MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XI/2013

Transkripsi

1

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 86/PUU-XI/2013 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan [Pasal 7 ayat (1) huruf b ] Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Viktor Santoso Tandiasa 2. Denny Rudini 3. Kurniawan ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Kamis, 31 Oktober 2013, Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Maria Farida Indrati (Ketua) 2) Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota) 3) Arief Hidayat (Anggota) Luthfi Widagdo Eddyono Panitera Pengganti

3 Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Viktor Santoso Tandiasa 2. Kurniawan 3. Joko Widarto

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Pemeriksaan Perkara Nomor 86/PUU-XI/2013 dinyatakan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Ya, selamat siang Para Pemohon. Hari ini kita akan melakukan pengujian tentang Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf b. Nah, saya akan menyerahkan Para Pemohon untuk menjelaskan siapa yang hadir di sini. 2. KUASA HUKUM PEMOHON: VIKTOR SANTOSO TANDIASA Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi yang merupakan forum yang merupakan kumpulan masyarakat yang memang perduli terhadap hukum dan konstitusi. Dalam forum kami banyak terdapat berbagai macam elemen antara lain mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum yang memang fokus terhadap penegakkan hukum dan konstitusi. Dan pada kesempatan kali ini, kami mengajukan uji mater i terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 khususnya pada Pasal 7 ayat (1) huruf b mengenai masuknya TAP MPR dalam hirarki perundangundangan. Dan pada kesempatan kali ini diwakili oleh saya sendiri Viktor Santoso Tandiasa sebagai Ketua Umum Forum Kajian dan di samping saya ada Kurniawan, mahasiswa dari Fakultas Hukum Esa Unggul, dan satu lagi Bapak Joko Widarto, S.H., M.H. dari Akademisi Fakultas Hukum Esa Unggul. Demikian Yang Mulia, perkenalan awal. Terima kasih. 3. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Yang satu yang terakhir tidak belum tercatat sebagai Pemohon? 4. KUASA HUKUM PEMOHON: VIKTOR SANTOSO TANDIASA Ya, Yang Mulia.

5 5. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Anda memohon sendiri tanpa Kuasa Hukum? 6. KUASA HUKUM PEMOHON: VIKTOR SANTOSO TANDIASA kasih. Ya, kami dari Forum Kajian Hukum mengajukan sendiri. Terima 7. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Untuk permulaannya, saya meminta Anda untuk menjelaskan apa yang menjadi materi permohonan Anda secara ringkas. Kami sudah ( ) 8. KUASA HUKUM PEMOHON: KURNIAWAN Terima kasih, Yang Mulia. Paska saya akan menyampaikan singkat paska amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 terjadi reformasi ketatanegaraan yang kita tahu bahwa MPR semula yang menjadi lembaga tertinggi negara kemudian berubah menjadi lembaga tinggi negara. Hal demikian berimplikasi kepada dikeluarkannya ketetapan MPR di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 kemudian beralih ke tahun 2011, masuklah TAP MPR ke hirarki peraturam perundang-undangan. Nah, keberadaan TAP MPR menjadi polemik ketatanegaraan yang kita tahu bersama sudah berapa tahun ini tidak ada lembaga negara satu pun yang berwenang dalam menguji TAP MPR tersebut, sehingga terjadi kekosongan hukum ketika ada warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan kemudian tidak bisa menguji TAP MPR ini karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Kemudian saya juga berkapasitas sebagai mahasiswa yang mendapatkan materi tentang Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang- Undangan, yang mana dosen saya sebelah saya Pak Joko mengajarkan bahwa sebenarnya TAP MPR bisa diuji di Mahkamah Konstitusi karena sifat Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi. Artinya apabila ada TAP MPR ini yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu bisa diuji. Namun, banyak perdebatan para ahli bahwa TAP MPR ini tidak bisa diuji di Mahkamah Konstitusi karena bukan ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi. Nah, itu persoalannya. Kami menganggap bahwa merujuk kepada kasus yang pernah terjadi di Mahkamah Konstitusi pada saat kasus salah satunya Bu Rahmawati mengajukan permohonan pengujian TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003, ternyata ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

6 Artinya terjadi kebingungan oleh Pihak Rahmawati, bagaimana untuk mengupayakan hak konstitusional ini karena merasa dirugikan? Nah, oleh karena itu kami menganggap bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf b TAP keberadaan TAP MPR ini merugikan hak konstitusional warga negara karena tidak ada jaminan hukum perlindungan maupun kepastian yang telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1). Saya kira ini sangat bertentangan dan ini persoalan serius yang mungkin harus diselesaikan segera. Terima kasih. 9. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Pertama, Anda menyatakan di sini secara dari permohonan Anda, Anda sudah menjelaskan bahwa siapa pun pemohonnya, kemudian Anda mestinya melihat di sini kewenangan Mahkamah, Anda menjelaskan sedikit tentang kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, dan pokok permohonan, dan petitum. Pendahuluan Anda, Anda mengatakan bahwa dengan perubahan ketatanegaraan ini, maka kita tidak lagi mempunyai lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara karena MPR diposisikan sebagai lembaga tinggi yang sederajat. Saya rasa ini masih memerlukan suatu perdebatan, ya. Kalau MPR itu menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang- Undang Dasar 1945 itu hirarkinya di atas undang-undang, apakah layak kalau MPR itu disetarakan dengan disejajarkan dengan pembentuk undang-undang? Dimana hirarki undang-undang itu di bawah Undang- Undang Dasar Nah, perdebatan ini masih panjang, ya. Saya menganggap bahwa pasti kita punya lembaga tertinggi negara karena kalau enggak, terus siapa yang memberikan kewenangan kepada lembaga-lembaga negara yang lain, gitu kan? Tapi kita bisa melihat di sini suatu pertentangan teori itu boleh orang mengatakan yang ini benar yang itu salah, Tapi pendapat itu kan enggak bisa diarahkan. Nah, di sini kita bisa melihat bahwa ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun Kalau Anda mengatakan di sini dulu dalam TAP 20 MPRS ada TAP MPR, TAP 3 ada TAP MPR, Undang-Undang Nomor 12 ada TAP MPR Tapi Undang-Undang Nomor 10 enggak ada TAP MPR-nya. Anda pernah baca enggak risalah pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun Di dalam risalahnya dikatakan bahwa karena MPR itu tidak lagi mempunyai kewenangan menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara maka kemudian para pembentuk undang-undang waktu itu mengatakan kalau begitu enggak ada lagi TAP MPR. Nah, maka para pembentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 meletakan TAP MPR itu tidak ada dalam daftar, Tapi kalau Anda melihat pada kenyataan bahwa ada TAP 1 Tahun 2003 yang menyatakan masih ada 13 TAP MPR yang masih berfungsi, masih ada, apakah kemudian Anda boleh menghilangkan? Apakah MK boleh menghilangkan? Karena MK itu kewenangannya dibentuk oleh MPR dalam konstitusi itu.

7 Kalau kewenangan MK itu tidak menguji TAP MPR dalam TAP 1 Tahun 2003 dikatakan dalam Pasal 4 kalau ada undang-undang bertentangan dengan TAP MPR atau bertentangan dengan Undang- Undang Dasar, maka yang menguji MPR, Tapi kalau peraturan di bawah undang-undang bertentangan dengan undang-undang maka diujinya ke Mahkamah Agung. Nah, perubahan konstitusi kemudian mengatakan kalau ada undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar diuji ke Mahkamah Konstitusi. Kalau ada peraturan di bawah undangundang bertentangan dengan undang-undang diujinya ke Mahkamah Agung. Nah, sekarang kalau ada undang-undang bertentangan dengan TAP MPR ke mana? Kalau ada TAP MPR bertentangan dengan Undang- Undang Dasar ke mana? Tentunya itu tidak diadakan judicial review, pasti dengan constitutional review. Siapa yang berhak? Kalau kita lihat pada pasal itu, maka MPR-lah yang berhak. Nah, permasalahannya adalah sekarang orang berani tidak, orang mengatakan MPR enggak boleh lagi buat TAP MPR terus kok MPR membuat keputusan namanya apa? Namanya boleh peraturan, boleh ketetapan, boleh keputusan ya kan? Permasalahannya adalah apakah dia boleh mengatur secara regeling? Apakah dia boleh memutus secara regeling? Atau boleh hanya secara beschikking saja? Nah, di sini jadi permasalahan. Saya rasa ini cukup menarik permohonan Anda, Tapi Anda sebagai mahasiswa fakultas hukum mestinya menulis ayat itu ada dalam kurung ya kan? Ini di sini Pasal 10 ayat (1) dilepas ayat (1) saja secara penulisan itu keliru. Nah, ada bermacam-macam permasalahan di sini. Di kewenangan Mahkamah Anda menuliskan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1) Anda mencantumkan juga Undang-Undang tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Anda tentunya mesti tahu bahwa Undang-Undang MK itu sudah diubah pada tahun 2011 dan kemudian sekarang bahkan diubah kedua kalinya dengan Perppu 1 Tahun Walaupun Perpunya masih digoreng-digoreng ke mana ke sana-ke mari, tapi Anda perlu mencantumkan itu. Kemudian yang keempat kewenangan Mahkamah ini saya rasa tidak perlu juga yang nomor 5 itu cukup. Cukup dari konstitusi dan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang MK. Kemudian marilah kita melihat di sini karena Hakim Panel dalam pengujian undang-undang pada sidang pertama kita harus memberikan suatu nasihat pada Anda semua supaya permohonan ini bisa diperbaiki dan kemudian bisa kemudian disidangkan dengan sempurna sehingga permohonan Anda bisa diputuskan dengan sebaik-baiknya. Nah, di sini tadi warga negara Anda mengatakan Pemohon adalah Pemohon memberi kepentingan konstitusional atas diberlakukannya Pasal 7 ayat (1) dan Pemohon bisa merugikan hak konstitusional Pemohon maupun warga negara Indonesia. Kalau Anda melihat pada TAP-TAP

8 MPR, TAP itu sebetulnya mengatur siapa. TAP itu mengatur rakyat, mengatur kita, atau mengatur presiden, nah di situ ditetapkan. Kalau ada TAP yang keliru Tapi bahwa TAP MPR itu dibuat untuk presiden karena presiden dulu adalah mandatarisnya MPR. Jadinya, kalau Anda mengatakan Pemohon apakah Anda terkena dengan TAP-TAP MPR tersebut katanya ya kan? Itu dilihat. Kemudian kita bisa melihat di sini bahwa dalam alasan permohonan Anda, Anda mengatakan struktur ketatanegaraan yang semua terbagi lembaga tertinggi dan tinggi negara menjadikan tidak ada lembaga tertinggi negara. Kesamaan posisi dari lembaga negara yang ada, menunjukkan adanya kewenangan satu dengan yang lain yang pada tugasnya masing-masing tidak saling menjatuhkan satu terhadap yang lain. Ya kan? Memang ada yang bisa menjatuhkan di sini? Kecuali MPR bisa memecat presiden. Tapi dengan prosedur DPR. Mengajukan ke MK dulu, ya kan? Kita bisa melihat di sini, ada beberapa permasalahan yang saya akan keberadaan TAP MPR di Undang-Undang Nomor 10 tidak diakui. Akan tetapi, norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak tahun 1966, Anda ini halaman 10, nomor 6, sejak tahun 1966 hingga tahun 2002, tetap diakui sebagai produk hukum yang berlaku, sepanjang tidak digantikan dengan undang-undang formal yang ditetapkan setelahnya. Berarti, Anda mengatakan Anda setuju bahwa TAP MPR yang masih ada sejak tahun 1966 sampai sekarang, saya rasa itu hanya 13 itu, kalau dia belum diatur dengan undang-undang, maka dia masih tetap berlaku. Kalau demikian, mau diletakkan di mana TAP MPR itu? Kalau tidak masuk di dalam hierarki perundang-undangan. Permasalahannya sebetulnya di dalam secara teori, kita bisa melihat bahwa kalau kita mengatakan dengan hierarki peraturanperaturan negara, tidak masalah kita mengatakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, TAP MPR, tapi kalau kita melihat pada hierarki perundangundangan, maka secara teori yang termasuk perundang-undangan itu adalah undang-undang ke bawah. Nah, sekarang kalau ada TAP MPR yang masih ada dan oleh lembaga yang membentuknya sendiri dikatakan dia masih tetap berlaku, apakah kita telantarkan itu? Di sini, Anda juga mengutip bahwa dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum. Kalau ada TAP tentang reformasi agraria, yang memerintahkan perlunya ada undang-undang yang mereformasi agraria, undang-undang yang sampai sekarang belum ada, mereka melihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun Apakah itu tidak bisa menjadikan sumber bagi undang-undang tersebut? Nah, jadi di sini kita bisa melihat bahwa ada hal-hal yang kita tidak bisa. Kita tidak hanya berbicara secara tataran teori. Tapi kalau pembentuknya sendiri sudah mengatakan, Tidak boleh diapa-apakan, dinyatakan masih berlaku, maka bagaimana kita lembaga-lembaga yang katanya tadi setingkat, itu kemudian mengatakan, Ini enggak boleh.

9 Suatu peraturan itu hanya boleh dicabut, diubah, atau diganti oleh peraturan yang setingkat juga atau yang lebih tinggi, dan oleh lembaga yang sama. Kalau dikatakan masalah yang sama, orang mengatakan, Ya, MPR dulu terdiri atas Anggota DPR, utusan golongan, dan utusan daerah. Sekarang, MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD, tapi namanya itu berubah atau enggak? Namanya kan, tetap MPR. Nah, jadi di sini kita dapat melihat bahwa enggak hanya kata itu sekarang enggak ada. Enggak. Kalau misalnya presiden mau diimpeach, presiden dianggap melanggar konstitusi, oleh DPR dibawa ke MK, kemudian MK memutuskan, Ya, presiden salah, kemudian MPR memecat presiden. Apakah hanya diucapkan saja? Atau tidak harus dengan bentuk yang tertulis secara formal? Bahwa hari ini MPR memberhentikan presiden tidak dengan hormat. Nama keputusannya apa? Nah, kalau Anda melihat pada peraturan tatib MPR, kalau TAP MPR itu berlaku keluar dan ke dalam. Keluarnya itu hanya sampai presiden saja. Tapi keputusan berlaku ke dalam lembaga itu. TAP MPR yang memecat presiden itu, beschikking atau regeling? Kalau Anda sebagai mahasiswa fakultas hukum, Anda bisa membedakan mana yang regeling, mana yang beschikking. Ya kan? Jadi, kalau itu diajukan ke sini, kemudian MK mengatakan, Enggak berwenang, ya memang kewenangan MK itu dalam Pasal 24C jelas, Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun Kalau kita pernah menguji perpu karena perpu itu oleh undangundang dikatakan setingkat dengan undang-undang. Tapi TAP MPR itu diletakkan di atas undang-undang, ya. Nah, kemudian di sini misalnya dikatakan, Prof. Jimly mengatakan TAP MPR seharusnya disetarakan dengan undang-undang, ya. Disetarakan dengan undang-undang. Kalau disetarakan itu berarti TAP MPR itu sama dengan undang-undang. Tapi bisa enggak, Anda melaksanakan TAP tentang demokrasi ekonomi, TAP etika berbangsa, secara langsung karena isi di dalamnya itu adalah alinea-alinea panjang seperti GBHN itu, dan tidak dalam pasal-pasal. Ini beda dengan penpers dan perpres jamannya orde lama. Penpres dan Perpres itu oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 dinyatakan ditetapkan sebagai undang-undang atau dengan sebagai undang-undang kondisional, tapi di sana isinya pasal-pasal. Jadi kalau Penpres dan Perpres itu dinyatakan sebagai undang-undang bisa langsung jalan. Tapi Tap-Tap ini tidak, ya kalau Anda mengatakan di sini, kalau demikian kesalahan fatal, kalau ada yang Tap tersisa itu, sebab hal itu berakibat keberadaan Tap MPR tersebut akan berlaku sampai kiamat. Saya rasa, Anda benar juga ada Tap yang bisa sampai kiamat, kalau Anda melihat pada Tap Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negeri yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, itu oleh

10 Tap Nomor 1 Tahun 2003 dikatakan Tap ini masih tetap berlaku sampai terpenuhinya seluruh ketentuan di dalam Tap itu. Sekarang Anda mesti tanya, kapan Indonesia itu bebas korupsi? Kalau korupsinya itu sudah bebas, baru Tap itu tercabut, gitu kan. Nah, jadi ada Tap-Tap yang seperti itu. Tapi Tap itu kalau Anda cabut, Anda hilangkan, nanti KPK juga tercabut itu karena KPK itu sumbernya dari Tap Nomor XI Tahun 1998 ini. Nah, jadi kita bisa melihat di sini bahwa kita mengatakan ini boleh diuji atau tidak, ini dihilangkan atau tidak itu harus dilandaskan dengan teori-teori yang ada dan fakta yang ada. Karena Tap-Tap MPR itu juga kemudian ditindaklanjuti oleh undang-undang yang ada. Setiap Tap MPR yang masih ada itu dikatakan memerintahkan kepada presiden untuk membentuk undang-undang, memerintahkan presiden untuk melaksanakan ini dan seterusnya, ya. Anda bertentangan ini dengan teorinya Prof. Mahfud. Prof. Mahfud mengatakan, Tap MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR tapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking. Nah, artinya sebetulnya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu kan Tap itu yang masih ada, yang mengatur itu ya itu saja, gitu kan. Tapi kalau Tap itu bersifat beschikking misalnya memberhentikan presiden itu boleh saja, bahkan dalam Undang-Undang MD3 MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sekarang sudah dinyatakan kalau kita melantik presiden, maka harus ada peraturan MPR itu. Nah, kan ini mengatakan ini lho presiden kita, gitu. Harus ada, tidak hanya sumpah jabatan saja, kalau sumpah jabatan itu bukan kita dengan yang di Atas sana. Nah, ini kita bisa melihat di sini bahwa kalau kemudian Tap MPR harus disahkan dengan undang-undang, mengingat Tap MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, maka ini Anda harus melihat kalau begitu kalau enggak boleh sama sekali, gimana, gitu? Tapi Anda harus melihat di sini bahwa kalau Tap itu masih ada, Anda bisa melihat sekarang Undang-Undang Wetboek van Strafrecht, Burgerlijk Wetboek misalnya itu undang-undang yang dibuat oleh Belanda di Belanda sana, kok sampai sekarang masih berlaku? Dan dia tidak mengatakan ini tetap berlaku, tapi Indonesia masih memakai itu, bahkan terjemahannya pun kan tidak terjemahan resmi oleh negara, ya kan? Nah ini suatu Tap MPR, suatu produk hukum yang tahun 1966 sampai tahun 2003 masih dibuat oleh MPR, dan oleh MPR dinyatakan masih tetap berlaku dengan beberapa alasan. Bagaimana kita harus menghilangkan itu? Kalau kita memakai hierarki perundang-undangan itu dimulai dari Undang-Undang Dasar, maka kalau Undang-Undang Dasar langsung undang-undang, lah Tap MPR-nya itu kemana larinya, gitu. Nah, ini kita bisa melihat bahwa bisa banyak perbedaan, kalau Anda mau meyakinkan Hakim Konstitusi bahwa Hakim Konstitusi boleh menghilangkan Pasal 7 ayat (1) huruf b itu, maka Anda harus merumuskan dengan lebih bagus urgensinya, argumentasinya, siapa yang boleh ke sini dan sebagainya, sehingga Anda bisa meyakinkan kami

11 bahwa oh, ya kalau begitu dihilangkan saja. Terus mau kita kembangkan kemana Tap MPR itu, ya. Ini dari saya mungkin karena saya senang tentang Tap MPR ya, saya juga kita melihat dahulu bagaimana terjadinya Tap Nomor 1 Tahun 2003 ini, jadi mungkin memang saya tahu masalah ini secara banyak, sehingga Anda harus meyakinkan saya dan Hakim Konstitusi yang ada bahwa ya kita boleh menguji ini. Dan kalau putusannya dikabulkan, maka tentunya diharapkan bahwa itu tidak menjadikan suatu kericuhan di dalam negara ini. Jangan-jangan nanti MPR juga marah juga, gitu kan? Nanti kalau MPR Tap MPR hilang KPKnya enggak ada, gimana gitu? Ya, itu dari saya, saya mohon kepada Bapak Fadlil Sumadi. 10. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Saudara pemohon ya, saya akan berangkat dari pengujian konstitusionalitas undang-undang. Dari pengujian konstitusionalitas undang-undang itu, apakah pengertian undang-undang itu formal, yaitu peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang atau pengertian undang-undang di situ di dalam Pasal 24C itu juga materiil. Nah, itu sudah ada di dalam beberapa putusan-putusan Mahkamah, misalnya tadi sudah disinggung perpu itu formalnya bukan undangundang, tapi materiil perpu itu sebenarnya mengatur tentang hal-hal yang harus diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mengkonstruksikan, oh kalau gitu Mahkamah juga berwenang dong, nah gitu misalnya, satu. Ini baru dari begriff-nya, begriff tentang pengujian konstitusionalitas undang-undang. Apa Anda tidak bisa mengkonstruksikan misalnya... misalnya itu ya. TAP MPR itu mau Anda konstruksikan seperti apa, sehingga Anda meminta dalam banyak cakap di sini tadi harus bisa diuji oleh Mahkamah. Ketika Anda bilang begitu, saya lalu menengok ke apa yang sudah Anda tulis yang akan Anda uji itu posisi TAP MPR di Undang- Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau TAP MPR-nya. Ini batasnya sangat tipis lho, Anda kejebak ke sana ke mari, Anda mau menguji Pasal 7 ayat (1) huruf b ya kalau enggak salah di sini, ya kan. Yang itu isinya urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Yang b, b-nya itu tentang TAP MPR, gitu kan, Anda mau menguji TAP MPR atau menguji undang-undang yang mendudukan TAP MPR itu dihuruf b, kalau sebenarnya kita berangkat dari maksud Anda yang tertulis, itu Anda ingin menguji undang-undang sebenarnya. Oleh karena itu, persoalan pengertian pengujian konstitusionalitas undang-undang menjadi tidak begitu penting karena yang Anda uji pun sebenarnya undang-undang, bukan TAP MPR. Nah, ini yang mana, pastikan dong, jangan itu ya, satu. Ini kalau dari pengertian mesti tegas itu, Anda mau menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Itu artinya pengujian konstitusionalitas undang-undang, kasusnya

12 Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun Kenapa Anda lari-lari ke mana-mana itu. Oke, kalau yang diuji itu adalah Pasal 1 ayat... Pasal 7 ayat (1) huruf b, itu yang diargumentasikan di sini ya berangkatnya dari undangundang ini adalah Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau apapun lah namanya, terserah itu Anda kaji. Lalu di situ kok diletakkan ketetapan MPR, nah kan gitu. Itu artinya Anda memandang bahwa ketetapan MPR ditaruh di situ inkonstitusional, kan nalarnya begitu. Tapi enggak ada alasan konstitusionalitas yang Anda bangun di dalam alasan permohonan Pemohon ini, hanya satu itupun Pasal 28D ayat (1) tentang Kepastian Hukum yang Adil. Meskipun di depan-depan Anda sudah memulai dengan Pasal 1 ayat (3) negara hukum dan seterusnya. Mana alasan konstitusionalitasnya bahwa TAP MPR itu kalau di taruh di situ inkonstitusional, kan itu yang harus dicari, ini enggak ada uraiannya. Uraiannya pendapat Pak Jimly, pendapat Pak Mahfud, apa relevansinya? Ini soal konstitusionalitas. Kalau ada pendapat ahli adalah pendapat yang berkenaan dengan soal konstitusionalitas. Pendapat Hans Kelsen itu silakan, mau dipakai. Tapi harus mendukung penafsiran Anda mengenai konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf b, ya. Ini tidak ada, saya pastikan tidak ada. Saya buka berkali-kali. Ha, itu baru pokok permohonan ya. Lalu, legal standing. Legal standing itu Anda sudah cerita, orang yang punya standing adalah orang yang punya kepentingan, kan gitu kan? Enggak punya kepentingan, enggak punya standing (suara tidak terdengar jelas), enggak punya. Orang yang punya kepentingan untuk menguji undang-undang itu kepentingannya harus dirugikan, kerugiannya apa? Kembali lagi, Pasal 28D ayat (1). Enggak ada yang lain? Uraiannya juga tidak jelas, di menimbulkan ketidakpastian hukum, menimbulkan cuma itu saja? Ya, bagaimana kami bisa yakin. Ketidakpastian hukum seperti apa kalau TAP MPR itu nongkrong di Pasal 7 ayat (1) huruf b. Itu kepastian hukum seperti apa yang hilang kepunyaan Anda itu? Anda punya kepentingan yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1), Anda mengkonstatir bahwa nongkrong-nya Pasal 7 ayat (1) huruf b itu dirugikan, isi kerugiannya tidak pasti secara hukum. Lah, tidak pasti itu kayak apa? Anda menguraikan di sini? Tidak ada. Oleh karena itu, silakan silakan. Anda eksplor lagi supaya ini DPR juga yakin, pemerintah juga yakin kami yang memutus lebih-lebih, harus yakin bahwa itu enggak benar. Itu inkonstitusional kalau itu taruh di situ, oke. Oke, Petitum sekarang. Kalau Petitum ini Anda bilang saya cocokin, menyatakan Pasal 7 aya (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 dan seterusnya bertentangan dengan Pasal 28D. Sebenarnya kalau mau jaring itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar gitu saja Anda bisa beragumentasi cari pasal yang lebih banyak sebenarnya. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, boleh. Mau

13 dielaborasi jadi dua, boleh. Tapi, substansinnya saya katakan mengapa muter-muter saja di Pasal 28D ayat (1). Sementara Anda enggak menjelaskan ketidakpastian hukumnya kayak apa? Ketidakadilannya kayak apa? Apakah sudah terjadi apa potensial? Itu juga enggak jelas. Lalu, memerintahkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan ya, ini kan normal, rumusan normal ini. Ini rumusan normal, bukan rumusan amar, gitu ya. Untuk ini saya silakan untuk membaca ini saja lah putusan-putusan Mahkamah yang sudahsudah ada, soal merumuskan yang angka 3-nya itu. Ini ex aequo et bono, oke selesai akhirnya. Saya kira itu saja Yang Mulia, terima kasih. 11. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih. Prof. Arief silakan. 12. HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saudara Pemohon, sudah banyak nasihat dan usul perbaikan yang disampaikan oleh hakim yang terdahulu dan itu sangat penting untuk dipahami supaya permohonan bisa lebih sempurna dan meyakinkan pada Mahkamah untuk bisa bekerja untuk melakukan pengujian undang-undang yang Anda inginkan. Saya hanya menambahkan beberapa dan ada yang menegaskan. Saudara minta pengujian terhadap Pasal 7 ayat (1) huruf b supaya ini di dalam Petitum Saudara dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, khususnya Pasal 28. Karena dengan adanya pasal ini, khususnya adanya huruf b ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum kan begitu? Nah, dari uraian yang sudah disampaikan oleh para Yang Mulia terdahulu, apakah kita bisa menyimpulkan begini, kalau itu kemudian malah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi apakah tidak sebaliknya malah menimbulkan ketidakpastian hukum karena ada kekosongan hukum? Karena kalau kita awasi coba, MPR dengan posisi yang lama mulai dari MPRS tahun 1960 sampai MPR tahun 2002 itu telah lahir 139 ketetapan yang kemudian dilakukan pemilahan oleh ketetapan MPR Nomor 1 Tahun Pemilihan itu pertama ada 8 TAP yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian ada 3 TAP yang masih tetap berlaku dengan ketentuan tertentu. Ketiga, ada 8 TAP yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu Keempat, ada 11 ketetapan yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.

14 Kelima, ada 5 ketetapan yang masih berlaku sampai ditetapkanya peraturan tata tertib MPR hasil pemilu Yang keenam, yang terakhir, ada 104 ketetapan yang tidak diberlakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat eenmalig telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan. Jadi ketetapan Nomor 1 tahun 2003 itu disebut, kalau saya menyebut sebagai sunset clausal, artinya itu menutup babak lama mengarah kepada MPR dengan status kewenangannya yang baru menurut undang-undang dasar yang sudah diamandemen. Dari situ, tadi sudah ditunjukkan oleh Yang Mulia Ketua, ada ketetapan-ketetapan MPR, misalnya tadi sudah disebutkan mengenai reformasi agraria, mengenai dasar hukum atau perintah yang memerintahkan KPK dan sebagainya itu masih tetap berlaku. Kalau ini kemudian tidak dimasukkan dalam struktur peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) angka huruf b tadi, maka malah menimbulkan kekosongan hukum, gitu ya. Itu bisa dipahami seperti itu. Kemudian yang kedua yang ingin saya sampaikan juga dalam posita Saudara itu supaya konsisten dengan petitumnya atau sebelumnya menambahkan yang tadi di dalam posita Saudara angka 9 sebetulnya Saudara itu tidak menguraikan masalah yang berhubungan dengan inkonsistensi pasal itu dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tapi Saudara itu sekedar hanya risau TAP MPR itu siapa yang menguji kalau salah, kalau dipersalahkan oleh warga negara. Coba kita baca bahwa dimasukkannya ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundangan dengan posisi kedudukannya yang berada di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan di atas undang-undang menimbulkan kekosongan hukum dalam pengujiannya. Nah, kalau dalam teori hukum kalau ada peraturan perundangan sudah dijelaskan undang-undang diuji oleh MK, kemudian di bawah undang-undang oleh MA, sekarang kalau begitu TAP MPR itu ya memang tidak ada yang menguji. Kalau misalnya itu perkembangan politik dan konstelasi politik yang ada di MPR yang terdiri dari DPR dan DPD menganggap TAP MPR itu keliru ya mereka yang membuat, mereka yang mencabut. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri, kan begitu? Enggak usah diuji oleh MPR eh, enggak usah diuji oleh MK atau enggak usah diuji oleh MA. Sama dengan Undang-Undang Dasar Tahun Kalau begitu pertanyaan ini posita, angka 9 ini Undang-Undang Dasar Tahun 1945 siapa yang menguji kalau nanti dikatakan, Anda di dalam posita mengatakan harus ber tidak boleh bertentangan dengan (suara tidak terdengar jelas) atau hukum dasar. Siapa? Enggak ada yang menguji, MPR itu sendiri. Karena MPR yang memulai ya harus mengakhiri sendiri kalau ada sesuatu, tapi didasarkan pada perubahan konstelasi politik, misalnya menganggap ini sudah tidak sesuai, itu nanti MPR sendiri, tidak perlu Anda mengatakan itu bahwa kemudian bertentangan. Jadi

15 kerisauan ini sebetulnya bukan posita yang menggambarkan keingingan Anda, malahan gitu ya. Oleh karena itu yang terakhir, kalau misalnya, ini agak mendekati menurut pemahaman saya. Posita Anda malah mengatakan begini, petitumnya mengatakan begini, Meminta kepada Mahkamah untuk melakukan tafsir konstitusional terhadap permasalahan dimaksud, misalnya dengan meminta menafsirkan pasal itu bahwa ketetapan MPR yang lama masih mempunyai kekuatan mengikat ke luar dimaknai setara dengan undang-undang, sehingga bisa dilakukan uji materiil di MK. Kalau hanya sekadar kerisauan di angka 9 posita Anda itu malah lebih mendekati. Ada konsistensi antara posita dengan petitumnya, begitu ya. Saya kira itu saja yang belum disinggung oleh para Yang Mulia yang lain, ini dari perspektif saya, ya. Terima kasih. 13. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Jadi, materi permohonan Anda bukan pengujian undang-undangnya karena kalau Pasal 7 ayat (1) itu seperti itu apa salah sih? Apakah itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945? Kan ini hanya tidak mengharuskan tidak mengatakan hanya mengatakan hierarki perundang-undangan adalah ini, ini, ini. Itu suatu yang memberikan satu pedoman, ini lho hierarki perundang-undangan, tapi bukan ada wajib, dan seterusnya, bukan suatu norma secara perundang-undangan Pasal 7 ini. Ya, jadi, itu yang harus di kalau Anda lihat ini salah, kalau ini salah, Anda harus membuat konstruksi yang lebih bagus di dalam permohonan ini. Tapi kalau Anda melihat daripada merepotkan saja Tap MPR itu, ya minta saja ke MPR cabut saja Tap MPR itu semua, begitu kan. Kan masih boleh. Kalau tahap pencabutan itu kan isinya beschikking, enggak mengatur, kan. Nah, jadi di sini selama Tap itu masih ada, Anda juga bisa melihat dalam Tap dikatakan, Tap 3 tahun 2000 tentang hierarki perundang-undangan masih tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang. Muncul Undang-Undang Nomor 10 Tahun Di dalam undang-undang nomor 10 tahun 2004 itu mencabut Tap MPR Nomor 3 Tahun 2000, enggak? Kalau mencabut, ya enggak benar juga, orang dia letaknya di bawah Tap MPR, ya kan. Kalau tadi dikatakan bahwa ada sunset clause, ya, tapi sunset clause itu harus lembaga peraturan yang setingkat, undang-undang enggak bisa mencabut Tap MPR. Nah, ini yang perlu di ini kembali dielaborasi kembali, apakah betul Pasal 7 nya yang Anda ingin uji ke sini atau Tap MPR-nya? Kalau Tap MPR kan Anda sudah melihat ada permohonan yang kemudian dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK, ya. Nah, di dalam permohonan Anda, Anda karena ini Anda mengatakan juga forum merupakan suatu kelembagaan, maka belum

16 ada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang harus Anda lampirkan dan juga daftar buktinya belum ada. Daftar bukti itu Anda harus mencantumkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2000, mungkin Undang-Undang Nomor 10 kalau Anda masih atau untuk perbandingan-perbandingan Tap 20 MPRS, Tap 3, begitu ya. Ini yang perlu Anda lengkapi, ya. Nah, Anda mempunyai waktu 14 hari untuk perbaikan dan itu boleh diajukan lewat Kepaniteraan, tidak di dalam sidang. Nanti kalau sudah itu masuk, maka akan kita adakan sidang perbaikan, kita cek permohonan perbaikan Anda, ya. Masih ada yang perlu ditanyakan di sini? 14. KUASA HUKUM PEMOHON: VIKTOR SANTOSO TANDIASA Mungkin sudah cukup, Yang Mulia. 15. KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Oke, jadi Anda berikan waktu 14 hari dan kalau Anda sudah selesai diberikan saja ke Kepaniteraan dan karena tidak ada lagi hal-hal yang perlu disampaikan, maka sidang ini saya nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 31 Oktober 2013 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.