data dari seluruh perlakuan. Hipotesis Uji Kruskall Wallis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) H 0 : berarti tidak ada perbedaan hasil tangkapan bubu dengan jenis tutupan berbeda. (2) H 1 : berarti ada perbedaan hasil tangkapan bubu dengan jenis tutupan berbeda. Dasar pengambilan keputusan Uji Kruskall Wallis yaitu : (1) Jika h i > χ 2 α maka tolak H 0, berarti ada perbedaan komposisi hasil tangkapan bubu dengan jenis tutupan yang berbeda. 2 (2) Jika h i > χ α maka gagal tolak H 0, berarti ada perbedaan komposisi hasil tangkapan bubu dengan jenis tutupan yang berbeda.

46 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Perairan Wilayah Kepulauan Seribu secara geografis terletak pada BT dan LS sebelah Utara. Di Sebelah Timur terletak pada posisi BT dan LS, yang kemudian ditarik garis lurus ke Selatan sampai Utara Pulau Jawa. Di sebelah Selatan terletak pada BT dan LS, di sebelah Barat terletak pada BT dan LS. Kepulauan Seribu merupakan bagian dari wilayah Jakarta Utara. Secara administratif kecamatan Kepulauan Seribu menjadi empat wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Tidung dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Kelurahan Pulau Panggang mempunyai daratan seluas 62,10 ha dan terdiri atas 13 pulau. Dari 13 pulau yang ada, hanya dua pulau yang didiami oleh penduduk, yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Hampir seluruh pulau di Kepulauan Seribu mempunyai topografi yang landai (0 5%) dengan ketinggian rata-rata (0 2) m di atas permukaan laut. Suhu udara berkisar antara C. Luas daratan dapat berubah oleh pasang surut dengan ketinggian pasang berkisar 1 1,5 m. Arus permukaan pada Musim Barat dan Musim Timur berkecepatan hampir sama dengan kecepatan maksimumnya 0,5 m/s. Arus pada Musim Barat dominan ke arah timur sampai ke tenggara, sedangkan Musim Timur dominan ke arah barat. Gelombang laut pada Musim Barat mempunyai ketinggian 0,5 1,175 m dan Musim Timur 0,5 1,0 m (Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, 2008). Kawasan Perairan Kepulauan Seribu, terdiri atas lautan, pulau karang, gugusan karang yang berupa reef flat dan coral reef serta gosong karang. Pada umumnya terdiri atas batu-batu kapur atau karang, pasir dan sedimen yang berasal dari daratan Pulau Jawa dan dari Laut Jawa. Secara umum kedalaman laut di wilayah Kepulauan Seribu berbeda-beda, yaitu berkisar 0 40 m. Hanya dua tempat yang mempunyai kedalaman lebih dari 40 meter, yaitu di sekitar Pulau Payung dan Pulau Pari. Suhu air permukaan di Kepulauan Seribu pada Musim

47 33 Barat berkisar 28,5 30,0 0 C. Salinitas permukaan berkisar ppt, baik pada Musim Barat maupun pada Musim Timur. 4.2 Keadaan Penduduk Jumlah penduduk di Pulau Panggang pada tahun meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan jenis kelamin, pada tahun 2008 terdapat jiwa laki-laki dan jiwa perempuan. Secara lebih rinci jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah penduduk di Pulau Panggang berdasarkan jenis kelamin. No Tahun Jenis Kelamin (jiwa) Laki-Laki Perempuan Jumlah (jiwa) Sumber: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang 2008 Sebagian besar penduduk di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu bermata pencaharian sebagai nelayan. Pada tahun 2008 terdapat orang penduduk di Kepulauan Seribu bermata pencaharian sebagai nelayan. Secara rinci jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel Kondisi Perikanan Tangkap Perikanan tangkap merupakan salah satu sektor penting yang harus dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Perikanan tangkap merupakan satu bagian penting dalam aktivitas kehidupan keseharian masyarakat di Perairan Kepulauan Seribu. Kondisi perikanan tangkap yang baik akan mendukung pengelolaan sumberdaya, secara ekonomis dan keberlanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat di Kepulauan Seribu.

48 34 Tabel 2 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Pulau Panggang. No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) % 1 Nelayan ,26 2 PNS 192 9,06 3 TNI 2 0,09 4 POLRI 2 0,09 5 Pensiunan/ Veteran 51 2,41 6 Pedagang 49 2,31 7 Jasa/ Pertukangan 22 1,04 8 Karyawan Swasta 21 0,99 9 Lain-Lain 58 2,74 Jumlah Sumber: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang Kapal Perikanan Berdasarkan kelompok gross tonage (GT), pada tahun 2006 kapal perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berjumlah unit. Jumlah kapal yang berada di Kelurahan Pulau Panggang adalah 212 unit atau 19,83% dari jumlah kapal yang ada di Kepulauan Seribu. Jumlah kapal perikanan menurut gross tonnage (GT) di Kepulauan Seribu secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah kapal perikanan menurut gross tonnage (GT) di Kelurahan Pulau Panggang tahun Kecamatan Kel./Pulau Kelompok Gross Tonage (GT) Jumlah Kec. Kep. Seribu Utara Kel. P. Panggang Pulau Panggang Pulau Pramuka Jumlah Sumber: Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta Utara (2006) Alat tangkap Pada tahun 2008 jenis alat tangkap yang paling banyak dioperasikan adalah alat tangkap pancing, berjumlah 532 unit dengan jumlah pemilik 444 orang. Nelayan yang mengoperasikan bubu sebanyak 21 orang dengan jumlah alat

49 35 tangkap sebanyak 250 unit. Jenis dan jumlah alat tangkap selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan jumlah alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang tahun No Alat Tangkap Jumlah Pemilik (orang) Jumlah Alat Tangkap (unit) 1 Jaring Payang Jaring Dasar Jaring Gebur Bubu Besar Bubu Kecil Pancing Jaring Muroami 5 8 Jumlah Sumber: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang (2008) Nelayan Masyarakat di Kepulauan Administrasi Kepulauan Seribu sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah yang berpasir, sehingga menyulitkan untuk kegiatan pertanian. Pada tahun 2006 jumlah nelayan di Kepulauan Seribu mencapai orang dengan produksi ikan sebesar kg. Jumlah alat tangkap dan produksi ikan tertinggi diperoleh dari alat tangkap payang sebanyak unit dengan produksi kg. Jumlah nelayan dan jumlah produksi perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan dan volume produksi perikanan menurut jenis alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2006 No Alat Tangkap Jumlah Nelayan (orang) Volume Produksi (kg) 1 Pancing Payang Muroami Bubu Jaring Lainnya Jumlah Sumber: Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Jakarta Utara (2006)

50 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Total Ikan hasil tangkapan utama bubu tambun dalam penelitian ini terdiri atas delapan famili ikan konsumsi dan satu famili ikan hias. Ikan konsumsi yang tertangkap antara lain ikan dari famili Scaridae, Pomacentridae, Serranide, Labridae, Lutjanidae, Siganidae, Nemipteridae dan Mullidae. Famili dari hasil tangkapan ikan hias yaitu Chaetodontidae. Ikan hasil tangkapan sampingan bubu tambun dalam penelitian ini terdiri atas tiga famili, yaitu dari famili Portunidae, Monacanthidae dan Diodontidae. Komposisi hasil tangkapan bubu tambun seperti terlihat di Tabel 6. Tabel 6 Komposisi hasil tangkapan utama dan tangkapan sampingan berdasarkan jumlah hasil tangkapan Utama Sampingan Hasil tangkapan Jumlah Berat ekor % g % Ikan Konsumsi 1. Famili Scaridae 36 7, ,15 2. Famili Pomacentridae , ,16 3. Famili Serranidae 24 5, ,87 4. Famili Labridae 25 5, ,29 5. Famili Lutjanidae 54 11, ,32 6. Famili Siganidae 62 13, ,01 7. Famili Nemipteridae 15 3, ,31 8. Famili Mullidae 2 0, ,82 Ikan Hias 1. Chaetodontidae 55 11, ,48 Subtotal , ,40 1. Famili Portunidae 22 4, ,57 2. Famili Monacanthidae 17 3, ,24 3. Famili Diodontidae 6 1, ,79 Subtotal 45 9, ,60 Total

51 37 Hasil tangkapan total yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 477 ekor dengan berat mencapai g. Hasil tangkapan utama sebanyak 432 ekor (90,57%) dengan berat g (85,40%) dan hasil tangkapan sampingan sebanyak 45 ekor (9,43%) dengan berat g (14,60%). Komposisi hasil tangkapan total didominasi oleh Famili Pomacentridae sebanyak 159 ekor (33,33%) dengan berat g (28,16%). Komposisi hasil tangkapan total dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 11. Hasil tangkapan utama berjumlah 91 %, sedangkan 9 % merupakan hasil tangkapan sampingan (Gambar 12) Jumlah (Ekor) Famili BUBU KARUNG GONI BUBU IJUK BUBU TERUMBU KARANG Gambar 11 Hasil tangkapan total berdasarkan famili.

52 38 9 % Tangkapan utama Tangkapan sampingan 91 % Gambar 12 Komposisi hasil tangkapan total dalam persen. Target tangkapan utama dalam pengoperasian bubuu tambun di Kepulauan Seribu adalah Famili Serranidae. Jenis tangkapan dari famili Serranidae dalam penelitian ini antara lain ikan kerapu hitam (Epinaphelus ongus), kerapu koko (Epinaphelus quoyanus) ), kerapu karet (Cephalopholis argus) dan kerapu merah (Epinephelus fasciatus) ). Famili Serranidae termasuk kategori ikan ekonomis penting. Permintaan pasar untuk famili ini sangat tinggi dan bergantung pada ukuran dan jenisnya. Famili Serranidae yang tertangkap bubu tambun saat penelitian, memiliki ukuran yang kecil. Biasanya nelayan menjual hasil tangkapan yang didapat kepada pengumpul. Kemudian pengumpul akan membudidayakannya hingga ikan tersebut sebesar ukuran ikan konsumsi. Ikan kerapu yang tertangkap di penelitiann ini berjumlah 24 ekor dengan berat individu berkisar antara 90 g sampai 400 g. Hasil tangkapan kerapu paling banyak diperoleh dari bubu tambun dengan tutupan goni sebanyak 9 ekor (5,45%), kemudian bubu tambun dengan tutupan ijuk sebanyak 8 ekor (5,8%) dan bubu tambun dengan tutupan karang sebanyak 7 ekor (4%). Famili Serranidae termasuk ikan predator yang hidupnya soliter dan terdapat di gua-gua karang. Ikan kerapu masuk ke dalam bubu karena adanya mangsa di dalam bubu. Hal ini dapat dilihat dari situasi tangkapan di dalam bubu pada saat pengangkatan bubu, dimana ada ikan dari famili Serranidae, disitu ada ikan dari jenis lain yang mati. Hal ini

53 39 diduga akibat dimangsa oleh ikan famili Serranidae. Hasil Tangkapan famili Serranidae penelitian dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Jumlah (ekor) Bubuu ijuk 9 Bubu goni 7 Bubu karang Bubu ijuk Bubu goni Bubu karang Gambar 13 Hasil tangkapan Famili Serranidae. 4% 5.45% 5.84% Bubu ijuk Bubu goni Bubu karang Gambar 14 Persentasee komposisi hasil tangkapan Famili Serranidae penelitian Komposisi hasil tangkapan bubu tambun dengan utupan ijuk Hasil tangkapann bubu tambun dengan tutupan ijuk berjumlah 137 ekor dengan berat total g. Hasil tangkapan utama diperoleh sebanyak 129 ekor (94,16%) dengan berat sebesar g (88, 52%), sedangkan hasil tangkapan sampingan diperoleh sebanyak 8 ekor (5,84%) dengan berat sebesar g

54 40 (11,48%). Hasil tangkapan utama meliputi ikan konsumsi sebanyak 105 ekor (76,64%) seberat g (86,96%) dan ikan hias sebanyak 24 ekor (17,52%) dengan berat yaitu sebesar 300 g (2,33%). Komposisi hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan ijuk dapat dilihat pada Tabel 7, Gambar 14 dan 15. Tabel 7 Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan Ijuk Utama Sampingan Hasil tangkapan Jumlah Berat ekor % g % Ikan Konsumsi 1. Famili Scaridae 12 8, ,69 2. Famili Pomacentridae 38 27, ,84 3. Famili Serranidae 8 5, ,15 4. Famili Labridae 13 9, ,18 5. Famili Lutjanidae 15 10, ,11 6. Famili Siganidae 15 10, ,58 7. Famili Nemipteridae 4 2, ,64 8. Famili Mullidae Ikan Hias 1. Chaetodontidae 24 17, ,33 Subtotal , ,52 1. Famili Portunidae 4 2, ,99 5. Famili Monacanthidae 4 2, ,49 7. Famili Diodontidae Subtotal 8 5, ,48 Total Famili Pomacentridae merupakan hasil tangkapan yang paling banyak pada bubu tambun dengan tutupan ijuk, berjumlah 38 ekor (Gambar 15). Jenis ikan betok hitam (Neoglyphidodon oxyodon), betok putih (Altrichthys curatus) dan sersan mayor (Abudefduf sexfasciatus) merupakan jenis hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan dari famili Pomacentridae. Kemudian yang terbanyak kedua adalah famili Chaetodontidae yaitu sebanyak 24 ekor. Jenis ikan dari famili Chaetodontidae yang tertangkap antara lain adalah ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus) dan kepe strip delapan (Chaetodon octofasciatus). Famili Chaetodontidae termasuk kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang (Adrim

55 ). Dengan kata lain semakin banyak jumlah ikan dari famili Chaetodontidae ditemui maka diindikasikan bahwa di lokasi itu terdapat ekosistem terumbu karang yang baik Jumlah (ekor) Famili Bubu Ijuk Gambar 15 Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan ijuk. 5,84% Tangkapan Utamaa Tangkapan Sampingan 94,16% Gambar 16 Komposisi persen. hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan ijuk dalam

56 Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan goni Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan goni berjumlah 165 ekor dengan berat total sebesar g. Hasil tangkapan utama berjumlah 147 ekor (89,09%) dengan berat g (84,49%) dan hasil tangkapan sampingan berjumlah 18 ekor (10,91%) dengan berat g (15,51%). Hasil tangkapan utama meliputi ikan konsumsi sebanyak 130 ekor (78,79%) dengan berat g (81,22%) dan ikan hias sebanyak 17 ekor (10,30%) dengan berat 425 g (3,27%). Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan goni dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 17 dan 18. Tabel 8 Komposisi hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan goni Utama Sampingan Hasil tangkapan Jumlah Berat ekor % g % Ikan Konsumsi 1. Famili Scaridae 11 6, ,93 2. Famili Pomacentridae 61 36, ,51 3. Famili Serranidae 9 5, ,23 4. Famili Labridae 9 5, ,31 5. Famili Lutjanidae 16 9, ,54 6. Famili Siganidae 16 9, ,69 7. Famili Nemipteridae 7 4, ,62 8. Famili Mullidae 1 0, ,39 Ikan Hias 1. Chaetodontidae 17 10, ,27 Subtotal , ,49 1. Famili Portunidae 6 3, ,19 2. Famili Monacanthidae 9 5, ,00 3. Famili Diodontidae 3 1, ,31 Subtotal 18 10, ,51 Total Famili Pomacentridae merupakan hasil tangkapan yang paling banyak berasal dari bubu tambun dengan tutupan goni, berjumlah 61 ekor (Gambar 16). Jenis ikan betok hitam (Neoglyphidodon oxyodon), betok putih (Altrichthys curatus) dan sersan mayor (Abudefduf sexfasciatus) merupakan hasil tangkapan

57 43 yang paling banyak ditemukan dari famili Pomacentridae yang tertangkap. Terbanyak kedua adalah famili Chaetodontidae, berjumlah 17 ekor. Jenis ikan dari famili Chaetodontidae antara lain ikan marmut (Chaetodontoplus mesoleucus) dan kepe strip delapan (Chaetodon octofasciatus) Jumlah (ekor) Famili Bubu Goni Gambar 17 Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan goni. 10,91% Tangkapan utama Tangkapan sampingan 89,,09% Gambar 18 Komposisi hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan goni dalam persen.

58 Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan karang Hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan karang berjumlah 175 ekor dengan berat total g. Hasil tangkapan utama berjumlah 156 ekor (89,14%) dengan berat g (83,28%) dan hasil tangkapan sampingan berjumlah 19 ekor (10,86%) dengan berat g (16,72%). Hasil tangkapan utama meliputi ikan konsumsi berjumlah 142 ekor (81,14%) dengan berat g (81,41%) dan ikan hias berjumlah 14 ekor (8%) dengan berat 250 g (1,87%). Komposisi hasil tangkapan bubu tambun menggunakan tutupan karang dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 19 dan 20. Tabel 9 Komposisi hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan karang Utama Sampingan Hasil tangkapan Jumlah Berat ekor % g % Ikan Konsumsi 1. Famili Scaridae 13 7, ,76 2. Famili Pomacentridae 60 34, ,07 3. Famili Serranidae 7 4, ,20 4. Famili Labridae 3 1, ,72 5. Famili Lutjanidae 23 13, ,26 6. Famili Siganidae 31 17, ,65 7. Famili Nemipteridae 4 2, ,69 8. Famili Mullidae 1 0, ,05 Ikan Hias 1. Chaetodontidae 14 8, ,87 Subtotal , ,28 1. Famili Portunidae 12 6, ,57 2. Famili Monacanthidae 4 2, ,27 3. Famili Diodontidae 3 1, ,88 Subtotal 19 10, ,72 Total Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa famili Pomacentridae merupakan hasil tangkapan yang paling banyak dari bubu tambun dengan tutupan karang berjumlah 60 ekor. Jenis ikan betok hitam (Neoglyphidodon oxyodon), betok putih (Altrichthys curatus) dan sersan mayor (Abudefduf sexfasciatus) merupakan hasil

59 45 tangkapan yang paling banyak dari famili Pomacentridae yang tertangkap. Berbeda dengan hasil tangkapan bubu ijuk dan bubu goni, dari bubu dengan tutupan karang hasil tangkapan terbanyak kedua adalah famili Siganidae, berjumlah 31 ekor. Jenis ikan dari famili Siganidae antara lain adalah ikan kea-kea (Siganus doliatus), manggilala (Siganus spinus) dan Baronang (Siganus guttatus). Ikan dari famili Siganidae merupakan salah satu target penangkapann dari bubu tambun karena penduduk setempat sangat menggemari jenis ikan kea-kea (Siganus doliatus) untuk dikonsumsi Jumlah (ekor) Famili BUBU KARANG Gambar 19 Hasil tangkapann bubu tambun dengan utupan karang. 10,86% Tangkapan utama Tangkapan sampingan 89,14% Gambar 20 Komposisii hasil tangkapan bubuu tambun dengan tutupan karang dalam persen.

60 Sebaran Panjang Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang terbanyak dalam penelitian ini adalah jenis betok laut dari famili Pomacentridae, yaitu ikan betok hitam (Neoglyphidodon oxyodon) dan betok putih (Altrichthys curatus). Oleh karena itu, hanya ikan dari famili Pomacentridae yang dianalisis sebaran panjangnya. Ukuran panjang ikan betok laut hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan ijuk berkisar antara 13 18,5 cm. Frekuensi panjang tertinggi terjadi pada selang 15 16, yaitu sebanyak 15 ekor (Gambar 21) Jumlah (ekor) Selang Panjang (cm) Gambar 21 Sebaran frekuensi panjang betok laut pada bubu ijuk. Bubu yang dengan tutupan goni menangkap ikan betok laut dengan ukuran panjang berkisar antara 12,6 19,5 cm. Frekuensi panjang tertinggi untuk ikan betok laut terjadi pada selang 13 14, berjumlah 14 ekor (Gambar 22). Bubu yang dengan tutupan karang menangkap ikan betok laut dengan ukuran panjang berkisar antara 12,9 18,5 cm. Frekuensi panjang tertinggi untuk ikan ini terjadi pada selang 13 14, berjumlah 13 ekor (Gambar 23).

61 47 Jumlah (ekor) Selang Panjang (cm) Gambar 22 Sebaran frekuensi panjang betok laut pada bubu goni. Jumlah (ekor) Selang Panjang (cm) Gambar 23 Sebaran frekuensi panjang betok laut pada bubu karang. Menurut Bessa (2007), ukuran panjang saat matang gonad ikan betok laut berkisar antara 10,0 11,5 cm. Berdasarkan Bessa (2007) ini, maka semua ikan betok laut yang tertangkap berukuran di atas layak tangkap, baik hasil tangkapan bubu tambun dengan tutupan ijuk, goni maupun karang. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak mengganggu masa reproduksi betok laut.

62 Hasil Analisis Statistik Uji Kenormalan data Anderson Darling yang telah dilakukan menunjukkan bahwa data hasil tangkapan total memiliki P-Value < 0,005. Nilai tersebut lebih kecil dari nilai α = 0,005, sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil tangkapan ketiga jenis bubu tidak menyebar normal. Grafik plot kenormalan yang dihasilkan dari semua bubu dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 24. Selanjutnya dilakukan uji Kruskal-Wallis. Probability Plot of Hasil Tangkapan Normal Percent Mean StDev N 12 AD P-Value < Hasil Tangkapan Gambar 24 Hasil uji kenormalan data hasil tangkapan ketiga jenis bubu penelitian. Uji Kruskal-Wallis (Gambar 24) menghasilkan derajat bebas pada level toleransi 5% adalah : df = k 1 = 3 1 = 2 Oleh karena itu, daerah penolakannya adalah H >. Tabel chi-square menunjukkan = 5, Uji Kruskal-wallis yang dilakukan menunjukkan nilai H sebesar 0,18 untuk hasil tangkapan total, H sebesar 0,06 untuk hasil tangkapan utama dan H sebesar 2,82 untuk hasil tangkapan sampingan. Bila dibandingkan dengan statistik uji (H), nilai H di bawah statistik. Kesimpulannya adalah gagal tolak hipotesis awal (H 0 ). Secara statistik tidak

63 49 cukup bukti bahwa ketiga jenis bubu penelitian memiliki hasil tangkapan yang berbeda, baik itu dilihat dari hasil tangkapan total, hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Hal ini berarti bahwa hasil tangkapan yang didapat dari bubu tambun dengan tutupan ijuk dan goni tidak berbeda nyata dengan hasil tangkapan bubu dengan tutupan karang pada tingkat kepercayaan 95 %. Oleh karena itu penggunaan bubu tambun dengan tutupan ijuk dan goni bisa diterapkan dalam operasional bubu tambun di perairan Kepulauan Seribu. Hasil uji Kruskalwallis yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 10, 11 dan 12. Tabel 10 Hasil Uji Kruskal-Wallis data ketiga jenis bubu penelitian. Bubu N Median Ave Rank Z Bubu goni ,5 0,40 Bubu ijuk ,8-0,30 Bubu karang 12 9,5 18,3-0,10 Overall 36 18,5 H = 0,18 DF = 2 P = 0,916 Tabel 11 Hasil Uji Kruskal-Wallis data hasil tangkapan utama ketiga jenis bubu penelitian Bubu N Median Ave Rank Z Bubu goni Bubu ijuk Bubu karang Overall H = 0,06 Df = 2 P = 0,972 Tabel 12 Hasil Uji Kruskal-Wallis data hasil tangkapan sampingan ketiga jenis bubu penelitian Bubu N Median Ave Rank Z Bubu goni Bubu ijuk Bubu karang Overall H = 2,82 Df = 2 P = 0,244

64 Pengaruh Penggunaan Ijuk dan Goni dalam Operasional Bubu Tambun Daerah peletakan bubu tambun adalah daerah terumbu karang tepi (fringing reef), tepatnya di daerah rataan terumbu karang (reef flat) dan daerah tubir karang. Kedalaman fishing ground berkisar antara 0,5 5 meter. Di daerah ini terdapat komponen batu karang hidup, batu karang mati, pasir dan alga. Sebelum bubu uji dioperasikan, terlebih dahulu diberi perlakuan perendaman selama dua hari. Perlakuan ini hanya diberikan sekali itu saja, setelah bubu dioperasikan tidak ada lagi. Perendaman ini dimaksudkan agar alga dan perifiton segera menempel pada komponen bubu dan hal ini akan menarik ikan untuk mendekati bubu. Oleh karena itu tidak dilakukan penggantian bubu selama penelitian, maka jumlah alga dan perifiton diduga semakin hari semakin banyak. Kondisi ini diduga dapat mempengaruhi hasil tangkapan yang diperoleh. Namun kenyataannya tidak demikian, hasil tangkapan yang diperoleh berfluktuasi. Hasil tangkapan bubu tertinggi diperoleh pada hari kesepuluh. Apakah hari kesebelas hasil tangkapan bubu akan meningkat, belum diketahui. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah trip yang lebih banyak. Hasil tangkapan dari ketiga jenis bubu penelitian berdasarkan lama perendaman setelah perendaman awal dapat dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 25. Tabel 13 Hasil tangkapan berdasarkan lama perendaman setelah perendaman awal No Jenis Bubu Jumlah hasil tangkapan (ekor) pada hari ke Bubu ijuk Bubu goni bubu karang Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan yang diperoleh berfluktuasi. Jumlah tangkapan yang paling sedikit terjadi pada hari kesembilan untuk ketiga jenis tutupan. Hal ini dikarenakan keadaan cuaca pada saat penelitian itu buruk, sehingga kurang mendukung proses mengoperasikan bubu tambun di daerah penangkapan ikan yang telah ditentukan. Pengoperasian bubu saat itu hanya dapat dilakukan di perairan yang lebih dekat ke daerah pantai.

65 51 Jumlah Hasil Tangkapan (ekor) Bubu ijuk Bubu goni Bubu karang Hari Ke Gambar 25 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan lama perendaman setelah perendaman awal. Penggunaan bahan alami ijuk dan goni mempunyai kelebihan pada efisiensi waktu pada saat pengoperasian bubu tambun. Hal ini disebabkan pengoperasian bubu tambun dengan tutupan karang, harus mencari terumbu karang dulu sebelum operasi penangkapan ikan dimulai, sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Bubu dengan tutupan ijuk dan tutupan goni dalam pengoperasiannya, langsung diletakkan di daerah penangkapan ikan yang telah ditentukan. Pengoperasian bubu tambun dengan tutupan karang akan memberikan suasana kamuflase yang menyerupai habitat hidup ikan karang. Hal inilah yang membuat bagian dalam bubu menjadi gelap dan ikan karang akan masuk ke dalam bubu. Sama tujuannya dengan penggunaan tutupan ijuk dan tutupan goni. Kamuflase yang dihasilkan tutupan ijuk dan tutupan goni sama dengan tutupan karang. Namun, pada saat berada di dalam perairan, kamuflase tutupan ijuk terlihat seperti kumpulan bulu babi (Diadema setosum). Kamuflase yang menyerupai bulu babi (Diadema setosum) dapat mengurangi pencurian bubu tambun yang berada di dalam perairan. Dalam pengoperasian bubu tambun dengan tutupan ijuk dan goni menggunakan pemberat berupa karang mati. Karang mati dapat dijumpai di sekitar ekosistem terumbu karang. Hal ini diharapkan dapat diteladani oleh nelayan setempat, karena nelayan Kepulauan Seribu menggunakan karang yang

66 52 masih hidup untuk pemberat bubu tambun. Sebetulnya akan lebih baik jika nelayan menggunakan bahan selain karang mati untuk pemberat, misalnya batu kali atau timah hitam dan lainnya. Pengoperasian bubu tambun, seringkali dilakukan di daerah yang memiliki ekosistem terumbu karang yang padat. Terumbu karang ini nantinya digunakan sebagai tutupan pada pengoperasian bubu tambun. Proses pengoperasian bubu tambun dengan tutupan karang dapat merusak ekosistem terumbu karang yang menjadi habitat ikan karang target penangkapan. Jika dikaitkan dengan waktu yang digunakan untuk satu trip pengoperasian bubu tambun dengan tutupan karang, yaitu satu hari, maka kerusakan ekosistem terumbu karang akan terjadi pada setiap harinya. Apalagi cara ini dilakukan untuk jangka waktu yang lama, maka kerusakaan yang terjadi pada terumbu karang akan sangat tinggi. Pada saat proses penimbunan bubu tambun seringkali menambah pengrusakan pada karang. Hal ini disebabkan nelayan harus berada di perairan tempat pengoperasian bubu tersebut. Nelayan berjalan di perairan agar dapat mengatur posisi peletakan bubu. Saat berjalan nelayan seringkali menginjakkan kakinya pada karang sebagai tempat untuk bertumpu. Karang yang terinjak umumnya adalah karang yang hidup pada kedalaman yang rendah atau di perairan dangkal. Injakan yang mengenai karang tersebut akan membuat karang patah atau karang tersebut hancur. Hal ini harus segera dicarikan solusinya. Penggunaan ijuk atau goni merupakan salah satu alternatif. Pengoperasian bubu tambun dengan tutupan ijuk dan goni hanya dilakukan di celah terumbu karang tanpa melakukan pengrusakan terumbu karang. Suasana kamuflase telah terjadi tanpa penggunaan terumbu karang di perairan. Saat pengoperasian bubu dengan tutupan ijuk dan goni juga tidak mengharuskan nelayan berada di dalam perairan, karena posisi bubu dapat diatur dari atas kapal dengan menggunakan pengait. Hal ini meyakinkan bahwa kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh pengoperaian bubu tambun dengan tutupan karang dapat dikurangi, bahkan tidak dilakukan lagi. Hal mendasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemanfaatan sumberdaya khususnya sumberdaya ikan dengan penggunaan alat tangkap yang

67 53 ramah lingkungan. Penggunaan bahan alami sebagai tutupan dalam pengoperasian bubu tambun merupakan salah satu bentuk dari solusi pemanfaatan sumberdaya ikan yang ramah lingkungan. Bahan alami ijuk dan goni ini mempunyai prinsip seperti atraktor rumpon berfungsi untuk membantu mengumpulkan ikan, dengan alasan atraktor rumpon yang terbuat dari bahan alami membuat perifiton dan alga menempel pada subtrat alami. Hal ini juga berlaku pada penggunaan bahan alami ijuk dan goni sebagai tempat menempelnya subtrat dan perifiton sehingga membuat ikan berkumpul di bubu yang dioperasikan. Kerusakan karang yang terjadi akibat pengoperasian bubu tambun memang tidak memberikan efek yang besar dibandingkan dengan kerusakan akibat penangkapan yang menggunakan potasium atau bom. Namun, kerusakan yang terjadi akan menjadi besar apabila dari tingkat intensitas frekuensi penangkapan yang tinggi yang dilakukan oleh nelayan bubu tambun di Kepulauan Seribu. Kekhawatiran yang baru adalah ketika nelayan yang ada di Kepulauan Seribu memperluas daerah penangkapan ikan, sehingga akan memperluas wilayah kerusakan terumbu karang apabila alat tangkap dan metode pengoperasiannya tidak diubah menjadi lebih baik. Upaya pemanfaatan sumberdaya ikan secara prinsip yang selalu memperhatikan keramahan lingkungan harus terus diupayakan, khususnya di perairan Kepulauan Seribu. Upaya demikian diharapkan sumberdaya ikan dan lingkungannya akan tetap terjaga dan lestari. Memodifikasi alat tangkap dan yang ramah lingkungan sehingga sumberdaya dapat dimanfaatkan secara optimal.

68 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Hasil tangkapan total dalam penelitian ini berjumlah 477 ekor dengan berat g. Hasil tangkapan utama berjumlah 432 ekor (90,57%) dengan berat g (85,40%), terdiri atas ikan konsumsi sebanyak 37 ekor (79,04%) dengan berat g (82,92%) dan ikan hias sebanyak 55 ekor (11,53%) dengan berat 975 g (2,48%). Hasil tangkapan sampingan berjumlah 45 ekor (9,43%) dengan berat 5730 g (14,60%). Hasil tangkapan yang didapat dari bubu tambun dengan tiga jenis tutupan ijuk, goni dan terumbu karang secara significant tidak berbeda nyata dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. 6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dalam rangka menekan laju kerusakan ekosistem terumbu karang, sebaiknya nelayan Kepulauan Seribu tidak lagi menggunakan terumbu karang dalam pengoperasian bubu tambun, melainkan menggantinya dengan tutupan goni atau ijuk. Selanjutnya, untuk bisa mendapatkan hasil yang lebih baik, lagi perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan tetap menggunakan materi dan metode yang sama, tetapi melakukan analisis terhadap sifat material, ketahanan material pada saat pengoperasian bubu tambun dan kepraktisan dari material bahan alami penutup bubu tambun serta jumlah trip yang lebih banyak.

69 DAFTAR PUSTAKA Adrim M Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Makalah Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia. 34 Hal Allen G, R Steene, P Humann and N DeLoach Reef Fish Identification : Tropical Pacific. Jacksonville, Florida USA : New World Publications, Inc. 248 hal. Arami H Seleksi Tekonologi Penangkapan Ikan Karang Dalam Rangka Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. [Tesis] (tidak dipublikasikan). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hal Baskoro MS Tingkah Laku Ikan Hubungannya dengan Metode Pengoperasian Alat Tangkap Ikan. Diktat kuliah (tidak dipublikasikan) Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 131 hal. Bessa E, JF Dias and AM de Souza Rare Data on A Rocky Shore Fish Reproductive Biology: Sex Ratio, Length of First Maturation and Spawning Period of Abudefduf saxatilis (Linnaeus, 1758) with Notes on Stegastes variabilis Spawning Period (Perciformes: Pomacentridae) in Sao Paulo, Brazil. Brazilian Journal Oceanography Volume 55 no.3. Instituto Oceanográfico da Universidade de Sao Paulo Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pengembangan Berkelanjutan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama hal. Diniah Pengenalan Perikanan Tangkap. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Hal 17. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Kategori Alat Tangkap. ( 09 Mei 2010 Furevik DM Behaviour of Fish Relation to Pots : Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation. London: Fishing News Books. Hal Gunarso W Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metoda, dan Teknik Penangkapan Ikan. Diktat kuliah (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 149 hal.

70 56 High WL and Beardsley Fish Behaviour Studies from Undersea Habitat. Community Fisheries Rev. Dikutip dari Furevik, DM Behaviour of Fish Relation to Pots : Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation. London: Fishing News Books. Hal Hutomo Pengantar Studi Ekologis Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajiannya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia. 54 Hal. Isnaini Pola Rezim Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning di Kepulauan Seribu. [Tesis] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 142 hal. Klust G Bahan Jaring untuk Alat Penangkapan Ikan. Edisi ke-2. Diterjemahkan oleh Team BPPI Semarang 1998, Netting Materials for Fishing Gear. Semarang: Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang. 187 hal. Komarudin D Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 104 hal. Martasuganda S Bubu (Traps). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 68 hal. Monintja DR dan S Martasuganda Teknologi Pemanfaatan Hayati Laut II. Diktat kuliah (Tidak dipublikasikan). Bogor: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. 90 hal. Nugraha A Efektivitas Penangkapan Ikan Karang Konsumsi Menggunakan Bubu dengan Umpan yang Berbeda di Kepulauan Seribu. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 95 hal. Nybakken JW Biologi laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh Eidman M, Koesoebiono, DG Bengen, Hutomo dan Sukardjo, 1992, Marine Biology An Ecological Approach. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal Pambudi W Pengaruh Penambahan Serat Ijuk dan Pengurangan Pasir Terhadap Beban Lentur dan Berat Jenis Genteng Beton. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang. 78 hal.

71 57 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu Data Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Jakarta: Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu. Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang Laporan Bulanan Februari 2008 Jakarta: Pemerintahan Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Sainsbury Commercial Fishing Methods: An Introduction To Vessels and Gears. London: Fishing News Books. 119 p Santoso BN. (2008). Pengaruh Perbedaan Konstruksi Bubu Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang di Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 58 hal. Simbolon D Daerah Penangkapan Ikan Sebagai Salah Satu Faktor Penentu Keberhasilan Operasi Penangkapan Ikan. Dalam Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap Yang Bertanggung Jawab, Nomor 07 Tahun 2006/2007. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal Subani W dan HR. Barus Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, Edisi Khusus Nomor 50 Tahun 1988/1989. Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut, Departemen Pertanian. 245 hal. Sudiro DR Rami Tanaman Asli Indonesia Untuk Meningkatkan Kemandirian Kebutuhan Alat pertahanan. Buletin Litbang Pertahanan Indonesia Volume VII Nomor 13 Tahun [Terhubung Tidak Berkala]. [18 Maret 2010] Sugiyono Pengantar Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. 390 hal. Supriharyono Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal Dikutip dari Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pengembangan Berkelanjutan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Susanti Y Pengoperasian Bubu Tambun dan Kerusakan Terumbu Karang yang Diakibatkannya di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 88 hal. Susanto H Ikan Hias Air Laut. Depok: Penerbit Swadaya. 84 hal. Dikutip dari Dahuri R Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pengembangan Berkelanjutan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

72 58 Von Brand A Fish Catching Methods of the Word 4 th Edition. O Gabriel, K Lange, E Dahm and T Wendt, Editors. England: Blackwell Publishing. 523 hal. Wallace C New spesies and A new Species Group of the coral genus acropora (Scleractinia: Astrocoeniina: Acroporidae) from Indo-Pacifik location. Invertebrate Taxonomy. 8: Walpole RE Pengantar Statistika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 516 hal. Widodo J, Aziz K, Priyono B, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut Di Perairan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal Wudianto C, Nasution dan HR Barus Uji Coba Bubu Plastik di Perairan Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, Volume No.46 Tahun Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut, Departemen Pertanian. Hal 45-53

73 LAMPIRAN

74 60 Lampiran 1 Tahapan proses pembuatan bubu tambun penelitian. No Tahapan Proses Pembuatan Bubu Tambun Penelitian 1 Persiapan bahan bambu sebagai bahan utama dari pembuatan bubu tambun Gambar 2 Bambu di potong kecil yang nantinya akan dirangkai menjadi bubu tambun 3 Pembuatan badan bubu tambun 4 Pembuatan mulut bubu tambun

75 61 5 Penyatuan badan bubu dan mulut bubu 6 Pembuatan bubu tambun dengan tutupan ijuk 7 Pembuatan bubu tambun dengan tutupan goni 8 Bubu Tambun dengan tutupan karang

76 Lampiran 2. Peta Kepulauan Seribu. 62

77 63 Lampiran 3 Peta Pulau Panggang Tempat Penelitian LS BT Karang Berlayar P. Layar P. Semak Daun P. Singgit Karang Kelingdalam P. Karang Beras Karang Kelingcetek P. Air Karang Dalam Gosong Pramuka P.Karya P. Panggang P. Sekati P. Gosong Air 5 P. Pramuka Skala 1 : Keterangan: Sumber: : Lokasi Penelitian : Daratan : Perairan Terumbu Karang : Perairan Dalam Peta Proyeksi Mercator Kepulauan Seribu: Pulau Pramuka Hingga Pulau Kotok Kecil DISHIDROS TNI-AL (1986) (Diolah Kembali).

78 64 Lampiran 4 Foto ikan hasil tangkapan bubu. Sumber identifikasi : Allen G et al Reef Fish Identification : Tropical Pacific. New World Publications, Inc. Jacksonville, Florida USA. 248 hal. Famili Labridae Nori merah/ Banded maori wrasse (Cheilinus fasciatus) Nori hijau/checkerboard wrasse (Halichoeres hortulanus) Jarang gigi/ White-belly tuskfish (Choerodon anchorago) Famili Lutjanidae Lencam/ Mangrove jack (Lutjanus argentimaculatus) Tanda-tanda/ Russell s snapper (Lutjanus rusell)

79 65 Lampiran 4 (lanjutan) Famili Serranidae Kerapu koko/longfin grouper (Epinephelus quoyanus) Kerapu merah/blacktip grouper (Epinephelus fasciatus) Kerapu hitam/white-straked grouper (Epinephelus ongus) Famili Siganidae Kea kea/barred rabbitfish (Siganus doliatus) Baronang/Scribbled rabbitfish (Siganus guttatus)

80 66 Lampiran 4 (lanjutan) Famili Scaridae Kakatua biru/blue-barred parrotfish (Scarus ghobban) Famili Pomacentridae Betok putih/guardian damsel (Altrichthys curatus) Betok hitam/javanese damsel (Neoglyphidodon oxyodoon) Sersan mayor/scissor-tail sergeant (Abudefduf sixfasciatus)

81 67 Lampiran 4 (lanjutan) Chaetodontidae Kepe strip 8/Eight-banded angelfish (Chaetodontoplus octofaciatus) Kepe marmut/vermiculate anglefish (Chaetodontoplus mesoleucus) Famili Portunidae Rajungan karang/swimming crab (Portunus hestatoides) Kepiting plongkor/ Coral-reef crab (Carpilus maculatus)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU TERHADAP UMPAN 7.1 Pendahuluan Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Secara umum, menangkap ikan dengan bubu adalah agar ikan berkeinginan masuk ke dalam

Lebih terperinci

KARUNG GONI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI TERUMBU KARANG DALAM PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS, KEPULAUAN SERIBU

KARUNG GONI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI TERUMBU KARANG DALAM PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS, KEPULAUAN SERIBU KARUNG GONI SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI TERUMBU KARANG DALAM PENGOPERASIAN BUBU TAMBUN DI PERAIRAN PULAU KARANG BERAS, KEPULAUAN SERIBU R. NUGROHO BAYU SANTOSO MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan selama periode pengamatan menunjukkan kekayaan jenis ikan karang sebesar 16 famili dengan 789 spesies. Jumlah tertinggi ditemukan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan

EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN. I. Pendahuluan EFEKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DENGAN BUBU MENGGUNAKAN UMPAN BUATAN Mochammad Riyanto 1), Ari Purbayanto 1), dan Budy Wiryawan 1) 1) Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) PANCING Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata pancing (hook). Sedangkan bahan, ukuran tali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami Definisi dan fungsi terumbu karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami Definisi dan fungsi terumbu karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Alami 2.1.1 Definisi dan fungsi terumbu karang Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara geografis propinsi Bali terletak pada posisi 8º 03 40-8º 50 48 LS dan 144º 50 48 BT. Luas propinsi Bali meliputi areal daratan sekitar 5.632,66 km² termasuk keseluruhan

Lebih terperinci

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi

Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Metode Menarik Perhatian Ikan (Fish Attraction) Muhammad Arif Rahman, S.Pi Prinsip dari metode ini adalah mengumpulkan ikan dalam ruang lingkup suatu alat tangkap. Dalam menarik perhatian ikan, digunakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) merupakan pelabuhan perikanan tipe B atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal perikanan yang

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU PENGARUH JENIS UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPANN BUBU TALI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU MIRA NURYAWATI MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANANN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANANN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N

CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N Pendahuluan Ekosistem terumbu karang merupakan gantungan hidup bagi masyarakat Kelurahan Pulau Panggang, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Lebih terperinci

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi Karya sederhana ini kupersembahkan kepada kedua orang tziaku sebagai ungkapan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanannya demi keberhasilankzr ggpj, PENGARUH KEDALAMAN POSISI MATA PANCING

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI

PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI PENGARUH JENIS ALAT TANGKAP TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN DI KELURAHAN TEGALSARI DAN MUARAREJA, TEGAL, JAWA TENGAH DINA MAHARDIKHA SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua Pulau Maratua berada pada gugusan pulau Derawan, terletak di perairan laut Sulawesi atau berada dibagian ujung timur Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

UJI COBA BUBU BUTON DI PERAIRAN PULAU BATANTA KABUPATEN SORONG, PROPINSI PAPUA

UJI COBA BUBU BUTON DI PERAIRAN PULAU BATANTA KABUPATEN SORONG, PROPINSI PAPUA UJI COBA BUBU BUTON DI PERAIRAN PULAU BATANTA KABUPATEN SORONG, PROPINSI PAPUA Oleh : * HAMZAN ARISMA NASUTION C05497037 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untukmemperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang Usep Sopandi. C06495080. Asosiasi Keanekaragaman Spesies Ikan Karang dengan Persentase Penutupan Karang (Life Form) di Perairan Pantai Pesisir Tengah dan Pesisir Utara, Lampung Barat. Dibawah Bimbingan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo Dalam pengoperasiannya, bagan rambo menggunakan cahaya untuk menarik dan mengumpulkan ikan pada catchable area. Penggunaan cahaya buatan yang berkapasitas

Lebih terperinci

Fishing target behavior against traps design

Fishing target behavior against traps design Fishing target behavior against traps design By. Ledhyane Ika Harlyan Dept. of Fisheries and Marine Resources Management Fisheries Faculty, Brawijaya University Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN Hadiah Witarani Puspa 1), T. Ersti Yulika Sari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : hadiahwpuspa@gmail.com

Lebih terperinci

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN PINTA PURBOWATI 141211133014 MINAT TIHP FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang telah lama

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad yang telah dilakukan di perairan pantai Cirebon, daerah Kecamatan Gebang, Jawa Barat

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri II. Tinjuan Pustaka A. Bulu Babi Tripneustes gratilla 1. Klasifikasi dan ciri-ciri Bulu babi Tripneustes gratilla termasuk dalam filum echinodermata dengan klasifikasi sebagai berikut (Anon 2011 ) : Kingdom

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1

Lift Net & Traps. Ledhyane Ika Harlyan. Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Lift Net & Traps Ledhyane Ika Harlyan Dept. of Fisheries Resources Utilization and Marine Science Fisheries Faculty, Brawijaya University 1 Tujuan Instruksional Khusus Mahasiswa yg mengikuti materi ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut, seperti halnya daratan, dihuni oleh biota yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme hidup.biota laut hampir menghuni semua bagian laut, mulai dari pantai,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pulau Nusa Penida Pulau Nusa Penida secara umum berada pada 155º30 00 dan 155º36 00 bujur timur dan -8º40 00 sampai -8º45 00 lintang selatan. Kecamatan nusa Penida

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci