2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Gerombolan (Shoal) dan Kawanan (School) Ikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Gerombolan (Shoal) dan Kawanan (School) Ikan"

Transkripsi

1 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Gerombolan (Shoal) dan Kawanan (School) Ikan Predator dan makanan adalah kunci dalam memahami gerombolan ikan. Kerjasama dalam menaklukkan predator dan mencari makan secara bersama-sama menggambarkan keseimbangan antara bergabung, bersaing, atau meninggalkan kelompok. Dalam kehidupan nyata, saat predator menghampiri gerombolan ikan yang sedang mencari makan, maka secara spontan gerombolan ikan tersebut akan bersikap waspada. Sekali terdeteksi oleh predator, gerombolan ikan akan mempertahankan diri daripada mencari makan (feeding) (Pitcher & Parrish, 1983). Gerombolan ikan menunjukan adanya kesan koordinasi dan sekali-kali terlihat mempunyai derajat sosial yang sama tanpa pemimpin yang saling bekerja sama melindungi spesies (Breder, 1954; Shaw, 1962; Radokov, 1973 diacu dalam Pitcher & Parrish, 1983). Dalam hal ini, gerombolan lebih memperhatikan kehomogenan dan kesinkronan. Tingkah laku gerombolan lebih banyak tertuju pada spekulasi fungsi (Shaw, 1978; Partridge, 1982a diacu dalam Pitcher & Parrish, 1983), sampai sekarang eksperimen kunci masih sedikit dilakukan. Pada gerombolan ikan, menghindari serangan sederhana dan serangan mendadak sama sekali tidak berhubungan dengan seleksi tingkah laku kelompok. Kelompok ikan yang tinggal bersama untuk alasan sosial disebut gerombolan/shoal (Pitcher & Parrish, 1983), analog dengan hal kawan untuk burung. Didefinisikan sebagai kelompok sosial ikan, gerombolan tidak mempunyai implikasi untuk struktur atau fungsi. Pitcher & Parrish (1983) menjelaskan bahwa sinkronisasi dan polarisasi kelompok renang disebut school. Schooling atau perkawanan ikan adalah salah satu tingkah laku pamer oleh ikan dalam gerombolan (Gambar 2.1) dan kawanan ikan mempunyai struktur yang dapat diukur dalam sinkronisasi dan polarisasi. Secara akustik, obyek yang terlihat pada echogram menggambarkan agregasi organisme bukan secara individual, sehingga disebut kawanan. Kawanan, akan terlihat pada peralatan survey akustik, echosounder ataupun sonar pada berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum adalah jejak gema (echo trace) tunggal, kuat dan terputus-putus. Reid et al. (2000) menyebutkan bahwa pengertian kawanan akan selalu menimbulkan debat antar ilmuan biologi tingkah laku, sehingga tidak mungkin untuk diputuskan. Definisi kawanan untuk tujuan akustik ini mewakili kumpulan

2 yang terlihat pada echosounder. Definisi yang diberikan Kieser et al. (1993) diacu dalam Reid et al. (2000) adalah agregasi ikan multiple. Disertasi ini, merujuk pengertian schooling atau kawanan ikan pada Gambar 2.1 bahwa, kawanan ikan memiliki kekhasan dalam polarisasi kelompok renang tertentu dan tingkah laku tertentu, sehingga terlihat sebagai suatu struktur khas yang dapat dijadikan sebagai suatu parameter terukur. Ger ombolan / S hoal Kriteria: hubungan sosial Mencari makan K aw a nan/ Kriteria: tingkah laku sinkronis asi renang Memijah A B C T ingkah laku individu T aktik Anti predator D E KET ERANGAN: A. menghindari vacuole/lubang yang mer upakan ancaman B. invasi dengan cepat C. polaris asi kompak D. kumpulan terpencar E. melarikan diri dengan sembunyi Gambar 2.1 Diagram Venn hubungan definisi tingkah laku gerombolan dan kawanan ikan (Pitcher & Parrish, 1983) Berdasarkan diagram Venn pada Gambar 2.1, memijah dan mencari makan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup sehingga ikan akan memijah atau mencari makan dapat dilakukan dalam bentuk kelompok (schooling, shoaling) atau individu. Ikan membentuk gerombol berdasarkan hubungan sosial baik itu mencari makan, memijah atau upaya mempertahankan diri dari predator. Gerombolan ikan biasanya juga akan membentuk kawanan ikan. Kawanan ikan terbentuk sebagai upaya untuk menunjukkan jati diri kelompok tertentu. Hal ini terlihat pada kesinkronan kelompok dengan tingkah laku dan kelompok renang tertentu. Tujuan pembentukan kelompok (shoaling, schooling) adalah sebagai upaya memudahkan mencari makan, mencari pasangan dalam memijah dan taktik untuk menghindar atau mempertahankan diri dari serangan predator. Ikan soliter (hidup secara individu) mempertahankan diri dari serangan predator dengan cara melarikan diri dan sembunyi. Taktik yang dilakukan oleh gerombolan ikan untuk menghindari serangan predator adalah dengan

3 membentuk polarisasi kompak kemudian membentuk pencaran dan bergabung lagi sehingga menyulitkan predator untuk memangsa. Sementara kawanan ikan, taktik yang dilakukannya adalah dengan membentuk polarisasi kompak kemudian melakukan invasi dengan cepat dan yang terpenting tidak membiarkan adanya vacuoles yang merupakan ancaman masuknya predator dalam kawanan. 2.2 Identifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan Ikan dapat di identifikasi dengan 2 (dua) cara, yakni identifikasi ikan secara ex situ dan secara in situ. Identifikasi ikan secara ex situ atau secara taksonomi adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi ikan dengan mengambil sampel ikan, dilihat ciri-ciri meristik dan morfometriknya (atau dilihat sampel DNA nya) serta mencocokkannya dengan kunci identifikasi dan taksonomi. Identifikasi ikan secara in situ atau secara hidroakustik adalah suatu usaha untuk mengenali atau mengidentifikasi kawanan ikan dengan gelombang suara yang ada pada suatu area tertentu, pada waktu tertentu tanpa menyentuh kawanan ikan tersebut. Kelebihan dan kekurangan identifikasi ikan tersebut tertera pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Identifikasi ikan secara in situ dan ex situ Ex situ (Taksonomi) Identifikasi Ikan In situ (Hidroakustik) Kelebihan Kekurangan Kelebihan Kekurangan Spesies ikan dapat Membutuhkan waktu Dapat mengidentifikasi Harus ditunjang langsung diketahui relatif lama dalam spesies tanpa dengan sampling secara akurat identifikasi ikan di menyentuh kawanan biologi areal tertentu ikan (terutama di daerah tropis) Dapat dilakukan Densitas ikan dapat Dapat mengetahui Tingkat keakuratan kapan saja dan tidak diketahui dengan cara densitas dan masih rendah memerlukan peralatan sampling penyebaran spesies khusus dalam ikan yang diidentifikasi penyimpanan sampel. di suatu perairan Identifikasi dengan DNA masih mahal Mahal biaya surveinya Sebagaimana diungkapkan pada Tabel 2.1, salah satu kelemahan metode hidroakustik adalah dalam hal identifikasi ikan. Oleh karena itu Lu & Lee (1995) mengembangkan software EIPS (Echo-signal Image Processing System) untuk mengidentifikasi spesies ikan dari echogram gerombolan ikan, dengan menggunakan dual beam echosounder. Sistem pengolah sinyal akustik tersebut berisi program untuk transformasi citra digital, pengolahan citra digital, pengukuran dan komputasi deskriptor dan fungsi diskriminan untuk identifikasi

4 spesies. Selain itu digunakan juga principal component analysis, clustering analysis dan stepwise discriminant analysis dalam menentukan hubungan antara deskriptor. Deskriptor akustik penting dalam identifikasi spesies yang berhubungan dengan struktur eksternal gerombolan ikan (area, perimeter, tinggi, lebar, panjang aksis, sirkular, rektangular dan jumlah piksel) dan struktur internal gerombolan ikan (nilai rata-rata, standar deviasi, skewness, kurtosis dan amplitude sinyal). Keakuratan identifikasi spesies menggunakan sistem ini mencapai 98% untuk round scad, 97% untuk anchovy, 94% untuk skipjack, 91% untuk larval fish dan 67% untuk horse mackerel. Scalabrin et al. (1996) melakukan identifikasi akustik narrow-band gerombolan ikan monospesifik. Sinyal narrow-band backscatter mengandung informasi yang berbeda maka ekstraksi fitur yang benar, penting dalam keberhasilan identifikasi spesies gerombolan ikan. Data akustik yang digunakan untuk identifikasi spesies yaitu echogram, amplitude probability, density function dan fitur spektral. Image processing digunakan untuk memperbaiki deskriptor gerombolan ikan, namun hasilnya belum dapat mengidentifikasi spesies. Alasannya adalah: (1) penggunaan narrow-band echosounder pada perairan dangkal tidak sesuai untuk fitur alat, seperti lebar beam, durasi pulsa dan frekuensi. Echosounder tersebut umumnya beroperasi dengan single beam width (10 o ), sehingga mengakibatkan rendahnya angular resolution yang secara serius membahayakan pengukuran morfologi shoal; (2) Data yang digunakan mencakup periode waktu yang lama (5 tahun) dan musim yang berbeda. Konsekuensinya, kisaran yang luas dari kondisi lingkungan ditunjukkan dengan berubah-ubahnya pengamatan untuk horse mackerel. Spesies ini menunjukkan perbedaan tingkah laku, yang mungkin berhubungan dengan kondisi lingkungan dan kebiasaan makannya. Kisaran yang luas pada karakteristik akustik mengakibatkan perubahan struktur gerombolan ikan dan tumpang tindih spesies. LeFeuvre et al. (2000) mengembangkan peralatan analisis untuk mengidentifikasi cod (Gardus marhua) dan capelin (Mallotus villosus) dengan menggunakan echogram resolusi tinggi. Pendekatan teknik pengolahan citra digunakan untuk menilai dan menganalisis berbagai fitur akustik yang diterima. Selanjutnya mengembangkan model algoritma untuk membedakan antar spesies. Klasifikasi jarak Mahalanobis digunakan pada pengukuran jarak antar spesies. Implementasi peralatan analisis tersebut diuji dengan perangkat lunak FASIT (Fisheries Assessment and Species Identification Toolkit) menggunakan data echosounder digital 38 KHz. Pendekatan yang digunakannya ditekankan pada

5 pengembangan peralatan untuk ekstraksi fitur dan teknik klasifikasi pada situasi tertentu, dan tidak mengembangkan algoritma klasifikasi secara umum. Identifikasi spesies kawanan ikan pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan menggunakan deskriptor akustik dan informasi tambahan dilakukan oleh Lawson et al. (2001). Pengukuran deskriptor akustik ditekankan pada deskriptor morfometrik, energetik dan bathymetrik kawanan ikan anchovy (Engraulis capensis), sardine (Sardiops sagax) dan round herring (Etrumeus whiteheadi). Pengukuran kawanan ikan diekstraksi menggunakan software komersial (echoview sonar data). Data akustik dikumpulkan dengan echosounder vertikal selama operasi trawl survei stok pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan pada bulan November 1997, 1998 dan Ketepatan identifikasi spesies yang diperoleh dalam studi ini mencapai 88.3% tergantung penggunaan variabel pada diskriminasi. Studi tersebut telah menunjukkan bahwa analisis langsung pada data akustik konvensional menghasilkan identifikasi spesies dengan keakuratan tinggi. Pencantuman variabel tambahan memperbaiki identifikasi spesies secara substansial. Gambar 2.2 adalah kawanan herring tunggal dari identifikasi survei dalam sistem pengolahan citra (Reid et al., 2000). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, ada beberapa hal yang dapat meningkatkan keakuratan identifikasi spesies kawanan ikan, yaitu: (1) Penggunaan alat hidroakustik split beam echosounder menghasilkan identifikasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan dual beam ataupun single beam. (2) Penggunaan deskriptor akustik yang relevan disuatu perairan diperlukan dalam memperbaiki identifikasi spesies kawanan ikan. (3) Adanya faktor lingkungan yang menunjang seperti suhu, salinitas, lintang, bujur, musim dan sebagainya.

6 Permukaan laut Kawanan Ikan Dasar perairan Gambar 2.2. Kawanan herring tunggal dari identifikasi survei akustik sistem pengolahan citra. Tabel sebelah kanan merupakan deskriptor yang dihitung pada kawanan herring (Reid et al., 2000). 2.3 Klasifikasi Hidroakustik Kawanan Ikan

7 Definisi klasifikasi menurut Ludwig (1988) adalah pengelompokan atau penggerombolan (cluster) dari suatu objek berdasarkan pada kemiripannya. Lagler et al. (1963) menambahkan bahwa organisme akuatik, termasuk ikan, dapat diklasifikasikan secara ekologi dengan cara yang berbeda-beda. Menurut toleransi lingkungan, dapat dikelompokkan dari toleransi sempit sampai ke lebar, seperti steno dan eury. Klasifikasi suhu yaitu stenothermal dan eurythermal, salinitas yaitu stenohaline atau euryhaline dan seterusnya. Contoh lain klasifikasi ikan, berdasarkan kategori basis lokasi dalam ekosistem akuatik seperti bentik (ikan dasar), pelagis (berenang bebas), atau planktonik (pergerakannya tergantung arus). Klasifikasi berdasarkan arah migrasi seperti migrasi vertikal dan horizontal. Rose & Leggett (1988) telah berhasil melakukan klasifikasi kawanan ikan cod, capelin dan mackerel dengan deskriptor akustik. Quadratic Discriminant Function digunakan untuk analisis klasifikasi kawanan ikan berdasarkan target strength, kedalaman, dan jarak off-bottom mencapai ketepatan 77%. Sampel bebas akustik kawanan cod dan capelin selama tahun 1985 yang berhasil diklasifikasikan mencapai ketepatan 93%, berdasarkan variabel SPT (Standarized Peak to Through distance), PP (Peak to Peak distance), koefisien variasi inversi, kedalaman dan jarak off-bottom. Fisher (1936) diacu dalam Rose & Leggett (1988) menyatakan bahwa teknik diskriminan cocok untuk klasifikasi taksonomi dari sinyal akustik. Richards et al. (1991) juga berhasil melakukan klasifikasi ikan rockfish (famili Scorpaenidae) di perairan sebelah barat laut Vancouver Island-Kanada. Berdasarkan integrasi echo, penggunaan Nearest Neighbour Analysis (NNA) mencapai ketepatan di atas 97%. Variabel yang digunakan adalah time of day, dispersion, log mean volume density dan mean off bottom distance. Studi tersebut tidak mempertimbangkan fitur berdasarkan kedalaman, karena klasifikasi agregasi ikan harus didasarkan pada karakteristik fitur dari distribusi echo ikan bukan pada lokasi secara geografi. Penelitian mengenai klasifikasi kawanan ikan secara hidroakustik masih jarang dilakukan bila dibandingkan dengan identifikasi kawanan ikan. Klasifikasi kawanan ikan merupakan kelanjutan dari identifikasi kawanan ikan. Titik berat pada klasifikasi kawanan ikan terletak pada pembuatan kelas-kelas yang dijadikan parameter. 2.4 Struktur Hidroakustik Kawanan Ikan

8 Freon et al. (1992) menyatakan bahwa strukutur kawanan ikan secara umum digambarkan dalam 3 parameter yaitu: 1) densitas rata-rata seluruh kawanan, 2) susunan ikan secara individu dalam struktur dan 3) bentuk eksternal kawanan. Parameter-parameter tersebut dipengaruhi faktor internal (tingkat kedewasaan spesies) dan eksternal. Faktor eksternal dibagi menjadi dua kelompok yaitu: 1) kondisi lingkungan (temperatur, intensitas cahaya, ketersediaan mangsa) dan 2) stimuli eksternal (stimuli visual yang datang dari predator alam atau kapal). Struktur kawanan internal bersifat heterogen dan struktur ini berubah ketika ada kapal yang lewat di atas kawanan. Struktur kawanan tersebut mempengaruhi variabilitas densitas, khususnya untuk kawanan ikan pelagis. Di lain pihak, heterogenitas struktur kawanan mengakibatkan kesulitan dalam memperkirakan biomassa kawanan berdasarkan volume eksternal pada multibeam sonar dan perkiraan densitas yang menggunakan perhitungan visual atau model distribusi. Studi akustik yang dilakukan oleh Masse et al. (1996) mengenai struktur dan distribusi spasial kawanan ikan pelagis bertujuan menganalisis perkiraan jejak gema spesies spesifik yang diinginkan dan menguji pengaruh susunan spesies pada posisi vertikal, dan bentuk dari kawanan. Karakteristik yang diamati adalah ukuran (tinggi, vertical cross-section area), elongasi (panjang/tinggi), energi hambur balik (densitas) dan distribusi vertikal (kedalaman dasar, altitude school). Struktur kawanan yang dinyatakan dalam tipologi akustik dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Reid et al., 2000). Skema yang mewakili tipologi akustik ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Scattered fish. Dicirikan dengan sejumlah besar gema ikan tunggal yaitu ikan tidak beragregat dalam suatu struktur (tipe 1). (2) Fish in schools. Dicirikan dengan sejumlah diskret dan kawanan yang dapat diidentifikasi. Informasi ini secara langsung bisa berasal dari database kawanan yang digambarkan langsung (tipe 2). (3) Fish in aggregation. Pada layar echogram ikan terbentuk dalam agregasi yang hilang. Agregasi ini digambarkan sebagai clouds (tipe 3) (4) Fish in pelagic layer (tipe 4a). Ikan pada lapisan ini seringkali terlihat menyebar pada lapisan mid-water yang bersambungan sampai dengan beberapa mil. Lapisan seperti ini sulit digambarkan menggunakan citra. Ada beberapa yang terlihat seperti patahan-patahan kecil dalam lapisan.

9 Gambar 2.3 Tipologi akustik untuk aplikasi database ESDU (Reid et al., 2000).

10 Struktur seperti ini meskipun dapat dilihat sebagai suatu rangkaian dalam kawanan terpisah, sebaiknya dilihat sebagai lapisan struktur. Dalam hal ini echogram membentuk lapisan tipis dalam kolom air. Sebuah lapisan, meskipun terjadi patahan sebaiknya dilihat dalam bentuk 3D seperti diagram kue dengan sesekali terdapat lubang. (5) Fish in demersal layer (tipe 4b). Memiliki kemiripan dengan tipe 4a tetapi lebih dekat dengan dasar laut. Argumen yang sama tentang kekontinuan spasial demersal seperti pada lapisan pelagis 2.5 Perkembangan Deskriptor Akustik Deskriptor akustik adalah variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari pantulan akustik. Deskriptor akustik pertama kali dikenalkan oleh Rose & Leggett (1988). Penelitian yang dilakukan berupa klasifikasi sinyal hidroakustik kawanan ikan berdasarkan spesies. Alat akuisisi data akustik yang digunakan adalah echosounder dual beam model Biosonics 105 (120kHz). Hasil analisis diskriminan kuadratik memaparkan bahwa deskriptor akustik dapat diklasifikasikan secara benar sebesar 93% adalah kawanan cod dan capelin. Tetapi akan berkurang tingkat akurasinya (77%) jika melibatkan nilai TS. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Deskriptor akustik untuk klasifikasi (Rose & Leggett, 1988) No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Off Bottom distance (m) [5]. Standar deviation voltage (V 2 ) [2]. School depth (m) [6]. Peak to Peak (m) [3]. Maximum voltage (V 2 ) [7]. SPT [4]. Mean voltage (V 2 ) Penelitian ini dilanjutkan oleh Richards et al. (1991) dengan klasifikasi kumpulan (assemblage) ikan berdasarkan survei integrasi gema menggunakan deskriptor akustik di dua lokasi yang berbeda di Kepulauan Vancouver Canada. Alat yang digunakan adalah BioSonic digital echo integrator. Hasil Nearestneighbour analysis (NNA) menunjukkan bahwa kumpulan ikan rockfish dapat dibedakan berdasarkan kategori habitat sebesar 97%. Deskriptor akustik yang digunakannya untuk penelitian tertera pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Deskriptor akustik menurut Richards et al. (1991) No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik

11 [1]. Off Bottom (D) [3]. Time (T) [2]. Dispersi (N) [4]. Density mean volume (V) Penelitian hidroakustik mengenai pola spasial plankton menggunakan echogram dilakukan di Perancis oleh Baussant et al. (1993). Metode deskriptor akustik yang digunakan adalah geometri (maksudnya morfometrik) dan statistik (maksudnya energetik). Alat yang digunakan adalah model BioSonic 102 (38kHz). Hasil analisis mutivariate menunjukkan bahwa terjadi korelasi negatif antara deskriptor akustik geometri dan statistik pada patches plankton. Deskriptor yang digunakan tertera pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Deskriptor akustik menurut Baussant et al. (1993) A. Geometry B. Statistic [1]. Area [1]. Mean Intensity [2]. Perimeter [2]. Maximum intensity [3]. External Hight [3]. Variance [4]. External Width [4]. Coefisien variation [5]. Internal Hight [5]. Skewness [6]. Internal Width [6]. Kurtosis [7]. Fractal Dimension [7]. Horizontal rugosity [8]. Nearest Neighbour Distance [8]. Vertikal rugosity [9]. Nearest Neighbour Angle [9]. Coefisien horizontal rugosity [10]. Coefisien vertikal rugosity Pada penelitian sebelumnya, Freon et al.,1992 mengamati langsung dengan melihat struktur kawanan, densitas rata-rata dan bentuk kawanan (plumelike, egg-shaped dan mill). Alat yang digunakan adalah SIMRAD EY-M sounder portable (70 khz). Penelitian ini tidak menggunakan deskriptor akustik. Weill et al.,1993 mengembangkan software MOVIES B khusus untuk mendeteksi kawanan ikan. Software ini merupakan pengembangan dari INES- MOVIES (Diner et al., 1989). Deskriptor yang digunakan tertera pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Deskriptor akustik menurut Diner et al. (1989) A. General A. Morphology [1]. ESDU (0.1 mil) [1]. Height [2]. Speed vessel (S) [2]. Length B. Acoustic [3]. Perimeter [3]. Echosounder frequency (khz) [4]. Cross sectional Area [4]. Number of sample above echo integrasi threshold (Sa) [5]. [6]. Fractal Dimension Elongation [5]. Number of ping (N) B. Bathymetric [6]. Number of total sample (St) [7]. Depth Bottom C. Time and space position [8]. Shoal depth [7]. Year [9]. Shoal minimum altitude [8]. Day a year [10]. Shoal altitude index [9]. Time C. Energetic [10]. Quadrate geography [11]. Deviation (Qd) [11]. Longitude [12]. Volume reverberation Index [12]. Latitude [13]. Energy backscatter [14]. Amplitude Mean value [15]. Amplitude sample maximum value

12 [16]. Amplitude standar deviation [17]. Amplitude coefisien variation Di Afrika Selatan, Barange (1994) mengembangkan deskriptor akustik dengan pengenalan matriks. Alat yang digunakan adalah split beam echo sounder SIMRAD EK500 dengan frekuensi operasional 38 khz. Pada penelitian ini, Barange menemukan adanya pengelompokan (patchiness) biologi berdasarkan data hambur balik akustik. Hasilnya adalah pengelompokkan ikan horse mackerel dan zooplankton dapat diidentifikasi sebesar 54-78%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Deskriptor akustik menurut Barange (1994) A. Size and shapes C. Feature internal patch [1]. Length [8]. Mean acoustic Intensity [2]. Height [9]. Variance acoustic intensity [3]. Area [10]. Maximum acoustic Intensity [4]. Perimeter [11]. Minimum acoustic Intensity [5]. Fractal dimension [12]. Skewness B. Relational [13]. Kurtosis [6]. Nearest Neighbour Distance (NND) [14]. Horizontal roughness [7]. Nearest Neighbour Angle (NNA) [15]. Vertikal roughness Di Taiwan, Lu & Lee (1995) mengidentifikasi spesies gerombolan ikan menggunakan sistem pengolahan citra jejak sinyal (sinyal-echo image processing) dengan deskriptor akustik. Alat yang digunakan adalah dual beam echosounder. Hasilnya adalah gerombolan ikan pelagis (round scad, skip jack, horse mackerel dan larva ikan) dapat diidentifikasi sebesar 98%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.7. Tabel 2.7. Deskriptor akustik menurut Lu & Lee (1995) A External structure B. Internal structure [1]. Cross section area [11]. Mean signal amplitudo [2]. Perimeter [12]. Standar deviation signal amplitudo [3]. Hight [13]. Skewness [4]. Width [14]. Kurtosis [5]. Length [15]. Integrated optical density [6]. Major axis angle [16]. Horizontal uniform optical density [7]. Number of pixel [17]. Vertikal uniform optical density [8]. Elongation [9]. Circularity [10]. Rectangularity Scalabrin et al.,1996 mengidentifikasi gerombolan sardin dan anchovy di Teluk Biscay, Perancis menggunakan deskriptor akustik sebesar 98%, tetapi akan berkurang tingkat akurasinya jika melibatkan jarak yang luas berdasarkan ruang dan waktu. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel 2.8. Tabel 2.8. Deskriptor akustik menurut Scalabrin et al.(1996) No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Nearest Neighbour Distance [4]. Shoal number density

13 [2]. Standar Deviation [3]. Mean [5]. IAR (ratio area influence) Deskriptor ini ditambahkan dari MOVIES-B, yaitu: No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Area [6]. Fractal dimension [2]. Bottom depth [7]. Scattering volume [3]. Shoal minimum depth [8]. Average Amplitudo [4]. Length [9]. Amplitudo standar deviation [5]. Elongation Masse et al.,1996 membuat kajian akustik dalam struktur dan distribusi spasial kawanan ikan pelagis. Alat yang digunakan adalah single beam echo sounder Ossian 1500 (38 khz). Deskriptor yang digunakan berasal dari program INES-MOVIES sebagaimana tertera pada Tabel 2.9. Tabel 2.9. Deskriptor akustik menurut Masse et al. (1996) No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Height [4]. Back scattering energy [2]. Elongation [5]. Vertical distribution (bottom depth & acoustic school) [3]. Vertical cross area Selanjutnya Reid et al., 2000 membuat standar baku dalam menganalisis kawanan ikan berdasarkan hasil survei. Data diekstraksi menjadi 3 parameter utama yaitu, kawanan (school), ESDU dan bagian (region). Deskriptor akustik yang digunakan sebagai standar baku tertera pada Tabel Tabel Deskriptor akustik menurut Reid et al. (2000) [1]. School Parameter Position Morfometrik Energetic Environment Biological [2]. ESDU Position Energetic Hydrography Acoustic typology Seabed [3]. Region/Strata = Temporal, vertical and geographical = Shape, height, width etc = Total acoustic energy and internal school variation index = Hidrography and physical (seabed substrat and topography) = Species, age structure, others species etc = Date, time, vessel log, longitude, latitude = Total echo integral from fish or plankton = Sea surface temperature, and salinities (SST and SSS) = Scattered fish, school fish, aggregation fish, pelagis layer etc = Depth water, seabed topography, slope, substrat Bahri & Freon (2000) membuat struktur spasial kawanan ikan pelagis menggunakan deskriptor akustik di dua lokasi yang berbeda Laut Mediterranean. Metode geostatistik (teknik variogram) digunakan untuk menganalisis struktur spasial. Berdasarkan teknik variogram, kawanan ikan pelagis di Laut Mediterranean memiliki struktur. Deskriptor akustik yang digunakannya tertera pada Tabel 2.11.

14 Tabel Deskriptor akustik menurut Bahri & Freon (2000) No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Back scatter energy [8]. Perimeter [2]. School Reverberation volume index [9]. Area [3]. Length [10]. Average depth [4]. Average hight [11]. Minimum Altitude [5]. Maximum hight [12]. Relatif Altitude [6]. Elongation [13]. Minimum depth [7]. Roughness school Pada perkembangan selanjutnya, LeFevre et al., 2000 mengembangkan perangkat lunak FASIT untuk mengidentifikasi bentuk, tekstur dan objek positif gerombolan ikan menggunakan deskriptor akustik. Hasilnya adalah gerombolan ikan (Cod, Capelin, Red Fish) dapat diidentifikasi sebesar 98%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel Tabel Deskriptor akustik menurut LeFevre et al. (2000). No Deskriptor Akustik No Deskriptor Akustik [1]. Area [9]. Mean Amplitude [2]. Perimeter [10]. Maximum Amplitude [3]. Compactness [11]. Minimum Amplitude [4]. Roughness [12]. Amplitude Standard deviation [5]. Width [13]. Depth to the top of the object [6]. Height [14]. Depth to the centroid of the object [7]. Axis [15]. Distance from the object to the seabed [8]. Elongation SHAPES (SHoal Analysis and Patch Estimation System) untuk mencirikan kawanan sardin di Agulhas Bank Afrika Selatan diteliti oleh Coetzee (2000). Pada analisis echogram, ditekankan pada penggunaan scattering area sebagai variabel dalam menghitung scattering volume. Hasilnya adalah deskriptor akustik morfologi merupakan deskriptor akustik yang paling berperan dalam karakteristik kawanan ikan sardine. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel Tabel Deskriptor akustik menurut Coetzee (2000). A Morphology B Internal Energetic [1]. Height (apparent) [9]. Mean echo intensity [2]. Length (apparent) [10]. Standard deviation of echo intensity [3]. Height (real) [11]. Coefficient of variation of echo intensity [4]. Length (real) [12]. Coefficient of Horizontal roughness [5]. Area [13]. Coefficient of Vertical roughness [6]. Volume [14]. Skewness [7]. Perimeter [15]. Kurtosis [8]. Fractal dimension C Correction data [16]. NND [18]. Number of cells [17]. NNA [19]. Ping to discard

15 Lawson et al., 2001 mengidentifikasi spesies kawanan ikan pelagis di paparan benua perairan Afrika Selatan menggunakan deskriptor akustik dan informasi tambahan berupa data suhu dan salinitas. Hasilnya adalah kawanan ikan pelagis (anchovy, sardine, round herring) dapat diidentifikasi sebesar 88,3%. Deskriptor akustik yang digunakan tertera pada Tabel Tabel Deskriptor akustik menurut Lawson et al. (2001) A. Morphometric B. Energetic [1]. Height [5]. Mean acoustic energy [2]. Length [6]. Standard deviation of acoustic energy [3]. Perimeter [7]. Skewness of acoustic energy [4]. Area [8]. Kurtosis of acoustic energy C. Bathymetric [9]. Mean school depth [10]. Altitude index 2.6 Perikanan Pelagis Di Perairan Selat Bali Burhanudin & Preseno (1982) diacu dalam Wudianto (2001) menyatakan bahwa perairan Selat Bali diperkirakan memiliki luas mencapai 900 mil persegi dan dibatasi oleh daratan Pulau Jawa (di sebelah barat), daratan pulau Bali (di sebelah timur), Laut Jawa (Selat Madura) dengan lebar 1 mil (di sebelah utara) dan Samudera Hindia dengan lebar 28 mil (di sebelah selatan). Usaha penangkapan di perairan Selat Bali terutama ditujukan untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil seperti lemuru, tembang, dan layang. Alat tangkap yang umum digunakan oleh nelayan setempat yakni: pukat cincin, payang, jaring insang, rawai dasar, pancing, bagan, sero dan lainnya. Spesies kawanan ikan pelagis di perairan Selat Bali sebagian besar didominasi oleh jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru) dengan kisaran 14-98%, selanjutnya tongkol (Auxis spp) dengan kisaran %, layang (Decapterus sp) dengan kisaran % dan ikan lainnya dengan kisaran % pada Tahun (Wudianto, 2001). Lemuru merupakan jenis ikan pelagis kecil yang berdasarkan buku statistika perikanan Indonesia, terdiri dari beberapa jenis antara lain: Sardinella longiceps, S. aurita, S. leiogaster, S. clupeiodes, dan Amblygaster sirm. Perairan Selat Bali umumnya didominasi oleh Sardinella longiceps. Tahun-tahun terakhir ini sebutan S. longiceps jarang digunakan sebagai sebutan nama ilmiah lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali (Wudianto, 2001). Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan Wongratana, 1982 diacu dalam Merta, 1992 mengidentifikasikan jenis lemuru di perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru Bleeker, Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru di perairan selat Bali yang dilakukan oleh Wongratana,1982 adalah sebagai berikut:

16 Kingdom : Animalia Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella Subgenus : Harengula Species : Sardinella lemuru Bleeker, 1983 Budihardjo et al., 1990 menyebutkan bahwa sekitar 80% produksi total ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru). Komposisi hasil tangkapan pada Gambar 2.4, menunjukkan bahwa spesies kawanan ikan pelagis kecil didominasi oleh lemuru. Produksi hasil tangkapan lemuru yang tinggi terjadi bulan Agustus sampai Desember. Gambar 2.4. Rata-rata bulanan produksi ikan dari pukat cincin berdasarkan jenis ikan, Tahun (Wudianto, 2001) Nelayan di perairan Selat Bali membedakan ukuran panjang ikan lemuru hasil tangkapan menjadi 4 penamaan, yaitu: sempenit (panjang maksimal 11 cm), protolan (15 cm), lemuru (18 cm) dan lemuru kucing (panjang minimal 19 cm) (Merta, 1992). 2.7 Pendugaan Kawanan Ikan Menggunakan Hidroakustik Pendeteksian kawanan ikan dengan menggunakan peralatan hidroakustik dilakukan pertama kali oleh nelayan Norwegia sekitar tahun Selama Perang

17 Dunia II hidroakustik mengalami perkembangan yang luar biasa sebagai alat pendeteksi kapal selam. Setelah perang berakhir, pengetahuan tentang akustik diaplikasikan untuk pendeteksian ikan secara intensif, namun hasilnya belum terwujudkan secara kuantitatif. Nelayan saat itu hanya menterjemahkan echogram dari hasil echosounder ke dalam estimasi hasil tangkapan (Widodo, 1999). Setelah diketemukannya integrator gema (echo-integrator) secara digital yang mampu mengkuantifikasikan hasil mengamatan akustik maka hidroakustik dapat diaplikasikan untuk pendugaan stok ikan (Johanneson & Mitson, 1983). Di Indonesia pemanfaatan metode akustik untuk pengkajian stok sumberdaya ikan dimulai sejak tahun 1972 dengan menggunakan Kapal Penelitian Lemuru milik FAO bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan Ditjen Perikanan (Venema, 1996 diacu dalam Wudianto, 2001). Penggunaan metode akustik untuk pendugaan stok sumberdaya perikanan terdapat kelebihan dan kekurangannya. Thorne (1983) yang dikutip Wudianto (2001) mengungkapkan beberapa kelebihan metode akustik dibanding metode lainnya antara lain: (1) dengan metode akustik tidak tergantung pada ketersediaan data statistik perikanan seperti hasil tangkapan dan upaya penangkapan, (2) memiliki skala waktu yang lebih baik, (3) biaya operasional relatif rendah, (4) hasilnya memiliki ragam (variance) yang rendah atau ketelitian yang tinggi, dan (5) memiliki kemampuan untuk mengestimasi kelimpahan absolut ikan. Beberapa kekurangan pemanfaatan metode akustik antara lain: (1) lemah dalam memilahmilah ikan berdasarkan spesies, (2) kurang teliti digunakan untuk sampling ikan dekat permukaan dan dasar, (3) agak rumit dan komplek (4) diperlukan biaya awal yang tinggi, (5) diperlukan sampling biologi ikan dan (6) kemungkinan terjadi bias saat penentuan target strength dan kalibrasi. Menurut Scalabrin & Masse (1993) pendeteksian kawanan ikan secara akustik dapat digolongkan menjadi 2 cara jika dilihat dari prinsip kerjanya yaitu: (1) pengamatan dari atas (secara vertikal) dengan echosounder dan (2) pengamatan dari arah samping (secara mendatar) dengan sonar. Sesuai dengan keterbatasan jangkauan alat, kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan echosounder yang prinsip kerjanya dari atas maka pengukuran terhadap panjang kawanan ikan hasilnya lebih teliti dibanding hasil pengukuran terhadap tingginya. Namun sebaliknya, jika penggunaan sonar hasil pengamatan tinggi kawanan ikan lebih akurat dibanding hasil pengamatan terhadap panjang kawanan Echosounder split beam system Echosounder split-beam memiliki transducer yang dibagi dalam 4 kuadran. Arah target ditentukan dengan membandingkan sinyal yang diterima masing-masing kuadran. Transducer memiliki dua fungsi yaitu pertama, mengubah energi listrik menjadi pulsa akustik yang ditransmisikan, kadang-kadang disebut dengan ping; kedua, ketika target memantulkan

18 ping, transducer mengubah echo akustik ke sinyal elektrik. Pulsa transmisi digunakan untuk seluruh transducer tetapi sinyal yang diterima oleh tiap kuadran diproses secara terpisah (MacLennan & Simmond, 1992) Target strength dan densitas ikan Target strength (TS) merupakan kekuatan dari suatu objek atau target untuk memantulkan gelombang suara yang datang mengenainya (Ehrenberg, 1983). Dengan demikian target strength dapat dirumuskan seperti berikut (Urick, 1983) TS = 10 log ó/4ð.... (2.1) Menurut MacLennan & Simmonds (1992), TS merupakan backscattering cross section (ó bs ) dari target. Clay & Medwin (1979) yang dikutip MacLennan & Simmonds (1992) menyatakan ó bs lebih tepat digambarkan sebagai total dari cross section, yaitu merupakan total dari kuantitas sebesar 4ð, untuk memperjelas perbedaan dari satuan intensitas lain karena ó bs meliputi satu unit area. Backscattering cross section dapat juga digambarkan dalam satuan decibels (db) sehingga nilai back scattering cross section adalah ó/4ð, dimana acoustic cross-section (ó) merupakan luas bidang penerima sejumlah energi dari target yang memantulkan gema. Dengan demikian persamaan TS dapat dituliskan sebagai berikut: TS = 10 log ó bs.....(2.2) Johanesson & Mitson (1983) menambahkan bahwa ikan tidak berbentuk seperti bola (spere) dan tidak kaku, sehingga pantulan gelombang suara yang mengenainya tidak teratur (anisotropic reflector). Hal ini menyebabkan TS ikan menjadi sangat kompleks untuk diketahui. Nilai TS ikan anchovy hidup dalam kurungan yang dilakukan oleh Iida et al., 1999 adalah: TS = 20 log L (2.3) Nilai TS untuk pendugaan stok ikan pelagis di Afrika Selatan adalah: TS (db/kg) = log L (2.4) Sedangkan nilai TS ikan sardin hasil penelitian Coetzee (2000) adalah

19 TS (db/kg) = 14.9 log L (2.5) Menurut MacLenan & Simmonds (1992) diketahui bahwa rata-rata nilai TS dari jenis ikan lemuru (Clupea sp.) berkisar antara ( ) db hampir sama dengan ikan jenis herring. Rata-rata ukuran panjang yang dimiliki ikan lemuru, khusus perairan Selat Bali, berkisar antara 6-23 cm sepanjang tahun (Merta,1992). Metode echo integration (integrasi gema) digunakan untuk mengintegrasi densitas ikan, dimana gema dari target ganda menjadi overlap dan ikan tunggal sulit dipisahkan. Integrasi gema berguna untuk mengubah energi total dari gema ikan menjadi densitas ikan dalam satuan fish/m 3 atau kg/m 3. Pendugaan nilai densitas dihitung dari nilai S A yang merupakan nilai integrasi gema. Untuk mendapatkan nilai S A (Scattering area) didapat dari persamaan berikut R2 4π R Sv. r 1852m / nm..... (2.6) R1 2 SA = ( ) 2 Untuk mendapatkan nilai Sv (Scattering volume) yang merupakan nilai dari intensitas suara yang mengenai target pada volume air tertentu (m 3 ) didapat dari persamaan berikut ini: Sv = S A 2 4πR ( 1852m / nm) ( R R ).(2.7) dimana R = jarak referensi (1 m), R 2 -R 1 = tinggi lapisan perairan yang dianalisis. Sehingga nilai densitas ikan berdasarkan areanya adalah : S A ρ A =...(2.8) σ bs dimana ρ A = densitas ikan perluasan perairan pada kolom air tertentu S A = nilai back scattering area σ bs = nilai back scattering cros section TS i Nilai σ bs adalah sebagai berikut: σ...(2.9) bs = Persamaan densitas untuk berat TS normal ikan herring (Clupea harengus) pada 38 khz adalah:

20 Density 3 ( g m ) Density( g. m. = 2 S A 0.1TS / kg ( 4π R) (log S [ 10 A 76.34) TS / ]* 100 * (2.10) ) =...(2.11) 2 kg Halldôrsson dan R eynisson (1983) diacu dalam Coetzee (2000).

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei hidroakustik dalam bidang perikanan dilakukan dengan tujuan untuk memperkirakan stok ikan di suatu perairan. Untuk memenuhi harapan tersebut, survei-survei yang

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perairan umum daratan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi, sehingga tercatat sebagai salah satu perairan dengan mega biodiversity di Indonesia. Komisi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK FAUZIYAH

IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK FAUZIYAH IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK FAUZIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

Karakteristik Shoaling Ikan Pelagis Menggunakan Data Akustik Split Beam di Perairan Selat Bangka Pada Musim Timur

Karakteristik Shoaling Ikan Pelagis Menggunakan Data Akustik Split Beam di Perairan Selat Bangka Pada Musim Timur ISSN 0853-7291 Karakteristik Shoaling Ikan Pelagis Menggunakan Data Akustik Split Beam di Perairan Selat Bangka Pada Musim Timur Fauziyah, Hartoni dan Agussalim A Jl. Lingkar Kampus UNSRI Inderalaya PS

Lebih terperinci

PENENTUAN KARAKTERISTIK KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK

PENENTUAN KARAKTERISTIK KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK PENENTUAN KARAKTERISTIK KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK (Determination of Pelagic Fish Schools Characteristics Using Acoustic Descriptors) Fauziyah 1 dan Indra Jaya 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

5 KLASIFIKASI SPESIES KAWANAN IKAN

5 KLASIFIKASI SPESIES KAWANAN IKAN 5 KLASIFIKASI SPESIES KAWANAN IKAN 5.1 Pendahuluan Sejauh ini aplikasi teknik hidroakustik dalam bidang perikanan dibatasi pada ketidakmampuan membedakan secara objektif antar kelompok taksonomi berdasarkan

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

5 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK

5 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK 5 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK 5.1 Pendahuluan Dalam bidang perikaan, metode statistik adalah metode analisis yang paling sering digunakan dalam melakukan identifikasi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK ACOUSTIC DESCRIPTOR ANALYZER (ADA-VERSI 2004) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK ACOUSTIC DESCRIPTOR ANALYZER (ADA-VERSI 2004) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK ACOUSTIC DESCRIPTOR ANALYZER (ADA-VERSI 2004) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS (Development of Acoustics Descriptor Analyzer (ADA- version 2004) for Pelagic Fish School

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini teknologi hidroakustik atau perangkat lunak pengolah sinyal akustik masih sulit untuk dapat mengetahui jenis dan panjang ikan secara langsung dan akurat. Selama

Lebih terperinci

3 METODOLOGI LAUT BALI. Pengambengan. 20 m. gs ratu. 200 m SAMUDERA INDONESIA

3 METODOLOGI LAUT BALI. Pengambengan. 20 m. gs ratu. 200 m SAMUDERA INDONESIA 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2003 Agustus 2004 di Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor dan UPT Baruna Jaya BPPT

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Nilai Target Strength (TS) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) Nilai target strength (TS) merupakan parameter utama pada aplikasi metode akustik dalam menduga kelimpahan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK Identification and Classification of Lemuru Schoal of Bali Strait Based on Hydroaccoustics Data

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

Arqi Eka Pradana Netro Handaru Fajar Lukman Hakim Muhammad Rizki Nandika Elok Puspa

Arqi Eka Pradana Netro Handaru Fajar Lukman Hakim Muhammad Rizki Nandika Elok Puspa Arqi Eka Pradana 115080201111007 Netro Handaru 115080600111005 Fajar Lukman Hakim 115080600111023 Muhammad Rizki Nandika 115080601111018 Elok Puspa Nirmala 115080213111012 M Rifki Fajarulloh 115080201111035

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK FAUZIYAH

IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK FAUZIYAH IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI DAN ANALISIS STRUKTUR SPESIES KAWANAN IKAN PELAGIS BERDASARKAN METODE DESKRIPTOR AKUSTIK FAUZIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode penangkapan ikan dengan menggunakan cahaya sudah sejak lama diketahui sebagai perlakuan yang efektif untuk tujuan penangkapan ikan tunggal maupun berkelompok (Ben-Yami,

Lebih terperinci

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4. BAHAN DAN METODA. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 41 4. BAHAN DAN METODA 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan dua data yaitu (1) data primer yang diperoleh saat penulis mengikuti riset pada tahun 2002, yang merupakan bagian dari

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK Identification and Classification of Lemuru Schoal of Bali Strait Based on Hydroaccoustics Data

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan masih terbatas pada daerah-daerah tertentu dan umumnya dilakukan hanya di tepi-tepi

Lebih terperinci

DETEKSI SCHOOLING IKAN PELAGIS DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN TELUK PALU, SULAWESI TENGAH

DETEKSI SCHOOLING IKAN PELAGIS DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN TELUK PALU, SULAWESI TENGAH Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 5 No. 2 November 2014: 131-139 ISSN 2087-4871 DETEKSI SCHOOLING IKAN PELAGIS DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN TELUK PALU, SULAWESI TENGAH THE DETECTION

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 3, Desember 2014: 181-186 ISSN : 2355-6226 TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Henry M. Manik Departemen Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret September 2011 dengan menggunakan data berupa data echogram dimana pengambilan data secara in situ dilakukan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER Septian Nanda - 3311401055 dan Aprillina Idha - 3311401056 Geomatics Engineering Marine Acoustic, Batam State Politechnic Email : prillyaprillina@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO Oleh: Deddy Bakhtiar deddy_b2@yahoo.co.id Prodi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371A.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Daerah Penelitian Penelitian hidroakustik meliputi daerah tubir bagian luar (perairan Teluk Tomini), daerah tubir bagian dalam (perairan pulau Una-una) dan daerah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. dimana besar nilainya bisa sama panjang dengan panjang keseluruhan atau

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. dimana besar nilainya bisa sama panjang dengan panjang keseluruhan atau 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tabel Ukuran Tubuh Ikan Acoustical length adalah panjang target dalam akustik pada sebuah target, dimana besar nilainya bisa sama panjang dengan panjang keseluruhan atau panjang

Lebih terperinci

DETEKSI SCHOOLING IKAN PELAGIS DENGAN METODE HIDROAKUSTIKDI PERAIRAN TELUK PALU, SULAWESI TENGAH

DETEKSI SCHOOLING IKAN PELAGIS DENGAN METODE HIDROAKUSTIKDI PERAIRAN TELUK PALU, SULAWESI TENGAH Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 5. No. 2 November 2014:129-137 ISSN 2087-4871 DETEKSI SCHOOLING IKAN PELAGIS DENGAN METODE HIDROAKUSTIKDI PERAIRAN TELUK PALU, SULAWESI TENGAH (THE DETECTION

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo Dalam pengoperasiannya, bagan rambo menggunakan cahaya untuk menarik dan mengumpulkan ikan pada catchable area. Penggunaan cahaya buatan yang berkapasitas

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomer 1(D) 13106 Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Fauziyah dan Jaya A PS. Ilmu Kelautan FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan

Lebih terperinci

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1.

ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. ME FEnR OF ME LORD IS ME BECIHtlIHG Of WLEDGE : BUT FOOLS DESPISE WISDGii N(D IHSIRUCTIM1. C PROUERBS 1 : 7 > WIWUH XIIR I(MGUfiGMP RRHRSIR MU1 MH FRMNFIIRIKnHmII UMUX KESEJIIHII31RAH UWI MMJSIII?? JAURBIIWR

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN Oleh : Ahmad Parwis Nasution PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Jarak Near Field (R nf ) yang diperoleh pada penelitian ini dengan menggunakan formula (1) adalah 0.2691 m dengan lebar transducer 4.5 cm, kecepatan suara 1505.06

Lebih terperinci

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING SISTEM SONAR KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA 2012-64-0 MILYAN U. LATUE 2013-64-0 DICKY 2013-64-0 STELLA L. TOBING 2013-64-047 KARAKTERISASI PANTULAN AKUSTIK KARANG MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER SINGLE BEAM Baigo Hamuna,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA 2003 Julius A.N. Masrikat Posted 11 December 2003 Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Lebih terperinci

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB :

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB : N AWSTIK SCATTERINGSTRENGTH DASAR LAUT DAN IDENTIFIKASI WABIcrAT I DENGAN ECHOSOUNDER (Measurement of Acoustic ScatGering Strength of Sea Bottom and Identification of Fish Habitat Using Echosounder) Oleh:

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Agustus menggunakan data hasil olahan dalam bentuk format *raw.dg yang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Jaringan sel saraf biologi (Artificial Neural Networks in Medicine Juli 2005).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Jaringan sel saraf biologi (Artificial Neural Networks in Medicine  Juli 2005). 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Saraf Tiruan Jaringan saraf manusia tersusun atas 10 10 sel saraf yang masing-masing selnya tersambung dengan 10 3 hingga 10 5 sel saraf. membentuk suatu jaringan yang sangat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian TINJAUAN PUSTAKA.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya disebut

Lebih terperinci

PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK

PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK AMIR HAMZAH MUHIDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA IDA BAGUS ADI ANDITAYANA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan data akustik ikan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan data akustik ikan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan data akustik ikan Data akustik yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) jenis ikan yaitu ikan mas, nila dan patin masing-masing sebanyak 5 ekor. Pengambilan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode Hidroakustik 2.1.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini

Lebih terperinci

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada Dian Herdiana (C06499072). Pendugaan Pola Distribnsi Spasio-Temporal Target Strettgth Ikan Pelagis dengan Split Beam Acor~stic System di Perairan Teluk Tomini pada Bulan Juli-Amstus 2003. Di bawah bimbin~an

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

PENERAPAN SINGLE ECHO DETECTION DALAM ESTIMASI TARGET STRENGTH DAN DENSITAS IKAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK SONAR5-PRO INDAH NURKOMALA

PENERAPAN SINGLE ECHO DETECTION DALAM ESTIMASI TARGET STRENGTH DAN DENSITAS IKAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK SONAR5-PRO INDAH NURKOMALA PENERAPAN SINGLE ECHO DETECTION DALAM ESTIMASI TARGET STRENGTH DAN DENSITAS IKAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK SONAR5-PRO INDAH NURKOMALA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

DENI ACHMAD SOEBOER, S.Pi, M.Si

DENI ACHMAD SOEBOER, S.Pi, M.Si DENI ACHMAD SOEBOER, S.Pi, M.Si 08121104059 soeboer@yahoo.com TIM PENGAJAR EKSPLORATORI PENANGKAPAN IKAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FPIK-INSTITUT PERTANIAN BOGOR Echo-sounder + alat yang

Lebih terperinci

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU Oleh: Munawir C64102020 PR AN TEKNOLOGI KELAUTAN AN DAN I Lm KELAUTAN INSTITUT PERTANLAN

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran

Lebih terperinci

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lamun Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur. Klasifikasi Dasar Perairan Delta Mahakam (Ningsih E.N., et al) PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM ACOUSTIC

Lebih terperinci

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh

Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik. Oleh Analisis Sebaran Schooling Ikan Demersal Di Perairan Tarakan Kalimantan Utara Menggunakan Metode Hidroakustik Oleh Susilawati 1 ) Aras Mulyadi 2 ) Mubarak 2 ) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

2. TINJUAUAN PUSTAKA

2. TINJUAUAN PUSTAKA 2. TINJUAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air. Data hidroakustik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Segmentasi Dari beberapa kombinasi scale parameter yang digunakan untuk mendapatkan segmentasi terbaik, untuk mengklasifikasikan citra pada penelitian ini hanya mengambil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk

I. PENDAHULUAN. Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk . PENDAHULUAN.. Latar Belakang Mata pada ikan merupakan salah satu indera yang sangat penting untuk mencari makan dan menghindar dari pemangsalpredator atau kepungan alat tangkap. Ketajaman penglihatan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya 99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988).

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988). 177 10 PEMBAHASAN UMUM Pembahasan umum ini secara keseluruhan membahas rangkuman pembahasan tentang keberlanjutan pembangunan perikanan (sustainable development). Keberlanjutan merupakan pembangunan yang

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HIDROAKUSTIK KOLOM AIR DI PERAIRAN BARAT SUMATERA FADLIL PUNGKAS

KARAKTERISTIK HIDROAKUSTIK KOLOM AIR DI PERAIRAN BARAT SUMATERA FADLIL PUNGKAS KARAKTERISTIK HIDROAKUSTIK KOLOM AIR DI PERAIRAN BARAT SUMATERA FADLIL PUNGKAS DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 16 PERNYATAAN

Lebih terperinci

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia. Latar Belakanq Indonesia adalah negara maritim, lebih dari 70% dari luas wilayahnya, seluas 3,l juta km2, terdiri dari laut. Setelah deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) pada tanggal 21 Maret

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci