BAB II LANDASAN TEORI. Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. JOB INSECURITY 1. Definisi Job Insecurity Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989). Joelsen dan Wahlquist (dalam Hartley dkk, 1991) menyatakan bahwa job insecurity merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan. Kenyataannya, populasi yang mengalami job insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Sebagai tambahan, Hartley (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya. Selain itu, Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.

2 Dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja terhadap suatu keadaan di mana mereka merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaan tersebut. 2. Aspek-aspek Job Insecurity Konstruk job insecurity terdiri dari dua dimensi, yaitu besarnya ancaman (severity of threat) atau derajat ancaman yang dirasakan mengenai kelanjutan situasi kerja tertentu. Ancaman ini dapat terjadi pada berbagai aspek pekerjaan atau pada keseluruhan pekerjaan, dan yang kedua adalah powerlessness (Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989), di mana efeknya dapat dijelaskan dengan kalkulasi sebagai berikut: Job insecurity = perceived severity of the threat x perceived powerless to resist the threat. Ruvio dan Rosenblatt (1999) kemudian memperjelas kembali kedua dimensi tersebut, sebagai berikut: pertama adalah perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan sementara. Pada sisi lain kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau dipaksa pensiun terlalu awal. Yang kedua adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja (job features). Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji ataupun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan

3 kerja, dan signifikansi pekerjaan. Ancaman terhadap tampilan kerja mungkin juga berperan dalam kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap dipakai. Ketiga, job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadiankejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan tidak berdaya (powerlessness). Namun, di dalam penulisan ini dimensi powerlessness yang dikemukakan Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) tidak digunakan karena ada penulisan yang membuktikan bahwa dimensi powerlessness tidak berhubungan secara statistik dengan dimensi lainnya dalam pengukuran job insecurity. Hartley (1991) menambahkan bahwa powerlessness boleh tidak dimasukkan sebagai komponen ketiga dalam pengukuran job insecurity sejak diketahui bahwa powerlessness dapat digolongkan sebagai bagian dari kemungkinan kehilangan pekerjaan, karena powerlessness dalam menghadapi ancaman akan membuat perasaan kehilangan semakin besar. Jika karyawan merasa bahwa mereka mempunyai kekuatan, maka kemungkinan akan merasa kehilangan pekerjaan akan menurun. Sehingga Brown-Johnson (dalam Hartley dkk, 1991), powerlessness tidak berbeda secara konseptual dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan, baik untuk keseluruhan kerja maupun tampilan kerja. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989) telah mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok sebagai berikut:

4 a. Kondisi lingkungan dan organisasi Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor, misalnya: komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya downsizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan. b. Karakteristik individual dan jabatan pekerja Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender, senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya, status sosial ekonomi, dan pengalaman kerja. c. Karakteristik personal pekerja Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity misalnya: locus of control, self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan. Jumlah variansi dalam penerimaan job insecurity yang dijelaskan oleh predictor ini adalah sekitar 20%. Predictor terbaik biasanya adalah faktor-faktor posisional, seperti pengalaman pengangguran sebelumnya, atau kontrak kerja sementara (Kinnunen & Naetti dalam Ashford dkk, 1989), faktor-faktor personal (Roskies & Louisguerin dalam Ashford dkk, 1989) dan tanda-tanda ancaman contohnya rumor mengenai reorganisasi atau perubahan menajemen (Ashford dkk, 1989). Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan job insecurity pada karyawan adalah karakteristik personal pekerja. Dalam penelitian ini, karakteristik personal pekerja dipilih peneliti untuk dapat dijelaskan dengan mengacu kepada kapasitas yang dimiliki oleh setiap individu

5 tersebut yaitu psychological capital. Sehingga dalam hal ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara psychological capital dengan job insecurity. B. PSYCHOLOGICAL CAPITAL 1. Definisi Psychological Capital Psychologiacal capital, ( who you are, Luthans and Youssef, 2004 dalam Jensen dan Luthan, 2006), diajukan sebagai leverage dan competitive adventage, berbeda dari human capital ( what you know, O Leary et al, 2002 dalam Jensen dan Luthan, 2006) dan social capital ( who you know, Adler and Kwon, 2002 dalam Jensen dan Luthan, 2006). Konsep psychological capital menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keutungan kompetitif melalui investasi/pengembangan who you are and what you can become (Luthans & Avolio, 2003; Luthans, et al., 2006, 2007, Jensen dan Luthan, 2006). Luthan dan kawan-kawan mendefinisikan psychological capital ini sebagai hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap individu yang berguna untuk dapat membantu individu tersebut untuk dapat berkembang dan yang ditandai oleh: (1) percaya diri (self-efficacy/confidence) untuk menyelesaikan pekerjaan, (2) memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang, (3) tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil, dan (4) tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Masing-masing karakteristik tersebut diuraikan sebagai berikut (lihat Gambar 2).

6 Efficacy/Confidence Believing in one s ability to mobilize cognitive resources to obtain specific outcomes Hope Having the willpower and pathways to attain one s goals Optimism Having the explanatory style that attributes positive events to internal, permanent and pervasive causes Positive Psychological Capital -unique -measurable -developable -impactful on performance Resiliency Having the capacity to bounce back from adversity, failure or even seeming (sic) overwhelming positive changes Gambar 2 Dimensi psychological capital (Luthans & Youssef, 2004), dikutip dari Page & Donohue (2004) 2. Dimensi-dimensi Psychological Capital Menurut Luthans, Youssef & Avolio, 2007, dalam bukunya yang berjudul Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge bahwa psychological capital memiliki empat dimensi yaitu self-efficacy/confidence, optimism, hope,dan resiliency.

7 a. Psychological capital efficacy Psychological capital efficacy menggambarkan kepercayaan diri dari seseorang, ditandai oleh kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, kemampuan kognitif serta kemampuan melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas spesifik (Stajkovic & Luthans, 1998b, dalam Larson dan Luthans, 2006). Sedangkan menurut James E. Maddux dalam buku The Handbook of Positive Psychology (snyder & Lopez, 2006) self-efficacy menggambarkan kekuatan dari kepercayaan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu. Menurut teori Bandura (1986, 1997), psychological capital efficacy (atau singkatnya kepercayaan diri) didefinisikan sebagai keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimilikinya yang dapat mendorongnya untuk menjadi termotivasi dan sebagai jalan individu tersebut untuk bertindak untuk dapat menjadi sukses melakukan suatu pekerjaan tertentu. b. Psychological capital hope C. Rick Snyder, seorang professor psikologi klinis University of Kansas mendefinisikan hope sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to meet goals). Dari definisi ini, harapan melibatkan willpower dan waypower. Willpower adalah suatu dimensi penting karena dapat memicu motivasi dan menjaga energi seseorang untuk mencapai tujuannya. Sedangkan waypower merupakan rencana alternatif hasil pemikiran seseorang untuk mencapai tujuannya.

8 Penelitian Snyder (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendukung ide bahwa hope merupakan suatu kognitif atau proses berpikir dimana individu mampu menyusun kenyataan dengan tujuan dan harapan yang menarik atau menantang dan pada akhirnya mendapatkannya dengan cara determinasi selfdirected, energi, dan persepsi kontrol internal. c. Psychological capital optimism Martin Seligman (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mendefinisikan optimisme sebagai model pemikiran dimana individu mengatribusikan kejadian positif ke dalam diri sendiri, bersifat permanent, dan penyebabnya bersifat pervasive, dan di lain hal menginterpretasikan kejadian negatif kepada aspek eksternal, bersifat sementara atau temporer, dan merupakan faktor yang disebabkan oleh situasi tertentu. Secara konseptual, optimisme menginterpretasikan peristiwa buruk disebabkan oleh pihak eksternal (bukan salah saya), bersifat tidak stabil (hanya terjadi sekali saja), dan merupakan kejadian spesifik (saat ini). Sedangkan pesimis menginterpretasikan kebalikannya, yaitu peristiwa yang disebabkan oleh pihak internal, bersifat stabil dan merupakan kejadian global (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Seligman, 1998A dalam Larson dan Luthans, 2006). Dalam penelitian ini, pengertian optimis menggambarkan keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan diperoleh. Beberapa hal positif yang dihasilkan dari optimisme adalah seperti kesehatan fisik dan mental dan well-being, coping yang efektif untuk situasi sulit dalam hidup, penyembuhan dari penyakit dan obat-obatan, kepuasan hidup, dan authentic happiness. Dalam dunia kerja, optimisme ini juga berhubungan secara

9 positif kepada hal-hal yang memuaskan seperti workplace performance dan performa di berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, olahraga dan politik. Sedangkan untuk hal yang negatif yang dapat dihasilkannya adalah seperti depresi, penyakit fisik dan rendahnya performa di setiap bidang kehidupan. d. Psychological capital resiliency Ketabahan didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Berbeda dengan self-efficacy, hope, dan optimism yang lebih bersifat proaktif, resiliency dari seseorang lebih bersifat reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan, ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Blok & Kremen, 1996 dalam Larson dan Luthans, 2006). 3. Psychological Capital Intervention (PCI) Luthans, Youssef & Avolio (2007) juga menunjukkan beberapa cara yang berupa intervensi yang disebut dengan psychological capital intervention (PCI) yaitu untuk mengembangkan tiap aspek dalam psychological capital. a. Hope Development Harapan dipengaruhi oleh tujuan, pathways dan agency. Dalam hal ini, individu dilatih untuk membangun suatu tujuan yang memungkinkan untuk dapat menjadi motivasi baginya., dan tiap komponen dalam tujuan ini dapat meningkatkan agency. Selain itu, individu juga dilatih untuk dapat melihat beberapa pathway yang dapat ia gunakan dalam

10 merencanakan tindakan ketika danya suatu tantangan atau rintangan. Setelah selesai latihan ini, tiap individu akan mendapatkan feedback atau alternatif pathways yang diharapkan dari kelompoknya. Latihan ini dapat meningkatkan kemampuan individu untuk melihat adanya suatu tantangan dan untuk merencanakan tindakan yang tepat untuk tantangan tersebut dan juga dapat mengurangi dampak negatif yang dapat mempengaruhi agency. b. Optimism Development Membangun efikasi diri dalam merencanakan suatu tundakan akan suatu rintangan yang ada akan menjadi dasar untuk perkembangan perluasan harapan-harapan yang positif. Ketika seseorang merasa percaya diri bahwa ia dapat merencanakan semua tindakan yang akan ia lakukan akan rintangan-rintangan yang datang, maka harapan-harapan mereka untuk mendapatkan hal tersebut akan meningkat. Harapan-harapan yang negatif tidak akan membantu seseorang untuk melihat adanya jalan untuk bertindak akan adanya suatu rintangan dan tidak termotivasi untuk menjadi sukses. Feedback dari kelompok akan meningkatkan harapan-harapan yang positif bagi individu dan pada akhirnya individu tersebut akan terdorong untuk sukses. Ketika harapan-harapan untuk dapat sukses meningkat, maka optimisme pada tiap individu dan juga pada kelompok juga akan meningkat pula. c. Efficacy Development Setiap individu hendaknya menetapkan tujuan yang ingi ia capai. Selanjutnya, mereka menjelaskan tiap bagian dari tujuan yang mereka buat kepada kelompok, dan mereka juga hendaknya dapat menjelaskan

11 bagaimana cara untuk dapat menjalankan dan mencapai tujuan tersebut. Aspek pembelajaran memegang peranan penting bagi tiap individu, dimana individu berdasarkan pengalamannya tersebut dapat bekerjasama dengan rekan kerjanya yang lain dan bagaimana mereka secara bersamasama dapat mencapai tujuan yang telah dibuat dan menjadi sukses. Pada tahap ini, termasuk juga di dalamnya yaitu keterbangkitan emosional, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh harapan-harapan positif untuk dapat mencapai tujuan. d. Resiliency Development Resiliensi akan meningkat dengan dibangunnya aset personal seperti kemampuan, talenta, dan jaringan sosial. Individu akan berfikir tentang sumber-sumber apa yang dapat digunakan untuk dapat mencapai tujuan. Setelah mendata sumber-sumber, rekan kerja akan mengidentifikasi sumber-sumber tambahan yang dapat digunakan juga. Sama seperti ketika merencanakan tindakan yang sesuai untuk rintangan yang datang, individu juga hendaknya melihat dan mengidentifikasi masalah-masalah ataupun rintangan yang mungkin akan muncul dan yang akan dapat menghambat kemajuan mereka. Pada akhirnya seorang yang resilien akan tetap pada pemikiran dan perasaannya (misalnya tetap percaya diri) ketika individu tersebut berhadapan degan situasi yang berbeda.

12 Gambar 3. Psychological Capital Intervention (PCI) Developmental Dimensions Proximal outcomes (Psychological Capital) Distal Outcomes Goals and pathways design Implementing obstacle planning Hope Building efficacy /Confidence Developing positive expectancy Experiencing success/ modeling others Persuasion and arousal Positive Optimism Efficacy Confidence Sustainable Veritable Performance Impact Building assets/avoid risks Affecting the influence process Resiliency C. Hubungan antara psychological capital dengan job insecurity Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan (Ashford dkk, 1989). Sedangkan Joelsen dan Wahlquist (dalam Hartley dkk, 1991) menyatakan bahwa job insecurity

13 merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan. Kenyataannya, populasi yang mengalami job insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Sebagai tambahan, Hartley (1991) menyatakan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya. Selain itu, Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Hartley dkk, 1991) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi. Greenhalgh dan Rosenblatt (dalam Ashford dkk, 1989) telah mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok yaitu kondisi lingkungan dan organisasi, karakteistik individual dan jabatan pekerja, dan karakteristik personal pekerja. Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity misalnya: locus of control, self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan. Karakteristik personal pekerja ini mengarah kepada kapasitas ataupun kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu ini disebut dengan human capital. Dimana sebelumnya telah dijelaskan bahwa Peterson dan Spiker (2005) menyatakan bahwa human capital merupakan konstruk inti yang terdiri atas: Psychological Capital, Intellectual Capital,

14 Emotional Capital, dan Social Capital, atau PIES human capital, yang memberikan kontribusi positif atau organizational outcomes pada organisasi. Penelitian mengenai psychological capital di suatu perusahaan di Indonesia masih sangatlah minim, padahal psychological capital ini merupakan salah satu konstruk penting juga dalam penentuan perilaku karyawan dalam perusahaan. Konsep psychological capital telah dieksplorasi oleh Luthan dan kawankawannya (Luthans et al., 2004; Luthans and Youssef, 2004). Psychological capital didefinisikan oleh Luthan dan kawan-kawan sebagai hal positif psikologis perorangan yang ditandai oleh: (1) percaya diri (self-efficacy/confidence) untuk menyelesaikan pekerjaan, (2) memiliki pengharapan positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang; (3) tekun dalam berharap (hope) untuk berhasil; dan (4) tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan (resiliency) hingga mencapai sukses (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Psychological capital efficacy menggambarkan kepercayaan diri dari seseorang, ditandai oleh kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, kemampuan kognitif serta kemampuan melakukan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas spesifik (Stajkovic & Luthans, 1998b, dalam Larson dan Luthans, 2006). Sedangkan menurut James E. Maddux dalam buku The Handbook of Positive Psychology (snyder & Lopez, 2006) self-efficacy menggambarkan kekuatan dari kepercayaan bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu. Meningkatnya psychological capital efficacy ini akan mengarahkan kepada job insecurity yang rendah, dimana job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan

15 tidak berdaya (powerlessness) (Ruvio dan Rosenblatt, 1999). Hal ini juga mengarah kepada psychological capital optimism, dimana Luthans, Youssef & Avolio (2007) telah menyatakan bahwa secara konseptual, optimisme menginterpretasikan peristiwa buruk disebabkan oleh pihak eksternal (bukan salah saya), bersifat tidak stabil (hanya terjadi sekali saja), dan merupakan kejadian spesifik (saat ini). Sedangkan pesimis menginterpretasikan kebalikannya, yaitu peristiwa yang disebabkan oleh pihak internal, bersifat stabil dan merupakan kejadian global (Buchanan & Seligman, 1995; Peterson, 2000; Seligman, 1998A dalam Larson dan Luthans, 2006). Dalam penelitian ini, pengertian optimis menggambarkan keyakinan bahwa sesuatu yang baik akan diperoleh. Menurut penelitian mengenai stres kerja (dalam Rice, 1992), orang yang memiliki beberapa harapan spesifik terhadap suatu pekerjaan mereka berharap akan kemajuan yang cepat atau paling tidak karir yang tetap. Mereka berharap beberapa kebebasan dalam pekerjaan dan kekuasaan yang meningkat, karyawan yang tidak menerima posisi bisa mengalami stres. Dan harapan-harapan karyawan ini sesungguhnya mengarah kepada apa yang dikatakan oleh Luthans, Youssef & Avolio (2007) yaitu psychological capital hope. Karyawan yang hopeful atau berpengharapan cenderung berpikir secara independen. Mereka mengarah kepada proses berpikir dengan internal locus of control (mereka cenderung membuat atribusi internal, misalnya berpikir bahwa mereka sukses memang karena usaha yang dilakukannya). Mereka juga membutuhkan derajat otonomi yang tinggi. Mereka lebih suka untuk mencoba jalan alternatif untuk membuat suatu kontrol, walaupun hal tersebut terlihat seperti tidak mematuhi ataupun tidak taat pada pimpinannya. Mereka memiliki kebutuhan

16 yang cukup kuat untuk dapat berkembang dan berprestasi dan secara intrinsik termotivasi oleh pekerjaan yang meluas seperti yang telah digambarkan oleh Oldham dan Hackman, 1980 (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) yaitu dimana pekerjaan tersebut memiliki level yang tinggi terhadap pengalaman yang berharga dan pertanggungjawaban dan menyediakan feedback yang banyak dan bagus. Mereka lebih cenderung kreatif dan imaginatif. Dan mereka juga berani mengambil risiko. Job insecurity diartikan sebagai tingkat dimana pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut (Ashford dkk, 1989). Ketika karyawan memiliki level psychological capital resiliency yang kuat atau tinggi, kemungkinan level job insecurity karyawan tersebut akan menurun, dimana Luthans telah menyatakan bahwa ketabahan (psychological capital resiliency) didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Masten dan Reed, 2002 (dalam Luthans, Youssef & Avolio, 2007) mengidentifikasi tiga set strategi atau cara yang dapat digunakan pada kondisi kerja untuk dapat menigkatkan resiliency ini, yaitu asset-focused strategies, risk-focused strategies, dan process-focused strategies. Dari uraian-uraian diatas dapat dilihat hubungan yang negatif antara psychological capital dengan job insecurity.

17 D. Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesa sebagai jawaban sementara. Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Hipotesa mayor Psychological capital merupakan prediktor positif terhadap job insecurity. 2. Hipotesa minor: a. Psychological capital efficacy merupakan prediktor positif terhadap job insecurity. b. Psychological capital hope merupakan prediktor positif terhadap job insecurity. c. Psychological capital optimism merupakan prediktor positif terhadap job insecurity. d. Psychological capital resiliency merupakan prediktor positif terhadap job insecurity.

BAB I PENDAHULUAN. diri (Sunarto, 2004). Hal ini disebabkan karena dunia kerja sekarang telah

BAB I PENDAHULUAN. diri (Sunarto, 2004). Hal ini disebabkan karena dunia kerja sekarang telah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dewasa ini makin banyak organisasi menghadapi suatu lingkungan yang dinamis dan berubah yang selanjutnya menuntut agar organisasi itu menyesuaikan diri (Sunarto,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. WORK ENGAGEMENT 1. Definisi Work Engagement Work engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, 2004). Work engagement memungkinkan individu untuk menanamkan

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan 8 BAB II TELAAH TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Goal Setting Theory Goal setting theory merupakan bagian dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Locke, 1978. Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Work Engagement BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian Work Engagement Menurut Macey & Scheneider (2008), engagement yakni rasa seseorang terhadap tujuan dan energi yang terfokus, memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hal ini terlihat dari peningkatan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jenjang pendidikan

Lebih terperinci

Beberapa tahun belakangan pelaku bisnis mengantisipasi ketatnya persaingan dengan memilih menggunakan pihak ketiga untuk menangani sumber daya

Beberapa tahun belakangan pelaku bisnis mengantisipasi ketatnya persaingan dengan memilih menggunakan pihak ketiga untuk menangani sumber daya Beberapa tahun belakangan pelaku bisnis mengantisipasi ketatnya persaingan dengan memilih menggunakan pihak ketiga untuk menangani sumber daya manusia di bidang penunjang. Strategi ini belakangan semakin

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Teoritis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Teoritis BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Teoritis 1. Komitmen Organisasi a. Pengertian Komitmen Organisasi Dalam prilaku organisasi, terdapat beragam definisi tentang komitmen organisasi. Sebagai suatu sikap,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Job Performance 1. Pengertian job performance Dalam dunia organisasi, terdapat banyak sekali istilah yang digunakan untuk menggambarkan seberapa baik seseorang melakukan pekerjaan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement

BAB II LANDASAN TEORI. Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement BAB II LANDASAN TEORI A. Keterikatan Kerja 1. Definisi Keterikatan Kerja Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement dinyatakan Vazirani (2007) sebagai tingkat komitmen dan keterlibatan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja 1. Pengertian Psychological Well-Being Istilah psychological well-being pertama kali berangkat dari pandangan filsuf Aristoteles

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesiapan Berubah 1. Definisi Kesiapan Berubah Holt, Armenakis, Feild & Harris (2007) mendefinisikan kesiapan individu untuk berubah sebagai sikap komprehensif yang secara simultan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. daya manusia pada bangsa ini tidak diimbangi dengan kualitasnya. Agar di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. daya manusia pada bangsa ini tidak diimbangi dengan kualitasnya. Agar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melimpahnya sumber daya manusia di Indonesia menjadi salah satu keuntungan bagi bangsa ini. Tetapi, pada kenyataannya melimpahnya sumber daya manusia pada bangsa

Lebih terperinci

Persepsi perusahaan di seluruh dunia telah memasuki era dimana melihat. sebuah organisasi tidak hanya dari pencapaian hasilnya, tetapi melihat

Persepsi perusahaan di seluruh dunia telah memasuki era dimana melihat. sebuah organisasi tidak hanya dari pencapaian hasilnya, tetapi melihat PENDAHULUAN Persepsi perusahaan di seluruh dunia telah memasuki era dimana melihat sebuah organisasi tidak hanya dari pencapaian hasilnya, tetapi melihat komponen proses yang terlibat didalamnya. Posisi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepercayaan diri (self efficay) untuk menghadapi tugas-tugas yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepercayaan diri (self efficay) untuk menghadapi tugas-tugas yang BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological Capital 1. Definisi Psychological Capital Menurut Luthans (2007:3) Psychological Capital adalah kondisi perkembangan positif seseorang dan dikarakteristikan oleh:

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Rousseau (2000) teori kontrak psikologi (Psychological Contract Theory) diartikan sebagai

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Rousseau (2000) teori kontrak psikologi (Psychological Contract Theory) diartikan sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Kontrak Psikologi (Psychological Contract Theory) Rousseau (2000) teori kontrak psikologi (Psychological Contract Theory) diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap peningkatan pendapatan Indonesia. Kementerian Pertanian menyatakan bahwa pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berubah sehingga menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berubah sehingga menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Ditengah iklim persaingan usaha yang semakin ketat menuntut perusahaan untuk selalu bisa beradaptasi dalam menghadapi situasi perekonomian yang tidak menentu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. Psychological Capital (PsyCap) sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORITIS. Psychological Capital (PsyCap) sebagai berikut: 14 BAB II LANDASAN TEORITIS A. PSYCHOLOGICAL CAPITAL 1. Definisi Luthans, Youssef, & Avolio (2007) dalam bukunya mendefinisikan Psychological Capital (PsyCap) sebagai berikut: PsyCap is an individual s

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pada dasarnya bertanggungjawab untuk selalu menghasilkan kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pada dasarnya bertanggungjawab untuk selalu menghasilkan kinerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan pada dasarnya bertanggungjawab untuk selalu menghasilkan kinerja terbaik (Husnawati, 2006). Akan tetapi usaha untuk meningkatkan kinerja bukanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover

BAB I PENDAHULUAN. organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan psikologis karyawan merupakan hal yang penting bagi organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover karyawan (Page & Vella-Brodick,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan situasi yang kompetitif. Situasi kompetitif ini terjadi. Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan situasi yang kompetitif. Situasi kompetitif ini terjadi. Sumber Daya Manusia yang berkualitas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dunia kerja saat ini, jumlah perusahaan di Indonesia semakin bertambah sehingga mengakibatkan situasi yang kompetitif. Situasi kompetitif ini terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap organisasi berupaya menciptakan keunggulan-keunggulan kompetitif dimana keunggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumber pendapatan seseorang dapat berasal dari berbagai hal. Menurut Kiyosaki (2002) terdapat empat sumber untuk mendapat penghasilan, yaitu sebagai karyawan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, sumber daya alam dan sumber-sumber ekonomi lainnya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, sumber daya alam dan sumber-sumber ekonomi lainnya untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan pada dasarnya merupakan organisasi dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber-sumber ekonomi lainnya untuk mencapai suatu tujuan. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Berwirausaha 1.1. Pengertian Intensi Berdasarkan teori planned behavior milik Ajzen (2005), intensi memiliki tiga faktor penentu dasar

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

Pengaruh Psychological Capital terhadap Kepuasan Kerja pada Pemadam Kebakaran di Sudin Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Timur

Pengaruh Psychological Capital terhadap Kepuasan Kerja pada Pemadam Kebakaran di Sudin Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Timur Pengaruh Psychological Capital terhadap Kepuasan Kerja pada Pemadam Kebakaran di Sudin Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Jakarta Timur Vora Leolita Islami, Fibria Indriati Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia 8 2. TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang digunakan untuk membantu peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian, yang meliputi teori outsourcing, self-efficacy,

Lebih terperinci

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat. Perubahan zaman yang semakin berkembang menuntut perusahaanperusahaan untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Self-Efficacy Self-Efficacy merupakan penilaian orang tentang kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in BAB II LANDASAN TEORI A. Keterikatan Kerja 1. Definisi Keterikatan kerja marak dibicarakan di tahun-tahun belakangan ini, namun yang pertama menyebutkan mengenai kosep ini adalah Kahn (1990), sehingga

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Di era globalisasi sekarang ini, perusahaan-perusahaan dihadapkan pada persaingan antarperusahaan yang semakin meningkat (Kotter, 1995). Dalam iklim persaingan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya, dan prestasi akhir itulah yang dikenal dengan performance atau

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya, dan prestasi akhir itulah yang dikenal dengan performance atau BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Masalah Kekuatan setiap organisasi terletak pada sumber daya manusia, sehingga prestasi organisasi tidak terlepas dari prestasi setiap individu yang terlibat didalamnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Job insecurity adalah suatu keadaan yang tidak nyaman dan rancu yang dialami para UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Job insecurity adalah suatu keadaan yang tidak nyaman dan rancu yang dialami para UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Job insecurity adalah suatu keadaan yang tidak nyaman dan rancu yang dialami para pekerja yang di sebabkan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi ialah suatu

BAB III METODE PENELITIAN. mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi ialah suatu BAB III METODE PENELITIAN Metode ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi ialah suatu pengkajian dalam memperlajari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN KONTINUAN PADA KARYAWAN PELAKSANA PRODUKSI PT. SARI WARNA ASLI UNIT V KUDUS

HUBUNGAN ANTARA JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN KONTINUAN PADA KARYAWAN PELAKSANA PRODUKSI PT. SARI WARNA ASLI UNIT V KUDUS HUBUNGAN ANTARA JOB INSECURITY DENGAN KOMITMEN KONTINUAN PADA KARYAWAN PELAKSANA PRODUKSI PT. SARI WARNA ASLI UNIT V KUDUS Anindhita Setianingrum Harlina Nurtjahjanti Achmad Mujab Maskur Abstrak Komitmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi manusia dengan lingkungannya sering kali menimbulkan berbagai macam masalah mulai dari standar kebutuhan hidup yang terus meningkat, membuat manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik, BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Work Engagement Konsep engagement atau keterikatan dipopulerkan oleh Kahn (1990) yang mendefinisikan work engagement adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness dan Subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Optimisme 1. Definisi Optimisme Optimis dalam KBBI diartikan sebagai orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal sedangkan optimistis didefenisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. bahasan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. bahasan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pada bab ini membahas landasan teori yang mendasari kerangka berfikir dan bahasan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 2.1 Landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan siswa diharapkan akan memperoleh kemampuan, pengetahuan,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI Kontribusi Psychological Capital terhadap Organizational Citizenship Behavior pada Guru Sekolah Negeri Disusun Oleh : Nicholas Jahja - 16513410 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan ekonomi global yang dicirikan dengan perubahan cepat, dinamika tinggi, permintaan tinggi atas inovasi, dan (karenanya) memiliki tingkat ketidakpastian

Lebih terperinci

S K R I P S I. Guna Memenuhi Persyaratan. Ujian Sarjana Psikologi MUTIARA GRACE SIANTURI

S K R I P S I. Guna Memenuhi Persyaratan. Ujian Sarjana Psikologi MUTIARA GRACE SIANTURI PSYCHOLOGICAL CAPITAL MERUPAKAN PREDIKTOR POSITIF BAGI JOB INSECURITY S K R I P S I Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi Oleh : MUTIARA GRACE SIANTURI 061301100 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ADVERSITY QUOTIENT DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DALAM MENENTUKAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN

ADVERSITY QUOTIENT DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DALAM MENENTUKAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN ADVERSITY QUOTIENT DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DALAM MENENTUKAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN Fensi Arintia Ekaputri Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya, Surabaya Alamat: Green Semanggi Mangrove,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan kehidupan bangsa, hal ini tidak lepas dari peran seorang guru. Guru memiliki peran

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR DENGAN JOB INSECURITY PADA KARYAWAN DISUSUN OLEH: Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si NIP. 132 316 960 DIKETAHUI OLEH: DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI USU Prof.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN DISIPLIN KERJA KARYAWANBAGIAN PRODUKSI PT. ARGAMAS LESTARI SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN DISIPLIN KERJA KARYAWANBAGIAN PRODUKSI PT. ARGAMAS LESTARI SEMARANG HUBUNGAN ANTARA PSYCHOLOGICAL CAPITAL DENGAN DISIPLIN KERJA KARYAWANBAGIAN PRODUKSI PT. ARGAMAS LESTARI SEMARANG Kencana Anggar Kusuma, Unika Prihatsanti Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, Jl.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja Menurut Kinicki dan Kreitner (2014 : 169) kepuasan kerja adalah sebuah tanggapan afektif atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menjadi bangsa yang kian berkembang adalah harapan seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia mengharapkan adanya pembaharuan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self-Efficacy 1. Definisi Self-Efficacy Seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kognitif, khususnya faktor kognitif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori baru bermunculan, termasuk teori mengenai kecerdasan. Apabila dulu kecerdasan hanya diukur dengan prestasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab kematian pada manusia adalah penyakit kronis (dalam Sarafino, 2006). Penyakit kronis merupakan jenis

Lebih terperinci

JOB INSECURITY DALAM ORGANISASI

JOB INSECURITY DALAM ORGANISASI JOB INSECURITY DALAM ORGANISASI Oleh: Rony Setiawan Bram Hadianto Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Kristen Maranatha Bandung Abstract: The phenomenon of job insecurity is not

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA JOB INSECURITY DENGAN KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN OUTSOURCING

HUBUNGAN ANTARA JOB INSECURITY DENGAN KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN OUTSOURCING HUBUNGAN ANTARA JOB INSECURITY DENGAN KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN OUTSOURCING NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Persepsi Dukungan Organisasi 2.1.1.1 Pengertian Persepsi Dukungan Organisasi Persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan

sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan yang lebih tinggi terhadap karyawan atau calon karyawan agar dapat terus bersaing di dunia korporasi yang semakin kompetitif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan global yang semakin ketat dewasa ini mengakibatkan perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital (sumber daya manusia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang semakin meningkat. Individu dituntut untuk semakin maju agar dapat mengikuti persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related

BAB II LANDASAN TEORI. Peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka berfungsi sebagai peninjauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Disamping itu pula, pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Disamping itu pula, pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pekerjaan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat penting bagi masyarakat. Bekerja merupakan suatu tuntutan yang mendasar, baik dalam rangka memperoleh imbalan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. menggambarkan peristiwa kehidupan dalam suatu cara yang positif (Burke, Joyner, Ceko, &

BAB II LANDASAN TEORI. menggambarkan peristiwa kehidupan dalam suatu cara yang positif (Burke, Joyner, Ceko, & BAB II LANDASAN TEORI A. Optimisme 1. Pengertian Optimisme Optimis adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi individu yang menggambarkan peristiwa kehidupan dalam suatu cara yang positif (Burke,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan sebuah perusahaan bukan hanya tergantung dari permodalan secara

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan sebuah perusahaan bukan hanya tergantung dari permodalan secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Keberhasilan sebuah perusahaan bukan hanya tergantung dari permodalan secara riil yaitu berbentuk uang, namun salah satu hal yang juga berpengaruh adalah sumber

Lebih terperinci

DUKUNGAN KELUARGA DAN MODAL PSIKOLOGIS MAHASISWA

DUKUNGAN KELUARGA DAN MODAL PSIKOLOGIS MAHASISWA DUKUNGAN KELUARGA DAN MODAL PSIKOLOGIS MAHASISWA Unika Prihatsanti Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Jl. Prof Sudharto SH, Tembalang, Semarang 50274 unika_prihatsanti@undip.ac.id Abstract Psychological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilandasi kesetian dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar. meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. dilandasi kesetian dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar. meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat haruslah menyelenggarakan pelayanan secara adil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu factor yang mampu menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu factor yang mampu menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu factor yang mampu menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam suatu organisasi adalah factor sumber daya manusia (SDM). Keunggulan bersaing suatu organisasi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS SEBAGAI LANDASAN RESILIENSI DALAM MENGHADAPI DINAMIKA BERWIRAUSAHA

KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS SEBAGAI LANDASAN RESILIENSI DALAM MENGHADAPI DINAMIKA BERWIRAUSAHA KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS SEBAGAI LANDASAN RESILIENSI DALAM MENGHADAPI DINAMIKA BERWIRAUSAHA Eva Nur Rachmah Fakultas Psikologi Universitas 45 Surabaya evanoer.rachma@gmail.com Luvy Kurniasari Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komitmen organisasi perlu diperhatikan pada setiap anggota yang ada dalam organisasi.allen dan Meyer (1990: 2) menyatakan anggota dengan komitmen organisasi, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya,

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan tempat di mana dua orang atau lebih bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, baik menghasilkan suatu barang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori yang mendukung penelitian ini adalah role theory (teori peran) yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori yang mendukung penelitian ini adalah role theory (teori peran) yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Role Theory (Teori Peran) Teori yang mendukung penelitian ini adalah role theory (teori peran) yang dikemukakan oleh Kahn dkk. (1964). Teori Peran menekankan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Locus Of Control 2.1.1.1 Pengertian Locus Of Control Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif dengan menerapkan psikologi positif dalam pendidikan. Psikologi positif yang dikontribusikan

Lebih terperinci

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PSYCHOLOGICAL CAPITAL PADA SISWA KELAS XII SMA DAN SEDERAJAT DI WILAYAH KECAMATAN JATINANGOR SHABRINA SYFA ABSTRAK

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PSYCHOLOGICAL CAPITAL PADA SISWA KELAS XII SMA DAN SEDERAJAT DI WILAYAH KECAMATAN JATINANGOR SHABRINA SYFA ABSTRAK STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PSYCHOLOGICAL CAPITAL PADA SISWA KELAS XII SMA DAN SEDERAJAT DI WILAYAH KECAMATAN JATINANGOR SHABRINA SYFA ABSTRAK Psychological Capital adalah keadaan positif perkembangan psikologis

Lebih terperinci

Tunjangan dan Imbalan Nonfinansial

Tunjangan dan Imbalan Nonfinansial MSDM Materi 11 Tunjangan dan Imbalan Nonfinansial http://deden08m.com 1 Pengertian Tunjangan Tunjangan (Kompensasi Finansial Tidak Langsung): Meliputi seluruh imbalan finansial yang tidak termasuk dalam

Lebih terperinci

MSDM Materi 11 Tunjangan dan Imbalan Nonfinansial

MSDM Materi 11 Tunjangan dan Imbalan Nonfinansial MSDM Materi 11 Tunjangan dan Imbalan Nonfinansial http://deden08m.com 1 Pengertian Tunjangan Tunjangan (Kompensasi Finansial Tidak Langsung): Meliputi seluruh imbalan finansial yang tidak termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Lingkungan Kerja Meskipun tekanan kompetitif di kebanyakan organisasi semakin kuat dari sebelumnya, beberapa organisasi mencoba merealisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai masa

BAB I PENDAHULUAN. tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai masa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki warisan budaya yang beragam. Warisan budaya diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (Mahdi et al., 2012). Widjaja et al. (2011) mengungkapkan bahwa proses turnover

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (Mahdi et al., 2012). Widjaja et al. (2011) mengungkapkan bahwa proses turnover BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Turnover Intention 2.1.1 Pengertian Turnover Intention Turnover intention adalah kecenderungan niat karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya secara sukarela

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka-angka, target dan estimasi akan langsung muncul dipikiran kita saat

BAB I PENDAHULUAN. angka-angka, target dan estimasi akan langsung muncul dipikiran kita saat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyusunan anggaran adalah masalah teknis. Kata-kata seperti keuangan, angka-angka, target dan estimasi akan langsung muncul dipikiran kita saat seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab sebelumnya telah dijabarkan mengenai latar belakang dari penelitian ini. Pada bab dua ini akan dibahas tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini. Pada bab ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumberdaya dan kapabilitas organisasinya (Baron & Kreps, 1999).

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumberdaya dan kapabilitas organisasinya (Baron & Kreps, 1999). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinamika yang terjadi pada lingkungan eksternal menuntut organisasi untuk terus bertahan di tengah iklim yang kompetitif. Organisasi harus mampu bergerak maju menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah pendidikan tinggi yang merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk mempersiapkan peserta

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Definisi Self Efficacy Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk berhasil melakukan tugas tertentu (Bandura, 1997).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian PT. Fortune Dunia Motor merupakan salah satu dari tiga distributor otomotif anak perusahaan Samator Group antara lain Ford, Mazda,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Work Engagement A.1. Definisi Work Engagement Istilah engagement dalam konteks peran kerja karyawan mulai dibicarakan sejak lima belas tahun yang lalu dalam berbagai literatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN INDIVIDU-ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGIS DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA STAF ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN INDIVIDU-ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGIS DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA STAF ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN INDIVIDU-ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGIS DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA STAF ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI Johanes Gregorious Gozalie Magister Psikologi Sains, Fakultas Psikologi

Lebih terperinci

BAB II. LANDASAN TEORI. Kepemimpinan Positif, Kinerja Kreatif anggota, dan Modal Psikologi. Kajian

BAB II. LANDASAN TEORI. Kepemimpinan Positif, Kinerja Kreatif anggota, dan Modal Psikologi. Kajian BAB II. LANDASAN TEORI Bab ini menyajikan landasan teoritis untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian. Pembahasannya diawali dengan telaah penelitian sebelumnya untuk memperoleh rujukan, kemudian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. individu saat ini ketika sedang melakukan peran spesifik (Lambert dan Lambert,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. individu saat ini ketika sedang melakukan peran spesifik (Lambert dan Lambert, 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1. Role Stress Fit Role stress adalah konsekuensi dari perbedaan antara persepsi individu dari karakteristik peran tertentu dengan apa yang sebenarnya telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Untuk beberapa pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. bahkan melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Untuk beberapa pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Di dalam dunia kerja, seseorang dituntut untuk mampu dalam beradaptasi, baik untuk bekerja secara individu maupun tim, menambah nilai perusahaan, dan bahkan

Lebih terperinci