HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan daya urai kokon. Sebagai informasi tambahan, sebelum penguraian filamen dilakukan pengukuran bobot kulit kokon tanpa floss. Pengamatan juga dilakukan terhadap permukaan filamen dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss Kulit kokon tanpa floss diperoleh setelah floss yang membungkus kulit kokon utuh dikelupas hingga bersih dan tidak tersisa lapisan pembungkus kokon. Kulit kokon utuh, floss, dan kulit kokon tanpa floss dapat dilihat pada Gambar 8. Rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar 0,46±0,08 g/kokon. Semakin besar bobot kulit kokon tanpa floss diharapkan semakin panjang filamen yang akan diperoleh. (a) (b) (c) Gambar 8. Kulit Kokon Attacus atlas: a) Kulit Kokon Utuh; b) Floss; c) Kulit Kokon Tanpa Floss Baskoro (2008) menyatakan bahwa bobot kulit kokon tanpa floss dapat diklasifikasikan menjadi lima kelas (grade), yaitu grade A (>0,66 g/kokon), grade B (0,55-0,66 g/kokon), grade C (0,45-0,54 g/kokon), grade D (0,31-0,44 g/kokon) dan grade E (<0,3 g/kokon). Berdasarkan klasifikasi tersebut, dapat diketahui bahwa kulit kokon tanpa floss yang digunakan pada penelitian ini tergolong kedalam grade C. Klasifikasi bobot kulit kokon tanpa floss disajikan dalam Tabel 3.

2 Tabel 3. Klasifikasi Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss (BKKTF) BKKTF (g) Grade Frekuensi Persentase dari Populasi (%) > 0,66 A 0 0 0,55-0,66 B 7 16,67 0,45-0,54 C 18 42,86 0,31-0,44 D 16 38,09 < 0,3 E 1 2,38 Baskoro (2008) melaporkan bahwa rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang diperoleh dari 250 sampel kokon adalah sebesar 0,50±0,2 g/kokon dan tergolong kedalam grade C dengan jumlah terbesar yaitu 21,2% dari populasi. Selain itu ditemukan juga grade A sebesar 19,2%; grade B 19,6%; grade D 20% dan grade E 20% dari populasi. Nilai rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang kecil disebabkan karena kulit kokon utuh yang diperoleh dari perkebunan teh di daerah Purwakarta juga memiliki bobot dan kualitas yang rendah. Nilai standar deviasi yang besar menunjukkan tingkat keragaman yang tinggi karena kokon diperoleh dari alam yang konsumsi pakan pada fase larva tidak teratur, suhu tidak terkontrol serta terjadi stress lingkungan sehingga ulat sutera liar ini membutuhkan energi yang besar untuk memproduksi kokon. Selain itu, juga disebabkan karena tidak diketahui dengan jelas apakah kulit kokon yang diambil adalah berasal dari ngengat jantan atau ngengat betina karena kulit kokon yang diambil dan dijadikan sebagai materi penelitian adalah kokon yang sudah kosong atau sudah tidak ada pupanya. Pada umumnya ukuran kulit kokon ngengat betina lebih besar dibandingkan dengan ngengat jantan, tetapi tidak selalu kokon yang lebih kecil adalah kokon ngengat jantan. Terkadang kokon dari ngengat betina yang kecil sama dengan atau bahkan lebih kecil dari kokon ngengat jantan. Panjang Filamen Panjang filamen merupakan salah satu faktor penting dalam pengujian laboratorium untuk menentukan kualitas sutera. Panjang filamen berkaitan dengan bobot kulit kokon tanpa floss. Semakin besar bobot kulit kokon tanpa floss maka semakin panjang filamen yang dihasilkan. Semakin panjang filamen yang dapat dihasilkan dari proses penguraian filamen sutera, maka akan semakin besar bobot 25

3 filamen yang dihasilkan. Rataan panjang filamen sutera A. atlas yang dihasilkan dari penelitian ini disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Rataan Panjang Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 108,34 ± 83,15 156,85 ± 75,90 132,59 ± 80,52 80 o C 205,46 ± 102,85 194,74 ± 47,18 200,11 ± 77,08 90 o C 148,91 ± 95,31 140,20 ± 68,75 144,56 ± 79,97 Rataan 154,24 ± 98,18 163,93 ± 66,04 159,08 ± 82,78 Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa perebusan kokon pada berbagai perlakuan suhu dan waktu menghasilkan panjang filamen yang tidak berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Aini (2009) yang mendapatkan bahwa panjang filamen dari perlakuan waktu perebusan kokon satu atau dua jam pada suhu 80 o C adalah sama. Rataan panjang filamen yang dihasilkan yaitu sebesar 159,08±82,78 m. Terdapat kecenderungan hasil yang lebih besar ditemukan pada perlakuan suhu perebusan 80 o C selama 30 menit. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), suhu yang terlalu tinggi pada perebusan kokon Bombyx mori menyebabkan filamen menjadi lebih rapuh dan lebih rentan terhadap kerusakan. Filamen yang rapuh menyebabkan filamen lebih mudah putus, sehingga panjang filamen yang dihasilkan menjadi tidak maksimal. Penguraian filamen pada penelitian ini dilakukan hingga filamen dari satu buah kokon habis atau tidak dapat lagi diuraikan. Ujung filamen yang terputus ditempelkan pada ujung filamen yang lain sehingga total panjang filamen dapat dijumlahkan tanpa dipengaruhi intensitas putus filamen. Panjang filamen hasil penelitian ini sebesar 159,08 m/kokon, lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Awan (2007) yang hanya 83,61 m/kokon, namun lebih rendah dari penelitian Aini (2009) yang menghasilkan panjang filamen berkisar antara ,80 m/kokon. Sebagai pembanding, panjang filamen sutera yang diperoleh dari sebuah kokon B. mori dengan menggunakan alat pintal modern adalah sekitar 2500 m (Akai, 1997). Penelitian terhadap A. atlas ini menghasilkan panjang filamen yang rendah karena disamping alat yang digunakan adalah alat urai sederhana juga kemungkinan karena kandungan serisin pada kokon A. atlas yang 26

4 relatif lebih banyak dan sangat lengket jika dibandingkan dengan B. mori sehingga lebih sulit untuk diuraikan. Awan (2007) menyatakan bahwa pada B. mori panjang benang yang diperoleh dengan menggunakan alat pintal tradisional (hand spund) juga tidak mencapai ribuan meter. Hal yang sama ternyata berlaku juga pada kokon A. atlas sehingga perlu diupayakan alat pintal yang lebih baik untuk memaksimalkan panjang benang yang diperoleh. Bobot Filamen Bobot filamen merupakan berat filamen terurai dari satu kokon tunggal. Bobot filamen sebanding dengan panjang filamen dan tebal filamen. Semakin besar panjang filamen yang dihasilkan, semakin besar pula bobot filamen tersebut. Data pada Tabel 5 menunjukkan rataan bobot filamen sutera A. atlas. Berdasarkan hasil analisis statistik, rataan bobot filamen yang dihasilkan yaitu sebesar 0,06 g, tidak berbeda nyata pada semua perlakuan walaupun ada kecenderungan nilai bobot filamen yang lebih tinggi yaitu pada perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80 o C, baik dengan waktu 30 maupun 60 menit serta pada suhu 70 o C selama 60 menit. Hal ini sejalan dengan pernyataan Aini (2009) yang menyatakan bahwa bobot filamen yang diberi perlakuan waktu perebusan kokon satu jam pada suhu perebusan 80 o C tidak berbeda dengan waktu perebusan 2 jam, namun perlakuan waktu satu jam cenderung menghasilkan bobot filamen yang lebih besar. Tabel 5. Rataan Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (g) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 0,04 ± 0,03 0,07 ± 0,06 0,06 ± 0,05 80 o C 0,07 ± 0,05 0,07 ± 0,02 0,07 ± 0,03 90 o C 0,05 ± 0,04 0,06 ± 0,04 0,06 ± 0,04 Rataan 0,05 ± 0,04 0,07 ± 0,04 0,06 ± 0,04 Menurut Awan (2007), bobot filamen sutera A. atlas yang telah didomestikasi yaitu sebesar 7,17±0,87 g/kokon. Aini (2009) menyatakan bahwa rataan bobot filamen sutera A. atlas berkisar antara 0,2486 0,3724 g/kokon. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai bobot filamen lebih rendah dari penelitian Aini (2009) karena 27

5 panjang filamen yang dihasilkan dari penelitian ini juga lebih rendah. Selain itu kemungkinan bobot kulit kokon yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah sehingga bobot filamen yang dihasilkan juga lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Aini (2009). Sementara itu jika dibandingkan dengan hasil penelitian Awan (2007), nilai bobot filamen lebih rendah tetapi nilai panjang filamen lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan ketebalan filamen yang berbeda atau filamen hasil penelitian ini lebih tipis jika dibandingkan dengan penelitian Awan (2007). Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena kokon yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari alam, berbeda dengan Awan (2007) yang menggunakan kokon hasil pemeliharaan dalam ruang pemeliharaan dengan kondisi pemberian pakan pada fase larva yang teratur, suhu yang terkontrol pada saat pemeliharaan larva dan pada saat pengokonan serta stress lingkungan yang minimal. Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi serat sutera, selain faktor biologis ulat sutera misalnya genetik, ukuran kelenjar sutera, bobot badan larva, dan bahkan penyakit. Kemungkinan lain adalah perbedaan metode perebusan kokon seperti pengadukan, stabilitas suhu, dan posisi kulit kokon pada saat perebusan (terendam atau tidak). Metode perebusan dapat mempengaruhi keadaan kulit kokon setelah proses perebusan sehingga berpengaruh pada proses penguraian filamen. Perbedaan metode pada penguraian filamen juga dapat menyebabkan perbedaan hasil. Menurut Budisantoso (1993), cara memintal, alat pemintal yang digunakan, serta keterampilan orang yang memintal sangat berpengaruh terhadap mutu benang sutera yang dihasilkan. Semakin besar persentase kulit kokon yang dapat diurai menjadi filamen maka semakin banyak filamen yang dihasilkan dan semakin besar pula bobot filamen tersebut. Tebal Filamen Ketebalan filamen sutera A. atlas dihitung dalam satuan denier, menggunakan metode penghitungan yang sama dengan filamen B. mori. Ketebalan filamen akan mempengaruhi kualitas produk benang yang dihasilkan. Semakin besar ketebalan filamen semakin besar bobot filamen, dengan asumsi panjang filamen sama besar. Rataan tebal filamen sutera A. atlas ditampilkan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa perlakuan perebusan kokon menghasilkan rataan tebal filamen yang tidak berbeda nyata antar perlakuan perebusan kokon pada suhu 28

6 dan waktu yang berbeda dengan variasi terutama pada perlakuan waktu perebusan 30 menit. Rataan ketebalan filamen yang diperoleh yaitu sebesar 3,60±1,88 denier. Tabel 6. Rataan Tebal Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (denier) Suhu Ketebalan filamen dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya suhu dan kelembaban udara pada saat pemeliharaan ulat, serta suhu pada saat pengokonan. Ukuran filamen berbeda sesuai dengan bagian dari kokon, lazimnya lebih besar pada lapisan luar dibanding dengan lapisan dalam kulit kokon. Selain itu, perbedaan tingkat kehalusan/ketebalan filamen dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya keterampilan saat menarik dan menguraikan filamen, serta penyimpanan kokon basah (setelah direbus). Kokon sebaiknya disimpan pada wadah plastik dan saat penguraian sebaiknya sesekali dicelupkan pada air agar terjaga kelembabannya sehingga filamen lebih mudah ditarik dan diurai. Proses penguraian filamen akan lebih baik jika menggunakan sistem yang juga diterapkan pada penguraian filamen B. mori yaitu menggunakan sistem penguapan (boiling up). Alat urai (reeling) pada B. mori dilengkapi dengan penguapan (boiling up) untuk mempermudah mendapatkan ujung-ujung filamen. Suhu air panas untuk penguapan sebaiknya disesuaikan dengan suhu perebusan kokon berkisar antara o C, sehingga kokon hasil perebusan juga tidak perlu dibilas dengan air hangat dan air dingin. Selanjutnya filamen diuraikan dan digulung pada pipa alat urai dengan kecepatan yang dijaga agar tetap konstan, misalnya dengan kecepatan maksimal 2 putaran/detik. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kehalusan/ketebalan filamen B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier. Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 5,02 ± 3,47 3,57 ± 1,92 4,30 ± 2,80 80 o C 3,08 ± 1,28 3,37 ± 0,90 3,22 ± 1,07 90 o C 2,60 ± 0,90 3,97 ± 1,05 3,28 ± 1,18 Rataan 3,56 ± 2,34 3,64 ± 1,32 3,60 ± 1,88 Hasil pengamatan menggunakan SEM terhadap filamen sutera A. atlas memperlihatkan bahwa filamen memiliki ketebalan 41,8-87,3 µ, lebih tinggi dari filamen sutera B. mori ras Jepang (2,5052±0,1171 denier) atau (18 22 µ) (Budhiarti, 29

7 2000). Filamen sutera A. atlas lebih tebal berdasarkan perhitungan menggunakan rumus ketebalan filamen B. mori maupun dengan pengamatan permukaan filamen menggunakan SEM. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa penilaian kualitas atau grade benang sutera didasarkan pada International Classification Table for Raw Silk. Kategori pertama untuk benang 18 denier ke bawah, kategori kedua untuk benang berkisar antara denier dan kategori ketiga untuk benang 34 denier ke atas. Ketebalan filamen yang lebih besar pada A. atlas merupakan keuntungan karena hanya diperlukan sedikit filamen untuk mencapai tingkat ketebalan atau denier yang sesuai dengan standar. Misalnya untuk mencapai ketebalan 36 denier, hanya diperlukan 10 helai filamen A. atlas sedangkan pada B. mori diperlukan helai filamen. Persentase Bobot Filamen Persentase bobot filamen merupakan nilai persentase yang diperoleh dari perbandingan bobot filamen terhadap bobot kulit kokon tanpa floss. Semakin besar bobot filamen yang dihasilkan dari sebutir kokon, semakin besar persentase bobot filamennya, dengan asumsi nilai bobot kulit kokon tanpa floss adalah sama besar. Tabel 7 menunjukkan rataan persentase bobot filamen sutera A. atlas. Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa perlakuan suhu dan waktu perebusan kokon menghasilkan persentase bobot filamen yang tidak berbeda nyata dengan nilai rataan sebesar 13,38% dengan kecenderungan yang lebih baik yaitu pada perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80 o C. Tabel 7. Rataan Persentase Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 9,08 ± 6,39 14,31 ± 11,43 11,70 ± 9,30 80 o C 15,71 ± 7,86 16,53 ± 5,02 16,12 ± 6,35 90 o C 9,62 ± 7,40 14,99 ± 8,93 12,31 ± 8,36 Rataan 11,47 ± 7,53 15,28 ± 8,46 13,38 ± 8,14 Nuraeni (1993) menyatakan bahwa secara komersial persentase bobot filamen B. mori adalah lebih dari 15%. Pernyataan ini diperkuat oleh Budhiarti 30

8 (2000) yang menyatakan bahwa persentase bobot filamen sutera B. mori galur murni yaitu sebesar 15,80%. Hal ini menunjukkan bahwa jika menggunakan standar yang diterapkan pada B. mori tersebut, maka filamen sutera A. atlas hasil perebusan kokon pada suhu 80 o C baik selama 30 maupun 60 menit memiliki kualitas yang baik secara komersial atau memiliki tingkat efisiensi yang baik. Namun demikian, standar tersebut kurang tepat jika diterapkan pada A. atlas karena kokon A. atlas berukuran lebih besar dengan bobot yang juga lebih besar daripada kokon B. mori sehingga perlu diupayakan penentuan standar untuk persentase bobot filamen A. atlas. Semakin besar persentase bobot filamen yang dihasilkan, semakin besar keuntungan yang dapat diperoleh, mengingat benang sutera adalah komoditi utama usaha persuteraan alam. Daya Urai Kokon Daya urai kokon (reelability) menunjukkan kemudahan mengurai filamen dari kokon. Daya urai kokon dicirikan dengan intensitas putus filamen. Semakin besar intensitas putus filamen maka akan semakin rendah daya urai kokon tersebut dan semakin rendah kualitasnya. Daya urai kokon dihitung dengan menggunakan rumus dan dengan cara manual serta disajikan dalam persentase (Tabel 8) dan dalam satuan meter (Tabel 9). Tabel 8 menunjukkan rataan daya urai kokon sutera A. atlas berdasarkan perhitungan menggunakan rumus daya urai kokon sutera B. mori. Tabel 8. Rataan Daya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Berdasarkan hasil analisis statistik, didapatkan bahwa setiap perlakuan perebusan kokon menghasilkan daya urai kokon yang tidak berbeda nyata. Rataan daya urai kokon yang dihasilkan sebesar 1,18%. Rataan 70 o C 1,24 ± 0,79 1,01 ± 0,52 1,13 ± 0,65 80 o C 0,94 ± 0,33 1,49 ± 1,08 1,22 ± 0,82 90 o C 1,06 ± 0,26 1,34 ± 0,36 1,20 ± 0,33 Rataan 1,08 ± 0,50 1,28 ± 0,72 1,18 ± 0,62 31

9 Rumus daya urai kokon sutera B. mori kurang tepat jika digunakan untuk menghitung daya urai kokon A. atlas karena intensitas atau jumlah putus filamen A. atlas jauh lebih besar daripada filamen B. mori. Penguraian kokon B. mori pada umumnya hanya satu kali putus sedangkan pada A. atlas lebih banyak karena filamen yang lebih rapuh. Hal ini menyebabkan daya urai kokon A. atlas jauh lebih kecil daripada daya urai kokon B. mori. Yuanita (2007) menyatakan bahwa daya urai kokon B. mori berkisar antara 60,63%-67,85% untuk kokon pupa jantan dan 52,69%- 70,36% untuk kokon pupa betina. Daya urai kokon A. atlas dalam penelitian ini juga dihitung dengan cara manual berdasarkan panjang filamen untuk setiap satu kali putus. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Daya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) Suhu Waktu 30 menit 60 menit Rataan 70 o C 1,00 ± 0,76 1,38 ± 0,59 1,19 ± 0,68 80 o C 1,81 ± 0,72 2,99 ± 2,37 2,40 ± 1,79 90 o C 1,73 ± 1,49 1,97 ± 1,51 1,85 ± 1,45 Rataan 1,52 ± 1,07 2,11 ± 1,71 1,81 ± 1,44 Rataan daya urai kokon A. atlas yaitu 1,81 m, artinya rataan panjang filamen untuk setiap satu kali putus adalah 1,81 m. Perlakuan perebusan pada suhu 80 o C selama 60 menit cenderung menghasilkan daya urai kokon yang besar. Besarnya nilai tersebut dapat disebabkan karena perlakuan perebusan kokon pada suhu 80 o C selama 60 menit diduga dapat melarutkan serisin lebih banyak sehingga filamen lebih mudah terurai dan filamen sutera jarang putus. Aini (2009) menyatakan bahwa kandungan serisin yang masih tinggi membuat banyak filamen masih saling menyatu (dicirikan dengan kulit kokon yang masih keras), sehingga sulit untuk diuraikan. Penguraian filamen yang sulit menyebabkan banyak filamen putus. Semakin besar intensitas putus yang terjadi selama proses penguraian filamen, semakin rendah daya urai kokon tersebut. Menurut Lucas et al. (1978), serisin merupakan zat yang menyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin. Serisin dapat larut dalam air panas dan larutan alkali pada saat perebusan kokon, sedangkan 32

10 fibroin bersifat tidak larut dalam air sehingga pada saat penguraian filamen, fibroin dapat diuraikan dengan mudah menjadi filamen sutera. Serisin yang tidak larut secara sempurna dan masih tersisa pada kulit kokon akan menyebabkan fibroin sulit diuraikan dan akan terlihat pada saat penguraian filamen. Penguraian filamen secara terus menerus dengan intensitas putus yang rendah, pada akhirnya ketika putus akan menyisakan serat sutera yang tidak dapat diurai. Serat sutera tersebut kaku, terlihat banyak filamen yang masih saling menyatu karena masih mengandung serisin (Gambar 9). Gambar 9. Serat Sutera yang Masih Mengandung Serisin Penguraian filamen dilakukan setelah kokon hasil perebusan dibilas dengan air dingin. Pembilasan dengan air dingin diharapkan dapat menurunkan suhu kokon agar tidak panas saat dipegang sehingga dapat diuraikan sesegera mungkin. Kondisi ini menyebabkan perubahan temperatur kokon yang justru mengakibatkan kesulitan dalam penguraian filamen. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa perebusan kokon dengan air panas atau uap panas menyebabkan kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera dapat diurai. Pembilasan dengan air dingin justru mengakibatkan kokon yang sudah lunak dan mudah diurai berubah menjadi kaku sehingga sulit untuk menguraikan ujung-ujung filamen. Perebusan dengan air panas akan mengubah struktur protein akibat terlepasnya ikatan hidrogen sehingga protein serisin melemah dan akhirnya larut. Pembilasan dengan air dingin 33

11 dapat menyebabkan kondisi kembali seperti semula, protein yang bersifat reversibel akan memperoleh kembali strukturnya sehingga penguraian filamen sulit dilakukan. Permukaan Filamen Pengamatan filamen menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) dimaksudkan untuk melihat pengaruh perebusan kokon terhadap kualitas filamen, meliputi keadaan permukaan filamen, kerusakan yang mungkin terjadi setelah perebusan, dan ukuran filamen. Hasil pengamatan menunjukkan setiap filamen memiliki karakteristik tersendiri. Pengamatan dengan perbesaran 2000 X menunjukkan permukaan filamen bervariasi dalam hal kehalusan permukaan dan ketebalan filamen. Hasil pengamatan filamen sutera menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 10. Filamen hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 30 menit menunjukkan adanya serat yang tampak seperti sisa-sisa pelarutan. Tampak pada Gambar 10a, permukaan filamen tertutup lapisan yang menempel di beberapa bagian dan tampak seperti serat yang mengelupas sebagian. Serat tersebut diduga merupakan serisin yang belum terlarut sempurna dan masih menempel pada permukaan filamen. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebar sampel sutera adalah 118,2 µ. Terlihat juga dalam gambar tersebut, kedua filamen sutera masih saling menyatu karena serisin belum terlarut sempurna. Satu helai filamen sutera merupakan gabungan dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh serisin. Serisin tersebut tidak larut secara sempurna ketika dipanaskan sehingga filamen sutera belum terpisah. Lebar sampel sutera yang juga menunjukkan ketebalan filamen pada gambar ini (Gambar 10a) berasal dari dua utas filamen. Pengamatan pada filamen hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 60 menit menunjukkan permukaan filamen tampak lebih baik jika dibandingkan dengan filamen hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 30 menit. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat permukaan yang kasar menutupi sebagian kecil permukaan filamen yang halus. Bagian permukaan yang kasar tersebut diduga merupakan serisin yang masih tersisa pada permukaan filamen fibroin. Serisin adalah perekat yang merekatkan filamen satu dengan yang lain dan terdapat pada lapisan luar filamen. Hasil menunjukkan bahwa ketebalan filamen sutera hasil perebusan kokon pada suhu 70 o C selama 60 menit yaitu sebesar 70,9 µ. 34

12 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 10. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon: a) Suhu 70 o C selama 30 menit; b) Suhu 70 o C selama 60 menit; c) Suhu 80 o C selama 30 menit; d) Suhu 80 o C selama 60 menit; e) Suhu 90 o C selama 30 menit; f) Suhu 90 o C selama 60 menit Pada filamen hasil perebusan kokon dengan suhu 80 o C dan waktu 30 menit terlihat lapisan dengan permukaan yang halus mendominasi dan hampir menutupi permukaan yang lebih kasar. Terdapat perbedaan pada permukaan lain filamen ini yang ditunjukkan dengan gambar permukaan filamen dimana sebagian besar tampak (f) 35

13 lebih kasar (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa secara mikroskopis, karakteristik filamen dapat berbeda walaupun perlakuan yang diberikan sama, bahkan sampel berasal dari filamen yang sama. Perbedaan karakteristik tersebut dapat terjadi karena masih ada penumpukan serisin pada suatu bagian dari filamen yang panjang. Selain serisin, juga terdapat materi lilin, karbohidrat atau bahan anorganik lainnya yang mungkin masih menempel pada permukaan filamen sehingga dapat terdeteksi jika diamati dengan SEM. Ketebalan filamen sutera berdasarkan pengamatan permukaan filamen ini adalah sebesar 52,8 µ. Kokon yang diberi perlakuan perebusan pada suhu 80 o C selama 60 menit menghasilkan filamen sutera yang lebih baik. Terlihat pada Gambar 10d, permukaan filamen sangat halus dan hampir tidak ditemukan kerusakan. Berdasarkan pengamatan ini juga diperoleh ketebalan filamen sutera adalah sebesar 52,8 µ sama dengan filamen hasil perebusan kokon pada suhu 80 o C selama 30 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perebusan kokon pada suhu 80 o C menghasilkan filamen dengan ketebalan yang lebih stabil, artinya filamen tidak mengalami pengkerutan atau penyusutan serta tidak memuai menjadi lebih tebal. Perebusan kokon pada suhu 90 o C selama 30 menit menghasilkan filamen dengan permukaan cukup halus. Pengamatan pada filamen ini juga menunjukkan pada bagian lain ditemukan filamen yang terpecah menjadi bercabang. Filamen tersebut bukan merupakan dua filamen yang tergabung menjadi satu, melainkan satu buah filamen yang terpecah dan bercabang menjadi dua bagian, sehingga pada bagian lain tampak filamen yang lebih tipis karena merupakan pecahan dari filamen yang tebal (Lampiran 10). Hasil menunjukkan ketebalan filamen ini (Gambar 10e) adalah sebesar 87,3 µ. Kokon hasil perebusan pada suhu 90 o C selama 60 menit menghasilkan filamen yang tidak sempurna. Hasil menunjukkan terlihat di beberapa bagian tampak serabut filamen yang mengelupas. Terlihat juga permukaan filamen mengalami kerusakan yaitu terlihat permukaan yang kasar dan di bagian lain terlihat permukaan filamen mengerut dan menyusut sehingga tampak seperti cekungan. Berdasarkan pengamatan ini, diketahui ketebalan filamen adalah sebesar 41,8 µ. Berdasarkan pengamatan visual ini, juga dapat diketahui bahwa setiap filamen memiliki ketebalan dan bentuk yang berbeda padahal menggunakan 36

14 perbesaran yang sama. Ketebalan filamen yang dihasilkan dari sebutir kokon dapat berbeda-beda, umumnya filamen dari lapisan luar kokon lebih tebal jika dibandingkan dengan lapisan dalam kokon. Oleh karena itu, pengamatan sampel menggunakan SEM sebaiknya menggunakan sampel yang berasal dari bagian yang sama dari masing-masing kokon, misalnya sampel diambil dari lapisan pertama kokon yang umumnya lebih tebal. Perlakuan perebusan pada suhu 80 o C cenderung menunjukkan hasil yang lebih baik karena lebih bersih dan tidak ditemukan kerusakan, perlakuan perebusan pada suhu 90 o C terlihat bersih tetapi mengalami kerusakan, sebaliknya perlakuan perebusan pada suhu 70 o C terlihat permukaan yang tidak bersih. Perebusan kokon pada suhu yang terlalu tinggi menyebabkan permukaan filamen rusak dan mungkin hancur. Berdasarkan pengamatan permukaan filamen, sebenarnya terlihat perubahan fisik filamen akibat pemanasan, sehingga permukaan filamen dapat dijadikan acuan dalam penentuan kualitas filamen. Hasil pengamatan menggunakan SEM pada filamen sutera A. atlas memperlihatkan bahwa filamen memiliki ketebalan 41,8-87,3 µ. Budhiarti (2000) menyatakan bahwa filamen sutera B. mori ras Jepang memiliki ketebalan µ. Menurut Gusa et al. (2002), jika dilihat dari ukuran filamen, filamen A. atlas lebih lebar bila dibandingkan dengan ukuran filamen B. mori. Filamen B. mori kelihatan membulat, sedangkan filamen A. atlas lebih pipih, tetapi filamen A. atlas dan B. mori secara umum memiliki bentuk permukaan yang hampir sama. 37

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) TINJAUAN PUSTAKA Sutera Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 1907-1760 Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Y.C.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PROTEASE DARI KULIT NANAS (Ananas comosus, L) DALAM DEGUMMING BENANG SUTERA. Zusfahair Zusfahair, Amin Fatoni, Dian Riana Ningsih

PEMANFAATAN PROTEASE DARI KULIT NANAS (Ananas comosus, L) DALAM DEGUMMING BENANG SUTERA. Zusfahair Zusfahair, Amin Fatoni, Dian Riana Ningsih PEMANFAATAN PROTEASE DARI KULIT NANAS (Ananas comosus, L) DALAM DEGUMMING BENANG SUTERA Zusfahair Zusfahair, Amin Fatoni, Dian Riana Ningsih Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

Oleh : Lincah Andadari

Oleh : Lincah Andadari POTENSI HIBRID ULAT SUTERA HARAPAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI SUTERA. Oleh : Lincah Andadari Kementerian Kehutanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2011 Vol. 13 (3) ISSN 1907-1760 Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta The Characteristics of Fresh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sutera ditemukan di Cina sekitar 2700 sebelum Masehi dan teknologi budidayanya masih sangat dirahasiakan pada masa itu. Perkembangan dan persebarannya dimulai dari benua

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni

Lebih terperinci

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Pemberian Jenis Murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana Terhadap Produksi Kokon Ulat

Lebih terperinci

4 PENGETAHUAN BAHAN DAN ALAT

4 PENGETAHUAN BAHAN DAN ALAT 4 PENGETAHUAN BAHAN DAN ALAT KRIYA TEKSTIL Kompetensi yang akan diperoleh setelah mempelajari bab ini adalah pemahaman tentang pengetahuan bahan dan alat kriya tekstil. Setelah mempelajari pengetahuan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dilakukan secara terintegrasi oleh kelompok tani di Desa Pallis mulai dari pemeliharaan murbei sampai pertenunan.

Lebih terperinci

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 21 (3): 10-17 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA ULAT SUTERA UNGGULAN LITBANG TIM SUTERA PUSPROHUT BALITBANGHUT KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA Penggunaan salah satu bibit untuk kondisi pemeliharaan yang beragam (C301), BS09 jarang produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Teknik Ekstraksi Protein Serisin HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ekstraksi protein serisin dari kokon dipengaruhi oleh teknik degumming dan isolasi protein yang dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya kajian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Sederhana Dusun IX, Desa Sambirejo Timur, Kecamatan Percut Sei Tuan,

III. BAHAN DAN METODE. Sederhana Dusun IX, Desa Sambirejo Timur, Kecamatan Percut Sei Tuan, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan yang berlokasi di Jalan Sederhana Dusun IX, Desa Sambirejo Timur, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten

Lebih terperinci

III.METODOLOGI PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah: 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di

III.METODOLOGI PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah: 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di III.METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Tempat penelitian ini dilakukan adalah: 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di lakukan di Laboratium Material Teknik, Universitas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

FILE 23 : MODUL V MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL

FILE 23 : MODUL V MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL FILE 23 : MODUL V MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL SERAT TEKSTIL DARI KHEWAN Serat tekstil dari khewan memiliki polimer protein, biasanya dari bulu binatang kecuali filamen sutera yang berasal dari ulat

Lebih terperinci

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2 KUALITAS KOKON HASIL PERSILANGAN ANTARA ULAT SUTERA (Bombyx mory L.) RAS CINA DAN RAS JEPANG Quality of crossedbreed cocoon between Japanese and Chinese races silkworm (Bombyx mory L.) Lincah Andadari

Lebih terperinci

III.METODOLOGI PENELITIAN. 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di

III.METODOLOGI PENELITIAN. 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di III.METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Penelitian Tempat penelitian ini dilakukan adalah: 1. Persiapan serat dan pembuatan komposit epoxy berpenguat serat ijuk di lakukan di Laboratium Material Teknik, Universitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. MODEL PERENCANAAN PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM 1. Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah digunakan

Lebih terperinci

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan PROSES PEMBUATAN TELUR ASIN SEBAGAI PELUANG USAHA Oleh : Andi Mulia, Staff Pengajar di UIN Alauddin Makassar Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memilik rasa yang lezat, mudah dicerna, dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ketebalan Lapisan Elektroplating Khrom Pengujian ketebalan lapisan khrom menggunakan metode, yaitu secara teori dan pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM)

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Januari 11 hingga Juni 11. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium lapang University Farm Sukamantri, Labolatorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996) TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan salah satu jenis ngengat nokturnal (aktif pada malam hari). C. trifenestrata diklasifikasikan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB SKRIPSI NUNIEK SETIORINI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang

Lebih terperinci

Peluang Investasi Sutra Alam

Peluang Investasi Sutra Alam Halaman 1 Peluang Investasi Sutra Alam a. Mengenal Kupu Sutra 1. Biologis Kupu Sutra Sebelum membahas tentang teknik beternak ulat sutra, kiranya perlu pula kita ketahui lebih dulu tentang sifat sifat

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN 25 BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Penelitian 3.1.1 AlaT Penelitian Peralatan yang digunakan selama proses pembuatan komposit : a. Alat yang digunakan untuk perlakuan serat Alat yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Ransum terhadap Sifat Fisik Daging Puyuh Jantan dilaksanakan bulan Juni

BAB III MATERI DAN METODE. Ransum terhadap Sifat Fisik Daging Puyuh Jantan dilaksanakan bulan Juni BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe dalam Ransum terhadap Sifat Fisik Daging Puyuh Jantan dilaksanakan bulan Juni Agustus 2016 di kandang Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE

PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE PRAKTIKUM PRAKARYA KIMIA PEMBUATAN TEMPE Disusun Oleh: Mukaromah K3310058 Nuryanto K3310060 Sita Untari K3310079 Uswatun Hasanah K3310081 Pendidikan Kimia A PROGAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

TITIK LELEH DAN TITIK DIDIH. I. TUJUAN PERCOBAAN : Menentukan titik leleh beberapa zat Menentukan titik didih beberapa zat II.

TITIK LELEH DAN TITIK DIDIH. I. TUJUAN PERCOBAAN : Menentukan titik leleh beberapa zat Menentukan titik didih beberapa zat II. TITIK LELEH DAN TITIK DIDIH I. TUJUAN PERCOBAAN : Menentukan titik leleh beberapa zat Menentukan titik didih beberapa zat II. DASAR TEORI : A. TITIK LELEH Titik leleh didefinisikan sebagai temperatur dimana

Lebih terperinci

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost LAMPIRAN 67 Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost Instalasi program letulet membutuhkan seperangkat PC dengan speksifikasi minimal sebagai berikut : 1. Satu

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada bab ini akan diuraikan analisis terhadap hasil pengolahan data. Pembahasan mengenai analisis hasil pengujian konduktivitas panas, pengujian bending, perhitungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 %

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Produksi Kayu Gergajian dan Perkiraan Jumlah Limbah. Produksi Limbah, 50 % TINJAUAN PUSTAKA Limbah Penggergajian Eko (2007) menyatakan bahwa limbah utama dari industri kayu adalah potongan - potongan kecil dan serpihan kayu dari hasil penggergajian serta debu dan serbuk gergaji.

Lebih terperinci

BAB III REKAYASA PENURUNAN GENERASI PDA KE GENERASI BIBIT INDUK F1 3.1. Pembuatan Bibit Induk F1 Bibit induk F1 adalah hasil turunan generasi dari bibit PDA. Media yang digunakan bisa dari serbuk gergajian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Persuteraan Alam Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangunan Penetasan Bangunan penetasan adalah suatu tempat yang dibangun dengan konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan penetasan harus terpisah.

Lebih terperinci

EKSTRAKSI Ekstraksi padat-cair Ekstraksi cair-cair Ekstraksi yang berkesinambungan Ekstraksi bertahap Maserasi metode ekstraksi padat-cair bertahap

EKSTRAKSI Ekstraksi padat-cair Ekstraksi cair-cair Ekstraksi yang berkesinambungan Ekstraksi bertahap Maserasi metode ekstraksi padat-cair bertahap EKSTRAKSI Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan substansi dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, dapat dibedakan dua macam ekstraksi yaitu

Lebih terperinci

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei 17 III.METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei 2012. Adapun tempat pelaksanaan penelitian ini

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Mei tahun 2011. Pembuatan serat karbon dari sabut kelapa, karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di

Lebih terperinci

CABE GILING DALAM KEMASAN

CABE GILING DALAM KEMASAN CABE GILING DALAM KEMASAN 1. PENDAHULUAN Cabe giling adalah hasil penggilingan cabe segar, dengan atau tanpa bahan pengawet. Umumnya cabe giling diberi garam sampai konsentrasi 20 %, bahkan ada mencapai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penyimpanan Pellet Suhu dan kelembaban ruang penyimpanan sangat berpengaruh terhadap sifat fisik dan pertumbuhan serangga pada pellet yang disimpan. Ruang penyimpanan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup baru. Menurut Whitaker and

TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup baru. Menurut Whitaker and II. TINJAUAN PUSTAKA.1. Telur dan Komposisi Telur Telur merupakan bahan pangan yang sempurna, karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup baru. Menurut Whitaker and Tannenbaum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan membuat sediaan lipstik dengan perbandingan basis lemak cokelat dan minyak jarak yaitu 60:40 dan 70:30

Lebih terperinci

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN SKRIPSI FITRI KARTIKA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Telur Tetas Itik Rambon Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor dengan jumlah itik betina 42 ekor dan itik jantan 6 ekor. Sex ratio

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KETAHANAN TARIK DAN KETAHANAN SOBEK KERTAS SENI Hasil penelitian tentang kertas yang terbuat dari bulu ayam dan kulit jagung diperoleh data hasil pengujian ketahanan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Aneka Ternak Blok C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret-April

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Ekstraksi Tepung Karaginan Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : 1. Sortasi dan Penimbangan Proses sortasi ini bertujuan untuk memisahkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini berlangsung di kebun manggis daerah Cicantayan Kabupaten Sukabumi dengan ketinggian 500 700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Area penanaman manggis

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. eksplorasi estetis atas kain seser, diperoleh kesimpulan bahwa: sebagai jaring nelayan untuk menangkap ikan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. eksplorasi estetis atas kain seser, diperoleh kesimpulan bahwa: sebagai jaring nelayan untuk menangkap ikan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1. KESIMPULAN Dari hasil tinjauan data, baik data teoritis maupun data lapangan, dan hasil eksplorasi estetis atas kain seser, diperoleh kesimpulan bahwa: a. Kain seser adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Tanpa Beban Untuk mengetahui profil sebaran suhu dalam mesin pengering ERK hibrid tipe bak yang diuji dilakukan dua kali percobaan tanpa beban yang dilakukan pada

Lebih terperinci

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Fisik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

OLEH: YULFINA HAYATI

OLEH: YULFINA HAYATI PENGOLAHAN HASIL KEDELAI (Glycine max) OLEH: YULFINA HAYATI PENDAHULUAN Dalam usaha budidaya tanaman pangan dan tanaman perdagangan, kegiatan penanganan dan pengelolaan tanaman sangat penting diperhatikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, tidak memerlukan tempat luas

Lebih terperinci

Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC)

Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC) Analisis Kemampuan Proses Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Perbedaan Waktu Kerja Dengan Pendekatan Statistical Process Control (SPC) Ir. Hardi, MT Staff Pengajar Fakultas Teknologi Industri Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. a. Persiapan dan perlakuan serat ijuk di Laboratorium Material Teknik Jurusan

III. METODOLOGI PENELITIAN. a. Persiapan dan perlakuan serat ijuk di Laboratorium Material Teknik Jurusan 47 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat penelitian Tempat pelaksanaan penelitian sebagai berikut : a. Persiapan dan perlakuan serat ijuk di Laboratorium Material Teknik Jurusan Teknik Mesin Universitas

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 25 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Ekstraksi simplisia segar buah duku dilakukan dengan cara dingin yaitu maserasi karena belum ada data tentang kestabilan komponen ekstrak buah duku terhadap panas.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Uji Kadar Aspal dalam Batuan Uji kadar aspal ini dilakukan dengan mekanisme seperti pada Gambar 4. berikut. Gambar 4. Diagram alir percobaan uji kadar aspal 2 Batuan aspal

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN DATA, EKSPERIMEN, DAN ANALISA. Pohon kapuk berbunga tiga atau empat kali dalam setahun dengan selang

BAB III TINJAUAN DATA, EKSPERIMEN, DAN ANALISA. Pohon kapuk berbunga tiga atau empat kali dalam setahun dengan selang BAB III TINJAUAN DATA, EKSPERIMEN, DAN ANALISA 3.6 Proses Pengambilan Serat Kapuk Pohon kapuk berbunga tiga atau empat kali dalam setahun dengan selang waktu 2 atau 3 pekan, yang pertama kalinya biasanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn

PENGAWETAN KAYU. Eko Sri Haryanto, M.Sn PENGAWETAN KAYU Eko Sri Haryanto, M.Sn PENGERTIAN Pengeringan kayu adalah suatu proses pengeluaran air dari dalam kayu hingga mencapai kadar air yang seimbang dengan lingkungan dimana kayu akan digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Termoplastik Elastomer (TPE) adalah plastik yang dapat melunak apabila dipanaskan dan akan kembali kebentuk semula ketika dalam keadaan dingin juga dapat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULAN

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULAN BAB 1 PENDAHULAN 1.1. Latar Belakang Pangan yang bersumber dari hasil ternak termasuk produk pangan yang cepat mengalami kerusakan. Salah satu cara untuk memperkecil faktor penyebab kerusakan pangan adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Teh

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Teh TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Teh Tanaman teh dengan nama latin Camellia sinensis, merupakan salah satu tanaman perdu berdaun hijau (evergreen shrub). Tanaman teh berasal dari daerah pegunungan di Assam,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bulan Februari 230 Sumber : Balai Dinas Pertanian, Kota Salatiga, Prov. Jawa Tengah.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bulan Februari 230 Sumber : Balai Dinas Pertanian, Kota Salatiga, Prov. Jawa Tengah. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini adalah pengamatan selintas dan pengamatan utama. Pengamatan selintas adalah pengamatan yang digunakan untuk mendukung hasil pengamatan

Lebih terperinci