PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei"

Transkripsi

1 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2. Berdasarkan uji statistik, perbedaan jenis murbei tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase filamen (Lampiran 43). Persentase filamen yang dihasilkan berkisar antara % dengan nilai rata-rata ± % (Tabel 11). Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei Persentase Filamen (%) A ±1.338tn A ±1.191tn A ±1.6465tn A ±1.371tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata PEMBAHASAN Kualitas Daun Murbei Mutu daun murbei merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan disamping faktor-faktor lain seperti bibit, teknik pemeliharaan dan sarana pemeliharaan (Samsijah & Kusumaputra 1976). Kualitas daun murbei berhubungan dengan susunan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Pertumbuhan selama fase larva memerlukan perlakuan yang berbeda untuk setiap tahapan pertumbuhannya. Seperti pernyataan yang diungkapkan Samsijah dan Andadari (1992) bahwa ulat-ulat muda (instar I- III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang rendah. Oleh karena itu, pemilihan jenis murbei yang tepat untuk pertumbuhan ulat sutera akan menghasilkan kokon dan serat sutera yang berkualitas. Menurut Tazima (1978), daun murbei yang memiliki kandungan air %, protein kasar %, serat kasar 9-11%, BetN %, lemak kasar 2-4 % dan abu 7-9 % baik bagi pertumbuhan ulat sutera. Dalam hal ini, hasil analisis kandungan nutrisi dari keempat jenis daun murbei yang diujikan, hanya kandungan air dan lemak kasar saja yang sesuai dengan pernyataan Tazima (1978). Perbedaan kandungan nutrisi pada daun murbei tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan teknik pemeliharaan kebun. Seperti pernyataan Katsumata (1964) bahwa kualitas daun murbei dipengaruhi oleh keadaan tanah, pemupukan, pemangkasan, curah hujan, dan pengairan. Sumardjito dan Suhartati (1987) kualitas serta kuantitas daun murbei terutama ditentukan oleh jenis murbei itu sendiri disamping faktor lain seperti keadaan iklim, kondisi tanah, suhu, sistem pemeliharaan kebun dan lain-lain. Jenis-jenis murbei yang dianggap unggul berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. SK. 50/V-UPR/2004 adalah M. cathayana, M. multicaulis, M. kanva, dan M. alba (Dephut 2004). Hasil analisis proksimat pada penelitian ini menunjukkan bahwa M. bombycis var. lembang yang merupakan jenis murbei lokal memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jenis-jenis murbei unggul lainnya. Umur Ulat Periode ulat merupakan periode yang paling lama selama siklus hidup ulat sutera. Periode ini merupakan satu-satunya fase dimana ulat makan. Selama masa larva berlangsung empat kali ganti kulit maka, terdapat lima periode makan yaitu, instar I, II, III, IV, dan V. Total umur ulat selama periode ulat kecil yang ditunjukkan Tabel 2 sesuai dengan pernyataan Andadari (2003), bahwa umur ulat kecil (instar I-III) di daerah tropis umumnya berkisar hari. Memasuki instar IV dilakukan penghitungan kembali ulat sutera yang dipelihara untuk setiap perlakuan dan ulat dipindahkan ke ruang pemeliharaan ulat besar. Umur ulat besar berdasarkan Tabel 2 sesuai dengan pendapat Katsumata (1964) bahwa di daerah tropis seperti Indonesia, umur ulat besar (instar IV-V) umumnya berkisar hari. Menurut Andadari (2003), lamanya periode hidup ulat mulai dari menetas sampai membuat kokon sekitar satu bulan, tetapi hal tersebut tergantung pada kondisi iklim dan suhu setempat. Umur ulat yang dihasilkan pada penelitian ini cenderung lebih pendek atau kurang dari satu bulan. Perbedaan umur ulat tersebut dapat

2 11 diakibatkan kondisi suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah. Suhu dan kelembaban selama periode ulat kecil pada penelitian ini berkisar antara C dan % sedangkan selama periode ulat besar berkisar antara C dan % (Lampiran 4 & 5). Kisaran suhu dan kelembaban tersebut berbeda dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa fase ulat kecil membutuhkan suhu dengan kisaran C dan kelembaban % sedangkan ulat besar membutuhkan suhu C dan kelembaban %. Atmosoedarjo et al. (2000), pertumbuhan ulat biasanya lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi serta kelembaban juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Pernyataan ini sesuai juga dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa pertumbuhan ulat akan dipersingkat dengan meningkatnya suhu. Samsijah dan Andadari (1995) menyatakan bahwa masa instar terpendek adalah instar II, I, III, IV kemudian V, sedangkan masa ganti kulit terpendek adalah masa ganti kulit instar II kemudian instar I, instar III, dan instar IV. Hal tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pengaruh jenis ulat dan kondisi lingkungan tempat pemeliharaan. Sesuai dengan pernyataan Atmosoedarjo et al. (2000) bahwa panjangnya masa makan berbeda tergantung dari galur. Menurut Norati (1996), umur ulat ras India dan Rusia berkisar antara hari 22 jam. Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976), umur ulat ras Jepang adalah 28 hari 8 jam. Untuk ras Rumania siklus hidup berlangsung selama 22 hari (Noerlely 1996). Berdasarkan perbandingan tersebut maka, dapat dinyatakan bahwa umur ulat akan berbeda tergantung pada jenis ulat dan kondisi iklim serta suhu tempat pemeliharaan. Jumlah Konsumsi Daun Murbei Berdasarkan Lampiran 8-9 terlihat bahwa dengan semakin bertambahnya umur ulat semakin bertambah juga pakan yang diberikan. Hal tersebut berkaitan dengan semakin meningkatnya ukuran tubuh ulat dan pemenuhan kebutuhan untuk pembentukan filamen. Selama periode ulat kecil, pemberian murbei yang berbeda jenis menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi daun per ekor artinya jenis murbei tidak mempengaruhi banyaknya konsumsi daun per ekor pada ulat kecil. Pada fase ulat besar, jenis murbei mempengaruhi banyaknya konsumsi daun per ekor. Berbeda dengan periode ulat besar, jenis murbei yang paling banyak dikonsumsi selama periode ulat besar adalah M. multicaulis. Jenis murbei ini memiliki struktur daun yang agak keras dibanding ketiga jenis murbei lainnya. Sesuai dengan pernyataan Andadari (2003) bahwa ulat besar membutuhkan daun yang lebih tua dan tidak lembek. Pada penelitian ini konsumsi pakan ulat selama periode ulat besar berkisar antara % dari total pakan yang dikonsumsi dengan nilai rataan ±0.197 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), konsumsi daun murbei selama periode ulat besar mencapai 90% dari total pakan yang dikonsumsi. Hal tersebut berkaitan dengan pertumbuhan kelenjar sutera guna pembentukan filamen yang mencakup 40 % dari total bobot tubuhnya dan energi yang dibutuhkan ketika memasuki fase pengokonan. Total pakan daun dan rata-rata konsumsi daun setiap ekor pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa konsumsi daun per ekor dari mulai ulat menetas (hakitate) sampai mengokon adalah ±20 g. Daya Tahan Ulat Penilaian keunggulan suatu jenis ulat selain dapat dilihat dari segi produksi kokon, juga dapat dilihat dari daya tahan hidup ulat (Andadari 2003). Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976), terdapat korelasi antara kombinasi pemberian pakan ulat dengan ukuran daya tahan hidup ulat. Selain itu, ketahanan ulat berkaitan juga dengan banyaknya kokon yang akan dihasilkan. Nilai ketahanan ulat dapat dilihat berdasarkan resitensinya terhadap penyakit dan keseragaman dalam pertumbuhannya. Berdasarkan Tabel 5, ulat yang diberi pakan daun M. bombycis var. lembang memberikan nilai daya tahan ulat paling baik selama periode ulat kecil sedangkan selama periode ulat besar, jenis murbei yang memberikan nilai daya tahan ulat paling baik adalah ulat yang diberi pakan daun M. cathayana. Hal tersebut dikarenakan kandungan nutrisi dan anatomi daun tersebut paling sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil dan ulat besar. Morus bombycis var. lembang memiliki kandungan air terbesar serta memiliki struktur daun yang lunak. Sedangkan M. cathayana memiliki kandungan protein paling besar serta struktur daun yang tidak terlalu keras. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992), ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan

3 12 daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Sedangkan ulat besar (instar IV-V) memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera namun dengan kadar air yang rendah. Atmosoedarjo et al. (2000) menambahkan bahwa selama periode ulat kecil merupakan fase dimana ulat mengumpulkan dan mempertahankan air yang mencapai 86 % dari total bobot tubuhnya. Menurut Novianti (1992), nilai daya tahan ulat kecil hasil persilangan ras Jepang dan Cina di atas 99 %. Sementara laporan Sundari (1996) menyatakan bahwa daya tahan hidup ulat kecil ras murni Rusia adalah 96.8 % dan ras hibrid Jepang-India dan India-Rusia adalah 99.4 %. Samsijah dan Kusumaputra (1976), daya tahan ulat kecil untuk ras murni Jepang berkisar antara %. Sementara hasil penelitian Saranga et al. (1992) yang menggunakan ulat hasil persilangan ras Jepang dengan Bili-Bili memberikan nilai daya tahan ulat dengan kisaran %. Sedangkan penelitian Norati (1996) melaporkan bahwa nilai daya tahan ulat kecil ras India berkisar % dan ras Rusia berkisar antara %, ulat besar ras India berkisar % dan Rusia berkisar %. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan nilai daya tahan tersebut dipengaruhi oleh jenis ulat, pakan, dan kondisi tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban. Untuk periode ulat besar, nilai daya tahan ulat cenderung menurun sementara kondisi suhu rata-rata C dan kelembaban rata-rata % sudah sesuai dengan persyaratan hidup ulat besar yaitu, C dengan kelembaban 70 % (Andadari 2003). Akan tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1975) bahwa daya tahan ulat yang baik pada ulat besar mencapai 98.66%. Hal tersebut dikarenakan adanya serangan penyakit yang baru muncul secara ganas pada saat periode ulat besar. Ciri-ciri penyakit yang terlihat pada setiap ulat yang terinfeksi seperti: nafsu makan berkurang, ulat cenderung berjalan-jalan tanpa makan, pertumbuhan tidak seragam, warna larva menjadi gelap dan pertumbuhannya terhambat, tubuhnya mengkerut, dan akhirnya mati, kemungkinan munculnya serangan penyakit tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, atau protozoa (Atmosoedarjo et al. 2000). Terdapat dua kemungkinan sumber penyebaran penyakit, kemungkinan pertama ditularkan melalui telur yang terbawa oleh induk yang berasal dari Pengusahaan Sutera Alam (PSA) Soppeng, Sulawesi Selatan. Kemungkinan kedua yaitu, berasal dari tempat pemeliharaan dan kontaminasi dari pakan yang diberikan. Desinfeksi ruangan pemeliharaan yang tidak efektif dapat menyebabkan tersebarnya penyakit ini secara terus-menerus pada setiap siklus pemeliharaan karena bentuk penyebaran penyakit ini melalui bentuk spora. Bobot Tubuh Ulat Laju pertumbuhan ulat ditunjukkan oleh pertambahan bobot tubuh ulat pada akhir instar ulat kecil (instar III) dan akhir instar ulat besar (instar V). Kebutuhan pakan kedua fase tersebut berbeda. Pada periode ulat kecil, pemberian pakan bertujuan untuk mendapatkan ulat yang sehat agar bisa bertahan hidup sampai akhir instar III. Sedangkan pada fase ulat besar, terutama instar V, merupakan stadium paling penting untuk pertumbuhan kelenjar sutera guna memproduksi filamen kokon dan kebutuhan energi ketika memasuki fase pengokonan. Ulat kecil yang diberi pakan daun M. alba var. kanva-2 dan M. bombycis var. lembang menghasilkan bobot tubuh ulat terbesar. Hal tersebut didasarkan pada kandungan nutrisi yang dimiliki daun M. alba var. kanva-2 dan M. bombycis var. lembang yang sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil (Tabel 1). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992), ulat-ulat muda (instar I-III) memerlukan daun yang tidak begitu keras, banyak mengandung air, karbohidrat, dan protein yang akan mendorong laju pertumbuhan ulat. Jenis ulat dan kondisi lingkungan mempengaruhi pertumbuhan selama masa larva. Bobot tubuh ulat akhir instar III hibrid Jepang-Cina g (Novianti 1992). Sementara Norati (1996) melaporkan bobot tubuh ulat kecil ras India mencapai g ras dan Rusia g sedangkan bobot tubuh ulat besar ras India g dan ras Rusia g. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan selama masa larva dipengaruhi oleh ras ulat, jenis murbei yang diberikan dan kondisi lingkungan tempat pemeliharaan. Bobot tubuh ulat besar tertinggi dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan daun M. multicaulis. Hal tersebut disebabkan jenis murbei ini merupakan jenis yang paling banyak dikonsumsi ulat selama periode ulat besar. Pada penelitian ini,

4 13 konsumsi pakan pada instar V mencapai % dari total pakan yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pada fase ini kualitas dan kuantitas murbei akan berpengaruh terhadap mutu kokon dan serat sutera yang dihasilkan. Kualitas Kokon Persentase produksi kokon dan kokon cacat Kokon adalah hasil akhir dari pemeliharaan ulat sutera dan kualitasnya ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat, dan keadaan luar seperti kondisi selama pemeliharaan dan pada saat pengokonan (Samsijah & Andadari 1992). Selain kualitas murbei sebagai sumber pembentukan serat sutera yang dihasilkan oleh ulat, penanganan ulat menjelang pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon. Oleh karena itu, jika metode pengokonan salah maka akan dihasilkan kokon kualitas rendah. Metode yang digunakan untuk mengokonkan ulat adalah pemungutan dengan tangan. Dalam metode ini semua ulat dewasa yang sudah memperlihatkan tanda-tanda akan mengokon dipungut dengan tangan sehingga hanya ulat yang sudah cukup dewasa atau matang saja yang dipilih dan dimasukkan ke alat pengokonan. Morus cathayana dan M. alba var. kanva- 2 menghasilkan persentase produksi kokon paling besar. Hal tersebut sesuai dengan nilai daya tahan ulat akhir instar V pada masingmasing perlakuan yang juga paling besar (Tabel 5). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa ketahanan ulat berkaitan juga dengan banyaknya kokon yang akan dihasilkan. Pemilihan kokon yang berkualitas akan menentukan mutu benang yang dihasilkan. Syarat-syarat kokon yang baik antara lain: tidak cacat, bersih (putih bersih, kuning bersih atau warna-warna lainnya), bagian dalam pupa tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon keras atau tebal, dan cara pengeringan memenuhi syarat pemintalan sehingga waktu dipintal tidak mengalami kesulitan (Samsijah & Andadari 1992). Berdasarkan Tabel 8, persentase kokon cacat yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dikategorikan kelas kokon D atau kelas mutu ketiga berdasarkan standar mutu kokon (Lampiran 44 & 45) dan klasifikasi kokon cacat berdasarkan Lampiran 46. Banyaknya kokon cacat yang terbentuk dapat terjadi karena pengaruh suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan serta tempat pengokonan (seriframe) yang digunakan. Suhu dan kelembaban harian pada penelitian ini berkisar C dan %. Hal tersebut berbeda dengan pernyataan Samsijah dan Andadari (1992) bahwa kondisi suhu pada saat pengokonan sebaiknya berkisar o C dengan kelembaban %. Alat pengokonan (seriframe) yang digunakan pada penelitian ini berwarna hitam dan memiliki ruang antar sekat yang kurang lebar sedangkan kokon yang dihasilkan cukup besar. Hal ini mengakibatkan banyaknya kokon cacat yang tercetak (printed cocoon). Warna seriframe juga mempengaruhi persentase produksi kokon dan persentase kokon cacat. Kaomini dan Andadari (2004), melaporkan bahwa alat pengokonan yang berwarna selain kuning, menyebabkan ulat lambat naik ke tempat pengokonan. Hal tersebut dapat menghasilkan kokon cacat karena ulat terlalu matang sehingga mengokon di sembarang tempat atau hanya berputar-putar di atas tempat pengokonan sambil mengeluarkan serat tanpa membuat kokon sehingga kokon yang dihasilkan tipis. Walaupun ulat sehat dengan nilai daya tahan hidup yang tinggi, tetapi jika alat pengokonan tidak baik maka akan dihasilkan kualitas kokon yang rendah. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), material dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh terhadap kualitas kokon dan filamen yang dihasilkan. Bobot kokon rata-rata Hasil pengukuran bobot kokon ratarata yang diperoleh dari total kokon yang dihasilkan dan 10 kokon normal yang diambil secara acak, keduanya menunjukkan bahwa ulat yang diberi pakan M. cathayana menghasilkan bobot kokon rata-rata terbesar dibandingkan ketiga daun murbei lainnya. Walaupun jumlah konsumsi pakan per ekor untuk jenis M. cathayana paling sedikit di antara ketiga jenis murbei tetapi hal tersebut berkaitan dengan kandungan nutrisinya. Berdasarkan tabel 1, M. cathayana memiliki kandungan protein paling tinggi dan sesuai bagi kebutuhan pakan ulat besar. Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1976) bahwa ulat besar membutuhkan daun murbei yang memiliki kandungan protein tinggi untuk mempercepat pertumbuhan kelenjar sutera. Bobot kokon yang dihasilkan oleh ras Jepang mencapai 1.41 g (Samsijah & Kusumaputra 1976). Sedangkan hasil persilangan antara ras Jepang dan Bili-Bili menghasilkan bobot kokon tertinggi 1.34 g (Saranga et al. 1992). Norati (1996)

5 14 melaporkan bobot kokon tertinggi untuk ras Rusia adalah g dan India g. Perbedaan bobot kokon yang dihasilkan tersebut dipengaruhi oleh ras ulat, pakan, dan kondisi tempat pemeliharaan. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, bobot kokon rata-rata yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dikatakan sudah sangat baik yaitu berkisar antara g untuk bobot kokon yang dihitung berdasarkan total kokon yang dihasilkan dan g untuk bobot kokon yang berasal dari 10 kokon normal yang diambil secara acak. Sesuai dengan pernyataan Kaomini dan Andadari (2004), pada umumnya bobot kokon galur murni berkisar g dan ras hibrid berkisar g. Penentuan kelas kokon didasarkan pada SNI yang dikeluarkan oleh Direktur Bina Usaha Perhutanan Rakyat Ditjen RLPS (Lampiran 44 & 45). Untuk kokon yang berasal dari ulat yang diberi pakan M. multicaulis dan M. cathayana termasuk ke dalam kelas kokon A, ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2 termasuk ke dalam kelas kokon B, dan ulat yang diberi pakan M. bombycis var. lembang termasuk ke dalam kelas kokon A dan B. Secara umum, kokon yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk ke dalam kelas kokon A atau kelas kokon utama yang memiliki bobot kokon rata-rata ± g dan ±0.0261g. Persentase kulit kokon Besarnya nilai persentase kulit kokon tergantung dari bobot kokon berisi pupa dan bobot kulit kokon. Persentase kulit kokon dapat menggambarkan persentase serat atau filamen yang dapat diperoleh dari kokon (Norati 1996). Persentase kulit kokon adalah salah satu tolak ukur dalam penentuan harga jual kokon (Andadari 2003). Hasil uji statistik (Tabel 10), menunjukkan nilai persentase kulit kokon untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata. Semua jenis murbei memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap persentase kulit kokon. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi semua jenis murbei untuk pertumbuhan selama periode ulat besar relatif sama. Akan tetapi, nilai rata-rata persentase kulit kokon terbesar dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. cathayana. Walaupun nilai konsumsi per ekor jenis murbei ini paling sedikit tetapi kandungan nutrisi yang terkandung di dalamnya paling sesuai untuk untuk pertumbuhan kelenjar sutera selama periode ulat besar yaitu, memiliki kandungan protein terbesar dengan kadar air paling rendah. Norati (1996) melaporkan rata-rata persentase kulit kokon dari ras India dan Rusia adalah ± %. Pada penelitian Samsijah dan Kusumaputra (1976), ras Jepang menghasilkan persentase kulit kokon berkisar antara %. Sementara hasil penelitian Aryanti (2003) yang menggunakan ras ulat hibrid Jepang dan Cina menghasilkan rataan persentase kulit kokon berkisar antara %. Pada penelitian ini rataan persentase kulit kokon yang didapat berkisar antara ± ±0.783 %. Perbedaan nilai persentase kulit kokon tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis ulat dan kondisi iklim tempat pemeliharaan yang meliputi suhu, kelembaban, dan sirkulasi udara selama proses pengokonan. Menurut Kaomini dan Andadari (2004), jenis ulat yang baik mempunyai rasio kulit kokon %. Hasil yang didapat pada penelitian ini dinilai lebih rendah karena hanya memiliki persentase kulit kokon rata-rata ±0.324 %. Hal tersebut mungkin akibat pengaruh lingkungan tempat pemeliharaan yang meliputi suhu dan kelembaban yang kurang sesuai untuk proses pengokonan. Menurut Kaomini dan Andadari (2004), suhu yang baik untuk proses pengokonan berkisar C dan kelembaban %. Sedangkan pada penelitian ini suhu dan kelembaban selama periode ulat besar berkisar antara C dan %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), perbedaan tersebut diakibatkan di daerah tropik kisaran suhu dan kelembaban nisbi tidak mudah dicapai, karena pengaruh suhu yang tinggi di sekitar lingkungan. Berdasarkan standar mutu kokon (Lampiran 44 & 45) persentase kulit kokon yang dihasilkan untuk semua perlakuan pada penelitian ini termasuk kelas kokon B atau kelas kokon pertama. Persentase Filamen Persentase filamen merupakan faktor penting dalam penentuan harga kokon dan berkisar antara % (Atmosoedarjo et al 2000). Pada penelitian ini didapatkan rata-rata persentase filamen ±0.963 %. Persentase filamen yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis ulat, kondisi pemeliharaan, dan proses pengokonan (Kaomini & Andadari 2004). Katsumata (1964) menambahkan bahwa kualitas dan kuantitas murbei juga mempengaruhi persentase filamen yang dihasilkan. Seperti

6 15 halnya serat yang dihasilkan oleh hewan, filamen yang dihasilkan oleh ulat sutera tersusun atas rantai poliamida (Ghosh 2004). Berdasarkan susunan kimianya, serat sutera tersusun atas dua protein hewan, yaitu fibroin dan serisin. Fibroin meliputi ±75 % kandungan serat sutera dan serisin meliputi ±25 % (Samsijah & Andadari 1992). Berdasarkan Tabel 11, semua jenis murbei memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap persentase filamen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi terutama protein yang terdapat pada keempat jenis murbei tersebut relatif sama. Akan tetapi, kandungan protein paling tinggi terdapat pada daun M. cathayana sehingga persentase filamen yang dihasilkan juga paling tinggi jika dibandingkan dengan ketiga murbei lainnya. Hal ini sesuai dengan pengukuran sebelumnya bahwa rata-rata bobot kokon dan persentase kulit kokon yang dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan daun M. cathayana adalah paling besar. Sesuai dengan pernyataan Norati (1996) bahwa persentase kulit kokon dapat menggambarkan persentase serat atau filamen yang dapat diperoleh dari kokon. Samsijah dan Kusumaputera (1976) melaporkan bahwa ras Jepang yang diberi pakan daun murbei yang berbeda jenis menghasilkan persentase filamen yang berkisar antara %. Sedangkan pada penelitian Norati (1996) yang menggunakan ulat ras India dan Rusia menghasilkan rata-rata persentase filamen ±2.565 %. Sundari (1996) melaporkan bahwa ulat hasil persilangan murni ras Rusia menghasilkan rata-rata persentase filamen 11.96±1.62 % dan persilangan Rusia-Jepang menghasilkan 15.84±5.78 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini secara umum lebih baik dari pada penelitian sebelumnya karena ulat yang digunakan adalah ras hibrid yang memiliki keunggulan dari masing-masing tetuanya. SIMPULAN Berdasarkan pengujian secara statistik, perbedaan jenis murbei tidak memberikan perbedaan secara nyata terhadap banyaknya konsumsi pakan per ekor selama periode ulat kecil, daya tahan ulat ulat kecil dan besar, bobot tubuh ulat akhir instar V, persentase kokon yang dihasilkan, persentase kokon cacat, persentase kulit kokon, dan persentase filamen (P>0.05). Sedangkan perbedaan jenis murbei hanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah daun yang dikonsumsi selama periode ulat besar, bobot tubuh akhir instar III, dan bobot kokon rata-rata (P<0.05). Secara umum, jenis murbei yang paling baik digunakan selama periode ulat kecil adalah M. bombycis var. lembang. Jenis murbei ini memberikan nilai daya tahan dan bobot tubuh ulat akhir instar III paling baik diantara ketiga jenis murbei yang diujikan. Sedangkan jenis murbei yang paling baik digunakan selama periode ulat besar adalah M. cathayana. Jenis murbei ini menghasilkan nilai daya tahan, bobot kokon rata-rata, persentase produksi kokon, persentase kulit kokon, dan persentase filamen paling baik di antara ketiga jenis murbei lainnya. Selain itu, kedua jenis murbei tersebut memiliki kandungan nutrisi yang sesuai bagi pertumbuhan ulat sutera pada masingmasing fase pertumbuhan ulat. Pada studi ini, didapatkan data dengan kisaran yang luas. Hal ini disebabkan oleh kondisi suhu dan kelelembaban udara harian yang fluktuatif. SARAN Untuk melihat kestabilan kombinasi pakan yang diusulkan dari penelitian ini sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan pada jenis ulat dan ketinggian tempat yang berbeda. Untuk lebih mengoptimalkan kebutuhan pakan bagi ulat sutera sebaiknya dilakukan pemisahan kebun murbei yaitu, kebun yang diperuntukan khusus bagi ulat kecil (instar I-III) yang ditanami murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat kecil dan kebun yang diperuntukan khusus bagi ulat besar (instar IV-V) yang ditanami murbei yang sesuai untuk pertumbuhan ulat besar sehingga pemberian pakan dapat lebih mudah dan teratur. Untuk meningkatkan hasil produksi sutera alam, diharapkan pengelolaannya dilakukan secara terintegrasi yang melibatkan semua pihak. DAFTAR PUSTAKA Andadari L Pengenalan dan Penanganan Ulat Sutera. Hardjosworo PS, editor. Bogor: Departemen Pendidikan Nasional. Aryanti Kualitas kokon ulat sutera (Bombyx mori L.) dalam kuantitas pakan berbeda [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Oleh : Lincah Andadari

Oleh : Lincah Andadari POTENSI HIBRID ULAT SUTERA HARAPAN DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI SUTERA. Oleh : Lincah Andadari Kementerian Kehutanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat,

BAB I. PENDAHULUAN. yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan yang menghasilkan komoditi yang bernilai tinggi, mudah dilaksanakan, pengerjaannya relatif singkat, tidak memerlukan tempat luas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ulat sutera merupakan poikilotermis yaitu hewan berdarah dingin yang hidupnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban pemeliharaan ulat berkisar

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERSUTERAAN ALAM. UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT UPAYA PENINGKATAN KUALITAS MURBEI DAN KOKON ULAT SUTERA Bombyx mori L. DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TIM SUTERA BALITBANGHUT PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR 1 FAKTOR KEBERHASILAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ulat sutera merupakan serangga yang termasuk ke dalam Ordo Lepidoptera, yang mencakup semua jenis kupu dan ngengat. Ulat sutera adalah serangga holometabola,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGIS ULATSUTERA (Bombyx mori L.) DARI DUA SUMBER BIBIT DI SULAWESI SELATAN

ASPEK BIOLOGIS ULATSUTERA (Bombyx mori L.) DARI DUA SUMBER BIBIT DI SULAWESI SELATAN 10 ASPEK BIOLOGIS ULATSUTERA (Bombyx mori L.) DARI DUA SUMBER BIBIT DI SULAWESI SELATAN Biological Aspect of Silkworm (Bombyx Mori L.) from Two Seeds Resources in South Sulawesi Sitti Nuraeni dan Beta

Lebih terperinci

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA ULAT SUTERA UNGGULAN LITBANG TIM SUTERA PUSPROHUT BALITBANGHUT KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA Penggunaan salah satu bibit untuk kondisi pemeliharaan yang beragam (C301), BS09 jarang produksi

Lebih terperinci

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2

Lincah Andadari 1 dan Sri Sunarti 2 KUALITAS KOKON HASIL PERSILANGAN ANTARA ULAT SUTERA (Bombyx mory L.) RAS CINA DAN RAS JEPANG Quality of crossedbreed cocoon between Japanese and Chinese races silkworm (Bombyx mory L.) Lincah Andadari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN

Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN Jurnal Sainsmat, Maret 2012, Halaman 1-12 Vol. I, No. 1 ISSN 2086-6755 http://ojs.unm.ac.id/index.php/sainsmat Pemberian Jenis Murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana Terhadap Produksi Kokon Ulat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Persuteraan Alam Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han.

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Persilangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina

Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Persilangan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina Jurnal Peternakan Indonesia, 11(2):173-180, 2006 ISSN: 1907-1760 173 Kajian Pengaruh Bobot Kokon Induk Terhadap Kualitas Telur Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Ras Jepang Dengan Ras Cina Y. C. Endrawati 1),

Lebih terperinci

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori)

PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERANAN LITBANG dan INOVASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori) PERSUTERAAN ALAM MORIKULTUR SERIKULTUR Kebutuhan nasional benang sutera adalah 800 ton per tahun, sementara

Lebih terperinci

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN YOGYAKARTA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN MANFAAT PERSUTERAAN ALAM KPH

MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN MANFAAT PERSUTERAAN ALAM KPH MURBEI UNGGULAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN OLEH : SUGENG PUDJIONO LINCAH ANDADARI BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN YOGYAKARTA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

Penggunaan Pupuk Organik untuk Peningkatan Produktivitas Daun Murbei (Morus sp.) Sebagai Pakan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Penggunaan Pupuk Organik untuk Peningkatan Produktivitas Daun Murbei (Morus sp.) Sebagai Pakan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) JURNAL SILVIKULTUR TROPIKA Vol. 02 Desember 2011 Penggunaan Organik untuk Peningkatan Produktivitas Daun Murbei (Morrus sp.) 165 Vol. 02 No. 03 Desember 2011, Hal. 165 170 ISSN: 2086-8227 Penggunaan Organik

Lebih terperinci

MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA

MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA MENINGKATKAN HARGA JUAL KOKON dengan MEMELIHARA HIBRID BARU ULAT SUTERA opendekatan PERMASALAHAN PENGEMBANGAN SUTERA DI KHPH BOALEMO GORONTALO - USAHA TANI SUTERA ALAM MERUPAKAN SALAH SATU DARI BERBAGAI

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Devisi Persuteraan Alam Ciomas. Waktu penelitian dimulai dari Juni

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dilakukan secara terintegrasi oleh kelompok tani di Desa Pallis mulai dari pemeliharaan murbei sampai pertenunan.

Lebih terperinci

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 21 (3): 10-17 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON PENGARUH PEMBERIAN PAKAN MURBEI HIBRID TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS KOKON The Effect of Feeding of Mulberry Hybrid on the Productivity and the Quality of Cocoon of Silkworm Sugeng Pudjiono 1 ) dan

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis Murbei terhadap Produktivitas Kokon Dua Hibrid Ulat Sutera Bombyx mori L

Pengaruh Jenis Murbei terhadap Produktivitas Kokon Dua Hibrid Ulat Sutera Bombyx mori L Pengaruh Jenis Murbei terhadap Produktivitas Kokon Dua Hibrid Ulat Sutera Bombyx mori L The Effect of Mulberry Types on the Productivity of Cocoon of Two Bombyx mori L Silkworm Hybrids Lincah Andadari,

Lebih terperinci

Parameter yang Diamati:

Parameter yang Diamati: 3 Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asal dan Penyebaran Tanaman Murbei Usaha persuteraan alam merupakan suatu kegiatan agroindustri yang memiliki rangkaian kegiatan yang panjang. Kegiatan tersebut meliputi penanaman

Lebih terperinci

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost

Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost LAMPIRAN 67 Lampiran 1. Petunjuk instalasi dan penggunaan paket program Letulet melalui localhost Instalasi program letulet membutuhkan seperangkat PC dengan speksifikasi minimal sebagai berikut : 1. Satu

Lebih terperinci

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) TINJAUAN PUSTAKA Sutera Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya keistimewaan kain sutera antara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN

PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN PENGENDALIAN HAMA dan PENYAKIT ULAT SUTERA I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi kokon. Kerusakan yang disebabkan

Lebih terperinci

Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 165; Telp , ; Fax Bogor

Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 165; Telp , ; Fax Bogor PENGARUH PUPUK LAMBAT LARUT DAN DAUN TANAMAN MURBEI BERMIKORIZA TERHADAP KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Effect of Slow Release Fertilizer and Leaf of Mulberry Inoculated with Mycorrhiza to Cocoon Quality

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL

PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL PERTUMBUHAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HIBRID BARU DAN JENIS KOMERSIAL SKRIPSI NUR INDAWATI HIDAYAH DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Lebih terperinci

Topik 4. Ulat Sutera. Buku Seri Iptek V Kehutanan

Topik 4. Ulat Sutera. Buku Seri Iptek V Kehutanan Topik 4 Ulat Sutera 20. Budidaya Murbei... 68 21. Budidaya Ulat Sutera... 72 22. Murbei Unggul SULI-01... 76 23. Penanganan Kokon... 80 24. Prospek dan Tantangan Pengusahaan Sutera Alam 84 Indonesia...

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

PERSUTERAAN ALAM SIFAT SIFAT UMUM TANAMAN MURBEI. Koleksi 32 jenis murbei KHDT Dramaga

PERSUTERAAN ALAM SIFAT SIFAT UMUM TANAMAN MURBEI. Koleksi 32 jenis murbei KHDT Dramaga PEMELIHARAAN ULAT SUTERA PERSUTERAAN ALAM TIM SUTERA BALITBANG LINGKUNGAN DAN KEHUTANAN MORIKULTUR SERIKULTUR Koleksi 32 jenis murbei KHDT Dramaga 8/21/2015 KEUNGGULAN BADAN LITBANG KEHUTANAN HIBRID SULI

Lebih terperinci

n J enis il h hon t f

n J enis il h hon t f t a p e C k i id S Pemilihan Jenis Pohon Hut a n R a k y a t IPTEK Inovatif 4 i H rid BS-08 dan BS-09 Bibit Ulat Sutera ( B ombyx mori L.) Berkualitas Sistem Paku Berpori (SIMPORI) untuk Inokulasi Gaharu

Lebih terperinci

UJI COBA HIBRID MORUS KHUNPAI DAN M. INDICA SEBAGAI PAKAN ULAT SUTERA (Bombyx mory Linn.)

UJI COBA HIBRID MORUS KHUNPAI DAN M. INDICA SEBAGAI PAKAN ULAT SUTERA (Bombyx mory Linn.) Available online at www.jurnal.balithutmakassar.org Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea eissn: 2407-7860 Ujicoba Hibrid Morus Khunpai dan pissn: M. Indica 2302-299X... Vol.4. Nurhaedah Issue 2 Muin, (2015)

Lebih terperinci

KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG SECARA RESIPROKAL SKRIPSI ROFIKA ROCHMAWATI

KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG SECARA RESIPROKAL SKRIPSI ROFIKA ROCHMAWATI KUALITAS KOKON HASIL SILANGAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) RAS CINA DENGAN RAS JEPANG SECARA RESIPROKAL SKRIPSI ROFIKA ROCHMAWATI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan perkembangan pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN

PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 2 No. 2, Agustus 2015: 129-136 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN 1* 2 3 Jun Harbi,

Lebih terperinci

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan dari bulan

Lebih terperinci

BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI

BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI BUDIDAYA ULAT SUTERA DAN PRODUKSI BENANG SUTERA MELALUI SISTEM KEMITRAAN PADA PENGUSAHAAN SUTERA ALAM (PSA) REGALOH KABUPATEN PATI Eka Dewi Nurjayanti Staff Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Wahid

Lebih terperinci

Oleh/ by: Abd. Kadir., Bugi K. Sumirat ABSTRACT ABSTRAK. Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makasar, Sulawesi Selatan.

Oleh/ by: Abd. Kadir., Bugi K. Sumirat ABSTRACT ABSTRAK. Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makasar, Sulawesi Selatan. ANALISIS BIAYA DAN PENDAPATAN PETANI SUTERA PADA BEBERAPA TEKNIK PEMELIHARAAN ULAT SUTERA DI KABUPATEN SOPPENG (Cost and income contribution analysis on cocoon farming that apply various technique in silk-worm

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAUN MURBEI (Kanva-2) DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HENDRA EKO SUTEJA

PENGARUH PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAUN MURBEI (Kanva-2) DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HENDRA EKO SUTEJA PENGARUH PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI DAUN MURBEI (Kanva-2) DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) HENDRA EKO SUTEJA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN ULAT SUTERA

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN ULAT SUTERA ANALISIS KELAYAKAN USAHA PETERNAKAN ULAT SUTERA (Studi Kasus pada Peternakan Ulat Sutera Bapak Baidin, Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor) SKRIPSI MADA PRADANA H34051579 DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data impor ekspor benang sutera mentah Tahun Bulan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. MODEL PERENCANAAN PENDIRIAN AGROINDUSTRI SUTERA ALAM 1. Model Analisis Prakiraan Permintaan Benang Sutera Mentah Model analisis prakiraan permintaan benang sutera mentah digunakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan perkembangan pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging, I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Ras Pedaging Menurut Indro (2004), ayam ras pedaging merupakan hasil rekayasa genetik dihasilkan dengan cara menyilangkan sanak saudara. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS DAUN MURBEI Morus multicaulis TERHADAP INDEKS NUTRISI ULAT SUTERA Bombyx mori L. (LEPIDOPTERA:BOMBICIDAE)

PENGARUH KUALITAS DAUN MURBEI Morus multicaulis TERHADAP INDEKS NUTRISI ULAT SUTERA Bombyx mori L. (LEPIDOPTERA:BOMBICIDAE) PENGARUH KUALITAS DAUN MURBEI Morus multicaulis TERHADAP INDEKS NUTRISI ULAT SUTERA Bombyx mori L. (LEPIDOPTERA:BOMBICIDAE) Maya Murni Chaniago 1, Masitta Tanjung 2, dan Nursal 2 1 Mahasiswa Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nama ilmiah tanaman murbei adalah Morus spp merupakan genus dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nama ilmiah tanaman murbei adalah Morus spp merupakan genus dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Murbei (Morus alba) Nama ilmiah tanaman murbei adalah Morus spp merupakan genus dari family Moraceae. Pada umumnya tanaman murbei dikaitkan dengan budidaya ulat sutera untuk produksi

Lebih terperinci

A. Malsari Kharisma Alam, A.Amidah A., Sitti Nurani S 83

A. Malsari Kharisma Alam, A.Amidah A., Sitti Nurani S 83 A. Malsari Kharisma Alam, A.Amidah A., Sitti Nurani S 83 PERAN PEREMPUAN PADA USAHA PERSUTERAAN ALAM DI DESA PISING KECAMATAN DONRI-DONRI KABUPATEN SOPPENG A. Malsari Kharisma Alam 1), A. Amidah Amrawaty

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pengembangan persuteraan alam nasional terutama

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Persuteraan Alam Ulat Sutera ( Bombyx mori L.) Biologi dan fisiologi

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Persuteraan Alam Ulat Sutera ( Bombyx mori L.) Biologi dan fisiologi TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Persuteraan Alam Masyarakat yang pertama kali melaksanakan kegiatan budidaya ulat sutera adalah masyarakat negeri Cina. Khususnya pada Zaman Dinasti Han (2500 SM), sudah dikenal

Lebih terperinci

Sutera Alam. Sri Mulyati

Sutera Alam. Sri Mulyati Sri Mulyati 48 Bab 6 Potret Sutera Alam Sejarah dan Perkembangan di Indonesia Sutera alam merupakan serat yang dihasilkan dari kepompong atau kokon larva kupu-kupu Bombyx mori hasil budidaya, yang telah

Lebih terperinci

STUDI PENAMPILAN PRODUKSI ULAT SUTERA F1 HIBRID HASIL PERSILANGAN RAS JEPANG DAN RAS CINA YANG BERASAL DARI PUSAT PEMBIBITAN SOPPENG DAN TEMANGGUNG

STUDI PENAMPILAN PRODUKSI ULAT SUTERA F1 HIBRID HASIL PERSILANGAN RAS JEPANG DAN RAS CINA YANG BERASAL DARI PUSAT PEMBIBITAN SOPPENG DAN TEMANGGUNG STUDI PENAMPILAN PRODUKSI ULAT SUTERA F1 HIBRID HASIL PERSILANGAN RAS JEPANG DAN RAS CINA YANG BERASAL DARI PUSAT PEMBIBITAN SOPPENG DAN TEMANGGUNG Nur Cholis Bagian Produksi Ternak, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ulat Sutera Ulat sutera adalah serangga yang memiliki keuntungan ekonomis bagi manusia karena mampu menghasilkan benang sutera. Menurut Boror et al.,(1992), klasifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan susunan asam amino lengkap. Secara umum telur ayam ras merupakan

I. PENDAHULUAN. dengan susunan asam amino lengkap. Secara umum telur ayam ras merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Telur ayam ras merupakan bahan pangan yang mengandung protein cukup tinggi dengan susunan asam amino lengkap. Secara umum telur ayam ras merupakan pangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pembibit Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock dan merupakan hasil pemeliharaan dengan metode perkawinan tertentu pada peternakan generasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nama ilmiah murbei adalah Morus spp terdapat kira-kira 68 spesies dari

TINJAUAN PUSTAKA. Nama ilmiah murbei adalah Morus spp terdapat kira-kira 68 spesies dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Murbei Nama ilmiah murbei adalah Morus spp terdapat kira-kira 68 spesies dari genus Morus. Mayoritas dari spesies ini terdapat di Cina (24 spesies) dan Jepang (19 spesies).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sutera ditemukan di Cina sekitar 2700 sebelum Masehi dan teknologi budidayanya masih sangat dirahasiakan pada masa itu. Perkembangan dan persebarannya dimulai dari benua

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pemberian pakan menggunakan bahan pakan sumber protein berbeda pada ayam lokal persilangan selama 2 10 minggu dilaksanakan pada bulan November 2016 sampai

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HIBRID ULAT SUTERA ( Bombyx mori L.) ASAL CINA DENGAN HIBRID LOKAL DI SULAWESI SELATAN

PERBANDINGAN HIBRID ULAT SUTERA ( Bombyx mori L.) ASAL CINA DENGAN HIBRID LOKAL DI SULAWESI SELATAN Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 11 No. 3, Desember 2014: 173183 ISSN: 18296327 Terakreditasi No.: 482/AU2/P2MILIPI/08/2012 PERBANDINGAN HIBRID ULAT SUTERA ( Bombyx mori L.) ASAL CINA DENGAN HIBRID

Lebih terperinci

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi

Lebih terperinci

Briefing Praktikum MANAJEMEN PRODUKSI TERNAK NON RUMINANSIA KOMODITI ULAT SUTERA Semester Ganjil 2016/2017

Briefing Praktikum MANAJEMEN PRODUKSI TERNAK NON RUMINANSIA KOMODITI ULAT SUTERA Semester Ganjil 2016/2017 Briefing Praktikum MANAJEMEN PRODUKSI TERNAK NON RUMINANSIA KOMODITI ULAT SUTERA Semester Ganjil 2016/2017 Dosen Pendamping dan Asisten Praktikum 1. Ir. Nur Cholis, M.Si. 2. Dinda Rosalita A. 3. Eka Prasetyawati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY

PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG SKRIPSI ACHMAD SUBANDY PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DOI. Lincah Andadari, 1 Rosita Dewi, 2 dan Sugeng Pudjiono Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu 5 Bogor.

DOI. Lincah Andadari, 1 Rosita Dewi, 2 dan Sugeng Pudjiono Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu 5 Bogor. Widyariset Vol. 2 No. 2 (2016) Hlm. 96-105 Uji Adaptasi Lima Tanaman Murbei Hibrid Baru untuk Meningkatkan Produktivitas Persutraan Alam Adaptation Test of Mulberry s Five New Hybrids to Improve Natural

Lebih terperinci

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG

TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Tipologi Usaha Sutera Alam di Kecamatan... Nurhaedah dan Wahyudi Isnan TIPOLOGI USAHA SUTERA ALAM DI KECAMATAN DONRI- DONRI KABUPATEN SOPPENG Nurhaedah Muin * dan Wahyudi Isnan Balai Litbang Lingkungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Telur Tetas Itik Rambon Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor dengan jumlah itik betina 42 ekor dan itik jantan 6 ekor. Sex ratio

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Januari 11 hingga Juni 11. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium lapang University Farm Sukamantri, Labolatorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Burung Puyuh Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa burung liar yang mengalami proses domestikasi. Ciri khas yang membedakan burung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

DASAR PEMELIHARAAN ULAT SUTERA

DASAR PEMELIHARAAN ULAT SUTERA DASAR PEMELIHARAAN ULAT SUTERA Persiapan Pemeliharaan 1. Sebelurn dilakukan pemeliharaan, terlebih dahulu harus diperhatikan halhal berikut:. Ruangan dan peralatan yang diperlukan harus sudah dipersiapkan

Lebih terperinci

( Silkworm Rearing at Sudu Village, Alla District, Enrekang Regency, South Sulawesi)

( Silkworm Rearing at Sudu Village, Alla District, Enrekang Regency, South Sulawesi) BUDIDAYA ULAT SUTERA DI DESA SUDU, KECAMATAN ALLA, KABUPATEN ENREKANG, SULAWESI SELATAN ( Silkworm Rearing at Sudu Village, Alla District, Enrekang Regency, South Sulawesi) Nurhaedah M. dan/ and Achmad

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA PRODUKSI USAHA PERSUTERAAN ALAM: STUDI KASUS DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR SULAWESI BARAT DAN KABUPATEN ENREKANG SULAWESI SELATAN RENATO

ANALISIS BIAYA PRODUKSI USAHA PERSUTERAAN ALAM: STUDI KASUS DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR SULAWESI BARAT DAN KABUPATEN ENREKANG SULAWESI SELATAN RENATO ANALISIS BIAYA PRODUKSI USAHA PERSUTERAAN ALAM: STUDI KASUS DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR SULAWESI BARAT DAN KABUPATEN ENREKANG SULAWESI SELATAN RENATO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai

Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai VARIETAS ANJASMORO KABA SINABUNG No. Galur MANSURIAV395-49-4 MSC 9524-IV-C-7 MSC 9526-IV-C-4 Asal Seleksi massa dari populasi Silang ganda 16 tetua Silang ganda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hardware Sistem Kendali Pada ISD Pada penelitian ini dibuat sistem pengendalian berbasis PC seperti skema yang terdapat pada Gambar 7 di atas. Pada sistem pengendalian ini

Lebih terperinci