PATOGENESIS INFEKSI VIRUS GUMBORO ISOLAT LOKAL PADA EMBRIO DAN AYAM PEDAGING SUTIASTUTI WAHYUWARDANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PATOGENESIS INFEKSI VIRUS GUMBORO ISOLAT LOKAL PADA EMBRIO DAN AYAM PEDAGING SUTIASTUTI WAHYUWARDANI"

Transkripsi

1 PATOGENESIS INFEKSI VIRUS GUMBORO ISOLAT LOKAL PADA EMBRIO DAN AYAM PEDAGING SUTIASTUTI WAHYUWARDANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Patogenesis Infeksi Virus Gumboro Isolat Lokal pada Embrio dan Ayam Pedaging adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Sutiastuti Wahyuwardani B

3 ABSTRACT SUTIASTUTI WAHYUWARDANI. Pathogenesis of local isolate of Gumboro virus infection on embryos and broiler chickens. Under supervision of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO, LIES PAREDE and WASMEN MANALU. Gumboro or Infectious Bursal Disease is a disease in young chickens that causes damage of bursa fabricius. Vaccination of IBD virus has been routinely performed, but cases are still reported in the farm. The study of pathogenesis was done by choosing two types of strains that are very commonly used as vaccines, the intermediate plus IBD virus local and commercial import, which observed in embryos and broiler chickens. In chicken embryos, the pathogenesis was learned by observing the lesions sequence appeared in the bursa fabricius. Whereas, in broiler chickens, the pathogenesis of gumboro virus was performed based on the time sequences of infection, distribution, degree of gross and histopathology lesions on the immune organs and distribution of antigen that was detected by immunohistochemistry. The pathogenesis study of virus from a local isolate and commercial import vaccines were compared with pathogenesis of very virulent IBD virus (Std1/BBalitvet/09). Before using, the virus were tested for virulency by passaging 5 times in chickens and identified By PCR and sequencing. The infection of Intermediate plus IBD virus local and commercial in chicken embryos caused decreased egg hatchability and induced lesions at 1 day postinfection that could be observed at 15 days old chicken embryos. The lesions and antigen could be detected on 1, 2 and 3 days postinfection then disappeared 3 days after hatching. The infection of two type that virus induced antibodies in chicken 3 days post hatch. The pathogenesis study of Intermediate plus IBD virus local and commercial infection in broiler chickens revealed mild score lesion in the bursa fabricius, that were not significantly different from control chickens. Conversely severe lesions and viral antigen could be observed in the group of chickens that infected with local of vvibd virus or reinfected with local of vvibd virus. The lesions did not recover until 14 days post infection, whereas lesion in spleen and thymus recovered at 14 days post infection. Viral antigen could be detected in group chickens which infected with Intermediate plus IBD virus local and commercial then reinfected with local vvibd virus on 1-14 days post infection. Whereas at the group of chicken infected local vvibd virus were detected only up to 7 days post infection.the damage of the bursa fabricius result immunosuppressive condition. Whereas vaccination in ovo, did not cause lesions in bursa fabricius of chicken post hatch. However, the use of intermediate plus IBD virus local as in ovo vaccine need to be studied more deeply whether can induce protective antibodies against local vvibd virus. Key words: chicken embryo, gumboro, pathogenicity, immunohistochemistry, immune organ, virus vaccine

4

5 RINGKASAN SUTIASTUTI WAHYUWARDANI. Patogenesis Infeksi Virus Gumboro Isolat Lokal pada Embrio dan Ayam Pedaging. Dibimbing oleh DEWI RATIH AGUNGPRIYONO, LIES PAREDE dan WASMEN MANALU. Penyakit gumboro atau Infectious Bursal Disease (IBD) adalah penyakit pada ayam muda yang menyebabkan kerusakan pada organ imunitas, yaitu kelenjar bursa fabricius. Pencegahan penyakit gumboro dengan vaksinasi telah rutin dilakukan, namun kasus masih dilaporkan terjadi di peternakan. Patogenesis suatu infeksi virus adalah riwayat jalannya virus di dalam induk semang, dari mulai masuk, mencapai sel target untuk berbiak, lalu menimbulkan gejala klinis sampai kematian atau terjadi persembuhan. Studi patogenesis pada penelitian ini dilakukan dengan memilih dua jenis strain yang sangat umum digunakan sebagai vaksin, yaitu virus IBD Intermediate plus lokal dan virus IBD Intermediate komersial impor, yang diamati pada embrio ayam dan ayam pedaging. Pada ayam pedaging juga dipelajari patogenesis infeksi virus vvibd lokal yang sebelumnya diinfeksi atau tidak diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial. Studi patogenesis pada embrio ayam, dipelajari dengan mengamati munculnya lesi, derajat lesi histopatologi dan distribusi antigen virus pada bursa fabricius sesuai sekuen waktu infeksi. Sementara itu, pada ayam pedaging studi patogenesis virus gumboro dilakukan berdasarkan sekuen waktu infeksi, distribusi dan derajat lesi patologi anatomi dan histopatologi pada organ imunitas dikaitkan dengan distribusi antigen virus pada organ imunitas. Distribusi antigen virus pada organ dideteksi menggunakan pewarnaan imunohistokimia. Tujuan penelitian ini adalah menerangkan patogenesis infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada embrio, dan pada ayam pedaging, dengan dan tanpa reinfeksi dengan vvibd lokal. Selain itu juga membandingkan kemampuan virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial melindungi ayam terhadap infeksi virus vvibd lokal. Informasi yang diperoleh dalam percobaan ini diharapkan dapat digunakan oleh stakeholders untuk menentukan pelaksanaan jadwal vaksinasi. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah untuk menguji virulensi virus vvibd lokal dan identifikasi virus yang digunakan untuk menginfeksi ayam percobaan. Tahap berikutnya adalah infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada embrio ayam, selanjutnya infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial dan virus vvibd lokal pada ayam pedaging. Virus IBD yang digunakan dalam percobaan ini adalah virus Std1/BBalitvet/09, koleksi BCC, BBalitvet Culture Collection, Balai Besar Penelitian Veteriner. Virus ini telah diuji virulensi, dengan melakukan pasase 5 kali pada ayam specific pathogen free dan kemudian diidentifikasi menggunakan teknik RT-PCR dan sekuensing. Primer yang digunakan dalam penelitian ini, untuk amplifikasi gen VP2 di wilayah hipervariabel, yang menghasilkan fragmen dengan panjang 248 pasangan basa. Studi patogenesis virus gumboro pada embrio ayam dilakukan dengan menginfeksikan virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada telur ayam berembrio pada 9 hari dan 14 hari. Kematian embrio selama 17 hari masa inkubasi

6 dan daya tetas diamati. Pada 12 jam, 1, 2, 3 hari pascainfeksi dan 3 hari pascamenetas, embrio dan ayam diterminasi, perubahan patologi anatomi dicatat, bursa fabricius dikoleksi dan diproses menjadi blok parafin. Studi patogenesis virus gumboro pada ayam dilakukan dengan menginfeksikan virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada 6 kelompok ayam pedaging yang berumur 8 hari. Beberapa kelompok kemudian diinfeksi kembali dengan virus vvibd lokal pada umur 15 hari. Terminasi dilakukan pada 1, 2, 3, 7, dan 14 hari pascainfeksi, perubahan patologi anatomi dicatat, bursa fabricius, limpa, dan timus dikoleksi dan diproses menjadi blok parafin. Semua blok kemudian diproses untuk pewarnaan Hematoksilin & Eosin dan imunohistokimia. Lesi diamati di bawah mikroskop cahaya kemudian diskoring, selanjutnya dianalisis dengan Anova dan Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tetas telur menurun dan lesi ditemukan pada bursa fabricius embrio ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial. Lesi pada infeksi gumboro teramati pada embrio ayam yang diinfeksi IBD Intermediate plus lokal maupun komersial pada umur 14 hari, mulai 1 hari pascainfeksi. Lesi akibat infeksi virus gumboro adalah: proliferasi RES, nekrosis sel limfoid, deplesi limfoid folikel. Apoptosis sel limfoid ditemukan 3 hari pascainfeksi. Lesi bertambah parah pada 2 hari pascainfeksi. Pada 3 hari pascainfeksi beberapa folikel limfoid menghilang. Nekrosis tampak cenderung lebih parah pada embrio yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal pada 1 dan 2 hari pascainfeksi, menyebabkan penurunan jumlah folikel limfoid. Lesi tidak terdeteksi pada ayam 3 hari pascamenetas, yang menunjukkan bahwa lesi yang ditemukan selama embrio bersifat tidak permanen. Hasil deteksi antigen dengan teknik imunohistokimia menunjukkan bahwa pada bursa fabricius embrio ayam, terdeteksi antigen IBD sejak umur 1-3 hari pascainfeksi, kemudian menghilang pada 3 hari pascamenetas. Infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial in ovo pada ayam 3 hari pascamenetas mampu menginduksi produksi antibodi. Ada harapan vaksin in ovo mempunyai prospek yang baik. Penelitian patogenesis infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada ayam pedaging menunjukkan skor lesi ringan pada bursa fabricius, yang tidak berbeda nyata dari ayam kontrol. Lesi gumboro yang ditemukan pada folikel limfoid adalah nekrosis sel dan deplesi folikel limfoid. Lesi disebabkan oleh virus IBD Intermediate plus lokal cenderung lebih ringan daripada yang ditemukan pada ayam yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada awal infeksi sampai 7 hari pascainfeksi. Sementara itu, infeksi atau a reinfeksi virus vvibd lokal pada ayam pedaging menyebabkan lesi yang parah dan berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok lain. Lesi pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial lalu direinfeksi virus vvibd lokal cenderung lebih parah dibandingkan dengan kelompok yang diinfeksi i virus IBD Intermediate plus lokal lalu direinfeksi virus vvibd lokal. Pemeriksaan patologi anatomi bursa fabricius menunjukkan hiperemia dan eksudasi pada kelompok yang diinfeksi vvibd dan kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial lalu direinfeksi virus vvibd lokal, serta atrofi bursa fabricius pada 7 dan 14 pascainfeksi. Limpa dan timus menunjukkan hiperemia pada 1-3 hari pascainfeksi. Pemeriksaan mikroskopis bursa fabricius menunjukkan edema interstisial, perdarahan, infiltrasi heterofil,

7 hiperplasia fibroblas, dan deplesi folikel limfoid. Perubahan juga ditemukan pada lapisan epitel plika, berupa kista. Sel-sel sistem retikuloendotelial pada limpa dan timus mengalami proliferasi pada fase akut dan cenderung menurun dalam tahap kronis. Keberadaan antigen virus terdeteksi pada tahap akut dan kronis pada kelompok terinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial lalu direinfeksi dengan virus vvibd lokal. Sementara pada kelompok yang diinfeksi virus vvibd lokal, antigen terdeteksi hanya sampai umur 7 hari pascainfeksi. Antigen virus tidak terdeteksi pada limpa dan timus. Kerusakan bursa fabricius menyebabkan ayam menjadi imunosupresif, jika berlangsung >14 hari ayam rawan terhadap sekunder infeksi. Oleh karena itu, di samping vaksinasi, program biosekuritas lainnya perlu diterapkan dengan ketat. Sebaliknya, vaksinasi in ovo, tidak menyebabkan lesi pada bursa fabricius pada anak a ayam setelah menetas. Namun, penggunaan virus IBD Intermediate plus lokal sebagai vaksin in ovo perlu dipelajari lebih mendalam apakah dapat menginduksi antibodi protektif terhadap virus vvibd lokal. Kata kunci: ayam pedaging, embrio, gumboro, imunohistokimia, patogenesis, vaksin

8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau a menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

9 PATOGENESIS INFEKSI VIRUS GUMBORO ISOLAT LOKAL PADA EMBRIO DAN AYAM PEDAGING SUTIASTUTI WAHYUWARDANI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

10 Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. drh. Bambang Pontjo P., MS. PhD. APVet. 2. Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi. APVet. Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. drh. RM. Abdul Adjid. 2. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi. APVet.

11 Judul Disertasi : Patogenesis Infeksi Virus Gumboro Isolat Lokal pada Embrio dan Ayam Pedaging Nama : SUTIASTUTI WAHYUWARDANI NRP : B Disetujui, Komisi Pembimbing drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. APVet. Ketua Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD. Anggota drh. Lies Parede, MSc, PhD. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. drh. Bambang Pontjo P., MS. PhD. APVet. Dr. Ir. Dahrul Syah. MSc. Agr. Tanggal Ujian: 20 Januari 2012 Tanggal Lulus:

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah SWT yang telah memberikan segala karunia-nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Judul disertasi ini adalah: Studi patogenesis gumboro isolat lokal pada embrio dan ayam pedaging. Sebagian materi disertasi ini telah dipublikasi pada Jurnal Veteriner vol 12. no. 4 edisi bulan Desember 2011, dengan judul: Patogenesis infeksi gumboro isolat lokal pada ayam pedaging yang divaksin dengan vaksin komersial dan vaksin lokal. Sebagian materi yang lain diterbitkan di majalah Wartazoa dengan judul: Penyakit gumboro: Etiologi, Epidemiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, Gambaran Patologik, Diagnosis dan Pengendaliannya. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. APVet., Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD. dan drh. Lies Parede, MSc. PhD. atas segala saran dan arahannya a selama melaksanakan penelitian, penulisan disertasi, serta terima kasih atas izinnya untuk menggunakan fasilitas yang ada. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada mantan kepala Balai Besar Penelitian Veteriner drh. RMA Adjid, PhD dan drh. Darminto PhD. yang telah mencalonkan penulis sebagai penerima beasiswa pendidikan S-3; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan biaya pendidikan dan biaya riset, juga kepada Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Dr. drh. Hardiman, MM. yang tetap mengizinkan penulis menyelesaikan pendidikan sambil bekerja. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Kelompok Peneliti Virologi dan Patologi Balai Besar Penelitian Veteriner dan kepala Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang telah mengizinkan penulis memanfaatkan fasilitas yang ada. Tersusunnya disertasi ini tidak terlepas dari peran banyak orang yang telah membantu dalam penelitian ini terutama Pak Kusmaedi dan teman-teman teknisi di kelti virologi, Pak Yudi Mulyadi dan teman-teman teknisi di kelti patologi serta Ibu Zakiah Muhajan dan staf yang dengan cepat menyiapkan literatur yang diperlukan, untuk itu saya ucapkan terima kasih. Kepada teman-teman peneliti di Patologi, teman-teman S3: Pak Nyoman, Pak Mustofa, Pak Muharam, Bu Sofi, dan Bu Ketut serta teman seperjuangan Bu Sri Nuryati, yang telah menyemangati dan membantu penulis selama penelitian, saya sampaikan terima kasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu serta saudara-saudara-ku atas doanya selama ini, suamiku Dr. Ir. Bahruni dan anakku Fitrahani Puspita Dewi dan Arya Yudha Rahman. Kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, sekali lagi penulis menyampaikan terima kasih atas segala bantuannya, semoga Allah SWT yang akan memberikan balasan yang setimpal, amin. Bogor, Januari 2012 Sutiastuti Wahyuwardani

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 25 April 1962 di Trenggalek dari ayah HM. Djamal dan ibu Hj. Artinah. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, lulus pada tahun 1986, dan pada tahun yang sama penulis menyelesaikan pendidikan profesi Dokter Hewan. Penulis mulai bekerja setelah menyelesaikan pendidikan S-1, di CV Primates sebagai staf kesehatan hewan. Kemudian penulis pindah bekerja ke PT Isa Inkud Breeder pada tahun Sejak tahun 1991 penulis bekerja di Balai Besar Penelitian Veteriner di Bagian Epidemiologi. Mulai tahun 1998 hingga sekarang, penulis bergabung dengan kelompok Peneliti Patologi di instansi yang sama. Pada tahun 2001 penulis mendapat beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk menyelesaikan pendidikan S-2, dan lulus pada tahun Pada tahun 2006 penulis mendapat beasiswa dari instansi yang sama untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 di Program Studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor. Selama penelitian disertasi, penulis telah menyusun karya ilmiah telah diterbitkan di jurnal nasional. Karya ilmiah yang dihasilkan oleh penulis adalah: 1. Patogenesis Infeksi Infectious Bursal Disease isolat lokal pada embrio dan ayam pedaging, diterbitkan di Jurnal Veteriner bulan Desember Penyakit gumboro: Etiologi, Epidemiologi, Patogenesis, Gejala Klinis, Gejala Patologik, Diagnosis dan pengendaliannya, yang merupakan artikel review dan akan diterbitkan di Wartazoa.

14

15 DAFTAR SINGKATAN AEC ACA ACR Amino Ethyl Carbazol Adenin Cytosine Adenin Adenin Cytosine APC Atigen Presenting Cell ATC AdeninThymin Cytosine AYT Adenin Cytosine/Thymine Thymine BNF 10% Buffer Normal Formaline 10% CEF Chicken Embryo Fibroblast CPE Cytopathic Effect CTG Cytosine Thymine Guanin CTL Cytotoxic T Lymphocyte DAB 3,3-diaminobenzidine tetrahydrochloride DMEM Dubelccos Modified Eagle Medium DOC Day Old Chick ELISA Enzyme linked immunosorbent assay EMBL European Molecular Biology Laboratory ENA European Nucleotida Archive Fas Fibroblast Associated Substrate GAT Guanine Adenine Thymine GC Guanine Cytosine GGC Guanine Guanine Cytosine GTR Guanine Thymine Adenine/Guanine GTT Guanine Thymine Thymine HE Hematotoksilin dan Eosin IBD Infectious Bursal Disease IBDV-F Infectious Bursal Disease Virus Forward IBDV-R Infectious Bursal Disease Virus Reverse IFN- Interferon-gamma IHK Imunohistokimia IL12 Interleukin12

16 IL2 Interleukin2 PA Patologi Anatomi PCR Polymerase Chain Reaction PBS Phosphate Buffer Saline RAL Rancangan Acak Lengkap RES Reticuloendothelial system RNA Ribonucleic Acid RT-PCR Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction SN Serum Netralisasi SPF Specific Pathogen Free Std1-BBalitvet Standar 1- Balai Besar Penelitian Veteriner TAB Telur Ayam Berembrio TCA Thymine Cytosine Adenine TCID 50 Tissue Culture Infective Dose 50 Th T helper Tumor Necrosis Factor Alpha TGG Thymine Guanine Guanine TTC Thymine Thymine Cytosine VP1 Viral Protein 1 VP2 Viral Protein 2 VP3 Viral Protein 3 VP4 Viral Protein 4 VP5 Viral Protein 5 vvibd Very Virulent Infectious Bursal Disease

17 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. iii DAFTAR GAMBAR. v DAFTAR LAMPIRAN.. viii PENDAHULUAN. 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan Penelitian... 4 Hipotesis Penelitian 4 Manfaat Penelitian. 5 Kebaruan Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA 7 Etiologi IBD.. 7 Epidemiologi IBD. 8 Patogenesis IBD. 9 Gejala Klinis IBD.. 11 Gambaran Organ Normal dan Patologik Infeksi Virus IBD. 12 Gambaran Normal Organ Bursa Fabricius. 12 Gambaran Organ Imun pada Embrio Ayam.. 12 Gambaran Patologi Anatomi (PA) IBD. 13 Perubahan Histopatologik IBD.. 13 Diagnosis IBD 15 Diagnosis Deferensial 16 Kontrol IBD Situasi IBD di Indonesia 19 MATERI DAN METODE. 21 Alur Penelitian Identifikasi Sifat Keganasan Virus IBD Lokal.. 21 Titrasi Virus IBD Pasase Virus IBD pada Ayam SPF 22 Identifikasi Virus IBD dengan Teknik RT-PCR 23 Patogenesis Infeksi Virus IBD pada Embrio Ayam.. 24 Metode Pengamatan Perubahan Patologi Anatomi (PA).. 25 Metode Pengamatan Histopatologi (HP) Pewarnaan Imunohistokimia.. 26 Titrasi Antibodi.. 27 Patogenesis Infeksi Virus IBD pada Ayam Pedaging 28 Rancangan Percobaan 28 Pengamatan Perubahan Patologi Anatomi 29 Pengamatan Perubahan Histopatologi.. 29 Pewarnaan Imunohistokimia. 31 i

18 Titrasi Antibodi.. 31 HASIL DAN PEMBAHASAN.. 33 Identifikasi Sifat Keganasan Virus IBD Lokal.. 33 Pasase Virus vvibd Lokal pada Ayam Spesific Pathogen Free 33 Titrasi Virus IBD Hasil Identifikasi Virus BD Lokal dengan RT-PCR dan Sekuensing. 36 Kesimpulan 38 Infeksi Virus IBD pada Embrio Ayam.. 39 Pengaruh Infeksi pada Daya Tetas Telur Ayam Berembrio. 39 Hasil Pengamatan PA. 40 Pengaruh Infeksi pada Kerusakan Bursa Fabricius.. 41 Titrasi Antibodi pada Anak Ayam. 54 Deteksi Antigen Virus IBD pada Bursa Fabricius. 55 Kesimpulan Patogenesis Infeksi Virus IBD pada Ayam Pedaging.. 58 Patologi Organ Bursa Fabricius. 58 Patologi Organ Limpa 65 Patologi Organ Timus 67 Deteksi Antigen pada Organ Bursa Fabricius, Limpa, dan Timus. 69 Titrasi Antibodi. 71 Kesimpulan 75 PEMBAHASAN UMUM.. 77 KESIMPULAN DAN SARAN.. 83 Kesimpulan 83 Saran.. 83 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

19 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jadwal vaksinasi pada ayam petelur Jumlah TAB yang digunakan untuk uji patogenesis (butir) Jumlah TAB dan DOC yang diterminasi (butir/ekor) 25 4 Skoring jumlah antigen virus IBD pada bursa fabricius embrio ayam per-lapang pandang (20 10) Pembagian ayam dalam kelompok perlakuan dan waktu pelaksanaan terminasi (ekor)) Penentuan skor lesi histopatologi berdasarkan luasan lesi Penentuan skor jumlah RES pada organ limpa dan koteks timus Sekuens protein vvibd lokal dan isolat virus IBD Intermediate plus Hasil pensejajaran sekuens isolat virus vvibd dengan European Nucleotida Archive Daya Tetas TAB dan kematian embrio yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial hingga umur 17 hari Rataan jumlah folikel limfoid dalam plika bursa fabricius embrio ayam percobaan yang diinfeksi pada umur embrio 14 hari Rataan diameter folikel limfoid dalam plika bursa fabricius embrio ayam percobaan (µm) yang diinfeksi pada umur embrio 14 hari Lesi histopatologi yang ditemukan pada bursa fabricius embrio ayam Sebaran titer antibodi serum DOC umur 3 hari yang diinfeksi virus IBD in ovo, yang diperiksa dengan uji serum netralisasi (SN) Rataan skor jumlah sel positif terdeteksi antigen pada organ bursa fabricius embrio ayam dan DOC pada berbagai kelompok umur dan kelompok perlakuan yang diinfeksi IBD pada umur 14 hari Rataan skor lesi HP berdasarkan sekuens waktu pascainfeksi dan distribusi lesi pada bursa fabricius pada tahap akut Rataan skor lesi HP berdasarkan sekuens waktu pascainfeksi dan distribusi lesi pada bursa fabricius pada tahap kronis Jumlah rataan skor lesi HP bursa fabricius Rataan skor jumlah sel RES pada pulpa merah dan pulpa putih limpa ayam pedaging pada berbagai kelompok perlakuan dan kelompok umur pascatantang Rataan skor jumlah sel RES pada korteks timus ayam pada berbagai kelompok perlakuan dan kelompok umur pascatantang 67 iii

20 21 Ketebalan korteks timus pada ayam pedaging berbagai umur dan Rataan skor jumlah sel berantigen pada organ bursa fabricius ayam pedaging pada berbagai kelompok umur dan kelompok perlakuan Sebaran nilai titer antibodi terhadap virus vvibd pada ayam percobaan yang diuji dengan serum netralisasi iv

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Ayam SPF 2 hari pascainfeksi (diinfeksi virus vvibd lokal pada umur 3 minggu) menunjukkan gejala klinis tubuh lesu, merunduk, bulu leher berdiri, dan sayap menggantung Perdarahan otot paha pada ayam SPF 2 hari pascainfeksi yang diinfeksi virus vvibd lokal pada umur 3 minggu Perdarahan bursa fabricius ayam SPF yang diinfeksi virus vvibd lokal pada umur 3 minggu dan diterminasi pada umur 2 hari pascainfeksi 35 4 Pertumbuhan virus IBD pada kultur jaringan (A) ditandai dengan terbentuknya CPE (tanda panah), dan tidak terbentuk CPE pada kontrol (B) Runing hasil PCR pada gel elektroforesis terbentuk pita pada posisi pasang basa. Sumur M: marker ; sumur no. 1: virus IBD Intermediate plus komersial impor; sumur no. 2: virus IBD Intermediate plus lokal; sumur 3: kontrol positif (IBD-Indo 5); sumur no. 4: virus vvibd lokal; sumur no.5: kontrol negatif Embrio ayam 3 hari pascainfeksi kelompok kontrol (A), kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 9 hari (B), dan kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal (C) tidak terlihat perubahan yang nyata 41 7 Bursa fabricius embrio ayam umur 12 hari kelompok kontrol folikel limfoid belum terbentuk, ditemukan sel heterofil di interstisial (panah) dan epitel plika dibeberapa bagian mengalami penebalan sebagai bakal folikel limfoid (kepala panah). Pewarnaan HE Bursa fabricius embrio umur 12 hari (3 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal pada umur 9 hari, folikel limfoid belum terbentuk seperti pada kelompok kontrol, pada sel epitel penutup plika terlihat bakal folikel limfoid (kepala panah), dan di interstisial terlihat sel heterofil (panah) Pewarnaan HE 42 9 Bursa fabricius embrio umur 12 hari (3 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 9 hari, folikel limfoid belum terbentuk seperti pada kelompok kontrol, pada sel epitel penutup plika terlihat bakal limfoid folikel (kepala panah), dan terlihat heterofil di interstisial (tanda panah). Pewarnaan HE Bursa fabricius embrio ayam umur 15 hari pada kelompok kontrol, folikel limfoid sudah terbentuk (kepala panah), ditemukan sel heterofil (panah) dan ditemukan edema (asterik) pada jaringan interstisial. Insert perbesaran dari sel heterofil pada jaringan interstisial. Pewarnaan HE 46 v

22 11 Bursa fabricius embrio ayam umur 15 hari (1 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi IBDV Intermediate plus lokal pada umur 14 hari, diinfiltrasi sel heterofil (panah), terlihat edema (asterisk), pada epitel tidak ditemukan kista. Pewarnaan HE Bursa fabricius embrio ayam umur 15 hari (umur 1 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 14 hari, diinfiltrasi sel heterofil (tanda panah), proliferasi sel RES (kepala panah) dan terlihat edema (asterik). Pewarnaan HE Bursa fabricius embrio umur 17 hari (3 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal 14 hari terlihat adanya sel RES yang memfagosit badan apoptosis (tanda panah). Pewarnaan HE Bursa fabricius embrio ayam kontrol pada umur 17 hari, terlihat folikel limfoid banyak yang masih utuh, edema (panah) dan infiltrasi heterofil (kepala panah) masih persisten terlihat, dan ditemukan eksudat pada lumen bursa (asterik). Pewarnaan HE Bursa fabricius embrio ayam umur 17 hari (3 hari pascainfeksi) yang diinfeksi in virus IBD Intermediate plus lokal pada umur 14 hari, ditemukan folikel limfoid yang mengalami deplesi sel limfoid dan diilfitrasi sel heterofil (panah), proliferasi RES terlihat lebih meluas (kepala panah, eksudasi terlihat di lumen bursa (asterik), dan nekrosis sel limfoid (panah putus-putus) dan inflitrasi heterofil. Pewarnaan HE Bursa fabricius embrio ayam umur 17 hari (3 hari pascainfeksi), yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial 14 hari terlihat folikel limfoid yang mengalami deplesi dan diinfiltrasi sel heterofil (panah), nekrosis sel limfoid (panah putus-putus), edema (bintang) proliferasi RES interstisialis (kepala panah), eksudasi ditemukan pada lumen bursa (asterik). Pewarnaan HE Bursa fabricius ayam kelompok kontrol 3 hari pascamenetas folikellimfoid terlihat penuh sel limfoid. Pewarnaan HE Bursa fabricius ayam 3 hari pascamenetas, kelompok yang diinfeksi IBD Intermediate plus komersial pada umur 14 hari, folikel limfoid terlihat terisi kembali dengan sel limfoid. Pewarnaan HE Bursa fabricius ayam 3 hari pascamenetas, kelompok diinfeksi IBD Intermediate plus lokal pada umur 14 hari, folikel limfoid terisi kembali dengan sel limfoid. Pewarnaan HE Antigen positif (warna merah) terdeteksi pada folikel bursa fabricius embrio ayam kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal. Pewanaan IHK Bursa fabricius kelompok ayam kontrol (A) dan bursa fabricius ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal pada 7 hari pascainfeksi terlihat vi

23 atrofi (B) Bursa fabricius ayam kelompok kontrol, terlihat struktur epitel penutup plika masih terlihat utuh, susunan epitel masih terlihat lurus dan folikel limfoid masih utuh serta terisi penuh sel limfoid. Pewarnaan HE Bursa fabricius ayam kelompok yang diinfeksi IBD lokal 14 hari pascainfeksi, terlihat membentuk kista (kepala panah) dan pelipatan epitel plika (panah). Pewarnaan HE Sel nekrosis (panah), sel apoptosis (kepala panah) pada folikel limfoid ditemukan pada bursa fabricius ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal pada 14 hari pascainfeksi. Pewarnaan HE Proliferasi sel RES pada organ limpa ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal pada 7 hari pascainfeksi. Pewarnaan HE Proliferasi sel RES/sel epitel retikular pada organ timus kelompok ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal Pewarnaan HE Antigen virus IBD terdeteksi pada sel limfoid, makrofag, dan sel heterofil di interstisial dan di folikel limfoid bagian koretks dan medula bursa fabricius kelompok ayam yang diinfeksi vvibd lokal. Pewarnaan IHK menggunakan antibodi poliklonal vii

24 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Sekuensing Isolat IBDV Anova Diameter Folikel Limfoid bursa Fabricius Embrio Ayam Anova Jumlah Folikel Limfoid dalam Plika Bursa Fabricius Embrio Ayam Hasil Analisis Skor Jumlah Antigen pada Bursa Fabricius Embrio Ayam dengan Uji Kruskal Wallis Hasil Analisis Skor Kerusakan Bursa Fabricius dengan Uji Kruskal Wallis Anova Skor Jumlah RES pada Limpa Ayam Hasil Analisis Jumlah sel RES pada Korteks Timus dengan Uji Kruskal Wallis Anova Ketebalan Korteks Timus Hasil Analisis Jumlah Sel Positif Mengandung Antigen virus IBD pada Organ Bursa Fabricius Ayam dengan uji Kruskal Wallis Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin Pembuatan larutan untuk pewarnaan IHK Pembuatan Kultur sel Chicken Embryo Fibroblast Pembuatan Antibodi Poliklonal pada Kelinci 134 viii

25 PENDAHULUAN Latar Belakang Infectious Bursal Disease (IBD) yang dikenal juga sebagai penyakit gumboro merupakan penyakit pada unggas yang bersifat sangat menular dan akut. Penyakit IBD umumnya menyerang ayam berumur 3-6 minggu, yaitu pada saat titer te antibodi maternal terhadap IBD menurun (Lukert & Saif 2003). Virus vvibd (very virulent Infectious Bursal Disease) menimbulkan kerusakan pada bursa fabricius (Lukert & Saif 2003), hingga banyak folikel limfoid yang menghilang. Bursa fabricius merupakan tempat sel B yang matang berdiferensiasi menjadi sel B yang memproduksi antibodi. Hilangnya sel limfoid pada bursa fabricius mengakibatkan kemampuan ayam membentuk kekebalan secara humoral menurun. Faktor ini yang menjadi salah satu penyebab ayam menjadi rentan terhadap infeksi sekunder, serta kegagalan program vaksinasi meskipun pelaksanaan vaksinasi telah dilakukan sesuai jadwal yang direkomendasikan oleh pihak produsen. Penyakit IBD di Indonesia, pertama kali ditemukan di Parung, Bogor Jawa Barat pada tahun 1980 (Partadiredja et al. 1983). Sejak itu penyakit ini dilaporkan sering mewabah di berbagai daerah di Indonesia (Parede et al. 2003). Kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit IBD diduga sangat besar, karena ayam yang terserang penyakit IBD mengalami kematian, atau bila dapat bertahan hidup bobot badannya tidak optimal. Selain itu, peternak harus mengeluarkan biaya pembelian antibiotik karena ayam yang terserang IBD mudah mendapatkan infeksi sekunder bakteri. Penanggulangan penyakit IBD yang paling efektif adalah dengan melakukan pencegahan melalui vaksinasi. Program vaksinasi sudah rutin dilakukan, namun hingga saat ini penyakit masih sering muncul di lapangan. Penggunaan vaksin IBD yang berasal dari strain yang berbeda tidak menimbulkan kekebalan yang dapat melindungi ayam dari serangan virus IBD strain lainnya. Hal ini mungkin yang dapat menerangkan mengapa uji tantang menggunakan isolat lokal pada ayam yang sebelumnya telah divaksinasi dengan

26 2 vaksin impor tidak dapat mencegah kerusakan bursa fabricius yang ditandai dengan deplesi limfoid yang sangat parah (Partadireja & Soejoedono 1997). Kabell et al. (2005) juga menyatakan bahwa meskipun ayam telah divaksinasi, virus lapang yang sangat ganas dapat dideteksi pada ayam yang telah divaksinasi. Potensi vaksin yang rendah dapat menyebabkan kegagalan vaksinasi. Hasil uji potensi dengan menggunakan uji serum netralisasi pada kultur jaringan CEF menunjukkan nju bahwa beberapa vaksin yang beredar di Indonesia mempunyai potensi 0 sampai dengan 80% (Soedijar & Malole 2004). Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun pada suatu peternakan telah rutin dilaksanakan vaksinasi, wabah masih dapat terjadi. Beberapa tahun belakangan ini penelitian vaksin in ovo banyak dipelajari. Penggunaan gun vaksin in ovo dilaporkan tidak menyebabkan lesi yang menetap. Pada ayam yang sebelumnya divaksinasi in ovo kemudian diuji tantang dengan virus IBD, lesi yang ditimbulkan cepat mengalami persembuhan dibandingkan dengan lesi yang ditimbulkan pada ayam yang divaksinasi setelah umur 14 hari (Rautenschlein & Haase 2005). Perumusan Masalah Virus IBD mudah mengalami mutasi karena merupakan virus yang terdiri atas 2 untai RNA. Mutasi virus IBD klasik menghasilkan virus vvibd yang bersifat sangat virulen. Hingga saat ini virus IBD yang ada di Indonesia telah mengalami evolusi dari virus vvibd asalnya (Parede et al. 2003; Ernawati 2006; Mahardika dan Parede 2008). Atenuasi pada virus IBD menyebabkan mutasi pada VP2 di daerah hipervariabel pada asam amino 253 (Parede et al. 2003; Jackwood et al. 2008). Mutasi ini kemungkinan dapat menyebabkan vaksin impor tidak mampu mpu melindungi infeksi virus vvibd lokal, yang akan dilihat dari patogenesis berdasarkan ar kerusakan organ imun. Vaksinasi merupakan salah satu usaha pencegahan terhadap penyakit IBD. Program ram vaksinasi dapat berhasil dengan baik apabila ditunjang dengan kualitas vaksin yang baik. Evaluasi efikasi vaksin intermediate dan intermediate plus (hot intermediate) e pada ayam pedaging komersial sulit dilakukan (Ashraf et al. 2005), karena adanya sisa antibodi maternal. Keberadaan antibodi maternal pada ayam

27 3 komersial yang divaksinasi memperlambat terjadinya lesi dan recovery bursa fabricius. Pada saat ditantang, kemungkinan ayam masih menderita kerusakan pada bursanya dan mungkin sel target untuk virus IBD menjadi berkurang, sehingga vaksinasi tidak dapat melindungi ayam. Oleh karena itu, untuk mempelajari efikasi vaksin, disarankan juga untuk melihat jumlah antigen virus IBD pada bursa fabricius dikaitkan dengan skor lesi yang ditimbulkan. Pada penelitian ini digunakan teknik IHK untuk mendeteksi keberadaan antigen virus IBD pada organ bursa fabricius, limpa, dan timus. Teknik imunohistokimia merupakan teknik deteksi antigen pada jaringan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi. Hasil reaksi antigen antibodi dapat diidentifikasi pada jaringan karena antibodi diikat oleh suatu penanda yang dapat divisualisasikan (Boenisch 2001). Teknik tersebut digunakan untuk mendeteksi antigen virus IBD pada jaringan organ bursa fabricius ayam percobaan (Hamoud et al. 2007). Vaksinasi IBD pada ayam pedaging umumnya diberikan pada umur 2 minggu, yaitu pada saat titer antibodi maternal sudah menurun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kasus IBD sering dijumpai pada ayam umur 2 minggu, sebelum dilakukan vaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi maternal yang ada tidak mampu melindungi ayam dari infeksi virus yang bersirkulasi di lapangan. Vaksinasi yang dilakukan lebih awal perlu dikaji pada penelitian ini yaitu untuk mendapatkan alternatif aplikasi, karena vaksinasi yang diberikan setelah ayam menetas pada beberapa umur yang dicoba sebelumnya belum optimal melindungi ayam dari infeksi IBD. Sementara itu, aplikasi vaksin in ovo mempunyai kelebihan dibandingkan aplikasi vaksin pada ayam pascamenetas yang selama ini dilakukan, yaitu tidak menyebabkan kerusakan yang permanen, sehingga mengurangi risiko terjadi infeksi sekunder. Studi patogenesis pada penelitian ini dilakukan dengan memilih dua jenis strain virus yang sangat umum digunakan sebagai vaksin yaitu virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial impor. Infeksi dilakukan pada embrio umur 9 hari yaitu pada saat bursa fabricius belum berfungsi normal sehingga tidak ada kontribusi bursa fabricius untuk melakukan proses imunitas untuk mencegah infeksi. Infeksi juga dilakukan pada umur 14 hari ketika bursa fabricius telah berfungsi normal dan pada umur yang lebih muda dari penelitian sebelumnya

28 4 yang umumnya dilakukan pada umur 18 hari, karena aplikasi pada umur yang lebih tua dapat menyebabkan trauma pada embrio. Patogenesis virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial impor dikaji dengan menginfeksikan virus tersebut pada ayam lebih awal yaitu pada umur 8 hari dan infeksi virus vvibd lokal pada ayam pedaging pada umur 15 hari, untuk mengetahui perubahan-perubahan yang ditimbulkan secara patologik, terutama pada organ imun yang terlibat. Perjalanan perubahan patologik diamati selama 14 hari. Perubahan yang terjadi permanen atau terjadi penyembuhan organ imun, keberadaan virus di organ-organ imun yang terlibat, kapan virus mulai menghilang, serta membandingkan kemampuan virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial menginduksi antibodi yang dapat melindungi ayam dari infeksi vvibd lokal. Tujuan Penelitian : Menerangkan patogenesis infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada embrio ayam. Menerangkan patogenesis infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada ayam pedaging, dengan dan tanpa reinfeksi virus vvibd lokal. Membandingkan kemampuan virus IBD Intermediate plus lokal dengan virus IBD Intermediate plus komersial melindungi ayam terhadap infeksi virus vvibd lokal. Hipotesis Penelitian Infeksi virus IBD Intermediate plus pada embrio umur 9 hari dan 14 hari tidak menimbulkan kerusakan permanen pada bursa fabricius. Infeksi virus IBD Intermediate plus pada ayam pedaging umur 8 hari dapat mencegah kerusakan permanen organ bursa fabricius, yang diakibatkan infeksi virus vvibd lokal. Infeksi virus IBD Intermediate plus lokal meningkatkan produksi antibodi terhadap IBD dan memberikan proteksi terhadap infeksi

29 5 vvibd lokal, yang lebih baik dibandingkan dengan virus IBD Intermediate plus komersial. Manfaat Penelitian Informasi distribusi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada embrio dan ayam pedaging serta distribusi virus vvibd lokal pada ayam pedaging hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menjelaskan adanya peranan kerusakan organ imun yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar stakeholders untuk memperkirakan kapan waktu yang tepat dilakukan vaksinasi pada ayam dan jenis virus IBD yang akan digunakan sebagai vaksin. Kebaruan Penelitian Kebaruan dari penelitian ini adalah: 1. Virus yang digunakan untuk menginfeksi embrio dan ayam pedaging adalah virus IBD lokal. 2. Infeksi virus Intermediate plus dilakukan lebih awal yaitu pada embrio umur 9 hari pada saat bursa fabricius belum berfungsi secara normal dan pada embrio umur 14 hari, ketika bursa fabricius sudah mulai berfungsi. Sementara itu, vaksinasi in ovo umumnya diberikan pada embrio umur 18 hari. 3. Infeksi dan reinfeksi dilakukan lebih awal untuk menggambarkan kasus IBD yang terjadi pada umur di bawah 2 minggu.

30 TINJAUAN PUSTAKA Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit pada ayam yang pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 berdasarkan kasus yang terjadi pada tahun 1956 di Desa Gumboro-Delaware, negara bagian Amerika Serikat. Sesuai dengan nama daerah asal ditemukannya, penyakit ini dikenal juga sebagai penyakit gumboro. Etiologi IBD Virus penyebab IBD yang dikenal saat ini terdiri atas 2 serotipe, yaitu serotipe 1 dan serotipe 2 yang dapat menginfeksi ayam dan kalkun. Serotipe 1 yang pertama kali ditemukan disebut dengan strain klasik yang bersifat patogen dan strain yang ditemukan kemudian di daerah Amerika merupakan strain varian yang sangat ganas, variant A, B, C, dan E. Selain itu, serotipe 1 mempunyai strain yang sangat ganas, yaitu virus very virulent IBD (vvibd), yang saat ini sudah banyak dibuat vaksin komersial dengan sifat vaksin IBD mild, vaksin IBD Intermediate, dan vaksin Intermediate plus, atau hot Intermediate. Kedua serotipe dapat dibedakan dengan uji VN tetapi tidak dapat dibedakan dengan uji FAT dan ELISA (Lukert & Saif 2003). Virus IBD berdiameter 55 nm, merupakan virus yang tidak memiliki amplop dan dikelilingi oleh protein capsid yang berbentuk ikosahedral (Hirai & Shimakura 1974). Virus ini tergolong dalam famili Birnaviridae. Sesuai dengan namanya, virus ini terdiri atas 2 segmen utas ganda RNA, yaitu segmen A yang mempunyai ukuran 3300 pasang basa, yang terdiri atas 2 bagian yaitu A1 dan A2. A1 merupakan penyandi protein VP2 (40 kd), VP3 (32 kd), VP4 (28 kd). VP2 dan VP3 membentuk capsid virus, VP2 membentuk bagian luar capsid, sedangkan VP3 membentuk bagian dalam capsid. VP4 merupakan protease virus. Sementara itu, A2 merupakan penyandi nonstructructural protein VP5 (17 kd) yang kemungkinan terlibat dalam pelepasan virus dari sel serta berperan dalam menghambat proses apoptosis pada tahap awal infeksi virus IBD (Meihong & Vakharia 2006). Segmen B yang berukuran lebih kecil mempunyai 2800 pasangan basa, penyandi VP1 (van den Berg 2000).

31 8 Protein VP2 dan VP3 merupakan protein utama yang terdiri atas 51% dan 40% dari total protein dan mengandung epitop penetralisasi. Protein VP2 mempunyai epitop yang spesifik, yang mengandung sedikitnya 3 epitop yang bebas, yang bertanggung jawab menginduksi antibodi penetralisasi (Becht et al. 1998). Hasil penelitian Raharjo & Suwarno (2005) menunjukkan bahwa protein VP2 virus IBD lokal mampu menginduksi pembentukan antibodi dan dapat bereaksi secara spesifik dengan antibodi ayam hasil vaksinasi maupun infeksi alam. Varian alam virus IBD mengikat reseptor sel B bursa fabricius melalui protein VP2 (Boot et al. 2000). Variasi antigenik virus IBD banyak dipelajari dengan melihat perubahan beberapa asam amino pada gen VP2 (Vakharia et al. 1994). Pada gen VP2 terdapat bagian residu Gln pada posisi 253 (Gln253), Asp279, dan Ala284 yang menentukan tingkat keganasan virus dan sel tropisme (Brandt et al. 2001). Epidemiologi IBD Pada awalnya IBD ditemukan di daerah Delaware, Amerika pada tahun 1956, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia baik di Amerika (Scanavini et al. 2004), 0 Eropa (Kabell et al. 2005), Afrika, Australia (Ignjatovic et al. 2004), dan Asia (Jindal et al. 2010) termasuk Indonesia (Parede et al. 2003) yang disebabkan oleh virus IBD klasik maupun virus vvibd. Virus varian yang sangat ganas vvibd tidak ditemukan di Australia (Ignjatovic et al. 2004). Angka morbiditas dan angka mortalitas IBD bervariasi bergantung pada strain virus IBD dan macam unggas yang terserang. Burung unta, itik, angsa, burung puyuh, kalkun, dan burung merpati dapat terinfeksi virus IBD (Kasanga et al. 2008; 08 Oladele et al. 2009). Namun, lesi yang ditimbulkan pada itik dan burung puyuh yang diinfeksi dengan virus vvibd, lebih ringan dibandingkan lesi yang terjadi pada ayam. Edema, fibroplasia, dan kista tidak ditemukan pada kalkun dan itik (Mendez et al. 2007). Hal ini menunjukkan bahwa ayam lebih peka daripada unggas yang lain. Namun demikian, faktor apa yang menyebabkan ayam lebih peka dari pada unggas lainnya, hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Angka mortalitas mencapai 56,09% pada ayam pedaging dan 25,08% pada ayam petelur (Zeleke et al. 2005). Angka mortalitas dilaporkan lebih tinggi pada

32 9 waktu musim dingin daripada musim semi (Farooq et al. 2003) atau musim panas dan musim hujan (Jindal et al. 2010). Hal ini dapat dipahami karena suhu udara yang ekstrim (terlalu dingin atau terlalu panas) menyebabkan ayam mudah stres sehingga ayam mudah terinfeksi oleh berbagai virus. Pada infeksi buatan, angka morbiditas IBD mencapai 60% (Jeon et al. 2008). Bahkan angka morbiditas dapat mencapai 100% dan angka mortalitas 45% pada ayam SPF umur 5 minggu yang diinfeksi dengan isolat virus vvibd asal Indonesia, yaitu isolat Tasik-94 (Ignjatovic et al. 2004). Inokulasi strain 2050/97- Gm 11 virus IBD pada ayam SPF dengan cara tetes mata menyebabkan kematian 100% (Scanavini et al. 2004). Angka morbiditas dan angka mortalitas pada infeksi buatan pada ayam SPF umumnya tinggi karena ayam SPF tidak mempunyai antibodi maternal. Infeksi buatan menimbulkan lesi yang lebih parah dibandingkan dengan lesi yang disebabkan infeksi alam karena pada percobaan di laboratorium, virus IBD diaplikasikan langsung pada ayam melalui tetes mata, hidung atau per oral, dengan dosis yang infektif, sehingga semua ayam terpapar langsung dengan virus IBD. Patogenesis IBD Patogenesis adalah jalannya virus sehingga menimbulkan lesi, yang dapat menyebabkan kematian, penyakit atau efek imunosupresif pada ayam. Penyakit IBD menyerang ayam umur 3-6 minggu pada saat perkembangan bursa fabricius mencapai optimum. Pada saat yang sama, antibodi asal induk mulai menurun, sehingga ayam rentan terhadap infeksi virus IBD. Sebaliknya, penyakit IBD tidak membahayakan bagi ayam yang telah mengalami regresi bursa fabricius, karena target sel infeksi virus IBD adalah sel limfoid bursa fabricius (Tanimura et al, 1995). Infeksi virus IBD menyebabkan kerusakan pada bursa fabricius berupa nekrosis dan apoptosis pada sel limosit B. Infeksi pada umumnya terjadi melalui jalan oral bersama pakan atau air minum yang tercemar virus, masuk ke dalam usus. Virus kemudian ditangkap oleh sel-sel makrofag atau limfosit sebagai APC. Keberadaan virus IBD dapat dideteksi 13 jam pascainfeksi pada sebagian besar folikel limfoid bursa fabricius (van den Berg 2000). Makrofag yang teraktivasi

33 10 virus IBD melepaskan sitokin, yaitu dan IL12 yang memicu Th untuk berdiferensiasi menjadi Th1. Th1 memproduksi IL2 dan IFN- (Interferon- ). IL12 itas sel natural killer (NK). Sementara itu IL2 bersama INF- vasi CTL yang kemudian mengekspresikan Fas ligan yang dapat menimbulkan apoptosis pada sel target yang mengekspresikan Fas (Plumeriastuti 2006). Setelah 16 jam pascainfeksi, terjadi viremia kedua, diikuti replikasi virus pada organ lainnya yang dapat menimbulkan kematian (van den Berg, 2000). Penyebab ebab kematian belum diketahui secara pasti. Namun demikian, pada fase akut teramati ti gejala sindroma septic shock, yaitu terjadi respons imun yang berlebihan. Di dalam am serum darah ayam ditemukan konsentrasi TNF- berlebihan, kemudian diikuti terjadinya kematian (Sharma et al diacu dalam Asraf 2005). Infeksi virus vvibd menyebabkan kerusakan yang parah hingga terjadi deplesi sel limfoid pada folikel limfoid bursa fabricius sehingga ukurannya terlihat mengecil hingga mencapai 1/4-1/5 ukuran bursa fabricius ayam kontrol. Bila tidak terjadi persembuhan pada bursa fabricius ayam, produksi antibodi oleh sel B akan terhambat. Infeksi virus IBD menyebabkan sel makrofag dan sel heterofil mengalami nekrosis dan apoptosis dalam jumlah besar, sehingga menyebabkan fungsi fagositosis yang menurun (Lam 1998). Kedua kondisi tersebut menyebabkan ayam yang terinfeksi virus IBD menjadi imunosupresif. Pada organ timus, infeksi virus IBD pada ayam DOC SPF, menyebabkan atrofi korteks timus pada 2-10 hari pascainfeksi. Repopulasi sel limfoid pada timus terjadi pada 13 hari pascainfeksi. Proliferasi sel RES, dan penurunan jumlah sel limfoid di bagian korteks ditemukan pada timus yang mengalami atrofi. Populasi makrofag meningkat pada 4-7 hari pascainfeksi (Tanimura et al. 1995). Sel positif mengandung antigen terdeteksi pada sel timus di bagian korteks dan medula organ timus pada 1 dan 2 hari pascainfeksi. Mulai umur 3 hari banyak sel timus yang yang lisis sehingga antigen juga terdeteksi di dalam sel RES mulai 3-7 hari pascainfeksi. Antigen virus IBD tidak terdeteksi pada foci sel timus yang mengalami am piknotik. Sel yang mengalami apoptosis terlihat meningkat di bagian korteks. Reaksi inflamasi, seperti infiltrasi heterofil tidak terlihat di sekitar sel yang mengalami apoptosis (Tanimura & Sharma, 1998).

34 11 Penurunan jumlah sel limfosit di dalam pusat germinativum terjadi pada organ limpa, sel limfoid ditemukan di sekitar pembuluh darah arteri dan periellipsoid lymphoid sheaths, serta ditemukan infiltrasi sel heterofil dan peningkatan jumlah makrofag. Antigen virus IBD terdeteksi mulai 1 hari sampai 7 hari pascainfeksi pada pusat germinativum, pulpa merah, dan peri-ellipsoid lymphoid sheaths (Tanimura et al. 1995). Gejala Klinis IBD Gejala klinis yang terlihat sangat bergantung pada strain virus IBD yang menginfeksi ayam, jumlah partikel virus, umur, galur ayam, rute inokulasi, dan keberadaan antibodi penetralisasi (Muller et al. 2003). Gejala klinis yang parah kemungkinan disebabkan respons proinflamasi yang tinggi pada saat infeksi (Acribasi et al. 2010). Virus IBD yang masuk ke dalam tubuh ayam ditangkap makrofag, yang kemudian melepaskan sitokin yang menimbulkan respons inflamasi. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi virus IBD adalah ayam lesu, nafsu makan menghilang, dan sayap menggantung (Park et al. 2009; Acribasi et al. 2010). Selain itu juga sering ditemukan gejala diare, serta kotoran yang menempel pada kloaka (Parede et al. 2003). Pada ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis mulai terlihat 48 jam pascainfeksi dan gejala klinis semakin parah pada jam pascainfeksi (William & Davison 2005). Sementara itu, pada ayam yang divaksinasi, gejala klinis terlihat 3 hari pascatantang, dan ayamayam tersebut mati setelah 2-3 hari memperlihatkan gejala klinis (Park et al. 2009). Ayam yang bertahan hidup, pertumbuhan menjadi terhambat dan sering kali ditemukan gejala penyakit lain seperti Newcastle Disease, Coli Bacillosis, Coccidiosis (Muller et al. 2003). Wabah IBD akut yang disebabkan virus IBD klasik yang menyerang ayam pedaging umur > 3 minggu ditandai dengan angka morbiditas yang tinggi. Secara klinis terlihat ada penyembuhan setelah 5-7 hari ayam sakit. Infeksi pada ayam yang mempunyai antibodi maternal menunjukkan gejala subklinis, namun lesi terlihat secara histopatologik (Lukert & Saif 2003).

35 12 Gambaran Organ Normal dan Patologik Infeksi Virus IBD Gambaran Normal Organ Bursa Fabricius Bursa fabricius adalah organ limfoid primer pada ayam atau jenis unggas lainnya yang terletak di bagian dorsokaudal dari kolorektal unggas. Bursa fabricius berbentuk bulat agak memanjang, menyerupai kantong yang dibatasi oleh dinding yang terdiri atas tunika serosa, tunika muscularis, dan tunika mukosa. Tunika mukosa membentuk tonjolan ke arah dalam bursa fabricius membentuk en plika yang dibatasi oleh epitel silindris sebaris, dengan ukuran yang bervariasi. Rata-rata dalam satu bursa terdapat plika. Dalam setiap plika berisi folikel limfoid kurang lebih sebanyak 820 (Olah & Glick, 1978). Folikel limfoid terdiri atas limfosit B 85-95%, limfosit T < 4%, sisanya adalah sel lainnya seperti makrofag atau sel dendritik atau RES (Khan & Hashimoto 1996 diacu dalam Kim et al. 2000). Folikel limfoid pada bursa fabricius dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu folikel limfoid besar yang mempunyai batas antara korteks dan medula dan folikel limfoid kecil yang tidak mempunyai batas antara korteks dan medula yang jelas, merupakan prekusor folikel limfoid yang lebih besar. Pada saat terjadi infeksi virus IBD semasa embrio, kedua jenis folikel limfoid dapat hilang. Sel B secara cepat berproliferasi dengan struktur yang normal di dalam folikel limfoid yang lebih besar, yang berkorelasi dengan pemulihan respons antibodi secara parsial. Folikel limfoid yang lebih kecil tidak mampu memproduksi sel B yang responsif terhadap antigen (Withers et al. 2006). Pada masa embrio, sel limfosit B memasuki bursa dalam 2 tahap perkembangan emb yang berbeda, beberapa sudah terkandung dalam sel induk, sebagian an yang lain telah mengalami maturasi di luar bursa fabricius (Lebaqo & Ritter 1979), dan keberadaan sel B dalam folikel limfoid bursa fabricius baru terdeteksi eks ketika embrio berumur 14 hari. Gambaran Organ Imun pada Embrio Ayam Sistem imun pada awal masa embrio berpusat di yolk sac, yaitu tempat pertama terjadinya hematopoiesis dan terbentuknya makrofag. Imunoglobulin (Ig) asal induk ditransfer ke kuning telur untuk melindungi embrio ayam dari infeksi

36 13 oleh parasit, bakteri atau virus (Fellah et al. 2008). Imunoglobulin ini terdeteksi pertama kali di yolk sac pada umur embrio 11, dan 12 hari. Selanjutnya bursa fabricius sebagai organ imun diduga baru berfungsi pada waktu embrio berumur 14 hari, karena pada umur tersebut keberadaan imunoglobulin pada bursa fabricius baru dapat terdeteksi. Gambaran Patologi Anatomi (PA) IBD Perubahan patologi anatomi oleh virus IBD sangat menciri pada organ bursa fabricius. Perubahan patologi anatomi pada ayam yang diinfeksi virus IBD bergantung pada strain ayam dan isolat virus yang digunakan. Pada tahap awal ditemukan edema, yaitu 2-7 hari pascainfeksi (Acribasi et al. 2010), berupa cairan gelatin yang menutup lapis mukosa. Bursa fabricius kemudian membesar pada umur 10 hari pascainfeksi karena adanya eksudat pada lumen bursa yang awalnya berwarna kemerahan yang pada tahap berikutnya menjadi berwarna kekuningan dan ditemukan bintik-bintik perdarahan pada limpa (Rautenschlein et al. 2007). Perdarahan juga ditemukan pada otot dada dan otot paha mulai umur 2 hari hingga 7 hari pascainfeksi (Acribasi et al. 2010). Pada 7 hari pascainfeksi, bursa fabricius ayam yang diinfeksi virus vvibd terlihat mengecil dibandingkan bursa fabricius ayam kontrol, demikian juga pada 14 hari pascainfeksi. Jika terjadi penyembuhan, ukuran bursa kembali normal pada 21 hari pascainfeksi. Mekanisme terjadinya perdarahan pada infeksi virus vvibd belum diketahui dengan pasti. Perdarahan terjadi karena kerusakan pada dinding pembuluh darah kapiler atau vena atau jika terjadi gangguan pada sistem pembekuan darah. Perubahan Histopatologik IBD Virus IBD dari strain yang amat ganas (virus vvibd) menyebabkan lesi yang parah, yang dapat teramati pada timus, limpa, bursa fabricius, hati, ginjal, jantung, proventrikulus, lambung otot, dan seka tonsil. Hiperplasia terjadi 6 jam pascainfeksi pada seka tonsil (Oladele et al. 2009). Nonuya et al. (1992) melaporkan bahwa nekrosis sel timus terjadi secara ekstensif. Kumpulan kelompok sel dengan inti yang piknotik ditemukan pada area nekrosis, sel debris, dan reaksi fagosistosis ditemukan pada sel RES. Kapsula menebal dan daerah antarlobus melebar yang disebabkan edema. Sel limfosit banyak yang menghilang

37 14 diganti dengan sel makrofag dan sel heterofil menunjukkan adanya reaksi peradangan pada limpa dan sekal tonsil. Reaksi peradangan juga ditemukan pada ginjal, paru-paru, dan sekal tonsil. Lesi yang khas ditemukan pada sumsum tulang. Sel hematopoietik banyak yang menghilang diganti dengan jaringan lemak dan banyak ditemukan nekrosis serta sisa-sisa reruntuhan sel. Daerah sinusoid diinfiltrasi oleh sel makrofag dan sel heterofil. Perubahan yang paling parah teramati pada bursa fabricius. Lesi pada bursa fabricius iu ditandai dengan edema dan pengosongan sel limfoid pada folikel limfoid, akumulasi heterofil pada folikel limfoid, fibroplasia pada jaringan ikat di antara folikel limfoid, dan proliferasi sel epitel retikuler (Park et al. 2009). Degenerasi dan nekrosis limfosit terjadi pada 24 jam pascainfeksi di bagian medula folikel limfoid bursa fabricius (Wang et al. 2008). Tahap selanjutnya terjadi penurunan jumlah sel limfoid pada folikel limfoid bursa fabricius bahkan beberapa folikel limfoid bursa fabricius terlihat kosong (Rautenschlein et al. 2007). Banyaknya folikel limfoid yang kosong menyebabkan bursa fabricius terlihat mengecil. Fibroplasia dan kista pada folikel limfoid bursa fabricius ditemukan 72 jam pascainfeksi (Oladele et al. 2009). Infiltrasi sel heterofil teramati ti pada 2 dan 3 hari pascainfeksi (Acribasi et al. 2010). Populasi RES meningkat pada 1-5 hari pascainfeksi (William & Davison 2005). Replikasi virus mengakibatkan kerusakan yang parah pada sel limfoid pada bagian medula dan korteks dari folikel limfoid pada bursa fabricius. Apoptosis yang terjadi pada sel B di sekitar sel terinfeksi memperparah perubahan morfologi bursa fabricius (Tanimura et al. 1995). Diagnosis IBD Diagnosis IBD dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis serta perubahan patologi anatomi dan histopatologi. Perubahan patologi yang patognomonik adalah ah perubahan yang ditemukan pada bursa fabricius. Namun, diagnosis IBD sebagai penyebab primer perlu ditunjang dengan teknik diagnosis yang lain karena gejala infeksi virus IBD dapat dikelirukan dengan infeksi reovirus yang juga menyebabkan nekrosis sel limfoid pada bursa fabricius (Schat & Skinner 2008). Hal ini bisa diatasi dengan pewarnaan imunohistokimia, untuk mendeteksi

38 15 keberadaan antigen virus IBD pada organ. Antigen virus IBD dapat dideteksi 3 jam pascainfeksi pada bagian korteks folikel limfoid bursa fabricius. Antigen terdeteksi pada sel RES di dalam folikel limfoid bursa fabricius dan pada sel epitel 96 jam pascainfeksi (Oladele et al. 2009). Keberadaan antigen virus IBD pada bursa fabricius berkorelasi dengan terjadinya lesi pada bursa fabricius (Rautenshlein et al. 2005). Antigen virus IBD juga terdeteksi pada organ timus, limpa, seka tonsil, sel epitel tubulus dan glomerulus ginjal, lapis mukosa dan kelenjar pada proventrikulus serta pada sel Kupffer di hati (Oladele et al. 2009). Antigen virus IBD juga terdeteksi pada itik dan kalkun yang diinfeksi dengan virus IBD, namun demikian jumlah antigen yang terdeteksi hanya sedikit (Oladele et al. 2009). Diagnosis infeksi virus IBD dapat juga dilakukan dengan mengisolasi virus penyebab yang ditumbuhkan pada telur ayam berembrio atau biakan jaringan, namun diperlukan waktu lama dan tidak semua strain virus IBD dapat tumbuh di telur atau biakan jaringan. Teknik uji netralisasi virus digunakan untuk mendeteksi virus IBD, dan dari hasil deteksi dapat dibedakan antara virus IBD klasik dan virus IBD varian. Teknik Antigen-capture Elisa dapat digunakan untuk membedakan antara virus IBD sangat virulent dan IBD yang kurang patogen. Sementara itu, teknik RT-PCR dapat membedakan serotipe virus IBD, sedangkan subtipe virus IBD dapat dibedakan dengan real time RT-PCR. Metode yang sekarang sering digunakan untuk mendeteksi virus IBD adalah teknik RT-PCR (Mittal et al. 2005), namun biaya yang diperlukan saat ini masih tergolong mahal. Virus IBD dapat dideteksi pada jaringan yang telah dibuat blok parafin dengan real time RT-PCR dan hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi antara lesi dan hasil deteksi (Hamoud & Villegas 2006). Diagnosis Deferensial IBD Beberapa penyakit penyebab imunosupresif menimbulkan gejala yang mirip dengan infeksi virus IBD, sehingga menyebabkan kesulitan menegakkan diagnosis mencari penyebab primer infeksi. Salah satu di antaranya adalah infeksi reovirus pada ayam yang menimbulkan lesi pada bursa fabricius seperti lesi yang ditemukan pada infeksi virus IBD. Lesi yang ditemukan adalah atrofi bursa

39 16 fabricius yang ditandai dengan deplesi limfoid dan fibroplasias, proliferasi makrofag dan infiltrasi sel heterofil ringan, juga ditemukan deplesi sel limfoid pada folikel limfoid bursa fabricius. Makrofag dengan sitoplasma yang berbusa, kista yang dikelilingi epitel silindris sebaris ditemukan pada folikel limfoid (Songserm et al, 2003). Namun demikian, pada infeksi Reovirus juga ditemukan dilatasi kripta Lieberkuhn pada usus, yang tidak ditemukan pada infeksi IBD. Perdarahan ah pada otot dan atrofi bursa fabricius juga ditemukan pada infeksi CAV. Atrofi bursa fabricius ditemukan pada ayam umur 14 hari yang terinfeksi CAV secara vertikal. Namun demikian, pada CAV juga ditemukan aplasia sumsum tulang yang menjadi berwarna kekuningan (Rosenberger & Cloud, 1998) yang tidak ditemukan pada infeksi IBD. Kontrol IBD Penyakit yang disebabkan virus seperti IBD tidak dapat diobati, sehingga perlu dilakukan vaksinasi secara rutin, seperti yang telah dilakukan di banyak negara. Pengendalian dan pencegahan penyakit IBD yang efektif adalah dengan menerapkan program biosekuritas di antaranya adalah dengan melakukan program vaksinasi a yang teratur, diikuti dengan deteksi titer antibodi untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi dengan uji SN atau ELISA (OIE 2008). Vaksinasi pada ayam pembibit merupakan langkah terpenting untuk mengendalikan IBD, karena antibodi yang diproduksi induk akan diturunkan melalui telur kepada anak. Antibodi maternal dengan titer yang baik akan memproteksi ayam melawan penyakit IBD pada usia dini. Vaksinasi IBD pada ayam pedaging umumnya dilakukan hanya satu kali yaitu pada minggu ke-3. Sedangkan vaksinasi IBD pada ayam petelur diberikan beberapa kali. Sebagai contoh program vaksinasi ditampilkan pada Tabel 1. Monitoring titer antibodi perlu dilakukan secara rutin untuk mengetahui apakah ah ayam telah memberikan respons yang baik atau untuk mengetahui aplikasi vaksin sudah dilakukan dengan benar atau belum.

40 17 Tabel 1 Jadwal vaksinasi IBD pada ayam petelur Vaksinasi Umur ayam Jenis vaksin I hari aktif II hari aktif III. 85 hari inaktif IV minggu inaktif *Sumber : Butcher & Milles (2003) Pencegahan dan pengendalian penyakit IBD pada ayam pedaging komersial diperlukan untuk mencegah penyakit IBD yang bersifat klinis. Ada tiga kategori vaksin yang digolongkan berdasarkan patogenisitasnya, yaitu mild, intermediate, dan Intermediate plus/ Intermediate hot. Tipe vaksin IBD Intermediate paling umum digunakan. Vaksin ini dapat menstimulasi ayam pedaging memproduksi antibodi lebih awal dari pada tipe vaksin mild, tanpa menyebabkan kerusakan bursa fabricius, seperti pada tipe vaksin Intermediate plus (OIE 2008), karena vaksin Intermediate mampu menembus kekebalan antibodi maternal. Namun demikian, saat ini vaksin Intermediate tampaknya tidak dapat melindungi ayam dari infeksi virus vvibd. Vaksin yang digolongkan ke dalam vaksin Intermediate plus atau hot vaccine, telah banyak digunakan peternak untuk mencegah infeksi virus vvibd di Indonesia. Umumnya vaksin tersebut diimpor dan sebelum beredar telah diuji potensinya di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (Syahroni B 30 Agustus 2010, komunikasi pribadi). Bolis et al. (2003) melaporkan bahwa aplikasi vaksin hot intermediate Moulthrop G603 menimbulkan lesi 1 dari 7 ekor ayam pedaging yang divaksin pada umur 14 hari, sementara vaksin 288E tidak menimbulkan lesi (Bolis et al. 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa vaksin tipe hot Intermediate (Intermediate plus) protektif dan tidak menimbulkan kerusakan bursa fabricius yang lebih parah saat ditantang dengan virus vvibd. Sementara itu, Rautenschlein et al. (2005), menyatakan bahwa vaksinasi dengan virus IBD Intermediate plus pada ayam broiler umur 12 hari menyebabkan lesi dengan skor 3 (51-75% folikel limfoid mengalami deplesi) pada bursa fabricius ayam 14 hari pascavaksinasi, dan antigen baru

41 18 terdeteksi 21 hari pascavaksinasi. Jika vaksinasi dilakukan pada umur 14 hari, lesi dan antigen telah terdeteksi mulai 7 hari pascavaksinasi dan masih terdeteksi pada 21 pascavaksinasi. Waktu vaksinasi bergantung pada titer antibodi maternal pada anak ayam. Titer antibodi maternal yang tinggi akan menetralisasi virus yang berasal dari vaksin, sehingga hanya sedikit respons kekebalan aktif yang akan dihasilkan. Faktor ini yang menyebabkan ayam akan mudah terinfeksi penyakit karena antibodi menurun, dan vaksinasi kemungkinan menjadi tidak efektif jika ayam terkontaminasi ta dengan virus IBD lapang yang virulen. Vaksinasi IBD pada embrio merupakan alternatif vaksinasi yang memberikan er kelebihan dibandingkan vaksinasi pascamenetas yang umum digunakan. Hal ini disebabkan karena pada vaksinasi in ovo, titer antibodi maternala tidak perlu dimonitor untuk menentukan kapan vaksinasi harus dilakukan. ka Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi in ovo dengan virus yang telah diatenuasikan tidak merusak bursa fabricius dan dapat memberikan er proteksi hingga 100% pada ayam yang ditantang ketika berumur 3 minggu gu (Moura et al. 2007). Meskipun vaksinasi menyebabkan perubahan HP pada organ bursa fabricius, namun penyembuhan lebih cepat terjadi pada ayam yang divaksin in ovo daripada yang divaksin pascamenetas (Rautenschlein & Haase 2005). Kelemahan vaksin ini adalah memerlukan alat vaksin masal dan ukuran telur yang seragam supaya aplikasi vaksin tepat pada posisi yang diinginkan. Selain vaksinasi pelaksanaan terhadap program biosekuritas yang lainnya juga merupakan faktor yang penting dalam meminimalkan kerugian akibat infeksi IBD. Upaya untuk melaksanakan biosekuritas dengan melakukan desinfeksi terhadap ap orang, peralatan atau kendaraan yang melintas antarkandang pada ayam pedaging komersial perlu dikontrol sehingga berjalan efektif untuk menurunkan paparan dari agen infeksi. Fenol dan formaldehid telah terbukti efektif digunakan untuk desinfeksi tempat yang terkontaminasi. Antibiotik dengan jumlah seminimal mungkin diberikan pada kasus IBD yang disertai infeksi sekunder bakteri, namun tidak disarankan pada kasus yang disertai dengan kerusakan ginjal yang sangat parah. Pemberian larutan elektrolit

42 19 atau multivitamin sangat bermanfaat pada kasus penyakit yang berlangsung lama yang disertai penurunan nafsu makan. Ventilasi yang baik, suhu ruangan yang hangat dan air minum yang bersih akan mengurangi kematian. Setelah ayam dipanen, kandang harus dikosongkan dari semua unggas. Semua sekam, sisa pakan harus dibuang, kandang harus dibersihkan dan didesinfeksi. Fumigasi perlu dilakukan menggunakan formaldehyde dan kalium permanganate. Kandang harus dikosongkan minimal 3 minggu setelah dilakukan fumigasi. Situasi IBD di Indonesia Keberadaan IBD di Indonesia pertama kali diketahui secara serologik. Ayam yang menunjukkan hasil serologi positif tidak menunjukkan gejala klinis. Penyebaran penyakit ini sudah sampai di Indonesia pada tahun 1980, ketika ditemukan kasus IBD yang pertama di daerah Sawangan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Partadiredja et al. 1983). Secara klinis ayam yang terserang menunjukkan gejala penyakit Newcastle Disease, namun demikian hasil pemeriksaan anatomi patologik ditemukan juga gejala IBD. Penyakit juga dilaporkan terjadi di Bali pada tahun 1982 dan di Nusa Tenggara Barat pada tahun 1983 (Santhia 1996). Semenjak terjadi wabah IBD di Jawa Tengah pada tahun 1991, penyakit ini secara cepat menyebar ke semua kepulauan Indonesia dalam waktu 6 bulan (Unruh 1997 diacu dalam Soedijar & Malole 2004). Kejadian dilaporkan meluas di Sulawesi, Maluku, Irian, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1992 (Darmadi & Muhammad 1993 diacu dalam Soedijar dan Malole 2004; Santhia 1996). Semenjak itu, kasus gumboro sering ditemukan di lapangan hingga kini, baik yang berbentuk klinis maupun yang berbentuk subklinis. Kasus IBD tersebut ditemukan menyerang ayam pedaging, ayam petelur, maupun ayam lokal. Angka morbiditas tertinggi ditemukan pada ayam petelur, yaitu 98,78%, disusul ayam pedaging 52,48% dan terendah pada ayam lokal, yaitu 9,58%. Sementara itu, angka mortalitas dilaporkan tertinggi terjadi pada ayam petelur 38,34%, disusul ayam pedaging 23,87%, dan angka morbiditas terendah pada ayam lokal, yaitu 5,6% (Santhia 1996).

43 20 Prevalensi IBD di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan laporan Ditjennak (2009) tercatat kasus IBD menyerang ekor ayam pada tahun 2006, kemudian menurun pada tahun 2007 dan 2008, yaitu sebanyak ekor dan ekor. Meskipun data menunjukkan jumlah ayam yang terserang virus IBD rendah, namun >75% sampel-sampel yang dikirim ke bagian Patologi FKH-IPB, ditemukan gejala IBD (Agungpriyono DR 20 Desember 2008, komunikasi pribadi).

44 MATERI DAN METODE Alur Penelitian Reidentifikasi Virus virus IBD lokal & komersial virus IBD lokal & komersial, vvibd lokal Patogenesis Diinfeksikan pada Embrio Diinfeksikan pada Ayam Derajat lesi, deteksi Ag, titrasi Ab Bursa Fabricius, serum limpa, timus Teknik HE, IHK, SN Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi dan Patologi Balai Besar Penelitian Veteriner serta di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret 2009-Maret Virus vvibd yang digunakan merupakan hasil seleksi dari virus yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang diberi nama virus Std- 1/BBalitvet/09 (selanjutnya disebut virus vvibd lokal) merupakan koleksi Balai Besar Penelitian Veteriner. Selain itu, juga digunakan virus vaksin lokal (virus IBD Intermediate plus lokal) dan vaksin komersial asal impor (virus IBD Intermediate plus komersial). Identifikasi Sifat Keganasan Virus IBD Lokal Identifikasi virus IBD perlu dilakukan untuk memastikan isolat yang digunakan memang isolat virus IBD yang bersifat very virulent. Identifikasi tidak dapat dilakukan pada kultur sel karena untuk menumbuhkan pada kultur sel virus

45 22 perlu diadaptasikan terlebih dulu yang menimbulkan keganasan virus menurun. Virus vvibd lokal perlu dipasase pada ayam SPF, supaya keganasan muncul kembali. Pasase pada spesies yang rentan virus IBD dapat menimbulkan keganasan kembali, hingga menimbulkan gejala yang sesuai dengan gejala yang disebabkan oleh infeksi virus vvibd pada umumnya. Titrasi Virus IBD Sebelum digunakan untuk menginfeksi ayam SPF, stok virus vvibd lokal dititrasi terlebih dahulu. Titrasi virus dilakukan pada telur ayam berembrio (TAB) SPF berumur 11 hari. Sebanyak 50 telur ayam berembrio diinokulasi dengan 0,2 ml isolat virus IBD pada ruang chorioallantoic, yang diencerkan dari , masing-masing diinfeksikan pada TAB sebanyak 5 butir. Selanjutnya TAB diinkubasikan selama 4 hari. Embrio yang mati dan terinfeksi dihitung, kemudian dikalkulasi a menurut metode Reed & Muench (Giambrone & Dormitorio 2006). Virus IBD Intermediate plus lokal dan virus IBD Intermediate plus komersial dititrasi pada kultur jaringan. Isolat virus diencerkan dari pada tabung efendrof dengan menambahkan 0,1 cc isolat virus dengan 0,9 cc media penumbuh DMEM. Suspensi virus yang telah diencerkan sebanyak 50 µl dimasukkan ke dalam sumur lempeng mikrotiter 96 sumur, dimulai dari yang tidak diencerkan hingga pengenceran Masing-masing pengenceran diulang sebanyak lima kali (suspensi virus dengan pengenceran yang sama pada satu baris). Selanjutnya ditambahkan media penumbuh sebanyak 50 µl pada sumur yang sudah diisi suspensi virus, kemudian ditambahkan sel CEF sebanyak 50 µl yang kurang lebih mengandung sel per sumur. Lempeng mikrotiter kemudian ditutup dengan polistiren, lalu diinkubasikan selama jam pada suhu 37 C. Pengamatan dilakukan setelah akhir masa inkubasi dan TCID 50 dikalkulasi a menurut Reed & Muench (1938). Pasase Virus IBD pada Ayam SPF Sebanyak 0,2 ml 100 EID 50 virus vvibd lokal diinfeksikan pada ayam 7 ekor ayam SPF umur 3 minggu secara tetes mata dan peroral. Bursa fabricius dipanen pada hari ke-3 dan selanjutnya dibuat inokulum dengan membuat gerusan bursa fabricius 10% dalam PBS. Inokulum diinfeksikan lagi ke ayam SPF, pada

46 23 umur 2-3 hari pascainfeksi diterminasi. Selanjutnya diamati ada tidaknya perubahan patologi anatomi berupa perdarahan otot paha, pembengkakan, atau perdarahan bursa fabricius. Jika perubahan tersebut belum ditemukan, infeksi diulang lagi atau dipasase lagi dengan cara yang sama seperti yang telah disebutkan di atas. Identifikasi Virus IBD dengan Teknik RT-PCR Virus vvibd lokal hasil pasase dan perbanyakan pada ayam SPF serta virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial diidentifikasi dengan teknik RT-PCR. Primer yang sering digunakan adalah primer yang dapat mengamplifikasi daerah hipervariabel VP2 (Jackwood et al. 2003). Menurut van Loon et al. (2001) fragmen tersebut spesifik untuk sekuens yang umumnya berada di kedua sisi gen VP2 dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan virus IBD. Disain primer mengacu pada Muscoso et al. (2006) yang akan menghasilkan fragmen berukuran 248 basa. Ekstraksi RNA virus IBD menggunakan Qiamp Viral RNA, dan untuk running PCR digunakan kit PCR. Sebagai kontrol positif digunakan isolat virus IBD Indo-5 yang sebelumnya telah dianalisis secara molekuler (Parede et al. 2003). Primer yang digunakan pada penelitian ini adalah primer VP2: IBDV-R= 5 GAT GTR AYT GGC TGG GTT ATC TC-3 dan IBDV-F= 5 - GTR ACR ATC ACA CTG TTC TCA GC-3. Reverse transcriptase dilakukan pada suhu 50 C selama 1 jam, kemudian 95ºC selama 5 menit untuk menghentikan reaksi RT, dilanjutkan dengan amplifikasi dengan 35 siklus, Annealing pada 94ºC selama 5 menit ekstensi 50ºC selama 30 detik dan elongasi 70ºC selama 1 menit. Final ekstensi 70ºC selama 7 menit. Hasil PCR selanjutnya dilarikan pada gel elektroforesis dengan tegangan listrik 100 volt selama 60 menit. Hasil PCR kemudian dikirimkan ke Lembaga Eijkman untuk disekuensing menggunakan primer yang sama untuk PCR.

47 24 Patogenesis Infeksi Virus IBD pada Embrio Ayam Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok menggunakan telur clean egg sebanyak 180 butir, yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok, masing-masing sebanyak 30 butir TAB (Tabel 2). Infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial dilakukan pada TAB umur 9 hari dan 14 hari. Dosis 0,2 ml diberikan melalui ruang chorioallantoic (Parede et al. 2003) yang mengandung 100 TCID 50 /50 µl virus IBD Intermediate plus isolat lokal, sedangkan virus IBD Intermediate plus komersial menggunakan dosis untuk vaksinasi sesuai rekomendasi produsen. Tabel 1 Jumlah TAB yang digunakan untuk uji patogenesis (butir) Kelompok Diinkubasi Serial Ditetaskan terminasi Kontrol (umur 9 hari ) Kontrol (umur 14 hari) Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal umur 9 hari Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial umur 9 hari Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal umur 14 hari Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial umur 14 hari Total Pengamatan kematian embrio dilakukan setiap hari hingga embrio berumur 17 hari untuk melihat ada tidaknya kematian embrio. Terminasi embrio dilakukan pada 12 jam, 1, 2, dan 3 hari pascainfeksi serta 3 hari pascamenetas. Sebanyak 3 butir TAB yang masih hidup diterminasi dari setiap kelompok (Tabel 3). Terminasi dilakukan dengan mengeluarkan TAB dari mesin tetas kemudian dipindahkan dalam freezer selama 15 menit. Embrio kemudian dikeluarkan dari dalam telur dengan menggunakan pinset, diamati perubahan patologi anatomi, kemudian embrio difiksasi dalam BNF 10%.

48 25 Tabel 2 Jumlah TAB dan DOC yang diterminasi (butir/ekor) Umur TAB Umur Kelompok (pascavaksinasi) DOC jam hari hari hari hari Kontrol (umur 9 hari) Kontrol (umur 14 hari) Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal pada umur 9 hari Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 9 hari Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal pada umur 14 hari Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 14 hari Total Sebanyak 15 butir TAB pada masing-masing kelompok perlakuan, diinkubasi i hingga menetas untuk melihat daya tetas. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan melakukan candling semua telur yang akan ditetaskan 1 hari pascainfeksi hingga embrio berumur 17 hari. Setelah menetas, DOC yang berumur 3 hari diterminasi dan bursa fabricius dipanen, selanjutnya diproses untuk pembuatan blok parafin. Metode Pengamatan Perubahan Patologi Anatomi (PA) Perubahan PA yang terjadi dicatat dan difoto, selanjutnya bursa fabricius dikeluarkan, lalu difiksasi dalam BNF 10%, sebagai bahan pembuatan blok parafin. Selain itu, juga dikoleksi serum darah ayam DOC yang berumur 3 hari yang diambil intracardial untuk pemeriksaan titer antibodi terhadap IBD dengan teknik SN. Metode Pengamatan Histopatologi (HP) Potongan organ yang telah difiksasi dimasukkan ke dalam tissue cassette kemudian didehidrasi secara bertingkat dengan alkohol dan dijernihkan menggunakan xylol, kemudian dibuat blok parafin. Blok parafin diiris dengan ketebalan 3,5-5

49 26 dengan HE menggunakan metode standar. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya untuk menentukan derajat lesi. Perubahan yang umum ditemukan pada infeksi IBD, antara lain: nekrosis jaringan epitel, nekrosis sel limfoid pada folikel limfoid, edema, dan infiltrasi sel radang pada bursa fabricius (Rautensclein & Haase 2005). Pengamatan lesi HP pada jaringan organ bursa fabricius embrio ayam yang diinfeksi pada umur 9 hari meliputi perubahan pada epitel penutup plika, dan interstisial. ti si Folikel limfoid tidak diamati karena belum terbentuk. Perubahan yang diamati pada bursa fabricius embrio yang diinfeksi pada umur 14 hari meliputi perubahan pada epitel penutup plika, folikel limfoid, dan interstisial. ti si Parameter yang dihitung adalah jumlah folikel limfoid dalam 5 plika dari 5 plika yang terbesar dari bursa fabricius, dan rerata diameter 5 folikel limfoid terbesar dari 5 plika bursa fabricius. Pewarnaan Imunohistokimia Potongan jaringan organ yang sudah dilekatkan pada gelas objek yang dilapisi dengan L-Lysine-monohidrochloride disimpan pada inkubator bersuhu 56 C selama 1 malam. Preparat kemudian direhidrasi secara bertahap dengan jalan dicelupkan pada xylol dan alkohol absolut dengan konsentrasi bertingkat. Metode pewarnaan merupakan modifikasi dari Tanimura et al. (1995). Tanimura et al. (1995) menggunakan enzim actinase E sebagai antigen retrieval yang diinkubasikan selama 5 menit. Bloking menggunakan serum kambing yang diinkubasikan selama 20 menit. Antibodi primer yang digunakan Tanimura et al. (1995) adalah antibodi monoklonal yang diinkubasikan semalam dan antibodi sekunder er diinkubasikan 30 menit, pewarnaan menggunakan DAB. Selanjutnya, sebagai antigen retrieval digunakan tripsin 0,5% yang diinkubasikan selama 30 menit pada suhu 37 C, kemudian dicuci dengan PBS dingin. Aktivitas endogenous peroksidase diblok dengan hidrogen peroksida (H2O2) 2) 3% selama 20 menit kemudian dicuci dengan PBS tween, selanjutnya diblok menggunakan skim milk 0,1% selama 30 menit. Setelah dicuci dengan PBS tween, antibodi primer menggunakan poliklonal antibodi Rabbit anti IBD 1:600 ditambahkan dan diinkubasikan selama 1 jam pada suhu ruang. Preparat kemudian dibilas menggunakan PBS tween, lalu ditambahkan antibodi sekunder

50 27 (Envision kit) dan diinkubasikan selama 45 menit. Preparat dicuci dengan destilated water, selanjutnya dilakukan pewarnaan menggunakan AEC sebagai kromogen yang memberikan warna kemerahan pada sel berantigen. Latar belakang diwarnai menggunakan Mayer Hematoksilin untuk mendapatkan warna kebiruan. Selanjutnya pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran pada 3 lapang pandang pada daerah yang ditemukan sel yang positif terdeteksi antigen virus IBD, kemudian dilakukan skoring seperti pada Tabel 4. Selanjutnya hasil skoring dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis. Tabel 3 Skoring jumlah antigen virus IBD pada bursa fabricius embrio ayam perlapang pandang (20 10) No. Jumlah sel positip mengandung skor antigen virus IBD > 10 3 Sumber : Damayanti et al. (2004). Titrasi Antibodi Uji titrasi antibodi menggunakan teknik SN. Virus yang akan digunakan adalah virus IBD yang sudah diadaptasikan di CEF, yang diencerkan terlebih dahulu, umumnya digunakan 100TCID 50. Titrasi antibodi dilakukan dengan uji SN yang mengacu pada Giambrone & Dormitorio (2006), dengan memodifikasi volume virus dari 50 µl menjadi 20 µl dan media penumbuh pada kolom 1 dari 50 µl menjadi 80 µl. Pada sumur kolom pertama mikroplate ditambahkan 80 µl media penumbuh DMEM, sedangkan sumur yang lain ditambahkan 50 µl. Pada sumuran mikroplate pada kolom pertama ditambahkan 20 µl isolat virus yang diencerkan dari 10-1 hingga 10-7, kemudian diambil 50 µl dan dipindahkan ke sumur berikutnya demikian seterusnya sampai pada sumur ke-10 pada kolom yang sama. Sebanyak 50 µl ditambahkan serum normal ayam pada kolom ke-11, sebagai serum kontrol. Lempengan yang telah berisi serum-virus diinkubasikan pada suhu 37 C selama menit. Selanjutnya sebanyak 50 µl CEF yang telah diencerkan sehingga mengandung sel per sumur ditambahkan pada semua

51 28 sumur. Lempeng mikrotiter yang telah ditutup dengan polistiren kemudian diinkubasikan selama jam pada suhu 37ºC. Pengamatan dilakukan setelah akhir masa inkubasi dan TCID 50 dikalkulasi menurut Reed & Muench (1938). Patogenesis Infeksi Virus IBD pada Ayam Pedaging Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola split in time. Ayam yang digunakan untuk percobaan adalah ayam DOC pedaging strain Hybro sebanyak 90 ekor, yang dikelompokkan menjadi enam kelompok perlakuan masing-masing terdiri atas 15 ekor ayam DOC (Tabel 5). Tabel 4 Pembagian ayam dalam kelompok perlakuan dan waktu pelaksanaan terminasi (ekor). Kelompok Perlakuan I. Kelompok kontrol (diberikan PBS umur 8 hari) II. Kelompok yang diinfeksi virus vvibd lokal (umur 15 hari) III. Kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal (umur 8 hari) IV. Kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal (8 hari) direinfeksi vvibd lokal (umur 15 hari) V. Kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate edi plus komersial (umur 8 hari) VI. Kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial (umur 8 hari) + direinfeksi virus vvibd lokal (umur 15 hari) Jadwal terminasi (pascainfeksi) hari hari hari hari hari Jumlah Ayam Jumlah

52 29 Infeksi dilakukan pada ayam umur 8 hari, diharapkan pada umur tersebut antibodi maternal sudah menurun. Virus IBD Intermediate plus komersial diberikan secara tetes mata sebanyak 1 dosis dengan melarutkan stok yang ada menggunakan PBS. Virus IBD Intermediate plus lokal yang diberikan adalah 0,2 ml yang mengandung ± 1000 TCID 50. Selanjutnya infeksi virus vvibd lokal dan reinfeksi dengan virus vvibd lokal pada ayam yang sebelumnya diinfeksi dengan virus vvibd Intermediate plus lokal maupun komersial dilakukan pada ayam umur 15 hari. Infeksi atau reinfeksi virus vvibd lokal pada ayam perlakuan dilakukan dengan menginokulasikan sebanyak 0,2 ml inokulum yang dibuat dari gerusan bursa fabricius ayam SPF yang telah diinfeksi dengan virus vvibd lokal. Sementara pada ayam kontrol diberikan 0,2 ml PBS. Pemberian dilakukan secara tetes mata (Scanavini et al. 2004). Pengamatan Perubahan Patologi Anatomi Ayam perlakuan diterminasi dengan jalan memotong vena jugularis pada hari ke 1, 2, 3, 7, dan 14 pascainfeksi, selanjutnya dilakukan nekropsi dan pengamatan PA sesuai metode standar. Sampel organ bursa fabricius, limpa, dan timus, dikoleksi dan disimpan dalam fiksatif BNF 10%, sebagai bahan pembuatan blok parafin. Hasil pengamatan perubahan PA selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Pengamatan Perubahan Histopatologi Proses pembuatan blok parafin dan pewarnaan HE dilakukan seperti pada proses pembuatan blok dan pewarnaan HE organ embrio. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya untuk menentukan derajat lesi. Perubahan diamati sesuai dengan sekuens pascainfeksi. Pengamatan lesi HP pada jaringan organ bursa fabricius meliputi lapis penutup plika, folikel limfoid, dan interstisial. Komponen seluler yang diamati pada lapis penutup plika antara lain adalah atrofi plika dan terbentuknya kista. Perubahan pada folikel limfoid yang diamati adalah nekrosis sel limfoid, apoptosis, dan proliferasi sel RES. Perubahan pada jaringan interstisial yang diamati adalah edema, infiltrasi sel radang heterofil, dan kongesti. Perubahan

53 30 diamati sesuai dengan sekuens pascainfeksi. Lesi HP yang ditemukan pada jaringan diskoring dengan skala 0-3 yang ditentukan seperti pada Tabel 6. Tabel 5 Penentuan skor Lesi Histopatologi berdasarkan luasan lesi No. Sebaran Lesi pada Organ Skor 1. Tidak ditemukan lesi 0 2. Lesi ditemukan < 25% 1 3. Lesi ditemukan 25% - 50% 2 4. Lesi ditemukan > 50% 3 Lesi yang ditemukan pada awal infeksi (umur 1-3 hari) digolongkan lesi akut. Lesi yang ditemukan pada tahap lanjut, yaitu 7-14 hari pascainfeksi digolongkan lesi kronis. Skor lesi yang bersifat akut pada awal infeksi dan skor lesi yang bersifat kronis pada tahap lanjut masing-masing dijumlahkan untuk dianalisis isi menggunakan uji Kruskal Wallis. Perubahan HP pada limpa yang dilihat adalah proliferasi sel RES pada 3 lapang pandang di sekitar pulpa merah dan pulpa putih yang ditentukan dengan skor seperti pada Tabel 7. Tabel 6 Penentuan skor jumlah RES pada organ limpa dan koteks timus No. Jumlah RES Skor 1. Tidak ditemukan sel RES 0 2. Jumlah sel RES < Jumlah sel RES Jumlah sel RES > 50 3 Perubahan HP pada timus yang pernah dilaporkan adalah deplesi sel timus di bagian korteks yang menyebabkan atrofi korteks atau penipisan korteks (Nonuya et al. 1992). Pada penelitian ini ketebalan korteks timus diukur dengan menggunakan gu n video mikrometer pada 3 lobus yang dipilih secara acak. Ketebalan korteks timus merupakan hasil rataan pengukuran pada lapis korteks yang paling tebal dan lapis korteks yang paling tipis pada lobus yang sama. Selain itu, juga

54 31 dilakukan skoring jumlah RES pada korteks timus yang ditentukan seperti pada Tabel 7. Selanjutnya data jumlah rataan skor lesi bursa fabricius, skor jumlah sel RES pada limpa, dan skor jumlah sel RES pada korteks timus dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis. Data ketebalan korteks timus dianalisis menggunakan uji sidik ragam untuk melihat ada tidaknya perbedaan antarperlakuan secara statistika. Pewarnaan Imunohistokimia Organ bursa fabricius, limpa dan timus yang telah diproses menjadi blok parafin dipotong dengan ketebalan 0,3-0,5µm. Potongan jaringan dilekatkan pada gelas objek yang telah dilapisi dengan L-Lysine-monohidrochloride, disimpan pada inkubator suhu 57ºC selama semalam, untuk melelehken parafin. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan teknik pewarnaan IHK (dapat dilihat pada teknik IHK organ embrio halaman 26). Titrasi Antibodi Serum ayam yang diuji titrasi antibodi dikoleksi dari ayam percobaan pada umur 1, 2, 3, dan 4 minggu masing-masing kelompok diambil 10 ekor, kecuali pada minggu ke empat hanya kelompok kontrol dan kelompok yang diinfeksi virus vvibd lokal yang berjumlah 10 ekor, kelompok lainnya berjumlah 7 ekor. Titrasi antibodi dilakukan pada serum ayam menggunakan teknik SN (dapat dilihat titrasi antibodi pada serum ayam 3 hari pascamenetas halaman 27).

55 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Sifat Keganasan Virus IBD Lokal Pasase Virus vvibd Lokal pada Ayam Spesific Pathogen Free Virus vvibd lokal dipasase pada ayam SPF menimbulkan gejala klinis dan perubahan setelah pasase ke-5. Hal ini disebabkan virus disimpan di dalam freezer pada suhu -70 C dalam waktu yang lama. Pasase virus dilakukan untuk mendapatkan jumlah partikel yang cukup untuk menimbulkan gejala klinis, sebab pada umumnya penyimpanan dalam waktu yang lama pada suhu -70 C menurunkan jumlah partikel virus yang infeksius. Pada pasase pertama hingga ke- 3 belum menunjukkan gejala klinis sesuai yang diharapkan. Pada pasase ke-5 telah dapat menunjukkan gejala klinis dengan angka morbiditas (5/8 100% = 65%) dan angka mortalitas (1/8 100% = 12,5%). Hasil pasase virus vvibd lokal yang ke-5 pada ayam SPF umur 2 minggu menunjukkan adanya gejala klinis berupa lesu, bulu di daerah leher berdiri, sayap menggantung, dan feses menempel pada kloaka (Parede et al. 2003; William & Davison 2005) (Gambar 1). Gambar 1 Ayam SPF 2 hari pascainfeksi (diinfeksi virus vvibd lokal pada umur 3 minggu) menunjukkan gejala klinis tubuh lesu, merunduk, bulu leher berdiri, dan sayap menggantung.

56 34 Hasil pengamatan patologi anatomi pada terminasi umur 3 hari pascainfeksi terlihat perdarahan pada daerah paha dan dada seperti yang dilaporkan (Acribasi et al. 2010) (Gambar 2), serta bursa fabricius ayam membesar dan ketika bursa dibelah terlihat plika membesar yang disebabkan edema seperti yang pernah dilaporkan sebelumnya [(Bolis et al. (2003); William & Davison (2005); Oladele et al. (2009)], dan juga ditemukan hemoragi seperti hasil penelitian Acribasi et al. (2010) 0) (Gambar 3). Hemoragi teramati pada 2 hari pasca infeksi yaitu setelah terjadi viremia kedua, virus mengalami replikasi pada organ lainnya. Gambar 2 Perdarahan otot paha pada ayam SPF 2 hari pascainfeksi yang diinfeksi virus vvibd lokal pada umur 3 minggu.

57 35 Gambar 3 Perdarahan bursa fabricius ayam SPF yang diinfeksi virus vvibd lokal pada umur 3 minggu dan diterminasi pada umur 2 hari pascainfeksi. Titrasi Virus IBD Hasil penghitungan titer virus IBD Intermediate plus adalah: /100 µl TCID 50. Pertumbuhan virus terlihat dengan terbentuknya CPE pada kultur jaringan (Gambar 4). Gambar 4 Pertumbuhan virus IBD pada kultur jaringan (A) ditandai dengan terbentuknya CPE (tanda panah), dan tidak terbentuk CPE pada kontrol (B).

58 36 Hasil Identifikasi Virus IBD Lokal dengan RT-PCR dan Sekuensing Hasil uji RT-PCR dengan primer VP2 (Muscoso et al. 2006) menunjukkan bahwa isolat vaksin lokal, vaksin komersial dan virus vvibd dapat diamplifikasi dan running hasil RT-PCR menghasilkan pita pada posisi pasang basa (Gambar 5). Sebagai kontrol positif digunakan virus IBD Indo-5 yang telah diidentifikasi sebelumnya secara molekuler oleh Parede et al. (2003) dan Ignjatovic et al. (2004). Hasil ini menunjukkan bahwa isolat yang diuji adalah benar virus IBD. Gambar ar 5 Runing hasil PCR pada gel elektroforesis terbentuk pita pada posisi pasang basa. Sumur M: marker ; sumur no. 1: virus IBD Intermediate plus komersial impor; sumur no. 2: virus IBD Intermediate plus lokal ; sumur 3: kontrol positif (IBD-Indo 5); sumur no. 4: virus vvibd lokal; sumur no.5: kontrol negatif. Hasil sekuensing dengan menggunakan primer yang sama untuk RT-PCR yang kemudian diterjemahkan ke dalam asam amino dapat dilihat pada Tabel 8. Sekuens en protein virus IBD lokal mempunyai perbedaan 1 asam amino dengan virus IBD-Indo-5. Sementara itu, sekuens virus IBD Intermediate plus lokal dan

59 37 komersial telah banyak mengalami mutasi karena memang virus tersebut telah diatenuasi. Tabel 1 Sekuens protein vvibd lokal dan isolat virus IBD Intermediate plus No. Isolat Hasil Sekuensing 1. virus IBD- Indo5 TSVQGLILGATIYLIGFDGTAVITRAVAADN GLTAGTDNLMetPFNIVIPTSEITQP 2. vvibd lokal SVQGLILGATIYLIGFDGTAVITRAVAADNR LTAGTDNLMetPFNIVIPTSEITQPITSDAYEV DGSTQYKA 3. virus IBD TIYLIGFDGTAVITRAVAANNGLTTGTTTLC Intermediate HSILStopFQQTRStopPSQLHPKP plus lokal IRStopMetVAPTIRPWTLVStopNT 4. virus IBD Intermediate plus komersial SVQGLILGATIYLIGFDGTTVITRAVAANNG LTAGTDNLMetPFNLVIPTNEITQPITS Pensejajaran hasil sekuens dengan sekuens dari koleksi EMBL/ENA (European Molecular Biology Laboratory/European Nucleotida Archive) diperoleh hasil seperti yang disajikan pada Tabel 9. Sekuens virus IBD Intermediate plus lokal mempunyai kemiripan dengan beberapa sekuens virus IBD yang dikoleksi di Gen Bank. Sekuens virus vvibd lokal dan sekuens virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial mirip dengan sekuens-sekuens yang dipatenkan, yaitu sekuens-sekuens IBD yang telah mengalami mutasi sehingga tidak 100% memiliki kemiripan dengan sekuens VP2 virus IBD. Hal ini dapat dipahami karena virus IBD Intermediate plus adalah virus yang memang telah diatenuasi atau dilemahkan sehingga mengalami mutasi pada urutan basanya. Virus vvibd lokal yang digunakan telah mengalami mutasi sehingga lebih mirip dengan isolat virus paten.

60 38 Tabel 2 Hasil pensejajaran sekuens isolat virus vvibd dengan European Nucleotida Archive No. Isolat Assesion Number description/organisme % identity 1. Virus IBD-Indo5 AF virus IBD isolat Indo-5 segment A 100 VP2 partial cds AF IBD isolat Indo-7 segment A VP2 partial cds 100 DO virus IBD isolat RT64/84 gen 100 partial cds 2. Virus vvibd AX sequen 70 dari hasil paten 97 lokal WO (IBD) AX sekuens 42 dari hasil paten 97 EP (IBD) E12060 cdna coding protein VP2 (IBD) Virus IBD Intermediate plus lokal 4. Virus IBD Intermediate plus komersial GM sekuens 1 dari paten 97 WO (IBD) AX sekuens 1 dari paten WO (IBD) GM WO (Unidentified) 97 E12060 cdna encoding VP2 protein of 96 virus IBD E12069 sega of sequen virus IBD 96 E05443 DNA sequen of virus IBD sega 95 gene Kesimpulan Penyimpanan isolat virus pada waktu yang lama pada suhu 70 C dapat menurunkan jumlah partikel virus yang infeksius. Setelah pasase ke-5, menunjukkan nju gejala klinis dan perubahan patologik seperti gejala penyakit IBD, sehingga ga dapat digunakan untuk menginfeksi dan melakukan uji tantang atau reinfeksi pada ayam perlakuan. Hasil identifikasi virus IBD menggunakan PCR menunjukkan nju bahwa isolat virus tersebut memang IBD, yang membentuk pita pada gel elektroforesis pada posisi pasang basa. Hasil pensejajaran sekuens ens dengan koleksi Gen Bank menunjukkan adanya tingkat kemiripan yang tinggi dengan sekuens virus IBD.

61 39 Infeksi Virus IBD pada Embrio Ayam Pengaruh Infeksi Virus IBD pada Daya Tetas Telur Ayam Berembrio Daya tetas TAB yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial pada umur 9 hari dan 14 hari lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Sebanyak 15 TAB yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus umur 9 hari dan 14 hari, masing-masing hanya menetas 1 butir, baik dari kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial, sedangkan pada TAB kelompok kontrol, sebanyak 5 butir berhasil menetas (Tabel 10). Penurunan daya tetas kemungkinan disebabkan virus Intermediate plus yang digunakan masih bersifat patogen untuk embrio, sehingga perlu dilemahkan lagi jika digunakan untuk vaksinasi pada embrio. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rautensclein & Haase (2005) yang menunjukkan bahwa vaksinasi in ovo menggunakan vaccine strain Bursine 2 menurunkan daya tetas telur secara nyata. Sebaliknya, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Hassanzadeh et al. (2006) yang menunjukkan bahwa vaksinasi in ovo menggunakan vaksin IBD kompleks imun tidak mempengaruhi daya tetas telur. Demikian juga, hasil penelitian Moura et al. (2007) menyatakan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin rekombinan rd78glsnsä maupun vaksin yang telah diatenuasi pada embrio ayam tidak menurunkan daya tetas telur. Hasil ini menunjukkan bahwa daya tetas TAB yang divaksin in ovo sangat tergantung dengan jenis vaksin maupun strain virus vaksin yang digunakan. Kematian embrio pascainfeksi berkisar 2 ekor hingga embrio berumur 17 hari. Setelah embrio berumur 17 hari tidak dilakukan lagi pengamatan hingga waktu menetas karena dikhawatirkan mempengaruhi daya tetas (Tabel 10).

62 40 Tabel 3 Daya Tetas TAB dan kematian embrio yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial hingga umur 17 hari No. Kelompok Kematian embrio dari 15 Daya Tetas (%) ekor TAB 1. Kontrol (umur 9 hari) 1 27,70 (4/15) 2. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus 2 6,67 (1/15) lokal umur 9 hari 3. Diinfeksi Intermediate plus komersial 2 6,67 (1/15) umur 9 hari 4. Kontrol (umur 14 hari) 1 33,35 (5/15) 5. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus 2 13,30 (2/15) lokal umur 14 hari 6. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial umur 14 hari 1 6,67 (1/15) Hasil Pengamatan PA Pengamatan PA pada embrio ayam yang divaksinasi dan bertahan hidup hingga dilakukan terminasi, tidak ditemukan perubahan yang nyata (Gambar 6).

63 41 Gambar 6 Embrio ayam 3 hari pascainfeksi kelompok kontrol (A), kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 9 hari (B), dan kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal (C) tidak terlihat perubahan yang nyata. Pengaruh Infeksi pada Kerusakan Bursa Fabricius Secara mikroskopik struktur bursa fabricius ayam umur 9-12 hari pascainfeksi sudah terlihat (Gambar 7, 8, dan 9), plika sudah terbentuk, tetapi folikel limfoid belum terlihat. Epitel bursa fabricius terbentuk dari membran urodeal pada awal masa embrio, yang ditempati oleh progenitors sel B (Ratcliffe 2008). Pada umur 12 hari pada beberapa bagian epitel plika terlihat menebal, karena terjadi proliferasi progenitors sel B, kemudian lapis epitel melekuk ke dalam yang akan membentuk folikel limfoid (Gambar 7, 8, 9). Sel heterofil ditemukan mulai umur 12 hari di interstisial, baik di kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan telah terjadi infeksi non spesifik.

64 42 Gambar ar 7 Bursa fabricius embrio ayam umur 12 hari kelompok kontrol folikel limfoid belum terbentuk, ditemukan sel heterofil di interstisial (panah) dan epitel plika dibeberapa bagian mengalami penebalan sebagai bakal folikel limfoid (kepala panah). Pewarnaan HE. Gambar ar 8 Bursa fabricius embrio umur 12 hari (3 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal pada umur 9 hari, folikel limfoid belum terbentuk seperti pada kelompok kontrol, pada sel epitel penutup plika terlihat bakal folikel limfoid (kepala panah), dan di interstisial terlihat sel heterofil (panah). Pewarnaan HE.

65 43 Gambar 9 Bursa fabricius embrio umur 12 hari (3 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 9 hari, folikel limfoid belum terbentuk seperti pada kelompok kontrol, pada sel epitel penutup plika terlihat bakal limfoid folikel (kepala panah), dan terlihat heterofil di interstisial (tanda panah). Pewarnaan HE. Pada umur 14 hari, organ yang berperan aktif dalam membentuk imunitas adalah timus dan bursa fabricius, pada umur tersebut folikel limfoid pada bursa fabricius sudah terbentuk dan, pada saat itu kekebalan berperantara sel mulai aktif (Jancovic et al. 1975). Tabel 4 Rataan jumlah folikel limfoid dalam plika bursa fabricius embrio ayam percobaan yang diinfeksi pada umur embrio 14 hari Kelompok Perlakuan Kontrol efg 14,0 ed 21,07 Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal g 6,3 fg 8,03 Waktu Terminasi (pascainfeksi/pi) 12 jam 1 hari 2 hari 3 hari bcd bc 29,67 34,93 bc bc 35,60 35,70 Diinfeksi IBDv Intermediate efd cde ab a 18,5 24,65 38,45 47,72 plus komersial *Keterangan : huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada taraf uji 0,05

66 44 Tabel 5 Rataan diameter folikel limfoid dalam plika bursa fabricius embrio ayam percobaan (µm) yang diinfeksi pada umur embrio 14 hari Kelompok Perlakuan Waktu Terminasi (pascainfeksi) 12 jam 1 hari 2 hari 3 hari Kontrol (tanpa f 41,21 f 51,22 cd 69,87 a 112,60 infeksi) Diinfeksi virus f 46,60 ed 65,31 b 86,70 a 106,16 IBD Intermediate plus lokal Diinfeksi virus f 46,60 ef 53,54 bc 80,55 a 106,19 IBD Intermediate plus komersial *Keterangan : 0,05 Jumlah folikel limfoid bursa fabricius pada embrio yang diinfeksi virus IBD Inetermediate plus lokal pada awal infeksi mengalami penurunan jumlah yang nyata dibandingkan kelompok lainnya (Tabel 11). Jumlah folikel limfoid tidak berbeda setelah 3 hari pascainfeksi. Sebaliknya, jumlah folikel limfoid bursa fabricius ius embrio yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial mengalami peningkatan dibandingkan pada embrio ayam kelompok perlakuan atau kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus. Hal ini mungkin disebabkan bursa fabricius embrio ayam mengalami respons yang berlebihan dalam memulihkan respons antibodi, yaitu dengan cepat membentuk folikel limfoid yang baru. Diameter folikel limfoid bursa fabricius atau ukuran folikel limfoid semakin besar dengan bertambahnya umur ayam (Tabel 12). Diameter folikel limfoid bursa fabricius pada awal infeksi lebih besar dibandingkan dengan diameter folikel limfoid bursa fabricius ayam kontrol. Pada bursa fabricius ada 2 macam folikel limfoid, yaitu folikel limfoid besar dan folikel limfoid kecil, pada waktu terjadi infeksi virus IBD ke-2 jenis folikel limfoid ini dapat hilang, namun akan segera muncul folikel limfoid baru. Folikel limfoid yang besar mengalami perkembangan em cepat dengan struktur yang normal dalam rangka memulihkan respon antibodi, sementara folikel limfoid yang kecil tidak menghasilkan sel B yang responsif terhadap antigen (Withers et al. 2006). Pada penelitian ini yang diukur ur adalah folikel limfoid yang besar, kemungkinan sel B pada ayam kelompok ayam yang diinfeksi mengalami proliferasi sel B yang cepat pada 1,

67 45 dan 2 hari pascainfeksi Namun, pada hari ke-3 pascainfeksi ukuran folikel limfoid bursa fabricius cenderung lebih kecil dibandingkan pada embrio ayam kontrol (Tabel 12). Hal ini kemungkinan disebabkan deplesi folikel limfoid yang disebabkan nekrosis sel limfoid terjadi lebih cepat dibandingkan proses pemulihannya. Bahkan beberapa folikel limfoid terlihat menghilang pada bursa fabricius ayam yang diinfeksi. Infeksi IBD menggunakan virus IBD Intermediate plus isolat lokal maupun komersial pada embrio ayam menimbulkan perubahan histopatologi, sesuai dengan hasil Rautensclein & Haase (2005). Pada penelitian ini ditemukan perubahan histopatologi berupa: edema, infiltrasi sel heterofil, nekrosis, proliferasi RES, badan apoptosis pada folikel limfoid. Eksudat, Edema, infiltrasi sel heterofil juga ditemukan pada kelompok kontrol, kemungkinan telah terjadi infeksi non spesifik. Oleh karena itu yang dianggap akibat infeksi virus IBD adalah,: a proliferasi RES, badan apoptosis nekrosis dan deplesi folikel limfoid. Epitel penutup plika tidak mengalami perubahan, penebalan yang terlihat merupakan proliferasi progenitors sel B yang berkolonisasi pada epitel bursa fabricius, selanjutnya akan membentuk folikel limfoid. Infiltrasi sel heterofil lebih banyak dijumpai pada embrio ayam yang diinfeksi IBD Intermediate plus komersial dibandingkan dengan kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal (Gambar 11 dan 12). Proliferasi RES terlihat lebih banyak pada kelompok yang diinfeksi IBD Intermediate plus lokal dibandingkan kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial.

68 46 Gambar ar 10 Bursa fabricius embrio ayam umur 15 hari pada kelompok kontrol, folikel limfoid sudah terbentuk (kepala panah), ditemukan sel heterofil (panah) dan ditemukan edema (asterik) pada jaringan interstisial. Insert perbesaran dari sel heterofil pada jaringan interstisial. Pewarnaan HE. Gambar ar 11 Bursa fabricius embrio ayam umur 15 hari (1 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi IBDV Intermediate plus lokal pada umur 14 hari, diinfiltrasi sel heterofil (panah), terlihat edema (asterisk), pada epitel tidak ditemukan kista. Pewarnaan HE.

69 47 Gambar 12 Bursa fabricius embrio ayam umur 15 hari (umur 1 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial pada umur 14 hari, diinfiltrasi sel heterofil (tanda panah), proliferasi sel RES (kepala panah) dan terlihat edema (asterik). Pewarnaan HE. Apoptosis ditemukan 3 hari pascainfeksi pada bursa fabricius kelompok embrio yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal in ovo (Gambar 13) dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok embrio yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial. Hasil ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Kathri & Sharma (2007) yang menyatakan bahwa infeksi virus IBD pada embrio menyebabkan apoptosis sementara dengan virus IBD yang telah diatenuasi tidak menimbulkan perubahan histopatologi. Proliferasi sel RES, infiltrasi sel heterofil, dan deplesi folikel limfoid masih ditemukan pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial, dan eksudat ditemukan di lumen bursa pada semua kelompok perlakuan (Gambar 14, 15, dan 16). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial tidak menyebabkan lesi pada embrio yang diinfeksi umur 9 hari. Sementara itu, infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada umur 14 hari menyebabkan lesi berupa apoptosis, proliferasi RES, nekrosis sel limfoid dan deplesi folikel limfoid, sedangkan lesi lainnya yang juga ditemukan pada kelompok kontrol, disebabkan infeksi non spesifik, yang

70 48 tidak diketahui penyebabnya. Infeksi virus IBD Intermediate plus lokal menimbulkan lesi yang cenderung lebih parah dibandingkan dengan lesi yang ditemukan pada infeksi virus IBD Intermediate plus komersial. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan virus yang digunakan masih cukup ganas. Gambar 13 Bursa fabricius embrio umur 17 hari (3 hari pascainfeksi) pada kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal 14 hari terlihat adanya sel RES yang memfagosit badan apoptotik (tanda panah). Pewarnaan HE.

71 49 Gambar 14 Bursa fabricius embrio ayam kontrol pada umur 17 hari, terlihat folikel limfoid banyak yang masih utuh, edema (panah) dan infiltrasi heterofil (kepala panah) masih persisten terlihat, dan ditemukan eksudat pada lumen bursa (asterik). Pewarnaan HE. Gambar 15 Bursa fabricius embrio ayam umur 17 hari (3 hari pascainfeksi) yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal pada umur 14 hari, ditemukan folikel limfoid yang mengalami deplesi sel limfoid dan diilfitrasi sel heterofil (panah), proliferasi RES terlihat lebih meluas (kepala panah, eksudasi terlihat di lumen bursa (asterik), dan nekrosis sel limfoid (panah putus-putus) dan inflitrasi heterofil. Pewarnaan HE.

72 50 Gambar ar 16 Bursa fabricius embrio ayam umur 17 hari (3 hari pascainfeksi), yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial 14 hari terlihat folikel limfoid yang mengalami deplesi dan diinfiltrasi sel heterofil (panah), nekrosis sel limfoid (panah putus-putus), edema (bintang) proliferasi RES interstisialis (kepala panah), eksudasi ditemukan pada lumen bursa (asterik). Pewarnaan HE.

73 6 Lesi histopatologi yang ditemukan pada bursa fabricius embrio ayam 3 hari pascainfeksi No. Lesi Histopatologi Diinfeksi IBD Intermediate plus lokal Diinfeksi IBD Intermediate plus komersial Kontrol 9 hari 14 hari 9 hari 14 hari 9 hari 14 hari Terminasi (hari pascainfeksi) *Keterangan: ditemukan lesi -: tidak ditemukan lesi 1/ D O C 1/ D O C 1/ D O C 1/ D O C 1/ D O C 1/ D O C 1. Edema Sel Heterofil Eksudat Badan apoptotik Proliferasi RES Nekrosis Deplesi folikel limfoid

74 52 Struktur bursa fabricius DOC umur 3 hari yang diinfeksi dengan Intermediate plus lokal dan komersial pada saat embrio, tidak terlihat berbeda dengan struktur bursa kelompok ayam kontrol. Jarak antar folikel limfoid sudah terlihat rapat (Gambar 17, 18, dan 19), dan tidak ditemukan folikel limfoid yang mengalami deplesi, yang menunjukkan telah terjadi proses persembuhan. Jumlah sel heterofil dan sel makrofag sudah berkurang. Hasil ini menunjukkan bahwa infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial pada embrio ayam umur 9 hari dan 14 hari, tidak menyebabkan kerusakan permanen pada ayam setelah menetas, sesuai dengan hasil penelitian Rautensclein & Haase (2005). Lesi yang terjadi lebih cepat mengalami persembuhan pada vaksinasi in ovo dibandingkan vaksinasi as IBD pascamenetas. Hal ini diduga karena pada vaksin in ovo tidak menginduksi sel T, karena keberadaan sel T yang menyebabkan persembuhan berjalan lambat (Rautensclein et al, 2002). Repopulasi bursa terjadi oleh aktivitas bursa stem cell yang menghasilkan folikel limfoid dengan morfologi dan fungsi yang normal. Sementara itu, sel B di bagian medula yang masih tersisa membentuk folikel limfoid yang berukuran kecil (Withers et al. 2006). Menurut Moura et al (2007), vaksinasi a in ovo menggunakan IBD yang telah diatenuasi tidak menimbulkan kerusakan pada bursa fabricius.

75 m Gambar 17 Bursa fabricius ayam kelompok kontrol 3 hari pascamenetas folikel limfoid terlihat penuh sel limfoid. Pewarnaan HE. 100 m Gambar 18 Bursa fabricius ayam 3 hari pascamenetas, kelompok yang diinfeksi IBD Intermediate plus komersial pada umur 14 hari, folikel limfoid terlihat terisi kembali dengan sel limfoid. Pewarnaan HE.

76 m Gambar ar 19 Bursa fabricius ayam 3 hari pascamenetas, kelompok diinfeksi IBD Intermediate plus lokal pada umur 14 hari, folikel limfoid terisi kembali dengan sel limfoid. Pewarnaan HE. Titrasi Antibodi pada Anak Ayam Hasil titrasi antibodi anak ayam umur 3 hari ditampilkan pada Tabel 14. Titer antibodi pada anak ayam kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus ada yang meningkat, masing-masing 1 ekor, baik dari kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial. Terbatasnya ayam yang menetas pada penelitian ini menyebabkan sebaran titer antibodi tidak dapat dianalisis secara statistik, tetapi jika dilihat secara deskriptif, menunjukkan kedua jenis virus IBD Intermediate plus mampu menggertak sel-sel imun pada embrio, terlihat dari adanya titer netralisasi pada serum. Menurut Kathri dan Sharma (2007) infeksi virus IBD yang telah diatenuasi dapat meningkatkan respons antibodi hingga 100% ketika ayam ditantang pada umur 3 minggu. Namun demikian dari hasil penelitian ini memberi harapan bahwa infeksi virus IBD Intermediate ed plus pada TAB dapat meningkatkan titer antibodi. Artinya bahwa ada harapan virus IBD Intermediate plus dapat digunakan sebagai vaksin in ovo. Efektif tidaknya vaksinasi pada TAB masih perlu dikaji lebih mendalam hingga layak untuk direkomendasikan penggunaan vaksin ini pada TAB.

77 55 Tabel 7 Sebaran titer antibodi serum DOC umur 3 hari yang diinfeksi virus IBD in ovo, yang diperiksa dengan uji serum netralisasi (SN) Kelompok Ayam Jumlah serum DOC yang dititrasi TAB TAB diinfeksi diinfeksi pada umur pada umur 9 hari 14 hari Titer Antibodi terhadap IBD TAB diinfeksi pada umur 9 hari TAB diinfeksi pada umur 14 hari Kontrol 3 3 0, 0, 0 0, 0, 0 Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial , Deteksi Antigen Virus IBD pada Bursa Fabricius Deteksi antigen virus IBD pada bursa fabricius embrio ayam yang diinfeksi IBD Intermediate plus pada umur 1 hari pascainfeksi menunjukkan hasil positif (Tabel 15). Antigen terdeteksi di daerah interstisial, maupun di bagian korteks dan medula folikel limfoid bursa fabricius (Gambar 20). Antigen terdeteksi pada sel makrofag maupun sel limfoid dan sel heterofil, yang terdapat di dalam inti maupun di dalam sitoplasma, mulai umur 1 hari sejalan dengan meningkatnya sel makrofag, dan infiltrasi sel heterofil yang sudah ditemukan mulai umur 1 hari pascainfeksi. Antigen masih terdeteksi pada umur 2 hari dan 3 hari pascainfeksi dengan jumlah antigen yang tetap banyak (skor 3). Mekanisme terdeteksinya antigen virus IBD pada sel-sel heterofil, makrofag, yang terdapat pada bursa fabricius ayam, menunjukkan sistem kekebalan berperantara sel menjadi aktif selama 3 hari, bila ada infeksi virus IBD. Namun demikian, pada umur ayam 3 hari pascamenetas antigen tidak terdeteksi lagi pada sel limfoid bursa fabricius, sejalan dengan hilangnya lesi, sel heterofil serta sel makrofag.

78 56 Tabel 8 Rataan skor jumlah sel positif terdeteksi antigen pada organ bursa fabricius embrio ayam dan DOC pada berbagai kelompok umur dan kelompok perlakuan yang diinfeksi IBD pada umur 14 hari. Perlakuan Umur embrio (pascavaksinasi) 1 hr 2 hr 3 hr DOC 3 hari Kelompok kontrol 0 0 Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal b 3 3 Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial b 3 b 3 b 3 a 0 *Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidakada perbedaan yang a a b 0 3 a a b 0 0 a KESIMPULAN DAN SARAN Gambar a 20 Antigen positif (warna merah) terdeteksi pada folikel limfoid bursa fabricius embrio ayam kelompok yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal. Pewanaan IHK. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan komersial menyebabkan menurunnya daya tetas telur dan menimbulkan kerusakan ka pada bursa fabricius embrio ayam. Kerusakan mulai terlihat umur 1

79 57 hari pascainfeksi berupa: edema, nekrosis, deplesi folikel limfoid dan apoptosis sel limfoid. Kerusakan tidak terdeteksi lagi pada organ bursa fabricius ayam setelah 3 hari menetas. Deteksi antigen pada bursa fabricius kelompok embrio ayam yang diinfeksi virus Intermediate plus menunjukkan bahwa antigen virus IBD terdeteksi pada umur 1 hari pascainfeksi hingga umur 3 hari pascainfeksi. Antigen virus IBD tidak terdeteksi lagi pada umur 3 hari pascamenetas. Hasil ini menunjukkan bahwa antigen virus telah tereliminasi pada ayam pascamenetas, artinya ayam telah sembuh dari infeksi IBD.

80 58 Patogenesis Infeksi Virus IBD pada Ayam Pedaging Patologi Organ Bursa Fabricius Hasil pengamatan PA pada organ bursa fabricius kelompok ayam kontrol, kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial tidak ditemukan adanya perubahan yang nyata pada tahap akut maupun pada tahap kronis. Sebaliknya, pada kelompok ayam yang diinfeksi virus vvibd dan kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun un komersial dan direinfeksi dengan virus vvibd, terlihat perdarahan pada bursa fabricius pada tahap akut. Demikian juga atrofi bursa fabricius mulai terlihat pada umur 3 hari pascainfeksi dan terlihat sangat nyata pada tahap kronis (Gambar 21). Pada organ limpa kelompok ayam yang diinfeksi virus vvibd dan kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial lalu direinfeksi dengan virus vvibd terjadi pembesaran ukuran limpa karena adanya kongesti serta ditemukan hiperemi pada timus tahap akut. Gambar a 21 Bursa fabricius kelompok ayam kontrol (A) dan bursa fabricius ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal pada 7 hari pascainfeksi terlihat atrofi (B). Hasil pengamatan mikroskopik pada bursa fabricius kelompok ayam kontrol secara umum tidak mengalami perubahan yang nyata (Gambar 22) Struktur epitel penutup plika relatif masih terlihat utuh, susunan epitel masih terlihat lurus dan folikel limfoid masih utuh serta terisi penuh sel limfoid. Infeksi vvibd Intermediate ed plus lokal pada ayam pedaging menyebabkan nekrosis dan

81 59 proliferasi sel RES serta deplesi. Demikian juga pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan IBD Intermediate plus komersial ditemukan nekrosis, proliferasi sel RES bahkan fibroplasia (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi virus IBD Intermediate plus isolat lokal dan komersial masih menyebabkan lesi pada bursa fabricius.

82

83 61 Tabel 9 Rataan skor lesi HP berdasarkan sekuens waktu pascainfeksi dan distribusi lesi pada bursa fabricius pada tahap akut Lesi Akut Kontrol vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal Keterangan : *) lesi yang umumnya ditemukan pada tahap kronis (Lukert & Saif 2003). Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal + diinfeksi virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial + diinfeksi virus vvibd lokal Umur ayam (pascainfeksi) Interstisial Edema Hemorhagi Sel radang Fibroplasia*) Folikel Limfoid Apoptosis Nekrosis sel limfoid Proliferasi sel RES Deplesi Epitel Plika Atrofi plika*) Kista*)

84

85 61 Gambar 22 Bursa fabricius ayam kelompok kontrol, terlihat struktur epitel penutup plika masih terlihat utuh, susunan epitel masih terlihat lurus dan folikel limfoid masih utuh serta terisi penuh sel limfoid. Pewarnaan HE. Gambar 23 Bursa fabricius ayam kelompok yang diinfeksi IBD lokal 14 hari pascainfeksi, terlihat membentuk kista (kepala panah) dan pelipatan epitel plika (panah). Pewarnaan HE.

86 62 Infeksi virus vvibd atau reinfeksi dengan virus vvibd pada ayam yang sebelumnya diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial pada ayam pedaging menyebabkan perubahan akut HP pada daerah interstisial berupa edema, hemoragi, dan infiltrasi sel radang heterofil (Tabel 16). Perubahan pada folikel limfoid berupa nekrosis serta ditemukan apoptosis sel limfoid. Sel yang mengalami apoptosis ditemukan hanya pada masa akut umur 1 hari pascainfeksi, yang banyak ditemukan di dalam sel RES. Deplesi sel limfoid telah terjadi umur 1 hari pascainfeksi. Pada umur 7 hari pascainfeksi, banyak folikel limfoid yang strukturnya menghilang akibat nekrosis sel limfoid pada folikel limfoid, menyebabkan ukuran plika menjadi kecil (atrofi). Sementara itu, epitel plika jumlahnya tidak berkurang, bahkan mengalami proliferasi sehingga lapis penutup plika terlihat berlekuk-lekuk atau terjadi pelipatan lapisan epitel penutup plika, karena deplesi folikel limfoid (Gambar 23). Sitoplasma pada epitel plika mengalami vakuolisasi, dan beberapa sel goblet menunjukkan ukuran yang semakin besar dengan bertambahnya umur ayam pascainfeksi. Aktivitas sel goblet yang meningkat ditunjukkan dengan pembentukan kista (Gambar 23). Reinfeksi virus vvibd pada kelompok ayam yang diinfeksi virus IBD Intermediate ed plus lokal maupun komersial menyebabkan perubahan seperti pada kelompok ayam yang hanya diinfeksi virus vvibd lokal. Atrofi plika yang umumnya ditemukan pada tahap kronis (Lukert & Saif 2003), ditemukan pada tahap akut. Menurut Tsukamoto et al. (1992), atrofi bursa fabricius ditemukan lebih awal, yaitu 3 atau 4 hari pascainfeksi pada ayam yang diinfeksi dengan virus vvibd lokal. Hal ini menunjukkan bahwa virus vvibd lokal yang diinfeksikan pada penelitian ini memang bersifat sangat ganas. Sementara itu, lesi kronis yang ditemukan pada tahap akut, menunjukkan bahwa sebelum dilakukan infeksi virus vvibd diduga telah terjadi infeksi virus alam nonspesifik. Lesi pada bursa fabricius disebabkan oleh terjadinya nekrosis sel limfoid dan apoptosis sel limfoid (Gambar 24) sesuai dengan yang dilaporkan (Tanimura et al. 1995). 9 Nekrosis dan apoptosis diperparah oleh sel heterofil dan sel makrofag (Lam 1998) serta sel limfosit T terutama populasi CD4 + dan CD8 + yang meningkat ngk pada infeksi IBD. Selanjutnya, sitokin yang dilepaskan oleh sel T

87 63 menimbulkan efek sitotoksik. Sementara itu, sitokin yang dilepaskan oleh makrofag memicu terjadinya inflamasi sehingga memperparah lesi pada bursa fabricius dan proliferasi RES di limpa dan timus. 2 m Gambar 24 Sel nekrosis (panah), sel apoptosis (kepala panah) pada folikel limfoid ditemukan pada bursa fabricius ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal pada 14 hari pascainfeksi. Pewarnaan HE. Pada tahap kronis, lesi akut di daerah interstisial bursa fabricius masih ditemukan pada umur 7 hari pascainfeksi pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus vvibd lokal dan kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial lalu direinfeksi virus vvibd lokal (Tabel 16). Lesi pada jaringan interstisial bursa fabricius menghilang 14 hari pascainfeksi, sebaliknya lesi pada folikel limfoid masih ditemukan dan cenderung meningkat. Deplesi limfoid sel pada folikel limfoid semakin parah, banyak folikel limfoid yang terlihat kosong atau terbentuk kista di dalam folikel limfoid. Banyaknya kista di dalam folikel limfoid pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus vvibd lokal atau direinfeksi dengan virus vvibd lokal dibandingkan dengan kelompok ayam kontrol, menunjukkan bahwa repopulasi sel

88 64 limfoid di dalam folikel limfoid tidak terjadi, atau bursa fabricius tidak mengalami penyembuhan hingga umur 14 hari pascainfeksi. Kondisi ini menyebabkan individu ayam yang diinfeksi atau direinfeksi dengan virus vvibd lokal mengalami imunosupresif sehingga mudah terjadi infeksi sekunder. Tabel 10 Rataan skor lesi HP berdasarkan sekuens waktu pascainfeksi dan distribusi lesi pada bursa fabricius pada tahap kronis Lesi Kontrol Diinfeksi virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Interemdiate plus lokal Diinfeksi virus IBD Interemdiate plus lokal + diinfeksi virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Interemdiate plus komersial Diinfeksi virus IBD Interemdiate plus komersial + diinfeksi virus vvibd lokal Umur ayam (pascainfeksi) Interstisial Edema*) Hemorhagi*) Sel radang*) Fibroplasia Folikel Limfoid Apoptosis*) s* Nekrosis sel limfoid*) Proliferasi sel RES*) Deplesi*) Epitel Plika Atrofi plika Kista Keterangan : *) lesi yang umumnya ditemukan pada tahap akut (Lukert & Saif, 2003) Hasil analisis menunjukkan bahwa infeksi virus vvibd lokal menyebabkan kerusakan yang parah pada organ bursa fabricius pada tahap akut (Tabel 17). Kerusakan yang parah juga ditemukan pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial lalu direinfeksi dengan virus vvibd lokal. Sebaliknya, infeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial hanya menyebabkan lesi yang ringan pada tahap akut. Lesi pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus vvibd dan kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial lalu direinfeksi dengan virus vvibd lokal masih ditemukan pada tahap kronis dengan tingkat keparahan yang sama. Infeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan infeksi virus IBD Intermediate ed plus komersial, tidak menyebabkan lesi yang berarti pada bursa

89 65 fabricius. Sementara itu, Infeksi virus vvibd lokal menimbulkan lesi bursa fabricius. yang parah. Infeksi awal oleh virus IBD Intermediate plus lokal dan virus IBD Intermediate plus komersial tidak mampu menahan sifat keganasan dari virus vvibd lokal. Tabel 11 Jumlah rataan skor lesi HP bursa fabricius Kelompok Perlakuan I. Kelompok kontrol 0,0 0,0 II. Diinfeksi virus vvibd lokal 17,0 13,0 III. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal IV. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal + virus vvibdlokal V. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial Umur ayam pascatantang 1 hr 2 hr 3 hr 7 hr 14 hr a b a 2,7 1,3 b 17,0 13,0 ab 4,7 3,3 VI. Diinfeksi virus IBD Intermediate b b c b bc 17,0 13,0 13,0 7,3 7,0 plus komersial + virus vvibd *Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang a b a b ab 0,0 11,0 2,7 10,3 3,3 a bc ab bc ab 0,0 6,7 0,0 6,7 2,5 a a b a b ab 0,0 8,7 1,7 9,0 1,7 c ab c ab Patologi Organ Limpa Perubahan PA pada organ limpa yang teramati pada kelompok ayam yang diinfeksi virus vvibd umumnya berupa kongesti. Perubahan HP yang ditemukan adalah proliferasi sel RES (Gambar 25) sesuai dengan Tanimura et al. (1995), di sekitar pulpa merah dan pulpa putih. Jumlah sel RES ditemukan tertinggi pada tahap akut, yaitu 2 hari pascainfeksi pada kelompok yang diinfeksi virus vvibd dan 3 hari pascainfeksi pada kelompok ayam yang diinfeksi virus vvibd Intermediate plus komersial lalu direinfeksi dengan virus vvibd lokal. Pada kelompok yang lain, jumlah sel RES tidak berbeda. Pada umur 7 hari pascainfeksi jumlah sel RES sama dengan kelompok kontrol dan cenderung menurun dibandingkan umur 2 hari pascainfeksi. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada organ limpa bersifat tidak menetap. Kerusakan yang ditimbulkan merupakan akibat meningkatnya produksi dan ekspresi sitokin oleh makrofag yang teraktivasi.

90 66 Gambar ar 25 Proliferasi sel RES pada organ limpa ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal pada 7 hari pascainfeksi. Pewarnaan HE. Tabel 12 Rataan skor jumlah sel RES pada pulpa merah dan pulpa putih limpa ayam pedaging pada berbagai kelompok perlakuan dan kelompok umur pascatantang Kelompok Perlakuan a I. Kelompok kontrol II. Diinfeksi virus vvibd lokal III. Diinfeksi virus IBD a 0.67 Intermediate plus lokal 0.33 IV. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal + a virus vvibd lokal V. Diinfeksi virus IBD a 0.67 a 0.00 Intermediate plus komersial Umur ayam pascainfeksi (hari) VI. Diinfeksi i virus IBD a 1.00 ab 1.00 bc 1.67 a 1.33 a 1.00 Intermediate plus komersial + virus vvibd lokal *Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata 0,05 a a b a ab c a ab abc ab a a a a a a a a a a

91 67 Infeksi virus vvibd lokal yang diberikan secara tunggal atau sebagai agen reinfeksi cenderung menyebabkan peningkatan sel RES. Fungsi sel RES adalah mengeliminir antigen yang menginfiltrasi organ. Baik secara langsung dengan jika ada antigen. Patologi Organ Timus Pengamatan pada organ timus ayam percobaan secara PA menunjukkan adanya a hiperemi pada organ timus yang mulai teramati pada tahap akut, yaitu sejak umur 1 hari pascainfeksi hingga 3 hari pascainfeksi. Perubahan HP yang terlihat menonjol selain hiperemi adalah nekrosis sel limfoid, reruntuhan sel limfoid banyak ditemukan dalam sel RES yang juga mengalami peningkatan (Tabel 20 dan Gambar 26). Tabel 13 Rataan skor jumlah sel RES pada korteks timus ayam pada berbagai kelompok perlakuan dan kelompok umur pascatantang Kelompok Perlakuan Umur ayam pascainfeksi (hari) I. Kelompok Kontrol a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 II. Diinfeksi virus vvibd lokal b ab b b a 1,0 1,0 1,7 1,7 1,0 III. Diinfeksi virus IBD a a a a a 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Intermediate plus lokal IV. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal + virus b 1,7 b 2,0 b 1,7 b 1,0 a 0,3 vvibd lokal V. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 VI. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial + virus vvibd lokal b 1,0 b 1,7 b 2,0 ab 0,7 a 0,3 *Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang

92 68 Gambar ar 26 Proliferasi sel RES/sel epitel retikular pada organ timus kelompok ayam yang diinfeksi virus vvibd lokal Pewarnaan HE. Tabel 14 Ketebalan korteks timus pada ayam pedaging berbagai umur dan kelompok Kelompok Perlakuan Umur ayam pascatantang 1 hr 2 hr 3 hr 7 hr 14 hr I. Kelompok Kontrol ab 3,2 ± 0,9 a 2,8 ± 0,3 abc 3,1 ± 0,6 a 3,6 ± 1,0 2,5 ± 1,0 II. Diinfeksi virus vvibd lokal a 3,9 ± 1,1 a 3,2 ± 0,5 b 2,4 ± 0,6 b 2,0 ± 0,5 3,5 ± 0,2 III. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal ab 2,7 ± 0,3 a 2,6 ± 0,6 a 3,6 ± 0,4 a 4,5 ± 0,4 3,6 ± 0,5 IV. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal + virus b 2,7 ± 0,3 a 2,6 ± 0,8 bc 2,5 ± 0,4 a 3,5 ± 0,4 2,8 ± 0,8 vvibd lokal V. Diinfeksi virus IBD Intermediate edia plus komersial ab 2,9± 0,2 b 1,4 ± 0,4 abc 2,7 ± 0,1 a 3,7 ± 0,8 3,0 ± 0,6 VI. Diinfeksi virus IBD Intermediate ed plus komersial + ab 3,5 ± 1,2 a 2,8 ± 0,2 c 2,4 ± 0,4 2,2 ± 0,1 3,7 ± 0,4 virus vvibd lokal *Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang a a a a a b a Hasil pengukuran ketebalan korteks timus dapat dilihat pada Tabel 21. Penipisan n korteks timus pada kelompok ayam yang diinfeksi virus vvibd berbeda dari kelompok kontrol hanya pada tahap kronis, yaitu 7 hari pascainfeksi. Sementara itu, pada timus kelompok ayam yang diinfeksi virus IBD Intermediate

93 69 plus komersial dan direinfeksi virus vvibd lokal ditemukan penipisan korteks timus pada umur 2 hari dan 7 hari pascainfeksi. Sebaliknya, pada timus kelompok ayam yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal dan direinfeksi dengan virus vvibd lokal tidak ditemukan penipisan korteks timus. Korteks timus yang menipis disebabkan sel timus mengalami deplesi karena terjadi nekrosis sel limfoid yang parah (Nonuya et al. 1992) maupun apoptosis (Inou et al. 1994). William & Davison (2005) menyatakan bahwa menipisnya korteks timus pada tahap akut diduga disebabkan adanya gangguan pada sistem sel T. Hasil penelitian ini i menunjukkan bahwa perubahan pada korteks timus tidak bersifat permanen. Deteksi Antigen pada Organ Bursa Fabricius, Limpa, dan Timus Antigen virus IBD tidak terdeteksi pada bursa fabricius kelompok ayam kontrol maupun bursa fabricius kelompok ayam yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial tetapi tidak direinfeksi virus vvibd lokal. Jumlah sel yang positif mengandung antigen sama banyak pada kelompok ayam yang diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal lalu direinfeksi dengan virus vvibd lokal dengan kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus IBD Intermediate plus komersial lalu direinfeksi dengan virus vvibd lokal (Tabel 22). Sel positif terdeteksi antigen virus vvibd tidak terdeteksi lagi pada umur 14 hari pascainfeksi pada organ bursa fabricius kelompok ayam yang diinfeksi, meskipun masih ditemukan lesi HP. Sementara itu, pada kelompok yang direinfeksi dengan virus vvibd lokal, sel yang positif terdeteksi antigen virus IBD dapat dideteksi sejak umur 1 hari pascareinfeksi di bagian korteks dan medula folikel limfoid hingga 14 hari pascareinfeksi, lebih lama dari kelompok yang diinfeksi virus vvibd lokal. Rautenschlein et al berpendapat bahwa hal ini kemungkinan disebabkan virus IBD membentuk kompleks dengan antibodi dan terperangkap di sel dendritik (RES). Virus IBD akan segera dilepaskan pada saat antibodi maternal turun, namun pendapat tersebut tidak didukung penjelasan bagaimana mekanisme pembentukan kompleks antigen antibodi. Keberadaan antigen pada bursa fabricius tidak berkorelasi dengan tingkat kerusakan. Pada kelompok ayam yang diinfeksi dengan virus vvibd lokal, pada umur 1-3 hari pascainfeksi antigen terdeteksi dengan jumlah lebih banyak dibandingkan pada umur 14 hari, pada

94 70 saat yang sama kerusakan yang terjadi pada bursa fabricius, lebih ringan dibandingkan dengan kerusakan pada umur 14 hari. Gambar ar 27 Antigen virus IBD terdeteksi pada sel limfoid, makrofag, dan sel heterofil di interstisial dan di folikel limfoid bagian korteks dan medula bursa fabricius kelompok ayam yang diinfeksi vvibd lokal. Pewarnaan IHK menggunakan antibodi poliklonal. Tabel 15 Rataan skor jumlah sel berantigen pada organ bursa fabricius ayam pedaging pada berbagai kelompok umur dan kelompok perlakuan Perlakuan I. Kelompok kontrol 0,0 0,0 Umur ayam pascatantang 1 hr 2 hr 3 hr 7 hr 14 hr II. Diinfeksi virus vvibd lokal 3,0 3,0 3,0 3,0 III. I. Diinfeksi IBD Intermediate plus a a a 0,0 0,0 0,0 lokal 0,0 IV. Diinfeksi vibdv Intermediate plus lokal + virus vvibd lokal b 2,3 ab 2,0 b 2,7 2,7 V. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial a 0,0 a 0,0 a 0,0 0,0 VI. Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial + virus vvibd b 3,0 b 3,0 b 3,0 2,0 lokal Keterangan r : huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada a b a b 0,0 a b 0,0 a b a b a ab 0,0 0,0 0,0 1,3 0,0 0,3 a a a b a ab perbedaan yang

95 71 Sel yang positif terdeteksi antigen virus IBD yang ditemukan adalah sel limfoid, sel makrofag sesuai yang dilaporkan Khatri et al. (2005) dan sel heterofil. Antigen terdeteksi intrasitoplasmik dan intranuklear. Jumlah sel yang positif terdeteksi antigen tertinggi ditemukan 3 hari pascainfeksi pada sel limfoid menunjang hasil penelitian Tanimura & Sharma (1998). Pada organ limpa dan timus pada kelompok ayam yang diinfeksi maupun yang direinfeksi dengan virus vvibd lokal, tidak terlihat sel yang positif terdeteksi antigen virus vvibd secara jelas. Hal ini kemungkinan karena pada saat terminasi antigen yang ada di limpa maupun timus jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak terdeteksi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Rautenschlein et al. (2005) yang menunjukkan bahwa antigen virus vvibd tidak selalu terdeteksi pada organ limpa pada 7 hari pascareinfeksi, pada ayam yang divaksinasi dengan berbagai jenis vaksin IBD pada umur 12 hari lalu ditantang dengan virus vvibd lokal pada 14 hari pascavaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa limpa dan timus bukan target utama virus IBD. Menurut Sharma et al. (1993), tidak ditemukannya antigen IBD pada timus yang mengalami lesi mengindikasikan bahwa lesi yang terjadi pada timus tidak ada hubungannya dengan replikasi virus pada sel timus. Lesi HP yang ditemukan pada timus ayam yang diinfeksi IM-virus IBD (Irwin Moultrop-virus IBD) mungkin disebabkan oleh meningkatnya apopotosis endogen sel timus (Tanimura & Sharma 1998). Titrasi Antibodi Hasil infeksi virus IBD Intermediate plus lokal maupun komersial tidak menaikkan titer antibodi terhadap IBD, sebaliknya mengalami penurunan titer antibodi yang lebih cepat dibandingkan pada ayam kelompok kontrol (Tabel 23). Hal ini kemungkinan disebabkan sel B banyak yang mengalami deplesi. Seminggu setelah diinfeksi virus vvibd Intermediate plus lokal maupun komersial, sebanyak 30% ayam titer antibodi terhadap virus IBD rendah ( Hal ini disebabkan titer antibodi maternal yang tinggi menetralisasi virus yang berasal dari virus vvibd Intermediate plus lokal maupun komersial, sehingga hanya sedikit respons kekebalan aktif yang dihasilkan. Pada kelompok yang direinfeksi virus vvibd lokal, titer antibodi naik. Antibodi yang dihasilkan

96 72 tersebut bukan antibodi yang diinduksi oleh virus IBD Intermediate plus lokal atau komersial, tetapi antibodi yang diinduksi oleh virus vvibd lokal.

97

98 72 Tabel 16 Sebaran nilai titer antibodi terhadap virus vvibd pada ayam percobaan yang diuji dengan serum netralisasi titer Antibodi Kelompok Ayam Umur Ayam Jumlah sampel serum Preinfeksi minggu pascainfeksi IBDV Intermediete plus lokal atau komersial /umur 2 minggu 2 minggu pascainfeksi IBDV Intermediete plus lokal atau komersial /umur 3 minggu Kelompok kontrol Diinfeksi virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal + virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial + virus vvibd lokal Kelompok kontrol Diinfeksi virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal + virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial + virus vvibd lokal

99 73 tabel lanjutan Umur Ayam Kelompok Ayam 3 minggu pascareinfeksi IBDV Intermediete plus lokal atau komersial /umur 4 minggu Titer Antibodi Jumlah sampel serum Kelompok kontrol Diinfeksi virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus lokal virus vvibd lokal Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial Diinfeksi virus IBD Intermediate plus komersial virus vvibd lokal

MATERI DAN METODE. Reidentifikasi Virus. virus IBD lokal & komersial, vvibd lokal. Diinfeksikan pada Ayam. Bursa Fabricius, serum.

MATERI DAN METODE. Reidentifikasi Virus. virus IBD lokal & komersial, vvibd lokal. Diinfeksikan pada Ayam. Bursa Fabricius, serum. MATERI DAN METODE Alur Penelitian Reidentifikasi Virus virus IBD lokal & komersial virus IBD lokal & komersial, vvibd lokal Patogenesis Diinfeksikan pada Embrio Diinfeksikan pada Ayam Derajat lesi, deteksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Etiologi IBD

TINJAUAN PUSTAKA. Etiologi IBD TINJAUAN PUSTAKA Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit pada ayam yang pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 berdasarkan kasus yang terjadi pada tahun 1956 di Desa Gumboro-Delaware,

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

EVALUASI HASIL PENGUJIAN UJI KEAMANAN VAKSIN GUMBORO AKTIF DI BBPMSOH TAHUN

EVALUASI HASIL PENGUJIAN UJI KEAMANAN VAKSIN GUMBORO AKTIF DI BBPMSOH TAHUN EVALUASI HASIL PENGUJIAN UJI KEAMANAN VAKSIN GUMBORO AKTIF DI BBPMSOH TAHUN 2000-2005 NUR K. HIDAYANTO, IDA L. SOEDIJAR, DEWA M.N. DHARMA, EMILIA, E. SUSANTO, DAN Y. SURYATI Balai Besar Pengujian Mutu

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging ABSTRAK Bursa Fabrisius merupakan target organ virus Infectious Bursal Disease (IBD) ketika terjadi infeksi, yang sering kali mengalami kerusakan setelah ayam divaksinasi IBD baik menggunakan vaksin aktif

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infectious Bursal Disease Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit viral pada ayam dan terutama menyerang ayam muda (Jordan 1990). Infectious Bursal Disease pertama

Lebih terperinci

UJI TANTANG DENGAN VIRUS IBD ISOLAT LAPANG PADA AYAM YANG MENDAPATKAN VAKSIN IBD AKTIF DAN INAKTIF KOMERSIL

UJI TANTANG DENGAN VIRUS IBD ISOLAT LAPANG PADA AYAM YANG MENDAPATKAN VAKSIN IBD AKTIF DAN INAKTIF KOMERSIL UJI TANTANG DENGAN VIRUS IBD ISOLAT LAPANG PADA AYAM YANG MENDAPATKAN VAKSIN IBD AKTIF DAN INAKTIF KOMERSIL NATIVE VIRUS CHALLENGE TEST AGAINST VACCINATED CHICKENS WITH COMMERCIAL ACTIVE AND INACTIVE IBD

Lebih terperinci

Patogenesitas Virus Gumboro Isolat Lokal pada Ayam Pedaging

Patogenesitas Virus Gumboro Isolat Lokal pada Ayam Pedaging Jurnal Veteriner Desember 2011 Vol. 12 No. 4: 288-299 ISSN : 1411-8327 Patogenesitas Virus Gumboro Isolat Lokal pada Ayam Pedaging (PATHOGENICITY OF LOCAL ISOLATES OF GUMBORO VIRUS IN BROILERS) Sutiastuti

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Pedaging

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Pedaging 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya ABSTRAK Vaksin Infectious Bursal Disease (IBD) dilaporkan menyebabkan kerusakan pada bursa Fabricius setelah vaksin. Kerusakan pada bursa Fabrisius ini menyebabkan gangguan pada organ imun hospes sehingga

Lebih terperinci

Gambaran Patologi Bursa Fabricius Embrio Ayam Pascavaksinasi Gumboro Secara In Ovo Menggunakan Vaksin Lokal dan Komersial

Gambaran Patologi Bursa Fabricius Embrio Ayam Pascavaksinasi Gumboro Secara In Ovo Menggunakan Vaksin Lokal dan Komersial Jurnal Veteriner September 2015 Vol. 16 No. 3 : 399-408 ISSN : 1411-8327 Terakreditasi Nasional SK. No. 15/XI/Dirjen Dikti/2011 Gambaran Patologi Bursa Fabricius Embrio Ayam Pascavaksinasi Gumboro Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia memegang peran penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dibudidayakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas Virus H 5 N yang sangat patogen atau yang lebih dikenal dengan virus flu burung, menyebabkan penyebaran penyakit secara cepat di antara unggas serta dapat menular

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus Jaringan limfoid sangat berperan penting untuk pertahanan terhadap mikroorganisme. Ayam broiler memiliki jaringan limfoid primer (timus dan bursa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Newcastle Disease (ND) atau penyakit tetelo disebabkan oleh strain virulen avian Paramyxovirus serotipe tipe 1 (AMPV-1) dari genus Avulavirus yang termasuk dalam subfamily

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

MARTHEN B.M. MALOLE, WASMEN MANALU,

MARTHEN B.M. MALOLE, WASMEN MANALU, ABSTRACT MUHAMAD SAMSI. The Tea Parasite (Scurrula oortiana) Extract as Immunomodulator and Antitumor on the Infection of Marek s Disease Virus (MDV) Serotype 1 Oncogenic in Chicken. Under supervision

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Organ limfoid primer unggas terdiri dari timus dan bursa Fabricius sedangkan pada mamalia terdiri dari sumsum tulang. Limpa, limfonodus dan MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Hasil pengamatan histopatologi bursa Fabricius yang diberi formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan beberapa perubahan umum seperti adanya

Lebih terperinci

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS i DR. DRH. GUSTI AYU YUNIATI KENCANA, MP Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pada unggas yang sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

ABSTRAK Uji coba vaksinasi ND-AI dan Gumboro dilakukan pada ayam pedaging berumur satu hari. Pengamatan patologi anatomi dilakukan pada periode dua

ABSTRAK Uji coba vaksinasi ND-AI dan Gumboro dilakukan pada ayam pedaging berumur satu hari. Pengamatan patologi anatomi dilakukan pada periode dua RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar, Bali pada tanggal 6 Maret 1994, anak kedua dari tiga bersaudara pasangan suami-istri I Ketut Gede Sugiarta dengan Ni Wayan Suniti, S.Pd. Penulis tamat dari

Lebih terperinci

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Denpasar, 13 Desember 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Made Wirtha dan Ibu dr. Ni Putu Partini Penulis menyelesaikan

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT

GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT GAMBARAN HISTOPATOLOGI USUS HALUS DAN SEKAL TONSIL PADA AYAM BROILER YANG TERINFEKSI MAREK DAN PENGARUH PEMBERIAN ZINK, BAWANG PUTIH DAN KUNYIT SRI ULINA BR TUMANGGOR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Gianyar, 11 Nopember 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Ketut Ardika dan Ibu Ni Wayan Suarni. Penulis menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR (Kaempferia galanga Linn) PADA RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER, KADAR KOLESTROL, PERSENTASE HATI DAN BURSA FABRISIUS SKRIPSI

Lebih terperinci

STUDI RESEPTOR VIRUS INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA ORGAN LIMFOID AYAM PASCA VAKSINASI DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA RESTU LIBRIANI

STUDI RESEPTOR VIRUS INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA ORGAN LIMFOID AYAM PASCA VAKSINASI DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA RESTU LIBRIANI i STUDI RESEPTOR VIRUS INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA ORGAN LIMFOID AYAM PASCA VAKSINASI DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA RESTU LIBRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 ii iii

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk.,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk., PENDAHULUAN Latar Belakang Tortikolis adalah gejala yang umum terlihat di berbagai jenis unggas yang dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk., 2014). Menurut Capua

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

DISTIBUSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA JARINGAN TUBUH ITIK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA KUSUMA SRI HANDAYANI

DISTIBUSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA JARINGAN TUBUH ITIK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA KUSUMA SRI HANDAYANI DISTIBUSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA JARINGAN TUBUH ITIK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA KUSUMA SRI HANDAYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA BIDANG KEGIATAN PENELITIAN VAKSIN LOKAL AYAM ASAL FESES TEPAT GUNA

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA BIDANG KEGIATAN PENELITIAN VAKSIN LOKAL AYAM ASAL FESES TEPAT GUNA LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA BIDANG KEGIATAN PENELITIAN VAKSIN LOKAL AYAM ASAL FESES TEPAT GUNA Disusun Oleh: Putri Ekandini B04100015 Anisa Rahma B04100014 Mulyani Nofriza B04100044 Dwi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM COMPARISON OF HI TEST AND ELISA FOR DETECTING ANTIBODY MATERNAL ND ON DAY OLD CHICK Oleh : Rahaju Ernawati* ABSTRACT This

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Seleksi Bibit

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Seleksi Bibit 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Ayam pedaging adalah galur ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek,

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS. Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si

PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS. Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si PATOGENESIS INFEKSI VIRUS Port d entree Siklus replikasi virus Penyebaran virus didalam tubuh Respon sel terhadap infeksi Virus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Pemeriksaan diferensial leukosit ayam broiler dalam kelompok perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian berlangsung. Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan terhadap gejala klinis pada semua kelompok perlakuan, baik pada kelompok kontrol (P0) maupun pada kelompok perlakuan I, II dan III dari hari pertama sampai pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan makanan yang memiliki nilai gizi baik akan meningkat.

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perubahan histopatologi trakea Parameter yang diperiksa pada organ trakea adalah keutuhan silia, keutuhan epitel, jumlah sel goblet, dan sel radang. Pada lapisan mukosa, tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Avian influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong virus RNA (Ribonucleic acid)

Lebih terperinci

(Q. Surah Al-Luqman: 27).

(Q. Surah Al-Luqman: 27). II Bacalah dengan menyebu t nama 'ruhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan TUhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog Cholera Hog cholera atau kolera babi merupakan salah satu penyakit menular yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia (Fenner et al., 2003) dengan tingkat kematian

Lebih terperinci

UJI TANTANG DENGAN VIRUS IBD ISOLAT LAPANG PAD A AYAM YANG MENDAPATKAN VAKSIN IBD AKTIF DAN INAKTIF KOMERSIL

UJI TANTANG DENGAN VIRUS IBD ISOLAT LAPANG PAD A AYAM YANG MENDAPATKAN VAKSIN IBD AKTIF DAN INAKTIF KOMERSIL UJI TANTANG DENGAN VIRUS IBD ISOLAT LAPANG PAD A AYAM YANG MENDAPATKAN VAKSIN IBD AKTIF DAN INAKTIF KOMERSIL NATIVE VIRUS CHALLENGE TEST AGAINST VACCINATED CHICKENS WITH COMMERCIAL ACTIVE AND INACTIVE

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57) KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH

ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57) KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH ASPEK DIAGNOSIS DAN PATOGENESIS ISOLAT LOKAL CANINE PARVOVIRUS (RIVS 57) KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH. Aspek

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMA KASIH... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI kol FKH IPB tahun 3 6 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel ). Uji HA

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOPATOLOGI DAN IMMUNOLOGI PADA AYAM SPECIFIC PATHOGEN FREE (SPF) SETELAH DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN GUMBORO AKTIF STRAIN INTERMEDIATE

KAJIAN MORFOPATOLOGI DAN IMMUNOLOGI PADA AYAM SPECIFIC PATHOGEN FREE (SPF) SETELAH DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN GUMBORO AKTIF STRAIN INTERMEDIATE Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. ll Thhun 2005 KAJIAN MORFOPATOLOGI DAN IMMUNOLOGI PADA AYAM SPECIFIC PATHOGEN FREE (SPF) SETELAH DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN GUMBORO AKTIF STRAIN INTERMEDIATE Syahroni

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING KOMERSIAL DEVA PUTRI ATTIKASARI

GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING KOMERSIAL DEVA PUTRI ATTIKASARI GAMBARAN RESPON VAKSINASI IBD MENGGUNAKAN VAKSIN IBD INAKTIF PADA AYAM PEDAGING KOMERSIAL DEVA PUTRI ATTIKASARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Etiologi Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). HBV merupakan famili Hepanadviridae yang dapat menginfeksi manusia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

RINGKASAN. Kata kunci : Titer antibodi ND, Newcastle Disease, Ayam Petelur, Fase layer I, Fase Layer II

RINGKASAN. Kata kunci : Titer antibodi ND, Newcastle Disease, Ayam Petelur, Fase layer I, Fase Layer II RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titer antibody terhadap penyakit Newcastle Disease (ND) pada ayam petelur fase layer I dan fase layer II pasca vaksinasi ND. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada Januari sampai Mei 2011 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH PENAMBAHAN YEAST

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Newcastle Disease (ND) disebut juga dengan penyakit Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini ditemukan hampir diseluruh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Ayam peliharaan merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan yang ditangkap dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

PEMBERIAN GLUTAMIN, DEKSTRIN DAN KOMBINASINYA SECARA IN OVO TERHADAP RESPON IMUN, PROFIL DARAH DAN KOMPOSISI KARKAS AYAM BROILER JANTAN

PEMBERIAN GLUTAMIN, DEKSTRIN DAN KOMBINASINYA SECARA IN OVO TERHADAP RESPON IMUN, PROFIL DARAH DAN KOMPOSISI KARKAS AYAM BROILER JANTAN PEMBERIAN GLUTAMIN, DEKSTRIN DAN KOMBINASINYA SECARA IN OVO TERHADAP RESPON IMUN, PROFIL DARAH DAN KOMPOSISI KARKAS AYAM BROILER JANTAN INTAN MUSTIKA HERFIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( )

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( ) Pendahuluan : NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin (078114032) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Newcastle Disease (ND) juga di kenal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ayam kampung

TINJAUAN PUSTAKA Ayam kampung TINJAUAN PUSTAKA Ayam kampung Batasan yang pasti mengenai pengertian ayam kampung sampai saat ini belum ada. Penyebutan ayam kampung hanya untuk menunjukkan jenis ayam lokal dengan keragaman genetis tinggi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah penyakit menular ganas pada babi yang disebabkan oleh virus dengan gejala utama gangguan reproduksi

Lebih terperinci

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Dosis Infeksi MDV Pengamatan histopatologi dilakukan terhadap lima kelompok perlakuan, yaitu kontrol (A), 1 x 10 3 EID 50 (B), 0.5 x 10 3 EID 50 (C), 0.25 x 10 3 EID 50 (D)

Lebih terperinci

DISTIBUSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA JARINGAN TUBUH ITIK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA KUSUMA SRI HANDAYANI

DISTIBUSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA JARINGAN TUBUH ITIK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA KUSUMA SRI HANDAYANI DISTIBUSI VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) PADA JARINGAN TUBUH ITIK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA KUSUMA SRI HANDAYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maternal Antibodi pada Anak Babi (Piglet) Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau kekebalan turunan dari induk pada anak babi yang induknya

Lebih terperinci