HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior kokon, lingkar ¼ bagian anterior kokon, diameter bagian medial kokon, diameter ¼ bagian posterior kokon dan diameter ¼ bagian anterior kokon pada C. trifenestrata disajikan pada Tabel 1. Koefisien keragaman sifat-sifat ukuran linear kokon C. trifenestrata berkisar antara 11%-15%. Koefisien keragaman tertinggi ditemukan pada diameter kokon ¼ bagian anterior yaitu 14,57%; sedangkan terendah pada lingkar kokon bagian medial yaitu 11,40%. Tabel 1.Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman berbagai Ukuran Kokon, Panjang Kokon, Diameter Bagian Medial Kokon, Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon, Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon, Lingkar Bagian Medial Kokon, Lingkar ¼ Bagian Posterior Kokon dan Lingkar ¼ Bagian Anterior Kokon, pada C. trifenestrata Peubah n* Rata-Rata ± SB (mm) Koefisien Keragaman (%) Panjang kokon ,688 ± 5,226 13,87 Diameter Bagian Medial Kokon ,715 ± 1,956 13,29 Diameter ¼ bagian Posterior Kokon ,779 ± 1,779 13,92 Diameter ¼ bagian Anterior Kokon ,901 ± 1,880 14,57 Lingkar Bagian Medial Kokon ,155 ± 5,489 11,40 Lingkar ¼ bagian Posterior Kokon ,372 ± 4,669 11,56 Lingkar ¼ bagian Anterior Kokon ,589 ± 4,858 11,97 Keterangan:* Jumlah kokon yang diukur; SB= simpangan baku Dolezal et al. (2007) menyatakan secara umum bahwa intensitas cahaya dan lama panjang hari mempengaruhi pertumbuhan serangga. C. trifenestrata diklasifikasikan ke dalam kelas insekta yang menurut (Borror et al., 1992) serangga merupakan hewan berdarah dingin (poikilotermik) dengan pertumbuhan yang sangat dipengaruhi lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dan angin (sirkulasi udara). Panjang kokon C. trifenestrata yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Sudaryanto (1986). Sudaryanto (1986) 22

2 melaporkan bahwa panjang kokon C. trifenestrata pada daun muda dan daun tua tanaman alpukat (Persea americana M.) masing-masing sebesar 32,28 ± 3,06 mm dan 32,70 ± 6,43 mm dengan koefisien keragaman masing-masing sebesar 9,48% dan 19,66%. Sudaryanto (1986) melakukan pengamatan pada ruang tertutup, sehingga daun alpukat yang disediakan tidak dalam kondisi segar. Diameter kokon C. trifenestrata yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Sudaryanto (1986). Sudaryanto (1986) melaporkan diameter kokon C. trifenestrata pada daun muda dan daun tua tanaman alpukat (Persea americana M.) masing-masing sebesar 15,25 ± 2,16 mm dan 15,38 ± 2,00 mm dengan koefisien keragaman masing-masing sebesar 14,16% dan 13,00%. Perbedaan panjang dan diameter kokon C. trifenestrata pada penelitian ini lebih disebabkan perbedaan kondisi pakan dan lingkungan tempat pengokonan. Kondisi pakan pada lingkungan alami untuk pengokonan; terjadi pada penelitian ini; sedangkan Sudaryanto (1986) menggunakan pakan dalam kondisi tidak langsung dari pohon (tidak segar) dan lokasi pengokonan buatan pada ruang tertutup. Hal tersebut berakibat pada perbedaan bentuk kokon, dengan bentuk lebih lonjong ditemukan pada penelitian ini (panjang kokon lebih besar dan diameter kokon lebih pendek). Katsumata (1964) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan ukuran panjang dan lebar kokon adalah tipe alat pengokon dan bahan alat pengokon. Panjang dan lebar kokon (dalam hal ini diameter bagian medial) pada penelitian ini terjadi secara alami dan tidak dipengaruhi alat pengokon buatan. Kokon dalam koloni alami dibiarkan bergantung bebas pada ranting pohon alpukat sehingga peran floss penting. Gaya gravitasi bumi berakibat pada bentuk kokon yang lebih lonjong, sehingga diameter kokon menjadi lebih kecil. Hal yang terjadi pada semua jenis ulat sutera emas secara alami. Floss yang dibentuk secara alami, ditemukan dalam bentuk koloni yang menggantung pada pohon inang sehingga pertumbuhan kokon tidak terhalang. Perbedaan hasil ini juga karena perbedaan kondisi pakan. Penelitian ini tidak membedakan daun tua dan daun muda tanaman alpukat (Persea americana M.). Pengamatan lingkar kokon bagian medial pada C. trifenestrata dilakukan karena dihubungkan dengan keliling permukaan kulit kokon, tempat filamen (serat sutera) terpaut. Rumus keliling lingkaran merupakan perkalian antara jari-jari 23

3 dikalikan dengan 2 dan Π atau 22/7 (Suhartono et al., 2010). Diameter kokon merupakan dua kali panjang jari-jari. Dengan demikian, pengamatan diameter kokon berhubungan tidak langsung terhadap keliling lingkaran. Penelitian pada ¼ bagian anterior dan ¼ bagian posterior pada lingkar dan diameter kokon A. Atlas, telah dilaporkan oleh Baskoro (2008). Penelitian ini menggunakan kokon C. trifenestrata yang mempertimbangankan luasan permukaan kokon tempat filamen atau serat sutera dihasilkan. Dengan demikian dapat memberikan gambaran mengenai seberapa jauh bentuk oval dari kokon C. trifenestrata dibandingkan dengan bentuk oval kokon jenis lain. Bobot Kulit Kokon dan Bobot Floss pada C. trifenestrata Bobot kulit kokon merupakan bagian terpenting dari kokon dalam pemeliharaan ulat sutera. Kulit kokon adalah sekumpulan serat-serat yang diproduksi ulat sutera yang dijalin sedemikian rupa dan dijadikan tempat pupa berlindung. Hasil analisis deskriptif pada Tabel 2 menunjukkan bahwa bobot kulit kokon C. trifenestrata adalah 75,42 ± 15,84 mg dengan keragaman sebesar 21,10%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan bobot kokon C. trifenestrata pada pohon jambu mete (Anacardium occidentale L.) seperti yang dilaporkan Prihatin dan Situmorang (2001). Prihatin dan Situmorang (2001) melaporkan bahwa bobot kulit kokon C. trifenestrata pada pohon jambu mete ditemukan sebesar 30,1 mg. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena perbedaan kandungan kimiawi daun alpukat dan daun jambu mete. Kandungan anti nutrisi pada daun alpukat ditemukan lebih sedikit. Zat anti nutrisi menurut Maryati et al. (2007) dan Dalimartha (2005) meliputi tanin dan saponin. Kandungan protein daun alpukat juga ditemukan lebih tinggi (Dewi, 2009). Tjitrosoepomo (2000) melaporkan bahwa secara morfologis daun alpukat memiliki struktur yang lebih lunak dibandingkan dengan daun jambu mete. Struktur yang lunak dipengaruhi komposisi dan jenis jaringan penyusun, ketebalan lapisan lignin (serat) dan kandungan kadar air. Persentase bobot kulit kokon jenis ulat C. trifenestrata pada penelitian ini ditemukan lebih besar dibandingkan dengan jenis ulat sutera lain yang dikembangkandi Indonesia yaitu Attacus atlas. Baskoro (2008) melaporkan persentase bobot kulit kokon A. atlas sebesar 72,39%. Baskoro (2008) melakukan metode penelitian yang sama dengan penelitian ini. Hal ini mengindikasikan bahwa 24

4 sutera yang dihasilkan C. trifenestrata lebih besar. Nilai persentase bobot kulit kokon ditentukan bobot kokon dan bobot kulit kokon. Persentase bobot kulit kokon berhubungan sangat erat dengan persentase filamen penghasil serat sutera yang merupakan salah satu tolok ukur atau acuan penentuan harga kokon. Tabel 2. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon dan Bobot Floss pada C. trifenestrata Peubah Rata-rata ± SB Koefisien Keragaman Persentase (mg) (%) Bobot Kulit Kokon 75,420 ± 15,840 21,01 87,10 Bobot Floss 10,033 ± 4,816 47,98 11,59 Keterangan: SB= simpangan baku Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan floss merupakan serat-serat penyanggah yang dikeluarkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Kokon yang telah dipanen masih diselimuti serabut serat sutera (floss) yang apabila dibiarkan, akan mengabsorsi air dari udara dan menurunkan kualitas kokon. Kokon juga dapat menyatu satu sama lain membentuk kesatuan sehingga mempersulit penanganan. Penilaian bobot kokon dilakukan setelah serabut floss dibersihkan. Bobot floss yang dihasilkan sebesar 10,033 ± 4,186 mg atau 11,59% dari bobot kulit kokon utuh. Kualitas kokon dipengaruhi bobot floss, semakin besar bobot floss, semakin rendah kualitas kulit kokon. Baskoro (2008) menyatakan bahwa bobot floss pada A. atlas ditemukan sebesar 180 ± 50 mg atau 27,61% dari bobot kulit kokon dengan floss. Persentase bobot floss C. trifenestrata pada penelitian ini ditemukan sebesar 11,59%. Persentase bobot floss yang dihasilkan C. trifenestrata lebih kecil bila dibandingkan dengan A. atlas yang menurut Baskoro (2008) persentase bobot floss A. atlas ditemukan sebesar 27,61%. Perbedaan tingkah laku pengokonan merupakan alasan utama perbedaan tersebut. Persentase floss yang dihasilkan A. atlas lebih besar karena spesies ini tidak membentuk koloni saat pengokonan. Hal yang sebaliknya terjadi pada C. trifenestrata. Floss merupakan serat-serat penyanggah yang dihasilkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Yuanita (2007) menyatakan bahwa tempat pengokonan berpengaruh terhadap jumlah serat-serat penyangga (floss) yang dihasilkan ulat sutera pada saat akan mengokon. 25

5 Bobot floss (BF) memiliki tingkat korelasi dengan bobot kulit kokon (BKK) dengan nilai sebesar 0,194. Keterkaitan ini bernilai positif yang diartikan peningkatan bobot floss akan meningkatkan bobot kulit kokon. Model persamaan regresinya yaitu BF (mg/kokon) = 5, ,059 BKK (mg/kokon) yang berarti bahwa setiap kenaikan 1 mg BF akan meningkatkan BKK sebesar 0,059 mg. Grafik sebaran data antara BF terhadap BKK dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Sebaran Data Bobot Floss terhadap Bobot Kulit Kokon Pengklasifikasian Kulit Kokon C. trifenestrata Berdasarkan Ukuran Persamaan ukuran kulit kokon C. trifenestrata disajikan pada Tabel 3. Nilai keragaman total 71,5% dan nilai egien sebesar 5,0033 diperoleh pada persamaan tersebut. Diameter bagian medial kokon (X 2 ), lingkar bagian medial kokon (X 5 ) dan lingkar ¼ bagian posterior kokon (X 3 ); merupakan penciri ukuran kulit kokon karena memiliki vektor eigen yang tinggi yaitu sebesar 0,407; 0,398 dan 0,392. Hal tersebut menunjukkan bahwa`peubah diameter bagian medial kokon (X 2 ), lingkar bagian medial kokon (X 5 ) dan diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) memberikan pengaruh terbesar pada skor ukuran kulit kokon C. trifenestrata. Tabel 4 menyajikan korelasi antara ukuran kulit kokon terhadap peubah-peubah linear permukaan kulit 26

6 kokon yang diamati. Berdasarkan Tabel 4, diperoleh korelasi tertinggi ditemukan antara diameter bagian medial kokon (X 2 ), lingkar bagian medial kokon (X 5 ), diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) dan ukuran, yaitu sebesar 0,90973; 0,89115 dan 0, Keterkaitan ini bernilai positif (nilai korelasi positif) yang diartikan bahwa peningkatan diameter bagian medial kokon, lingkar bagian medial kokon dan lingkar ¼ bagian posterior kokon akan berakibat pada peningkatan skor ukuran kulit kokon. Demikian pula sebaliknya. Tabel 3. Persamaan Ukuran dan Bentuk Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Persamaan Keragaman Total Nilai Eigen Ukuran = 0,378 X 1 + 0,407 X 2 + 0,392 X 3 + 0,375 X 4 + 0,398 X 5 + 0,348 X 6 + 0,342 X 7 Bentuk = 0,254 X 1 0,281 X 2 0,332 X 3 0,274 X 4 + 0,125 X 5 + 0,550 X 6 + 0,593 X 7 71,5% 5,0033 8,9% 0,6233 Keterangan: X 1 = Panjang Kokon, X 2 = Diameter Bagian Medial Kokon, X 3 = Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon, X 4 = Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon, X 5 = Lingkar Bagian Medial Kokon, X 6 = Lingkar ¼ Bagian Posterior Kokon, X 7 = Lingkar ¼ Bagian Anterior Kokon Penetapan diameter bagian medial kokon (X 2 ), lingkar bagian medial kokon (X 5 ) dan diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) sebagai penciri ukuran, menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam penentuan skor ukuran. Diameter bagian medial kokon (X 2 ), lingkar bagian medial kokon (X 5 ) dan diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) berpengaruh pada jumlah filamen yang dihasilkan karena filamen terpaut pada ketiga peubah tersebut. Penciri ukuran tersebut mempermudah pemenen dalam melakukan grading tanpa harus melakukan penimbangan. Pengklasifikasian kulit kokon C. trifenestrata dilakukan berdasarkan perolehan skor ukuran. Skor ukuran kulit kokon pada penelitian ini diperoleh berdasarkan persamaan ukuran atau persamaan komponen utama pertama yang diturunkan dari matriks korelasi melalui Analisis Komponen Utama. Hal tersebut disajikan pada Tabel 3. 27

7 Tabel 4. Koefisien Korelasi Ukuran dan Bentuk terhadap Peubah-Peubah Permukaan Linear Kulit Kokon C. trifenestrata Peubah Ukuran Bentuk Panjang kokon (X 1 ) 0, ,20053 Diameter kokon bagian medial (X 2 ) 0, ,22185 Diameter kokon ¼ bagian posterior (X 3 ) 0, ,26369 Diameter kokon ¼ bagian anterior (X 4 ) 0, ,21632 Lingkar kokon bagian medial (X 5 ) 0, ,09869 Lingkar kokon ¼ bagian posterior (X 6 ) 0, ,43422 Lingkar kokon ¼ bagian anterior (X 7 ) 0, ,46817 Pengklasifikasian ukuran (size) kulit kokon menjadi tinggi, sedang dan rendah; ditujukan untuk menentukan kualitas kulit kokon yang berpengaruh terhadap harga jual. Kulit kokon C. trifenestrata yang diklasifikasikan berukuran tinggi diperlihatkan dengan perolehan skor ukuran lebih dari 2,237; berukuran sedang diperlihatkan dengan peroleh skor ukuran -2,237 sampai dengan 2,237 dan berukuran kecil diperlihatkan dengan peroleh skor ukuran kurang dari dari -2,237. Hasil pengklasifikasian mengindikasikan sebanyak 20,93% kulit kokon berkualitas tinggi; sebanyak 57,36% kulit kokon berkualitas sedang dan sebanyak 21,70% kulit kokon berkualitas rendah. Hasil pengklasifikasian disajikan pada Tabel 5. Pengklasifikasian berdasarkan grade pada bobot kulit kokon tanpa floss telah dilakukan oleh Baskoro (2008) pada A. Atlas dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Baskoro (2008) membedakan grade bobot kulit kokon tanpa floss menjadi A, B, C, D dan E dengan masing-masing proporsi sebesar 19,2%; 19,16%; 21,2%; 20,0% dan 20,0%. Tabel 5. Pengklasifikasian Kulit Kokon C. trifenestrata Berdasarkan Ukuran Pengklasifikasian Ukuran Kokon Jumlah Kokon (buah) Persentase (%) Kecil ( < -2,237) 28 21,70 Sedang ( -2,237 2,237) 74 57,36 Besar ( > 2,237) 27 20,93 Jumlah

8 Gambar 11. menjelaskan diagram kerumunan kulit kokon ulat sutera emas C. trifenestrata berdasarkan skor ukuran dan skor bentuk pada masing-masing individu kokon. Penentuan skor bentuk akan dibahas pada bagian tersendiri. Pengklasifikasian kokon dilakukan berdasarkan skor ukuran, menjadi kelompok kecil, sedang dan besar. Keterangan: = Kecil, = Sedang, = Besar Gambar 11. Diagram Kerumunan Kulit Kokon Ulat Sutera Emas C. trifenestrata pada Pengklasifiksian Kecil, Sedang dan Besar berdasarkan Skor Ukuran Bentuk Kulit Kokon C. trifenestrata Persamaan bentuk pada kulit kokon C. trifenestrata memiliki nilai keragaman total 9,8% dan nilai eigen sebesar 0,6233 (Tabel 3). Peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X 7 ) merupakan penciri skor bentuk karena memiliki vektor eigen tertinggi sebesar 0,593. Hal ini menunjukkan bahwa peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X 7 ) memberikan pengaruh terbesar pada skor bentuk kulit kokon C. trifenestrata. Tabel 4 menyajikan korelasi antara skor bentuk dan peubah-peubah linear permukaan kulit kokon C. trifenestrata. Berdasarkan tabel tersebut, korelasi tertinggi ditemukan antara peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X 7 ) dan skor bentuk, yaitu sebesar 0, Keterkaitan ini bernilai positif yang diartikan bahwa 29

9 peningkatan lingkar ¼ bagian anterior kokon akan berakibat pada peningkatan skor bentuk kulit kokon. Bentuk kokon sangat penting dalam mencapai keseragaman ukuran filamen pada mesin pemintal. Penciri bentuk lingkar ¼ bagian anterior kokon (X 7 ) kemungkinan disebabkan ukuran imago yang dihasilkan. Imago memerlukan jalan keluar dari kokon melalui lubang pada ujung anterior kokon yang telah dibentuk pada saat pembuatan kokon. Menurut Awan (2007) dan Sari (2010) imago keluar dari kokon tepat pada saat organogenesi sempurna, yaitu pada saat organ-organ imago terbentuk sempurna. Menurut Gullan dan Cranston (2000) sinyal hormon mengatur perubahan organisme dari larva menjadi imago yang secara genetik merupakan karakter dari suatu spesies. Dijelaskan lebih lanjut bahwa faktor lingkungan seringkali berinteraksi mempengaruhi proses metamorfosis. Peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon yang merupakan penciri skor bentuk kokon C. trifenestrata sangat berkaitan erat dengan karakteristik ukuran imago yang akan keluar dari kokon, yang secara genetik berbeda dengan kokon spesies lain. Everitt dan Dunn (1998) menyatakan bahwa bentuk lebih banyak dipengaruhi secara genetik. Pendugaan Bobot Kulit Kokon Berdasarkan Peubah-Peubah Permukaan Kulit Kokon C. trifenestrata Bobot kulit kokon diduga berdasarkan persamaan Analisis Regresi Komponen Utama (ARKU). Semua peubah ukuran permukaan kulit kokon berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kulit kokon (P < 0,01). Tabel 6 menyajikan hasil perhitungan tersebut. Tabel 6. Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial (Berdasarkan Pendekatan Analisis Regresi Komponen Utama) pada Ulat Sutera C. trifenestrata Peubah t-hitung t-tabel Taraf Signifikan Panjang Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Diameter Bagian Medial Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Lingkar Bagian Medial Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Lingkar ¼ Bagian Posterior Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Lingkar ¼ Bagian Anterior Kokon ,576 P < 0,01 30

10 Persamaan pendugaan bobot kulit kokon C. trifenestrata diperoleh sebagai berikut Y = 22, ,34429 (panjang kokon) + 0,99045 (diameter bagian medial kokon) + 1,04886 (diameter ¼ bagian posterior kokon) + 0,94947 (diameter ¼ bagian anterior kokon) + 0,34514 (lingkar bagian medial kokon) + 0,35478 (lingkar ¼ bagian posterior kokon) + 0,33510 (lingkar ¼ bagian anterior kokon). Koefesien determinasi yang dihasilkan hanya diperoleh 45,1%; yang mengindikasikan kekuatan perubahan peubah-peubah ukuran permukaan linear kulit kokon terhadap bobot kulit kokon. Sebanyak 54,9% perubahan pada bobot kulit kokon dipengaruhi faktor selain peubah-peubah permukaan linear kulit kokon yang diamati. Elastisitas tertinggi bobot kulit kokon terhadap peubah-peubah ukuran kulit kokon pada C. trifenestrata, disajikan pada Tabel 7. Elastisitas terbesar adalah pada peubah lingkar bagian medial kokon (X 5 ) yang menunjukkan peubah bobot kulit kokon lebih sensitif pada perubahan lingkar bagian medial kokon (X 5 ). Tabel 7. Tingkat Sensitivitas (Elastisitas) Bobot Kulit Kokon terhadap Peubah- Peubah Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata berikut Peningkatan Bobot Kulit Kokon pada Setiap Peningkatan Ukuran Peubah yang Diamati Urutan Peubah Kulit Kokon Nilai Elastisitas* Peningkatan Bobot Kulit Kokon pada Setiap Peningkatan Satu mm Ukuran Peubah yang Diamati (mg) Lingkar bagian medial kokon (X 5 ) 0,220 0,354 Diameter bagian medial kokon (X 2 ) 0,193 0,934 Lingkar ¼ bagian posterior kokon (X 6 ) 0,190 0,350 Lingkar ¼ bagian anterior kokon (X 7 ) 0,180 0,342 Diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) 0,178 1,077 Panjang kokon (X 1 ) 0,172 0,342 Diameter ¼ bagian anterior kokon (X 4 ) 0,162 0,923 Keterangan*: Diukur dari yang tertinggi Nilai elastisitas tertinggi ini dapat dijadikan acuan dalam upaya seleksi terhadap bobot kulit kokon. Pengaruh setiap peubah ukuran linear permukaan kulit 31

11 kokon terhadap bobot kulit kokon disajikan pada uraian berikut ini; karena setiap peubah ukuran linear permukaan kulit kokon berpengaruh sangat nyata terhadap peubah bobot kulit kokon (P < 0,01). Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Panjang Kokon (X 1 ) Peubah panjang kokon berpengaruh terhadap bobot kulit kokon, yang diperlihatkan dengan nilai elastisitas sebesar 0,172. Hal ini disajikan pada Tabel 8. Hal tersebut diartikan bahwa setiap peningkatan 1% panjang kokon (X 1 ) akan meningkatkan 0,172% bobot kulit kokon atau disetarakan dengan peningkatan satu mm panjang kokon (X 1 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,342 mg. Menurut Baskoro (2008) panjang kokon berkorelasi positif terhadap bobot kulit kokon tanpa floss pada jenis ulat sutera lain yaitu A. atlas sebesar 0,548. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Setiorini (2009) dengan nilai korelasi sebesar 0,598. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Diameter Bagian Medial Kokon (X 2 ) Peubah diameter bagian medial kokon (X 2 ) berpengaruh terhadap bobot kulit kokon, dengan nilai elastisitas sebesar 0,193 (Tabel 8). Setiap peningkatan 1% diameter bagian medial kokon (X 2 ) akan meningkatkan 0,193% bobot kulit kokon atau disetarakan dengan peningkatan satu mm diameter bagian medial kokon (X 2 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,934 mg. Baskoro (2008) menyatakan bahwa diameter bagian medial kokon berkorelasi positif dengan bobot kulit kokon tanpa floss pada jenis ulat sutera liar lain A. atlas yaitu sebesar 0,573. Setiorini (2009) juga menyatakan bahwa diameter bagian medial kokon berkorelasi positif dengan bobot kulit kokon sebesar 0,574. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon (X 3 ) Peubah diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) berpengaruh terhadap bobot kulit kokon, dengan perolehan nilai elastisitas sebesar 0,178. Hal tersebut disajikan pada Tabel 8. Perolehan nilai elastisitas sebesar 0,178 diartikan bahwa setiap peningkatan 1% diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) akan meningkatkan 0,178% bobot kulit kokon. Hal ini menyimpulkan bahwa peningkatan satu mm diameter ¼ bagian posterior kokon (X 3 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 1,077 mg. Pengamatan korelasi diameter ¼ bagian posterior kokon terhadap bobot kulit kokon 32

12 tanpa floss pada jenis ulat sutera liar lain A. atlas telah dilakukan Baskoro (2008) dengan perolehan nilai sebesar 0,534 dan Setiorini (2009) memperoleh nilai 0,509. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon (X 4 ) Peubah diameter ¼ bagian anterior kokon (X 4 ) berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dengan nilai elastisitas sebesar 0,162. Hal tersebut disajikan pada Tabel 8. Peningkatan 1% diameter ¼ bagian anterior kokon (X 4 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,162% atau setara dengan pernyataan peningkatan satu mm diameter ¼ bagian anterior kokon (X 4 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,932 mg. Baskoro (2008) melaporkan korelasi antara diameter ¼ bagian anterior kokon dan bobot kulit kokon tanpa floss sebesar 0,626 pada jenis ulat sutera liar lain A. atlas. Setiorini (2009) melaporkan hal yang sama dengan nilai korelasi 0,622. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Lingkar Bagian Medial Kokon (X 5 ) Peubah lingkar bagian medial kokon (X 5 ) berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dengan nilai elastisitas dihitung sebesar 0,22. Hal ini disajikan pada Tabel 8. Peubah ini paling berpengaruh terhadap bobot kulit kokon C. trifenestrata yang diamati pada penelitian ini. Peningkatan 1% lingkar bagian medial kokon (X 5 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,22% atau peningkatan satu mm lingkar bagian medial kokon (X 5 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,354 mg. Penelitian Baskoro (2008) menyatakan bahwa lingkar bagian medial kokon pada ulat sutera liar jenis lain A. atlas berkorelasi positif dengan bobot kulit kokon tanpa floss, dengan nilai korelasi sebesar 0,681. Setiorini (2009) menyatakan bahwa hal sama dengan nilai korelasi sebesar 0,354. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Lingkar ¼ Bagian Posterior Kokon (X 6 ) Peubah lingkar ¼ bagian posterior kokon (X 6 ) berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dengan nilai elastisitas sebesar 0,190; seperti yang disajikan pada Tabel 8. Peningkatan 1% lingkar ¼ bagian posterior kokon (X 6 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,19% atau dapat pula dinyatakan bahwa peningkatan satu mm lingkar bagian posterior kokon (X 6 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,350 mg. Baskoro (2008) melaporkan korelasi sebesar 0,524 ditemukan 33

13 antara lingkar ¼ bagian posterior kokon dan bobot kulit kokon tanpa floss pada ulat sutera liar jenis lain A. atlas. Setiorini (2009) melaporkan hal yang sama dengan nilai korelasi sebesar 0,505. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Lingkar ¼ Bagian Anterior Kokon (X 7 ) Peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X 7 ) berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dengan perolehan nilai elastisitas sebesar 0,18. Hal tersebut disajikan pada Tabel 8. Peningkatan 1% lingkar ¼ bagian anterior kokon (X 7 ) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,18% atau dapat disimpulkan bahwa peningkatan satu mm lingkar ¼ bagian anterior kokon akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,342 mg. Penelitian pada ulat sutera liar jenis lain A. atlas telah dilaporkan oleh Baskoro (2008). Penelitian Baskoro (2008) melaporkan korelasi sebesar 0,519 diperoleh antara lingkar ¼ bagian anterior kokon dan bobot kulit kokon. Setiorini (2009) melaporkan hal yang sama dengan nilai korelasi sebesar 0,223. Berdasarkan Tabel 8 elastisitas bobot kulit kokon tertinggi pada lingkar bagian medial kokon (X 5 ), mencerminkan tingkat kesensitifan terhadap bobot kulit kokon, bukan mencermin respon peningkatan ukuran dalam satuan mm terhadap peningkatan bobot kulit kokon. Respon peningkatan yang tinggi terhadap bobot badan, belum tentu bersifat sensitif. 34

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Aneka Ternak Blok C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret-April

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996) TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan salah satu jenis ngengat nokturnal (aktif pada malam hari). C. trifenestrata diklasifikasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sutera ditemukan di Cina sekitar 2700 sebelum Masehi dan teknologi budidayanya masih sangat dirahasiakan pada masa itu. Perkembangan dan persebarannya dimulai dari benua

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2012 Vol. 14 (1) ISSN 1907-1760 Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory Y.C.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Jumlah Kuda Delman yang Diamati pada Masing-masing Lokasi

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Jumlah Kuda Delman yang Diamati pada Masing-masing Lokasi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini menggunakan data sekunder pengamatan yang dilakukan oleh Dr. Ir. Ben Juvarda Takaendengan, M.Si. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2011 Vol. 13 (3) ISSN 1907-1760 Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta The Characteristics of Fresh

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB SKRIPSI NUNIEK SETIORINI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) TINJAUAN PUSTAKA Sutera Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Harpiocephalus harpia Serangga Rhinolophus keyensis Serangga Hipposideros cervinus Serangga

MATERI DAN METODE. Harpiocephalus harpia Serangga Rhinolophus keyensis Serangga Hipposideros cervinus Serangga MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kota Tual, desa Ohoira, desa Ohoidertawun dan desa Abean, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian lapang dilaksanakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi

Lebih terperinci

GARIS BESAR RANCANGAN PEMBELAJARAN (GBRP) Mata Kuliah Kode / SKS Penanggung Jawab : Budidaya Organisme Berguna : 357G4103/ 3 SKS : 1. Prof. Dr. Itji Diana Daud, MS 2. Dr. Sri Nur Aminah Ngatimin, SP, M.Si

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. MODEL PERENCANAAN PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM 1. Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data Iklim Lahan Penelitian, Kelembaban Udara (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data Iklim Lahan Penelitian, Kelembaban Udara (%) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Hasil analisis kondisi iklim lahan penelitian menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika setempat menunjukkan bahwa kondisi curah hujan, tingkat kelembaban,

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian dimulai bulan November 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Kondisi curah hujan selama penelitian berlangsung berada pada interval 42.9 mm sampai dengan 460.7

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Sulawesi Utara

Gambar 3. Peta Sulawesi Utara HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Propinsi Sulawesi Utara mencakup luas 15.272,44 km 2, berbentuk jazirah yang memanjang dari arah Barat ke Timur pada 121-127 BT dan 0 3-4 0 LU. Kedudukan

Lebih terperinci

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN SKRIPSI FITRI KARTIKA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruang Penyimpanan Penyimpanan adalah salah satu tindakan pengamanan yang bertujuan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas produk. Penyimpanan pakan dalam industri

Lebih terperinci

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida, PEMBAHASAN PT National Sago Prima saat ini merupakan perusahaan satu-satunya yang bergerak dalam bidang pengusahaan perkebunan sagu di Indonesia. Pengusahaan sagu masih berada dibawah dinas kehutanan karena

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kadar air merupakan berat air yang dinyatakan dalam persen air terhadap berat kering tanur (BKT). Hasil perhitungan kadar air pohon jati disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang disajikan dalam bab ini adalah pengamatan selintas dan pengamatan utama. 1.1. Pengamatan Selintas Pengamatan selintas merupakan pengamatan yang hasilnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Objek yang digunakan pada penelitian adalah tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus, Lour), tanaman ini biasa tumbuh di bawah pepohonan dengan intensitas cahaya yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Burung Merpati Balap Tinggian Karakteristik dari burung merpati balap tinggian sangat menentukan kecepatan terbangnya. Bentuk badan mempengaruhi hambatan angin, warna

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

IV. ANALISIS KEBERHASILAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN PURWAKARTA. Tingkat Keberhasilan Hutan Rakyat di Kabupaten Purwakarta

IV. ANALISIS KEBERHASILAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN PURWAKARTA. Tingkat Keberhasilan Hutan Rakyat di Kabupaten Purwakarta IV. ANALISIS KEBERHASILAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN PURWAKARTA Tingkat Keberhasilan Hutan Rakyat di Kabupaten Purwakarta Hasil penilaian yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Potong atau BPPT merupakan salah satu UPTD lingkup Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat sesuai dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin 15 Tempat dan Waktu Penelitian BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Karo pada bulan Juli 2016 Bahan dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelompokan tanaman Hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap sampel daun untuk mengetahui ukuran stomata/mulut daun, dapat dilihat pada tabel 3. Pada tabel 3 ditunjukkan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada

BAB I PENDAHULUAN. berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lumut merupakan kelompok tumbuhan kecil yang tumbuh menempel pada berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada pohon, kayu mati, kayu

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 1. Jumlah Kuda Delman Lokal Berdasarkan Lokasi Pengamatan. Kuda Jantan Lokal (ekor) Minahasa

MATERI DAN METODE. Tabel 1. Jumlah Kuda Delman Lokal Berdasarkan Lokasi Pengamatan. Kuda Jantan Lokal (ekor) Minahasa MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengolahan data dan penulisan dilakukan di Laboratorium Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Stabilitas Galur Sidik ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter pengamatan. Perlakuan galur pada percobaan ini memberikan hasil berbeda nyata pada taraf

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di perkebunan rakyat Desa Huta II Tumorang, kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Percobaan 4.1.1. Jumlah larva (30 HSA) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah larva pada 30 HSA, sedangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini berlangsung di kebun manggis daerah Cicantayan Kabupaten Sukabumi dengan ketinggian 500 700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Area penanaman manggis

Lebih terperinci

METODE. Materi. Tabel 2. Distribusi Ayam Kampung yang Digunakan

METODE. Materi. Tabel 2. Distribusi Ayam Kampung yang Digunakan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di desa Tanjung Manggu Sindangrasa, Imbanagara, Ciamis, Jawa Barat; di desa Dampyak, Mejasem Timur, Tegal, Jawa Tengah dan di desa Duren Talun, Blitar,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sejarah Kelompok Tani Catur Makaryo Kelompok Tani Catur Makaryo merupakan kelompok usaha pertanian yang memiliki peranan penting dalam pengembangan dan kemajuan pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KambingKacang Kambing Kacang merupakan salah satu kambing lokal di Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Potensi Pucuk

PEMBAHASAN Potensi Pucuk 52 PEMBAHASAN Potensi Pucuk Hasil tanaman teh adalah kuncup dan daun muda yang biasa disebut pucuk. Pengambilan pucuk yang sudah memenuhi ketentuan dan berada pada bidang petik disebut pemetikan. Ketentuan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaman Sifat Pertumbuhan dan Taksiran Repeatability Penelitian tentang klon JUN hasil perkembangbiakan vegetatif ini dilakukan untuk mendapatkan performa pertumbuhan serta

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih serta Laboratorium Pasca Panen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan tumbuh yang digunakan pada tahap aklimatisasi ini, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet Nepenthes. Tjondronegoro dan Harran (1984) dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi terhadap kualitas semen dimaksudkan untuk menentukan kualitas semen yang selanjutnya dapat dijadikan indikator layak atau tidak semen tersebut diproses lebih

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisik Buah Kualitas fisik buah merupakan salah satu kriteria kelayakan ekspor buah manggis. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kualitas fisik buah meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Jenis jenis Hama Pada Caisim Hasil pengamatan jenis hama pada semua perlakuan yang diamati diperoleh jenis - jenis hama yang sebagai berikut : 1. Belalang hijau Phylum :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Kandang Kandang Penelitian Kandang penelitian yang digunakan yaitu tipe kandang panggung dengan dinding terbuka. Jarak lantai kandang dengan tanah sekitar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Curah hujan harian di wilayah Kebun Percobaan PKBT IPB Tajur 1 dan 2 pada Februari sampai Juni 2009 berkisar 76-151 mm. Kelembaban udara harian rata-rata kebun tersebut

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi 25 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi adalah rumah potong hewan yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun 2009. RPH kota Bekasi merupakan rumah potong dengan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata

PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata PEMBAHASAN Siklus Hidup C. trifenestrata Tahapan hidup C. trifenestrata terdiri dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur yang fertil akan menetas setelah hari kedelapan, sedang larva terdiri dari lima

Lebih terperinci

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Pemberian Jenis Murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana Terhadap Produksi Kokon Ulat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. RADIASI MATAHARI DAN SH DARA DI DALAM RMAH TANAMAN Radiasi matahari mempunyai nilai fluktuatif setiap waktu, tetapi akan meningkat dan mencapai nilai maksimumnya pada siang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penetapan Lokasi Penentuan Umur Domba

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penetapan Lokasi Penentuan Umur Domba MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan IPB yang berlokasi di desa Singasari, Kecamatan Jonggol; peternakan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Posisi PPKS sebagai Sumber Benih di Indonesia

PEMBAHASAN. Posisi PPKS sebagai Sumber Benih di Indonesia 57 PEMBAHASAN Posisi PPKS sebagai Sumber Benih di Indonesia Hasil pertemuan yang dilakukan pengusaha sumber benih kelapa sawit yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Perkebunan pada tanggal 12 Februari 2010,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kayu Dalam proses pertumbuhannya tumbuhan memerlukan air yang berfungsi sebagai proses pengangkutan hara dan mineral ke seluruh bagian tubuh tumbuhan. Kadar air

Lebih terperinci

Benih kelapa dalam (Cocos nucifera L. var. Typica)

Benih kelapa dalam (Cocos nucifera L. var. Typica) Standar Nasional Indonesia Benih kelapa dalam (Cocos nucifera L. var. Typica) ICS 65.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

VI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI USAHA PEMBESARAN LELE DUMBO DI CV JUMBO BINTANG LESTARI

VI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI USAHA PEMBESARAN LELE DUMBO DI CV JUMBO BINTANG LESTARI VI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI USAHA PEMBESARAN LELE DUMBO DI CV JUMBO BINTANG LESTARI 6.1. Analisis Fungsi Produksi Model fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi Cobb Douglas. Faktor-faktor

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kadar air (Ka) adalah banyaknya air yang dikandung pada sepotong kayu yang dinyatakan dengan persentase dari berat kayu kering tanur. Kadar air pohon Jati hasil penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1: Uji Fisik dan Uji Kimia Bungkil Inti Sawit Bentuk Umum dan Rasio Produk Hasil Ayakan Penggilingan bungkil inti sawit menggunakan Hammer mill yang dilengkapi dengan saringan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Kayu Nilai rata-rata kehilangan bobot (weight loss) pada contoh uji kayu sengon, karet, tusam,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

PENGARUH BEBERAPA JENIS PAKAN TANAMAN KEHUTANAN TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA EMAS

PENGARUH BEBERAPA JENIS PAKAN TANAMAN KEHUTANAN TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA EMAS PENGARUH BEBERAPA JENIS PAKAN TANAMAN KEHUTANAN TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA EMAS (Cricula trifenestrata Helf) Hartono (1), Terry M. Frans (1), Josephus I. Kalangi (1) Program Studi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 38 Pencemaran Getah Kuning Pencemaran getah kuning pada buah manggis dapat dilihat dari pengamatan skoring dan persentase buah bergetah kuning pada aril dan kulit buah, serta persentase

Lebih terperinci

FORTIFIKASI DAUN JAMBU METE

FORTIFIKASI DAUN JAMBU METE FORTIFIKASI DAUN JAMBU METE (Anacardium occidentale L.) MENGGUNAKAN GLISIN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ULAT SUTERA LIAR (Cricula trifenestrata Helf.) SKRIPSI Oleh: Sulistyo Dwi Kartining Putro

Lebih terperinci