V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang"

Transkripsi

1 121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan pangan sangat bersifat makro, sehingga walaupun di tingkat makro ketersediaan pangan cukup baik belum menjamin dapat diakses oleh masyarakat di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu selain ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan yang diukur dari tingkat konsumsi energi dan protein menjadi penting. Menurut Azwar (2004) ketahanan pangan di keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik kuantitas dan kualitasnya termasuk kecukupan gizi dan keamanannya. Dengan demikian selain akses secara fisik dan ekonomi setiap penduduk perlu juga akses terhadap informasi. Menurut Hardinsyah, et al. (2001), peningkatan penyediaan pangan dan pendapatan keluarga saja belum sepenuhnya mendorong keluarga dapat mewujudkan pemenuhan konsumsi pangan, bila tidak disertai dengan upaya peningkatan kesadaran dan perilaku gizi yang baik terutama dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Untuk memudahkan mendeteksi apakah suatu rumah tangga sudah memiliki ketahanan pangan sesuai dengan yang diharapkan banyak indikator yang digunakan para ahli. Seperti telah diuraikan sebelumnya, salah satu indikator ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang dikemukakan Soehardjo (1996) adalah pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total. Hal yang sama dikemukakan Azwar (2004) bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat diindikasikan oleh proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan. Makin tinggi pangsa pengeluaran pangan maka ketahanan pangan semakin menurun.

2 122 Dibandingkan indikator lainnya, pengukuran pangsa pengeluaran pangan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan data Susenas BPS atau dapat juga dilakukan survey langsung pada setiap rumah tangga. Dengan mengetahui indikator ini, pengambil kebijakan dapat mendeteksi kondisi ketahanan pangan suatu kelompok masyarakat. Namun demikian untuk membuktikan hal tersebut masih perlu dianalisis bagaimana perilaku hubungan pangsa pengeluaran pangan dan variabel yang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan. Pencapaian ketahanan pangan di tingkat rumah tangga antara lain dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein. Kecukupan dari aspek kuantitas belumlah cukup, masih diperlukan dari aspek kualitas yang mencerminkan tingkat keanekaragaman pangan yang dicerminkan oleh skor Pola Pangan Harapan. Menurut Hardinsyah et al. (2001), Pola Pangan Harapan (PPH) tidak hanya memenuhi kecukupan gizi, akan tetapi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya juga akan dianalisis apakah ada hubungan pangsa pengeluaran pangan dan produk domestik regional bruto di tingkat wilayah/provinsi. Untuk kasus Indonesia, walaupun banyak dibicarakan tentang pangsa pengeluaran pangan, namun pengujian keeratan hubungan antara pangsa pengeluaran dan variabel-variabel yang berkaitan dengan ketahanan pangan masih belum banyak dilakukan. Agar pangsa pengeluaran pangan handal dijadikan indikator dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga pengujian tersebut menjadi penting untuk dilakukan. Jika terbukti ada hubungan antara beberapa variabel tersebut dengan pangsa pengeluaran pangan maka pangsa pengeluaran pangan dapat dijadikan suatu indikator komposit yang merefleksikan ketahanan pangan baik dari aspek kuantitas maupun kualitas serta dari aspek regional maupun rumah tangga.

3 Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Ketahanan Pangan Hasil analisis nilai tengah menunjukkan bahwa ada hubungan linier antara pangsa pengeluaran pangan dan ketahanan pangan yang diproksi dari konsumsi energi dan konsumsi protein per kapita penduduk. Tabel 13 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan (kolom ke-2) pangsa pengeluaran semakin menurun (kolom ke-5), sebaliknya konsumsi energi dan protein semakin meningkat (kolom ke-3 dan ke-4). Hubungan tersebut terlihat konsisten antara tahun 1996, 1999 dan Tabel 13. Rataan Konsumsi Energi dan Protein serta Rataan Pangsa Pengeluaran Pangan menurut Kelompok Pendapatan di Indonesia Tahun 1996, 1999 dan 2002 Tahun Kelas Pendapatan Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Konsumsi Protein (Gram/kap/hr) Pangsa Pengeluaran Pangan (%) 1996 Rendah (n= 23940) Sedang (n= 23984) Tinggi (n= 11993) Rendah (n= 24589) Sedang (n= 24589) Tinggi (n= 12295) Rendah (n= 25022) Sedang (n= 25022) Tinggi (n= 12511) Kota (n= ) Desa (n= ) Jawa (n= 31717) Luar Jawa (n=30838) n= Jumlah sampel Sumber: Data Susenas (diolah) Nasional

4 124 Jika konsumsi energi dan protein merupakan proksi dari ketahanan pangan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan dengan arah yang berlawanan antara pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dan ketahanan pangan. Artinya semakin menurun pangsa pengeluaran pangan menunjukkan ketahanan pangan yang semakin meningkat. Jika kembali ke Hukum Engel makin jelas bahwa pendapatan seseorang sangat menentukan ketahanan pangan. Menurut Engel, pangsa pengeluaran rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga kaya. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan (Deaton dan Muellbauer, 1980). Hasil analisis ekonometrika menunjukkan bahwa bentuk fungsi hyperbola persamaan (21) dan (22) memberikan hasil yang terbaik. Keputusan tersebut diambil berdasarkan kesesuaian arah hubungan, tingkat signifikan (p-value), dan koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi dari persen. Berarti hubungan kedua variabel cukup erat yaitu dengan nilai koefisien korelasi (r) antara (Tabel 14). Model hyperbola sama dengan model Cobb Douglas berpangkat negatif satu. Dengan demikian semua persamaan memiliki nilai elastisitas sebesar negatif satu. Dari tanda elastisitas yang negatif dapat dikatakan bahwa hubungan antara kedua variabel yaitu pangsa pengeluaran pangan berlawanan arah dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk. Hubungan antara konsumsi energi dan konsumsi protein dengan pangsa pengeluaran pangan dianalisis pada berbagai aspek, yaitu kelas pendapatan, wilayah desa-kota, Jawa-luar Jawa dan nasional. Untuk melihat konsistensi hubungan keduanya dilakukan analisis antar waktu, yaitu 1996, 1999 dan 2002.

5 125 Tabel 14. Nilai Dugaan Model Hyperbola Pangsa Pengeluaran Pangan dengan Konsumsi Energi dan Protein Tahun 1996, 1999 dan 2002 Energi Protein Tahun Kelompok*) Koefsn R 2 (%) r p-value Koefisien R 2 (%) r p-value 1996 Pendapatan: Rendah (Rp35 730) Sedang (Rp69 114) Tinggi (Rp ) Daerah: Kota (Rp ) Desa (Rp60 430) Pulau: Jawa (Rp82 378) Lr. Jawa (Rp77 500) Nasional (Rp79 690) Pendapatan: Rendah (Rp84 031) Sedang (Rp ) Tinggi (Rp ) Daerah: Kota (Rp ) Desa (Rp ) Pulau: Jawa (Rp ) Lr.Jawa(Rp ) Nasional (Rp171502) Pendapatan: Rendah (Rp ) Sedang (Rp ) Tinggi (Rp ) Daerah: Kota (Rp ) Desa (Rp ) Pulau: Jawa (Rp ) Lr.Jawa(Rp ) Nasional (Rp ) Keterangan *) Angka dalam kurung pada kolom dua merupakan rataan pengeluaran per kapita per bulan Sumber: Data Susenas (Diolah)

6 126 Jika dilihat dari aspek tingkat pendapatan, semakin tinggi tingkat pendapatan keeratan hubungan semakin menurun secara konsisten baik pada model energi mapun protein, semakin menurun. Artinya pada kelompok masyarakat berpendapatan tinggi ketahanan pangan tidak didominasi oleh pengaruh pangsa pengeluaran pangan yang mencerminkan tingkat pendapatan. Tetapi ditentukan juga oleh faktor lain seperti tingkat pendidikan, kesadaran akan hidup sehat lebih baik dan tersedianya pangan yang lebih beraneka ragam serta pola konsumsi, sehingga memudahkan mereka untuk memilih pangan sesuai kaidah gizi, preferensi dan pemenuhan kepuasan sosial (prestise) dan citarasa. Faktor lain tersebut mencerminkan tingkat aksesibilitas individu terhadap informasi, terutama yang berkaitan dengan aspek gizi. Dengan kata lain, makin tinggi pendapatan seseorang akan semakin meningkat aksesnya terhadap informasi yang berkaitan dengan aspek gizi. Ada tiga informasi penting yang dapat diperoleh dari hasil analisis ini. Pertama, pada aspek kelas pendapatan ada hubungan yang erat antara pangsa pengeluaran dan ketahanan pangan, terutama pada masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. Kedua, pada aspek wilayah baik desa-kota maupun Jawa - luar Jawa, jika keeratan hubungan tersebut ditafsirkan semakin tidak tahan pangan, maka sejak tahun 1996 sampai dengan 2002 ketahanan pangan masyarakat desa dan Jawa semakin menurun. Ketiga, berbeda dengan masyarakat yang tinggal di kota dan luar Jawa, penurunan ketahanan pangan akibat krisis ekonomi tahun 1999 telah mulai pulih pada tahun 2002, namun belum kembali pada posisi Jika rata-rata konsumsi energi dan protein tahun 2002 dibandingkan dengan Angka Kecukupun Gizi (AKG) berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998, yaitu Angka Kecukupan Energi (AKE) 2200 kkal/kapita per hari dan Angka Kecukupan Protein (AKP) 48 gram/kapita, hanya penduduk berpendapatan

7 127 tinggi saja yang telah melampaui AKE dan hanya penduduk berpendapatan rendah yang belum mencapai AKP. Namun jika menggunakan standar yang dihitung oleh Hardinsyah dan Tambunan (2004) yaitu AKE 2000 kkal/kapita/hari dan AKP 52 gram/kapita/hari hanya kelompok penduduk berpendapatan rendah saja yang belum melampaui AKG. Untuk bahasan selanjutnya AKG yang digunakan tetap menggunakan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun Nilai koefisien pendugaan dari tiap persamaan mengambarkan kuantitas energi atau protein yang dikonsumsi individu ketika pangsa pengeluaran pangannya sudah sangat kecil (1%). Nilai tersebut hampir sama pada individu berpendapatan rendah dan sedang, tetapi jauh berbeda dengan penduduk berpendapatan tinggi. Akan tetapi dapat juga diinterpretasikan bahwa jika individu berada pada kelas pendapatan yang berbeda mengkonsumsi jumlah energi yang sama (2200 kkal) pangsa pengeluaran pangan individu tersebut berbeda satu sama yang lain, yaitu 29 persen pada individu dalam kelompok berpendapatan tinggi, 51 persen pada individu dalam kelompok berpendapatan sedang, dan 49 persen pada individu berpendapatan rendah. Ini artinya untuk memenuhi kebutuhan energi sesuai setandar hanya sekitar 30 persen dari pendapatan individu pada kelompok pendapatan tinggi yang digunakan untuk belanja pangan. Selebihnya mereka belanjakan untuk kebutuhan non pangan. Sementara itu, pada individu kelompok pendapatan sedang dan rendah mencapai 50 persen. Jelasnya dapat dilihat pada Gambar Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Keanekaragaman Pangan Pendekatan PPH (Pola Pangan Harapan) dapat menilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan. Semakin tinggi skor pangan (maksimum 100), menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. PPH adalah komposisi dari kelompok-kelompok pangan utama yang

8 128 ketika disiapkan untuk dikonsumsi sebagai makanan untuk memenuhi kalori akan memberikan semua zat gizi dalam jumlah yang mencukupi (FAO-RAPA, 1989 dalam Hardinsyah et al. 2001) Konsumsi Energi (kkal) Rendah Sedang Tinggi Standar Pangsa Pengeluaran Pangan (%) Gambar 19. Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Konsumsi Energi pada berbagai Kelas Pendapatan di Indonesia, Tahun 2002 Informasi yang diperlukan dalam menentukan skor PPH adalah jumlah konsumsi energi, persentase sumber kalori, bobot dan skor maksimum untuk masingmasing kelompok pangan serta angka kecukupan gizi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15. Angka-angka dalam tiap kolom merupakan hasil hitungan yang dirancang sesuai angka kecukupan gizi sesuai aktivitas penduduk, kualitas dan kuantitas gizi, daya beli, cita rasa dan daya terima masyarakat. Data pada kolom tiga merupakan kondisi ideal. Dalam menentukan PPH penduduk, nilai tersebut dihitung

9 129 sesuai kondisi aktual yang dikonsumsinya. Dari angka aktual tersebut akan diperoleh skor PPH penduduk. Karena pentingnya PPH sebagai cerminan kualitas ketahanan pangan, maka perlu dianalisis hubungannya dengan pangsa pengeluaran pangan. Dengan menggunakan hasil studi terdahulu hubungan pangsa pengeluaran pangan dan skor PPH secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 20. Secara nasional selama periode telah terjadi peningkatan mutu pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia yang diindikasikan oleh meningkatnya skor PPH dari 69.8 pada tahun 1996 menjadi 71.8 pada tahun Dampak krisis ekonomi pada tahun 1999 menurunkan skor PPH menjadi Tabel 15. Pola Pangan Harapan 2020, Bobot dan Skor Maksimum Perhitungan Pola Pangan Harapan No Kelompok Pangan PPH 2020 (kkal) (%) Bobot Skor Maksimum *) 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lainnya Jumlah *) Bila hasil perhitungan melebihi skor maksimum, maka skor yang digunakan adalah skor maksimum Sumber: Hardinsyah et al, 2001

10 130 Informasi penting yang dapat diperoleh dari Gambar 20 tersebut adalah adanya hubungan yang berlawanan arah antara pangsa pengeluaran pangan dan skor PPH. Semakin tinggi pangsa pengeluran pangan skor PPH semakin menurun. Jika dilihat secara spasial, pada waktu yang sama dengan daerah yang berbeda, hubungan tersebut masih berlawanan arah, namun keeratannya sudah mulai melemah. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 21. Untuk meperjelas hubungan kedua variabel secara spasial diperlukan lebih banyak contoh. Akan tetapi ada indikasi hubungan yang berlawanan arah antara pangsa pengeluaran pangan dan skor PPH di Indonesia. Skor PPH Pangsa Pangan (%) Tahun PF *) PPH **) Sumber: *) Data Susenas-BPS, 1996, 1999 dan 2002 (diolah); **) Martianto dan Ariani, 2004 Gambar 20. Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Skor Pola Pangan Harapan di Indonesia, Tahun Melemahnya keeratan hubungan antar wilayah sudah sesuai dengan konsep dari PPH itu sendiri, yaitu merepresentasikan tidak hanya daya beli dan pengetahuan tentang gizi, tetapi juga daya terima masyarakat, cita rasa dan ketersediaan pangan tersebut. Pada daerah yang berbeda hal tersebut cenderung berbeda. Misalnya

11 131 masyarakat di Sumatera mencukupi kebutuhan karbohidrat hanya pada padi-padian, sedangkan di daerah Jawa ada substitusi antara padi-padian dengan umbi-umbian. Kelebihan mengkonsumsi padi-padian dan kekurangan mengkonsumsi umbi-umbian akan memperoleh skor PPH yang lebih rendah dibandingkan jika mengkonsumsi keduanya mendekati standar PPH. Demikian juga untuk konsumsi sayur dan buah, tidak semua daerah tersedia dan mempunyai kebiasaan mengkonsumsinya dalam jumlah yang cukup, padahal bobotnya jauh lebih tinggi dari kelompok pangan lain pada standar PPH (lihat Tabel 15). Dari hasil ini, skor PPH akan menjadi lebih akurat jika penyusunan dikelompokkan menjadi beberapa wilayah sehingga ada standar skor PPH lokal (Hardyastuti, 2002; Sudiyono dan Purnomowati, 2002). Skor PPH Pangsa Pangan (%). Provinsi Sumbar Sulsel Jateng PF *) PPH **) Sumber: *) Data Susenas-BPS, 1999 (diolah) ; **) Hardisnyah et al Gambar 21. Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Skor Pola Pangan Harapan pada Tiga Provinsi di Indonesia, Tahun 1999

12 Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan Pendapatan Regional PDRB per kapita merupakan suatu indikator kesejahteraan wilayah misalnya provinsi. Semakin tinggi PDRB per kapita suatu wilayah mengindikasikan semakin meningkat kesejahteraan penduduknya. Namun menurut Soehardjo et al. (1986), PDRB hendaknya jangan digunakan sebagai satu-satunya ukuran pembangunan suatu wilayah, karena ia tidak selalu menunjukkan kualitas hidup rakyat yang bertempat tinggal di situ. Status gizi merupakan suatu komponen kualitas hidup sehingga merupakan indeks pembangunan sosial yang penting. Untuk kasus provinsi di Indonesia dengan menggunakan data tahun 2002, hubungan antara pangsa pengeluaran pangan ( PF dalam %) dan PDRB per kapita ( PDRK i dalam ribu rupiah) dapat dilihat Pada Gambar 22. Hubungan kedua variabel memiliki arah yang berlawanan. Semakin tinggi PDRB per kapita maka pangsa pengeluaran pangan cenderung makin menurun. Dengan analisis ekonometrika (OLS), hubungan kedua variabel tersebut menjadi lebih erat jika menggunakan PDRB per kapita dengan tidak menggunakan migas persamaan (54) dibandingan dengan PDRB per kapita yang menggunakan migas, persamaan (55). i PF = (54) itm PDRK i R 2 = ; r = ; t stat. = ; F stat. = PF = (55) idm PDRK i R 2 = ; r = ; t stat. = ; F stat. = 13.01

13 133 Pangsa Pengeluaran Pangan (%) PDRB (Ribu Rupiah) Sumber: BPS (diolah) Gambar 22.a. Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan PDRB-Tanpa Migas Per Kapita di Provinsi Indonesia, Tahun 2002 Pangsa Pengeluaran Pangan (%) PDRB (Ribu Rupiah) Sumber: BPS (diolah) Gambar 22.b. Hubungan Pangsa Pengeluaran Pangan dan PDRB Dengan Migas Per Kapita di Provinsi Indonesia, Tahun 2002

14 134 Jika dirinci menurut provinsi di Indonesia (Tabel 16), DKI Jakarta memiliki pangsa pengeluaran pangan paling kecil (45.09%) dengan PDRB per kapita paling tinggi (Rp 30 juta). Untuk provinsi lainnya pangsa pengeluaran pangan berada di atas 50 persen dengan PDRB jauh di bawah DKI. Temuan ini membuktikan bahwa makin tinggi PDRB per kapita suatu wilayah makin rendah pangsa pengeluaran pangannya dan makin sejahtera penduduknya. Tabel 16. Pangsa Pengeluaran Pangan dan PDRB Per Kapita menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2002 No PDRB Per Kapita Tanpa Migas (Rupiah) Pangsa Pengeluaran Pangan (%) Provinsi DKI Jakarta Kalimantan Timur Bangka Belitung Sumatera Utara Kalimantan Tengah Bali Sumatera Barat Kalimantan Selatan Jawa Timur Riau Sulewsi Utara DI Yogyakarta Kalimantan Barat Sumatera Selatan Jawa Barat ; 63.78; 63.91; Jateng, Sulteng, 63.91; Sulsel, Sultra, Jambi ; 66.88; 67.55; Lampung, Bengkulu, 68.17; NTT, NTB, Gorontalo

15 135 Sumber: BPS (diolah) Akan tetapi data pada provinsi-provinsi di Indonesia belum menunjukkan hubungan yang tegas, karena tidak ditemukan pola hubungan yang bertingkat dengan baik, sebagian besar provinsi memiliki pangsa pengeluaran sekitar 60-an persen (lihat Gambar 22). Untuk mempertegas hubungan ini, jika tersedia data, sebaiknya menggunakan data antara negara-negara di dunia, dimana akan ditemui senjang kesejahteraan bertingkat dari kelompok negara maju, kelompok negara berpendapatan menengah hingga negara berpendapatan rendah. Bila Tabel 16 diamati lebih cermat terlihat adanya hubungan yang sedikit anomali antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita. Provinsi yang PDRB per kapitanya relatif rendah, memiliki pangsa pengeluaran yang juga relatif rendah. Contoh provinsi Bali dan D.I Yogyakarta. Sebaliknya Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi, tetapi pangsa pengeluaran pangan penduduknya masih relatif tinggi. Anomali tersebut membuktikan bahwa bukan hanya PDRB per kapita yang menentukan ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah. Ketersediaan pangan, pengetahuan gizi dan pola konsumsi juga menentukan ketahanan pangan di suatu daerah. Di samping itu PDRB per kapita yang tinggi belum menjamin bahwa penduduk di daerah itu memiliki pendapatan riil yang tinggi, Sangat mungkin terjadi PDRB yang tinggi di suatu daerah dinikmati oleh penduduk di luar daerah tersebut. Namun demikian dari hasil analisis sebelumnya pangsa pengeluaran pangan untuk Indonesia masih relevan untuk digunakan sebagai indikator ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat provinsi.

16 Dinamika Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pendapatan Dengan menggunakan data publikasi BPS dapat dianalisis dinamika pangsa pengeluaran pangan sebagai indikator ketahanan pangan dan kesejahteraan penduduk selama periode Dari Gambar 23 ada dua informasi yang dapat diperoleh. Pertama Saat awal pembangunan, yaitu periode , kelompok penduduk berpendapatan tinggi yang merubakan sebagian kecil (20%) penduduk Indonesia, lebih banyak menerima manfaat pembangunan dibandingkan kelompok penduduk berpendapatan sedang dan rendah. Hal itu diindikasikan oleh pangsa pengeluaran pangan kelompok penduduk berpendapatan tinggi hanya 40 persen. Sementara itu sebagian besar penduduk (80%) berpendapatan menengah dan rendah masih menghadapi masalah ketahanan pangan, karena pangsa pengeluaran pangannya masih cukup tinggi yaitu berkisar antara persen. Kedua, setelah periode dapat dikatakan bahwa dampak pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat selama ini bersifat stagnan. Program peningkatan kesejahteraan yang dilakukan sifatnya hanya jangka pendek, sehingga memberikan masalah baru pada waktu berikutnya sehingga berdampak negatif pada kesejahteraan penduduk. Hal ini terus berulang sehingga cenderung status quo. Ini terlihat dari stabilnya senjang pendapatan dan stabilnya fluktuasi grafik masing-masing kelas pendapatan. Jika ada upaya yang sungguh-sungguh untuk memperkecil senjang seharusnya arah grafik dari kelompok pendapatan rendah dan sedang menurun mendekati grafik kelompok pendapatan tinggi. Bukti empirik menunjukkan bahwa: lima konglomerat agribisinis menguasai sekitar satu juta hektar lahan perkebunan; lima industri ayam ras menguasai lebih dari 60 persen agribisnis ayam ras; hampir dua juta petani di Jawa digusur dan menjadi buruh tani karena lahan mereka digunakan untuk pembangunan prasarana

17 137 ekonomi, kawasan industri dan perumahan tanpa diberi kompensasi memadai; meningkatnya jumlah petani gurem dan buruh tani; dan berkurangnya penguasaan lahan per petani (Kasryno, 2000). Kebijakan yang selama ini dilakukan tidak ada yang mendukung pada peningkatan kesejahteraan kelompok pendapatan menengah dan rendah. Kalaupun ada manfaatnya relatif sedikit. Ini dapat dilihat dari grafik kedua kelompok ini yang turunnya sangat landai. Menurut Kasryno (2000), keberhasilan pembangunan ekonomi dicirikan oleh peningkatan kualitas hidup masyarakat dan produktivitas tenaga kerja. Selain dua hal tersebut, keberhasilan pembangunan pertanian juga dicirikan oleh meningkatnya penguasaan lahan dan aset produktif per tenaga kerja pertanian. Dengan kriteria tersebut dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini belum berhasil. Pangsa (%) Rendah Sedang Tinggi Sumber: BPS (diolah) Tahun Gambar 23. Dinamika Pangsa Pengeluaran Pangan Penduduk menurut Kelompok Pendapatan di Indonesia Tahun

18 138 Gambar 24 makin membuktikan bahwa kesejahteraan yang dinikmati kelompok berpendapatan tinggi mampu mengubah pola konsumsi mereka sehingga pangsa pengeluaran untuk kelompok padi-padian menjadi cukup rendah dan stabil di sekitar lima persen. Pengeluaran tersebut merupakan bagian kecil dari pengeluaran pangan kelompok ini. Artinya pada kelompok ini ketahanan pangan yang tercapai tidak hanya dari sisi kuantitas tetapi dari sisi kualitas (keanekaragaman pangan). Analisis data antar waktu ini konsisten dengan analisis data penampang lintang sebelumnya (Tabel 13 dan Tabel 14). Pangsa (%) Rendah Sedang Tinggi Sumber: BPS (diolah) Tahun Gambar 24. Dinamika Pangsa Pengeluaran Padi-padian Penduduk selama Sebulan menurut Kelompok Pendapatan di Indonesia, Tahun

19 Menurut Wilayah Desa-Kota Perbedaan wilayah desa-kota berdampak terhadap perbedaan aksesibilitas berbagai aspek yang menyangkut kesempatan kerja, pendidikan, ketersediaan berbagai jenis pangan dan infrastruktur. Dampaknya terhadap ketahanan pangan dan kesejahteraan bias terhadap desa, sehingga ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat di kota lebih baik dibandingkan di desa (Gambar 25). Namun demikian berbagai kelas pendapatan terdapat juga di desa dan kota, sehingga walaupun penduduk di kota memiliki aksesibiltas yang lebih baik dari penduduk di desa, karena ada juga kelompok berpendapatan rendah dan sedang di kota menyebabkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat kota masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena pangsa pengeluaran pangan masih cukup besar, yaitu lebih dari 50 persen. Secara agregat, berdasarkan indikator pangsa pengeluaran pangan ketahanan pangan masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Pangsa (%) Desa Kota Desa+Kota Sumber: BPS (diolah) Tahun Gambar 25. Dinamika Pangsa Pengeluaran Pangan Penduduk selama Sebulan menurut Wilayah di Indonesia, Tahun

20 140 Pangsa pengeluaran padian-padian penduduk desa masih jauh lebih tinggi dari penduduk kota (Gambar 26). Hal ini mengindikasikan keanekaragaman pangan di kota lebih baik dari di desa. Namun kecenderungannya makin menurun untuk kedua daerah. Jika pangsa pengeluaran pangan merupakan indikator dari tingkat kesejahteraan, sejak awal pelita hingga saat ini pembangunan bias terhadap desa dan tidak ada upaya-upaya yang efektif untuk mengurangi bias tersebut. Hal ini terlihat dari arah grafik kota dan desa yang mempunya senjang yang stabil. Pangsa (%) Desa Kota Desa+Kota Sumber: BPS (diolah) Tahun Gambar 26. Dinamika Pangsa Pengeluaran Padi-padian Penduduk selama Sebulan menurut Wilayah di Indonesia, Tahun Krisis ekonmomi yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan naiknya harga barang termasuk produk pangan sehingga daya beli masyarakat menurun. Penurunan daya beli masyarakat menyebabkan makin meningkatnya pangsa pengeluaran pangan dan pangsa pengeluaran padi-padian. Menghadapi masalah itu pemerintah melakukan berbagai program pemulihan ekonomi dan pada tahun Program pemerintah tersebut mampu mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadinya krisis. Perilaku

21 141 ini menguatkan keakuratan penggunaan pangsa pengeluaran pangan sebagai indikator ketahanan pangan yang salah satu cirinya adalah respon terhadap kondisi perekonomian, kebijakan dan program pembangunan Ringkasan Hasil Secara nasional pangsa pengeluaran pangan penduduk Indonesia masih cukup besar yaitu 60.52%. Jika dirinci berdasarkan: (1) kelas pendapatan, besarnya 66.76% pada kelompok penduduk berpendapatan rendah, 60.47% pada kelompok penduduk berpendapatan sedang, dan 48.16% pada kelompok penduduk berpendapatan tinggi; (2) wilayah, besarnya 65.86% pada penduduk di pedesaan dan 54.02% pada penduduk di perkotaan; dan (3) kepulauan, besarnya 61.52% di luar Jawa dan 59.11% di Jawa. Pangsa pengeluaran pangan berhubungan erat dengan tingkat konsumsi energi dan protein dengan arah yang berlawanan dengan koefisien korelasi antara Pada penduduk kelompok pendapatan tinggi hubungan tersebut makin merenggang. Pangsa Pengeluaran pangan juga berhubungan dengan skor Pola Pangan Harapan sebagai refleksi keanekaragaman pangan, dan PDRB provinsi di Indonesia yang merupakan refleksi aksesibilitas terhadap pangan, dengan arah yang berlawanan. Pada awal periode pembangunan ( ) kelompok penduduk berpendapatan tinggi lebih banyak menerima manfaat pembangunan yang dilakukan pemerintah dibandingkan kelompok penduduk berpendapatan sedang dan rendah. Hal itu terlihat dari kecuraman grafik dinamika pangsa pengeluaran pangan pada periode itu. Selanjutnya pada periode senjang kesejahteraan antar kelompok masyarakat bersifat stagnan. Ini terlihat dari stabilnya fluktuasi grafik masing-masing kelas pendapatan. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 menyebabkan meningkatnya pangsa pengeluaran pangan penduduk dan kemudian turun kembali setelah ada kebijakan dan program pemulihan yang dilakukan pemerintah saat itu. Ini

22 142 berarti pangsa pengeluaran pangan respon terhadap perubahan kondisi perekonomian, kebijakan dan program yang dilakukan. Pada bab berikut akan dikaji apakah memang benar bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah selama ini, terutama kebijakan harga pangan berpengaruh atau tidak kepada ketahanan pangan. Jika berpengaruh apakah pengaruh kebijakan tersebut efektif. Selain kebijakan harga pangan, faktor apa lagi yang mempengaruhi ketahanan pangan di Indonesia.

PENGGUNAAN PANGSA PENGELUARAN PANGAN SEBAGAI INDIKATOR KOMPOSIT KETAHANAN PANGAN

PENGGUNAAN PANGSA PENGELUARAN PANGAN SEBAGAI INDIKATOR KOMPOSIT KETAHANAN PANGAN PENGGUNAAN PANGSA PENGELUARAN PANGAN SEBAGAI INDIKATOR KOMPOSIT KETAHANAN PANGAN NYAK ILHAM 1 DAN BONAR M. SINAGA 2 1 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor dan 2 Fakultas Ekonomi

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung) Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung) Nasriati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. ZA. Pagar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Handewi P.S. Rachman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 No., 05/01/81/Th. XV, 2 Januari 2014 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di Maluku

Lebih terperinci

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN Faharuddin, M.Si. (Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Sumatera Selatan) 8.1. Konsep Dasar Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dikonseptualisasikan

Lebih terperinci

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2014

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2014 No. 04/ 01/ 94/ Th.IX, 2 Januari 2015 KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 864,11 RIBU ORANG. Jumlah penduduk miskin di Papua pada bulan September

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 21/07/31/Th. XII, 1 Juli 2010 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan nasional Bangsa Indonesia yaitu mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat

Lebih terperinci

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang. Definisi tersebut menjelaskan bahwa pembangunan tidak hanya

Lebih terperinci

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN BAHASAN 1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN NUHFIL HANANI AR UNIVERSITAS BAWIJAYA Disampaikan

Lebih terperinci

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS: 3201023 ht tp :/ /w w w.b p s. go.i d Pola Pengeluaran dan Konsumsi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 5/01/76/Th. X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 SEBANYAK 153,21 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Menurut Balitbang (2008), Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan salah satu alternatif terbaik yang dapat dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup masyarakat.

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Lebih terperinci

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2016

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2016 No. 37/ 07/ 94/ Th.VIII, 18 Juli 2016 KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 28,54 PERSEN Persentase, penduduk Miskin di Papua selama enam bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 No. 05/01/33/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 4,863 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2017

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2017 No. 38/07/94/Th.IX 17 Juli 2017 KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 27,62 PERSEN Persentase penduduk miskin di Provinsi Papua selama enam bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016 No. 05/01/Th. XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 10,70 PERSEN Pada bulan September 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2 0 25-9 0 Lintang Selatan dan 130 0-141 0 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 42/07/76/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 SEBANYAK 152,73 RIBU JIWA Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Tri Bastuti Purwantini PENDAHULUAN Banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pangan

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

RINGKASAN DATA DAN INFORMASI KEMISKINAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 2016 ISSN : 2528-2271 Nomor Publikasi : 53520.1702 Katalog : 3205008.53 Jumlah halaman : viii + 24 halaman Ukuran : 21 cm x 14,5 cm

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

TINJAUAN DISTRIBUSI PANGAN

TINJAUAN DISTRIBUSI PANGAN TINJAUAN DISTRIBUSI PANGAN S u t a w i Program Magister Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang Ketahanan Pangan Dalam UU No. 7/1996 tentang Pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

PROFIL KONSUMSI MAKANAN INDIVIDU, KECUKUPAN ZAT GIZI DAN STATUS GIZI MASYARAKAT INDONESIA (ANALISIS DATA STUDI DIET TOTAL 2014)

PROFIL KONSUMSI MAKANAN INDIVIDU, KECUKUPAN ZAT GIZI DAN STATUS GIZI MASYARAKAT INDONESIA (ANALISIS DATA STUDI DIET TOTAL 2014) PROFIL KONSUMSI MAKANAN INDIVIDU, KECUKUPAN ZAT GIZI DAN STATUS GIZI MASYARAKAT INDONESIA (ANALISIS DATA STUDI DIET TOTAL 2014) Dr. Siswanto, MHP, DTM Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes

Lebih terperinci

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2016

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2016 No. 04/ 01/ 94/ Th.IX, 3 Januari 2017 KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 MENCAPAI 28,40 PERSEN Persentase, penduduk Miskin di Papua selama enam

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/05/18/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN I-2016 SEBESAR 101,55

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan

Lebih terperinci

Katalog : 3201023 Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2014 BADAN PUSAT STATISTIK Katalog : 3201023 Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2014 POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PENDUDUK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2015

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2015 No. 56/ 10/ 94/ Th.IX, 1 Oktober 2015 KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2015 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 28,17 PERSEN Persentase, penduduk Miskin di Papua selama enam bulan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 10/11/18.Th.V, 5 November 2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015 INDEKS TENDENSI KONSUMEN LAMPUNG TRIWULAN III-2015 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengumpulan Data Data yang berhasil dikumpulkan dan akan digunakan pada penelitian ini merupakan data statistik yang diperoleh dari a. Biro Pusat Statistik (BPS)

Lebih terperinci

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER 2015

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER 2015 KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER 2015 No. 04/ 01/ 94/ Th.VIII, 4 Januari 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 28,40 PERSEN Persentase, penduduk Miskin di Papua selama enam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Seseorang yang melakukan

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Seseorang yang melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya memenuhi kebutuhannya, seseorang akan melakukan sesuatu kegiatan yang disebut konsumsi. Konsumsi merupakan suatu kegiatan menikmati nilai daya guna dari

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 MENCAPAI 29,89 JUTA ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 No. 66/09/33/Th. IX, 15 ember 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 4,577 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 28,59 JUTA ORANG Pada bulan September 2012, jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Beras bagi kehidupan Bangsa Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Dari jenis bahan pangan

Lebih terperinci

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah salah satu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

JURNAL OLEH : IKA SAPUTRI DEWI AGRIBISNIS

JURNAL OLEH : IKA SAPUTRI DEWI AGRIBISNIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA NELAYAN (Studi Kasus: Desa Bagan Dalam, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara) JURNAL OLEH : IKA SAPUTRI DEWI 120304077

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke. Beragam jenis bahan pangan lokal terdapat di Indonesia,

Lebih terperinci