HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut kemudian membuat lapisan kokon tipis sebagai penyangga (floss). Bobot floss akan semakin besar jika tempat pengokonan juga besar, hal ini menyebabkan larva harus mengeluarkan energi yang besar untuk membuat kerangka (floss) terlebih dahulu. Rataan bobot floss dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Floss dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (g) (%) (g) (%) (g) Kotak Tanpa Daun 0,25 80,0 0,15 33,3 0,20 Kotak Berdaun 0,15 33,3 0,24 33,3 0,19 Silinder Tanpa Daun 0,12 33,3 0,14 35,7 0,13 Silinder Berdaun 0,21 28,6 0,21 33,3 0,21 Rataan 0,18 43,8 0,18 33,9 0,18 Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%) Bobot floss dari keempat alat pengokonan berkisar antara 0,12-0,25 g untuk kokon yang berisi pupa jantan dan yang berisi pupa betina antara 0,14-0,24 g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot floss baik pada pupa jantan maupun betina masingmasing dengan rataan 0,18 g. Hasil perhitungan rataan bobot floss tanpa membedakan jenis kelamin adalah 0,18 g. Rataan bobot floss ini bernilai sama dengan rataan bobot floss kokon yang berasal dari alam yaitu sebesar 0,18 g (Baskoro, 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran alat pengokonan telah cukup efisien. 18

2 Meskipun rataan bobot floss tidak berbeda nyata, nilai koefisien keragaman bobot floss pada jantan (43,8%) lebih tinggi daripada betina (33,9%). Nilai keragaman ini menunjukkan bahwa ukuran alat pengokonan ini kurang sesuai untuk larva jantan, oleh karena itu disarankan untuk alat pengokonan pada jantan diberi ukuran yang lebih kecil. Nilai koefisien keragaman pada betina lebih kecil daripada jantan berarti lebih seragam. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran dan bentuk semua alat pengokonan lebih cocok untuk betina. Pernyataan ini didukung oleh persentase energi yang hilang dalam bentuk floss seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Floss terhadap Kulit Kokon Utuh dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (%) Kotak Tanpa Daun 33,16 46,11 20,06 35,62 26,61 Kotak Berdaun 39,40 45,89 36,43 39,45 37,91 Silinder Tanpa Daun 29,48 43,39 29,10 41,51 29,29 Silinder Berdaun 55,10 37,38 28,16 31,97 41,63 Rataan 39,28 43,19 28,43 37,14 33,85 Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%) Persentase floss terhadap kulit kokon utuh dari keempat alat pengokonan berkisar antara 29,48-55,10% untuk kokon yang berisi pupa jantan dan yang berisi pupa betina berkisar antara 20,06-36,43 %. Rataan persentase bobot floss terhadap bobot kulit kokon utuh ternyata jantan lebih tinggi daripada betina, berturut-turut yaitu 39,28% dan 28,43%. Berarti sekitar 72,57% energi A. atlas betina digunakan untuk membuat serat kokon yang merupakan bahan baku benang sutera, sedangkan jantan hanya menggunakan sekitar 60,72% dari energinya. Larva jantan lebih kecil dibandingkan betina sehingga jantan akan lebih banyak kehilangan energi dalam bentuk kerangka (floss) daripada betina. Apabila tidak mengidentifikasi jenis kelaminnya, maka rataan persentase floss adalah 33,85%. Penelitian Baskoro (2007) memperlihatkan bahwa A. atlas yang berasal dari alam menghasilkan persentase floss sekitar 27,61%. Persentase 19

3 floss di alam lebih kecil karena di lingkungan alam, larva dapat memilih daun tempat mengokon yang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Bobot Kokon Segar Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase pembentukan pupa (metamorfosa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa. Bobot kokon segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss. Bobot kokon segar merupakan faktor yang penting dalam hal reeling kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Tabel 3. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Kokon Segar dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (g) (%) (g) (%) (g) Kotak Tanpa Daun 6,79 18,45 9,56 22,75 8,17 Kotak Berdaun 7,66 22,76 9,03 17,33 8,34 Silinder Tanpa Daun 7,47 31,23 7,06 16,37 7,26 Silinder Berdaun 6,54 12,03 9,42 14,37 7,98 Rataan 7,11 A 21,11 8,76 B 17,71 7,94 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda Sangat nyata (P<0,01) Bobot kokon segar dengan pupa jantan berkisar antara 6,54-7,66 g dan kokon segar dengan pupa betina berkisar 7,06-9,56 g seperti yang tampak pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bobot kokon segar, sebaliknya jenis kelamin berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot kokon segar. Rataan bobot kokon segar pada jantan (7,11 g) adalah sangat nyata lebih rendah daripada betina (8,76 g). Perbedaan bobot kokon segar jantan dan betina pada A. atlas ternyata sama dengan pada B. mori yaitu bobot kokon segar dengan pupa jantan lebih kecil daripada betina (Atmosoedarjo et al., 2000). Sama seperti bobot floss, koefisien keragaman bobot kokon segar jantan lebih besar daripada betina masing-masing 21,11% dibanding 17,71%. Nilai ini 20

4 mengindikasikan bobot kokon segar dengan pupa betina lebih seragam daripada jantan pada keempat alat pengokonan. Persentase terbesar dari bobot kokon segar adalah bobot pupa. Bobot kokon segar dengan pupa jantan (7,11 g) lebih rendah daripada betina (8,46 g). Hal ini disebabkan bobot pupa jantan memang lebih kecil dibandingkan dengan pupa betina yaitu 6,55 g berbanding 8,51 g seperti yang tercantum pada Tabel 4. Bobot Pupa Bobot pupa jantan berkisar antara 5,36-7,36 g dan pupa betina antara 7,44-9,04 g seperti tertera pada Tabel 4. Analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak berpengaruh nyata (P>0,05), namun jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot pupa. Rataan bobot pupa jantan sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada betina yaitu 6,55 g dibanding 8,51 g. Perbedaan ini dikarenakan A. atlas memiliki sifat dimorfisme dimana jantan lebih kecil daripada betina. Tabel 4. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Pupa dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (g) (%) (g) (%) (g) Kotak Tanpa Daun 5,36 13,25 9,04 23,23 7,20 Kotak Berdaun 7,36 24,05 8,59 17,22 7,97 Silinder Tanpa Daun 7,16 32,68 7,44 5,64 7,30 Silinder Berdaun 6,35 12,59 8,98 15,81 7,66 Rataan 6,55 A 20,64 8,51 B 15,47 7,53 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda Sangat nyata (P<0,01) Koefisien keragaman bobot pupa jantan lebih besar daripada betina yaitu 20,64% dibanding 15,47%. Bobot pupa selain dipengaruhi oleh jenis kelamin, juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dan jumlah konsumsi saat fase larva, terutama larva instar enam. 21

5 Persentase bobot pupa jantan dan betina berturut-turut berkisar antara 81,37%-95,88% dan 86,06%-94,42% dengan rataan sekitar 91% seperti tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Bobot Pupa terhadap Kokon Segar dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (%) Kotak Tanpa Daun 81,37 24,18 94,42 0,97 87,89 Kotak Berdaun 95,88 1,84 86,06 18,64 90,97 Silinder Tanpa Daun 95,59 2,33 94,25 2,52 94,92 Silinder Berdaun 94,32 4,35 92,56 5,92 93,44 Rataan 91,79 8,18 91,82 7,01 91,80 Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%) Dilihat dari persentasenya, sebagian besar bobot kokon segar adalah bobot pupa, sedangkan bobot kulit kokon hanya sebagian kecil dari total keseluruhan bobot kokon segar. Bobot Kulit Kokon Utuh Bobot kulit kokon utuh dari pupa jantan berkisar antara 0,32-0,42 g dan kulit kokon utuh dari pupa betina berkisar 0,52-0,79 g seperti pada Tabel 6. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bobot kulit kokon utuh, tetapi jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot kulit kokon utuh. Rataan bobot kulit kokon utuh pada jantan sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada betina, yaitu 0,39 g dibanding 0,68 g. Bentuk kokon utuh dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Kulit Kokon Utuh 22

6 Tabel 6. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon Utuh dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (g) (%) (g) (%) (g) Kotak Tanpa Daun 0,32 31,25 0,79 18,98 0,55 Kotak Berdaun 0,42 35,71 0,68 11,76 0,55 Silinder Tanpa Daun 0,42 14,28 0,52 17,31 0,47 Silinder Berdaun 0,41 31,70 0,74 4,05 0,57 Rataan 0,39 A 28,23 0,68 B 13,02 0,54 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat Nyata berbeda (P<0,01) Rataan bobot kulit kokon utuh hasil penelitian tanpa membedakan jenis kelamin adalah 0,54 g. Nilai ini lebih rendah daripada bobot kulit kokon utuh A. atlas dari perkebunan teh di daerah Purwakarta (Baskoro, 2008) yaitu sebesar 0,68 g, yang dipelihara di dalam ruangan yaitu 1,29 g (Awan, 2007) dan yang dipelihara dalam ruangan mulai dari telur hingga mengokon dengan pakan yang berbeda yaitu 1,74 g pada pakan daun sirsak, 1,07 g dengan pakan daun kaliki dan 1,16 g pada pakan daun jarak pagar (Mulyani, 2008) seperti tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Bobot Kulit Kokon Utuh pada Beberapa Penelitian Peneliti BKKU (g) Keterangan Awan ( 2007) 1,29 Pemeliharaan di laboratorium dan pengokonan secara alamiah Baskoro (2008) 0,68 Pemeliharaan dan pengokonan di alam Mulyani (2008) Sirsak 1,74 secara alamiah Kaliki 1,07 Jarak pagar 1,16 Pemeliharaan di laboratorium dan pengokonan Sakinah (2009) 0,54 Pemeliharaan di alam dan pengokonan di alat pengokonan 23

7 Rataan bobot kokon utuh yang lebih rendah dapat disebabkan oleh cekaman yang dialami oleh larva A. atlas dalam penelitian ini mulai dari pengambilan, penimbangan hingga peletakan dalam alat pengokonan. Attacus atlas merupakan hewan yang belum pernah dibudidayakan dalam ruangan terlebih lagi mendapat perlakuan. Cekaman tersebut membuat hilangnya sebagian energi yang diperolehnya dari pakan yang seharusnya digunakan dalam pembuatan kokon. Baskoro (2008) memperoleh kokon dari alam yang merupakan habitat aslinya. Awan (2007) dan Mulyani (2008) memelihara larva dalam ruangan, tetapi proses pengokonannya dibiarkan secara alamiah di tempat pemeliharaan, tidak dimasukkan ke alat pengokonan sehingga cekaman dapat berkurang. Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss Bobot kulit kokon tanpa floss adalah bobot kulit kokon utuh setelah dikurangi bobot floss. Kulit kokon merupakan lapisan serat sutera alam yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa (Standar Nasional Indonesia, 2002). Kulit kokon menentukan jumlah serat sutera yang dihasilkan saat pemintalan. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka semakin banyak pula benang yang akan dihasilkan (Atmosoedarjo et al., 2000). Rataan bobot kulit kokon tanpa floss hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis kelamin (g) (%) (g) (%) (g) Kotak Tanpa Daun 0,19 47,40 0,54 14,80 0,36 Kotak Berdaun 0,30 40,00 0,44 22,70 0,37 Silinder Tanpa Daun 0,26 30,70 0,36 27,70 0,31 Silinder Berdaun 0,19 31,60 0,47 12,70 0,33 Rataan 0,24 A 37,42 0,45 B 19,47 0,34 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata berbeda (P<0,01) 24

8 Bobot kulit kokon tanpa floss dari pupa jantan berkisar antara 0,19-0,30 g sedangkan pupa betina berkisar antara 0,36-0,54 g. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot kulit kokon tanpa floss, sedangkan jenis kelamin berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Rataan bobot kulit kokon tanpa floss dari pupa jantan sangat nyata lebih rendah daripada betina yaitu 0,24 g dibanding 0,45 g. Koefisien keragaman pada bobot kulit kokon tanpa floss dari pupa jantan (37,42%) lebih tinggi daripada betina (19,47%), mengindikasikan bahwa alat pengokonan yang dicobakan cukup optimal bagi betina. Keseragaman bobot kulit kokon tanpa floss akan mempermudah pendugaan terhadap nilai ekonominya. Rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang tidak membedakan jenis kelamin adalah 0,34 g. Nilai ini lebih rendah daripada rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang berasal dari alam (Baskoro, 2008) yaitu 0,50 g. Seperti pada pembahasan sebelumnya, bahwa A. atlas yang diberi perlakuan alat pengokonan dalam penelitian ini mengalami cekaman yang berpengaruh terhadap kurang optimalnya penggunaan energi untuk pembuatan kokon. Ulat sutera liar akan menggunakan energi yang didapat dari pakan untuk tetap mempertahankan hidupnya sehingga energi untuk membentuk kokon berkurang. Tabel 9. Persentase Kulit Kokon Tanpa Floss terhadap Kokon Segar dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (%) Kotak tanpa Daun 2,70 37,32 5,84 26,41 4,27 Kotak Berdaun 4,29 56,70 4,97 34,19 4,63 Silinder Tanpa Daun 3,50 23,20 5,21 30,88 4,30 Silinder Berdaun 3,02 39,37 5,08 9,99 4,05 Rataan 3,38 39,14 5,27 25,36 4,31 Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%) 25

9 Persentase kulit kokon tanpa floss terhadap kokon segar dari keempat alat pengokonan berkisar antara 2,70-4,29% untuk kokon dari pupa jantan dan dari pupa betina antara 4,97-5,84 % seperti yang tampak pada Tabel 9. Diameter Kokon Diameter kokon dari pupa jantan dan betina masing-masing berkisar antara 24,65-26,85 mm dan 26,07-29,72 mm seperti tertera pada Tabel 10. Analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap diameter kokon baik yang berisi pupa jantan maupun betina dengan rataan berturut-turut yaitu 25,62 mm dan 27,47 mm. Tabel 10. Rataan dan Koefisien Keragaman Diameter Kokon dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (mm) (%) (mm) (%) (mm) Kotak Tanpa Daun 25,02 9,15 26,07 22,36 25,54 Kotak Berdaun 24,65 8,47 29,72 8,78 27,18 Silinder Tanpa Daun 25,97 8,04 26,47 3,58 26,22 Silinder Berdaun 26,85 9,16 27,65 1,73 27,25 Rataan 25,62 8,70 27,47 9,11 26,55 Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%) Jenis kelamin tidak dapat ditentukan oleh diameter kokonnya karena rataan diameter kokon jantan tidak berbeda nyata dengan betina yaitu 2,6 cm. Diameter cukup seragam, diindikasikan oleh nilai koefisien keragaman yang rendah yaitu 8-9%. Ukuran diameter ini sama dengan ukuran diameter kokon yang berasal dari alam (Baskoro, 2008) yaitu 2,61 cm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran diameter kokon lebih dipengaruhi oleh genetika A. atlas. Pernyataan ini dapat lebih diperkuat dengan nilai koefisien determinasi diameter kokon. Nilai koefisien determinasi diameter kokon adalah 16,91%. Nilai ini dapat mengindikasikan pengaruh yang mampu dijelaskan oleh faktor alat pengokonan 26

10 hanya sebesar 16,91%. Selebihnya dijelaskan oleh faktor lain diluar perlakuan, seperti genetik, pakan dan sebagainya. Panjang Kokon Rataan panjang kokon dari pupa jantan dan pupa betina berturut-turut adalah antara 47,95-57,92 mm dan 57,5-60 mm seperti terlihat pada Tabel 11. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap panjang kokon, namun panjang kokon jantan sangat nyata (P<0,01) lebih pendek daripada betina. Tabel 11. Rataan dan Koefisien Keragaman Panjang Kokon dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda (mm) (%) (mm) (%) (mm) Kotak Tanpa Daun 50,30 12,78 60,00 9,05 55,15 Kotak Berdaun 47,95 6,36 59,02 7,33 53,48 Silinder Tanpa Daun 57,92 8,77 57,50 3,11 57,71 Silinder Berdaun 51,95 5,17 58,65 4,75 55,30 Rataan 52,03 A 8,27 58,79 B 6,06 55,41 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda Sangat nyata (P<0,01) Rataan panjang kokon tanpa mengidentifikasi jenis kelamin adalah 55,41 mm. Nilai rataan ini hampir sama dengan rataan panjang kokon yang diperoleh dari alam (Baskoro, 2008) yaitu 53,3 mm. Nilai koefisien determinasi panjang kokon yaitu 42,77%, Hal ini menunjukkan terdapat faktor lain selain faktor perlakuan alat pengokonan dan jenis kelamin yang lebih berpengaruh terhadap panjang kokon, misalnya genetik. 27

11 Tabel 12. Hasil ANOVA, Koefisien Keragaman dan Koefisien Determinasi dari Keseluruhan Peubah Kualitas Kokon yang Diamati Karakteristik Hasil ANOVA KK R 2 Alat Pengokonan Bobot Floss tidak nyata tidak nyata > 7,46 BKS tidak nyata < > 26,04 BP tidak nyata < > 32,65 BKKU tidak nyata < > 62,42 BKKTF tidak nyata < > 56,06 Diameter Kokon tidak nyata tidak nyata 16,91 Panjang Kokon tidak nyata < 42,77 Tabel 12 menunjukkan bahwa semua jenis alat pengokonan menghasilkan kualitas kokon yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Sebaliknya, jenis kelamin berpengaruh hampir pada sebagian besar peubah kualitas kokon, dimana kokon jantan lebih rendah daripada betina kecuali pada bobot floss dan diameter kokon. Hal ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang juga kecil pada kedua peubah tersebut. Berdasarkan nilai koefisien keragaman, keempat alat pengokonan menghasilkan karakteristik kokon yang lebih seragam pada betina daripada jantan, sehingga alat pengokonan yang dicobakan lebih cocok untuk betina. Hal ini didukung pula oleh bobot floss yang dihasilkan pada penelitian ini tidak berbeda dengan kokon yang berasal dari alam. 28

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 1907-1760 Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Y.C.

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2011 Vol. 13 (3) ISSN 1907-1760 Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta The Characteristics of Fresh

Lebih terperinci

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) TINJAUAN PUSTAKA Sutera Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Aneka Ternak Blok C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret-April

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB SKRIPSI NUNIEK SETIORINI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Panjang Baku Gambar 1. menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyortiran pada bulan pertama terjadi peningkatan rata-rata panjang baku untuk seluruh kasus dan juga kumulatif.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost LAMPIRAN 67 Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost Instalasi program letulet membutuhkan seperangkat PC dengan speksifikasi minimal sebagai berikut : 1. Satu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Karkas Rataan bobot potong, bobot karkas dan persentase karkas itik cihateup jantan umur 10 minggu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Bobot Potong, Bobot Karkas

Lebih terperinci

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN SKRIPSI FITRI KARTIKA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta penyebaran A. atlas (Peigler, 1989) Lampiran 2. Tempat Perkawinan dan Pemeliharaan

Lampiran 1. Peta penyebaran A. atlas (Peigler, 1989) Lampiran 2. Tempat Perkawinan dan Pemeliharaan LAMPIRAN Lampiran 1. Peta penyebaran A. atlas (Peigler, 1989) Lampiran 2. Tempat Perkawinan dan Pemeliharaan (a) Tempat Perkawinan (b) Tempat Pemeliharaan 38 Lampiran 3. Analaisis Sidik Ragam Konsumsi

Lebih terperinci

GARIS BESAR RANCANGAN PEMBELAJARAN (GBRP) Mata Kuliah Kode / SKS Penanggung Jawab : Budidaya Organisme Berguna : 357G4103/ 3 SKS : 1. Prof. Dr. Itji Diana Daud, MS 2. Dr. Sri Nur Aminah Ngatimin, SP, M.Si

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI

L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI BIOLOGI Attacus atlas L. (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DENGAN PAKAN DAUN KALIKI (Ricinus communis L.) DAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DI LABORATORIUM NANEH MULYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA ULAT SUTERA UNGGULAN LITBANG TIM SUTERA PUSPROHUT BALITBANGHUT KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA Penggunaan salah satu bibit untuk kondisi pemeliharaan yang beragam (C301), BS09 jarang produksi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. MODEL PERENCANAAN PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM 1. Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sutera ditemukan di Cina sekitar 2700 sebelum Masehi dan teknologi budidayanya masih sangat dirahasiakan pada masa itu. Perkembangan dan persebarannya dimulai dari benua

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996) TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan salah satu jenis ngengat nokturnal (aktif pada malam hari). C. trifenestrata diklasifikasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman pada Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis pada Kelompok Umur I 0.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman pada Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis pada Kelompok Umur I 0. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-ukuran Tubuh pada Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat

Lebih terperinci

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori)

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR Kebutuhan nasional benang sutera adalah 800 ton per tahun, sementara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Hasil analisis kandungan nutrien silase dan hay daun rami yang dilakukan di Laboratorium PAU IPB dapat dilihat pada Tabel 4 dan kandungan nutrien ransum disajikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang HASIL DAN PEMBAHASAN Hemoglobin Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang Hemoglobin burung merpati jantan dan betina sebelum dan sesudah dilatih terbang selama penelitian

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

Oleh : Lincah Andadari

Oleh : Lincah Andadari POTENSI HIBRID ULAT SUTERA HARAPAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI SUTERA. Oleh : Lincah Andadari Kementerian Kehutanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 21 (3): 10-17 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN KARAKTERISTIK PRODUKTIVITAS Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan itik Cihateup yang terjadi akibat perubahan bentuk dan komposisi tubuh dapat diketahui dengan melakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian berupa konsumsi pakan, produksi telur, konversi pakan serta konsumsi lemak, protein, serat dan vitamin A ayam petelur pada tiap perlakuan tecantum dalam Tabel

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

Preservasi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus Atlas (Lepidoptera: Saturniidae)

Preservasi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus Atlas (Lepidoptera: Saturniidae) Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Desember 2014 Vol. 19 (3): 174 178 ISSN 0853 4217 Preservasi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus Atlas (Lepidoptera: Saturniidae) (Preservation Of Male Imago Of

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan) BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Assolihin Aqiqah bertempat di Jl. Gedebage Selatan, Kampung Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini lokasinya mudah ditemukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dilakukan secara terintegrasi oleh kelompok tani di Desa Pallis mulai dari pemeliharaan murbei sampai pertenunan.

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN SKRIPSI RADEN RUVITA DESIANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas) Ulat sutera liar Attacus atlas adalah serangga yang memiliki ukuran tubuh besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Burung Merpati Balap Tinggian Karakteristik dari burung merpati balap tinggian sangat menentukan kecepatan terbangnya. Bentuk badan mempengaruhi hambatan angin, warna

Lebih terperinci

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2 KUALITAS KOKON HASIL PERSILANGAN ANTARA ULAT SUTERA (Bombyx mory L.) RAS CINA DAN RAS JEPANG Quality of crossedbreed cocoon between Japanese and Chinese races silkworm (Bombyx mory L.) Lincah Andadari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Telur Tetas Itik Rambon Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor dengan jumlah itik betina 42 ekor dan itik jantan 6 ekor. Sex ratio

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum Rataan konsumsi bahan kering dan protein ransum per ekor per hari untuk setiap perlakuan dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Performa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Jurusan Proteksi Tanaman

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Jurusan Proteksi Tanaman 8 III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari bulan Januari hingga April

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL SKRIPSI NUR INDAWATI HIDAYAH DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. 3.2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Persuteraan Alam Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Hasil Analisis Ukuran Tubuh Domba. Ukuran Tubuh Minimal Maksimal Rata-rata Standar Koefisien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Hasil Analisis Ukuran Tubuh Domba. Ukuran Tubuh Minimal Maksimal Rata-rata Standar Koefisien 19 4.1 Ukuran Tubuh Domba Lokal IV HASIL DAN PEMBAHASAN Indeks morfologi tubuh sangat diperlukan dalam mengevaluasi konformasi tubuh sebagai ternak pedaging. Hasil pengukuran ukuran tubuh domba lokal betina

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi pakan selama penelitian adalah 6.515,29 g pada kontrol, 6.549,93 g pada perlakuan KB 6.604,83 g pada perlakuan KBC dan 6.520,29 g pada perlakuan KBE. Konversi pakan itik perlakuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

Attacus atlas SKRIPSI

Attacus atlas SKRIPSI PENGARUH PENYIMPANAN DAN HARI OVIPOSISI TERHADAP WAKTU PENETASAN DAN DAYAA TETAS TELUR Attacus atlas SKRIPSI ANGGISTHIA DEWI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010. Metode

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian delapan ekor puyuh. Faktor perbedaan cuaca dan jenis pakan serta stres transportasi mungkin menjadi penyebab kematian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Manajemen Pemeliharaan Breeder Strain broiler breeder yang digunakan dalam penelitian ini ialah Cobb 500, Ross 308 dan Hubbard Classic. Ayam ayam tersebut dipelihara di kandang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Metode Analisis Data Analisis Biaya Produksi

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data 3.3 Metode Analisis Data Analisis Biaya Produksi BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2011 di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. 3.2

Lebih terperinci

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Pemberian Jenis Murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana Terhadap Produksi Kokon Ulat

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci

PENENTUAN WAKTU OPTIMAL KOLEKSI DAN EVALUASI KAPASITAS SEMEN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DIDIK PRAMONO

PENENTUAN WAKTU OPTIMAL KOLEKSI DAN EVALUASI KAPASITAS SEMEN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DIDIK PRAMONO PENENTUAN WAKTU OPTIMAL KOLEKSI DAN EVALUASI KAPASITAS SEMEN ULAT SUTERA LIAR Attacus atlas (LEPIDOPTERA: SATURNIIDAE) DIDIK PRAMONO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Persilangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina

Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Persilangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina Jurnal Peternakan Indonesia, 11(2):173-180, 2006 ISSN: 1907-1760 173 Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina Y. C. Endrawati 1),

Lebih terperinci

PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M.

PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M. PENGARUH PAKAN DAN BAHAN PELURUH SERISIN TERHADAP FILAMEN TERURAI KOKON ULAT SUTERA EMAS Cricula trifenestrata Helf. TERRY M. FRANS Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Tipologi Usaha Sutera Alam di Kecamatan... Nurhaedah dan Wahyudi Isnan TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Nurhaedah Muin * dan Wahyudi Isnan Balai Litbang Lingkungan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Januari 11 hingga Juni 11. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium lapang University Farm Sukamantri, Labolatorium

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai bakteri yang bersifat sebagai flora normal atau berperan sebagai patogen yang terdapat pada saluran reproduksi imago betina

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, tidak memerlukan tempat luas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci