BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Realisme dan Neorealisme I. Summary

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

REALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

Sumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya.

BAB III SIX PARTY TALKS SEBAGAI SARANA UNTUK MENYELESAIKAN KRISIS NUKLIR KOREA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. McNally and Company, Chicago, 1967

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

PEREDAAN KETEGANGAN DI SEMENANJUNG KOREA

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EXTENDED DETERRENCE AMERIKA SERIKAT TERHADAP KONDISI STABILITAS KEAMANAN SEMENANJUNG KOREA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Unipolaritas Damai? Menggugat Justifikasi Dominasi AS

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dunia Kedua yang dimenangkan oleh tentara Sekutu (dimotori oleh

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

DALAM KRISIS NUKLIR KOREA UTARA. Oleh : ABSTRACT

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 3 DAMPAK PENGEMBANGAN NUKLIR KOREA UTARA TERHADAP KOMPLEKSITAS KEAMANAN REGIONAL ASIA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antar negara dengan negara atau negara dengan organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. 1 B. Buzan & O. Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security, Cambridge University

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. News. Retrieved from

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

ALIANSI JEPANG-AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI PEMBANGUNAN KAPABILITAS MILITER CHINA DAN KOREA UTARA Oleh: Obsatar Sinaga

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik

BAB I PENDAHULUAN. Iran merupakan negara salah satu dengan penghasilan minyak bumi terbesar di

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

MODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL

Andy Rachmianto Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI KORINWAS 12 Mei 2016

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

BAB I PENDAHULUAN. listrik dalam wujud reaktor nuklir. Pengembangan teknologi nuklir tidak hanya

Politik Global dalam Teori dan Praktik

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait

KONFLIK DI SEMENANJUNG KOREA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEAMANAN INTERNASIONAL

BAB IV PENUTUP. Strategi keamanan..., Fitria Purnihastuti, FISIP UI, 2008

BAB IV PERAN IAEA DALAM MENANGGAPI KASUS UJI COBA NUKLIR KOREA UTARA TAHUN 2006 DAN 2009

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

PERBANDINGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP NEGARA- NEGARA ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN GEORGE WALKER BUSH DAN BARACK OBAMA RESUME

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) MATA KULIAH TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL. Oleh. Drs. Asep Setiawan MA

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017

SATUAN ACARA PENGAJARAN ( SEJARAH DAN DIPLOMASI BUDAYA CHINA)

BAB I PENDAHULUAN. ini akan dibagi menjadi sembilan sub bab, yang meliputi sebagai berikut: Alasan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 152.

BAB I PENDAHULUAN. < diakses 16 Juni 2016.

1.1 Latar Belakang. BAB I : Pendahuluan

Pengaruh Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) terhadap Isu One China antara Cina dan Taiwan

AMERIKA SERIKAT DAN NEGARA DUNIA KETIGA

dalam merespon serangkaian tindakan provokatif Korea Selatan dalam bentuk latihan gabungan dalam skala besar yang dilakukan secara rutin, dan

yang dihadapi pasukan mereka. Tingginya jumlah korban jiwa baik dari pihak sipil maupun pasukan NATO serta besarnya dana yang harus dialirkan menjadi

Menuju Dunia Bebas Senjata Nuklir: Deterrence, Nuclear Taboo, dan Traktat Nonproliferasi Nuklir

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

DIPLOMASI PEMERINTAH IRAN TERHADAP TEKANAN INTERNASIONAL PADA PROGRAM PENGEMBANGAN NUKLIR TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. diperhitungkan baik dalam skala regional maupun global (Ganewati

Pengertian Dasar & Jenisnya. Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional. By Dewi Triwahyuni

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembanding dalam penelitian ini ada dua. Kajian pustaka pertama yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. p C. Sarah. Soh, The Korean Comfort Women : Movement for Redress, Asian Survey, vol. 36, no. 12, 1996,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. evaluasi kegagalan dan keberhasilan kebijakan War on Terrorism dapat disimpulkan

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

BAB I. PENDAHULUAN. negara dalam rangka mencapai tujuan tujuan tertentu telah banyak dipraktekan.

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

BAB I PENDAHULUAN. New York, 2007, p I. d Hooghe, The Expansion of China s Public Diplomacy System, dalam Wang, J. (ed.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dunia II ternyata tidak membuat situasi perpolitikan

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan Jepang menyerah kepada sekutu. sendiri, pemerintahan Jepang yang dibawah Supreme Commander for the Allied

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB IV FAKTOR EKSTERNAL YANG MELATARBELAKANGI KEBIJAKAN KOREA SELATAN ATAS PENUTUPAN AKTIVITAS DI INDUSTRI KAESONG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV PENUTUP. di dunia. Dimana power suatu negara tidak hanya dapat di ukur melalui kekuatan

UAS ASIA TIMUR OKKY LARAS SAKTI

Biodata: : Yudhisianda Sufi Prananda Tempat & tanggal Lahir :Medan, 24 September 1987 NIM :

: Diplomasi dan Negosiasi : Andrias Darmayadi, M.Si. Memahami Diplomasi

BAB I PENDAHULUAN. Agustus 1945 hingga April 1952 yang sepenuhnya dijalankan oleh. dedengkot sekutu yaitu Amerika Serikat (AS). Demi melancarkan upaya

BAB IV KESIMPULAN. mempengaruhi sikap kedua negara terhadap negara-negara lain yang tidak terlibat.

OEPARTEMEN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA BUKU PUTIH PERTAHANAN INDONESIA

III. METODE PENELITIAN

MI STRATEGI

DIALOG KOREA UTARA-KOREA SELATAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEAMANAN KAWASAN

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF)

Kemunduran Amerika Serikat dilihat sebagai sebuah kemunduran yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA PADA PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH

RIVALITAS CINA DAN JEPANG DALAM INSTITUSI REGIONAL ASIA TIMUR

AMERIKA SERIKAT DAN NEGARA DUNIA KETIGA 1

Transkripsi:

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina, Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, Rusia, dan Jepang. Tujuan utama diselenggarakannya Six Party Talks adalah 1) menuntaskan proses denuklirisasi Korea Utara, 2) Mengakhiri Perang Korea melalui sebuah traktat perdamaian, 3) Membangun mekanisme regional untuk menjaga perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran kawasan Asia Timur. 1 Putaran pertama Six Party Talks digelar pada Agustus 2003 dan mekanisme ini berhasil mencapai kesepakatan berupa Joint Statement pada 19 September 2005, dimana Korea Utara bersedia untuk menutup program nuklirnya dan kembali menaati Non Proliferation Treaty ( NPT ) serta mengizinkan monitoring International Atomic Energy Agency ( IAEA ). Walaupun demikian, proses implementasi kesepakatan menemui hambatan dan memicu keluarnya Korea Utara dari perundingan pada tahun 2009. Sejak saat itu perundingan terhenti sampai batas waktu yang belum ditentukan. 2 Keterlibatan Jepang dalam negosiasi ini memberikan pengaruh tersendiri dalam proses serta pencapaian-pencapaian Six-Party Talks. Hal ini tak terlepas dari posisi serta kebijakan yang diambil Jepang selama proses negosiasi yang cenderung bersifat keras. Dalam statement-nya pada pertemuan perdana Six-Party Talks di Beijing, perwakilan Jepang Mitoji Yabunaka menyampaikan bahwa Jepang hanya akan memberikan bantuan ekonomi serta normalisasi hubungan dengan Korea Utara 1 Pang Zhingying, The Six Party Process, Regional Security Mechanisms, and China -US Cooperation: Toward a Regional Secuirt Mechanism for New Northeast Asia?, The Brooking Institution, Maret 2009, diakses 1 September 2012, http://www.brookings.edu/~/media/research/files/pa pers/2009/3/northeast% 20asia% 20pa ng/03_northeast_asia_pang.pdf 2 Jayshree Bajoria, The Six-Party Talks on North Korea s Nuclear Program, 8 Maret 2013, diakses 1 September 2013, http://www.cfr.org/proliferation/six -party-talks-north-koreasnuclear-progra m/p13593

setelah tercapainya penyelesaian terhadap tiga poin utama: pengembangan nuklir, kepemilikan misil atau senjata pemusnah masal, serta kasus penculikan warga negara Jepang oleh Korea Utara. 3 Posisi Jepang tersebut terus dipertahankan selama jalannya perundingan dan menjadi karakter utama kebijaka n Jepang dalam Six-Party Talks. Perspektif Jepang dalam Six-Party Talks merupakan sebuah fenomena negosiasi yang menarik, dimana Jepang mendahulukan kepentingan nasionalnya diatas kepentingan bersama dalam masalah nuklir Korea Utara. Dalam sejarahnya, Jepang merupakan bekas kekuatan militer yang sangat ekspansionis. Perkembangan ekspansionisme Jepang ini akhirnya dapat dibendung setelah kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II. Kekalahan Jepang ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur politik serta keamanan Jepang. Melalui perubahan konstitusi menjadi konstitusi 1947, Jepang menjadi negara yang pasifis dan tidak lagi aktif secara militer. Pendekatan kebijakan keamanan Jepang pun berubah seiring dengan adanya perubahan fundamental dalam kondisi tersebut. Perubahan Jepang pasca Perang Dunia II melahirkan karakter baru bagi Jepang, dalam segi politik, ekonomi, juga keamanan yang bersifat spesifik. Karakter modern Jepang inilah yang selanjutnya menarik untuk dilihat lebih lanjut untuk menjelaskan posisi serta kebijakan Jepang dalam Six-Party Talks. Lebih lanjut, dalam pembahasannya, skripsi ini bertujuan untuk melihat secara holistik proses pembentukan sikap tersebut dengan pendekatan konsep serta teori yang relevan untuk membahasnya. Kepemilikan senjata nuklir memang menjadi isu yang problematik bagi Jepang, tidak hanya karena pengembangan nuklir memberikan efek deterence tersendiri bagi Jepang, kepemilikan nuklir Korea Utara juga berpotensi mengacaukan balance of power di Asia Timur dan di ranah global. Masalah-masalah ini perlu ditanggapi oleh negara sebagai aktor utama pembuat kebijakan. Salah satu bentuk tanggapan Jepang dalam merespon situasi ini adalah dengan bergabungnya Jepang dalam Six-Party Talks. Dalam pembahasan skripsi ini saya bermaksud untuk m elihat 3 MOFA, Press Conference by Secretary Japan-North Korea Relations Six Party Talks on North Korean Issue, 26 Agustus 2003, diakses 16 Maret 2013, http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/n_korea/6party/index.html

dimensi eksternal yang mempengaruhi posisi, sikap, serta kebijakan Jepang dalam Six-Party Talks. 1.2 Rumusan Masalah Dalam membahas tema skripsi ini, penulis akan mengangkat dua buah rumusan masalah sebagai fokus pembahasan selanjutnya, yaitu: 1. Bagaimana dinamika sikap dan kebijakan luar negeri Jepang dalam Six Party Talks 2003-2009? 2. Apa saja faktor eksternal yang mempengaruhi sikap dan kebijakan Jepang dalam Six Party Talks? 1.3 Landasan Konseptual Untuk mengelaborasi rum usan masalah yang diajukan, penulis akan menggunakan beberapa konsep serta teori yang dapat menjadi alat bantu dalam melihat keterkaitan antara faktor-faktor eksternal dengan kebijakan luar negeri Jepang dalam Six-Party Talks A. Perspektif Neorealis Perspektif neorealis merupakan sebuah perspektif yang berakar dari realisme klasik dan neoklasik. Pencetus perspektif ini, Kenneth Waltz menekankan konsep anarki internasional sebagai fokus utama neorealisme. Selain itu Waltz juga menganggap perhatian mendasar negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup, serta menganggap bahwa masalah utama konflik negara adalah perang, dan bahwa tugas utama hubungan internasional diantara negara-negara berkekuatan besar adalah perdamaian dan keamanan. Walaupun demikian, neorealisme mengabaikan pertimbangan-pertimbangan normatif dalam realisme klasik dan neoklasik dan mencoba menyediakan perspektif yang lebih ilmiah. 4 Dalam bukunya Theory of International Politics, Waltz berupaya untuk menjelaskan tentang sistem politik internasional yang berfokus pada struktur sistem, interaksi antar unit-unit di 4 Robert Jackson & Georg Sorensen, Introduction to International Relations ( New York: Oxford University Press, 1999 ), 110-111

dalamnya, serta kesinambungan dan perubahan dalam sistem tersebut. 5 Perbedaan mendasar antara neorealisme dengan realisme klasik dan neoklasik adalah tidak adanya bahasan mengenai sifat dasar manusia seperti yang dimunculkan oleh Morgenthau atau Schelling. Dalam neorealisme, aktor-aktor tidaklah begitu penting karena struktur memaksa mereka bereaksi dengan cara-cara tertentu. Dengan kata lain, struktur mampu menentukan tindakan-tindakan aktor. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dalam neorealisme bentuk dasar hubungan internasional adalah struktur anarki. Negara -negara pada dasarnya memiliki fungsi yang serupa disamping perbedaan budaya, ideologi, konstitusi, atau personal yang berbeda, mereka semua menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Sedangkan perbedaan mendasar antara negara-negara ini terletak pada kapabilitas yang mereka miliki. Lebih lanjut lagi Waltz menjelaskan bahwa unit-unit negara dalam sistem internasional dibedakan oleh besar kec ilnya kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa, struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem. Waltz juga menyatakan bahwa perimbangan kekuatan di dalam sebuah sistem dapat dicapai, walaupun perang selalu menjadi kemungkinan dalam sistem yang anarkis. Untuk mewujudkan perimbangan kekuatan, Waltz meyakini bahwa sistem bipolar seperti yang terjadi selama Perang Dingin, merupakan sistem lebih stabil dan mampu menyediakan jaminan perdamaian dan keamanan dibanding sistem multipolar. Dua negara dengan kekuatan besar akan tersebut akan bertindak sebagai pemelihara sistem. 6 Proses berjalannya Six Party Talks memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana sistem internasional seperti yang dijelaskan oleh kaum neorealis beroperasi dan mempengaruhi perilaku negara-negara yang terlibat di dalamnya. Jepang sebagai salah satu aktor utama yang terlibat dalam Six Party Talks tidak lepas dari pengaruh mekanisme ini. Perilaku-perilaku yang ditunjukkan Jepang dalam Six Party Talks merupakan bentuk reaksi terhadap sistem multipolar di wilayah Asia Timur. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan memaparkan bagaimana sistem internasional di kawasan Asia Timur menjadi basis perilaku dan hubungan nega ra- 5 Kenneth Waltz, Theory of International Politics ( New York: McGraw Hill, 1979 ), 97 6 Waltz, Theory of International Politics, 204

negara di dalamnya. Pembahasan tentang sistem internasional di kawasan Asia Timur ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan kebijakan yang dibuat Jepang dalam Six Party Talks. B. External Factors Faktor-faktor eksternal atau global yang mempengaruhi foreign policy meliputi semua aktivitas yang berlangsung diluar batas negara yang secara kausal mempengaruhi pilihan-pilihan yang dimiliki negara. 7 Richard Snyder mengkategorikan external setting sebagai bagian dari faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Bentuk dari external setting dapat beragam, misalnya skema aliansi, kawan, lawan, organisasi internasional, aturan - aturan diplomatik, kebijakan-kebijakan negara lain, serta hubungan bilateral dan multilateral. 8 Terkait dengan faktor-faktor eksternal sebagai bagian kausal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, Rose menyampaikan dua model perilaku negara dalam sistem internasional, yaitu realisme ofensif dan realism e defensif. Kedua model ini bermula dari asumsi bahwa sistem internasional terdiri dari unitunit negara yang bertindak rasional dan memiliki motivasi dalam hal keamanan. Realisme ofensif berasumsi bahwa dalam sistem internasional yang anarkis, keamanan merupakan sebuah kelangkaan sehingga setiap negara akan cenderung untuk mencapainya dengan cara memaksimalkan kemampuan relatif yang mereka miliki. 9 Dalam realisme ofensif, aktor rasional negara akan cenderung untuk mengambil langkah yang akan memicu konflik dengan aktor lainnya. Aktor negara akan memulai dengan motiv defensif, namun struktur dalam sistem internasional akan memaksa mereka untuk berpikir dan bahkan bertindak secara ofensif. 10 Untuk 7 Charles W. Kegley, World Politics: Trend and Transformation 11 th Edition ( Boston: Thompson Wadsworth, 2008 ), 57 8 Richard Snyder, Foreign Policy Decision-Making, ( New York: The Free Press of Glencoe, 1962 ), 212 9 Gideon Rose, Review: Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy, The Perils of Anarchy: Contemporary Realism and International Security by Michael E. Brown, World Politics, Vol. 51, No. 1 ( Cambridge: Cambridge University Press, 19 98 ), 148-149 10 Rose, Review: Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy, 148-149