BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja 1. Pengertian Psychological Well-Being Istilah psychological well-being pertama kali berangkat dari pandangan filsuf Aristoteles mengenai paham eudaimonisme, yang mengatakan bahwa psychological well-being berisi tentang memenuhi dan mewujudkan daimon atau sifat dasar manusia melalui proses aktualisasi diri akan potensi-potensi yang dimilikinya (Gough dalam Purwaningrum, 2016). Eudaemonia merupakan salah satu pendekatan yang fokus pada keberfungsian penuh dari diri individu untuk bertumbuh dan berarti di dalam mewujudkan tujuan yang dapat dicapai oleh diri sendiri, sehingga individu dapat merasa damai, dan dapat mengapresiasi kehidupannya (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Konsep Ryff tentang psychological well-being sendiri merujuk pada Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasaan hidup, serta kriteria positif individu yang bermental sehat yang dikemukakan johanda (dalam Ryff, 1989). Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff pada tahun 1989 berusaha membuat sebuah teori yang dapat menggambarkan eudaemonia, dengan melibatkan ahli filsafat dan psikologi (perkembangan, klinis, humanistik) untuk 16

2 17 menggambarkan makna dari fungsi positif manusia, sehingga terbentuklah teori psychological well-being yang digunakan hingga saat ini (Ryff & Singer dalam Rachmayani & Ramdhani, 2014). Berdasarkan pendekatan tersebut, Ryff & Keyes (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan potensi dalam dirinya. Konsep pychological well-being ini merupakan gambaran dari kesehatan psikologis seseorang. Tingkat kesehatan psikologis ini didasarkan pada pemenuhan kriteria fungsi kesehatan mental positif yang dikemukakan oleh para ahli psikologi (Ryff, 1989). Selanjutnya, menurut Seligman (dalam Saputra, Goei, & Lanawati, 2016), menjelaskan well-being berdasarkan dari dimensi eudaimonic well-being mencakup seberapa bahagia individu, seberapa engaged individu dengan hidupnya, sejauh mana individu memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, apakah individu memiliki makna hidup, dan sebanyak apakah pencapaian yang dapat membanggakan individu. Sedangkan, menurut Diener (dalam Papalia, Olds, Feldman, 2008; 804), psychological wellbeing dapat didefinisikan sebagai sebuah perasaan subjektif akan kenyamanan atau kebahagiaan dari hasil evaluasi seseorang atas kehidupannya. Berdasarkan beberapa teori tentang psychological well-being diatas maka pada penelitian ini, definisi dari psychological well-being yang digunakan

3 18 peneliti merupakan definisi dari Ryff & Keyes (1995) sehingga dapat diambil kesimpulan, psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna, serta berusaha untuk terus mengembangkan potensi dalam dirinya. 2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being Dimensi psychological well-being menurut Ryff (1989) terdiri dari enam dimensi yaitu penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta pertumbuhan pribadi (personal growth). Dimensi-dimensi tersebut akan berkembang dengan cara yang bervariasi pada individu dalam upaya untuk dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1995 dalam Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002 dalam Djabumir, 2016). Dimensi-dimensi tersebut terdiri dari : a. Penerimaan diri (self-acceptance). Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dari individu dalam mencapai aktualisasi diri, berfungsi secara optimal, dan dewasa. Individu dapat mencapai aktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang ketika individu mampu menerima diri baik kelebihan maupun kekurangannya (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan

4 19 menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (1995) menandakan psychological well-being yang tinggi. Individu yang memiliki tingkat yang tinggi pada penerimaan diri ditandai dengan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya termasuk sifat positif maupun negatif, serta memiliki pandangan positif terhadap kehidupan masa lalu. Sedangkan individu yang memiliki tingkatan rendah pada dimensi ini mereka memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik akan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 ; 806) b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others). Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya membina hubungan yang baik dengan orang lain, yaitu individu yang memiliki hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati serta perhatian terhadap orang lain. Memiliki hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari sebuah kedewasaan (Djabumir, 2016).

5 20 Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat, rasa sayang dan keintiman, serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan antara sesama manusia. Sedangkan individu yang memiliki tingkatan yang rendah pada dimensi ini mereka memiliki sedikit hubungan dengan orang lain dan dapat dipercaya, merasa sulit untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap orang lain tidak berniat membuat kompromi untuk mempertahankan ikatan yang penting dengan orang lain (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806). c. Kemandirian (autonomy). Kemandirian digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang mandiri adalah dapat mengevaluasi kemampuannya sendiri sehingga dapat berusaha secara optimal (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Dimensi otonomi mencerminkan kemandirian (autonomy), dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik ditandai dengan sikap yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan berperilaku dengan cara tertentu, serta mampu mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi. Sedangkan individu yang memiliki otonomi yang rendah ditandai dengan selalu memikirkan tuntutan dan evaluasi orang

6 21 lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain serta cenderung mengkonfirmasi tekanan sosial untuk berfikir dan bertindak dengan cara tertentu (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806). d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery). Dimensi penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, yang dapat diartikan sebagai salah satu karakteristik kesehatan mental. Dimensi ini menekankan pada kemampuan individu untuk maju dengan caranya sendiri dan sampai sejauh mana individu tersebut peka terdapat peluang-peluang yang ada di lingkungannya. Individu yang memiliki penguasaan yang baik terhadap lingkungan ditandai dengan kemampuannya dalam memilih atau memanipulasi keadaan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadinya dan memanfaatkannya secara maksimal. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik dan mental. Sebaliknya individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya adalah individu yang kesulitan dalam mengatur kegiatan sehari-hari, hanya memiliki sedikit tujuan atau target, kurang memiliki kontrol pada dunia luar serta tidak merasa mampu untuk mengubah apa yang ada diluar dirinya serta tidak peka terhadap peluang-peluang yang ada dilingkungannya (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 : 806).

7 22 e. Tujuan hidup (purpose in life). Dimensi ini berbicara tentang keyakinan individu bahwa hidup ini bermakna. Individu mencari makna dan tujuan kehidupannya sendiri sehingga dapat mencapai kesehatan mental dan juga proses perkembangan yang matang (Rachmayani & Ramdhani, 2014). Individu yang memiliki perasaan bahwa hidupnya bermakna adalah individu yang memiliki keterarahan dalam hidupnya, mempunyai perasaan bahwa kehidupan disaat ini dan masa lalu adalah bermakna, individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan yang membuat tujuan hidupnya lebih berarti, dan memiliki target yang ingin dicapai dalam hidup. Sedangkan individu yang kurang memiliki tujuan hidup akan kurang memaknai tujuan hidupnya, tidak memiliki tujuan hidup/ target yang ingin dicapai, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupanya dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidupnya lebih berarti, tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang memberikan makna pada kehidupan (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 ; 806). f. Pertumbuhan pribadi (personal growth). Dimensi pertumbuhan pribadi berbicara mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah kebutuhan individu untuk mengaktualisasikan diri, dan keterbukaan terhadap pengalamanpengalaman baru.

8 23 Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik akan memiliki perasaan untuk terus berkembang dan melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus bertumbuh, menyadari potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu. Sedangkan individu yang kurang baik dalam pertumbuhan dirinya akan menunjukkan ketidakmampuan dalam mengembangkan sikap dan perilaku yang baru, mempunyai perasaan sebagai pribadi yang stagnan dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku tertentu serta tidak tertarik dengan kehidupan yang sedang dijalaninya (Ryff dalam Papalia, Olds & Feldman, 2011 ; 806). Berdasarkan uraian aspek psychological well-being dari Ryff (1989) diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa aspek psychological well-being terdiri dari penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Dalam penelitian ini, dimensi psychological wellbeing dari Ryff (1989) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap psychological well-being pada mahasiswa yang bekerja. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu antara lain: 1. Faktor-faktor demografis

9 24 Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan budaya. Melalui berbagai penelitian, Ryff (1989) menemukan beberapa faktor-faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang. a. Usia Dalam penelitian Ryff, ditemukan bahwa perbedaan usia ternyata memiliki pengaruh terhadap perbedaan dimensi-dimensi psychological well-being. Selanjutnya Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) menemukan bahwa beberapa dimensi psychological well-being, seperti penguasaan lingkungan dan otonomi cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dari dewasa muda hingga dewasa akhir. Sebaliknya pada dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi tujuan hidup cenderung menurun dari usia dewasa muda hingga dewasa akhir. Individu yang berada dalam usia dewasa muda memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi memiliki skor rendah, selanjutnya bagi individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain sementara pada dimensi pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri mendapat skor rendah Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001).

10 25 b. Jenis kelamin. Menurut Ryff dalam penelitiannya menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi dimensi psychological well-being. Ditemukan perempuan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membina hubungan yang positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan pribadi yang lebih baik daripada pria. Ryff & Singer (dalam Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa jenis kelamin berpengaruh terhadap adanya perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39; usia 40-59; usia 60-74), wanita menunjukkan angka psychological wellbeing yang lebih tinggi daripada pria. Sementara keempat aspek psychological well-being lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Ryff & Singer dalam Tenggara, Zamralita & Suyasa, 2008). c. Status Sosial Ekonomi Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) mengemukakan bahwa perbedaan kelas sosial ekonomi memiliki hubungan dengan profil psychological well-being individu. Dari penelitian diketahui bahwa profil psychological well-being yang tinggi khususnya pada dimensi tujuan hidup dan pengembangan pribadi, dijumpai pada individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi baik pada wanita maupun pria. Selanjutnya psychological well-being yang tinggi juga ditemui pada individu yang mempunyai status pekerjaan yang tinggi.

11 26 d. Budaya Ryff dan Singer (dalam Lakoy, 2009) menemukan bahwa adanya perbedaan psychological well-being antara masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi pada individualisme dan kemandirian seperti dalam dimensi penerimaan diri atau otonomi lebih menonjol dalam konteks budaya barat. Sementara itu masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektifitas dan saling ketergantungan dalam konteks budaya timur seperti yang termasuk dalam dimensi hubungan positif dengan orang yang bersifat kekeluargaan. 2. Dukungan Sosial Dukungan sosial berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang dipersepsikan, diterima individu dan berasal dari banyak sumber, seperti dari pasangan hidup, teman, rekan kerja, dokter atau organisasi masyarakat (Sarafino dalam Lakoy, 2009). Tujuannya adalah memberi dukungan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup, dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif memberikan support pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari. Menurut Davis (dalam Kartikasari, 2013) individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi. 3. Daur hidup keluarga Sejumlah peneliti telah melakukan studi dengan menggunakan indikator psychological well-being seperti konsep diri, kesehatan mental, ketegangan peran dan kepuasan hidup, untuk mempelajari hubungan antara daur hidup

12 27 keluarga dengan psychological well-being dari anggota keluarga (Lakoy, 2009). Selanjutnya masa perahlian dari satu periode ke periode berikutnya, dianggap sebagai saat yang penuh dengan stres karena masing-masing anggota keluarga saling menyesuaikan kembali hubungan, peran dan pengharapan. Sedangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well-being antara lain sebagai berikut : 1. Kepribadian Kepribadian sering dihubungkan dengan dimensi psychological well-being, Schumutte & Ryff (dalam Kasturi, 2016) menemukan sifat neurotik, ekstrovet dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi psychological well-being khususnya dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Ryff (dalam Kasturi, 2016) menjelaskan bagaimana faktor kepribadian (big five personality) dapat mempengaruhi psychological well-being. Tipe extroversion, conscientiousness, low neuroticism, berpengaruh secara signifikan terhadap psychological well being. Faktor yang dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut yaitu self-acceptance, environment mastery, dan purpose in life. Agreeableness dan extraversions berpengaruh terhadap positive relationship with others, sementara low neuroticism akan mempengaruhi autonomy. Selanjutnya keterbukaan terhadap pengalaman baru akan berpengaruh kuat terhadap personal growth.

13 28 2. Religiusitas Najati (dalam Bestari, 2016) menjelaskan bahwa kehidupan seseorang yang religius dan sesuai dengan keagamaannya dapat membantu individu tersebut untuk menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan dalam dirinya. Ellison menjelaskan bahwa antara religiusitas dengan psychological well-being memiliki korelasi yang kuat, dengan tingkat religiusitas yang tinggi akan membantu individu untuk mencapai psychological well-being-nya. Individu akan lebih mudah merasakan peningkatan psychological well-being ketika memiliki tingkat religiusitas yang baik walaupun individu tersebut memiliki kecenderungan ekstraversi yang rendah (Bestari, 2016). 3. Psychological Capital (Modal Psikologis) Para peneliti di bidang kesehatan dan psikologi kesehatan menunjukkan bahwa kesejahteraan (well-being) dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency (Avey, Luthans & Jensen dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Penelitian Singh & Mansi (2009), menyatakan bahwa psychological capital merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya psychological well-being. Ini berarti bahwa psychological capital merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi, baik meningkatkan atau menurunkan tingkat psychological well-being pada individu. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya psychological well-being pada individu terjadi karena beberapa faktor yang

14 29 mempengaruhi meliputi faktor demografis (usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, budaya), dukungan sosial, daur hidup keluarga, kepribadian, religiusitas dan psychological capital. Pada penelitian ini peneliti menggunakan psychological capital sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Menurut peneliti, psychological capital penting dimiliki oleh mahasiswa untuk tetap dapat bertahan dan termotivasi untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikannya. Hal ini dikarenakan konsep utama dari psychological capital bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan kinerja individu (Liwarto, 2015), sebagai penahan buffer stress (Riolli, Savicki & Richards, 2012), modal sikap dan perilaku yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan (Yuniarti & Muchtar, 2014), dan sebagai salah satu faktor dalam meningkatkan psychological well-being (Singh & Mansi, 2009). 4. Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja Mahasiswa yang bekerja oleh Dudija (2011) didefinisikan sebagai individu yang menuntut ilmu pada jenjang perguruan tinggi dan berstatus aktif, yang juga menjalankan usaha atau sedang berusaha mengerjakan suatu tugas yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan. Sedangkan Abdullah dan Dan (dalam Salam 2015) mendefinisikan mahasiswa yang bekerja dengan istilah part time study artinya adalah individu yang sudah bekerja dan menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler ataupun non-reguler dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari

15 30 ataupun pada pagi hari bahkan pada akhir minggu terutama untuk menyesuaikan waktu antara belajar dan bekerja. Umumnya individu yang telah bekerja berada pada usia dewasa awal, yaitu tahun saat memasuki dunia pendidikan di perguruan tinggi (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005), perkembangan masa dewasa muda (awal) merupakan jenjang usia di mana tahap perkembangan seseorang sedang berada pada puncaknya yang ditandai dengan adanya keinginan untuk mengaktualisasikan segala ide pemikiran yang dimatangkan selama mengikuti pendidikan tinggi untuk meraih kehidupan ekonomi yang tinggi (mapan). Menurut Ryff & Singer (dalam Harpan, 2015), kebutuhan individu akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif umum dari pengembangan pribadi, dimana individu yang dapat melakukan pengembangan pribadi dengan baik adalah individu yang mampu melalui dan menghadapi berbagai tantangan baru dalam setiap periode tahapan perkembangannya, terbuka pada pengalaman baru dan menyadari potensi yang ada dalam diri serta mampu melakukan perbaikan dalam hidup setiap waktu. Proses pengaktualisasi diri pada individu akan muncul sebagai buah dari suatu kondisi positif individu yang mengarah pada kebahagiaan yang sesungguhnya yang disebut psychological well-being (Ryff dalam Mabruri, 2010). Ryff & Keyes (1995), mendefinisikan psychological well-being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap dirinya dan orang lain, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, dapat

16 31 membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna, serta kemampuan untuk terus mengembangkan potensi dalam dirinya. Individu dengan tingkat psychological well being-nya tercukupi akan mudah menghadapi masalah-masalah, sehingga mampu terhindar dari stress, mampu mengontrol diri dengan sangat baik, berinteraksi sosial dengan baik serta terhindar dari depresi dan permasalahan-permasalahan hidup yang akan mengganggu dirinya (Sitinjak, 2015). Pendapat Sitinjak tersebut sejalan dengan pendapat Purwaningrum (2016), bahwa dengan memiliki psychological well-being yang tinggi maka akan mengantarkan individu pada pribadi yang menyadari keberadaan dan kebermaknaannya, sehingga bisa mengubah tantangan yang ditemuinya menjadi kesempatan untuknya menunjukkan aktualisasi diri. Seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik akan merasa nyaman, dan bahagia serta dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia secara positif (Noviasari & Dariyo, 2016). Oleh karena itu, menurut Dariyo (dalam Iriani dan Ninawati, 2005), individu (mahasiswa) diharapkan dapat mewujudkan taraf psychological wellbeing yang maksimal. Hal ini dapat tercapai dengan : (1) adanya penerimaan diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self acceptance), artinya individu dengan penerimaan diri yang baik akan memandang dirinya secara positif, mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga mampu merasakan kepuasan dalam hidupnya; (2) adanya keterbukaan akan

17 32 pengalaman-pengalaman baru (personal growth), artinya individu yang mampu berfungsi secara baik adalah individu yang mampu berkembang dan meningkatkan potensi diri dengan menyadari pengalaman dan peristiwa yang ada disekitarnya; (3) memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life). Hal ini berarti bahwa individu yang memiliki tujuan hidup yang jelas akan mampu merealisasikan apa yang diinginkannya sehingga dapat membawa dirinya ke kehidupan yang lebih baik; (4) memiliki hubungan yang positif dan berkualitas dengan orang lain (positive relationship with others). Individu yang mampu menjalin dan menjaga hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan individu yang matang; (5) memiliki kemampuan mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif (environmental mastery), artinya individu yang memiliki tingkat environmental mastery yang tinggi adalah individu yang mampu menggunakan peluang dan menciptakan kesempatan untuk mengembangkan dirinya, dan (6) memiliki kemampuan untuk menentukkan tindakan sendiri (autonomy). Individu yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi akan mampu mengatur sikap dan berpikir kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak (Dariyo dalam Iriani dan Ninawati, 2005; Rachmayani & Ramdhani, 2014). Berdasarkan uraian diatas maka psychological well-being penting diupayakan oleh mahasiswa yang bekerja dalam rangka mewujudkan aktualisasi diri dan menghindarkan diri dari permasalahan-permasalahan yang mengganggu dirinya.

18 33 B. Psychological Capital 1. Pengertian Psychological Capital Avey, Luthans & Jensen (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014) membedakan konstruk psychological capital dari aspek yang telah ada sebelumnya seperti human capital (seperti pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan pengalaman) dan social capital (seperti mengenal diri sendiri, hubungan orang lain, dan lain-lain). Konsep psychological capital menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keutungan kompetitif melalui pengembangan identitas diri seseorang (Luthans & Avolio dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Sederhananya, human capital (modal manusia) berkaitan dengan apa yang anda ketahui, dan social capital (modal sosial) berkaitan dengan siapa yang kamu kenal, sedangkan psychological capital (modal psikologis) berkaitan dengan who you are dan what you can become (Luthans, Avey, Avolio, Norman & Combs ; Luthans & Youssef dalam Nurfaizal, 2016). Dengan memanfaatkan ide-ide dari psikologi positif, keilmuan organisasi positif dan bidang yang muncul dari perilaku organisasi positif atau positive organizational behavior (POB). Istilah perilaku organisasi positif (POB) diciptakan oleh Luthans, Luthans & Jensen (2012) dan didefinisikan sebagai penelitian dan penerapan pada kekuatan sumber daya manusia dan kemampuan psikologis berorientasi positif yang dapat diukur, dikembangkan, dan dikelola secara efektif untuk meningkatkan kinerja di tempat kerja saat ini (Luthans, Luthans & Jensen, 2012).

19 34 POB juga memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain yaitu : (a) berdasarkan teori dan penelitian; (b) menggunakan pengukuran yang dapat diandalkan dan valid; (c) menjadi state-like atau karakter yang dapat dibentuk (bertentangan dengan trait-like atau karakter yang tidak dapat dibentuk, yang sifatnya lebih tetap, misalnya karakteristik kepribadian) dan karenanya terbuka akan perkembangan; dan (d) memiliki pengaruh terhadap kinerja (Luthans, Luthans & Jensen, 2012). Luthans dkk. (2007) menyatakan bahwa psychological capital merupakan bagian dari positive organizational bahaviour (POB) karena memiliki karakteristik state-like seperti yang terdapat pada POB. Psychological Capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologis positif individu yang berkembang dengan karakteristik: (1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self efficacy); (2) membuat atribusi yang positif (optimism) mengenai keberhasilan sekarang dan masa depan; (3) menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan kembali jalan menuju tujuan (hope) agar berhasil; dan (4) ketika dihadapkan pada masalah dan kesulitan tetap dapat bertahan dan terus maju, bahkan melampaui sebelumnya (resilience) untuk mencapai sukses (Luthans dkk, 2007). Pada penelitian ini, definisi dari psychological capital yang digunakan peneliti merupakan definisi dari (Luthans dkk, 2007). Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa psychological capital dapat didefiniskan sebagai sebuah

20 35 kapasitas psikologi positif individu yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang (self efficacy), kekuatan berfikir positif dalam mencapai kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimism), memiliki harapan dalam mencapai tujuan (hope) dan kemampuan untuk bertahan dan terus maju yang berguna untuk membantu individu tersebut mencapai kesuksesan (resiliency). 2. Dimensi Psychological Capital Sesuai dengan definisi yang telah dipaparkan diatas, terdapat empat dimensi dalam psychological capital yaitu self- efficacy, optimism, hope dan resiliency (Luthans dkk, 2007). a. Self-efficacy (keyakinan diri terhadap keberhasilan) Istilah Self-efficacy muncul pertama kali dalam teori belajar sosial Albert Bandura. Menurut teori ini, self-efficacy membuat perbedaan pada bagaimana orang merasa, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri. Bandura menjelaskan pentingnya self-efficacy sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai serangkaian tindakan penting yang dapat mempengaruhi motivasi, afektif, dan tindakan individu (Zulkosky, 2009). Sementara itu Luthan dkk. (2007: 38) mendefinisikan Self-efficacy sebagai keyakinan individu tentang kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan suatu tugas dalam konteks tertentu. Luthans dkk. (2007: 38) mengemukakan bahwa orang yang memiliki efikasi diri memiliki karakteristik :

21 36 a) Mampu menentukan target yang tinggi bagi dirinya dan mampu mengerjakan tugas-tugas yang sulit. b) Menerima tantangan dengan senang. c) Memiliki motivasi yang tinggi. d) Melakukan berbagai usaha untuk mencapai tujuan atau target yang telah mereka buat. e) Gigih ketika dihadapkan pada sebuah hambatan. Sebaliknya individu yang memiliki self efficacy rendah, cenderung akan memiliki keragu-raguan, umpan balik negatif, kritik sosial, kegagalan yang berulang (Luthans dkk, 2007). b. Optimism Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan terjadi dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif, negatif, yang terjadi dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Sedangkan menurut Chang (dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012), optimism sebagai konstruk kognitif terdiri dari keyakinan umum atas hasil positif berdasarkan perkiraan rasional dari kecenderungan seseorang untuk meraih kesuksesan dan keyakinan akan kemampuan seseorang untuk meraihnya. Individu dengan optimisme yang tinggi akan mampu merasakan implikasi secara kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan. Individu dengan optimism yang tinggi mampu menentukan nasibnya sendiri

22 37 meskipun mendapatkan tekanan dari orang lain, mampu memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait ketika dirinya mencapai kesuksesan (Luthans dkk, 2007). c. Hope Snyder (dalam Luthans dkk, 2007:66) mendefinisikan harapan sebagai positive motivational state atau kondisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses yaitu (1) agency/ willpower (goal-directed energy atau kekuatan-keinginan) dan (2) pathways (planning to meet goals atau perencanaan untuk mencapai tujuan). Dengan kata lain, harapan terdiri dari dua komponen penting, yaitu; komponen pertama adalah agency/ willpower yang merupakan persepsi bahwa tujuannya akan mampu dicapai. Agency merupakan motivasi mental individu untuk memulai usaha dalam meraih tujuan (Snyder dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012). Keyakinan akan keberhasilan ini, meliputi kemampuan mengoptimalisasikan energi guna mencapai keberhasilan, tidak hanya pada masa sekarang atau yang akan datang, melainkan juga adanya jejak atau pengalaman keberhasilan pada waktu sebelumnya (Chusniyah & Pitaloka, 2012). Komponen kedua adalah pathway thinking yang merupakan kemampuan untuk mengenali dan melihat jalan dalam mencapai tujuan. Suatu rute atau jalan piker yang mampu memberikan gambaran dan prediksi tentang cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan (Snyder dalam Chusniyah & Pitaloka, 2012).

23 38 d. Resiliency Resiliency didefinisikan sebagai kemampuan untuk memantul kembali atau bangkit dari kesulitan, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans dkk, 2007). Berbeda dengan self-efficacy, optimism, dan hope yang lebih bersifat proaktif, ketahanan dari seseorang lebih bersifat reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan, ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Luthans dkk. dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Berdasarkan uraian diatas, dimensi-dimensi pada psyhological capital saling bersinergi atau berinteraksi satu sama lain. Apabila psyhological capital hanya dianalisis satu atau beberapa karakteristik saja, penelitian tersebut menjadi tidak memadai karena psyhological capital tidak akan menjadi psyhological capital apabila salah satu dari dimensinya tidak ada (Luthans dalam Rolos, 2016). Melalui dimensi psychological capital maka dapat diperoleh gambaran, sebagai berikut, yaitu apabila mahasiswa yakin akan kemampuannya dalam menyelesaikan semua tugas yang dia miliki (self efficacy) dan percaya bahwa kesulitan yang dihadapi hanya berlangsung sementara (optimism) maka mahasiswa akan tetap bertahan dan bangkit kembali dari kegagalan dan kesulitan yang dihadapinya (resiliency) sehingga dalam menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa dan sebagai pekerja, mahasiswa tetap memiliki harapan dan tujuan pada pencapaian keberhasilan dalam akademiknya (hope). Mahasiswa yang optimis dapat mencapai tujuan akan lebih termotivasi dan berupaya dalam menghadapi

24 39 segala tekanan yang berasal dari kehidupannya sebagai mahasiswa maupun pekerja sehingga menjadikan diri mereka menjadi lebih tahan banting (resilien). Berdasarkan uraian dimensi psychological capital dari Luthans dkk. (2007) diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi psychological capital terdiri atas: self-efficacy, optimism, hope dan resiliency. Dimensi psychological capital dari Luthans dkk. (2007) tersebut akan peneliti gunakan untuk mengungkap psychological capital pada mahasiswa yang bekerja. C. Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological Well-Being Pada Mahasiswa Yang Bekerja Mahasiswa yang bekerja adalah individu yang sudah bekerja dan menggunakan sebagian waktunya untuk belajar secara reguler ataupun non-reguler dengan waktu yang dapat dipilih seperti pada sore hari ataupun pada pagi hari bahkan pada akhir minggu terutama untuk menyesuaikan waktu antara belajar dan bekerja (Abdullah dan Dan dalam Salam, 2015). Menurut Utami, Hardjono & Karyanta (2014), sebagai mahasiswa yang merupakan bagian dari sebuah lembaga pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemandirian dan tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas akademik yang telah ditetapkan, guna mencapai kompetensi yang diharapkan oleh perguruan tinggi yang menjadi almamaternya. Agar dapat mencapai kompetensi yang diharapkan maka mahasiswa harus mampu mengatasi setiap tuntutan yang berasal dari lingkungannya dan merasakan psychological well-being pada kegiatannya tersebut. Psychological well-being sendiri dapat dicapai apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan

25 40 hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup yang ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak adanya tanda-tanda depresi (Ryff dalam Megawati & Herdiyanto, 2016; Putri dan Rustika, 2017). Winefield dkk. (dalam Sarirah, 2016), mengungkapkan dalam penelitiannya bahwasannya seseorang yang memiliki psychological well-being yang positif cenderung memiliki tekanan psikologis yang rendah, begitu juga sebaliknya seseorang yang memiliki psychological well-being yang rendah cenderung mengalami tekanan psikologis yang tinggi. Berdasarkan uraian diatas, maka psychological well-being penting untuk diupayakan oleh semua mahasiswa, karena psychological well-being merupakan kunci bagi individu agar menjadi sehat secara mental. Kondisi mental yang sehat mengarahkan individu untuk berusaha mencapai keseimbangan dalam hidup dengan menerima kualitas positif dan negatif diri, menyadari potensi yang dimiliki, mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit, serta mampu memberikan kontribusi kepada orang lain dan lingkungan (Putri & Rustika, 2017). Diantara beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being, penelitian ini hanya menitikberatkan pada faktor psychological capital. Psychological capital sendiri merupakan bagian dari positive organizational behavior yang didefinisikan oleh Luthans dkk (2007) sebagai suatu studi dan aplikasi yang memiliki orientasi positif dari kekuatan sumber daya manusia dan kemampuan psikologis yang bisa diukur, dikembangkan, dan diatur secara efektif untuk meningkatkan performa pada lingkungan pekerjaan (Mikko, 2012). Oleh

26 41 karena itu penelitian tentang psychological capital lebih banyak ditemukan dalam penelitian dalam lingkungan organisasi dan selalu menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas karyawan (Nafees & Jahan, 2017). Psychological capital sendiri diartikan sebagai sebuah kapasitas psikologi positif individu, yang dicirikan oleh adanya keyakinan diri atau efikasi diri dalam melakukan tindakan dan mengerahkan usaha agar berhasil dalam melakukan tugastugas yang menantang (self efficacy); kekuatan berfikir positif dalam mencapai kesuksesan dimasa kini dan masa depan (optimism); keadaan emosional positif untuk menjaga fokus pada tujuan, dan jika diperlukan, mengarahkan kembali jalan menuju tujuan agar berhasil (hope); dan ketika individu dihadapkan pada masalah dan kesulitan tetap dapat bertahan dan kembali bangkit, bahkan melampaui sebelumnya untuk mencapai sukses (resiliency). Terdapat empat dimensi yang dapat membentuk psychological capital pada diri individu, yaitu self efficacy, optimism, hope, dan resiliency (Luthans dkk, 2007). Dimensi pertama, self-efficacy memiliki kaitan erat dengan psychologycal well-being. Penelitian Siddiqui (2015), mengungkapkan bahwa self efficacy memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap semua dimensi pada psychological well-being. Jika self efficacy meningkat maka akan diikuti dengan meningkatnya psychological well-being sebaliknya jika self efficay rendah maka akan semakin rendah psychological well-being pada individu. Menurut Rego dkk (dalam Octaviani, Ilhamuddin & Susilawati, 2014), individu yang memiliki selfefficacy cenderung percaya pada kemampuan yang ada pada dirinya sehingga dapat menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif yang diperlukan untuk mencapai

27 42 kesuksesan dari tugas yang dibebankan. Individu dengan efikasi diri tinggi melihat tantangan sebagai masalah yang harus dipecahkan, sangat menikmati hidup dan yakin dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Bila seseorang mencapai kegagalan dalam mencapai kesuksesan maka seseorang akan bertahan untuk tetap berusaha dengan serius agar yang akan datang dapat mencapai keberhasilan sebagaimana yang diharapkan (Sulthon, 2014). Kepekaan seseorang pada rasa keberhasilannya akan mendorong dirinya mencari berbagai macam usaha meningkatkan prestasi dan kesejahteraan personal (Sulthon, 2014). Seseorang dengan self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedang seseorang dengan self efficacy rendah akan menganggap dirinya tidak mampu dalam mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya sehingga cenderung akan mudah menyerah (Ghufron & Risnawati dalam Utami, 2016). Oleh karena itu, mahasiswa bekerja yang memiliki tingkat self efficacy yang tinggi akan menunjukkan kapasitas kemandirian yang baik dalam mengatur sikap, berfikir kritis apa yang terbaik bagi dirinya dan bagaimana harus bertindak untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, lebih termotivasi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan memiliki komitmen yang kuat dalam mengejar tujuan mereka. Psychological well-being tidak terlepas dari sikap optimis yang dimiliki individu. Menurut Luthans dkk. (2007), dalam konteks psychological capital, sifat optimism bukan hanya tentang memprediksi bahwa hal-hal yang baik akan terjadi

28 43 dikemudian, melainkan juga meliputi alasan dan atribusi yang digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian, baik itu kejadian yang positif, negatif, yang terjadi dimasa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Lebih lanjut, Carver & Scheier (2002), menyatakan bahwa individu yang optimis mampu mempertahankan psychological well-being selama masa stress dibandingkan dengan individu yang pesimis. Individu yang optimis akan mengambil tindakan langsung dalam menyelesaikan permasalahan dan lebih terencana dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi. Sebaliknya, individu yang pesimis memilih untuk menghindar dan bereaksi menolak ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan. Menurut Harpan (2015), individu yang optimis cenderung dapat mengontrol kehidupannya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih berguna untuk meningkatkan psychological well-being. Mahasiswa yang memiliki optimism yang tinggi akan memandang setiap masalah dengan lebih positif, tidak akan mudah menyerah, selalu aktif dalam merencanakan sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah dan memiliki rencana dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi. Sebaliknya bila mahasiswa bekerja memiliki optimism yang rendah cenderung memilih untuk menghindari kesulitan serta mudah tertekan ketika menghadapi tuntutan dalam lingkungan. Dimensi hope atau harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki komponen kognitif yang mampu meningkatkan psychological well-being pada individu. Snyder dkk (dalam Yuniarti & Muchtar, 2014) mendefinisikan harapan (hope) sebagai sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to

29 44 meet goals). Harapan merupakan sumber motivasi yang memiliki komponen kognitif. Sumber daya psikologis ini memberikan harapan bahwa sasaran akan dicapai. Orang dengan harapan yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai keberhasilan dalam tugas. Individu dengan hope yang tinggi akan cenderung mendorong individu untuk menyelesaikan semua tanggung jawabnya, memiliki keyakinan akan kemampuannya dalam mengatasi permasalahan serta tetap memperoleh kepuasan meskipun sedang mengalami stress atau tekanan dalam pekerjaannya dan kuliahnya. Sebaliknya, apabila individu memiliki hope yang rendah cenderung akan kurang memahami pentingnya tujuan yang akan dicapainya dimasa depan, sehingga mahasiswa menjadi kurang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan usaha yang besar untuk mencapai keberhasilan. Menurut Yuniarti & Muchtar (2014), mempertahankan harapan selama masa krisis merupakan aspek penting yang harus dimiliki untuk mencapai kesejahteraan (well-being) pada individu. Sedangkan dimensi terakhir dari psychological capital adalah resiliency. Resiliency merupakan faktor kunci dalam melindungi dan sekaligus meningkatkan kesehatan mental yang baik yang membuat seseorang dapat beradaptasi dengan jatuh bangunnya kehidupan (Mayasari, 2014). Dalam hal ini resiliency dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang (Affifah, 2016). Pada mahasiswa yang bekerja, tuntutan dari perannya akan menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi individu seperti munculnya stress. Stres merupakan kondisi yang tidak bisa dihindari oleh mahasiswa yang bekerja, oleh karena itu

30 45 dengan mempertahankan resiliency yang tinggi maka mahasiwa yang bekerja akan mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan selama masa studi, mampu beradaptasi dengan jadwal bekerja dan kuliah yang tinggi, mampu menghadapi tekanan deadline tugas-tugas serta mampu meningkatkan kemajuan dalam dirinya. Sebaliknya bila mahasiswa yang bekerja memiliki resiliency yang rendah maka akan cenderung mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup, tidak memiliki target atau tujuan untuk menyelesaikan pendidikannya atau dampak yang perlu dikhwatirkan adalah berhenti kuliah sebelum masa studi berakhir. Keterkaitan hubungan antara psychological capital terhadap psychological well-being sebagaimana telah diuraikan diatas juga didukung oleh hasil penelitian Datu & Valdez (2016). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara psychological capital terhadap well-being. Selain itu, menurut Datu & Valdez (2016), dukungan sumber daya psikologis dalam bentuk hope, optimism, resiliency, dan self efficacy terkait dengan kognitif, afektif, psikologis, dan kesejahteraan sosial yang lebih besar. Sehingga psychological capital yang tinggi juga akan berdampak pada psychological well-being yang tinggi juga, sebaliknya jika psychological capital rendah maka terbentuk juga psychological well-being yang rendah juga. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological capital dapat mempengaruhi psyhological well being pada mahasiswa yang bekerja.

31 46 Gambar 1 Kerangka berpikir Pengaruh Psychological Capital Terhadap Psychological Well-Being Psychological capital (Luthans dkk. 2007) Psychological Well- Being (Ryff, 1989) D. Hipotesis Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara psychological capital terhadap psychological well-being pada mahasiswa yang bekerja.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness dan Subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008).

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jenjang pendidikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Work Engagement BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian Work Engagement Menurut Macey & Scheneider (2008), engagement yakni rasa seseorang terhadap tujuan dan energi yang terfokus, memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 11 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Psychological Well-Being 1. Konsep Psychological Well-Being Psychological well-being (kesejahteraan psikologi) dipopulerkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11 MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 11 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. daya manusia pada bangsa ini tidak diimbangi dengan kualitasnya. Agar di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. daya manusia pada bangsa ini tidak diimbangi dengan kualitasnya. Agar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melimpahnya sumber daya manusia di Indonesia menjadi salah satu keuntungan bagi bangsa ini. Tetapi, pada kenyataannya melimpahnya sumber daya manusia pada bangsa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU Program Studi PG-PAUD FKIP Universitas Riau email: pakzul_n@yahoo.co.id ABSTRAK Kesejahteraan guru secara umum sangat penting diperhatikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Alat Ukur

LAMPIRAN A. Alat Ukur LAMPIRAN A Alat Ukur A1. Kuesioner PWB Petunjuk pengisian : Di balik halaman ini terdapat sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan apa yang Saudara rasakan terhadap diri sendiri dan kehidupan Saudara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Eudaimonia (kebahagiaan) dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah psychological well-being.

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA INDIENA SARASWATI ABSTRAK Studi yang menggunakan teori kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perbankan saat ini sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan masyarakat, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hal ini terlihat dari peningkatan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis merupakan sebuah konsep yang membahas tentang psikologi positif (Ryff, 1989). Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self-Efficacy 1. Definisi Self-Efficacy Seseorang bertingkah laku dalam situasi tertentu pada umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kognitif, khususnya faktor kognitif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Carol D. Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being

Lebih terperinci

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel BAB III METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Hal ini dikarenakan peneliti lebih menekankan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penafsiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tak dapat dipungkiri bahwa agama yang dianut seseorang membentuk dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya, dalam membentuk kepribadiannya,

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Psychological Well-Being 2. Variabel tergantung : Komitmen Organisasional B. Definisi Operasional 1. Komitmen Organisasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan

BAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk individu terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological well-being. Alasan menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini adalah berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia dalam kehidupannya bisa menghadapi masalah berupa tantangan, tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar. Setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan

Lebih terperinci

Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat

Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk dapat mempertahankan karyawannya yang bertalenta.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan Psikologis 2.1.1 Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai kesejahteraan. Pendekatan hedonik, yang mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Intensi Berwirausaha BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Berwirausaha 1.1. Pengertian Intensi Berdasarkan teori planned behavior milik Ajzen (2005), intensi memiliki tiga faktor penentu dasar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel- variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Tergantung : Psychological well-being 2. Variabel Bebas : Locus

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Psychological Well Being merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi)

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi) RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi) Ros Mayasari Abstrak: Psikologi menjelaskan kebahagiaan dengan dua pendekatan yang berbeda yaitu tercapainya kepuasaan hidup

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 25 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Bahagia Suami Istri 1. Definisi Bahagia Arti kata bahagia berbeda dengan kata senang. Secara filsafat kata bahagia dapat diartikan dengan kenyamanan dan kenikmatan spiritual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komitmen organisasi perlu diperhatikan pada setiap anggota yang ada dalam organisasi.allen dan Meyer (1990: 2) menyatakan anggota dengan komitmen organisasi, memiliki

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MAHASISWA PSIKOLOGI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MAHASISWA PSIKOLOGI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MAHASISWA PSIKOLOGI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI Ushfuriyah_11410073 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu BAB II LANDASAN TEORI A. JOB INSECURITY 1. Definisi Job Insecurity Ashford dkk (1989) mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Ryff (dalam Lianawati, 2008) membangun model Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Mahasiswa merupakan pelajar yang paling tinggi levelnya. Mahasiswa di harapkan mampu memahami konsep, dapat memetakan permasalahan dan memilih solusi terbaik untuk permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. WORK ENGAGEMENT 1. Definisi Work Engagement Work engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, 2004). Work engagement memungkinkan individu untuk menanamkan

Lebih terperinci