2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya disebut Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian throughflow. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki 1961; Ilahude dan Gordon 1996; Molcard et al. 1996; Fieux et al. 1996; Tomascik et al. 1997; Susanto dan Gordon 5). Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin musim tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi dari pada Samudera Hindia bagian timur, akibatnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus (Arlindo) dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo selama musim tenggara umumnya lebih kuat dari pada saat musim barat laut, dan Selat Makassar merupakan jalur utama Arlindo, sehingga tentu saja Arlindo tersebut sangat mempengaruhi kondisi oseanografis di Selat Makassar. Arlindo yang membawa massa air sangat besar dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia memiliki dua jalur, yang utama adalah melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores kemudian ke Laut Banda Selatan dan keluar melalui Laut Timor menuju Samudera Hindia, sedangkan jalur sekunder adalah melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, kemudian masuk ke perairan Laut Banda bagian utara dan keluar melalui Selat Ombai dan Selat Lombok (Gordon 1986; Gordon et al. 1994; Ilahude dan Gordon 1996). Selat Makassar adalah perairan yang relatif subur, dimana proses penyuburan yang terjadi berlangsung sepanjang tahun, baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores (Illahude 1978).

2 7 Gambar 1 Massa Air Thermocline Pasifik Utara dan Pasifik Selatan serta Massa Air Permukaan yang Disebabkan Monsoon (Susanto dan Gordon 5). Gambar 1 memperlihatkan gugusan kepulauan Indonesia dengan sungaisungai utama dan aliran massa air yang melewatinya. Garis panah warna hitam menginterpretasikan massa air thermocline dari Samudera Pasifik Utara melalui Selat Makasar yang merupakan jalur utama Arlindo, sedangkan garis panah putusputus warna hitam merupakan massa air thermocline yang berasal dari Samudera Pasifik Selatan dan merupakan jalur sekunder Arlindo. Garis panah putus-putus warna biru dan hijau merupakan massa air permukaan utara Sumatra dan selatan Sumatra yang secara musiman bergerak menuju Nusa Tenggara akibat pengaruh monsoon (Susanto dan Gordon 5). Angin utama yang berhembus di Selat Makassar adalah monsoon (angin musim), monsoon mengalami pembalikan arah sebanyak dua kali dalam setahun, hal ini disebabkan perbedaan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember Februari angin berhembus dari Asia ke Australia, sehingga di atas Selat Makassar angin bergerak dari arah utara menuju selatan (west monsoon). Pada bulan Juni Agustus angin berhembus dari Australia ke Asia, sehingga angin bergerak dari arah tenggara menuju selatan (east monsoon). Selama angin musim barat berhembus, curah hujan meningkat dan menyebabkan salinitas di perairan Selat Makassar menjadi turun, dan sebaliknya pada saat musim timur terjadi peningkatan salinitas karena penguapan yang tinggi di Selat Makassar, ditambah

3 8 lagi dengan masuknya massa air bersalinitas cukup tinggi dari Samudera Pasifik melaui Laut Sulawesi (Wyrtki 1961). Arlindo yang melalui Selat Makassar juga dipengaruhi oleh monsoon, kekuatan monsoon bahkan dapat menyebabkan pergerakan massa air hingga kedalaman 5 meter (Arief, 1998). Perpindahan massa air Arlindo diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Juli-September dan paling sedikit pada periode Februari-Mei. Hasil estimasi yang didapat berdasarkan model terbaru menunjukkan bahwa perpindahan massa air Arlindo mencapai 7 Sverdrup * pada musim tenggara dan,7 Sverdrup pada musim barat laut (Gordon dan McClean 1999). Pada kurun waktu tahun 1997 massa air Arlindo dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makassar menuju Samudera Hindia diperkirakan mencapai 9,1 Sverdrup (Susanto dan Gordon 5). Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa salinitas permukaan perairan Indonesia umumnya berkisar antara 31, - 34,5 ppt. Naulita (1998) mendapatkan nilai salinitas permukaan di Selat Makassar sebesar 34,1 ppt pada musim timur (Juni, Juli dan Agustus), dan mendekati nilai 3 ppt pada musim barat (Desember, Januari dan Februari). Hasil pengukuran Abdilah () pada bulan Mei 1 di Selat Makassar mendapatkan kisaran salinitas antara 33,6-33,35 ppt pada lapisan dibawah permukaan (,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (3) pada bulan Oktober 3 mendapatkan nilai salinitas permukaan Selat Makassar sedikit berfluktuasi dengan kisaran 3,4-33,7 psu dan mengalami peningkatan hingga kedalaman 1 meter (34,7 psu), kemudian terjadi sedikit penurunan hingga kedalaman 3 meter. Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 5 menunjukkan salinitas permukaan menurun dari utara ke selatan, bagian utara berkisar antara 33,441-35,314 psu dan bagian selatan antara 33,916-35,6 psu (Awaludin 5). Nilai salinitas Selat Makassar memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan salinitas di Laut Sulawesi, Laut Banda dan Laut Flores. Hal ini disebabkan karena posisi Selat Makassar diapit oleh daratan Kalimantan dan Sulawesi yang memberikan suplai air tawar yang cukup besar (Naulita 1998). Suhu pada suatu perairan akan mengalami penurunan secara teratur sesuai dengan kedalaman, semakin dalam suhu akan semakin rendah atau dingin. Hal ini * 1 Sverdrup = 1 x 1 6 m 3 s -1

4 9 diakibatkan karena kurangnya intensitas matahari yang masuk kedalam perairan. Pada kedalaman melebihi 1 meter suhu air relatif konstan dan berkisar antara - 4 o C (Hutagalung 1988). Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktorfaktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden dan Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar,1 o C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 1 meter. Lukas dan Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur (lapisan homogen). Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991) adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling. Webster et al. (1998) menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo dapat dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara Samudera Hindia dan sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya. Beberapa hasil model penelitian mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan Samudera Pasifik dan Hindia terhadap Arlindo ini. Kedua samudera tersebut akan sangat berbeda jika tanpa Arlindo (MacDonald 1993). Maes (1998) menemukan bahwa ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan menurunkannya di Hindia sebanyak -1 cm. Perubahan dalam bilangan sentimeter dalam skala samudra akan berpengaruh sangat besar pada sirkulasi lautan dan keadaannya secara keseluruhan yang berimplikasi pada perubahan anggaran bahang dan akhirnya perubahan yg drastis pada sistem iklim regional. Sebaran suhu permukaan perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh keadaan cuaca, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan

5 1 intensitas penyinaran matahari. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 5-3 o C dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 8 db (Tomascik et al. 1997). Hasil pengukuran yang dilakukan Abdilah () pada bulan Mei 1 di Selat Makassar mendapatkan kisaran suhu antara 9,89-3, o C pada lapisan dibawah permukaan (,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (3) pada bulan Oktober 3 mendapatkan nilai rata-rata suhu lapisan permukaan Selat Makassar adalah 9, o C dengan nilai kisaran antara 8,5-9,6 o C dan mengalami penurunan hingga kedalaman 3 meter (11,9 o C). Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 5 menunjukkan suhu permukaan Selat Makassar sebelah utara lebih hangat berkisar antara 9,14-9,69 o C dan sebelah selatan antara 7,44-9,1 o C (Awaludin 5).. Ikan Pelagis Kecil Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang umumnya menyebar di perairan Selat Makassar antara lain adalah ikan kembung (Ratrelliger spp), layang (Decapterus russeli), tembang (Sardinella fimbriata), lemuru (Sardinella longiceps), selar bentong (Selar crumenophthalmus), japuh (Dussumieria acuta), tenggiri (Scomberomorus sp), tongkol (Scomberidae sp), petek (Leognatidae spp) dan ikan teri (Engraulidae) (Latumeten 1996). Penyebaran ikan pelagis kecil tersebut semakin meningkat dari bagian utara ke arah selatan Selat Makassar (Simbolon 1996). Ikan pelagis kecil merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena penyebaran utamanya adalah di perairan sekitar pantai, dan pada daerahdaerah dimana terjadi proses up welling, dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke 1988). Menurut Ehrenberg (1984), ikan-ikan kecil cenderung bergerombol pada lapisan atas perairan, sedangkan ikan yang lebih besar menyebar di lapisan bawah. Burczynski et al. (1987) juga menyatakan bahwa penyebaran ikan-ikan kecil dapat dipengaruhi oleh profil temperatur dan thermocline. Menurut Laevastu dan Hela (197), hewan laut termasuk di dalamnya ikan pelagis dapat dibagi dalam beberapa kelompok melalui migrasi vertikal, antara lain:

6 11 (1) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada sedikit di atas termoklin, akan bermigrasi ke lapisan permukaan pada sore hari, menyebar di antara permukaan thermocline pada malam hari, dan naik ke atas lapisan thermocline pada pagi hari. () Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi melalui thermocline ke lapisan permukaan selama pagi hari, menyebar antara permukaan dan dasar perairan selama malam hari dan melimpah di atas thermocline. (3) Spesies ikan pelagis yang berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi ke lapisan thermocline selama sore hari, menyebar kelapisan yang lebih dalam selama pagi hari. Pendugaan kelimpahan sumberdaya ikan sangat penting karena merupakan langkah awal dalam manajemen pengelolaan perikanan. Pendugaan kelimpahan dapat digunakan untuk menduga laju eksploitasi, mortalitas dan rekrutmen pada suatu sok ikan (Aziz 1989)..3 Landasan Teoritis Metode Hidroakustik MacLennan dan Simmonds (199) menyatakan beberapa keuntungan dan keunggulan yang didapat bila menggunakan metode hidroakustik dalam estimasi ikan antara lain: (1) Menghasilkan informasi tentang densitas ikan secara cepat dan meliputi suatu kawasan yang luas; () Pendugaan dapat dilakukan secara langsung tanpa tergantung dari data statistik perikanan; (3) Memiliki ketelitian dan kecepatan tinggi dan dapat digunakan ketika metode lain tidak dapat digunakan. Metode ini menggunakan pulsa suara atau bunyi yang dihasilkan oleh alat transduser dan akan menghasilkan echo (gema) dari target yang dituju. Transmisi pulsa suara dari transduser dalam media air akan mengalami pengurangan intensitas dalam rambatannya menuju suatu obyek atau target. Pengurangan intensitas selama berlangsungnya proses transmisi pulsa itu disebut transmission loss (TL). Ada dua faktor yang membentuk pengurangan intensitas tersebut, yaitu perambatan geometris

7 1 (geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) suara oleh suatu massa air (Burczynski 198; Urick 1983; Johannesson dan Mitson 1983). Jika diasumsikan bahwa transmisi gelombang suara ada pada suatu titik dan merambat dalam medium yang ideal (tidak ada pengaruh peredaman), maka power (P) yang keluar dari seluruh permukaan sumber harus sama pada jarak berapapun dari sumber suara (misal; pada jarak R 1, R,.R n ), yang dirumuskan oleh Burczynski (198) sebagai berikut: P R = I 14πR1 I 4πR... I n 4πR n (1) dimana: P R : power yang keluar/dipancarkan sumber suara I = 1,,3, n : besarnya intensitas yang diukur pada jarak R = 1,,3,..n. Gambar Perambatan Suara pada Medium yang Ideal (Burczynski 198). Dari persamaan (1) dapat ditentukan intensitas suara dari sumber pada jarak R n, yaitu: I 4πR I R 4πR n () dimana: I : intensitas suara yang dipancarkan sumber suara R : jarak standar, 1 meter dari sumber suara I : intensitas suara pada jarak R dari sumber suara R karena standar jarak (R) untuk referensi yang digunakan adalah 1 meter dari sumber suara atau ( R ), maka dari persamaan () akan didapat: πr I 4π1 I 4 I 4 R πr sehingga: I R = I R (3)

8 13 Penurunan intensitas yang diakibatkan oleh perambatan geometris (geometrical spreading) biasa juga disebut transmission loss (TL G ), persamaannya adalah: ( I I ) 1 log ( ) TLG = 1 log n R log R (4) Pengurangan intensitas juga disebabkan adanya peredaman, dimana gelombang suara yang merambat di medium air sebagian energinya diserap oleh massa air, dan menurut Urick (1983) untuk setiap meter energi yang diserap dapat dinyatakan dengan: di I = ηdx, dimana:η : faktor peredaman Pada jarak antara R 1 dengan R, maka intensitas I 1 pada jarak R 1 berhubungan dengan I pada jarak R, sehingga: I 1 = I η( R R ) (5) Dalam skala logaritmik, penurunan intensitas akibat peredaman (attenuation) ), menjadi: (TL A = 1 log ( I I ) 1 logη log ( R R ) TL A karena 1 logη log = α, dan R 1, maka: 1 = TL A = αr (6) Berdasarkan persamaan (4) dan (6), maka pengurangan intensitas suara pada medium air akibat perambatan geometris (geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) ditentukan dengan persamaan: TL = log R + αr (7) Pengurangan intensitas pada persamaan (7) merupakan sekali perjalanan energi suara, yaitu dari transduser ke target, sedangkan sistem hidroakustik adalah menghitung gema (echo) yang dipantulkan kembali oleh target menuju sumber suara (transduser), sehingga akan terjadi dua kali perjalanan energi suara; dari transduser ke target, lalu kembali lagi (dipantulkan) ke transduser, yang berarti terjadi dua kali pengurangan intensitas. Maka untuk pengurangan intensitas ini, persamaannya adalah: TL = 4 log R + αr (8) 1

9 14 Sedangkan energi yang dipantulkan kembali oleh target dan diterima kembali oleh transduser disebut juga derajat gema (Echo Level, EL), dan dapat ditentukan dengan persamaan yang dikemukakan oleh Urick (1983) sebagai berikut: EL = SL TL + TS (9) Namun persamaan di atas hanya diterapkan pada target tunggal, maka untuk multiple target intensitas suara yang mencapai transduser biasa disebut reverberation level (RL). Johannesson dan Mitson (1983) mengemukakan konsep perhitungan intensitas suara yang mencapai transduser untuk multiple target, yang dijelaskan seperti pada Gambar 3. Gambar 3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target (Johannesson dan Mitson 1983). Volume dv dihitung berdasarkan perkalian luas permukaan insonifikasi ( R dω) teradap ketebalan target ( c τ ), sehingga diperoleh: dv = R cτ dω (1) Untuk mendapatkan intensitas volume acoustic backscattering, digunakan istilah coefficient volume backscattering (SV) yang analog dengan σ untuk target tunggal, yaitu: SV = I dan SV = 1 log sv b I 1 Sehingga intensitas dari dv ( d Ω disubstitusi ψ ) akan menjadi: sv r ( cτ )ψ, dengan demikian maka RL dalam bentuk logaritmik adalah (Urick 1983):

10 15 RL = 1 log 4 [ I r sv R ( τ ) ψ ] c ( cτ ) 1 logψ SL log R + 1 log sv + 1 log +... (11) Gelombang tekanan yang memutuskan aksi RL pada transduser menghasilkan sebuah voltase VTR yang amplitudonya pada seketika waktu sama dengan RL + SRT (SRT = sensitivitas transduser), sehingga didapatkan: VTR = SL + SRT + SV + 1 log cτ/ + 1 log ψ..... (1) SL + SRT adalah sebuah parameter kelompok yang dapat diukur dengan rata-rata dari prosedur kalibrasi pada standar target. Tegangan VRT diolah melalui echosounder, pada awalnya oleh gain amplifier tetap (G1) dan kemudian amplitudo TVG (G). Semua tegangan dari echosounder dikuadratkan dalam echo integrator untuk dikonversi dari satuan tegangan ke intensitas (Johannesson dan Mitson 1983)..4 Target Strength Target Strength merupakan kemampuan atau kekuatan suatu target untuk memantulkan kembali gelombang suara yang datang dan membenturnya (Ehrenberg 1984), sedangkan Coates (199) mendefenisikan target strength sebagai ukuran desibel intensitas suara yang dikembalikan oleh target, diukur pada jarak standar satu meter dari pusat akustik target dan berbanding terhadap intensitas suara yang mengenai target. Ketika suatu gelombang akustik dalam bentuk pulsa suara dipancarkan melalui sebuah alat transduser dan mengenai atau membentur target di dalam kolom air, maka akan terjadi pemantulan gema (echo) energi dari target itu, akan tetapi tidak semua energi yang membentur target tersebut dapat dipantulkan, karena ada juga yang diabsorb dan ada pula yang melewati target itu. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai target strength dari ikan, antara lain ukuran dan bentuk ikan, sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transduser, gelembung renang, acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang, kekenyalan kulit, distribusi dari sirip dan ekor) walaupun pengaruh faktor terakhir ini kecil karena nilai kerapatannya tidak jauh berbeda dengan air (MacLennan 1989). Target strength adalah kemampuan dari suatu target untuk memantulkan suara, yang dapat dinyatakan dalam bentuk intensity target strength dan energy target strength. Nilai dan karakteristik target strength ikan ini ditentukan oleh

11 16 beberapa faktor, yaitu ukuran ikan (panjang badan), bentuk tubuh, spesies ikan, gelembung renang, tingkah laku (orientasi), acoustic impedance, panjang gelombang suara, beam pattern, kecepatan renang dan multiple scattering/sadowing effect (Johannesson dan Mitson 1983; MacLennan 1989; MacLennan dan Simmonds 199). Johannesson dan Mitson (1983) menyatakan bahwa target strength dapat diartikan sebagai 1 kali nilai logaritma dari intensitas suara yang di pantulkan (I r) pada jarak satu meter dari target, dan dibagi dengan intensitas suara yang membentur target tersebut (I i ), seperti pada persamaan berikut ini: TS = 1 log Ir I i (13) dimana: I r : intensitas suara yang dipantulkan target I i : intensitas suara yang membentur target Menurut MacLennan dan Simmonds (199), target strength merupakan backscattering cross section (σ bs ) dari target yang mengembalikan sinyal, seperti persamaan di bawah ini: TS = 1 log ( σ 4 π ) 1 log σbs (14) dimana : (σ/4 π) σ bs : acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ) Maka, target strength dapat dinyatakan dalam: TS = 1 log Ir Ii 1 log ( σ 4 π ) 1 log σbs (15) Intensitas dari echo yang dipantulkan kembali oleh target tunggal dapat dinyatakan dalam persamaan ini: I = k ( 1 -αr /R 4 ) b ( θ,φ ) σ bs (16) dimana: k : faktor skala kalibrasi (1 -αr /R 4 ) : faktor peredaman b (θ,φ) : faktor beam pattern : acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ) σ bs Untuk mendapatkan target strength atau σbs, maka faktor skala, peredaman dan beam pattern harus terlebih dahulu dieliminir. Faktor skala dan peredaman dapat dieliminir dengan kalibrasi pada TVG/time varied gain (penambahan berdasarkan variasi waktu), sedangkan faktor beam pattern cukup sulit dieliminir. Pada sistem akustik dual beam, faktor beam pattern dieliminir dengan menggunakan narrow

12 17 beam dan wide beam, sedangkan pada sistem akustik split beam dilakukan pembagian transduser atas empat kuadran secara elektrik, seperti tampak pada Gambar 4. Gambar 4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam Acoustic System dalam Mendeteksi Keberadaaan Ikan Tunggal dan Kelompok Ikan (Simrad 1999). Proses transmisi gelombang suara dilakukan dengan full beam dari keempat kuadran secara simultan, tapi pada saat menerima echo yang kembali dari target, keempat kuadran tersebut bekerja secara terpisah. Output dari masing-masing kuadran digabungkan kembali membentuk full beam dan dua set split beam untuk isolasi target tunggal serta posisi sudut target (Gambar 5). Gambar 5 Prinsip dari Split Beam Echosounder (MacLennan 199). Gambar 5 menjelaskan bahwa sinyal yang diterima oleh setiap kuadran diperbesar secara terpisah dalam empat saluran receiver yang memungkinkan arah datangnya echo dapat ditentukan. Sinyal echo sampai ke transduser pada waktu yang

13 18 berbeda di empat kuadran, sehingga dengan adanya phase detector maka phase angle dari tiap kuadran dapat dibedakan (Simrad 1977). Sudut lokasi dari suatu target tunggal dapat ditentukan dari perbedaan phase electric antara separuh transduser. Pada sisi alongship, beda phase dapat diperoleh dengan cara membandingkan sinyal di kuadran a + b dengan sinyal c + d, sehingga diperoleh beda phase θ 1, kemudian pada sisi athwarship, sinyal a + c dibedakan dengan sinyal b + d, sehingga diperoleh beda phase θ. Dengan diketahuinya beda phase θ 1 dan θ, maka koordinat sudut (θ,φ) dari posisi target dapat dihitung dengan persamaan berikut (Ehrenberg, 1983): θ = sin 1 γ ( sin θ 1 + sin θ ) φ = tan 1 ( sin θ 1 / sin θ ) (17) Setelah diperoleh nilai sudut θ 1 dan θ, maka faktor beam pattern dapat dihitung, sehingga nilai σ bs dapat diestimasi berdasarkan persamaan (17) di atas. Sebuah model geometrik sederhana untuk menduga energi backscatter berdasarkan ukuran ikan dikemukakan oleh MacLennan (199) sebagai berikut: σ = b L (18) TS = lo L + b (19) Love (1971) dan (1977) merumuskan persamaan yang menghubungkan backscattering cross section (σ), panjang ikan (L) dan panjang gelombang (λ): σ/λ = a ( L/λ ) b (db ) () dimana: a dan b adalah konstanta yang tergantung dari anatomi, ukuran ikan dan panjang gelombang. Persamaan (1) bila dirubah ke dalam bentuk logaritmik akan menjadi: dimana: TS = a log ( L ) + b log ( f ) + c (db) (1) TS : Target strength f : frekuensi suara a, b, c : konstanta Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Foote (1987), menunjukkan tidak ada perbedaan hasil yang didapatkan dari frekwensi yang berbeda, oleh sebab itu diformulasikanlah suatu hubungan antara target strength dengan panjang ikan sebagai berikut: TS = log ( L) 68 (db) () dimana: 68 adalah normalisasi target strength yang bersangkutan

14 19.5 Estimasi Densitas Akustik Ikan Burczynski (198) menyatakan, suatu kelompok ikan tunggal yang berada pada suatu volume air tertentu yang diinsonifikasi secara sesaat oleh gelombang suara dapat disebut multiple target, selanjutnya dikatakan jika individu target menyebar normal, maka total power yang dipantulkan oleh multiple target akan merupakan jumlah dari power yang direfleksikan oleh masing-masing individu (Gambar 6), sehingga intensitasnya menjadi: I r total = I r1 + I r I rn (3) dimana: n = jumlah individu ikan Untuk suatu kelompok target sebanyak n target akan dapat diduga nilai rata-rata intensitasnya (Īr), sehingga: I r total = n Īr (4) oleh karena σ = 4π (I r / I i ), maka intensitas rata-rata per-target menjadi: Ī r = σ I i / 4π (5) sehingga: I r total = ( n σ / 4π) I i (6) Persamaan (6) dapat dituliskan dalam bentuk yang sederhana menjadi: I r total = n σ I i (7) Gambar 6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target (Burczynski 198). Persamaan (7) merupakan dasar untuk mengestimasi stok ikan secara kuantitatif dengan hidroakustik dan apabila ditulis dalam bentuk logaritmik akan menjadi: S V = 1 log n + TS (8) dimana: S V adalah volume backscattering strength.

15 Menurut Johanesson dan Mitson (1983) bahwa untuk sebuah integrasi pada jarak kedalaman ΔR = R 1 - R, volume backscattering strength (S V ) untuk satu transmisi dari suatu ukuran intensitas akustik, direfleksikan dari tiap m 3 air yang dijumlahkan dan dirata-ratakan pada ΔR, sehingga S V yang diperoleh merupakan rata-rata S V ( S V ) dapat dituliskan sebagai berikut: S V = 1 log ρν + TS (9) S V n N = = ( Vo ) n n 1 = Ci( R R ) (3) dimana: Ci : menggambarkan parameter SL, SRT, Ψ dan lain-lain N = ΔR/(Cτ/) : jumlah panjang pulsa yang terjadi dalam ΔR (Vo )n : kuadrat dari keluaran voltase ke-n Jika S V diketahui, maka rataan densitas ikan untuk suatu integrasi dapat diketahui apabila TS juga diketahui. Selanjutnya secara matematis persamaan (3) digabung dengan persamaan integrator, dimana output (M) yaitu: dimana: R M = Ge R1 Vo. dr (31) Ge : faktor gain echo integrator Vo : keluaran voltase yang diperoleh dari VR yang langsung masuk ke input terminal dari integrator Penggabungan dari dua persamaan (3) dan (31) akan diperoleh: S ΔR = M/Ci.Ge (3) V Dengan mensubstitusi persamaan (9) dan (3) akan diperoleh: ρv / ΔR = M/Ci.Ge (σ/4π) (33) ρv / ΔR = ρ A (34) Selanjutnya dalam sistem akustik bim terbagi (split beam), persamaan (34) diaplikasikan dengan: ρ A = S A / σ bs (35) dimana integrasi didasarkan pada persamaan berikut (Simrad 1997): σ / v = 4πr Sv (36) σ / A = σ / v.dr (37) σbs = rata-rata ( σ / A ) (38)

16 1 Kemudian persamaan (38) mengubah volume backscattering strength (S V ) menjadi coefficient backscattering area (S A ) per unit volume. Jumlah S A (m /nmi ) dihubungkan dengan σ bs menjadi: S A = (185 m/nmi) σ bs (39) Selanjutnya perhitungan yang diimplimentasikan echosounder diperoleh dengan mengkombinasikan persamaan (36) dan (39) menjadi: R S A = 4π R Sv. dr (185m / nmi ) (4) R1 Coefficient backscattering area (S A ) dari persamaan (4) dikalkulasi untuk setiap area terpilih yang dideteksi secara hidroakustik, dan dari nilai tersebut diperoleh nilai backscattering cross section (Sv): S (41) A Sν = 4 π. R (185m / nmi) ( R R1 ) Selanjutnya integrasi secara vertikal dilakukan dengan menghitung densitas ikan dalam suatu volume perairan berdasarkan persamaan (33) menjadi: ρv = ρa ( R - R 1 ) (41) dimana: ρv : densitas ikan yang diperoleh untuk tiap satuan jarak integrasi dalam bentuk nilai jumlah ikan persatuan volume (1 m 3 ) ρa : densitas ikan per luas area (ekor/m 3 ) R : jarak target dari transduser Densitas akustik ikan ρv dapat juga dilihat dari nilai NASC (m /nmi ), karena NASC merupakan besarnya nilai acoustic backscattering strength di dalam setiap milnya. Nilai NASC dapat diturunkan dari ABC (area backscattering coefficient) dalam satuan m /m. Sν ABC = 1 1 T (m /m ) (4) dimana: Sv : volume backscattering strength (m /m ) T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m) Sehingga nilai NASC dapat diketahui seperti persamaan berikut ini: Sν NASC = 4π T (43) = 4π185 ABC (m /nmi ) (44) Nilai ABC dan NASC diukur berdasarkan area scattering, dihitung setelah terlebih dahulu mengintegrasikan area-area yang ingin dihitung, hal ini dilakukan

17 pada saat proses penghitungan dengan menggunakan software sonardata echoview versi 4.1. NASC (nautical area scattering coefficient) identik dengan S A (coefficient backscattering area) yang biasa digunakan pada Simrad.

ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK DONWILL PANGGABEAN

ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK DONWILL PANGGABEAN ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK DONWILL PANGGABEAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidroakustik merupakan data hasil estimasi echo counting dan echo integration 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode Hidroakustik 2.1.1. Prinsip Kerja Metode Hidroakustik Hidroakustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada

terdistribusi pada seluruh strata kedalaman, bahkan umumnya terdapat dalam frekuensi yang ringgi. Secara horisontal, nilai target strength pada Dian Herdiana (C06499072). Pendugaan Pola Distribnsi Spasio-Temporal Target Strettgth Ikan Pelagis dengan Split Beam Acor~stic System di Perairan Teluk Tomini pada Bulan Juli-Amstus 2003. Di bawah bimbin~an

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Nilai Target Strength (TS) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) Nilai target strength (TS) merupakan parameter utama pada aplikasi metode akustik dalam menduga kelimpahan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara)

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) Reflection and Refraction Ketika gelombang suara merambat dalam medium, terjadi sebuah pertemuan antara kedua medium dengan kepadatan

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN Oleh : Ahmad Parwis Nasution PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR 2.1 Persamaan Akustik Bawah Air Persamaan akustik bawah air diturunkan dari persamaan state, persamaan kekekalan massa (persamaan kontinuitas) dan persamaan kekekalan

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lamun Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat

Lebih terperinci

PENDUGAAN NlLAl DAN SEBARAN TARGETSTRENGTH IKAN PELAGIS Dl SELAT MAKASSAR PADA BULAN OKTOBER Oleh FERl SUSANDI C

PENDUGAAN NlLAl DAN SEBARAN TARGETSTRENGTH IKAN PELAGIS Dl SELAT MAKASSAR PADA BULAN OKTOBER Oleh FERl SUSANDI C PENDUGAAN NlLAl DAN SEBARAN TARGETSTRENGTH IKAN PELAGIS Dl SELAT MAKASSAR PADA BULAN OKTOBER 2003 Oleh FERl SUSANDI C06498002 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO Oleh: Deddy Bakhtiar deddy_b2@yahoo.co.id Prodi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371A.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat audio generator

Lebih terperinci

PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE PROGRESSIVE THRESHOLD

PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE PROGRESSIVE THRESHOLD PENENTUAN SEBARAN Sa (Backscattering Area) DI LAUT FLORES BERDASARKAN METODE PROGRESSIVE THRESHOLD SITI KOMARIYAH SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

Arqi Eka Pradana Netro Handaru Fajar Lukman Hakim Muhammad Rizki Nandika Elok Puspa

Arqi Eka Pradana Netro Handaru Fajar Lukman Hakim Muhammad Rizki Nandika Elok Puspa Arqi Eka Pradana 115080201111007 Netro Handaru 115080600111005 Fajar Lukman Hakim 115080600111023 Muhammad Rizki Nandika 115080601111018 Elok Puspa Nirmala 115080213111012 M Rifki Fajarulloh 115080201111035

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iluminasi cahaya Cahaya pada pengoperasian bagan berfungsi sebagai pengumpul ikan. Cahaya yang diperlukan memiliki beberapa karakteristik, yaitu iluminasi yang tinggi, arah pancaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang telah diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun. Sedimen

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Jarak Near Field (R nf ) yang diperoleh pada penelitian ini dengan menggunakan formula (1) adalah 0.2691 m dengan lebar transducer 4.5 cm, kecepatan suara 1505.06

Lebih terperinci

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN. as-' PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh : Natalia Trita Agnilta C64102012 PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA

SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA SEBARAN VOLUME BACKSCATTERING STRENGTH SCHOOLING IKAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI SELAT SUNDA IDA BAGUS ADI ANDITAYANA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura, b Jurusan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI 4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI Pendahuluan Ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya (Brond 1979).

Lebih terperinci

Pengembangan Energi terbarukan dengan identifikasi kecepatan Arus Lintas Indonesia di wilayah Timur Indonesia

Pengembangan Energi terbarukan dengan identifikasi kecepatan Arus Lintas Indonesia di wilayah Timur Indonesia Pengembangan Energi terbarukan dengan identifikasi kecepatan Arus Lintas Indonesia di wilayah Timur Indonesia Abstrak Firman Setiawan, Enjang Hernandhy dan Abrella Qisthy Mahasiswa program sarjana Universitas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

PENGUKURAN DENSITAS IKAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM) DI LAUT JAWA PADA BULAN MEI 2006

PENGUKURAN DENSITAS IKAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM) DI LAUT JAWA PADA BULAN MEI 2006 PENGUKURAN DENSITAS IKAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM) DI LAUT JAWA PADA BULAN MEI 2006 Oleh : Roy Burdah C 64103001 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di perairan Indonesia.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini teknologi hidroakustik atau perangkat lunak pengolah sinyal akustik masih sulit untuk dapat mengetahui jenis dan panjang ikan secara langsung dan akurat. Selama

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4 1. Berdasarkan letaknya laut-laut yang berada di Indonesia merupakan contoh laut jenis... transgresi pedalaman pertengahan regresi

Lebih terperinci

APLIKASI SPLIT BEAM AKUSTIK ( BEAM TERGAGI AKUSTIK) UNTUK DETEKSI SINGLE TARGET DAN SCATTERING VOLUME DALAM PENDUGAAN DENSITAS IKAN DIBIDANG PERIKANAN

APLIKASI SPLIT BEAM AKUSTIK ( BEAM TERGAGI AKUSTIK) UNTUK DETEKSI SINGLE TARGET DAN SCATTERING VOLUME DALAM PENDUGAAN DENSITAS IKAN DIBIDANG PERIKANAN APLIKASI SPLIT BEAM AKUSTIK ( BEAM TERGAGI AKUSTIK) UNTUK DETEKSI SINGLE TARGET DAN SCATTERING VOLUME DALAM PENDUGAAN DENSITAS IKAN DIBIDANG PERIKANAN Muhammad Zainuddin Lubis 1, Sri Pujiyati 2, Pratiwi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Daerah Penelitian Penelitian hidroakustik meliputi daerah tubir bagian luar (perairan Teluk Tomini), daerah tubir bagian dalam (perairan pulau Una-una) dan daerah

Lebih terperinci

Pengujian Sifat Anechoic untuk Kelayakan Pengukuran Perambatan Bunyi Bawah Air pada Akuarium

Pengujian Sifat Anechoic untuk Kelayakan Pengukuran Perambatan Bunyi Bawah Air pada Akuarium JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No. 1, (13) ISSN: 31-971 D-7 Pengujian Sifat Anechoic untuk Kelayakan Pengukuran Perambatan Bunyi Bawah Air pada Akuarium Indan Pratiwi, Wiratno Argo Asmoro, dan Dhany Arifianto

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI DATA HIDROAKUSTIK BERBASIS WEBSITE

RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI DATA HIDROAKUSTIK BERBASIS WEBSITE RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI DATA HIDROAKUSTIK BERBASIS WEBSITE Oleh : Asep Ma mun C64104030 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA

BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA BAB III DASAR DASAR GELOMBANG CAHAYA Tujuan Instruksional Umum Pada bab ini akan dijelaskan mengenai perambatan gelombang, yang merupakan hal yang penting dalam sistem komunikasi serat optik. Pembahasan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci