BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

Transkripsi

1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, tidak memerlukan tempat luas dan dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga dan memberikan keuntungan (Anonim, 2009). Kegiatan persuteraan alam terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan, pada sektor hulu terdapat dua kegiatan utama yakni (1) penyiapan pakan ulat sutera melalui penanaman tanaman murbei dan (2) pemeliharaan ulat sutera, sementara pada sektor hilir meliputi kegiatan pengolahan kokon, pemintalan dan pertenunan (Anonim, 2009). Kegiatan Persuteraan alam di Indonesia mengalami pasang surut, akhir tahun 1960-an merupakan masa kejayaan persuteraan alam, namun pada tahun kegiatan persuteraan alam di Pulau Jawa mengalami kelesuan. Hal ini disebabkan oleh pemasaran yang tidak lancar, sehingga hampir lumpuh. Kelesuan pasar persuteraan diakibatkan oleh masuknya benang sutera impor dalam jumlah banyak ke daerah Sulawesi Selatan, hingga akhirnya menghambat pemasaran produksi dalam negeri. Selain itu, perkembangan persuteraan alam di Indonesia juga pernah terganggu oleh serangan penyakit pada ulat sutera. Serangan yang disebabkan oleh protozoa ini dikenal dengan nama penyakit pebrine dan menjadi wabah dalam pembibitan ulat sutera. Sebelum mengalami wabah penyakit pebrine tahun

2 1972, setiap petani membuat bibit telur ulat sutera polyvoltine dan musim pemeliharaan ulat tidak teratur. Setelah mengalami wabah penyakit pebrine, pemerintah melarang petani membuat bibit telur ulat sutera dan mulai diperkenalkan bibit impor bivoltine dari Jepang tahun 1974 (Forda, 2013). Fenomena pasang surut ini kembali terjadi, pada tahun 1990 produksi kokon mencapai angka tertinggi yaitu ton dan diekspor ke korea namun semakin menurun dan mencapai titik terendah pada tahun Perlahan kegiatan persuteraan alam mulai meningkat lagi, namun pada tahun serangan penyakit pebrine kembali mewabah sehingga semua stakeholder berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini (Anonim, 2010). Menyadari arti penting komoditi sutera, pemerintah merasa perlu lebih memperhatikan dan menggalakkan budidaya ulat sutera karena nilai komoditi benang sutera yang tinggi hanya dapat dicapai dengan memenuhi beberapa persyaratan. Salah satu kunci keberhasilan pemeliharaan ulat sutera adalah tersedianya bibit induk yang dapat menghasilkan bibit ulat yang berkualitas tinggi (Anonim, 2010) Kualitas hibrid sangat tergantung pada kombinasi ras induk yang disilangkan, teknik pemeliharaan ulat, kualitas dan kuantitas daun murbei, pencegahan dan pengendalian penyakit dan proses produksi telur. Bibit ulat sutera merupakan galur murni dari hasil pemuliaan yang digunakan untuk mendapatkan turunan (hibrid) ulat sutera yang unggul. Kegiatan mendapatkan turunan ulat sutera yang unggul dilakukan melalui persilangan

3 dengan bibit ulat sutera dari jenis lain (Anonim, 2010). Ras ulat sutera yang dimiliki oleh BPSKL Wil.Sulawesi (Eks.Balai Persuteraan Alam) terdiri dari ras lokal, Cina, Jepang dan Rumania. Ras tropik atau ras lokal adalah polyvoltin, mempunyai telur yang kecil dan ringan, larvanya kecil tetapi kuat dan tumbuh sangat cepat. Ras Cina juga tahan terhadap hama penyakit dan tumbuh dengan cepat, merupakan jenis bivoltin. Ras Jepang memiliki kokon berbentuk kacang, ras ini juga termasuk tahan terhadap hama penyakit dan kecepatan tumbuhnya medium. Sedangkan ras Rumania merupakan jenis univoltin dengan larva yang besar dan kokon oval, ras ini tumbuh lambat dan tidak kuat (Atmosoedarjo et al., 2000). Pemuliaan ulat sutera yang berupa persilangan bertujuan untuk menghasilkan ulat yang unggul dalam hal produksi telur, produksi kokon dan sutera serta kelangsungan produksi kokon (Singh et al., 2012). Persilangan ulat sutera memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan industri persuteraan alam karena dari hasil persilangan tersebut akan diperoleh jenis yang menjamin kelangsungan produksi kokon dengan kualitas sutera yang juga tinggi (Ramesha & Rao, 2009). Kunci keberhasilan lainnya dalam kegiatan budidaya ulat sutera yaitu penyediaan tanaman murbei sebagai pakan untuk ulat sutera. Ulat sutera memang hanya menyukai daun murbei, karena tanaman ini memiliki feeding cue atau bau tertentu yang tidak dipunyai jenis daun lain. Daun murbei memiliki kandungan makro dan mikro nutrien seperti : protein, karbohidrat, lipid dan vitamin-vitamin (Farida dan Yuniaperdani, 1996).

4 Menurut Katsumata (1964) dalam Nugrahaya (1993), susunan bahan kimia daun murbei terdiri atas air, zat putih telur, zat hidrat arang, eter, bahan-bahan anorganik dan vitamin-vitamin, yang kesemuanya ini diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera dan menurut Sunanto (1997), daun murbei mengandung banyak zat nutrisi terutama protein untuk pertumbuhan ulat. Oleh karena itu mutu dari murbei akan mempengaruhi pertumbuhan ulat sutera, mutu kokon, dan mutu serat yang dihasilkan. Untuk meningkatkan produksi kokon maka dibutuhkan daun murbei yang unggul yang dapat dijadikan pakan ulat sutera. Pemelihara ulat sutera khususnya di daerah Sulawesi Selatan lebih banyak menggunakan jenis M.nigra sebagai pakan ke ulat sutera karena pada awal pembentukan kegiatan persuteraan alam, jenis inilah yang paling banyak ditanam. M. nigra sebenarnya memiliki karakteristik fisik yaitu ukuran daunnya lebih kecil dan cepat layu dibandingkan dengan beberapa jenis lainnya sehingga program-program pemerintah saat ini melalui kegiatan rehabilitasi dan pembuatan kebun murbei lebih mengarahkan pada jenis-jenis murbei yang produktivitasnya tinggi dan disukai oleh ulat sutera. Tercatat dalam statistik Balai Persuteraan Alam tahun 2016, saat ini jenis murbei yang mulai dikembangkan oleh petani adalah jenis M. cathayana, M.indica dan M. Multicaulis karena jenis-jenis ini terbukti berdasarkan beberapa penelitian memiliki nutrisi yang cukup baik (Pudjiono, 2008). Setiap jenis daun mubei memiliki kandungan makro dan mikro nutrien yang tidak sama sehingga akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap

5 pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera serta kualitas kokon dan serat sutera yang dihasilkan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi kokon dan benang sutera akan tercapai apabila menggunakan hibrid ulat sutera yang unggul dengan menggunakan jenis murbei yang sesuai dengan hibrid ulat sutera tersebut. Penelitian ini akan mencoba untuk membuat jenis hibrid baru dari tetua pilihan dari beberapa ras yaitu ras lokal, Cina, Jepang, dan Rumania. Selanjutnya setelah didapatkan hibrid baru yang berkualitas akan dilakukan uji kesesuain pakan setiap hibrid terhadap 3 jenis murbei yang berbeda. Jenis yang digunakan M. indica, M. multicaulis dan M. cathayana. Dengan demikian diharapkan melalui penelitian ini dapat diketahui jenis murbei yang paling sesuai untuk hibrid tertentu. 1.2 Rumusan Masalah Produksi kokon rata-rata dari tahun ke tahun mengalami penurunan pada hampir sebagian besar wilayah yang melakukan kegiatan budidaya ulat sutera. Penurunan ini dapat diakibatkan oleh kualitas hibrid F1 yang kurang baik dan penyediaan pakan yang kurang mencukupi kebutuhan ulat sutera. Kualitas telur hibrid F1 ditentukan oleh kualitas bibit induk atau tetua yang digunakan dalam persilangannya. Tetua yang digunakan dalam jangka waktu yang lama pasti akan mengalami penurunan kualitas sehingga hibrid yang dihasilkan kualitasnya juga akan menurun. Penurunan kualitas hibrid akan terlihat dari produksi kokon rata-rata per boks, untuk hibrid

6 unggul akan mampu memproduksi kokon sebanyak 35 kg - 40 kg sedangkan untuk hibrid yang kurang baik akan menghasilkan kokon <30 kg per boks. Produksi kokon maksimal tidak hanya ditentukan oleh kualitas hibrid F1, namun pakan murbei yang berkualitas juga merupakan faktor penting lainnya. Setiap jenis daun murbei memiliki kandungan makro dan mikro nutrien yang berbeda, sehingga pemberian pakan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda juga terhadap produktivitas hibrid tersebut. Hibrid yang baik namun dalam proses pemeliharaan ulat sutera menggunakan jenis murbei yang kurang tepat atau dilakukan pencampuran jenis murbei yang berbeda sebagai pakan dapat membuat produktivitas hibrid tersebut tidak maksimal. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan penelitian untuk menemukan hibrid-hibrid baru yang potensial menjadi bibit unggul dengan jenis pakan yang paling sesuai untuk setiap hibrid yang dibuat sehingga produktivitas dari hibrid tersebut bisa maksimal. Beberapa pendekatan pertanyaan ilmiah yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Apakah dapat dihasilkan hibrid terbaik yang dibuat dari tetua pilihan yang saat ini sudah dimiliki? 2. Bagaimana pengaruh jenis pakan terhadap produktivitas masing-masing hibrid dan jenis murbei apa yang paling sesuai untuk meningkatkan produktivitas hibrid tersebut?

7 1.3 Tujuan penelitian Dengan mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah, maka secara rinci penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendapatkan 3 hibrid ulat sutera terbaik dari persilangan bibit induk yang berasal dari beberapa ras berbeda 2. Mengetahui jenis murbei yang paling sesuai untuk masing-masing hibrid tersebut 1.4 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademis dan praktis yaitu 1. Akademis : menambah ilmu pengetahuan terkait hibrid baru ulat sutera dan performa hibrid tersebut dengan berbagai pakan yang berbeda. 2. Praktis : sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan dalam kegiatan persuteraan alam. 1.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini yaitu : 1. Persilangan antara beberapa ras akan menghasilkan hibrid ulat sutera terbaik 2. Pakan akan berpengaruh terhadap produktivitasmasing-masing hibrid dan akan diperoleh satu jenis murbei yang paling sesuai untuk meningkatkan produktivitas hibrid tersebut.