BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai
|
|
- Veronika Gunardi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik secara kognitif maupun secara emosi. Jika dievaluasi secara kognitif, maka kesejahteraan adalah sebuah bentuk kepuasan dalam hidup, sementara sebagai hasil dari evaluasi emosi, kesejahteraan merupakan affect atau perasaan senang. Menurut Lawton (1983), kesejahteraan psikologis merupakan gambaran seseorang mengenai hidup yang berkualitas yang terbentuk dari evaluasi terhadap aspek-aspek dalam hidup yang dianggap baik atau memuaskan. Sementara itu, pengertian kesejahteraan psikologis menurut Okun dan Stock (1984) adalah perasaan bahagia dan kepuasan yang secara subjektif dialami atau dirasakan oleh seseorang. Bradburn (1969) juga menyatakan bahwa seseorang akan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi bila ia merasakan lebih banyak afek positif dibandingkan afek negatif dan sebaliknya. Di sisi lain, Keyes, Shmotkin dan Ryff (2002) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis bukan hanya sebatas kepuasan hidup dan 25
2 keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, tapi juga melibatkan persepsi mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi. Ryff (1989) menjelaskan konsep kesejahteraan psikologis sebagai suatu kondisi dimana individu dapat menerima segala kelebihan dan kekurangannya, mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, memiliki tujuan hidup dan menemukan kebermaknaan hidup, membangun hubungan positif dengan orang lain, mampu mengatur lingkungan secara efektif sesuai dengan kebutuhannya, serta memiliki kemampuan dalam menentukan tindakan sendiri. Sugianto (2000) menambahkan bahwa deskripsi orang yang mengalami kesejahteraan psikologis adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinu, mampu menerima diri apa adanya, mampu membentuk hubungan yang baik dengan orang lain, mampu menghadapi tekanan sosial, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengendalikan lingkungan eksternal. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kebahagiaan yang dirasakan oleh individu yang merasa puas dengan aspek diri dan lingkungan baik fisik maupun sosial yang disertai dengan adanya perkembangan potensi diri ke arah positif secara kontinu sehingga mendukung tercapainya tujuan hidup. 26
3 2. Perkembangan Konsep Kesejahteraan Munculnya konsep kesejahteraan psikologis berawal dari perkembangan konsep kesejahteraan (well-being) itu sendiri. Konsep kesejahteraan mengacu pada keberfungsian psikologis secara optimal (Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryan dan Deci (2001), terdapat dua perspektif mengenai kesejahteraan, yaitu pendekatan hedonic dan pendekatan eudaimonic. Pendekatan hedonic mendefinisikan kesejahteraan sebagai kesenangan atau kebahagiaan yang menekankan pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, sedangkan pendekatan eudaimonic mendefinisikan kesejahteraan sebagai realisasi diri, ekspresi personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan kemampuannya. Perspektif hedonic berfokus pada pengalaman subjektif terhadap kebahagiaan dan kepuasan hidup (disebut sebagai subjective well-being oleh Ryff, Keyes, & Shmotkin, 2002). Konsep subjective wellbeing berasal dari konsep well-being dari perspektif hedonic dimana kesejahteraan didefinisikan sebagai kondisi tingginya tingkat kemunculan kejadian-kejadian atau efek-efek yang positif, tingkat munculnya efek negatif yang rendah, dan tingkat kepuasan akan hidup (life satisfaction) yang tinggi (Deiner, 1984; Kahneman, Diener, & Schwarz, 1999). Berbeda dengan definisi kesejahteraan dari sudut pandang hedonic yang berfokus pada hasil akhir atau kondisi yang terlihat pada masa kini, perspektif eudaimonic menempatkan kesejahteraan sebagai suatu proses pemenuhan atau realisasi diri dan pencapaian yang diperoleh melalui 27
4 potensi yang dimiliki manusia (Waterman, 1993). Berdasarkan perspektif eudaimonic, laporan subjektif seseorang mengenai perasaan kebahagiaan, keberadaan efek-efek yang positif, dan kepuasan hidup yang dirasakan pada saat kini atau pada waktu yang spesifik tidak berarti bahwa orang tersebut baik secara psikologis ataupun baik secara sosial (Ryan & Deci, 2001). Aktivitas-aktivitas hedonic yang dilakukan dengan mengejar kenikmatan dan menghindari kesakitan menghasilkan kesejahteraan yang bersifat sementara yang semakin lama akan semakin memudar sensasinya seiring waktu. Sedangkan aktivitas-aktivitas eudaimonic lebih dapat mempertahankan kondisi kesejahteraan dalam waktu yang relatif lama lama dan konsisten (Steger, Kashdan, & Oishi, 2009). Seseorang akan merasakan kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih lama ketika individu mengalami pengalaman membina hubungan yang baik dengan orang lain dan merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu, dapat menerima dirinya sendiri, dan memiliki tujuan hidup (Steger, Kashdan, & Oishi 2009). Pandangan eudaimonic mengenai kesejahteraan ini kemudian menjadi dasar munculnya konsep kesejahteraan psikologis (psychological well-being). 3. Dimensi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi yang masingmasingnya menjelaskan tantangan-tantangan yang dihadapi individu untuk 28
5 dapat berfungsi secara penuh dan positif (Ryff, 1989; Ryff & Singer, 1996; Ryff & Singer 2008). Dimensi-dimensi tersebut adalah: a) Penerimaan Diri (Self Acceptance) Dimensi penerimaan diri berkenaan dengan sikap individu terhadap diri sendiri dan mengenai kehidupannya di masa lalu, serta sikap dalam memandang kekurangan dan kelebihan dengan segala batasan-batasan yang dimiliki dalam aspek diri. Individu yang mampu menerima dirinya dengan baik ditandai dengan adanya sikap positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kehidupannya di masa lalu serta mengetahui dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan dalam diri. Sebaliknya, individu yang memiliki penerimaan diri yang kurang baik memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan masa lalu, serta memiliki keinginan untuk tidak menjadi dirinya. b) Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Dimensi ini meliputi potensi individu yang berkaitan dengan perkembangan diri secara berkelanjutan dan keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang memiliki nilai positif dalam dimensi ini memiliki keinginan untuk terus berkembang, menyadari potensi-potensi yang ia miliki dan mengalami perubahan dalam sikap maupun tingkah laku ke arah yang positif dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang memiliki kekurangan dalam dimensi ini memandang dirinya sebagai seseorang yang tidak dapat berkembang, kurang menunjukkan adanya peningkatan dalam sikap 29
6 maupun perilaku dari waktu ke waktu, dan tidak merasakan adanya potensi yang positif dalam diri. c) Kebermaknaan Hidup (Purpose in Life) Dimensi ini menggambarkan keberadaan tujuan dan keterarahan dalam hidup seseorang. Individu yang merasakan adanya kebermaknaan hidup adalah individu yang jelas mengenai target dan cita-cita yang akan ia capai serta merasa bahwa baik kehidupan masa lalu maupun kini adalah kehidupan yang berarti. Sebaliknya, individu yang tidak merasakan adanya kebermaknaan dalam hidup tidak jelas akan target dan cita-cita yang ingin dicapai, serta tidak melihat adanya makna dalam hidupnya selama ini maupun di masa lalu. d) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam menciptakan ataupun mengatur lingkungan sekitarnya agar sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya. Individu dengan nilai positif pada dimensi ini ditandai dengan kemampuan dalam memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya serta mampu memanfaatkan secara maksimal peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, individu yang dikatakan kurang dapat menguasai lingkungannya adalah individu yang kesulitan atau merasa tidak memiliki kemampuan dalam mengatur maupun mengubah lingkungan sekitar agar sesuai dengan 30
7 dirinnya serta tidak peka dalam menyadari keberadaan peluang di sekitarnya. e) Otonomi (Autonomy) Dimensi ini mencerminkan kemandirian, kekukuhan terhadap standar tersendiri dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri tanpa dibebankan oleh tekanan sosial. Ciri-ciri individu yang menunjukkan terpenuhinya dimensi otonomi adalah mandiri serta tidak terbebani oleh tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku. f) Hubungan positif dengan orang lain (Positive relationship with others) Dimensi ini mencakup kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki nilai positif pada dimensi ini digambarkan sebagai seseorang yang mampu memiliki hubungan yang hangat atau intim dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati serta perhatian terhadap orang lain. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara lain (Rotter, 1966; Ryff, 1989; Robinson, Stimpson, Huefner, & Hunt, (1991; Ryff & Essex, 1992; Bhogle & Prakash, 1995; Ryff, 1995; Ryff& Keyes, 1995; Ryff & Singer, 1996; Salovey, Rothman, Detweller & Stewart, 2000; Papalia, Feldman & Gross, 2001; Page, 2005; Sarafino, 2006): 31
8 a. Faktor internal i. Usia Menurut Ryff & Keyes (1995), usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penguasaan lingkungan dan otonomi diri seseorang menunjukkan peningkatan seiring pertambahan usia dari kecil hingga dewasa akhir. Sedangkan pada aspek yang berkaitan dengan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi seseorang semakin menurun sejak usia dewasa muda hingga dewasa akhir. ii. Jenis kelamin Perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis antara pria dan wanita dipengaruhi oleh stereotype gender yang cenderung menggambarkan pria sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara wanita adalah sosok yang pasif, tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia, Feldman & Gross, 2001). Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada pria pada dimensi hubungan positif dengan orang lain (Ryff, 1989). iii. Evaluasi terhadap bidang-bidang tertentu Tercapainya kesejahteraan psikologis tergantung pada penilaian individu mengenai dirinya sendiri. Penilaian yang berbeda mengenai terpenuhinya dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis 32
9 menyebabkan tingkat kepuasan yang dirasakan berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa mekanisme evaluasi diri berpengaruh pada kesejahteraan psikologis individu (Ryff & Essex, 1992). iv. Kepribadian Salah satu faktor kepribadian yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang adalah locus of control. Locus of control mengacu pada persepsi individu mengenai seberapa besar kendali yang dimiliki seseorang terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku mereka (Rotter, 1966). Robinson, Stimpson, Huefner, dan Hunt (1991) mengemukakan individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of control eksternal. Faktor-faktor kepribadian lain yang turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang seperti personal control, self esteem, positive affect, manage tension, positive thinking, dan idea & feeling (Bhogle & Prakash, 1995). b. Faktor Eksternal i. Status Sosial Ekonomi. Ryff dan Singer (1996) mengemukakan bahwa perbedaan kelas sosial ekonomi turut mempengaruhi profil kesejahteraan psikologis individu. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa pada individu 33
10 yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki profil kesejahteraan psikologis yang tinggi khususnya pada dimensi tujuan hidup dan pengembangan pribadi. Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi dan status pekerjaan juga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan psikologis pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup. Orang yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah (Ryff, 1995). ii. Budaya Kesejahteraan psikologis yang berkaitan dengan dimensi penerimaan diri dan otonomi lebih banyak ditemukan pada masyarakat yang memiliki budaya individualistik (Ryff & Singer, 1996). Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan, lebih banyak menunjukkan nilai yang positif pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. iii. Dukungan Sosial Dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya (Sarafino, 2006). Dukungan sosial berasal dari teman, tetangga, teman kerja dan orang-orang lainnya. Tujuan dari dukungan sosial ini adalah 34
11 memberi dukungan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup, dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif memberikan dukungan pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Salovey, Rothman, Detweller & Stewart (2000) menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara dukungan sosial dengan kesejahteraan. Orang yang mempunyai hubungan dekat mampu mengatasi stressor (misalnya kehilangan pekerjaan, mengidap penyakit, berpisah dengan pasangan hidup, dsb.) dengan lebih baik. iv. Pekerjaan Page (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor pekerjaan seperti jam kerja, pengakuan, kondisi kerja, keamanan pekerjaan, gaji berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang.. B. Modal Psikologis 1. Pengertian Modal Psikologis Istilah modal psikologis (psychological capital) didefinisikan Goldsmith, Veum, & Darity (1997) sebagai bagian dari kepribadian (dapat berupa persepsi mengenai diri, orientasi mengenai etika, sikap terhadap pekerjaan, gambaran umum mengenai kehidupan) yang turut mempengaruhi produktivitas seseorang. Luthans, Youssef, dan Avolio (2007) mendefinisikan modal psikologis sebagai serangkaian kondisi positif yang dimiliki individu 35
12 meliputi: kepercayaan diri dalam menghadapi tugas yang menantang (selfefficacy); memiliki atribusi yang positif atas kesuksesan baik di masa kini maupun masa depan (optimism); memiliki sasaran dan keterarahan dalam mencapai tujuan (hope); mampu bertahan ketika mengalami kesulitan dan bangkit kembali mencapai kesuksesan (resiliency). Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian dari modal psikologis adalah serangkaian faktor psikologis positif yang mempengaruhi seseorang dalam mengembangkan potensi dirinya. 2. Latar Belakang Munculnya Modal Psikologis Munculnya modal psikologis berawal dari pembahasan mengenai Positive Organizational Behavior (POB), yaitu studi dan aplikasi mengenai kekuatan sumber daya positif dan kapasitas psikologis yang dapat diukur, dikembangkan, dan diatur demi perkembangan perfomansi di tempat kerja. (Luthans, 2002). Kapasitas psikologis yang dimaksud berbeda dengan traits yang kerap dianggap bersifat menetap dan genetik, namun cenderung lebih elastis sehingga dapat mengalami perubahan sepanjang masa hidup seseorang tergantung pada faktor situasional, seperti pengaruh perubahan-perubahan tertentu dalam hidup atau pengalaman menjalani psikoterapi yang ekstensif (Avolio & Luthans, 2006; Linley & Joseph, 2004). Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya positif maupun kapasitas psikologis individu dapat ditingkatkan melalui program- 36
13 program pelatihan yang relatif singkat, seperti on-the-job activities, microinterventions (Luthans, Avey, et al., 2006). POB dikemukakan sebagai salah satu pendekatan yang diciptakan dengan tujuan untuk merubah teori perilaku organisasi tradisional yang sebagian besarnya menekankan pada pembahasan mengenai pemimpin yang tidak efektif, stress dan konflik, sikap dan perilaku disfungsional dan sebagainya. Pendekatan tradisional mengarahkan pada cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari hal-hal yang bersifat negatif yang akhirnya kurang memberikan kontribusi pemahaman mengenai cara memanfaatkan sumber daya positif yang ada untuk memperbaiki keadaan. Akibatnya, hasil yang dapat diperoleh dari pendekatan tradisional hanya mampu memberikan solusi bagi organisasi beserta anggotanya yang berguna cukup untuk mempertahankan performansi rata-rata selama jangka waktu tertentu. Sedangkan di masa kini performansi yang hanya di ambang rata-rata tidak lagi memadai untuk berada di lingkungan yang sangat kompetitif (Avolio & Luthans, 2006). Berdasarkan alasan tersebut maka muncullah pendekatan bersifat positivistik yang berusaha menggali dan meningkatkan sumber daya positif yang dimiliki individu, yang kemudian dikenal dengan modal psikologis. 3. Dimensi Modal Psikologis 37
14 Modal psikologis terdiri dari 4 dimensi (Luthans & Youssef, 2004) antara lain: a) Self-efficacy, merupakan keyakinan terhadap kemampuan diri dan sumber daya kognitif yang dimiliki, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas. Orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung menetapkan target yang tinggi terhadap diri sendiri, senang menerima tantangan, memiliki motivasi diri yang kuat, serta membayar dengan usaha yang setimpal agar mencapai tujuan. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi tidak menunggu datangnya tantangan untuk dipenuhi, namun menetapkan tantangan tersendiri dengan meningkatkan target yang harus dicapai selanjutnya secara terus menerus. b) Hope, yaitu memiliki harapan positif dan rancangan langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai kesuksesan. Individu dengan tingkat hope yang tinggi tidak hanya jelas akan sasaran yang ingin diraih, namun juga jelas mengenai jalur yang akan dijalani untuk meraih sasaran tersebut serta telah memikirkan jalur alternatif yang dapat diambil jika menghadapi gangguan atau masalah di tengah prosesnya. c) Optimism, ditandai dengan individu yang memberi atribusi positif terhadap diri sendiri saat mencapai keberhasilan dan memandang kejadian-kejadian negatif sebagai suatu hal yang bersifat sementara, eksternal, dan bersifat tergantung pada situasi. Individu yang optimis 38
15 percaya bahwa mereka memiliki peranan dalam mewujudkan pengalaman yang menyenangkan. Pandangan hidup yang optimis ini mendorong individu untuk selalu menginternalisasikan aspek-aspek hidup yang positif baik di masa kini maupun masa depan. d) Resiliency, merupakan kapasitas yang dimiliki seseorang untuk dapat bertahan dan bangkit kembali baik ketika menghadapi pengalaman yang positif maupun negatif. Artinya, resiliency berperan dalam membantu individu untuk mampu bertahan tidak hanya ketika mengalami kesulitan, namun juga mendorong individu untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya hingga keluar dari titik kesetimbangan di saat menghadapi tantangan atau pengalaman yang positif. Dimensi-dimensi modal psikologis ini saling bersinergi atau berinteraksi satu sama lain (Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Misalnya, orang yang percaya akan kemampuan yang ia miliki (self-efficacy) yakin bahwa ia mampu bertahan dan bangkit dari kegagalan (resiliency) serta percaya bahwa kegagalan yang ia hadapi hanya berlangsung sementara (optimism), sehingga dalam kehidupannya ia memiliki harapan dan keterarahan (hope). Orang yang penuh harapan mengenai masa depan dan memiliki keterarahan dalam mencapai tujuan (hope) akan lebih termotivasi dan lebih berusaha dalam mengatasi masalah sehingga lebih resilien.orang yang resilien akan terus berusaha untuk bangkit dari kegagalan sehingga lebih optimis ataupun sebaliknya orang yang optimis cenderung resilien juga. 39
16 C. Pengertian Salesperson Sihite (1997) mengartikan bahwa sales adalah Merchandise (Something to be sold) plus Service. Dengan demikian, salesman atau salesperson adalah individu yang menawarkan suatu produk dalam suatu proses. Secara umum, tugas-tugas dari seorang salesman adalah melaksanakan kegiatan penjualan melalui telepon terhadap target konsumen, memelihara semua hasil analisis penjualan yang telah dibuat, melayani konsumen, melaksanakan kegiatan pemasaran (Sihite, 1997). Biong (1993) mengatakan bahwa tenaga penjual (salesperson) mewakili kontak antar personal (interpersonal contact) antara pemasok dengan pihak pengecer/pengguna produk industri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari salesperson adalah staff yang bertugas mewakili sebuah perusahaan untuk mempromosikan dan menjual produk perusahaan tersebut secara langsung kepada pelanggan. D. Hubungan antara Modal Psikologis dengan Kesejahteraan Psikologis Mirowsky & Ross (1989) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi oleh: kemampuan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kehidupan masa kecil seseorang, serta kesehatan fisik. Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan Schmutte & Ryff (1997) menunjukkan bahwa faktor kepribadian juga turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya hubungan antara 40
17 dimensi extroversion, conscientiousness dan low neuroticism dengan kesejahteraan psikologis, terutama dalam hal penerimaan diri, penguasaan lingkungan, keterbukaan terhadap pengalaman berhubungan dengan pertumbuhan pribadi, serta tujuan hidup. Sementara agreeableness dan extraversion ditemukan memiliki hubungan dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain dan low neuroticism dengan dimensi otonomi. Dari penelitian tersebut juga dikemukakan bahwa orang yang dengan kepribadian neurotik cenderung memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hadjam dan Nasiruddin (2003) diperoleh hasil bahwa (1) kesulitan ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan psikologis; (2) kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif yang sangat signifikan terhadap kesejahteraan psikologis; (3) religiusitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis; (4) kesulitan ekonomi, kepuasan kerja dan religusitas secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan psikologis. Dalam konteks psikologi industri dan organisasi, maka pembahasan kesejahteraan psikologis lebih tepat ditujukan pada kesejahteraan psikologis karyawan berkaitan dengan pekerjaannya. Waddell dan Burton (2006) menyatakan bahwa pekerjaan turut mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan psikologis individu. Individu yang bekerja di perusahaan yang memiliki manajemen yang baik akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik pula (Coats & Lehki, 2008). Faktor-faktor di lingkungan kerja 41
18 seperti perubahan dalam organisasi, tuntutan pekerjaan, otonomi juga turut mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Health & Safety Executive, 2005; Foresight, 2009). Meskipun kedua aspek intrinsik maupun ekstrinsik yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu sama-sama berperan penting namun terpenuhinya dimensi intrinsik pada individu lebih menggambarkan kesejahteraan karyawan (Page, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Mansi (2009) memberikan hasil bahwa responden yang memiliki self-efficacy yang tinggi, optimis, dan internal locus of control memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini kembali memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa orang yang optimis cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Powers & Bendall, 2004), dan lebih jarang mengalami kesakitan fisik ataupun kecenderungan bunuh diri ketika menghadapi kejadian-kejadian traumatis dibandingkan orang yang pesimis (Carr & Alan, 2004). Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari membuat perlunya memiliki sense of efficacy yang optimistik, penuh harapan (hopeful), dan resilien dalam diri individu untuk mencapai kesejahteraan (Bandura, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Tong, Song, dan Shanggui (2004) juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki selfefficacy yang lebih tinggi juga memiliki tingkat subjective-well being yang lebih tinggi. Cole, Daly dan Mak (2009) menemukan bahwa modal psikologis berpengaruh terhadap status pekerjaan dan kesejahteraan seseorang. Hal 42
19 tersebut dikarenakan modal psikologis mendorong potensi individu untuk mengambil perspektif yang berbeda, penilaian situasi dan kondisi sebagai sesuatu yang lebih positif, oportunistik, dan dengan cara yang lebih adaptif, yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan (Avey, Luthans, Smith, & Palmer, 2010). E. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara modal psikologis dengan kesejahteraan psikologis pada salesperson. Dengan kata lain, semakin tinggi modal psikologis maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis salesperson. Sebaliknya, semakin rendah modal psikologis maka semakin rendah kesejahteraan psikologis. Selain itu, hipotesis yang juga ingin dibuktikan dalam penelitian ini berkaitan dengan dimensi modal psikologis adalah: 1. Ada hubungan positif antara self-efficacy dengan kesejahteraan psikologis, yaitu semakin tinggi self-efficacy semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis dan sebaliknya. 2. Ada hubungan positif antara hope dengan kesejahteraan psikologis, yaitu semakin tinggi hope maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis dan sebaliknya. 43
20 3. Ada hubungan positif antara resiliency dengan kesejahteraan psikologis, yaitu semakin tinggi resiliency maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis dan sebaliknya. 4. Ada hubungan positif antara optimism dengan kesejahteraan psikologis, yaitu semakin tinggi optimism semakin tinggi kesejahteraan psikologis. 44
BAB I PENDAHULUAN. organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan psikologis karyawan merupakan hal yang penting bagi organisasi karena dapat berpengaruh terhadap kinerja dan tingkat turnover karyawan (Page & Vella-Brodick,
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari
BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja 1. Pengertian Psychological Well-Being Istilah psychological well-being pertama kali berangkat dari pandangan filsuf Aristoteles
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing
67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu
19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,
Lebih terperinciPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI
PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat
Lebih terperinciKesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)
Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri
Lebih terperinciKesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi
Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan
Lebih terperinciEmployee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat
Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk dapat mempertahankan karyawannya yang bertalenta.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Subjective Well-Being A. Subjective Well-Being Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang ( pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORI. Kebersyukuran dalam bahasa inggris disebut gratitude. Kata gratitude
11 BAB II TINJAUAN TEORI A. Kebersyukuran 1. Pengertian kebersyukuran Kebersyukuran dalam bahasa inggris disebut gratitude. Kata gratitude diambil dari akar Latin gratia, yang berarti kelembutan, kebaikan
Lebih terperinciBAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan tinjauan kepustakaan dalam penelitian mengenai PWB beserta aspek-aspeknya dan faktor-faktor yang memengaruhi dan bagaimana hubungan PWB dengan faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological
15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Ryff (dalam Lianawati, 2008) membangun model Kesejahteraan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian dan saran yang dapat
Lebih terperinciPENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi
PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga
Lebih terperinciPaket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING
Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau
Lebih terperinciPEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU
PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU Program Studi PG-PAUD FKIP Universitas Riau email: pakzul_n@yahoo.co.id ABSTRAK Kesejahteraan guru secara umum sangat penting diperhatikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Subjective Well Being dari Russell (2008) adalah persepsi manusia tentang keberadaan atau pandangan subjektif mereka tentang pengalaman hidupnya, menurut beberapa
Lebih terperinciBAB 2 Tinjauan Pustaka
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif
Lebih terperinciLAMPIRAN A. Alat Ukur
LAMPIRAN A Alat Ukur A1. Kuesioner PWB Petunjuk pengisian : Di balik halaman ini terdapat sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan apa yang Saudara rasakan terhadap diri sendiri dan kehidupan Saudara
Lebih terperinciABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
Lebih terperinciKesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11
MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 11 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
Lebih terperinciUNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI Kontribusi Psychological Capital terhadap Organizational Citizenship Behavior pada Guru Sekolah Negeri Disusun Oleh : Nicholas Jahja - 16513410 BAB I PENDAHULUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk individu terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki konsep ideal dalam hidupnya, salah satunya menurut Gavin dan Mason (2004) adalah kesejahteraan. Dewasa ini, kesejahteraan tidak hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness dan Subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Flow 2.1.1 Definisi Flow Flow menggambarkan pengalaman subjektif ketika keterampilan dan kesuksesan dalam kegiatan terlihat mudah, walaupun banyak energi fisik dan mental yang
Lebih terperinciBab 2. Landasan Teori
Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang
Lebih terperinciBAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Subjective Well Being Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan eudaimonic dan kebahagiaan hedonis. Istilah eudaimonic berasal dari bahasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel
BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhlik hidup ciptaan Allah SWT. Allah SWT tidak menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup ciptaan Allah yang lain adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Permasalahan narkoba merupakan hal yang tidak asing terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika,
Lebih terperinciGAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA
GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA INDIENA SARASWATI ABSTRAK Studi yang menggunakan teori kebahagiaan
Lebih terperinciSM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
25 BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1995) mengatakan kesejahteraan psikologis dapat disebut dengan psychological well being yang merupakan pencapaian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan melewati berbagai tahapan perkembangan yang berbeda dalam hidupnya. Tahapan perkembangan yang terakhir dalam hidup manusia adalah masa lansia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini telah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini telah melingkupi berbagai aspek kegiatan, mulai dari kegiatan individu hingga kegiatan organisasi. Peningkatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan Psikologis 2.1.1 Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai kesejahteraan. Pendekatan hedonik, yang mendefinisikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah
1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah perempuan yang berada dalam dunia kerja (bekerja maupun sedang secara aktif mencari pekerjaan) telah meningkat secara drastis selama abad ke-20. Khususnya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia, didapatkan data jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 87% memeluk agama
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat enam agama resmi yang dapat dianut, yaitu Islam, Budha, Hindu, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Kong Hu Cu. Kebebasan memilih agama
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi, Sampel, dan Lokasi Penelitian 1. Populasi dan Sampel penelitian Sampel penelitian adalah orang tua anak tunarungu. Anak tunarungu tersebut bersekolah di kelas satu
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008)
Lebih terperinciKajian tentang Psychological Well Being pada Anak Tunanetra di Sekolah Menengah Atas Luar Biasa
Kajian tentang Psychological Well Being pada Anak Tunanetra di Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Desy Santika Dewi Universitas Airlangga Surabaya desysantika@gmail.com Abstrak. Pandangan negatif terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh
Lebih terperinciBAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan
BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Work Engagement BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian Work Engagement Menurut Macey & Scheneider (2008), engagement yakni rasa seseorang terhadap tujuan dan energi yang terfokus, memperlihatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Holmes dan Rahe tahun 1967 dengan menggunakan Live Event Scale atau biasa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik sehat secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Carol D. Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap individu pasti menginginkan kehidupan yang bahagia, oleh karena
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu pasti menginginkan kehidupan yang bahagia, oleh karena itu pencarian makna kebahagiaan yang sesungguhnya kemudian menjadi topik yang menarik untuk dikaji
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan pengertian dari Psychological well-being, dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being,
Lebih terperinci