VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM"

Transkripsi

1 VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM 6.1. Pendahuluan Asuransi indeks iklim merupakan salah satu bentuk pendanaan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini asuransi indeks iklim yang sudah dilakukan di Indonesia adalah asuransi indeks iklim untuk tanaman jagung yang dikembangkan oleh International Finance Coorporation (IFC), salah satu divisi di World Bank. Lokasi penelitian IFC adalah di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan dan Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil studi kelayakan menunjukkan asuransi indeks iklim untuk jagung layak dikembangkan dan merupakan model bisnis yang mudah diidentifikasi (IFC 2009). Untuk komoditas padi, model asuransi indeks iklim belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini memberikan pilihan baru tentang adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menyusun model asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Dalam sistim asuransi indeks iklim, pembayaran akan dilakukan pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan (Boer 2010). Selain itu menurut Manuamorn (2010) kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada pengukuran dari kehilangan riil. Indeks iklim adalah suatu indeks yang digunakan untuk mewakili unsur-unsur penting iklim yang dirancang dengan tujuan kesederhanaan dan kelengkapan. Setiap indeks biasanya mewakili status dan waktu dari faktor iklim yang diwakilinya. Untuk menyusun indeks iklim diperlukan korelasi yang kuat antara faktor iklim dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi. Oleh karena itu diperlukan analisis tentang hubungan antara parameter iklim dengan produksi padi

2 127 yang selanjutnya dengan masukan nilai threshold produksi padi bisa ditetapkan indeks iklim tersebut. Dalam penelitian ini parameter iklim yang digunakan sebagai indeks adalah curah hujan. Hal ini dikarenakan di daerah tropis, unsur cuaca utama yang sangat berpengaruh terhadap keragaman produksi tanaman adalah curah hujan, dan keragaman curah hujan baik menurut waktu maupun lokasi sangat besar. Oleh karena itu studi yang berkaitan dengan masalah cuaca dan produksi tanaman sebagian besar membahas tentang hubungan hujan atau ketersediaan air/hujan dengan produksi tanaman. Produksi tanaman padi diestimasi dengan model simulasi tanaman. Modelmodel simulasi tanaman yang berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca merupakan alat yang efektif dalam pertanian. Model simulasi tanaman dapat digunakan untuk merencanakan alternatif strategi untuk penanaman, penggunaan tanah dan pengelolaan air. Untuk mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya serta menganalisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman seringkali juga digunakan model simulasi tanaman. Selain itu, model simulasi tanaman dapat digunakan untuk perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan lokasi dan menduga hasil tanaman. Dalam penelitian ini, produksi padi diestimasi dengan model Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT). Hasil simulasi selanjutnya akan dihubungkan dengan data curah hujan di lokasi penelitian. Berdasarkan pola hubungan yang terbentuk dan nilai threshold produksi padi, maka dapat ditetapkan indeks iklimnya. Nilai indeks iklim ini sangat penting untuk aplikasi asuransi indeks iklim. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mengkaji hubungan antara curah hujan dan produksi padi, 2) menetapkan indeks iklim berdasarkan hubungan antara curah hujan dan produksi padi Metodologi Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) data iklim/cuaca harian, 2) data tanah, dan 3) data manajemen dan pengamatan dari hasil

3 128 percobaan. Data iklim/cuaca yang diperlukan antara lain : posisi geografi stasiun iklim/hujan, radiasi matahari (MJ/m 2 /hari), suhu udara maksimum dan minimum ( o C) serta curah hujan (mm). Untuk mengatasi data curah hujan harian yang kosong, dan untuk memperoleh data iklim harian, maka dilakukan pembangkitan data dari curah hujan bulanan menggunakan model Climate Data Generator (CLIMGEN). Data iklim harian diperoleh dari hasil pembangkitan data, karena di Kabupaten Indramayu tidak tersedia stasiun iklim. Stasiun iklim terdekat terletak di Pusaka Negara dan Sukamandi. Data tanah yang diperlukan antara lain : kedalaman horison atas dan bawah, persentase kandungan pasir, liat dan debu, bulk density, ph air, kejenuhan aluminimum dan total nitrogen. Data tanah yang digunakan merupakan hasil pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian, yaitu pada delapan titik pengambilan contoh tanah yang merepresentasikan jenis tanah yang berbeda. Untuk data manajemen dan percobaan yang digunakan dalam model DSSAT antara lain : tanggal tanam, kerapatan tanaman, jarak baris, kedalaman perakaran, varietas tanaman, irigasi, dan pupuk yang digunakan petani. Data ini diperlukan untuk model validasi dan strategi evaluasi. Data-data ini diperoleh dari survey lapang dan wawancara dengan petani Pembangkitan Data Iklim Pembangkitan data dilakukan dengan program ClimGen. ClimGen melakukan estimasi terhadap suhu maksimum dan minimum harian, radiasi matahari dan curah hujan baik dari data cuaca harian jika tersedia atau dari data bulanan. Peluang kejadian hujan digambarkan dalam bentuk fungsi penghubung logit g j 1(i). Bentuk fungsi kurva penyesuaian untuk nilai g j 1(i) digunakan persamaan regresi Fourier (Stern and Coe 1984). Untuk menghindari keterbatasan data harian, maka digunakan data curah hujan bulanan untuk membangkitkan parameter iklim yang lain. Epstein (1991) menggunakan regresi Fourier sehingga bentuk persamaan pembangkitan datanya adalah : Di mana t =2πt/12 dan t adalah bulan.

4 129 Dagambarkan Prosedur yang digunakan untuk menghasilkan radiasi surya dan suhu didasarkan pada asumsi bahwa radiasi dan suhu merupakan proses stasioner lemah. Penyertaan hujan ini diperlukan karena keadaan unsur iklim lainnya sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya hujan. Pendekatan yang sama digunakan dalam model Climgen versi 2.1 dengan memodelkan komponen error karena biasanya terdapat masalah autokorelasi error (Boer 1999). Berdasarkan kajian dari beberapa lokasi di Indonesia, Boer (1999) memodelkan komponen error dengan menggunakan persamaan autokorelasi ordo-1. Parameterisasi nilai dan perlu dilakukan sebelum data hujan dibangkitkan. Nilai awal dan dalam penelitian ini menggunakan hasil penelitian Boer et al. (1999) yang sudah tervalidasi. Nilai awal dan yang dipilih ialah nilai yang memberikan hasil bangkitan data yang tidak berbeda dengan data observasi. Software ClimGen dibangun dengan asumsi bahwa distribusi hujan mengikuti sebaran Gamma Simulasi Tanaman Dengan Model DSSAT Estimasi produksi padi dalam penelitian ini menggunakan model simulasi tanaman Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT ver.4.5). Dalam simulasi tanaman ini digunakan varietas IR 64. Varietas ini merupakan salah satu varietas yang cukup banyak digunakan oleh petani di lokasi penelitian selain Ciherang. Varietas IR 64 memiliki karakteristik fisiologis yang hampir sama dengan Ciherang. Dominasi varietas IR64 ditingkat petani disebabkan produksinya yang cukup tinggi. Hal ini diungkapkan juga oleh Sudaryanto et al. (1999) diacu dalam Hafsah dan Sudaryanto (2004) yang menyatakan bahwa varietas IR64 merupakan varietas yang secara nyata mampu meningkatkan potensi hasil padi sawah yang diindikasikan dari dominasi varietas IR64 di daerah-daerah sentra produksi padi. Umur tanaman padi yang digunakan dalam simulasi ini adalah 110 hari yang terbagi dalam tiga fase tanaman, yaitu : Fase 1 adalah fase inisiasi, yaitu mulai awal pertumbuhan sampai pembentukan malai. Fase 2 adalah fase reproduktif, mulai pembentukan malai sampai pembungaan. Fase 3 adalah fase pematangan, yaitu mulai dari pembungaan

5 130 sampai gabah matang. Diskripsi selengkapnya varieras Ciherang dan IR 64 disajikan dalam Lampiran 1. Untuk melakukan simulasi tanaman digunakan dua skenario tanggal tanam, yaitu tanggal 1 dan 15 setiap bulan, masing-masing untuk tipe lahan tadah hujan dan irigasi ujung. Estimasi produksi padi selanjutnya akan dibandingkan dengan produksi padi hasil observasi. Untuk lahan tadah hujan, pola produksi padi akan dihubungkan dengan pola curah hujan serta kejadian El-Nino selama periode Diagram alir tahapan analisis disajikan dalam Gambar 63. Data tanah Data tanaman Data Curah Hujan harian dan bulanan Data anomali SST ya Apakah data ch lengkap? tidak ClimGen Data curah hujan dan iklim harian Skenario tanggal tanam Penyeragaman bentuk data (*.WTH) DSSAT Estimasi produksi padi pada tipe lahan irigasi dan tadah hujan Gambar 63. Tahapan analisis simulasi tanaman dengan model DSSAT

6 Penentuan Indeks Iklim Analisis indeks iklim dilakukan setelah diperoleh hasil analisis berupa : 1) persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi serta 2) nilai threshold produksi padi. Persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi diperoleh setelah dilakukaan simulasi tanaman. Nilai threshold produksi padi diperoleh dari hasil analisis usahatani padi, yaitu pada saat nilai R/C=1 yang telah dihasilkan dari analisis pada Bab 5. Apabila sudah diperoleh persamaan hubungan antara hasil padi dan curah hujan, maka nilai threshold produksi padi digunakan sebagai input dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi sebagai dasar penentuan indeks iklim. Perhitungan indeks iklim dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung. Tahapan analisis untuk menentukan indeks iklim adalah : 1) hasil simulasi DSSAT yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya disusun menjadi suatu persamaan yang menghubungkan parameter curah hujan dan hasil (yield) padi, 2) nilai threshold produksi yang telah diperoleh dari hasil analisis usahatani digunakan sebagai input ke dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan hasil padi untuk menentukan trigger curah hujan, 3) dibuat persamaan yang menghubungkan antara produksi padi dan curah hujan setiap fase padi, 4) dihitung nilai indeks hujan pada setiap fase tanaman padi, 5) disusun skenario klaim asuransi berdasarkan persamaan Martirez (2009) yaitu : Pembayaran = (Indeks hujan-curah hujan kumulatif) x unit pembayaran x total yang diasuransikan/ Hasil dan Pembahasan Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan Hasil simulasi tanaman padi pada lahan tadah hujan di lokasi penelitian dibedakan untuk MK dan MH. Untuk MK periodenya adalah April-September, sedangkan MH Oktober-Maret. Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Estimasi pada MK pada umumnya

7 132 lebih rendah dibandingkan observasinya, sedangkan pada MH besarnya produksi hampir mendekati. Apabila ditinjau untuk masing-masing kecamatan, maka estimasi produksi pada MH pada umum menghasilkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil observasinya dibandingkan dengan musim MK (Gambar 64a-d). Simulasi tanaman untuk lahan tadah hujan ini murni hanya mendapat input air dari curah hujan. Kemungkinan kenyataan di lapang, pada MK petani masih bisa mendapatkan sisa-sisa air pada MH sebelumnya. Hal ini yang menyebabkan perbedaan hasil pada MK. Hasil perbandingan antara data produksi dari Diperta Kabupaten Indramayu dengan hasil simulasi selama periode MT 1992/1993 hingga MT 2000 memperlihatkan nilai R 2 sebesar 0.7 untuk Cikedung, 0.1 untuk Lelea dan 0.5 untuk Kandanghaur (Gambar 65). (a) (b) (c) (d) Gambar 64. Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan tadah hujan

8 133 Gambar 65. Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan observasi Dikaitkan dengan pola hujan, maka hasil simulasi tanaman ini memperlihatkan pola yang mirip dengan curah hujan. Hal ini disebabkan pada simulasi tanaman di lahan tadah hujan, skenario yang diterapkan adalah tanpa irigasi, artinya input air untuk tanaman murni hanya dari curah hujan. Pada saat curah hujan tinggi, maka tanaman akan mendapat kecukupan air sehingga produksinya tinggi. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, maka pasokan air untuk tanaman juga berkurang dan pada akhirnya produksi tanaman akan menurun. Pada kondisi tertentu ketika curah hujan lebih rendah dari 50 mm/bulan tetapi produksi meningkat kemungkinan disebabkan pengaruh penggunaan input seperti pupuk dalan lain-lain sehingga mampu memberikan produksi yang cukup baik. Hubungan antara produksi padi dengan pola curah hujan di lahan tadah hujan untuk masing-masing kecamatan disajikan dalam Gambar 66a-d. Terkait dengan fenomena El-Nino, maka produksi padi di lokasi penelitian juga memperlihatkan dampak yang cukup signifikan. Berdasarkan data kejadian El Nino dari tahun (Hidayati et al. 2010), maka dari periode data yang digunakan dalam analisis ini dapat dikelompokkan berdasarkan tahun kejadian El Nino lemah, sedang dan kuat. Tahun-tahun kejadian El-Nino lemah adalah : 1968, 1969, 1976, 1977, 2004 dan Tahun El-Nino sedang adalah : 1986, 1987, 1994 dan Tahun El-Nino kuat adalah : 1965, 1972, 1982, 1991, 1997 dan Berdasarkan tahun kejadian El-Nino tersebut dan dikaitkan dengan produksi

9 134 padi, maka terlihat bahwa pada tahun-tahun kejadian El-Nino, sebagian besar produksi padi menurun. Sebagai contoh di Kecamatan Cikedung dan Kandanghaur, kejadian El Nino telah memberi dampak terhadap menurunnya produksi padi, bahkan di tahun yang tidak El Nino pun terjadi penurunan produksi (Gambar 67a-c). (a) (b) (c) (d) Gambar 66. Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah hujan Gambar 67. Produksi padi dan kejadian El-Nino periode

10 Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi Simulasi tanaman padi untuk lahan irigasi dilakukan dengan asumsi tanaman akan tumbuh optimum apabila kebutuhan airnya tercukupi. Air akan secara otomatis ditambahkan ketika tanaman mengalami kekurangan air. Oleh karena itu plot hasil produksi akan menunjukkan produksi tinggi meskipun curah hujan rendah. Tanaman tidak tergantung pada curah hujan, karena ada tambahan air melalui irigasi. Lahan irigasi di lokasi penelitian sebagian besar merupakan lahan irigasi ujung golongan III/IV. Rata-rata produksi padi di lahan ini berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman memperlihatkan nilai produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Pada MH, secara umum produksi padi antara hasil simulasi dan observasi menunjukkan hasil yang hampir sama baik di kecamatan Cikedung, Lelea, Kandanghaur dan Terisi (Gambar 68a-d). Untuk penentuan indeks iklim, hasil simulasi yang digunakan adalah untuk lahan tadah hujan karena sangat dipengaruhi oleh curah hujan. (a) (b) (c) (d) Gambar 68. Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan irigasi

11 Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi Hubungan curah hujan dan produksi padi dinyatakan melalui persamaan polinomial antara kedua parameter tersebut. Produksi padi diperoleh dari hasil simulai DSSAT untuk skenario tanggal tanam 1 dan 15 setiap bulan. Data produksi padi menggunakan data simulasi karena dibutuhkan data runut waktu yang panjang, sedangkan apabila menggunakan data produksi aktual ketersediaan datanya terbatas. Untuk kepentingan asuransi indeks iklim, maka curah hujan dan produksi padi dipilih untuk musim kemarau (MK) saja. Hal ini disebabkan bahwa pada MK tanaman padi berpeluang besar mengalami kekeringan baik pada lahan tadah hujan maupun irigasi, sehingga risiko petani pada MK ini cukup besar. Risiko kekeringan yang harus ditanggung oleh petani ini dapat diminimalkan dengan cara beradaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim yang salah satu opsinya adalah melalui pengembangan model asuransi indeks iklim. Untuk keperluan pengembangan asuransi indeks iklim, maka perlu ditentukan indeks iklim yang dalam penelitian ini parameter iklim yang diplih adalah curah hujan, sehingga untuk selanjutnya akan digunakan istilah indeks hujan. Hubungan curah hujan dan produksi padi serta penentuan indeks hujan akan dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung.. Pola curah hujan di stasiun Cikedung adalah monsunal dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Januari. Demikian juga dengan pola hari hujan yang juga mengikuti pola curah hujan. Rata-rata hari hujan berkisar antara 1-13 hari per bulan dengan hari hujan terbanyak pada bulan Januari (Gambar 69a). Curah hujan maksimum pada bulan Januari dan Februari bisa mencapai lebih dari 500 mm/bulan, tetapi di Bulan Agustus maksimum curah hujan hanya mencapai kurang dari 100 mm/bulan (Gambar 69b). Hubungan curah hujan dan produksi padi dianalisis untuk mengetahui pola hubungan antara kedua parameter tersebut baik pada seluruh fase maupun pada setiap fase. Skenario yang digunakan adalah tanpa irigasi. Secara umum baik pada MH maupun MK, pola hubungan curah hujan dan produksi padi memperlihatkan bahwa semakin bertambah curah hujan produksi semakin meningkat hingga suatu batas tertentu setelah itu menurun. Hubungan kedua parameter tersebut juga

12 137 cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai R 2 sekitar (kecuali fase 2). Apabila dibedakan untuk setiap fase tanaman, maka fase 3 memperlihatkan pola hubungan yang lebih erat dibandingkan fase 1 dan 2 (Gambar 70). Gambar 69. Pola curah hujan, hari hujan (a) dan curah hujan maksimum (b) di Stasiun Cikedung Gambar 70. Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung. Untuk mengetahui pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil, maka dilakukan analisis regresi terboboti antara curah hujan dan produksi padi dan diperoleh persamaan : Y = X X X 3...(1) Di mana Y=hasil padi, X 1 merupakan curah hujan pada fase 1, X 2 curah hujan pada fase 2 dan X 3 curah hujan pada fase 3. Dari persamaan tersebut

13 138 diperoleh persentase besarnya pengaruh curah hujan terhadap keragaman hasil adalah 34% untuk fase 1, 43% untuk fase 2 dan 23% untuk fase 3. Diperoleh dari jumlah kuadrat sequen (Seq SS) dibagi dengan totalnya. Berdasarakan persentase tersebut curah hujan pada fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung dibandingkan curah hujan pada fase 1 dan 3. Hasil regresi terboboti selengkapnya disajikan dalam Lampiran Threshold Produksi Padi Untuk menentukan indeks iklim, maka diperlukan nilai threshold produksi padi. Nilai threshold produksi padi telah dianalisis pada bab 5. Untuk Kecamatan Cikedung pada MK baik di lahan tadah hujan maupun irigasi ujung, nilai threshold padi adalah sebesar 2711 kg/ha. Artinya jika produksi padi kurang dari 2711 kg/ha, maka secara ekonomi petani tidak untung. Sementara jika produksi padi sama dengan 2711 kg/ha maka secara ekonomi petani tidak untung dan tidak rugi atau impas. Selama kurun waktu (29 tahun), frekuensi munculnya threshold produksi padi <2711 kg/ha berkisar antara 1-29 kali. Artinya apabila saat tanam tidak ditentukan dengan tepat, maka ada kemungkinan terjadi kekeringan hampir setiap tahun. Sebagai contoh untuk tanggal tanam 15 April 15 Juni frekuensinya 29 kali artinya setiap tahun akan terjadi kekeringan apabila dilakukan penanaman pada tanggal tersebut dan hanya mengandalkan curah hujan. Pada MH frekuensi kejadian threshold lebih rendah dari 2711 pada umumnya kurang dari 15 kali dalam 29 tahun, sedangkan pada MK lebih dari 15 kali dalam kurun waktu 29 tahun. Peluang terjadinya produksi lebih rendah dari threshold berkisar dari 0.1 hingga 1. Artinya ada periode di mana hampir setiap tahun terjadi threshold produksi kurang dari 2711 kg/ha tetapi ada juga yang hanya 3 kali terjadi selama kurun waktu 29 tahun (Gambar 71a). Pada MH pada umumnya peluang kejadiannya kurang dari 0.5, sedangkan pada MK peluangnya meningkat hingga 1. Melihat sebaran peluang kejadian ini, maka periode kritis di lokasi Cikedung cukup lama. Hampir di sepanjang MK peluang kejadian dibawah nilai treshold lebih dari 50%. Dipandang dari sistim asuransi, maka kondisi ini tidak cukup

14 139 menguntungkan bagi pihak asuransi karena peluang kejadiannya sangat tinggi. Untuk itu pilihan asuransi perlu dihubungkan dengan periode ulangnya. Periode ulang merupakan satu dibagi nilai peluangnya. Untuk lokasi Cikedung, periode ulang di mana produksi lebih rendah dari threshold memperlihatkan kisaran dari 1 hingga 10 tahun. Artinya ada periode di mana setiap tahun produksinya lebih rendah dari threshold, tetapi ada pula periode di mana hampir 10 tahun sekali baru terjadi produksi lebih rendah dari threshold. Periode ulang 2-10 tahun pada umumnya terjadi pada MH, sedangkan pada MK hampir setiap tahun terjadi produksi yang lebih rendah dari threshold 2711 kg/ha (Gambar 71b). Gambar 71. Peluang (a) dan periode ulang (b) produksi < threshold 2711 kg/ha di Kecamatan Cikedung Penentuan Indeks Iklim Indeks iklim adalah sebuah jumlah yang diperoleh dari hasil perhitungan data cuaca yang tercatat di stasiun cuaca yang dipilih. Dalam penelitian ini indeks iklim ditentukan berdasarkan pendekatan Martirez (Martirez, 2009). Indeks iklim ditentukan setelah diperoleh nilai threshold produksi padi dan triger curah hujan, serta besarnya kontribusi curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil. Untuk lokasi Cikedung telah diperoleh threshold produksi padi sebesar 2711 kg/ha. Selain itu diperlukan persamaan yang menghubungkan curah hujan dan produksi padi. Pola hubungan curah hujan dan produksi yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya digunakan untuk menentukan indeks iklim. Nilai threshold sebesar 2711 ini selanjutnya digunakan sebagai nilai y pada persamaan polinomial seperti dalam Gambar 72. Dengan demikian untuk nilai y=2711 kg/ha, maka diperoleh

15 140 nilai x=542,2. Artinya pada saat tercapai nilai threshold produksi padi, maka curah hujannya adalah sekitar 542,2 mm/musim tanam. Untuk menentukan indeks hujan per fase tanaman, maka digunakan persamaan (1) yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu : Y = X X X 3 Selain itu diperlukan nilai rata-rata curah hujan per fasenya. Dari data Cidekung diperoleh rata-rata curah hujan pada setiap fasenya adalah 207 mm (fase 1), 154 mm (fase 2) dan 134 mm (fase 3), dengan total curah hujan 495 mm dan total standar deviasi 612 mm/musim tanam. Indeks hujan pada setiap fase diperoleh dengan memasukkan nilai rata-rata curah hujan per fase dibagi dengan standar deviasinya dan dikalikan dengan triger hujan untuk satu musim tanam. Setelah dilakukan perhitungan, maka untuk lokasi Cikedung diperoleh indeks hujan masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 438,5 mm untuk seluruh fase (Tabel 13). Gambar 72. Penentuan trigger hujan di Cikedung Tabel 13. Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung Fase 1 Fase 2 Fase 3 Seluruh Fase Indek Iklim (207/612)x542,2=183 (154/612)x542,2=136 (134/612)x542,2=119 (495/612)x542,2=438,5

16 Desain Premi dan Klaim Asuransi Pembayaran premi ditentukan oleh besarnya risiko. Semakin besar risiko maka nilai premi yang dibayarkan semakin tinggi. Sebaliknya semakin kecil risiko maka premi yang harus dibayar juga semakin rendah. Premi pada umumnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar pihak yang terlibat, pada umumnya sebesar 10-15% dari biaya input, tetapi bisa lebih rendah lagi. Sebagai contoh PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 menetapkan premi 5% untuk asuransi gagal panen akibat serangan hama/penyakit, banjir dan kekeringan akibat kekurangan air irigasi atau anomali iklim. Martirez (2009) memberikan contoh besarnya premi untuk risiko tinggi terhadap berbagai bencana (Multi Risk Cover) sebesar 12.27%. Untuk risiko tinggi terhadap bencana alam (Natural Disaster Cover) premi yang harus dibayar sebesar 9.07%. Premi tersebut bisa dibagi antara pihak yang terkait yaitu petani, lembaga pemberi pinjaman (lending institution) serta pemerintah. Premi yang harus dibayar petani pada umunya paling rendah, dan porsi terbesar (hampir setengahnya) adalah pemerintah. Hal ini juga terlihat dalam proyek percontohan asuransi pertanian yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 di Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha untuk menjamin usahatani padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Dalam proyek percontohan ini, premi yang ditanggung Pemerintah sebesar 80% dari Rp /ha/MT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen (puso dengan kriteria tertentu) Rp. 6 juta/ha, atau sebesar Rp. 144 ribu, sementara petani membayar sisanya 20%, yaitu sebesar Rp. 36 ribu) (Pasaribu 2012). Dari hasil di Cikedung, antara fase 1, 2 dan 3 curah hujan yang paling besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil adalah pada fase 2. Apabila petani mengasuransikan indeks hujan pada fase 2 ini, maka premi yang dibayarkan akan lebih tinggi dibandingkan fase 1 dan 3. Dalam membuat desain premi perlu dipertimbangkan kesediaan membayar (WTP) oleh petani yang sudah disajikan dalam Bab V tentang usahatani padi. Besarnya klaim ditentukan oleh nilai premi dikalikan dengan periode ulangnya. Peluang diperoleh dari besarnya frekuensi dibagi dengan periode

17 142 datanya. Dalam contoh kasus di Cikedung, periode data yang memenuhi analisis untuk threshold adalah (29 tahun). Semakin besar peluang terjadinya nilai produksi kurang dari threshold, maka akan semakin besar nilai preminya karena risikonya semakin tinggi. Untuk mendapatkan gambaran tentang klaim asuransi, maka berikut disajikan contoh perhitungan klaim asuransi indeks iklim. Dalam kasus di Cikedung, telah diperoleh nilai indeks hujan pada setiap fase, masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2) dan 119 mm (fase 3) dan total satu periode tanam sebesar 439 mm. Untuk kumulatif curah hujan, diperoleh nilai rata-rata curah hujan per fase pada MK yaitu 76 mm (fase 1), 37 mm (fase 2) dan 58 mm (fase 3). Untuk aplikasi di lapang, nilai kumulatif curah hujan diperoleh berdasarkan hasil pengamatan selama masing-masing fase tanaman. Dalam penelitian ini digunakan varietas padi IR 64 dengan umur 110 hari dengan umur setiap fasenya 45 hari (fase 1), 35 (fase 2) hari dan 30 hari (fase 3). Untuk perhitungan klaim asuransi digunakan persamaan formula yang disusun oleh Martirez (2009), yaitu : Pembayaran = (Indek Hujan-Curah hujan Kumulatif) x unit pembayaran x Total yang diasuransikan/1000 Untuk studi kasus di Kecamatan Cikedung, diasumsikan polis yang diambil petani senilai Rp 5,000,000. Indeks hujan selama satu periode tanam adalah 439 mm, maka nilai per mm curah hujan adalah Rp. 5,000/439 = Rp ,-. Untuk menghitung nilai per mm defisit hujan per fase tanaman diperlukan nilai persentase yang diambil dari persamaan (1), sebagai berikut : Fase 1 adalah 0.34x(Rp.5000/439)=Rp.3.9 per mm curah hujan Fase 2 adalah 0.43x(Rp.5000/439)=Rp.4.9 per mm curah hujan Fase 3 adalah 0.23x(Rp.5000/439)=Rp. 2.6 per mm curah hujan (Tabel 14). Jika petani mengasuransikan indeks iklim untuk satu periode tanam tercapai kondisi di mana curah hujan kumulatif lebih rendah dari indeks hujan, maka total klaim sebesar Rp. 5,315,050, tetapi maksimum pembayaran adalah Rp. 5,000,000 sesuai dengan jumlah nilai yang diasuransikan.

18 143 Tabel 14. Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di Cikedung Fase Indeks Hujan (mm) (1) Nilai per mm defisit (Rp) (2) Kumulatif hujan (mm) (3) Perhitungan Keuntungan (4)=(1-3)*(2) Nilai Klaim (Rp) (5)=(4)*Nilai Polis Fase 1 (Vegetatif) Fase 2 (Pembungaan) Fase 3 (Pengisian Biji) ,094 Total klaim Berdasarkan Gambar 73, maka periode yang berpeluang untuk dijadikan produk asuransi indeks iklim adalah pada tanggal tanam 15 Jan-15 Feb, serta 15 September-15 Oktober, yaitu dengan periode ulang 2-4 tahun. Periode yang berpeluang tinggi mengalami kekeringan, yaitu pada periode April-Juni. Apabila petani mengasuransikan indeks curah hujan pada periode April-Juni tersebut baik selama satu musim maupun per fase, maka pembayaran preminya akan lebih mahal dibandingkan periode yang lain. Gambar 73. Periode ulang produksi < threshold 2711 kg/ha Model Asuransi Indeks Iklim Asuransi indeks iklim adalah alat yang relatif baru yang dapat digunakan oleh petani untuk mengelola risiko iklim. Parameter iklim yang bisa digunakan untuk penyusunan indeks iklim cukup beragam. Menurut Manuamorn (2010), indeks iklim yang bisa digunakan antara lain : curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban tanah dan growing degree day. Dalam penelitian ini parameter

19 144 iklim yang dipilih adalah curah hujan. Hal ini disebabkan curah hujan merupakan parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap fluktuasi produksi padi. Manuamorn (2010) juga menyebutkan bahwa dalam pertanian, indeks yang paling sering digunakan adalah indeks hujan yang ditujukan untuk memproteksi petani dari bencana kekeringan. Penyusunan indeks iklim memerlukan input data yang utama yaitu data curah hujan runut waktu dalam jangka panjang (30-40 tahun) (Mapfumo 2007). Oleh karena itu keberadaan stasiun hujan menjadi sangat penting. Selain itu, pengembangan model asuransi indeks iklim, perlu didukung dengan data usahatani padi serta kesediaan membayar. Penyusunan model asuransi indeks iklim memerlukan beberapa tahapan mulai dari desain produk hingga perhitungan klaim. Didalam desain produk dilakukan tahapan sebagai berikut : 1. Menganalisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi. Produksi padi diestimasi dengan model simulasi tanaman DSSAT. 2. Menganalisis hubungan produksi padi dengan R/C untuk mendapatkan threshold produksi padi 3. Membuat desain indeks iklim berdasarkan hubungan curah hujan dan produksi padi serta threshold produksi. Penghitungan indeks iklim sebaiknya dilakukan oleh suatu tim yang disebut sains proker yang bekerja memberi pemahaman baik dari sisi peserta asuransi (dalam hal ini petani) maupun yang memberi asuransi (bank/jasa keuangan lainnya) (Boer, 2012). Tahap selanjutnya adalah pemasaran produk yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen dan pembelian polis. Indeks iklim yang telah disepakati dan diaplikasikan selanjutnya dipantau selama periode asuransi. Tahap terakhir adalah penghitungan klaim dan pembayaran. Jika curah hujan selama periode asuransi lebih rendah dari exit akan dilakukan pembayaran penuh. Apabila lebih rendah dari trigger akan dilakukan pembayaran parsial, sedangkan apabila curah hujan selama periode asuransi lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Diagram alir model asuransi indeks iklim secara garis besar disajikan dalam Gambar 74.

20 145 Gambar 74. Diagram alir model asuransi indeks iklim (dimodifikasi dari Martirez 2009) Dalam konsep asuransi indeks iklim, petani akan memperbarui kontraknya setiap tahun, Jadi indeks iklim yang dihasilkan juga akan diperbarui setiap tahunnya. Hal ini dilakukan agar indeks bisa mewakili kondisi iklim dengan masukan data terbaru (near real time). Terkait dengan waktu pelaksanaannya, asuransi indeks iklim dapat diikuti oleh petani setiap tahun karena kontrak diperbarui setiap tahunnya. Kontrak tahun ini dibuat untuk periode asuransi yang akan datang. Persyaratan mengikuti asuransi indeks iklim menurut Mapfumo (2007) adalah : 1. Tersedia jaringan stasiun cuaca. 2. Tersedia data yang berkualitas dan dalam runut waktu yang panjang (30-40 tahun). 3. Kepadatan petani tinggi di sekitar stasiun meteorology tertentu. 4. Pola cuaca relatif seragam dalam radius tertentu dari stasiun cuaca 5. Kapasitas memegang air tanah (water holding capacity) yang relatif sama untuk lahan pertanian yang diasuransikan terhadap stasiun tertentu. 6. Jaringan pengiriman yang institusional hingga bisa mencapai ke petani yang berkomitmen untuk asuransi ini dan yang memiliki kemampuan teknis mengelola proses ini. 7. Mendistribusikan dan memasarkan produk ke petani 8. Kemampuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para petani 9. Penanggung atau pengambil risiko bersedia untuk menanggung risiko atau bertindak sebagai perantara pasar untuk risiko.

21 146 Syarat lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk mengikuti program asuransi indeks iklim ini, maka petani harus memiliki tanaman padi yang diusahakan di lahan sawahnya. Petani bisa memanfaatkan kalender tanam untuk mendapatkan informasi saat tanam yang tepat. Penentuan saat tanam yang tepat serta keikutsertaan dalam asuransi indeks iklim akan membantu petani mengelola usahataninya dengan optimal. Asuransi indeks iklim didesain untuk membantu petani meningkatkan produktifitasnya. Pada tahun-tahun yang baik (good year), petani diharapkan bisa meningkatkan teknologi inputnya (varietas, pupuk, obatobatan, dan lain-lain) sehingga produksinya meningkat. Sementara pada tahuntahun buruk (bad year) petani akan mendapat klaim pembayaran asuransi indeks iklim. Dengan demikian petani diharapkan akan lebih berani dalam mengambil risiko. Pada intinya dalam pengembangan asuransi indeks iklim, ada tiga aspek yang terkait, yaitu finansial, produksi dan sosial. Asuransi indeks iklim membuka peluang bagi petani untuk diuntungkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Apabila petani sejahtera, maka hal tersebut merupakan keberhasilan dan prestasi bagi Kementerian Pertanian. Selain itu juga akan mengurangi gejolak sosial. Untuk aplikasi asuransi indeks iklim, penentuan lokasi bisa dilakukan dengan data dan informasi berdasarkan peta endemik kekeringan. Selain itu, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah : 1) iklim/biofisik, 2) posisi strategis sebagai sentra produksi, dan 3) kondisi petani (Las 2012) Simpulan Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Rata-rata produksi padi di lahan irigasi ujung berkisar antara 3,8-5,0 ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman

22 147 memperlihatkan nilai produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi Cikedung ditunjukkan oleh nilai R 2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase 1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar 0.7. Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34% (fase 1), 0.43% (fase 2) dan 0.23% (fase 3). Fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung. Pada nilai R/C=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kg/ha. Peluang terjadinya threshold<2711 kg/ha selama periode adalah 0.1 hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun. Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 439 mm untuk keseluruhan fase pada MK.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim membawa dampak pada hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan ada yang bersifat langsung seperti pada sektor pertanian

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan

VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan 7.1. Pendahuluan Perubahan iklim dan dampaknya pada berbagai sektor telah menggungah

Lebih terperinci

VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :

VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut : VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu merupakan penyebab utama (79.8%)

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 125 VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 7.1. Pendahuluan Salah satu informasi yang dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan suatu rangkaian penelitian yang mencakup analisis pewilayahan hujan, penyusunan model prediksi curah hujan, serta pemanfaatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI

8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8. MODEL RAMALAN PRODUKSI PADI 8.1 Pendahuluan Padi merupakan makanan utama sekaligus mempunyai nilai politis yang tinggi bagi orang Indonesia, yang menyediakan pendapatan secara musiman dan tenaga kerja

Lebih terperinci

V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM

V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM 5.1. Pendahuluan Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan membawa dampak yang sangat merugikan bagi petani khususnya pada usahatani

Lebih terperinci

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD 4.1. Pendahuluan Kondisi iklim dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat diperlukan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

Lebih terperinci

Lampiran 1. Diskripsi Varietas Padi Ciherang

Lampiran 1. Diskripsi Varietas Padi Ciherang L A M P I R A N 178 Lampiran 1. Diskripsi Varietas Padi Ciherang Lampiran 2. Diskripsi Varietas Padi IR 64 179 180 Lampiran 3. Peta administrasi dan plot stasiun hujan Kabupaten Indramayu S U B A N G CIREBON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM

III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM 3.1. Pendahuluan Salah satu indikator terjadinya perubahan iklim adalah semakin meningkatnya kejadian iklim ekstrim

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 KATA PENGANTAR Kejadian El Nino Tahun 2015

Lebih terperinci

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Yohanes Andika Tj. 2013110060 Al Faisal Mulk 2013110067 M. Ibnu Haris 2014110011 Abstrak Kebijakan asuransi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM 5.1. Pendahuluan Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai variabilitas dan fluktuasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang amat subur sehingga sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Indonesia memiliki iklim tropis basah, dimana iklim

Lebih terperinci

IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM

IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM 4.1. Pendahuluan Ketersediaan data curah hujan dalam jangka panjang secara runut waktu (time series) sangat diperlukan dalam analisis,

Lebih terperinci

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017 Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi data Tahap pertama dalam pembentukan model VAR adalah melakukan eksplorasi data untuk melihat perilaku data dari semua peubah yang akan dimasukkan dalam model. Eksplorasi

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN

ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN Bunyamin Z. dan N.N. Andayani Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Jagung sebagian besar dihasilkan pada lahan kering dan lahan

Lebih terperinci

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan

Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan LAMPIRAN 167 Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI 2.1. Iklim Ubi kayu tumbuh optimal pada ketinggian tempat 10 700 m dpl, curah hujan 760 1.015 mm/tahun, suhu udara 18 35 o C, kelembaban udara 60 65%, lama penyinaran

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Padi (Oryza Sativa) Tanamanpadimerupakantanamansemusim,termasukgolonganrumputrumputandenganklasifikasisebagaiberikut:

Lebih terperinci

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR Charles Y. Bora 1 dan Buang Abdullah 1.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur. Balai Besar Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Press Release PREDIKSI DAMPAK DINAMIKA IKLIM DAN EL-NINO 2014-2015 TERHADAP PRODUKSI PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN I. Prediksi Iklim hingga Akhir 2014/Awal 2015 1. Prediksi berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan dan peningkatan ketahanan

Lebih terperinci

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC) 1234567 89111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini antara lain pengamatan selintas dan pengamatan Utama 4.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Agroklimat Wilayah Penelitian Dari hasil analisis tanah yang dilakukan pada awal penelitian menunjukan bahwa tanah pada lokasi penelitian kekurangan unsur hara

Lebih terperinci

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini telah menjadi penyebab berubahnya pola konsumsi penduduk, dari konsumsi pangan penghasil energi ke produk penghasil

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Tanaman padi dapat hidup baik pada daerah yang beriklim panas yang lembab, sehingga pada tanaman padi sawah membutuhkan air yang cukup banyak terutama pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia terutama terhadap pertumbuhan nasional dan sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Sebagai negara

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. 6 regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di Indonesia salah satu tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat selain padi dan jagung

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali 7 Lambang p menyatakan produktivitas (ton/ha), Δp persentase penurunan produktivitas (%). Penggunaan formula linest dengan menggunakan excel diatas akan menghasilkan nilai m yang dapat diinterpretasikan

Lebih terperinci

SOSIALISASI KALENDER TANAM MT II TIM GUGUS KATAM BPTP Kep. Bangka Belitung

SOSIALISASI KALENDER TANAM MT II TIM GUGUS KATAM BPTP Kep. Bangka Belitung SOSIALISASI KALENDER TANAM MT II 2013 TIM GUGUS KATAM BPTP Kep. Bangka Belitung LATAR BELAKANG Keniscayaan perubahan dan dinamika iklim global serta lokal. Pilihan pola tanam bersifat spesifik lokasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang mendasari penelitian diantaranya yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN Oleh : Sumaryanto Muhammad H. Sawit Bambang Irawan Adi Setiyanto Jefferson Situmorang Muhammad Suryadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah sedang berupaya menjaga ketahanan pangan Indonesia dengan cara meningkatkan produksi tanaman pangan agar kebutuhan pangan Indonesia tercukupi. Ketidak tersediaan

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN HUJAN EFEKTIF UNTUK PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN HUJAN EFEKTIF UNTUK PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR IRIGASI DSM/IP. 16 01/01/La-IRIGASI/2015 PUSLITBANG SUMBER DAYA AIR EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN HUJAN EFEKTIF UNTUK PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR IRIGASI DESEMBER, 2015 Pusat Litbang Sumber Daya Air 0 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

PENANAMAN TANAMAN JAGUNG/ System JARWO

PENANAMAN TANAMAN JAGUNG/ System JARWO PENANAMAN TANAMAN JAGUNG/ System JARWO Oleh : Sugeng Prayogo BP3K Srengat Penanaman merupakan proses pemindahan benih kedalam tanah dengan tujuan agar tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik. Untuk memperoleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Irigasi Lambunu Daerah irigasi (D.I.) Lambunu merupakan salah satu daerah irigasi yang diunggulkan Propinsi Sulawesi Tengah dalam rangka mencapai target mengkontribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Iklim merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan di bumi. Dimana Iklim secara langsung dapat mempengaruhi mahluk hidup baik manusia, tumbuhan dan hewan di dalamnya

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lokasi penelitian

Lampiran 1 Lokasi penelitian LAMPRAN Lampiran 1 Lokasi penelitian Lampiran 1 lanjut Lampiran 2 Bentuk Kuesioner bagi pemangku kebijakan nstansi : Kabupaten : Kecamatan : NFORMAS DAR PEMANGKU KEBJAKAN No Daftar Pertanyaan Jawaban A

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing petani memiliki persepsi yang berbeda terhadap perubahan iklim. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK

VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK 113 VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK 6.1. Pendahuluan Secara umum, prinsip utama dalam pemodelan optimisasi adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

Press Release Katam Terpadu MT I 2013/2014 untuk Pencapaian Swasembada Padi, Jagung dan Kedelai Jakarta, 26 September 2013

Press Release Katam Terpadu MT I 2013/2014 untuk Pencapaian Swasembada Padi, Jagung dan Kedelai Jakarta, 26 September 2013 Press Release Katam Terpadu MT I 2013/2014 untuk Pencapaian Swasembada Padi, Jagung dan Kedelai Jakarta, 26 September 2013 (1) Berdasarkan prakiraan BMKG dan beberapa lembaga penelitian lain mengindikasikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan komoditas utama penduduk Indonesia. Kebutuhan beras terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan penduduk (Sinar Tani 2011). Beras merupakan bahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 kemudian akan digunakan untuk menduga sebaran keuntungan/kerugian kotor (gross margin) pada tiga kondisi (El Niño, dan ). Indikator ENSO yang digunakan dalam analisis ini adalah fase SOI. Keuntungan/kerugian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi dibagi kedalam tiga fase: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) reproduktif (primordial

Lebih terperinci

Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT

Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT PEMDA Propinsi NTT, Kupang CARE International Centre for Climate Risk and Opportunity Management, Bogor Agricultural University (IPB) International Rice

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014) No. 22/03/51/Th. IX, 2 Maret 2015 PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014) PRODUKSI PADI TAHUN 2014 (ANGKA SEMENTARA) TURUN 2,74 PERSEN A. PADI Angka Sementara (ASEM) produksi padi

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH Oleh: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TUJUAN KEBIJAKAN DAN KETENTUAN HPP Harga jual gabah kering panen (GKP) petani pada saat panen raya sekitar bulan Maret-April

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ; 5 yang telah tersedia di dalam model Climex. 3.3.3 Penentuan Input Iklim untuk model Climex Compare Location memiliki 2 input file yaitu data letak geografis (.LOC) dan data iklim rata-rata bulanan Kabupaten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1.Neraca Air Lahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai evapotranspirasi dihitung berdasarkan persamaan (Penman 1948). Tabel 1. Hubungan antara rata-rata curah hujan efektif dengan evapotranspirasi Bulan

Lebih terperinci