BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Laut Cina Selatan merupakan sengketa laut yang menjadi prioritas utama negara - negara dikawasan Asia Tenggara dan Association of South East Asia Nations (ASEAN) saat ini. Sengketa ini dianggap sangat mengancam stabilitas kemanan, politik, dan ekonomi kawasan dan konsekuensi ekonomi menjadi yang utama dimana potensi sumber daya alam dan keberlangsungan transportasi perdagangan dilaut ini menjadi fokus kepentingan negara - negara sengketa. 1 Pada kenyataannya, kepentingan negara-negara sengketa yaitu Cina, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia telah membawa konflik ini pada kemungkinan perang terbuka, walaupun upaya penyelesaian sengketa melalui dialog konstruktif dan perjanjian damai telah diupayakan melalui jalur multilateral. 2 Pada dasarnya, upaya penyelesaian sengketa, khususnya pada level regional melalui ASEAN, telah dilaksanakan sejak tahun ASEAN Declaration on South China Sea1992 menjadi dokumen dan resolusi pertama yang disahkan oleh negara -negara ASEAN tepatnya pada tanggal 22 Juli 1992 dalam upaya penyelesaian sengketa laut regional ini. 3 Hingga saat ini, sudah ada dua deklarasi dibawah otoritas ASEAN dan beberapa kali pertemua n tingkat kementerian dan presiden sejak tahun 1992 dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan antara negara sengketa, khususnya dalam menyamakan basis hukum yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea dalam melihat penentuan batas wilayah kedaulaan di Laut Cina Selatan. Namun, sengketa Laut Cina Selatan ini tidak kunjung memberikan progres atau perkembangan yang signifikan dan hal ini menjadikan Laut Cina Selatan sebagai sengketa antar negara dikawasan Asia tenggara yang paling lama proses penyelesaiannya. Dalam hal ini negara-negara sengketa, termasuk Filipina menunggu segala kesepakatan khususnya yang mampu memberikan keuntungan bagi penentuan kedaulatan laut yang atas klaim masing-masing. 1 R.A. Cossa, Security Implications of Conflict in the South China Sea: Exploring Potential Triggers of Conflict, A Pacific Forum CSIS Special Report, Honolulu, 1998, p R.A. Cossa, Security Implications of Conflict in the South China Sea: Exploring Potential Triggers of Conflict, A Pacific Forum CSIS Special Report, Honolulu, 1998, p ASEAN Declaration on South China Sea, ASEAN Economic Bulletin Vol. 9 No. 2, November 1992, p

2 Signifikansi deklarasi dan pertemuan berkaitan dengan sengketa Laut Cina Selatan dibawah ASEAN menjadi fokus utama Filipina saat ini dalam rangka meraih kedualatan atas Scarborough Schoal dan West Philippines Sea. Pasalnya, upaya negara-negara ASEAN dianggap tidak menekan kuatnya kepentingan negara-negara sengeketa. Apalagi, resolusi ASEAN dalam bentuk deklarasi tersebut pada tahun 1992 dan 2002 bersifat tidak mengikat (non-legally binding), sehingga tidak memberikan tekananan akan kepatuhan negara sengketa terhadap kesepakatan perdamaian ini. Presiden Filipina Be nigno S. Aquino III, pada pertemuan ke-20 ASEAN Summit 2012 di Kamboja, menyatakan bahwa ASEAN perlu memberikan perkembangan nyata dan signifikan dalam sengketa ini, khususnya dapat menetapkan sebuah dokumen yang bersifat mengikat semacam Code of Conduct. 4 Hal ini diperlukan untuk mengkonstruksi mekanisme atau ketentuan dalam penyelesaian sengketa dan segregasi wilayah sengketa dan tidak bersengketa. Dengan kata lain, Filipina menuntut ASEAN untuk mampu menentukan kedaulatan dan integritas wilayah dalam rangka memproteksi keamanan nasionalnya, walaupun faktanya masih terdapat ambiguitas dan perbedaan dalam penggunaan basis fundamental penentuan wilayah sengketa tersebut. 5 Ironinya, draft communiqué yang menjadi landasan Code of Conduct terkait sengketa Laut Cina Selatan ini tidak berhasil ditetapkan ketika negara -negara ASEAN tidak mencapai konsensus saat pertemuan ASEAN Ministerial Meeting 2012 di Phnom Penh, Kamboja. 6 Kegagalan ini menjadi sejarah terburuk ASEAN, dimana untuk pertama kalinya sejak 1967 negara-negara ASEAN tidak mencapai konsensus. Apalagi, hal ini berkaitan dengan penentuan masa depan keamanan regional Asia Tenggara atas sengketa Laut Cina Selatan tersebut. Menurunnya kreditibilas ASEAN akibat tidak tercapainya konsensus ini, terindikasi disebabkan oleh adanya pengaruh kuat Cina terhadap Kamboja sebagai Chair ASEAN pada saat itu. 7 Pada dasarnya, pengaruh Cina dalam sengketa di Laut Cina Selatan sangatlah besar sejak negara ini mendeklarasikan klaim atas gugusan pulau dan peraian Spratly dan Paracel 4 President Aquino s Statement on the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea, The Official Gazzete of The Republic of Philippines (online), 4 April 2012, < diakses 20 September DaojiongZha, Alternatives: Global, Local, Political, Vol. 26 No. 1, Sage Publication Inc, 2001, p NirmalGhosh, ASEAN Forum Fails to Reach Accord, The Jakarta Post (online), 14 Juli 2012, < -fails-reach-accord.html>, diakses 20 September NirmalGhosh, ASEAN Forum Fails to Reach Accord, The Jakarta Post (online), 14 Juli 2012, < -fails-reach-accord.html>, diakses 20 September 2014.

3 pada tahun Perkembangan dan kemajuan ekonomi Cina ini, mendorongnya menjadi semakin percaya diri untuk menunjukkan kekuatanya agar dapat berhasil mencapai kepentingannya di Laut Cina Selatan. Tidak tanggung-tanggung, Cina sangat berani dalam melakukan beberapa aktivitas yang dipertimbangkan sebagai aksi provokatif misalnya melakukan agresi di Mischief Reef pada tahun dan merusak ship survey di Reed Bank pada tahun Kegiatan provokatif yang dilakukan Cina ini, secara keras ditentang oleh negara-negara ASEAN khususnya Filipina sebagai salah satu negara sengketa yang menjadi korban tindakan provokatif dan ilegal oleh Cina ini. 11 Tidak hanya itu, pada akhirnya Cina dianggap tidak menghargai sekum pulan kesepakatan perdamaiannya dengan negara -negara ASEAN dalam ASEAN China Declaration on Conduct of Parties in South China Sea 2002 yang ditandatangani pada ASEAN Summit ke-8, November 2002 di Phnom Penh, Kamboja. 12 Meningkatnya kekuatan Cina ini, ternyata memberikan ancaman terhadap ASEAN dan negara-negara sengketa yang saling berkonflik kepentingan dengan Cina di Laut Cina Selatan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Cina telah berani melakukan agresi atau serangan secara langsung terhadap negara sengketa lainnya. Melihat secara konstitusional, perilaku C ina telah melanggar kesepakatan damai multilateral antara Cina dengan negaranegara ASEAN dalam beberapa deklarasi terkait sengketa Laut Cina Selatan diatas. Namun disisi lain, hal ini menjadi sebuah konsekuensi tidak mengikatnya perjanjian atau deklarasi sebelumnya. Walaupun begitu, Filipina dan negara sengketa lainnya mengutuk aksi provokatif Cina ini. Pada akhirnya, secara tegas Filipina merespon ini dengan mengembangkan strategi baru dalam kebijakan keamanan nasionalnya. Sebagai negara yang sudah terikat terhadap perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat, Filipina merasa perlu untuk menghim pun kekuatan yang lebih besar melalui perjanjian-perjanjian keamanan lain sekaligus meminta bantuan keamanan dengan Amerika Serikat. Mutual Defense Treaty antara Filipina dan Amerika Serikat yang ditandatangani kedua negara pada tahun 1951, menjadi dasar dari terbentuknya penguatan aliansi keamanan 8 Rodolfo C. Severino, ASEAN and the South China Sea, Vol. 6 No. 2, 2010, p JojoMalig, China s Invasion Is Armed Aggression, abs-cbsnres.com (online), 6 Juni 2014, < diakses 28 September Bonnie S. Glasser, Tensions Flare in the South China Sea, Center For Strategic and International Studies, 30 Juni 2011, p Gregory B. Polling, Manila Begins Legal Proceedings over South China Sea Claims, Center for Strategic and International Studies (online), 24 Januari 2013, < diaksespada 20 September LeszekBuszynski, Contemporary Southeast Asia, Vol. 25 No. 3, December 2003, p

4 yang salah satunya difokuskan pada sengketa di Laut Cina Selatan. Pada awalnya, Amerika Serikat tidak memberikan respon positif terhadap permintaan Filipina untuk memberikan dukungannya dalam upaya Filipina menghadapi ancaman Cina. Pada tahun 1995, AS belum bersedia dalam membantu Filipina. 13 Hal ini dianggap AS sebagai sebuah pemetaan kerjasama diluar dari Mutual Defense Treaty 1951 bahwa Amerika Serikat bersedia dan berkewajiban untuk memberikan segala bantuan keamanan untuk menjaga wilayah kedaulatan Filipina. Menurut AS, Laut Cina Selatan belum menjadi keputusan wilayah Filipina. Kebijakan AS ini akhirnya berbalik arah ketika Cina melakukan sebuah aksi provokatif dan asertif di Laut Cina Selatan, berupa Impiccable Incident pada tahun Pada akhirnya, 16 November 2011, Menteri Luar Negeri Albert del Rosario dan Clinton sebagai perwakilan dari Amerika Serikat menandatangani Deklarasi Manila sebagai strategi baru aliansi keamanan kedua negara dan sekaligus memperingati 60 tahun MDT Melalui Deklarasai Manila, AS memberikan bantuan militer secara langsun g untuk meningkatkan kapabilitas militer Filipina seperti adanya joint military exercise, penempatan kapal perang AS dipangkalan militer Filipina, dan membeli dan menyewa kapal dan pesawat perang AS. Kegiatan militer ini dilakukan Filipina dalam rangka merespon agresi Cina pada tahun 2011 dan mempersiapkan agresi dan aksi provokatif Cina dimasa depan yang dapat merugikan Filipina atas wilayah kedulatannya di Laut Cina Selatan. Dalam perkembangannya, pada tahun 2014, Filipina dan AS menandatangani Enhanced Defense Cooperation Agreement sebagai persetujuan kerjasama yang lebih komperhensif antara kedua negara 16. Dinamika politik internasional dalam sengketa di Laut Cina Selatan menjadi sebuah studi kasus yang sangat menarik untuk melihat kebijakan luar negeri Filipina dalam merespon kebijakan Cina terkait wilayah sengketa. Semakin meningkatnya kekuatan Cina, mendorong Filipina dan beberapa negara sengketa untuk merancang sebuah strategi keamanan dalam rangka mempertahankan klaim dan kepentingan nasionalnya. Kebijakan dan strategi keamanan Filipina dalam Sengketa di Laut Cina Selatan, khususnya melalui aliansi keam anan 13 Ralf Emmers, The US Rebalancing Strategy: Impact on the South China Sea, National Security College, p Ralf Emmers, The US Rebalancing Strategy: Impact on the South China Sea, National Security College, p Thomas Lum, TheRepbulic of The Philippines and The US Interests, Congressional Research Service, 5 April 2012, p Carl Thayer, Analyzing the US-Philippines Enhanced Defense Cooperation Agreement, The Diplomact (online), < diakses 19 Oktober 2014.

5 dengan AS akan menjadi fokus utama makalah ini. Secara lebih rinci, makalah ini juga akan mengulas bagaimana kebijakan ini menjadi pilihan dalam merespon ancaman Cina tersebut di Laut Cina Selatan. Terdapat pula beberapa fakta menarik dan perspektif berbeda yang akan dibahas dan dianalisis dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis berharap penelitian dalam makalah ini akan memberikan pandangan baru terhadap diskursus sengketa Laut Cina Selatan, khususnya kebijakan keamanan Filipina dan formulasi penguatan aliansi keamanannya dengan Amerika Serikat. 2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan pertanyaan yaitu: Mengapa penguatan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat menjadi pilihan kebijakan Filipina dalam sengketa di Laut Cina Selatan? 3. Landasan Konseptual Untuk menjawab pertanyaan penetilian yang diajukan, penulis akan menggunakan satu konsep dan satu teori yang saling berkaitan yaitu konsep external balancing dari teori balance of power dan juga perkembangan teori ini dalam teori balance of threat. Perkembangan teori ini akan menjadi pembahasan teori yang menarik dimana perspektif neorealis menunjukkan adanya perubahan asumsi terhadap upaya balancing suatu negara terhadap negara lain. Pada dasarnya didalam teori neorealisme yang ditulis Kenneth Waltz dalam Theory of International Politics 1979, Waltz menyadari bahwa sistem atau struktur politik sangat berpengaruh terhadap kebijakan negara dan hubungan antar negara dalam hubungan internasional. 17 Hal ini masih sejalan dengan pemikiran realisme klasik bahwa sebuah kebijakan luar negeri tidak dipengaruhi oleh negara tetapi dipengaruhi oleh sistem internasional. 18 Sistem yang anarki dimana tidak ada otoritas pusat akan menimbulkan rasa saling tidak percaya dan ketidakpastian antar negara. Hal ini mendorong negara untuk bersifat ofensif atau defensif, khususnya dilihat dari kapabilitas dan kekuatan militernya. Selain itu, melihat struktur ini, negara juga akan didorong untuk mampu merespon sebuah preponderance power atau kekuatan yang bersifat hegemon, dengan cara balancing atau bandwagoning. 17 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, McGraw Hill Inc, New York, p Sten Rynning, Realism and Foreign Policy Analysis, Mimeografado, 2002, p. 5.

6 Disisi lain, dalam perkembangan perspektif neorealis tersebut, Stephen M. Walt berasumsi bahwa akan lebih baik jika negara melakukan balancing terhadap suatu ancaman dibandingkan dengan melakukan balancing terhadap suatu kekuatan atau power. 19 Pandangan Walt yang berbeda terhadap Waltz dalam balance of power menunjukkan bahwa upaya balancing terhadap ancaman akan memberikan hasil yang signifikan dibandingkan dengan melawan power atau kekuatan negara lain. Konsep External Balancing dan Teori Balance of Threat Balancing merupakan sebuah kebijakan aliansi terhadap suatu atau sekelompok negara yang bertujuan untuk merespon ancaman yang diberikan oleh negara lain. 20 Suatu negara akan membentuk himpunan kekuatan atau aliansi untuk menghindari adanya dominasi negara dan melindungi dirinya dari ancaman negara tersebut. Balancing merupakan sebuah konsep didalam teori Balance of Power yang memiliki landasan kuat atas pemikiran realisme. Kenneth Waltz merupakan ahli teori dalam studi hubungan internasional yang mengemukakan pola aksi atau cara negara dalam merespon negara lain pada konteks pencapaian kepentingan nasional suatu negara atau sekumpulan negara. Dalam buku Theory of International Politics, Waltz menjelaskan sebuah teori Balance of Power dimana terdapat dua asumsi utama. 21 Pertama, negara merupakan suatu aktor yang bersifat uniter didalam politik internasional dimana dalam titik m inimal negara akan berusaha untuk melindungi kekuatannya, sedangkan dalam titik maksimal negara akan berusaha melakukan dominasi dalam sistem internasional. Kedua, negara akan selalu menggunakan pendekatan yang rasional didasarkan pada kemampuan atau sum ber daya yang dimiliki. Oleh karena itu, dalam membentuk strategi ini negara akan berkemungkinan menjalankan salah satu dari dua upaya yaitu upaya internal dan upaya eksternal. Secara internal, negara akan berupaya untuk meningkatkan kekuatan ekonominya dan memperkuat kemampuan dan kapasitas militernya. Sedangkan dalam upaya eskternal, negara akan menempuh jalur aliansi dengan negara lainnya dalam rangka meningkatkan kekuatannya dan kekuatan kelompok atau aliansinya 19 Stephen M. Walt, The Origins of Alliances, Cornell University Press, London, 1985, p Stephen M. Walt, Alliance of Formation and the Balance of World Power, International Security Vol. 9, No. 4, 1985, p Kenneth Waltz, Theory of International Politics, McGraw Hill Inc, New York, 1979, p. 118.

7 sehingga dengan mudah mencegah dan melemahkan potensi kekuatan negara lain yang dianggap ancaman atau lawan. 22 Dalam perkembangannya, teori balance of power diformulasikan kembali oleh Stephen M. Walt melalui tulisannya Alliance Formation and the Balance of the Balance of World Power yang dimuat dalam jurnal International Security pada tahun Pada dasarnya, Walt berasumsi bahwa suatu negara sebaiknya tidak melakukan upaya balancingatau bandwagoningdengan hanya dengan dasar adanya ketakutan atas semakin besarnya kekuatan negara lain, tetapi perlu untuk mengkonsiderasi bahwa suatu negara perlu melakukan aliansi untuk menjaga keamanan nasionalnya dari negara atau koalisi negara lain yang memiliki kemampuan besar yang bisa secara signifikan memberikan ancaman terhadap negara lain. 23 Dalam teori ini, Walt menunjukkan bahwa negara melakukan upaya balancing maupun bandwagoning adalah respon terhadap adanya ancaman dari negara lainnya yang pada akhirnya diperlukan beberapa kriteria atau situasi dimana suatu negara bisa mengkonsiderasi negara lain sebagai ancaman jika suatu negara merasakan besarnya kekuatan melalui kapabilitas suatu negara secara kuantitatif, misalnya suatu negara yang dianggap sebagai ancaman adalah negara yang memiliki populasi penduduk yang besar, kekuatan ekonom i yang stabil, ataupun kapabilitas militer yang semakin meningkat. Selain itu, kedekatan jarak geografis suatu negara juga bisa menjadi indikator adanya sumber ancaman terhadap negara lainnya dalam satu w ilayah berdekatan, sehingga negara menganggap ancaman terbesarnya adalah negara yang berdekatan secara geografis dengan negaranya. 24 Dua kriteria utama lainnya adalah adanya kapabilitas dan sikap atau tindakan yang diindikasi bersifat ofensif. Secara lebih rinci, berikut adalah analisis Walt terkait dengan empat (4) kriteria sebagai sumber ancaman yang dapat dilihat dari suatu negara yang menentukan kebijakan balancing atau bandwagoning suatu negara, yaitu: a. Aggregate Power Himpunan kekuatan suatu negara merupakan sumber utama dalam melihat perilaku negara yang diindikasi memberikan ancaman terhadap negara lain. Negara yang memiliki sekumpulan kekuatan seperti kekuatan ekonomi dan perdagangan, kemajuan teknologi dan 22 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, McGraw Hill Inc, New York, 1979, p Stephen M. Walt, The Origins of Alliances, Cornell University Press, London, 1985, p Stephen M. Walt, Alliance of Formation and the Balance of World Power, International Security Vol. 9, No. 4, 1985, p. 9.

8 industri, kepadatan populasi, dan kekuatan militer, adalah negara yang sebagian besar menunjukkan ancaman terhadap negara lainnya dengan menggunakan kapabilitas tersebut. 25 b. Proximate Power Menurut Walt, wilayah atau jarak jauh dan dekatnya suatu negara dengan negara lain ternyata mampu menentukan ancaman. Negara lain yang berjarak lebih dekat dengan suatu negara memiliki potensi yang lebih besar untuk memberikan ancaman dibandingkan mereka yang berjarak lebih jauh dari negara tersebut. 26 c. Offensive Power Berkaitan dengan kriteria atau sumber ancaman dilihat dariaggregate power, secara lebih spesifik Walt menunjukkan bahwa negara yang memiliki kapabilitas tools atau perangkat yang bersifat ofensif seperti angkatan militer dan perlengkapan persenjetaan, akan memiliki kemungkinan untuk memicu ketegangan antar negara maupun aliansi. 27 Dibandingkan dengan negara yang tidak mempunyai kapabilitas, negara dengan kekuatan ofensif terbukti lebih berani dan memiliki kepercayaan diri untuk bersifat arogan dengan memberikan ancaman terhadap negara lainnya. d. Offensive Intentions Offensive power yang dimiliki negara akan menimbulkan hasrat suatu negara untuk menyerang negara lain. Seperti yang telah disebutkan pada poin sebelumnya, bahwa kekuatan atau kabalitas perangkat ofensif adalah modal untuk memberikan ancaman. Oleh karena itu, hasilnya adalah sikap negara menjadi lebih agresif dan mengesampingkan international order sehingga terindikasi berupaya memberikan ancaman dan menganggu keamanan nasional negara lainnya. 28 Hal ini didasari pula oleh adanya rasa atau niat untuk mencapai kepentingan suatu negara dan agresivitas menjadi langkah untuk memberikan kemunduran kekuatan negara lain. Pada akhirnya, melalui sikap ini, terdapat banyak negara yang dicontohkan oleh Walt yang mengambil kebijakan balancing terhadap negara-negara yang bersifat ofensif ini. 25 Stephen M. Walt, Alliance of Formation and the Balance of World Power, International Security Vol. 9, No. 4, 1985, p Stephen M. Walt, Alliance of Formation and the Balance of World Power, International Security Vol. 9, No. 4, 1985, p Stephen M. Walt, Alliance of Formation and the Balance of World Power, International Security Vol. 9, No. 4, 1985, p Stephen M. Walt, Alliance of Formation and the Balance of World Power, International Security Vol. 9, No. 4, 1985, p. 12.

9 Mempertimbangakan perkembangan konsep dan teori ini, penulis akan menjadikan external balancing dalam balance of threat sebagai konsep utama yang akan mencoba menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan dalam makalah penelitian ini. Konsep ini akan difokuskan pada upaya balancing Filipina terhadap Cina berupa adanya penguatan aliansi keamanan Filipina dengan Amerika Serikat. Melalui konsep external balancing ini, penulis akan menunjukkan dan membuktikan bahwa kebijakan aliansi keamanan Filipina terhadap Amerika Serikat di Laut Cina Selatan adalah sesungguhnya sebagai upaya external balancing yang dikerangkai oleh beberapa alasan dan difokuskan pada beberapa variabel khususnya adanya bantuan atau kerjasama, serta sifat kebijakan untuk mencegah adanya kekuatan besar atau hegemoni yang memberi ancaman dikawasan. Selain itu, konsep dan teori ini akan memberikan alternatif untuk menjawab bahwa negara dengan kekuatan kecil juga memiliki kemungkinan untuk melakukan balancing dengan beberapa asumsi yang akan dibahasa dalam penelitian ini. Hal ini akan difokuskan pada analisis empat sumber utama ancaman yang dikemukakan oleh Walt diatas. 4. Argumentasi Utama Dalam menganalisis studi kasus kebijakan external balancing Filipina terhadap Cina melalui aliansi keamanan dengan Amerika Serikat dalam sengketa di Laut Cina Selatan, penulis akan memberikan hipotesis atau argumentasi utama secara garis besar terhadap rumusan masalah dalam penelitian ini. Terdapat dua (2) argumen dalam menjawab rumusan masalah tersebut. Pertama, Filipina memilih kebijakan keamanan dengan melakukan aliansi dengan Amerika Serikat karena Filipina ingin berupaya untuk melakukan balancing dengan cara eksternal terhadap ancaman Cina. Bagi Filipina, Cina adalah ancaman. Hal ini dapat dilihat dari empat (4) sumber ancaman yakni aggregate power, proximate power, offensive power, offensive intentions, dimana keempatnya dapat dianalisis dari konteks kebijakan dan posisi Cina di Laut Cina Selatan. Ketika suatu negara dianggap sebagai ancaman sesuai dengan kriteria diatas, maka negara tersebut dianggap memiliki kemungkinan untuk melakukan upaya balancing tersebut.oleh karena itu, aliansi keamanan ini diharapkan dapat mengurangi ancaman dan menekan dominasi Cina sebagai predominance power, serta akhirnya akan mencapai kepentingan nasional Filipina atas kedulatan wilayah di Laut Cina Selatan.

10 Kedua, Filipina menganggap AS sebagai long-standing partner dalam menjaga keamanan Filipina itu sendiri. AS mampu menjamin peningkatan kekuatan militer Filipina di Laut Cina Selatan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang sejarah yang kuat dimana keduanya sebagai aliansi keamanan khususnya sejak ditandatanganinya Mutual Defense Treaty pada Aliansi keamanan yang lebih advance dapat diciptakan dengan landasan perjanjian keamanan tersebut. Bantual eksternal dari AS inilah yang dapat memperkuat kekuatan Filipina dalam upaya balancing nya terhadap Cina di Laut Cina Selatan. Selain itu, perubahan arah kebijakan AS terhadap Laut Cina Selatan sejak tahun 1999 dan pasca peristiwa Impeccable pada tahun 2009, mendorong Filipina untuk dengan mudah mengajak AS dalam memperkuat aliansi keamanannya. 5. Metode Penelitian Penelitian ini didasarkan pada metode pengumpulan data dengan studi pustaka dan metode analisa dengan kualitatif. Dengan ini penulis akan menjalankan studi literatur berupa buku-buku, jurnal yang menguak fakta dan sejarah. Penulis juga akan menyediakan data -data statistik terutama terkait offensive power berupa military expenditure dan kapabilitas militer Filipina dan Amerika Serikat dalam aliansi keamanannya dalam melakukan kebijakan penguatan aliansi keamanan dengan AS dalam sengketa di Laut Cina Selatan. M etodemetode penelitian ini akan digunakan untuk mengumpulkan dan mengolah data -data tersebut sehingga membentuk argumen yang baik dan valid. 6. Sistematika Penulisan Dalam makalah ini, penulis akan membagi menjadi lima bab utama yaitu bab pertama akan menjelaskan tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, landasan konseptual, argumen utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Didalam bab kedua, penulis akan memaparkan tentang perkembangan sengketa Laut Cina Selatan khususnya terkait dengan perkembangan kekuatan Cina dan terganggunya kepentingan Filipina di Laut Cina Selatan. Bab ketiga akan memberikan analisis terkait aliansi keamanan Filipina dengan Amerika Serikat sebagai upaya balancing terhadap Cina dan alasan dibalik pemilihan AS sebagai aliansi keamanan tersebut. Bab keempat, secara lebih rinci akan membahas beberapa kebijakan Filipina sebelumnya yang dianggap tidak signifikan dan mempengaruhi penguatan aliansi keamanan AS-Filipina. Pada akhirnya, bab kelima akan menyimpulkan semua ulasan pada bab-bab sebelumnya.

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini akan membahas mengenai kerja sama keamanan antara pemerintah Jepang dan pemerintah Australia. Hal ini menjadi menarik mengetahui kedua negara memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. McNally and Company, Chicago, 1967

BAB I PENDAHULUAN. McNally and Company, Chicago, 1967 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi Laut Cina Selatan sebagai jalur perairan utama dalam kebanyakan ekspedisi laut, yang juga berada diantara negara-negara destinasi perdagangan, dan terlebih lagi

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,

Lebih terperinci

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Melalui penelitian mengenai peran ASEAN dalam menangani konflik di Laut China Selatan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Sengketa di Laut China Selatan merupakan sengketa

Lebih terperinci

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi telah menjadi fenomena yang terjadi secara global yang cukup mempengaruhi tatanan dunia hubungan internasional dewasa ini. Globalisasi merupakan proses

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

BAB III KONFLIK LAUT CINA SELATAN. itu bernama Cina memproduksi peta LCS dengan 9 garis putus-putus dan

BAB III KONFLIK LAUT CINA SELATAN. itu bernama Cina memproduksi peta LCS dengan 9 garis putus-putus dan BAB III KONFLIK LAUT CINA SELATAN A. Sejarah Konflik Laut Cina Selatan Berbicara tentang konflik LCS tentu tidak bisa dilepaskan dengan penetrasi yang di lakukan oleh Tiongkok atas klaim sepihak mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar 80% merupakan wilayah lautan. Hal ini menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai jalur alur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional, tidak terlepas dari munculnya berbagai organisasi internasional pasca Perang Dunia ke II. Terjadinya

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, yaitu: Pertama, telah terjadinya pelanggaran klaim kedaulatan wilayah yang dilakukan

Lebih terperinci

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ASEP GINANJAR PPG DALAM JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 1. Peran Indonesia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara-negara dalam melakukan hubungan-hubungan yang sesuai kaidah hukum internasional tidak terlepas dari sengketa. Seperti halnya manusia sebagai makhluk individu,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Realisme dan Neorealisme I. Summary

Realisme dan Neorealisme I. Summary Realisme dan Neorealisme I. Summary Dalam tulisannya, Realist Thought and Neorealist Theory, Waltz mengemukakan 3 soal, yaitu: 1) pembentukan teori; 2) kaitan studi politik internasional dengan ekonomi;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat berlangsungnya Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur, Vietnam ikut terlibat dalam Perang Vietnam melawan Amerika Serikat (AS). Blok barat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun terakhir menjadi semakin buruk. Penyebabnya adalah pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) yang semakin

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,

Lebih terperinci

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF)

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF) ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF) www.appf.org.pe LATAR BELAKANG APPF dibentuk atas gagasan Yasuhiro Nakasone (Mantan Perdana Menteri Jepang dan Anggota Parlemen Jepang) dan beberapa orang diplomat

Lebih terperinci

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global. BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya

Lebih terperinci

MODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL

MODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL MODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL PENDAHULUAN Kajian tentang strategi keamanan juga melandaskan diri pada perkembangan teori-teori keamanan terutama teori-teori yang berkembang pada masa perang dingin

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. dengan Uni Soviet, dimana pada saat Perang Dingin terjadi perang ideologi antara

BAB I. Pendahuluan. dengan Uni Soviet, dimana pada saat Perang Dingin terjadi perang ideologi antara BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Republik Rakyat Cina (RRC) merupakan negara yang berada di Asia Timur yang berdiri pada tahun 1949 1. Pada masa perang dingin, Cina bersekutu dengan Uni Soviet,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI]

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI] KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI] INTERNATIONAL RELATIONS DEPARTMENT UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2015 1 HISTORICAL BACKGROUND 2 Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin BAB IV KESIMPULAN Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin memiliki implikasi bagi kebijakan luar negeri India. Perubahan tersebut memiliki implikasi bagi India baik pada

Lebih terperinci

KONFLIK & MANAJEMEN KONFLIK DI ASIA TENGGARA PASKA PERANG DINGIN DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN TRADISIONAL DEWI TRIWAHYUNI

KONFLIK & MANAJEMEN KONFLIK DI ASIA TENGGARA PASKA PERANG DINGIN DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN TRADISIONAL DEWI TRIWAHYUNI KONFLIK & MANAJEMEN KONFLIK DI ASIA TENGGARA PASKA PERANG DINGIN DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN TRADISIONAL DEWI TRIWAHYUNI Introduksi Perbedaan Latar belakang sejarah, status ekonomi, kepentingan nasional,

Lebih terperinci

LAUT TIONGKOK SELATAN: PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENYELESAIAN MASALAH 179 Ahmad Almaududy Amri 180. Abstrak

LAUT TIONGKOK SELATAN: PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENYELESAIAN MASALAH 179 Ahmad Almaududy Amri 180. Abstrak LAUT TIONGKOK SELATAN: PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENYELESAIAN MASALAH 179 Ahmad Almaududy Amri 180 Abstrak The discussion on the issue of South China Sea has been there for quite a long time, and many countries

Lebih terperinci

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NAMA : Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA TTL : Jogjakarta, 27 Oktober 1954 Alamat Jabatan : Jln. Kemanggisan Hilir. Blok M 2 A, Komplek Setneg-Slipi-Jakbar : Gubernur Lemhanas RI Pendidikan Umum

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR

Lebih terperinci

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP KONFLIK LAUT CHINA SELATAN

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP KONFLIK LAUT CHINA SELATAN BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP KONFLIK LAUT CHINA SELATAN Kebijakan luar negeri Indonesia sejak 1990an senantiasa berupaya mencari solusi untuk menengahi potensi konflik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 1988 (4/1988) TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika Perang Dunia Pertama terjadi, tren utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua terjadi Amerika

Lebih terperinci

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN didirikan di Bangkok 8 Agustus 1967 oleh Indonesia, Malaysia,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah salah satu organisasi internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia No.92, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Republik Rakyat Tiongkok. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal BAB V KESIMPULAN Malaysia merupakan negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, Malaysia merupakan salah satu pendiri organisasi di kawasan Asia Tenggara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. geografis. Kecenderungan inilah yang sering dinamakan regionalisme.

BAB I PENDAHULUAN. geografis. Kecenderungan inilah yang sering dinamakan regionalisme. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pada akhir abad ke 20 hingga awal abad ke 21 telah ditandai dengan adanya suatu proses penyatuan dunia yang menjadi sebuah ruang tanpa batasan tertentu. Proses

Lebih terperinci

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si Signifikasi Kawasan Asia Pasifik Yesi Marince, S.Ip., M.Si A NEW WORLD AND ASIA PACIFIC ORDER Bagaimana Berakhirnya Perang Dingin mempengaruhi kawasan Asia Pasifik? 1. Alasan pelaksanaan containment policy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 184 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE MEMBER STATES OF ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (ASEAN) AND

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang telah membangun mitra kerjasama dengan Tiongkok dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang berusaha untuk bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan besar di dunia. Usaha Jepang untuk bangkit kembali dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Asia Tenggara yang sangat strategis serta memiliki kekayaan alam yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk menguasai wilayah di Asia

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Analisa penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan membuktikan jawaban awal yang telah dirumuskan. Penelitian ini menjelaskan alasan Venezeula menggunakan

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010. BAB 4 KESIMPULAN Korea Utara sejak tahun 1950 telah menjadi ancaman utama bagi keamanan kawasan Asia Timur. Korea Utara telah mengancam Korea Selatan dengan invasinya. Kemudian Korea Utara dapat menjadi

Lebih terperinci

Peran dan Strategi Indonesia bersama ASEAN Dalam Upaya Meredakan Konflik Laut China Selatan

Peran dan Strategi Indonesia bersama ASEAN Dalam Upaya Meredakan Konflik Laut China Selatan Peran dan Strategi Indonesia bersama ASEAN Dalam Upaya Meredakan Konflik Laut China Selatan Aditya Haryo Wahyudi Abstract: The conflict in the South China Sea which took place from 1992 until July 2016

Lebih terperinci

Upaya ARF Dalam Penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly. M.Khalil Afif 1 NIM Abstract

Upaya ARF Dalam Penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly. M.Khalil Afif 1 NIM Abstract ejournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2(1): 231-244 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org Copyright 2014 Upaya ARF Dalam Penyelesaian Konflik Klaim Kepulauan Spratly M.Khalil Afif 1 NIM.0702045076

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Rinrin Desti Apriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Rinrin Desti Apriani, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Invasi dan pendudukan Vietnam ke Kamboja yang dilakukan pada akhir tahun 1978 merupakan peristiwa yang begitu mengejutkan baik bagi Kamboja sendiri maupun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO INCORPORATE TECHNICAL BARRIERS TO TRADE AND SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES INTO THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS

Lebih terperinci

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu

Lebih terperinci

KERJASAMA ASEAN DALAM BERBAGAI BIDANG

KERJASAMA ASEAN DALAM BERBAGAI BIDANG KERJASAMA ASEAN DALAM BERBAGAI BIDANG Negara-negara ASEAN juga bekerja sama dalam bidang ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidang ekonomi meliputi : 1. Membuka Pusat Promosi ASEAN untuk perdagangan, investasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA

Lebih terperinci

ENVIRONMENT CHANGE, SECURITY & CONFLICT

ENVIRONMENT CHANGE, SECURITY & CONFLICT ENVIRONMENT CHANGE, SECURITY & CONFLICT Isu Lingkungan = Perluasan Konsep Keamanan? By: Dewi Triwahyuni 1 Isu Lingkungan = Perluasan Konsep Keamanan? Sejak 1920an, adanya pergerakan negara totaliter di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekuatan militer merupakan salah satu aspek penting dalam menjaga stabilitas negara. Semua negara termasuk Indonesia membangun kekuatan militernya untuk menjaga keamanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan nama Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini disahkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Organisasi Regional di Asia Tenggara dimulai dari inisiatif pemerintah di lima negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan

Lebih terperinci

BENTUK KERJA SAMA ASEAN

BENTUK KERJA SAMA ASEAN BENTUK KERJA SAMA ASEAN Hubungan kerja sama negara-negara anggota ASEAN dilakukan di berbagai bidang, antara lain dalam bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan lainlain. Hubungan kerja sama ini

Lebih terperinci

Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011

Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011 Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011 Senin, 14 Februari 2011 PIDATO DR. R.M MARTY M. NATALEGAWA MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA SELAKU

Lebih terperinci

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN Dewi Triwahyuni International Relation Department, UNIKOM 2013 Backgroud History 1950an 1980an Hubungan internasional di Asia Tenggara pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia

BAB I PENDAHULUAN. India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah India dan Pakistan merupakan dua negara yang terletak di antara Asia Tengah dan Asia Tenggara yang terlingkup dalam satu kawasan, yaitu Asia Selatan. Negara-negara

Lebih terperinci

BAB III ISU PERBATASAN LAUT CINA SELATAN CINA-ASEAN. ASEAN secara komprehensif, konflik ini sebenarnya lebih terpusat pada tumpang tindih

BAB III ISU PERBATASAN LAUT CINA SELATAN CINA-ASEAN. ASEAN secara komprehensif, konflik ini sebenarnya lebih terpusat pada tumpang tindih BAB III ISU PERBATASAN LAUT CINA SELATAN CINA-ASEAN Konflik di Laut Cina Selatan dapat di kategorikan dalam 4 Hal ; Perebutan wilayah, lokasi untuk perikanan, eksplorasi dan pengembangan minyak, dan gas.

Lebih terperinci

REALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni

REALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni REALISM Theoretical Intrepretations of World Politics By Dewi Triwahyuni Theory in Brief REALISM & NEOREALISM Key Actors View of the individual View of the state View of the international system Beliefs

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pengaturan mengenai perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, hukum

BAB I PENDAHULUAN. adanya pengaturan mengenai perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, hukum 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan hukum internasional sebagai bagian dari hukum yang sudah tua, yang mengatur hubungan antar negara tak dapat dipisahkan dari keberadaannya yang saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana

BAB I PENDAHULUAN. signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Serangan 11 September pada tahun 2001 telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan penetapan hukum di dunia ini, dimana serangan teroris tertentu telah

Lebih terperinci

JURNAL. Disusun oleh: REIGER MAHULE JELA JELA NPM : Program Kekhususan : Hubungan Internasional. Dosen Pembimbing I : H.

JURNAL. Disusun oleh: REIGER MAHULE JELA JELA NPM : Program Kekhususan : Hubungan Internasional. Dosen Pembimbing I : H. JURNAL PERANAN ASEAN DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) DENGAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASEAN TERKAIT PENDAKUAN REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) ATAS SELURUH WILAYAH PERAIRAN LAUT CINA SELATAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menekankan pada proses peredaan ketegangan dalam konflik Korea Utara dan Korea Selatan pada rentang waktu 2000-2002. Ketegangan yang terjadi antara Korea Utara

Lebih terperinci

Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Kamis, 17 November 2011 Pidato Pembukaan KTT ke-19 ASEAN

Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Kamis, 17 November 2011 Pidato Pembukaan KTT ke-19 ASEAN Pidato Presiden Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Kamis, 17 November 2011 Pidato Pembukaan KTT ke-19 ASEAN PIDATO PEMBUKAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PADA KOFERENSI TINGKAT TINGGI KE-19 ASEAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016.

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak kebijakan ODA Jepang mulai dijalankan pada tahun 1954 1, ODA pertama kali diberikan kepada benua Asia (khususnya Asia Tenggara) berupa pembayaran kerusakan akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan-perubahan besar. dan terjadi dengan sangat cepat dalam sistem internasional.

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan-perubahan besar. dan terjadi dengan sangat cepat dalam sistem internasional. BAB I PENDAHULUAN Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan-perubahan besar dan terjadi dengan sangat cepat dalam sistem internasional. Salah satu tantangan baru yang mengundang banyak perhatian adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION BETWEEN THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sengketa Internasional Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

KONTROVERSI KEBANGKITAN CINA DALAM DUNIA INTERNASIONAL: DEFENSIF ATAU OFENSIF?

KONTROVERSI KEBANGKITAN CINA DALAM DUNIA INTERNASIONAL: DEFENSIF ATAU OFENSIF? Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional 1 Binar Sari Suryandari 1006664685 KONTROVERSI KEBANGKITAN CINA DALAM DUNIA INTERNASIONAL: DEFENSIF ATAU OFENSIF? DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM (KONVENSI ASEAN MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si

H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si PASAL 3, DEKLARASI MONTEVIDEO 1933: Keberadaan politik suatu negara, bebas dari pengakuannya oleh negara lain. PERMASALAHAN: 1. Recognition is a political act with legal consequences.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang

Lebih terperinci

Peningkatan Kerjasama Indonesia India

Peningkatan Kerjasama Indonesia India Peningkatan Kerjasama Indonesia India Tulisan ini dimuat dalam buletin Atase Pendidikan KBRI New Delhi Edisi VI, ditampilkan di blog dengan harapan agar bisa berbagi informasi bagi teman-teman yang belum

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh BAB V KESIMPULAN Laut memiliki peranan penting baik itu dari sudut pandang politik, keamanan maupun ekonomi bagi setiap negara. Segala ketentuan mengenai batas wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban

Lebih terperinci