MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016

Transkripsi

1 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I) J A K A R T A RABU, 24 FEBRUARI 2016

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 20/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b] dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 26A] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON Setya Novanto ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Rabu, 24 Februari 2015 Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Arief Hidayat (Ketua) 2) I Dewa Gede Palguna (Anggota) 3) Manahan MP Sitompul (Anggota) Cholidin Nasir Panitera Pengganti i

3 Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Hafisullah Amin Nasution 2. Muhammad Ainul Syamsu 3. Syaefullah Hamid 4. TM. Ardian ii

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaaniirahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. Pemohon atau Kuasanya, siapa yang hadir? Silakan memperkenalkan diri. 2. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAEFULLAH HAMID Terima kasih, Yang Mulia. Kami perkenalkan, kami sendiri Syaefullah Hamid. Di samping kanan kami, Tengku Mahdiar Teuku Mahdiar Ardian, S.H. 3. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. 4. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAEFULLAH HAMID Di samping kiri kami pertama, Saudara Muhammad Ainul Syamsu S.H., M.H. Di sebelah kiri ujung Hafisullah Amin Amin Nasution, S.H. 5. KETUA: ARIEF HIDAYAT KETUK PALU 3X Baik. Saudara Kuasa Pemohon, perlu saya sampaikan, ini Sidang Pendahuluan yang pertama, perkara Saudara, permohonannya sudah diterima di Kepaniteraan yang secara tertulis dengan bukti. Oleh karena itu, Majelis sudah membaca dan mencermati permohonan Anda secara tertulis. Pada kesempatan ini, Saudara diminta untuk menyampaikan secara lisan pokok-pokoknya saja, tidak perlu keseluruhan, ya. Nanti yang berikutnya adalah nasihat dari Hakim untuk menyempurnakan atau memperbaiki permohonan ini, ya. Saya persilakan Saudara menyampaikan permohonan Anda secara tertulis... secara lisan, maaf, silakan. 1

5 6. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAEFULLAH HAMID Baik, terima kasih, Majelis Yang Mulia. Yang pertama, terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang kami ajukan dalam perkara ini adalah terkait dengan permohonan pengujian terhadap Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau dikenal dengan Undang-Undang ITE, dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir tentang... yang putusannya bersifat final menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Ketentuan serupa juga ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang putusannya bersifat final. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, juga disebutkan bahwa dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa dalam perjalanan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal dan menegakkan konstitusi, Mahkamah juga berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan yang terdapat dalam ayat, pasal, atau bagian undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi yang hidup di dalam kehidupan masyarakat. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas yang terdapat dalam ayat atau pasal merupakan tafsir satu-satunya yang mempunyai kekuatan hukum, sehingga terhadap terhadap dalam ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Pemohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang ini. Tentang kedudukan dan legal standing Pemohon. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

6 mengatur bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dalam huruf h menyebab menyebutkan perorangan Warga Negara Indonesia. Selanjutnya, di dalam penjelasan Pasal 51 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 disebut, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007, putusan-putusan selan... dan putusan-putusan selanjutnya ternyata bahwa kerugian hak atau kewenangan konsti... konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 harus memenuhi lima syarat. Yang pertama adanya hak, tata kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh undang-undang dasar. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh ber... berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Tiga, kerugian konstitusional tersebut harus bersifat... bersifat spesifik dan aktual, atau setidak... setidak-tidaknya... tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa selanjutnya Pemohon akan menjelas... menjelaskan kedudukan hukum Pemohon sebagai perorangan Warga Negara Republik Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidak-tidaknya berpotensi dilanggar, dengan berlakunya norma pasal dalam Undang-Undang ITE, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yakni Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), ayat... Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, selengkapnya berbunyi sebagai berikut. Pasal 5 Undang-Undang ITE ayat (1), Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat... alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

7 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Dan. b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas bentuk fisik apa pun... atau... apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto, huruf, tanda, angka, atau per... perforasi yang memiliki makna. Bahwa hak konstitusional Pemohon yang dirugikan atau berpotensi dilanggar, sebagaimana dimaksud dalam... sebagaimana dimaksud di atas, Pemohon jelaskan sebagai berikut. Bahwa pada saat mengajukan permohonan ini, Pemohon telah tiga kali dipanggil oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk dimintai keterangan sehubungan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, permufakatan jahat, atau perjo... percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport sebagaimana dimaksud oleh Pasal 15 Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Dasar... Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan surat perintah penyelidikan, terlampir di dalam bukti. Bahwa timbulnya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjang kontrak PT Freeport Indonesia dimaksud, bermula dari beredarnya rekaman pembicaraan yang diduga merupakan suara pembicaraan antara Pemohon dengan Saudara Maroef Sjamsoeddin dan Muhammad Riza Chalid yang dilakukan di salah satu ruangan hotel yang terletak di kawasan Pacific Place Jakarta Pusat. Pembicaraan mana diakui oleh Saudara Muhammad... Maroef Sjamsoeddin direkam tanpa sepengetahuan tanpa per... dan persetujuan pihak lain yang ada di dalam rekaman tersebut dan dilaporkan kepada Saudara Sudirman Said Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Bahwa quadnon kalaupun suara dalam rekaman tersebut adalah benar suara Pemohon menurut Pemohon, secara hukum hasil rekaman tersebut harus dianggap sebagai rekaman yang tidak sah, ilegal karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang dengan... dengan cara yang tidak sah. Saudara Maroef Sjamsoeddin bukanlah seorang penegak hukum dan tidak pernah diperintah oleh penegak hukum untuk melakukan perekaman tersebut serta tanpa persetujuan Pemohon, atau 4

8 Para Pemohon yang ada dalam pembicaraan tersebut, atau para pihak yang ada dalam pembicaraan tersebut. Tindakan merekam secara tidak sah, jelas-jelas melanggar konstitusi, hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 006/PUU-I/2003 disebutkan dalam pertimbangannya bahwa karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan Hak Asasi Manusia, dimana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun Bahwa hasil rekaman yang tidak sah tersebut selanjutnya oleh Saudara Maroef Sjamsoeddin dilaporkan kepada Saudara Sudirman Said. Kemudian, oleh Saudara Sudirman Said rekaman tersebut Saudara Menteri Energi dan Sumber daya Mineral dijadikan dasar untuk melaporkan Pemohon kepada Majelis Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dengan tuduhan melakukan tindakan tindakan tidak terpuji yang kemudian lebih sering disebut sebagai pencatutan nama presiden dan wakil presiden, walaupun dalam rekaman tersebut Pemohon sama sekali tidak pernah mencatut nama presiden atau wakil presiden. Bahwa seiring dengan adanya pelaporan tersebut, maka beredarlah rekaman pembicaraan dimaksud, sehingga menimbulkan suasana politik yang memanas dan pada akhirnya Pemohon selaku Ketua DPR-RI pada waktu itu mengundurkan diri. Bahwa mundurnya Pemohon sebagai Ketua, ternyata tidak secara otomatis menghentikan polemik yang tim ditimbulkan oleh beredarnya rekaman tidak sehat tersebut karena Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan melandaskan pada rekaman yang tidak sah dimaksud, kemudian melakukan penyelidikan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun Dan Pemohon telah dipanggil sebanyak 3 kali untuk dimintai keterangan. Bahwa Pemohon menganggap penyelidikan dan pemanggilan terhadap Pemohon secara hukum tidak perlu terjadi karena dilakukan semata-mata hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah, proses penyelidikan dan pemanggilan yang didasarkan atas bukti yang tidak sah jelas melanggar prinsip due... due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Tahun Dan juga melanggar prinsip pengakuan jaminan perlin jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1), serta melanggar hak 5

9 privasi yang wajar, Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun Bahwa Pemohon berpendapat bahwa pemanggilan Kejaksaan Agung terhadap Pemohon dilakukan karena norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengandung ketidakjelasan, dan kekaburan atau bersifat multitafsir dalam menentukan kualifikasi alat bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia. Keberadaan norma yang bersifat multitafsir tersebut dapat menciptakan situasi di mana orang dapat diproses hukum, walaupun hanya didasarkan atas bukti yang diperoleh secara tidak sah. Berdasarkan uraian di atas, membuktikan bahwa Pemohon selaku Warga Negara Indonesia memiliki legal standing untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini. Pokok permohonan ( ) 7. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, diringkas, ya. 8. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAEFULLAH HAMID Ya, Pak. 9. KETUA: ARIEF HIDAYAT Kita sudah membaca ini. 10. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAEFULLAH HAMID Oke. Sebagai negara huk salah satu esensi negara hukum adalah adanya due process of law. Pendekatan terhadap due process of law sebagai salah satu ciri negara hukum membawa konsekuensi bahwa tindakan-tindakan aparatur penyelenggara negara, bukan saja harus didasarkan atas norma-norma hukum materiil yang adil. Tapi juga harus didasarkan pada hukum formil yang mengatur prosedur untuk menegakkan ketentuan-ketentuan hukum materiil yang memenuhi syarat keadilan. Norma-norma hukum prosedur haruslah bersifat fair, ketentuanketentuan tentang prosedur tidak boleh bersifat arbiter, menurut selera penyelenggara kekuasaan negara. 6

10 Bahwa menurut hemat Pemohon, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum, serta jaminan perlindungan hak privasi yang hak kaidah konstitusionalnya diatur di dalam Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 akan terwujud jika Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak membuka peluang multitafsir, seperti Pemohon telah katakan, Kaidah hukum pidana termasuk kaidah hukum proseduralnya karena membawa implikasinya langsung kepada hak asasi, haruslah tegas dan pasti. Dalam kepastian itulah, terletak adanya jaminan dan perlindungan kalau kaidah multitafsir dan tidak pasti, bagaimana kaidah-kaidah kaidah undang-undang itu memberikan jaminan dan kepastian. Keberadaan norma Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, dan Pasal 26 tidak mengatur secara tegas bahwa alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman, seperti yang terjadi dalam kasus yang dialami oleh Pemohon. Bahwa perekaman yang dilakukan secara tidak sah, atau tanpa izin, atau persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak yang terlibat dalam pembicaraan, secara jelas melanggar hak privasi dari orang yang pembicaraannya direkam. Sehingga bukti rekaman tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh secara ilegal. Bahkan sekalipun yang melakukan perekaman tersebut adalah aparat penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Intelijen Negara, Kejaksaan Agung, atau Kepolisian Republik Indonesia, bilamana dalam melakukan perekaman tidak berdasarkan surat perintah perekaman yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Bahwa berdasarkan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dijelaskan bahwa tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiaannya, keluarganya, rumah tangganya, atau surat menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemari kehormatan dan nama baiknya secara tidak sah. Dalam komentar umum Nomor 16 yang disepakati oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB, pada persidangan ke-2 ke-23 Tahun 1988 yang memberikan komentar terhadap materi muatan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Asasi Hak-Hak Sipil dan Politik pada poin 8 dinyatakan bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka dan dibaca terlebih dahulu. Pengamatan surveillance, baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon telegram, dan bentuk komunikasi lainnya serta rekaman pembicaraan haruslah dilarang. 7

11 Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor , 016, 019, PUU Tahun 2006, dalam pertimbangannya menyatakan oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan hak asasi manusia di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan antara lain siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan, dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti rekaman permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup, sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun Semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi. Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas, maka telah jelas bahwa perekaman itu merupakan pembatasan hak asasi manusia yang harus diatur dengan undang-undang, dan tidak boleh dilakukan secara sembarangan oleh orang yang tidak berwenang untuk itu, dan karenanya logis apabila hasil rekaman yang dilakukan secara tidak sah atau tidak didasarkan atas kekuatan aturan perundang-undangan yang berlaku, secara hukum tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah kiranya norma undangundang, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang ITE, dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah bertentangan dengan kaidah konstitusi yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan kaidah konstitusi yang mengatur tentang pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, serta melanggar kaidah konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang dapat menjadi alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundangundangan yang berlaku, dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. 8

12 Bahwa menghadapi kenyataan di atas dengan mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi yang bahwa untuk menjadikan kaidah Undang-Undang yang membuat norma tentang informasi elektronik, dan dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 huruf (b) Undang-Undang ITE, dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjadi conditionally constitutional, maka kaidah itu haruslah dimaknai bahwa informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang dapat menjadi alat bukti sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia adalah informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Petitum, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir serta petitumnya: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 huruf b Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang ITE... Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, dan Tambahan Negara Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 48, 43, dan Pasal 26A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam ayat 5 Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 ten Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843, dan Pasal 26A Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 tidak dimaknai sebagai informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. 3. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 huruf b Undang- Undang Nomor 28 Tahun dua rib Nomor 11 Tahun 2008 tentang 9

13 Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843, dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843, dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 sepanjang tidak dimaknai sebagai informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. 4. Memerintahkan pemuatan putusan dalam perkara ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan seadiladilnya. Terima kasih, Yang Mulia. 11. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih. Sekarang kita sampai pada sesi untuk Saudara Pemohon mendengarkan nasihat dari Hakim Panel. Silakan dicermati, ya. Menjadi hak Saudara untuk memperbaiki atau tidak memperbaiki berdasarkan nasihat-nasihat yang sudah disampaikan ini nanti. Saya persilakan, Yang Mulia Pak Palguna terlebih dahulu. 12. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, Yang Mulia. Tampaknya kalau saya melihat, permohonannya sudah cukup rapi secara sistimatika. Saya hanya ingin mengingatkan satu hal, satu soal kecermatan Saudara yang memang yang Saudara baca tadi, khususnya bagian petitum, itu Anda menyebutkan juga menyebutkan Undang- 10

14 Undang Nomor 11, ya. Tapi di permohonan yang kami terima itu masih tertulis Undang-Undang Nomor 28. Ya, supaya ndak salah objek itu di judul permohonan juga disebutkan Undang-Undang Nomor 11. Itu satu. Kemudian yang kedua, saya hanya menasihatkan dua hal saja. Kedua, ini kan ada sekian pasal yang di Saudara uji dan dari dua undang-undang yang berbeda. Oleh karena itu, petitumnya jangan digabungkan. Pasal ini, ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang begini gitu kalau anu kan, Saudara minta kondisi kondisi yang konstitusional, nah kan begitu. Nah, kemudian pasal ini, per pasal saja supaya tegas ininya. Sebab kalau digabung, nanti takutnya rancu kalau ini, ya. Kalau tidak pas benar ininya. Lebih baik per poin karena itu Saudara juga. Walaupun memang di dalam, di dalam posita itu argumen itu menyatu, kan begitu. Tetapi kan poin yang diminta per anu karena sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kan juga ditegaskan ketentuan pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu bagaimana, nah itu tugasnya. Kemudian yang kedua, saya belum melihat di sini argumentasi yang ini, yang Saudara bangun sudah cukup ini, tapi Saudara bagaimana membedakan ini bahwa apakah ini memang problem konstitusionalitas norma ataukah ini problem penerapan norma? Itu kan belum tampak ininya. Sebab begini kan, kalau misalnya ini masuk ke ranah pidana, ini kan dalilnya di berkaitan dengan due process of law dan itu berarti berkait dengan proses hukum acara pidana, ini kan di sini ada persoalan kewenangan lembaga praperadilan nantinya kan? Untuk dalam menilai keabsahan alat bukti itu. Nah, maka di situ argumen Saudara harus menjelaskan bahwa mengapa ini bukan persoalan bukan persoalan implementasi norma? Mengapa ini Saudara menganggap ini problem... apa namanya konstitusionalitas norma, ya? Sebab kalau misalnya secara umum di dituliskan apa norma itu ditafsirkan seperti yang Saudara mau, ya, bagaimana misalnya informasi yang diperoleh melalui siaran televisi yang sah umpamanya, digunakan sebagai ini kan jadi ndak ini, kan itu bukan dikeluarkan oleh petugas apa aparat penegak hukum dan sebagainya, itu kan penting buat Saudara untuk membuat argumentasi itu. Nah, itu yang dari saya hanya sedikit mengenai itu secara format saya kira sudah, demikian juga uraian mengenai legal standing pun menurut saya sudah jelas. Terima kasih, Pak Ketua. 13. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Silakan, Yang Mulia. 11

15 14. HAKIM ANGGOTA: MANAHAN MP. SITOMPUL Baik, terima kasih, Yang Mulia. Hanya barangkali menambahkan, tadi penekanannya ini permohonan Saudara ini kan dalam due process of law ini memang harus dikaitkan juga dengan proses yang sedang berjalan, ya. Jadi, juga harus dilihat di sini nanti ini, apakah masih tingkat penyelidikan, apakah tingkat penyidikan, baru Saudara bisa beragumentasi tentang bukti permulaan yang cukup, kan begitu ya? Ke sana. Nah, kemudian Saudara mengatakan juga di situ bahwa rekaman ini, apakah sudah bisa dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup, atau hanya bukti tambahan dari yang bukti yang sudah ada? Nah, ini memang kental sekali di sini yang apanya, ya, tahapannya. Jadi, sesuai dengan yang disarankan oleh Yang Mulia Pak Palguna tadi, ini harus hati-hati karena ini kan masih dalam proses untuk memperoleh bukti-bukti lainnya. Ya, konon ya masih diperoleh hanya satu rekaman percakapan ini, kan begitu, ya? Cuma proses selanjutnya, kan kita ndak tahu bagaimana. Nah, itu ada hubungannya sebagaimana tadi Saudara mengemukakan dua pasal, pasal-pasal dari dua undang-undang yang berbeda, ya. Saya juga melihat di halaman halaman 6 ini, ya? Saudara di situ menunjukkan di Pasal 26A itu, itu kan hanya mengenap mengenai mengatur tentang petunjuk, ya? Petunjuk itu kan diperoleh dari bukti keterangan saksi, keterangan surat, dan keterangan terdakwa, barulah dibentuk diperoleh petunjuk. Apakah itu sama sekarang konsepnya dengan apa yang Saudara kemukakan itu, ya? Nah, itu salah satu barangkali yang harus Anda kemukakan juga dalam permohonan ini supaya jelas bahwa yang Saudara kemukakan sebagai itu sekarang rekaman itu hanya sebagai bukti petunjuk, nah ini juga masih terus harus dijelaskan lebih dalam lagi. Kemudian, dihubungkan dengan petitumnya tadi, juga memang menjadi harus dipisah, ya. Sehubungan dengan sarannya Pak Pak Palguna tadi karena conditionally constitutional, ya. Tentunya, harus dilihat frasanya juga, ya. Frasa yang Saudara kemukakan itu hanya frasa yang berasal dari Undang-Undang ITE, ya. Sedangkan di Undang- Undang Tipikor, nah itu itu enggak ada ter frasa itu. Nah, jadi cocok, klop tadi dengan dari yang disarankan Yang Mulia, itu harus dipisah karena frasanya juga berbeda, lain hal ada misalnya keterangan bahwa dimaksud dengan informasi elektronik ataupun dokumentasi, dokumen elektronik itu ada yang dimaksud adalah sebagaimana Pasal 26A itu, apa itu yang dimaksud itu juga? Tapi, diterangkan pun itu karena di dalam undang-undangnya redaksinya, ya, frasanya berbeda, ya. Itu satu penekannya, sehingga saya pun sependapat itu harus harus dipisah, ya. 12

16 Kemudian, tadi di halaman 2 ke depan dulu, ini angka 1 itu, ya. Itu juga penyebutannya undang-undang itu enggak jelas, ya. Langsung situ Undang-Undang ITE, ya. Dilengkapilah itu. Barangkali itu saja, Yang Mulia, dari saya. Terima kasih. 15. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Yang terakhir dari saya, menambahkan sedikit saja. Yang pertama, sesuai dengan PMK Nomor 6 tentang Bagaimana Mengajukan Permohonan, Menulis Permohonan. Itu halaman 18 kesimpulan dihilangkan saja, ya. Jadi, tidak perlu pakai kesimpulan, nanti setelah seluruh rangkaian persidangan, nanti Anda diminta membuat kesimpulan. Ini nanti di situ tempatnya, ya. Kemudian, yang kedua. Saudara bisa lebih melengkapi dan menambah keyakinan pada Hakim berkenaan dengan legal standing seorang anggota DPR, itu harus Anda uraikan karena ada anggota DPR yang tidak punya legal standing dan kapan ada yang anggota DPR punya legal standing, ya. Nanti coba dicermati Putusan Mahkamah, ya, Nomor 20/PUU-V/2007, tanggal 17 Desember, Putusan Nomor 151/PUU- VII/2009, tanggal 3 Juni 2010, dan Putusan Nomor 23, 26/PUU- VIII/2010, itu putusan-putusan yang mengatakan pertimbangannya, Anggota DPR tidak memiliki legal standing. Ya, kapan anggota DPR itu tidak punya legal standing? Ya. Kemudian, juga Saudara harus mencermati putusan yang saya sebutkan tadi, itu anggota DPR juga diberikan legal standing, tapi pada posisi untuk undang-undang yang bagaimana dalam melakukan judicial review? Ya. Itu nanti harus ditambahkan di situ. Sehingga, Pemohon ini Pak Setya Novanto ini, pada waktu melakukan judicial review kapan diberikan legal standing dan kapan tidak diberikan. Tapi kan intinya, Saudara me harus bisa membuktikan pada waktu menguji undang-undang dua ini harus punya legal standing, kan gitu kan. Nah, itu pertimbangannya coba dilihat putusan-putusan yang saya sebutkan tadi, supaya pas dan tepat Anda mengatakan bahwa Pak Setya Novanto punya legal standing. Kalau tidak, dari analisis itu tidak, misalnya harus bagaimana langkah yang lain, ya. Apakah yang mengajukan orang lain atau yang mengajukan siapa? Karena ya, intinya ada anggota DPR yang bisa mempunyai kalau itu menguji undang-undang yang semacam ini, ada anggota DPR yang dia ikut membahas undang-undang, jadi dia tidak punya legal standing. Kalau dia mau sebagai anggota DPR membahas undang-undang itu, enggak usah judicial review pada waktu dia di Senayan. Bisa enggak menyetujui undang-undang itu, enggak perlu sampai ke judicial review, 13

17 itu nanti dilihat pertimbangan-pertimbangan putusan Mahkamah yang saya sebutkan tadi. Ya, itu saja nasihat dari kita. Ada yang akan Anda sampaikan? 16. KUASA HUKUM PEMOHON: SYAEFULLAH HAMID Cukup, Yang Mulia. 17. KETUA: ARIEF HIDAYAT Sudah cukup. Ya, baik. Kalau sudah cukup, maka itu hak Saudara untuk memperbaiki ya, tapi secara keseluruhan permohonan ini sudah bagus. Tapi ada tambahan-tambahan yang perlu Anda sampaikan dalam perbaikannya nanti, ya, yang sudah disampaikan oleh Majelis Panel. Perbaikan permohonan itu diberi waktu paling lambat 14 hari sejak sidang ini, itu paling lambat Selasa, 8 Maret 2016, pada pukul WIB. Saya ulangi, Selasa, 8 Maret 2016, pada pukul WIB. Selebihnya itu, berarti nanti sidang kedua, tidak dianggap tidak ada perbaikan. Tapi kalau sebelum itu Anda mengajukan perbaikan, maka juga bisa sidang keduanya diadakan, setelah ada perbaikan yang Saudara ajukan, ya. Tapi kalau batas waktunya, ya kita sidang setelah itu, ya. Cukup? Baik, sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 24 Februari 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 14