V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. MODEL PERENCANAAN PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM 1. Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah digunakan untuk mengetahui tingkat permintaan benang sutera mentah khususnya pada pasar domestik atau dalam negeri. Untuk melakukan analisis prakiraan permintaan ini dibutuhkan data impor benang sutera mentah dari negara lain ke Indonesia dan data ekspor benang sutera mentah dari Indonesia ke negara lain. Data impor dan ekspor tersebut digunakan untuk mengetahui nilai net impor dari benang produk sutera mentah di Indonesia. Penghitungan nilai net impor benang sutera mentah dilakukan dengan cara mencari selisih nilai impor dan ekspor benang sutera mentah pada periode waktu tertentu. Net impor tersebut digunakan sebagai gambaran kebutuhan benang sutera mentah di Indonesia. Pada program aplikasi Sidi-Kuu data impor dan ekspor benang sutera mentah tersebut dikelompokkan per bulan, dan prakiraan permintaan yang dianalisis dari nilai net impor juga dibuat per bulan. Data impor ekspor benang sutera mentah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan Impor Ekspor Impor Ekspor JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER 50 0 DESEMBER 23 0 Sumber : BPS (2009)

2 a. Masukan model Data yang digunakan pada model ini adalah data impor dan ekspor benang sutera mentah per bulan. Data impor dan ekspor tersebut dimulai pada bulan Januari 2008 hingga Agustus Datadata tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data-data impor dan ekspor tersebut berfungsi sebagai data aktual yang harus dipenuhi sebelum dapat memprakirakan nilai net impor pada periode berikutnya. Selain data-data aktual tersebut, untuk dapat memprakirakan nilai net impor pada periode berikutnya diperlukan masukan inisiasi awal diantaranya periode peramalan yang diinginkan, parameter untuk perhitungan metode MA (Moving Average), nilai alpha, dan nilai beta. Nilai inisasi yang digunakan pada program aplikasi Sidi-Kuu terdiri dari nilai periode peramalan sebesar empat periode, parameter MA = 4, nilai alpha dan nilai beta masing-masing sebesar 0,1. Nilai inisasi yang telah diisi akan dimasukkan ke dalam perhitungan peramalan yang menggunakan lima metode time series untuk menghasilkan nilai prakiraan net impor pada periode berikutnya. Lima metode peramalan yang digunakan yaitu MA, DMA (Double Moving Average), SES (Single Exponential Smoothing), Brown s Method, dan Holt s Method. b. Keluaran Model Hasil dari perhitungan pada model prakiraan permintaan adalah nilai MAPE dari lima metode prakiraan/peramalan yang digunakan. Kemudian kelima nilai MAPE tersebut dibandingkan untuk menentukan metode terbaik yang digunakan untuk melakukan prakiraan net impor yang menggambarkan prakiraan permintaan pada periode berikutnya. Metode yang dipilih adalah metode yang menghasilkan nilai MAPE terkecil. Nilai MAPE yang dihasilkan dari perhitungan nilai prakiraan permintaan benang sutera mentah oleh masing-masing metode prakiraan dapat dilihat pada Tabel 5. 46

3 Tabel 5. Nilai MAPE yang dihasilkan dari perhitungan nilai prakiraan permintaan benang sutera mentah Metode Peramalan Kriteria Brown s Holt s MA DMA SES Method Method MAPE 1622,3 1769,7 1628,3 2087,6 8270,3 Berdasarkan hasil perhitungan, metode yang paling cocok digunakan pada model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah adalah MA. Metode ini menghasilkan nilai MAPE terkecil dibandingkan keempat metode prakiraan/peramalan lainnya. Hasil prakiraan net impor yang didapatkan dengan menggunakan metode MA untuk empat bulan ke depan (September-Desember 2009) sebesar kg benang sutera mentah. c. Tampilan Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Tampilan model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah dapat dilihat pada Gambar 14. Tampilan model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah pada program aplikasi Sidi-Kuu menampilkan grafik yang menggambarkan data aktual net impor benang sutera mentah pada bulan Januari 2008 hingga bulan Agustus 2009, serta grafik yang menggambarkan prakiraan dalam net impor yang digunakan sebagai gambaran permintaan benang sutera mentah. Selain itu, dari tampilan model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah akan diketahui nilai rata-rata net impor per bulannya. Nilai rata-rata net impor tersebut didapatkan dengan cara membagi total nilai net impor dengan jumlah data net impor yang ada. Nilai rata-rata net impor yang dihasilkan nantinya akan diolah untuk selanjutnya dipakai dalam menentukan kapasitas produksi pada model analisis kelayakan finansial budiaya dan agroindustri sutera alam. 47

4 Gambar 14. Tampilan model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah 2. Model Pemilihan Lokasi Alternatif Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam Model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam merupakan model yang digunakan untuk menentukan urutan lokasi terbaik budidaya dan agroindustri sutera alam dari sejumlah alternatif lokasi yang ada. Model ini terdiri dari kriteria-kriteria penilaian yang mempengaruhi kelangsungan budidaya dan agroindustri sutera alam. Kedua kegiatan ini dibuat terintegrasi dalam satu kegiatan, sehingga kriteria-kriteria yang dibuat dalam model ini dibuat untuk memenuhi persyaratan lokasi untuk budidaya ulat sutera dan juga agroindustri sutera alam. a. Masukan Model Lokasi yang dijadikan alternatif pada program aplikasi Sidi- Kuu adalah 30 kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor. Kriteriakriteria yang digunakan untuk menentukan pilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam terdiri dari ketinggian tempat, suhu, kelembaban relatif, curah hujan rata-rata, lama penyinaran, kecepatan angin, kemiringan lahan, jenis tanah, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan air, ketersediaan listrik, keadaan jalan, ketersediaan lahan, dan akses pemasaran. 48

5 1) Kriteria Pembobotan Nilai Lokasi terbaik ditentukan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang di dalamnya terdapat perhitungan dari bobot setiap alternatif dengan bobot kriteria yang ada. Penentuan lokasi yang paling cocok untuk dijadikan tempat budidaya dan agroindustri sutera alam dilakukan dengan cara pengisian nilai untuk masing-masing alternatif lokasi berdasarkan kriteria yang ada dengan skala 1-5. Nilai 1 merupakan skala terkecil yang diberikan, sedangkan nilai 5 merupakan skala terbesar dari alternatif yang ada. Penjelasan mengenai kriteria dan bobot kriteria alternatif dari masing-masing lokasi adalah sebagai berikut. Ketinggian tempat Ketinggian tempat merupakan faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam. Hal ini dikarenakan ketinggian tempat akan berpengaruh langsung terhadap suhu suatu tempat. Ketinggian tempat akan berpengaruh pada kualitas pemeliharaan ulat sutera dan pertumbuhan tanaman murbei. Ketinggian optimum untuk melakukan budidaya ulat sutera adalah meter di atas permukaan air laut. Tabel 6 menyajikan pemberian nilai terhadap ketinggian tempat pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 6. Kriteria ketinggian tempat Ketinggian Tempat (m.dpl) Nilai Bobot Kriteria Alternatif

6 Suhu Suhu udara suatu tempat dipengaruhi ketinggian tempat tersebut. Semakin tinggi letak suatu lokasi dari permukaan air laut, maka suhu udara di lokasi tersebut akan cenderung lebih rendah. Suhu udara optimum untuk melakukan pemeliharaan ulat sutera dan tanaman murbei adalah berkisar antara o C. Pemeliharaan ulat sutera dan tanaman murbei dapat dilakukan pada tempat yang memiliki suhu udara berbeda dari suhu udara optimum tersebut, namun perlu mendapat beberapa perlakukan dalam pemeliharaan ulat sutera agar tetap bisa mendapatkan hasil panen terbaik. Tabel 7 menyajikan pemberian nilai terhadap suhu pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 7. Kriteria suhu udara Suhu udara ( o C) Nilai Bobot Kriteria Alternatif Kelembaban Relatif Kelembaban relatif suatu lokasi alternatif akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera dan tanaman murbei. Kelembaban yang tidak sesuai akan mengakibatkan tumbuhnya jamur atau timbulnya penyakit pada ulat sutera maupun tanaman murbei, hal ini akan mengakibatkan menurunnya produktivitas panen kokon. Sehingga akan menyebabkan kerugian bagi petani dan pelaku agroindustri benang. Kelembaban relatif suatu lokasi yang terbaik untuk pertumbuhan ulat sutera dan tanaman murbei adalah berkisar antara 75-85%. Tabel 8 menyajikan pemberian nilai terhadap 50

7 kelembaban relatif pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 8. Kriteria kelembaban relatif Kelembaban Relatif (%) Nilai Bobot Kriteria Alternatif Curah hujan Curah hujan akan berpengaruh pada kualitas daun murbei yang digunakan sebagai pakan ulat sutera. Curah hujan yang optimum membuat kualitas daun murbei menjadi baik, sehingga kualitas kokon yang diperoleh dari ulat sutera juga akan baik. Curah hujan optimum yang baik untuk pemeliharaan ulat sutera dan tanaman murbei adalah berkisar antara mm/tahun. Tabel 9 menyajikan pemberian nilai terhadap curah hujan pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 9. Kriteria curah hujan Curah Hujan (mm/tahun) Nilai Bobot Kriteria Alternatif Lama penyinaran Lama penyinaran suatu lokasi alternatif akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman murbei dan ulat 51

8 sutera. Lama penyinaran yang optimum akan membuat tanaman murbei dapat cukup mendapatkan waktu untuk terkena sinar matahari sehingga daun yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Sedangkan untuk pemeliharaan ulat sutera, penyinaran yang optimal pada suatu lokasi akan membuat ulat beraktifitas dengan baik sehingga kualitas kokon yang dihasilkan nantinya juga baik. Lama penyinaran optimum untuk pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera adalah jam per hari. Tabel 10 menyajikan pemberian nilai terhadap lama penyinaran pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 10. Kriteria lama penyinaran Lama Penyinaran (jam/hari) Nilai Bobot Kriteria Alternatif Kecepatan angin Kecepatan angin mempengaruhi pertumbuhan tanaman murbei, khususnya pada awal pertumbuhan tanaman. Kecepatan angin yang tidak baik akan membuat pertumbuhan tanaman murbei terganggu, sehingga daun yang dihasilkan untuk pakan ulat sutera akan berpengaruh dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kecepatan angin optimum untuk pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera adalah 0,8-1,1 meter per detik. Tabel 11 menyajikan pemberian nilai terhadap kecepatan angin pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. 52

9 Tabel 11. Kriteria kecepatan angin Kecepatan Angin (m/s) Nilai Bobot Kriteria Alternatif 0,8-1,1 5 0,5-0,8 4 0,2-0,5 3 1,1-1,6 2 1,6-2,0 1 Kemiringan lahan Kemiringan lahan akan mempengaruhi keefektifan penanaman tanaman murbei pada awal ingin melakukan budidaya ulat sutera dan juga mempengaruhi keefektifan kerja pada waktu akan memanen daun untuk pakan ulat sutera. Untuk meningkatkan efektifitas kerja pada budidaya ulat sutera dipilih tempat yang memiliki kemiringan lahan yang sesuai. Kemiringan lahan optimum untuk pemeliharaan tanaman murbei dan ulat sutera adalah 0-10 o. Tabel 12 menyajikan pemberian nilai terhadap lama penyinaran pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 12. Kriteria kemiringan lahan Kemiringan Lahan (derajat) Nilai Bobot Kriteria Alternatif Jenis Tanah Jenis tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman murbei. Sebenarnya tanaman murbei cocok tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Akan tetapi, jenis tanah paling baik untuk dijadikan tempat pembudidayaan tanaman murbei adalah latosol. Tabel 13 53

10 menyajikan pemberian nilai terhadap jenis tanah pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 13. Kriteria jenis tanah Jenis Tanah Nilai Bobot Kriteria Alternatif Latosol 5 Podsol 4 Mediteran 3 Grumosol 2 Andosol 1 Ketersediaan tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi budidaya dan agroidustri sutera alam. Lokasi pengembangan budidaya dan agroindustri sutera alam sebaiknya memiliki ketersediaan tenaga kerja yang mencukupi untuk dapat bekerja pada usaha pembudidayaan maupun agroindustri sutera alam. Ketersediaan jumlah tenaga kerja yang banyak pada suatu lokasi alternatif akan membuat adanya pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut dan juga berpengaruh positif terhadap perusahaan. Tabel 14 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan tenaga kerja pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 14. Kriteria ketersediaan tenaga kerja Jumlah Pencari Kerja (tenaga kerja menganggur) Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat banyak 5 Banyak 4 Cukup 3 Sedikit 2 Sangat sedikit 1 54

11 Ketersediaan air Ketersediaan air menggambarkan banyaknya suplai air pada lokasi alternatif. Tanaman murbei memerlukan pasokan air yang cukup untuk dapat menjaga pertumbuhannya dan kualitas daun yang dihasilkannya. Pada agroindustri sutera alam, yaitu industri pembuatan benang sutera mentah memerlukan pasokan air yang cukup banyak pada proses produksinya. Karena kedua hal tersebut maka lokasi yang menjadi alternatif pemilihan harus memiliki pasokan air yang sangat baik sehingga kualitas dari kokon dan benang yang dihasilkan juga baik. Penilaian ketersediaan air dapat dilihat dari saluran irigasi dan daerah aliran sungai (DAS) yang terdapat pada lokasi alternatif. Tabel 15 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan air pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 15. Kriteria ketersediaan air Ketersediaan Air Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 Ketersediaan listrik Ketersediaan listrik pada daerah yang akan dijadikan lokasi alternatif perlu mendapat perhatian sebelum memutuskan membuat kegiatan budidaya dan agroindustri sutera alam pada lokasi tersebut. Adanya jaminan ketersediaan listrik yang baik merupakan salah satu aspek yang harus dipenuhi karena akan mempengaruhi keberlanjutan proses produksi. Tabel 16 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan listrik pada model pemilihan lokasi alternatif 55

12 budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 16. Kriteria ketersediaan listrik Ketersediaan Listrik Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 Keadaan jalan Keadaan jalan menggambarkan kemudahan akses memasuki lokasi yang menjadi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam. Keadaan jalan yang kurang baik akan membawa dampak pada saat penetasan telur ulat sutera. Dalam pendistribusian telur ulat sutera diusahakan untuk meminimumkan adanya goncangan yang terjadi. Adanya goncangan selama pendistribusian telur ulat akan mempengaruhi persentase keberhasilan penetasan dan persentase jumlah ulat yang mengokon. Selain dalam hal pendistribusian telur ulat, keadaan jalan juga berpengaruh pada saat pendistribusian ulat instar III kepada petani. Pada saat pendistribusian ulat kepada petani juga diusahakan agar goncangan yang terjadi tidak terlalu banyak sehingga tidak mengganggu pertumbuhan ulat sutera tersebut. Tabel 17 menyajikan pemberian nilai terhadap keadaan jalan pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. 56

13 Tabel 17. Kriteria keadaan jalan Keadaan Jalan Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 Ketersediaan lahan Ketersediaan lahan menggambarkan lahan yang masih tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk pendirian kegiatan budidaya dan agroindustri sutera alam. Ketersediaan lahan juga biasanya akan berpengaruh terhadap harga lahan, sehingga kondisi terbaik untuk lokasi budidaya dan agroindustri sutera alam adalah daerah yang memiliki ketersediaan lahan yang sangat banyak. Tabel 18 menyajikan pemberian nilai terhadap ketersediaan lahan pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 18. Kriteria ketersediaan lahan Ketersediaan Lahan Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat luas 5 Luas 4 Sedang 3 Sempit 2 Sangat sempit 1 Akses pemasaran Akses pemasaran menggambarkan kemudahan menjual produk hasil agroindustri sutera alam, yaitu benang sutera mentah dari lokasi agroindustri tersebut. Akses pemasaran ini juga berkaitan dengan akses komunikasi yang akan memperlancar pemasaran produk. Tabel 19 menyajikan pemberian nilai terhadap akses pemasaran pada model 57

14 pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam pada program aplikasi Sidi-Kuu. Tabel 19. Kriteria akses pemasaran Ketersediaan Air Nilai Bobot Kriteria Alternatif Sangat baik 5 Baik 4 Cukup 3 Kurang 2 Buruk 1 2) Pembobotan Kriteria Pembobotan untuk masing-masing kriteria model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam ditentukan berdasarkan penilaian pakar (expert judment). Narasumber yang dijadikan pakar adalah Ibu Lincah yang merupakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Skala kepentingan dari bobot kriteria mulai dari satu hingga sembilan. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin penting kriteria tersebut dalam penentuan lokasi pendirian budidaya dan agroindustri sutera alam. Hasil pembobotan kriteria yang dilakukan oleh pakar diperlihatkan pada Tabel 20. Ketinggian tempat merupakan kriteria yang kriteria yang paling penting untuk dipenuhi lokasi yang akan dijadikan alternatif pendirian budidaya dan agroindustri sutera alam. Kriteria ketinggian tempat akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pemeliharaan dan pertumbuhan ulat sutera. Kriteria ketinggian tempat ini juga akan mempengaruhi suhu udara pada suatu tempat, sehingga pemenuhan kriteria ketinggian tempat untuk dapat mendirikan atau mengembangkan budidaya dan agroindustri sutera alam mutlak untuk dipenuhi. Kriteria selanjutnya yang juga memiliki tertinggi setelah kriteria ketinggian tempat adalah kriteria suhu, ketersediaan air, 58

15 ketersediaan listrik. Akses pemasaran menjadi kriteria yang memiliki tingkat kepentingan yang tidak terlalu tinggi, hal tersebut dikarenakan karena produk sutera alam ini masih memiliki minat pasar yang tinggi, sehingga pada umumnya tidak sulit untuk mencari calon konsumennya. Tabel 20. Bobot penilaian kriteria lokasi budidaya dan agroindustri sutera alam No. Kriteria Bobot kriteria 1 Ketinggian tempat 9 2 Suhu 8 3 Kelembaban Relatif 8 4 Curah hujan 8 5 Lama penyinaran 8 6 Kecepatan angin 7 7 Kemiringan lahan 7 8 Jenis Tanah 7 9 Ketersediaan tenaga kerja 8 10 Ketersediaan air 8 11 Ketersediaan listrik 8 12 Keadaan jalan 6 13 Ketersediaan lahan 7 14 Akses pemasaran 7 b. Keluaran Model Keluaran dari model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam adalah prioritas lokasi untuk pendirian atau pengembangan budidaya dan agroindustri sutera alam. Setelah melakukan proses penilaian pada masing-masing lokasi berdasarkan kriteria yang ada selanjutnya masing-masing lokasi yang dijadikan alternatif tersebut akan mendapatkan total nilai berdasarkan perhitungan menggunakan MPE. Alternatif lokasi yang ada kemudian diurutkan mulai dari lokasi yang memiliki total nilai tertinggi hingga lokasi yang memiliki total nilai terendah. Semakin tinggi total nilai yang diperoleh suatu lokasi maka semakin baik lokasi tersebut untuk dijadikan lokasi pendirian atau pengembangan budidaya dan agroindustri sutera alam. Hasil perhitungan total nilai menggunakan MPE pada semua lokasi alternatif yang dijadikan contoh atau sampel 59

16 dapat dilihat pada Lampiran 1. Beberapa hasil penilaian lokasi alternatif dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil penilaian beberapa lokasi alternatif Nama Lokasi Provinsi Total Nilai Megamendung Jawa Barat Parung Panjang Jawa Barat Tenjo Jawa Barat c. Tampilan Model Pemilihan Lokasi Alternatif Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam Tampilan model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam dapat dilihat pada Gambar 15. Data lokasi alternatif pada program aplikasi Sidi-Kuu dapat ditambah, dan dikurangi oleh pengguna program aplikasi ini. Gambar 15. Tampilan model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam Pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam juga terdapat tampilan report untuk memudahkan pengguna dalam melihat urutan prioritas lokasi alternatif 60

17 yang menjadi masukan. Tampilan report pada model pemilihan lokasi alternatif disajikan pada Gambar 16. Gambar 16. Tampilan report pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam 3. Model Teknologi Proses Model teknologi proses merupakan model yang menjabarkan halhal yang berkaitan dengan proses produksi dan peralatan yang termasuk di dalam proses produksi tersebut. Penjabaran mengenai proses produksi perlu dilakukan karena pembuatan suatu produk pasti memiliki urutan proses tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Apple (1990) yang mengatakan bahwa pembuatan setiap produk, pemberian jasa atau pelaksanaan setiap kegiatan mandiri, orang yang mengerjakannya mengikuti satu urutan langkah tertentu yang telah ditentukan. Langkahlangkah yang telah ditentukan untuk membuat produk atau jasa secara lebih seragam biasanya disebut operasi. Satu urutan operasi dan peralatan 61

18 yang dibutuhkan disebut rancangan proses (Apple, 1990). Proses produksi pada agroindustri benang sutera mentah dijabarkan pada Gambar 17. FRESH COCOON FLOSSING SELECTION DRYING SELECTION COOKING REELING RE-REELING INSPECTION RAW SILK Gambar 17. Proses produksi pembuatan benang sutera mentah Kokon segar merupakan kokon yang baru dipanen oleh para petani kokon. Setelah kokon segar ini dipanen, maka akan dilakukan proses pembersihan kokon dari kapas-kapas yang melekat pada kulit kokon. Proses pembersihan ini dinamakan flossing, sedangkan kapaskapas yang melekat pada kulit kokon dinamakan flossom (Ryu, 2000). Proses ini perlu dilakukan karena kapas-kapas yang melekat pada kokon akan membuat kokon tidak dapat dipintal menjadi benang. Gambar kokon yang belum dipanen dapat dilihat pada Gambar 18, dan gambar kokon yang belum melalui tahap flossing dapat dilihat pada Gambar

19 Gambar 18. Kokon yang belum dipanen Gambar 19. Kokon yang belum diflossing Setelah proses flossing selesai dilakukan, maka perlu dilakukan seleksi terhadap kokon-kokon tersebut. Selain menyeleksi hasil proses pembersihan kokon yang sudah dilakukan pada proses sebelumnya, seleksi juga dilakukan terhadap kualitas kokon. Seleksi terhadap kualitas kokon dimaksudkan untuk memisahkan antara kokon yang berkualitas baik (layak dipintal) dengan kokon cacat. Untuk membedakan kualitas kokon ini dilakukan secara manual. Orang yang melakukan seleksi ini harus mampu membedakan kokon yang dapat dipintal dan yang tidak dapat dipintal. Indikator kokon berkualitas baik menurut Ryu (2000) adalah kokon dalam keadaan bersih, bagian dalam kokon (pupa) tidak rusak atau hancur, dan bagian kulit kokon (lapisan serat-serat sutera) keras. Kokon yang tidak memenuhi kriteria tersebut dinyatakan sebagai kokon cacat dan tidak layak untuk dipintal. Ryu (2000) menambahkan bahwa kokon cacat secara lebih jelas dapat dibedakan menjadi kokon berlubang (perforated cocoons), kokon kotor dalam (inside soiled cocoons), kokon kotor luar (outside soiled cocoons), kokon kembar (double cocoons), kokon ujung tipis (thin end cocoons), kokon kulit tipis (thin shell cocoons), kokon bentuk aneh (deformed cocoons), kokon berbulu (flosy cocoons), kokon 63

20 kulit berlapis (double layerad cocoons), kokon berlekuk (thin middle cocoons), kokon tercetak, kokon berjamur (musty cocoons). Kokon yang telah diseleksi selanjutnya dikeringkan. Proses ini dinamakan proses pengeringan (drying). Kokon yang sudah didapatkan dari para petani tidak semuanya langsung dapat diproses saat itu juga, sehingga agar kokon-kokon tersebut bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama dibutuhkan proses pengeringan kokon. Pada prinsipnya proses pengeringan kokon dilakukan untuk mengurangi kandungan air di lapisan sutera dan pupa, selain itu pengeringan juga bertujuan untuk mencegah berkembangnya pupa menjadi kupu-kupu (Ryu, 2000). Pengeringan kokon dilakukan di dalam lemari pengering dengan suhu sekitar 118 o C dalam waktu enam jam. Kapasitas mesin pengeringan ini adalah sekitar 150 kg kokon. Rendemen yang dihasilkan adalah sekitar 60%. Gambar mesin pengering kokon disajikan pada Gambar 20. Gambar 20. Mesin pengering kokon Kokon yang akan diolah pada proses selanjutnya kembali akan melakukan tahapan seleksi. Tahapan seleksi ini dilakukan untuk melihat apakah ada kokon yang rusak selama tahap pengeringan dan penyimpanan. Pemasakan (cooking) merupakan proses yang dilakukan sebelum benang dapat dipintal. Tujuan proses pemasakan ini adalah untuk menguraikan filamen sutera pada kokon. Filamen sutera tidak dapat langsung terurai karena adanya protein serisin yang menempel pada kokon. Menurut Jumaeri (1997) di dalam Purwaningrum (2007) protein serisin adalah protein yang tidak mengandung belerang, dan merupakan protein yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak di dalam air 64

21 panas. Untuk melunakkan protein tersebut dari kokon perlu dilakukan proses pemasakan. Dengan adanya proses pemasakan maka kulit kokon akan mengembang, menjadi lunak, dan memungkinkan filamen sutera diurai dan dipintal (Atmosoedarjo et al., 2000). Proses pemasakan kokon ini menggunakan panci alumunium yang dipanaskan di atas kompor. Kokon dimasak pada suhu sekitar 50 o C-99 o C. Proses pemasakan kokon dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21. Proses pemasakan kokon Kokon yang sudah dimasak selanjutnya akan dipintal untuk menghasilkan benang. Proses pemintalan benang ini dinamakan proses reeling. Proses pemintalan benang ini dilakukan dengan menggunakan mesin pintal. Pada prinsipnya, proses ini bertujuan untuk menyatukan beberapa filamen sutera dari beberapa kokon. Jumlah filamen sutera yang disatukan berbeda-beda tergantung ukuran dari benang (Atmosoedarjo et al., 2000). Mesin pemintal kokon yang digunakan terdiri dari enam bak yang dioperasikan oleh enam orang per mesin. Benang sutera mentah yang dapat dihasilkan oleh satu set mesin ini adalah 6 kg benang sutera mentah per hari. Pada proses pemintalan ini, filamen sutera dililitkan pada gulungan kecil. Gambar mesin pintal benang sutera dapat dilihat pada Gambar

22 Gambar 22. Mesin pintal benang sutera Setelah dilakukan proses pemintalan, maka benang sutera mentah harus melalui proses pemintalan ulang atau yang lebih dikenal dengan proses rereeling. Proses pemintalan ulang ini bertujuan untuk memindahkan benang sutera mentah dari gulungan kecil ke gulungan besar yang memiliki keliling 150 cm (Atmosoedarjo et al., 2000). Benang sutera mentah perlu dipindahkan dari gulungan kecil ke gulungan besar untuk tujuan penjualan atau pemasaran. Gulungan benang harus memiliki keliling sebesar 150 cm sesuai dengan standar internasional. Alat yang digunakan pada proses ini adalah mesin pemintalan ulang. Mesin ini terdiri dari delapan gulungan. Dalam sehari mesin ini dapat memproses 6 kg benang sutera mentah. Gambar mesin pintal ulang dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23. Mesin pintal ulang benang sutera Sebelum dapat benar-benar dikatakan sebagai benang sutera mentah, benang yang sudah dipintal kembali tersebut perlu diseleksi untuk terakhir kalinya. Seleksi dilakukan untuk melihat apakah benang-benang tersebut sudah terproses secara baik dan apakah ada bagian-bagian benang yang terputus. Setelah dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap benang, 66

23 maka benang dikatakan sebagai benang sutera mentah. Rangkuman proses produksi dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Proses produksi dan alat yang digunakan pada proses pembuatan benang sutera mentah Proses Alat Spesifikasi Pengeringan (drying) Pemasakan (cooking) Pemintalan (reeling) Pemintalan ulang (rereeling) Mesin pengering Kompor Mesin pintal Mesin pintal ulang Kapasitas produksi 150 kg kokon per enam jam (satu kali proses pengeringan) Kapasitas produksi 60 kg kokon per hari Terdiri dari 60 gulungan kecil per mesin Kapasitas produksi 6 kg benang per hari Terdiri dari delapan gulungan besar per mesin Kapasitas produksi 6 kg benang per hari 4. Model Perencanaan Tata Letak Pabrik Perencanaan tata letak pabrik merupakan salah satu bagian dari perencanaan produksi. Tata letak yang efisien akan menekan biaya yang berkaitan dengan penanganan bahan, mengurangi kebutuhan personil dan peralatan, serta memberikan kenyamanan dan keamanan kerja. Menurut Purnomo (2004) pada dasarnya tujuan utama perancangan tata letak adalah optimisasi pengaturan fasilitas-fasilitas operasi sehingga nilai yang diciptakan oleh sistem produksi akan maksimal. Menurut Apple (1990), analisis tata letak pabrik diawali dengan membuat diagram alir produksi, kemudian bagan keterkaitan antar kegiatan dan diagram keterkaitan antar kegiatan. Pembuatan bagan keterkaitan antar kegiatan didasarkan pada hubungan antar kegiatan dengan memberikan derajat keterkaitan yang dinyatakan sebagai berikut : A (Absolut), menunjukkan hubungan keterkaitan antar kegiatan yang satu harus saling berdekatan dengan kegiatan yang lain dan bersebelahan. E (Especially Important), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan harus berdekatan I (Important), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan cukup berdekatan 67

24 O (Ordinary), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan tidak harus saling berdekatan U (Unimportant), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan bebas dan tidak saling terikat X (Undiserable), menunjukkan bahwa letak antar kegiatan tidak boleh saling berdekatan. Faktor dasar dalam menentukan derajat keterkaitan antar satu kegiatan dengan kegiatan lain yaitu : 1. Urutan aliran kerja, aliran bahan, penggunaan peralatan, efisiensi waktu dan jarak, dan pencatatan yang sama. 2. Aspek personalia, seperti menggunakan pekerja yang sama, tingkat kontak antar pekerja, kemudahan pengawasan dan kemudahan pergerakan. 3. Aspek aliran informasi serta persyaratan khusus, seperti masalah kesehatan, dan kenyamanan. Derajat keterkaitan antar satu kegiatan dengan kegiatan lainnya ditentukan atas dasar alasan-alasan yang disimbolkan dengan angka sebagai berikut : 1. Urutan kerja 2. Penggunaan peralatan yang sama 3. Efisiensi waktu dan jarak 4. Kontak antar pekerja 5. Penggunaan pekerja yang sama 6. Pengawasan 7. Adanya komunikasi lisan atau tertulis 8. Menimbulkan bau, bising, asap, atau debu Bagan keterkaitan antar kegiatan pada agroindustri benang sutera mentah dapat dilihat pada Gambar 24. Setelah membuat bagan keterkaitan antar kegiatan, selanjutnya disusun lembar kerja untuk diagram keterkaitan antar kegiatan. Lembar kerja untuk diagram keterkaitan antar kegiatan agroindustri benang sutera mentah dapat dilihat pada Tabel 23. Lembar 68

25 kerja ini berfungsi untuk mempermudah penyusunan diagram keterkaitan antar kegiatan (Apple, 1990). Menurut Apple (1990), sementara bagan keterkaitan antar kegiatan berfungsi untuk perencanaan dan penganalisaan keterkaitan kegiatan, informasi yang dihasilkan hanya berguna jika diolah ke dalam suatu diagram. Inilah yang menjadi tujuan dari diagram keterkaitan kegiatan. Diagram keterkaitan antar kegiatan ini digunakan sebagai gambaran prosedur tata letak. Diagram kerterkaitan kegiatan pada agroindustri benang sutera dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 24. Bagan keterkaitan antar kegiatan pada agroindustri benang sutera mentah 69

26 Tabel 23. Lembar kerja untuk diagram keterkaitan kegiatan Kegiatan Derajat Kedekatan A E I O U X Kebun murbei ,10,11 3,4,5,6,7,8,9 - Rumah ulat kecil ,3,8 4,7 5,6,9,10,11 Pengeringan - 4-2,5,6,7,9 1,8,10 11 Ruang bahan baku 5 3-6,7,8,9,10 1,2,11 - Ruang Pemasakan 4, ,7 1,8,10,11 2,9 Ruang pemintalan 5, ,4,8,9 1,10,11 2 Ruang pemintalan ulang 6 8-3,4,5,9 1,2,10,11 - Ruang penyimpanan - 7 9,10 2,4,6 1,3,5,11 - benang Kantor ,4,6,7,10 1 2,5,8,11 Mess Karyawan ,4,9 3,5,6,7 2,11 Ruang penanganan limbah ,5,6,7,8 2,3,9,10 Gambar 25. Diagram keterkaitan antar kegiatan 5. Model Kelembagaan Usaha Model kelembagaan usaha yang tidak tepat dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan suatu kegiatan usaha tidak berjalan dengan baik dan benar, hal inilah yang juga membuat agroindustri sutera alam di Indonesia tidak dapat berkembang sampai saat ini. Pemilihan suatu model kelembagaan usaha harus diperhatikan dengan baik, karena kelembagaan 70

27 usaha tersebut nantinya akan mempengaruhi perkembangan suatu kegiatan usaha baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Model kelembagaan usaha yang paling tepat untuk kegiatan agroindustri sutera alam adalah kemitraan usaha. Kemitraan usaha pertanian sendiri terdiri dari beberapa pola. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 tahun 1997, kemitraan usaha pertanian dapat berupa pola inti plasma, pola subkontrak, pola dagang umum, dan pola keagenan. Pola kemitraan inti plasma adalah hubungan kemitraan antara kelompok mitra sebagai plasma dengan industri selaku perusahaan inti. Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar dimana usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya. Pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar dengan cara memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra (Hafsah, 2000). Dari penjabaran di atas, maka pola kemitraan yang dirasa paling tepat untuk pengembangan agroindustri sutera alam adalah pola kemitraan inti plasma. Pemilihan pola kemitraan inti plasma ditunjang dengan pendapat Hafsah (2000) yang menyatakan bahwa salah satu keunggulan dari pola kemitraan inti plasma adalah dapat memberikan manfaat timbal balik antara pengusaha besar atau menengah sebagai inti dengan usaha kecil sebagai plasma. Manfaat tersebut diperoleh melalui cara pengusaha besar atau menengah memberikan pembinaan serta penyediaan saran produksi, bimbingan, pengolahan hasil serta pemasaran, dengan begitu perusahaan besar telah membagi risiko hasil serta pemasaran, dengan begitu pengusaha besar telah membagi risiko dan peluang bisnis dengan pengusaha kecil sebagai plasma. 71

28 Pertimbangan adanya manfaat timbal balik diantara perusahaan inti dengan kelompok plasma sangat penting untuk diperhatikan. Disamping kurangnya data dan informasi mengenai kegiatan budidaya ulat sutera pada tingkat petani, minimnya keuntungan kegiatan budidaya ulat sutera yang dirasakan petani juga membuat agroindustri sutera alam tidak dapat berkembang. Petani cenderung meninggalkan kegiatan budidaya ulat sutera karena masih banyak komoditas lain yang dianggap lebih ekonomis oleh petani. Pola kemitraan inti plasma pada dasarnya melibatkan tiga unsur, yaitu petani/kelompok tani, pengusaha besar atau eksportir, dan bank (Plantus, 2008). Pola kemitraan inti plasma yang dilakukan pada agroindustri sutera alam secara teknis melibatkan para petani atau kelompok tani kokon dengan perusahaan agroindustri sutera alam. Petani atau kelompok tani berperan sebagai kelompok plasma dan perusahaan agroindustri sutera alam berperan sebagai perusahaan inti. Perusahaan inti memiliki beberapa tugas dan tanggung jawab, yaitu berkewajiban membeli telur ulat dari produsen telur, menetaskan telur dan memelihara ulat sutera sampai instar III (dikenal dengan istilah ulat kecil), mendistribusikan ulat kepada para petani atau kelompok tani kokon, dan membeli hasil panen kokon dari para plasma. Sedangkan kelompok plasma bertangguang jawab dalam pemeliharaan ulat sutera selama instar IV sampai V (dikenal dengan istilah ulat besar), dan menjual hasil panen kokon prusahaan inti. Pola kemitraan inti plasma juga akan berpengaruh pada analisisanalisis model-model yang terdapat pada program aplikasi Sidi-Kuu. Pemilihan pola kemitraan ini berpengaruh pada model pemilihan lokasi, dan model analisis kelayakan finansial. Pada model pemilihan lokasi alternatif budidaya dan agroindustri sutera alam, kriteria-kriteria yang dipilih dan ditetapkan mempertimbangkan kelangsungan kegiatan budidaya ulat sutera maupun agroindustri sutera alam. Sedangkan pada model analisis kelayakan finansial, analisis dilakukan pada perusahaan initi dan juga pada kelompok plasma. 72

29 6. Model Analisis Kelayakan Finansial Budidaya dan Agroindustri Sutera Alam Model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam adalah model yang digunakan untuk mengetahui kelayakan pendirian budidaya dan agroindustri sutera alam dari sisi finansialnya. Kelayakan finansial dianalisis berdasarkan beberapa parameter kelayakan untuk melakukan penilaian investasi, yaitu NPV, PI, PBP, ROI, dan BEP. Model ini diharapkan mampu memberikan penilaian kelayakan penilaian finansial yang objektif terhadap rencana investasi budidaya dan agroindustri sutera alam. Model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam yang terdapat di dalam program aplikasi Sidi-Kuu terdiri dari model analisis kelayakan finansial yang ditujukan untuk perusahaan inti dan yang ditujukan untuk pelaku budidaya ulat sutera yaitu petani atau kelompok tani. Pada model analisis kelayakan finansial ini digambarkan bagaimana kelayakan suatu pendirian atau pengembangan suatu agroindustri sutera alam yang menggunakan pola kemitraan inti plasma. Analisis kelayakan finansial pada pendirian atau pengembangan agroindustri sutera alam yang menggunakan pola kemitraan inti plasma menunjukkan bahwa suatu investasi yang akan dilakukan nantinya tidak hanya dimanfaatkan untuk menguntungkan perusahaan inti saja, namun juga berusaha menguntungkan para petani atau kelompok tani yang berperan sebagai plasma terhadap perusahaan inti tersebut. a. Masukan model Masukan model analisis kelayakan finansial budidaya dan agroindustri sutera alam terdiri dari biaya operasional yang dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel, dana investasi, serta nilai-nilai asumsi yang digunakan dalam analisis. Masukan model analisis kelayakan finansial agroindustri sutera alam secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 2 hingga lampiran 7. 73

30 Pada model analisis kelayakan finansial perusahaan inti, masukan total dana investasi adalah sebesar Rp Total biaya operasional adalah sebesar Rp per tahunnya (ketika persentase produksi sudah 100%). Beberapa asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial agroindsutri sutera alam pada perusahaan inti dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial pada perusahaan inti Asumsi Nilai Satuan Harga telur ulat Rp/boks Harga jual ulat instar III Rp/boks Harga beli kokon Rp/kg Harga jual benang Rp/kg Umur proyek 10 Tahun Pada model analisis kelayakan finansial budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh petani pada tingkat plasma, masukan total dana investasi adalah sebesar Rp Total biaya operasional adalah sebesar Rp per tahunnya (ketika persentase produksi sudah 100%). Beberapa asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial agroindsutri sutera alam pada kelompok plasma dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis kelayakan finansial pada kelompok plasma Asumsi Nilai Satuan Luas lahan murbei 1 Ha Kapasitas pemeliharaan ulat 5 boks/periode Hasil panen kokon 40 kg/boks Harga jual kokon Rp/kg Umur proyek 10 Tahun b. Keluaran Model Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial berdasarkan beberapa parameter kelayakan untuk melakukan penilaian investasi pada perusahaan inti dapat dilihat pada Tabel

31 Tabel 26. Hasil perhitungan penilaian investasi agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti Parameter Kelayakan Nilai Keuntungan bersih per tahun Rp ,60 NPV Rp ,02 ROI 14,34% PI 1,10 BEP 2.853,00 kg PBP 5,09 tahun Dari Tabel 26 dapat disimpulkan bahwa agroindustri sutera alam pada perusahaan inti layak dijalankan atau dilaksanakan. Hal ini terlihat dari nilai-nilai parameter kelayakan investasti yang mengindikasikan bahwa usaha tersebut layak dijalankan atau dilaksanakan. Hasil perhitungan model analisis kelayakan finansial pada perusahaan inti menunjukkan bahwa perusahaan inti akan mendapatkan rata-rata keuntungan bersih per tahun sebesar Rp ,60. Keuntungan bersih ini merupakan keuntungan yang didapat setelah dikenakan pajak. Pada hasil perhitungan NPV didapatkan nilai yang posistif, yaitu sebesar Rp ,02. NPV merupakan salah satu parameter kelayakan penilaian investasi yang digunakan untuk menunjukkan apakah suatu investasi atau suatu usaha layak untuk dijalankan. NPV yang bernilai positif mengindikasikan bahwa suatu usulan investasi layak untuk dijalankan. Nilai PI menggambarkan perbandingan antara nilai sekarang penerimaanpenerimaan kas bersih di masa mendatang dengan nilai sekarang investasi. PI yang memiliki nilai lebih besar dari satu (PI >1) menggambarkan bahwa suatu usulan investasi layak untuk dijalankan, sehingga usaha agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti layak untuk dijalankan. BEP digunakan untuk menghitung titik impas dari investasi yang dijalankan. Nilai BEP yang dihasilkan adalah kg, artinya bahwa titik impas agroindsutri sutera alam pada perusahaan inti akan tercapai ketika penjualan benang sutera mentah mencapai kg. 75

32 Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial berdasarkan beberapa parameter kelayakan untuk melakukan penilaian investasi pada kelompok plasma dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Hasil perhitungan penilaian investasi budidaya ulat sutera pada kelompok plasma Parameter Kelayakan Nilai Keuntungan bersih per tahun Rp ,00 NPV Rp ,45 ROI 14,03 % PI 1,39 BEP 584,00 kg PBP 4,92 tahun Dari tabel di atas juga dapat disimpulkan bahwa budidaya sutera alam yang dijalankan oleh petani pada tingkat plasma layak dijalankan atau dilaksanakan. Hal ini terlihat dari nilai-nilai parameter kelayakan finansial yang mengindikasikan bahwa usaha tersebut layak dijalankan atau dilaksanakan. Dari lahan murbei seluas 1 Ha, rata-rata keuntungan bersih yang akan didapatkan kelompok plasma setiap tahunnya adalah sebesar Rp ,00. Nilai NPV sebesar Rp ,45 menunjukkan bahwa kegiatan budidaya ulat sutera pada kelompok plasma layak untuk dijalankan. Nilai PI dari hasil analisis finansial budidaya ulat sutera pada kelompok plasma adalah sebesar 1,39. Titik impas dari investasi pada kegiatan budidaya ulat sutera di tingkat plasma akan didapat ketika sudah berhasil menjual kokon hasil panen sebanyak 584,00 kg. Investasi yang dilakukan pada kegiatan budidaya ulat sutera di tingkat plasma diperkirakan akan kembali setelah kegiatan ini berlangsung selama 4,92 tahun atau sekitar 4 tahun 11 bulan. Dalam melakukan analisis kelayakan finansial suatu penilaian investasi perlu dilakukan pengujian terhadap tingkat sensitivitasnya. Pengujian dilakukan pada tiga kondisi yang berbeda pada masingmasing kegiatan yaitu pada perusahaan inti dan pada tingkat plasma. 76

33 Pada perusahaan inti agroindustri sutera alam, skenario pertama adalah kondisi saat terjadi kenaikan harga bahan baku utama yaitu kokon sebesar 5% dari harga pembelian normal. Skenario kedua adalah kondisi saat terjadi penurunan harga jual produk yaitu benang sutera mentah sebesar 3% dari harga penjualan normal. Skenario ketiga adalah saat terjadi penurunan kualitas kokon yang mengakibatkan perubahan rendemen kokon, yang pada kondisi normal 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 10 kg kokon akan berubah menjadi setiap 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 11 kg kokon. Hasil perhitungan analisis sensitivitas untuk agroindustri sutera alam yang dilakukan oleh perusahaan inti dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Hasil analisis sensitivitas agroindustri sutera alam yang dilakukan oleh perusahaan inti. Parameter Kelayakan Kenaikan Harga Kokon (5%) Penurunan Harga Jual Benang (3%) Perubahan Rendemen Keuntungan bersih per tahun Rp ,60 Rp ,60 Rp ,40 NPV Rp ,00 Rp ,25 Rp ,54 ROI 12,01 % 12,29% 9,6 % PI 0,98 0,99 0,86 BEP 3.135,00 kg 3.150,00 kg 3.788,00 kg PBP 5,67 tahun 5,59 tahun 6,46 tahun Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan pada skenario pertama dimana terjadi kenaikan harga beli kokon sebesar 5% dari harga normal (dari harga awal Rp /kg menjadi Rp /kg) menunjukkan bahwa agroindustri sutera alam yang dilakukan pada perusahaan inti tidak layak untuk dijalankan atau dilaksanakan. Hal ini dikarenakan jika terjadi kenaikan harga beli kokon sebesar 5% dari harga normal, maka parameter-parameter yang digunakan untuk menilai kelayakan agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti menunjukkan hasil yang mengindikasikan bahwa agroindutri tersebut tidak layak untuk dijalankan. Hasil perhitungan NPV mengindikasikan agroindustri ini tidak layak dijalankan karena nilai NPV negatif, yaitu sebesar Rp ,00. Hasil perhitungan PI semakin 77

34 mengindikasikan bahwa kegiatan agroindustri benang sutera mentah pada perusahaan inti tidak layak dijalankan, karena nilainya yang kurang dari satu, yaitu sebesar 0,98. Analisis sensitivitas pada skenario yang kedua adalah analisis yang dilakukan dengan asumsi terjadi penurunan harga jual benang sebesar 3% dari harga jual normal, yaitu terjadi perubahan harga jual benang sutera mentah dari harga awal Rp ,00 per kg menjadi Rp ,00 per kg. Adanya penurunan harga jual benang sutera mentah tersebut akan membuat agroindustri sutera alam pada perusahaan inti tidak layak untuk dijalankan atau dilaksanakan. Ketidaklayakan tersebut ditunjukkan dari nilai NPV yang bernilai negatif, yaitu sebesar Rp ,25 dan nilai PI yang bernilai 0,99. Penurunan harga jual benang sutera mentah yang terjadi dapat ditanggulangi sehingga tidak menyebabkan agroindustri ini tidak layak untuk dijalankan. Cara yang dapat dilakukan untuk tetap membuat agroindustri ini layak untuk dijalankan walaupun terjadi penurunan harga jual benang sutera mentah adalah dengan menurunkan harga beli kokon dari kelompok plasma. Hal ini dapat dilakukan karena terdapat keterkaitan antara perusahaan inti dengan kelompok plasma, karena jika perusahaan inti tidak dapat berjalan maka kelompok plasma juga tidak dapat menjual hasil panennya. Namun demikian, penurunan harga beli kokon yang dilakukan oleh perusahaan inti terhadap kelompok plasma tidak boleh menyebabkan kelompok plasma ini menjadi rugi (kegiatan budidaya ulat sutera pada kelompok plasma harus tetap layak untuk dijalankan). Setelah dilakukan analisis maka diketahui untuk menanggulangi penurunan harga jual benang sutera mentah sebesar 3%, dilakukan penurunan harga beli kokon dari kelompok plasma sebesar 1% dari harga kokon normal (dari harga awal Rp ,00 per kg menjadi Rp ,00 per kg). Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel

35 Tabel 29. Pengaruh penurunan harga kokon akibat terjadi penurunan harga jual benang Parameter Kelayakan Setelah dilakukan Penurunan Harga Penurunan Harga Jual Benang (3%) Kokon (1%) Keuntungan bersih per tahun Rp ,60 Rp ,20 NPV Rp ,25 Rp ,75 ROI 12,29% 12,76% PI 0,99 1,02 BEP 3.150,00 kg 3.089,00 kg PBP 5,59 tahun 5,47 tahun Analisis sensitivitas pada skenario yang ketiga adalah analisis yang dilakukan dengan asumsi terjadi penurunan rendemen kokon. Jika pada awalnya 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 10 kg kokon, maka terjadi penurunan rendemen sehingga setiap 1 kg benang sutera mentah dihasilkan dari 11 kg kokon. Adanya penurunan nilai rendemen kokon akan membuat agroindustri sutera alam pada perusahaan inti tidak layak untuk dijalankan atau dilaksanakan. Ketidaklayakan tersebut ditunjukkan dari nilai NPV yang bernilai negatif, yaitu sebesar Rp ,54 dan nilai PI yang bernilai 0,86. Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap usaha budidaya ulat sutera pada tingkat plasma juga dilakukan dengan tiga skenario. Skenario pertama adalah kondisi saat terjadi kenaikan harga ulat instar III sebesar 53%, skenario kedua adalah kondisi saat terjadi penurunan harga jual kokon sebesar 14%, dan skenario ketiga adalah kondisi saat terjadi penurunan hasil panen menjadi 34 kg kokon per boks. Hasil perhitungan analisis sensitivitas untuk usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh pada tingkat plasma dapat dilihat pada Tabel 30. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada skenario pertama yaitu pada saat terjadi kenaikan harga beli ulat instar III sebesar 53% dari harga normal (dari harga awal Rp ,00 per boks menjadi Rp ,00 per boks) akan mengakibatkan kegiatan budidaya ulat sutera pada kelompok plasma menjadi tidak layak dijalankan atau dilaksanakan. Kenaikan harga beli ulat instar III sebesar 53% mengakibatkan parameter NPV menjadi bernilai negatif, yaitu sebesar 79

IV. KONFIGURASI MODEL

IV. KONFIGURASI MODEL IV. KONFIGURASI MODEL A. DIAGRAM ALIRAN DATA (DATA FLOW DIAGRAM/DFD) Metode yang digunakan dalam memodelkan program aplikasi Sidi- Kuu adalah menggunakan diagram aliran data. Diagram aliran data memperlihatkan

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Lidah buaya adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh maupun perawatan kulit manusia. Tanaman ini juga memiliki kecocokan hidup dan dapat

Lebih terperinci

III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK

III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK III. LANDASAN TEORI A. TEKNIK HEURISTIK Teknik heuristik adalah suatu cara mendekati permasalahan yang kompleks ke dalam komponen-komponen yang lebih sederhana untuk mendapatkan hubungan-hubungan dalam

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. AGROINDUSTRI SUTERA ALAM Agroindustri sutera alam secara terintegrasi mencakup usaha memproduksi kokon, yang merupakan bahan baku agroindustri benang sutera. Benang sutera merupakan

Lebih terperinci

Oleh : Lincah Andadari

Oleh : Lincah Andadari POTENSI HIBRID ULAT SUTERA HARAPAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI SUTERA. Oleh : Lincah Andadari Kementerian Kehutanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost LAMPIRAN 67 Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost Instalasi program letulet membutuhkan seperangkat PC dengan speksifikasi minimal sebagai berikut : 1. Satu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. A. Kerangka Pemikiran. B. Pendekatan Studi Kelayakan

III. METODOLOGI. A. Kerangka Pemikiran. B. Pendekatan Studi Kelayakan III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Pengembangan industri tepung dan biskuit dari tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) harus mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu analisis pasar dan pemasaran,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual III. METODE PENELITIAN Nilai tambah yang tinggi yang diperoleh melalui pengolahan cokelat menjadi berbagai produk cokelat, seperti cokelat batangan merupakan suatu peluang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dilakukan secara terintegrasi oleh kelompok tani di Desa Pallis mulai dari pemeliharaan murbei sampai pertenunan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN UNTUK PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM

PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN UNTUK PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN UNTUK PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM Oleh KRISTON PANGGABEAN F34052215 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR RANCANG BANGUN SISTEM PENUNJANG

Lebih terperinci

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Tipologi Usaha Sutera Alam di Kecamatan... Nurhaedah dan Wahyudi Isnan TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Nurhaedah Muin * dan Wahyudi Isnan Balai Litbang Lingkungan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Metode Analisis Data Analisis Biaya Produksi

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Metode Analisis Data Analisis Biaya Produksi BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2011 di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. 3.2

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL Gambir merupakan salah satu produk ekspor Indonesia yang prospektif, namun hingga saat ini Indonesia baru mengekspor gambir dalam bentuk gambir asalan.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran. 3.2 Metode Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran. 3.2 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Ketersediaan bahan baku ikan hasil tangkap sampingan yang melimpah merupakan potensi yang besar untuk dijadikan surimi. Akan tetapi, belum banyak industri di Indonesia

Lebih terperinci

MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA

MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA opendekatan PERMASALAHAN PENGEMBANGAN SUTERA DI KHPH BOALEMO GORONTALO - USAHA TANI SUTERA ALAM MERUPAKAN SALAH SATU DARI BERBAGAI

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA ULAT SUTERA UNGGULAN LITBANG TIM SUTERA PUSPROHUT BALITBANGHUT KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA Penggunaan salah satu bibit untuk kondisi pemeliharaan yang beragam (C301), BS09 jarang produksi

Lebih terperinci

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori)

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR Kebutuhan nasional benang sutera adalah 800 ton per tahun, sementara

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem

PEMODELAN SISTEM. Pendekatan Sistem. Analisis Sistem 76 PEMODELAN SISTEM Pendekatan Sistem Analisis Sistem Sistem Rantai Pasok Agroindustri Minyak Nilam secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) level pelaku utama, yaitu: (1) usahatani nilam, (2) industri

Lebih terperinci

BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI

BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI Eka Dewi Nurjayanti Staff Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Wahid

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian pendirian agroindustri berbasis ikan dilaksanakan di Kabupaten Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tahap Pengumpulan Data dan Informasi

III. METODOLOGI. Tahap Pengumpulan Data dan Informasi 23 III METODOLOGI Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan penelitian yaitu tahap pengumpulan data dan informasi, tahap pengkajian pengembangan produk, tahap pengkajian teknologi, tahap uji coba dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tinjauan teknologi pengolahan sagu Teknologi merupakan sumberdaya buatan manusia yang kompetitif dan selalu

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM 6.1. KONFIGURASI MODEL

PEMODELAN SISTEM 6.1. KONFIGURASI MODEL VI. PEMODELAN SISTEM 6.1. KONFIGURASI MODEL Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Pengembangan Agroindustri Manggis dirancang dan dikembangkan dalam suatu paket perangkat lunak ng diberi nama mangosteen

Lebih terperinci

ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU. (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR. Oleh RONNY MARTHA FO

ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU. (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR. Oleh RONNY MARTHA FO ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU (Pangasius hypophthalmus) DI KABUPATEN BOGOR Oleh RONNY MARTHA FO3496087 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2002, hlm Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

BAB I PENDAHULUAN. 2002, hlm Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manajemen merupakan hal pokok yang selalu digunakan oleh setiap industri untuk terus mengembangkan dan memajukan usaha yang dirintis, baik manajemen operasional,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala 50 III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 3.1.1 Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala a. Penentuan Kriteria dan Alternatif : Diperlukan data primer berupa kriteria yang digunakan dalam pemilihan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL DAN MEKANISME RANTAI PASOKAN SUTERA ALAM Rantai pasokan merupakan interaksi dari beberapa pihak yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut

Lebih terperinci

A. Kerangka Pemikiran

A. Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengkaji studi kelayakan pendirian industri pengolahan keripik nangka di kabupaten Semarang. Studi kelayakan dilakukan untuk meminimumkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS. Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS Formatted: Swedish (Sweden) Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri

Lebih terperinci

6 IMPLEMENTASI MODEL 6.1 Prediksi Produksi Jagung

6 IMPLEMENTASI MODEL 6.1 Prediksi Produksi Jagung 89 6 IMPLEMENTASI MODEL Rancangbangun model penyediaan tepung jagung pada rantai pasok industri berbasis jagung ini dapat digunakan sebagai suatu model yang dapat menganalisis penyediaan tepung jagung

Lebih terperinci

C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN

C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN C.3. AGROINDUSTRI TEPUNG CABE I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabe berasal dari Amerika Tengah dan saat ini merupakan komoditas penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Hampir semua rumah tangga

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PETERNAKAN MAJU BERSAMA. 5.1.Gambaran Umum Desa Cikarawang

V. GAMBARAN UMUM PETERNAKAN MAJU BERSAMA. 5.1.Gambaran Umum Desa Cikarawang V. GAMBARAN UMUM PETERNAKAN MAJU BERSAMA 5.1.Gambaran Umum Desa Cikarawang Desa Cikarawang merupakan salah satu desa yang yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL 6.1 Aspek Pasar Aspek pasar merupakan aspek yang sangat penting dalam keberlangsungan suatu usaha. Aspek pasar antara lain mengkaji potensi pasar baik dari sisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Kelayakan 1. Investor 2. Analisis 3. Masyarakat 4. Pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Kelayakan 1. Investor 2. Analisis 3. Masyarakat 4. Pemerintah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Kelayakan Studi kelayakan merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak suatu gagasan usaha yang direncanakan. Pengertian layak

Lebih terperinci

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Pemberian Jenis Murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana Terhadap Produksi Kokon Ulat

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011

Proceeding Lokakarya Nasional Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan, 6-7 Juli 2011 STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN UNIT PENGOLAHAN GULA SEMUT DENGAN PENGOLAHAN SISTEM REPROSESING PADA SKALA INDUSTRI MENENGAH DI KABUPATEN BLITAR Arie Febrianto M Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017 7 PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS Nafi Ananda Utama Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017 Pengantar Manggis merupakan salah satu komoditas buah tropika eksotik yang mempunyai

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

NAMA KELOMPOK : PUTRI FEBRIANTANIA M ( ) R

NAMA KELOMPOK : PUTRI FEBRIANTANIA M ( ) R USAHA TELUR ASIN NAMA KELOMPOK : PUTRI FEBRIANTANIA M (0610963043) R. YISKA DEVIARANI S (0610963045) SHANTY MESURINGTYAS (0610963059) WIDIA NUR D (0610963067) YOLANDA KUMALASARI (0610963071) PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Proyek merupakan suatu kegiatan untuk membangun sistem yang belum ada. Sistem dibangun dahulu oleh proyek, kemudian dioperasionalkan

Lebih terperinci

ELEMEN DAN ALIRAN INFORMASI PADA USAHA BUDIDAYA DAN AGROINDUSTRI OLAHAN LELE SECARA TERPADU: PENDEKATAN DATA FLOW DIAGRAM (DFD) PENDAHULUAN

ELEMEN DAN ALIRAN INFORMASI PADA USAHA BUDIDAYA DAN AGROINDUSTRI OLAHAN LELE SECARA TERPADU: PENDEKATAN DATA FLOW DIAGRAM (DFD) PENDAHULUAN P R O S I D I N G 497 ELEMEN DAN ALIRAN INFORMASI PADA USAHA BUDIDAYA DAN AGROINDUSTRI OLAHAN LELE SECARA TERPADU: PENDEKATAN DATA FLOW DIAGRAM (DFD) Neza Fadia Rayesa 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian

Lebih terperinci

Peluang Investasi Sutra Alam

Peluang Investasi Sutra Alam Halaman 1 Peluang Investasi Sutra Alam a. Mengenal Kupu Sutra 1. Biologis Kupu Sutra Sebelum membahas tentang teknik beternak ulat sutra, kiranya perlu pula kita ketahui lebih dulu tentang sifat sifat

Lebih terperinci

A. Malsari Kharisma Alam, A.Amidah A., Sitti Nurani S 83

A. Malsari Kharisma Alam, A.Amidah A., Sitti Nurani S 83 A. Malsari Kharisma Alam, A.Amidah A., Sitti Nurani S 83 PERAN PEREMPUAN PADA USAHA PERSUTERAAN ALAM DI DESA PISING KECAMATAN DONRI-DONRI KABUPATEN SOPPENG A. Malsari Kharisma Alam 1), A. Amidah Amrawaty

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai iklim tropis, berpeluang besar bagi pengembangan budidaya tanaman buah-buahan, terutama buah-buahan tropika.

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Banyaknya faktor yang menjadi pendukung untuk dikembangkannya kegiatan budidaya dan agroindustri sutera alam diataranya iklim dan keadaan geografis alam Indonesia

Lebih terperinci

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani Oleh: Ir. Nur Asni, MS PENDAHULUAN Tanaman kopi (Coffea.sp) merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan sebagai

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Produksi lada putih di Indonesia terus menurun, sementara pencapaian standar mutu masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari dominasi kelemahan pada sistem komoditas

Lebih terperinci

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1 PROGRAM UTAMA mangosteen 1.0 Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Pengembangan Agroindustri Manggis dirancang dalam sebuah paket program bernaman mangosteen 1.0. Model mangosteen

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Kelayakan Usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Kelayakan Usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Kelayakan Usaha Studi kelayakan merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak suatu gagasan usaha yang direncanakan. Pengertian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Packing House Packing house ini berada di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi. Packing house dibangun pada tahun 2000 oleh petani diatas lahan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Budidaya Bayam Secara Hidroponik

PEMBAHASAN. Budidaya Bayam Secara Hidroponik 38 PEMBAHASAN Budidaya Bayam Secara Hidroponik Budidaya bayam secara hidroponik yang dilakukan Kebun Parung dibedakan menjadi dua tahap, yaitu penyemaian dan pembesaran bayam. Sistem hidroponik yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem manajemen ahli model SPK agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit terdiri dari tiga komponen utama yaitu sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Tebu

II. TINJAUAN PUSTAKA Tebu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tebu Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku pembuatan gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan.

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah : III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN III. 1. KERANGKA PEMIKIRAN Terbatasnya sumber daya minyak dan kemampuan kapasitas produksi minyak mentah di dalam negeri telah menjadikan sekitar 50% pemenuhan bahan bakar nasional

Lebih terperinci

Sistem Manajemen Basis Data

Sistem Manajemen Basis Data 85 KONFIGURASI MODEL Hasil analisis sistem menunjukkan bahwa sistem pengembangan Agrokakao bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha di bidang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penanganan Awal Kacang Tanah Proses pengupasan kulit merupakan salah satu proses penting dalam dalam rangkaian proses penanganan kacang tanah dan dilakukan dengan maksud untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi Pertumbuhan dan perkembangan sektor usaha perkebunan di Indonesia dimotori oleh usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik pemerintah dan milik swasta. Di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, tidak memerlukan tempat luas

Lebih terperinci

KUISIONER PENELITIAN

KUISIONER PENELITIAN LAMPIRAN Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUISIONER PENELITIAN ANALISIS PENGAJUAN KREDIT USAHA RAKYAT PETANI SUTERA ALAM PADA BANK RAKYAT INDONESIA CABANG BOGOR (Studi Kasus : Petani Plasma Rumah Sutera

Lebih terperinci

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian Dari uraian latar belakang masalah, penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian kasus dan penelitian lapangan. Menurut Rianse dan Abdi dalam Surip (2012:33)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil dikumpulkan melalui sektor pertekstilan

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PENDAHULUAN

STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) PENDAHULUAN P R O S I D I N G 311 STUDI KELAYAKAN USAHA PEMBESARAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) Muhammad Alhajj Dzulfikri Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya PENDAHULUAN Perikanan merupakan salah satu

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM UKM. Pulau Pasaran SKALA 1:

4 KEADAAN UMUM UKM. Pulau Pasaran SKALA 1: 29 4 KEADAAN UMUM UKM 4.1 Lokasi dan Keadaan Umum Pengolah Unit Pengolahan ikan teri nasi setengah kering berlokasi di Pulau Pasaran, Lingkungan 2, Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Barat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di

BAB I PENDAHULUAN. dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Umbi porang merupakan bahan baku glukomanan yang saat ini banyak dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di kawasan hutan dan lereng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus (L) Merr. Tanaman ini berasal dari benua Amerika, tepatnya Negara Brazil.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian inidilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2016

BAHAN DAN METODE. Penelitian inidilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2016 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian inidilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2016 di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Hasil hutan non kayu sudah sejak lama masuk dalam bagian penting strategi penghidupan penduduk sekitar hutan. Adapun upaya mempromosikan pemanfaatan hutan yang ramah lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk

Lebih terperinci

Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC)

Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC) Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC) Ir. Hardi, MT Staff Pengajar Fakultas Teknologi Industri Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian menyebar ke seluruh benua dengan perantara penduduk asli. James Drummond Dole adalah orang pertama yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI... KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xii xiv xvi xvii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3. Tujuan Penelitian...

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO 1. Risiko Keuangan Dalam menjalankan usahanya Perseroan menghadapi risiko yang dapat mempengaruhi hasil usaha Perseroan apabila tidak di antisipasi dan dipersiapkan penanganannya dengan baik. Kebijakan

Lebih terperinci

VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET

VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET 47 6.1. Aspek Biofisik 6.1.1. Daya Dukung Lahan VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur tahun 2010, kondisi aktual pertanaman karet

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Biaya Produksi Persuteraan Alam Biaya produksi usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang terdiri dari biaya produksi kokon, biaya produksi benang,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu

TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Sterilisasi Salah satu jenis olahan susu yang dapat dijumpai di pasaran Indonesia adalah susu sterilisasi. Susu sterilisasi adalah salah satu contoh hasil pengolahan susu

Lebih terperinci

TEBU. (Saccharum officinarum L).

TEBU. (Saccharum officinarum L). TEBU (Saccharum officinarum L). Pada awal abad ke-20 Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor gula nomor dua terbesar di dunia setelah Kuba, namun pada awal abad ke-21 berubah menjadi negara pengimpor

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FINANSIAL

VII. ANALISIS FINANSIAL VII. ANALISIS FINANSIAL Usaha peternakan Agus Suhendar adalah usaha dalam bidang agribisnis ayam broiler yang menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Skala usaha peternakan Agus Suhendar

Lebih terperinci

IBM KELOMPOK USAHA (UKM) JAGUNG DI KABUPATEN GOWA

IBM KELOMPOK USAHA (UKM) JAGUNG DI KABUPATEN GOWA NO. 2, TAHUN 9, OKTOBER 2011 140 IBM KELOMPOK USAHA (UKM) JAGUNG DI KABUPATEN GOWA Muh. Anshar 1) Abstrak: Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas jagung yang dihasilkan agar sesuai

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis aspek finansial bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agroindustri adalah usaha untuk mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen (Austin 1981). Bidang agroindustri pertanian dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. AGROINDUSTRI SUTERA ALAM

II. TINJAUAN PUSTAKA A. AGROINDUSTRI SUTERA ALAM II. TINJAUAN PUSTAKA A. AGROINDUSTRI SUTERA ALAM Sutra atau sutera merupakan serat protein alami yang dapat ditenun menjadi tekstil. Jenis sutra yang paling umum adalah sutra dari kepompong yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini, akan dibahas mengenai ruang lingkup penelitian yang mencakup latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi

Lebih terperinci