HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berikut disajikan keragaan statistik variabel sosial ekonomi pada tabel 5. Tabel 5 Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota Wilayah Perdesaan Proporsi Ibu lulus wajar (%) Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp/bln) PDRB Perkapita (Rp/thn) Tingkat Kemiskinan (%) Rata-rata ,000 9,311, Standar deviasi ,634 6,133, Perkotaan Total Rata-rata ,000 16,600, Standar deviasi ,606 12,050, Rata-rata ,679 11,056, Standar deviasi ,288 8,530, t= t= t= t= Uji Statistik p=0.025* p=0.000* p=0.000* p=0.000* Keterangan: *berbeda nyata pada α=0.05 Proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) sembilan tahun adalah persentase ibu balita disuatu wilayah yang telah menuntaskan pendidikan minimal SMP atau sederajat. Secara nasional, rata-rata proporsi ibu yang lulus wajib belajar 9 tahun adalah 52.8 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan yaitu sebesar 72.9 persen. Berdasarkan uji statistik, proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan berbeda dengan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan (t= , p=0.025). Pengeluaran rumah tangga perkapita adalah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita yang terdiri atas pengeluaran pangan dan nonpangan di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang disajikan pada tabel 4, rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita nasional adalah 273 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perkotaan adalah 372 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan yaitu 242 ribu rupiah/bulan. Berdasarkan uji statistik, terdapat perbedaan antara

2 22 pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan dengan di perkotaan (t= , p=0.000). PDRB perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut. Rata-rata PDRB perkapita Indonesia adalah sebesar 11.1 rupiah/tahun. Wilayah di perdesaan memiliki rata-rata PDRB perkapita yang lebih rendah dibandingkan angka nasional, yaitu 9.3 juta rupiah/tahun. Sementara itu rata-rata PDRB perkapita wilayah perkotaan adalah 16.6 juta rupiah/tahun. Berdasarkan uji statistik, PDRB perkapita wilayah perdesaan berbeda dengan PDRB perkapita wilayah perkotaan (t=-7.992, p=0.000). Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin yang terdapat di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 16.5 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Tingkat kemiskinan wilayah perdesaan sebesar 20.4 persen, lebih tinggi dari nasional. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Tingkat kemiskinan di perkotaan yaitu sebesar 16.6 persen. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Berdasarkan uji statistik, tingkat kemiskinan wilayah perdesaan berbeda dengan tingkat kemiskinan wilayah perkotaan (t=11.161, p=0.000). Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 merupakan salah satu wujud pengejawantahan dari 4 grand strategy Departemen Kesehatan, yaitu berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based melalui pengumpulan data dasar dan indikator kesehatan. Indikator yang dihasilkan berupa antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum, merepresentasikan gambaran wilayah nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Salah satu data dasar yang dihimpun dalam Riskesdas 2007 adalah data status gizi balita. Penilaian status gizi balita yang dilaksanakan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 meliputi penilaian status gizi menurut indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Penelitian ini hanya menganalisis status gizi balita yang diukur melalui indikator BB/U.

3 23 Tabel 6 Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U Wilayah Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Gizi Baik (%) Gizi Lebih (%) Perdesaan Perkotaan Total Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2007 Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5.4 persen. Prevalensi gizi buruk di perdesaan sebesar 6.4 persen lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yaitu sebesar 4.2 persen. Sementara itu, prevalensi nasional gizi kurang pada balita adalah 13 persen. Sama halnya dengan prevalensi gizi buruk, prevalensi gizi kurang di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan. Prevalensi gizi kurang di perdesaan adalah sebesar 14 persen dan di perkotaan sebesar 11.7 persen. Dengan demikian, prevalensi nasional untuk gizi buruk dan gizi kurang adalah 18.4 persen. Bila dibandingkan dengan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5 persen, maka secara nasional target tersebut sudah terlampaui. Namun apabila data prevalensi dilihat terpisah antara wilayah perdesaan dan perkotaan, maka target MDGs tersebut baru dapat dicapai oleh wilayah perkotaan dengan prevalensi gabungan gizi kurang dan gizi buruk sebesar 16.9 persen. Sementara itu, wilayah perdesaan memiliki prevalensi sebesar 20.4 persen sehingga belum dapat mencapai target MDGs. Sebanyak 216 kabupaten/kota di Indonesia belum dapat mencapai target MDGs. Proporsi balita dengan status gizi baik secara nasional adalah 77.2 persen (perdesaan=75.7% dan perkotaan=79.3%). Gianyar dan Tabanan merupakan dua Kabupaten dengan proporsi balita dengan status gizi baik terbesar yaitu masing-masing sebesar 90 persen dan 90.6 persen. Dengan demikian sebanyak 9 dari 10 balita di kabupaten tersebut memiliki status gizi baik. Secara keseluruhan, baik di perdesaan, perkotaan maupun nasional, gizi lebih tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya tidak melebihi 5 persen. Namun secara wilayah kabupaten/kota, terdapat sebanyak 142 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi lebih melampaui 5 persen. Dengan demikian di kabupaten/kota tersebut gizi lebih menjadi masalah kesehatan masyarakat.

4 24 Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda Masalah kurang gizi (undernutrition) adalah masalah yang dialami suatu wilayah apabila belum dapat mencapai target MDGs untuk prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 18.5 persen. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 51.7 persen wilayah kabupaten/kota Indonesia mengalami masalah kurang gizi. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah kurang gizi dengan tipe wilayah (x 2 = 0.981, p=0.000). Masalah kurang gizi sering terjadi sejak bayi masih dalam kandungan, balita, remaja, dan akan terus berlanjut terutama pada remaja putri dan wanita dewasa. Anak-anak yang kurang gizi akan tertinggal pertumbuhan fisik, mental dan intelektualnya. Gangguan pertumbuhan ini akan mengakibatkan tingginya angka kematian anak, berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap penyakit serta berkurangnya produktifitas kerja (Soekirman 2000). Tabel 7 Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda n % n % n % Perdesaan (n=318) Tidak ada Ada Perkotaan (n=100) Tidak ada Ada Total (n=418) Tidak ada Ada Uji statistik (x 2 = 0.981, p=0.000*) (x 2 = 0.254, p=0.182) (x 2 = 0.671, p=0.003*) Keterangan: *keterkaitan nyata pada α=0.05 Berdasarkan kategori ambang batas masalah gizi Departemen Kesehatan tahun 2000, sebanyak 34.0 persen wilayah kabupaten/kota di Indonesia memiliki masalah gizi lebih (overnutrition) yaitu dengan prevalensi gizi lebih melebihi 5 persen. Terdapat sebanyak 32.4 persen wilayah perdesaan yang mengalami masalah gizi lebih. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah gizi lebih adalah sebanyak 39.0 persen. Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi lebih dengan tipe wilayah (x 2 = 0.254, p=0.182). Fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang

5 25 gizi terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat (BPPSDMK 2011). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 56 kabupaten/kota atau 13.4 persen wilayah di Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Rincian data kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda disajikan dalam lampiran 3. Wilayah perdesaan yang memiliki masalah gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen dari keseluruhan wilayah perdesaan. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi ganda dengan tipe wilayah (x 2 = 0.671, p=0.003). Hasil penelitian menunjukkan Sebagian besar wilayah perdesaan (45.3%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah gizi lebih. Akan tetapi sebagian besar wilayah perkotaan (45.0%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah kurang gizi dan juga tidak memiliki masalah gizi lebih. Tabel 8 menyajikan sebaran wilayah dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda tersebar di 22 propinsi di Indonesia. Propinsi dengan proporsi wilayah kabupaten/kota terbanyak yang memiliki masalah gizi ganda adalah Propinsi Jambi. Sebanyak 4 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi memiliki masalah gizi ganda. Selain itu, Propinsi Jambi tidak memiliki kabupaten/kota yang terbebas dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Propinsi Jawa Barat, Bali, Lampung, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang tidak memiliki wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta memiliki proporsi tertinggi wilayah kabupaten/kota yang bebas dari masalah kurang gizi serta masalah gizi lebih secara bersamaan. Lebih dari separuh kabupaten/kota di propinsi tersebut bebas dari kedua masalah tersebut secara bersamaan. Wilayah kabupaten/kota lain yang tidak tidak tercantum dalam tabel merupakan daerah yang tidak memiliki masalah gizi ganda namun memiliki salah satu diantara masalah kurang gizi atau masalah gizi lebih.

6 26 Tabel 8 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas 2007 No Propinsi Total Jumlah Kabupaten/kota Bebas masalah Masalah gizi ganda kurang gizi dan masalah gizi lebih n % n % 1 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia

7 27 Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 9, Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah yang memiliki proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun lebih rendah dari rata-rata nasional atau kurang dari 52.8 persen. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah dengan pengeluaran rumah tangga perkapita yang lebih rendah dari rata-rata nasional, atau kurang dari 273 ribu rupiah/bulan. Masalah gizi ganda juga lebih banyak terjadi di wilayah kabupaten/kota dengan PDRB perkapita wilayah yang lebih rendah dibanding PDRB perkapita nasional. Sebanyak 33 kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda memiliki PDRB perkapita kurang dari 11.1 juta rupiah/tahun. Tabel 9 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut karakteristik sosial ekonomi wilayah Jumlah kabupaten/kota Karakteristik sosial ekonomi Diatas Dibawah rata-rata nasional rata-rata nasional Total Proporsi ibu lulus wajar Pengeluaran rumah tangga perkapita PDRB perkapita Tingkat kemiskinan Dengan demikian, masalah gizi ganda terjadi di wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan rata-rata nasional maupun sebaliknya. Akan tetapi daerah dengan karakteristik sosial ekonomi wilayah yang lebih rendah dari karakteristik sosial ekonomi nasional memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami masalah gizi ganda. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan proporsi ibu lulus wajar, pengeluaran rumah tangga, dan PDRB sangat diperlukan. Selain itu harus pula dilakukan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan, karakteristik sosial ekonomi wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda lebih baik dibandingkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda. Tabel 10 menyajikan karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang memiliki gizi ganda dan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda. Rata-rata proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun di wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 53.7 persen sedangkan di wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 47.2 persen. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 274 ribu rupiah/bulan sementara wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 267

8 28 ribu rupiah/bulan. Rata-rata PDRB perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda sebesar 11.1 juta rupiah/tahun sedangkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 10.8 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 18.0 persen sementara tingkat kemiskinan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 20.5 persen. Tabel 10 Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda Masalah gizi ganda Proporsi Ibu lulus Wajar (%) Pengeluaran rumah tangga perkapita (rupiah) PDRB Perkapita (rupiah) Tingkat Kemiskinan (%) Ada ,092 10,846, Tidak ada ,544 11,088, Total ,679 11,056, Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi, Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun Berdasarkan hasil penelitian, proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=-0.233, p=0.000) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.172, p=0.093). Nilai r yang negatif menunjukkan adanya hubungan kebalikan antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah kurang gizi. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Tabel 11 Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan ** Perkotaan ** Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mahgoub (2006) di Bostwana, Afrika menunjukkan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan penurunan angka kurang gizi pada anak-anak. Tidak terdapatnya hubungan nyata proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun di perkotaan diduga karena ibu di wilayah perkotaan lebih mudah mengakses media-media yang memberikan edukasi terkait kesehatan dan gizi sehingga ibu yang memiliki pendidikan pada tingkat yang lebih rendah pun dapat memiliki pengetahuan

9 29 tentang kesehatan dan gizi sama baiknya dengan ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi darinya. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.293, p=0.001) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=0.031, p=0.551). Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Nurmiati mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga meningkat. Hubungan searah yang terjadi antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi lebih diduga karena peningkatan proporsi hanya seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi tanpa adanya peningkatan pengetahuan gizi. Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=-0.084, p=0.164) maupun di perkotaan (r=-0.022, p=0.841). Hal ini mengindikasikan bahwa ada atau tidaknya peningkatan proporsi ibu yang lulus wajar sembilan tahun tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan suatu wilayah baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mengalami masalah gizi ganda. Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Hasil uji korelasi Moment Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.215, p=0.042) tapi tidak di perdesaan (r=-0.066, p=0.271). Pengeluaran rumah tangga perkapita juga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.224, p=0.032) tapi tidak di perdesaan (r=0.076, p=0.228). Peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tabel 12 Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r r Perdesaan Perkotaan * * Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05

10 30 Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indiaktor yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan masyarakat (Sugianti 2009). Masyarakat yang sejahtera akan memiliki akses terhadap pangan dan kesehatan lebih baik. Tidak terdapatnya hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi dan gizi lebih di perdesaan diduga karena masyarakat di wilayah perdesaan lebih bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan memanfaatkan sumberdaya yang mereka kelola sendiri seperti pangan hasil kebun atau pekarangan rumah. Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 12, tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=0.102, p=0.071) maupun di perkotaan (r=-0.075, p=0.523). Adanya atau tidaknya peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita tidak berhubungan dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda di suatu wilayah perdesaan maupun perkotaan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita PDRB perkapita merupakan indikator makro yang secara agregat dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan (BPS 2009). Tabel 13 menyajikan hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi di perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.023, p=0.681) dan perkotaan (r=-0.155, p=0.132). PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.015, p=0.981) dan perkotaan (r=0.194, p=0.053). Tabel 13 Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan Perkotaan Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.072, p=0.243) dan perkotaan (r=-0.045, p=0.697). Dengan demikian, Ada atau tidaknya peningkatan PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda di wilayah perdesan maupun perkotaan.

11 31 Menurut Gama (2007), hasil pembangunan belum tentu dapat dinikmati oleh semua kalangan, seringkali hanya oleh kelompok minoritas. Angka kemiskinan justru meningkat karena semakin lebarnya kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, maupun masalah gizi ganda diduga karena PDRB perkapita tidak dapat benar-benar mencerminkan kesejahteraan masayarakat karena hasil pembangunan tersebut tidak terdistribusi secara merata pada seluruh masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, tidak adanya hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda diduga karena sebagian besar wilayah kabupaten/kota Indonesia memiliki nilai PDRB perkapita yang rendah. Penelitian Ulfani (2010) menunjukkan bahwa 72.1 persen kabupaten/kota di Indonesia memiliki PDRB perkapita yang rendah yaitu kurang dari 12.1 juta. Dengan demikian, karena sebagian besar wilayah memiliki PDRB yang rendah maka hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda menjadi tidak terlihat. Oleh karena itu, upaya pertumbuhan ekonomi perlu dioptimalkan dalam rangka meningkatkan PDRB perkapita. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan berkaitan dengan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk pangan. Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik (Bappenas 2008). Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.163, p=0.001) tapi tidak di perkotaan (r=0.075, p=0.512). Adanya peningkatan tingkat kemiskinan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.063, p=0.267) maupun di perkotaan (r=-0.086, p=0.434). Tabel 14 Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi Wilayah Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r P Perdesaan 0.163** Perkotaan Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01

12 32 Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.037, p=0.618) dan perkotaan (r=0.083, p=0.442). Dengan demikian, ada atau tidaknya peningkatan tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih dan gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi ganda terjadi baik di wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan diatas angka nasional atau wilayah miskin maupun wilayah tidak miskin. Menurut Kimani-Murage et al. (2010), wilayah yang lebih maju menghadapi masalah gizi lebih. Namun saat ini wilayah miskin yang masih menghadapi masalah kurang gizi juga mulai menghadapi adanya masalah gizi lebih. Hal ini dikarenakan adanya transisi pola makan masyarakat. Hal ini diduga menjadikan kemiskinan tidak berhubungan dengan masalah gizi ganda. Menurut Hasan (2004), hubungan antar dua variabel atau derajat hubungan antarvariabel dapat diukur dengan koefisien korelasi (r). Pada koefisien korelasi yang bernilai 0.20 < r 0.40 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut lemah tapi pasti ada hubungan diantara kedua variabel tersebut. Sedangkan koefisein korelasi yang bernilai 0.40 < r 0.70 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut cukup kuat. Tabel 15 menyajikan hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi ganda. Tabel 15 Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Variabel Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih Masalah gizi ganda r p r p r p Perdesaan Proporsi ibu lulus wajar ** Pengeluaran rumah tangga perkapita PDRB perkapita Tingkat kemiskinan 0.163** Perkotaan Proporsi ibu lulus wajar ** Pengeluaran rumah tangga perkapita * * PDRB perkapita Tingkat kemiskinan Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05 ** berhubungan nyata pada α=0.01 Berdasarkan tabel diatas, terdapat hubungan antara beberapa variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Hubungan

13 33 yang terjadi merupakan hubungan yang lemah, hal ini diduga karena faktor sosial ekonomi bukan merupakan faktor penyebab langsung terhadap terjadinya masalah gizi melainkan penyebab dasar masalah gizi, baik masalah kurang gizi maupun masalah gizi lebih. Sebagaimana yang tertuang dalam kerangka pikir Unicef tentang masalah gizi. Menurut Unicef (1997) dalam WHO (2008), penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi sementara sosial ekonomi merupakan penyebab dasar. Kerangka pikir Unicef juga menunjukkan bahwa masalah gizi merupakan masalah yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang sangat kompleks. Hubungan yang lemah antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi semakin menunjukkan masalah gizi sebagai masalah yang kompleks dan penanganannya tidak hanya dilakukan dengan menangani satu aspek saja, atau dalam hal ini variabel sosial ekonomi saja. Akan tetapi terdapatnya hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi mengindikasikan bahwa kondisi sosial ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia dengan status gizi yang baik. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini menguatkan hipotesis banyak peneliti yang menyatakan bahwa masalah gizi ganda merupakan masalah yang banyak dialami oleh negara-negara berkembang (Kimani-Murage et al. 2010). Kejadian masalah gizi ganda semakin meningkat di berbagai negara berkembang seiring dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Hal ini ditandai dengan adanya transisi masalah gizi, yaitu masih tingginya masalah kurang gizi dan makin meningkatnya masalah gizi lebih (FAO 2006).

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi LAMPIRAN 1 PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 Status Gizi No Provinsi Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) 1 Aceh 7,9 18,4

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 16 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan desain cross-sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor lainnya. Sejalan dengan itu, sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN

LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN SAMBUTAN Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, MA LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN 2011-2015 Jakarta, 28 Februari 2011

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI KALIMANTAN UTARA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI GORONTALO TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Gorontalo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA

HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA HUBUNGAN KARAKTERSITIK SOSIAL EKONOMI WILAYAH DENGAN MASALAH GIZI GANDA PADA KELOMPOK USIA BALITA DI WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN INDONESIA DEWI RATIH DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. sulit diharapkan untuk berhasil membangun bangsa itu sendiri. (Hadi, 2012). 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018

- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 - 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014 PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014 1 Jumlah kabupaten/kota 8 Tenaga Kesehatan di fasyankes Kabupaten 9 Dokter spesialis 134 Kota 2 Dokter umum 318 Jumlah 11 Dokter gigi 97 Perawat 2.645 2 Jumlah

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI BANTEN TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Banten

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP 27 November 2014 KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga

Lebih terperinci

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154 ALOKASI ANGGARAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN YANG DILIMPAHKAN KEPADA GUBERNUR (Alokasi Anggaran Dekonsentrasi Per Menurut Program dan Kegiatan) (ribuan rupiah) 1 010022 : DKI Jakarta 484,909,154

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013)

Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013) Lampiran Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013) Berikut ini beberapa contoh perhitungan dari variabel riskesdas yang menyajikan Sampling errors estimation

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/9/13/Th. XIX, 1 ember 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,331 Pada 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.46/07/52/Th.I, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,371 Pada

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keterlibatan ibu rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. Kompleksnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara. LAMPIRAN I ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Koefisien = 5 Koefisien = 4 Koefisien = 3 Koefisien = 2 Koefisien = 1 Koefisien = 0,5 DKI Jakarta Jawa Barat Kalimantan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan. No.526, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG BIAYA PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI BAGI BUPATI DAN WAKIL BUPATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO,

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

RINGKASAN DATA DAN INFORMASI KEMISKINAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 2016 ISSN : 2528-2271 Nomor Publikasi : 53520.1702 Katalog : 3205008.53 Jumlah halaman : viii + 24 halaman Ukuran : 21 cm x 14,5 cm

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 No. 41/07/36/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 GINI RATIO PROVINSI BANTEN MARET 2017 MENURUN Pada 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten yang diukur

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

2

2 2 3 c. Pejabat Eselon III kebawah (dalam rupiah) NO. PROVINSI SATUAN HALFDAY FULLDAY FULLBOARD (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. ACEH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena 17 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi pada anak masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Salah

Lebih terperinci

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan. S ensus Penduduk, merupakan bagian terpadu dari upaya kita bersama untuk mewujudkan visi besar pembangunan 2010-2014 yakni, Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 28,55 JUTA ORANG Pada bulan September 2013, jumlah

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN No.12/02/Th.XI, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,392 Pada ember 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011 TABEL 1 GAMBARAN UMUM No. Provinsi Lembaga Pengelola Pengunjung Judul Buku 1 DKI Jakarta 75 83 7.119 17.178 2 Jawa Barat 1.157 1.281 72.477 160.544 3 Banten 96 88 7.039 14.925 4 Jawa Tengah 927 438 28.529

Lebih terperinci

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D.

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. ANALISIS BENCANA DI INDONESIA BERDASARKAN DATA BNPB MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING DATA MINING MAHESA KURNIAWAN 54412387 Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. Bencana merupakan peristiwa yang dapat

Lebih terperinci

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN 2010-2014 NINA SARDJUNANI Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Rakornas

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG KEPUTUSAN NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG PENETAPAN NAMA NAMA PENERIMA DANA PROGRAM ASISTENSI SOSIAL LANJUT USIA TAHUN 2012 Menimbang :, a. bahwa jumlah lanjut usia yang membutuhkan perhatian dan penanganan

Lebih terperinci

SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016

SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016 SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016 1 PILAR 1 PILAR 2 PILAR 3 SURVEI NASIONAL 2013 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan Otoritas Jasa Keuangan untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Responden Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2017 dengan menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2013 dan SKMI 2014 yang diperoleh dari laman resmi

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Semester II Tahun 2013 GROUP PENJAMINAN DIREKTORAT PENJAMINAN DAN MANAJEMEN RISIKO 0 DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik 1 3 Pertumbuhan Simpanan pada

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengumpulan Data Data yang berhasil dikumpulkan dan akan digunakan pada penelitian ini merupakan data statistik yang diperoleh dari a. Biro Pusat Statistik (BPS)

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, - 1 - SALINAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan prioritas pembangunan nasional karena kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi, kemiskinan tidak terbatas sekedar pada ketikdakmampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara, dimana pembangunan mengarah pada proses untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014 BADAN PUSAT STATISTIK No. 52/07/Th. XVII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 28,28 JUTA ORANG Pada Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG SALINAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA DEKONSENTRASI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN ANGGARAN 2017 MENTERI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gizi merupakan salah satu masalah kesehatan di berbagai negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Masalah gizi ini diikuti dengan semakin bertambahnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita 6 TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat

Lebih terperinci

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang 121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAN PROFIL PENDERITA DIABETES

BAB II DESKRIPSI DAN PROFIL PENDERITA DIABETES BAB II DESKRIPSI DAN PROFIL PENDERITA DIABETES 2.1 Deskripsi Diabetes Diabetes adalah penyakit yang disebabkan oleh pola makan/nutrisi, kebiasaan tidak sehat, kurang aktifitas fisik, dan stress. Penderita

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 10,64 PERSEN No. 66/07/Th. XX, 17 Juli 2017 Pada bulan Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG DATA SASARAN PROGRAM KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SEKRETARIS

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Triwulan III-2017 Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 73/11/52/Th.VIII, 6 Nopember 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) TRIWULAN III-2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK No. 35/07/91 Th. XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,390 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Indeks Tendensi Konsumen III-2017 Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 10/11/53/Th. XX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Indeks Tendensi Konsumen III-2017 Secara umum kondisi ekonomi dan tingkat optimisme

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi KATA PENGANTAR Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini disusun untuk menyediakan beberapa data/informasi kesehatan secara garis besar pencapaian program-program kesehatan di Indonesia. Pada edisi ini selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 12/02/52/Th.X, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT PADA TRIWULAN IV 2015 TUMBUH 11,98 PERSEN Sampai dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang memiliki lima tujuan pokok. Salah satu tujuan pokok

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 5/01/76/Th. X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 SEBANYAK 153,21 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci