HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai galur sorgum banyak dikembangkan saat ini mengingat sorgum memiliki banyak manfaat. Berbagai kriteria ditetapkan untuk mendapatkan varietas unggul yang diinginkan. Kriteria yang diinginkan bergantung tujuan dari penggunaan tanaman sorgum itu sendiri karena sorgum dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diantaranya pangan, pakan, energi, serat, dan pupuk. Beberapa jenis kriteria yang disyaratkan untuk biji sorgum yang digunakan sebagai bahan pangan diantaranya memiliki biji dengan ukuran besar dan memiliki kandungan nutrisi yang seimbang, akan tetapi pada proses penyimpanan serangan hama gudang dirasakan sangat merugikan sehingga kriteria biji sorgum tahan serangan hama gudang diperlukan. Lima varietas sorgum yang diuji dalam penelitian ini diantaranya Numbu, Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76. Untuk membedakan varietas Lokal Wonogiri dengan varietas lainnya cukup mudah karena varietas ini memiliki biji yang berwarna merah sedangkan 4 varietas lain memiliki warna biji krem. Varietas CTY-33 dan Lokal Bandung memiliki ukuran biji yang relatif besar, untuk membedakan keduanya varietas CTY-33 memiliki warna yang lebih terang dibandingkan varietas Lokal Bandung. Varietas Numbu memiliki ciri khas warna yang agak kusam dibandingkan varietas lainnya. Varietas B-76 memiliki ukuran biji yang terkecil dibandingkan 4 varietas lainnya dan warna biji sorgum varietas ini putih kusam. Diantara kelima jenis sorgum yang diuji yang sudah banyak dikenal adalah varietas Numbu karena varietas ini telah resmi dilepas oleh Kementrian Pertanian Indonesia. Parameter Resistensi Biji Sorgum terhadap S. zeamais Terdapat lima parameter resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais yang diamati pada penelitian ini diantaranya jumlah imago F1 yang muncul, nilai kehilangan hasil, median waktu perkembangan, nilai Indeks Kerentanan Dobie (IKD), dan konstanta laju perkembangan intrinsik. Hasil pengamatan selama 50 hari menunjukkan bahwa jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada setiap varietas sorgum memiliki jumlah yang beragam. Jumlah imago S. zeamais yang

2 18 muncul pada varietas B-76 dan Lokal Bandung berbeda nyata dengan jumlah imago yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu (Tabel 2). Jumlah imago S. zeamais yang muncul paling banyak ditunjukkan oleh varietas B-76 dan Lokal Bandung dibandingkan dengan 3 varietas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu lebih resisten terhadap serangan S. zeamais dibandingkan varietas Lokal Bandung dan B-76. Tabel 2 Rata-rata jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul pada lima varietas sorgum Varietas Jumlah F1 yang muncul (individu) Numbu b Lokal Bandung a Lokal Wonogiri b CTY b B a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p=0.05). Rendahnya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu diduga karena terdapat kandungan tanin yang cukup tinggi pada biji. Kandungan fenol yang cukup tinggi diperkirakan juga memperanguhi jumlah imago S. zeamais yang muncul. Tingginya jumlah imago S. zeamais yang muncul pada varietas Lokal Bandung dan B-76 diperkirakan karena kandungan tanin yang cukup rendah. Resistensi biji terhadap serangan hama gudang terjadi karena berbagai faktor diantaranya faktor kimiawi dan fisik biji. Faktor fisik biji meliputi kekerasan biji dan dimensi biji, sedangkan faktor kimia diantaranya kandungan senyawa metabolit sekunder seperti fenol dan tanin (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Russell (1966) menyatakan bahwa panjang umur imago S. zeamais lebih pendek jika meningkatkan kekerasan biji atau kadar tanin atau dengan memperkecil ukuran biji.

3 19 Pada gambar 7 terlihat pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum yang diuji. Terlihat bahwa kecenderungan pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais terbagi menjadi 2 kelompok. Hal ini sesuai dengan hasil uji beda nyata pada jumlah imago F1 S. zeamais pada Tabel 2 yang menjukkan terdapat 2 kelompok yaitu kelompok Numbu, CTY-33, dan Lokal Wonogiri serta kelompok Lokal Bandung dan B-76. Gambar 7 Grafik pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varietas sorgum Pola pertumbuhan populasi imago F1 S. zeamais pada lima varitas sorgum yang diuji menunjukkan kecenderungan grafik yang hampir sama antar varietas, dimana populasi meningkat sangat tajam hingga hari ke-20 setelah 1 bulan inkubasi. Pada kondisi berikutnya populasi mulai tidak lagi bertambah secara signifikan di hari ke-30 hingga hari ke-50 setelah 1 bulan inkubasi terlihat dari garis grafik yang mendatar. Meningkatnya populasi secara signifikan hingga hari ke-20 setelah 1 bulan inkubasi sesuai dengan yang dinyatakan Lefevre (1953) dalam Jadhav (2006) yaitu total siklus hidup Sitophilus spp. pada biji sorgum dengan kadar air 11.8 hingga % rata-rata selama 54 hari.

4 20 Median waktu perkembangan adalah lamanya hari dari pertengahan waktu peletakkan telur (oviposisi) hingga 50% imago dari turunan pertama (F1) S. zeamais muncul (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Median waktu perkembangan menggambarkan lamanya waktu perkembangan dari serangga S. zeamais untuk berkembang di dalam biji. Hasil pengamatan menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara varietas Numbu dengan 4 varietas lainnya (Tabel 3). Varietas Numbu memiliki nilai median waktu perkembangan yang lebih panjang dibandingkan dengan 4 varietas lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa waktu perkembangan yang dibutuhkan S. zeamais pada varietas Numbu lebih lama dibandingkan di 4 varietas lainnya. Tabel 3 Rata-rata median waktu perkembangan S. zeamais pada lima varietas sorgum Varietas Median waktu perkembangan (hari) Numbu 34.0a Lokal Bandung 33.1b Lokal Wonogiri 33.1b CTY b B b Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05). Pada empat varietas lainnya; Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Hal ini menyatakan bahwa rata-rata waktu perkembangan yang dibutuhkan S. zeamais untuk berkembang pada 4 varietas ini lebih cepat dibandingkan dengan varietas Numbu. Pada varietas Lokal Bandung, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan yang hampir sama hal ini menunjukkan kesesuaian 4 varietas ini dengan serangga S. zeamais yang sama. Median waktu perkembangan menunjukkan kesesuaian antara serangga dengan inangnya, semakin lama suatu serangga berkembang pada inangnya maka

5 21 inang tersebut dapat dikatakan lebih resisten dibandingkan dengan inang lain yang sejenis. Varietas Numbu memiliki median waktu perkembangan yang paling panjang dapat diasosiasikan dengan jumlah imago yang muncul pada varietas tersebut rendah sedangkan pada varietas B-76 memiliki nilai median waktu perkembangan paling pendek berhubungan dengan jumlah imago F1 yang muncul pada varietas B-76 paling tinggi. Konstanta laju perkembangan intrinsik adalah konstanta yang menggambarkan dinamika perkembangan suatu populasi serangga. Hal ini erat kaitannya dengan resistensi varietas karena konstanta laju intrinsik dapat memperlihatkan kesesuaian suatu habitat dan makanan bagi perkembangan serangga, jika suatu serangga di suatu varietas memiliki nilai konstanta laju intrinsik yang semakin rendah maka dapat diasumsikan varietas tersebut relatif resisten dibandingkan varietas lainnya. Besaran konstanta laju perkembangan intrinsik yang semakin tinggi maka habitat atau makanan tersebut semakin sesuai untuk perkembangan hidup serangga (Tarmudji 2008). Terlihat pada Tabel 4 nilai rata-rata laju perkembangan intrinsik pada varietas Lokal Bandung dan B-76 berbeda nyata dengan varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Varietas B-76 adalah varietas yang memiliki konstanta laju perkembangan intrinsik paling tinggi yang artinya sorgum varietas B-76 sangat sesuai untuk perkembangan S. zeamais dibandingkan dengan empat varietas lainnya. Varietas CTY-33 memiliki konstanta laju intrinsik yang paling kecil artinya varietas CTY-33 adalah varietas yang paling tidak sesuai untuk perkembangan S. zeamais. Kesesuaian habitat atau makanan untuk perkembangan serangga memiliki keterkaitan dengan kandungan fisik ataupun kimia dari habitat atau makanan tersebut. Pada lampiran 12 terlihat konstanta laju perkembangan intrinsik berkorelasi positif sangat signifikan dengan jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul dan berkorelasi negatif sangat signifikan dengan nilai median waktu perkembangan S. zeamais. Hal tersebut mengindikasikan bahwa besaran kosntanta laju perkembangan intrinsik dipengaruhi kedua faktor tersebut. Apabila semakin tinggi jumlah imago F1 yang mucul maka konstanta laju perkembangan intrinsik semakin tinggi sedangkan jika semakin panjang median waktu perkembangan

6 22 maka semakin rendah konstanta laju perkembangan intrinsik begitu pula sebaliknya. Tabel 4 Rata-rata nilai laju perkembangan intrinsik S. zeamais pada lima varietas sorgum Varietas Laju perkembangan intrinsik Numbu 0.16b Lokal Bandung 0.31a Lokal Wonogiri 0.15b CTY b B a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05). Pengukuran tingkat resistensi biji terhadap serangan hama gudang dapat dilakukan dengan menghitung nilai Indeks Kerentanan Dobie (IKD). Nilai IKD menggambarkan tingkat kerentanan biji sehingga semakin tinggi nilai IKD suatu biji maka biji tersebut semakin rentan sedangkan jika nilai IKDnya semakin rendah maka biji tersebut semakin resisten terhadap serangan hama gudang. Komponen yang dimasukkan ke dalam formula IKD adalah jumlah imago F1 yang keluar dan median waktu perkembangan (Dobie 1977 dalam Siwale et al. 2009). Pada grafik (Gambar 8) terlihat nilai IKD masing-masing varietas sorgum. Nilai kelima varietas berkisar dari 6.9 hingga Nilai IKD varietas Lokal Bandung dan B-76 berbeda nyata dengan nilai IKD varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Nilai IKD tertinggi terdapat pada varietas B-76 yang artinya dari kelima varietas ini varietas B-76 adalah varietas yang paling rentan terhadap serangan S. zeamais sedangkan nilai IKD terendah terdapat pada varietas Numbu yang artinya varietas Numbu adalah varietas yang paling resisten terhadap serangan S. zeamais diantara varietas sorgum yang diuji

7 23 Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05). Gambar 8 Grafik rata-rata nilai Indeks Kerentanan Dobie lima varietas sorgum Korelasi positif sangat signifikan terlihat pada besarnya jumlah imago F1 S. zeamais yang muncul dengan nilai IKD sedangkan nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik memiliki hubungan korelasi negatif sangat signifikan dengan nilai IKD (Lampiran 12). Korelasi positif sangat signifikan antara jumlah imago F1 S. zeamais dengan nilai IKD memiliki arti semakin tinggi jumlah imago F1 S. zeamais maka nilai IKD semakin tinggi, sementara korelasi negatif sangat signifikan antara nilai IKD dengan nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan intrinsik berarti semakin besarnya nilai median waktu perkembangan dan konstanta laju perkembangan maka nilai IKD akan semakin rendah. Menurut Horber (1988), nilai IKD yang tinggi dapat diasumsikan bahwa semakin banyak jumlah imago F1 yang muncul dan semakin pendeknya median waktu perkembangan maka biji tersebut semakin rentan terhadap serangan hama gudang tertentu. Besarnya nilai IKD dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor fisik maupun kimia dari biji. Hal ini dikarenakan faktor-faktor tersebut dinilai dapat memengaruhi kemampuan akses makan dari serangga. Nilai kehilangan hasil (weight loss) adalah nilai dari seberapa besar kehilangan hasil yang diakibatkan oleh keberadaan hama gudang pada suatu

8 24 komoditas. Nilai kehilangan hasil dihitung menggunakan formula Adams (1976) dengan menghitung biji rusak dan biji tidak rusak serta membandingkan berat keduanya. Nilai kehilangan hasil pada seluruh varietas berbeda nyata. Nilai kehilangan hasil dinyatakan dalam satuan %, pada lima varietas nilai kehilangan hasil berkisar antara %. Nilai kehilangan hasil dari tertinggi hingga terendah yaitu varietas Lokal Bandung, B-76, Lokal Wonogiri, CTY-33, dan Numbu. Kehilangan hasil pada varietas Lokal Bandung berbeda nyata dengan varietas Numbu, Lokal Wonogiri, dan CTY-33 serta tidak berbeda nyata dengan varietas B-76. Tabel 5 Rata-rata nilai kehilangan hasil akibat serangan S. zeamais pada lima varietas sorgum Varietas Kehilangan hasil (%) Numbu 2.85c Lokal Bandung 4.57a Lokal Wonogiri 3.50bc CTY c B ab Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05). Pada hasil uji korelasi (Lampiran 12) terlihat terdapat korelasi positif signifikan dengan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju perkembangan intrinsik serta berkorelasi negatif sangat signifikan dengan median waktu perkembangan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya nilai kehilangan hasil disertai dengan peningkatan jumlah imago F1 S. zeamais, nilai IKD, dan konstanta laju perkembangan intrinsik sedangkatnya nilai kehilangan hasil akan menurun dengan meningkatnya panjang median waktu perkembangan. Seperti dijabarkan sebelumnya bahwa jumlah imago F1 S. zeamais memiliki korelasi positif sangat signifikan dengan kehilangan hasil. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin meningkatnya populasi S. zeamais maka nilai kehilangan hasil yang diakibatkan aktivitas hama gudang ini juga semakin meningkat. Kurva

9 25 regresi dapat menggambarkan model yang dapat menjabarkan formulasi populasi serangga dengan nilai kehilangan hasilnya. Pada kurva regresi (Gambar 9) terlihat garis linier memiliki persamaan y = x dengan R 2 = Gambar 9 Grafik regresi hubungan antara jumlah imago F1 S. zeamais dan kehilangan hasil pada lima varietas sorgum Persamaan garis tersebut dapat diartikan setiap penambahan 1 individu S. zeamais maka nilai kehilangan hasil akan bertambah sebanyak 0.11 %. Persamaan garis ini berdasarkan jumlah imago S. zeamais dari 100 ekor hingga 500 ekor dan nilai kehilangan hasil dari %. Karakteristik Fisik dan Kimia Biji Sorgum Untuk mendapatkan biji sorgum yang memiliki ketahanan terhadap serangan hama gudang diperlukan informasi mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan resistensi biji sorgum terhadap serangan hama gudang. Berbagai karakteristik kimia dan fisik lima varietas sorgum diuji dan dilihat korelasinya dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan tingkat resistensi lima varietas sorgum terhadap serangan S. zeamais. Karakteristik fisik yang diukur dalam penelitian ini diantaranya kekerasan biji, panjang biji, lebar biji, dan tebal biji. Tabel 6 menunjukkan biji sorgum yang memiliki tingkat kekerasan biji paling tinggi yaitu varietas Lokal Bandung sedangkan paling rendah varietas B-76. Tingkat kekerasan biji dijadikan salah

10 26 satu karakteristik fisik yang diukur karena kekerasan biji memengaruhi seberapa mudah biji tersebut digerek oleh hama gudang (Sauer 1992). Tabel 6 Karakteristik fisik lima varietas sorgum Varietas Kekerasan biji (kg) Panjang biji (mm) Lebar biji (mm) Tebal biji (mm) Numbu 7.17b 4.11b 3.55bc 2.31bc Lokal Bandung 9.06a 4.64a 4.04a 2.62a Lokal Wonogiri 6.03c 3.63c 3.46c 1.89d CTY a 4.18b 3.74b 2.37b B d 3.62c 3.44c 2.15c Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan pada p = 0.05). Pengukuran karekteristik fisik lainnya yaitu dimensi biji (panjang, lebar, dan tebal). Dimensi biji menggambarkan seberapa besar ukuran biji. Ukuran biji paling besar hingga paling kecil yaitu varietas Lokal Bandung, CTY-33, Numbu, Lokal Wonogori, dan B-76. Varietas Lokal Bandung dan CTY-33 memiliki ukuran biji yang tidak berbeda nyata atau dapat diartikan memiliki ukuran yang hampir sama. Dimensi biji dijadikan salah satu indikator yang diukur karena ukuran biji dapat memengaruhi perkembangan larva S. zeamais selama hidup di dalam biji (Sunjaya dan Widayanti 2006). Menurut Kalshoven (1981), panjang imago S. zeamais berkisar 3-3,5 mm, hal tersebut jika dikaitkan dengan dimensi biji sorgum, semua varietas biji sorgum yang diuji memiliki ukuran yang cocok untuk perkembangan serangga ini sehingga ukuran biji kelima varietas biji tidak memengaruhi perkembangan serangga ini. Perbedaan ukuran biji sorgum hanya akan mempengarhi ukuran besar atau kecilnya imago serangga yang muncul. Karakteristik kimia dari sorgum yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu kadar tanin dan fenol. Tanin merupakan salah satu senyawa golongan polifenol (Harbone 1996). Kandungan fenol yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kandungan total fenol atau dapat diartikan sebagai seluruh kandungan senyawa polifenol yang terdapat di dalam biji sorgum. Tanin dan fenol merupakan

11 27 golongan senyawa metabolit sekunder yang berada di dalam tanaman. Pada seluruh jenis serealia, sorgum adalah satu-satunya jenis serealia yang memiliki kandungan fenolik tertinggi hingga mencapai 6% pada beberapa varietas (Dicko et al. 2005). Hampir seluruh jenis unsur fenolik ditemukan pada sorgum (Awika dan Rooney 2004). Perbedaan kandungan kimia biji sorgum pada setiap varietas Disebabkan oleh genotipe dan pengaruh lingkungan selama perkembangan sorgum di lapangan. Senyawa fenolik yang menyusun komponen fenolik diantaranya simple phenols, hydroxybenzoic acids, hydroxycinnamic acids, flavonoids (flavanols, flavones, flavanones, isoflavones and anthocyanins), chalcones, aurones (hispidol), hydroxycoumarins, lignans, hydroxystilbenes and polyflavans (proanthocyanidins and prodeoxyanthocyanidins) (Krueger et al. 2003). Hasil analisis (Tabel 3) menujukkan kadar fenol total dan tanin memiliki korelasi yang kuat, kadar tanin dan fenol dari tertinggi hingga terendah yaitu varietas Lokal Wonogiri, CTY-33, B-76, Lokal Bandung, dan Numbu. Varietas Lokal Wonogiri memiliki kandungan tanin dan fenol tertinggi diperlihatkan secara fisik dengan warna merah kecoklatan pada kulit biji. Tabel 7 Karakteristik kimia lima varietas sorgum Varietas Kadar tanin (%) Kadar fenol (mg/1000g) Numbu Lokal Bandung Lokal Wonogiri CTY B Menurut Laimeheriwa (1990) keberadaan tanin dalam biji ditandai dengan warna kemerahan atau kecoklatan pada lapisan kulit luar biji (testa). Kadar tanin yang cukup tinggi dapat memberikan rasa pahit pada sorgum.

12 28 Korelasi Parameter Resistensi dengan Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan antara karakteristik kimia dan fisik biji dengan parameter resistensi dijabarkan pada Tabel 8. Terlihat korelasi negatif signifikan antara kadar fenol dan tanin dengan jumlah imago F1 S. zeamais dan konstanta laju perkembangan intrinsik, yang artinya semakin tinggi nilai kadar fenol total dan tanin biji sorgum maka semakin rendah jumlah imago F1 S. zeamais dan konstanta laju perkembangan intrinsik. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kandungan fenol dan tanin di dalam biji sorgum dengan jumlah imago S. zeamais yang muncul dan kesesuaian S. zeamais dengan varietas sorgum. Secara empirik data kandungan tanin dan fenol memang tidak terlihat berkorelasi dengan tingkat resistensi varietas (varietas Numbu yang paling resisten tidak memiliki kandungan tanin dan fenol total tertinggi) (Tabel 2, Tabel 4, dan Tabel 7), namun secara statistik terlihat adanya korelasi cukup kuat antar keduanya ( 0.25>koefisien korelasi> 0.5) dan signifikan pada nilai p Hal tersebut menunjukkan bahwa jika nilai kadar tanin sorgum semakin tinggi maka semakin rendah jumlah F1 yang muncul atau konstanta laju intrinsik yang dimiliki dan hal ini terjadi pula sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana Ramputh et al. (1999) menyatakan terdapat korelasi negatif antara jumlah serangan Sitophillus sp. dengan jumlah komponen fenolik pada sorgum. Kandungan kimia non nutrisi pada biji khususnya unsur kimia yang termasuk golongan polifenol menjadi salah satu faktor penentu pada resistensi biji terhadap serangan S. zeamais (Serratos et al. 1987). Unsur kimia golongan fenol berperan sebagai faktor resistensi yang keberadaaannya banyak terdapat pada lapisan luar biji (kulit), hal ini juga memungkinkan adanya keterkaitan dengan struktur komponen di dalam biji dan faktor antibiosis (Arnason et al. 1993). Tingginya kadar tanin dan fenol sebagai zat antinutrisi atau antifeedant yang dapat mencegah atau menghalangi aktivitas makan dari S. zeamais menyebabkan penurunan efektifitas makanan terhadap serangga hal ini ditunjukkan dengan korelasi negatif antara kandungan tanin dan fenol terhadap tingkat kehilangan hasil. Hal ini tidak hanya menyebabkan rendahnya nilai kehilangan hasil akan tetapi juga penurunan tingkat reproduksi serangga S. zeamais.

13 29 Tabel 8 Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan kadar tanin, kadar fenol, dan kekerasan biji Parameter daya resistensi Kadar tanin Kadar fenol total Kekerasan biji Jumlah F * * Median waktu perkembangan Indeks Kerentanan Dobie Laju intrinsik * * % kehilangan hasil *korelasi signifikan (p 0.05). Berdasarkan fungsi tanin dan fenol sebagai zat antinutrisi maka mekanisme resistensi yang terjadi diantara sorgum dan S. zeamais adalah mekanisme antibiosis. Menurut Teetes (2009), mekanisme antibiosis menyebabkan penurunan kelimpahan serangga hama, dengan meningkatnya tingkat mortalitas, penurunan panjang umur dan penurunan tingkat reproduksi. Kekerasan biji merupakan karakteristik fisik yang juga dijadikan faktor yang dapat memengaruhi resistensi. Terlihat korelasi negatif antara kekerasan biji dengan jumlah imago F1 S. zeamais dan nilai Indeks Kerentanan Dobie (koefisien korelasi< 0.25), yang artinya semakin tinggi nilai kekerasan biji maka semakin rendah nilai faktor resistensi tersebut (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Dobie (1974) dalam Tepping et al. (1988) yang menyatakan resistensi pada biji jagung terhadap serangan S. zeamais disebabkan oleh faktor fisik biji seperti kekerasan biji. Selain dengan kadar tanin, kadar fenol, dan kekerasan biji, parameter resistensi biji sorgum terhadap S. zeamais dikorelasikan terhadap besaran dimensi biji. Panjang, tebal, dan lebar biji dikorelasikan dengan parameter resistensi untuk melihat seberapa besar kesesuaiannya terhadap perkembangan S. zeamais di dalam biji sorgum. Terlihat korelasi yang tidak konsisten dan nilai koefisien korelasi yang kecil (koefisien korelasi<0.25 atau > 0.25) antara parameter resistensi dengan dimensi biji. Hal ini menunjukkan korelasi atau hubungan yang dimiliki antara seluruh parameter resistensi dengan dimensi biji sangat lemah.

14 30 Hal ini dikarenakan dimensi atau ukuran biji sorgum lebih besar dari ukuran maksimal larva S. zeamais yang berkembang di dalam biji sorgum. Tabel 9 Hasil uji korelasi parameter-parameter daya resistensi dengan lebar biji, panjang biji, dan tebal biji sorgum Parameter daya resistensi Lebar biji Panjang biji Tebal biji Jumlah F Median waktu perkembangan Indeks Kerentanan Dobie Laju intrinsik % kehilangan hasil Segrove (1951) dan Longstaff (1981) dalam Danho (1996) menyebutkan bahwa imago betina S. zeamais cenderung meletakkan telur pada biji dengan ukuran besar. Hasil penelitian Danho (1996) menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya yaitu bahwa imago betina S. zeamais tidak memilih biji berdasarkan berat atau ukuran biji karena imago betina tidak dapat memperkirakan dengan pasti dimensi dan berat suatu biji. Selain itu penelitian Danho (1990) juga memperlihatkan hasil bahwa telur S. zeamais banyak diinfestasikan oleh imago betina S. zeamais pada biji dengan ukuran kecil. Serangga S. zeamais akan berkembang menurut ukuran biji atau makanan tempat dia tinggal (Sunjaya dan Widayanti 2006). Besarnya ukuran larva akan mengikuti dengan besarnya biji tempat serangga itu berkembang dan nutrisi yang tersedia di dalamnya. Ukuran imago tentu saja bergantung dengan seberapa besar larva S. zeamais ini berkembang dan seberapa banyak larva dapat mengonsumsi makanannya. Sehingga ukuran atau dimensi biji hanya akan meengaruhi ukuran serangga tidak dengan jumlahnya. Akan tetapi ukuran biji terkadang dapat memengaruhi jumlah imago F1 yang muncul apabila besarnya biji memungkinkan untuk perkembangan 2 serangga sekaligus (ukuran biji dua kali lipat ukuran serangga) misalnya jagung (Sunjaya dan Widayanti 2006).

TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.))

TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) Tanaman sorgum termasuk famili Graminae atau rerumputan. Tanaman lain yang termasuk dalam famili Graminae diantaranya adalah padi, jagung, dan tebu.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pengkajian daya insektisida nabati dilakukan untuk menyeleksi bahan nabati yang memiliki potensi insektisida terhadap serangga hama gudang Sitophilus

Lebih terperinci

USAHA PERBAIKAN PASCAPANEN SEBAGAI TEKNOLOGI ALTERNATIF DALAM RANGKA PENGELOLAAN HAMA KUMBANG BUBUK PADA JAGUNG DAN SORGUM

USAHA PERBAIKAN PASCAPANEN SEBAGAI TEKNOLOGI ALTERNATIF DALAM RANGKA PENGELOLAAN HAMA KUMBANG BUBUK PADA JAGUNG DAN SORGUM Prosiding Seminar Nasional Serealia 9 ISBN :978-979-894-7-9 USAHA PERBAIKAN PASCAPANEN SEBAGAI TEKNOLOGI ALTERNATIF DALAM RANGKA PENGELOLAAN HAMA KUMBANG BUBUK PADA JAGUNG DAN SORGUM S. Mas ud Balai Penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia saat ini menghadapi masalah yang serius berkaitan dengan usaha penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar terhadap padi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

TINGKAT SERANGAN HAMA PENGGEREK TONGKOL, ULAT GRAYAK, DAN BELALANG PADA JAGUNG DI SULAWESI SELATAN. Abdul Fattah 1) dan Hamka 2)

TINGKAT SERANGAN HAMA PENGGEREK TONGKOL, ULAT GRAYAK, DAN BELALANG PADA JAGUNG DI SULAWESI SELATAN. Abdul Fattah 1) dan Hamka 2) TINGKAT SERANGAN HAMA PENGGEREK TONGKOL, ULAT GRAYAK, DAN BELALANG PADA JAGUNG DI SULAWESI SELATAN Abdul Fattah 1) dan Hamka 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan 2) Balai Proteksi

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas. biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas. biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Mortalitas Hasil penelitian menunjukkan pemberian serbuk rumput teki sebagai biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum (lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata jumlah inang yang terparasit lebih dari 50%. Pada setiap perlakuan inang

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : SAMIWAHYUFIRANALAH F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SKRIPSI. Oleh : SAMIWAHYUFIRANALAH F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH EKSTRAK n-heksana DAN EKSTRAK ASETON BIJI PALA (Myristica fragrans Houtt.) TERHADAP PERKEMBANGAN SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch. PADA BERAS SELAMA PENYIMPANAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Percobaan 4.1.1. Jumlah larva (30 HSA) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah larva pada 30 HSA, sedangkan

Lebih terperinci

PENGUJIAN KETAHANAN GALUR JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TERHADAP HAMA KUMBANG BUBUK Sitophilus zeamais Motschulsky

PENGUJIAN KETAHANAN GALUR JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TERHADAP HAMA KUMBANG BUBUK Sitophilus zeamais Motschulsky A. Tenrirawe et al.: Pengujian Ketahanan Galur Jagung.. PENGUJIAN KETAHANAN GALUR JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH TERHADAP HAMA KUMBANG BUBUK Sitophilus zeamais Motschulsky A. Tenrirawe, M. S. Pabbage, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan komoditas strategis yang secara. kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan komoditas strategis yang secara. kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan komoditas strategis yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu komoditi ekspor.

I. PENDAHULUAN. Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu komoditi ekspor. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu komoditi ekspor. Sebagai salah satu tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi, tanaman lada dijadikan komoditas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma Hasil analisis varians menunjukkan bahwa umur tanaman kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi peletakan telur,

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang hijau adalah tanaman budidaya palawija yang dikenal luas di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengaruh Ketiadaan Inang Terhadap Oviposisi di Hari Pertama Setelah Perlakuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama S. manilae tidak mendapatkan inang maka

Lebih terperinci

Peran Varietas Tahan dalam PHT. Stabilitas Agroekosistem

Peran Varietas Tahan dalam PHT. Stabilitas Agroekosistem Peran Varietas Tahan dalam PHT Dr. Akhmad Rizali Stabilitas Agroekosistem Berbeda dengan ekosistem alami, kebanyakan sistem produksi tanaman secara ekologis tidak stabil, tidak berkelanjutan, dan bergantung

Lebih terperinci

DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG. S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia

DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG. S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA JAGUNG S. Mas ud, A. Tenrirawe, dan M.S Pabbage Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Penanaman jagung secara monokultur yang dilakukan beruntun dari musim ke musim, memperkecil

Lebih terperinci

BAB VIXX PEMBAHASAN UMUM

BAB VIXX PEMBAHASAN UMUM BAB VIXX PEMBAHASAN UMUM Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jenis makanan yang sama biologi UBMK pada enam varietas dan galur kapas yang mengandung gen resisten pada umumnya tidak berbeda nyata dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan untuk mencukupi kebutuhan setiap penduduk. Di Indonesia, masalah ketahanan pangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian ini, terbukti bahwa pada akar tomat memang benar terdapat nematoda setelah dilakukan ekstraksi pertama kali untuk mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis tentunya memiliki banyak keanekaragaman jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan karena ternyata Tumbuhan secara alamiah menghasilkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA

PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA Oleh RAMDHAN NURBIANTO F14103066 2008 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resistensi Tanaman Terhadap Serangan Hama Ketahanan/resistensi tanaman terhadap hama/penyakit adalah sekelompok faktor yang pada hakekatnya telah terkandung dalam tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan

TINJAUAN PUSTAKA. rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sorgum Manis Sorgum dapat tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis, dari dataran rendah sampai 700 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum yang diperlukan untuk tumbuh berkisar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Morfologi Polong Kedelai 4.1.1 Panjang Trikoma Trikoma sebagai salah satu karakter morfologi polong kedelai, dapat ditentukan oleh panjang trikoma. Data yang diperoleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. imago memproduksi telur selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur butir.

TINJAUAN PUSTAKA. imago memproduksi telur selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur butir. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Subramanyam dan Hagstrum (1996), Hama kumbang bubuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut padi atau beras mengalami proses penurunan kualitas dan kuantitas.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut padi atau beras mengalami proses penurunan kualitas dan kuantitas. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyimpanan merupakan salah satu tahap penting karena periode tersebut padi atau beras mengalami proses penurunan kualitas dan kuantitas. Kerusakan saat penyimpanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Intensitas Serangan Hama Penggerek Tongkol (H. armigera Hubner) Dari hasil penelitian intensitas serangan H. armigera Hubner pada varietas Motorokiki dan Bisi-2 dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang produk biji-bijian salah satunya adalah ulat biji Tenebrio molitor.

BAB I PENDAHULUAN. menyerang produk biji-bijian salah satunya adalah ulat biji Tenebrio molitor. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengendalian produk hasil pertanian berupa biji-bijian di Indonesia sebagian besar menggunakan cara mekanik dan pestisida sintesis. Hama yang menyerang produk

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Tingkat penolakan hama kutu beras Hasil penelitian menunjukkan dosis ekstrak daun pandan wangi kering dan daun pandan wangi segar memberikan pengaruh nyata terhadap

Lebih terperinci

Adne Yudansha, Toto Himawan dan Ludji Pantja Astuti

Adne Yudansha, Toto Himawan dan Ludji Pantja Astuti Jurnal HPT Volume 1 Nomor 3 September 2013 ISSN : 2338-4336 1 PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) PADA BEBERAPA JENIS BERAS DENGAN TINGKAT KELEMBABAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Keperidian WBC N. lugens Stål pada varietas tahan dan rentan Nilai keperidian imago WBC N. lugens brakhiptera dan makroptera biotipe 3 generasi induk yang dipaparkan pada perlakuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Hama tanaman merupakan salah satu kendala yang dapat menurunkan produktivitas tanaman. Salah satu hama penting pada tanaman padi adalah wereng batang cokelat (Nilapavarta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. digilib.uns.ac.id 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. Klasifikasi dari kumbang tepung (T. castaneum) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun TINJAUAN PUSTAKA 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) 1.1 Biologi Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun seperti atap genting (Gambar 1). Jumlah telur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah padi unggul dari varietas Mamberamo (tahan hama dan penyakit), Ciherang (adaptif), Inpari 10 (toleran lahan kering),

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

Kuperseinbahlian untuk Ayah, Ibu, Abang-abar~g clan Adili-adililcu tercirztci.

Kuperseinbahlian untuk Ayah, Ibu, Abang-abar~g clan Adili-adililcu tercirztci. "Dan Allah nlengeluarkan liainu chriperut ibuinu dalam keadaan ticlcllc rnerzgetahui sesuatu pun, clan Din nzenzberi kamu penclengamn, penglihatan clan hati; agar kamtl bersyukur ". (An-Nahl : 78) Kuperseinbahlian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh L. lecanii Terhadap Telur Inang yang Terparasit Cendawan L. lecanii dengan kerapatan konidia 9 /ml mampu menginfeksi telur inang C. cephalonica yang telah terparasit T. bactrae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK PENGERINGAN LAPISAN TIPIS SINGKONG 4.1.1. Perubahan Kadar Air Terhadap Waktu Proses pengeringan lapisan tipis irisan singkong dilakukan mulai dari kisaran kadar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Jenis jenis Hama Pada Caisim Hasil pengamatan jenis hama pada semua perlakuan yang diamati diperoleh jenis - jenis hama yang sebagai berikut : 1. Belalang hijau Phylum :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran T. chilonis pada Dua Jenis Inang Pada kedua jenis inang, telur yang terparasit dapat diketahui pada 3-4 hari setelah parasitisasi. Telur yang terparasit ditandai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama Plutella xylostella tanaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama Plutella xylostella tanaman BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas pestisida nabati daun sirih hijau (Piper betle L.) sebagai pengendali hama Plutella xylostella tanaman sawi (Brassica juncea

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik lokasi Penelitian dilakukan di Desa Padajaya Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian termasuk dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1300 meter di atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA v

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN PRAKATA v DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i DAFTAR LAMPIRAN ii I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Keaslian Penelitian 5 C. Tujuan

Lebih terperinci

SELEKSI KETAHANAN GALUR

SELEKSI KETAHANAN GALUR SELEKSI KETAHANAN GALUR DAN VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merrill) BERDASARKAN KARAKTER MORFOLOGI POLONG SEBAGAI PENGENDALI HAMA PENGISAP POLONG (Riptortus linearis F.) Qurrota A yun Jurusan Biologi

Lebih terperinci

PENGUJIAN KETAHANAN JAGUNG QUALITY PROTEIN MAIZE (QPM) TERHADAP HAMA KUMBANG BUBUK JAGUNG (Sitophilius zeamais )

PENGUJIAN KETAHANAN JAGUNG QUALITY PROTEIN MAIZE (QPM) TERHADAP HAMA KUMBANG BUBUK JAGUNG (Sitophilius zeamais ) PENGUJIAN KETAHANAN JAGUNG QUALITY PROTEIN MAIZE (QPM) TERHADAP HAMA KUMBANG BUBUK JAGUNG (Sitophilius zeamais ) S. Mas ud, A. Tenrirawe, Masmawati dan Yasin H.G Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras pecah kulit varietas Way Apoburu dan varietas Ciherang, daun pepaya, daun belimbing wuluh, daun cente, daun jeruk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Hasil identifikasi dengan menggunakan preparat mikroskop pada kantung pupa kutukebul berdasarkan kunci identifikasi Martin (1987), ditemukan ciri morfologi B. tabaci

Lebih terperinci

POTENSI DAUN SERAI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA Callosobruchus analis F. PADA KEDELAI DALAM SIMPANAN

POTENSI DAUN SERAI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA Callosobruchus analis F. PADA KEDELAI DALAM SIMPANAN AGROVIGOR VOLUME 3 NO. 1 MARET 2010 ISSN 1979 5777 19 POTENSI DAUN SERAI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA Callosobruchus analis F. PADA KEDELAI DALAM SIMPANAN Herminanto, Nurtiati, dan D. M. Kristianti Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis insektisida nabati dan waktu aplikasinya

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis insektisida nabati dan waktu aplikasinya BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mortalitas T. bactrae-bactrae satu hari setelah infestasi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis insektisida nabati dan waktu aplikasinya tidak berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan hama yang umum menyerang tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk mengetahui tingkat ketahanan galur dan varietas kedelai (G. max L.) berdasarkan karakter morfologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA AIP + 3 H 2 O PH 3 + AI(OH) 3. Mg 3 P H 2 O 2 PH Mg(OH) 2

TINJAUAN PUSTAKA AIP + 3 H 2 O PH 3 + AI(OH) 3. Mg 3 P H 2 O 2 PH Mg(OH) 2 TINJAUAN PUSTAKA Fosfin Fumigasi merupakan tindakan/perlakuan dengan menggunakan gas/fumigan dalam suatu ruang atau fumigasi yang kedap udara/gas. Fumigan bila diberikan dalam konsentrasi yang sesuai akan

Lebih terperinci

Efektivitas Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Ayam terhadap Hasil Jagung di Lahan Kering

Efektivitas Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Ayam terhadap Hasil Jagung di Lahan Kering Efektivitas Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Ayam terhadap Hasil Jagung di Lahan Kering Abstrak Sumanto 1) dan Suwardi 2) 1)BPTP Kalimantan Selatan, Jl. Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 2)Balai Penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Telur diletakkan di dalam butiran dengan

TINJAUAN PUSTAKA. dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Telur diletakkan di dalam butiran dengan TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama S.oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera : Curculionidae

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN POPULASI Rhyzopertha dominica (F.) (COLEOPTERA: BOSTRICHIDAE) PADA LIMA VARIETAS SORGUM RIZKIKA LATANIA ARANDA

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN POPULASI Rhyzopertha dominica (F.) (COLEOPTERA: BOSTRICHIDAE) PADA LIMA VARIETAS SORGUM RIZKIKA LATANIA ARANDA KAJIAN POLA PERTUMBUHAN POPULASI Rhyzopertha dominica (F.) (COLEOPTERA: BOSTRICHIDAE) PADA LIMA VARIETAS SORGUM RIZKIKA LATANIA ARANDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu

Lebih terperinci

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Sidang TUGAS AKHIR, 28 Januari 2010 Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura Nama : Vivid Chalista NRP : 1505 100 018 Program

Lebih terperinci

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA TERPADU TUGAS Oleh RINI SULISTIANI 087001021 SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2 0 0 8 1. Pendahuluan Pengendalian hama

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MESIN PENYOSOH SORGUM Oleh : Ana Nurhasanah, Novi Sulistyosari, Mardison dan Abi Prabowo Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian

PENGEMBANGAN MESIN PENYOSOH SORGUM Oleh : Ana Nurhasanah, Novi Sulistyosari, Mardison dan Abi Prabowo Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian PENGEMBANGAN MESIN PENYOSOH SORGUM Oleh : Ana Nurhasanah, Novi Sulistyosari, Mardison dan Abi Prabowo Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Permasalahan umum yang dihadapi dalam pemanfaatan biji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan dan energi masih menjadi salah satu perhatian besar di Indonesia. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2012), pada tahun 2011

Lebih terperinci

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering. Jumlah Rata-Rata (menit)

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering. Jumlah Rata-Rata (menit) 29 IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian nilai rataaan kecernaan bahan kering dari tiap perlakuan perendaman NaOH dan waktu perendaman biji sorgum

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan pada tanaman dapat disebabkan oleh faktor biotik ataupun abiotik. Faktor pengganggu biotik adalah semua penyebab gangguan yang terdiri atas organisme atau makhluk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : bulat dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Seperti yang terlihat pada

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : bulat dengan ukuran 0,7 mm x 0,3 mm (Pracaya, 1991). Seperti yang terlihat pada xvi TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama S.oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera : Curculionidae

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Inokulasi Virus Tungro pada Varietas Hibrida dan Beberapa Galur Padi di Rumah Kaca Pengaruh Infeksi Virus Tungro terhadap Tipe Gejala Gambar 2 menunjukkan variasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Pakan beberapa Aksesi Daun Bunga Matahari. terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Pakan beberapa Aksesi Daun Bunga Matahari. terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F. 48 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Pakan beberapa Aksesi Daun Bunga Matahari terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa mortalitas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... xi

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... xi DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 5 1.3

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

I. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. HASIL DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id 21 I. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perkecambahan Biji 1. Kecepatan Kecambah Viabilitas atau daya hidup biji biasanya dicerminkan oleh dua faktor yaitu daya kecambah dan kekuatan tumbuh. Hal

Lebih terperinci

BEBERAPA ASPEK BlOLOGl. PADA TlGA VARIETAS KEDELAI

BEBERAPA ASPEK BlOLOGl. PADA TlGA VARIETAS KEDELAI BEBERAPA ASPEK BlOLOGl Callosobruchus moculatus FABRIC1 US (COLEOPTERA : BRUCHIDAE) PADA TlGA VARIETAS KEDELAI Oleh KOSA YOTANIA JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN instltut PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN DAYA DAN WAKTU OVEN GELOMBANG MIKRO TERHADAP MORTALITAS SERANGGA

PENGARUH PERLAKUAN DAYA DAN WAKTU OVEN GELOMBANG MIKRO TERHADAP MORTALITAS SERANGGA PENGARUH PERLAKUAN DAYA DAN WAKTU OVEN GELOMBANG MIKRO TERHADAP MORTALITAS SERANGGA Sitophilus zeamais (COLEOPTERA : Curculionidae) DAN KANDUNGAN PATI BERAS Oleh : KHOIRUL ANAS F 14102057 2007 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kadar Air Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dosis ragi dan frekuensi pengadukan berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air biji kakao serta tidak

Lebih terperinci

UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI TAKALAR

UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI TAKALAR UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI TAKALAR Amir dan St. Najmah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu resiko yang harus dihadapi. Kehilangan hasil akibat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu resiko yang harus dihadapi. Kehilangan hasil akibat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembudidayaan tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu resiko yang harus dihadapi. Kehilangan hasil akibat organisme pengganggu tanaman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaman Sifat Pertumbuhan dan Taksiran Repeatability Penelitian tentang klon JUN hasil perkembangbiakan vegetatif ini dilakukan untuk mendapatkan performa pertumbuhan serta

Lebih terperinci