HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sejarah Kelompok Tani Catur Makaryo Kelompok Tani Catur Makaryo merupakan kelompok usaha pertanian yang memiliki peranan penting dalam pengembangan dan kemajuan pertanian di desa Imogiri, Yogyakarta. Kelompok tani ini menjadi tempat bagi para petani berbagi informasi dan pengalaman, serta bekerjasama dalam rangka mensejahterakan desa. Kelompok ini bernama Catur Makaryo yang dalam bahasa Jawa berarti empat pihak yang berusaha. Empat pihak tersebut adalah: Dusun Karang Tengah, Dusun Karang Rejek, Kesultanan Yogyakarta dan Perusahaan Yarsilk. Kelompok Tani Catur Makaryo yang terbentuk tahun 2006 ini diketuai oleh Bapak Sogiyanto. Jumlah anggota petani yang tergabung dalam kelompok tani catur makaryo kurang lebih 300 anggota petani, namun tidak semuanya menjadi anggota aktif. Gambar 4. (a). Papan Nama Sekretariat Kelompok Tani Catur Makaryo, (b). Penunjuk Arah Desa Wisata yang Menjadi Salah Satu Program Kelompok Tani Catur Makaryo Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani ini diantaranya adalah pelatihan, penyuluhan dari pemerintah dan perusahaan swasta, rapat bersama serta kegiatan simpan pinjam. Selain itu beberapa keluarga petani menyediakan home stay bagi wisatawan yang ingin menginap dan menikmati suasana desa. Sebanyak kurang lebih 300 petani mendapat bantuan dari Sultan berupa penyediaan lahan seluas m 2 tiap petani. Lahan tersebut hanya boleh digunakan untuk pertanian dengan status hukum kepemilikan lahan tetap milik 14

2 sultan. Petani dibebaskan dalam menanam komoditi pertanian, namun sejak tahun 2006 petani secara serentak menanam pohon jambu mete sebagai komoditas utama. Pohon jambu mete ini dimanfaatkan terutama untuk penghasil kacang mete. Selain itu juga dihasilkan sirup dari buah jambu mete dan bahan pewarna alami. Saragih dan Haryadi (2003), juga menyatakan tanaman jambu mete tergolong tanaman yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan meliputi buah sejatinya menghasilkan kacang mete, buah semu dapat diolah menjadi aneka makanan dan minuman termasuk diantaranya adalah cuka, kulit biji yang menghasilkan minyak laka yang digunakan berbagai industri, kulit ari jambu mete yang dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak yang bergizi tinggi, kulit kayu jambu mete yang dapat digunakan sebagai bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna, akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut, daun jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, sedangkan daun yang tua dapat dimanfaatkan sebagai obat luka bakar. Pohon jambu mete inilah yang menjadi media hidup ulat sutera emas C. trifenestrata. Ulat sutera ini belum populer dibudidayakan (diternakan di dalam kandang). Petani/masyarakat pada umumnya menganggap ulat ini sebagai hama yang seringkali dibasmi. Hal berbeda ditemukan di Imogiri, petani justru membiarkan ulat ini hidup liar di kebun jambu mete mereka. Petani Catur Makaryo (Imogiri) menyadari ulat ini memiliki nilai ekonomis ketika kokonnya dikumpulkan dan dijual. Petani di kelompok tani Catur Makaryo pun mendapat tambahan penghasilan dari usaha sampingan mereka mengumpulkan kokon. Lokasi Kelompok Tani Lokasi kelompok tani Catur Makaryo berada di desa Karang Tengah, Kecamatan Imogiri, Yogyakarta. Kecamatan Imogiri memiliki luas wilayah 5.448,69 ha. Desa Karang Tengah memiliki luas wilayah 287,77 ha yang terdiri atas lahan sawah seluas 115,70 ha dan lahan kering seluas 34,62 serta bangunan pekarangan seluas 75,84 ha dan 61,61 ha lahan lainnya. Wilayah Kecamatan Imogiri sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pleret dan Jetis, Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dlingo, Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Panggung Kabupaten Gunungkidul, Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Jetis dan Pundong (Imogiri Dalam Angka, 2010). 15

3 Desa Imogiri termasuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara 0,2-440,1 mm yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Suhu udara rata-rata di Yogyakarta tahun 2000 menunjukkan angka 26,2 o C dengan suhu maksimum 35 o C dan suhu minimum 20 o C. Kelembaban udara tercatat 31%-97%, tekanan udara antara 1.006, ,3 mb, dengan arah angin antara derajat dengan kecepatan angin antara 01 sampai dengan 30 knot (BMKG, 2010). Struktur Organisasi Susunan kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo terdiri atas delapan orang pengurus inti organisasi dari kurang lebih 40 orang anggota. Anggota kelompok tani ini adalah petani jambu mete yang ada di dusun Karang Tenggah dan Karang Rejek. Ketua H.Sogiyanto Sekretaris Bahroni Bendahara Juwahir Humas Jazimah Budidaya Tanamana Badarudin Pengendalian Hama Wiyono Pemasaran Barowi Keamanan Jumadi Gambar 5. Susuan Kepengurusan Kelompok Tani Catur Makaryo Habitat Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Suplai makanan yang cukup merupakan salah satu syarat mutlak bagi pertumbuhan dan perkembangan populasi serangga. Unsur-unsur yang menentukan dalam hal faktor makanan secara keseluruhan adalah kuantitas dan kualitas. Kuantitas atau banyak sedikitnya suplai makanan sangat mempengaruhi dan menentukan besarnya populasi sejenis hama serangga. Kualitas makanan menentukan tahap perkembangan populasi serangga karena gizi makanan 16

4 berpengaruh terutama pada pertumbuhan, perkembangan, kesuburan dan mortalitas (Patton, 1963 dalam Cit Manueke, 1990). Tanaman yang biasa menjadi pakan ulat sutera emas C. trifenestrata ada tiga, di antaranya daun jambu mete, daun kedondong dan daun alpukat. Situmorang (1996) menyatakan bahwa C. trifenestrata menyerang pohon jambu mete, alpukat, mangga, kenari, kedondong, kayu manis dan lain-lain. Tanaman yang diserang tidak akan mengakibatkan kematian pada pohon, tetapi tanaman akan tetap tumbuh dan bertunas kembali. Kualitas warna kokon dari daun jambu mete lebih kuning emas dibandingkan pada pohon alpukat. Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi UGM Yogyakarta (2000) menemukan larva yang diberi pakan buatan menggunakan daun jambu mete pada seluruh mete menghasilkan kokon kuning keemasan. Sedangkan larva yang diberi pakan buatan menggunakan daun kedondong pada seluruh instar menghasilkan kokon putih kekuningan. Ulat sutera emas C. trifenestrata yang terdapat pada perkebunan kelompok tani Catur Makaryo baru dapat memakan daun jambu mete pada usia pohon minimal 2-3 tahun. Total luas lahan 55 ha lahan pertanian di daerah Imogiri, baru sekitar 12 ha yang digunakan untuk budidaya ulat sutera emas. Khan (1991) menyebutkan dari hasil studi terhadap C.trifenestrata pada pohon mangga, ulat sutera ini menghabiskan waktu selama hari untuk menyelesaikan satu kali daur hidup secara lengkap. Ulat sutera C.trifenestrata memiliki lima instar, dimana ketika memasuki instar ke 4 dan ke 5, larva dapat menyebabkan sebagian atau seluruh daun tanaman tersebut habis. Studi Laboratorium menurut Ali (1991) C.trifenestrata membutuhkan waktu hari dalam satu siklus hidup lengkap dengan rata-rata periode larva 41 hari dan pupa 26 hari pada temperature 25 0 C serta kelembaban relative sebesar 70% RH. Larva akan berkompetisi dalam mendapatkan pakan dan tempat untuk mengokon, hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya larva yang mati dan gagal dalam mencapai stadium pupa. Ulat sutera C.trifenestrata bersifat poikiloterm. Suhu tubuh sesuai dengan temperature di lingkungan eksternal (Guang, 1988). Suhu yang tidak menghalanghalangi pertumbuhan ulat itu ialah berkisar 20 0 C sampai 28 0 C. Di luar suhu itu baik lebih rendah ataupun lebih tinggi, ulat sutera sulit untuk bisa hidup dengan sehat. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan ulat menjadi terlalu pesat dan 17

5 sebaliknya bila terlalu rendah menjadi lambat pertumbuhannya. Hal ini menimbulkan gangguan keseimbangan daur siklus ulat. Pemilihan daerah yang suhunya cocok untuk pertumbuhan larva menjadi pertimbangan yang sangat penting (Katsumata, 1964). Kelembaban yang paling cocok untuk kesehatan larva ialah 75%. Larva muda lebih tahan terhadap kelembaban yang tinggi. Namun bagi larva dewasa kelembaban udara yang tinggi dapat melemahkan kesehatannya dan menimbukan gangguan (Katsumata, 1964). Kelembaban udara yang terlalu tinggi menyebabkan bibit penyakit (mikroorganisme) berkembang biak dengan subur sehingga larva mudah terkena penyakit. Ulat sutera tidak menyukai keadaan yang terlalu terang ataupun terlalu gelap, tetapi lebih suka kepada keadaan cahaya lemah (15-30 lux). Larva di dalam keadaan terang lebih aktif bergerak dibandingkan dengan keadaan gelap, ulat-ulat tersebut cepat naik ke bagian atasa daun. Keadaan pemeliharaan yang selalu gelap dan selalu terang kurang baik (Katsumata, 1994). Klasifikasi Cricula Trifenestrata Berikut adalah klasifikasi taksonomi C. trifenestrata: Kingdom : Animalia Filum : Anthropoda Kelas : Insekta Ordo : Lepidoptera Sub Ordo : Ditrysia Superfamili : Bombycoidea Famili : Saturniidae Sub Famili : Saturniinae Genus : Cricula Spesies : Cricula Trifenestrata Helf. (Stehr, 1987) Ada tujuh sub spesies C. trifenestrata, yaitu: C. trifenestrata, C. agrioides, C. Serama, C. Treadauayi, C. Kransi, (Akai, 2000a), C. Javana (Herausgeber, 1996; Akai, 2000), dan C. tenggaraensis (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Kalshoven (1981), Akai (2000) dan Kato et al. (2000) menyebutkan ngengat ini terdistribusi di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Lima diantara tujuh sub spesies Cricula trifenestrata 18

6 Helf terdistribusi di Indonesia, yaitu: C. trifenestrata, C. Serama, C. Kransi, (Akai, 2000), C.javana (Herausgeber, 1996; Akai, 2000), dan C. tenggaraensis (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Strain ngenggat yang ada di Maluku mempunyai kokon 1,5 kali lebih besar dibandingkan kokon yang ada di jawa (Kalshoven, 1981). Pengusahaan Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) Basarkan 21 responden yang diwawancara, sebagian besar responden bermata pencaharian pokok sebagai buruh pertanian (29,17 %) dan jasa (25,00 %) sedang sisanya sebagai pedagang (16,67 %), usaha industri (8,33 %) serta usaha perkebunan, usaha pertanian, pegawai negeri sipil (PNS), karyawan dan pensiunan masing-masing 4,17 %. Pengusahaan ulat sutera emas C. trifenestrata umumnya hanya merupakan mata pencaharian sambilan. Tabel 2. Distribusi Petani Berdasarkan Profesi Utama Profesi Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%) Perdagangan 4 16,67 Jasa 6 25,00 Buruh pertanian 7 29,17 Usaha Industri 2 8,33 Usaha Perkebunan 1 4,17 Usaha Pertanian 1 4,17 PNS 1 4,17 Karyawan 1 4,17 Pensiunan 1 4,17 Total ,00 Keseluruhan petani yang menjadikan pendapatan dari kokon ulat sutera emas sebagai pendapatan sampingan menunjukkan usaha pemanfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata tidak memerlukan energi dan waktu yang besar. Beberapa petani bahkan memiliki pekerjaan utama lebih dari satu. Pekerja wanita hanya satu dari 21 responden petani pengumpul kokon ulat sutera emas dalam keanggotaan Catur Makaryo. Alokasi waktu yang diberikan petani dalam usaha pemanfaatan kokon ulat sutera ini hanya saat proses pengumpulan kokon yang telah siap panen dari pohon dan pembersihan kokon sebelum dijual. Petani tidak melakukan pengontrolan terhadap pakan untuk ulat karena biasanya ulat akan mencari sendiri pohon disekitarnya jika pohon awal yang ditempati telah gundul daun-daunnya. 19

7 Tabel 3. Distribusi Petani Berdasarkan Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%) 1-2 orang 4 19,05 3 orang 9 42,86 4 orang 7 33,33 5 orang 1 4,76 Total ,00 Jumlah petani sebanyak 42,86 % mempunyai tanggungan tiga orang anggota keluarga. Kemudian, 33,33 % petani memiliki tanggungan sejumlah empat orang anggota keluarga. Tanggungan petani yang cukup banyak menjadikan aspek penghasilan tambahan penting bagi petani. Luas lahan yang dimiliki petani pengumpul kokon ulat sutera emas rata-rata m 2. Sebagian besar petani memilik luas lahan m 2 atau m 2, hanya satu orang yang memiliki luas lahan sampai m 2. Walaupun luasan lahan yang dimiliki petani hampir sama, namun jumlah pohon jambu mete yang dimiliki petani cukup bervariasi, mulai dari 25 batang sampai 210 batang. Hal ini karena tidak semua petani menanami lahan yang mereka miliki dengan pohon jambu mete. Sebagian petani menjadikannya sebagian lahannya sebagai lahan tumpang sari yang berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan sandang pangannya sehari-hari. Tabel 4. Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Pohon Jumlah pohon Jumlah Petani (orang) Persentase Petani (%) , , , ,76 Total ,00 Persentase petani yang memiliki jumlah pohon paling banyak (25-50 batang pohon) sebesar 42,86 %. Artinya, mayoritas petani yang berjumlah 42,86 % memiliki pohon jambu mete berkisar antara batang pohon. Sedangkan 4,76% petani memiliki batang pohon. Rata-rata petani memiliki jumlah pohon kurang lebih 79 batang pohon. Lahan yang digunakan oleh petani pengumpul kokon ulat sutera emas merupakan lahan milik kesultanan keraton Jogja yang diserahkan pada rakyat untuk dijadikan lahan produktif. Petani tidak dibebani dengan biaya sewa ataupun pajak. Pihak Kesultanan Keraton mempersilahkan menggunakan lahan untuk pertanian. 20

8 Petani hanya dapat mengelola dalam bentuk pertanian dan tidak dapat mendirikan rumah di lahan tersebut. Hal ini yang membuat luasan lahan yang dipakai petani luasnya hampir sama satu sama lain. Hampir semua petani pengumpul kokon ulat sutera emas yang diwawancarai pernah mengalami setidaknya satu kali panen kokon sutera emas. Pemanenan berkisar pada bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Jumlah kokon sekali panen berkisar antara 0,5-10 ons. Tabel 5.Distribusi Petani Berdasarkan Jumlah Panen Kokon Jumlah Panen Kokon Jumlah Petani Persentase Petani (%) 0,5-3 ons 11 52,38 4-7ons 5 23, ons 5 23,81 Total ,00 Kurang intensifnya penggarapan lahan diduga disebabkan oleh mengelompoknya tenaga kerja di bawah umur 25 tahun (Tabel 6) yang cenderung kurang tertarik pada pekerjaan menggarap lahan pertanian. Tabel 6. Penduduk Desa Karang Tengah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Akhir Tahun 2009 Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah (1) (2) (3) (4) Kecamatan / District

9 Hasil wawancara dengan salah satu petani pengelola kebun menunjukkan bahwa ulat sutera C. trifenestrata tidak memberikan efek buruk pada tanaman. Pohon jambu mete yang daun-daunnya habis dimakan ulat sutera C. trifenestrata tidak mati, namun pohon akan kembali bersemi. Saragih dan Haryadi (2003) menyatakan bahwa tanda tanaman jambu mete diserang oleh hama ulat kipat (Cricula trifenestrata) adalah daun-daun yang tidak utuh dan terdapat bekas gigitan. Bahkan pada serangan yang hebat daun dapat habis sama sekali, tetapi tidak menyebabkan tanaman mati. Buah jambu mete hasil panen dari pohon yang diserang ulat sutera C. trifenestrata justru memiliki kualitas yang lebih baik. Buah menjadi lebih besar dan mengkilap. Jika ulat menyerang daun saat musim berbuah atau berbunga, mungkin hal ini akan mempengaruhi pada penurunan produktivitas. Hal ini karena ulat bisa ikut memakan bunga dan daun ataupun keberadaan ulat yang memakan habis daun-daun akan mengganggu proses fotosintesis. Kenyataan di lapang menunjukkan keberadaan ulat ini tidaklah terus menerus ada di pohon jambu mete. Kedatangan ulat ini hanya di musim-musim tertentu dimana biasanya terjadi saat sebelum musim berbunga pohon jambu mete. Peralihan musim penghujan ke musim kemarau, sekitar bulan Februari-Maret dan Juli-Agustus merupakan bulan kedatangan ulat. Ulat yang menyerang tanaman bukan saat musim berbunga atau berbuah akan menjadikan tanaman dapat tetap beproduksi secara optimal. Sehingga keberadaan ulat ini bukan hama bagi petani. Petani justru diuntungkan dengan keberadaan ulat sutera C. trifenestrata di tanaman jambu mete mereka. Selain kualitas buah menjadi lebih baik, petani juga menjadi lebih hemat dalam penggunaan pestisida. Pestisida yang digunakan oleh petani Catur Makaryo tidak sebanyak penggunaan pestisida pada tanaman jambu mete pada umumnya. Pestisida yang digunakan petani hanya pestisida yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah daerah. Sistem Produksi Sistem produksi adalah bagian dari manajemen operasional. Kata produksi secara umum dapat diartikan sebagai proses membuat suatu produk dari berbagai bahan lain. Sedangkan arti sistem adalah method of planning atau cara merencanakan yang berkaitan dengan membuat produk. Proses kegiatan yang mengubah bahan baku menjadi bahan lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi disebut proses 22

10 produksi. Proses produksi adalah kegiatan-kegiatan memproses pengolahan input menjadi output (Pawirosentono, 2007). Hal ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 6. Input Proses Output Ulat Sutera C. trifenestrata Kebun jambu mete Kokon di bersihkan Kokon dan pupa dipisahkan Kokon siap dipakai Pupa siap pakai Ulat yang telah menjadi kokon Kokon dikumpulkan Pupuk organik Peralatan (gunting, keranjang, timbangan) Kotoran ulat Gambar 6. Kegiatan Satu Tahap Proses Produksi Sistem produksi merupakan proses transformasi nilai tambah dari input yang mana menjadi output yang melibatkan komponen struktural dan fungsional yang berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional (Gaspersz, 2005). Komponen struktural dari system produksi adalah bahan baku, mesin dan peralatan, tenaga kerja, modal, energi, informasi, tanah, dan lain-lain. Sedangkan komponen fungsional adalah supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi, kepemimpinan, dan semua yang berhubungan dengan manajemen dan organisasi. Suatu sistem produksi akan selalu berada pada suatu lingkungan, sehingga aspek-aspek lingkungan seperti perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah dan sosial ekonomi akan mempengaruhi sistem produksi. Input Alat-alat yang digunakan dalam proses pembudidayaan kokon ulat sutera emas C.trifenestrata meliputi keranjang, timbangan, gunting, dan karung. Jumlah keranjang yang biasa dimiliki petani berkisar 1-2 buah per keluarga petani. Rata-rata petani memiliki dua buah gunting, satu timbangan dan 4 buah karung. Alat-alat 23

11 tersebut merupakan alat-alat yang sama yang digunakan petani dalam memelihara jambu mete. Pada proses produksi kokon, alat-alat tersebut hanya digunakan saat proses pemanenan kokon ulat sutera emas tiba. Sistem pemanfaatan kepompong yang diadopsi kelompok tani Catur Makaryo Imogiri merupakan budidaya yang mengedepankan ekosistem alami, sehingga ulat dibiarkan hidup secara liar di pohon-pohon jambu mete milik petani. Sehingga bisa dikatakan petani tidak mengeluarkan biaya peralatan untuk pembudidayaan (secara liar) ulat sutera emas C.trifenestrata. Petani di daerah Imogiri hanya mengandalkan air hujan untuk menunjang keberlangsungan hidup pohon jambu mete. Pohon yang menjadi bahan makanan ulat ini tumbuh subur di perkebunan kelompok tani catur makaryo. Pemanfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata yang dianggap sebagai hama justru berdampak positif bagi budidaya jambu mete itu sendiri. Pemanfaatan ulat sutera emas yang dikumpulkan kokonnya oleh petani menjadikan penggunaan insektisida lebih berkurang. Insektisida hanya digunakan saat pohon jambu mete yang di umur 2-3 tahun belum dihinggapi/dimakan oleh ulat sutera emas dibandingkan jika pada kondisi normal, petani biasanya menggunakan insektisida 2-3 kali. Proses Petani-petani yang tergabung dalam kelompok tani Catur Makaryo memanfaatkan limbah kokon ulat sutera emas C. trifenestrata yang secara liar terdapat di kebun jambu mete milik mereka. Secara umum mereka tidak menerapkan perlakuan secara khusus, petani hanya memanfaatkan kepompong yang secara alami hidup pada pohon jambu mete untuk dikumpulkan dan dijual. Ulat C. trifenestrata dibiarkan hidup ada pohon-pohon jambu mete milik mereka, sehingga petani mendapatkan penghasilan tambahan selain dari penghasilan utama jambu mete sendiri. Tanaman jambu mete yang diserang oleh ulat sutera C. trifenestrata tidak akan mengakibatkan kematian pada pohon, pohon akan tetap tumbuh dan bertunas kembali. Buah yang dihasilkan dari pohon yang diserang ulat ini justru lebih baik dibandingkan buah yang dihasilkan dari pohon yang tidak diserang ulat C. trifenestrata. Buah menjadi lebih besar dan mengkilap. 24

12 Pada proses pembudidayan ulat C.trifenestrata, petani Imogiri masih suka dengan membiarkan ulat-ulat ini liar di alam secara alami, bukan dengan pengelolaan yang intensif. Bibit ulat datang dengan sendirinya pada musim-musim tertentu. Biasanya terjadi saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, yaitu sekitar bulan Februari-Mei dan Juli-Agustus. Bibit ulat ini sebagian besar berasal dari telur yang menempel pada daun-daun jambu mete di sekitar kebun. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu fase siklus ulat sutera emas dari telur menjadi kupu-kupu (hingga kokon dapat diambil) kurang lebih 45 hari, sedangkan penelitian di Bangladesh menunjukkan daur hidup C. trifenestrata diselesaikan dalam hari dengan lima instar larva (Hug et al., 1991). Gambar 7. Siklus Hidup Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Daur Hidup Cricula Trifenestrata Biasanya ulat sutera C. trifenestrata sudah dapat memakan daun pohon jambu mete yang berumur tiga tahun atau lebih. Berikut penjelasan lebih rinci terkait siklus hidup ulat sutera emas C. trifenestrata yang hidup secara liar di kebun jambu mete: 25

13 Telur. Telur-telur yang dihasilkan oleh induk betina diletakan berderet rapih dalam dua sampai tiga lapisan pada tepi permukaan bawah daun. Jumlah telur yang diletakkan bervariasi dari butir. Penetasan telur biasanya terjadi pada pagi hari (Lubis, 1999). Telur berbentuk oval atau lonjong dan berwarna putih kekuningan saat baru diletakkan induknya. Kemudian setelah beberapa hari warna telur berubah menjadi semakin gelap atau putih kelabu. Selama 10 hari telur berkembang dan pada hari ke-8 telur mulai berwarna kelabu gelap dengan ujung anteriornya terdapat titik kecil yang disebut mikrofil dan telur agak pipih. Jumlah telur mencapai butir per induk dengan fertilitas tinggi. Telur menetas setelah tujuh hari. Stadia telur sekitar 8-11 hari (Direktorat Bina Perlindungan Tanamana, 1995). Gambar 8. Telur Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Banyak telur yang dihasilkan namun terdapat beberapa telur yang tidak menetas karena di dalam telur tersebut tidak terdapat embrio. Warna telur yang tidak menetas tidak pernah berubah sejak awal diletakkan oleh induk sampai saatnya penetasan tetap berwarna putih kekuningan. Telur-telur tersebut akhirnya mengempes dan kering. Pengakuan bagian pengontrol kebun kelompok tani Catur Makaryo, pak Jumadi (wawancara langsung) menyebutkan telur-telur kosong yang tidak pernah menetas ini merupakan telur-telur yang dihasilkan tanpa pembuahan dengan imago (ngengat) jantan. Imago betina yang tidak dibuahi akan tetap menghasilkan telur, tetapi tidak dapat menetas karena tidak mempunyai embrio. 26

14 Larva. Larva keluar dari telur dengan cara memecahkan cangkang telurnya, kemudian larva/ulat akan memakan cangkangnya. Cangkang yang dimakan tersebut merupakan sumber nutrisi pertama yang diperoleh larva. Larva dapat memakan cangkangnya sampai habis namun ada juga larva yang tidak memakan cangkangnya sampai habis. Situmorang (wawancara langsung), menyebutkan kebiasaan makan cangkang telur ini akan memberikan ketahanan pada ulat-ulat tersebut. Saat istirahat tubuh larva memendek sampai setengah panjang tubuh semula. a. Larva Instar I Larva yang baru keluar dari telurnya hingga mengalami pergantian kulit yang pertama disebut larva instar I. Larva kecil ini berwarna kuning bersih dengan panjang tubuh kurang lebih 3 mm, kepala hitam, tubuhnya diliputi seta pendek. Gambar 9. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar I Menjelang hari kelima atau keenam panjang larva bertambah mencapai 10 mm dengan warna kuning pucat. Ulat mulai memakan daun muda dari bagian bawah secara bergerombol. Larva juga memenuhi kebutuhan airnya dari embun pagi dan curahan hujan. Hal ini terlihat ketika mulut larva memasukkan air tersebut dengan sesekali memutar kepalanya. Larva lebih aktif makan pada malam hingga pagi hari sebelum matahari memancarkan panasnya. Larva yang masih sangat kecil ini sangat rentan terhadap predator seperti semut, laba-laba, cicak dan sebagainya. Larva yang sudah mulai tumbuh mencapai ukuran 10 mm larva kemudian memendekkan tubuhnya sehingga warnanya menjadi lebih kuning kecoklatan kusam. 27

15 Keadaan ini menandakan bahwa larva instar I ini siap untuk berganti kulit menuju instar II. Selama masa ini larva diam dan tidak makan, hanya sekali-sekali menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah. Waktu yang diperlukan larva C.trifenestrata untuk berkembang sampai instar II adalah 5-6 hari. b. Larva Instar II Larva mengalami molting pertama yang menjadi penanda masa instar II. Panjang larva pada instar ini mencapai 12 mm pada awal instar II dan 17 mm pada akhir instar II. Bagian kepala larva lebih terang, warna tubuh kuning tua, tubuh larva mulai memiliki rambut-rambut yang mulai jelas berwarna putih kertas dan panjang, dan tubuh terlihat lebih gemuk. Larva instar II berlangsung 5-7 hari. Larva mulai banyak makan dan gerakan larva lebih lincah. Di akhir instar II, larva memendekkan tubuhnya untuk berganti kulit menuju instar berikutnya, dan seperti biasanya larva ini tidak makan dan tidak bergerak. Gambar 10. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar II c. Larva Instar III Larva instar III ditandai dengan perubahan pada warna dan ukuran larva. Kepala mulai berwarna merah bata dan tubuh tampak bergaris hitam-merah-kuning dengan diselimuti rambut-rambut panjang berwarna putih. 28

16 Gambar 11. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar III Ukuran tubuhnya lebih panjang daripada instar II, yaitu berkisar mm pada akhir instar III. Instar III berlangsung 4-6 hari. d. Larva Instar IV Gambar 12. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata Instar IV Larva instar IV berlangsung setelah pergantian kulit yang ketiganya, tubuh makin besar dan warnanya makin jelas. Panjang tubuh mencapai 60 mm pada akhir instar IV. Larva bertubuh gemuk, warnanya mencolok, berselang-seling warna 29

17 merah-hitam-kuning, terlihat titik-titik pada segmen tubuhnya, kepala berwarna merah bata. Larva tidak hanya memakan daun muda tetapi juga daun tua dan hanya menyisakan ibu tulang daunnya saja. Butiran kotoran larva ini berukuran sebesar kepalanya. Larva memakan banyak daun dengan tujuan untuk menyiapkan energi untuk menghadapi masa pupa yang cukup lama. Larva instar IV berlangsung selama 5-7 hari. e. Larva Instar V Panjang larva berkisar mm. Seta atau rambut-rambut yang menutupi tubuhnya juga bertambah panjang dan berwarna putih. Larva instar V sangat rakus, daun yang dimakan tidak hanya daun yang tua namun daun yang sangat muda masih dimakan. Peningkatan intensitas memakan daun disebabkan karena pada larva instar terakhir ini merupakan persiapan untuk menghadapi fase pupa dimana fase tanpa makan dengan aktivitas fisiologi yang besar, sehingga diperlukan makanan cadangan yang cukup besar sebagai sumber energi. Gambar 13. Larva Ulat Sutera C. trifenestrata pada Stadium V Larva mulai mencari daun dari ranting lain bahkan sampai pindah secara bergerombol mencari pohon lain. Larva instar V berlangsung selama 4-9 hari. Akhir dari instar V adalah berubahnya bentuk ulat menjadi pupa yang diawali dengan pembentukan kokon. 30

18 Stadium Pra Pupa. Larva instar V diakhiri dengan memendeknya tubuh dan larva mulai mengeluarkan cairan kuning emas yang mula-mula diletakkan di pangkal ibu tulang daun untuk kemudian ditarik ke helaian daun. Tahapan selanjutnya dibuat suatu anyaman benang-benang tipis yang berlapis-lapis dan setelah satu hari terbentuklah suatu kokon berwarna kuning emas. Jalinan benang-benang untuk pembenukan kokon terjadi mula-mula ke arah horizontal atau membentuk garis yang panjang kemudian garis-garis yang pendek. Larva yang telah menyelesaikan pembuatan kokonnya, ulat tidak bergerak selama beberapa hari, berkisar 3-5 hari. Stadium ini disebut stadium pra pupa. Stadium Pupa. Larva dalam kokon kemudian berganti kulit menjadi pupa. Proses pengelupasan kulit ini diawali dari anterior yang robek dan larva menggerakgerakkan bagian tubuhnya untuk melepaskan kutikula lama. Hari berikutnya kulit pupa sudah mengeras dan warnanya sudah kecoklatan. Pupa akan bergerak jika disentuh. Semakin hari warna pupa menjadi lebih gelap serta garis-garis calon sayap, calon antena, calon mata, calon anus sudah mulai kelihatan jelas, dan terdapat bercak-bercak hitam. Gambar 14. Stadium Pupa Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Stadia pupa dalam keadaan normal berlangsung antara hari, tetapi apabila keadaan tidak menguntungkan dapat sampai 2-3 bulan (Direktorat Bina Perlindungan Tanamana, 1995). Kepompong berbentuk jala yang rapat berwarna 31

19 kuning emas. Selain menghasilkan sutera yang berkilau keemasan dan filamen yang berpori, serat yang dihasilkan juga memberikan efek halus jika tersentuh kulit. Filamen tunggal berwarna kuning pada kokon ditutupi materi yang tidak berwarna. Materi tersebut adalah protein serisin. Pigmen kuning yang berada dalam protein fibroin merupakan bagian utama dalam filamen kokon (Kato et al., 2000) Imago. Imago C. trifenestrata ini disebut ngengat. Ciri morfologi ngengat yaitu seluruh tubuhnya diselimuti sisik-sisik halus berwarna coklat yang cukup tebal. Ngengat berwarna coklat muda agak kemerahan dengan garis melintang secara horizontal di tengah sayap. Sayap depan terdapat tiga spot transparan (fenestrate) sehingga disebut trifenestrata. aktif malam hari dan tertarik pada cahaya lampu. Imago jantan muncul dari pupa yang berukuran kecil sehingga imago jantan juga mempunyai ukuran yang lebih kecil daripada imago betina serta berwarna lebih muda dari imago betina. Ngengat memilki rentan sayap antara 61,6 84,2 mm. Ngengat berumur sekitar 1-5 hari dan mulai bertelur pada hari kedua. Gambar 15. Stadium Imago Ulat Sutera C. trifenstrata Mobilitas ngengat rendah pada hari pertama kemunculannya. Hari kedua ngengat jantan mulai aktif bergerak dan menemukan betina kemudian melakukan kopulasi atau perkawinan. Betina dapat didatangi lebih dari satu jantan, namun yang berhasil kopulasi hanya dari satu jantan saja. Ngengat betina yang tidak kawin juga 32

20 bertelur meskipun tidak menetas. Hal ini dinilai merugikan dalam sudut pandang manajemen pembudidayaan. Banyak betina yang telurnya tidak dibuahi maka kokon yang dihasilkan juga akan jauh lebih sedikit. Sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan inovasi teknologi untuk membuat semacam bank sperma C. trifenestrata. Sehingga tidak ada ngengat betina yang bertelur namun tidak menetas, karena kosong tidak dibuahi. Secara alami pada hari berikutnya setelah kopulasi betina akan bertelur dan meletakkan telurnya pada pinggir daun pakan dengan rapih. Betina akan bertelur selama kurang lebih dua hari dan setelah itu akan mati. Salah satu faktor yang mempengaruhi siklus hidup ngengatnya adalah kelembaban dengan rata-rata 63%- 77% dan suhu udara. Proses pengumpulan kokon dilakukan saat pupa telah berubah menjadi kupukupu. Kokon yang telah kosong diambil dari pohon dengan menggunakan gunting atau dengan langsung melepaskan kokon-kokon yang menempel pada daun dengan tangan. Saat pemanenan kepompong petani seringkali melibatkan anggota keluarganya. Kokon yang terkumpul kemudian dibersihkan dari sisa-sisa pupa dengan cara menggunting satu sisi bagian kokon dan mengeluarkan sisa-sisa pupa. Kokon yang terkumpul di setiap petani di kumpulkan ke pengelolah kebun untuk ditimbang ulang lalu kemudian langsung disalurkan ke perusahaan pengolah sutera. Selama proses pemanenan atau pengusahaan ulat, petani tidak begitu banyak menghabiskan waktu. Petani hanya mengalokasikan tujuh jam dalam satu siklus hidup ulat sutera C.trifenestrata. Siklus hidup C.trifenestrata yang dicapai dalam waktu hari semestinya dapat menghasilakan empat kali panen kokon dalam satu tahun. Hal ini dapat diwujudkan dengan aplikasi teknologi dalam system budidaya yang intensif, misalnya dengan system koleksi telur. Kehadiran ulat secara alami saat peralihan musim, setidaknya akan menghasilkan satu sampai dua kali panen kokon. Output Ulat sutera yang dibiarkan hidup liar menunjukkan produktivitasnya yang sangat bergantung dengan alam. Satu tahun proses produksi dapat terjadi dua kali panen, tetapi jika cuaca buruk kadang hanya satu kali panen. Rata-rata jumlah kokon 33

21 yang dihasilkan saat panen berkisar 2-10 ons, dengan rata-rata 5 ons kokon per petani. Hasil pengusahaan pembudidayaan ulat sutera ini berupa kokon yang telah kosong, pupa dan kotoran ulat. Kokon yang kosong dibersihkan dan dijual ke perusahaan yang telah bekerjasama dengan kelompok tani Catur Makaryo. Seringkali terdapat permintaan terhadap pupa dari kokon ulat sutera emas, sehingga sebagian petani juga menjual pupa yang ada di dalam kokon. Pupa ini biasanya dimanfaatkan untuk bahan kosmetik. Baik kokon maupun pupa dijual ke perusahan yang sama, yaitu perusahaan Yarsilk. Sedangkan kotoran ulat yang jumlahnya cukup banyak dijadikan pupuk alami oleh petani. Belum pada taraf komersial petani tetap mendapatkan keuntungan darinya. Kotoran ini biasanya dikumpulkan di pangkal akar pohon, sehingga menjadi pupuk alami bagi pohon jambu mete. Harga kokon per kilogramnya dihargai senilai Rp ,00 per kg, sedangkan harga pupa per kg dihargai Rp ,00. Nilai Ekonomi Nilai ekonomi dari usaha tani pemanfaatan kepompong sutera emas dihasilkan dari beberapa perhitungan. Perhitungan tersebut meliputi : total biaya (biaya tetap + biaya variable), pemasukan, keuntungan, R/C rasio, BEP dan payback periode. Biaya Investasi Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membangun usaha. Biaya investasi dalam pemnfaatan ulat sutera emas C. trifenestrata pada kenyataannya merupakan alat-alat investasi yang sama yang digunakan petani pada budidaya jambu mete. Peralatan produksi yang digunakan untuk pembudidayaan ulat sutera C. trifenestrata sampai pengumpulan kokon merupakan peralatan yang telah dimiliki dan digunakan petani untuk produksi jambu mete, sehingga dalam perhitungan kedepan, alat-alat tersebut dihargai sesuai perbandingan Persentase pemakaiannya. Tabel 7. Nilai Investasi dari Alat-alat yang Dipakai Petani Alat Beban Biaya Rata-Rata per Petani (Rp) Kelompok Tani (Rp) Keranjang Timbangan Gunting Total

22 Total nilai investasi dari pemanfaatan pengumpulan kokon kelompok tani senilai Rp ,00. Jika dikonversi menjadi nilai investasi per orang petani, maka nilai investasi menjadi Rp ,00 per petani. Biaya Operasional Biaya operasional adalah biaya produksi yang harus dikeluarkan setiap satu periode produksi. Biaya tersebut yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Tabel 8. Biaya Penyusutan Untuk Pengumpulan Kokon Ulat Sutera Nilai Alat-alat investasi Keranjang Timbangan Gunting Harga Rata-Rata/Petani Total harga barang investasi Umur Penyusutan Per Alat 2 tahun 5 tahun 3 tahun Biaya Penyusutan Total Biaya penyusutan Total biaya tetap yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo hanya bersumber dari biaya penyusutan. Total biaya penyusutan tersebut senilai Rp ,00. Sedangkan biaya tidak tetap yang harus disiapkan kelompok tani tiap panennya senilai Rp ,00 untuk pembelian karung. Biaya Total atau Total Cost(TC) Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan ulat sutera dan pengumpulan kokon. Biaya total atau Total Cost ini merupakan total biaya produksi yang dikeluarkan untuk biaya operasinoal. Tabel 9. Total Cost yang Dikeluarkan Oleh Petani Pengumpul Kokon Per Tahun Biaya Kelompok Tani Per Petani Biaya Operasional Biaya Tetap Biaya Tidak Tetap Total Biaya

23 Total Cost yang dikeluarkan kelompok tani Catur Makaryo untuk usaha pemanfaatan kepompong sutera emas senilai Rp ,00. Jika dihitung dalam skala per petani, Total Cost nya menjadi Rp ,00 per petani. Penerimaan atau Total Revenue (TR) Penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh dari hasil penjualan hasil produksi. Penerimaan yang diperoleh oleh petani adalah dari hasil penjualan kokon ulat sutera C. trifenestrata dan pupa-nya. Harga 1 kg kokon Rp ,00 dan harga 1 kg pupa Rp ,00. Dalam satu siklus petani-petani Catur Makaryo mampu mengumpulkan kurang lebih 7 kg kokon dan 10 kg pupa, dimana satu siklus yang dialami petani sama dengan satu tahun. Sehingga pendapatan kelompok tani menjadi sebesar Rp ,00 untuk penjualan kokon dan Rp ,00 untuk penjualan pupa. Total penerimaan dari kokon dan pupa sebesar Rp ,00. Penerimaan rata-rata petani dari penjualan kokon dan pupa kurang lebih senilai Rp ,00 per petani. Keuntungan Keuntungan merupakan selisih penerimaan dengan total biaya produksi. Keuntungan = Penerimaan Total biaya produksi Budidaya ulat sutera emas= Rp ,00 Rp ,00 = Rp ,00 Keuntungan total kelompok tani Catur Makaryo untuk pemanfaatan sampah kokon ulat sutera emas C. trifenestrata senilai Rp ,00 dalam sekali panen. Jika dikonversi per satuan petani, maka keuntungan yang didapat petani senilai Rp ,00 per petani. R/C Ratio Analisis R/C ratio merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dinyatakan layak jika nilai R/C ratio lebih besar dari satu (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan lebih besar. R/C Ratio budidaya ulat sutera emas C. trifenestrata 36

24 R/C ratio = = Rp ,00 Rp ,00 = 4,025 Nilai R/C ratio budidaya emas ulat sutera C. trifenestrata 4,025. Artinya, setiap penambahan biaya sebesar Rp 1,00 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 4,00. Jika dikonversi per seorangan petani, R/C RatioBudidaya ulat sutera C. trifenestrata per petani pun memiliki nilai yang sama, yaitu 4,025. Karena total pendapatan per petani (Rp ,00) dibagi total biaya produksi per petani (Rp ,00) juga akan menghasilkan nilai 4,025. Payback Periode (PP) Analisis payback periode (PP) untuk mengetahui lama waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi yang ditanamkan atau berapa lama investasi yang ditanamkan akan kembali. Dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Payback Periode = (Biaya (investasi) /keuntungan) x tahun Budidaya ulat = (Rp ,00/ Rp ,00) x tahun = 0,813 tahun Pada budidaya ulat sutera emas biaya investasi dapat dikembalikan pada waktu 0,813 tahun. Atau 10 bulan. Potensi Pengembangan Kokon Ulat Sutera C. trifenestrata R/C ratio budidaya ulat sutera emas mencapai 4,025. Usaha ini layak diusahakan karena R/C rationya lebih dari 1. Payback period budidaya ulat sutera emas 0,813 artinya modal akan sangat cepat kembali, hanya dalam waktu 10 bulan. Jika diakumulasikan pendapatan petani dalam satu tahun, pendapatan petani dari mengumpulkan kokon memang tidak memiliki nilai yang besar. Tetapi potensinya besar, dan dari sisi kelayakan juga sangat layak. Kondisi nilai ekonomi yang kecil dikarenakan petani belum optimal dalam proses pembudidayaan ulat sutera ini. Petani belum menerapkan teknologi dan ilmu budidaya itu sendiri. Pemanfaatan kepompong ulat sutera yang hanya bergantung dengan kondisi alam membuat kontinuitas pengadaan produk tidak menentu dan jumlah produksi yang jauh lebih 37

25 sedikit jika dibandingkan pengumpulan kepompong menggunakan teknologi budidaya yang intensif. Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa keberadaan kelompok tani yang mengumpulkan kokon ulat sutera emas C. trifenestrata tidaklah merugikan bagi budidaya utama petani yang memiliki komoditi jambu mete. Keberadaan ulat di pohon jambu mete justru dapat menghasilkan buah yang lebih berkualitas. Petani telah mendapat tambahan penghasilan hanya dengan memanfaatkan limbah kokon ulat sutera emas yang hadir secara alami di kebun jambu mete. Potensi dari pengembangan ulat sutera emas ini cukup menjanjikan, jika petani mau menerapkan teknologi dan ilmu budidaya yang tepat untuk pembudidayaan ulat sutera ini sehingga nilai dari produktivitas panen kepompong tentu akan menjadi lebih besar. Petani juga dapat mengubah alur produksi. Pemanfaatan kepompong emas menjadi barang jadi akan jauh meningkatkan pendapatan petani dibandingkan petani menjual mentah kepompongnya. Gambar 16. Bros Bunga dari Kepompong Ulat Sutera C.trifenestrata Jika dalam satu kilogram kokon terdapat kurang lebih lembar kokon. Maka untuk menghasilkan barang jadi seperti bros bunga saja hanya membutuhkan kurang lebih 20 lembar kokon. Sehingga satu kilogram kokon dapat menghasilkan kurang lebih 350 bros bunga dari kokon ulat sutera emas. Harga satu buah bros kepompong yang biasa di jual oleh perusahaan Yarsilk di Jogja senilai Rp ,00 /pcs. Sehingga total nilai pemasukan dari 350 bros senilai Rp Asumsi sebanyak 5% mengalami kerusakan atau produk cacat, maka nilainya pun masih 38

26 cukup tinggi, Rp ,00. Dibandingkan dengan nilai penjualan satu kilogram kokon mentah senialai Rp ,00 /kg maka pemanfaatan kokon menjadi barang jadi atau setengah jadi menjadi sangat potensial bagi peta. Belum lagi pengolahan kokon ke bentuk-bentuk lain yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan bros. Seperti, kalung, kotak esklusif, vas bunga, tas pesta dan lain sebagainya. Banyak sekali aksesoris kreatif yang dapat dihasilkan dari pengolahan kepompong ulat sutera emas C. trifenestrata ini. Gambar 17. Kotak dan Kalung dari Kepompong Ulat Sutera Emas C. trifenestrata Usaha pemanfaatan kokon menjadi barang jadi juga dapat membantu membuka lapangan kerja baru bagi petani dan masyarakat sekitar. Hal ini tentu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat setempat dan pada akhirnya mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat setempat. 39

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA Jambu mete merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut portugal ke India

Lebih terperinci

Lampiran 1. Wawancara dengan Penanggungjawab Kebun Kelompok Tani Catur Makaryo

Lampiran 1. Wawancara dengan Penanggungjawab Kebun Kelompok Tani Catur Makaryo LAMPIRAN 46 Lampiran 1. Wawancara dengan Penanggungjawab Kebun Kelompok Tani Catur Makaryo Penulis Penanggungjawab kebun Penulis Penanggungjawab kebun Penulis Penanggungjawab kebun : Kenapa bentuk dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai

BAB I PENDAHULUAN. benua Asia hingga mencapai benua Eropa melalui Jalur Sutera. Para ilmuwan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sutera ditemukan di Cina sekitar 2700 sebelum Masehi dan teknologi budidayanya masih sangat dirahasiakan pada masa itu. Perkembangan dan persebarannya dimulai dari benua

Lebih terperinci

SISTEM PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI PENGUSAHAAN ULAT SUTERA EMAS (Cricula trifenestrata) DI PERKEBUNAN JAMBU METE DESA IMOGIRI YOGYAKARTA

SISTEM PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI PENGUSAHAAN ULAT SUTERA EMAS (Cricula trifenestrata) DI PERKEBUNAN JAMBU METE DESA IMOGIRI YOGYAKARTA SISTEM PRODUKSI DAN NILAI EKONOMI PENGUSAHAAN ULAT SUTERA EMAS (Cricula trifenestrata) DI PERKEBUNAN JAMBU METE DESA IMOGIRI YOGYAKARTA SKRIPSI CITRA AYU FURRY DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Attacus atlas (L.) Klasifikasi Attacus atlas (L.) menurut Peigler (1980) adalah Filum Klasis Ordo Subordo Superfamili Famili Subfamily Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Ulat sutera adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi keempat stadia, yaitu telur, larva atau lazim

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Attacus atlas Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (Chapman, 1969). Klasifikasi A. atlas menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut: Kelas

Lebih terperinci

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh 4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM TIM SUTERA BALITBANGHUT KEBUTUHAN SUTERA ALAM NASIONAL BENANG SUTERA 900 TON/THN RENDEMEN 1:8 KOKON 7.200 TON/THN KONDISI 2012 PRODUKSI KOKON 163.119 TON PRODUKSI BENANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman perkebunan yang sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun, untuk menghasilkan pertumbuhan yang sehat

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Perbawati merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut : 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda : Insekta :

Lebih terperinci

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai

Lebih terperinci

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh

Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh Hercules si Perusak Tanaman Pala dan Cengkeh I. Latar Belakang Tanaman pala merupakan tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tanaman pala tumbuh dengan baik di daerah tropis.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Kantong (Metisa plana) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat Kantong (M. plana) merupakan salah satu hama pada perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Hama ini biasanya memakan bagian atas daun, sehingga

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api (Setothosea asigna van Eecke) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah 1. Persiapan kolam Di Desa Sendangtirto, seluruh petani pembudidaya ikan menggunakan kolam tanah biasa. Jenis kolam ini memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna I. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Ulat Api (Setothosea asigna) Hama ulat api (Setothosea asigna) merupakan salah satu hama paling penting di Indonesia yang dapat merusak tanaman kelapa sawit. Spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Bawang merah telah dikenal dan digunakan orang sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Dalam peninggalan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis hasil penelitian mengenai Analisis Kelayakan Usahatani Kedelai Menggunakan Inokulan di Desa Gedangan, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah meliputi

Lebih terperinci

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI 6.1. Proses Budidaya Ganyong Ganyong ini merupakan tanaman berimpang yang biasa ditanam oleh petani dalam skala terbatas. Umbinya merupakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Blok C Laboratorium Lapang Bagian Produksi Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei 10 Persentase Filamen Persentase filamen rata-rata paling besar dihasilkan oleh ulat besar yang diberi pakan M. cathayana sedangkan yang terkecil dihasilkan oleh ulat yang diberi pakan M. alba var. kanva-2.

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996) TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Penyebaran Ulat Sutera Emas (C. trifenestrata) Ulat sutera emas C. trifenestrata merupakan salah satu jenis ngengat nokturnal (aktif pada malam hari). C. trifenestrata diklasifikasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family Oryzoideae dan Genus Oryza. Organ tanaman padi terdiri atas organ vegetatif dan organ generatif.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl.,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Mahkota Dewa 1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman mahkota dewa memiliki nama ilmiah Phaleria macrocarpa Boerl., dengan nama sinonim Phaleria papuana. Nama umum dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur TINJAUAN PUSTAKA 1. Penggerek Batang Tebu Raksasa Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi penggerek batang tebu raksasa adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Parasit Lalat S. inferens Towns. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) Serangga betina yang telah berkopulasi biasanya meletakkan telurnya setelah matahari terbenam pada alur kulit buah kakao.

Lebih terperinci

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus BAB VII PEMBAHASAN UMUM 7. 1. Polyvoltin Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah serangga polyvoltin yaitu dapat hidup lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografis, dan Iklim Lokasi Penelitian Desa Ciaruten Ilir merupakan desa yang masih berada dalam bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ulat pemakan daun kelapa sawit yang terdiri dari ulat api, ulat kantung, ulat bulu merupakan hama yang paling sering menyerang kelapa sawit. Untuk beberapa daerah tertentu, ulat

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi

Lebih terperinci

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Bangsa : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Filamen Sutera Beberapa atribut yang berperan pada penentuan kualitas filamen sutera diantaranya panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Desa wukirsari merupakan salah satu Desa dari total 4 Desa yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Desa Wukirsari yang berada sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT PENDAHULUAN Eli Korlina Salah satu masalah dalam usahatani bawang putih adalah gangguan hama dan penyakit. Keberadaan hama dan penyakit dalam usahatani mendorong petani untuk menggu-nakan pestisida pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya Produksi gula nasional Indonesia mengalami kemerosotan sangat tajam dalam tiga dasawarsa terakhir. Kemerosotan ini menjadikan Indonesia yang pernah menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Ulat Kantong Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti : Kingdom : Animalia Subkingdom : Bilateria Phylum Subphylum Class Subclass Ordo Family Genus Species

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) termasuk dalam keluarga Leguminoceae dan genus Arachis. Batangnya berbentuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

commit to users I. PENDAHULUAN

commit to users I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan bertambahnya jumlah dan tingkat kesejahteraan penduduk, maka kebutuhan akan hasil tanaman padi ( Oryza sativa L.) yang berkualitas juga semakin banyak. Masyarakat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Kumbang penggerek pucuk yang menimbulkan masalah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM WAHANA FARM

BAB V GAMBARAN UMUM WAHANA FARM BAB V GAMBARAN UMUM WAHANA FARM 5.1. Sejarah Singkat Wahana Farm Wahana Farm didirikan pada tahun 2007 di Darmaga, Bogor. Wahana Farm bergerak di bidang pertanian organik dengan komoditas utama rosela.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga TINJAUAN PUSTAKA Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga hama utama pada tanaman kopi yang menyebabkan kerugian

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Karakteristik Wilayah Kabupaten Brebes merupakan salah satu dari tiga puluh lima daerah otonom di Propinsi Jawa Tengah yang terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.

Lebih terperinci

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Karya Ilmiah Di susun oleh : Nama : Didi Sapbandi NIM :10.11.3835 Kelas : S1-TI-2D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011 Abstrak Belut merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Embriani BBPPTP Surabaya LATAR BELAKANG Serangan hama merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produksi dan mutu tanaman. Berbagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Morfologi Hama Ulat Api (Setothosea asigna) Klasifikasi Setothosea asigna menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthopoda

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kubis bunga merupakan salah satu komoditi sayuran yang banyak dikonsumsi

PENDAHULUAN. Kubis bunga merupakan salah satu komoditi sayuran yang banyak dikonsumsi 12 PENDAHULUAN Latar Belakang Kubis bunga merupakan salah satu komoditi sayuran yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Bertambahnya jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah kebutuhan pangan asal sayuran,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 18 TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Tanaman herbal atau tanaman obat sekarang ini sudah diterima masyarakat sebagai obat alternatif dan pemelihara kesehatan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun, TINJAUAN PUSTAKA Chilo sacchariphagus (Lepidoptera: Pyralidae) Biologi Telur penggerek batang tebu berbentuk oval, pipih dan diletakkan berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani

TINJAUAN PUSTAKA Botani TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman apel berasal dari Asia Barat Daya. Dewasa ini tanaman apel telah menyebar di seluruh dunia. Negara penghasil utama adalah Eropa Barat, negaranegara bekas Uni Soviet, Cina,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian yang dilakukan dalam mengontrol populasi Setothosea asigna dengan menggunakan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (Susanto dkk., 2010), Konsep ini bertumpu pada monitoring

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Desa Karangsewu terletak di Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun batas wilayah Desa Karangsewu adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 PROBOLINGGO 67271 Pendahuluan Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi Oleh : Ika Ratmawati, SP,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci