VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN"

Transkripsi

1 VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN Peningkatan produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan produktivitas faktor total atau Total Factor Productivity (TFP). Terdapat tiga simulasi kebijakan yang dilakukan, yaitu peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1), peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh sektor pertanian (simulasi 2), dan peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan (simulasi 3). Ketiga simulasi tersebut dikaji dampaknya terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumahtangga dan tingkat kemiskinan Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral Secara teoritis, peningkatan produktivitas suatu sektor akan diikuti oleh peningkatan output pada sektor yang bersangkutan dan sektor lainnya yang terkait. Hal ini berarti terjadi pergeseran kurva penawaran ke kanan, sebagai akibat adanya peningkatan produktivitas. Pada Tabel 24, nampak bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak positif terhadap peningkatan jumlah output pada sebagian besar industri pertanian. Peningkatan output terbesar terjadi pada industri rokok (3.53 persen), sedangkan peningkatan output terendah terjadi pada industri pupuk dan pestisida (0.94 persen). Sementara itu, pada sektor industri bambu, kayu dan rotan dan industri pengolahan karet justru mengalami penurunan jumlah output yang dihasilkan sebagai dampak terjadinya peningkatan produktivitas pada industri yang

2 187 bersangkutan. Penurunan output pada kedua industri ini diduga terkait erat dengan terjadinya penurunan investasi (x2tot) pada industri yang bersangkutan, dimana pada industri bambu, kayu dan rotan mengalami penurunan investasi sebesar persen dan pada industri pengolahan karet sebesar persen. Tabel 24. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Jumlah Output Sektoral No. Sektor/Komoditas Sim 1 */ Jumlah Output Sim 2 */ Sim 3 */ Sektor Industri Pertanian 1. Pengolahan Ternak Pengolahan Ikan Minyak dan Lemak Beras Tepung Gula Rokok Bambu, Kayu dan Rotan Pupuk dan Pestisida Pengolahan Karet Sektor Pertanian 1. Padi Ubi Kayu Karet Tebu Kelapa Kelapa Sawit Tembakau Peternakan Hasil Hutan Perikanan Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Peningkatan produktivitas industri pertanian juga berdampak positif terhadap peningkatan output pada beberapa sektor pertanian sebagai pemasok bahan baku, yaitu pada komoditas padi, ubi kayu, tebu, kelapa, kelapa sawit, (%)

3 188 tembakau, peternakan dan komoditas perikanan. Sementara itu, terdapat dua komoditas pertanian justru mengalami penurunan jumlah output yang dihasilkan, yaitu komoditas karet dan komoditas hasil hutan. Penurunan jumlah output pada komoditas karet dan hasil hutan ini diduga terkait erat dengan penurunan jumlah output pada industri hilirnya yaitu industri pengolahan karet dan industri bambu, kayu dan rotan. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka hampir pada seluruh sektor mengalami peningkatan jumlah output yang dihasilkan, kecuali pada komoditas padi dan tembakau. Kondisi yang sama juga akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3). Penurunan jumlah output pada komoditas tembakau diduga disebabkan karena terjadinya penurunan investasi di sektor ini, yaitu sebesar persen (simulasi 2) dan persen (simulasi 3). Walaupun investasi pada komoditas padi menunjukkan peningkatan pada semua simulasi, namun peningkatannya cenderung menurun, yaitu dari persen pada simulasi 1, menurun menjadi persen (simulasi 2) dan persen (simulasi 3). Pola perubahan output sektoral berpengaruh langsung terhadap tingkat harga output sektoral. Peningkatan jumlah output diikuti oleh penurunan harga output pada sebagian sektor. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi, dimana penambahan jumlah output yang dihasilkan akan mendorong penurunan harga jual output yang bersangkutan. Pada Tabel 25, terlihat bahwa harga output pada sebagian besar sektor industri mengalami penurunan, kecuali pada industri

4 189 bambu, kayu dan rotan dan industri pengolahan karet. Peningkatan harga output pada kedua industri ini terkait erat dengan semakin menurunnya jumlah output yang dihasilkan oleh industri yang bersangkutan seperti yang sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya. Kondisi sebaliknya dialami oleh sektor pertanian, dimana peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) justru berdampak terhadap peningkatan harga output pada seluruh komoditas pertanian. Tabel 25. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Harga Output Sektoral No. Sektor/Komoditas Sim 1 */ Harga Output Sim 2 */ Sim 3 */ Sektor Industri Pertanian 1. Pengolahan Ternak Pengolahan Ikan Minyak dan Lemak Beras Tepung Gula Rokok Bambu, Kayu dan Rotan Pupuk dan Pestisida Pengolahan Karet Sektor Pertanian 1. Padi Ubi Kayu Karet Tebu Kelapa Kelapa Sawit Tembakau Peternakan Hasil Hutan Perikanan Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian tersebut diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka seluruh komoditas, (%)

5 190 baik di sektor pertanian maupun di sektor industri pertanian, mengalami penurunan harga output. Penurunan harga output akan semakin besar apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3). Dampak sektoral peningkatan produktivitas juga dapat dilihat dari perubahan penyerapan tenaga kerja pada berbagai sektor, seperti yang disajikan pada Tabel 26. Pada seluruh simulasi kebijakan, peningkatan penyerapan tenaga kerja mengikuti pola peningkatan jumlah output yang dihasilkan. Namun demikian, untuk beberapa industri pertanian justru mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja. Industri pertanian tersebut antara lain industri bambu, kayu dan rotan, industri pupuk dan pestisida serta industri pengolahan karet. Penurunan penyerapan tenaga kerja pada industri bambu, kayu dan rotan dan industri pengolahan karet, terkait erat dengan penurunan jumlah output yang dihasilkan oleh kedua jenis industri ini, sebagai dampak peningkatan produktivitas industri yang bersangkutan. Peningkatan produktivitas industri pertanian juga berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, kecuali pada komoditas karet dan komoditas hasil hutan yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja. Apabila diperbandingkan pola perubahan output sektoral dengan pola perubahan penyerapan tenaga kerja sektoral, maka akan nampak bahwa peningkatan jumlah output yang dihasilkan pada hampir seluruh sektor lebih besar dibandingkan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini mencerminkan terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja pada sebagian besar industri pertanian sebagai dampak guncangan (shock) peningkatan produktivitas faktor total pada industri pertanian yang bersangkutan.

6 191 Tabel 26. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral (%) No. Sektor/Komoditas Sim 1 */ Sim 2 */ Sim 3 */ Skilled Unskilled Total Skilled Unskilled Total Skilled Unskilled Total Sektor Industri Pertanian 1. Pengolahan Ternak Pengolahan Ikan Minyak dan Lemak Beras Tepung Gula Rokok Bambu, Kayu dan Rotan Pupuk dan Pestisida Pengolahan Karet Sektor Pertanian 1. Padi Ubi Kayu Karet Tebu Kelapa Kelapa Sawit Tembakau Peternakan Hasil Hutan Perikanan Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian, Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian, Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan 191

7 192 Pada sektor yang mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja, ternyata peningkatan penyerapan tenaga kerja terdidik (skilled) lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled). Sebaliknya pada sebagian sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja, nampak bahwa penurunan tenaga kerja terdidik lebih kecil dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik. Hal ini diduga karena pola perubahan penyerapan tenaga kerja sektoral terkait erat dengan perubahan tingkat upah tenaga kerja terdidik dan tenaga kerja tidak terdidik sebagai dampak terjadinya peningkatan produktivitas (Tabel 27). Tabel 27. Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Tingkat Upah Tenaga Kerja Jenis Tenaga Kerja Perubahan Tingkat Upah Sim 1 */ Sim 2 */ Sim 3 */ Nominal Tenaga Kerja Terdidik Tenaga Kerja Tidak Terdidik Riil Tenaga Kerja Terdidik Tenaga Kerja Tidak Terdidik (%) Pada Tabel 27, nampak bahwa adanya peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak terhadap peningkatan upah tenaga kerja, dimana peningkatan upah nominal tenaga kerja terdidik (0.34 persen) lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan upah nominal tenaga kerja tidak terdidik (3.46 persen). Apabila upah nominal tersebut dikonversikan dengan laju inflasi yang sebesar 1.96 persen, maka upah riil tenaga kerja terdidik justru mengalami penurunan (-1.62 persen), sedangkan upah riil tenaga kerja tidak terdidik tetap mengalami peningkatan (1.50 persen). Kondisi inilah yang mendorong suatu industri menambah penyerapan jumlah tenaga kerja terdidik dan mengurangi jumlah tenaga kerja tidak terdidik.

8 193 Pola perubahan tingkat upah tersebut di atas, di sisi lain berdampak positif terhadap struktur tenaga kerja sektoral. Penurunan penyerapan tenaga kerja tidak terdidik pada beberapa sektor yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja terdidik, mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur tenaga kerja dari tenaga kerja tidak terdidik ke tenaga kerja terdidik. Hal ini mencerminkan adanya perubahan proses produksi yang mengarah pada keinginan untuk mengakomodir tuntutan peningkatan efisiensi dan daya saing pada sebagian besar sektor. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka akan mempunyai dampak yang bervariasi terhadap penyerapan tenaga kerja. Sebagian sektor permintaan tenaga kerjanya meningkat, sebaliknya sektor lainnya justru mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja misalnya pada sebagian besar komoditas pada sektor pertanian dan beberapa sektor industri pertanian. Kondisi yang sama juga akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diiikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan (simulasi 3). Peningkatan penyerapan tenaga kerja disebabkan karena adanya peningkatan jumlah output yang dihasilkan, sehingga perusahaan merespon dengan meningkatkan jumlah tenaga kerjanya. Adapun penurunan penyerapan tenaga kerja lebih disebabkan karena peningkatan produktivitas yang terjadi berdampak terhadap penurunan nilai output yang dihasilkan. Peningkatan produktivitas mengakibatkan industri yang bersangkutan mengoptimalkan tenaga kerja yang ada dan berproduksi lebih efisien, sehingga penyerapan tenaga kerjanya mengalami penurunan.

9 Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kinerja Makroekonomi Dampak peningkatan produktivitas terhadap kinerja makroekonomi tercermin dari variabel-variabel yang berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat dihitung dari dua sisi, yaitu dari sisi pengeluaran dan sisi pendapatan. Dari sisi pengeluaran data makroekonomi yang digunakan meliputi konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor bersih (ekspor minus impor). Adapun dari sisi pendapatan, data makroekonomi terdiri dari pendapatan dari lahan (return to land), tingkat pengembalian modal (return to capital) dan upah gaji. Closure makroekonomi model CGE yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 28. Pengeluaran pemerintah merupakan peubah yang mempengaruhi (exogenous variables), sedangkan peubah-peubah konsumsi rumahtangga, investasi dan neraca perdagangan adalah peubah yang dipengaruhi (endogenous variables). Variabel-variabel ini mempengaruhi tingkat PDB riil dari sisi pengeluaran. Dari sisi penerimaan, pengembalian modal (return to capital) adalah variabel eksogen yang nilainya ditentukan oleh modal dunia di pasar internasional. Pada penelitian ini diasumsikan Indonesia sebagai negara kecil yang nilai elastisitas penawaran modalnya relatif lebih elastis dibandingkan dengan modal di pasar internasional. Selanjutnya, tingkat upah riil merupakan variabel endogen yang besarannya dipengaruhi oleh tingkat pengembalian modal. Besarnya tingkat pengembalian modal dan tenaga kerja agregat akan menentukan stok kapital yang selanjutnya menentukan tingkat investasi riil. Hasil simulasi kebijakan dampak peningkatan produktivitas terhadap kinerja ekonomi makro disajikan pada Tabel 28. Peningkatan produktivitas

10 195 industri pertanian (simulasi 1) berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan output agregat (x1prim_i) sebesar 0.11 persen dan peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran (x0gdpexp) sebesar 0.33 persen. Temuan ini sejalan dengan endogenous growth theory yang menekankan pentingnya peningkatan produktivitas, dimana produktivitas dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Romer, 2001; Lucas, 1988). Tenaga Kerja Agregat Tingkat Pengembalian Modal Upah Riil Stok Kapital GDP Riil = Konsumsi RT Riil + Investasi Riil + Pengeluaran Pemerintah Riil + Neraca Perdagangan Keterangan: = Variabel Eksogen = Variabel Endogen Sumber : Horridge et al. (1993), dimodifikasi Gambar 28. Closure Makroekonomi yang Digunakan Dalam Penelitian Peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran tersebut bersumber dari peningkatan konsumsi rumahtangga riil (x3tot) sebesar 3.68 persen, walaupun di lain pihak terjadi penurunan investasi riil (x2tot_i) sebesar persen, penurunan ekspor (x4tot) sebesar persen, dan peningkatan impor (x0imp_c) sebesar 1.69 persen. Penomena ini sejalan dengan pendapat Aldeman (1984) bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, konsumsi domestik merupakan

11 196 faktor utama pertumbuhan ekonomi. Mengingat sebagian besar penduduk di negara-negara yang sedang berkembang tersebut tinggal dan bekerja di sektor pertanian dan menggantungkan hidup mereka di sektor pertanian, maka industrialisasi pertanian merupakan pilihan yang sangat tepat. Tabel 28. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Beberapa Variabel Makroekonomi (%) Variabel Makroekonomi Simbol Sim 1 */ Sim 2 */ Sim 3 */ Balance of Trade/PDB delb PDB Riil Sisi Pengeluaran x0gdpexp Output Agregat x1prim_i Konsumsi Riil Rumahtangga x3tot Investasi Riil x2tot_i Ekspor x4tot Impor x0imp_c Devaluasi Riil p0realdev Indeks Harga Konsumen p3tot Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Pada Tabel 28, nampak bahwa penurunan ekspor yang dibarengi oleh terjadinya peningkatan impor mengakibatkan rasio neraca perdagangan terhadap PDB (delb) menjadi negatif atau menurun sebesar persen. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kondisi ini dibiarkan, maka dalam jangka panjang ketergantungan Indonesia terhadap barang-barang impor akan semakin meningkat. Hal yang cukup menarik untuk disimak dari simulasi 1 adalah terjadinya inflasi yang ditunjukkan oleh peningkatan indeks harga konsumen (p3tot) sebesar 1.96 persen. Padahal peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak terhadap peningkatan jumlah output yang dihasilkan, yang pada gilirannya akan

12 197 mendorong penurunan harga output. Namun demikian, penurunan harga output pada sektor industri pertanian ternyata tidak diikuti oleh penurunan harga output pada sektor-sektor lainnya (Lampiran 4). Sektor-sektor tersebut adalah sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan), sektor pertambangan, sektor industri lain, sektor listrik, gas dan air, sektor perdagangan, hotel dan restauran, sektor jasa transportasi, sektor lembaga keuangan, sektor jasa pemerintah, dan sektor jasa lain. Peningkatan harga output pada sektor-sektor ini secara agregat akan mendorong terjadinya peningkatan harga umum (inflasi). Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka kinerja ekonomi makro menjadi semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan output agregat dan peningkatan nilai PDB riil yang semakin besar, yaitu masing-masing sebesar 0.39 persen dan 0.64 persen. Peningkatan PDB riil ini didorong oleh adanya peningkatan ekspor bersih (net export), dimana ekspor meningkat sebesar 5.61 persen dan impor menurun sebesar persen. Peningkatan ekspor yang diiringi oleh penurunan impor menyebabkan meningkatnya rasio neraca perdagangan terhadap PDB sebesar 2.04 persen. Pada simulasi 2, indeks harga konsumen justru mengalami penurunan (deflasi) yang bertolak belakang dengan dampak pada simulasi 1. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian yang dibarengi oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian mampu mendorong seluruh industri berproduksi secara lebih efisien, sehingga mampu menghasilkan output yang harganya lebih murah. Penurunan tingkat harga produk domestik akan menurunkan tingkat harga produk ekspor. Penurunan harga produk ekspor

13 198 ini selanjutnya akan meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan oleh Indonesia di pasar internasional. Pada gilirannya produk-produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar internasional, yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai devaluasi riil (p0realdev) mata uang rupiah terhadap dollar sebesar 3.69 persen. Peningkatan produktivitas industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan yang terjadi secara bersamaan (simulasi 3), akan memberikan dampak yang lebih besar lagi terhadap kinerja ekonomi makro. Pada simulasi 3, peningkatan output agregat dan PDB riil menjadi semakin besar yaitu masingmasing sebesar 0.61 persen dan 0.91 persen. Pada sisi lain, devaluasi riil mata uang rupiah terhadap dollar menjadi semakin meningkat, yang pada gilirannya akan mendorong laju pertumbuhan ekspor dan menurunkan impor Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Rumahtangga Rumahtangga dikelompokan ke dalam delapan kelompok rumahtangga berdasarkan lokasi dan jenis pekerjaan, mengikuti pengelompokan pada SNSE Kedelapan kelompok rumahtangga tersebut meliputi lima kelompok rumahtangga perdesaan (rural) dan tiga kelompok rumahtangga perkotaan (urban). Kelima kelompok rumahtangga perdesaan (rural) tersebut adalah: rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1), rumahtangga pengusaha pertanian di perdesaan (rural 2), rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan (rural 3), bukan angkatan kerja di perdesaan (rural 4), dan rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan (rural 5). Adapun tiga kelompok rumahtangga yang berada di perkotaan (urban) meliputi: rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di perkotaan (urban 1), bukan angkatan kerja di

14 199 perkotaan (urban 2), dan rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan (urban 3). Peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil rumahtangga golongan bawah, baik pada kategori rumahtangga perdesaan maupun rumahtangga perkotaan (Tabel 29). Pada Tabel 29, nampak bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil pada hampir seluruh kelompok rumahtangga di perdesaan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan atas di perdesaan (rural 5). Tabel 29. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Pendapatan Riil Rumahtangga (%) No. Kelompok Rumahtangga Sim 1 */ Sim 2 */ Sim 3 */ 1. Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan Keterangan: */ Sim1 = peningkatan produktivitas industri pertanian Sim2 = sim 1 diikuti peningkatan produktivitas pertanian Sim3 = sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan Kondisi sebaliknya dialami oleh kelompok rumahtangga di perkotaan, dimana peningkatan produktivitas industri pertanian justru akan menurunkan pendapatan riil rumahtangga, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan bawah di perkotaan (urban 1). Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian berdampak positif terhadap redistribusi pendapatan dan

15 200 kesejahteraan rumahtangga, baik di daerah perdesaan maupun daerah perkotaan. Penurunan tingkat pendapatan riil pada kelompok rumahtangga berpenghasilan lebih tinggi di perdesaan dan perkotaan diikuti oleh peningkatan pendapatan riil pada kelompok rumahtangga yang berpenghasilan lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang mengarah pada upaya peningkatan produktivitas industri pertanian dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan rumahtangga. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), maka akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan riil pada seluruh kelompok rumahtangga di perdesaan. Sementara itu, pendapatan riil kelompok rumahtangga di perkotaan tetap mengalami penurunan, kecuali pada rumahtangga golongan bawah di perkotaan (urban 1), namun dengan tingkat penurunan pendapatan riil yang relatif lebih kecil. Temuan ini mengindikasikan bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian yang dibarengi oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian, selain mampu memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga juga mampu meningkatkan (mengurangi tingkat penurunan) pendapatan riil rumahtangga. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3), maka akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan riil pada hampir seluruh kategori rumahtangga, kecuali pada kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1) dan kelompok bukan angkatan kerja di perdesaan (rural 4). Pada seluruh kelompok rumahtangga di perkotaan dan kelompok rumahtangga golongan atas di perdesaan, mengalami peningkatan pendapatan riil rumahtangga, sedangkan pada kelompok rumahtangga golongan bawah di perdesaan terjadi penurunan

16 201 pendapatan riil rumahtangga. Temuan ini mengindikasikan bahwa kelompok rumahtangga yang mempunyai akses lebih besar terhadap lembaga keuangan akan memperoleh benefit (manfaat) yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumahtangga yang kurang mempunyai akses terhadap lembaga keuangan Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kemiskinan Analisis kemiskinan dilakukan dengan menggunakan formulasi Foster- Greer-Thorbecke (FGT) poverty index (Duclos, 2004). Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan (poverty), yaitu incidence of poverty (insiden kemiskinan), depth of poverty (kedalaman kemiskinan) dan severity of poverty (keparahan kemiskinan). Incidence of poverty menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pendapatan per kapita (yang didekati dari pengeluaran konsumsi) di bawah garis kemiskinan. Indeksnya disebut head-count index yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian kemudian dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin. Depth of poverty menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin.

17 202 Severity of poverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Untuk menghitung ketiga indikator kemiskinan tersebut di atas, maka data pendapatan rumahtangga berdasarkan golongan rumahtangga (yang didekati dari data pengeluaran), diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index didasarkan pada pendapatan masing-masing individu atau per kapita penduduk miskin. Terdapat dua pendekatan untuk menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar penghitungan indikator kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata per kapita. Rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi dalam konsumsi. Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau Equivalence Scales (ES), yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumahtangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori (Tabel 30), sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin (LIPI, 2004). Dengan demikian, penghitungan pendapatan masing-masing individu dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat.

18 203 Tabel 30. Beberapa Kriteria Garis Kemiskinan No Penelitian Kriteria 1. Esmara, Sayogyo, Ginneken, Anne Booth, 1969 Kota (K) Desa (D) K+D Konsumsi beras/kapita/tahun (kg) 125 Tingkat pengeluaran ekivalen beras/orang/tahun (kg) Miskin Miskin Sekali Paling Miskin Kebutuhan gizi min/orang/hari Kalori Protein (gram) Kebutuhan gizi minimum/- orang/hr Kalori Protein BPS, 1984 Konsumsi kalori/kapita/hari Garis Kemiskinan Internasional 1 1 http: // unstats.un.org/unsd/mi/mdg%20book.pdf Tingkat pendapatan/kapita/- hari (US $) 1 Sumber: BPS (2005) Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penghitungan pendapatan masing-masing individu dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kedua yaitu skala ekivalensi (equivalence scale). Adapun garis kemiskinan (poverty line) ditetapkan berdasarkan standar Bank Dunia yaitu sebesar 1 $ US per hari atau setara dengan Rp per bulan. Sebelum melakukan analisis kemiskinan, maka data pendapatan (yang didekati dari data pengeluaran) pada SUSENAS tahun 2002 dipetakan kedalam 8 kelompok rumahtangga sesuai dengan pengelompokkan rumahtangga pada SNSE tahun 2003, seperti yang sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya. Karakteristik pendapatan kedelapan kelompok rumahtangga tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 31.

19 204 Tabel 31. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut Kelompok Rumahtangga (Juta Rupiah) No. Kelompok Rumahtangga Pendapatan Rata-rata Minimum Maksimum 1. Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan Sumber: SUSENAS, 2002 (diolah). Pada Tabel 31, nampak bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga berkisar antara Rp ribu sampai Rp ribu, dengan rata-rata pendapatan terendah diterima oleh kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan dan rata-rata pendapatan tertinggi diterima oleh kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan. Tingkat pendapatan minimum berkisar antara Rp ribu (rumahtangga bukan angkatan kerja di perdesaan) sampai Rp ribu (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan), sedangkan tingkat pendapatan maksimum berkisar antara Rp ribu (rumahtangga buruh pertanian di perdesaan) sampai Rp ribu (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan) Insiden Kemiskinan Data pendapatan yang diperoleh dari data SUSENAS tersebut selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi insiden kemiskinan (poverty incidence) pada setiap kelompok rumahtangga. Pada Tabel 32 disajikan nilai head-count index

20 205 dasar dan hasil simulasi kebijakan pada setiap kelompok rumahtangga. Nilai head-count index dasar menunjukkan insiden kemiskinan sebelum dilakukan simulasi kebijakan. Nilai ini menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terhadap total penduduk. Adapun simulasi kebijakan yang dilakukan adalah dampak peningkatan produktivitas industri pertanian (yang juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan) pada model CGE-AGRINDO. Sebelum simulasi kebijakan, nilai head-count index berkisar antara Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan rumahtangga berkisar antara persen. Tingkat kemiskinan tertinggi terdapat pada kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, sedangkan tingkat kemiskinan terendah terdapat pada kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan. Keberadaan penduduk miskin pada kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perdesaan maupun di perkotaan, disebabkan karena pengelompokkan rumahtangga yang digunakan untuk membangun SNSE oleh BPS berdasarkan klasifikasi jenis pekerjaan/jabatan, bukan berdasarkan tingkat pendapatan. Konsekuensinya, tidak semua rumahtangga golongan atas merupakan rumahtangga kaya atau berpendapatan di atas garis kemiskinan. Dari hasil kajian Susilowati (2007) dengan menggunakan metode yang sama (skala ekivalensi) diperoleh angka kemiskinan agregat sebesar 3.92 persen, sedangkan dengan menggunakan perhitungan rata-rata pendapatan per kapita (seperti yang dilakukan oleh BPS) diperoleh angka kemiskinan agregat sebesar persen.

21 206 Tabel 32. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Insiden Kemiskinan No. Kelompok Rumahtangga Dasar 1/ Sim 1 2/ Sim 2 2/ Sim 3 2/ Perubahan (%) 3/ Sim 1 Sim 2 Sim 3 1 Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan Keterangan: 1/ Nilai headcount index sebelum dilakukan simulasi kebijakan. 2/ Sim 1: peningkatan produktivitas industri pertanian Sim 2: sim 1 diikuti peningkatan produktivitas sektor pertanian Sim 3: sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan 3/ Nilai perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan 206

22 207 Sementara itu, dari hasil kajian Sitepu (2007) diperoleh angka kemiskinan berkisar antara persen (rumahtangga bukan pertanian golongan atas di kota) sampai persen (rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di desa). Perbedaan angka kemiskinan pada penelitian ini dengan hasil kajian Susilowati (2007) dan Sitepu (2007) disebabkan oleh penggunaan garis kemiskinan (poverty line) yang berbeda. Garis kemiskinan yang digunakan oleh Susilowati (2007) mengikuti garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan oleh BPS untuk tahun 2002, yaitu daerah perdesaan sebesar Rp per kapita per bulan, perkotaan Rp per kapita per bulan dan agregat Indonesia sebesar Rp per kapita per bulan. Adapun garis kemiskinan yang digunakan oleh Sitepu (2007) sebesar 2 $ US per kapita per hari atau setara dengan Rp per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada ukuran Bank Dunia yaitu sebesar 1 $ US per kapita per hari atau setara dengan Rp per kapita per bulan. Hasil analisis kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan berkisar antara persen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan yang hanya berkisar antara persen. Hal ini selaras dengan pendapat Thorbecke et al. (1993), bahwa sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan. Berdasarkan hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 62 persen angkatan kerja rumahtangga miskin bekerja di sektor pertanian di perdesaan, disusul pada kegiatan di sektor perdagangan sebagai pedagang kecil (10 persen), industri rumahtangga (7 persen) dan jasa (6 persen). Pada umumnya sebagian besar anggota rumahtangga miskin bekerja pada kegiatan-kegiatan yang memiliki produktivitas tenaga kerja rendah. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya

23 208 aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. Pada kenyataannya angkatan kerja tersebut cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yang minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif dan permodalan. Menurut Sapuan dan Silitonga (1990), sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: (1) para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, (2) buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, (3) nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan (4) perambah hutan dan pengangguran. Adapun untuk daerah perkotaan yaitu: (1) buruh kecil di pabrik-pabrik, (2) pegawai negeri atau swasta golongan rendah, (3) pegawai harian lepas, (4) pembantu rumahtangga, (5) pedagang asongan, (6) pemulung, dan (7) pengangguran. Pada Tabel 32, nampak bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada seluruh kelompok rumahtangga perdesaan. Adapun pada kelompok rumahtangga di perkotaan sebagian besar justru mengalami peningkatan tingkat kemiskinan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan rendah (urban 1). Penurunan tingkat kemiskinan terbesar (3.32 persen) terjadi pada kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1). Temuan ini selaras dengan hasil kajian Sumedi dan Supadi (2004), bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya perbaikan struktur

24 209 perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, pengurangan jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Kondisi serupa dengan hal tersebut di atas juga terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2). Dampak penurunan tingkat kemiskinan pada simulasi 2 selaras dengan dampak penurunan tingkat kemiskinan pada simulasi 1. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor lembaga keuangan (simulasi 3), maka dampak terhadap penurunan kemiskinan bertolak belakang dengan dampak pada simulasi 1 dan simulasi 2. Pada simulasi 3, kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan (rural 1) justru mengalami peningkatan tingkat kemiskinan. Hal ini diduga karena kelompok rumahtangga ini tidak mempunyai akses terhadap lembaga keuangan. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perkotaan maupun di perdesaan, dimana kelompok rumahtangga ini mendapat manfaat (benefit) yang lebih besar dengan adanya peningkatan produktivitas lembaga keuangan Kedalaman Kemiskinan Seperti yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa headcount index merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin. Untuk menutupi kelemahan ini, maka pada penelitian ini dilakukan analisis kedalaman kemiskinan (depth of poverty). Hasil analisis kedalaman kemiskinan secara lengkap disajikan pada Tabel 33.

25 210 Tabel 33. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Kedalaman Kemiskinan No. Kelompok Rumahtangga Dasar 1/ Sim 1 2/ Sim 2 2/ Sim 3 2/ Perubahan (%) 3/ Sim 1 Sim 2 Sim 3 1 Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan Keterangan: 1/ Nilai poverty gap index sebelum dilakukan simulasi kebijakan. 2/ Sim 1: peningkatan produktivitas industri pertanian Sim 2: sim 1 diikuti peningkatan produktivitas sektor pertanian Sim 3: sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan 3/ Nilai perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan 210

26 211 Pada Tabel 33, nampak bahwa sebelum dilakukan simulasi kebijakan, angka poverty gap index berkisar antara persen. Angka ini menunjukkan rata-rata kesenjangan pendapatan pada tiap kelompok rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin besar poverty gap index menunjukkan semakin besar kesenjangan (gap) pendapatan rumahtangga miskin terhadap garis kemiskinan. Angka poverty gap index terbesar terdapat pada kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, sedangkan terkecil pada kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan. Peningkatan produktivitas industri pertanian yang diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2), mempunyai dampak yang sejalan dengan simulasi 1 dalam hal penurunan indeks kedalaman kemiskinan. Pada simulasi 2, seluruh kelompok rumahtangga perdesaan dan kelompok rumahtangga golongan rendah di perkotaan mengalami penurunan indeks kedalaman kemiskinan. Sementara itu, kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan justru mengalami peningkatan indeks kedalaman kemiskinan. Apabila pada simulasi 2 juga diikuti oleh peningkatan produktivitas lembaga keuangan (simulasi 3), maka indeks kedalaman kemiskinan pada kelompok rumahtangga buruh pertanian dan bukan angkatan kerja di perdesaan mengalami peningkatan, sedangkan pada kelompok rumahtangga lainnya justru terjadi hal yang sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas lembaga keuangan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rumahtangga yang mempunyai akses lebih besar terhadap lembaga keuangan. Kelompok rumahtangga ini antara lain kelompok rumahtangga bukan pertanian dan kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perdesaan maupun di perkotaan.

27 Keparahan Kemiskinan Kelemahan indeks kedalaman kemiskinan adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. Untuk menutupi kelemahan ini, maka pada penelitian ini dilakukan analisis keparahan kemiskinan (severity of poverty) dengan menggunakan indikator indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Hasil analisis keparahan kemiskinan secara lengkap disajikan pada Tabel 34. Sebelum dilakukan simulasi kebijakan, indeks keparahan kemiskinan berkisar antara persen. Peningkatan produktivitas industri pertanian (simulasi 1) berdampak terhadap penurunan indeks keparahan kemiskinan pada kelompok rumahtangga perdesaan dan kelompok rumahtangga golongan rendah di perkotaan. Kondisi sebaliknya dialami oleh kelompok rumahtangga golongan atas dan bukan angkatan kerja di perkotaan, dimana pada kelompok rumahtangga ini justru terjadi peningkatan indeks keparahan kemiskinan. Dampak serupa akan terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian (simulasi 2). Peningkatan produktivitas pada industri pertanian, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan (simulasi 3) akan memberi manfaat lebih besar bagi kelompok rumahtangga golongan atas dan bukan angkatan kerja di perkotaan. Hal ini bisa dilihat dari penurunan indeks keparahan kemiskinan pada kedua kelompok rumahtangga ini. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan, dimana terjadinya peningkatan produktivitas lembaga keuangan berdampak terhadap peningkatan indeks keparahan kemiskinan.

28 213 Tabel 34. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Keparahan Kemiskinan No. Kelompok Rumahtangga Dasar 1/ Sim 1 2/ Sim 2 2/ Sim 3 2/ Perubahan (%) 3/ Sim 1 Sim 2 Sim 3 1 Buruh Pertanian di Perdesaan Pengusaha Pertanian di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan Keterangan: 1/ Nilai poverty severity index sebelum dilakukan simulasi kebijakan 2/ Sim 1: peningkatan produktivitas industri pertanian Sim 2: sim 1 diikuti peningkatan produktivitas sektor pertanian Sim 3: sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan 3/ Nilai perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan 213

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN P r o s i d i n g 24 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KINERJA MAKROEKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN M. Rizal Taufikurahman (1) (1) Program Studi Agribisnis Universitas Trilogi Jakarta

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 224 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan Pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan sebelumnya. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik

Lebih terperinci

6. HASIL DAN PEMBAHASAN

6. HASIL DAN PEMBAHASAN 6. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Mengingat sejak bulan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar menghitung angka kemiskinan. Pertama, berdasarkan

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL 7.1. Neraca Pariwisata Jumlah penerimaan devisa melalui wisman maupun pengeluaran devisa melalui penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri tergantung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. No. 32/07/14/Th. XVIII, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2017 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. No. 35/07/14 Th. XVII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2016 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1 PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN Sri Hery Susilowati 1 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/06/33.08/Th.II, 15 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN 2016 SEBESAR 12,67 PERSEN Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terutama hasil simulasi kebijakan yang dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN 6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Bagian ini akan menganalisis dampak dari peningkatan investasi pada

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam. perolehan devisa melalui ekspor non migas, penciptaan ketahanan pangan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam. perolehan devisa melalui ekspor non migas, penciptaan ketahanan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dapat diukur dari pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/11/33.08/Th.I, 08 November 2016 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2015 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 2015 MENCAPAI 13,07 PERSEN Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BPS PROVINSI JAWA TIMUR BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 06/01/35/Th.X,02 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Penduduk miskin Jawa Timur pada bulan September 2011 sebanyak 5,227 juta (13,85 persen)

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PERANAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP.

PERANAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP. PERANAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP. TM2 MATERI PEMBELAJARAN PENDAHULUAN PERAN PERTANIAN SEBAGAI PRODUSEN BAHAN PANGAN DAN SERAT PERAN PERTANIAN SEBAGAI PRODUSEN BAHAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 No. 10/02/63/Th XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 010 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2010 tumbuh sebesar 5,58 persen, dengan n pertumbuhan tertinggi di sektor

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA 1)

DAMPAK INVESTASI SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA 1) Dampak Investasi Sumber Daya Manusia terhadap Distribusi (R.K. Sitepu et al.) DAMPAK INVESTASI SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA 1) (The Impact of Human Capital

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/02/72/Th. XIV. 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 SEBESAR 9,38 PERSEN No. 39/07/73/Th. XI, 17 Juli 2017 Penduduk miskin di Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA 6.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu negara yang memiliki rasa ketergantungan dari negara lainnya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dirasa tidaklah mencukupi, apabila hanya mengandalkan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta, 18 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI 2 Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Boks I Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Gambaran Umum Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang meningkat seiring masih berlangsungnya krisis

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri FEBRUARI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Februari 2017 Pendahuluan Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,02%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun

Lebih terperinci

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI 6.1. Analisis Multiplier Pembangunan Jalan Terhadap Pendapatan Faktor Produksi Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan umumnya membutuhkan

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermakana. Peranansektor ini dalam menyerap tenaga kerja tetap menjadi yang

BAB I PENDAHULUAN. bermakana. Peranansektor ini dalam menyerap tenaga kerja tetap menjadi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang menjadikan sektor pertanian sebagai basis perekonomiannya. Walaupun sumbangan sektor pertanian dalam sektor perekonomian diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL CGE AGROINDUSTRI

V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL CGE AGROINDUSTRI V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL CGE AGROINDUSTRI Sumber data utama yang digunakan untuk membangun Model CGE Agroindustri adalah Tabel Input-Output (I-O) tingkat nasional tahun 2003. Untuk melengkapi data

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

Pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan tahun 1983

Pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan tahun 1983 VIX. KESIMPUL?LN DAN I MPLIKASI 7.1. Kesimpulan 7.1.1. Pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan tahun 1983 dalam kurun waktu 1971-1990 sangat berfluktuasi. Tingkat pertumbuhan paling tinggi terjadi pada

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 No.38/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 8,19 PERSEN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan mempertimbangkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN 38/07/Th. XX, 17 JULI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2017

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha)

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) 2005-2008 Nomor Katalog BPS : 9205.11.18 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 20 cm x 27 cm : vii + 64 Lembar Naskah : Seksi Neraca

Lebih terperinci

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun. Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% (yoy), sedangkan pertumbuhan triwulan IV-2011 secara tahunan sebesar 6,5% (yoy) atau secara triwulanan turun 1,3% (qtq). PDB per kapita atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

Kata pengantar. Publikasi Data Strategis Kepulauan Riau Tahun merupakan publikasi perdana yang disusun dalam rangka

Kata pengantar. Publikasi Data Strategis Kepulauan Riau Tahun merupakan publikasi perdana yang disusun dalam rangka Kata pengantar Publikasi Data Strategis Kepulauan Riau Tahun 2012 merupakan publikasi perdana yang disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen data terhadap data-data yang sifatnya strategis, dalam

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2016 No. 08/07/18/TH.VIII, 18 Juli 2016 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016 mencapai

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. : 1. Metha Herwulan Ningrum 2. Ir. Wieta B. Komalasari, Msi 3. Ir. Rumonang Gultom 4. Rinawati, SE 5. Yani Supriyati, SE. 2.

DAFTAR ISI. : 1. Metha Herwulan Ningrum 2. Ir. Wieta B. Komalasari, Msi 3. Ir. Rumonang Gultom 4. Rinawati, SE 5. Yani Supriyati, SE. 2. DAFTAR ISI Halaman Penjelasan Umum...1 Perkembangan PDB Indonesia dan PDB Sektor Pertanian Triwulan IV Tahun 2012-2013...5 Kontribusi Setiap Lapangan Usaha Terhadap PDB Indonesia Tahun 2012-2013...8 Kontribusi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 No.43/08/33/Th.V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011 PDRB Jawa Tengah pada triwulan II tahun 2011 meningkat sebesar 1,8 persen dibandingkan triwulan I tahun 2011 (q-to-q).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci