V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL CGE AGROINDUSTRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL CGE AGROINDUSTRI"

Transkripsi

1 V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL CGE AGROINDUSTRI Sumber data utama yang digunakan untuk membangun Model CGE Agroindustri adalah Tabel Input-Output (I-O) tingkat nasional tahun Untuk melengkapi data tersebut, juga digunakan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) tingkat nasional tahun 2003 serta beberapa sumber data lainnya, seperti nilai elastisitas, investasi, produk domestik bruto, dan lain-lain. Penyusunan data dasar diawali dengan pemilihan komoditas, industri, rumah tangga, sumber komoditas (ekspor atau impor), jenis tenaga kerja dan input-input lainnya. Untuk memadukan agregasi sektor yang digunakan dalam Tabel I-O dan SNSE dilakukan mapping (pemetaan) antar sektor yang terdapat pada dua sumber data utama tersebut. Bab ini menjelaskan bagaimana membangun data dasar model CGE Agroindustri Indonesia (CGE AGRINDO) dengan menggunakan sumber data terbaru yang relevan dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2003 Tabel I-O Nasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O tahun 2003 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Tabel I-O 2003 yang dipublikasikan oleh BPS terdiri dari 2 sub grup tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar terdiri dari tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel analisis

2 133 diperoleh dari tabel dasar setelah dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Tabel ini meliputi tabel koefisien input, matriks kebalikan total atas dasar harga produsen dan matriks kebalikan domestik atas dasar harga produsen Struktur Input-Output Struktur detail dari Tabel I-O dapat dilihat pada Gambar 22. Matriks yang terdapat pada Tabel I-O terdiri dari matriks penyerapan input di tiap industri, matriks produk bersama dan matriks pajak bersama. Kolom dari matriks penyerapan menunjukkan enam pelaku ekonomi yaitu produsen domestik, investor, rumah tangga, ekspor, pemerintah dan inventori. Semua data yang tertera pada Tabel I-O dihitung dalam nilai rupiah. Baris pada Gambar 22 menunjukkan asal dari pembelian komoditas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi pada setiap kolom yang meliputi aliran bahan baku, margin, pajak, tenaga kerja, modal, tanah dan biaya lainnya. Aliran bahan baku dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditas impor dan domestik yang digunakan oleh industri sebagai input atau pembentukan modal. Sebagai contoh, V1BAS (kolom pertama dan baris pertama) adalah nilai dari bahan baku (input antara) dari komoditas c, sumber s yang digunakan oleh setiap industri i pada produksinya. Selanjutnya aliran komoditas ke kolom ketiga menunjukkan komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga (V3BAS). Aliran komoditas ke kolom keempat, lima dan enam menunjukkan nilai komoditas yang diekspor (V4BAS), dikonsumsi pemerintah (V5BAS) dan menambah atau mengurangi inventaris (V6BAS). Disini dapat dilihat bahwa hubungan antar komoditas pada Tabel I-O menunjukkan hubungan sektoral antar industri dan hubungan aggregat dari pelaku-pelaku ekonomi dalam ekonomi makro.

3 134 Aliran Bahan Baku Margin Pajak Tenaga Kerja Modal Tanah Biaya lainnya Matriks Penyerapan Produsen Investor Rumah Tangga Ekspor Pemerintah Inventori Size I I CxS V1BAS V2BAS V3BAS V4BAS V5BAS V6BAS CxSxM V1MAR V2MAR V3MAR V4MAR V5MAR n/a CxS V1TAX V2TAX V3TAX V4TAX V5TAX n/a O V1LAB C=Jumlah komoditas I =Jumlah industri S= Jumlah sumber komoditas 1 V1CAP O=Jumlah jenis pekerjaan M=Jumlah margin 1 1 V1LND V1OCT Matriks Produk Bersama Pajak Impor Ukuran I Ukuran I C MAKE C V0TAR Gambar 22. Data Input-Output pada Model Keseimbangan Umum Sumber: Horridge et al. (1998) dan Oktaviani (2000) Alur margin dari baris kedua adalah biaya margin komoditas yang digunakan oleh produsen, investor, rumah tangga, pemerintah dan biaya margin komoditas ekspor. Pajak dimatrikskan pada baris ketiga menunjukkan pajak-pajak komoditas, seperti yang dikonsumsi oleh produsen, investor, rumah tangga dan pemerintah, dan pada akhirnya pajak ekspor. Baris-baris tenaga kerja, modal, lahan, dan biaya-biaya lainnya mencatat penggunaan faktor primer untuk masing-masing

4 135 industri pada kolom pertama, mengindikasikan pengembalian pada faktor-faktor input ini seperti yang digunakan pada tiap sektor. Dua matriks akhir adalah gabungan dari matriks produksi dan matriks pajak impor. Gabungan matriks produksi menunjukkan komposisi komoditas dari output tiap-tiap industri. Studi ini mengasumsikan bahwa sebuah industri dapat memproduksi sebuah komoditas. Matriks bea impor mencatat pembayaran bea impor atas tiap komoditas yang diimpor oleh setiap industri Agregasi dan Disagregasi Sektor Ekonomi Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sektor ekonomi yang tercakup dalam penelitian ini terdiri dari 38 sektor. Sektor-sektor tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok besar yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri, dan jasa-jasa. Sektor pertanian yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam 19 sektor, yang merupakan hasil agregasi dan disagregasi dari 23 sektor yang terdapat dalam Tabel I-O 2003 klasifikasi 66 sektor. Sektor-sektor yang termasuk kedalam sektor pertanian meliputi aktivitas pertanian tanaman pangan (padi, kedelai, jagung, ubi kayu, sayur-sayuran dan buah-buahan, serta tanaman bahan makanan lainnya), perkebunan (karet, tebu, kelapa, kelapa sawit, tembakau, kopi, teh, kakao, dan tanaman perkebunan lainnya), kehutanan, peternakan, dan perikanan. Adapun sektor pertambangan diperoleh dari agregasi tiga sektor atau aktivitas, yaitu: (1) penambangan batu bara dan bijih logam, (2) penambangan minyak, gas dan panas bumi, serta (3) penambangan dan penggalian lainnya. Sektor industri yang menjadi fokus perhatian penelitian ini dikategorikan kedalam 10 sektor, yang merupakan sektor industri pengolahan hasil pertanian

5 136 (agroindustri). Kesepuluh sektor industri tersebut adalah: (1) industri pengolahan hasil peternakan, (2) industri pengolahan hasil perikanan, (3) industri minyak dan lemak, (4) beras (industri penggilingan padi), (5) industri tepung segala jenis, (6) industri gula, (7) industri rokok, (8) industri bambu, kayu dan rotan, (9) industri pupuk dan pestisida, serta (10) industri pengolahan karet. Pemilihan sektor industri ini didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, agroindustri yang tercakup kedalam 10 industri prioritas pembangunan industri nasional seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Kesepuluh industri prioritas ini selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh Departemen Perindustrian sebagai kebijakan nasional pembangunan industri. Kedua, agroindustri yang berbahan baku sektor pertanian terpilih. Ketiga, agroindustri yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di masa datang, berdasarkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai ekspor dan penyerapan angkatan kerja. Kelompok keempat adalah sektor jasa-jasa yang terdiri dari tujuh sektor sebagai hasil agregasi, yaitu: (1) sektor listrik, gas dan air bersih, (2) sektor bangunan, (3) sektor perdagangan, hotel dan restoran, (4) sektor jasa transportasi, (5) sektor lembaga keuangan, (6) sektor pemerintahan umum dan pertahanan, serta (7) sektor jasa lainnya. Berdasarkan proses agregasi dan disagregasi tersebut di atas, maka 38 sektor ekonomi yang terpilih dalam penelitian ini adalah: (1) padi, (2) kedelai, (3) jagung, (4) ubi kayu, (5) sayur-sayuran dan buah-buahan, (6) tanaman pangan lainnya, (7) karet, (8) tebu, (9) kelapa, (10) kelapa sawit, (11) tembakau, (12) kopi, (13) teh, (14) kakao, (15) tanaman perkebunan lainnya, (16) tanaman

6 137 lainnya, (17) peternakan, (18) kehutanan, (19) perikanan, (20) pertambangan, (21) industri pengolahan hasil peternakan, (22) industri pengolahan hasil perikanan, (23) industri minyak dan lemak, (24) beras (industri penggilingan padi), (25) industri tepung segala jenis, (26) industri gula, (27) industri rokok, (28) industri bambu, kayu dan rotan, (29) industri pupuk dan pestisida, (30) industri pengolahan karet, (31) industri lainnya, (32) listrik, gas dan air bersih, (33) bangunan, (34) perdagangan, hotel dan restoran, (35) jasa transportasi, (36) lembaga keuangan, (37) pemerintahan umum dan pertahanan, dan (38) jasa lainnya. Untuk memadukan hasil agregasi sektor ekonomi yang digunakan dalam penelitian dengan Tabel I-O 2003, maka dilakukan mapping (pemetaan) antara sektor ekonomi yang terdapat dalam penelitian (38 sektor) dan sektor ekonomi yang terdapat pada Tabel I-O 2003 (66 sektor). Namun karena tidak seluruh sektor ekonomi dalam penelitian sesuai dengan klasifikasi sektor ekonomi pada Tabel I-O 2003, maka perlu dilakukan disagregasi sektor ekonomi terlebih dahulu. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) sektor kedelai, (2) sektor ubi kayu, (3) sektor kakao, (4) sektor industri pengolahan hasil peternakan, (5) sektor industri pengolahan hasil perikanan, dan (6) sektor industri pengolahan karet. Disagregasi sektor dilakukan berdasarkan share nilai masing-masing sub sektor pada setiap sektor yang akan didisagregasi pada Tabel I-O Sektor kedelai (sektor 2 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 2 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman kacang-kacangan. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 6-8 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor kacang tanah (sektor 6), sektor kedelai (sektor 7), dan sektor kacang-kacangan lainnya

7 138 (sektor 8). Dengan demikian, sektor 2 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor kedelai (dengan menggunakan share sektor 7 Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman kacang-kacangan lainnya (dengan menggunakan share sektor 6 dan sektor 8 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman kacang-kacangan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Share untuk Disagregasi Sektor Tanaman Kacang-kacangan Kode Nilai Output Share Nama Sektor I-O 2000 (Milyar Rp) (%) 6 Kacang tanah ,29 50,51 7 Kedelai ,08 34,08 8 Kacang-kacangan lainnya ,39 15,41 Total ,76 100,00 Sumber: BPS (2000). Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 5, maka sektor tanaman kacang-kacangan (sektor 2 pada Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor kedelai (sektor 2) dengan share 34,08 persen dan sektor tanaman kacangkacangan lainnya (sektor 3) dengan share 65,92 persen. Sektor ubi kayu (sektor 4 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 4 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman umbi-umbian. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor 3-5 Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor ketela pohon/ubi kayu (sektor 3), sektor ubi jalar (sektor 4), dan sektor umbi-umbian lainnya (sektor 5). Dengan demikian, sektor 4 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor ubi kayu (dengan menggunakan share sektor 3 pada Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman umbi-umbian lainnya (dengan menggunakan share sektor 4 dan sektor 5 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman umbi-umbian disajikan pada Tabel 6.

8 139 Tabel 6. Share untuk Disagregasi Sektor Tanaman Umbi-umbian Kode Nilai Output Share Nama Sektor I-O 2000 (Milyar Rp) (%) 3 Ketela pohon (ubi kayu) ,24 4 Ubi jalar ,38 5 Umbi-umbian lainnya ,38 Total ,00 Sumber: BPS (2000). Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 6, maka sektor tanaman umbi-umbian (sektor 4 pada Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor ubi kayu (sektor 5) dengan share 33,24 persen dan sektor tanaman umbi-umbian lainnya (sektor 6) dengan share 66,76 persen. Sektor kakao (sektor 14 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 16 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor tanaman perkebunan lainnya. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor kakao (sektor 21), sektor jambu mete (sektor 22), dan sektor hasil perkebunan lainnya (sektor 23). Dengan demikian, sektor 16 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor kakao (dengan menggunakan share sektor 21 pada Tabel I-O 2000) dan sektor tanaman perkebunan lainnya (dengan menggunakan share sektor pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor tanaman perkebunan lainnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Share untuk Disagregasi Sektor Tanaman Perkebunan Lainnya Kode Nilai Output Share Nama Sektor I-O 2000 (Milyar Rp) (%) 21 Kakao ,88 28,47 22 Jambu Mete ,10 30,29 23 Hasil perkebunan lainnya ,51 41,24 Total ,48 100,00 Sumber: BPS (2000).

9 140 Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 7, maka sektor tanaman perkebunan lainnya (sektor 16 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor kakao (sektor 18) dengan share 28,47 persen dan sektor tanaman perkebunan lainnya (sektor 19) dengan share 71,53 persen. Sektor industri pengolahan hasil peternakan (sektor 21 dalam penelitian) dan sektor industri pengolahan hasil perikanan (sektor 22 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 27 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor daging olahan dan awetan (sektor 50), sektor minuman dan makanan terbuat dari susu (sektor 51), sektor buah-buahan dan sayursayuran olahan dan awetan (sektor 52), sektor ikan kering dan ikan asin (sektor 53), serta sektor ikan olahan dan awetan (sektor 54). Dengan demikian, sektor 27 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi tiga sektor, yaitu sektor industri pengolahan hasil peternakan (dengan menggunakan share sektor Tabel I-O 2000), sektor industri pengolahan hasil perikanan (dengan menggunakan share sektor Tabel I-O 2000), dan sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya (dengan menggunakan share sektor 52 pada Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 8, maka sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan (sektor 27 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor industri pengolahan hasil peternakan (sektor 30) dengan share 25,89 persen, sektor industri pengolahan hasil perikanan (sektor 31) dengan share 67,74 persen, dan sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya (sektor 32) dengan share 6,37 persen.

10 Tabel 8. Share untuk Disagregasi Sektor Industri Pengolahan dan Pengawetan Makanan Kode Nilai Output Share Nama Sektor I-O 2000 (Milyar Rp) (%) 50 Daging olahan dan awetan ,04 51 Makanan dan minuman terbuat dari susu ,85 52 Buah-buahan dan sayur-sayuran olahan dan awetan ,37 53 Ikan kering dan ikan asin ,22 54 Ikan olahan dan awetan ,52 Total ,00 Sumber: BPS (2000). 141 Sektor industri pengolahan karet (sektor 30 dalam penelitian) termasuk kedalam sektor 42 pada Tabel I-O 2003 yaitu sektor industri barang karet dan plastik. Sektor ini merupakan agregasi dari sektor Tabel I-O 2000, yang meliputi sektor karet remah dan karet asap (sektor 106), sektor ban (sektor 107), sektor barang-barang lainnya dari karet (sektor 108), dan sektor barang-barang plastik (sektor 109). Dengan demikian, sektor 42 pada Tabel I-O 2003 dapat didisagregasi menjadi sektor industri pengolahan karet (dengan menggunakan share sektor Tabel I-O 2000), dan sektor industri barang plastik (dengan menggunakan share sektor 109 Tabel I-O 2000). Penentuan share untuk disagregasi sektor industri barang karet dan plastik disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Share untuk Disagregasi Sektor Industri Barang Karet dan Plastik Kode Nilai Output Share Nama Sektor I-O 2000 (Milyar Rp) (%) 106 Karet remah dan karet asap ,75 17, Ban ,64 15, Barang-barang lainnya dari karet ,61 12, Barang-barang plastik ,57 54,05 Total ,57 100,00 Sumber: BPS (2000).

11 142 Berdasarkan share yang tertuang pada Tabel 9, maka sektor industri barang karet dan plastik (sektor 42 Tabel I-O 2003) dapat didisagregasi menjadi sektor industri pengolahan karet (sektor 47) dengan share 45,95 persen, dan sektor industri barang plastik (sektor 48) dengan share 54,05 persen. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jumlah sektor yang terdapat pada Tabel I-O 2003 telah mengalami perubahan dari 66 sektor menjadi 72 sektor. Agregasi terhadap 72 sektor yang terdapat pada Tabel I-O 2003 ini ke dalam 38 sektor dalam penelitian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Agregasi Sektor Ekonomi yang Diteliti (38 Sektor) berdasarkan Tabel I-O Tahun 2003 Klasifikasi 72 sektor No. Klasisifikasi 72 Sektor No. Agregasi 38 Sektor Ekonomi yang Diteliti 1 Padi 1 Padi 2 Kedelai 2 Kedelai 3 Tanaman kacang-kacangan lainnya 6 Tanaman bahan makanan lainnya 4 Jagung 3 Jagung 5 Ubi kayu 4 Ubi kayu 6 Tanaman umbi-umbian lainnya 6 Tanaman bahan makanan lainnya 7 Sayur-sayuran dan buah-buahan 5 Sayur-sayuran dan buah-buahan 8 Tanaman bahan makanan lainnya 6 Tanaman bahan makanan lainnya 9 Karet 7 Karet 10 Tebu 8 Tebu 11 Kelapa 9 Kelapa 12 Kelapa sawit 10 Kelapa sawit 13 Tembakau 11 Tembakau 14 Kopi 12 Kopi 15 Teh 13 Teh 16 Cengkeh 15 Tanaman perkebunan lainnya 17 Hasil tanaman serat 15 Tanaman perkebunan lainnya 18 Kakao 14 Kakao 19 Tanaman perkebunan lainnya 15 Tanaman perkebunan lainnya 20 Tanaman lainnya 16 Tanaman lainnya 21 Peternakan 17 Peternakan 22 Pemotongan hewan 17 Peternakan 23 Unggas dan hasil-hasilnya 17 Peternakan 24 Kayu 18 Kehutanan 25 Hasil hutan lainnya 18 Kehutanan 26 Perikanan 19 Perikanan

12 143 Tabel 10. Lanjutan No. Klasisifikasi 72 Sektor No. Agregasi 38 Sektor Ekonomi yang Diteliti 27 Penambangan batubara dan bijih logam 20 Pertambangan 28 Penambangan minyak, gas dan panas bumi 20 Pertambangan 29 Penambangan dan penggalian lainnya 20 Pertambangan 30 Industri pengolahan hasil Industri pengolahan hasil 21 peternakan peternakan 31 Industri pengolahan hasil perikanan 22 Industri pengolahan hasil perikanan 32 Industri pengolahan dan pengawetan makanan lainnya 31 Industri lainnya 33 Industri minyak dan lemak 23 Industri minyak dan lemak 34 Industri penggilingan padi 24 Beras (Industri penggilingan padi) 35 Industri tepung, segala jenis 25 Industri tepung, segala jenis 36 Industri gula 26 Industri gula 37 Industri makanan lainnya 31 Industri lainnya 38 Industri minuman 31 Industri lainnya 39 Industri rokok 27 Industri rokok 40 Industri pemintalan 31 Industri lainnya 41 Industri tekstil, pakaian dan kulit 31 Industri lainnya 42 Industri bambu, kayu dan rotan 28 Industri bambu, kayu dan rotan 43 Industri kertas, barang dari kertas dan karton 31 Industri lainnya 44 Industri pupuk dan pestisida 29 Industri pupuk dan pestisida 45 Industri kimia 31 Industri lainnya 46 Pengilangan minyak bumi 20 Pertambangan 47 Industri pengolahan karet 30 Industri pengolahan karet 48 Industri barang plastik 31 Industri lainnya 49 Industri barang-barang dari mineral bukan logam 31 Industri lainnya 50 Industri semen 31 Industri lainnya 51 Industri dasar besi dan baja 31 Industri lainnya 52 Industri logam dasar bukan besi 31 Industri lainnya 53 Industri barang dari logam 31 Industri lainnya 54 Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik 31 Industri lainnya 55 Industri alat pengangkutan dan perbaikannya 31 Industri lainnya 56 Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun 31 Industri lainnya 57 Listrik, gas dan air bersih 32 Listrik, gas dan air bersih 58 Bangunan 33 Bangunan

13 144 Tabel 10. Lanjutan No. Klasisifikasi 72 Sektor No. Agregasi 38 Sektor Ekonomi yang Diteliti 59 Perdagangan 34 Perdagangan, hotel dan restoran 60 Restoran dan hotel 34 Perdagangan, hotel dan restoran 61 Angkutan kereta api 35 Jasa transportasi 62 Angkutan darat 35 Jasa transportasi 63 Angkutan air 35 Jasa transportasi 64 Angkutan udara 35 Jasa transportasi 65 Jasa penunjang angkutan 35 Jasa transportasi 66 Komunikasi 38 Jasa lainnya 67 Lembaga keuangan 36 Lembaga keuangan 68 Usaha bangunan dan jasa perusahaan 33 Bangunan 69 Pemerintahaan umum dan Pemerintahaan umum dan 37 pertahanan pertahanan 70 Jasa sosial kemasyarakatan 38 Jasa lainnya 71 Jasa lainnya 38 Jasa lainnya 72 Kegiatan yang tdk jelas batasannya 38 Jasa lainnya Keterkaitan antar Sektor Ekonomi Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa Tabel I-O merupakan sajian statistik yang menggambarkan transaksi dan keterkaitan antar sektor ekonomi secara komprehensif, konsisten dan terpadu. Di satu sisi, Tabel I- O menggambarkan seberapa besar produk barang dan jasa suatu sektor digunakan oleh sektor lain dan untuk konsumsi akhir. Di sisi lain, Tabel I-O menjelaskan bagaimana suatu sektor dibangun atau disusun dari sektor-sektor lainnya dan komposisi dari faktor-faktor produksi. Oleh karena itu, bentuk penyajian Tabel I-O adalah matriks, dimana masing-masing barisnya menunjukkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir, sedangkan masing-masing kolomnya menunjukkan pemakaian input antara dan input primer oleh suatu sektor dalam proses produksinya.

14 145 Berdasarkan Tabel I-O yang disajikan pada Gambar 20, maka dapat dibuat dua persamaan neraca yang berimbang sebagai berikut: Baris: n j= 1 xij + fi = X i, i = 1,2,..., n...(5.1) Kolom: n i= 1 xij + v j + m j = X j, j = 1,2,..., n...(5.2) dimana x ij adalah nilai aliran barang atau jasa dari sektor i ke sektor j, f i adalah total konsumsi akhir, v j adalah nilai tambah dan m j adalah impor. Definisi neraca berimbang adalah jumlah produksi (keluaran) sama dengan jumlah masukan. Aliran antar sektor ekonomi dapat ditransformasi menjadi koefisien-koefisien sebagai berikut: a ij = x ij /X j...(5.3) atau: x ij = a ij X j...(5.4) Dengan memasukkan persamaan (5.4) ke dalam persamaan (5.1) akan didapat: n j= 1 aij X j + f i = X i, i = 1,2,..., n...(5.5) Dalam notasi matriks, persamaan (5.5) dapat ditulis sebagai berikut: AX + f = X...(5.6) dimana a ij A nxn, f i f nx1, dan X i X nx1. Dengan memanipulasi persamaan (5.6) didapat hubungan dasar dari Tabel I-O: (I-A) -1 f = X...(5.7) dimana (1-A) -1 dinamakan sebagai matriks kebalikan dari Leontief. Matriks ini mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor akan menyebabkan berkembangnya sektor-sektor lainnya. Matriks

15 146 kebalikan Leontief menerangkan seluruh dampak dari perubahan produksi suatu sektor terhadap total produksi sektor-sektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier (α ij ). Multiplier ini adalah angka-angka yang terdapat dalam matriks (I-A) -1. Dengan menggunakan unsur matriks kebalikan Leontief tersebut di atas, maka dapat dihitung indeks keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian. Terdapat dua bentuk keterkaitan yaitu keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Keterkaitan ke depan diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor ini. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keterkaitan ke depan adalah: FL i n n j= 1 = n n α i= 1 j= 1 ij α ij...(5.8) dimana: FL i = indeks keterkaitan ke depan (forward linkage) sektor i α ij = unsur matriks kebalikan Leontief Sektor i dikatakan mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi apabila nilai FL i lebih besar dari satu. Keterkaitan ke belakang diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan sektor/industri hulunya. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks keterkaitan ke belakang adalah: BL j n n i= 1 = n n α i= 1 j= 1 ij α ij...(5.9)

16 147 dimana: BL j = indeks keterkaitan ke belakang (backward linkage) sektor j α ij = unsur matriks kebalikan Leontief Sektor j dikatakan mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi apabila BL j mempunyai nilai lebih besar dari satu. Berdasarkan rumus pada persamaan (5.8) dan persamaan (5.9) tersebut di atas, maka dapat dihitung indeks keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang dari 38 sektor ekonomi yang diteliti seperti yang disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Indeks Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang Sektor Ekonomi yang Diteliti No. Sektor Ekonomi yang Diteliti Indeks Keterkaitan ke Depan Indeks Keterkaitan ke Belakang 1 Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi T e h Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok

17 148 Tabel 11. Lanjutan No. Sektor Ekonomi yang Diteliti Indeks Keterkaitan ke Depan Indeks Keterkaitan ke Belakang 28 Industri bambu, kayu dan rotan Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Jasa transportasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya Sumber: Diolah dari Tabel I-O tahun 2003 (BPS, 2004). Pada Tabel 11 nampak bahwa sebagian besar sektor pertanian mempunyai keterkaitan ke depan yang rendah, kecuali untuk sektor padi dan sektor peternakan. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks keterkaitan ke depan yang lebih kecil dari satu. Demikian juga halnya dengan sektor industri, dimana sebagian besar sektor industri mempunyai keterkaitan ke depan yang rendah, kecuali pada industri tepung segala jenis, industri pupuk dan pestisida, dan industri lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sektor pertanian dan sektor industri mempunyai kemampuan yang relatif rendah dalam mendorong pertumbuhan sektorsektor lain yang memakai input sektor yang bersangkutan. Sementara itu, sektor lembaga keuangan mempunyai keterkaitan ke depan yang tinggi, yang ditunjukkan oleh nilai indeks keterkaitan ke depan yang lebih besar dari satu. Sebagian besar sektor pertanian juga mempunyai indeks keterkaitan ke belakang yang rendah, kecuali sektor tembakau dan sektor peternakan. Demikian juga halnya untuk sektor lembaga keuangan, dimana sektor ini mempunyai indeks keterkaitan ke belakang yang lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa

18 149 sebagian besar sektor pertanian dan sektor lembaga keuangan mempunyai kemampuan yang relatif rendah dalam menumbuhkan sektor/industri hulunya. Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor industri, dimana seluruh sektor industri mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi, yang ditunjukkan oleh nilai indeks keterkaitan ke belakang yang lebih besar dari satu. Hal ini berarti sektor industri mempunyai kemampuan yang besar dalam menumbuhkan sektor/industri hulunya. Keterkaitan antar sektor ekonomi juga dapat dilihat dari besarnya pangsa input antara yang digunakan. Keterkaitan ke depan dapat dilihat dari besarnya pangsa input antara sektor yang bersangkutan yang digunakan oleh sektor lain dalam proses produksinya. Sebaliknya, keterkaitan ke belakang dapat dilihat dari pangsa input antara sektor lain yang digunakan oleh sektor yang bersangkutan. Pangsa input antara sektor ekonomi yang diteliti secara lengkap disajikan pada Lampiran Sistem Neraca Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) secara periodik mengeluarkan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) untuk Indonesia. SNSE menyediakan informasi mengenai keadaan sosial-ekonomi makro Indonesia, yang tidak hanya meliputi informasi Tabel I-O tetapi juga informasi mengenai distribusi pendapatan untuk semua faktor produksi, pendapatan rumah tangga, dan pola pengeluaran rumah tangga (BPS, 2005). Dibandingkan dengan Tabel I-O standar, sebuah Tabel SNSE tidak hanya mengidentifikasi struktur produksi tetapi juga bermanfaat dalam menjelaskan distribusi pendapatan, tenaga kerja, dan akumulasi modal (Jemio dan Jansen, 1993).

19 150 Pada Tabel SNSE, kolom-kolom menunjukkan pendapatan yang diperoleh masing-masing faktor produksi, institusi, sektor produksi, dan sektor lainnya. Sementara itu baris-baris menunjukkan sisi pengeluaran dari klasifikasi sektor ini. Penyederhanaan dari SNSE dapat dilihat pada Tabel 12. SNSE Indonesia tahun 2003 dikeluarkan dalam dua kelompok sektoral, yaitu versi 23 x 23 dan 102 x 102. Pengelompokan sektor produksi pada SNSE berbeda dengan pengelompokan pada Tabel I-O. Untuk menggabungkan data dari SNSE dan Tabel I-O diperlukan pengelompokkan sektor antar keduanya (Oktaviani, 2000). Pengelompokan sektor dalam penelitian, Tabel I-O 2003 dan SNSE 2003 disajikan pada Tabel 13.

20 151 Tabel 12. Tabel SNSE Secara Sederhana P E N E R I M A A N Faktor Produksi Institusi termasuk Rumah Tangga Aktivitas Produksi P E N G E L U A R A N Faktor Produksi Distribusi Pendapatan terhadap RT dan Institusi Lainnya Institusi termasuk Rumah Tangga Transfer, Pajak dan Subsidi Permintaan Barang dan Jasa Institusi Neraca Modal Tabungan Institusi Luar Negeri 5 Total Pengeluaran Faktor Produksi Impor Barang dan Jasa Institusi Pengeluaran Institusi Aktivitas Produksi Distribusi Pendapatan Faktor Permintaan antar Industri Aktivitas Produksi Impor Barang Output Kotor Neraca Modal Formasi Modal Impor pada Barang Investasi Aggregate Investasi Neraca Lainnya Luar Negeri Penerimaan Institusi dari Luar Negeri Ekspor Total Penerimaan dari Luar Negeri Total Penerimaan Faktor Produksi Pendapatan Institusi Pendapatan Kotor Tabungan Agregat Total Pengeluaran dari Luar Negeri Sumber: Thorbecke (1985) 151

21 Tabel 13. Pengelompokan Sektor Ekonomi yang Diteliti dari Tabel Input-Output Tahun 2003 dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2003 No. Sektor ekonomi yang diteliti I-O 2003 SNSE 2003 (38 Sektor) (72 Sektor) (23 Sektor) 1. Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya 3, 6, Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Kakao Tanaman perkebunan lainnya 16-17, Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan , Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok Industri bambu, kayu dan rotan Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet Industri lainnya 32, 37-38, 40-41, 43, 45-46, , Listrik, gas dan air bersih Bangunan 58, 68 14, Perdagangan, hotel dan restoran , 16, Jasa transportasi , Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya 66,

22 Klasifikasi Rumah Tangga Dalam penelitian ini, rumah tangga didisagregasi mengikuti pengelompokan pada SNSE 2003 menjadi delapan kelompok rumah tangga berdasarkan lokasi dan jenis pekerjaan, yaitu lima kelompok rumah tangga di perdesaan (rural) dan tiga kelompok rumah tangga di perkotaan (urban). Lima kelompok rumah tangga perdesaan (rural) tersebut adalah sebagai berikut: (1) Rural 1 adalah rumah tangga buruh pertanian di perdesaan. (2) Rural 2 adalah rumah tangga pengusaha pertanian di perdesaan. (3) Rural 3 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha (TU), pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, dan buruh kasar. (4) Rural 4 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan, yang meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas di perdesaan. (5) Rural 5 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan, meliputi pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas. Tiga kelompok rumah tangga perkotaan (urban) adalah sebagai berikut: (1) Urban 1 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan bawah di perkotaan, yang meliputi pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar. (2) Urban 2 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas.

23 154 (3) Urban 3 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan, seperti pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas. Pengeluaran delapan kelompok rumah tangga tersebut terhadap masingmasing sektor disajikan pada Tabel Klasifikasi Tenaga Kerja Sebuah model keseimbangan umum membutuhkan informasi mengenai pengeluaran tenaga kerja pada setiap sektor berdasarkan jenis pekerjaan. Klasifikasi tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti kategori yang ditemukan pada Tabel SNSE Pada tabel tersebut tenaga kerja dikategorikan menjadi 4 kelompok besar yaitu tenaga kerja pertanian, operator, tata usaha dan profesional. Pada penelitian ini, tenaga kerja pertanian dan operator dikelompokkan lagi menjadi tenaga kerja tidak terdidik (unskilled), sedangkan tata usaha dan profesional dikelompokkan menjadi tenaga kerja terdidik (skilled). Untuk mengetahui upah berdasarkan jenis pekerjaannya dibutuhkan data yang berasal dari data SNSE. Pengeluaran upah tenaga kerja berdasarkan jenis pekerjaan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 15.

24 Tabel 14. Pengeluaran Kelompok Rumah Tangga terhadap Sektor-sektor Perekonomian dalam Model CGE Agrindo (Miliar Rupiah) 155 Sektor Kelompok Rumah Tangga Rural 1 Rural 2 Rural 3 Rural 4 Rural 5 Urban 1 Urban 2 Urban 3 1. Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan

25 156 Tabel 14. Lanjutan Sektor Kelompok Rumah Tangga Rural 1 Rural 2 Rural 3 Rural 4 Rural 5 Urban 1 Urban 2 Urban Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok Industri bambu, kayu dan rotan Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Jasa transportasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003) 156

26 157 Tabel 15. Pembayaran Upah Tiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun 2003 (Miliar Rupiah) Sektor Terdidik Tidak Terdidik 1. Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok Industri bambu, kayu dan rotan Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Jasa transportasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003)

27 Pendapatan atas Lahan dan Modal Model CGE-AGRINDO juga membutuhkan informasi mengenai pendapatan atas lahan dan modal per sektor. Informasi mengenai pembagian pendapatan atas lahan dan kapital tidak tersedia pada Tabel I-O, melainkan terdapat pada matriks SNSE. Pada SNSE, faktor produksi dibagi menjadi lebih rinci, diantaranya adalah tenaga kerja, lahan, perumahan, dan modal lainnya di daerah perdesaaan dan modal-modal lainnya di sekitar perkotaan, modal swasta, modal pemerintah dan modal asing. Untuk memperoleh data pendapatan lahan dan modal ini diperlukan pengelompokan sektor antara SNSE dan Tabel I-O yang diaplikasikan untuk mendapatkan proporsi lahan dan modal pada 38 sektor yang terdapat pada penelitian. Setelah proposi pendapatan lahan dan kapital diperoleh, nilai tersebut dikalikan dengan nilai total dari surplus usaha (sektor 202 pada Tabel I-O) dan biaya depresiasi (sektor 203 pada Tabel I-O). Pembayaran terhadap faktor produksi lahan dan kapital pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Pendapatan Lahan dan Modal Tahun 2003 (Miliar Rupiah) Sektor Lahan Modal 1. Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh

28 159 Tabel 16. Lanjutan Sektor Lahan Modal 14. Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok Industri bambu, kayu dan rotan Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Jasa transportasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah dari Tabel I-O, 2003 dan SNSE, 2003) 5.6. Penyusunan Matriks-Matriks Pajak Data pajak yang diperlukan dalam model keseimbangan umum adalah pajak pendapatan pada setiap sektor berdasarkan sumber dan pengguna. Akan tetapi belum ada publikasi mengenai pajak pendapatan pada setiap sektor. Beberapa data perpajakan memang telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistisk dan Bank Indonesia dalam laporannya, tetapi data tersebut tidak meliputi pajak pendapatan per sektor.

29 160 Sistem perpajakan di Indonesia meliputi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN) barang mewah, pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai, bea masuk, pajak/pungutan ekspor, dan pajak lainnya. Besarnya penerimaan pemerintah dari pajak tersebut disajikan pada Tabel 17. Table 17. Penerimaan Perpajakan Pemerintah, Tahun 2003 Tipe Penerimaan Perpajakan Nilai (Miliar Rupiah) Pangsa (%) 1. Pajak Dalam Negeri a. Pajak Penghasilan b. Pajak Pertambahan Nilai c. Pajak Bumi dan Bangunan d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan e. Cukai f. Pajak Lainnya Pajak Perdagangan Internasional a. Bea Masuk b. Pajak/Pungutan Ekspor Total Penerimaan Perpajakan Sumber: Bank Indonesia (2004) Nilai pajak berdasarkan sektor (komoditas) diperlukan sebagai data dasar pada model keseimbangan umum. Data ini diturunkan dari pajak tidak langsung yang terdapat pada Tabel I-O. Di sini diasumsikan bahwa satu industri hanya memproduksi satu komoditas, sehingga pajak berbasiskan industri sama dengan pajak berbasiskan komoditas. Pembayaran pajak tidak langsung dan permintaan komoditas oleh pengguna dihitung berdasarkan nilai yang terdapat pada matriks pajak dan nilai dasar dari pembelian oleh setiap pengguna. Asumsi yang digunakan adalah bahwa tingkat pajak tidak langsung yang dikenakan pada setiap komoditas yang dibeli oleh

30 161 pengguna adalah sama. Dengan demikian besarnya pajak tidak langsung pada komoditas domestik dapat dihitung berdasarkan rumus: DomTaxR c = DomTax c Sales c c COM (5.10) dimana: DomTax c = pajak tidak langsung pada setiap komoditas. Sales c = total pembelian komoditas c oleh setiap pengguna Total pembelian diperoleh dengan cara menjumlahkan pembelian komoditas pada semua pengguna pada matriks absorpsi (penyerapan). Besarnya penarikan pajak domestik tidak langsung dari setiap pengguna berdasarkan komoditas dapat dihitung berdasarkan rumus: k Tax Re v cis k = VBAS cis * DomTaxR c...(5.11) dimana: k VBAS cis berdasarkan: c COM,i IND, k USER,s = DOM = Nilai dasar komoditas domestik c (dinilai berdasarkan pada harga di tingkat produsen) oleh pengguna k seperti yang terdapat pada Tabel I-O. Pada komoditas impor, pajak penjualan impor komoditas c dapat dihitung Im ptaxr c = Im ptax c Vimp c...(5.12) dimana: Im ptax c = Pajak penjualan impor berdasarkan komoditas Vimp c = Total nilai dasar impor barang c oleh setiap pengguna Selanjutnya, pendapatan dari pajak impor pada setiap pengguna berdasarkan komoditas dapat dihitung dengan menggunakan rumus : k Im ptax Re v cis k = VBAS cis * Im ptaxr c....(5.13) c COM,i IND, k USER,s = IMP

31 Elastisitas dan Parameter Lain Selain data dasar yang telah dikemukan di atas, model keseimbangan umum juga membutuhkan data parameter elastisitas dan beberapa parameter behavioural. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model ini adalah elastisitas Armington, elastisitas substitusi tenaga kerja, elastisitas substitusi untuk input primer, elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas pengeluaran. Parameter lain yang diperlukan adalah parameter yang berhubungan dengan investasi. Idealnya parameter-parameter tersebut diperoleh dari data time series yang kemudian diestimasi dengan menggunakan alat analisis ekonometrika. Namun demikian karena adanya keterbatasan data di lapangan, menyebabkan sebagian besar dari nilai parameter tersebut diperoleh dari hasil studi terdahulu, baik studi yang dilakukan di Indonesia maupun studi yang dilalukan di negara lain yang kemudian diaplikasikan pada model Indonesia. Berikut akan dijelaskan masing-masing besaran parameter elastisitas dan parameter lainnya yang digunakan dalam model. (1) Elastisitas Armington Armington telah mengemukakan teori mengenai permintaan barang dalam aktivitas perdagangan internasional. Dalam teori yang dikembangkannya, Armington memperkenalkan asumsi bahwa produk yang diperdagangkan secara internasional berbeda berdasarkan lokasi produksinya. Armington lebih jauh mengasumsikan bahwa dalam suatu negara, setiap industri hanya menghasilkan satu produk dan bahwa produk ini berbeda dari produk industri yang sama dari negara lain. Dari sudut pandang konsumen, produk suatu industri yang berasal dari berbagai negara merupakan sekelompok barang yang dapat saling bersubstitusi (Lloyd dan Zhang, 2005). Tingkat substitusi di antara barang yang

32 163 dihasilkan oleh industri domestik dan industri di negara lain besifat tidak sempurna (imperfect of substitution) (Kapuscinski dan Warr, 1999). Derajat substitusi di antara kedua barang tersebut selanjutnya dikenal secara luas sebagai elastisitas substitusi Armington atau disingkat elastisitas Armington. Asumsi Armington terhadap produk yang terdeferensiasi secara nasional telah diadopsi secara luas dalam model CGE untuk mendefenisikan permintaan barang-barang domestik dan barang-barang impor. Dalam penelitian ini, nilai elastisitas Armington untuk tiap komoditas mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007), dimana elastisitas Armington diestimasi dengan menggunakan data time series yang tersedia. Untuk mengestimasi elastisitas Armington diperlukan data volume dan harga barang impor serta data produksi dan harga barang domestik. Selanjutnya data ini dianalisis dengan model logaritma ganda (DLM) dan model penyesuaian parsial (PAM). Nilai parameter elastisitas tersebut disajikan pada Tabel 18. (2) Elastisitas Permintaan Ekspor Elastisitas permintaan ekspor menunjukkan respon permintaan komoditas ekspor terhadap perubahan harganya di pasar internasional. Pada perekonomian internasional, Indonesia diasumsikan sebagai negara kecil, sehingga ekspor Indonesia tidak akan mempengaruhi harga dunia. Dalam penelitian ini, nilai elastisitas permintaan ekspor mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007), yang diestimasi dengan menggunakan data volume dan nilai ekspor. Elastisitas permintaan ekspor masing-masing sektor/komoditas disajikan pada Tabel 18.

33 164 Tabel 18. Parameter Elastisitas yang Digunakan dalam Model Sektor/Komoditas Armington Permintaan Ekspor Elastisitas Substitusi Input Primer Substitusi TK Padi Kedelai Jagung Ubi kayu Sayur-sayuran dan buahbuahan 6. Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Kakao Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Industri pengolahan hasil peternakan Industri pengolahan hasil perikanan Industri minyak dan lemak Beras (Industri penggilingan padi) Industri tepung segala jenis Industri gula Industri rokok Industri bambu, kayu dan rotan 29. Industri pupuk dan pestisida Industri pengolahan karet Industri lainnya Listrik, gas dan air bersih

34 165 Tabel 18. Lanjutan Sektor/Komoditas Armington Permintaan Ekspor Elastisitas Substitusi Input Primer Substitusi TK 33. Bangunan Perdag., hotel dan restoran Jasa transportasi Lembaga keuangan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa lainnya Sumber: Oktaviani et al. (2007, dimodifikasi). (3) Elastisitas Substitusi Input Primer Elastisitas substitusi input primer menunjukkan bagaimana respon dari setiap input pada setiap sektor akibat perubahan harga input. Pada fungsi produksi CES, faktor primer disubstitusi sesamanya dengan elastisitas substitusi yang konstan. Nilai yang sama juga diberlakukan untuk semua faktor yang saling berpasangan. Biasanya nilai yang digunakan untuk elastisitas ini adalah 0.5. Kisaran nilai 0.5 tersebut telah digunakan dalam model ORANI, ORANI-F dan ORANI-G pada perekonomian Australia (Dixon et al., 1982; Horridge et al., 1993; Horridge et al., 1997). Penentuan nilai elastisitas substitusi input primer dalam penelitian ini mengikuti model DyREC yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2007). Adapun nilai elastisitas substitusi input primer masing-masing sektor/komoditas disajikan pada Tabel 18. (4) Elastisitas Substitusi Tenaga Kerja Nilai elastisitas substitusi tenaga kerja menunjukkan respon dari perubahan tenaga kerja pada berbagai jenis pekerjaan akibat adanya perubahan upah. Penelitian khusus yang telah dilakukan untuk memperkirakan besaran nilai

V. MEMBANGUN DATA DASAR

V. MEMBANGUN DATA DASAR V. MEMBANGUN DATA DASAR Sudah dikemukakan sebelumnya, di bagian metodologi bahwa sumber data utama yang digunakan dalam studi ini dalam rangka membangun Model CGE-Investasi Regional (CGE-IR) adalah Tabel

Lebih terperinci

V. KONSTRUKSI DATA DASAR

V. KONSTRUKSI DATA DASAR V. KONSTRUKSI DATA DASAR Penyusunan data dasar dilakukan secara terintegrasi dengan penyusunan sistem persamaan. Data dasar berperan sebagai pensuplai semua data dan parameter yang dibutuhkan sistem persamaan.

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2)

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2) Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

4. KONSTRUKSI DATA DASAR

4. KONSTRUKSI DATA DASAR 4. KONSTRUKSI DATA DASAR Sumber data utama yang digunakan untuk membangun data dasar (data base) pada model CGE INDOTDL adalah Tabel I-O Indonesia tahun 2008. Model CGE INDOTDL merupakan model CGE yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Model Input Output Koefisien teknis dalam Tabel Input Output menunjukkan kontribusi suatu sektor dalam pembentukan output total secara langsung. Besaran koefisien

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir Hasil dari analisis dengan menggunakan PCA menunjukkan sektor-sektor perekonomian pada bagian hulu dan sektor-sektor

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN 6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Bagian ini akan menganalisis dampak dari peningkatan investasi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Banyuwangi memiliki peran strategis dalam pembangunan daerah di Jawa Timur baik dari sisi ekonomi maupun letak geografis. Dari sisi geografis, Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Menurut Sugiyono (2005:129) pengumpulan data dilakukan dengan berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN DI PROVINSI LAMPUNG

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN DI PROVINSI LAMPUNG ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN DI PROVINSI LAMPUNG (Linkage Analysis of The Agroindustry Sector on Economy In Lampung Province) Rendy Oktaliando, Agus Hudoyo, dan Achdiansyah

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder seperti tabel I-O Indonesia klasifikasi 175 sektor tahun 2005 dan 2008, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Lebih terperinci

KONSTRUKSI DATA DASAR

KONSTRUKSI DATA DASAR IV. KONSTRUKSI DATA DASAR Sumber data utama yang digunakan untuk membangun data dasar (data base) pada model CGE Indomini adalah Tabel I-O Indonesia tahun 2005. Model CGE Indomini merupakan model CGE yang

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1 PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati 1 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) 2017 ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas. Buku 2 ini menyajikan data yang lebih lengkap dan terperinci mengenai

Lebih terperinci

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI 157 VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI Salah satu kelebihan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah mampu menjelaskan dengan lengkap tiga aktivitas distribusi

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAN DAMPAK PENGGANDA SEKTOR PERIKANAN PADA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH : ANALISIS INPUT OUTPUT

ANALISIS KETERKAITAN DAN DAMPAK PENGGANDA SEKTOR PERIKANAN PADA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH : ANALISIS INPUT OUTPUT ANALISIS KETERKAITAN DAN DAMPAK PENGGANDA SEKTOR PERIKANAN PADA PEREKONOMIAN JAWA TENGAH : ANALISIS INPUT OUTPUT OLEH: Abdul Kohar Mudzakir Dosen Lab Sosek Perikanan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Bab ini akan menjelaskan metode yang digunakan pada penelitian ini dan tahapan-tahapan analisis pada penelitian ini. Diawali dengan penjelasan mengenai sumber data yang akan digunakan,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN HUBUNGAN ANTARSEKTOR PEREKONOMIAN NASIONAL

ANALISIS KEBIJAKAN HUBUNGAN ANTARSEKTOR PEREKONOMIAN NASIONAL ANALISIS KEBIJAKAN HUBUNGAN ANTARSEKTOR PEREKONOMIAN NASIONAL Saktyanu K. Dermoredjo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Sesaat setelah

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN. Biro Riset LMFEUI

ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN. Biro Riset LMFEUI ANALISIS PERKEMBANGAN BISNIS SEKTOR PERTANIAN Biro Riset LMFEUI Data tahun 2007 memperlihatkan, dengan PDB sekitar Rp 3.957 trilyun, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, yaitu Rp

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Pulau Kalimantan didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumberdaya alam

Lebih terperinci

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN 7.1. Peranan Langsung Sektor Pupuk Terhadap Nilai Tambah Dalam kerangka dasar SNSE 2008, nilai tambah perekonomian dibagi atas tiga bagian

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN HUBUNGAN ANTARSEKTOR PEREKONOMIAN NASIONAL

ANALISIS KEBIJAKAN HUBUNGAN ANTARSEKTOR PEREKONOMIAN NASIONAL ANALISIS KEBIJAKAN HUBUNGAN ANTARSEKTOR PEREKONOMIAN NASIONAL Saktyanu K. Dermoredjo Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Sesaat setelah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Ir. M. Tassim Billah, M.Sc.

KATA PENGANTAR. Ir. M. Tassim Billah, M.Sc. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin) menerbitkan Buku Saku Statistik Makro Triwulanan. Buku Saku Volume V No. 4 Tahun

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri FEBRUARI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Februari 2017 Pendahuluan Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun

Lebih terperinci

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini V. ANALISA SISTEM 5. Agroindustri Nasional Saat Ini Kebijakan pembangunan industri nasional yang disusun oleh Departemen Perindustrian (5) dalam rangka mewujudkan visi: Indonesia menjadi Negara Industri

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR

Kata Pengantar KATA PENGANTAR 2 Ne r a c asa t e l i tpa r i wi s a t ana s i o na l 201 6 KEMENTERI ANPARI WI SATA Websi t e:ht t p: / / www. kemenpar. go. i d ht t p: / / www. i ndonesi a. t r avel Emai l :pusdat i n@kemenpar. go.

Lebih terperinci

SINKRONISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG BERBASIS DATA

SINKRONISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG BERBASIS DATA SINKRONISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG BERBASIS DATA Dr. Slamet Sutomo Deputi Kepala Badan Pusat Statistik Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS-Statistik Statistik Indonesia Forum Kepala Bappeda

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85 D a f t a r I s i Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel DAFTAR ISI Daftar Tabel Pokok Produk Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Tahun 2009-2011 BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Umum 1 1.2. Konsep

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal 39 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang sebagian besar berasal dari Tabel Input-Output Kota Bontang Tahun 2010 klasifikasi 46 sektor yang diagregasikan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK SUBSIDI HARGA PUPUK TERHADAP OUTPUT SEKTOR PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI JAWA TENGAH

ANALISIS DAMPAK SUBSIDI HARGA PUPUK TERHADAP OUTPUT SEKTOR PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI JAWA TENGAH ANALISIS DAMPAK SUBSIDI HARGA PUPUK TERHADAP OUTPUT SEKTOR PRODUKSI DAN TINGKAT PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI JAWA TENGAH (Pendekatan Analisis I-O dan SNSE Jawa Tengah Tahun 2004) Sri Kasiyati Alumni Jurusan

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN Peningkatan produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan produktivitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN 5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar minyak bumi (BBM) dan semakin

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SEKTOR PADA INDUSTRI, PERDAGANGAN DAN JASA ANGKUTAN DI JAWA TIMUR

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SEKTOR PADA INDUSTRI, PERDAGANGAN DAN JASA ANGKUTAN DI JAWA TIMUR ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SEKTOR PADA INDUSTRI, PERDAGANGAN DAN JASA ANGKUTAN DI JAWA TIMUR JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Wahyu Setiawan 0810210099 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO 3.1. Perkiraan Kondisi Ekonomi Tahun 2006 Stabilitas perekonomian merupakan syarat untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam hal ini pemerintah sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA ANALISIS KEBUTUHAN INVESTASI BIDANG USAHA UNGGULAN BERBAHAN BAKU PERTANIAN DALAM SUBSEKTOR INDUSTRI MAKANAN DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA OLEH MUHAMMAD MARDIANTO 07114042 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh Kebijakan Revitalisasi Perkeretaapian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan Sektor Produksi. Sub bab ini akan membahas tentang analisis hasil terhadap

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL 7.1. Neraca Pariwisata Jumlah penerimaan devisa melalui wisman maupun pengeluaran devisa melalui penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri tergantung

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA 6.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008 yang diklasifikasikan menjadi 10 sektor dan

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kode Sektor Sektor Eknonomi

Lampiran 1. Kode Sektor Sektor Eknonomi 263 Lampiran 1. Kode Sektor Sektor Eknonomi Kode Nama Sektor 1 Padi 2 Jagung 3 Ubi Kayu 4 Ubi-Ubian Lainnya 5 Kacang-kacangan 6 Sayuran dataran ttinggi 7 Sayuran dataran rendah 8 Jeruk 9 Pisang 10 Buah-buahan

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

DAMPAK IMPLEMENTASI MANDAT KONSUMSI BAHAN BAKAR NABATI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 1. Institut Pertanian Bogor

DAMPAK IMPLEMENTASI MANDAT KONSUMSI BAHAN BAKAR NABATI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 1. Institut Pertanian Bogor DAMPAK IMPLEMENTASI MANDAT KONSUMSI BAHAN BAKAR NABATI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 1 Sugiyono 1, Rina Oktaviani 2, Dedi Budiman Hakim 2, Bustanul Arifin 3 1 Mahasiswa Pascasarjana, IPB 2 Departemen

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan 138 BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA 6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 17.968.449 19.510.919 1.542.470 8,58 2 Usaha Menengah (UM) 23.077.246 25.199.311 2.122.065 9,20 Usaha Kecil

Lebih terperinci

Analisis Input-Output (I-O)

Analisis Input-Output (I-O) Analisis Input-Output (I-O) Di Susun Oleh: 1. Wa Ode Mellyawanty (20100430042) 2. Opissen Yudisyus (20100430019) 3. Murdiono (20100430033) 4. Muhammad Samsul (20100430008) 5. Kurniawan Yuda (20100430004)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT PELATIHAN UNTUK STAF PENELITI Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT Oleh Dr. Uka Wikarya Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universtas

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing

Sebagai suatu model kuantitatif, Tabel IO akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai: mencakup struktur output dan nilai tambah masingmasing Model Tabel Input-Output (I-O) Regional Tabel Input-Output (Tabel IO) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BADAN PUSAT STATISTIK No. 71/11/Th. XIV, 1 November PERKEMBANGAN INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR OKTOBER HARGA GROSIR NAIK 0,20 PERSEN Pada bulan Indeks harga grosir/agen atau Indeks Harga Perdagangan Besar

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN ROKAN HILIR: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN ROKAN HILIR: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT PERANAN SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN ROKAN HILIR: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT THE ROLE OF THE AGROINDUSTRY SECTOR TO ECONOMY OF KABUPATEN ROKAN HILIR ANALYSIS OF THE INPUT-OUTPUT

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun Jenis data 38 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data tabel FSNSE pada tahun 2005. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci