HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Bambang Tedja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi Samudera Pasifik, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (BPS 2011). Ketinggian wilayah di Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut ketinggian wilayah Papua berkisar antara meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan ketinggian terendah yaitu 4 mdpl. Berdasarkan keadaan topografi, wilayah pesisir Papua umumnya merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara mdpl (BPS 2011). Seperti provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua memiliki iklim tropis yang di pengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2010, hujan turun setiap bulannya dengan jumlah hari dan curah hujan masing-masing 202 hari dan mm. suhu udara di Papua berkisar antara 14,8 0 C-32,1 0 C dan tekanan udara 834, ,3 mb. Sedangkan kelembaban udara rata-rata persen dengan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Curah hujan yang relatif tinggi dan wilayah yang dimiliki sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkannya sektor pertanian di Papua mengingat hampir 30 persen perekonomian tanpa tambang berasal dari sektor tersebut (BPS 2011). Provinsi Papua mempunyai kelembaban relatif tinggi dimana pada tahun 2010 rata-rata kelembaban udara berkisar antara 77 persen (Kabupaten Jayawijaya- stasiun Wamena) dan 86 persen (Nabire) sedangkan tekanan udara antara 834, ,3 mb dan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Jumlah gempa bumi yang dirasakan di Papua selama tahun 2010 sebanyak 82 kali, lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 60 kali (BPS 2011). Peta papua dapat dilihat pada Lampiran 1. Demografi dan Sosial Ekonomi Provinsi Papua merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu ,05 km 2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Marauke merupakan
2 24 kabupaten/kota terluas (56,84 persen) dan kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Papua sebanyak jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi Papua sebanyak jiwa (53,15 persen) dan perempuan sebanyak jiwa (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio) terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di Kabupaten Dogiyai sebesar 102 (BPS 2011). Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tolikara adalah tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk Papua massih berpusat di Kota Jayapura (BPS 2011). Kepadatan penduduk di Provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Dengan luas wilayah ,89 km 2, kepadatan penduduk di Papua hanya 4 jiwa per km 2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 327 jiwa per km 2, sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Marauke yakni kurang dari 1 jiwa per km 2. Penduduk Papua berdasarkan kelompok umur ternyata didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun). Kecilnya proporsi penduduk usia tua (kelompok usia 55 tahun ke atas) menunjukkan bahwa tingkat kematian penduduk usia lanjut sangat tinggi. Ini berarti bahwa angka harapan hidup di Papua masih rendah (pada tahun 2009, angka harapan hidup di Papua 68,35 tahun). Selain itu, komposisi penduduk seperti diatas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) di Papua cukup tinggi, yaitu persen (BPS 2011). Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan
3 25 antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990). Sumber pangan spesifik lokal Papua seperti ubi jalar, talas, gembili, sagu, dan jawawut telah dibudidayakan oleh masyarakat asli Papua secara turun temurun. Komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat Papua. Husain (2004) menyatakan, pangan lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (suatu wilayah/ daerah tertentu) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Dengan demikian, pangan lokal Papua adalah pangan yang diproduksi di Papua dengan tujuan ekonomi atau produksi. Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung pengembangan komoditas pertanian, terutama komoditas pangan spesifik lokal. Namun, pengembangan komoditas tersebut tidak merata di dataran Papua, kecuali ubi jalar yang dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Selain ubi jalar, sagu juga merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua, terutama yang berdomisili di dataran rendah atau di pesisir pantai atau danau. Sagu tumbuh baik pada daerah rawa, meskipun dapat pula tumbuh di daerah kering. Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki hutan sagu terluas di Indonesia. Widjono et al. (2000) menemukan 61 aksesi sagu melalui survei yang dilakukan di daerah Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Jumlah aksesi tersebut masih memungkinkan bertambah karena survei baru dilakukan di sebagian wilayah potensial sagu di Papua. Sumber pangan alternatif yang beragam di Papua, mulai dari umbiumbian, serealia, buah-buahan, dan bahkan tanaman obat dapat menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat setempat sehingga terhindar dari kekurangan gizi (malnutrition) atau kelaparan. Namun, sosialisasi pemanfaatan sumber pangan alternatif tersebut belum dilakukan secara bijak dan berkelanjutan. Selain itu, masyarakat mulai bergantung pada sumber pangan beras karena selain enak juga mudah diperoleh. Hal tersebut merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah yang hanya terfokus pada terjaminnya ketersediaan beras. Kebijakan tersebut tanpa disadari telah mengubah menu karbohidrat masyarakat dari nonberas ke beras, terutama pada daerah yang secara tradisional mengonsumsi pangan bukan beras, seperti kawasan timur Indonesia (Budi 2003).
4 26 Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua Pembangunan di Provinsi Papua yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dilakukan melalui kegiatan pembangunan di berbagai sektor bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk mewujudkan keadaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penting dan mendasar adalah faktor pangan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, dan sagu. Pangan lokal tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar dan talas sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas. Menurut Hardinsyah et al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Namun, analisis konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap aspek kualitas konsumsi. Kualitas konsumsi dapat dinilai dari aspek komposisi atau keragaman dan mutu gizi pangan dikonsumsi. Analisis kualitas konsumsi pangan atau skor mutu konsumsi dapat dilakukan menggunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH maka semakin beragam dan berimbang pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu analisis situasi konsumsi pangan Provinsi Papua dilakukan dengan mengamati analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
5 27 Kuantitas Konsumsi Pangan Analisis kuantitatif dilakukan terhadap konsumsi pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP). Konsumsi Energi Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya, diantaranya menurunkan produktifitas kerja, kecerdasan, dan imunitas. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004 menetapkan konsumsi kalori per kapita per hari adalah 2000 kkal. Konsumsi energi menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan. Tabel 5 Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi energi pada tahun 2008 menurut kelompok pangan padi-padian adalah 1060 kkal/kap/hr (53.0 %AKE), umbiumbian adalah 92 kkal/kap/hr (4.6 %AKE), pangan hewani adalah 222 kkal/kap/hr (11.1 %AKE), minyak/lemak adalah 241 kkal/kap/hr (12.1 %AKE), buah/ biji berminyak adalah 29 kkal/kap/hr (1.5 %AKE), kacang-kacangan adalah 52 kkal/kap/hr (2.6 %AKE), gula adalah 106 kkal/kap/hr (5.3 %AKE), sayur dan buah adalah 81 kkal/kap/hr (4.1 %AKE), dan pangan lainnya adalah 26 kkal/kap/hr (1.3 %AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi mengalami penurunan menurut kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan
6 28 hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Kemudian konsumsi energi menurut kelompok pangan meningkat kembali pada tahun Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kelompok pangan padipadian lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pangan umbi-umbian di wilayah perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh preferensi pangan masyarakat terutama di wilayah perkotaan yang masih memilih padi-padian sebagai makanan pokok sumber energi dalam hal ini adalah beras. Dimana masyarakat perkotaan di Provinsi Papua lebih di dominasi oleh pendatang dari luar Papua yang terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan lainnya (BPS 2011). Tabel 6 Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, gula, dan pangan lainnya mengalami penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai Kelompok pangan umbi-umbian masih mendominasi dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya dari tahun 2008 sampai tahun Hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan Papua yang dominan adalah penduduk asli Papua yang masih mengutamakan konsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi. Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah, pangan lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, dan gula mengalami
7 29 penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai Hal ini diduga karena adanya keterbatasan untuk membeli bahan pangan, faktor sosial budaya, dan preferensi masyarakat terhadap pangan (Wahidah 2005). Tabel 7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Papua mengalami flutuatif dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1910 kkal/kap/hr, 1807 kkal/kap/hr, dan 1879 kkal/kap/hr. Pertumbuhan konsumsi energi di wilayah perkotaan mengalami penurunan 15.5 kkal/kap/hr (0.68%). Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan konsumsi energi di Provinsi Papua maupun nasional pada tahun 2009 (DKP 2012). Tabel 8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Konsumsi Tingkat Kecukupan Wilayah Pertumbuhan kkal/kap/hr %AKE* kkal/kap/hr %AKE % Perkotaan Pedesaan Perkotaan+Pedesaan *Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari Secara kuantitas tingkat kecukupan energi di perkotaan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.5 %AKE, 90.4 %AKE, dan 94.0 %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan Papua dan perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan Papua. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 1976 kkal/kap/hr (98.8 %AKE), 1891 kkal/kap/hr (94.6 %AKE), dan 1884 kkal/kap/hr (94.2 %AKE) (DKP 2012). Konsumsi energi di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 60.5 kkal/kap/hr (3.16%). Peningkatan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. Konsumsi energi di wilayah
8 30 pedesaaan tahun 2010 melebihi rekomendasi WNPG Hal ini diduga karena aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar sehingga seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Di wilayah pedesaan tingkat kecukupan energi dari tahun 2008 sampai 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.2 %AKE, 99.6 %AKE, dan %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan Papua dan pedesaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di pedesaan Indonesia cenderung menurun dibandingkan dengan pedesaan Papua. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi di wilayah pedesaan mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. sedangkan tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah pedesaan mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2095 kkal/kap/hr (104.8 %AKE), 1961 kkal/kap/hr (98.1 %AKE), dan 1966 kkal/kap/hr (98.3 %AKE) (DKP 2012). Tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Papua mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1906 kkal/kap/hr, 1950 kkal/kap/hr, dan 1993 kkal/kap/hr. Namun tidak demikian dengan tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2038 kkal/kap/hr (101.9 %AKE), 1927 kkal/kap/hr (96.4 %AKE), dan 1926 kkal/kap/hr (96.3 %AKE) (DKP 2012). Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan+ pedesaan Papua dan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan+ pedesaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan+ pedesaan Papua. Menurut Regmi dan Dyck (2001) terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara pedesaan dan perkotan adalah perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit sedangkan aktivitas penduduk di pedesaan umumya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa
9 31 ataupun prestise, sehingga alokasi pangan lebih pada pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Konsumsi Protein Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah & Matianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi. Kecukupan protein menurut WNPG 2004 adalah 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan. No Tabel 9 Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 Kelompok Pangan g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai 2010 berada di atas standar nasional sebesar 52 gramkapita/hari yaitu pada tahun 2008 adalah 56.0 gram/kapita/hari (107.6%), 53.9 gram/kapita/hari (103.7%) pada tahun 2009, dan 57.6 gram/kapita/hari (110.7%) pada tahun Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan masih didominasi oleh padi-padian dan pangan hewani dari
10 32 tahun 2008 sampai tahun Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan. Menurut Pudjiadi (2001), protein hewani lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan protein nabati. Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2005). Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 13.9 g/kap/hr (26.7 %AKP), umbi-umbian adalah 4.9 g/kap/hr (9.5 %AKP), pangan hewani adalah 14.4 g/kap/hr (27.7 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.1 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.6 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.3 g/kap/hr (10.2 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.4 g/kap/hr (8.5 %AKP), dan pangan lainnya adalah 0.9 g/kap/hr (1.7 %AKP). No Tabel 10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 Kelompok Pangan g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan yaitu pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Rendahnya konsumsi protein hewani di pedesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan terbatas, masyarakat di wilayah pedesaan Papua lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu masyarakat telah merasa cukup atau
11 33 kebutuhan pangan hewani sudah terpenuhi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh preferensi pangan dan pendapatan masyarakat terutama di wilayah pedesaan (Wahidah 2005). Tabel 11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 16.3 g/kap/hr (31.3 %AKP), umbi-umbian adalah 3.9 g/kap/hr (7.6 %AKP), pangan hewani adalah 15.7 g/kap/hr (30.3 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.2 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.7 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.2 g/kap/hr (10.1 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.2 g/kap/hr (8.1 %AKP), dan pangan lainnya adalah 1.0 g/kap/hr (2.0 %AKP). Kemudian tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan pangan padi-padian, umbiumbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan (Tabel 12). Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demkian penduduk akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam. Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi protein di perkotaan+pedesaan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 cenderung fluktuatif namun konsumsi protein masih kurang dari 52 gram/kapita/hari. Pada tahun 2008 konsumsi
12 34 protein adalah 46.9 gram/kap/hari atau mencapai 90.2 %AKP. Kemudian meningkat pada tahun 2009 yaitu 49.7 gram/kap/hari atau mencapai 95.7 %AKP dan konsumsi protein menurun pada tahun 2010 yaitu 48.1 gram/kap/hari atau mencapai 92.7 %AKP dengan pertumbuhan 0.60 g/kap/hr (1.48%). Tabel 12 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Konsumsi Tingkat Kecukupan Wilayah Pertumbuhan gram/kapita/hari %AKP* g/kap/hr %AKP % Perkotaan Pedesaan Perkotaan+Pedesaan *Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari Konsumsi protein di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 melebihi angka kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah perkotaan adalah 56.0 gram/kapita/hari atau %AKP. Pada tahun 2008 tingkat kecukupan protein menurun dari tahun Meskipun demikian tingkat kecukupan protein di wilayah perkotaan masih melebihi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 59,2 gram/kapita/hari atau persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah perkotaan meningkat kembali pada tahun 2010 sebesar 57.6 gram/kapita/hari atau persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan tahun adalah 0.80 g/kap/hr (1.56%). pertumbuhan konsumsi protein di wilayah perkotaan setiap Konsumsi protein di wilayah pedesaan belum mencukupi angka kecukupan protein sebesar 52 gram/kapita/hari dari tahun 2008 sampai tahun Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah pedesaan adalah 44.2 gram/kapita/hari atau 85.0 persen dari angka kecukupan protein. Tingkat kecukupan protein pada tahun 2009 meningkat dari tahun Meskipun demikian masih belum mencukupi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu sebesar 48.5 gram/kapita/hari atau 93.3 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein di wilayah pedesaan menurun kembali pada tahun 2010 sebesar 45.3 gram/kapita/hari atau 87.0 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini dibuktikan dengan laju pertumbuhan konsumsi protein di wilayah pedesaan setiap tahun adalah 0.55 (1.51%). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan Papua lebih tinggi dari pada konsumsi protein di wilayah pedesaan
13 35 Indonesia. Hal ini juga didukung dengan konsumsi protein di wilayah perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan perkotaan (DKP 2012). Hal ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan daya beli penduduk dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam dan lebih banyak dibandingkan di desa. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Menurut Hardinsyah, Madanijah, dan Baliwati (2002) Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosiobudaya dan religi. Kualitas Konsumsi Pangan Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas konsumsi pangan penduduk melalui pendekatan PPH dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya. FAO-RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya (Baliwati 2007). Melalui pendekatan PPH mutu atau kualitas konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Menurut Anwar (1996), disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah derajat kesehatan penduduk lebih terjamin karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi. Menurut Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. komposisi/ susunan komposisi ideal yang dianjurkan untuk tingkat konsumsi adalah padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Susunan pangan sesuai kaidah PPH
14 36 sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan. Kualitas konsumsi pangan di Provinsi Papua dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan pada tahun 2008, 2009, dan Tabel 13 menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan+ pedesaan mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah 78.7 pada tahun 2008, tahun 2009 adalah 80.8, dan tahun 2010 adalah 81.0 dengan pertumbuhan setiap tahun adalah 1.46%. Skor Pola Pangan Harapan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 83.2, 80.8, dan 88.2 dengan pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 3.14%. Tabel 13 Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Wilayah Skor PPH Pertumbuhan % Perkotaan Pedesaan Perkotaan+ Pedesaan Skor Pola Pangan Harapan di wilayah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah perkotaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah 76.5, 80.2, dan 78.6 dengan laju pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 1.42%. Hal ini menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan belum ideal disebabkan oleh kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi (kualitas konsumsi pangan) penduduk di Provinsi Papua. Apabila dibandingkan dengan skor PPH Papua dengan Indonesia, dapat diketahui bahwa skor PPH Papua lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia Hal ini ditunjukkan dengan skor PPH Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 81.9, 75.7, dan 77.5 (DKP 2012). Menurut Baliwati (2007) semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Secara rinci skor PPH menurut jenis pangan terdapat pada Lampiran 2. Dari hasil analisis dengan pendekatan PPH yang perlu digarisbawahi adalah kelompok pangan umbi-umbian telah mencapai skor maksimal baik di
15 37 wilayah perkotaan maupun di pedesaan Papua. Konsumsi ideal dari kelompok pangan ini adalah 6.0% dari angka kecukupan dan skornya 2.5. Atas dasar alasan tersebut maka dikatakan bahwa konsumsi pangan di Provinsi Papua belum mencapai jumlah yang ideal. Menurut Martianto dan Ariani (2004), konsumsi yang masih di bawah konsumsi harapan memerlukan upaya-upaya serius untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan guna mencapai pola pangan ideal. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis pangan bermutu dengan harga terjangkau. Tabel 14 Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua tahun No Kelompok pangan %AKE %AKE Pertumbuhan ideal % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Tabel 14 menunjukkan bahwa kontribusi energi meningkat dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 dengan pertumbuhan 2.28 persen setiap tahun. Kontribusi energi dari kelompok umbi-umbian masih mendominasi konsumsi penduduk dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 26.3 %AKE, 26.6%AKE, dan 29.9 %AKE. Oleh karena itu, pertumbuhan kontribusi energi kelompok pangan umbi-umbian harus diturunkan sebesar 6.77 persen setiap tahun agar mencapai kontribusi energi ideal. Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) dan umbi-umbian merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu dan umbi-umbian tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang dan nasi.
16 38 Kontribusi energi kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lain-lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 5.91%, 8.63%, 4.07%, 5.90%, dan 3.17%. Namun kontribusi energi dari kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah, dan pangan lainlainnya masih belum sesuai dengan kontribusi ideal masing-masing kelompok pangan tersebut. Kontribusi energi dari kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 1.43%, 2.11%, dan 11.54%. Menurut Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai pola pangan harapan (PPH), maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Tabel 15 Skor PPH menurut kelompok pangan Provinsi Papua tahun No Kelompok pangan Skor PPH Pertumbuhan Ideal % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Tabel 15 menunjukkan bahwa skor PPH di Provinsi Papua meningkat dari tahun 2008 sampai dengan 2010 masing-masing adalah 78.7, 80.8, dan Namun peningkatan skor PPH tersebut masih jauh dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 yaitu 90 yang berarti masih kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi penduduk di Provinsi Papua. Hal ini ditunjukkan dengan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, gula, sayur dan buah masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun Skor PPH kelompok pangan minyak/lemak, kacang-kacangan gula, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 dengan pertumbuhan masing-masing adalah 1.02%, 7.95%, 2.28%, dan 5.32%, namun skor PPH masih kurang dari standar pelayanan minimum (SPM) tahun Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan penduduk agar mencapai pola konsumsi pangan sesuai standar pelayanan minimum (SPM) tahun 2015 (PPH=90), maka diperlukan upaya-upaya yang lebih serius. Upaya-
17 39 upaya tersebut adalah tidak hanya pada sisi penyediaan, tetapi harus dapat langsung mempengaruhi perbaikan mutu gizi penduduk/ masyarakat, diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Melalui peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya akan lebih baik, sehingga dapat memilih jenis-jenis pangan bermutu gizi tinggi dengan harga terjangkau. Proyeksi Konsumsi Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Apabila evaluasi terhadap skor mutu gizi pangan daerah sudah dilakukan, maka pada tahap selanjutnya dilakukan penyusunan target (proyeksi) skor PPH yang akan dicapai. Skor PPH dan komposisi PPH ini menggambarkan mutu gizi dan komposisi pangan yang akan dicapai. Berdasarkan Renstra Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, diharapkan secara nasional Indonesia mampu mencapai skor PPH 100 pada tahun Proyeksi pangan ideal yang dimaksud dalam analisis ini adalah tercapainya konsumsi yang baik secara kuantitas dan kualitas yang digambarkan dengan tercapainya target skor PPH pada tahun 2015 adalah 90 sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Tabel 16 menunjukkan bahwa skor PPH Provinsi Papua harus ditingkatkan minimal 1,9 poin setiap tahunnya hingga mencapai skor PPH 90 sesuai standar pelayanan minimum (SPM) pada tahun Penyusunan proyeksi skor PPH Provinsi Papua dari tahun 2010 sampai tahun 2015 dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi linear. Interpolasi linear juga dilakukan terhadap komposisi pangan. Dengan demikian peningkatan skor PPH setiap tahun akan meningkatkan proporsi setiap kelompok pangan secara bertahap. Tabel 16 Proyeksi Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi Papua berdasarkan konsumsi pangan tahun dasar 2010 Tahun No Kelompok pangan Dasar Proyeksi skor PPH Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Konsumsi pangan yang masih perlu ditingkatkan adalah kelompok pangan padi-padian (4.32%), pangan hewani (3.00%), buah/biji berminyak (10.19%), gula (2.86%), serta sayur dan buah (0.71%). Karena tidak satupun
18 40 jenis makanan yang mengandung secara lengkap zat gizi pada menu makanan untuk konsumsi pangan penduduk yang beragam dan sesuai kebutuhan. Sedangkan skor PPH telah mencapai maksimal atau ideal adalah kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) telah memenuhi skor ideal. Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa pertumbuhan proyeksi kontribusi energi menurut kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya setiap tahun adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacangkacangan, gula, sayur dan buah, dan kelompok pangan lainnya masing-masing adalah 4.26 persen, 3.10 persen, persen, 2.91 persen, 1.88 persen, 0.71 persen, dan persen agar mencapai kontribusi energi ideal. Hal lain yang perlu di perhatikan dan di waspadai adalah konsumsi pangan sumber minyak dan lemak yang sudah berlebih. Kelebihan pangan ini akan membawa dampak negatif pada kesehatan terutama penyakit degenerative seperti tekanan darah tinggi, jantung, dan lain sebagainya. Tabel 17 Proyeksi kontribusi energi terhadap Angka Kecukupan Energi (%AKE) menurut kelompok pangan (%) Tahun Kontribusi Energi terhadap AKE No Kelompok pangan Dasar (%AKE) Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total Proyeksi kontribusi energi kelompok umbi-umbian adalah 29.9% pada tahun 2010 (tahun dasar) melebihi proporsi ideal (Tabel 17), sehingga dilakukan proyeksi untuk mencapai kontribusi ideal umbi-umbian (6.0%) mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk/ masyarakat di Provinsi Papua terutama di wilayah pedesaan bermata pencaharian sebagai petani atau berkebun dengan tanaman umbi sebagai salah satu komoditas sebagai makanan pokok. Selain itu juga menunjukkan arah positif karena konsumsi energi tidak hanya bergantung pada kelompok padi-padian saja
19 41 sehingga dapat dikatakan konsumsi pangan penduduk telah mengarah pada konsumsi pangan yang beragam. Skor kelompok pangan padi-padian diproyeksikan meningkat setiap tahun sebesar 0.8. Pada tahun 2010 skor padi-padian mencapai 17.0 dengan proporsi konsumsi energi 34.1%. untuk mencapai skor PPH 90 sesuai Standar Pelayanan Mimimum (SPM) pada tahun 2015 maka skor padi-padian adalah 21.0 dengan proporsi konsumsi energi adalah 42.0%. Peningkatan skor pangan hewani diproyeksikan 0.6 per tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 18.2 dengan proporsi konsumsi energi adalah 9.1%. Skor pangan hewani pada tahun 2015 adalah 21.1 dengan kontribusi energi 10.6% sehingga proporsi sesuai standar pelayanan minimum (SPM) yaitu 10.8% dapat terpenuhi pada tahun Sedangkan skor pangan minyak dan lemak setiap tahun adalah stabil yaitu 5.0 dengan proporsi sesuai SPM yaitu 9% pada tahun Peningkatan skor pangan buah/biji berminyak diproyeksikan 0.1 per tahun sehingga pada tahun 2010 diharapkan dapat mencapai skor 0.5 dengan proporsi konsumsi energi adalah 1.0%. Skor pangan buah/biji berminyak pada tahun 2015 adalah 0.8 dengan kontribusi energi yaitu 2.0% sehingga proporsi sesuai SPM adalah 2.7% dapat terpenuhi pada tahun Kelompok kacangkacangan diproyeksikan terjadi peningkatan skor sebesar 0.3. pada tahun 2010 skor kacang-kacangan mencapai 7.8 dengan proporsi 3.5%. Skor kacangkacangan pada tahun 2015 adalah 8.9 dengan kontribusi energi 4.5% sehingga proporsi sesuai SPM dapat terpenuhi pada tahun Target skor dan kontribusi gula pada tahun 2010 adalah 2.0 dan 4.1%. Kelompok sayur dan buah diharapkan meningkat 0.2 sehingga skor pada tahun 2010 adalah 27.9 dan kontribusi energi sebesar 5.6%. oleh karena itu target skor dan kontribusi pada tahun 2015 masing-masing adalah 28.9 dan 5.8%. Sesuai standar pelayanan minimum (SPM) sebesar 5.4% target proporsi sudah tercapai pada tahun Kelompok pangan lain-lainnya yang mencakup minuman dan bumbu- bumbuan sangat penting peranannya dalam pola konsumsi penduduk yaitu sebagai penambah cita rasa dan pembangkit selera. Pada tahun 2010 konsumsi pangan lainnya mempunyai skor 0 (karena bobot/ratingnya 0) dengan kontribusi 0.9%. Pola konsumsi pangan penduduk di Provinsi Papua pada tahun 2010 juga belum memenuhi kaidah gizi baik dari segi kuantitas, kualitas keragaman
20 42 maupun keseimbangan karena masih terjadi ketimpangan terutama pada kelebihan kelompok pangan umbi-umbian, minyak dan lemak, serta sayur dan buah sedangkan kelompok pangan yang masih perlu ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak,dan gula. Kondisi ini mencerminkan pola konsumsi pangan di Provinsi Papua masih didominasi oleh kelompok pangan umbi-umbian. Analisis proyeksi konsumsi pangan dari tahun 2011 sampai 2015 diharapkan meningkat setiap tahun (Tabel 18). Tabel 18 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 rata- rata konsumsi energi setiap kelompok pangan di Provinsi Papua masih dibawah standar nasional yaitu 2000 kkal/kapita/hari yaitu 1993 kkal/kapita/hari. Namun diharapkan setiap tahunnya terjadi peningkatan hingga mencapai standar nasional sebesar 2000 kkal/kapita/hari pada tahun 2020 dan mencapai standar pelayanan minimum pada tahun 2015 di Provinsi Papua sebesar 1996 kkal/kapita/hari. Tabel 18 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (kkal/kapita/hari) No Kelompok Pangan Tahun dasar Proyeksi konsumsi (kkal/kap/hr) Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Pertumbuhan proyeksi konsumsi pangan umbi-umbian dan minyak/lemak harus diturunkan masing-masing 9.69 persen dan 0.98 persen setiap tahun. Hal ini disebabkan konsumsi pangan kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/lemak pada tahun 2010 (tahun dasar) sudah melebihi konsumsi ideal. Proyeksi konsumsi pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya dari tahun 2011 sampai 2015 adalah kelompok pangan padi-padian (4.29%), pangan hewani (3.01%), buah/ biji berminyak (14.12%), kacang-kacangan (2.61%), gula (2.13%), sayur dan buah (0.76%), dan pangan lainnya (17.28%). Tabel 19 berikut ini menggambarkan hasil analisis proyeksi konsumsi untuk setiap kelompok pangan dari tahun 2011 sampai Diharapkan pada tahun 2015, penduduk di Provinsi Papua mengonsumsi pangan kelompok padipadian sekitar gram/kapita/hari. Kelompok umbi-umbian sebesar gram/kapita/hari; gram/kapita/hari dari kelompok pangan hewani; 26.3
21 43 gram/kapita/hari dari kelompok minyak dan lemak; 6.7 gram/kapita/hari dari buah/biji berminyak; 31.2 gram/kapita/hari dari kelompok kacang-kacangan; 27.3 gram/kapita/hari dari kelompok gula; gram/kapita/hari dari kelompok sayur dan buah serta 9.7 gram/kapita/hari berasal dari kelompok pangan lain-lain. Tabel 19 Proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan (gram/kapita/hari) No Kelompok Pangan Tahun dasar Proyeksi konsumsi (gram/kap/hr) Pertumbuhan % 1 Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Pertumbuhan konsumsi kelompok pangan umbi-umbian dan minyak/ lemak harus diturunkan karena sudah melebihi konsumsi ideal dari kelompok pangan tersebut. Sedangkan kelompok pangan yang harus ditingkatkan konsumsinya adalah kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta pangan lainnya masing-masing adalah 4.29 persen, 3.02 persen, persen, 2.63 persen, 2.19 persen, 0.76 persen, dan persen. Secara rinci proyeksi konsumsi pangan menurut jenis pangan dapat dilihat pada Lampiran 3. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007). Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga memberi keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola
METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan
METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan
17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional
Lebih terperinciBAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.
I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen
Lebih terperinciKAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI
KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk
Lebih terperinciPOLA PANGAN HARAPAN (PPH)
PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi
Lebih terperinciBuletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun
DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data
20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri
Lebih terperinciKOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN
KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya (BKP, 2013). Menurut
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan
4 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Menurut UU No 7 tahun 1997, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah ataupun produk turunannya
Lebih terperinciPENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian
Lebih terperinciDINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN
DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN Tri Bastuti Purwantini PENDAHULUAN Banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pangan
Lebih terperinci5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi
Lebih terperinci22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan
Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN Pengantar Survei Konsumsi Pangan Tujuan Survei Konsumsi Pangan Metode berdasarkan Jenis Data yang diperoleh Metode berdasarkan Sasaran Pengamatan Neraca Bahan Makanan Pola
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya
5 TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan
Lebih terperinci1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN
BAHASAN 1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN NUHFIL HANANI AR UNIVERSITAS BAWIJAYA Disampaikan
Lebih terperinciKEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA. Letak dan Luas
37 KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA Letak dan Luas Kabupaten Jayapura secara yuridis sudah dimekarkan sesuai Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2002 menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura dengan
Lebih terperinciDATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014
DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -
IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional
III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Menurut Balitbang (2008), Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi
Lebih terperinciIV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
5 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.1. Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua
BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi
Lebih terperinciANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA CAHAYA IRIANI SIAGIAN
ANALISIS SITUASI DAN KEBUTUHAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI PAPUA CAHAYA IRIANI SIAGIAN DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRACT CAHAYA IRIANI SIAGIAN.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi
Lebih terperinciPENDAHULUAN. tahun 2004, konsumsi protein sudah lebih besar dari yang dianjurkan yaitu
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia masih berada pada pola konsumsi tunggal, yaitu beras. Tingginya ketergantungan pada beras tidak saja menyebabkan ketergantungan
Lebih terperinciKETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN PENDAHULUAN
P R O S I D I N G 69 KETERSEDIAAN ENERGI, PROTEIN DAN LEMAK DI KABUPATEN TUBAN : PENDEKATAN NERACA BAHAN MAKANAN Condro Puspo Nugroho 1*, Fahriyah 1, Rosihan Asmara 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,
2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola
Lebih terperinciPola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang
Indonesian Journal of Disability Studies ISSN : - Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang * Agustina Shinta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya, Malang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
111 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Keadaan Geografis DKI Jakarta terletak di 6 0 12 lintang selatan dan 106 0 48 bujur timur dengan luas wilayah 661,26 km2, berupa daratan 661.52 km2 dan lautan 6,977,5
Lebih terperinciPOLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO
POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)
Lebih terperinciTabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan. Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g
xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan pola pangan harapan ideal seperti yang tertuang dalam PPH. Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan rumusan
Lebih terperinciV. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang
121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan
Lebih terperinciSISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI
SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
Lebih terperinciKehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.
Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang
70 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Tanggamus 1. Keadaan Geografis Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya
Lebih terperinciBUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011
BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR Menimbang : a.
Lebih terperinciANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)
ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak
18 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah Descriptive Study. Penelitian ini bersifat prospektif untuk memproyeksikan kondisi yang akan datang. Penelitian dilakukan
Lebih terperinciWALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG
WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang
Lebih terperinciprasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia
BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah
Lebih terperinciMETODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder)
31 METODE Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah restrospektif. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan (Lampiran 1). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja
Lebih terperinciEdisi 2 ROADMAP DEPTAN.indb 1 2/15/2013 7:35:34 PM
Edisi 2 ROADMAP DEPTAN.indb 1 2/15/2013 7:35:34 PM Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumahtangga memiliki akses secara
Lebih terperinciPERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)
PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis) PENELITIAN Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Studi
Lebih terperinciSITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN
SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) P R O S I D I N G 58 Fahriyah 1*, Rosihan Asmara 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *E-mail ria_bgl@yahoo.com
Lebih terperinciBAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka mempertinggi taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai dan terjangkau oleh seluruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km 2 dengan garis pantai terpanjang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan laut Indonesia yang tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia yang ada seperti pada perairan laut teritorial, perairan laut nusantara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki sebutan sebagai negara agraris. Indonesia sebagai negara agraris karena pada jaman dahulu hasil pertanian merupakan produk yang dapat diunggulkan.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak bagi sistem perekonomian nasional. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif dan memberikan kontribusi nyata terhadap
Lebih terperinciINDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
(IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktorfaktor lain menentukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan peningkatan derajat kesehatan masyarakat karena pemerintah memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Desain Penelitian
23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi penelitian secara purposive yang didasarkan atas pertimbangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis
Lebih terperinciIV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Wilayah
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Kondisi Geografis Letak geografis dan luas wilayah. Kabupaten Sinjai merupakan salah satu dari 23 Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Sulawesi selatan yang berjarak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya
Lebih terperinciKONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih
Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sarapan Pagi Sarapan pagi adalah makanan atau minuman yang memberikan energi dan zat gizi lain yang dikonsumsi pada waktu pagi hari. Makan pagi ini penting karena makanan yang
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL
BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang
Lebih terperinciANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN
P R O S I D I N G 125 ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG Farah Ainun Jamil 1, Pudji Purwanti 2, Riski Agung Lestariadi 2 1 Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
Lebih terperinciLAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015
LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015 PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BADAN KETAHANAN PANGAN Jl. Panglima Batur Timur Banjarbaru Kalimantan Selatan Telp. 0511-4772471-4778047
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan dengan penentuan lokasi secara purposive. Penelitian ini berlansung selama 2 bulan, dimulai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras
Lebih terperinciBUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL
BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang
Lebih terperinci