Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3 Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang cukup tinggi. Namun seperti telah disampaikan di depan bahwa luaran dari RegCM3 masih mengandung bias. Oleh sebab itu diperlukan koreksi agar data dari luaran RegCM3 bisa mendekati kondisi aktual (data observasi). Berikut disajikan pola curah hujan dan suhu udara antara data luaran RegCM3(sebelum dan sesudah dikoreksi) dengan data observasi. Data curah hujan yang digunakan untuk menentukan faktor koreksi pada penelitian ini adalah data curah hujan harian dari 1 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember Gambar 8 berikut ini adalah grafik yang menunjukkan pola hubungan curah hujan rata-rata harian antara data observasi dengan data luaran RegCM3. 25 Grafik Pola Hubungan Rata-rata CH Harian (Obs dan RegCM3) Rata-rata CH Harian (mm/hari) RegCM3 RegCM3 terkoreksi Observasi Hari Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi Gambar 8 menunjukkan pola curah hujan harian rata-rata antara data model (sebelum dan sesudah koreksi) dengan data observasi. Data curah hujan model sebelum dikoreksi (garis biru) mempunyai pola yang tidak begitu fluktuatif, 32

2 hampir sama dari hari ke hari. Bahkan tidak bisa menggambarkan adanya pengaruh musim hujan dan musim kemarau, karena dari hari ke hari nilainya hampir sama, yaitu berkisar 2-7 mm/hari. Sedangkan untuk curah hujan observasi (garis hijau) sangat fluktuatif, yaitu kisarannnya antara 0-17 mm/hari dan terlihat jelas dari adanya pengaruh musim. Dari gambaran itu menunjukkan bahwa curah hujan model sebelum dikoreksi tidak bisa menggambarkan kondisi aktual (observasi). Namun setelah dilakukan koreksi bias, data curah hujan model terkoreksi (garis merah) polanya sangat mirip dengan pola yang ditunjukkan oleh curah hujan observasi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya koreksi bias, data curah hujan model RegCM3 memiliki karakteristik yang sama dengan data curah hujan observasi (besaran curah hujan dan pola temporalnya). Sehingga secara grafis, model RegCM3 yang telah dikoreksi ini dapat dikatakan sudah handal untuk digunakan analisis lebih lanjut. Data curah hujan harian di atas apabila disederhanakan menjadi data bulanan, akan tampak seperti gambar 9 berikut ini. 400 Grafik Pola Hubungan Rata2 CH Bulanan Obs dan RegCM3 Rata2 CH Bulanan (mm/bln) RegCM3 RegCM3 Terkoreksi Observasi 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Gambar 9. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Bulanan RegCM3 (Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi Gambar 9 memperlihatkan pola curah hujan rata-rata bulanan dari data model dan data observasi. Seperti halnya dengan pola curah hujan rata-rata harian 33

3 pada Gambar 8, data dari model RegCM3 sebelum dikoreksi (garis biru) polanya tidak begitu fluktuatif sehingga kurang jelas dalam menggambarkan pengaruh musim yang terjadi. Setelah data model RegCM3 dikoreksi polanya sangat sesuai dengan data observasinya. Hal ini ditunjukkan dengan garis merah (model RegCM3 terkoreksi) dan garis hijau ( observasi) yang berimpit pada setiap bulannnya. Dari Gambar 9 tersebut dapat kita ketahui juga bahwa tipe hujan di daerah penelitian adalah monsunal. Tipe hujan monsunal ditandai dengan bentuk pola hujan yang bersifat unimodal, yaitu memiliki satu puncak musim hujan (sekitar bulan Desember-Februari) dan satu puncak musim kemarau. Dalam pola hujan ini terdapat perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau dimana biasanya terjadi masing-masing selama enam bulan (Boerema dalam Boer 2003). Bulan yang paling basah adalah pada bulan Januari, dengan curah hujan rata-rata nya adalah 350 mm/bulan dan bulan paling kering adalah pada bulan Agustus dengan curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm/bulan. Selain curah hujan, pada penelitian ini juga dilakukan koreksi bias suhu udara. Data yang digunakan untuk menentukan faktor koreksi suhu udara pada penelitian ini adalah data suhu udara bulanan mulai bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember Gambar 10 menunjukkan grafik pola hubungan suhu udara bulanan antara data observasi dengan data luaran RegCM3. Pola rata-rata suhu udara bulanan yang ditunjukkan pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa antara data model dengan data observasi sangat mirip sekali, dimana suhu udara rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan Oktober baik untuk data model maupun data observasi dan suhu rata-rata bulanan minimum terjadi pada bulan Juli. Namun data model RegCM3 sebelum dikoreksi masih menunjukkan perbedaan nilai dengan data observasi. Hal ini terlihat jelas dari garis biru (RegCM3 sebelum dikoreksi) masih berada di bawah garis hijau (observasi). Setelah dilakukan koreksi, data RegCM3 menunjukkan kesamaan dengan data observasinya, hal ini ditunjukkan dengan garis merah (RegCM3 terkoreksi) selalu berimpit dengan garis hijau (observasi) pada setiap bulannya. 34

4 Rata2 Suhu Bulanan (oc) Grafik Pola Hubungan Rata2 Suhu Bulanan RCM dan Obs RegCM3 RegCM3 Terkoreksi Observasi 24 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Gambar 10. Pola Hubungan Suhu Rata-rata Bulanan RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi Kesamaan pola dari data suhu udara model RegCM3 terkoreksi dengan suhu udara observasi pada Gambar 10 di atas mengindikasikan bahwa data suhu udara dari luaran model RegCM3 terkoreksi secara grafis bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut. Gambar 10 di atas juga menginformasikan bahwa suhu udara ratarata bulanan di daerah penelitian berkisar antara 24,7 o C 26 o C. Suhu udara tertinggi terjadi pada Februari, Mei dan Oktober, yaitu sekitar 26 0 C dan terendah terjadi pada Juli dengan suhu 24,7 o C. 4.2 Evaluasi Kehandalan Data Model Luaran RegCM3 Data luaran model RegCM3 setelah dilakukan koreksi bias perlu diuji kehandalannya secara statistik untuk mengetahui apakah data luaran model RegCM3 bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut atau tidak. Data model bisa digunakan atau dikatakan handal untuk analisis lanjutan apabila memenuhi kriteria seperti yang telah disebutkan di BAB III, yaitu dilihat dari nilai error, koefisien determinasi (R 2 ) dan NSE terhadap data observasi. antara hasil simulasi model RegCM3 35

5 Tabel 4 berikut merupakan hasil perhitungan statistik data model sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi untuk mengetahui apakah data luaran model RegCM3 handal dan bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut atau tidak. Tabel 4. Nilai R 2, Error,dan NSE (Sebelum dan Setelah Koreksi Bias) Parameter Sebelum Koreksi R 2 MSE NSE Curah Hujan Harian Bulanan Suhu Bulanan Parameter Setelah Koreksi R 2 MSE NSE Curah Hujan Harian Bulanan Suhu Bulanan (Hasil perhitungan) Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai R 2 dan NSE untuk parameter curah hujan bulanan dan suhu bulanan setelah dikoreksi bernilai 1 dan mendekati 1. Hal ini berarti bahwa antara model dan observasi menunjukkan kesamaan. Sedangkan untuk parameter curah hujan harian setelah dikoreksi nilai R 2 = dan NSE= Nilai tersebut meskipun belum mendekati sempurna, tetapi secara statistik sudah sangat layak digunakan untuk analisis lebih lanjut karena nilai R 2 dan NSE mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Indikator nilai error (MSE) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perbandingan nilai error antara data RegCM3 sebelum dan sesudah dikoreksi mengalami penurunan yang signifikan, terutama untuk parameter curah hujan bulanan dan suhu bulanan. Nilai error untuk kedua parameter tersebut mendekati nol. Berdasarkan uji kehandalan tersebut, dapat dikatakan bahwa data luaran model RegCM3 setelah dikoreksi mampu merekonstruksi dan menggambarkan kondisi iklim lokal yang mendekati kondisi lapangan. Oleh sebab itu data luaran model RegCM3 bisa diaplikasikan untuk analisis selanjutnya. Penelitian Hay (2002) juga menunjukkan bahwa RegCM2 dalam menggambarkan kondisi iklim lokal menunjukkan performa yang baik. Hal ini terbukti dalam mensimulasikan 36

6 runoff di Amerika Serikat dengan menggunakan data luaran RegCM2 menunjukkan hasil yang signifikan dengan runoff observasi. RegCM3 merupakan hasil downscaling dinamik dari model iklim yang resolusi spasialnya lebih besar, seperti GCM. Dengan adanya downscaling ini menjadikan performa RegCM3 menjadi akurat jika diterapkan untuk analisis hidrolologi pada skala lokal. 4.3 Keadaan Curah Hujan Berdasarkan Data Luaran RegCM3 Besarnya curah hujan di suatu daerah tergantung dari posisi daerah tersebut terhadap laut dan pegunungan. Atau dengan kata lain besarnya curah hujan sangat tergantung dari topografi. Kecenderungan yang ada bahwa semakin tinggi suatu tempat maka curah hujan akan semkin tinggi. Gambar 11 menunjukkan hubungan ketinggian tempat dengan besarnya curah hujan di daerah penelitian berdasarkan data luaran model RegCM3 terkoreksi. Grafik Hubungan Ketinggian dengan Curah Hujan Rata-rata CH Tahunan (mm/th) Ketinggian (m) Gambar 11. Hubungan ketinggian tempat dengan curah hujan Gambar 11 tersebut menunjukkan bahwa di daerah penelitian, besarnya curah hujan model tidak selalu tergantung dengan ketinggian tempatnya. Hal ini ditujukkan oleh garis kecenderungan yang relatif datar. Ada tempat dengan elevasi yang rendah tetapi curah hujannya lebih tinggi dibandingkan pada tempat yang elevasinya lebih tinggi. Misalnya pada lokasi dengan ketinggian 5 m dpal curah hujan tahunannya mm/tahun sedangkan daerah yang paling tinggi, yaitu m dpal curah hujannya mm/tahun. 37

7 Fenomena besarnya curah hujan seperti disebutkan di atas bisa disebabkan pengaruh daerah bayang-bayang hujan. Yaitu suatu lereng pegunungan yang sangat kecil menerima curah hujan karena curah hujan telah jatuh di lereng pegunungan sebaliknya. Daerah bayang-bayang hujan identik dengan curah hujan yang kecil karena angin yang berhembus tidak membawa uap air. Hubungan ketinggian dengan curah hujan di atas, akan nampak lebih jelas lagi dengan adanya peta sebaran curah hujan di daerah penelitian. Gambar 12 memperlihatkan sebaran rata-rata curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna berdasarkan data luaran model RegCM3 terkoreksi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa di daerah dataran rendah yang dekat pantai (Pati dan Rembang), curah hujan tahunannya paling rendah dengan rata-rata kurang dari mm/tahun. Fakta ini seusai dengan penelitian yang dilakukan oleh Turyanti (1995) dan Jadmiko (2011). Turyanti dan Jadmiko dalam penelitiannya menyatakan bahwa curah hujan daerah di pantai utara pulau Jawa lebih rendah dibandingkan dengan curah hujan di daerah pantai selatan pulau Jawa. Semakin ke atas curah hujan akan semakin besar. Ke arah utara, yaitu ada Gunung Muria yang ada di Kabupaten Kudus, curah hujan semakin meningkat. Begitu juga ke arah Barat Daya ada Gunung Merapi. Daerah di lereng Gunung Merapi, seperti Boyolali dan Salatiga curah hujan juga mengalami peningkatan. Meskipun sama-sama di lereng gunung, antara daerah yang ada di lereng Gunung Muria dengan dareah yang ada di lereng Gunung Merapi menunjukkan besaran rata-rata curah hujan tahunan yang berbeda. Sebagai contohnya daerah Boyolali yang ada di lereng Gunung Merapi curah hujannya lebih rendah dibandingkan daerah Kudus yang ada di lereng Gunung Muria. Hal ini dimungkinkan di lereng timur laut dari Gunung Merapi merupakan daerah bayang-bayang hujan, sehingga meskipun ketinggiannya hampir sama dengan lereng Gunung Muria, tetapi curah hujan di daerah lereng Gunung Merapi ini lebih kecil. Gambar 12 juga menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Sub DAS Seluna curah hujan rata-rata tahunannya sebesar mm/tahun. Daerah-daerah tersebut meliputi sebagian besar Kabupaten Grobogan, Kudus, Demak, Boyolali, Semarang, Salatiga,Sragen dan Blora. 38

8 39 Gambar 12. Curah Hujan Wilayah rata-rata tahunan di Sub DAS Seluna

9 Curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna dari tahun ke tahun kecenderungannya mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan IPCC Projected Climate Change, dalam Lavinson (2009), yang menyatakan bahwa total presipitasi dari tahun ke tahun di prediksikan akan mengalami peningkatan. Kecenderungan curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna dari tahun digambarkan pada Gambar Grafik Kecenderungan Curah Hujan CH Tahunan (mm/tahun) Tahun Gambar 13. Kecenderungan Curah Hujan Tahunan ( ) Gambar 13 di atas selain menunjukkan kecenderungan curah hujan tahunan dari tahun ke tahun yang mengalami peningkatan juga dapat diketahui bahwa curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna memiliki pola 2 puncak dan 2 lembah dalam kurun waktu 21 tahun ( ). Tahun-tahun paling kering dalam kurun waktu tersebut terjadi pada tahun 1991 dan 2004 dan tahun-tahun paling basah terjadi pada tahun 1998 dan Berdasarkan tahun 1991 dan 2004 merupakan tahun kejadian El Nino dan tahun 1998 dan 2010 merupakan tahun La Nina. Bahkan pada tahun 2010 merupakan kejadian La Nina kuat, hal ini sesuai dengan Gambar 13 di atas, bahwa pada tahun 2010 merupakan tahun paling basah. Fakta tersebut menunjukkan bahwa data luaran model RegCM3 mampu menggambarkan fenomena El Nino dan La Nina yang terjadi. 40

10 4.4 Keadaan Suhu Udara Berdasarkan Data Luaran RegCM3 Variasi spasial dari suhu udara juga sangat dipengaruhi oleh topografi permukaannya. Sesuai dengan hukum Mock bahwa setiap kenaikan 100 m dpal, maka suhu udara akan mengalami penurunan sebesar C. Jadi semakin tinggi suatu tempat maka suhu udara akan mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan fenomena yang ditunjukkan oleh data suhu udara hasil luaran model RegCM3. Hubungan ketinggian dengan perubahan suhu udara di Sub DAS Seluna ditunjukkan oleh Gambar 14. Grafik Hubungan Ketinggian dengan Suhu Udara Rata-rata Suhu Tahunan (derajat C) Ketinggian (m) Gambar 14. Hubungan antara ketinggian tempat degan suhu udara Gambar 14 menunjukkan garis kecenderungan suhu semakin menurun, artinya bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian tempatnya. Semakin tinggi suatu tempat, maka suhu udara akan semakin menurun. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada ketinggian antara m dpal, besarnya suhu udara sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 25,5 o C 27,5 o C. Seiring dengan bertambahnya ketinggian, suhu udara semakin menurun. Contohnya pada ketinggian 300 m dpal, suhu udara berkisar pada 23,5 o C dan pada titik tertinggi yang ada di Sub DAS Seluna yaitu m dpal, suhu udaranya paling rendah, yaitu sekitar 20,6 o C. 41

11 Seperti halnya dengan kecenderungan curah hujan dari tahun ke tahun yang meningkat, kecenderungan suhu udara pun juga mengalami peningkatan. Gambar 15 menunjukkan kondisi suhu udara di Sub DAS Seluna dalam kurun waktu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Suhu Udara (oc) Grafik Kecenderungan Suhu Udara Tahun Gambar 15. Kecenderungan suhu udara tahunan ( ) Pola sebaran spasial suhu udara rata-rata tahunan di Sub DAS Seluna digambarkan pada Gambar 16. Gambar 16 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna rata-rata suhu udara tahunannya antara 25,6 o C -26,5 o C. Daerah-daerah tersebut adalah sebagian besar Grobogan, Kudus, Demak dan Sragen. Suhu tertinggi yang ada si Sub DAS Seluna adalah antara 27,6-28,5 o C. Daerah dengan suhu tertinggi tersebut ada di Kabupaten Pati yang berdekatan dengan laut. Sedangkan suhu terendah yang ada di Sub DAS Seluna sebesar 20,6-21,5 o C. Daerah dengan suhu terendah tersebut ada di Kabupaten Boyolali yang berada di lereng gunung Merapi. 42

12 43 Gambar 16. Suhu Udara Rata-rata Tahunan Sub DAS Seluna

13 4.5 Evaluasi Kehandalan Model Kekeringan Uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan luas kekeringan yang dihasilkan dari model dengan luasan kekeringan aktual di daerah penelitian.wilayah yang digunakan untuk sampling adalah Kabupaten Kudus, karena persentase luas wilayah Kabupaten Kudus adalah yang terluas di Sub DAS Seluna (Tabel 2). Luasan kekeringan aktual pada uji ini dengan menggunakan data kekeringan tanaman padi, sehingga pada model yang dihitung luasan kekeringannya adalah pada penggunaan lahan sawah. Gambar 17 menunjukkan tingkat korelasi dari hubungan kekeringan aktual dengan kekeringan model pada kondisi air 0%KL sampai dengan 50%KL Grafik Nilai Korelasi Kekeringan Aktual dan Model Nilai Korelasi r hitung r tabel %KL 40%KL 30%KL 20%KL 10%KL 0%KL Kondisi Air Tersedia Gambar 17. Nilai Korelasi Kekeringan Aktual dan Model menurut %KL Gambar 17 tersebut menginformasikan bahwa model kekeringan yang handal ditunjukkan pada kondisi air tersedia 40%KL -10% KL, karena nilai r hitung di atas nilai r tabel. Dari keempat model yang handal tersebut, yang menunjukkan hubungan paling kuat adalah model pada kondisi air tersedia 30%KL, dimana r hitung nya 0.6. Koefisien korelasi menunjukkan tingkat hubungan yang kuat. Hubungan yang kuat ini mengindikasikan bahwa fluktuasi luasan kekeringan terhadap waktu antara model dan aktual menunjukkan kemiripan. Artinya pada saat luas kekeringan akutal mengalami peningkatan, maka luasan kekeringan model juga mengalami peningkatan, dan sebaliknya. Hasil analisis ini sesuai 44

14 dengan penelitian yang dilakukan oleh Supijatno (2012). Penelitian Supijatno menunjukkan bahwa ada beberapa varietas padi gogo yang masih bisa beradaptasi pada kondisi air tersedia 30% - 40% KL. Sehingga pada kondisi air tersedia dibawah 30% KL, tanaman padi sudah mengalami cekaman kekeringan. Dari analisis kehandalan model kekeringan dan didukung dari penelitian Supijatno, maka dapat dikatakan bahwa di daerah penelitian, padi mulai mengalami cekaman kekeringan pada kondisi air tersedia 30% KL. Luasan kekeringan dari model (untuk semua % kapasitas lapang) menunjukkan perbedaan dengan luasan kekeringan aktual tanaman padi. Luasan yang dihasilkan dari model sedikit overestimate. Informasi ini bisa dikatakan bahwa model belum mampu menggambarkan luasan kekeringan aktual dengan cukup baik. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu periode tertentu lahan sawah tidak semuanya ditanami padi melainkan ada yang ditanamai tanaman pertanian lainnya. Sehingga pada saat model mensimulasikan lahan sawah pada periode tertentu mengalami kekeringan, tetapi secara aktual pada saat tersebut yang tercatat hanya kekeringan tanaman padi, untuk tanaman lainnya tidak. Atau tanaman lain yang ditanam pada lahan sawah merupakan tanaman yang bisa beradaptasi terhadap cekaman kekeringan. Sehingga pada saat itu yang mengalami cekaman kekeringan hanya tanaman padi. 4.6 Karakteristik Kekeringan di Sub DAS Seluna Pola Sebaran Persentase Kapasitas Lapang di Sub DAS Seluna berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal Pola kekeringan (digambarkan dengan kondisi persentase kapasitas lapang) yang ada di Sub DAS Seluna dikelompokkan berdasarkan tahun-tahun kejadian El Nino, La Nina dan Normal. Pengelompokkan pola kekeringan dilakukan karena adanya variasi kekeringan yang sangat beragam. Pengelompokan ini menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis). Tujuan dari analisis ini untuk mentransformasi peubah-peubah asal yang berkorelasi menjadi peubah baru yang saling bebas satu sama lain. 45

15 Tahun-tahun kejadian El Nino kurun waktu berdasarkan adalah 1991,1994,1997,2002,2004,2006, dan Tahuntahun kejadian La Nina adalah 1995, 1998, 1999, 2000, 2007, dan Sedangkan tahun normal adalah tahun-tahun selain kejadian El Nino dan La Nina. Dalam setiap periode tersebut dibuat nilai rata-rata kekeringan tiap bulannya. Sehingga didapatkan rata-rata fluktuasi kekeringan dalam setahun untuk setiap kelompok. Gambar 18, 19, dan 20 menunjukkan sebaran persentase kapasitas lapang berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal di Sub DAS Seluna. POLA PERSENTASE KAPASITAS LAPANG PADA PERIODE EL NINO Gambar 18. Pola Persentase Kapasitas Lapang Periode El Nino di Sub DAS Seluna Gambar 18 menunjukkan bahwa pada periode El Nino, kluster persentase kapasitas lapang yang ada di Sub DAS Seluna terdapat 5 kluster. Dari 5 kluster tersebut, 4 kluster menunjukkan adanya kejadian kekeringan di wilayah Sub DAS Seluna. Hal ini ditunjukkan adanya garis grafik biru (persentase kapasitas lapang) yang berada di bawah batas kekeringan (30% KL). Hanya ada 1 kluster yang selama kejadian El Nino tidak terjadi kekeringan, yaitu kluster 1. Wilayah yang termasuk dalam kluster 1 ini ada di sebagian Kabupaten Boyolali. 46

16 Awal dan akhir dari kejadian kekeringan pada saat El Nino di Sub DAS Seluna berbeda-beda antara kluster yang satu dengan kluster yang lainnya. Sehingga lama berlangsungnya kekeringan pun juga berbeda. Dari Gambar 18 nampak bahwa sebagian besar awal kekeringan terjadi pada bulan Juni, yaitu pada kluster 3 dan 5. Sedangkan pada Kluster 2 mulai terjadi kekeringan pada bulan Juli dan kluster 4 pada bulan Agustus. Sebagian besar dari wilayah Sub DAS Seluna masuk dalam kluster 2. Kejadian kekeringan di kluster 2 terjadi mulai Juli sampai dengan November, sehingga kekeringan terjadi selama 5 bulan.wilayah yang paling lama mengalami kekeringan saat periode El Nino terjadi di kluster 5 dengan lama kekeringan selama 6 bulan (Juni-November). Wilyah yang masuk ke dalam kluster 5 meliputi Kabupaten Pati dan Rembang. POLA PERSENTASE KAPASITAS LAPANG PADA PERIODE LA NINA Gambar 19. Pola Persentase Kapasitas Lapang Periode La Nina di Sub DAS Seluna Gambar 19 menunjukkan bahwa pada periode La Nina, di Sub DAS Seluna terdapat 2 kluster persentase kapasitas lapang. Dari kedua kluster yang terbentuk tersebut, hampir seluruh wilayah Sub DAS Seluna masuk dalam kluster 1. Pola persentase kapasitas lapang pada kluster 1 menunjukkan bahwa tiap-tiap bulan dalam setahun tidak pernah terjadi kekeringan. Hal ini tampak dari garis grafik 47

17 biru (persentase kapasitas lapang), selalu di atas garis merah (batas terjadinya kekeringan). Informasi di atas mengindikasikan bahwa pada periode La Nina di Sub DAS Seluna sebagian besar wialyahnya tidak pernah mengalami kekeringan sepanjang tahunnya. Kluster 2, saat periode La Nina menunjukkan adanya kejadian kekeringan, yaitu terjadi pada bulan Agustus Oktober. Wilayah yang masuk kedalam kluster 2 ini adalah sebagian Kabupaten Pati dan Kudus. POLA PERSENTASE KAPASITAS LAPANG PADA PERIODE NORMAL Gambar 20. Pola Persentase Kapasitas Lapang Periode Normal di Sub DAS Seluna Gambar 20 menunjukkan pola persentase kapasitas lapang pada tiap-tiap kluster di Sub DAS Seluna pada periode tahun normal. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna masuk dalam kluster 1. Kluster 1 pada saat periode tahun normal menunjukkan adanya kejadian kekeringan pada bulan Agustus Oktober. Dari penjelasan di atas, nampak bahwa sebagian besar wilayah sub DAS Seluna pada saat periode El Nino mengalami kekeringan selama 5 bulan, yaitu 48

18 pada bulan Juli - November. Dan pada saat periode La Nina, sebagian besar wilayahnya tidak pernah mengalami kekeringan setiap bulannya. Sedangkan pada periode normal sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna mengalami kekeringan selama 3 bulan, yaitu bulan Agustus-Oktober. Hasil simulasi kekeringan dengan menggunakan data luaran RegCM3 di atas menunjukkan bahwa model RegCM3 dalam menggambarkan kekeringan di Sub DAS Seluna identik dengan karakteristik kejadian El Nino, La Nina dan Normal. Dimana kejadian El Nino diidentikkan dengan kekeringan yang berkepanjangan dan kejadian La Nina kebalikan dari El Nino (musim penghujan yang panjang). Dan tahun normal, ditandai dengan pengaruh pergerakan angin barat dan angin timur (monsoon) yang terjadi secara periodik tiap bulannya. Karakteristik kekeringan dari adanya pengaruh El Nino, La Nina dan Normal juga dapat diketahui dari deret hari kering di daerah penelitian. Kejadian El Nino ditandai dengan kekeringan yang berkepanjangan dari tahun-tahun normal. Sedangkan kejadian La Nina ditandai dengan musim penghujan yang berkepanjangan. Gambar 21 merupakan jumlah deret hari kering di Sub DAS Seluna dari tahun 1990 sampai dengan Gambar 21 tersebut menunjukkan bahwa jumlah deret hari kering di Sub DAS Seluna dipengaruhi oleh fenomena El Nino dan La Nina. Pada tahun-tahun kejadian El Nino pada umumnya jumlah deret hari kering di atas rata-rata, yaitu berkisar 160 DHK. Nilai ini menunjukkan bahwa pada saat El Nino, rata-rata kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna selama 5 bulan lebih berturut-turut. Pada tahun-tahun La Nina, jumlah deret hari kering berkurang dari rata-ratanya, yaitu berkisar 80 DHK. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kejadian kekeringan terjadi kurang dari 3 bulan berturut-turut. 49

19 Jumlah DHK (hari) Grafik Rata-rata Jumlah Deret Hari Kering Di Sub DAS Seluna = El Nino = La Nina Tahun Gambar 21. Rata-rata Jumlah Deret Hari Kering Tahun Variasi temporal rata-rata kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna ( ). Fluktuasi dari CH rata-rata, nilai peluang terjadinya kekeringan rata-rata dan besarnya kadar air tersedia berdasarkan % kapasitas lapang rata-rata disajikan pada Gambar 22. Gambar 22 memperlihatkan bahwa pola % KL mengikuti pola curah hujan. Saat curah hujan mengalami penurunan, %KL juga mengalami penurunan dan sebaliknya. Garis mendatar menunjukkan batas ambang kekeringan dari hasil uji kehandalan model kekeringan, yaitu pada kondisi air 30%KL. Berdasarkan nilai ambang batas tersebut, di daerah penelitian rata-rata mulai mengalami kekeringan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober. Dan puncak kekeringan paling parah terjadi pada bulan September, yaitu dengan kondisi air tersedia lebih kurang 12%KL dan peluang terjadinya adalah 83%. Sedangkan paling basah terjadi pada bulan Januari, dengan kondisi air 90,3%KL. Peluang untuk terjadi kekeringan pada bulan-bulan Desember sampai dengan April kurang dari 10%, sehingga pada bulan Desember-April apabila dilakukan penanaman padi sangat cocok. Karena padi merupakan tanaman yang membutuhkan air tersedia cukup banyak dan bisa dipenuhi pada periode Desember-April. 50

20 Grafik Pola Hubungan Rata2 CH,Peluang dan % KL CH rata2 (mm/bulan) CH % KL Peluang % KL dan Peluang (%) 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 0 Bulan Gambar 22. Pola CH rata-rata, %KL rata-rata dan Peluang rata-rata Variasi spasial rata-rata kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna ( ). Sebaran kekeringan di Sub DAS Seluna dan grafik hubungan antara luasan kekeringan aktual dengan model berdasarkan kabupaten/kota yang ada di Sub DAS Seluna dapat disajikan pada Gambar 23. Gambar 23 (a) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Sub DAS Seluna pada saat bulan-bulan terkering, yaitu bulan Agustus, September dan Oktober telah mengalami kekeringan. Persentase luas wilayah dengan kondisi air tersedia 0%-10% KL adalah 4,5%, kemudian secara berturut turut pada kondisi air tersedia 10%-20%KL, 20%-30%KL, 30-40%KL, dan 40%-52%KL adalah 51,17%, 37,67%, 6,67%, dan 0.02%. 51

21 (a) Hubungan Luas Kekeringan Aktual dan Model 120 Luas Kekeringan Model (ha) Luas Model Luas Aktual r= Luas Kekeringan Aktual (ha) 0 0 (b) Gambar 23. (a) Rata-rata Kondisi Air Tersedia pada Bulan Agustus-Oktober Menurut %KL, (b) Hubungan Luasan Kekeringan Aktual dan Model menurut Kabupaten/Kota 52

22 Persentase luasan wilayah berdasarkan kondisi air tersedia pada bulan-bulan terkering menunjukkan bahwa di Sub Das Seluna sebagian besar wilayanya pada kondisi air 10%-20% KL. Menurut Enciso et al (2007) tanaman-tanaman yang sensitif terhadap cekaman kekeringan, saat kondisi air tanah terendah pada 25% KL masih bisa ditolerir. Berarti di bawah 25% KL sudah mulai mengalami cekaman kekeringan. Jika dikaitkan dengan pendapat Enciso tersebut, maka sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna pada bulan Agustus-Oktober telah mengalami cekaman kekeringan. Karena memiliki kondisi air di bawah 25%KL. Wilayah dengan kondisi air tersedia 10%-20% KL tersebut meliputi sebagian besar Blora, Pati, Kudus,Grobogan dan Rembang, serta sebagian kecil Boyolali dan Sragen. Gambar 23 (b) merupakan grafik hubungan luasan kekeringan model (luas kekeringan pada penggunaan lahan sawah) dan luasan kekeringan aktual (luas kekeringan untuk tanaman padi). Proses untuk mendapatkan luas kekeringan model yaitu mula-mula ditentukan grid-grid yang ada di wilayah penelitian masuk kategori kering (%KL <30) ataukah tidak kering (%KL >= 30). Selanjutnya diberikan kode pada masing-masing grid. Kode 1 apabila kondisinya kering dan kode 0 apabila kondisinya tidak kering. Dari kode-kode tersebut diinterpolasi, sehingga dihasilkan peta sebaran kekeringan di lokasi penelitian. Berhubung data kekeringan aktual merupakan data luasan kekeringan tanaman padi, maka pada model yang dihitung adalah luasan kekeringan yang terjadi di penggunaan lahan sawah. Luas kekeringan di penggunaan lahan sawah didapatkan dengan cara overlay peta sebaran kekeringan dengan peta penggunaan lahan. Dari hasil overlay tersebut akan didapatkan luas kekeringan pada berbagai penggunaan lahan. Dan yang dipakai untuk analisis dalam penelitian ini adalah luas kekeringan yang ada di penggunaan lahan sawah. Nilai korelasi antara luasan kekeringan model dengan aktual pada Gambar 23 (b) menunjukkan korelasi r=0.61. Nilai korelasi ini mengandung arti hubungan yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan analisis kekeringan dengan menggunakan input data luaran RegCM3 mampu menggambarkan karakteristik (sebaran) kekeringan di daerah penelitian dengan cukup baik. Gambar 23 (b) jika dihubungkan dengan Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kabupaten/kota yang 53

23 persentase luas wilayah masuk Sub DAS nya kecil akan menyebabkan berkurangnya nilai korelasi, misalnya Kabupaten Rembang, persentase luas wilayah yang masuk Sub DAS hanya 2,53% menunjukkan pola hubungan luas kekeringan model dengan luas kekeringan aktual yang tidak baik. Demikian juga untuk Kabupaten Semarang (14.24%) dan Kabupaten Sragen (13.86%). Hal ini dikarenakan semakin besarnya error yang dihasilkan. Namun untuk kabupaten/kota yang persentase luas wilayah masuk Sub DAS nya besar, menunjukkan pola hubungan luas kekeringan aktual dan luas kekeringan model yang bagus. Misalnya Kabupaten Kudus (77,06%), Kabupaten Grobogan (73.77%) dan Pati (60.87%). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa persentase luas wilayah yang masuk Sub DAS sangat menentukan keakuratan validasi antara luasan kekeringan aktual dan luasan kekeringan model. Oleh sebab itu agar didapatkan hasil penelitian yang validitasnya baik, maka penelitian selanjutnya supaya dilakukan pada satuan penelitian dengan batas administrasi, sehingga akan didapatkan persentase luas wilayah yang optimal. Nilai korelasi antara luasan aktual dan luasan model meskipun cukup baik, namun luasan yang dihasilkan dari model masih menunjukkan nilai yang overestimate. Sehingga untuk menduga luasan kekeringan untuk tanaman padi di lapangan bisa diduga dari nilai kekeringan model dengan menggunakan persamaan yang dihasilkan dari Gambar 24 berikut ini. 120 Persmaan Garis Lurus Luasan Kekeringan Aktual dan Model Luas Aktual (ha) y = 0.001x Luas Model (ha) Gambar 24. Persamaan garis lurus antara luasan aktual dan model Gambar 24 merupakan hubungan garis lurus antara luasan kekeringan aktual dengan kekeringan model. Persamaan yang dihasilkan adalah: 54

24 y = 0.001x Keterangan : y = luasan kekeringan aktual (kekeringan padi) (ha) x = luasan kekeringan model (ha) Dengan menggunakan persamaan di atas, maka dapat untuk menduga nilai kekeringan aktual (kekeringan tanaman padi) yang terjadi di lokasi penelitian dengan memasukkan nilai luasan kekeringan yang dihasilkan dari model Peluang kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna bersasarkan El Nino, La Nina dan Normal. Seperti telah disebutkan di sub bab viariasi temporal di atas, bahwa kekeringan memiliki variasi yang berbeda-beda tiap bulannya dan tiap tahunnya. Pada sub bab ini akan dibahas mengenai peluang kejadian kekeringan tiap bulan berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal dari perhitungan kekeringan tahun Gambar 25 berikut menunjukkan peluang kejadian kekeringan di Sub DAS Seluna dari bulan Januari sampai dengan Desember berdasarkan kejadian El Nino, La Nina dan Normal. Gambar 25 secara umum menunjukkan bahwa pada bulan Januari - April, seluruh wilayah Sub DAS Seluna peluang terjadinya kekeringan < 20%. Karena pada bulan-bulan tersebut merupakan musim penghujan, sehingga tambahan air untuk soil moisture tercukupi. Mulai bulan Mei besarnya peluang kejadian kekeringan semakin meningkat. Peningkatan besarnya peluang kejadian kekeringan ini dimulai dari arah pantai Pati dan semakin bergeser ke arah barat daya (kearah Kabupaten Boyolali). Pada periode El Nino, kekeringan mengalami puncaknya pada bulan Oktober dengan peluang antara 81% - 100% terjadi di hampir seluruh wilayah Sub DAS Seluna. Puncak kekeringan pada saat La Nina dan Normal terjadi pada bulan yang sama, yaitu bulan September, tetapi besarnya peluang berbeda. Besarnya peluang kejadian kekeringan saat puncak kekeringan periode La Nina mulai dari 20% - 100%. Pada bulan ini sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna peluang kekeringannya kurang dari 60% dan hanya sebagian kecil yang peluang kekeringannya antara 81%-100%. Sedangkan pada puncak kekeringan periode Normal sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna memiliki peluang kejadian kekeringan antara 81% -100%, dan sisanya antara 61% - 80%. 55

25 Gambar 25. Peluang Kejadian Kekeringan Bulanan di Sub DAS Seluna 56

26 Ditinjau dari topografinya, daerah dataran rendah secara umum memiliki peluang kejadian kekeringan yang lebih besar dibandingkan daerah dataran tinggi. Pada gambar 25 di atas, peluang paling kecil terjadinya kekeringan terjadi di daerah lereng gunung Merapi dan peluang paling besar terjadinya kekeringan di dataran rendah dekat pantai. Fenomena ini bisa disebabkan tingginya suhu udara di wilayah pesisir pantai dan rendahnya suhu udara di wilayah dataran tinggi. Menurut Nicholls (2004), suhu udara yang tinggi akan lebih memperbesar kekeringan, meskipun curah hujannya tidak begitu rendah dari biasanya. Pernyataan Nicholls tersebut diperkuat lagi dengan bukti bahwa meskipun sama-sama terletak pada daerah lereng pegunungan, antara Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Kudus memiliki peluang kekeringan yang berbeda. Peluang kekeringan di Kabupaten Kudus lebih tinggi dibandingkan Kabupten Boyolali, padahal rata-rata curah hujan tahunan di Kabupaten Kudus lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena faktor suhu udara. Rata-rata suhu udara di Kabupaten Kudus lebih tinggi sehingga proses evapotranspirasi yang terjadi lebih besar dan simpanan air yang ada di dalam tanah menjadi lebih sedikit. Gambar 25 dapat digunakan sebagai acuan dalam analisis risiko bencana kekeringan. Analisis risiko terhadap bencana kekeringan ini sangat penting, selain dapat diketahui wilayah mana saja yang berisiko menerima dampak dan kerugian akibat kekeringan, juga dapat diketahui wilayah yang menjadi prioritas pelaksanaan program rencana aksi pengurangan risiko bencana. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, misalnya dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Gambar 25 menunjukkan bahwa daerah-daerah yang paling rentan terhadap kejadian kekeringan adalah di Kabupaten Pati, Blora, Rembang, dan sebagian kecil Kabupaten Kudus. Sehingga wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi risiko bencana kekeringan yang paling besar dibandingkan wilayah lainnya. Oleh sebab itu masyarakat di wilayah-wilayah ini haruslah dikenalkan suatu paradigma baru dalam menghadapi bencana, yaitu paradigma pengurangan risiko. Dalam paradigma ini, setiap individu, masyarakat di daerah 57

27 diperkenalkan dengan berbagai ancaman yang ada di wilayahnya yang terkait dengan bencana kekeringan, bagaimana cara mengurangi ancaman dan kerentanan yang dimiliki, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi setiap ancaman. Misalnya saja dengan mengubah pola tanam yang selama ini telah dilakukan secara turun termurun, membangun jaringan irigasi atau sumursumur bor, sehingga pada saat bencana kekeringan terjadi suplai air masih didapatkan meskipun jumlahnya berkurang. Atau bisa juga dengan menanam tanaman yang bisa beradaptasi terhadap cekaman kekeringan pada saat bulanbulan yang memiliki peluang kejadian kekeringan besar. 4.7 Perbandingan Penggunaan Data Murni RegCM3 dengan Data Campuran (Data Aktual dan Data RegCM3) Data iklim yang ada di Indonesia kebanyakan tidak lengkap dan ada beberapa yang terputus seri waktunya. Hal ini telah dijelaskan pada tinjauan pustaka di depan. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan data iklim yang lengkap dan memiliki panjang data yang lama bisa dilakukan pemutakhiran data dengan mengisi data-data yang kosong dengan menggunakan data hasil pemodelan iklim. Berikut disajikan contoh perbandingan hasil penggunaan data murni model RegCM3 dengan data hasil pemutakhiran (data campuran antara data aktual dan data RegCM3) untuk menghitung luas kekeringan pada lahan sawah di Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobogan. Luas Kekeringan (ha) Grafik Perbandingan Luas Kekeringan Model (data murni RegCM3 dan data campuran) Kabupaten Kudus Data RegCM3 Data Campuran (RegCm3+Aktual) NSE = 0.5 r = 0.76 Kejadian Kekeringan (a) 58

28 70000 Grafik Perbandingan Luas Kekeringan Model (data murni RegCM3 dan data campuran) Kabupaten Grobogan Luas Kekeringan (ha) NSE = 0.3 r = 0.72 Data RegCM3 Data Campuran (RegCm3+Aktual) Kejadian Kekeringan (b) Gambar 26. Perbandingan Penggunaan Data Model dan Data Pemutakhiran (campuran data aktual dengan data model). (a) Kudus. (b) Grobogan Gambar 26 menunjukkan bahwa antara data model dengan data hasil pemutakhiran ketika digunakan untuk mencari luas kekeringan penggunaan lahan sawah di daerah penelitian menunjukkan kemiripan. Hal ini ditandai dengan nilai efisiensi (NSE) positif dan nilai korelasi yang sangat kuat (r > 7). Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan data model RegCM3 dapat digunakan untuk mengisi data-data yang kosong pada data aktual yang kurang lengkap dan terputus seri waktunya. 59

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan Pola hujan di Jawa Barat adalah Monsunal dimana memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim

Lebih terperinci

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Produktifitas Tanaman Padi Analisis potensi kerentanan produksi tanaman padi dilakukan dengan pendekatan model neraca air tanaman dan analisis indeks kecukupan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai. 6 KAT i = KAT i-1 + (CH-ETp) Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang. Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ; 5 yang telah tersedia di dalam model Climex. 3.3.3 Penentuan Input Iklim untuk model Climex Compare Location memiliki 2 input file yaitu data letak geografis (.LOC) dan data iklim rata-rata bulanan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB I PENDAHULUAN Pengaruh pemanasan global yang sering didengungkan tidak dapat dihindari dari wilayah Kalimantan Selatan khususnya daerah Banjarbaru. Sebagai stasiun klimatologi maka kegiatan observasi

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan suatu rangkaian penelitian yang mencakup analisis pewilayahan hujan, penyusunan model prediksi curah hujan, serta pemanfaatan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya. KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan daerah bagian paling selatan dari pulau Sulawesi yang terhampar luas di sepanjang koordinat 0 o 12 8 o Lintang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG OUTLINE I. GEMPABUMI TSUNAMI KEPULAUAN MENTAWAI (25 - oktober 2010); Komponen Tsunami Warning System (TWS) : Komponen Structure : oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0. 9 a : intersep (perubahan salinitas jika tidak hujan) b : slope (kemiringan garis regresi). Koefisien determinasi (r 2 ) masing-masing kelompok berdasarkan klaster, tahun, dan lahan peminihan (A dan B)

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA 30 BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Data Curah Hujan DAS Brantas Data curah hujan di DAS Brantas merupakan data curah hujan harian, dimana curah hujan harian berasal dari stasiun-stasiun curah hujan yang ada

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Diskripsi Lokasi Studi Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di wilayah Kabupaten Banyumas dengan luas areal potensial 1432 ha. Dengan sistem

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 52 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada Wilayah Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS LST MODIS merupakan suatu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1  ( ) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Informasi ramalan curah hujan sangat berguna bagi petani dalam mengantisipasi kemungkinan kejadian-kejadian ekstrim (kekeringan akibat El- Nino dan kebanjiran akibat

Lebih terperinci

A. Metode Pengambilan Data

A. Metode Pengambilan Data 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pengambilan Data Dalam penelitian ini prosedur yang digunakan dalam pengambilan data yaitu dengan mengambil data suhu dan curah hujan bulanan dari 12 titik stasiun

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan

Lebih terperinci

EVALUASI MODEL IKLIM REGIONAL RegCM3 UNTUK REKONSTRUKSI DATA IKLIM HISTORIS

EVALUASI MODEL IKLIM REGIONAL RegCM3 UNTUK REKONSTRUKSI DATA IKLIM HISTORIS EVALUASI MODEL IKLIM REGIONAL RegCM3 UNTUK REKONSTRUKSI DATA IKLIM HISTORIS Unggul Handoko a, Akhmad Faqih b, Rizaldi Boer b, dan Wahyoe Soepri H c a Pusat Penelitian Limnologi-LIPI b Klimatologi Terapan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH OUT LINE 1. CAPAIAN PRODUKSI 2. SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN 3. CAPAIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 125 VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 7.1. Pendahuluan Salah satu informasi yang dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali 7 Lambang p menyatakan produktivitas (ton/ha), Δp persentase penurunan produktivitas (%). Penggunaan formula linest dengan menggunakan excel diatas akan menghasilkan nilai m yang dapat diinterpretasikan

Lebih terperinci

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA Nuzul Hijri Darlan, Iput Pradiko, Muhdan Syarovy, Winarna dan Hasril H. Siregar

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL DAN BAHASAN BAB 4 HASIL DAN BAHASAN 4.1 Hasil dan Bahasan 4.1.1 Penentuan Suku Cadang Prioritas Untuk menentukan suku cadang prioritas pada penulisan tugas akhir ini diperlukan data aktual permintaan filter fleetguard

Lebih terperinci

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C

Tz 1 = (28,4 0,59 x h ) o C Kriteria yang digunakan dalam penentuan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah adalah sebagai berikut: Bulan kering (BK): Bulan dengan C

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1.1 Lokasi Geografis Penelitian ini dilaksanakan di waduk Bili-Bili, Kecamatan Bili-bili, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Waduk ini dibangun

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH

PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH OUTLINE Kondisi Dinamika Atmosfir Terkini Prakiraan Cuaca di Jawa Tengah Prakiraan Curah hujan pada bulan Desember 2015 dan Januari Tahun 2016 Kesimpulan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu paling penting dalam kebijakan pembangunan dan global governance pada abad ke 21, dampaknya terhadap pengelolaan sektor pertanian dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran sektor pertanian sangat penting terhadap perekonomian di Indonesia terutama terhadap pertumbuhan nasional dan sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Sebagai negara

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang

CH BULANAN. Gambar 3. Curah hujan bulanan selama percobaan lapang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Agroklimat Wilayah Penelitian Dari hasil analisis tanah yang dilakukan pada awal penelitian menunjukan bahwa tanah pada lokasi penelitian kekurangan unsur hara

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi Kebutuhan Tanaman Padi UNIT JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGST SEPT OKT NOV DES Evapotranspirasi (Eto) mm/hr 3,53 3,42 3,55 3,42 3,46 2,91 2,94 3,33 3,57 3,75 3,51

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG 1. TINJAUAN UMUM 1.1.

Lebih terperinci

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life Klasifikasi Iklim Klimatologi Klasifikasi?? Unsur-unsur iklim tidak berdiri sendiri tetapi saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Terdapat kecenderungan dan pola yang serupa apabila faktor utama

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN 3 APRIL 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi). 1. Klasifikasi Iklim MOHR (1933) Klasifikasi iklim di Indonesia yang didasrakan curah hujan agaknya di ajukan oleh Mohr pada tahun 1933. Klasifikasi iklim ini didasarkan oleh jumlah Bulan Kering (BK) dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Dilihat dari peta Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Grobogan terletak diantara dua pegunungan kendeng yang membujur dari arah ke timur dan berada

Lebih terperinci

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING Ivony Alamanda 1) Kartini 2)., Azwa Nirmala 2) Abstrak Daerah Irigasi Begasing terletak di desa Sedahan Jaya kecamatan Sukadana

Lebih terperinci

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap

Gbr1. Lokasi kejadian Banjir dan sebaran Pos Hujan di Kabupaten Sidrap BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BALAI BESAR METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA WILAYAH IV MAKASSAR STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I MAROS JL. DR. RATULANGI No. 75A Telp. (0411) 372366 Fax. (0411)

Lebih terperinci

7. PERUBAHAN PRODUKSI

7. PERUBAHAN PRODUKSI 7. PERUBAHAN PRODUKSI 7.1. Latar Belakang Faktor utama yang mempengaruhi produksi energi listrik PLTA dan air minum PDAM adalah ketersedian sumberdaya air baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kuantitas

Lebih terperinci

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen 7 radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN 4.1. Perencanaan Pengelompokan Area Kelurahan Kedung Lumbu memiliki luasan wilayah sebesar 55 Ha. Secara administratif kelurahan terbagi dalam 7 wilayah Rukun Warga (RW) yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alur Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna Bendungan Selorejo : III-1 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi tempat penelitian ini

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH Oleh : Sri Harjanti W, 0606071834 PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU Arif Ismul Hadi, Suwarsono, dan Herliana Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu, Telp. (0736)

Lebih terperinci

UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 2015

UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 2015 BMKG UPDATE HASIL MONITORING EL NINO DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN AGUSTUS DESEMBER 15 Status Perkembangan 18 Agustus 15 RINGKASAN, VERSI 18 AGUSTUS 15 Monitoring kolam hangat di Laut Pasifik menunjukkan konsistensi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015 KATA PENGANTAR Sektor pertanian merupakan sektor yang vital dalam perekonomian Jawa Tengah. Sebagian masyarakat Jawa Tengah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Peningkatan kualitas dan kuantitas

Lebih terperinci

Arti Penting Kalender Tanam (Katam) Padi

Arti Penting Kalender Tanam (Katam) Padi PENGEMBANGAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ADAPTASI KALENDER TANAM PADI TERHADAP ENSO IOD BERBASIS KALENDER TANAM PADI TERHADAP ENSO SUMBERDAYA IKLIM DAN AIR Mengetahui waktu dan pola tanam di daerah tertentu

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan

Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan LAMPIRAN 167 Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi dan BTR kelapa sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi dan BTR kelapa sawit 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Penunasan terhadap Produksi, Jumlah Tandan dan BTR Pengaruh penunasan dilihat dari pengaruhnya terhadap produksi, jumlah tandan dan bobot tandan rata-rata pada setiap kelompok

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Berdasarkan analisis penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 22 dan 27 diketahui bahwa penurunan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Press Release BMKG Jakarta, 12 Oktober 2010 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA 2 BMKG A F R I C A A S I A 3 Proses EL NINO, DIPOLE MODE 2 1 1963 1972 1982 1997 1 2 3 EL NINO / LA NINA SUHU PERAIRAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

REGRESI KUADRAT TERKECIL PARSIAL UNTUK STATISTICAL DOWNSCALING

REGRESI KUADRAT TERKECIL PARSIAL UNTUK STATISTICAL DOWNSCALING REGRESI KUADRAT TERKECIL PARSIAL UNTUK STATISTICAL DOWNSCALING Aji Hamim Wigena Departemen Statistika, FMIPA Institut Pertanian Bogor Jakarta, 23 Juni 2011 Pendahuluan GCM (General Circulation Model) model

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia umumnya dikelilingi oleh lautan yang berada antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Samudera ini menjadi sumber kelembaban utama uap air

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC) 1234567 89111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112

Lebih terperinci

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011 BMKG KEPALA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Dr. Sri Woro B. Harijono PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011 Kemayoran Jakarta, 27 Mei 2011 BMKG 2 BMKG 3 TIGA (3) FAKTOR PENGENDALI CURAH

Lebih terperinci

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 LAMPIRAN 34 Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 Bulan Cikapundung Citarik Cirasea Cisangkuy Ciwidey mm Januari 62,9 311 177 188,5 223,6 Februari 242,1 442 149 234 264 Maret 139,3 247 190

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Irigasi Lambunu Daerah irigasi (D.I.) Lambunu merupakan salah satu daerah irigasi yang diunggulkan Propinsi Sulawesi Tengah dalam rangka mencapai target mengkontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) 7608201,7608342, 7608621, 7608408 S E M A R A N G 5 0 1 4 4 Website : www.psda.jatengprov..gp.id Email

Lebih terperinci

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur. 6 regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier sederhana

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN Jonizar 1,Sri Martini 2 Dosen Fakultas Teknik UM Palembang Universitas Muhammadiyah Palembang Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III NOVEMBER 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci