HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Dosis Infeksi MDV Pengamatan histopatologi dilakukan terhadap lima kelompok perlakuan, yaitu kontrol (A), 1 x 10 3 EID 50 (B), 0.5 x 10 3 EID 50 (C), 0.25 x 10 3 EID 50 (D) dan x 10 3 EID 50 (E). Evaluasi dilakukan secara kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh dosis yang tepat untuk uji tantang yang akan digunakan pada tahap penelitian selanjutnya. Adapun waktu pengamatan adalah 20 dan 40 hari pascainfeksi (p.i.), dan organ yang dievaluasi di antaranya hati, limpa, proventrikulus, bursa Fabricius dan paru-paru. Pengamatan khusus dilakukan dengan menghitung jumlah sel-sel neoplasma (limfoblast dan limfosit) dengan memberikan nilai sebagai berikut : + : jumlah sel-sel limfoid kurang dari 50 dalam satu kelompok ++ : jumlah sel-sel limfoid dalam satu kelompok +++ : jumlah sel-sel limfoid lebih dari 100 dalam satu kelompok. Infeksi MDV pada organ hati menyebabkan lesio berupa dilatasi sinusoid, peningkatan jumlah sel Kupffer, degenerasi sel-sel hati serta infiltrasi sel-sel limfoid sebagai indikasi kejadian infeksi. Kelompok D dan E menunjukkan perubahan yang sangat minimal pada infiltrasi sel-sel limfoid pada 20 dan 40 hari p.i. Hasil evaluasi infiltrasi sel-sel limfoid pada kelompok C adalah positif 1 (+) pada 40 hari p.i., sedangkan B menunjukkan reaksi yang lebih banyak, yaitu positif 2 (++). Sel-sel tersebut ditemukan pada sinusoid yang mengalami dilatasi, dan jumlah sel yang terus bertambah akan menyebabkan hemoragi regional. Daerah infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan di daerah portal atau di dekat vena sentralis.

2 Gambar 7 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV) dosis x 10 3 EID 50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Perubahan histopatologi organ hati menunjukkan adanya dilatasi sinusoid dan infiltrasi limfosit dan limfoblast ( ) Gambar 8 Fotomikrograf hati ayam yang diinfeksi virus Marek (MDV) dosis 1 x 10 3 EID 50 pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Menunjukkan adanya infiltrasi sel-sel mononuklear ( ) di antara segitiga Kiernen di daerah lobulus. Pemeriksaan organ limpa menunjukkan bahwa pada tahap awal infeksi ditemukan infiltrasi sel-sel makrofag dan limfosit yang minimal pada pulpa putih. Pada

3 beberapa pulpa putih maupun pulpa merah ditemukan sel-sel limfoid yang mengalami karioreksis, yaitu inti terpecah menjadi fragmen-fragmen kecil. Jumlah sel-sel tumor sangat jelas pada kelompok B terutama pada 40 hari p.i., yaitu positif 3 (+++) dan keberadaan sel-sel tersebut dapat ditemukan pada pulpa putih, pulpa merah, dan daerah sinus. Pengamatan yang lebih intensif pada pulpa putih menunjukkan reaksi degenerasi dan nekrosis pada sel-sel mononuklear pada bagian sentral. Pengamatan pada proventrikulus, bursa Fabricius, dan paru-paru menunjukkan reaksi yang sama, yaitu infiltrasi sel-sel limfoid ditemukan secara dominan pada dosis infeksi MDV 1 x 10 3 EID50 (B). Hasil yang diperoleh pada tahapan uji ini dapat ditentukan bahwa untuk penelitian selanjutnya akan digunakan dosis 1 x 10 3 EID 50. Bobot Relatif Organ Bursa Fabricius, Timus, dan Limpa Kinerja sistem imun juga dapat diukur dari bobot relatif organ limfoid. Bursa Fabricius berperan pada pematangan limfosit B dan timus berperan pada pematangan limfosit T, yang merupakan organ limfoid primer. Infeksi MDV pada ayam diawali dengan periode infeksi sitolisis produktif, MDV menginfeksi limfosit B pada bursa Fabricius maupun limfosit T pada timus, dan terjadi replikasi DNA, sintesis protein, dan perbanyakan partikel virus. Pada puncak infeksi terjadi sitolisis dan kematian sel, atropi pada bursa Fabricius dan timus sehingga terjadi imunosupresi, penurunan bobot relatif organ limfoid bursa Fabricius, dan timus yang dapat dijadikan sebagai indikator imunosupresi sebagai akibat dari infeksi MDV. Periode infeksi MDV meliputi 3 bentuk, yaitu infeksi akut (produktif) yang menimbulkan lisis sel, dilanjutkan infeksi laten yang bersifat nonproduktif, dan infeksi transforming. Pada infeksi produktif terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein, dan menghasilkan partikel virus. Virus menginfeksi dan merusak limfosit B maupun limfosit T. Selama infeksi terjadi sitolisis pada puncak replikasi virus sehingga menyebabkan imunosupresi, dan meningkat kepekaan terhadap infeksi, bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa Fabricius dan timus (Davison 1997, Calnek et al 1998, Payne dan Venagupol 2000, dan Islam et al. 2002). Replikasi virus herpes pada bursa Fabricius dan timus menimbulkan imunosupresi transien, perubahan sitolitik akut pada organ ini ditandai dengan atropi. Pada infeksi eksperimental terjadi lesi bursa Fabricius mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga mengalami atrofi, dan pembentukan kista. Timus mengalami atrofi, limfosit hilang baik pada korteks maupun medula. Benda inklusi intranuklear dapat muncul pada sel yang mengalami degenerasi

4 (Fadly 2000). Rataan bobot relatif organ bursa Fabricius pada berbagai kelompok perlakuan benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i. Peubah Perlakuan A B C D Bursa Faricius 0,0037 ± 0,0003 a 0,0031 ± 0,0002 ab 0,0022 ± 0,0008 b 0,0021 ± 0,0009 b Timus 0,0054 ± 0,0007 a 0,0053 ± 0,0003 a 0,0033 ±0,0025 ab 0,0019 ± 0,0003 b Limpa 0,0039 ± 0,0007 a 0,0034 ± 0,0004 a 0,0042 ± 0,0011 a 0,0029 ± 0,0010 a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis statistik bobot relatif bursa Fabricius menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan dengan pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0037 dan berbeda dari kelompok dari pemberian benalu dan infeksi MDV (C) yang memiliki nilai 0,0022, dan juga berbeda dari perlakuan yang tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D), yaitu 0,0021. Tingginya ratio bobot bursa Fabricius disebabkan oleh pengaruh imunomodulator dari ekstrak S. oortiana 10 mg/kg bobot badan. Rendahnya bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok perlakuan C dan D disebabkan oleh infeksi produktif yang menimbulkan sitolisis MDV pada 20 p.i. Adanya imunomodulasi pemberian ekstrak S. oortiana pada kelompok ayam tanpa infeksi MDV perlakuan A ditandai dengan perbaikan performan bursa Fabricius berdasarkan bobot relatif organ tersebut, dan terjadinya imunosupresi pada kelompok ayam yang diinfeksi MDV baik yang diberi ekstrak S. oortiana maupun tanpa diberi ekstrak S. oortiana. Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV adalah 0,031 tidak berbeda dengan semua kelompok perlakuan. Hasil analisis statistik bobot relatif timus menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0054 yang tidak berbeda dari kelompok yang diberi perlakuan tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV (B) sebesar 0,0053. Kelompok A dan B berbeda dari perlakuan D, yaitu tanpa diberi benalu teh diinfeksi MDV (0,0019). Hal ini menunjukkan bahwa

5 perlakuan infeksi MDV menimbulkan imunosupresi dilihat dari turunnya bobot relatif timus. Imunodefisiensi mungkin disebabkan oleh cacat pada pendewasaan limfosit atau aktivasinya atau gangguan pada mekanisme efektor imunitas alami maupun imunitas perolehan. Proses pendewasaan limfosit dari sel stem ke komponen sel fungsional limfosit dewasa termasuk proliferasi, ekspresi reseptor antigen, seleksi sel sehingga memiliki spesifitas, dan perubahan pada ekspresi sejumlah gen (Abbas et al. 2000). Kriteria dari imunosupresif meliputi 1) kejadian awal infeksi sitolisis, 2) atropi bursa Fabricius dan timus yang diukur dari persentase bobot organ limfoid terhadap bobot tubuh pada 8-14 pascainfeksi (p.i), 3) perubahan histopatologi, yaitu nekrosis dan atropi organ limfoid. Disimpulkan bahwa tingkat imunosupresi adalah berhubungan dengan virulensi dan ukuran organ yang mengalami perubahan atropi bursa Fabricius dan timus dapat digunakan sebagai pengukuran patotipe pada isolat baru MDV (Calneck et al. 1998). Kelompok dengan pemberian benalu teh dan diinfeksi MDV (C) memiliki nilai 0,0033 yang tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan baik A, B, maupun D. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ekstrak benalu teh mampu menghambat proses terjadinya sitolisis pada timus akibat infeksi sitolitik MDV. Perlakuan C tidak terpengaruh oleh adanya imunosupresi yang disebabkan oleh MDV yang diimbangi oleh pengaruh imunomodulasi oleh ekstrak benalu teh (S. oortiana). Adanya imunomodulator berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius pada pemberian ekstrak benalu teh tanpa infeksi MDV dan imunomodulator berdasarkan bobot relatif timus pada kombinasi pemberian benalu teh dan disertai infeksi.mdv. Dengan demikian ekstrak benalu teh (S. oortiana) mampu memperbaiki performan sistem imun organ limfoid primer baik pada bursa Fabricius maupun timus pada 20 hari p.i. Hasil pengukuran bobot relatif limpa pada 20 p.i. tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di antara keempat kelompok perlakuan. Kondisi tersebut menjelaskan tidak ada pengaruh perlakuan yang diberikan pada bobot relatif organ atau tidak terjadi imunosupresi. Pada akhir masa perlakuan, yaitu pada 40 p.i., bobot relatif organ bursa Fabricius, timus, maupun limpa tidak berbeda di antara keempat kelompok perlakuan (Tabel 2). Hal ini dimungkinkan sudah berakhirnya masa imunosupresi sebagai tahapan awal infeksi MDV yang bersifat transien, yaitu bersifat sementara. Ayam komersial

6 mengandung antibodi maternal MDV dan kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV bergantung pada variabel yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi, yaitu hari ketiga sampai dengan 35 pascainfeksi (Islam 2002, dan Fadly 2000). Replikasi virus herpes yang produktif pada bursa Fabricius dan timus yang menimbulkan transien imunosupresi, perubahan sitolitik akut pada organ ini ditandai dengan atropi. Tabel 2 Rataan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i. Perlakuan Peubah A B C D Bursa Fabricius 0,0009 ± 0,0003 a 0,0009 ± 0,0001 a 0,0011 ± 0,0002 a 0,0010 ± 0,0002 a Timus 0,0059 ± 0,0016 a 0,0058 ± 0,0027 a 0,0047 ± 0,0001 a 0,0063 ± 0,0008 a Limpa 0,0031 ± 0,0005 a 0,0029 ± 0,0004 a 0,0027 ± 0,0009 a 0,0028 ± 0,0013 a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Ukuran Diameter Folikel Bursa Fabricius Rataan ukuran folikel organ bursa Fabricius pada berbagai kelompok perlakuan benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik pada hari ke 20 p.i menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki ukuran 392,694 µm, yang tidak berbeda dari perlakuan B, yaitu memiliki ukuran 393,666 µm. Perlakuan A dan B berbeda dengan perlakuan dengan pemberian benalu teh dan infeksi MDV (C) yang memiliki ukuran 252,580 µm, juga berbeda dari perlakuan tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D) yang memiliki ukuran 214,207 µm. Rendahnya ukuran diameter folikel bursa Fabricius sebagai akibat perlakuan infeksi baik yang diberi ekstrak S. oortiana maupun tidak. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa ekstrak S. oortiana belum mampu berperan sebagi imunomodulator mencegah infeksi produktif MDV yang menimbulkan sitolisis pada hari ke 20 p.i berdasarkan ukuran diameter folikel bursa Fabricius dengan cara mencegah imunosupresi pada 20 hari p.i. Sesuai dengan Fadly (2000) bahwa replikasi virus herpes yang produktif pada bursa Fabricius menyebabkan perubahan sitolitik akut pada organ ini yang ditandai dengan atropi. Infeksi eksperimental menyebabkan lesi bursa Fabricius

7 mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga bursa mengalami atropi, dan terjadi pembentukan kista. Tabel 3 Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm) ayam 20 dan 40 hari pascainfeksi (p.i.) Pascainfeksi Rataan diameter folikel bursa Fabricius (µm) (hari) A B C D 20 hari p.i 392,69 ± 15,48 a 393,67 ± 15,34 a 252,58 ± 34,58 b 214,283 ± 17,29 b 40 hari p.i 187,13 ± 10,64 b 201,47 ± 5,94 b 258,33 ± 27,89 a 224,367 ± 22,30 ab Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis ukuran diameter folikel bursa Fabricius pada 40 hari p.i. menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antarkelompok perlakuan (p<0.05). Kelompok perlakuan A memilki ukuran 187,133 µm yang tidak berbeda dari perlakuan B yang memiliki ukuran 201,466 µm. Kelompok perlakuan C yang memiliki ukuran 258,333 µm berbeda dari perlakuan A, perlakuan B, maupun perlakuan D. Kelompok perlakuan D memiliki ukuran 217,825 µm yang tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan baik A, B, maupun C. Rendahnya diameter folikel bursa Fabricius pada kelompok perlakuan tanpa infeksi (A dan B) adalah akibat involusi organ bursa Fabricius sesuai dengan bertambahnya umur. Pembesaran folikel bursa Fabricius 40 hari p.i pada kelompok perlakuan C disebabkan telah terlewatinya masa infeksi produktif yang menyebabkan imunosupresi dan adanya pengaruh imunomodulator dari efeki kombinasi antara ekstrak S. oortiana 10 mg/kg bobot badan dengan imunostimulator akibat infeksi MDV. Pemeriksaan Imunohistokimia Enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase (inos) pada Jaringan Pada saat fagositosis, makrofag dan neutrofil juga memproduksi oksigen toksik yang bertugas membantu membunuh dan menelan mikroorganisme. Nitrit oksida (NO) yang diproduksi oleh enzim Inducible Nitric Oxyde Synthase (inos), secara langsung toksik terhadap bakteri. Kemampuan aktivitas makrofag untuk mengeluarkan mediator toksik adalah pada pertahanan inang karena kemampuannya melawan ekstra seluler patogen yang tidak tertelan (Janeway et al. 2001). Imunoreaktivitas terhadap inos pada jaringan hati dapat dilihat pada Gambar 7.

8 Pengamatan hasil pewarnaan imunohistokimia inos menunjukkan bahwa pemberian ekstrak S. oortiana dan uji tantang dengan MDV onkogen menyebabkan peningkatan (p<0.05) pembentukan inos dalam jaringan hati. Keberadaan inos berdasarkan reaksi positif dengan pewarnaan imunohistokimia pada jaringan hati diduga terkait dengan aktivitas sel-sel makrofag dalam hati yang diekspresikan oleh sel-sel sinusoid. Kelompok ayam yang diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (A = 3,464) memicu peningkatan (p<0.05) pembentukan inos lebih banyak jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa infeksi MDV (B = 1,227 ). Ekstrak benalu teh mampu meningkatkan produksi inos setelah pemberian 20 hari p.i pada ayam. Pengaruh tindakan pemberian ekstrak S. oortiana terjadi pada ayam tanpa infeksi. Daun dan batang benalu teh mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin yang berperan sebagi antioksidan. Di Eropa dan Amerika ada jenis benalu yang digunakan untuk mengobati tumor atau kanker, yaitu ada beberapa tanaman misalnya benalu teh (Viscum album L) yang dalam percobaan bersifat imunomodulator melalui pengaktifan sel granulosit dan makrofag yang memberi sifat antitumor (Windardi dan Rahajoe. 1998, Achi 2000). E A B

9 E M M M E C D Gambar 9 Fotomikrograf hati ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap inos metode SAB dan counterstain Hematoksilin. Imunoreaktivitas positif terhadap inos ( ) pada organ ha ditemukan pada endotel (E) dan makrofag (M), 20 hari p.i. (A) Kelompok ekstrak benalu teh, (B) Kelompok kontrol, (C) Kelompok ekstrak benalu teh dan infeksi MDV, (D) infeksi MDV. Bar = 30 µm. Saat fagositosis, makrofag dan neutrofil sebagai sel efektor juga memproduksi oksigen toksik gabungan fagosom dan lisosom menjadi fagololisosom yang bertugas membantu membunuh dan menelan mikroorganisme. Kejadian yang penting di antaranya adalah kerja hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), superoksida anion (O 2 - ), dan Nitrogen oksida (NO), secara langsung toksik terhadap bakteri (Abbas et al. 2000, Janeway et al. 2001). Tabel 4 Rataan jumlah reaksi positif terhadap inos pada hati ayam 20 hari pascainfeksi (p.i.) Perlakuan A B C D Rataan jumlah inos per lapang pandang 3,464 ± 0,208 b 1,227 ± 0,271 c 6,633 ± 0,305 a 6,400 ± 0,265 a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV

10 B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang mengalami infeksi MDV (C = 6,633) tidak mengalami peningkatan jika dibanding kelompok ayam yang diberi perlakuan tanpa diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV (D) sebesar 6,400. Kedua kelompok ayam perlakuan baik kelompok C maupun D mengalami peningkatan (p<0.05) pembentukan inos lebih banyak jika dibanding dengan kelompok perlakuan A maupun perlakuan B. Penelitian terahir menggambarkan bahwa inducible nitric oxyde synthase (inos) terlibat dalam kelainan metabolik yang dihubungkan dengan inflamasi kronis tingkat ringan, aterosklerosis, dan peningkatan tumor necrosis factor (TNF) (Muntalib 2003). Infeksi MDV memiliki pengaruh lebih kuat meningkatkan jumlah sel yang menghasilkan inos jika dibandingkan dengan pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana. Namun jika tindakan infeksi MDV dikombinasikan dengan pemberian ekstrak S. oortiana tidak terjadi peningkatan produksi inos akibat perlakuan kombinasi tersebut. Uji Tingkat Imunitas pada MDV dengan Metode ELISA Untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan ekstrak benalu teh dalam mempengaruhi respons imun humoral terhadap MDV, dilakukan pengamatan terhadap titer antibodi Marek s secara kuantitatif dengan cara membandingkan tingginya titer antibodi antarperlakuan. Respons peningkatan maupun penurunan titer antibodi terhadap penyakit Marek pada penelitian ini dipengaruhi oleh pemberian ekstrak S. oortiana maupun uji tantang infeksi MDV. Pengambilan serum darah dilakukan secara bertahap, yaitu pada 10, 20, dan 30 hari p.i., titer antibodi diukur secara kuantitatif berdasarkan tinggi rendahnya antibodi terhadap MDV menggunakan metoda enzyme linkage immuno sorbant assay (ELISA). Teknik ELISA memungkinkan pengujian secara kuantitatif kemampuan aktivitas netralisasi antibodi spesifik antigen pada MDV. Pada penelitian ini digunakan ayam ras petelur betina yang tidak divaksin MDV, antibodi yang terdapat pada ayam percobaan yang tidak diuji tantang dengan MDV (A dan B) berasal dari induk berupa antibodi maternal. Rendahnya titer antibodi ayam perlakuan uji tantang menggunakan MDV pada 10 hari p.i. merupakan akibat dari imunosupresi. Islam (2002) dan Fadly (2000) menyatakan bahwa ayam komersial mengandung antibodi maternal MDV dan kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV bergantung pada variabel yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi.

11 Tabel 5 Rataan nilai absorbansi uji ELISA berdasarkan perbedaan perlakuan Pascainfeksi Perlakuan (hari) A B C D 10 0,587 ± 0,032 a 0,562 ± 0,063 a 0,549 ± 0,039 a 0,487 ± 0,077 a 20 0,530 ± 0,035 ab 0,485 ± 0,044 b 1,156 ± 0,540 a 0,890 ± 0,069 ab 30 0,656 ± 0,077 a 0,577 ± 0,116 a 0,660 ± 0,069 a 0,714 ± 0,106 a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan. Nilai absorban pada 10 p.i. tidak menunjukkan perbedaan nyata di antara keempat kelompok perlakuan. Hal ini disebabkan tidak adanya pengaruh imunosupresi yang terlihat pada waktu tersebut, walaupun ada kecenderungan rendahnya titer antibodi pada kelompok perlakuan uji tantang MDV, yaitu kelompok C dan D. Pada hari ke 20 p.i. kelompok perlakuan, A, yaitu pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai sebesar 0,530, tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai terendah sebesar 0,485 yang berbeda (p<0.05) dari kelompok perlakuan C, yaitu yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang MDV memiliki nilai tertinggi sebesar 1,156, dan kelompok perlakuan D, yaitu tanpa pemberian benalu dan diuji tantang MDV menunjukkan tidak adanya perbedaan dan semua kelompok perlakuan dengan nilai 0,890. Tingginya titer antibodi pada 20 hari pada kelompok perlakuan C adalah disebabkan adanya kombinasi pengaruh imunomodulasi ekstrak S. oortiana dengan faktor imunostimulasi sebagai respons imun akibat tindakan uji tantang. Tizard (2000) menyatakan bahwa antibodi menjaga sel dari infeksi virus

12 Nilai Absorbansi (415 nm) Pascainfeksi (hari) A B C D Gambar 10 Grafik rataan nilai absorbansi titer antibodi MDV uji ELISA 10, 20, dan 30 hari pascainfeksi Keterangan : A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV dengan cara memblok pelekatan virus pada sel target, pada infeksi virus antibodi sebagai mediator penghancuran virus. Antibodi diproduksi oleh sistem imun spesifik primer pada rekaveri pada infeksi virus dan pertahanan terhadap serangan infeksi virus (Mayer 2003). Kandungan Mistletoe (benalu teh) yang sebagian besar kandungannya adalah lektin, yaitu karbohidrat pengikat protein, yang memiliki profil farmakologik dengan dua sifat, yaitu pada dosis rendah benalu teh bekerja sebagai imunomodulator dan pada dosis tinggi sebagai antitumor (Achi 2005). Tabel 6 Rataan nilai absorbansi berdasarkan waktu pascainfeksi (p.i) MDV Pascainfeksi (hari) Absorbansi 0,546 ± 0,066 b 0,765 ± 0,460 a 0,651 ± 0,095 ab Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Terjadi perbedaan yang nyata (p<0.05) titer antibodi pada MDV berdasarkan waktu pascainfeksi, yaitu pada hari ke 10 dan 20 hari p.i., pada 10 hari p.i. mengalami

13 penurunan atau imunosupresi akibat infeksi MDV dan kenaikan antibodi pada 20 hari pascainfeksi merupakan respons imun spesifik pada tubuh ayam sebagai reaksi tubuh inang untuk infeksi virus tersebut. Joklik (2000) menyatakan bahwa tubuh inang melakukan eliminasi infeksi virus dengan melakukan serangan balik, virus mengekspresikan gen asing, pada saat virus melakukan replikasi, pada saat yang sama tubuh melakukan netralisasi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Menurut Ada (2000) antibodi secara spesifik dapat memberikan kontribusi untuk mengendalikan infeksi ekstraseluler, memiliki kemampuan netralisasi infektivitas agen infeksi secara spesifik. Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Total Leukosit dan Persentase Limfosit Leukosit adalah sel yang yang berperan pada ketahanan tubuh yang diproduksi pada sumsum tulang kemudian melakukan pendewasaan pada bursa Fabricius dan timus. Tabel 7 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%) pada ayam 20 hari pascainfeksi 20 hari Perlakuan pascainfeksi A B C D Total Leukosit (per ml) ± 9,122 a 20,300 ± 20,224 a 19,900 ± 8,150 a 45,817 ± 21,355 a Persentase limfosit (%) 40,67 ± 25,007 b 46,67 ± 15,044 b 65,333 ± 87,666 ab 87,666 ± 25,516 a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil uji laboratorium yang disajikan pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah leukosit per mililiter pada kelompok perlakuan yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, persentase limfosit menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) di antara fraksi pada kelompok perlakuan pada ke 20 p.i. Kelompok perlakuan A, yaitu yaitu ayam yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 40,67% dan perlakuan B yaitu ayam tanpa pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai sebesar 46,67%, keduanya berbeda dari kelompok D, yaitu ayam tanpa pemberian benalu teh dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar 87,666%. Ayam yang diberi benalu teh dan infeksi MDV memiliki nilai sebesar 65,333% tidak berbeda dari semua kelompok perlakuan. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok ayam yang diberi perlakuan D disebabkan oleh kelanjutan dari infeksi MDV produktif menuju infeksi transforming yang menimbulkan limfoma yang ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit pada 20 hari p.i.

14 Tabel 8 Rataan jumlah leukosit per mililiter dan persentase limfosit (%) pada ayam 40 pascainfeksi (p.i.) 40 hari Perlakuan Pasca infeksi A B C D Total Leukosit (per ml) 27,067 ± 9,738 a 23,067 ± 5,900 a 34,433 ± 10,110 a 29,633 ± 9,767 a Persentase limfosit (%) 63,000 ± 7,816 a 42,667 ± 13,051 a 64,000 ± 27,221 a 68,667 ± 8,717 a Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah leukosit per ml pada semua kelompok ayam perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata, walaupun terdapat kecenderungan meningkat secara numerik pada kelompok ayam yang mendapat uji tantang dengan MDV dan diberi ekstrak benalu teh S. oortiana. Persentase limfosit pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata, walaupun terdapat kecenderungan meningkat secara numerik pada kelompok ayam yang diuji tantang dengan MDV dan tanpa diberi ekstrak benalu teh S. oortiana. Rataan jumlah leukosit pada kelompok ayam yang diuji tantang MDV tanpa diberi ekstrak S. oortiana (D) selalu menunjukkan angka yang paling tinggi, selanjutnya diikuti oleh kelompok perlakuan C, B, dan A, baik pada 20 hari maupun 40 hari p.i, pada 40 hari p.i persentase limfosit secara numerik mengalami peningkatan dibanding dengan pada 20 pasca infeksi pada semua kelompok perlakuan. Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Keberadaan MDV pada Bursa Fabricius Hasil pemeriksaan imunohistokimia keberadaan MDV pada bursa Fabricius menunjukkan bahwa pada ayam yang diinfeksi dengan MDV tanpa diberi ekstrak S. oortiana jumlah virusnya lebih banyak terutama pada daerah korteks folikel limfoid dan daerah intrafolikuler kelompok ayam yang diinfeksi dengan MDV dan diberi ekstrak S. oortiana. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak 10 mg/kg bb mampu menekan perkembangan virus MDV pada 20 hari p.i. Kejadian pada kelompok ayam resisten dan peka terhadap MDV, terjadi pertambahan virus sampai hari ke -10 paskainfeksi (pi), setelah itu terjadi penambahan virus pada kelompok ayam peka dan terjadi penurunan pada ayam resisten (Kaiser et al.

15 2003). Flavonoid telah diketahui sebagai antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antitrombotik, dan aktivitas vasodilatasi (Miller 1996). C D

16 Gambar 11 Fotomikrograf bursa Fabricius ayam yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap MDV, metode SAB dan counterstain Hematoksilin. (C) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV menunjukkan reaksi positif minimal terhadap keberadaan virus ( ). (D) Reaksi positif ditunjukkan juga pada kelompok tanpa diberi ekstrak benalu teh dan infeksi MDV menunjukkan jumlah yang lebih banyak. Bar = 16 µm. Pengaruh Ekstrak S. oortiana pada Jumlah Limfosit Proventrikulus Untuk mengamati seberapa jauh kemampuan ekstrak S. oortiana menurunkan risiko neoplasma berdasarkan peubah jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus, dilakukan pengamatan dengan membandingkan jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus pada berbagai kelompok perlakuan pada 20 dan 40 hari p.i. Dalam hal ini kasus penyakit Marek, ditandai dengan lesi limfomatus dan infiltrasi limfosit pada proventrikulus, sel limfoblas dan sel retikuler pada sel-sel kelenjar (Larbier dan Leclerco 1992). Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok ayam perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan, A, yaitu ayam yang dibenalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 42,40 yang berbeda dari kelompok D, yaitu ayam tanpa pemberian benalu dan infeksi MDV yang memiliki nilai sebesar 59,53. Rendahnya jumlah limfosit pada kelompok perlakuan A ada kecenderungan sebagi efek dari ekstrak S. oortiana menurunkan jumlah limfosit. Tingginya jumlah limfosit pada kelompok perlakuan D disebabkan oleh kelanjutan dari infeksi MDV produktif menuju infeksi transforming yang menimbulkan limfoma yang ditandai dengan peningkatan jumlah limfosit pada 20 hari p.i. Kelompok perlakuan B, yaitu ayam tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai 44,67 tidak berbeda dengan kelompok perlakuan C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang yang meiliki nilai 56,33. Kedua kelompok perlakuan B dan C tidak berbeda baik dari kelompok A maupun D. Hasil ini menunjukkan bahwa gejala infeksi tranforming yang menimbulkan limfoma pada proventrikulus dan pengaruh pemberian ekstrak S. oortiana belum mampu mempengaruhi risiko neoplasma yang disebabkan oleh tindakan uji tantang MDV onkogenik pada 20 hari p.i. Tabel 9 Rataan jumlah limfosit submukosa proventrikulus 20 hari dan 40 hari pascainfeksi (p.i)

17 Jumlah limfosit Perlakuan A B C D 20 hari p.i 42,40 ± 9,974 a 44,333 ± 7,204 ab 56,333 ± 6,986 ab 59,533 ± 9,752 b 40 hari p.i 53,400 ± 2,107 a 59,800 ± 8,108 a 67,000± 11,152 a 93,800± 22,303 b Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) di antara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 40 p.i. Kelompok perlakuan, A, yaitu pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV memiliki nilai terendah sebesar 53,40, tidak berbeda dengan kelompok perlakuan B, yaitu tanpa pemberian ekstrak benalu teh tanpa uji tantang MDV memiliki nilai 59,80 yang tidak berbeda dari kelompok perlakuan C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh dan diuji tantang memiliki nilai 67,00. Kelompok ayam perlakuan A, B, dan C berbeda dari kelompok D (p<0.05), yaitu tanpa pemberian benalu dan diuji tantang MDV, memiliki nilai 59,53. Terjadi peningkatan jumlah limfosit pada kelompok ayam perlakuan D sebagai penanda peningkatan patogenesis neoplasma pada penyakit Marek yaitu berupa limfositosis yang disebabkan oleh uji tantang menggunakan MDV onkogenik pada 40 hari p.i. Tingginya jumlah limfosit pada submukosa proventrikulus pada tindakan infeksi MDV onkogenik tanpa diberi ekstrak S. oortiana. Infeksi MDV onkogen diawali infeksi akut produktif, infeksi laten, kemudian dilanjutkan infeksi tranforming berupa limfomatosis pada organ limfoid maupun diluar organ limfoid. Pemberian ekstrak S. oortiana pada ayam yang diuji tantang dengan MDV onkogenik mampu menurunkan risiko neoplasma, yang ditandai dengan menurunnya jumlah limfosit submukosa proventrikulus pada kelompok ayam perlakuan C yang berbeda dengan kelompok perlakuan D. Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). Pengaruh Ekstrak S. oortiana dan Infeksi MDV pada Hati 40 hari p.i Hati merupakan salah satu organ viseral yang sangat spesifik dan sering digunakan di dalam melakukan diagnosis secara makroskopik terhadap infeksi MDV. Perubahan yang khas ditandai oleh nodul-nodul tumor yang berwarna putih dan berbentuk seperti kancing dengan permukaan yang cembung pada lobus hati. Pada

18 penelitian ini perubahan tersebut tidak dapat ditemukan secara makroskopik, karena belum terjadi pembentukan tumor. Hal kedua adalah pelaksanaan penelitian untuk menciptakan tumor dengan infeksi MDV ini dilakukan pada periode yang sangat singkat. Pemeriksaan hati secara histologik menunjukkan hasil bahwa pemberian ekstrak benalu teh saja akan meningkatkan jumlah sel Kupfer atau dapat bertindak sebagai imunostimulator. Namun temuan secara histologi ini masih perlu dikonfirmasi dengan penelitian lanjut dengan lebih mendalam atau diperlukan dukungan dari data yang lain. Perubahan yang terjadi akibat infeksi MDV adalah infiltrasi sel-sel limfoid dan makrofag pada organ hati. Pada kelompok C, yaitu ayam yang diberi ekstrak benalu teh, ternyata mampu menekan pertumbuhan sel-sel limfoid atau sel tumor, yang ditunjukkan dengan jumlah sel limfoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan hati pada kelompok D (infeksi MDV). Sebagai ilustrasi hasil-hasil tersebut dijelaskan pada Gambar 10. Infus benalu teh ternyata mampu menghambat proliferasi sel tumor kelenjar susu (Mus musculus L) galur C3H. Daya hambat infus benalu teh tersebut kemungkinan diberikan oleh steroida, glikosida, triterpenoid, dan saponin yang terdapat dalam ekstrak tersebut (Nugroho et al. 2000). A B

19 C D Gambar 12 Fotomikrograf hati ayam dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). (A) kelompok yang diberikan ekstrak benalu teh terjadi peningkatan jumlah sel-sel Kupfer dan sel limfoid ( ), (B) kelompok kontrol, (C) diberikan ekstrak benalu teh dan infeksi MDV terjadi penekanan pada pertumbuhan sel tumor, (D) infeksi MDV menyebabkan infiltrasi sel-sel limfosit dalam jumlah yang melimpah (+++) di daerah portal. Bar = 30 µm.

20

Aktivitas benalu teh sebagai antioksidan yang terkandung dalam ekstrak ditandai dengan daya mereduksi kaliumferisianida [K 3 Fe (CN) 6 ], menghambat

Aktivitas benalu teh sebagai antioksidan yang terkandung dalam ekstrak ditandai dengan daya mereduksi kaliumferisianida [K 3 Fe (CN) 6 ], menghambat 56 PEMBAHASAN UMUM Pada infeksi produktif MDV terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein yang menghasilkan partikel virus secara lengkap. Virus menginfeksi, merusak, dan membunuh limfosit B maupun limfosit

Lebih terperinci

MARTHEN B.M. MALOLE, WASMEN MANALU,

MARTHEN B.M. MALOLE, WASMEN MANALU, ABSTRACT MUHAMAD SAMSI. The Tea Parasite (Scurrula oortiana) Extract as Immunomodulator and Antitumor on the Infection of Marek s Disease Virus (MDV) Serotype 1 Oncogenic in Chicken. Under supervision

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Neoplasma atau tumor adalah transformasi sejumlah gen yang menyebabkan gen tersebut mengalami mutasi. Gen yang mengalami mutasi disebut proto-onkogen dan gen supresor tumor,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius Hasil pengamatan histopatologi bursa Fabricius yang diberi formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan beberapa perubahan umum seperti adanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas Virus H 5 N yang sangat patogen atau yang lebih dikenal dengan virus flu burung, menyebabkan penyebaran penyakit secara cepat di antara unggas serta dapat menular

Lebih terperinci

EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM

EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM MUHAMAD SAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus Jaringan limfoid sangat berperan penting untuk pertahanan terhadap mikroorganisme. Ayam broiler memiliki jaringan limfoid primer (timus dan bursa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah sel tumor limfoid pada lamina propria Hasil pengamatan terhadap jumlah sel tumor limfoid pada lamina propria vili usus yang diperoleh dari setiap kelompok percobaan telah dihitung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Tumbuhan uji yang digunakan adalah pegagan dan beluntas. Tumbuhan uji diperoleh dalam bentuk bahan yang sudah dikeringkan. Simplisia pegagan dan beluntas yang diperoleh

Lebih terperinci

Tidak ditemukannya embrio yang mati pasca penyuntikan ekstrak benalu teh ke dalam ruang alantois TAB dengan dosis yang meningkat secara logaritmik

Tidak ditemukannya embrio yang mati pasca penyuntikan ekstrak benalu teh ke dalam ruang alantois TAB dengan dosis yang meningkat secara logaritmik PEMBAHASAN UMUM Telur ayam berembrio (TAB) merupakan salah satu media yang umum digunakan pada propagasi virus. Sejak awal tahun 1990an TAB juga banyak digunakan sebagai media uji suatu toksisitas obat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kandang percobaan unggas Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan efek perubahan patologis dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan segala macam organisme pengganggu atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Diferensial Leukosit Ayam Perlakuan Pemeriksaan diferensial leukosit ayam broiler dalam kelompok perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian berlangsung. Pemeriksaan

Lebih terperinci

ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan.

ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan. Hasil dari perhitungan rumus di atas diperoleh nilai minimal 3 kali ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan. 3.6. Analisis Data Data-data yang diperoleh adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi Pengamatan histopatologi limpa dilakukan untuk melihat lesio pada limpa. Dari preparat yang diamati, pada seluruh kelompok perlakuan baik kontrol (-) maupun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM

EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM MUHAMAD SAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM

EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM EKSTRAK BENALU TEH (Scurrula oortiana) SEBAGAI IMUNOMODULATOR DAN ANTITUMOR INFEKSI Marek s Disease Virus (MDV) SEROTIPA 1 ONKOGENIK PADA AYAM MUHAMAD SAMSI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kim et al., 2009). Tuberkulosis pada umumnya terjadi di paru-paru

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan terhadap gejala klinis pada semua kelompok perlakuan, baik pada kelompok kontrol (P0) maupun pada kelompok perlakuan I, II dan III dari hari pertama sampai pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus dan parasit. Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infeksi setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Berdasarkan hasil Survei

BAB I PENDAHULUAN. infeksi setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Berdasarkan hasil Survei BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia, diare merupakan penyebab kematian nomor dua karena infeksi setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup tinggi karena sebagian besar kawasannya berupa perairan. Nontji (2002)

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup tinggi karena sebagian besar kawasannya berupa perairan. Nontji (2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi sumber daya laut yang cukup tinggi karena sebagian besar kawasannya berupa perairan. Nontji

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Senyawa-senyawa yang dapat memodulasi sistem imun dapat diperoleh dari tanaman (Wagner et al., 1999). Pengobatan alami seharusnya menjadi sumber penting untuk mendapatkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat. Pada jaman sekarang banyak obat herbal yang digunakan sebagai alternatif

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Organ limfoid primer unggas terdiri dari timus dan bursa Fabricius sedangkan pada mamalia terdiri dari sumsum tulang. Limpa, limfonodus dan MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia, penyakit

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia memiliki sistem imun. Sistem imun diperlukan oleh tubuh sebagai pertahanan terhadap berbagai macam organisme asing patogen yang masuk ke

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular melalui makanan atau air yang terkontaminasi. 2 Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menular melalui makanan atau air yang terkontaminasi. 2 Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. 1 Penyakit ini banyak ditemukan di negara berkembang dan menular melalui makanan atau

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan di sekitar manusia banyak mengandung berbagai jenis patogen, misalnya bakteri, virus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiki 2 sistem imun yaitu sistem imun bawaan. (innate immunity) dan sistem imun adaptif (adaptive

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiki 2 sistem imun yaitu sistem imun bawaan. (innate immunity) dan sistem imun adaptif (adaptive BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia memiki 2 sistem imun yaitu sistem imun bawaan (innate immunity) dan sistem imun adaptif (adaptive immunity). Sistem imun bawaan bersifat non-spesifik sedangkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya teknologi di segala bidang merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Diantara sekian banyaknya kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlukaan merupakan rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan suhu,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray].

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bahan alam berkhasiat obat yang banyak diteliti manfaatnya adalah tanaman kembang bulan [Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray]. Tanaman kembang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Imunitas Tubuh

TINJAUAN PUSTAKA Imunitas Tubuh TINJAUAN PUSTAKA Imunitas Tubuh Resistensi dan pemulihan pada infeksi virus bergantung pada interaksi antara virus dan inangnya. Pertahanan inang bekerja langsung pada virus atau secara tidak langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah merah merupakan tanaman endemik Papua yang bermanfaat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu pengobatan beberapa penyakit, antara lain kanker, tumor,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada keadaan normal, paparan mikroorganisme patogen terhadap tubuh dapat dilawan dengan adanya sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada saat fungsi dan jumlah sel

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium 49 BAB 5 PEMBAHASAN Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium Biokimia Universitas Muhammdiyah Jogjakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24 ekor, di mana tiap kelompok

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci

SISTEM LIMFOID. Organ Linfoid : Limfonodus, Limpa, dan Timus

SISTEM LIMFOID. Organ Linfoid : Limfonodus, Limpa, dan Timus SISTEM LIMFOID Sistem limfoid mengumpulkan kelebihan cairan interstisial ke dalam kapiler limfe, mengangkut lemak yang diserap dari usus halus, dan berespons secara imunologis terhadap benda asing yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. supaya tidak terserang oleh penyakit (Baratawidjaja, 2000). keganasan terutama yang melibatkan sistem limfatik (Widianto, 1987).

BAB I PENDAHULUAN. supaya tidak terserang oleh penyakit (Baratawidjaja, 2000). keganasan terutama yang melibatkan sistem limfatik (Widianto, 1987). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan disekitar kita banyak mengandung agen infeksius maupun non infeksius yang dapat memberikan paparan pada tubuh manusia. Setiap orang dihadapkan pada berbagai

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penurunan sistem imun dapat menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit akibat tubuh tidak mampu melawan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Murphy et al.,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

MEKANISME FAGOSITOSIS. oleh: DAVID CHRISTIANTO

MEKANISME FAGOSITOSIS. oleh: DAVID CHRISTIANTO MEKANISME FAGOSITOSIS oleh: DAVID CHRISTIANTO 136070100011013 PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016 1 DAFTAR ISI SAMPUL... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I. PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia yang menjadi perhatian serius untuk segera ditangani. Rendahnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman

BAB I PENDAHULUAN. yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan merupakan keragaman hayati yang selalu ada di sekitar kita, baik yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman dahulu, tumbuhan sudah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian 41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penimbangan berat badan dan pengukuran gula darah tikus model selama penelitian Penimbangan berat badan menunjukkan bahwa pada awal penelitian berat badan tikus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan gejala klinis pasca infeksi virus H5N1 terlihat ayam lesu, pucat, oedema di kepala, leher memendek, dan bulu berdiri. Pada hari ke-3 sebagian ayam sudah ada yang mati,

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Kadar Enzim SGPT dan SGOT Pada Mencit Betina Setelah Pemberian Ekstrak Rimpang Rumput Teki Tabel 1. Kadar Enzim SGPT pada mencit betina setelah pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan disekitar kita banyak mengandung agen infeksius maupun non infeksius yang dapat memberikan paparan pada tubuh manusia. Setiap orang dihadapkan pada berbagai

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infectious Bursal Disease Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit viral pada ayam dan terutama menyerang ayam muda (Jordan 1990). Infectious Bursal Disease pertama

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM PERTAHANAN TUBUH SISTEM PERTAHANAN TUBUH Sistem Pertahanan Tubuh Sistem Pertahanan Tubuh Non spesifik Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik Jenis Kekebalan Tubuh Disfungsi sitem kekebalan tubuh Eksternal Internal Struktur Sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara umum A. salmonicida merupakan penyebab utama penyakit infeksi pada ikanikan salmonid yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengaruh dari formula ekstrak herbal terhadap sistem imunitas tubuh ayam dapat diperoleh dengan melihat aktivitas dan kapasitas makrofag peritoneum ayam yang telah ditantang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai saluran cerna. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai saluran cerna. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna. Diagnosis demam tifoid bisa dilakukan dengan melihat gejala klinis berupa demam,

Lebih terperinci

Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama, Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret

Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama, Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret Modulation effect of ethanol extract of Benalu tea (Scurrula oortiana) against antibody titers of broilers with Gumboro virus infected Eduardus Bimo Aksono H Faculty of Veterinary Medicine Airlangga University

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Uraian Tanaman 1. Sistematika tumbuhan Berdasarkan pustaka, berikut klasifikasi secara umum dari tumbuhan Lamtoro (Leucaena leucocephala) : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta

Lebih terperinci

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sistem imunitas didalam tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang kompleks dan berlapis-lapis dalam menghadapi invasi patogen yang masuk seperti bakteri, jamur, virus

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring bertambahnya usia, daya fungsi makhluk hidup akan menurun secara progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada beberapa faktor yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perubahan histopatologi trakea Parameter yang diperiksa pada organ trakea adalah keutuhan silia, keutuhan epitel, jumlah sel goblet, dan sel radang. Pada lapisan mukosa, tampak

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan peranan penting dalam beberapa sistem biologis manusia. Diketahui bahwa endothelium-derived

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Reidentifikasi Virus. virus IBD lokal & komersial, vvibd lokal. Diinfeksikan pada Ayam. Bursa Fabricius, serum.

MATERI DAN METODE. Reidentifikasi Virus. virus IBD lokal & komersial, vvibd lokal. Diinfeksikan pada Ayam. Bursa Fabricius, serum. MATERI DAN METODE Alur Penelitian Reidentifikasi Virus virus IBD lokal & komersial virus IBD lokal & komersial, vvibd lokal Patogenesis Diinfeksikan pada Embrio Diinfeksikan pada Ayam Derajat lesi, deteksi

Lebih terperinci