4 Hasil dan Pembahasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 Hasil dan Pembahasan"

Transkripsi

1 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Polistiren disintesis melalui polimerisasi dari monomer (stiren). Polimerisasi ini merupakan polimerisasi radikal, dengan pusat aktif berupa radikal bebas. Dalam penelitian ini benzoil peroksida digunakan sebagai inisiator yang saat dipanaskan mudah terurai menjadi sumber radikal. Radikal kemudian bereaksi dengan monomer sebagai awal pertumbuhan rantai. Selanjutnya proses propagasi terjadi secara kontinu dari monomer yang mengakibatkan kenaikan panjang rantai. Gambar 4. 1 Reaksi sintesis polistiren Data volume stiren dan massa polistiren yang dihasilkan dicantumkan dalam Tabel Setelah pemurnian, polistiren yang dihasilkan berbentuk serabut putih seperti pada Gambar 4. 2 Polistiren a), namun sebagian berbentuk seperti stereofoam dan keras seperti pada Gambar 4. 2 Polistiren b). Pemurnian dengan menggunakan metanol dan kloroform didasarkan pada sifat stiren yang larut baik dalam kloroform dan metanol, sedangkan sifat polistiren larut dalam kloroform akan tetapi tidak larut dalam metanol. Jadi dengan pemurnian tersebut dapat dipisahkan polistiren yang telah terbentuk dengan stiren yang tidak terpolimerisasi. Pemurnian polistiren murni optimal terjadi pada perbandingan volume kloroform dan metanol sebesar 1:10.

2 Tabel 4. 1 Sintesis polistiren Polistiren a) Polistiren b) Gambar 4. 2 Polistiren hasil sintesis Vol stiren (ml) Massa Stiren (g) Massa PS hasil sintesis (g) Rendemen (%) 15 13,63 12,84 90, ,27 21,71 79,61 Polistiren mudah untuk disintesis dan memiliki gugus aromatik yang memiliki kestabilan tinggi, namun polistiren tidak memiliki gugus yang dapat menghantarkan proton. Dalam penelitian ini dilakukan penambahan gugus sulfonat (sulfonasi) pada polistiren untuk meningkatkan kemampuan penghantar proton. Gugus sulfonat dapat berinteraksi dengan molekul air dan dapat mempengaruhi transport proton melalui membran. Reaksi sintesis asetil sulfat dapat dilihat pada Gambar 4. 3 (A) dan reaksi sulfonasi polistiren dapat dilihat pada Gambar 4. 3 (B) [Martins et al., 2003]. Pemilihan asetil sulfat sebagai agen sulfonasi berdasarkan metode Makowski et al. Kriteria pemilihan agen sulfonasi berdasarkan kompatibilitas dengan polimer, sifat pembentukan film, dan kekuatan mekanik polimer tersulfonasi yang diinginkan [Smitha et al., 2003]. Pembuatan larutan asetil sulfat sebagai agen sulfonasi dilakukan dalam kondisi atmosfir inert dan suhu 0 o C. Kondisi atmosfir inert bertujuan untuk mengusir oksigen dalam sistem, agar tidak terjadi reaksi lain pada polimer (misalnya reaksi autooksidasi), dan kondisi suhu 0 o C untuk mencegah bumping dan penguapan pelarut. Saat pembuatan asetil sulfat serta sulfonasi polistiren, ditambahkan diklorometana yang berfungsi sebagai pelarut dari agen sulfonasi dan polimer, sehingga kondisi reaksi sulfonasi lebih homogen. 30

3 Gambar 4. 3 Reaksi sintesis asetil sulfat (A) dan sulfonasi polistiren (B) Reaksi sulfonasi dilakukan selama 20 menit dengan harapan menghasilkan derajat sulfonasi 10 % - 15 %. Pada penelitian sebelumnya [Martins et al., 2003], polistiren yang memiliki derajat sulfonasi lebih dari 30% bersifat larut dalam air. Kelarutan polistiren tersulfonasi dalam air tidak diinginkan karena akan menurunkan kemampuan polimer dalam aplikasinya sebagai elektrolit PEMFC. Dalam aplikasinya sebagai elektrolit PEMFC, polimer harus memiliki kestabilan dan kemampuan swelling dalam air. Pada penelitian ini derajat sulfonasi polistiren bernilai 25%. Perhitungan penentuan derajat sulfonasi dapat dilihat pada Lampiran. Pada penelitian ini, sejumlah 2,8 g polistiren dapat menghasilkan polistiren tersulfonasi sebanyak 3,29 g. Dengan adanya proses sulfonasi massa polistiren meningkat karena adanya gugus sulfonat yang ditambahkan. Sebelum proses pemurnian, polistiren tersulfonasi yang dihasilkan berupa padatan putih kecoklatan yang kemudian berubah menjadi padatan putih setelah dilakukan pemurnian (Gambar 4. 4). Gambar 4. 4 Polistiren tersulfonasi Dari perhitungan massa molekul rata-rata viskositas (Mv) polistiren yang tercantum dalam Lampiran, diketahui nilai Mv polistiren g/mol, dan Mv polistiren tersulfonasi g/mol. Seharusnya dengan penambahan gugus sulfonat pada polistiren tersulfonasi, nilai massa molekul polistiren tersulfonasi meningkat. Pada hasil penelitian ini Mv polistiren tersulfonasi lebih rendah dibanding Mv polistiren karena kemungkinan terjadinya pemutusan rantai pada proses sulfonasi. Proses sulfonasi dilakukan pada suhu 40 o C selama 20 menit, sehingga memungkinkan terjadi pemutusan sebagian rantai utama menjadi rantai yang lebih pendek sehingga menurunkan nilai massa molekul viskositas rata-rata. 31

4 Struktur kimia polistiren dan polistiren tersulfonasi dapat dilihat dari Gambar Perbedaan struktur polistiren dan polistiren tersulfonasi terdapat pada gugus sulfonat yang dimiliki polistiren tersulfonasi. Perbedaan dan persamaan gugus fungsi yang dimiliki polistiren dan polistiren tersulfonasi dapat ditentukan dengan analisis gugus fungsi melalui alat Fourier Transform Infra Red (FTIR). CH 2 CH n SO 3 H (A) (B) Gambar 4. 5 Struktur polistiren (A) dan polistiren tersulfonasi (B) Kurva spektrum IR dari polistiren dan polistiren tersulfonasi tercantum dalam Gambar 4. 6 dan Gambar Pada polistiren, puncak serapan pada bilangan gelombang 3026,31 cm -1 merupakan hasil vibrasi gugus =C-H dari cincin aromatik. Pada bilangan gelombang 2922,16 cm -1 menunjukkan adanya C-H alifatik. Kemudian puncak serapan pada bilangan gelombang 1490,97 cm -1 dan 1448,54 cm -1 menunjukkan adanya C=C pada cincin aromatik, serta pada bilangan gelombang 754,17 cm -1 dan 698,23 cm -1 yang menunjukkan adanya mono-subtitusi benzen. Terdapat tiga puncak serapan khas polistiren tersulfonasi yaitu pada bilangan gelombang 1180,44 cm ,15 cm -1 yang dihasilkan dari vibrasi streching simetrik O=S=O, vibrasi O-H pada bilangan gelombang 3446,79 cm -1, serta pada bilangan gelmbang 904,61 cm -1 yang menunjukkan para-subtitusi benzena. Ketiga puncak serapan tersebut menunjukkan telah terjadi sulfonasi pada polistiren dan tidak terdeteksi pada spektrum IR polistiren. Data puncak serapan yang menandakan adanya gugus fungsi tertentu dari polistiren dan polistiren tersulfonasi dirangkum dalam Tabel

5 100 %T Polistiren /cm Gambar 4. 6 Kurva IR polistiren (KBr) 100 %T PSS Gambar 4. 7 Kurva IR polistiren tersulfonasi (KBr) 500 1/cm 33

6 Tabel 4. 2 Data serapan IR polistiren (PS) dan polistiren tersulfonasi(pss) Bil. gelombang PS (cm -1 ) - Bil. gelombang PSS Gugus fungsi (cm -1 ) 3446,79 O-H 3026, ,38 =C-H aromatik 2922, ,16 C-H alifatik 1490, , , ,54 C=C dari cincin aromatik , ,15 vibrasi streching simetrik O=S=O - 904,61 Subtitusi para pada benzena 754,17-698,23 754,17-698,23 Mono-subtitusi benzena 4.2 Sintesis Kitosan Kitin dapat menghasilkan kitosan sebagai produk dari proses deasetilasi. Kitosan memiliki sifat biokompatibilitas, nontoksik, biodegrabilitas, stabilitas kimia dan termal yang baik sehingga dalam beberapa tahun terakhir kitosan merupakan material menarik dalam banyak aplikasi. Kitosan memiliki banyak gugus reaktif seperti hidroksil dan amina, yang dapat dimodifikasi dengan variasi reaksi kimia. Adanya gugus hidroksil dan amina membuat hidrofilisitas kitosan bertambah, dan hal itu berguna untuk aplikasi sebagai PEMFC. Gugus amina kitosan dapat terhidrasi dan dapat menghantarkan proton. Dalam penelitian ini kitin diisolasi dari kulit udang. Sebelum proses deproteinasi, kulit udang dihancurkan dengan blender sampai berbentuk serpihan untuk menghindari lolosnya kitin saat disaring. Skema isolasi kitin dan sintesis kitosan dapat dilihat pada Gambar Kulit udang mengandung protein, kalsium karbonat, dan kitin, tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya [Focher et al., 1992]. Pada proses deproteinasi terjadi reaksi pelarutan protein dengan larutan NaOH 3,5% b/v yang ditambahkan. Setelah proses deproteinasi masih tersisa kandungan kalsium karbonat, dan kitin pada kulit udang. Selanjutnya dengan penambahan HCl 1 M terjadi reaksi pelarutan kalsium karbonat (demineralisasi) serta bahan anorganik lain. Proses deproteinasi dan demineralisasi menghasilkan kitin yang berwarna kekuningan. Dengan penambahan NaOH 50% (b/v) pada kitin terjadi reaksi hidrolisis sehingga dihasilkan kitosan. 34

7 Kitin+CaCO 3 +protein (kulit udang) Kitosan 3,5 % NaOH Kitin + CaCO 3 HCl Kitin 50% NaOH -protein -CaCO 3 Gambar 4. 8 Skema isolasi kitin dan sintesis kitosan Massa awal kulit udang, massa akhir kitosan yang dihasilkan, dan rendemen tercantum pada Tabel Untuk mengetahui pembentukan kitosan secara kualitatif, dapat dilakukan dengan melarutkan kitosan dalam asam asetat. Dari percobaan yang dilakukan produk hasil deasetilasi larut dalam asam asetat 1% yang menandakan telah terjadi konversi kitin menghasilkan kitosan. Kitosan yang terbentuk berwarna putih kekuningan dan berbentuk serpihan seperti Gambar Dari hasil perhitungan yang tercantum pada Lampiran, diketahui massa molekul rata-rata viskositas (Mv) kitosan sebesar 1, g/mol dan derajat deasetilasi sebesar 77%. Tabel 4. 3 Data sintesis kitosan Proses Massa awal (g) Massa akhir (g) Rendemen (%w/w) Deproteinasi 50,04 40,32 80,58 Demineralisasi 14,75 29,47 Deasetilasi 13,22 26,42 Gambar 4. 9 Kitosan hasil sintesis Struktur kimia kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar Perbedaan struktur kitin dan kitosan terdapat pada gugus amina yang dimiliki kitosan. Perbedaan dan persamaan gugus fungsi yang dimiliki kitin dan kitosan dapat ditentukan dengan analisis gugus fungsi melalui alat Fourier Transform Infra Red (FTIR). 35

8 (A) (B) Gambar Struktur kitin (A) dan kitosan (B) Spektrum infra merah dari kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar dan Gambar Sekilas spektrum IR dari kitin dan kitosan terlihat mirip. Kitin dan kitosan memiliki puncak serapan gugus O-H pada bilangan gelombang sekitar 3450 cm-1, gugus CO-NH pada bilangan gelombang sekitar 1650 cm -1, serta pada bilangan gelombang sekitar 1100 cm -1 yang merupakan puncak serapan gugus C-O-C dan merupakan puncak khas dari struktur sakarida. Data puncak serapan yang menandakan adanya gugus fungsi tertentu dari kitin dan kitosan dirangkum dalam Tabel Tabel 4. 4 Analisa IR kitin dan kitosan Gugus fungsi Bilangan gelombang kitin (cm -1 ) Bilangan gelombang kitosan (cm -1 ) O-H ,72 CO-NH 1637, , ,64 C-O-C 1028, , , ,06 Pada spektrum IR, perbedaan antara kitin dan kitosan terletak pada intensitas serapan gugus asetamida (CO-NH). Intensitas serapan gugus asetamida pada kitosan lebih rendah dibandingkan serapan gugus asetamida dari kitin karena pada kitosan telah terjadi proses deasetilasi. Rendahnya intensitas serapan gugus CO-NH pada kitosan ditandai dengan nilai persen transmitans yang lebih tinggi dari kitin. Puncak serapan gugus O-H dan gugus CO-NH juga berperan dalam menentukan derajat deasetilasi kitosan. Gugus O-H berfungsi sebagai standar internal sedangkan gugus CO-NH berfungsi sebagai gugus pembanding antara kitin dan kitosan. Dari perhitungan derajat deasetilasi yang dicantumkan pada Lampiran, derajat deasetilasi kitosan dalam penelitian ini sebesar 77%. Dari hasil uji kualitatif, analisis gugus fungsi dengan FTIR, dan penentuan derajat deasetilasi diketahui bahwa pada penelitian ini telah terjadi proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. 36

9 45 %T Khitin /cm Gambar Kurva IR kitin (KBr) 55 %T Khitosan /cm 4.3 Pembuatan Polyblend Gambar Kurva IR kitosan (KBr) Tujuan pembuatan polyblend adalah untuk mendapatkan sifat material yang lebih baik dibandingkan sifat polimer penyusunnya. Pada penelitian ini dibuat polyblend yang terdiri dari polistiren, polistiren tersulfonasi, dan kitosan sebagai polimer penyusun. Pada Tabel 4. 5 merupakan data komposisi massa polimer penyusun membran polyblend. Kandungan polistiren dalam polyblend dibuat tetap 80% dan kandungan polistiren tersulfonasi serta kitosan dibuat bervariasi antara 0-20%. Dengan gugus amina pada kitosan dan gugus sulfonat pada polistiren tersulfonasi diharapkan membran polyblend dapat memiliki karakteristik sebagai penghantar proton dalam aplikasi fuel cell. Komposisi polistiren yang 37

10 paling banyak dibanding polimer lainnya karena sifat polistiren yang kuat, mudah dilelehkan, serta mudah untuk dibuat membran dengan metode mekanik. Polistiren tersulfonasi dan kitosan sulit untuk dibuat membran dengan metode mekanik karena sifat polistiren tersulfonasi akan membentuk gelembung pada membran dan kitosan yang tidak dapat meleleh. Jadi polistiren berfungsi sebagai dasar atau pondasi dari pembuatan membran polyblend. Tabel 4. 5 Data komposisi polimer penyusun polyblend Komposisi PS-PSS-Kit Massa PS(g) Massa PSS(g) Massa kitosan (g) ,80 0, ,80 0,15 0, ,80 0,10 0, ,80 0,05 0, ,80-0,20 Selanjutnya penamaan polyblend ditentukan berdasarkan komposisi kandungan PS, PSS, dan Kitosan dalam polyblend seperti tertera pada Gambar Hasil analisis membran polyblend akan dibandingkan dengan membran polistiren 100% yang juga dibuat dengan metode mekanik. Pembandingan dengan membran polistiren murni dilakukan karena tidak ada polimer penyusun lain yang dapat menghasilkan membran yang baik dengan cara mekanik Gambar Membran polyblend dengan komposisi PS-PSS-Kitosan Pembuatan polyblend dengan metode mekanik atau pelelehan dilakukan karena belum diperoleh pelarut sesuai yang dapat melarutkan polistiren tersulfonasi dan kitosan. Polistiren tersulfonasi dan kitosan memiliki sifat kepolaran yang berbeda. Kitosan bersifat polar dengan adanya gugus hidroksil dan amina yang dimilikinya sedangkan polistiren tersulfonasi memiliki sifat cenderung non polar karena besar derajat sulfonasi polistiren hanya 25%. Beberapa cara yang telah dilakukan sebelumnya untuk menghasilkan membran polyblend dapat dilihat pada Lampiran. 38

11 4.3.1 Analisa gugus fungsi polyblend Kurva IR polyblend dengan komposisi , tertera pada Gambar Terdapat empat puncak paling tajam pada spektrum IR polyblend. Pada bilangan gelombang 3466,08 cm -1 merupakan puncak serapan vibrasi O-H yang berasal dari PSS atau kitosan. Puncak serapan gugus =C-H aromatik dan C-H alifatik masing-masing berada pada bilangan gelombang 3026,31 cm -1 dan 2922,16 cm -1. Puncak pada bilangan gelombang 1600,92 cm -1 merupakan puncak serapan khas C=C dari cincin aromatik yang berasal dari PS dan PSS. Bilangan gelombang 1024,20 cm -1 dan 1068,56 cm -1 merupakan puncak serapan vibrasi -SO 3 H dari PSS, dan bilangan gelombang 694,37 cm -1 menandakan adanya monosubtitusi benzen pada polistiren. 100 %T /cm Gambar Kurva IR polyblend komposisi Dari analisis gugus fungsi dengan menggunakan FTIR diketahui bahwa membran polyblend mengandung polimer-polimer penyusunnya. Dalam polyblend, komposisi polistiren adalah yang terbanyak. Kontribusi polistiren dapat dilihat dari tingginya intensitas serapan gugusgugus fungsi pada polistiren dibandingkan polimer penyusun yang lain. Data puncak serapan yang menandakan adanya gugus fungsi polimer penyusun polyblend dirangkum dalam Tabel

12 Tabel 4. 6 Hasil kurva IR polyblend Bilangan gelombang Gugus fungsi Polimer penyusun (cm -1 ) 3466,08 O-H Kitosan dan PSS 3026,31 =C-H aromatik PS dan PSS 2922,16 C-H alifatik PS, PSS, dan kitosan 1448, ,92 C=C dari cincin PS dan PSS aromatik 1068, ,20 SO 3 H PSS 694,37 monosubtitusi benzen PS 4.4 Analisis swelling Pada penelitian ini uji swelling (penggembungan) dilakukan untuk mengetahui kemampuan swelling dari membran karena pada aplikasi PEMFC, membran berada dalam keadaan terhidrasi untuk dapat bekerja sebagai penghantar proton. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali, sehingga menghasilkan tiga nilai derajat swelling (Dsw 1, 2, dan 3). Dari ketiga pengujian dilakukan metode pembasuhan membran yang berbeda (sebelum penimbangan membran basah) agar dapat mengetahui keteraturan hasil uji membran. Pada DSw1 (derajat swelling 1) pembasuhan dilakukan dengan menyeka permukaan membran dengan kertas saring dan kemudian membran langsung ditimbang. Pada DSw2 (derajat swelling 2) kedua sisi membran diapit dengan kertas saring dan kemudian membran langsung ditimbang. Pada DSw3 (derajat swelling 3) membran diletakkan dalam kertas saring dan ditunggu sebentar, kemudian membran ditimbang. Dengan ketiga metode tersebut jelas terlihat pada Tabel 4. 7 bahwa nilai DSw 1>DSw2>DSw3. Dari hasil yang tertera pada Tabel 4. 7 terlihat bahwa nilai derajat swelling polyblend lebih tinggi dibanding membran PS. Hal ini disebabkan karena membran polyblend memiliki polimer penyusun yang bersifat hidrofil sedangkan polistiren tidak memiliki gugus hidrofil. Polistiren tersulfonasi dan kitosan memiliki gugus hidrofil yang masing-masing memberi peran dalam kemampuan swelling membran. Secara umum nilai derajat swelling polyblend dalam semua komposisi memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Akan tetapi, dari ketiga metode yang dilakukan dihasilkan nilai optimum swelling pada membran dengan komposisi Secara umum, dari analisis derajat swelling polyblend pada semua komposisi, poliblend memiliki kemampuan swelling yang cukup baik. Berdasar literatur [Chen, 2004] Nafion 115 memiliki nilai derajat swelling 13,3%. 40

13 Tabel 4. 7 Data hasil derajat swelling Membran DSw1 (%) DSw2 (%) DSw3 (%) PS 2,18 2,61 0, ,51 6,46 0, ,93 17,25 11, ,17 8,92 5, ,22 9,16 6, ,98 9,09 10, Analisis Mekanik Dari uji mekanik polyblend didapatkan nilai tegangan dan regangan saat membran terputus karena nilai gaya dan pemanjangan yang tertera pada alat merupakan nilai saat membran terputus. Dari perhitungan yang dilampirkan pada Lampiran, diketahui hasil uji mekanik seperti tertera pada Tabel Membran polyblend memiliki nilai tegangan dan regangan saat putus lebih rendah dibanding kekuatan mekanik membran PS. Hal ini karena membran polistiren bersifat homogen, sedangkan membran polyblend yang dihasilkan dalam penelitian ini kurang bersifat homogen. Nilai kekuatan mekanik membran polyblend tertinggi pada komposisi Membran komposisi yang terdiri dari 80% polistiren dan 20% polistiren tersulfonasi memiliki sifat yang lebih homogen dibandingkan membran polyblend dengan penambahan kitosan. Umumnya penambahan kitosan menurunkan sifat ketahanan mekanik membran, karena sifat kitosan yang tidak dapat meleleh menyebabkan terjadi peningkatan ketidakhomogenan membran, sehingga membran dengan komposisi kitosan lebih tinggi bersifat lebih rapuh dibanding tanpa kitosan. Tabel 4. 8 Hasil uji mekanik polyblend Membran Tegangan saat putus (kgf/mm 2 ) Pemanjangan saat putus (%) Modulus Young saat putus PS 2,06 2,02 1, ,18 1,03 1, ,91 1,03 0, ,98 0,66 1, ,78 0,93 0, ,69 1,02 0,68 41

14 4.6 Thermal Gravimetry Analysis (TGA) Penentuan TGA dilakukan untuk mengetahui ketahanan termal dari membran polyblend. Walaupun dalam aplikasinya, PEMFC beroperasi pada suhu yang tidak terlalu tinggi yaitu 60 o C-80 o C, namun untuk pemakaian jangka panjang membran harus memiliki ketahanan termal yang baik untuk dapat diaplikasikan dalam PEMFC. Parameter yang dapat dilihat untuk menentukan ketahanan membran suatu sampel yaitu dengan melihat suhu awal kehilangan massa dan suhu dekomposisi akhir. Pengurangan massa awal sampel dapat disebabkan karena penguapan air, pelarut, atau mulai terdekomposisinya molekul-molekul kecil dalam sampel. Dari hasil analisa pada Gambar sampai dengan Gambar 4. 18, terlihat bahwa polistiren mulai kehilangan massa pada suhu 268,7 o C, sedangkan pada penambahan polistiren tersulfonasi (komposisi polyblend ) ketahanan termal meningkat, ditandai dengan suhu awal kehilangan massa pada 348,6 o C. Namun dengan pengurangan komposisi PSS dan penambahan komposisi kitosan (komposisi polyblend dan ) ketahanan termal menurun, ditandai dengan suhu awal kehilangan massa yang berturut-turut 340,2 o C dan 226,7 O C. Dari data hasil analisa TGA kitosan murni diketahui telah terjadi kehilangan massa kitosan pada suhu 195,2 O C. Dari data tersbut terlihat bahwa ketahanan termal polyblend lebih baik dibanding PS dan pada polyblend dengan komposisi kitosan semakin besar akan menurunkan ketahanan temal polyblend. Data hasil analisis TGA dirangkum dalam Tabel Tabel 4. 9 Hasil analisa TGA Membran Suhu awal kehilangan massa ( o C) Massa awal yang hilang (%) Suhu dekomposisi akhir ( o C) PS 268,7 3,2 427, ,6 0,7 449, ,2 1,5 442, ,7 2,8 428,3 42

15 Gambar Kurva TGA polistiren Gambar Kurva TGA polyblend

16 Gambar Kurva TGA polyblend Gambar Kurva TGA polyblend

17 4.7 Ion Exchange Capacity (IEC) dan konduktivitas Ion Exchange Capacity (IEC) menyatakan jumlah mili ekivalen H + yang terdapat dalam 1 gram membran. Nilai konduktitivas menyatakan kemampuan membran menghantarkan proton. Semakin besar nilai IEC dan konduktivitas, kemampuan membran untuk menghantar proton juga semakin besar. Membran polistiren tersulfonasi dan kitosan memiliki nilai konduktivitas masing-masing sebesar 0,07 µs/cm dan 52,2 µs/cm. Dari hasil penelitian yang tertera pada Tabel 4. 10, nilai konduktivitas membran polyblend dengan komposisi kitosan lebih banyak lebih berperan dalam meningkatkan konduktivitas dibandingkan membran dengan komposisi PSS lebih banyak. Dari kedua data tersebut, kitosan memberikan pengaruh konduktivitas lebih tinggi dibanding polistiren tersulfonasi karena nilai konduktivitas kitosan jauh lebih tinggi dibanding polistiren tersulfonasi. Hal ini dapat disebabkan karena kitosan memiliki derajat deasetilasi sebesar 77% sementara derajat sulfonasi PS hanya 25%. Jumlah gugus fungsi penukar proton pada kitosan (-NH 2 ) lebih banyak dibanding jumlah gugus fungsi penukar proton pada PSS (-SO 3 H). Secara teoritis semakin besar nilai konduktivitas suatu membran, nilai IEC dari membran tersebut juga semakin besar. Dalam penelitian yang dilakukan melalui titrasi, nilai IEC optimum sebesar 3,74 m ekiv/g diperoleh pada membran dengan komposisi sedangkan nilai optimum konduktivitas sebesar 39,29 µs/cm pada komposisi membran 80% PS-20% kitosan. Hal ini dapat terjadi karena membran polyblend yang dihasilkan kurang homogen sehingga terdapat kemungkinan nilai analisis di suatu titik dan titik lain pada membran memiliki nilai yang berbeda. Berdasar literatur [Chen, 2004] nilai konduktivitas dan IEC Nafion 115 berturut-turut sebesar 0,142 S/cm dan 0,91 m ekiv/g. Membran polyblend yang dihasilkan pada penelitian ini umumnya memiliki nilai IEC lebih dari 0,91 m ekiv/g, namun nilai konduktivitas poliblend jauh lebih kecil dibandingkan Nafion 115. Perbedaan nilai konduktivitas ini kemungkinan dapat disebabkan karena perbedaan alat yang digunakan dan kurangnya waktu hidrasi sebelum penentuan konduktivitas polyblend pada penelitian ini. Namun dengan menggunakan metode dan alat ukur konduktivitas yang sama telah diperoleh nilai konduktivitas Nafion sebesar 77 µs/cm. Jika dibandingkan dengan nilai konduktivitas Nafion dengan metode dan alat pengukuran yang sama, polyblend memiliki nilai konduktivitas yang mendekati nilai Nafion. 45

18 Tabel Hasil IEC dan konduktivitas Membran IEC (m ekiv/g) Konduktivitas (µs/cm) ,14 5, ,20 7, ,75 8, ,55 3, ,55 39,29 46

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Polistiren disintesis dari monomer stiren melalui reaksi polimerisasi adisi dengan inisiator benzoil peroksida. Pada sintesis polistiren ini, terjadi tahap

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Sintesis Polistiren Sintesis polistiren yang diinginkan pada penelitian ini adalah polistiren yang memiliki derajat polimerisasi (DPn) sebesar 500. Derajat polimerisasi ini

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Sintesis Polistiren (PS) Pada proses sintesis ini, benzoil peroksida berperan sebagai suatu inisiator pada proses polimerisasi, sedangkan stiren berperan sebagai monomer yang

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat 1. Pada tahap sintesis, pemurnian, dan sulfonasi polistiren digunakan peralatan gelas, alat polimerisasi, neraca analitis, reaktor polimerisasi, oil

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 asil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Sintesis polistiren dilakukan dalam reaktor polimerisasi dengan suasana vakum. al ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kontak dengan udara karena stiren

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian Penelitian tugas akhir ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisik Material dan Laboratorium Kimia Analitik Program Studi Kimia ITB, serta di Laboratorium Polimer Pusat Penelitian

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Distanoksan Sintesis distanoksan dilakukan dengan mencampurkan dibutiltimah(ii)oksida dan dibutiltimah(ii)klorida (Gambar 3.2). Sebelum dilakukan rekristalisasi, persen

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan 4.1 Sintesis dan Pemurnian Polistiren Pada percobaan ini, polistiren dihasilkan dari polimerisasi adisi melalui reaksi radikal dengan inisiator benzoil peroksida (BPO). Sintesis

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab 4 asil dan Pembahasan 4.1 Pembuatan dan Kitosan Kulit udang yang digunakan sebagai bahan baku kitosan terdiri atas kepala, badan, dan ekor. Tahapan-tahapan dalam pengolahan kulit udang menjadi kitosan

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. Gambar 2. 1 Struktur stiren

2 Tinjauan Pustaka. Gambar 2. 1 Struktur stiren 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Stiren Stiren atau vinyl benzen merupakan senyawa organik yang dapat disintesis dari benzena dan etena. Stiren merupakan monomer yang paling banyak digunakan karena memiliki kestabilan

Lebih terperinci

3. Metode Penelitian

3. Metode Penelitian 3. Metode Penelitian 3.1. Alat dan Bahan Penelitian 3.1.1. Alat Umumnya peralatan yang digunakan pada penelitian ini berada di Labotaorium Kimia Fisik Material, sedangkan untuk FTIR digunakan peralatan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistirena Polistirena disintesis melalui polimerisasi adisi radikal bebas dari monomer stirena dan benzoil peroksida (BP) sebagai inisiator. Polimerisasi dilakukan

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Metoda Sintesis Membran Kitosan Sulfat Secara Konvensional dan dengan Gelombang Mikro (Microwave) Penelitian sebelumnya mengenai sintesis organik [13] menunjukkan bahwa jalur

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Morimoto, M. et al, (2002), Control of Functions of Chitin and Chitosan by Chemical Modification, 14(78),

Daftar Pustaka. Morimoto, M. et al, (2002), Control of Functions of Chitin and Chitosan by Chemical Modification, 14(78), Daftar Pustaka Bilmeyer, F. W., (1971), Textbook of Polymer Science.2 nd New York, 264-265, 395-397 Edition, Wiley-Interscience Inc., Chen, S.L. et al., (2004), Ion exchange resin/polystyrene sulfonate

Lebih terperinci

3. Metodologi Penelitian

3. Metodologi Penelitian 3. Metodologi Penelitian 3.1. Tahapan Penelitian Secara Umum Secara umum, diagram kerja penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : Monomer Inisiator Limbah Pulp POLIMERISASI Polistiren ISOLASI

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polimer Benzilkitosan Somorin (1978), pernah melakukan sintesis polimer benzilkitin tanpa pemanasan. Agen pembenzilasi yang digunakan adalah benzilklorida. Adapun

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Isolasi Kitin dan Kitosan Isolasi kitin dan kitosan yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti metode isolasi kitin dan kitosan dari kulit udang yaitu meliputi tahap deproteinasi,

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Analisis Sintesis PS dan Kopolimer PS-PHB Sintesis polistiren dan kopolimernya dengan polihidroksibutirat pada berbagai komposisi dilakukan dengan teknik polimerisasi radikal

Lebih terperinci

2. Tinjauan Pustaka Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) Gambar 2.1 Diagram Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC)

2. Tinjauan Pustaka Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) Gambar 2.1 Diagram Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) Polymer Electrolyte Membran Fuel Cell (PEMFC) adalah salah satu tipe fuel cell yang sedang dikembangkan. PEMFC ini bekerja mengubah

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, tahap pertama sintesis kitosan yang terdiri dari isolasi kitin dari kulit udang, konversi kitin menjadi kitosan. Tahap ke dua

Lebih terperinci

Kata Kunci : styrofoam, polistyren, polistyren tersulfonasi, amilosa, polibled

Kata Kunci : styrofoam, polistyren, polistyren tersulfonasi, amilosa, polibled KAJIAN FISIKA KIMIA LIMBAH STYROFOAM DAN APLIKASINYA Ni Ketut Sumarni 1, Husain Sosidi 2, ABD Rahman R 3, Musafira 4 1,4 Laboratorium Kimia Fisik Fakultas MIPA, Universitas Tadulako 2,3 Laboratorium Kimia

Lebih terperinci

3 Percobaan. 3.1 Tahapan Penelitian Secara Umum. Tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada diagram alir berikut :

3 Percobaan. 3.1 Tahapan Penelitian Secara Umum. Tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada diagram alir berikut : 3 Percobaan 3.1 Tahapan Penelitian Secara Umum Tahapan penelitian secara umum dapat dilihat pada diagram alir berikut : Gambar 3. 1 Diagram alir tahapan penelitian secara umum 17 Penelitian ini dibagi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci

3. Metodologi Penelitian

3. Metodologi Penelitian 3. Metodologi Penelitian 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Kimia Fisik Material, Kelompok Keilmuan Kimia Anorganik dan Fisik, Program Studi Kimia ITB dari bulan

Lebih terperinci

Sintesis Membran Polistiren dan Polyblend-nya dengan Kitosan untuk Aplikasi Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

Sintesis Membran Polistiren dan Polyblend-nya dengan Kitosan untuk Aplikasi Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) Sintesis Membran Polistiren dan Polyblend-nya dengan Kitosan untuk Aplikasi Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) SKRIPSI Mutiara Febryani 10504004 PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama dengan kitin, terdiri dari rantai molekul yang panjang dan berat molekul yang tinggi. Adapun perbedaan

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Sulfonasi terhadap Karakteristik Polistiren dan Polyblend-nya dengan Kitosan

Pengaruh Waktu Sulfonasi terhadap Karakteristik Polistiren dan Polyblend-nya dengan Kitosan Pengaruh Waktu Sulfonasi terhadap Karakteristik Polistiren dan Polyblend-nya dengan Kitosan SKRIPSI Lelly Dwi Ambarini NIM 10504018 PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC)

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC) merupakan salah satu jenis fuel cell, yaitu sistem penghasil energi listrik, yang bekerja berdasarkan

Lebih terperinci

2. Tinjauan Pustaka Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

2. Tinjauan Pustaka Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) 2. Tinjauan Pustaka 2.1 2.1 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell) Sel bahan bakar merupakan salah satu solusi untuk masalah krisis energi. Sampai saat ini, pemakaian sel bahan bakar dalam aktivitas sehari-hari masih

Lebih terperinci

3. Metodologi Penelitian

3. Metodologi Penelitian 3. Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan bahan 3.1.1 Alat Peralatan gelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia, gelas ukur, labu Erlenmeyer, cawan petri, corong dan labu Buchner, corong

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

4.1 Isolasi Kitin. 4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Isolasi Kitin. 4 Hasil dan Pembahasan 4 asil dan Pembahasan 4.1 Isolasi Kitin Kitin banyak terdapat pada dinding jamur dan ragi, lapisan kutikula dan exoskeleton hewan invertebrata seperti udang, kepiting dan serangga. Bahan-bahan yang terdapat

Lebih terperinci

3 Metodologi penelitian

3 Metodologi penelitian 3 Metodologi penelitian 3.1 Peralatan dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini mencakup peralatan gelas standar laboratorium kimia, peralatan isolasi pati, peralatan polimerisasi, dan peralatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pembuatan Kitosan 4.1.1 Penyiapan Perlakuan Sampel Langkah awal yang dilakukan dalam proses isolasi kitin adalah dengan membersikan cangkang kepiting yang masih mentah

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat-alat Gelas.

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat-alat Gelas. 18 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Nama Alat Merek Alat-alat Gelas Pyrex Gelas Ukur Pyrex Neraca Analitis OHaus Termometer Fisher Hot Plate

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PEMANFAATAN LIMBAH STYROFOAM UNTUK MEMBRAN SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL) Nida Mariam, Indah Dewi Puspitasari, Ali Syari ati. Pembimbing: Prof. Dr. I Made Arcana. Institut Teknologi Bandung. 2011 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

2. Tinjauan Pustaka Fuel Cell (Sel Bahan Bakar) Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC)

2. Tinjauan Pustaka Fuel Cell (Sel Bahan Bakar) Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC) 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Fuel Cell (Sel Bahan Bakar) Fuel cell (sel bahan bakar) merupakan alat pengkonversi energi elektrokimia. Sel ini menghasilkan energi listrik dari berbagai macam jenis sumber bahan

Lebih terperinci

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus ) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dibahas pada bab ini meliputi sintesis kolagen dari tendon sapi (Bos sondaicus), pembuatan larutan kolagen, rendemen kolagen, karakterisasi sampel kontrol,

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu, tahap isolasi kitin yang terdiri dari penghilangan protein, penghilangan mineral, tahap dua pembuatan kitosan dengan deasetilasi

Lebih terperinci

PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu)

PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu) Reaktor, Vol. 11 No.2, Desember 27, Hal. : 86- PEMBUATAN KHITOSAN DARI KULIT UDANG UNTUK MENGADSORBSI LOGAM KROM (Cr 6+ ) DAN TEMBAGA (Cu) K. Haryani, Hargono dan C.S. Budiyati *) Abstrak Khitosan adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini telah disintesis tiga cairan ionik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini telah disintesis tiga cairan ionik BAB IV HASIL DA PEMBAHASA Pada penelitian ini telah disintesis tiga cairan ionik berbasis garam benzotriazolium yaitu 1,3-metil oktadesil-1,2,3-benzotriazolium bromida 1, 1,3- metil heksadesil-1,2,3-benzotriazolium

Lebih terperinci

Metode Penelitian. 3.1 Alat dan Bahan Penelitian Daftar alat

Metode Penelitian. 3.1 Alat dan Bahan Penelitian Daftar alat Bab 3 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas tahap pembuatan kitin dan kitosan, sintesis karboksimetil kitosan dari kitin dan kitosan, pembuatan membran kitosan dan karboksimetil kitosan, dan karakterisasi.

Lebih terperinci

TINGKATAN KUALISTAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI. Abstrak

TINGKATAN KUALISTAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI. Abstrak TINGKATAN KUALISTAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI Pipih suptijah* ) Abstrak Kitosan adalah turunan dari kitin yang merupakan polimer alam terdapat pada karapas/ limbah udang sekitar 10 % - 25%.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci

Pembuatan Membran Poliblend PSS-lignin dan Karakterisasinya untuk Aplikasi Sel Bahan Bakar

Pembuatan Membran Poliblend PSS-lignin dan Karakterisasinya untuk Aplikasi Sel Bahan Bakar Pembuatan Membran Poliblend PSS-lignin dan Karakterisasinya untuk Aplikasi Sel Bahan Bakar SKRIPSI Luchana Lamierza Yusup 10504037 PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas 31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis material konduktor ionik MZP, dilakukan pada kondisi optimum agar dihasilkan material konduktor ionik yang memiliki kinerja maksimal, dalam hal ini memiliki nilai

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O Garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O telah diperoleh dari reaksi larutan kalsium asetat dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi 4.1.1 Sol Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan ZrOCl 2. 8H 2 O dengan perbandingan mol 1:4:6 (Ikeda, et al. 1986) dicampurkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dimulai sejak Februari sampai dengan Juli 2010.

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dimulai sejak Februari sampai dengan Juli 2010. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian dimulai sejak Februari sampai dengan Juli 2010. Sintesis cairan ionik, sulfonasi kitosan, impregnasi cairan ionik, analisis

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Produksi Furfural Bonggol jagung (corn cobs) yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur 4-5 hari untuk menurunkan kandungan airnya, kemudian

Lebih terperinci

MEMBRAN KOMPOSIT POLISTIRENA TERSULFONASI (PST) BERPENGISI LEMPUNG SEBAGAI MEMBRAN POLIMER ELEKTROLIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL)

MEMBRAN KOMPOSIT POLISTIRENA TERSULFONASI (PST) BERPENGISI LEMPUNG SEBAGAI MEMBRAN POLIMER ELEKTROLIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL) digilib.uns.ac.id MEMBRAN KOMPOSIT POLISTIRENA TERSULFONASI (PST) BERPENGISI LEMPUNG SEBAGAI MEMBRAN POLIMER ELEKTROLIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR (FUEL CELL) Disusun oleh : PRIYADI M0307076 SKRIPSI

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Kopolimer Akrilonitril-Glisidil metakrilat (PAN-GMA) Pembuatan kopolimer PAN-GMA oleh peneliti sebelumnya (Godjevargova, 1999) telah dilakukan melalui polimerisasi radikal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI yang beralamat di Jl. Dr. Setiabudi No.229 Bandung. Untuk keperluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi elektronika. Alternatif yang menarik datang dari fuel cell, yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi elektronika. Alternatif yang menarik datang dari fuel cell, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsumsi dunia terhadap energi listrik kian meningkat seiring pesatnya teknologi elektronika. Alternatif yang menarik datang dari fuel cell, yang diharapkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis (OA) 2.2 Glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis (OA) 2.2 Glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis (OA) Osteoarthritis yang juga sebagai penyakit degeneratif pada sendi adalah bentuk penyakit radang sendi yang paling umum dan merupakan sumber utama penyebab rasa

Lebih terperinci

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat Bab III Metodologi Penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu isolasi selulosa dari serbuk gergaji kayu dan asetilasi selulosa hasil isolasi dengan variasi waktu. Kemudian selulosa hasil isolasi dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENGARUH SUHU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK MEMBRAN ELEKTROLIT POLIETER-ETER KETON TERSULFONASI Karakteristik membran elektrolit polieter-eter keton tersulfonasi (speek)

Lebih terperinci

STUDI ANALISIS ANTIBAKTERI DARI FILM GELATIN- KITOSAN MENGGUNAKAN Staphylococcus aureus

STUDI ANALISIS ANTIBAKTERI DARI FILM GELATIN- KITOSAN MENGGUNAKAN Staphylococcus aureus STUDI ANALISIS ANTIBAKTERI DARI FILM GELATIN- KITOSAN MENGGUNAKAN Staphylococcus aureus Disusun oleh: MARDIAN DARMANTO NRP. 1407 100 051 Pembimbing 1 Lukman Atmaja, Ph.D Pembimbing 2 Drs. Muhammad Nadjib,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

3. Metodologi Penelitian

3. Metodologi Penelitian 3. Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan bahan 3.1.1 Alat Pada umumnya peralatan yang digunakan berada di Laboratorium Kimia Fisik Material, sedangkan untuk FTIR digunakan peralatan yang berada di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. melakukan uji morfologi, Laboratorium Teknik Kimia Ubaya Surabaya. mulai dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. melakukan uji morfologi, Laboratorium Teknik Kimia Ubaya Surabaya. mulai dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorim Fisika Material Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Laboratorium Metalurgi ITS Surabaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini sampel komposit hidroksiapatit-gelatin dibuat menggunakan metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 hari, 1 hari, 7 hari

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap diazinon, terlebih dahulu disintesis adsorben kitosan-bentonit mengikuti prosedur yang telah teruji (Dimas,

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KITOSAN DARI TULANG RAWAN CUMI-CUMI (LOLIGO PEALLI) UNTUK MENURUNKAN KADAR ION LOGAM Cd DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

PENGGUNAAN KITOSAN DARI TULANG RAWAN CUMI-CUMI (LOLIGO PEALLI) UNTUK MENURUNKAN KADAR ION LOGAM Cd DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM Penggunaan Kitosan dari Tulang Rawan Cumi-Cumi (Loligo pealli) untuk Menurunkan Kadar Ion Logam (Harry Agusnar) PENGGUNAAN KITOSAN DARI TULANG RAWAN CUMI-CUMI (LOLIGO PEALLI) UNTUK MENURUNKAN KADAR ION

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kelompok Keilmuan (KK) Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA Institut Teknologi Bandung. Penelitian dimulai dari

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Poliuretan Pada penelitian ini telah dilakukan sintesis poliuretan dengan menggunakan monomer diisosianat yang berasal dari toluena diisosianat (TDI) dan monomer

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. dengan tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel cangkang udang di PT.

III. METODOLOGI PENELITIAN. dengan tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel cangkang udang di PT. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan juni 2011 sampai Desember 2011, dengan tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel cangkang udang di PT. Indokom

Lebih terperinci

TINGKATAN KUALITAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI. Abstrak

TINGKATAN KUALITAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI. Abstrak TINGKATAN KUALITAS KITOSAN HASIL MODIFIKASI PROSES PRODUKSI Pipih suptijah* ) Abstrak Kitosan adalah turunan dari kitin yang merupakan polimer alam terdapat pada karapas/ limbah udang sekitar 10 % - 25%.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Asetil (ASTM D )

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Asetil (ASTM D ) 5 Kadar Asetil (ASTM D-678-91) Kandungan asetil ditentukan dengan cara melihat banyaknya NaH yang dibutuhkan untuk menyabunkan contoh R(-C-CH 3 ) x xnah R(H) x Na -C-CH 3 Contoh kering sebanyak 1 g dimasukkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI digilib.uns.ac.id Pembuatan Kitosan dari Cangkang Keong Mas untuk Adsorben Fe pada Air BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka A.1. Keong mas Keong mas adalah siput sawah yang merupakan salah satu hama

Lebih terperinci

3 Percobaan. 3.1 Alat dan Bahan Alat Bahan

3 Percobaan. 3.1 Alat dan Bahan Alat Bahan 3 Percobaan 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Alat gelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia, seperti gelas kimia, gelas ukur, cawan petri, labu

Lebih terperinci

MODIFIKASI MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN DENGAN FILLER MONTMORILLONIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR

MODIFIKASI MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN DENGAN FILLER MONTMORILLONIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR Jurnal Dinamika, September 2016, halaman 26-33 P-ISSN: 2087 7889 E-ISSN: 2503 4863 Vol. 07. No.2 MODIFIKASI MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN DENGAN FILLER MONTMORILLONIT UNTUK APLIKASI SEL BAHAN BAKAR Muhammad

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG RAJUNGAN PADA PROSES ADSORPSI LOGAM NIKEL DARI LARUTAN NiSO 4

PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG RAJUNGAN PADA PROSES ADSORPSI LOGAM NIKEL DARI LARUTAN NiSO 4 PEMANFAATAN KITOSAN DARI CANGKANG RAJUNGAN PADA PROSES ADSORPSI LOGAM NIKEL DARI LARUTAN NiSO 4 Yuliusman dan Adelina P.W. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus UI, Depok

Lebih terperinci

Analisis Sifat Kimia dan Fisika dari Maleat Anhidrida Tergrafting pada Polipropilena Terdegradasi

Analisis Sifat Kimia dan Fisika dari Maleat Anhidrida Tergrafting pada Polipropilena Terdegradasi Analisis Sifat Kimia dan Fisika dari Maleat Anhidrida Tergrafting Reni Silvia Nasution Program Studi Kimia, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia reni.nst03@yahoo.com Abstrak: Telah

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 19 Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Biodiesel Minyak jelantah semula bewarna coklat pekat, berbau amis dan bercampur dengan partikel sisa penggorengan. Sebanyak empat liter minyak jelantah mula-mula

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga sukar kering. Setelah kulit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga sukar kering. Setelah kulit 48 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi Kulit Batang Pisang Kepok Preparasi kulit batang pisang diawali dengan mencucinya menggunakan air hingga bersih dan dijemur di bawah sinar matahari hingga

Lebih terperinci

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL B

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL B MAKALAH PENDAMPING : PARALEL B SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA IV Peran Riset dan Pembelajaran Kimia dalam Peningkatan Kompetensi Profesional Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang telah

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang telah BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang telah dilakukan. Sub bab pertama diuraikan mengenai waktu dan lokasi penelitian, desain penelitian, alat dan bahan

Lebih terperinci

Makalah Pendamping: Kimia Paralel E PENGARUH KONSENTRASI KITOSAN DARI CANGKANG UDANG TERHADAP EFISIENSI PENJERAPAN LOGAM BERAT

Makalah Pendamping: Kimia Paralel E PENGARUH KONSENTRASI KITOSAN DARI CANGKANG UDANG TERHADAP EFISIENSI PENJERAPAN LOGAM BERAT 276 PENGARUH KONSENTRASI KITOSAN DARI CANGKANG UDANG TERHADAP EFISIENSI PENJERAPAN LOGAM BERAT Antuni Wiyarsi, Erfan Priyambodo Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY Kampus Karangmalang, Yogyakarta 55281

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM ANORGANIK PERCOBAAN 1 TOPIK : SINTESIS DAN KARAKTERISTIK NATRIUM TIOSULFAT DI SUSUN OLEH : NAMA : IMENG NIM : ACC 109 011 KELOMPOK : 2 ( DUA ) HARI / TANGGAL : SABTU, 28 MEI 2011

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Pembuatan Pulp dari Serat Daun Nanas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Pembuatan Pulp dari Serat Daun Nanas BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pembuatan Pulp dari Serat Daun Nanas Pembuatan pulp dari serat daun nanas diawali dengan proses maserasi dalam akuades selama ±7 hari. Proses ini bertujuan untuk melunakkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan salah satu turunan selulosa yang disebut eter selulosa (Nevell dan Zeronian 1985). CMC dapat larut di dalam air dingin dan air panas dan menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer superabsorbent di bawah radiasi microwave dilakukan di Laboratorium Riset Jurusan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON OLEH NAMA : HABRIN KIFLI HS. STAMBUK : F1C1 15 034 KELOMPOK ASISTEN : VI (ENAM) : HERIKISWANTO LABORATORIUM KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan yang ekstensif pada bahan bakar fosil menyebabkan terjadinya emisi polutan-polutan berbahaya seperti SOx, NOx, CO, dan beberapa partikulat yang bisa mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otot merupakan bagian utama sebagai pembangkit gaya dan gerak pada

BAB I PENDAHULUAN. Otot merupakan bagian utama sebagai pembangkit gaya dan gerak pada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Otot merupakan bagian utama sebagai pembangkit gaya dan gerak pada semua aktivitas manusia. Filamen kontraktil dari otot skeletal yang disebut dengan benang otot

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Determinasi Tumbuhan Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung untuk mengetahui dan memastikan famili dan spesies tumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial Selulosa mikrobial kering yang digunakan pada penelitian ini berukuran 10 mesh dan

Lebih terperinci

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi

Gambar IV 1 Serbuk Gergaji kayu sebelum ekstraksi Bab IV Pembahasan IV.1 Ekstraksi selulosa Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai

Lebih terperinci

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL B PENGARUH DERAJAT SULFONASI TERHADAP DEGRADASI TERMAL POLISTIRENA TERSULFONASI

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL B PENGARUH DERAJAT SULFONASI TERHADAP DEGRADASI TERMAL POLISTIRENA TERSULFONASI MAKALAH PENDAMPING : PARALEL B SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA IV Peran Riset dan Pembelajaran Kimia dalam Peningkatan Kompetensi Profesional Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini penggunaan plastik di Indonesia sebagai bahan kemasan pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari sangat besar (mencapai 1,9 juta ton di tahun 2013) (www.kemenperin.go.id),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR Noor Isnawati, Wahyuningsih,

Lebih terperinci