4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR"

Transkripsi

1 4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah salah satu aspek penting dalam menentukan standar gizi. Kekurangan konsumsi gizi bagi seseorang dari standar minimum umumnya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, aktivitas dan produktivitas kerja. Dalam jangka panjang kekurangan konsumsi pangan dari sisi jumlah dan kualitas (terutama pada anak balita) akan berpengaruh terhadap kualitas sumberdaya manusia. Diantara banyaknya kandungan zat gizi, kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Jumlah rumah tangga sampel SUSENAS di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2002 adalah rumah tangga. Sampel SUSENAS pada tahun 2005 adalah sebesar rumahtangga. Penambahan jumlah sampel SUSENAS terjadi pada tahun 2008 yaitu menjadi sebesar rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan yang merupakan satu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup besar di Provinsi Jawa Timur. Hasil pengolahan data SUSENAS menunjukkan bahwa terjadi penurunan pangsa pengeluaran untuk pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan di masyarakat. Tabel 4 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat perkotaan masih lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Selama ini pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun sektor swasta masih bias pada perkotaan dan hasilnya lebih dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Kondisi ini menyebabkan kesenjangan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. (Ariani, 2004).

2 48 Tabel 4 Pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan pangan di Provinsi Jawa Timur Uraian Pangsa Kalori Protein Pangsa Kalori Protein Pangsa Kalori Protein Pangan (kkal) (gr) Pangan (kkal) (gr) Pangan (kkal) (gr) (%) (%) (%) 1 Kota 54, ,33 54,78 45, ,16 57,97 47, ,50 56,06 2 Desa 61, ,50 51,86 57, ,78 55,78 57, ,00 52,99 3 Total 57, ,83 53,12 50, ,08 56,71 51, ,35 54,49 Sumber : BPS, diolah Kecukupan pangan dan gizi berkaitan erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia. Pengolahan data SUSENAS menunjukkan, rata-rata konsumsi kalori di Provinsi Jawa Timur masih dibawah rata-rata calorie intake yang dianjurkan (Lampiran 1) yaitu 96 persen pada tahun 2002, 99 persen pada tahun 2005 dan 95 persen pada tahun Antara tahun 2002, 2005 dan 2008 terdapat penurunan standar deviasi. Hal ini memperlihatkan kondisi antar kabupaten/kota yang semakin konvergen. Jika dilihat antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Lampiran 1), maka pada tahun 2002 dan 2005 terdapat 5 kabupaten/kota yang telah melebihi standar kecukupan kalori yang dianjurkan. Tahun 2002, kabupaten/kota yang mencapai ratarata kalori diatas standar yang dianjurkan adalah Sidoarjo, Ngawi, Sumenep, Mojokerto dan Madiun. Pada tahun 2005 terjadi perubahan kabupaten/kota yang telah mencukupi kebutuhan kalori menjadi Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Madiun dan Batu. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan kabupaten/kota yang diatas rata-rata kecukupan kalori yang dianjurkan yaitu menjadi 7 kabupaten/kota. Tujuh kabupaten/kota tersebut adalah Pacitan, Trenggalek, Banyuwangi, Bondowoso, Mojokerto, Nganjuk dan Tuban. Selain kecukupan kalori, kecukupan protein juga menjadi indikator kualitas pangan yang perlu diperhitungkan. Berdasarkan data SUSENAS, kecukupan protein yang dikonsumsi masyarakat Jawa Timur telah mencapai standar yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, yaitu 52 gram protein/kapita/hari. Perbandingan antara pedesaan dan perkotaan memperlihatkan bahwa kecukupan protein di pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan (Tabel 4).

3 Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur Pola konsumsi masyarakat Jawa Timur masih didominasi oleh kelompok padi-padian yang mencapai sekitar 20 persen (Tabel 5). Namun, persentase ini lambat laun menurun seiring dengan peningkatan konsumsi makanan dan minuman jadi. Hal tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup sehingga lebih menyukai komoditas instan dan cepat saji. Tabel 5 Persentase konsumsi makanan di Provinsi Jawa Timur Komoditi Kota Desa Total Kota Desa Total Kota Desa Total 1 Padi-padian 18,98 29,48 24,10 14,54 23,52 18,82 15,48 23,29 18,90 2 Umbi-umbian 0,90 1,29 1,09 0,75 1,14 0,94 0,73 1,10 0,89 3 Ikan 7,21 7,53 7,37 7,28 7,74 7,50 6,14 6,45 6,28 4 Daging 6,53 3,37 4,99 6,58 3,92 5,31 4,60 2,46 3,66 5 Telur dan susu 7,50 5,04 6,30 7,98 5,58 6,84 7,99 5,19 6,76 6 Sayur 7,76 9,49 8,60 7,03 9,26 8,09 7,34 9,54 8,30 7 Kacang-kacangan 5,34 6,10 5,71 4,95 6,46 5,67 5,38 6,21 5,74 8 Buah 5,70 4,48 5,10 5,47 4,46 4,99 4,70 3,76 4,29 9 Minyak dan Lemak 4,40 5,61 4,99 4,17 5,34 4,73 5,49 7,05 6,17 10 Bahan minuman 5,27 6,45 5,85 4,46 5,53 4,97 3,95 5,47 4,61 11 Bumbu-bumbuan 3,26 3,68 3,46 2,99 3,74 3,35 2,60 3,26 2,89 12 Konsumsi lainnya 3,07 2,45 2,77 2,97 2,98 2,97 2,91 3,05 2,97 13 Makanan dan minuman jadi 24,09 15,02 19,67 30,83 20,32 25,82 32,68 23,17 28,53 TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS, diolah Perbandingan antara perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa persentase konsumsi padi-padian di daerah pedesaan masih jauh lebih besar daripada di perkotaan. Di sisi lain, persentase konsumsi makanan dan minuman jadi di perkotaan jauh lebih besar daripada di pedesaan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan gaya hidup masyarakat perkotaan dan pedesaan. Di wilayah perkotaan dengan segala aktivitas yang padat, membuat masyarakat lebih mudah mengkonsumsi makanan dan minuman jadi dibandingkan dengan memasak sendiri. Sebaliknya, di daerah pedesaan masyarakat memiliki sumberdaya tenaga maupun waktu yang cukup sehingga lebih memilih memasak makanannya sendiri di rumah. Padi-padian menjadi konsumsi utama masyarakat pedesaan pada awal periode penelitian yaitu tahun Pada tahun berikutnya, terjadi perubahan dengan mengecilnya pangsa padi-padian dan meningkatnya makanan dan minuman jadi. Pada tahun 2008, konsumsi makanan dan minuman jadi di pedesaan hampir sama dengan konsumsi padi-padian. Hal yang menarik dalam

4 50 penelitian ini adalah ketika dilihat makanan dan minuman jadi yang menempati porsi terbesar adalah pecel (19,71 persen), makanan ringan anak-anak (14,60 persen) dan mie rebus/bakso (13,36 persen). Kondisi ini sangat ironis mengingat konsumsi sumber protein di pedesaan masih rendah, namun konsumsi makanan dan minuman jadi justru meningkat. Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi, mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan komoditi lainnya memiliki persentase yang sangat kecil (Tabel 6). Dari kelompok padi-padian, konsumsi tepung terigu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dan lambat laun mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan banyaknya jenis makanan di perkotaan yang pengolahannya membutuhkan tepung terigu. Tabel 6 Persentase konsumsi padi-padian di Provinsi Jawa Timur Komoditi Kota Desa Total Kota Desa Total Kota Desa Total 1 Beras 96,73 92,73 94,35 95,71 91,62 94,37 95,72 91,31 93,35 2 Beras ketan 0,16 0,18 0,17 0,11 0,27 0,17 0,13 0,13 0,13 3 Jagung basah 0,32 0,35 0,34 0,88 0,38 0,34 0,81 0,56 0,67 4 Jagung pipilan 1,23 5,91 4,01 0,69 6,14 3,99 1,41 6,29 4,04 5 Tepung beras 0,62 0,32 0,44 0,95 0,61 0,44 0,69 0,74 0,72 6 Tepung jagung 0,03 0,03 0,03 0,09 0,06 0,03 0,04 0,09 0,06 7 Tepung terigu 0,89 0,45 0,63 1,46 0,86 0,63 1,14 0,86 0,99 8 Lainnya 0,03 0,03 0,03 0,11 0,05 0,03 0,06 0,03 0,04 TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS, diolah 4.3 Ketersediaan Pangan di Provinsi Jawa Timur Salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan menjamin ketersediaan pangan yang diperlukan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu kewajiban pemerintah sesuai dengan amanat Undang Undang No 7 tahun 1996 tentang pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat seharusnya dalam jumlah yang cukup, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Tersedianya pangan yang cukup diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga akan mendukung suatu daerah untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Masyarakat yang sehat akan menjadi modal atau penggerak dalam pelaksanaan pembangunan suatu daerah selanjutnya dapat

5 51 mewujudkan kondisi masyarakat yang adil dan makmur. Sebaliknya jika kebutuhan pangan tidak terpenuhi akan menyebabkan penderita gizi kurang, sehingga produktivitasnya rendah, kehilangan kesempatan bersekolah, kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi, berisiko kelaparan dan pada akhirnya akan menjadi miskin. Beras merupakan komoditi pokok dan strategis dibandingkan komoditi pangan lainnya. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Jawa Timur pada khususnya mayoritas mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Sehingga, pemerintah memberi perhatian khusus terhadap produksi padi dengan mentargetkan untuk dapat mencapai swasembada beras di sepanjang waktu. Jawa Timur sebagai penghasil padi kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat, memiliki kontribusi produksi padi yang cukup besar dan cenderung semakin meningkat. Secara agregat pada tahun 2002, 2005 dan 2008 produksi padi di Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan (Lampiran 3). Namun jika dibagi dengan data jumlah penduduk di Jawa Timur maka peningkatan ini hanya terjadi pada tahun Pada tahun 2005 terjadi sedikit penurunan produksi padi perkapita, namun akhirnya meningkat kembali pada tahun 2008 (Gambar 9) , produksi padi perkapita (kg) ,82 24, Tahun Gambar 9 Produksi padi perkapita di Provinsi Jawa Timur. Peningkatan produksi padi terkait dua hal utama yaitu luas panen dan produktivitas padi. Kedua hal ini harus diperhatikan sehingga produksi padi dapat

6 52 terus meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Berbagai riset ditujukan untuk dapat memenuhi bibit-bibit padi yang unggul sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari luas lahan yang ada. 4.4 Akses Pangan di Provinsi Jawa Timur Salah satu faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan selain ketersediaan pangan adalah akses pangan. Meskipun suatu daerah memiliki persediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, namun jika tidak mampu mengakses pangan tersebut maka tidak akan dapat mencapai ketahanan pangan. Sebaliknya, suatu daerah yang tidak memiliki sumberdaya sebagai penghasil bahan pangan, namun masih dapat memenuhi kebutuhan pangannya jika memiliki akses yang cukup kuat untuk mendapatkan makanan. Faktor yang menentukan akses pangan diantaranya adalah pendapatan regional yang tercermin melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), stabilitas harga, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan yaitu produksi, pengeluaran dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah upah/gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto yang diperoleh. Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah seperti provinsi atau kabupaten. Fenomena dan perilaku ekonomi dari berbagai pelaku ekonomi dapat dilihat dari data PDRB. Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, diharapkan

7 53 dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan regional suatu daerah dan menimbulkan multiplier effect terhadap perekonomian Jawa Timur. Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, sebab kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16 persen. PDRB Jawa Timur baik Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada periode menunjukkan kecenderungan terus meningkat sejalan dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian. Pada tahun 2002 PDRB Jawa Timur menurut ADHB sebesar 267,158 triliun rupiah, yang kemudian meningkat di tahun 2008 mencapai 621,582 triliun rupiah. PDRB ADHK juga mengalami kenaikan menjadi 304,799 triliun rupiah pada tahun 2008 yang pada tahun 2002 sebesar 218,452 triliun rupiah (Tabel 7). Tabel 7 PDRB Provinsi Jawa Timur tahun Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (milyar) Atas Dasar Harga Konstan (milyar) , , , , , , , , , , , , , ,97 Sumber : BPS, diolah. Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan sembilan kota. Masingmasing daerah di Provinsi Jawa Timur mempunyai karakteristik alam, sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan produktivitas perekonomian antar wilayah yang satu berbeda dengan wilayah lainnya. Nilai tambah bruto Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang paling besar pangsanya dalam pembentukan nilai tambah bruto Jawa Timur. Ketiga sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.

8 54 Tabel 8 menunjukkan bahwa mulai tahun 2006, terjadi pertukaran posisi antara sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi industri pengolahan mengalami penurunan, salah satu penyebabnya adanya krisis BBM pada tahun Sebagaimana diketahui, bahwa sektor industri adalah sektor yang sangat tergantung pada BBM, sehingga jika ada kenaikan harga BBM akan berpengaruh pada sektor industri. Tabel 8 Struktur PDRB di Provinsi Jawa Timur tahun (persen) Lapangan Usaha Pertanian 19,04 18,24 17,58 17,24 17,16 16,72 16,57 Pertambangan dan Penggalian 2,06 2,00 1,93 2,01 2,06 2,11 2,17 Industri Pengolahan 29,31 29,50 29,61 29,99 29,26 28,75 28,49 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,62 1,76 2,05 1,89 1,86 1,92 1,91 Konstruksi 3,81 3,74 3,68 3,60 3,46 3,36 3,34 Perdagangan, Hotel dan Restoran 25,35 26,08 26,71 27,17 27,96 28,81 29,36 Pengangkutan dan Komunikasi 5,67 5,71 5,52 5,53 5,58 5,55 5,32 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4,79 4,59 4,60 4,53 4,53 4,62 4,68 Jasa - Jasa 8,35 8,38 8,32 8,04 8,14 8,15 8,15 Produk Domestik Regional Bruto 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS Kontribusi sektor PDRB terhadap total PDRB untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur sangat bervariatif. Potensi yang beragam di masing-masing wilayah menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik struktur perekonomian yang berbeda di setiap kabupaten/kota. Sebagai contoh aktivitas perekonomian di wilayah kabupaten pada umumnya didorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sedangkan wilayah perkotaan oleh sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Beberapa kabupaten didominasi (hampir 50 persen) oleh sektor pertanian seperti Kabupaten Banyuwangi, dan kabupaten-kabupaten di kawasan Madura. Kontribusi dari sektor pertanian di wilayah kota secara umum sangat kecil, kecuali Kota Batu. Sebagian besar wilayah kota didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pangsa terbesar pada PDRB tahun 2008 disumbangkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang kemudian disusul sektor industri, namun sebagian besar wilayah Jawa Timur masih berbasis sektor pertanian. Sedangkan sektor perdagangan dan industri pengolahan hanya menjadi basis di beberapa kabupaten/kota saja.

9 55 Selain faktor pendapatan, akses pangan juga ditentukan oleh stabilisasi harga. Dalam hal ini angka inflasi dapat mencerminkan tingkat stabilisasi harga di tingkat konsumen. Meskipun banyak komoditi yang mempunyai kontribusi terhadap inflasi, namun karena lebih dari 50 persen pendapatan masih digunakan untuk pangan, maka pengaruh perubahan harga pangan terhadap inflasi diduga cukup besar. Dalam penelitian ini, angka inflasi yang digunakan adalah inflasi yang terjadi pada PDRB kabupaten/kota, karena keterbatasan data inflasi di beberapa kabupaten/kota. Gambar 10 menunjukkan fluktuasi harga yang terjadi pada PDRB di Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2005 inflasi PDRB mencapai nilai tertinggi diantara tahun 2002 sampai Hal ini dimungkinkan karena adanya kebijakan kenaikan BBM di tahun Persen , ,04 10,27 9, ,39 7,21 7, Tahun Gambar 10 Deflator PDRB Provinsi Jawa Timur Akses pangan juga ditentukan oleh pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang cukup baik, masyarakat dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk menentukan jenis pangan yang dikonsumsi sehingga cukup dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Pemilihan dan penentuan dalam penyusunan hidangan konsumsi makanan bukanlah sesuatu yang secara otomatis diturunkan, dalam pengertian heriditer. Susunan hidangan adalah hasil dari manifestasi proses belajar. Susunan hidangan di masyarakat dapat diubah dengan proses pendidikan

10 56 gizi, penerangan dan penyuluhan meskipun mengubah suatu susunan hidangan adalah relatif sulit. Penelitian ini menggunakan rata-rata lama sekolah (RLS) sebagai cerminan pendidikan yang diraih oleh masyarakat. Rata-rata lama sekolah di Jawa Timur masih dibawah standar pendidikan sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah yaitu berada pada kisaran enam tahun. Namun nilai ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 11 ). Peningkatan rata-rata lama sekolah ini juga terjadi hampir di semua kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. L a m a ,76 6, S e k o l a h ,50 Tahun Gambar 11 Rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Timur. Faktor lain yang menentukan ketahanan pangan adalah infrastruktur wilayah. Infrastruktur akan meningkatkan kemudahan dalam distribusi barang pangan dari produsen ke konsumen. Dengan adanya kemudahan distribusi barang pangan, maka harga yang dikenakan kepada konsumen akan lebih murah. Hal ini akan mendukung pencapaian ketahanan pangan rumah tangga. Adapun dua indikator infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalan dan pasar. Data infrastruktur jalan yang digunakan adalah panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang di Provinsi Jawa Timur. Pada umumnya terjadi peningkatan panjang jalan dengan kualitas baik dan sedang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 panjang jalan yang berkualitas baik dan sedang adalah sepanjang km. Tahun 2005 terjadi peningkatan panjang jalan berkualitas baik dan sedang menjadi km. Pada akhir periode penelitian yaitu tahun 2008

11 57 panjang jalan berkualitas baik dan sedang meningkat menjadi ,51 km (Lampiran 6). Jumlah pasar merupakan salah satu indikator kemudahan masyarakat untuk akses pembelian bahan makanan. Berdasarkan data PODES terlihat bahwa jumlah pasar mengalami peningkatan baik di pedesaan maupun perkotaan (Lampiran 7). Peningkatan jumlah pasar ini akan meningkatkan kemudahan akses rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan pangan yang beragam. 4.5 Ketahanan Pangan di Provinsi Jawa Timur Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 disusun berdasarkan Indeks Ketahanan Komposit (DKP, 2009). Pilar utama dalam penyusunan Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 ada tiga yaitu: (1) ketersediaan pangan, (2) akses terhadap pangan dan (3) pemanfaatan pangan. Ketiga pilar ini dijabarkan menjadi sembilan indikator yaitu: 1. Ketersediaan pangan yang terdiri dari rasio normatif per kapita terhadap padi+jagung+ubi kayu+ubi jalar 2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (penduduk miskin) 3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik 5. Angka harapan hidup 6. Berat badan balita di bawah standar 7. Perempuan buta huruf 8. Persentase rumah tangga tanpa air bersih 9. Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan Ketersediaan pangan dijabarkan dalam indikator pertama. Akses terhadap pangan dijabarkan dalam indikator kedua, ketiga dan keempat. Adapun pemanfaatan pangan terdiri dari indikator kelima sampai kesembilan. Peta ketahanan dan kerawanan pangan 2009 menunjukkan ada lima kabupaten di Jawa Timur yang rawan pangan (DKP, 2009) dengan prioritas yang berbeda. Kelima wilayah tersebut adalah Sampang, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Probolinggo (Gambar 12). Secara umum wilayah yang rawan pangan

12 58 adalah wilayah yang terletak di kepulauan kecuali Kabupaten Probolinggo. Masuknya kabupaten Probolinggo dalam prioritas ketiga dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan 2009 adalah karena tingginya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yaitu sebesar 25,49 persen, jauh di atas rata-rata Provinsi yaitu 18,20 persen. Disamping itu, angka harapan hidup di Kabupaten Probolinggo juga masih rendah yaitu sebesar 60,33 tahun sedangkan rata-rata angka harapan hidup di Provinsi Jawa Timur adalah 68,90 tahun (DKP, 2009). Kedua hal ini merupakan indikator yang menyebabkan Kabupaten Probolinggo masuk ke dalam prioritas ketiga di dalam Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan Keterangan : Kabupaten Kota 01 Pacitan 11 Bondowoso 21 Ngawi 71 Kediri 02 Ponorogo 12 Situbondo 22 Bojonegoro 72 Blitar Prioritas 1 03 Trenggalek 13 Probolinggo 23 Tuban 73 Malang Prioritas 2 04 Tulungagung 14 Pasuruan 24 Lamongan 74 Probolinggo Prioritas 3 05 Blitar 15 Sidoarjo 25 Gresik 75 Pasuruan Prioritas 4 06 Kediri 16 Mojokerto 26 Bangkalan 76 Mojokerto Prioritas 5 07 Malang 17 Jombang 27 Sampang 77 Madiun Prioritas 6 08 Lumajang 18 Nganjuk 28 Pamekasan 78 Surabaya 09 Jember 19 Madiun 29 Sumenep 79 Batu 10 Banyuwangi 20 Magetan Sumber : FSVA, 2009 Gambar 12 Peta ketahanan dan kerawanan pangan Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Menurut hukum Engel, pangsa

13 59 pengeluaran untuk belanja pangan rumah tangga miskin lebih besar dari rumah tangga kaya. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan (Deaton dan Muellbauer, 1980). Berdasarkan penghitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi Jawa Timur persentase penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar. Namun, persentase penduduk yang rawan pangan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2002 persentase penduduk rawan pangan adalah sebesar 16,66 persen yang kemudian menurun pada tahun 2005 menjadi 12,04 persen dan pada tahun 2008 menjadi 11,63 (Tabel 9). Penurunan persentase rumah tangga yang rawan pangan di Jawa Timur diikuti dengan meningkatnya rumah tangga yang tahan pangan. Pada tahun 2002, rumah tangga tahan pangan adalah sebesar 23,65 persen. Nilai ini meningkat pada tahun 2005 menjadi sebesar 35,90 persen dan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi sebesar 36,30 persen. Tabel 9 Persentase status ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur Status Rumah Tangga Kota Desa Total Kota Desa Total Kota Desa Total Rawan Pangan 13,85 18,76 16,66 9,26 13,95 12,04 9,87 12,96 11,63 Kurang Pangan 13,50 6,97 9,77 18,49 10,17 13,55 18,91 9,12 13,33 Rentan Pangan 41,72 56,06 49,92 26,82 46,51 38,51 26,52 47,97 38,73 Tahan Pangan 30,93 18,21 23,65 45,43 29,37 35,90 44,71 29,94 36,30 Sumber : BPS, diolah Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Pada tahun 2008, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan sebesar 12,96 persen sedangkan di perkotaan 9,87 persen. Sebaliknya, rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih banyak daripada di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan pada tahun 2008 mencapai 44,71 persen sedangkan rumah tangga tahan pangan di pedesaan hanya sebesar 29,94 persen. Hal ini terkait dengan sarana infrastruktur yang digunakan untuk mengklasifikasikan apakah pedesaan suatu daerah dikategorikan sebagai pedesaan

14 60 atau perkotaan. Terbatasnya sarana di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan rumah tangga. Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga yang diidentifikasi rentan pangan ini pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaan menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa pangannya lebih besar. Rumah tangga yang kurang pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan. Hal ini menunjukkan rumah tangga di perkotaan masih banyak yang tidak terpenuhi kebutuhan kalori minimumnya meski dari sisi ekonomi pangsa pangannya cukup kecil. Rumah tangga perkotaan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya di bawah standar minimum yang dianjurkan. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, terlihat bahwa rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan studi Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga. Kepala rumah tangga yang memiliki pendidikan cukup baik, akan lebih mudah dalam mendapatkan pekerjaan sehingga mampu mendapatkan income yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas, yang selanjutnya mampu meningkatkan output sehingga dapat meningkatkan income. Pendidikan yang cukup baik juga akan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makanan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan.

15 ,12 37,56 P e r s e n ,04 9, ,67 Tingkat Pendidikan Tidak Lulus SD SD SLTP SLTA PT Gambar 13 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber penghasilan utama rumah tangga. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem single budget dimana kebutuhan seluruh anggota rumah tangga dipenuhi melalui satu pengelolaan manajemen keuangan. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istri/suami dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni oleh kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini. Diantara penduduk rawan pangan pada tahun 2008, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 44,35 persen (Gambar 14). Hal ini merupakan suatu kondisi yang ironis, mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan makanan namun rumah tangga di sektor pertanian merupakan rumah tangga yang rawan pangan. Apabila kondisi ini terjadi terus menerus maka lapangan usaha pertanian akan banyak ditinggalkan oleh masyarakat untuk beralih ke lapangan usaha lainnya yang memberikan

16 62 pendapatan. Akibatnya, hasil-hasil pertanian yang merupakan salah satu pendukung ketahanan pangan nasional dan sebagai jaminan ketersediaan pangan, ketersediannya akan terancam. Indonesia akan terus tergantung kepada impor bahan makanan dari negara lain sehingga tidak memiliki kemandirian pangan. jasa (28,29) tidak bekerja (12,14) industri (15,23) pertanian (44,35) Gambar 14 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan lapangan usaha kepala rumah tangga di Provinsi Jawa Timur (persen) Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangganya, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu : (1) berusaha sendiri, (2) berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, (3) berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar (4) buruh/karyawan/pegawai, (5) pekerja bebas dan (6) pekerja tidak dibayar. Gambar 15 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 25,70 persen. Tingginya persentase rumah tangga rawan pangan pada status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar menunjukkan tingginya resikonya terkena kerawanan pangan pada status tersebut. Status berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar sebagian besar merupakan pekerja informal dengan jaminan kepastian pekerjaan lebih rendah dibandingkan status lainnya. Kondisi ini disebabkan resiko yang harus ditanggung oleh para pekerja

17 63 dengan status pekerjaan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar lebih besar dibandingkan status pekerjaan lainnya. Buruh/ karyawan (21,95) Pekerja bebas (15,40) Pekerja tidak dibayar(1,51) Tidak bekerja (12,12) Berusaha sendiri (20,71) Berusaha dibantu buruh tetap/dibayar (2,61) Berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar (25,70) Gambar 15 Rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan di Provinsi Jawa Timur (persen). Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000), maka dapat dibuat peta tematik kerawanan pangan. Peta ini disusun untuk memberikan gambaran dinamika ketahanan pangan regional di Provinsi Jawa Timur. Peta ini disusun dengan tiga gradasi warna yang menunjukkan semakin gelap warna maka tingkat persentase rumah tangga rawan pangan semakin besar. Perbandingan dinamika kerawanan pangan dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu: (1) membandingkan kondisi kerawanan pangan 2002 dan 2005, (2) membandingkan kondisi kerawanan pangan 2005 dan Gambar 16 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2002 dan Perbandingan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, (2) wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, (3) wilayah yang tidak berubah warnanya. Sebanyak 17 kabupaten/kota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua

18 64 terdiri dari lima kabupaten/kota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 16 kabupaten/kota (Lampiran 13) Keterangan : Kabupaten Kota 01 Pacitan 08 Lumajang 15 Sidoarjo 22 Bojonegoro 71 Kediri 75 Pasuruan 02 Ponorogo 09 Jember 16 Mojokerto 23 Tuban 72 Blitar 76 Mojokerto 03 Trenggalek 10 Banyuwangi 17 Jombang 24 Lamongan 73 Malang 77 Madiun 04 Tulungagung 11 Bondowoso 18 Nganjuk 25 Gresik 74 Probolinggo 78 Surabaya 05 Blitar 12 Situbondo 19 Madiun 26 Bangkalan 79 Batu 06 Kediri 13 Probolinggo 20 Magetan 27 Sampang 07 Malang 14 Pasuruan 21 Ngawi 28 Pamekasan 29 Sumenep Gambar 16 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2002 dan 2005.

19 65 Gambar 17 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan yang dibandingkan antara tahun 2005 dan Perbandingan persentase rumah tangga rawan pangan pada tahun 2005 dan tahun 2008 juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) wilayah dengan kondisi membaik yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari gelap ke arah yang lebih terang, (2) wilayah dengan kondisi memburuk yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari terang ke arah yang lebih gelap, (3) wilayah yang masih dalam kelompok yang sama atau tidak berubah warnanya. Sepuluh kabupaten/kota masuk dalam kelompok pertama, yaitu kelompok yang membaik dengan perubahan gradasi dari gelap ke warna yang semakin terang. Kelompok kedua terdiri dari enam kabupaten/kota. Adapun kelompok ketiga terdiri dari 22 kabupaten/kota (Lampiran 13). Persentase rumah tangga yang rawan pangan pada Gambar 16 dan 17 mengalami penurunan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang konvergen. Namun hal ini tidak terjadi pada wilayah kepulauan. Persentase rumah tangga yang rawan pangan di wilayah kepulauan masih cukup tinggi yaitu lebih dari 20 persen. Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa secara konsisten ada daerah yang selalu membaik dengan perubahan gradasi warna dari arah gelap ke arah yang lebih terang. Daerah yang masuk kelompok ini terdiri dari 11 kabupaten/kota yaitu : Ponorogo, Trenggalek, Blitar, Jember, Mojokerto, Nganjuk, Magetan, Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Bangkalan. Daerah ini mampu menurunkan kerawanan pangan karena didukung oleh meningkatnya produksi padi sebagai food availability, meningkatnya rata-rata lama sekolah yang merupakan stability dan bertambahnya access to food baik dari sisi panjang jalan maupun jumlah pasar (Lampiran 3, 6, 7 dan 8). Gambar 16 dan 17 juga menunjukkan bahwa terdapat daerah yang secara konsisten semakin memburuk yang ditunjukkan dengan perubahan gradasi dari warna terang ke arah yang lebih gelap. Daerah yang termasuk dalam kategori ini hanya ada satu yaitu Kabupaten Pamekasan. Kabupaten Pamekasan yang tidak dapat menurunkan persentase rumah tangga yang rawan pangan antara lain disebabkan oleh menurunnya produksi padi di tahun 2005 (Lampiran 3) dan

20 66 rusaknya infrastruktur jalan pada tahun 2008 (Lampiran 7). Kedua hal ini mengurangi food availability dan access to food Keterangan Kabupaten Kota 01 Pacitan 08 Lumajang 15 Sidoarjo 22 Bojonegoro 71 Kediri 75 Pasuruan 02 Ponorogo 09 Jember 16 Mojokerto 23 Tuban 72 Blitar 76 Mojokerto 03 Trenggalek 10 Banyuwangi 17 Jombang 24 Lamongan 73 Malang 77 Madiun 04 Tulungagung 11 Bondowoso 18 Nganjuk 25 Gresik 74 Probolinggo 78 Surabaya 05 Blitar 12 Situbondo 19 Madiun 26 Bangkalan 79 Batu 06 Kediri 13 Probolinggo 20 Magetan 27 Sampang 07 Malang 14 Pasuruan 21 Ngawi 28 Pamekasan 29 Sumenep Gambar 17 Peta persentase rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur tahun 2005 dan 2008.

21 67 Berdasarkan uraian di atas, food availability, access to food dan stability merupakan faktor yang harus dicapai untuk menurunkan persentase rumah tangga rawan pangan di sepanjang waktu. Faktor-faktor tersebut harus terjaga stabilitasnya sehingga penurunan persentase rumah tangga rawan pangan dapat tercapai sepanjang waktu. 4.6 Hubungan Kemiskinan dan Kerawanan Pangan Kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendapatan sehingga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Todaro (2000) menguraikan bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan batas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan (Sudiman, 2008). Kemiskinan dapat mengakibatkan kelaparan yang selanjutnya berdampak pada gizi kurang, bahkan kematian. Eratnya hubungan antara kemiskinan dan gizi kurang, mengakibatkan banyak orang sering mengartikan bahwa penanggulangan masalah gizi kurang baru dapat dilaksanakan bila keadaan ekonomi sudah baik. Tabel 10 menunjukkan perbandingan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan persentase rumah tangga yang rawan pangan. Secara umum, persentase penduduk yang miskin menurun dari tahun ke tahun yang diiringi dengan menurunnya persentase rumah tangga rawan pangan. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya kinerja perekonomian dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Tabel 10 Perbandingan persentase penduduk miskin dan rumah tangga rawan pangan di Provinsi Jawa Timur Uraian Penduduk RT Rawan Penduduk RT Rawan Penduduk RT Rawan Miskin Pangan Miskin Pangan Miskin Pangan 1 Kota 21,47 13,85 15,52 9,26 13,15 9,87 2 Desa 19,31 18,76 24,19 13,95 23,64 12,96 3 Total 20,06 16,66 19,95 12,04 18,51 11,63 Sumber : Penduduk miskin bersumber dari BPS, rumah tangga rawan pangan dihitung berdasarkan metode Jonsson dan Toole et al. (1991) dalam Maxwell (2000)

22 68 Gambar 18 menunjukkan kondisi ketahanan pangan rumah tangga pada penduduk miskin. Rumah tangga yang rawan pangan merupakan persentase yang paling besar. Persentase rumah tangga rawan pangan ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2002 persentase penduduk miskin yang terindikasi rawan pangan sebanyak 50,44 persen. Nilai ini menurun menjadi 39,18 persen pada tahun 2005 dan kembali menurun menjadi 39,03 persen pada tahun % 90% P e r s e n 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% Tahan Rentan Kurang Rawan 10% 0% Tahun Gambar 18 Status ketahanan pangan penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur. Pencegahan dan penanggulangan kerawanan pangan tidak harus menunggu penanggulangan masalah kemiskinan selesai. Kerawanan pangan dapat ditanggulangi antara lain dengan peningkatan food availability melalui peningkatan kapasitas produksi pangan dengan perbaikan sistem inovasi teknologi, perbaikan kualitas lahan dan pengembangan sistem irigasi (Hardono dan Kariyasa, 2006). Hal ini tentunya juga harus diikuti dengan upaya peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya konsumsi pangan bergizi, beragam dan berimbang. Melalui peningkatan ketahanan pangan yang baik, kebutuhan gizi akan tercapai, produktivitas meningkat dan selanjutnya dapat menurunkan angka kemiskinan.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR 4. 1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur membentang antara 111 0 BT - 114 4 BT dan 7 12 LS - 8 48 LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

P E N U T U P P E N U T U P

P E N U T U P P E N U T U P P E N U T U P 160 Masterplan Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura P E N U T U P 4.1. Kesimpulan Dasar pengembangan kawasan di Jawa Timur adalah besarnya potensi sumberdaya alam dan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun ketahun. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 25/04/35/Th. XV, 17 April 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2016 IPM Jawa Timur Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Timur pada

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016 No. 010/06/3574/Th. IX, 14 Juni 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016 IPM Kota Probolinggo Tahun 2016 Pembangunan manusia di Kota Probolinggo pada tahun 2016 terus mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu menunjukkan ketidak berhasilan dan adanya disparitas maupun terjadinya kesenjangan pendapatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman yang menjadi komoditas utama di Indonesia. Bagian yang dimanfaatkan pada tanaman kedelai adalah bijinya. Berdasarkan Sastrahidajat

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN LAMONGAN PROFIL KEMISKINAN DI LAMONGAN MARET 2016 No. 02/06/3524/Th. II, 14 Juni 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. 1. Berdasarkan Tipologi Klassen periode 1984-2012, maka ada 8 (delapan) daerah yang termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta)

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih dari 1,2

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rasio Konsumsi Normatif Rasio konsumsi normatif adalah perbandingan antara total konsumsi dan produksi yang menunjukkan tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah. Rasio konsumsi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan pendekatan regional dalam menganalisis karakteristik daerah yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan,

Lebih terperinci

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur TOTAL SKOR INPUT 14.802 8.3268.059 7.0847.0216.8916.755 6.5516.258 5.9535.7085.572 5.4675.3035.2425.2185.1375.080 4.7284.4974.3274.318 4.228 3.7823.6313.5613.5553.4883.4733.3813.3733.367

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota TAHUN LAKI-LAKI KOMPOSISI PENDUDUK PEREMPUAN JML TOTAL JIWA % 1 2005 17,639,401

Lebih terperinci

2. JUMLAH USAHA PERTANIAN

2. JUMLAH USAHA PERTANIAN BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 61/09/35/Tahun XI, 2 September 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 PROVINSI JAWA TIMUR (ANGKA SEMENTARA) JUMLAH RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 SEBANYAK

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU KEPADA PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015 GUBERNUR JAWA TIMUR. Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

Tabel 2.19 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun

Tabel 2.19 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 41 2.1.2 Aspek Kesejahteraan Masyarakat 2.1.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi 2.1.2.1.1 Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 40/06/35/Th. XIV, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015 IPM Jawa Timur Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Timur pada tahun 2015 terus mengalami

Lebih terperinci

KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH

KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH KAJIAN AWAL KETERKAITAN KINERJA EKONOMI WILAYAH DENGAN KARAKTERISTIK WILAYAH Hitapriya Suprayitno 1) dan Ria Asih Aryani Soemitro 2) 1) Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil ITS, suprayitno.hita@gmail.com

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016 GUBERNUR JAWA TIMUR. Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Berdasarkan Data Susenas 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Nomor Publikasi : 35522.1402

Lebih terperinci

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN EVALUASI/FEEDBACK PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN MALANG, 1 JUNI 2016 APLIKASI KOMUNIKASI DATA PRIORITAS FEEDBACK KETERISIAN DATA PADA APLIKASI PRIORITAS 3 OVERVIEW KOMUNIKASI DATA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017 \ PERATURAN NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU KEPADA PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 4.1 Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak di belahan paling selatan Indonesia

Lebih terperinci

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 1 indikator kesejahteraan DAERAH provinsi jawa timur sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14 Jakarta Pusat 10110

Lebih terperinci

Segmentasi Pasar Penduduk Jawa Timur

Segmentasi Pasar Penduduk Jawa Timur Segmentasi Pasar Penduduk Jawa Timur Sebelum melakukan segmentasi, kita membutuhkan data-data tentang jawa timur sebagaiuntuk dijadikan acuan. Berikut data-data yang dapat dijadikan sebagai acuan. Segmentasi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

Tabel 2.26 Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Tahun Keterangan

Tabel 2.26 Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Tahun Keterangan 2.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Jawa Timur dapat dielaborasi kedalam tiga fokus utama, yaitu Fokus Kesejahteraan Masyarakat dan Pemertaan Ekonomi, Fokus Kesejahteraan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tercapainya kondisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Profil Eks Karesidenan Madiun Karesidenan merupakan pembagian administratif menjadi kedalam sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 Menimbang: a. Bahwa dalam upaya meningkatkan kersejahteraan rakyat khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI 2.1 Sejarah Singkat PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur merupakan salah satu unit pelaksana induk dibawah PT PLN (Persero) yang merupakan

Lebih terperinci

Tabel 2.25 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Tabel 2.25 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) 2.2. Aspek Kesejahteraan Rakyat Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Jawa Timur dapat dielaborasi kedalam tiga fokus utama, yaitu Fokus Kesejahteraan Masyarakat dan Pemertaan Ekonomi, Fokus Kesejahteraan Masyarakat,

Lebih terperinci

RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO

RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO 2 Penjelasan Umum Sensus Ekonomi 2016 Sensus Ekonomi merupakan kegiatan pendataan lengkap atas seluruh unit usaha/perusahaan (kecuali

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 57 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN DEFINITIF BAGIAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM NEGERI (PASAL 25/29) DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Gambaran Umum Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur Berikut dijelaskan tentang tugas pokok dan fungsi, profil, visi misi, dan keorganisasian Badan Ketahanan Pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi harus di pandang sebagai suatu proses yang saling

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi harus di pandang sebagai suatu proses yang saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN SEMENTARA BAGIAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM NEGERI PASAL 25/29 DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai

BAB I PENDAHULUAN. mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah pusat memberikan kebijakan kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2017

DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2017 DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV - 2017 DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV - 2017 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2017 DATA DINAMIS

Lebih terperinci

per km 2 LAMPIRAN 1 LUAS JUMLAH WILAYAH JUMLAH KABUPATEN/KOTA (km 2 )

per km 2 LAMPIRAN 1 LUAS JUMLAH WILAYAH JUMLAH KABUPATEN/KOTA (km 2 ) LAMPIRAN 1 LUAS WILAYAH,, DESA/KELURAHAN, PENDUDUK, RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT LUAS RATA-RATA KEPADATAN WILAYAH RUMAH JIWA / RUMAH PENDUDUK DESA KELURAHAN DESA+KEL. PENDUDUK (km 2 ) TANGGA

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN BADAN KOORDINASI WILAYAH PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga paradigma kebijakan pembangunan nasional sebaiknya diintegrasikan dengan strategi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia telah menerapkan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang berdasarkan asas otonomi daerah. Pemerintah daerah memiliki hak untuk membuat kebijakannya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 DATA UMUM 4.1.1 Keadaan Demografi Provinsi Jawa Timur (Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur 2015) Berdasarkan hasil estimasi penduduk, penduduk Provinsi Jawa

Lebih terperinci

LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR

LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur Perekonomian di berbagai kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur terbentuk dari berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016 EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016 Realisasi belanja APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-provinsi Jawa Timur Oktober 2016 PROVINSI KABUPATEN/KOTA Provinsi Gorontalo Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ekonomi suatu daerah baik itu Kabupaten maupun kota yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ekonomi suatu daerah baik itu Kabupaten maupun kota yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekonomi suatu daerah baik itu Kabupaten maupun kota yang berlangsung di Indonesia berjalan terus menerus dan tiap daerah tersebut berusaha untuk memajukan daerahnya.

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PONOROGO

ANALISIS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PONOROGO ANALISIS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PONOROGO TAHUN 2014 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ponorogo DAFTAR ISI DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR

Lebih terperinci

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000)

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000) Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000) Kabupaten/Kota DAU 2010 PAD 2010 Belanja Daerah 2010 Kab Bangkalan 497.594.900

Lebih terperinci

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur Disampaikan dalam Acara: World Café Method Pada Kajian Konversi Lahan Pertanian Tanaman Pangan dan Ketahanan Pangan Surabaya, 26 September 2013 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG ORGANISASI

Lebih terperinci

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA TIMUR

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA TIMUR 1 PROFIL PEMBANGUNAN JAWA TIMUR A. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI WILAYAH Provinsi Jawa Timur mempunyai 229 pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.130,15 Km2 dan lautan seluas 110.764,28 Km2. Wilayah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/359/KPTS/013/2015 TENTANG PELAKSANAAN REGIONAL SISTEM RUJUKAN PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/359/KPTS/013/2015 TENTANG PELAKSANAAN REGIONAL SISTEM RUJUKAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/359/KPTS/013/2015 TENTANG PELAKSANAAN REGIONAL SISTEM RUJUKAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 42 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR No. 16/02/35/Th. XIII, 16 Februari 2015 Tipologi Wilayah Jawa Timur Hasil Pendataan Potensi Desa 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan

Lebih terperinci

Analisis Biplot pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Variabel-variabel Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Analisis Biplot pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Variabel-variabel Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sidang Tugas Akhir Surabaya, 15 Juni 2012 Analisis Biplot pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Variabel-variabel Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Wenthy Oktavin Mayasari

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik 6 BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI 2.1 Sejarah Berdirinya PT PLN (Persero) Pada abad ke-19, perkembangan ketenagalistrikan di Indonesia mulai ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI. The issue of food security has become an important

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi pilar-pilar pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi pilar-pilar pertumbuhan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Fenomena perekonomian di Indonesia belakangan ini begitu cepat berubah seiring dengan berjalannya waktu. Berbagai fakta ekonomi dan permasalahan begitu kompleks

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012

PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012 PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012 OLEH : Drs. MUDJIB AFAN, MARS KEPALA BADAN PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN PROVINSI JAWA TIMUR DEFINISI : Dalam sistem pemerintahan di Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/43/KPTS/013/2006 TENTANG TIM PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA INVESTASI NON PMDN / PMA PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2006 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI JAWA TIMUR DAN KEMISKINAN DINAMIS JAWA TIMUR PPLS 2011 DENGAN PBDT 2015

KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI JAWA TIMUR DAN KEMISKINAN DINAMIS JAWA TIMUR PPLS 2011 DENGAN PBDT 2015 Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI JAWA TIMUR DAN KEMISKINAN DINAMIS JAWA TIMUR PPLS 2011 DENGAN PBDT 2015 Dr. Ardi Adji (Asisten Ketua Pokja Kebijakan) Tim Nasional

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA TIMUR 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA TIMUR 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus konomi 2016 No. 35/05/35/Th. XV, 24 Mei 2017 BRTA RSM STATSTK BADAN PUSAT STATSTK PROVNS JAWA TMUR Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. disajikan pada Gambar 3.1 dan koordinat kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur disajikan

BAB 3 METODE PENELITIAN. disajikan pada Gambar 3.1 dan koordinat kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur disajikan BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Objek Wilayah Provinsi Jawa Timur meliputi 29 kabupaten dan 9 kota. Peta wilayah disajikan pada Gambar 3.1 dan koordinat kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur disajikan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI 6 BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI 2.1 Sejarah Berdirinya PT PLN (Persero) Pada akhir abad ke-19, perkembangan ketenagalistrikan di Indonesia mulai ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG ORGANISASI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI (NET) MINYAK TANAH Dl PANGKALAN MINYAK TANAH Dl JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini mengembangkan model pengklasteran Pemerintah Daerah di Indonesia dengan mengambil sampel pada 30 Pemerintah Kota dan 91 Pemerintah Kabupaten

Lebih terperinci